Banjarmasin, sang kota seribu sungai itu mulai kehilangan identitas dan karakteristiknya. Modernitas mulai mengalihkan kebudayaan-kebudayaan yang dianggap tidak efisien dan beralih kepada sesuatu yang lebih instan. Konteks negatif modernisme ini sangat bisa dirasakan oleh Pasar Terapung Muara Kuin. Sebuah pusat ekonomi kota Banjarmasin yang sudah berlangsung selama 400 tahun yang ironisnya teralihkan oleh pasar-pasar modern dan digital yang dianggap lebih mampu menjawab kebutuhan manusia-manusia modern. Tetapi efisiensi ini dibayar dengan harga yang mahal, yaitu identitas.
Bagaimana arsitektur dapat menjawab konflik timur dan barat ini? Pusaka Kuin diharapkan dapat membangkitkan Pasar Terapung Muara Kuin yang kian terus meredup dengan mengintegrasikan pasar terapung dengan teknologi pasar modern dan juga pasar digital, dan memberi pesan kepada semua orang bahwa tradisi dan modernitas bisa berjalan berdampingan dengan satu tujuan yang sama.