KESAKSIAN
Johanes Henri Sriyono
Johanes Henri Sriyono
Totalitas Pelayanan Sang Pemijat Johanes Henri Sriyono
Lewat teknik pijat perabaan, dia cepat mengenali sakit di tubuh pasien, tanpa ke terangan apapun dari pasien.“Tuhan yang menyembuhkan, saya hanya alat-Nya.”
R
AMBUT putih hampir menutup se luruh tempurung kepala Jo hanes Henri Sriyono. Kerutan di wajah serta pipinya yang caung, me nunjukkan telah lama dia menjalani zia rah kehidupan. Sriyono–demikian panggilannya–akan berusia 76 tahun Juni mendatang. Kendati usianya telah senja, tangannya bisa membuat orang mengge liat bak cacing kepanasan. “Pijatan saya sakit, kamu sanggup?” ta nya Sriyono kepada pasien. Pertanyaan itu selalu dia lontarkan kepada tiap orang yang datang kepadanya. Dia tak akan memijat jika pasien menolak. Tapi bila berani menanggung sakit, pria asal Muntilan, Jawa Tengah itu akan beraksi. Tak usah memberitahu kepadanya ba gian tubuh yang sakit. Sriyono bi sa menyebut bagian tubuh yang bermasalah, saat meraba punggung kaki pasien. Pasien
bisa meronta karena kesakitan. Padahal dia hanya menggosok lembut pada punggung kaki orang itu. Seperti pepatah Belanda yang berbunyi, “zachte heelmeesters maken stinkende wonden” (cara pengobatan yang lemah lem but makin membuat borok semakin menyengat baunya). Rasa sakit, terang Sri yono, disebabkan karena masalah di bagian tubuh pasien, bukan karena pijatan. Sriyono tak hanya mengobati gangguan syaraf. Banyak pasien dengan berbagai ke luhan, antara lain stroke dan kanker datang kepadanya. “Tuhan yang menyembuhkan, saya hanya sebagai alat-Nya,” katanya.
Tak Berplang Sriyono tinggal di Larangan, Ciledug, Tangerang. Rumah umat Paroki St Matius Penginjil Bintaro itu tersembunyi di tengah kampung. Begitu tiba di depan ga pu ra
Jalan Inpres 15, orang harus melewati gang yang hanya cukup dilalui dua motor. Jika membawa mobil, orang bisa me markirnya di tanah lapang belakang mini market yang berhadapan dengan Gapura Jalan Inpres 15. Dari situ rumah Sriyono berjarak sekitar 200 meter. Pertama kali datang, mungkin kesulitan menemukan rumah bapak lima anak itu. “Rumah saya di RT 1, RW 24, Nomor 27,” terang Sriyono saat HIDUP menanyakan alamat rumahnya, Jumat, 4/3. Benar saja, memang agak susah menemukan rumah Sriyono. Di lingkungannya, warga tidak mengenal Johanes Hen ri Sriyono tapi ketika disebutkan nama Sriyono atau Aki warga dengan gam pang menunjukkan. “Oww, orang yang suka mengobati,” kata seorang tetangga menyebut Sriyono. Tak seperti kebanyakan pemijat atau te rapis, tak ada plang “Ahli Urut” atau “Ahli
40 HIDUP | 20 MARET 2016
HIDUP ED 12_T-040-041Kesaksian.indd 40
3/11/16 7:29 AM
PemberianTuhan Teknik pijat perabaan yang dimiliki Aki tak diperoleh dari kursus. Dia juga tak pernah berguru kepada siapa pun. Justru sebaliknya, banyak orang yang meminta Aki untuk mengajari teknik perabaan. Aki bersedia berbagi kemampuan yang dimili kinya kepada orang lain. Dia mengenang, pertama kali memijat orang sekitar tahun 1980. Peristiwa itu terjadi tiba-tiba. Suatu hari ada orang yang datang ke rumahnya. Aki tak mengenal orang itu. Dia datang dan meminta Aki untuk menyembuhkannya. Spontan, Aki meraba punggung kaki orang itu. Kata Aki kepada orang itu, kolesterol yang menyebabkannya stroke, bukan darah tinggi. Setelah dipijat, orang itu sembuh.
“Dia datang karena Tuhan. Dan kemampu an yang saya miliki juga pemberian-Nya,” katanya. Sejak peristiwa itu, makin banyak orang yang datang kepadanya. Aki percaya, setiap orang yang datang ke padanya karena Tuhan. Oleh karena itu, dia tak pernah menolak siapa pun. Dia juga rela meninggalkan rumah dan melayani orang lain seandainya calon pasien tak mampu dat ang ke rumahnya karena sakit. Tapi, se baik nya mereka telepon dia, sebelum ke ru mah. Dia khawatir be gi tu pasien tiba, Aki sedang tak ada di ru mah. Istri dan
Aki juga tak pernah mengungkit orangorang yang pernah ia sembuhkan. Sebab, katanya, jika masih mengungkit karya yang telah dilakukan, kita belum ikh las memberi dan melayani orang lain. Adakah pengalaman yang sangat berkesan selama memijat orang? “Semua biasa saja. Mung kin yang paling merasa terkesan, mereka yang datang dan sembuh dari penyakitnya,” jawab Aki penuh canda.
Mensyukuri Hidup Jika tak ada orang yang datang dan me
HIDUP/Yanuari Marwanto
Pengobatan Tradisional” di halaman depan rumah Aki. Sudah 36 tahun sebagai pemi jat, sama sekali tak ada di benak Aki untuk memancang papan nama. Namun, rumah Aki hampir kedatangan tamu tiap hari. Atau dia yang mendatangi rumah pasien. Itu pun jika dia tak sedang me nerima pasien di rumahnya. Mereka yang membutuhkan jasanya datang dari berbagai latar belakang budaya, ekonomi, dan sosial. “Semua orang, entah kaya atau miskin, sama ketika sakit. Mereka sama-sa ma menderita, maka saya wajib menolong semua orang,” katanya. Pernah suatu hari, suami Sri Suwarti itu diminta terbang ke Singapura. Seorang warga negara di sana mendapat informasi tentang Aki dari kenalannya di Indonesia. Sebulan Aki tinggal di “Negeri Singa”. Bah kan, mantan pasiennya yang telah sembuh dari kanker, meminta dia untuk membuka praktek di sana. Namun, dia memutuskan kembali ke Tanah Air. Aki ingat keluarganya. Selain itu, mungkin juga dia tak nyaman karena mantan pasiennya itu mengenakan tarif 15 dolar Singapura ke-pada tiap orang yang datang berobat kepadanya. Aki pantang meminta, apalagi sampai me matok harga atas jasanya. Dia hanya akan menerima seandainya diberi. Jika ti dak, Aki tak pernah mempersoalkan. Dia tetap membantu jika suatu hari pasien itu datang kembali kepadanya. Di tengah dunia yang segala sesuatu diukur dengan uang, ternyata masih ada orang seperti Aki, yang tak kepincut dengan fulus.
“Aki” Sriyono sedang memijat kaki pasiennya.
anak-anak Aki juga memahami bila pagipagi buta ada orang yang mengetuk pintu rumah mereka dan memohon bantuan. Godaan dalam karya pelayanan Aki adalah waktu dan materi. Orang sakit tak mengenal waktu. Mereka bisa datang kapan pun. Selain itu, orang gampang ge lap mata jika berhadapan dengan uang. Jika tak bisa mengendalikan diri, setiap perbuatan kita selalu ada hitunghitungannya. Mampukah Aki mengatasi cobaan itu? Entahlah, tapi hingga saat ini, dia masih me megang teguh prinsipnya, melayani siapa pun, kapan pun, dan di mana pun tan pa mengharapkan imbalan. Dia juga berbesar hati seandainya mantan pasien me lupakannya. Aki yakin, Tuhan selalu mengingat dia.
minta bantuannya, Aki tinggal di rumah. Seperti pada Minggu siang, 6/3, hanya ada dia dan dua anaknya. Aki mengisi waktu dengan menonton televisi, membaca ko ran, dan menjaga dua buah hatinya. Sang istri membuka warung di sebuah pusat perbelanjaan di Serpong. Sementara tiga anaknya yang lain bekerja. Aki bersyukur, dia masih bisa menikmati kehidupan. Bentuk rasa syukurnya se derhana, sesederhana hidup dan penam pilannya. Dia berterima kasih kepada Tu han karena masih diberi hidup, menyak si kan perkembangan anak-anaknya, dan bisa menikmati alam. “Kenikmatan hidup bu kan terletak pada yang kita cari, tapi mensyukuri apa yang sudah kita terima,” pungkasnya. Yanuari Marwanto
20 MARET 2016 | HIDUP
HIDUP ED 12_T-040-041Kesaksian.indd 41
41
3/11/16 7:29 AM