Antologi Ekspedisi Arsitektural Nusa Tenggara Timur

Page 1

ANTOLOGI EKSPEDISI ARSITEKTURAL NUSA TENGGARA TIMUR

WAE REBO Universitas Diponegoro



‌dan biarkan kami merangkainya, tidak hanya menghadirkan realita, namun membalutnya dengan rasa dan asa.



ANTOLOGI EKSPEDISI ARSITEKTURAL NUSA TENGGARA TIMUR

WAE REBO

Penulis: Agus Riono Ladita Putri

Editor: Nabila Ilmi Hakimah Vinisora Sofrania Dini Ondang Gifari C Alifia Dian F

Desain Sampul: Ria Ariyanti Oktora

Desain grafis konten: Ria Ariyanti Oktora Garda Ryan P Nabila Ilmi Melinda Fauziyah

ii


Konten Permulaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

v

TUJUH: Mendekatkan Diri Kepada Sang Pengasuh . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

1

- Ondang Gifari C

PAGI PERTAMA DI WAE REBO . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . - Nabila Asti Swandari

5

SEMANGAT KAMI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

9

- Sagita Hanan

HIDUPLAH TANAHKU . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

13

- Garda Ryan P

WAE REBO . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

17

- Robby Sinaga

HANYA KETIADAAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

21

- Syafrudin Sidiq

BENDERA DI MBARU NIANG . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

25

- Aliya Shabrina Fairuzi

WANITA WAE REBO . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

29

- Vinisora S

ANJING KAMPUNG . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

31

- Fadhlan M Hithah

ORANG WAE REBO . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

35

- Miranda N Tsaniya

CERITA DI BALIK RUMAH MBARU NIANG . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

39

- Muhammad Fariz Hilmi

SUDAH MALAM DI WAE REBO . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . - Shafira Eka H

43


KIDUNG SYUKUR DI WAE REBO . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

45

- Mohamad Agus Riono

SISI LAIN TIMUR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

49

- Afrianto Andika

DESA WAE REBO: Dibalik Istana Maro . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

51

- Ria Ariyanti O

A SHORT NOTE OF PICTURE TAKER . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

55

- Melinda Fauziyah

CERITA WAE REBO: Laurents dan Mero Si Kucing . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

59

- Willy Imam

KELUARGA BARU . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

63

- Eko Budi Prasetyo

WAE REBO: Menemukan dan Ditemukan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . - Nabila Ilmi Hakimah

65

In Time . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . - Hasan Abdul Aziz

69

SATU BANGSA : Indonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

75

- Ladita Putri Sulviawati

SECANGKIR KOPI DARI INDONESIA TIMUR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

29

- Ado Andang

Sketsa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . - Budi Sudarwanto

81

RINDU KAMI ... Agustus Lima Belas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

85

- Resza Riskiyanto

Rerekam Perjalanan dalam Sketsa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . -Agung Dwiyanto

87

MEMORI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

95

iii



Permulaan Ditulis Oleh Mohamad Agus Riono

...negeri di atas awan Nenek moyang kita nampaknya eklektik dalam menanggapi persoalan kontekstual daerahnya, dalam hal ini arsitektur. Mereka berhasil mendirikan gudang senjata bagi para calon sarjana arsitek untuk menyiapkan bekal sebelum berperang. Ya, kita masih bisa menemui manifestasi mahakarya arsitektur vernakular di pelosok-pelosok negeri. Sebuah negeri di atas awan. Ceritanya sudah sering kami dengar, namun mata ini belum sama sekali melihatnya langsung. Wae Rebo, sebuah desa adat suku Manggarai yang masih kental dengan kultur dan budayanya. Ya, desa ini bukan monumen. Desa ini mempunyai living culture di dalamnya, sehingga amat jelas bahwa terdapat interaksi antara tradisi dengan arsitektur disana.

...agustus: berangkat! Sampai tiba waktunya di tahun ketiga kami kuliah, kesempatan itu datang. Dengan berlatar belakang kuliah kerja lapangan, kami sekelompok mahasiswa Arsitektur Undip beserta tiga orang dosen membulatkan tekad untuk mengunjungi “sekolah� bagi mereka yang ingin mendalami khasanah arsitektur vernakular negeri ini. Agustus, bulan sakral bagi bangsa ini pun kami pilih sebagai waktu berkunjung kami. Antusiasme kami pun semakin tidak terbendung. Bagaimana tidak? Kami punya kesempatan untuk merayakan hari kemerdekaan Ibu Pertiwi bersama dengan masyarakat Wae Rebo. Meskipun kami juga tidak boleh lupa bahwa kedatangan kami ialah untuk belajar arsitektur dan merasakan tinggal di ruang hidup yang sama dengan warga setempat.

v


...ingatan dan sudut pandang Namun, kali ini kami tidak lagi hanya berbicara arsitektur. Perjalanan kami ke Wae Rebo nyatanya memberi kami pelajaran yang lebih dari itu. Memberikan memori yang berbeda-beda pada setiap kepala. Ada yang waktu itu baru pertama kali naik pesawat, ada yang waktu itu baru pertama kali naik kapal ferry, ada pula yang mungkin bahkan baru pertama kali mengarungi liak-liuk jalan berbukit dengan naik shelter bus. Ada yang merinding saat menyanyikan lagu wajib nasional bersama dengan penduduk setempat-setelah sekian lama tidak melaksanakan upacara semenjak duduk dibangku kuliah. Ada yang bersahabat dengananak-anak. Ada yang tidak mandi karena tak tahan dingin. Kami bisa saja terkalut ketika harus mengingat kembali agustusan kala itu. Di sisi lain, kami belajar bagaimana melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda pula. Hidup dalam satu wadah selama tiga malam mungkin terdengar singkat, tapi bagi kami, pengalaman ini patut untuk diceritakan. Agar momen ini, paling tidak, dapat memberi inspirasi orang banyak bahwa bumi pertiwi tidak akan pernah berhenti membuat kita terkagum. Baik manusianya, tempat hidupnya serta budayanya.

...antologi Antologi? Kami melakukan perjalanan arsitektural, tapi mengapa demikian? Kami tidak ingin pragmatis, dan terbiasa untuk tidak terima begitu saja. Sehingga kami ingin memberikan angle yang berbeda, mengutarakan denganc ara yang tidak biasa, dan adalah hal yang puitis ketika kami berhasil menceritakan sesuatu dengan cara yang berbeda dari biasanya. Secara harfiah, antologi memiliki arti karangan bunga. Perjalanan arsitektural tersebut meninggalkan kenangan dan rasa tersendiri bagi kami. Kenangan dan rasa, yang ditangkap oleh indra, dan di terjemahkan dalam uraian kata ataupun goresan gambar mungkin tak akan pernah cukup untuk mendeskripsikannya. Ya, kami ingin menjadikan pengalaman kami sebagai sebuah rangkaian akan berbagai sudut pandang, bukan hanya tentang arsitektur, bukan hanya tentang budaya, tetapi juga interpretasi dari seorang manusia, yang memiliki banyak sisi. Oleh karena itu, pengalaman ini akan menjadi sebuah antologi, sebuahkaranganbunga, dengan berbagai karya didalamnya, menggambarkan keindahan akan fenomena dan menceritakan sebuah kisah yang hidup didalamnya.


Kami, sekelompok mahasiswa Arsitektur Undip berusaha mengekspresikan segala sudut pandang kami terhadap perjalanan luar biasa ini. Kami mencoba merangkum perspektif akan makna. Kami ingin perasaan kami ini diterjemahkan dalam rangkaian kata. Kami juga tidak ingin melulu menceritakan semuanya dalam bentuk visual dengan konteks yang sama. Karena kali ini, keinginan akan membahasakan pengalaman luar biasa ini tidak bisa lagi terbendung. Semoga keinginan yang sulit dibendung ini dapat menghidupkan arus deras sehingga dapat menghanyutkan. Ya, kami ingin para pembaca ikut terhanyut dalam sekumpulan rangkaian kata-kata kami. Kami ingin goresan sketsa dan foto pada buku ini semakin melantangkan cerita.

vii


- topi

petua

lang

-b

an ta l

leh

er

- cerobong asap

ing

-b un ga

- kap

al fer i

- carrier

- baling-bal

- se

pat

uh ikin

g

sepatu

-s

lay er


- kopi wajib

en -b

num - pe

- ijuk niang

de

ra p

us

ak a

- gendang

buk i kop

ng rotan

- to

- keranja

pi s

apu

- kendi

-g on g

-k ain

san

gk e

-g en d

an

gs

akr al

- biji kopi


“Sebuah keterkaitan hubungan antara manusia satu dengan yang lain, manusia dengan Tuhannya, hingga manusia dengan Tuhannya yang menghasilkan iklim positif dengan lingkungan sekitarnya dapat dijelaskan dengan runtun dan kompleks serta menggugah di zaman-zaman negeri yang semakin diambang batas.� – Ondang Gifari C


TUJUH: Mendekatkan Diri Kepada Sang Pengasuh Memasuki Wae Rebo berarti memasuki kehidupan masyarakatnya, menuju perkenalan dengan segalanya yang menjadi sederhana, bersalaman denga njiwa-jiwa yang santun dalam perangai dan berkata. Sikap-sikap yang ada sekarang tentunya lahir dari proses panjang ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya, langkah panjang sekian hitungan waktu yang tidak terkira untuk mencari hingga membentuk tradisi. Sebuah eksperimen -percobaan yang bersistem dan berencana, trial and error hingga mendapatkan hasil yang memuaskan, angka-angka sempurna. Tentunya banyak sekali faktor yang melatar belakangi timbulnya capaian sempurna tersebut, bisa jadi salah satunya adalah tradisi yang merupakan proses rutin komunikasi dengan leluhur berperan menjaga kesempurnaan itu tetap pada jalannya. Tidak sulit untuk mendekatkan diri lebih kepada sosok bagian tersebut, bagi yang mengenal tentang budaya lokal masyarakat setempat tentunya terbiasa dengan hal-hal yang berbau tradisional, mistik, dan jauh dari capaian akal manusia. Tidak perlu terkaget-kaget dengan bahasan seputar sesaji, ritual, dan hal-hal ghaib lainnya. Karena yang ada dan tiada hadir beriringan. Hitungan jam kita bawa mundur kembali ke suasana obrolan ditemani kopi hangat bersama Bapak Yos dan Bapak Vitalis dalam balutan kabut-kabut tipis WaeRebo. Jam-jam dimana hal-hal abstrak yang berada diawang-awang akhirnya mendarat, mengendap, dan menjadi ilmu yang dekat dan berada dalam kehidupan kita sehari. Obrolan tentang Wae Rebo beserta penjelasan sosio-kulturalnya akhirnya menjadi sekian latarbelakang pemandangan dari banyak sisi. Mulai dari agama hingga isu-isu lingkungan yang dapat diimplementasikan di zaman post-modern ini. Ketika alam dan Tuhan semakin berjauhan, tradisi ternyata membawa keduanya menjadi lebih dekat. Sederhananya dengan mendekatkan kepada Tuhan, alam akan semakin terjaga. Cukup untuk menjawab musibah-musibah di bulan-bulan terakhir yang menimpa negeri ini, rasa-rasanyaTuhan benar-benar sedang murka terhadap kita. Dia begitu ingin sekali untuk marah karena bagaimana cara kita mengenal Tuhan tidak diaplikasikan benar-benar dengan bagaimana cara kita mengenal alam, yang menyentuh kehidupan.

1


Masih teringat benar bagaimana Bapak Yos menjelaskan tentang peran angka tujuh dalam kehidupan masyarakat Wae Rebo. “Tujuh dalam masyarakat Wae Rebo sangat dikenal betul. Tujuh abjad dari Wae Rebo.. W-A-E-R-E-B-O. Tujuh yang membentuk nama dari desa .. Tujuh rumah Niang yang melingkari compang, melingkar mengitarinya sebagaipusat .. inti sebuah desa .. Tujuh rumah yang mewakili tujuh lokasi sakral yang berbeda .. Polo, Pontono, Regang, Ulu Wae Rebo, Golo Ponto, Golo Mehe, dan Hembel .. yang lokasinya jauh disana, disana, dan disana� Angka tujuh yang menjadikan keterkaitan antara nama sebagai identitas diri, rumah sebagai tempat tinggal, dan lokasi lain yang jauh disana sebagai penghargaan kepada sekitar menjadikan hubungan yang dapat diartikan sendiri sebagai komunikasi vertikal-horisontal antara manusia yang satu dengan yang lain serta manusia dengan Sang Pengasuhnya, Tuhan. Hubungan yang seimbang, tidak berat sebelah ataupun tidak ada yang lupa di salah satu sisinya. Bagaimana kita mengenal Tuhan seharusnya selaras dengan menghargai manusia yang lainnya, menjaga lingkungan sekitar. Obrolan pagi menuju siang di Wae Rebo itu seakan menjadi kritikan yang berbuah tamparan keras terhadap kita yang lupa akan halhal diatas, Hubungan vertikal-horisontal yang mulai dilupakan, disingkirkan, dan ditinggalkan tersebut. Hubungan antara tujuh abjad nama dengan tujuh rumah Niang dapat dijelaskan sebagai proses menghargai diri sendiri. Menghargai keluarga sendiri, lingkungan sendiri tanpa perlu untuk menyombongkan diri. Abjad vokal dan konsonan tidak perlu saling berebut mencari posisi, melainkan bersanding untuk saling melengkapi. Begitupun perhargaan kepada diri sendiri, tentunya sebelum kita berangkat untuk menghargai orang lain harus dapat memahami diri sendiri. Memahami terlebih dahulu bagaimana diri kita, sebelum memahami yang lain. Memahami bagaimana bertutur kata dan bertingkah laku harus menjadi cerminan diri sendiri terlebih dahulu. Tujuh rumah Niang yang memutar di sekeliling compang dapat diartikan sebagai tahap lebih lanjut dari penghargaan kepada diri sendiri. Selangkah lebih maju yaitu menghargai manusia yang lainnya yang akhirnya timbul rasa memiliki bersama, persatuan. Satu-satu bersama untuk saling menjaga yang lain, memandang yang lain, tanpa perlu saling membelakangi. Compang yang dikenal masyarakat setempat sebagai tempat sakral dan utama menjadi pusat energi desa, seakan mengajak berputarnya kehidupan di sekitarnya untuk menjadi komunikasi yang harmonis. Ibaratnya dapat diterjemahkan menjadi bahasa lebih sederhana menjadi sebuah perputaran kehidupan yang harmonis dan berpusat pada inti kehidupan yaitu Tuhan.


Mendekatkan diri kepada Tuhan tentunya harus diimbangi dengan perilaku saling menghargai antar sesama, kepada manusia yang lain. Hal-hal tersebut yang mulai dilupakan di tahuntahun akhir ini. Kita sedang sibuk bertengkar atas nama Tuhan, sibuk mencari siapa yang paling benar, pada akhirnya berakibat saling cela satu salam lain hingga dalam tahap paling parah kita dapat saling bunuh satu sama lain. Sebuah realita yang harusnya tidak perlu ada bila kita benar-benar mengenal Tuhan. Wae Rebo sekali lagi dapat menerjemahkan hubungan harmonis antar sesama dari penataan posisi rumah yang berpusat pada inti desa, compang. Membuat bahasan hubungan manusia dengan manusia yang lain serta manusia dengan Tuhan menjadi semakin dapat dijangkau indera, karena didekatkan dalam kehidupan sehari-hari serta diaplikasikan dalam kegiatan. Masing-masing rumah Niang dijelaskan mewakili tujuh lokasi sakral yang berada di banyak tempat, selain berjauhan tentunya menyebar ke penjuru yang lain membentuk sebuah pemahaman bahwa sebuah lingkungan dalam halini Wae Rebo dapat memberikan sumbangsih kepada sekitar, merawat dan menghargai sekitar, bukan membuat rusak lingkungan di sekitarnya. Dapat dipahami bahwa tujuh tempat yang bernama Polo, Pontono, Regang, Ulu Wae Rebo, Golo Ponto, Golo Mehe, serta Hembel yang berlokasi di sekitar Wae Rebo tetap diperhatikan keberadaanya. Tetap dijaga kelestariannya dengan ritual rutin yang dilakukan di compang. Polo, Pontono, Regang, Ulu Wae Rebo, Golo Ponto, Golo Mehe, dan Hembel yang merupakan nama dari tempat-tempat lain berbentuk tembusan sungai di bawah batu, sumbermata air di area kebun, hutan dan lembahnya, puncak gunung tertinggi, bukit-bukit besar, serta pohon kayu besar merupakan perwakilan dari lingkungan-lingkungan alam yang perlu kita jaga di negeri ini. Air, hutan, pohon, dan energi yang tersimpan dalam tanah dapat dijaga betul oleh masyarakat Wae Rebo lewat tradisi ritual yang diadakan rutin. Wae Rebo dapat memberikan contoh besar dalam memaknai ritual bukan hanya sampai bahasan menghargai leluhur saja, melainkan menghargai lingkungan sekitar. Menjaga kepercayaan leluhur dengan cara menjaga kehidupan lingkungan sekitar. Sekali lagi, di zaman sekarang hal tersebut yang sering kita lupakan, bahwa manusia yang bermartabat tentunya berperilaku menghargai dan menjaga lingkungan alam di sekitarnya. Hingga pada tahap akhir, kita sadar betul bahwa tradisi kebanyakan yang hadir dalam kehidupan bermasyarakat ternyata memiliki banyak sisi yang dapat digali kaitanya dengan apa saja, bisa jadiakan menyentuh sisi lingkungan, bisa juga dapat dilihat dari sisi-sisi kemanusiaan. Tentunya bahasan di atas merupakan perputaran logika sekaligus dialog batin pribadi terhadap hal-hal yang dinilai masyarakat yang mengaku modern tetapi berpikiran sempit terhadap perkembangan kesejarahan kita, tradisi. Tradisi yang dibahasakan oleh Wae Rebo dapat menyentuh dan bermanfaat dari banyak sisi, tentunya diharapkan dapat bermanfaat untuk masa-masa nanti. Sebuah keterkaitan hubungan antara manusia satu dengan yang lain, manusia dengan Tuhannya, hingga manusia dengan Tuhannya yang menghasilkan iklim positif dengan lingkungan sekitarnya dapat dijelaskan dengan runtun dan kompleks serta menggugah di zamanzaman negeri yang semakin diambang batas.

3


“Bagaimana bisa daerah yang yang tidak dipedulikan negaranya sendiri, desa yang berada di tempat yang jauh terpencil dimana tidak diketahui oleh sebagian besar penjuru bangsa...Bagaimana bisa Wae Rebo membuat saya merasa lebih mencintai Indonesia, ketika saya berada di tempat yang saya anggap jauh dari kata Indonesia.� – Nabila Asti Swandari


PAGI PERTAMA DI WAE REBO Hawa dingin yang menusuk dan suara riuh gema obrolan orang-orang membuat saya--sedikit terpaksa--membuka mata dari tidur lelap selepas pendakian semalam. Rasa nyeri di kaki dan pinggang masih terasa jelas saat saya bangun, tapi entah mengapa rasa nyeri itu perlahan hilang ketika saya mendongak keluar melalui jendela rumah baca karya Yayasan Rumah Asuh tempat saya dan teman-teman tidur. Disana, beberapa puluh meter lebih rendah dari tempat saya berada, berdiri 7 bangunan yang selama ini hanya bisa saya lihat melalui layar kaca. Kumpulan Mbaru Niang dari Desa Adat Wae Rebo. Masih belum sepenuhnya percaya, saya, yang sama sekali belum pernah mendaki gunung, berhasil mencapai Desa Wae Rebo setelah melewati track curam berbatu sepanjang + 9 KM. Pagi ini semua orang terlihat sangat bersemangat dan antusias. Bahkan air sedingin es dalam bilik setengah terbuka itu pun tidak menyurutkan niat dari beberapa mahasiswa KKL NTT untuk mandi. Tentu saja saya bukan bagian dari beberapa mahasiswa itu, tidak untuk pagi ini. Setelah membersihkan diri, sarapan, dan menikmati secangkir kopi khas hasil panen masyarakat Wae Rebo (yang kemudian menjadi kebiasaan selama di sini) kami semua bergegas turun menuju kawasan Istana Maro dengan semangat.

“Tujuh belas Agustus tahun empat lima Itulah hari kemerdekaan kita Hari merdeka nusa dan bangsa Hari lahirnya bangsa Indonesia..�

5


“Pagi itu, dalam beberapa menit dari rangkaian Upacara Kemerdekaan RI saya merasa masyarakat dan Desa Wae Rebo mengajarkan banyak hal. Tidak perlu menerima apapun untuk bisa memberikan sesuatu. Tidak perlu melakukan sesuatu yang besar untuk menunjukkan rasa cinta dan apresiasi terhadap negara, karena terkadang justru sesuatu yang kecil dan sederhana tapi penuh ketulusan itu yang lebih berharga.�

Ya. Hari ini adalah hari Senin tanggal 17 Agustus 2015, tepat tahun ke 70 sejak Indonesia merdeka. Dari kejauhan terdengar sayup-sayup suara anak-anak kecil menyanyikan lagu Hari Merdeka. Suara nyanyian itu kian terdengar jelas dan nyaringseiring semakin dekatnya saya dengan kerumunan anak-anak Wae Rebo berseragam merah putih. Tanpa saya sadari, saya sudah berada di tengah kerumunan mereka ikut menyanyikan lagu kebangsaan dengan lantang.


Sama seperti daerah lain di penjuru Indonesia, Desa Wae Rebo juga melaksanakan Upacara Kemerdekaan Republik Indonesia. Ikut merayakan kemerdekaan di sini memang merupakan salah satu tujuan kami berkunjung. Tapi tidak sedikitpun terlintas dipikiran saya anak-anak dan masyarakat Wae Rebo akan seantusias dan sesemangat ini dalam mempersiapkan upacara kemerdekaan. Lagu-lagu kebangsaan tidak ada hentinya dinyanyikan oleh anak-anak Wae Rebo sementara para tetua Wae Rebo dan rombongan Yori Antar dari Yayasan Rumah Asuh bekerja sama untuk memasang bendera pada bambu-bambu dan ujung atap mbaru niang serta mempersiapkan prosesi upacara. Tanah lapang dekat compangsudah terisi penuh oleh anak-anak, masyarakat Wae Rebo, mahasiswa KKL NTT UNDIP, dan rombongan Yayasan Rumah Asuh yang membentuk barisan. Sekali dua kali latihan dilakukan sebelum upacara yang sebenarnya akhirnya dimulai. Sang Saka Merah Putih dibawa bersama oleh para tetua adat dan beberapa perwakilan Rumah Asuh untuk dikibarkan. Bendera merah putih yang dipasang pada bambu itu dibawa keatas salah satu mbaru niang dengan cara yang sangat menantang, diiringi oleh nyanyian lagu Indonesia Raya oleh para peserta upacara. Selama prosesi pengibaran bendera adasesuatu yang berbeda yang saya rasakan. Sudah lama rasanya saya tidak mengikuti upacara peringatan hari kemerdekaan. Ini adalah kali pertama saya melakukan upacara lagi setelah 3 tahun lebih. Dan ini juga kali pertama saya mengikuti upacara dengan khidmat, bahkan mungkin yang paling khidmat seumur hidup saya. Saya menjadi semakin emosional saat bendera mulai naik diatas mbaru niang. Semuanya kembali berputar di kepala saya. Faktanya bahwa saya sekarang sedang berdiri di Wae Rebo yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan sama sekali akan berhasil saya capai dan melakukan upacara kemerdekaanbersama dengan orang-orang yang saya kagumi di tempat yang juga tak kalah mengagumkan, rasanya masih sulit untuk dipercaya. Atmosfer yang tercipta atas semangat dan antusias memasyarakat Desa Wae Rebo dalam menyambut kemerdekaan Indonesia membuat saya terharu hingga meneteskan air mata. Bagaimana bisa daerah yang yang tidak dipedulikan negaranya sendiri, desa yang berada di tempat yang jauh terpencil dimana tidak diketahui oleh sebagian besar penjuru bangsa, desa yang bahkan tak tersentuh oleh perhatian pemerintah pusat justru sangat menghormati negaranya dan dengan bangganya selalu menjunjung nama Indonesia dihadapan warga negara lain yang lebih sering mengunjunginya dibanding warga negaranya sendiri. Bagaimana bisa Wae Rebo membuat saya merasa lebih mencintai Indonesia, ketika saya berada di tempat yang saya anggap jauh dari kata Indonesia.

7


– Sagita Hanan


SEMANGAT KAMI

30079

Perjalanan menuju istana kebanggaan tanah timur ini tidaklah mudah. Dibutuhkan tenaga yang ekstra, perlengkapan yang memadai dan stamina yang maksimal untuk dapat dicapai. Kami memulai perjalanan kami dengan berdoa bersama dan menyorakkan yel-yel kebanggaan KKL NTT Waerebo pembangkit semangat kami. Bersama-sama dengan warga Desa Waerebo sebagai penuntun kami menuju istana mereka. Medan yang kami tempuh cukup berat. Track yang didominasi bebatuan terjal sepanjang perjalanan cukup menyita tenaga kami. Namun, ekspedisi tetap dilanjutkan. Hambatan selanjutnya yang kami hadapi adalah jalan tanah terjal yang cenderung licin. Sangat melelahkan, namun tidak mengurangi semangat kami untuk segera tiba di Desa Waerebo. Waktu sudah cukup larut, embun mulai terasa dan udara mulai semakin dingin. Hingga akhirnya, setelah lebih kurang 5,5 jam menempuh perjalanan mendaki, penantian panjang kamipun berakhir. Kemegahan Istana Maro memanjakan mata kami dibawah jutaan bintang yang menyambut kami. Para tetua dan warga serta wisatawan sangat bergembira menyambut kami. Hal ini lah yang membuat kami lupa akan rasa lelah dan letih setelah pendakian yang sangat menguras tenaga ini. Diantara cita-cita dan kenyataan, terdapat kerja keras yang harus ditempuh. 17 Agustus 2015, suatu kehormatan bagi kami untuk menyambut matahari kemerdekaan di tanah kebanggaan Indonesia Timur. Pancaran matahari semakin membuat kami terpukau ketika cahaya itu menerangi Desa Waerebo. Penuh semangat dan kebersamaan dengan warga serta wisatawan kami mengadakan upacara HUT RI yang genap ke 70 tahun. Sangat khidmat dan sungguh mengharukan ketika sangsaka merah putih itu berhasil dikibarkan di atap salah satu niang Desa Waerebo.

9


Keesokan harinya, sungguh kesempatan yang sangat berharga bagi kami dapat mempelajari seluk beluk tentang Desa Waerebo. Kami dapat berbagai ilmu tentang morfologi dan konfigurasi Kawasan Desa Waerebo, social dan budaya dari Kampung Waerebo serta detail dari rumah adat Desa Waerebo Mbaru Niang. Kami diijinkan untuk focus ke salah satu bidang ilmu tersebut dan membaginya bersamasama untuk saling mendapatkan ilmu. Sungguh pengalaman yang tidak dapat kami lupakan. Semangat kebersamaan yang terus kami jaga dari awal sampai akhir ekspedisi kami. Kesempatan merayakan hari kebangsaan di tanah impian kami. Kesederhanaan yang mereka ajarkan dalam kemegahan yang mereka miliki. Mampu memberikan pelajaran yang tak terlupakan bagi kami. Tunggu kami di ekpedisi kami selanjutnya, Waerebo yang kami rindukan.

YANG DIRINDUKAN Masih ku terpaku Sambutan ramah malam itu Sapaan cahaya gemerlap di langit itu Jamuan hangat khas Istana Maro Ramahnya upacara penyambutan yang tak pernah ku duga Yang ku nanti Sambutan cahaya matahari pagi Sapaan embun kemerdekaan di hari itu Jamuan nikmat pembangkit semangat Hangatnya kesederhanaan matahari di Tanah Timur Yang ku tunggu Sambutan ilmu karya papa kami Sapaan lembut penghuni Istana dan sekitarnya Jamuan andalan karya mama kami Damainya kemegahan Istana Maro Yang ku rindu Rindu sambutan kebersamaan dalam kemerdekaan Rindu sapaan kemerdekaan dalam kesederhanaan Rindu jamuan kesederhanaan dalam kemegahan


11


“Ternyata benar, terlalu banyak cekokan keraguan akan bangsa ini. Terlalu banyak rayuan berujung pesimistis akan Negara ini. Malu ketika berkaca pada Desa ini. Lega ketika merasa Indonesia ketika 'jauh' dari Indonesia. Ketika tidak yakin, setidaknya jangan ada keraguan akan bangsa ini.� – Garda Ryan P


HIDUPLAH TANAHKU

40041

Hamparan sinar matahari yang menelusuk melalui celah rapatan kayu rumah baca desa Wae Rebo kreasi Rumah Asuh pagi itu masih teringat hingga saat ini. Lelah perjalanan panjang masih menyisa dan udara dingin khas pegunungan pun kian menyelimuti. Ada satu hal yang meyakini, perjalanan panjang kami pasti terpuaskan pada hari ini. Tepat 17 Agustus 2015, tanggal dimana dalam beberapa tahun terakhir hanya menjadi hari yang sewajarnya. Terhitung kurang lebih 2 hingga 3 tahun kebelakang menjadi tahun terakhir tanggal ini terasa menarik. Bukan hanya soal momentum perayaan khas perkampungan, tapi paling tidak dihari itu terbesit harapan untuk tidak ada bahasan negatif untuk bangsa ini. Bukan berusaha untuk menjadi kaum pengamat ataupun jajaran nasionalis dadakan, tapi hal ini mungkin yang menjadi sorotan utama ketika menginjakkan kaki di tanah Manggarai ini, setelah aspek arsitektural tentunya. Ya, tinggal di perkotaan dimana kehidupan dengan mudahnya tersentuh akan media. Sayangnya dari pandangan pribadi, berita negatif lah yang justru banyak menghiasi media di Indonesia akan bangsanya sendiri. Keraguan terhadap bangsa ini pun semakin kental, ketika hari demi hari dipaksa untuk mengonsumsi permainan media tersebut. Kembali ke Desa Wae Rebo. Ternyata benar saja, ada perayaan hari kemerdekaan pada pagi itu. Dibantu para pegiat dari Rumah Asuh dalam teknis prosesi tersebut, layaknya Proklamasi pada jamannya diadakan upacara sangat sederhana tepat pukul 10.00 waktu setempat. Dengan pelaksanaan yang tidak kaku seperti biasanya, upacara kali ini lebih terfokus pada prosesi pengibaran bendera dan lantunan lagu-lagu kebangsaan.

13


Dengan cara yang cukup menantang, bendera Merah Putih berkibar dengan gagahnya di salah satu Mbaru Niang yang ada di Wae Rebo dengan diiringi nyanyian lagu Indonesia Raya oleh warga Desa Wae Rebo dan para pendatang. Beberapa nyanyian lagu kebangsaan pun dilantunkan, pun dengan Ketua Adat Desa yang menyampaikan curahan hatinya akan bangsa ini dengan segala keterkaitannya dengan Desa Wae Rebo. Banyak hal yang pada saat itu berputar-putar di dalam pikiran di balik lamunan ketika prosesi berlangsung. Bagaimana Desa yang bahkan jauh dari sentuhan para petinggi Negara, desa yang keberadaannya bahkan tidak diketahui oleh seluruh bangsa, desa yang bisa saja tidak diurusi Negara ini dengan selayaknya, namun mampu menghadirkan keyakinan terhadap Negara ini. Ketua Adat dengan lantang meneriakkan kemerdekaan untuk Indonesia, warga hingga anakanak dengan bangga menyanyikan Indonesia Raya bait demi bait demi mengantarkan Sang Merah Putih ke tempat tertinggi dan tak ada sedikitpun keluhan terlontar akan bangsa ini. Tertegun dalam lamunan diselingi tetesan air mata. Masih ada keyakinan akan Negara ini, yang justru hadir di balik barisan bukit yang mengisolir. Ternyata benar, terlalu banyak cekokan keraguan akan bangsa ini. Terlalu banyak rayuan berujung pesimistis akan Negara ini. Malu ketika berkaca pada Desa ini. Lega ketika merasa Indonesia ketika 'jauh' dari Indonesia. Ketika tidak yakin, setidaknya jangan ada keraguan akan bangsa ini.

“Garuda Pancasila, masih ada pendukungmu. Patriot Proklamasi dari desa terisolasi.�


15


“Di atas negri diatas awan. Mpu-mpu berselaras dengan alam. Berkaki delapan awal kelahiran pedoman. Tandai kebajikan lupakan kelam. Tujuh kekuatan ditradisikan . Agar tak lupa Pencipta, bersyukur tanpa dendam” – Robby Sinaga


30086

WAE REBO Mereka datang darimana? Mpu-mpu bersahaja menepi Dalam kehanyutan dibatas kalut Hewan suci menunjuk tempat. Membumi Tandai titik jelajah napak tilas berpaut Di dalam lingkar raut alam, Pencipta membelai Mpu bawa simbol air, nasib takdir bersambut Di atas negri diatas awan Mpu-mpu berselaras dengan alam Berkaki delapan awal kelahiran pedoman Tandai kebajikan lupakan kelam Tujuh kekuatan ditradisikan Agar tak lupa Pencipta, bersyukur tanpa dendam Kini mereka bercahaya terang Suara-suara kerdil nan lantang berkobar Berkawan-kawan pewaris tanpa perang Berselimut cahaya mpu dan alam. Mulia Pencipta disebar

Waerebo (NTT), 2015

17



19


– Syafrudin Sidiq


HANYA KETIADAAN

Ditimur Indonesia, antara peluk jabal jenggala Tersalut kabut suci bergiat Tak berbatas pada tujuh niang ternama Berbondong singgah dari antero buana Kelana, mengundang tanya Ada apa? Mengapa dan tanya tanya lainnya Ada apa disana? Lagi, Meraba dari tutur kata Mencium rajah maya Ada apa disana? Tak ada jawabnya Hanya sebongkah warisan Harta hidup yang gagau dan dijaga Dengan insan jenjam hangat bersahaja Mandala lugas perwira bangsa

Tak ada lainnya, sunyi...

21


...Cawan kopi hitam pekat Pekat semerbak pahitnya Menyulut nikmat suam pengecap Lainnya? Hening nyenyat sepi riang Apa yang didapat? tanyanya Tidak ada, Hanya damai, syukur, dan cinta


TERBELAHNYA LANGIT

MANGGARAI

Disana Kala baskara memijak ufuk Burit semburat nampak anggun Lamur netra terpasung kodrat Dan unggas kembali ke peraduan Halimun tergantikan kelam Datang membawa angin, senyap Binar candra mengundang decap Tenun tebal dikaitkan Apa yang akan bertandang?

Mistik, Angkasa penuh arang Diam, sunyi, membentang Mereka Munusia bersama alam Membuai nada, turut berdendang Menjejali hening sunyi hutan Cangkir kopi tak membangkang, Merenungi awang dibelah intan

23


“Waerebo begitu hangat. Waerebo hidup dalam tradisi dan juga hidup untuk tradisi mereka tersebut. Kepercayaan mereka akan Tuhan, Alam, dan Leluhur, menjadikan mereka kuat dan tahu tujuan hidup mereka. ” – Aliya Shabrina Fairuzi


BENDERA DI MBARU NIANG

Memang menjadi salah satu tujuan kami untuk bisa merayakan Hari Kemerdekaan di Tanah Manggarai, tepatnya Desa Warebo. Saat diperjalanan, sudah terbayangkan oleh saya betapa meriah dan khidmatnya merayakan Hari Kemerdekaan di salah satu Desa Adat Manggarai, tanpa perlu menyetel televisi untuk melihat perayaan Hari Kemerdekaan di Istana Negara, pulau seberang. Air mandi yang begitu dingin, tiba-tiba terasa hangat karena bercampur dengan semangat kemerdekaan yang terlalu membara. Ditambah lagi dengan keadaan yang mengharuskan kami untuk mandi tidak sendiri di dalam satu bilik, menambah kemeriahan dan semangat Hari Kemerdekaan. Aku masih tidak percaya, bahwa aku berada di Desa Waerebo. Akupun masih tidak percaya, tujuh rumah seperti tumpeng dengan awan-awan seperti gulali yang akhir-akhir ini memenuhi history Google browserku, kini ada di depan mataku. Aku benar-benar sudah ada di Desa Adat Waerebo. Hari ini ramai sekali. Mulai dari warga Desa Waerebo sendiri, teman-teman rombongan dari Pak Yori, dan kami semua, Mahasiswa KKL Undip. Semua berkumpul pagi ini di lapangan dekat Compang.

“Meer dee kaa! Sekali merdeka tetap merdeka! Selama hayat masih di kandung bada Kita tetap setia tetap sedia Mempertahankan Indonesia Kita tetap setia tetap sedia Membela negara kita�

25


Lirik lagu kemerdekaan yang rasanya sudah lama tidak kunyanyikan, kini kembali kulantunkan, namun di tanah yang berbeda. Semangat yang berbeda pula tentunya. Mendengar anakanak kecil di Waerebo menyanyikan lagu Padamu Negeri, Syukur, Sorak-Sorak Bergembira, dan Hari Kemerdekaan dengan begitu semangat dan terlihat sangat bahagia, menyadarkanku bahwa kemerdekaan itu terlalu relatif jika kita hanya bicara mengenai kata bebas dan kebebasan. Mereka menunjukkan pada kami bahwa bebas menentukan pilihan, bebas dari tuntutan orang lain atau golongan, serta bisa menjadi apapun yang dirimu inginkan tanpa terpaksa, adalah suatu bentuk kemerdekaan paling mendasar. Tidak dikekang, tidak dipaksa, dan tidak pula terpaksa. Satu hal lagi yang Waerebo ajarkan kepada saya adalah, kata Bhinneka Tunggal Ika memang betul-betul hadir mendampingi kami, bersamaan dengan hadirnya rasa bahagia, rasa sayang, dan rasa memiliki negeri ini. Rangkaian Upacara Hari Kemerdekaan 17 Agustus di Waerebo pun dimulai. Setelah kami membentuk barisan dengan anak-anak dan melakukan gladi bersih terlebih dahulu, kini kita akan memulai upacara yang sebenarnya. Semua petugas upacara berasal dari warga Waerebo. Pertama, menyanyikan beberapa lagu wajib nasional seperti Padamu Negeri, Sorak-Sorak Bergembira, dan Syukur. Acara kemudian dilanjutkan dengan prosesi penaikan bendera merah putih. Suasana meriah riang gemira dihadirkan oleh anak-anak kebanggaan Desa Waerebo. Ada hal yang berbeda ketika prosesi penaikan bendera dilakukan. Waerebo tidak memiliki tiang bendera untuk menaikkan bendera, namun mereka menggunakan ujung atap Mbaru yang kemudian diikatkan dengan bambu yang sudah dipasangi bendera. Pertama, bendera yang sebelumnya sudah diikatkan pada bambu, dibawa oleh dua orang dari belakang lapangan menuju ke salah satu Mbaru Niang, yang sebelumnya sudah disiapkan. Lalu bendera dibawa menuju atas Mbaru Niang, dengan cara mendaki atap Mbaru Niang yang telah dipasangi tangga. Setelah sang pembawa bendera sampai ke puncak Mbaru Niang, maka bendera diikatkan di ujung Mbaru Niang sekuat mungkin hingga kokoh berdiri. Selama proses penaikan bendera, lagu Indonesia Raya pun dinyanyikan. Entah mengapa saya merasa upacara bendera kali ini sungguh khidmat. Atau bisa jadi ini upacara yang paling khidmat yang pernah saya ikuti. Waerebo begitu hangat. Waerebo hidup dalam tradisi dan juga hidup untuk tradisi mereka tersebut. Kepercayaan mereka akan Tuhan, Alam, dan Leluhur, menjadikan mereka kuat dan tahu tujuan hidup mereka.


Ketika tradisi tersebut mereka jalani, ketika prosesi adat mereka lakukan, dan ketika mereka bisa menjaga dan menghormati alam, maka mereka akan memperoleh letenangan. Sederhana. Tak kunjung lelah menyebutkan bahwa Waerebo mengajarkan saya, kami, mengenai arti kemerdekaan, kebersamaan, dan kebahagian yang sebenarnya. Tanpa perlu mereka menjelaskan melalui suara maupun aksara, kami sudah bisa merasakan bahwa Waerebo diciptakan Tuhan untuk memberi warna dan cinta kasih untuk negeri ini.

“Indonesia Raya Merdeka Merdeka Hiduplah Indonesia Raya!�

27


“Wanita Wae Rebo itu Pemecah sendu, penebar tawa Menjadi penghias desa dengan sifat pemalunya” – Vinisora S


WANITA WAE REBO

20004

Wanita Wae Rebo itu Guru pertama, pembawa titisan desa Hidupnya berbalutkan rahasia Wanita Wae Rebo itu Pemecah sendu, penebar tawa Menjadi penghias desa dengan sifat pemalunya Wanita Wae Rebo itu, Sosok yang taat pada aturan adat Yang bersembunyi dibalik kepulan asap karena tuntutan kodrat Mama! Mama! Sapaku sore itu Sore yang selalu membawa rindu Rindu untuk kembali bertemu

29


“Siapa sangka, anjing anjing ini menjadi perhatian saya yang sedikit membuat saya termenung. Setidaknya ada hal yang berbeda pada Wae Rebo dari kota, berupa anjing anjing kampung ini.” – Fadhlan M Hithah


30089

ANJING KAMPUNG Akhirnya tempat ini diterangi sinar matahari. Kedatangan kami diwaktu gelap semalam membuatku tidak mengenali apapun di tempat ini selain niang yang paling besar itu dengan tanduk penuh wibawanya. Banyak yang terlewat di hari pertama ini dengan kegiatan penyambutan dan acara acara lainnya. Ditambah lagi kekaguman yang luar biasa atas keberadaan kampung ini bersama bangunan, alam, dan manusianya. Hal hal besar tersebut berpadu menjadi fokus pengamatan saya, untuk pemuas diri karena tidak ingin rugi setelah perjalanan yang melelahkan di hari kemarin. Masih dengan ungkapan yang belum dapat terbahasakan tentang betapa kagumnya indera dan perasaan ini terhadap kampung yang tengah saya pijak, Wae Rebo. Hingga pada suatu siang yang sangat sejuk, bersama kopi yang tak terhitung sudah berapa cangkir telah saya nikmati sejak pertama kali datang di tempat ini, bersama rombongan dan tetua adat kampung ini sembari bercengkrama membicarakan banyak hal. Saat itu awan sudah mulai turun, membelai orang orang yang sebagian besar tengah beristirahat dari pekerjaannya sedari pagi. Biji kopi yang sejak pagi dihamparkan untuk dijemur sudah mulai diangkat untuk disimpan kembali. Tinggalah suasana syahdu kampung ini menanti senja yang sebentar lagi menghampiri. Sesuatu mencuri perhatianku. Dengan senangnya bermain dan bercanda bersama kawanan sejenisnya. Terlihat sangat akrab, penuh keceriaan dan keleluasaan. Sesekali anak anak kecil yang juga berada disana ikut berlarian mengejarnya atau sekedar menghindar dari kerumunan itu. Berlarian mengitari hampir seluruh area kampung mulai dari kolong kolong rumah hingga lapangan. Entah apa yang dibicarakan kawanan tersebut, bahkan mungkin tidak seorangpun yang akan pernah mengerti. Tapi jelas sekali mereka sangat senang dengan apa yang mereka lakukan di luang waktu senja ini.

31


Tak sedikit gonggongan yang mereka keluarkan satu sama lain, mungkin itu bagian dari komunikasi mereka layaknya yang orang orang tahu. Anjing kampung. Istilah itu yang terbesit di pikiran saya. Dan saya yakin keberadaan mereka di kampung ini sungguh sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan di Wae Rebo.

Mungkin sebagian besar dari kami tidak menyukai binatang ini. Terlebih karena mayoritas kepercayaan rombongan kami yang sangat membatasi interaksi dengan binatang ini. Belum lagi pemikiran mereka tentang liarnya anjing yang membuat takut bahkan untuk melihatnya saja. Pun saya sangat paham dengan kondisi seperti itu, namun entah kenapa di kampung ini keberadaannya terasa berbeda. Anjing anjing tersebut terlihat sangat leluasa berada di lingkungan kampung. Memang mereka anjing dari kampung dan tinggal di kampung, tanpa makanan khusus anjing, tanpa kandang maupun rantai untuk menjaga mereka agar tidak kabur atau mengganggu orang. Namun apa yang terlihat tadi, para anjing dengan sangat nyaman memiliki waktu dan ruang untuk bermain. Tanpa batasan dengan manusia pun tidak membuat anjing-anjing di kampung menjadi liar dengan menggonggongi ataupun menggigiti orang orang di kampung, menyebar ketakutan layaknya anjing penjaga rumah di kota.


Anjing tersebut seakan memahami betul keberadaan mereka di sekitar manusia yang tentu saja memberi mereka kehidupan. Bahkan pengunjung seperti kami tidak tampak tertekan ataupun ketakutan dengan anjing yang lewat kesana kemari, menerobos perkumpulan orang, duduk ataupun tidur di tempat dimana tidak diterpa cahaya matahari, hingga menyenggol seseorang tersebut. Binatang itu melakukan hal hal tanpa mengganggu kami. Mereka bahkan menjadi pelengkap santapan mata kami dikala menikmati pemandangan sekitar kampung Wae Rebo. Sejauh ini saya paham betul, anjing dibutuhkan oleh penduduk Wae Rebo untuk menjaga kebun dan rumah mereka. Tidak dari orang orang yang datang, karena pengunjung ini tentu harus punya alasan yang bagus untuk mencuri di kebun, mencuri di dalam rumah sangat mungkin, tapi bukan itu. Melainkan binatang liar yang berasal dari hutan di sekitar kampung yang keberadaannya dapat merusak hasil panen. Anjing yang menjaga kebun pada malam hari akan sangat membantu petani di kampung. Apalagi kopi Wae Rebo adalah hasil utama yang paling digemari oleh pengunjung Wae Rebo. Penduduk Wae Rebo juga akan membutuhkan anjing anjing ini ketika berburu, babi hutan mungkin. Tapi diluar dari hal hal tersebut, anjing kampung yang jinak sangat menarik untuk diamati. Selain sifat anjing yang relatif menyenangkan, siapa yang tidak senang dengan bayi? Seliar apapun seekor anjing, sangat lucu ketika masih bayi. Tubuh yang mungil dengan wajah yang sangat innocent dapat dengan mudah menarik hati manusia. Sore itu saya tengah memperhatikan tiga bayi anjing yang tampaknya belum lama lahir, sedang berlari lari kecil mengelilingi induknya yang tengah berjalan. Hingga seorang pengunjung, warga negara asing yang kemudian juga melihat bayi anjing itu terpikat dan segera menggendongnya. Sembari mengelus elus badan bayi anjing tersebut, bule itu terlihat sangat senang dengan lucunya bayi anjing itu. Saya terdorong untuk bisa menggendong bayi anjing yang lain, namun kalah oleh rasa ragu. Akhirnya kesenangan dengan bayi anjing yang lucu itu hanya saya nikmati lewat mata saya saja, sudah cukup bagi saya. Siapa sangka, anjing anjing ini menjadi perhatian saya yang sedikit membuat saya termenung. Setidaknya ada hal yang berbeda pada Wae Rebo dari kota, berupa anjing anjing kampung ini. Tak lepas perhatian saya hingga anjing anjing tersebut masuk kembali ke kolong kolong rumah untuk bernaung, memang senja sudah turun dan saya pun harus bersiap untuk gelap yang segera datang.

33


“Kami datang ke Wae Rebo sebagai tamu, pulang sebagai keluarga. Terima kasih atas kerendahan dan kemurahan hatinya, karena telah menerima kami dengan tulus di halaman Istana Maro yang kini rumah bagi kami juga.� – Miranda N Tsaniya


ORANG WAE REBO Adalah Wae Rebo, sebuah desa yang berada diantara gunung dan awan-awan. Yha! gunung dan awan-awan. Perjalanan kesana juga bukanlah perjalanan yang mudah. Bagi saya sendiri, perjalanan sejauh ¹9 kilometer yang ditempuh secara berjalan kaki dengan medan yang seperti kemarin itu, terlebih dengan membawa carrier 60 liter di punggung saya bukanlah sesuatu yang biasa saya lakukan secara sukarela. Namun, yah demi sampai ke Wae Rebo.. saya rela. Perjalanan 9 kilometer dari Denge (pos terakhir sebelum hiking) menuju Wae Rebo yang saya tempuh dengan kelompok saya waktu itu ditemani oleh satu orang guide asli Wae Rebo, namanya Juventus. Biar saya deskripsikan 'mas' Juve yang saya lihat waktu itu secara singkat. Mas Juve mengenakan kaos oblong putih dengan dilapisi dengan baju berwana coklat dan celana ž Ungu. Rambut mas Juve ikal diikat kebelakang, dan ia tidak banyak bicara tapi banyak tertawa. Selama perjalanan itu kami banyak mengajak interaksi mas Juve, namun sepertinya perbedaan bahasa memang sedikit menghalangi, sehingga respon yang kami dapat kebanyakan hanya berupa senyuman dan gelak tawa dari Mas Juve. Sekitar pukul 7 malam akhirnya rombongan kami sampai di Rumah Kasih Ibu. Di Rumah Kasih Ibu itu saya terenyuh saat Pak Beni (warga Wae Rebo) mengatakan bahwa ternyata kedatangan rombongan kami sudah ditunggutunggu oleh semua Warga Wae Rebo. Sejak pukul 3 sore hari itu, semua warga yang tinggal di wilayah Istana Maro naik ke Rumah Kasih Ibu untuk menyambut kami. Sayangnya hingga menjelang matahari terbenam, rombongan kami tidak juga sampai dan akhirnya warga memutuskan untuk kembali pulang dan menunggu di rumah Niang. Hal ini sangat menyentuh, karena bahkan kami tidak mengekspektasikan sebuah penyambutan yang sebegitu besarnya. Kami (rombongan dengan warga desa) bukan dari suku yang sama, bahasa kami berbeda, namun mereka sudah sebegitu baiknya.

35


Penyambutan yang hangat dalam Niang Gendang disampaikan oleh Pak Alex sang Ketua Adat. Dengan udara dingin di luar, dan Niang Gendang yang hangat, juga sakit punggung yang mulai terasa. Saat penyambutan, semua tetua adat duduk berjejer mengenakan baju adat Wae Rebo, yakni kemeja putih dengan sarung songket dan ikat kepala batik. Semuanya tersenyum menyambut kami yang terlambat datang dan berwajah lusuh kelelahan. Saya beserta rombongan dipersilahkan beristirahat dan makan malam dengan dipandu oleh Pak Mus. Menu itu adalah menu pertama, dan menu yang sama yang kami makan hampir selama kami tinggal di Wae Rebo. Menu masakan khas Mama-Mama yang memasak secara bergerombol di dalam dapur umum darurat di belakang Rumah Baca: Sayur Labu dan Ayam Goreng. Pada tanggal 17 Agustus, Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke 70 tahun merupakan satu hari bersejarah. Saya berkesempatan merasakan aura hari kemerdekaan di Tanah Wae Rebo. Lereng yang mengelilingi Wae Rebo ikut menggemakan semua lantunan lagu yang kami nyanyikan. Suatu suasana kemerdekaan yang jauh berbeda dari yang sudah saya alami sebelumnya. Walaupun orang Wae Rebo baru 7-8 tahun belakangan ini mengenal Hari Kemerdekaan, namun semangat kemerdekaan orang Wae Rebo membara tidak kalah kuat dengan masyarakat Indonesia di belahan lain Negeri ini. Sangat terasa bahwa sesungguhnya orang Wae Rebo tidak ingin lagi melewatkan perayaan serempak seluruh Indonesia akan kemerdekaannya. Belum genap sehari saat rombongan saya tinggal di Wae Rebo, kami sudah diperlakukan selayaknya anak kandung sendiri. Saya diajarkan cara menenun dan cara menumbuk kopi. Kegiatan itulah yang merupakan kegiatan sehari-hari orang Wae Rebo pada musim kopi. Setiap pemilik ladang akan menjemur kopinya di siang hari dan diangkat saat matahari mulai tertutup awan. Bagi para Mama (wanita) bertugas menumbuk kopi dan menenun sebagai kerajinan tangan. Saat awan mulai silih berganti melewati tanah Wae Rebo, udara dingin ikut menyelimuti kami, lalu oleh warga Wae Rebo saya dan rombongan disuguhi dengan kopi dan teh lokal Wae Rebo. Sore itu beberapa warga yang terdiri dari Mama-Mama tengah mempersiapkan sebuah tali yang menjuntai diikat ke ujung dua buah tiang. Ternyata para Mama bermain voli, mereka menggunakan bola sepak dan gerakan mereka sangat lincah. Beberapa teman seperti Vini dan Afri ikut bermain bersama para Mama, menjalin kedekatan dan kekeluargaan melalui permainan olah raga memang tidak pernah mengecewakan. Sementara itu, di dalam Niang tempat saya dan rombongan tidur, terdapat seperti toko kecil yang menjual berbagai hasil produksi lokal warga Wae Rebo, seperti kopi, kain songket, dan madu. Yang menjaga toko kecil tersebut adalah Mama Min. Mama Min bercerita bahwa beliau masih dalam proses pembuatan kain tenunnya yang sudah menghabiskan waktu sebulan. Mama Min sangat sabar dlam melayani para pembeli yang datang.


Pada hari ke-dua, dilakukan sesi diskusi. Rombongan saya dipertemukan dengan beberapa tetua adat, diantaranya ada Pak Alex, dan Pak Mus yang menangani bidang Desa Wae Rebo, Pak Yos bertindak sebagai narasumber di bidang Sosial Budaya, serta Pak Paskalis, dan Pak Frans merupakan narasumber bidang Rumah Niang. Beliau-beliau inilah yang menjawab semua pertanyaan kami mengenai Wae Rebo. Saya sendiri berada di kelompok bidang Desa Wae Rebo. Kami menyusuri tiap-tiap rumah yang ada di Wae Rebo ditemani Pak Mus. Dari penyusuran desa itu, saya jadi mengenal Pak Mus. Beliau yang sebelumnya terlihat kaku sebenarnya memendam sisi humoris yang tinggi. Pak Mus menganggap Wae Rebo adalah desa di lembah kesunyian. Dan satu hal unik dari Pak Mus, beliau memiliki cara tertawa yang persuasif. Orang yang mendengar gelak tawanya pasti seperti terajak ikut tertawa. Di akhir penyusuran desa, Pak Mus bertanya apakah saya dan kelompok saya ingin mengunjungi air terjun, namun kami ragu karena letak air terjun itu cukup jauh. Mendengar kebingunan itu Pak Mus tertawa, “Lama atau cepatnya perjalanan, ya tergantung orangnya.. hehehe hehe hehe.. ya tergantung orangnya..�. Satu kalimat yang selalu kami kutip setelahnya jika menemukan suatu kesulitan menapaki jalan. Sangat senang rasanya bisa tahu bahwa ternyata rasa humor tidak terisolir masuk ke Wae Rebo. Pak Mus juga menanyakan nama lengkap saya, katanya tidak apa-apa jika saya dan kelompok saya kali ini belum bisa ke air terjun, setidaknya nama kami sudah sampai disana duluan dengan dibawakan oleh Pak Mus sendiri. Singkat kata, orang Wae Rebo memang tinggal sebegitu jauhnya dari keramaian. Mereka merupakan manusia-manusia yang bersedia hidup di antara gunung-gunung, bersama tradisinya yang selalu diteruskan dari generasi-ke generasi tanpa dilanggar. Saya rasa sebutan lembah kesunyian itu seharusnya diganti menjadi lembah kedamaian, karena nilai kekeluargaan dan toleransi yang tinggi yang mereka tanamkan. Kami datang ke Wae Rebo sebagai tamu, pulang sebagai keluarga. Terima kasih atas kerendahan dan kemurahan hatinya, karena telah menerima kami dengan tulus di halaman Istana Maro yang kini rumah bagi kami juga.

37


“Pengalaman yang tidak pernah bisa dilupakan, dan datang kesana bukan sekedar formalitas telah mengikuti KKL namun bentuk syukur telah diijinkan untuk belajar dan menimba ilmu disana. Inilah cerita di balik Rumah Mbaru Niang.� – Muhammad Fariz Hilmi


CERITA DI BALIK RUMAH MBARU NIANG

40162

Mbaru Niang sangat asing di telinga saya. Saya bahkan baru mendengarnya saat mengikuti program KKL ini. Nusa Tenggara Timur, tepatnya di desa Wae Rebo kami tinggal untuk melakukan ekspedisi KKL. Tempat tinggal kami adalah rumah warga desa Wae Rebo sendiri. Suatu rumah adat yang dinilai sangat sakral, memiliki nilai sejarah, dan budaya yang sangat kental. Mbaru Niang lah namanya. Rumah yang sangat unik dari segi bentuknya. Sekilas saya berpikir saat melihat rumah ini berbentuk seperti keong. Bentuknya yang mengerucut ke atas, lalu di bagian pintu masuk terlihat seperti cangkang rumah keong. Tetapi pada kenyataan rumah ini tidak terinspirasi dari rumah keong, melainkan ada beberapa aspek budaya di dalamnya berdasarkan material-material yang digunakan beserta filosofi budaya yang sangat kental dan akhirnya terbentuklah rumah seperti itu. Kesan pertama saat melihat rumah Mbaru Niang, saya tidak menyangka rumah tersebut sangat besar dan tinggi. Dari referensi yang saya baca memang rumah tersebut memiliki lima lantai, namun setelah saya lihat dengan mata kepala saya sendiri ternyata memang sangat besar. Dari segi fasad sangat kental dengan unsur budaya dan tradisional. Dinding dan atap menjadi satu sehingga berbentuk kerucut. Penutup atap tersebut menggunakan alang-alang dan ijuk dan diikat dengan tali rotan. Mengapa menggunakan material ini karena dinilai tahan terhadap cuaca panas dan hujan, lalu dapat melindungi penghuni yang ada di dalamya, dalam arti tidak merasa kepanasan atau kedinginan. Saat saya memasuki rumah ini, kesan hangat langsung dapat dirasakan oleh saya, bukan dalam arti tubuh saya langsung terasa hangat, namun rumah ini seperti langsung bersahabat dengan saya, artinya secara visual saat saya memasuki rumah ini bisa melihat semua pojok-pojok ruangan tanpa ada sekat, seperti dilingkupi atau diselimuti.

39


Rumah ini dari dalam jauh terlihat lebih besar dari yang saya lihat di fasad depan. Rumah ini terlihat tinggi karena memiliki lima lantai. Sebelum saya kesini saya berpikir lima lantai tersebut adalah tempat tinggal, tidur, atau istirahat. Tetapi tidak, tempat untuk istirahat ternyata hanya di lantai pertama atau lantai dasar, empat lantai sisanya tidak untuk tempat istirahat namun memiliki fungsi tersendiri, seperti lantai dua untuk menyimpan persediaan makanan, lantai tiga untuk menyimpan benih dan bijibijian, lantai empat untuk melakukan upacara persembahan, dan lantai lima untuk menaruh sesaji untuk para leluhur. Lantai pertama adalah tempat berkumpul tamu dan keluarga, tempat istirahat, dan tempat untuk tidur. Di lantai ini (termasuk empat lantai lainnya) tidak ada furnitur seperti yang saya jumpai di rumah-rumah pada umumnya. Rumah Mbaru Niang tidak memiliki furnitur yang berarti, semua aktivitas dilakukan berdiri, duduk secara lesehan dan tidur. Furnitur yang tersedia di rumah ini seperti matras berisi kapuk dan dilapisi anyaman rotan serta bantal rotan. Kegiatan yang terdapat dalam rumah ini dimulai pada pagi hari. Biasanya laki-laki bekerja keluar rumah, dan wanita bekerja di dapur, yaitu memasak dan menyiapkan teh serta kopi beserta juga makanan untuk sarapan. Para pria bekerja hingga siang hari, beberapa masuk ke dalam dan para wanita menyiapkan kopi. Pada dasarnya rumah Mbaru Niang berfungsi untuk tempat singgah dan berkumpul bersama keluarga, saudara, serta juga tamu yang menginap. Pada saat saya disana pun kami memiliki kegiatan pada pagi hari, lalu siang hari kami kembali ke rumah dan disuguhkan teh beserta juga kopi. Lalu kami saling mengobrol dan bertukar cerita dengan beberapa warga disana sambil menikmati teh dan kopi sampai waktu makan siang. Setelah siang hari sampai malam hari acara bebas, biasanya beberapa ada yang di luar dan ada juga yang di dalam rumah. Saya istirahat di atas matras atau duduk di bantal rotan sambil bercerita dengan warga di sana. Sering kali saya keluar untuk menikmati sejenak keajaiban Indonesia yang sangat indah sambil bersyukur telah diberi kesempatan untuk menginjakan kaki ke tanah Wae Rebo ini. Desa Wae Rebo terlelak di pegunungan. Suhu disana tentunya sangat dingin terlebih pada malam hari. Pada saat siang hari yang terasa hanya udaranya yg dingin, namun ter-cover dengan cahaya matahari yang terik. Meskipun sudah di dalam rumah namun terkadang udara dingin masih sangat terasa hingga malam hari. Walaupun material yang digunakan adalah material yang menghangatkan, yaitu kayu tetapi masih terasa belum sepenuhnya menghangatkan penghuni di dalam rumah Mbaru Niang, meskipun dari segi fungsi kayu memang dinilai sangat kuat untuk dijadikan material sebuah rumah. Sebagian besar material yang digunakan dari kayu, jenis kayunya pun berbeda-beda sesuai dengan fungsinya. Terlihat pada kolom-kolom yang kokoh dan menerus sampai pondasi yang terekspos dari luar. Kemudian balok-balok yang memanjang di setiap lantai. Lalu terdapat kayu kecil yang disebut kayu kenti, yaitu kayu kecil panjang yang diikat dengan tali rotan yang berfungsi mengikat bangunan ditiap lantainya. Kayu-kayu tersebut didapat dari hutan dekat desa Wae Rebo dan diolah secara manual dengan alat-alat seadanya, dan rumah tersebut dibangun secara gotong royong bersama seluruh warga.


Rumah lima lantai tersebut memiliki sebuah tangga yang terletak di tengah rumah diikat menyatu dengan kolom struktur yang ada di tengah. Saya tidak menaiki tangga tersebut karena terlalu tinggi. Lalu terdapat dapur di belakang tangga, yang berfungsi untuk menghangatkan rumah dan menjaga agar rumah tetap lembab. Hal ini terlihat saat saya melihat pada pagi hari rumah Mbaru Niang yang lain terlihat asap yang muncul dari dalam rumah. Biasanya pengasapan ini dilakukan pagi hari karena selama semalaman warga beristirahat, sehingga rumah yang terasa dingin harus diasapi agar kayu tetap kuat. Namun beberapa tamu termasuk saya tidak tahan dengan asap yang ada di dalam rumah, sehingga biasanya tamu yang menginap ditempatkan di rumah yang dapurnya ada di belakang yaitu di Niang Gena Maro. Rumah ini hanya memiliki dua hingga empat jendela dan itu hanya berukuran kecil sekitar 30 x 30 cm, dan terletak hanya di lantai pertama dan ruang tengah. Sirkulasi udara yang saya rasakan masih stabil karena dari segi atap yang tinggi membuat udara yang masuk tidak langsung memenuhi ruangan. Pengalaman saya tinggal di rumah Mbaru Niang sangatlah berharga dan terkadang sulit untuk diekspresikan. Rumah ini tentunya baru pertama kali saya temui, bahkan dari internet pun baru saya tahu pada saat mendekati hari KKL saja, sebelum itu saya belum pernah menemui rumah seperti ini. Menurut saya rumah ini sangat nyaman untuk dihuni dan dari segi struktural pun sangat kuat untuk berdiri hingga bertahun-tahun. Tidak menyesal saya ikut KKL ke Nusa Tenggara Timur ini khususnya ke Desa Wae Rebo. Pengalaman yang tidak pernah bisa dilupakan, dan datang kesana bukan sekedar formalitas telah mengikuti KKL namun bentuk syukur telah diijinkan untuk belajar dan menimba ilmu disana. Inilah cerita di balik Rumah Mbaru Niang.

41


“Terima kasih kehangatan dimalam itu, Waerebo� - Shafira Eka H


SUDAH MALAM DI WAE REBO

30070

Kegiatan warga di Waerebo berhenti pukul 4 sore setiap harinya. Namun malam itu, terlihat ada yang berbeda pada salah satu Niang yang berada di ujung. Riuh suara berasal dari sana. Tidak biasanya sebuah niang dengan lampu masih menyala hingga larut malam. Sebuah diskusi hangat antara kami dengan beberapa tetua adat Waerebo mengiringi malam itu. Semakin malam semakin seru. Kami berdiskusi hingga larut malam di bawah naungan Niang. Malam itu dingin, hingga menusuk tulang. Namun tidak terasa karena kami asik berdiskusi hangat. Terlalu banyak hal yang masih menjadi misteri dari Waerebo. Diskusi hangat malam di bawah naungan bintang Waerebo, menjadi salah satu pilihan untuk menghilangkan rasa penasaran kami mengenai Waerebo itu sendiri. Para tetua adat Waerebo menjawab dengan sabar satu per satu rasa penasaran kami. Demi kelancaran tujuan serta maksud kami untuk berkunjung ke Waerebo. Diskusi hangat malam yang singkat itu tentu belum cukup untuk menghilangkan rasa penasaran kami tentang Waerebo. Namun cukup memberikan kami arahan untuk tetap dan akan terus belajar mengenai Waerebo. Terima kasih kehangatan dimalam itu, Waerebo.

43


“Ya, syukur. Mungkin ini yang hilang. Arsitektur di kota seolah tidak pernah puas, bersembunyi di balik alibi kebutuhan ruang akan kegiatan sekelompok manusia. Arsitektur di kota, menurut saya, tidak pernah benar-benar arif menyikapi dampak dari perwujudan dirinya sendiri.� – M Agus Riono


KIDUNG SYUKUR DI WAE REBO

30046

Saya tidak pernah benar-benar paham arsitektur. Semakin saya belajar, semakin saya merasa kurang. Di sisi lain, arsitektur bagi saya sederhana. Memanusiakan manusia. Namun kesederhanaan itulah yang sebenarnya mengandung kompleksitas mendalam. Karena manusia, yang saya tahu, adalah mahkluk yang tidak mengenal puas. Sampai akhirnya, setelah kurang lebih tiga tahun menimba ilmu rancang bangun ini, Tuhan memberi saya kesempatan untuk melakukan sebuah perjalanan. Saya berangkat menuju timur Indonesia, menjumpai wujud arsitektur yang lain. Saya datang ke Wae Rebo. Pagi itu, Indonesia tepat berusia 70 tahun. Ya, saya amat beruntung karena datang ke Wae Rebo di waktu yang boleh dibilang sakral bagi bangsa ini. Saya merinding. Kidung yang sudah lama tidak saya dengar, akhirnya merasuk ke telinga saya melalui lantunan polos anak-anak Wae Rebo. Lagu-lagu nasional yang terakhir kali saya nyanyikan dengan khidmat saat upacara di SMA, sekarang saya lantunkan bersama dengan keluarga baru saya, warga Wae Rebo. Ada satu buah lagu yang paling menyentuh saya pagi itu. Lagu berjudul “Syukur” ciptaan Husein Mutahar.

“dari yakinku teguh, hati ikhlasku penuh akan karunia-Mu, tanah air pusaka, Indonesia merdeka, syukur aku sembahkan, kehadirat-Mu Tuhan.”

45


Emosi saya seketika terbangkit. Wae Rebo memberikan saya pelajaran, bukan hanya tentang menerima tetapi juga memberi. Dalam hal ini, arsitektur di Wae Rebo, menurut saya, selain merupakan efek samping dari tradisi tetapi juga perwujudan ekspresi syukur mereka terhadap alam dan leluhur. Mengambil secukupnya dari alam dan tidak lupa “mengucapkan� terima kasih kepada alam dan leluhur. Tiga malam menempati ruang hidup yang sama dengan warga Wae Rebo merupakan waktu yang lebih dari cukup untuk meneladani kesederhanaan ala mereka. Waktu yang juga cukup untuk mencetak momen dan menceritakannya sebagai memori yang penuh makna, kelak kepada anak dan cucu saya. Inshaa Allah. Kala itu, saya berdialog dengan diri sendiri. Bahwa perjalanan ini, tidak hentinya mengajarkan saya, jika syukur adalah kuncinya. Ya, syukur. Mungkin ini yang hilang. Arsitektur di kota seolah tidak pernah puas, bersembunyi di balik alibi kebutuhan ruang akan kegiatan sekelompok manusia. Arsitektur di kota, menurut saya, tidak pernah benar-benar arif menyikapi dampak dari perwujudan dirinya sendiri.


57


– Afrianto Andika


30172

SISI LAIN TIMUR Kicauan burung nyaring nan syahdu Menampakkan kehidupan baru Indahnya tanah timur ini membuatku terpaku Laksana dunia memberi harapan baru Gemercik alunan air sungai Menemani langkah demi langkah Sejuk, tenang, senang kurasakan Bersabar dalam penantian Wahai sang pencipta Kekagumanku tak dapat ku ucapkan Eloknya alam pegunungan asri Desiran angin diatas awan Pohon rindang menari-nari Membius mata yang menatapnya Sisi lain timur bak surga yang tak terjama Kita harus terus menjaganya Agar keindahannya takkan pernah sirna

49


“Terima Kasih untuk setiap senyuman manis warganya yang menyejukan, untuk setiap tetes kopinya yang menghangatkan, untuk setiap perbincangan malamnya yang mengeratkan, untuk setiap tabuhan gendangnya yang mendamaikan, untuk setiap keteguhan adatnya yang mengesankan� – Ria Aryanti O


DESA WAE REBO: Dibalik Istana Maro

"Yang ini rumah Pak Maksimus" jelas Pak Mus. Bapak Wihelmus Rupun, yang akrab dijuluki Pak Mus, menjadi pembimbing tim desa (sebuah tim beranggotakan 9 orang yang menyusuri desa guna mengumpulkan data) kali ini. Salah satu tetua adat yang dengan rela hati membawa kami berkeliling ke setiap rumah warga, dan cukup sabar mengawal tiap langkah kami yang lamban karena kelelahan selama berjam-jam menusuri jalan setapak dengan kontur tanah yang tidak rata. Sedikit lelah terhapus oleh tawa Pak Mus yang khas dan persuasif. Perjalan susur desa pada hari itu pun berakhir di rumah Pak Maksimus. Melihat kami yang mulai terpotong-potong nafasnya dan tak henti hentinya menanyakan "ini masih jauh, Pak?" nampaknya Pak Mus mulai tak tega dan memberi waktu untuk beristirahat, lagi. Itulah harinya, hari kedua berada di Desa Wae Rebo. Hari dimana saya berkesempatan berkeliling, menoleh sedikit lebih jauh disana, dibalik Istana Maro. Ada warga yang tidak tersapa oleh para turis. 24 rumah warga, yang kami coba susuri satu persatu. Bukanlah rumah adat mbaru niang. Warga membangun rumah yang lebih sederhana, cukup satu tingkat saja. Rumah panggung tetap menjadi pilihan, dengan dinding berbahan bambu, ada pula yang menggunakan kayu. Penutup atap rumah pun tidak semua berlapis ilalang. Warga memilih bernaung di balik atap seng, entah mengapa. Bertambahnya jumlah keluarga yang menyesak dalam mbaru niang membuat warga harus membangun rumah di luar lingkup Istana Maro. Karena menurut kepercayaan mereka, tidak diperbolehkan membangun rumah di lingkup Istana Maro selain ketujuh mbaru niang dengan compang sebagai pusatnya. Berawal dari pembagian lahan kebun, dimana pemilik lahan kebun pada umumnya mendirikan tempat peristirahatan di dekat kebunnya, berupa rumah singgah sederhana. Maklumlah karena lokasi kebun cukup jauh dari Istana Maro, ratusan atau ribuan meter. Hingga kian lama kian melebar dan terbentuklah sebuah rumah yang pada akhirnya ditinggali oleh warga.

51


Sempat muncul pertanyaan, “adakah persyaratan ataukah pertimbangan apa saja yang warga perlukan untuk membangun rumah, selain pemilihan lahan harus di luar lingkup Istana Maro?� Pak Mus menjelaskan, bahwasanya yang dibutuhkan hanyalah adanya kebun untuk mereka bekerja. Selain itu boleh dimana saja, asalkan tanahnya rata dan tidak memasuki wilayah hutan. Singkatnya, dimana ada kebun, disanalah rumah akan dibangun. Warga Desa Wae Rebo yang tinggal di luar lingkup Istana Maro mungkin sedikit lebih tenang hidupnya tidak terusik oleh kedatangan turis yang tiada habisnya tiap saat. Pada umumnya mereka memiliki hewan peliharaan, baik anjing ataupun babi, adalah yang paling setia menjaga kebun, tutur seorang bapa yang sedang asyik menjemur kopi.


Seperti halnya mama-mama lain yang mendiami Istana Maro, warga di sini pun menenun kain Sangke. Yang nantinya juga akan dijual kepada para turis dilingkup Istana Maro. Kain Sangke/songket yang hangat dengan motif yang indah. Sempat kami temukan sebuah mainan yang unik di salah satu rumah warga. Oto, merupakan bahasa Manggarai dari mobil. Mobil-mobilan yang kami temui terbuat dari botol kosong. Pasang tutup botol ditusuk dan dijadikan roda. Kemudian dikaitkan dengan tali pada leher botolnya agar bisa berjalan ketika ditarik. Sederhana, namun membahagiakan bagi mereka. Setiap pijakan kaki di tanah ini sunggu tidak akan terlupa, desa yang baru pertama kali kami jamah, namun kami disambutnya dengan penuh ramah tamah. Bagaikan keluarga yang sudah lama terpisah. Inilah Wae Rebo,

Desa di Atas Awan desa di belahan timur Nusa Tenggara desa yang bangkit dari kerapuhan desa yang syarat akan adat dan budayanya desa dengan seribu bintangnya di malam hari desa dengan kabut tipis manjanya di sore hari desa dengan hamburan kopinya di siang hari Terima Kasih untuk setiap senyuman manis warganya yang menyejukan untuk setiap tetes kopinya yang menghangatkan untuk setiap perbincangan malamnya yang mengeratkan untuk setiap tabuhan gendangnya yang mendamaikan untuk setiap keteguhan adatnya yang mengesankan Wae Rebo,

tetaplah dalam kesederhanaan yang membahagiakan.

53


“adalah hal yang sangat menarik ketika kami semua datang dan disambut begitu luar biasa dengan keramah-tamahan dari tiap penduduknya, sebuah tradisi dimana orang-orang berkunjung disambut dalam bentuk upacara dan atas himbauannya untuk tidak melakukan aktivitas didalam desa termasuk memotret atau merekam . maka dengan itu semua bisa khidmat dalam suasana penerimaan.� – Melinda Fauziyah


A SHORT NOTE OF PICTURE TAKER

30055

Langkar dalam sebuah perjalanan menuju tempat yang tak terjamah dunia kekinian, terdapat hal diluar logika namun menjadi sesuatu yang dipegang teguh dan utuh bersama-sama. Langkar, sebuah media yang digunakan masyarakat Wae Rebo untuk menyimpan sesaji sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur, tergantung di setiap pintu bilik kamar mungil untuk tiap keluarga.

59 55


Embun

embun pagi kala itu bukan embun pagi biasa yang saya rasakan di ibukota, ataupun kota besar lainnya. bukan juga juga embun yang ada di pesisir pantai yang ada di sekitar rumah nenek saya. pagi-pagi kala itu adalah pagi yang tenang, pagi dimana tidak ada distraksi dari berbagai macam tuntutan, yang selana ini terasa; di hari-hari biasanya.


Keluarga ada yang bilang tinggal di pedalaman itu tidak enak, karena repot, karena jauh dari pergaulan, karena bukanlah sebuah pergaulan yang ada di dalamnya; namun kekeluargaan. adalah hal yang sangat menarik ketika kami semua datang dan disambut begitu luar biasa dengan keramah-tamahan dari tiap penduduknya, sebuah tradisi dimana orang-orang berkunjung disambut dalam bentuk upacara dan atas himbauannya untuk tidak melakukan aktivitas didalam desa termasuk memotret atau merekam . maka dengan itu semua bisa khidmat dalam suasana penerimaan. maka tidak ada alasan untuk berhenti sejenak dan menikmati suasana yang ada.

57


“Dan Mero.... ya Mero memilih untuk tinggal di Desa Wae Rebo bersama Laurents. Tempat paling nyaman dengan angin sejuk yang berhembus dan pemandangan bukit yang indah. Tempat yang sangat nyaman bagi kucing ini untuk tidur sepanjang hari.� – Willy Imam


CERITA WAE REBO: Laurents dan Mero Si Kucing

30199

Di suatu desa bernama Wae Rebo, Laurents seorang bocah laki-laki pemberani terbangun dari tidur lelap tidurnya. Merasa tidak nyaman untuk kembali tidur, Laurents memutuskan untuk keluar dari Mbaru Niang (rumah adat Desa Wae Rebo). Suasana masih sedikit gelap saat menjelang fajar. Namun terdapat sedikit cahaya matahari terbit yang memperlihatkan keindahan alam di sekitar desa. Desa nan indah yang dikelilingi oleh perbukitan. Laurents menghirup nafas panjang menikmati sejuknya pagi hari di Desa Wae Rebo. Terlihat dari jauh seorang pria muda sedang berjalan. Rupanya Uya terlihat sedang membawa peralatan mandi. “Hai Uya, rajin sekali kau mandi pagi hari begini!” kata Laurents. Uya kaget saat Laurents menyapanya dan terlihat sedikit gugup. “Eh..... rupanya kau. Ehmm.. iya... aku... anu..... harus pergi ke kota untuk mengantar hasil panen kita. Ya benar pergi menjual hasil kebun kita. Iya iya...” jawab Uya dengan ragu. “Jadi kau akan pergi ke kota? Bolehkan aku ikut denganmu, uya ? bolehkan?!!” sahut Laurents. “Baiklah, tapi hanya jika orangtuamu mengizinkan ya?!” kata uya. Singkat cerita Laurents dan Uya pun pergi untuk menjual kopi hasil panen dari desa mereka ke kota. Laurents tampak bosan melihat Uya sibuk dengan urusan bisnis. Laurents pun memutuskan untuk berjalan-jalan untuk menghilangkan rasa penat. Asik berjalan-jalan melihat keadaan kota Laurents menyadari ada seekor kucing mengikuti langkahnya. Kucing dengan bulu berwarna putih cerah dengan corak hitam di punggungnya. “Hai kucing kecil, kenapa kau mengikutiku terus?” tanya Laurents pada sang kucing. “Aku adalah kucing dewasa sekarang. Kini aku tak bisa mengikuti ibuku lagi”. ”Aku harus mandiri sekarang. Tapi aku tidak tau apa yang akan aku lakukan, jadi aku putuskan untuk mengikutimu saja” jawab si Kucing. “Hei, aku bukan seorang penjaga kucing kecil. Aku tidak mau kau merepotkanku nantinya” kata Laurents. “Tenang saja aku tidak akan merepotkanmu. Aku hanya akan mengikutimu saja” sahut si Kucing. “Baiklah kalau begitu, tapi kita belum sempat berkenalan tadi. Kamu bisa memanggilku Laurents. Siapa namamu?” tanya Laurents.

59


“Aku tidak memiliki nama. Kau bisa memanggilku Kucing” “Tidak.. tidak... kamu butuh sebuah nama. Kalau begitu aku yang akan memberikanmu sebuah nama” sahut Laurents “Mulai sekarang namamu adalah Mero. Bagaimana?” “Wah... nama yang bagus. Baiklah kamu bisa memanggilku Mero.” Laurents dan mero pun asik bermain di kota. Tak terasa sore hari datang. “Aduh. Gawat. Uya pasti mencariku” kata Laurents dengan cemas. “Laurents, Siapa Uya yang kau maksudkan itu?” tanya Mero. “Aku dan Uya ke kota untuk menjual kopi hasil panen kami, karena bosan aku pergi bermain tanpa uya ketahui. Dia pasti akan memarahiku nanti” kata Laurents. “Sebaiknya kita harus kembali ke Desa. Mero, Kau akan ikut denganku ke Desa Wae Rebo kan?” tanya Laurents. “Aku belum pernah pergi jauh sebelumnya, apakah kita akan melewati hutan? Aku takut ada hewan buas disana” jawab Mero yang terlihat khawatir. “Tenang, desaku sangat indah dan tidak ada hewan buas disana” jawab Laurents. Mero memang sedikit takut, namun karena tekadnya untuk hidup mandiri mero memutuskan untuk mengikuti Laurents. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan seorang pengembara yang sedang beristirahat. Pengembara tersebut beristirahat di sebuah batu yang berada di aliran sungai kecil dengan air yang jernih. “Hai anak muda, apakah di dekat sini ada sebuah desa yang bisa ku singgahi. Aku sangat letih dan ingin beristirahat” kata si Pengembara. “Hai tuan, perkenalkan namaku Laurents. Aku dan Mero akan kembali ke desaku” jawab Laurents. “Namaku Robert, senang bisa bertemu kalian, Laurents dan Mero” jawab si pengembara. “Kau bisa ikut jika kau mau. Tapi kita harus bergegas karena akan sulit untuk berjalan di hutan pada malam hari” jawab Laurents. “Kau benar. Hari sudah sore dan sebentar lagi malam tiba. Tampaknya kau harus pergi terlebih dahulu. Aku tidak bisa untuk berjalan dengan cepat. Kakiku terluka karena batu tajam di perjalanan” kata Robert. Laurents tampak berfikir keras untuk bisa mencari solusi terbaik. Tubuh Laurents yang masih kecil tidak mampu menopang robert yang lebih besar darinya. Mero juga tampak tidak setuju untuk membiarkan Robert begitu saja. “Aku mungkin tidak bisa menerangi jalan, tapi kami bangsa kucing memiliki mata yang mampu menyesuaikan keadaan. Meskipun dengan cahaya yang sedikit aku tetap bisa melihat. Aku akan berusaha untuk menuntun jalan” kata Mero. “Aku rasa tidak ada pilihan lain. Baiklah mari kita lakukan” jawab Laurents. “Maafkan aku jika merepotkan kalian” kata Robert. “Saling membantu adalah salah satu keutamaan kita sebagai makhluk hidup. Tenang saja” sahut Laurents. Akhirnya matahari pun terbenam. Jarak yang masih harus mereka tempuh agar bisa mencapai Desa Wae Rebo adalah sekitar 6 km.


“Sudah mulai gelap. Aku sudah tidak bisa melihat jalan lagi” kata Robert. “Mero kami sekarang bergantung padamu. Tolong bantu kami ya” kata Laurents. Laurents dan Robert terus melihat kebawah mengikuti seekor kucing putih yang menuntun mereka. Namun, mereka berjalan sangat lambat dan berhati-hati karena berada di tengah hutan yang gelap. Ditambah lagi kaki robert tidak bisa dipaksakan untuk bergegas. Di tengah perjalanan mereka terhenti. Laurents, Robert dan Mero terdiam dan ragu untuk melangkah maju. Hal tersebut disebabkan ada seorang nenek tua yang berdiri di tengah jalan yang harus mereka lewati. Entah bagaimana sosok nenek tersebut terlihat jelas terkena cahaya bulan meskipun daerah lain tetaplah gelap. Seorang nenek dengan seekor musang di bahunya. “Apa yang sebaiknya kita lakukan?” tanya Robert yang tampak pucat. Nenek tersebut terdiam dan memandangi mereka bertiga. “Sebaiknya kita kembali saja. Aku takut sekali Laurents” bisik Mero yang bersembunyi di belakang kaki Laurents. “Tidak. Kita tidak bisa kembali. Lagipula kaki robert tidak mampu jika kita harus kembali ke kota” jawab Laurents dengan tegas. “Hai nenek, perkenalkan namaku Laurents, ini temanku Mero si kucing dan Robert. Kami harus kembali ke Desa Wae Rebo karena orangtuaku pasti sangat cemas. Selain itu kaki Robert terluka dan harus segera diobati. Jadi bisakah nenek mengizinkan kami untuk lewat?” tanya Laurents dengan suara yang gemetar. “Bergegaslah” jawab sang nenek. “Semuanya sudah mengkhawatirkanmu Laurents”. Musang yang berada di bahu nenek tersebut turun dan mendekati Laurents, Robert dan Mero. “Dia akan menuntunmu untuk kembali ke Desa Wae Rebo. Bergegaslah” kata Nenek tersebut. “Terimakasih banyak atas bantuanmu” jawab Laurents. Mereka bertiga pun lantas melanjutkan perjalanan tanpa berani menengok kearah belakang. Musang menuntun mereka bertiga menembus gelapnya hutan. Musang berbulu cokelat dengan warna perak di punggungnya yang memancarkan cahaya membantu mereka dengan mudah berjalan. Tak sepatah katapun keluar dari mulut Laurents, Robert maupun Mero. Sampai akhirnya mereka bertemu dengan 3 orang warga Desa Wae Rebo membawa obor. “Hey Laurents, apa yang kau lakukan hingga larut malam? Orangtuamu sangat mencemaskan keadaanmu”. “Maaf paman, tadi aku terlalu asyik bermain. Untung saja ada si musang kecil yang menuntun kami menuju desa” jawab Laurents. “Musang apa yang kau maksud itu? Tampaknya kau sudah lelah sehingga berhalusinasi”. Robert tampak menoleh ke segara arah mencoba untuk mencari musang tersebut. Namun ternyata musang tersebut sudah tidak ada. “Tadi.... itu ada.... ah yasudah. Perkenalkan ini adalah temanku Mero si Kucing dan Robert. Kaki Robert terluka jadi kita harus cepat mengobatinya” kata Laurents. Mereka pun langsung kembali berjalan menuju Desa Wae Rebo dan menghentikan pencarian. Semua warga yang mencemaskan Laurents tampak lega melihat Laurents kembali dengan keadaan baik. Namun Tetap saja hukuman menanti Laurents karena bertindak ceroboh meninggalkan uya dan membuat warga dan orangtuanya cemas. Robert tinggal beberapa hari di Desa Wae Rebo menunggu luka di kakinya sembuh. Selama di desa dia banyak mempelajari keindahan Desa Wae Rebo. Dan Mero.... ya Mero memilih untuk tinggal di Desa Wae Rebo bersama Laurents. Tempat paling nyaman dengan angin sejuk yang berhembus dan pemandangan bukit yang indah. Tempat yang sangat nyaman bagi kucing ini untuk tidur sepanjang hari.

61


“Arsitektur adalah bonus dari sebagian kecil yang kami dapatkan. Lebih berharga dari itu, sekarang kami memiliki keluarga baru. Keluarga yang menerima dengan baik kehadiran kami saat itu. Keluarga dengan segala kesederhanaannya, sifat apa adanya Ya, warga kampung Waerebo� – Eko Budi Prasetyo


KELUARGA BARU

40138

Setelah menempuh perjalanan panjang Semarang - Manggarai Sore itu, perjalanan masih harus kami lanjutkan Menuju suatu tempat Di lembah yang biasa saja Dengan tujuan yang tidak biasa Perjalanan yang cukup melelahkan, tapi terasa biasa saja Akhirnya tiba di desa di atas awan, yang sungguh indah luar biasa Kami bertemu figur-figur yang penuh dengan senyum, senyum yang menginspirasi Yang menyambut hangat kedatangan kami Yang memberi banyak pelajaran di waktu yang singkat Yang menjadi guru kami selama belajar disana Yang mengajarkan kami banyak hal tanpa menggurui Arsitektur adalah bonus dari sebagian kecil yang kami dapatkan Lebih berharga dari itu, sekarang kami memiliki keluarga baru Keluarga yang menerima dengan baik kehadiran kami saat itu Keluarga dengan segala kesederhanaannya, sifat apa adanya Ya, warga kampung Waerebo Semoga suatu hari dapat kembali lagi Berkunjung ke rumah keluarga kami Di timur Nusantara

63


“Untuk saat itu, Wae Rebo tidaklah seperti sekolah yang dibayangkan sebelumnya. Berada di Wae Rebo terasa seperti pulang, satu kata yang menggambarkan perasaan saat tinggal disana. Bukan pulang dalam arti ingin kembali karena ketidak nyamanan, tetapi pulang, seakan Wae Rebo adalah rumah dan keluarga kami, dimana kami mulai belajar dan memahami kehidupan. � – Nabila Ilmi Hakimah


WAE REBO: Menemukan dan Ditemukan

Wae Rebo, sebuah sekolah singkat yang dicapai dengan sedikit bekal dan rasa haus ingin berkenalan. Hal itu terhenyak dalam benak saat keberangkatan. Sebuah sekolah yang tidak biasa, yang akan mengajarkan kami, sekelompok mahasiswa arsitektur, mengenai hal-hal yang sudah kami diskusikan untuk dipahami dari perjalanan tersebut. Berbekal tidak banyak pemahaman mengenai arsitektur vernakular dengan gambaran umum Wae Rebo, rasa haus kami akan Wae Rebo semakin menjadi seiring mendekatnya kami pada destinasi, rasa haus untuk segera bertemu dengan sebuah desa yang menjadi sorotan nasional maupun internasional karena keberadaan dan keberlangsungannya . Pak Yori Antar berkata kepada kami, “Wae Rebo adalah tempat menuntut ilmu yang tidak kalian dapat sebelumnya, dan masyarakat akan menjadi guru-guru kalian�. Seperti yang dipikirkan pada awalnya, Wae Rebo akan menjadi sekolah yang luar biasa, dengan banyak cerita serta pengalaman yang akan kami dapat nantinya. Tinggal di Wae Rebo selama tiga hari, kami mencoba untuk merekam bahasan yang telah didiskusikan sebelumnya. Dalam tiga hari itu, ada sebuah kesadaran yang hadir dari interaksi dengan Wae Rebo. Untuk saat itu, Wae Rebo tidaklah seperti sekolah yang dibayangkan sebelumnya. Berada di Wae Rebo terasa seperti pulang, satu kata yang menggambarkan perasaan saat tinggal disana. Bukan pulang dalam arti ingin kembali karena ketidak nyamanan, tetapi pulang, seakan Wae Rebo adalah rumah dan keluarga kami, dimana kami mulai belajar dan memahami kehidupan. Hidup ditengah masyarakat yang bertradisi, itu adalah salah satu dari sekian banyak alasan kenapa Wae Rebo memberikan kenyamanan seakan rumah kami sendiri, seakan pulang pada tempat yang tepat. Ditengah kehidupan abad-21 yang cenderung menciptakan hirarki sosial dengan bentuk budaya masyarakat yang semakin kebarat-baratan. Wae Rebo memberikan sebuah perasaan segar akan kerinduan pada bangsa, pada budaya Indonesia sendiri yang memiliki banyak ragam.

65


Selama tiga hari tersebut, selain mendapatkan pengetahuan mengenai sosial-budaya desa Wae Rebo, dapat diketahui pentingnya eksistensi budaya dan tradisi dalam arsitektur. Secara garis besar, keberadaan tradisi di desa Wae Rebo memberikan pengaruh besar pada arsitekturnya, dan kemudian arsitektur tersebut mengakomodasi budaya masyarakatnya. Sehingga hubungan antara sosial-budaya, tradisi, dan arsitektur di desa Wae Rebo, memberikan dampak besar untuk menjaga keutuhan satu dengan lainnya dan membentuk suatu ruang yang mendekatkan semua orang yang ada disana. Berbekal tema Arsitektur dalam Tradisi, dan mencarinya melalui aspek sosial-budaya, banyak hal dari aspek tersebut yang memiliki hubungan timbal balik, berpengaruh dan dipengaruhi, antara arsitektur dengan tradisi. Seperti, interior pada Mbaru Niang memiliki hirarki kamar tidur dalam setengah lingkaran, yang tersusun dari luar ke dalam berdasarkan urutan keturunan. Ataupun tata ruang desa yang ada karena kepercayaan masyarakat akan kesetimbangan alam yang berpengaruh dan dipengaruhi oleh proses ritual. Dari hal-hal tersebut kami memahami bahwa, arsitektur bukan hanya sekedar proporsi, komposisi, maupun teknik konstruksi. Arsitektur menemukan dan ditemukan diantara budaya dan tradisi dan memiliki nilai penting sebagai sebuah ruang untuk manusia menemukan dan memiliki integritas, sebagai manusia, sebagai bagian dari alam, sebagai makhluk Tuhan. Dari Wae Rebo, kami belajar seperti anak yang baru akan mengenali lingkungannya. Dari Wae Rebo, kami memahami nilai-nilai hidup yang luhur. Dari Wae Rebo, kami menemukan sebuah ikatan antara kepercayaan, budaya, manusia, alam, dan arsitekturnya. Ikatan yang menghanyutkan kami dalam sebuah pemikiran akan pentingnya sebuah tradisi dalam arsitektur, tidak hanya sebagai sebuah identitas di tengah keseragaman arsitektur Indonesia, tidak hanya sebagai sebuah jawaban yang layak akan pelestarian lingkungan di tengah permasalahan lingkungan yang semakin marak, tapi sebagai sebuah keberlangsungan. Keberlangsungan manusia yang kembali pada hakikatnya, sebagai makhluk sosial, sebagai bagian kecil dari semesta. Mungkin, itu adalah alasan kenapa Wae Rebo bagaikan rumah bagi kami, sebuah rumah yang kami rindukan hingga saat ini. Karena kami dibawanya pulang kesebuah tempat, dimana kami menemukan sesuatu yang kami cari, sesuatu yang kami rindukan sebagai makhluk sosial yang sadar akan bumi dimana kami berpijak.


67


“The ritual might be artificial, but whose the control of people? The manner might be deceiving, but whose the life of culture? We can't tell them, that's the essence. We shouldn't.” – Hasan Abdul Aziz


30054

In pleistocene age, where the Neanderthal were faraway from extinction. They were known and exposed as the origin of contemporary culture. The age of carving were started alongside this age and altogether with tools-development. Despite inbetween thousand years ago, they were allegedly died out and considered became extinct. And the year written as also the neo historical of modern human emergence. The dispute of legitimate true, is also served by its own filed substantiation. Every remained evidence is all carved and found buried among times. And there only left a sub notes and developed hypotheses, of its extinction and transition with cro-magnon, modern human ancestor. As the timeline voyage is perpetually written, by the anatomy itself and notable cave art.

WRITE AND WITHDRAW History is impossible without the written word as one would lack context in which to interpret physical evidence from the ancient past. Writing records the lives of people and so is the first necessary step in the written history of a culture their collective history, and their experiences with the human condition, and to preserve those experiences for future generations. As the fame quote by Pram,

“People may be clever as above the highest sky, but as long as he does not write, he would be lost in society and history. Writing is a work for eternity.� So why do history courses place such an emphasis on writing? Writing is both an essential part of the learning process and one of the most important ways that historians communicate their ideas and conclusions to one another.

69


The act of writing forces you to take your knowledge of a subject and other information that is available to you on that subject and organize it all into a coherent and concise presentation. Moreover, when you argue something in print, you must convince your reader of the validity of your argument through clear prose and the careful use of fact rather than with eloquent speech or the conviction in your voice. Everyone knows Ernest Hemmingway, Socrates, even Nietzsche. They lived dozens even thousands years before us. And they still live in our environment of thinking, the basic learning about literature reference. But why? Because they write. And never let themselves drown among times and civilization outgrowth. So they deal the withdrawal and to obligate the legitimate notes as the previous work of comprehensive history. Writing and history do really could not stand separated as an individual matter. But what about with memory?

MEMORY AND HISTORY The old pond, yes, and A frog is jumping into The water, and splash. The Old Pond – Matsuo Basho Each every wind that blows, every water that spills. Leaves mark and tendencial hint. Once every words that spoken and written, leaves the frozen time interpreted in different form. We in a vary way sometime finds history as the origin preface of explanation and theory. As the most valid and well assured, it comes also to tell the value of space. Space as representing place making and building to the larger environment. And both of the topic supporting each other and complete. History as said in previous indirectly told itself as a strong contributor to the validation of notes. And as the past reconstruction, history being formatted by the historian objectively and in most detail. “Therefore history known and believed its certainty, and its universality – as everyone belonging.” Nevertheless in the same rate, its distance that made while reconstruct the past, and because of the objectivity aftermath, history doesn't belong to anyone. It is stick to the time and time and time that left among age, doesn't embodied to the individual subject.


Differently, memory embodied to individual being and makes thing deeper and more meanful. Memory as would be distinguished, is a personal noun and less holistic. A subjective, contextual, and particular, in descriptive stands for memory. Therefore memory felt more individual and also intimate. Along with the monsieur, it becomes organic.It grows for the fluctuative time of remembering, adding more and more. Because of the placement itself in a vary object, and depictive, concrete visual, paint, sensory and that's why it is embodied as a personal experiences. But however it could be more expanded and genericly experienced. Maurice Halbwachs, in his book On Collective Memory (1992) says individual memory could not be embodied to the personality itself. It is placed alongside on a common ground and pertain other shelf of memory placement. And becoming the collective memory as the community and section built. Fused with another subject by the typical background. In their book Body, Memory and Architecture, an early study in the embodied essence of architectural experience, Kent C. Bloomer and Charles Moore emphasize the primacy of the haptic realm similarly: �The body image [‌] is informed fundamentally from haptic and orienting experiences early in life. Our visual images are developed later on, and depend for their meaning on primal experiences that were acquired haptically.�1 That means memory as the structural based supporting the main construction of place-making. The memory itself being sculptured and crafted for the depth of feelings, and makes actual experience to the time. Its detail helps everyone built their own space of memory on a shelf. Places the personal event in the right shelf and well arranged.

1 Kent C Bloomer and Charles Moore, Body, Memory and Architecture. New Haven and London: The Yale University Press, 1977, 44.

71


WAEREBO AND TODO We have an innate capacity for remembering and imagining places. Perception, memory and imagination are in constant interaction; the domain of presence fuses into images of memory and fantasy. We keep constructing an immense city of evocation and remembrance, and all the cities we have visited are precincts in this metropolis of the mind. Juhani Pallasmaa in Eyes of The Skin Juhani Pallasmaa on his book also, Understanding Architecture, said architecture as the media of remembering in three ways. Firstly, architecture formed and materialized the time and possibly made it more be seen. Secondly, architecture concretise memory by projecting and placed them in an arrangement. Last, architecture inspiring and stimulate us to remembering and imagines. As also Pallasmaa says, “memory as a fertile media for the growing imagination. And who can't memorise, can't imagines.�2 Architecture as the media of remembering shows the interconnection of space and time. Shape of the ancient building is just one of the media, moreover we sense the space, texture, scent, and connection. The old buildings often enjoyed by its incompleteness. Corrugated facade skin, corroded structure, greasy ceiling and broken, and lack of elements that has transformed from origin. It shows that as the time goes by, there always things that left behind. Tell us each element of old building just the notes derived and represent the past event. The authentic activity of utilization is impossibly seen. But sense more for the element which has been touched, nudged, and wounded. A few months back, was a unbearable voyage. Everything was happened for a reason. And we were there being altogether among the neo historical site. The polemic living culture. The east of Indonesian part, East Nusa Tenggara. A white rooster and a jug of traditional herb water was the first connected us with Manggarai land, the people. The gifts as the preface page of book, will deliver us to the real fragment of related polemics. The way of perceive thing by person might be, ought to be, different. They might have seen a lot of birds, scent of the wounded vegetation, and bold haze by the journey as a pleasing second of the time. Meanwhile otherwise felt the differences and lost in unusual strange feelings. Therefore we convey the word in also different form of interpretation.

2 Pallasmaa, Juhani and Robert McCarte, Understanding Architecture, Phaidon Press, 2012, 329. Zumthor, Peter, Atmospheres: Architectural Environments and Surrounding Objects, Basel, 2006.


Everything was fine in Waerebo. They lived among the tradition and manners felt in every each habit. They made themselves easily distinguished and by the written stories, they completed. They living the culture as not a heritage thing being in a museum, in silent conversation. Everyone could be in their backyard, anyone could be stand beside honoured elders. The interaction between human is merely symbolized by coffee beans on a roaster. There is no bad beans after all the process, the distinction is always high price and higher. The imperfect human being and the perfection god's creature. They fuses to be the attribution of today's narrative story. The step was continued to the next room. Room of confession where everything that had been said was also confusing for its bluntly arrogancy. The arrogancy itself is a personal sentiment nonetheless felt by almost everyone whom in group. The polemic began showed up as the word of jealousy for their blood-brother, Waerebo, became more and more well-known with its mighty living space mbaru niang. They said mbaru niang was one of Manggarai realm's legacy as the elder communal space. The reign mansion of Todo kingdom. The only evidence left, and the potent, which niang gendhang (the primary one) should also stored loke nggerang inside, the kettledrum made of real human foreskin. That their beliefs which also has been confirmed by the Manggarai in Waerebo. Either the fact or superstition must be came with a reason. Unfortunately, their belief of ancestor in both village came as the first hierarchial option, before the written faith legitimated by government. That makes every conclusion based on the meditation and ritual, couldn't be intervened and sued by the non-inhabitant. The disengagement of Todo people to the detail of daily cultural life might be came as the walk-through of modern era. Either for goods or the recilience for held the governmental throne, it should be the wisdom they have taken. So, they are now inseparably independent. As the cultural correlation with the higher context of human way to correspond. And as the vertical relation they have agreed, the prime consideration it should be. The ritual might be artificial, but whose the control of people? The manner might be deceiving, but whose the life of culture? We can't tell them, that's the essence. We shouldn't.

73


“Wae Rebo selalu dapat menorehkan kerinduan di hati setiap orang yang sudah mengunjunginya, entah karena suasana kebersamaan ataupun para warga yang begitu ramah dan terbuka kepada setiap pengunjung yang datang.� – Ladita Putri Sulviawati


SATU BANGSA : Indonesia Niang Gendang, tempat dimana kami menghabiskan malam terakhir di Desa Wae Rebo. Lagilagi kami merasakan suasana yang sama, suasana dimana kehangatan dan keakraban begitu terasa. Sejak awal pun saat kami datang, kami sudah sempat merasakan kehangatan suasana berkumpul bersama masyarakat Wae Rebo dan bahkan Pak Yori Antar, yang merupakan pendiri sekaligus ketua dari yayasan rumah asuh. Kebetulan kedatangan kami bersamaan dengan kunjungan Pak Yori beserta rombongannya. Memang, setiap pengunjung yang baru datang harus masuk ke Niang Gendang terlebih dulu untuk melakukan “Upacara Penyambutan�.

- gendang sakral

- niang gendang

Entah kenapa, di malam terakhir kami, di Niang Gendang, kami merasa begitu di istimewakan oleh masyarakat Wae Rebo. Malam itu, kami semua, Mahasiswa Arsitektur UNDIP beserta tiga dosen pembimbing, Pak Budi, Pak Agung, dan Pak Resza, berkumpul untuk menyaksikan penampilan para tetua adat Wae Rebo memainkan musik gendang sembari melantunkan beberapa nyanyian khas Desa Wae Rebo. Diantara gendang-gendang yang ada, terdapat dua buah gendang yang terbilang sakral. Konon, apabila terjadi suatu musibah di Desa Wae Rebo, maka benda wajib yang harus di bawa oleh warga yaitu dua gendang sakral tersebut.

75


Kami beruntung, yang biasanya “Gendang� sebagai alat musik khas Wae Rebo hanya dimainkan dan dipertontonkan pada saat acara-acara penting, namun mereka pada malam itu, tepatnya tanggal 18 Agustus 2015, khusus mempersembahkannya untuk kami. Kami patut berbangga. Mereka juga tidak membatasi siapa yang dapat melihat penampilan langka tersebut, terlihat banyak pengunjung lain yang sama beruntungnya dengan kami, dapat menyaksikan para tetua adat memainkan alat musik tradisional Desa Wae Rebo. Tidak berakhir sampai di situ, kami berkesempatan untuk mencoba memainkan alat musik Gendang tersebut. Dengan dipimpin oleh Pak Agung beserta teman kami lainnya yang sudah siap dengan masing-masing gendang, pun membalas persembahan yang mereka berikan dengan sebuah lagu “Satu Nusa Satu Bangsa�, lagu yang menurut kami, cukup menggambarkan bahwa kita semua satu, satu bangsa Indonesia, tidak peduli seberapa jauh jarak memisahkan.


Wae Rebo selalu dapat menorehkan kerinduan di hati setiap orang yang sudah mengunjunginya, entah karena suasana kebersamaan ataupun para warga yang begitu ramah dan terbuka kepada setiap pengunjung yang datang. Kami berharap, Wae Rebo akan tetap menjadi desa yang kental dengan adat serta dapat lebih memperkenalkan Mbaru Niang sebagai arsitektur tradisional Indonesia kepada masyarat lokal maupun mancanegara.

77


“Suasana desa yang nyaman, rukun, dan keramah-tamahan masyarakatnya dengan senyuman tulus khas orang Flores yang selalu menghias wajah. Gelak tawa, masyarakat Wae Rebo duduk bercengkrama menikmati sore, melepas lelah tak lupa juga ditemani secangkir kopi. � – Ado Andang


SECANGKIR KOPI DARI INDONESIA TIMUR

40144

Cerita secangkir kopi yang berasal dari negeri kecil Indonesia Timur, negeri yang berdiam di antara barisan bukit, diselimuti oleh kabut, hutan tropis sunyi, dan jauh dari keramain kota, serta menyimpan harta yang tak ternilai. Adalah Wae Rebo, sebuah desa adat yang terletak di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Barat, butuh waktu 3-4 jam untuk mencapainya. Membelah hutan tropis sepanjang 9 km dengan menapaki jalan setapak, terjal, dan berbatu. Nampak dari kejauhan samar-samar bangunan berbetuk kerucut tertutup kabut putih tipis, menyatu dengan dekapan alam. Suasana desa yang nyaman, rukun, dan keramah-tamahan masyarakatnya dengan senyuman tulus khas orang Flores yang selalu menghias wajah. Gelak tawa, masyarakat Wae Rebo duduk bercengkrama menikmati sore, melepas lelah tak lupa juga ditemani secangkir kopi. Kopi ibarat air putih bagi penduduk Wae Rebo setiap harinya, baik pagi, siang, dan malam, kopi menjadi minuman wajib bagi penduduk Wae Rebo. Rasanya tak lengkap apabila belum meminum secangkir kopi hangat. Kopi merupakan salah satu mata pencaharian yang menopang kehidupan penduduk Wae rebo. Pohon kopi ditanam di sekitar kampung adat Wae Rebo, beberapa macam kopi ditanam seperti kopi arabika dan robusta. Kopi-kopi tersebut memiliki waktu panen yang berbeda, untuk kopi robusta membutuhkan waktu 8-11 bulan untuk memanennya, sedangkan kopi arabika membutuhkan waktu 6-8 bulan, selain itu perbedaan juga terdapat pada ciri khas rasa dan bentuk bijinya. Pada waktu panen kopi yang sudah merah dipetik, ditampung, dan digiling dengan mesin giling sederhana untuk melepaskan kulit dengan bijinya.

79


Proses pembuatan kopi di Wae Rebo masih menggunakan cara-cara tradisional, setelah biji kopi dipisahkan dari kulitnya kemudian dikeringkan. Proses pengeringan biji kopi membutuhkan waktu 23 hari dengan mengandalkan panas matahari. Biji kopi kemudian disangrai atau dimasak tanpa menggunakan minyak. Hal tersebut dilakukan hingga biji kopi tersebut benar-benar kering. Pembubukan kopi juga dilakukan secara tradisional, menggunakan alu dan lesung, para ibu-ibu bergantian untuk menghaluskan kopi. Setelah menjadi bubuk kopi, sebagian di bungkus dalam kemasan untuk dipasarkan dan sebagian lagi untuk dikonsumsi pribadi. Begitulah kiranya perjalanan secangkir kopi, mulai dari sebiji kopi, diolah dan diproses sedemikian rupa hingga berubah menjadi secangkir kopi hitam dengan aroma khas yang menemani perbincangan hangat dengan masyarakat Wae Rebo yang penuh dengan cerita dan kebudayaan mereka. Membuat keakraban yang tak ternilai harganya.

MOHE WAE REBO!!!


“ Merekam perjalanan dengan menuangkan kembali dengan tinta dan kertas dalam bentuk sketsa menjadi hal yang bersifat habitual � – Budi Sudarwanto



– Budi Sudarwanto

83


“Apakah akhir cerita itu ada? Waerebo, perjalanan itu bukan hanya soal waktu. Berapa ribu jarak yang sudah ditempuh berlalu. Berapa bukit dan gunung yang telah didaki. Atau bahkan berapa banyak jejak langkah yang telah menjadi saksi � – Resza


Rindu Kami...Agustus Lima Belas

01003

Hari itu, Agustus lima belas Ketika serdadu nusantara sudah menyiapkan langkahnya Menyusun barisan menapaki jalan dunia Menuju petualangan yang mungkin saja tak biasa Sesaat harus meninggalkan kenyamanan Menghimpun hasrat menanggalkan kesempurnaan Hanya untuk sebuah mimpi Melihat bagian dari negeri Yang konon katanya ibarat surgawi Apakah kebetulan itu ada? Ketika diri ini menjadi bagian dari barisan mimpi Yang mungkin hanya datang satu kali Tak ada keraguan untuk tidak berhenti Tak ada kebimbangan untuk harus berdiri Dan berlari melangkah pergi Hari itu, Agustus lima belas Kami merapatkan diri Mengikuti kata hati yang penuh pasti Memenuhi panggilan janji Atas rakyat yang setia menanti

85


Mungkinkah keajaiban itu ada? Ketika pada setiap hentakan langkah raga Kami mendengar senandung alam bersuara Sesekali mengiringi lelah dan tawa Sejenak menemani setitik cahaya diantara kelabu senja Sampai perlahan sunyi Hingga kegelapan-pun tak segan menghantui Dan sekejap saja Ribuan langkah itu telah terlewati Bersama asa Yang turut larut dalam sepi Meninggalkan catatan seorang pengembara Untuk sekelompok jiwa yang murni Barisan penjaga nusantara Apakah akhir cerita itu ada? Waerebo, perjalanan itu bukan hanya soal waktu Berapa ribu jarak yang sudah ditempuh berlalu Berapa bukit dan gunung yang telah didaki Atau bahkan berapa banyak jejak langkah yang telah menjadi saksi Hari ini... Memori itu kembali Pada rindu yang datang dan pergi Pada rindu yang selalu mengisi hati Pada hari ini Agustus... lima belas untuk nusantara kami senantiasa berjanji


“ Merekam perjalanan dengan menuangkan kembali dengan tinta dan kertas dalam bentuk sketsa menjadi hal yang bersifat habitual � – Agung Dwiyanto



89



91


EKSPEDISI ARSITEKTURAL NUSA TENGGARA TIMUR


ketua ekspedisi

JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

93



Memori ...Wae Rebo dan Todo Wae Rebo, sebuah tempat yang mungkin tidak akan dilupa. Desa yang menjadi pilihan dari berbagai tujuan untuk 32 orang yang rindu dan ingin tahu akan kearifan lokal. Perjalanan yang tidak biasa, yang menghadiahkan kami keluarga besar, yang mengobati kerinduan, menemukan jawab atas tanya yang semakin pudar seiring perkembangan jaman. Tidak juga kami akan melupakan Todo, satu desa tekahir yang menjadi perhentian kami di Nusa Tenggara Timur, yang menyajikan pemandangan arsitektural yang tidak asing. Menyisihkan segala perbedaan maupun persamaan yang hanya didengar, menyadarkan kami untuk melihat dan berpikir secara menyeluruh.

...agustus: 2016! Saat ini, terlewati sudah satu tahun semenjak keberangkatan kami ke Nusa Tenggara Timur. Rasa gugup dan takjub yang dulu menyelimuti pun masih terasa dengan nyata saat mengingat perjalanan tersebut. Buku ini, membawa memori. Memori yang dirangkai dalam naskah maupun gambar yang tertuai akan rindu. Tidak tepat rasanya untuk menutup apa yang ada didalam buku ini, naskah maupun gambar didalamnya akan terus mengalir, membuat kami mengingatnya sepanjang masa mengenai apa yang terjadi, apa yang kami rasakan, dan apa yang kami dapatkan, dibingkis dalam satu buku dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Hanyutlah didalamnya kawan, biarkan memori itu hidup dan merengkuhmu. Mengingatkanmu bukan hanya tentang perjalanan, pengalaman, tetapi juga kebersamaan. Sampai jumpa pada perjalanan lainnya diwaktu mendatang.

95




Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro 2016


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.