ZINE
MESIN WAKTU
JURNALISTIK JUNI 2022
KISAH MANGUNAN DALAM PERJALANAN
JURNALISTIK SANGGAR GURU SEKOLAH MANGUNAN LEO-CLARA-RARAS-GALIH-EKO-BIN-ALAM-GITA
T H E
T E A M
L E O - C L A R A - R A R A S - G A L I H - E K O - B I N - A L A M - G I T A
Leonardo B. Yudhapratama
Memberontak secara Elegan Kita mengenal pemberontakan sebagai sesuatu yang bertentangan dan dipandang sebagai hal yang negatif di masyarakat. Pemberontakan juga lekat hubungannya dengan kekerasan, pertikaian hingga pembunuhan. Sebut saja sejarah bangsa dari era Diponegoro hingga era Reformasi, sudah sangat banyak pemberontakan yang terjadi yang hanya berakhir dengan kematian karena pertumpahan darah. Tak heran hampir di setiap cerita sejarah mengandung unsur pemberontakan atau penolakan yang berujung tragis. Gawatnya, pemberontakan menjadi salah satu cerita yang menarik untuk diajarkan ke anak di materi buku sejarah. Pendidikan sejarah seolah menjadi sarana untuk menebar kebencian yang dilakukan secara besarbesaran (secara nasional).
Makna pemberontakan nampaknya dipandang berbeda oleh Romo Mangunwijaya. Secara terstruktur, Romo Mangun berproses melawan tindak ketidakadilan dengan bergerak pada dunia sosial dan pendidikan. Romo Mangun dengan elegan mengajak sekaligus mendorong anak untuk menjadi pemberontak melalui kegembiraan bertanya kepada orang dewasa. Romo Mangun berupaya menyalakan semangat untuk bertanya serta eksplorasi di dalam mentalitas anak.
Tentu Romo Mangun memberi banyak kritikan terhadap pendidikan orde baru yang bersifat pragmatis dan fragmentaris sehingga sisi humanisme yang seharusnya tertanam pada diri anak tidak terfasilitasi. Melalui keresahan yang dialami Romo Mangun, beliau menyampaikan pendidikan semestinya mengarah untuk menciptakan manusia yang emansipatoris, yakni manusia yang eksplorator, kreatif, dan integral.
Dalam mewujudkan terciptanya manusia emansipatoris, Romo Mangun mengupayakan proses-proses edukatif penting seperti curiosity, bertanya, berdialog, dan berdiskusi. Dengan begitu anak memiliki kesadaran untuk menaruh kemerdekaannya untuk berpendapat dan bertanya.
Wujud Keberanian Anak Beberapa bulan lalu, saya mendengar cerita Romo Mangun yang disampaikan oleh Pak Bintoro. Dalam cerita tersebut, pria yang kerap kita sapa Pak Bin tersebut menceritakan sebuah peristiwa di mana ada tamu dari luar negeri yang berkunjung ke sekolah Mangunan. Dalam kesempatan tersebut mereka bertujuan untuk mengobservasi proses belajar anak di Mangunan. Ketika tamu-tamu mancanegara masuk ke dalam kelas, ada seorang anak yang tiba-tiba beranjak keluar meninggalkan ruang kelas tersebut. Tak lama kemudian seseorang menghampiri anak tersebut dan menanyakan alasannya pergi keluar dari kelas.
Secara mengejutkan, anak tersebut menjawab dengan tegas bahwa tujuan ia datang ke sekolah adalah untuk belajar, bukan dipergunakan sebagai bahan penelitian orangorang luar negeri. Melalui pengalaman tersebut, tergambar jelas bahwa mental anak ditumbuhkan secara emansipatoris berhasil diwujudkan oleh Romo Mangun. Melalui keberhasilan tersebut, apakah sikap anak yang gembira bertanya masih dihidupi oleh Sekolah Eksperimental Mangunan hingga saat ini?
Kegembiraan Anak untuk Berani Bertanya dan Berpendapat Setelah kurang lebih satu tahun menjadi bagian dari Sekolah Eksperimental Mangunan, saya mendapat banyak cerita membekas mengenai mental anak yang berani menyampaikan pendapat maupun bertanya dengan percaya diri. Selain dengan adanya pembelajaran khas Koper (kotak pertanyaan) sebagai fasilitas teman-teman kecil untuk bertanya, nyatanya kegembiraan anak untuk bertanya dan berpendapat di depan guru dan teman-temannya terus dilakukan.
Pada suatu hari, saya mengundang salah seorang teman dari Merauke untuk menyapa teman-teman di SD secara daring. Dalam kegiatan tersebut, teman-teman kecil mendapat cerita mengenai “Musamus” yang kerap disebut sebagai sarang semut raksasa. Seminggu kemudian, ada seorang anak yang membuka diskusi di depan teman-teman kelasnya. Anak tersebut menyampaikan protes bahwa Musamus yang kala itu disebutkan sebagai sarang semut ternyata aslinya bukan sarang semut melainkan sarang rayap.
Hal tersebut membuat saya tidak siap untuk memberi tanggapan atas temuan yang disampaikan. Namun dibalik kejadian tersebut, saya belajar banyak atas keberanian anak meluruskan sesuatu yang selama ini dianggap benar. Melalui pengalaman tersebut saya yakin bahwa menumbuhkan manusia emansipatoris yang diupayakan Romo Mangun masih dihayati dan dihidupi oleh komunitas Sekolah Eksperimental Mangunan.
Kiranya pendidikan emansipatoris selalu menginspirasi perjuangan pendidikan merdeka kita guna menghasilkan manusia yang utuh. Kemerdekaan dalam mewujudkan dan memekarkan segala potensi yang ada dalam diri anak demi kesejahteraan hidup bersama.
Oleh: Ado Bintoro
Gambar: pelopormuda.wordpress.com
Guru HARAPAN “ Murid Eksperimental Bhade Udu” Udu gagasan ini tentang didik-mendidik atau mengajar, kepada sahabat guru. Bila menggagas tentang sistem sampai saat ini solusinya belum menentu? Yang ada kesehariannya hanya ribut dan saling sikut, saling cemooh, saling menyalahkan di antara mereka yang katanya menamakan diri sebagai pakar, atau merasa ahlinya di bidang pendidikan, tapi masih juga di anggap masih semu oleh pihak lain. Setiap saat selalu mewacanakan perubahan atau terobosan baru. Penulis sedikit mau berbagi tentang sosok Y B. Mangunwijaya. Khususnya gagasan akan pendidikan saat itu, Penulis paham sistem yang digagas sosok Mangun, dengan pola ngemong, “ngasuh” dengan cara belajar bersama antara guru dan peserta didik. Dengan istilah semua guru dan semua murid, sosok Mangun menginginkan pembelajaran diawali dengan berdialong terlebih dahulu sebelum peroses belajar bersama di mulai, tujuannya supaya suasana mencair. Lalu sahabat guru mengajak cara belajar dengan cara menghadirkan alat peraga sesuai tema, dengan harapan peserta didik tidak jenuh, atau malas-malasan. Lalu yang tak bisa dilewatkan tentang pelajaran agama dengan cara komunikasi iman, tentunya yang di komunikasikan tentang keyakinan para peserta didik.
“Para siswa saling dialog” Sosok Mangun berharap kepada peserta didik tidak hanya diminta menghafal saja tentang isi buku atau pelajaran yang di berikan. Lebih mengutamakan sifat watak atau karekter itu lebih di harapkan dengan tujuan nantinya saling menghargai perbedaan karena semua keyakian yang di yakini para peserta didik tidak sama. Hal ini yang sangat diharapkan sosok Mangun. Peserta didik perlu diberi pemahaman tentang arti keyakinan masingmasing peserta didik itu sendiri supaya paham juga dan saling memahami dengan baik di dalam kelas ataupun diluar kelas, “lembaga”, begitu juga guru pendamping tak sama dalam berkeyakinan. Ini sistem yang di inginkan sosok penggagas sang pendiri “sosok Mangun”. Penulis punya kesimpulan sosok Mangun sebagai rujukan mengenai nilai-nilai kebebasan, keterbukaan, atau kepedulian akan pendidikan. Dan memiliki kedekatan batin dengan anak-anak. Sosok Mangun semasanya hidup mempunyai cita-cita mulia terhadap pendidikan terutama anak-anak yang kurang beruntung. Kata Sosok Mangun, guru yang pilahan dapat mengantarkan anak didik menuju keberhasilan. Bagaimana cara yang dilakukan oleh guru dalam merdeka belajar?
Guru pilihan mesti siap akan menggali potensi anak didiknya berdasarkan bakat dan minat masing-masing pilihan. Semua guru akan selalu menjadi pilihan selama di sekolahan.
Seorang guru selalu diharapkan menggali apa yang ada dalam diri anak didik. Guru juga dapat menjadi pilihan ketika ada murid yang sedang istirahat. Penulis coba menambahkannya, salah satunya guru mesti menjadi pilihan bagi para anak didik.
Akankah kurikulum bisa jadi solusi? Problem sistem pendidikan hingga saat ini sepertinya belum juga pakem dan masih saja selalu berbenah tidak ada titik temu. Memang dari abad ke abad juga belum terdengar adanya sebuah bangsa yang sistem pendidikanya hebat. Kalau sekedar rangking bukan jaminan karena sekarang para punggawa yang merasa pakar pendidikan tampaknya sibuk ingin melakukan lompatan sistem, dengan menghadirkan kurikulum yang bermacammacam modul, apa lagi yang terbaru yaitu Kurikulum Merdeka, Sekolah Merdeka, dan Belajar Merdeka, “lalu bagaimana sahabat guru, sudah merdekakah dalam mengajar?, ”belum tau”. Harapannya kepada sahabat guru untuk berusaha mencari yang efektif untuk memberikan pembelajaran yang menyenangkan, bermakna dan berdampak pada daya serap anak, harapan ini yang di tunggu-tunggu masyarakat. Mohon maaf, umumnya sebagian guru cenderung memaksimalkan teori dan hafalan, sehingga kegiatan pembelajaran berlangsung kaku, monoton, dan anak didik seperti jenuh. . . . Hal itu kemungkinan sahabat guru merasa tertuntut kurikulum yang selalu berubah-ubah. Dan buku pelajaran kadang hanya sekedar ditempeltertempel saja. Semasa sosok Mangun tidak tergantung dengan sistem. Guru diharap punya kreasi tersendiri.
Walau ada kurikulum, sejenis KBK kurikulum 2006, dan kurikulum 2013, Pesan sosok Mangun “Sekolah Eksperimen, atau Eksperimental” guru diharapkan ada cara mengajarkan dengan sistem tersendiri. Dengan adanya platform mengajar merdeka ini dapat memberi alternatif atau fasilitas yang dapat digunakan sahabat guru untuk mewujudkan pembelajaran yang memerdekakan. Memang di setiap produk kebijakan pasti menuai pro dan kontra. Yang dilontarkan sebagaian pakar yang sedang mengkaji soal kurikulum jarang menyampaikan kelebihan atau kekurangan produknya. Gerakan sekolah merdeka dan menyenangkan tidak terletak kepada kelebihan dan kekurangan kurikulum yang dimunculkan oleh para punggawa, “yang menamainya diri pakar”. Kurikulum itu perlu, tetapi apakah cukup untuk meningkatkan kualitas pendidikan? Penulis mengharap para guru untuk fokus bagaimana menerapkan platform merdeka mengajar. Guru mesti mencari sejauh mana anak anak paham materi yang di jabarkan. “Apakah kita perlu mengulang-ulang, atau kami bisa lanjutkan materinya?”. ”Nah, assessment itu memberi umpan balik tentang pemahaman peserta didik, karena ketika anak didik selesai mengerjakan isian di platformnya, dengan sendirinya ada umpan balik buat sahabat gurunya”.
Gambar: buruan.co
Apa lagi adanya kurikulum merdeka pihak sekolah diberi keleluasaan untuk menerapkan kurikulum itu. Dalam artian tidak dipaksakan. Kurikulum yang sudah dirancang lebih sederhana, jadi selanjutnya tinggal bagaimana sahabat guru mengajak anak-anak untuk belajar bersama. Tapi alangkah baiknya sahabat guru membuat konsep pendidikan karakter yang menyesuaikan kondisi anak didik. Memang tak dipungkiri kedudukan kurikulum sangat diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan dengan baik. Sebuah Rapor juga bukan untuk membandingkan dengan sekolah lain, akan tetapi lebih menjadi timbal balik. Di negeri ini, bila masalah pendidikan dan sebuah kurikulum baru muncul, maka senantiasa menimbulkan kebingungan di kalangan para pendidik.
Lalu sahabat guru bagaimana untuk mengembangkan potensi kepada peserta didik agar mau menyimak dengan baik. Penulis menawarkan kepada sahabat guru, hendaknya mengajak berdialog terlebih dahulu sebelum proses belajar dimulai kepada peserta didik, tujuan dialog supaya cair dalam suasana yang menyenangkan saat akan mengerjakan materi yang akan di ajarkan kepada peserta didik, dengan cara demikian kemungkinan peserta didik akan bisa mengikuti apa yang harus di lihat.
Salam guru.
PERJALANAN ROMO MANGUN DI DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Oleh: Thomas Galih Pramudita Abstrak
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar yang sangat penting dan utama bagi setiap manusia. Banyak dari setiap manusia berusaha untuk mendapatkannya dengan berbagai cara. Pemerintah pun menanggapinya dengan membuat kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan. Pada kenyataannya, proses pelaksanaan belajar mengajar mengalami kesenjangan dan ketidaksesuaian pada kondisi dan situasi masyarakat di Indonesia. Masyarakat Indonesia dipersulit dengan adanya biaya sekolah yang mahal sehingga berimbas pada masyarakat yang bergolongan miskin, tidak mampu, tertindas, dan terpinggirkan serta terjadinya proses belajar mengajar yang membuat peserta didik menjadi terlalu text book, pasif, satu arah, dan ketergantungan pada sosok guru. Faktor-faktor tersebut yang membuat Romo Mangunwijaya melakukan kritisi yang sangat mendalam bagi-
permasalahan dan persoalan Pendidikan di Indonesia pada saat itu. Selain mengkritisi, Romo Mangunwijaya pun terlibat aktif dalam memikirkan dan memberikan wujud Pendidikan yang merdeka dan berkarakter bagi peserta didik. Keyword: Romo Mangunwijaya, Pendidikan yang Merdeka, Pendidikan Berkarakter
Pendahuluan
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar dari setiap individu dalam memperkaya ilmu dan berguna bagi kehidupan sesamanya (Idris, dkk, 2012; Leask and Carroll, 2013). Pendidikan merupakan sesuatu yang terasa mahal harganya terutama bagi mereka yang tergolong dalam kategori orang tidak mampu, miskin, dan tertindas di Indonesia (Mangunwijaya, 2004; Westbrook, dkk, 2013; Munro, 2013; Leicht, dkk, 2018).
Pendidikan di Indonesia juga penuh dinamika dengan banyaknya berbagai tantangan yang dihadapi terutama mencari kurikulum yang dapat memanusiakan manusia (Mangunwijaya, 2004). Namun, jika sistem pendidikan tersebut dibungkus demi kepentingan oknum-oknum pejabat, maka tidak ada artinya lagi makna pendidikan yang dapat memanusiakan manusia (Mangunwijaya, 2004; Marmoah, dkk, 2021). Pendidikan di Indonesia juga mengalami gradasi yang sudah sangat terlihat pada masa pemerintahan Orde Baru atau saat Soeharto menjabat sebagai presiden (Hamied and Mustafa, 2019; Ikasari, 2019). Jika dilihat dari masa penjajahan hingga masa Orde Lama, konsep Pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan Pendidikan Kemasyarakatan sebagai inti, pilar, dan makna utama dalam sistem pendidikan di Indonesia (Sugiyono, dkk, 2005; Syaharuddin, dan Susanto, 2019). Sedangkan pada rezim Orde Baru, pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Pendidikan justru memasukkan Pendidikan Kemasyarakatan hanya sebagai pelengkap dan bahkan tidak dianggap ke dalam kurikulum (Alhamuddin, 2004; Syaharuddin dan Susanto, 2019). Pada kurikulum 1975, pemerintah lebih menitikberatkan pada objektivitas manajemen yang efektif dan efisien (Alhamuddin, 2004). Pada Kurikulum 1984, lebih menekankan pada bagaimana cara belajar peserta didik yang aktif dan memiliki skill yang tinggi (Alhamuddin, 2004). Pada kurikulum 1994, lebih ke arah muatan lokal dan
muatan nasional yang lebih mengarah pada persaingan atau kompetensi (Alhamuddin, 2004). Dari beberapa perbaikan kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah pada Orde Baru, sangat terlihat sekali bahwa sistem pendidikan nasional lebih menitikberatkan pada Pendidikan Umum dan Khusus dimana dibuatnya jenjang pendidikan dasar hingga tinggi yang nantinya dapat bersaing dalam dunia pekerjaan (Alamuddin, 2004; Yuberti, 2014; Usman, 2014; Munirah, 2015). Sistem pendidikan di Indonesia saat Orde Baru juga berbau nuansa militer, bukan hanya dari mata pelajaran dan pada kewajiban teknis dalam penyelenggaran Pendidikan saja militerisme terlaksana, tetapi juga pada ruang gerak. Peserta didik dibelenggu dan dibentuk seperti militer. Contoh paling konkrit adalah terbentuknya Resimen Mahasiswa pada jenjang perguruan tinggi, kewajiban baris-berbaris pada tingkat dasar, menengah, maupun atas, serta pemberian sanksi yang lebih banyak mengarah pada sanksi fisik jika ada peserta didik yang melakukan kesalahan (Umasih, 2010; Hidayat, dkk, 2017; Zulkarnain, 2018; Cipta, 2020). Melihat sistem pendidikan yang terlalu berbau militer tersebut, Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau yang biasa dipanggil Romo Mangun hadir dengan membawa perubahan sistem Pendidikan yang memanusiakan anak manusia (Mangunwijaya, 2004). Ia menawarkan Pendidikan yang merdeka terutama pada poros pendidikan dasar yang disebutnya sebagai bentuk awal karakter
dan orientasi diri manusia. Romo melihat pendidikan di Indonesia yang terlalu monoton dan manusia seperti robot yang hanya bergerak jika diminta. Romo juga melihat betapa menyedihkannya peserta didik saat itu yang hanya menghafal, plagiarism, dan bersaing secara kotor demi mendapatkan posisi yang terbaik (Mangunwijaya, 2004). Romo Mangunwijaya yang selalu mengkritik dan tidak puas terhadap dunia pendidikan pada masa Orde Baru, membuatnya berada pada oposisi karena ia tidak setuju terhadap kurikulum pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah. Pada tahun 1986, Romo Mangun beserta temantemannya mendirikan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar (DED) yang bertujuan untuk memberikan alternatif lain dari sistem pendidikan dan mencari solusi dalam permasalahan sistem pendidikan yang terjadi saat itu. Romo Mangun dan Yayasan DED mewujudkan sistem pendidikan yang baru pada Sekolah Dasar (SD) Eksperimental Mangunan dan ia juga melakukan berbagai karya dunia pendidikan dengan blusukan ke kampung kumuh saat itu seperti pinggiran kali Code maupun Kedungombo (Mangunwijaya, 2004; Sunaryo, 2007; Tari, 2020). Pendidikan yang digaungkan oleh Romo Mangun muncul karena pendidikan pada Orde Baru cenderung lebih terpusat karena ukuran orang pintar menurut pemerintah ditentukan oleh serangkaian ujian seperti Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), Ujian Nasional (UN) untuk tingkat menengah dan atas, Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), dan saat ini muncul dengan nama
Asesmen Standarisasi Pendidikan Daerah (ASPD). Artinya ide dan gagasan Romo Mangun muncul saat pemerintah lebih mementingkan target daripada proses dan kualitas belajar mengajar.
Sejarah Singkat Romo Mangun
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau yang lebih dikenal dengan nama Romo Mangun lahir di Ambarawa, Jawa Tengah pada tanggal 6 Mei 1929 dari Bapak Yulianus Sumadi Mangunwijaya dan Ibu Serafin Kamdanijah. Romo Mangun merupakan anak pertama dari 11 bersaudara. Semasa kecilnya Romo Mangun sudah mencicipi bangku sekolah sejak usia 6 tahun di salah satu SD di Magelang, kemudian dia melanjutkan ke jenjang Sekolah Teknik (saat ini SMP) di Yogyakarta pada tahun 1943, dan Sekolah Lanjutan Atas (SLA) (saat ini SMA) di Malang pada tahun 1947. Tamat SLA (1951), Romo Mangun melanjutkan sekolah seminari di Seminari Menengah Mertoyudan pada tahun 1953 dan melanjutkan pendidikan Filsafat dan Teologi di Sancti Pauli dan tamat pada tahun 1959. Romo Mangun ditahbiskan pada tanggal 8 September 1959 dan melanjutkan pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) mengambil jurusan arsitektur hingga tahun 1960. Setelah lulus dari ITB, Romo Mangun Kembali melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Teknik Rhein di Jerman dengan mengambil jurusan arsitektur dan lulus pada tahun pada tahun 1966 (Khudori, 2001).
Romo Mangun tetap aktif di dunia pendidikan dengan menjadi dosen arsitektur di Universitas Gadjah Mada (UGM) dari tahun 1967 – 1980. Selama mengajar, Romo Mangun aktif menulis artikel-artikel baik pada media massa maupun majalah. Pada tahun 1980, Romo Mangun memutuskan berhenti sebagai dosen dan lebih memilih untuk tinggal dan berkarya di lembah Kali Code di mana ia melihat bahwa tempat tersebut sangatlah kumuh, kotor, miskin, dan jauh dari kata terpelajar. Selama di Kali Code, Romo Mangun merubah tempat tersebut menjadi bersih, masyarakat yang beradab dengan mengutamakan pendidikan yang ditunjukkan dengan adanya perpustakaan, mengajarkan masyarakat tersebut untuk mendaur ulang sampah dan menjadikannya salah satu pendapatan masyarakat. Untuk mendukung pergerakan dan perubahan yang dilakukan oleh Romo Mangun, ia beserta teman-temannya mendirikan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar (DED) dan mendirikan sekolah eksperimen dengan nama SD Eksperimental Mangunan. Dalam pembelajaran, Romo Mangun tidak berfokus pada akademik melainkan kepada non akademik karena hal utama dalam hidup manusia adalah dari dalam diri sendiri. Pembelajaran yang berfokus pada non-akademik, peserta didik dapat mengembangkan bakat, kemampuan, dan kepribadian melalui orientasi diri. Romo Mangun percaya bahwa anak sudah memiliki 7 modal dasar, yaitu karakter, orientasi diri, penguasaan bahasa, logika kuantitatif, penguasaan piranti, kerjasama, dan olahraga. Dengan dasar tersebut, Romo Mangun percaya bahwa tidak ada anak yang bodoh di dunia ini (Mangunwijaya, 2004).
Romo Mangun berhenti berkarya pada tanggal 10 Februari 1999, tepatnya saat ia selesai memberikan seminar mengenai ‘Peran Buku Demi Kearifan dalam IPTEK’. Selama acara tersebut, ia menyampaikan bahwa buku sangat penting dan berperan dalam membentuk masyarakat baru di Indonesia. Sepeninggalan Romo Mangun, karya-karyanya masih digunakan hingga saat ini, terutama pada pendidikan, dengan mengedepankan kurikulum Mangunwijaya yang memerdekakan anak.
Konsep Pendidikan Romo Mangunwijaya Romo Mangun merupakan salah satu tokoh yang sangat peduli terhadap pendidikan di Indonesia terutama pada peserta didik yang masuk ke dalam kategori rentan miskin, sangat miskin, dan terpinggirkan. Ia terpengaruh oleh pendidikan yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara, Paulo Freire, dan Jean Piaget. Pendidikan yang mereka tawarkan adalah pendidikan yang melihat anak sebagai subjek, di mana manusia merupakan makhluk yang memiliki relasi dengan Tuhan, alam, dan sesama. Kesadaran peserta didik dalam melihat alam sebagai bagian dalam hidupnya, memberikan efek pada pemikiran yang kritis dimana manusia dapat memilih, menguji, mengkaji, dan memaknai nya dalam setiap refleksi atas tindakan yang dilakukannya (Freire, 1970; Manggeng, 2005; Sutrisno, 1995).
Semasa hidupnya, Romo Mangun berada pada masa Orde Baru dimana pendidikan mengalami gejolak dengan lebih mengedepankan ide atau gagasan dari suatu kelompok tertentu, sehingga proses belajar mengajar yang terjadi saat itu sangat identik dengan kepentingan politik dan tersentralisasi nya kebijakan, terutama pada kurikulum (Alhamuddin, 2004). Oleh sebab itu, terjadi pergeseran dimana semula guru seperti kakak, teman, maupun sahabat berubah dan membentuk guru menjadi komandan, birokrat, dan pawang. Selain itu, yang seharusnya peserta didik adalah anak, berubah menjadi calon Sumber Daya Alam (SDM) bagi negara, sehingga anak terdoktrin untuk menjadi kompetitor dengan adanya ranking. Di samping itu, pemerintah melihat bahwa sekolah merupakan suatu industri atau bisnis sehingga menjadikan sekolah yang memiliki banyak peserta didik dengan peringkat tertinggi menjadi sekolah favorit dan menjadi doktrin serta gengsi bagi orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut (Sugiyono, dkk, 2005). Melihat situasi tersebut, Romo Mangun memberikan ide atau gagasan yang lebih mementingkan kreativitas dengan konsep pendidikan sejati. Ia melihat bahwa pendidikan yang memanusiakan manusia adalah pendidikan yang merdeka atau pendidikan yang mengalami proses kultural antarmanusia (Mangunwijaya, 2004). Menurut Romo Mangun (2004), Belajar sejati merupakan suatu bentuk kesadaran yang tidak pernah berhenti meskipun peserta didik menyelesaikan sekolahnya, sehingga manusia akan terus selamanya belajar hingga akhir hayatnya. Sebelum menuju belajar sejati, dibutuhkan suasana hati yang
merdeka, dimana manusia atau peserta didik belajar tanpa adanya tekanan maupun paksaan dari pihak eksternal atau dalam artian sudah terbentuknya niat, minat, dan kemampuan untuk mencapai pada “belajar sejati” (Mangunwijaya, 2004). Untuk mewujudkan konsep belajar sejati, Romo Mangun lebih memperhatikan pada perkembangan peserta didik terutama pada nalar dan logika, rasa ingin tahu dan intuisi yang dimiliki, kemampuan dalam berkomunikasi pada sesama, memiliki kesehatan raga dan mental yang kuat, serta mempunyai hati nurani, harapan, dan cinta kasih pada sesama. Konsep dasar tersebut dapat terwujud melalui mata pelajaran yang ada di sekolah, baik mata pelajaran akademik maupun non-akademik dengan metode pembelajaran yang berbasis pada contoh maupun proyek, sehingga peserta didik mampu belajar sebagai manusia yang utuh dan menyeluruh (Khudori, 2001). Bagi Romo Mangun, anak cerdas bukanlah anak yang mampu menjawab suatu pertanyaan dari orang lain (guru, teman, orangtua, masyarakat) melainkan anak yang mampu dan berani memberikan pertanyaan dan kritis terhadap sesuatu sehingga ia paham akan ketidaktahuannya tersebut. Proses tersebut butuh 3 hal dasar dari peserta didik, yaitu eksploratif dimana anak mampu dan berani kritis dalam hal apapun, kreatif dimana anak memiliki kemampuan untuk menemukan dan mencoba hal baru serta tidak takut untuk mundur apabila ia gagal, dan integral dimana peserta didik memiliki kesadaran akan
hidupnya yang kompleks dan beragam sehingga ia dapat memaknai hidup dalam bermasyarakat (Mangunwijaya, 2004). Proses belajar mengajar dalam pendidikan sejati, tidak hanya melihat pada peserta didik saja dalam proses belajar sejati, tetapi juga pada guru yang sejati. Menurut Romo Mangun (2004), guru sejati merupakan guru yang baik dan perhatian pada peserta didik. Guru harus bisa melibatkan peserta didik dalam setiap kegiatan proses belajar mengajar. Dalam prosesnya, guru yang baik harus bisa mengajak diskusi dan menggunakan metode tanya jawab. Dalam proses tanya jawab pun guru harus bisa mengarahkan anak untuk bertanya sehingga guru bukan menjadi satusatunya sumber informasi yang didapat oleh peserta didik. Guru pun juga ikut belajar dalam sehingga tidak ada dominasi antara hubungan guru dan peserta didik, melainkan saling mengisi satu sama lain dan saling belajar sehingga tidak hanya menyampaikan secara teoritis, melainkan juga ikut mempraktekkan bagaimana jika guru menjadi peserta didik. Konsep guru sejati yang diinginkan oleh Romo Mangun bukanlah guru yang seperti komandan atau atasan yang ditakuti, bukan juga guru yang memiliki pengetahuan serba tahu akan segala sesuatu dengan memberikan materi saja tanpa memberikan diskusi pada peserta didik, melainkan guru yang harus membimbing, menuntun, dan memberikan pertanyaan pada peserta didik serta guru yang sudah seperti kakak maupun teman sehingga tidak memberikan kesan guru kejam atau
guru tergalak yang ada di sekolah. Guru juga harus memberikan materi pembelajaran yang menarik sehingga merangsang peserta didik untuk bertanya dan bereksplorasi untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri atas pertanyaannya. Itulah konsep belajar sejati dan guru sejati yang diinginkan oleh Romo Mangun, sehingga sifat ajrih-asih yang ada pada diri guru sangat diperlukan untuk menjadikan peserta didik sampai pada titik belajar sejati.
Aplikasi Pendidikan Romo Mangun Praktik pendidikan yang terjadi pada Orde Baru yang sangat tidak berpihak pada masyarakat miskin membuat Romo Mangun merasa prihatin dan harus melakukan sesuatu agar masyarakat miskin dan tertindas dapat mengenyam dunia Pendidikan. Romo Mangun berpendapat bahwa seharusnya pendidikan itu dapat menyelamatkan masyarakat dari kemiskinan, namun pada faktanya justru menambah derita bagi masyarakat miskin dengan biaya pendidikan yang mahal dan sistem pendidikan seperti militer yang hanya mengedepankan persaingan untuk menjadi yang terbaik.
Terobosan yang dilakukan oleh Romo Mangun adalah ikut melebur dan menjadi satu bersama masyarakat miskin dan tertindas serta mengamati secara langsung bagaimana kehidupan bersosial masyarakat yang tergolong miskin dan tertindas tersebut. Romo Mangun menemukan bahwa mereka yang masuk ke dalam golongan miskin dan tertindas merupakan pihak yang paling dirugikan secara langsung dan menjadikan mereka sebagai
pelampiasan dan eksploitasi para pemimpin dari masa ke masa, sehingga hidup mereka tidak bisa bergerak untuk lepas dari golongan miskin dan tertindas. Oleh sebab itu, Romo Mangun menciptakan pendidikan yang mengedepankan peserta didik untuk menghidupi hidup dengan memberikan kurikulum pohon kemerdekaan yang lebih memprioritaskan 7 modal dasar anak, yaitu pengembangan karakter, penguasaan bahasa, orientasi diri, logika kuantitatif, penguasaan piranti dan alat, bekerjasama, dan olahraga. Menurut Romo Mangun (2004), pendidikan dini dapat memekarkan seseorang dilihat dari hubungan antar mata pembelajaran dimana daya kognitif, nalar, dan logika berhubungan dengan kecerdasan berpikir; citarasa, kemampuan, dan intuisi berhubungan dengan kecerdasan emosional; berkomunikasi, bergaul, teratur dan disiplin berhubungan dengan kecerdasan sosial; dan terakhir adalah dalam pemekaran hati nurani, seperti tolong-menolong, solidaritas, pengembangan iman, budi-pekerti, sopan santun, dan cinta kasih. Hubungan yang ingin digambarkan oleh Romo Mangun ditunjukkan pada gambar 1 dimana terjadi hubungan antara segi kognitif dan segi afektif. Pada bagian otak kiri, mengkondisikan pada kemampuan dalam pengoperasian logika, analisis, dialektik, sintesis, dan segala aspek yang berhubungan dengan kuantitatif, matematika, aritmatika, ilmu tentang benda, flora dan fauna, dan terkhusus pada hal-hal yang menyangkut sains, piranti, alat, statistik, eksperimen, pengukuran, perhitungan tepat, dan rumus-rumus eksakta lainnya seperti peka bangunan, logika murni, industri,
dan teknologi. Pada bagian kanan, merupakan wilayah dari intuisi, citarasa, imajinasi, kualitas dan segala sesuatu yang berhubungan dengan bahasa seperti lambang, puisi, hal-hal yang bersifat lisan, audio-visual, musik, segi kesosialan dan sejarah manusia sehingga dapat mengarah pada identitas dan orientasi diri manusia yang hidup secara dinamis.
Gambar 1. Relasi antar mata pembelajaran Sumber: Mangunwijaya, 2004:85 Gambar 1 juga dimaknai oleh Romo Mangun sebagai gugusan yang tersusun secara organis dan harmonis dimana DUA MATA mengibaratkan bahwa manusia memiliki visi, pandangan, dan sikap baik keluar maupun kedalam sehingga manusia memiliki sikap individual seperti religiusitas, keimanan, ketakwaan, harapan, cinta kasih, rasa rukun, solidaritas, dan suka menolong. LEHER mengibaratkan bahwa manusia yang sehat haruslah memiliki badan yang sehat sehingga memiliki keseimbangan antara jasmani dan rohani.
Sedangkan HATI dimaknai sebagai sikap teguh pribadi perorangan yang diimbangi dengan rasa sosial yang tinggi tidak hanya untuk kepentingan pribadi tetapi juga untuk kepentingan yang ada di lingkungan sekitar si individu tersebut. Untuk mencapai hubungan tersebut, Romo Mangun menawarkan kurikulum alternatif yang digambarkan seperti pohon dimana batang dan akar yang kuat akan mampu menopang dahan, ranting, serta buah. Kurikulum tersebut saat ini masih digunakan untuk pembelajaran dan disebut sebagai POHON KURIKULUM MANGUNWIJAYA.
Gambar 2. Pohon Kurikulum Mangunwijaya Sumber: Mangunwijaya, 2004:88 Menurut Romo Mangun (2004), pembelajaran sosial, bahasa, budaya, sejarah, dan geografi terletak pada akar pohon. Pembelajaran pada sisi sosial haruslah memuat tentang orientasi diri dan identitas sehingga anak memiliki jati diri dan orientasi seperti apa ia nantinya. Pada pembelajaran sejarah, haruslah memuat pada sejarah kehidupan bermasyarakat, sejarah budaya, sejarah perjuangan bangsa, dan sejarah adatistiadat (lokal, nasional, hingga mancanegara).
Pembelajaran geografi haruslah memuat tentang lingkungan sekitar dari peserta didik, mulai dari dusun hingga global, termasuk pada pembelajaran geografi ekonomi, politik, sosial, budaya, dan adat istiadat. Pada pembelajaran bahasa mencakup pembelajaran dasar yaitu pemahaman dalam penggunaan bahasa baik secara lisan, tulisan, hingga bahasa tubuh. Jika peserta didik sudah memiliki dan memahami identitas dan orientasi dirinya, maka Romo Mangun menempatkan bahasa, sains, dan matematika pada batang pohon. Menurut Romo Mangun bahasa juga dapat diajarkan dalam permainan, berolahraga, berkomunikasi, dan tingkah laku. Kemampuan berbahasa juga dapat membawa peserta didik dalam memahami sains dan matematika. Kemampuan anak dalam menguasai bahasa juga dapat menopang dirinya untuk mendapatkan nilai guna dan nilai citra. Nilai guna menunjuk pada manfaat seperti apa manusia itu terampil dalam memahami dan mengolah alam, baik alam dalam diri manusia maupun alam lingkungan sekitar. Sedangkan nilai citra menunjuk kepada nilai yang lebih luhur sehingga membuat manusia semakin manusiawi, adil, beradab, budiwan, dan beriman. Akar – akar dan batang pohon yang kokoh meneguhkan pokok pohon yang memekar dalam cabang dan ranting, daun, bunga, dan buah sehingga manusia memiliki kemampuan dalam mengolah alam baik alam di dalam diri manusia maupun alam yang berada di luar diri manusia.
Demikianlah Romo Mangun mengajarkan pada guru dalam mengolah kurikulum dan unsur-unsurnya berupa mata pembelajaran yang banyak tetapi sebenarnya berpadu dalam suatu organisme tunggal demi pemekaran anak didik secara utuh, organis, dan harmonis. Demikianlah seluruh pohon kecerdasan pikir dan kecerdasan citarasa peserta didik subur berbuah.
Kesimpulan
Pendidikan yang merdeka menurut Romo Mangun adalah pendidikan yang berlangsung selama manusia hidup dan tidak terbatas pada “dunia pendidikan” sehingga proses pembelajaran dapat dilakukan kapan saja dan dimanapun manusia itu berada. Hal ini menjadikan tidak adanya paksaan dan tekanan dalam proses belajar. Peran guru pun hanya sebagai fasilitator sehingga guru berperan sebagai sosok kakak maupun teman, bukan sebagai sosok yang ditakuti. Guru juga bukan sebagai sumber utama dalam pembelajaran karena guru sesungguhnya berada di sekitar diri anak sehingga guru mampu merangsang anak untuk bertanya dan hubungan antara guru dengan anak adalah sebagai mitra belajar yang bertujuan untuk mengembangkan jiwa eksploratif, kreatif, dan integral anak.
Perjalanan panjang kisah mengenali
ANAK Oleh: Gita
“Maka kita harus mengenal sungguh-sungguh murid-murid kita, satu per satu, sifatnya, bakatnya, kekurangannya, lingkungan dekatnya, harapan, dan kemungkinan ekonomi mereka, agar kita tahu kira kira apa yang berfaedah dan memekarkan secara sejati si murid itu.” (Pendidikan Pemerdekaan hal 163)
Anak X adalah seorang anak baru di kelas. Dia tidak banyak berbicara karena mengalami trauma di sekolah sebelumnya. Menurut cerita orang tuanya, ia mempunyai riwayat sakit pada sarafnya. Waktu masih berumur 4 bulan sang anak mengalami step atau panas tinggi sampai 41o celsius. Menurut sang ibu, hal inilah yang menyebabkan ia meminum obat dari umur 4 bulan karena sering kejang. Pada perkembangan selanjutnya ketika memasuki masa sekolah sang anak beberapa kali tidak dinaikkan karena masih kesulitan membaca dan menghitung. Setelah 2 kali tidak dinaikkan maka anak ini di pindahkan ke Mangunan di kelas 4 SD. Pada awal sang anak bersekolah anak ini sangat tertutup. Tidak dekat dengan satupun teman dalam kelasnya. Lebih senang diam dan tidak bertanya ketika kesulitan. Pada waktu itu sang guru bercerita di forum guru bahwa sang anak sepertinya sangat takut ketika bertanya, entah karena apa. Sang guru yang mempunyai belief bahwa pertama-tama yang harus dibangun adalah relasi yang erat dengan murid, mulai mendekati anak-anak yang lain untuk mengajak sang anak ini bermain dan ia ikut bermain bersama mereka. Dari sanalah relasi antar teman,
relasi antar guru dan murid dibangun berdasarkan rasa aman dan nyaman yang murid rasakan bersama sang guru dan rasa persaudaraan yang dibangun bersama temanteman lain. Membangun ini tidak mudah butuh proses panjang dan konsistensi dan persistensi dan hasilnya mungkin hanya sedikit-sedikit tampak, bukan perubahan drastis. Perlahan tapi pasti di dalam hati sang anak, muncul perasaan bahwa dia sungguh menyukai sekolah barunya ini. Sampai pada akhir kelas 4 sang anak tetap takut untuk bertanya. Hingga sang guru pun pergi pindah ke sekolah lain menyisakan pertanyaan mengapa sang anak tidak pernah bertanya satu kalipun. Sang anak pun terlihat sedih karena berpisah dengan guru yang sangat disukainya. Bertemulah sang anak dengan guru baru. Guru yang sering dilihatnya di pembelajaran komputer. Sang guru yang belum pernah mengajar kelas. Sama sekali tidak punya bayangan tentang bagaimana harus menjagai “hati” anak-anak. Sang guru memulai perjalanan mengajarnya dengan melakukan beberapa kali pemetaan, mengenai kondisi anak, dan kondisi kelas, kelebihan dan kekurangan anak, pertemanan di kelas dan kondisi akademik.
Hal ini dirasa belum cukup membantu, maka sang guru memulai serial kunjungan ke- 24 anak di kelasnya. Sampailah pada keluarga si anak. Dengan wajah ceria sang anak menyambut sang guru di depan rumahnya. Menunggu sambil bermain sepeda berputar-putar di halaman. Kemudian sang anak menyuruh sang guru masuk ke dalam rumah si anak. Sang anak kemudian mengambil minum dan sepiring snack untuk diberikan kepada sang guru. Kemudian ia masuk ke kamar sambil sesekali mengintip apa yang dibicarakan sang guru dengan sang ibu. Cerita mulai mengalir dari sang ibu, tentang bagaimana ia berjuang membesarkan si anak dengan kondisi kesehatan dan trauma anak di masa lalu. Sang guru pun bercerita tentang beberapa kejadian lucu di kelas menyangkut anak, perkembangan sang anak di kelas dan sebagainya. Sang anak sesekali mengintip, tersenyum melihat sang guru dan kembali bersembunyi. Saatnya sang guru berpamitan. Sang anak kemudian keluar menjabat tangan sang guru dan mengantar sang guru pulang sampai ke jalan depan rumahnya. Sebelum sang guru pulang, anak yang jarang sekali berbicara ini mengucapkan sesuatu, “ Makasih ya Bu!” sambil melambaikan tangan. Keesokan harinya di kelas, sang anak memilih tempat duduk paling depan. Dengan senyumnya yang lebar ia menghampiri sang guru untuk menjabat tangannya. Saat pembelajaran, sang anak menghampiri sang guru untuk bertanya “ Buk, iki carane piye? Aku rung iso. “ dengan senang sang guru menemaninya untuk memahami soal. Dan iapun mulai mengerjakan soal dengan percaya diri. Saat istirahat, sang guru dan anak makan bersama teman-teman lain di kantin sekolah. Sang guru bertanya “Mas, seneng ora sekolah nang Mangunan? “.
“Seneng buk, Gurune ra galak kancane yo ra nakal-nakal” dengan tersenyum ia berkata sambil melahap makanannya. Kemudian pembicaraan mulai mengalir ke hobi dan kejadian-kejadian lucu di kelas. Dengan demikian perlahan namun pasti sang anak mulai meletakkan hatinya di sekolah barunya. Kisah diatas adalah kisah dimulainya perjalanan panjang bagaimana guru mengenali anak. Kisah perjuangan guru yang menaruh hati pada setiap anaknya. "Kisah itu kemudian yang melatar belakangi pertemuan bersejarah di Somohitan tahun 2017. Dimana menaruh hati pada anak diwujudnyatakan dalam mengenali anak." Somohitan, 2017, diadakan sebuah pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan direksi TK, SD, Laboratorium dan Yayasan dimana di sana ditemukan bersama apa yang dimaksud dengan eksperimentasi. Eksperimentasi adalah keseluruhan program pendampingan anak dari EKI (Eksploratif, Kreatif, dan Integral) menuju Ke EKI. Hal ini berarti bahwa eksperimentasi tidak hanya soal metode -metode yang diujikan namun sebuah integrasi dari bagaimana mendampingi anak. Dalam pertemuan itu tercetus 3 hal yang menjadi bagian dari eksperimentasi adalah soal pengenalan anak, pendampingan anak, dan pertanggung jawaban. Pengenalan anak adalah bagaimana anak dikenali potensi yang ada pada dirinya. Pengenalan ini berfungsi sebagai baseline dalam mengembangkan anak. Ketika anak dikenali potensinya maka guru dengan lebih akurat mampu memekarkan anak.
Pengenalan diwujudkan dalam beberapa cara, yang pertama di kelas yakni anak diamati mulai dari kelebihan, hal perlu ditingkatkan, bagaimana ia bersosialisasi dan relasi dengan lingkungannya, sifat-sifat baik apa yang menonjol dari sang anak. Yang kedua adalah di rumah yakni melalui home visit. Home visit selain berfungsi menjalin relasi dan kerjasama dengan orang tua, home visit juga berfungsi untuk melihat bagaimana pengaruh pendidikan di rumah pada sikap anak di sekolah. Orang tua sebagai pendidik pertama dan utama diajak untuk melihat apa kelebihan anak dan potensi yang ia miliki, tanggung jawab tugas rumah yang dilakukan oleh anak, dan melihat solusi bersama untuk mengembangkan anak. Mulai dari sanalah gerakan home visit tidak lagi dilihat sebagai program yang semata mata hanya untuk anak anak yang “khusus”. Melainkan menjadi bagian dari bagaimana terbentuknya relasi guru-orang tua-anak dalam rangka sekali lagi memekarkan anak. Dimulailah gerakan home visit yang dilakukan oleh semua guru pada semua murid. Perjalanan panjang mengenali anak masih berlanjut hingga hal ini sampai hari dimana hati orang tua, guru, anak diletakkan bersama untuk memekarkan anak. Selamat mengenali anak untuk semua guru!
SMP
Eksperimental Mangunan
Gambar: askara.co
Oleh: Alam Ginting Munthe
SMP Eksperimental Mangunan berada di bawah pimpinan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar. Yayasan Dinamika Edukasi Dasar beralamat di Jl Gejayan-Affandi Gang Kuwera Mrican No 14 , Santren, Caturtunggal, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Yayasan ini bergerak dibidang pengembangan pendidikan. Yayasan tersebut didirikan oleh Romo Mangunwijaya yang disapa dengan panggilan Romo Mangun. Dan sekolah yang ada di bawah naungan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar dinamakan dengan Sekolah Eksperimental Mangunan. Sejak sekolah Eksperimental Mangunan berdiri, Romo Mangun sudah berorientasi pada Pendidikan Dasar 9 tahun. Karena hal tersebut, maka Yayasan merasa perlu mendirikan Sekolah Eksperimental Mangunan tingkat SMP sebagai kelanjutan dari jenjang SD. Gagasan pendirian SMP sebenarnya sudah muncul sejak lama dari Yayasan. Namun dibicarakan secara serius mulai pada tahun 2015, dan didorong realisasinya oleh Rm Mulyatno pada tahun 2016 akhir sampai dengan tahun 2018. Pada saat proses pendirian SMP Romo Mulyatno menjabat sebagai ketua Yayasan. Banyak hal yang harus dipersiapkan dan dilakukan dalam proses pendirian SMP Eksperimental Mangunan ini. Pertama yang dilakukan panitia adalah melakukan kajian kebutuhan internal dan melakukan kajian kebutuhan masyarakat terkait untuk kelanjutan pendidikan anak mereka.
Setelah itu panitia mulai merancang metode pembelajaran, penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM), sarana dan prasarana, melakukan sosialisasi kepada masyarakat, dan mengurus ijin operasional di pemerintahan. Dalam penyiapan SDM, yayasan membuka lowongan terbatas dan berhasil mendapatkan sebanyak 8 orang SDM yang menjadi pengelola SMP Eksperimental Mangunan. Selain menjadi pengelola, mereka juga merupakan ujung tombak proses pembelajaran di SMP Eksperimental Mangunan supaya dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kedelapan orang ini yang menjadi guru sekaligus menjadi tenaga administrasi. Pada tahun 2018 proses promosi sudah mulai dilakukan ke Sekolah Dasar yang ada disekitar daerah Mangunan, Kalasan, Sleman, Yogyakarta, dan gereja- gereja yang ada di daerah Sleman. Disinilah proses penerimaan peserta didik baru dimulai untuk angkatan pertama. Juli 2018 dimulailah kegiatan belajar mengajar untuk angkatan pertama. Perjuangan para guru ini memang tidak mudah. Untuk membangun dan menyatukan kebersamaan di awal prosesnya berliku. Sering ada konflik antar pribadi. Hal ini terjadi karena para guru masih berproses melakukan penyesuaian satu dengan yang lainnya. Berproses menyatukan diri dengan anak-anak.
" Jumlah peserta didik angkatan pertama adalah 44 orang" Tetapi berkat dorongan dan motivasi yang kuat untuk keberhasilan memulai SMP Eksperimental Mangunan yang masih sangat baru ini, ditambah dengan idealisme pendidikan Mangunwijaya yang sudah mulai merasuk ke jiwa guru, semua konflik dan situasi sulit itu bisa mereka atasi bersama. Selanjutnya tumbuh kebersamaan yang terbangun secara natural membuat tim pendahulu 8 orang ini semakin solid. SMP Eksperimental Mangunan pertama kali berlokasi di Mangunan, Berbah, Sleman, Yogyakarta. Satu lokasi dengan SD Eksperimental Mangunan. Saat proses pengajuan perijinan pendirian sekolah di Dinas Pendidikan Sleman Yogyakarta, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah adanya IMB bangunan yang dipakai dalam proses pembelajaran. Karena lokasi di Mangunan bukan milik Yayasan tetapi milik desa, maka gedung yang dipakai belum memiliki IMB. Untuk memenuhi syarat kepemilikan IMB tersebut, SMP Eksperimental Mangunan berpindah ke Sorogenen, Purwomartani, Kalasan, Sleman Yogyakarta. Memakai rumah seorang warga yang sangat peduli dengan pendidikan. Warga tersebut bernama Bu Nanik. SMP Eksperimental Mangunan pindah ke Sorogenen pada tahun kedua atau tahun 2019. Proses pengurusan izin pun terus berlanjut. Akhirnya, surat izin diperoleh pada bulan April 2020.
Pada tahun 2020 puji Tuhan, Yayasan bisa membeli tanah sendiri, berkat dukungan para donatur. Pada bulan Agustus 2020 pembangunan gedung sekolah mulai dilaksanakan di lokasi yang baru. Lokasi baru ini berada di Cupuwatu 2, Purwomartani, Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Di lokasi tersebut akan ditempati oleh 3 unit sekolah Eksperimental Mangunan. Unit TK, SD dan SMP. Namun saat proses pembangunan didahulukan pembangunan gedung yang dipakai oleh SMP. Pada bulan November 2020, SMP Eksperimental Mangunan kembali berpindah lokasi ke lokasi baru, ke Cupuwatu 2, Purwomartani, Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Dalam 3 tahun SMP Eksperimental Mangunan beroperasi, menempati 3 lokasi yang berbeda, dengan mengalami 2 kali pindahan. Istimewa benar memang SMP Eksperimental Mangunan ini. Orang-orang yang berdinamika juga sungguh istimewa, istimewa kreatif nya dan istimewa kekeluargaan nya. Pada tahun keempat sekolah ini beroperasi, peminat yang bersekolah juga semakin banyak. Sehingga pihak Yayasan dan sekolah memutuskan untuk menambah rombongan belajar (rombel/kelas) di kelas 7. Yang dari awal beroperasi hanya 2 kelas bertambah menjadi 3 kelas, dengan jumlah peserta didik 78 orang. Untuk proses penambahan rombel tersebut, banyak hal yang harus dipersiapkan, mulai dari penataan ruang kelas, sarana prasarana, SDM nya, juga yang terpenting adalah izin penambahan rombel dari Dinas Pendidikan.
Gambar: gerejakalasan.org
Puji Tuhan di tahun 2021, Dinas Pendidikan melalui BAN Daerah Istimewa Yogyakarta memberikan kesempatan kepada SMP Eksperimental Mangunan untuk meningkatkan statusnya menjadi Akreditasi. Segala sesuatu dipersiapkan untuk akreditasi ini, semua guru dan karyawan bekerja sama untuk persiapan akreditasi ini. Saat pelaksanaan akreditasi, sungguh terasa komunitas pembelajar di SMP Eksperimental Mangunan. Mulai dari anak, orang tua anak, warga sekitar, alumni, tokoh masyarakat, guru dan karyawan semua ikut terlibat. Semua mendukung dan bekerjasama untuk kelancaran kegiatan akreditasi ini. Puji Tuhan di bulan Oktober SMP Eksperimental Mangunan memperoleh sertifikat akreditasi B. Sangat bersyukur, akreditasi pertama kali bisa mendapat nilai B gemuk. Dan nilai ini juga akan sangat membantu lulusan SMP Eksperimental Mangunan untuk mendaftar di sekolah negeri jenjang SMA/SMK. Proses pembelajaran di SMP Eksperimental Mangunan ini, bisa dikatakan unik, karena baru satu tahun setengah beroperasi dengan tatap muka di sekolah, terjadilah pandemi Covid-19. Anak-anak yang sangat menikmati proses pembelajaran tatap muka harus mengalami pembelajaran secara daring. Model pembelajaran pun langsung di ubah, yang awalnya fokus mapel berubah menjadi model pembelajaran proyek. Lulusan pertama di tahun 2021 termasuk peserta didik korban Covid-19.
"Penuh perjuangan memang dalam proses operasi SMP Eksperimental Mangunan ini."
Namun berkat kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak sekolah ini bisa tetap beroperasi dengan lancar, baik dan semakin memekarkan 7 modal dasar anak, bahkan 7 modal dasar gurunya sendiri. SMP Eksperimental Mangunan semakin dikenal, dicintai dan diminati banyak orang. Terimakasih Romo Mangun untuk perjuangan Romo memulai berdiri nya Sekolah Eksperimental Mangunan. Terimakasih Romo Mul atas keputusan mendirikan SMP Eksperimental Mangunan. Terimakasih untuk para pejuang berdirinya SMP Eksperimental Mangunan.
Salam dari kami guru berjuang meletakkan hati.
Alam Ginting Munthe
yang
terus
Petualangan Roro dan Bhre
Gambar: pinterest
Oleh: Raras Ruming Pagi ini merupakan pagi yang sibuk bagi si kembar Roro dan Bhre. Jam menunjukkan pukul 6 pagi, tetapi Roro dan Bhre sudah sampai di Stasiun Maguwo. Mereka menikmati indahnya bangunan stasiun yang ternyata merupakan salah satu benda cagar budaya yang masih terawat hingga kini. Setelah puas menikmati indahnya Stasiun Maguwo, Roro dan Bhre mengayuh sepedanya ke arah timur, mengikuti rel kereta api. Sampailah Roro dan Bhre di sebuah kompleks bangunan Jawa yang terlihat sudah tidak terawat lagi. Bangunannya terlihat sudah tidak terawat. Banyak rumput liar yang tumbuh di halaman depannya. Pendopo yang sudah mulai rapuh menandakan usianya yang sudah sangat tua. Roro mulai berkeliling ke dalam puing-puing, dan bertemu seseorang yang sedang mengumpulkan ranting untuk kayu bakar. Roro mendekatinya dan memberanikan diri untuk bertanya.
“Permisi, nuwun sewu, Pak, numpang bertanya, boleh Pak?” “Eh, lho sopo iki? Kok ono bocah blusukan tekan kene?” “Ndherek nepangaken, kula Roro, niki kanca kula Bhre” “Owalah, ayo ngobrol ning Pendopo kae wae, ojo ning kene, akeh lemut.” “Nggih Pak.” Jawab Roro dan Bhre bersamaan, sambil membantu untuk membawakan ranting-rantingnya. “Gimana, Nduk, Le, mau tanya apa tadi? Oh ya, saya Pak Tris.” Jawab Bapak itu dengan ramah. “Ini Pak, kami berdua baru saja berkeliling di daerah sini, kok menemukan kompleks bangunan ini. Lalu kami penasaran, sebenarnya ini bangunan apa ya Pak?” Tanya Bhre. “Dulu, ini bangunan SD Eksperimental Mangunan, dan SMP Eksperimental Mangunan, kalau TK Eksperimental Mangunan tidak jadi satu lokasi, tapi sekarang sudah pindah sekolahnya. Tanahnya milik kas desa sini, ndhuk, le, tapi tidak lagi terawat sepeninggal sekolah itu pindah.”
Gambar: primahapsari.com
Bhre mendengarkan cerita Pak Tris sambil melihat suatu tempat, dan tibatiba muncul pusaran angin. Bhre spontan mendekatinya. Sayup-sayup terdengar suara Pak Tris dan Roro yang memperingatkan untuk tidak mendekati pusaran angin itu, tapi tidak dihiraukan oleh Bhre. Kemudian Bhre tersedot oleh pusaran angin yang akhirnya membawa Pak Tris dan Roro masuk kedalamnya. Sambil mencoba meraih tangan Bhre, Pak Tris memegang tangan Roro dengan erat. Namun sepertinya mereka masuk ke dimensi lain, seakan baru saja masuk ke dalam mesin waktu. Angin berhenti berputar, dan ternyata membawa mereka ke SMP Eksperimental Mangunan yang berada di Sorogenen. Melihat hiruk pikuk memindahkan barang, Pak Tris bertanya kepada salah satu kuli panggul yang ada. “Maaf mas, ini betul di SMP Eksperimental Mangunan ya? Lalu, kenapa barang-barangnya dipindahkan?” “Oh, SMP nya mau pindah ke sekolah baru pak, Monggo kalau mau ikut bisa bareng sama kami ke lokasi baru.” “Oke pak, kami ikut”. Ucap Roro, Bhre, dan Pak Tris bersamaan. Sesampainya di lokasi baru, mereka membantu menurunkan meja dan kursi. Kemudian mereka bertemu dengan Pak No, penjaga kompleks baru Sekolah Eksperimental Mangunan. Pak No menjelaskan kepada Roro, Bhre dan Pak Tris tentang perkembangan sekolah Eksperimental Mangunan dari tahun ke tahun dengan hingga sore menjelang. Terlihat di sudut limasan, sebuah pusaran angin kecil.
Kemudian Pak Tris mengajak Roro dan Bhre untuk mendatangi pusaran angin itu dan meminta Roro dan Bhre pulang. Satu pesan dari Pak Tris, supaya mereka menyimpan pengalaman ini hanya untuk mereka saja, tidak boleh ada orang lain yang mengetahui selain mereka. Roro dan Bhre menyepakatinya dan berpamitan sebelum malam menjemput.Kemudian Pak Tris mengajak Roro dan Bhre untuk mendatangi pusaran angin itu dan meminta Roro dan Bhre pulang. Satu pesan dari Pak Tris, supaya mereka menyimpan pengalaman ini hanya untuk mereka saja, tidak boleh ada orang lain yang mengetahui selain mereka. Roro dan Bhre menyepakati hal tersebut dan berpamitan sebelum malam menjemput. Sungguh tak terasa pengalaman hari ini yang membuat Roro dan Bhre semakin bangga akan usaha untuk melestarikan kebudayaan lokal yang sudah ada sebelumnya, dan lebih bersemangat dalam menimba ilmu untuk menggapai cita-cita.
Belajar dan Pengalaman Oleh: Clara Berawal dengan ketidaktahuan, berangkat menuju kantor yayasan dengan berbekal ketakutan. Setelah hampir tiga bulan tidak melakukan apa-apa dan bangun siang, akhirnya memaksa diri untuk bangun pagi dan belajar lagi. Tidak banyak yang dipikirkan dan tidak ada gambaran mengenai apa yang akan dihadapi. Perasaan seperti ini pastilah pernah dirasakan oleh semua yang menjalani hal yang sama. Ada sedikit rasa lega mengetahui kalau tidak akan menjalani semua sendirian. Bertemu dengan orang-orang baru yang akan menghadapi hal sama, memudahkan membuka obrolan. Saat itu tidak ada yang tahu bahwa hal yang menunggu di masa depan akan membuat kami terpontangpanting. Setelah beberapa saat menunggu, barulah kami berkumpul dan memulai kegiatan ‘belajar’. Hari pertama, semua yang hadir pulang dengan tubuh dan pikiran yang sangat lelah. Tidak ada satupun ekspektasi yang sesuai dengan apa yang dibayangkan. Menyadari masih banyak kekurangan tentu menyadarkan kebutuhan akan belajar. Diberi kesempatan untuk belajar, tentu perlu dan baiklah dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Walaupun terdengar mudah, belajar sama artinya dengan mengakui segala kekurangan yang dimiliki. Belajar berarti berani mengakui dan mengevaluasi diri sendiri. Terdengar mudah, namun ternyata, perlu proses yang panjang sampai seseorang berani mengakui hal tersebut. Pada hari itu, kami semua diajak untuk bergabung ke dalam komunitas yang membuat kami menjalani proses tersebut. Berada di dalam suatu komunitas berarti mengikuti dinamika yang ada dan melihat proses yang dilaksanakan oleh anggota-anggota yang berada di dalamnya. Melihat proses yang terjadi di dalamnya berarti belajar dari dinamika yang terjadi. Setelah berdinamika bersama, ada satu hal yang saya sadari. Walaupun berasal dari komunitas yang berbeda nama, namun tetap memiliki satu sumber yang menjadi acuan dan panutan. Setelah mengikuti dinamika di tiga unit yang berbeda, ada beberapa hal yang menjadi pelajaran penting dan tentu saja menjadi refleksi penting untuk saya. Ada beberapa cerita yang akan saya berikan mengenai pengalaman saya saat berada di kelas-kelas Sekolah Eksperimental Mangunan.
Proses dan Pengalaman Saat ditanya mengenai apa yang dibutuhkan oleh seorang guru, pastilah salah satu jawaban yang akan muncul adalah kesabaran. Guru itu harus sabar, harus bisa tenang dalam menghadapi murid dan kelas yang hingar bingar. Guru itu harus sabar dan tidak mudah terbawa emosi. Jawaban itu jelas menjadi sebuah template yang sering muncul dan bahkan juga sering diucapkan oleh calon guru itu sendiri. Namun, bagaimana seorang guru maupun calon guru memaknai sebuah kesabaran secara nyata? Setelah mencoba berdinamika dengan beberapa kelas, kesabaran dapat diartikan sebagai memaklumi. Memaklumi butuh kesabaran. Sekali lagi, hal ini terdengar biasa dan menjadi sesuatu yang akan ditulis oleh calon guru jika ada pertanyaan "Apa yang harus dimiliki seorang guru?". Tapi, sampai sejauh mana dulu saya memaknai arti kesabaran? Tentu hanya sampai batas formalitas. Itu sebelum belajar dan masuk ke dalam kelas yang ada di Sekolah Eksperimental Mangunan. Ternyata, kesabaran itu butuh dilatih. Menjadi sabar juga butuh proses. Ada kalanya seorang guru benar-benar jengah dan ditantang untuk lebih melatih kesabarannya lagi. Namun, percaya pada proses dan dinamika menjadi kunci untuk terus belajar menjadi sabar.
Belajar Seumur Hidup Ada satu kalimat khas yang selalu diucapkan oleh guru di Sekolah Eksperimental Mangunan. Setiap kali ada tamu yang datang berkunjung atau ada pendatang baru, kalimat ajaib tersebut selalu muncul dan terucap dari setiap guru yang ditemui. Kalimat ini menjadi penguat dan pelajaran bagi siapapun yang mendengarnya. Terkadang, kalimat ini bahkan bisa menampar orang-orang yang merasa lebih pintar dan lebih baik dari yang lain.
Kalimat ajaib itu ialah, “Tidak ada senioritas disini, kita semua belajar bersama kok”. Singkat, namun tanpa disadari oleh si pengucap sendiri, kalimat tersebut membawa banyak makna dan kekuatan. Saat seseorang merasa lebih berpengalaman dan lebih lama menjalani sebuah hal, perasaan lebih unggul dan lebih pintar akan muncul dalam hatinya. Hal ini membuat seseorang tersebut tidak mau belajar dan merasa hanya perlu menggurui saja. Terdengar biasa namun pada kenyataan hal ini sering sekali terjadi dan menjadi penghambat seseorang untuk belajar. Terdengar sepele namun hal tersebut bisa menjadi penghambat seseorang untuk mengembangkan dirinya. Hal ini tidak saya temukan di Sekolah Eksperimental Mangunan. Banyak hal baru dan tentu saja berharga yang saya dapatkan. Menjadi seorang guru berarti selalu mencari hal baru. Menjadi seorang guru berarti mencari tahu tentang keadaan zaman dan lingkungan yang terus berubah. Guru haruslah paham akan perubahan yang terjadi di sekitarnya dan beradaptasi dengan keadaan. Menjadi seorang guru berarti terus belajar tentang hal baru. Menjadi seorang guru berarti menjadi pemelajar seumur hidup. Mengikuti proses yang terjadi menyadarkan bahwa banyak PR yang perlu diperhatikan saat menjadi seorang guru. Menjadi seorang guru berarti menjadi murid. Tidak ada hal lain yang dapat memberikan pelajaran mengenai hal tersebut selain merasakan sendiri proses dan pengalaman tersebut. Mendapatkan pengalaman tersebut berarti semakin menyadari panggilan sebagai seorang pendidik. Banyak hal yang akan menjadi pelajaran dan yang perlu dipelajari, menjadi seorang guru berarti menyadari panggilannya sebagai seorang pendidik.