Zine fememenisme #1: Gebak-gebuk Cinta

Page 1


MERAH MUDA MEMUDAR


Tentang Kami Didirikan tahun 2017. Tidak macammacam, hanya ingin menambah khazanah feminism di Indonesia. Kenapa merah muda warna itu kerap kali diasosiasikan dengan feminitas. MMM ingin menghancurkan dan membangun baru ‘warna’ ini untuk mencari akar penindasan patriarki; dan kalau beruntung/mampu, hendak menawarkan solusi dari penindasan tersebut.

Aktivitas

Kami saat ini memiliki blog yang memuat tulisan-tulisan mengenai feminisme di berbagai aspek; budaya pop, lingkungan, politik, buruh, hukum, dll. Tulisannya hanya berbahasa Indonesia karena kami merasa jengah dengan banyak tulisan feminis yang bagus tapi tidak tersedia dalam Bahasa Indonesia. Terkadang kami membagi tautan berbahasa asing di Facebook Fanpage dan mengulasnya dengan singkat dalam bahasa Indonesia. Ke depannya kami akan menerbitkan zine secara reguler dan mengadakan diskusi langsung bersama kolektif/grup/ organisasi lain di luar MMM.


e ba G g -ukk eb C in T a

Cerita ini adalah sebuah cerita tentang percintaan antara mantan dua sejoli musik, yaitu neng Rihanna dan abang Chris Brown. Kisah ini dimulai pada tahun 2005, ketika neng Rihanna, 17 tahun, bertemu dengan abang Chris, 16 tahun di acara Vibe Awards. Hubungan mereka berjalan selama 3 tahun sebelum akhirnya pada Mei 2008, abang Chris dan neng Rihanna mengejutkan publik dengan status berpacaran mereka. Hubungan kedua sejoli ini nampak berjalan dengan baik, namun sempat tersiar kabar abang Chris menyuruh Rihanna untuk berhenti menggunakan pakaian seksi. Alasannya, ia takut pakaian neng Riri menarik perhatian laki-laki lain. Tidak ada kabar berarti dari pasangan ini hingga Februari 2009, ketika keduanya secara tiba-tiba membatalkan penampilan mereka di malam Grammy karena kecelakaan mobil. Setelah kabar kecelakaan mobil mereka menyeruak ke publik, salah satu awak media menemukan abang Chris diinterogasi di LAPD atas

dugaan penganiayaan. Ketidaksinkronan alasan kedua bintang tersebut membuat orangorang bertanya sebenarnya apa yang terjadi. Hingga akhirnya TMZ mengeluarkan berita bahwa abang Chris telah menganiaya Rihanna di mobilnya. Neng Rihanna dikabarkan menderita luka memar di kedua sisi wajah, mata bengkak, bibir sobek, hidung berdarah, dan terdapat bekas gigitan di lengan dan beberapa jarinya. Abang Chris tidak diganjar hukuman penjara, namun ia harus membayar jaminan sebesar $50,000, pelayanan sosial selama 180 jam, dan larangan untuk mengontak neng Rihanna dengan cara dan dalam keadaan apapun. Rihanna tidak mau dihubungi maupun ditanyai perihal penganiayaan yang dialaminya. Sedangkan abang Chris baru bersuara lagi 5 bulan setelah kejadian penganiayaan. Di sebuah video, dengan raut muka tegang ia terlihat meminta maaf telah memukul neng Rihanna. Membaca dan menelusuri kisah

percintaan neng Rihanna dan abang Chris yang berakhir dengan gebakgebuk membuat saya tertegun. Lalu marah. Marah besar, terutama pada besar hukuman yang diganjarkan oleh palu hakim ke abang Chris. Kenapa dia, laki-laki yang telah menggebuk pacarnya sampai bonyok fisik dan mentalnya hanya mendapatkan hukuman seringan itu? Apa karena ia laki-laki, menduduki posisi yang lebih tinggi dari perempuan, sehingga ia bisa bebas melenggang tanpa konsekuensi yang berarti? Atau karena ini hanyalah

urusan rumah tangga privat, tak boleh diusik oleh pihak luar maka sebaiknya diurus secepat dan semudah mungkin? Atau lebih parahnya lagi, karena penganiayaan dalam rumah tangga adalah necessary evil yang harus dilakukan oleh laki-laki untuk mendisiplinkan perempuan pasangannya? Kasus abang Chris dan neng Rihanna hanyalah satu dari lautan kasus kekerasan seksual dan rumah tangga yang dilakukan terhadap perempuan. WHO mencatat setidaknya 1 dari 3 perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan seksual dan non-seksual yang dilakukan oleh pasangan intim dan non-pasangan intim. Sedangkan untuk Indonesia, Komnas Perempuan mencatat bahwa setidaknya terdapat 10.205 kasus KDRT/RP yang dilaporkan dalam tahun 2016 saja. Jumlah kekerasan seksual yang dicatat oleh Komnas Perempuan itu bisa jadi hanyalah sebagian kecil dari kekerasan seksual yang sebenarnya terjadi. Kenapa “bisa jadi”? Karena masih yang menganggap bahwa kekerasan yang dilakukan oleh lakilaki terhadap perempuan merupakan hal yang normal. Malah ada yang berpikir bahwa kekerasan merupakan hal yang wajib dilakukan untuk “mendisiplinkan” pasangan. Ya, wajib dalam rangka “mendisiplinkan”, karena perempuan adalah milik laki-laki, sehingga bebas diperlakukan sesuka hati. Pola pikir masyarakat seperti ini yang menyebabkan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan. Ini menyebabkan semua perempuan


dari berbagai kultur dan kelas sosioekonomi apapun rentan terkena kekerasan dari pasangan, orangtua, atau orang terdekat lainnya. Contoh neng Rihanna di atas menunjukkan bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan yang berasal dari strata ekonomi bawah, namun juga penyanyi internasional dengan net worth jutaan dollar. Pastinya ada beberapa suara nyinyir yang mengatakan bahwa neng Rihanna hanyalah perempuan cantik enggak “pintar” yang “kebetulan” sukses. Perempuan pintar adalah perempuan kuat yang pasti enggak akan mau dianiaya pasangannya; cuma perempuan miskin atau bodoh yang mau dianiaya karena mereka berpikir dengan hati, bukan pikiran. Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya. Hasil temuan Heidi Fischer Bjelland, sosiolog dari Swedia, justru menunjukkan bahwa perempuan yang memiliki gelar dan pendapatan lebih dari pasangannya memiliki kemungkinan lebih besar untuk dianiaya secara fisik dan mental oleh pasangannya. Ini hanya menunjukkan bahwa sesungguhnya tidak ada perempuan yang kebal dari kekerasan. Mau kamu pemulung atau petani miskin yang tanahnya terancam diambil paksa oleh pemerintah kek atau CEO dari perusahaan multinasional dengan net worth milyaran dollar kek, kalau pasanganmu adalah laki-laki yang abusif, entah karena motif ekonomi atau kultural, maka kamu tetap rentan menjadi korban kekerasan.

Tetapi, fakta ini tetap tidak boleh mendiskon kenyataan bahwa perempuan dari strata sosio-ekonomi

“In a society in which equality is a fact, not merely a word, words of racial or sexual assault and humiliation will be nonsense syllables.” - Catherine Mackinnon yang lebih rendah punya resiko lebih besar untuk menjadi korban kekerasan seksual dan rumah tangga. Melihat kenyataan yang seperti ini, kita harus mengakui bahwa kekerasan yang terjadi pada perempuan adalah kekerasan sistematis. Kekerasan yang telah dinormalisasi tanpa kita sadari karena sudah meresap terlalu dalam ke tulang dan sendi masyarakat. Tapi ya bagaimana mau sadar, wong tiap hari dihajar pesan-pesan seperti itu. Dari sinetron, drama Korea, siaran ceramah tiap pagi, komentar tetangga yang cuma bisa nrimo ketika dirinya tidak diberi nafkah oleh suaminya… Atau jangan-jangan contohnya jauh lebih dekat dari yang kita kira? Memang kenyataannya sangat menyedihkan, tapi apakah ini berarti kita hanya bisa tinggal diam saja, melihat ibu dan saudari-saudari kita

dipukul sampai bonyok? Disundut asap rokok, diintimidasi, dikata-katain, atau yang sedang hangat, kasus istri di Bali yang dipotong kakinya di depan anaknya oleh suaminya yang cemburu buta? Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk melindungi diri dan mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan? Tentu saja dengan MELAWAN! Selama masih hidup dan mampu, lebih baik lawan! Jangan tunggu diri sendiri menjadi korban, karena kalau sudah terluka, enggak akan bisa melawan. Apalagi kalau mati, enggak ada yang mau membela. Oh ada sih, tapi yakin bakal terselesaikan? Kasus Munir saja dari 13 tahun yang lalu masih gantung. Munir, laki-laki pejuang HAM, yang keadilannya masih dipertanyakan setiap hari Kamis. Ironi, si aktivis HAM keadilannya masih dipandang sebelah mata. Bandingkan dengan perempuan, yang kejadian kekerasannya terjadi setiap hari, tapi di dianggap sebagai “bukan apa-apa”. Bagaimana mau dianggap, wong dianggap normal. Oleh karena itu, jangan mau tunduk pada pelaku dan sistem, apalagi disuruh sistem berdamai dengan pelaku!


Aku pulas lipstick ini ke bibirku. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Untuk menutupi bibirku yang robek karena kau gigit. Aku tekan mulut foundation-ku. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Sambil berharap dempul tebal ini bisa menutup bekas bogemmu. Aku ambil blush on dan kupulas pakai jari. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Untuk menyembunyikan bekas tamparanmu pagi ini.

Satu kali, dua kali, tiga kali. Kamu ini sebenarnya cinta aku atau benci aku? Kalau memang cinta kenapa terus dipukuli? Dihina? Dianggap sampah? Aku ingin pulang, kembali ke dekapan mama. Tapi apa daya, toh mama juga punya bekas yang sama


Kekerasan SEKSUAL Dilahirkan dengan memiliki vagina agaknya membuat kita diperlakukan dengan berbeda. Setidaknya itu yang terlintas di dalam benak saya ketika duduk di bangku sekolah dasar. Bagi saya keluarga adalah institusi pertama yang membuat saya sadar bahwa sebagai seorang perempuan saya harus memenuhi segala ekspektasi yang keluarga bebankan. Terlebih lagi ayah saya berasal dari keluarga besar yang cukup konservatif sehingga, menjadi satu-satunya anak perempuan sama sekali bukan hal yang menyenangkan. Ayah saya adalah salah satu pimpinan organisasi Islam yang kiprahnya lumayan kontroversial. Tentu sejak dini saya sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan relijius. Sedangkan keluarga besar Ibu saya berasal dari kalangan akademisi dan ini cukup mempengaruhi konflik batin yang saya alami sejak kecil. Buku-buku ilmiah yang membanjiri kamar saya banyak yang bertentangan dengan konsep agama yang mendukung kreasionisme dan konservatif. Akan tetapi, ketika

saya mencoba mempertentangkan dua konsep yang jauh berbeda tersebut yang saya dapatkan adalah amarah. Bahkan guru agama saya di bangku sekolah dasar berkata tidak seharusnya saya meragukan agama. Sejak saat itu pertanyaan-pertanyaan di kepala saya semakin banyak dan membuat saya sering menyendiri hanya untuk memikirkan jawabannya karena saya terlalu takut untuk membaginya dengan orang lain. Di bangku sekolah dasar juga saya pertama kali “berkenalan� dengan apa itu pelecehan seksual. Salah seorang guru saya menghukum anak perempuan dengan menarik tali bra kami kencang-kencang hingga menimbulkan luka kemerahan. Sedangkan, guru olahraga saya diam-diam suka merabai payudara muridnya ketika berenang. Awalnya saya tidak merasa ada yang janggal sampai tindakan guru olahraga saya terjadi berulang kali. Saya merasa malu dan tidak nyaman tapi sulit bagi saya untuk mengungkapkan dengan kata-kata. Dewasa ini saya mendengar

kabar bahwa korbannya bukan hanya saya seorang. Saat duduk di bangku SMP saya harus menggunakan jilbab dan menutup aurat saya. Jika saya menolak atau tertangkap basah tidak menggunakan jilbab di tempat umum keluarga dari pihak ayah akan memberi cap orang tua saya tidak becus dalam mendidik anak. Padahal saya selalu merasa tidak nyaman ketika mengenakan jilbab apalagi saya memakainya bukan atas keputusan saya sendiri. Apa setelah itu saya bebas dari pelecehan? Tidak juga. Catcalling masih menjadi santapan saya setiap hari. Praktik pendisiplinan tubuh ini sepertinya memberikan efek yang signifikan dalam membentuk tempramen saya. Rasa muak lamalama muncul. Khususnya ketika keluarga ayah saya kerap kali menyalahkan ibu saya atas “kenakalan� remaja yang saya lakukan, seolah mengasuh anak hanyalah tugas Ibu saja. Mereka menganggap anak perempuan yang punya banyak teman

laki-laki, bermain hingga di atas jam enam sore, aktif terlibat dalam banyak kegiatan adalah hal yang tidak lumrah. Tekanan demi tekanan yang saya terima justru membuat saya semakin bertanya-tanya hingga pada akhirnya saya memutuskan untuk tidak lagi tunduk pada keluarga. Saya rasa jika saya tidak melawan maka saya selamanya akan terjebak dalam hidup yang tidak pernah saya inginkan. Perdebatan demi perdebatan dengan ayah saya terjadi. Tidak jarang perdebatan kami berakhir dengan cacian dan amarah. Ayah saya yang keras kepala dan kasar tidak membuat saya gentar. Sebaliknya, meyakinkan ibu saya atas apa yang saya anggap benar rasanya jauh lebih gampang. Mungkin karena kita samasama terlahir dengan vagina sehingga lebih mudah untuk memahami rupa penindasan yang selama ini tidak pernah kita kehendaki tapi harus kita terima sebagai konsekuensi kodrati. Bukankah demikian?


Tumbuh menjadi remaja perempuan di kota besar bukan pekara yang sederhana. Setidaknya itu yang saya alami ketika memasuki bangku SMA. Saat itu ide akan kebebasan membuat saya tertarik. Tetapi saya masih begitu naif dan belum sanggup memahami bahwa “kebebasan” yang saya idamkan tidak lepas dari pengaruh patriarki. Di kelilingi oleh teman-teman yang cantik dan rupawan serta berasal kalangan menengah ke atas rupanya membuat saya buta akan realitas. Saya mencoba sekuat tenaga untuk berbaur dengan mereka walaupun saya tahu landasan dari hubungan pertemanan kami sangat rapuh. Di usia yang masih sangat muda saya sudah akrab dengan bar dan diskotik. Kehidupan malam membuat saya mengenal banyak orang, khususnya para remaja seusia saya yang ingin bersenangsenang. Lalu apakah kehidupan yang “bebas” tersebut otomatis membuat mereka tidak diskriminatif terhadap perempuan? Oh tentu saja tidak. Seksualisasi dan objektifikasi remaja perempuan benar-benar saya rasakan. Di titik paling ekstrim saya pernah bekerja sebagai model untuk mencukupi kehidupan saya dan berpose seksi ketika usia saya baru 16 tahun. Gangguan pola makan juga pernah saya alami, diet ekstrim dengan hanya memakan apel dan meminum air putih selama 5 hari membuat saya jatuh pingsan. Berat badan saya hanya 43 kilo dengan tinggi badan 160cm pada saat itu. Oh ya jangan lupa, trend bentuk badan skinny ala heroine chic sedang populer

dan teman-teman memberi saya panggilan “sayang” yaitu “keceng” alias kurus dalam bahasa Indonesia. Lantas bagaimana dengan kehidupan seksual remaja di kota besar? Well... susah untuk dideskripsikan. Sex education tidak pernah kami dapatkan. Pasti bisa kan membayangkan remaja yang sedang penasaran dengan segala hal yang berbau seksual tapi di satu sisi hasrat tersebut harus direpresi habis-habisan. Saya rasa hampir semua remaja di negara dengan mayoritas masyarakat yang konservatif seperti di Indonesia pernah merasakannya. Berdasarkan pengalaman saya represi seksual justru berakibat buruk pada remaja. Kami tidak mengerti bagaimana caranya melampiaskan hasrat kami dengan sehat, apa itu kontrasepsi, apa resikonya berhubungan seksual tanpa kontrasepsi hingga bagaimana hubungan asmara yang sehat dan tidak abusive. Pengetahuan soal seks dan relationship begitu kami butuhkan tetapi tidak pernah kami dapatkan. Represi akan hasrat seksual membuat remaja semakin penasaran. Khutbah tentang agama dan moralitas tidak mencegah mereka untuk berhubungan seksual. Beberapa teman saya melakukan hubungan seks bahkan sebelum menginjak 15 tahun dan sebagian besar melakukannya ketika duduk di bangku SMA. Hal ini sudah menjadi rahasia umum. Akan tetapi, tetap saja tabu bagi perempuan jika ketahuan tidak “perawan” lagi atau dengan gamblang menceritakan pengalaman seksualnya. Sebaliknya, bagi laki-laki tentu berhubungan seksual adalah


hal yang patut dibanggakan dan penting untuk dipamerkan. Terlebih lagi jika pasangan mereka adalah gadis cantik yang populer. Bocah tanggung yang membawa mobil milik orang tua, merengek meminta uang untuk clubbing dan makan malam dengan kekasihnya menjadi tipe laki-laki idaman pada masanya. Sedangkan kekasih mereka yang cantik bak peragawati akan distigma habis-habisan jika diketahui telah memberikan tubuhnya untuk sang lelaki serta dihina sebagai barang bekas yang tak berharga. Istilahistilah merendahkan seperti perek, pelacur, sundal dan sebagainya akan terus melekat sedangkan sang lelaki bebas dari stigma, bebas mengencani perempuan lain bahkan dianggap sebagai laki-laki yang maskulin. Abusive relationship beserta kekerasan seksual sepertinya menjadi sorotan saya yang paling utama. Bagaimana bisa hubungan seksual menjadi konsensual jika kami saja tidak pernah diajarkan tentang konsep konsensual? Banyak temanteman saya yang melakukannya karena dimanipulasi oleh kekasih mereka. Bayangkan saja, kehilangan keperawanan masih menjadi aib bagi kami lantas bagaimana bisa kami mau melakukan hubungan seksual tanpa andil manipulasi di dalamnya? Rayuan demi rayuan hingga dijanjikan pernikahan adalah taktik paling populer. Memuakkan bukan? Ketika hubungan berakhir sebagian besar dari kami akan merasa kotor dan takut untuk menjalin hubungan baru. Belum lagi jika mantan kekasih kami dengan mudahnya membeberkan “rahasia�

tersebut. Para pemerkosa itu bisa bebas melenggang ke sana kemari sedangkan pengalaman seksual kami menjadi bahan untuk diperbincangkan demi masturbasi ego lelaki. Sungguh, pelaku dari kekerasan seksual justru datang dari orang terdekat kami. Bagaimana dengan kontrasepsi? Karena nihilnya sex education maka konsekuensi paling mengerikan yang remaja perempuan hadapi adalah STD (Sexual Transmitted Disease) dan kehamilan tidak diinginkan. Salah satu kenangan yang paling membekas adalah ketika salah seorang teman dekat saya melakukan aborsi saat usianya baru 16 tahun. Tentunya ia tidak melakukan aborsi di klinik atau rumah sakit. Ia harus berhutang sana sini untuk membeli pill penggugur kandungan yang harganya jelas tidak murah. Rupanya kejadian yang juga traumatis bagi saya ini tidak terjadi sekali saja. Beberapa teman saya juga terpaksa untuk melakukan aborsi tidak aman tanpa diketahui orang tua dan jelas meninggalkan dampak kesehatan yang fatal. Iseng saya bertanya, mengapa mereka tidak mencoba menggunakan kondom? Jawabannya membuat saya sedih sekaligus marah, kekasih mereka tidak ingin menggunakan kondom karena rasanya tidak enak. Betapa egoisnya lelaki, mementingkan kesenangan mereka sendiri tanpa peduli dengan derita yang akan pasangan mereka hadapi. Karena kurangnya kesadaran akan kontrasepsi pula ketika beranjak dewasa beberapa teman saya menikah muda karena hamil di

luar nikah. Beberapa di antaranya tidak memiliki stabilitas finansial dan mereka terpaksa tidak melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Menikah muda menjadi momok baru, ekonomi yang tidak stabil dan kurangnya edukasi membuat teman saya terjebak dalam KDRT. Baik verbal maupun non-verbal. Saya sempat depresi karena tidak bisa melakukan apapun untuk menolongnya, hingga saat saya menulis cerita ini ia masih tinggal bersama sang patriarch dan sudah melahirkan dua orang anak. Teman saya tidak diperbolehkan untuk bekerja sedangkan suaminya tidak bisa mencukupi kebutuhan mereka semua. Kisahnya yang saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri membuat saya dan salah seorang sahabat saya enggan untuk menikah serta semakin kritis terhadap institusi pernikahan di bawah sistem patriarki. Di saat itu pula saya dan sahabat saya (sebut saja Ami) memutuskan untuk memutus kontak dengan sebagian besar kawan-kawan kami semasa SMA dan memulai untuk hidup baru. Ami dan saya banyak membaca serta mempelajari berbagai teori tentang feminisme dan pembebasan perempuan. Kami juga terlibat dalam aksi-aksi demonstrasi dan punya banyak relasi yang tertarik dengan isu serupa. Sayangnya, perjalanan tidak semulus yang kami bayangkan. Dunia aktivisme masih dimonopoli oleh laki-laki. Pahit-manis pernah kami rasakan. Di dalam gerakan yang sering berkoar-koar tentang penindasan dan kesetaraan justru kami merasa dieksklusikan. Isu perempuan hanya digunakan


untuk menarik banyak anggota tetapi tidak pernah dipelajari dengan serius. Imbasnya, banyak aktivis lelaki yang seksis dan misoginis tetapi tindakan mereka tidak pernah diinvalidasi atau ditindak dengan tegas. Sehingga banyak perempuan yang enggan untuk terlibat aktif dalam gerakan dan yang pernah menjadi korban mengalami demoralisasi. Banyak pula di antara mereka yang beranggapan bahwa feminisme hanyalah milik perempuan kelas atas yang berpendidikan tinggi dan memiliki akses literasi. Mungkin ada benarnya bahwa pengetahuan akan feminisme hanya dimiliki segelintir perempuan “beruntung� di luar sana. Tapi anggaan bahwa teori feminisme hanya menguntungkan perempuan kelas atas jelas salah besar. Lebih fatalnya lagi feminisme dianggap sebagai teori

borjuasi. Mereka tidak mengerti bahwa feminisme juga berbicara tentang ketimpangan ekonomi, ekologi, dan seterusnya. Mereka lupa bahwa Flora Tirstan, seorang penulis dan aktivis dari Perancis pernah berkata bahwa perempuan adalah proletarnya proletariat. Sepenggal kisah yang saya tuliskan di atas bukan untuk menarik simpati apalagi air mata yang tidak akan menghancurkan patriarki. Terus terang, saya ingin siapapun yang membaca tulisan ini merasa marah karena betapa perempuan tidak bebas dari penindasan di mana pun mereka berada. Kalian berhak untuk marah. Dan yang paling penting kalian berhak untuk melawan.


ANGKA JADI SUARA Sebuah dokumenter dari buruh perempuan untuk kita semua

MARSINAH

FM

“Korban pelecehan bukanlah angka untuk terus dihitung, dijumlah untuk didata dan dianalisa. Sebab angka telah jadi suara. Korban siap jadi pejuang” - puisi karya Solikhatun, FBLP

Marsinah fm adalah radio komunitas buruh perempuan yang didirikan untuk menyuarakan kesetaraan dan kesejahteraan buruh perempuan. Dari perempuan buruh untuk kesejahteraan, kesetaraan, dan kelestarian alam. Radio Komunitas Marsinah FM 106 FM adalah radio komunitas yang didirikan oleh perempuan buruh untuk mensuarakan kesetaraan. Ide dicetuskan oleh Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) yang didirikan tahun 2009, dan disertakan untuk mendapat hibah Cipta Media Bersama yang dikabulkan pada bulan Januari 2012. Gagasan pendirian radio komunitas

buruh perempuan sendiri sudah lama, namun baru terealisasi di bulan Januari 2012 dengan tujuan untuk menyediakan informasi dan pengetahuan bagi buruh perempuan. Diharapkan dengan hadirnya radio komunitas buruh perempuan ini, buruh perempuan di KBN Cakung bisa mengetahui hak-haknya sebagai buruh dan perempuan dan berani bicara terkait hak-haknya.

“Kesejahteraan dan kesetaraan itu satu paket. Tidak bisa kesejahteraan hadir tanpa kesetaraan.” - Dian Septi, Sutradara “Dari Angka Jadi Suara” Untuk pemutaran fim Angka Jadi Suara di tempatmu, hubungi teman-teman Marsinah FM di media sosial mereka. twitter: @marsinahfm facebook: Radio Komunitas Marsinah FM marsinahfm.com


MENCETAK PARA ORBAIS BARU SEMENJAK DINI Ini buku keren. Kurang lebih bisa menjelaskan kebingunganmu kenapa mindset Orba masih bisa hidup dalam orang yang teriak-teriak puisi Wji Thukul sambil nolak acara sejarah 1965 dari perspektif korban. Kurang lebihnya, Saya Sasaki Shiraishi yang nulis buku ini berargumen warisan Orba itu bukan cuma dari kekuasaan institusi, tulang belulang petani/ buruh/anggota PKI/dll yang dibantai: mengasuh anak! Memulai kuasa politik ala Orbais terhadap individu dapat ditempuh dengan mendidik anak ala Jendral asal Kemusuk itu: yang tahu baik dan buruknya anak adalah orangtua. Titik. Yah, titiknya ada tiga deh. Ilustrasinya sesederhana bagaimana seorang ibu dengan enteng memaksa anak mengeluarkan permen dari mulut anak, hanya Karena emaknya pikir itu gak oke. Si anak melengos, tapi kuasa ibu berjalan. Tidak mendengar Ibu/Ayah? Siap-siap

sial di sekolah (setidaknya menurut majalah Bobo‌ Bahkan majalah selevel Bobo dulu pernah jadi antek Orba – langsung gak langsung— pada masanya!). Yang ada adalah hierarki bapak/ibu-anak. Pemberontakan tidak lebih dari kelabilan anak-anak, oleh karena itu ia akan diredam, itulah cerminan keluarga harmonis oleh ayah-ibu yang maha tahu segala. Ingat bagaimana si Boy walau clubbing punya tasbih di mobilnya? Nakal boleh, asal jangan kelewat batas‌.~ Pola pikir seperti inilah yang tercermin sejak Orba maupun saat ini dalam proyek-proyek pembangunan negara. Petani dituduh komunis Karena menolak pabrik semen yang akan menghancurkan mata pencaharian mereka. Orang kampung kota dituduh udik dan brengsek karena menyebabkan banjir Apa yang kita cari??: ketentraman keluarga! Adakah solusi?? Gebuk saja! Eits, jangan langsung mengira pola asuh itu

kembali ke keluarga masing-masing dan mengira penelitian buku ini lebay. Shiraishi menunjukkan bagaiman program-program negara; pidato Soeharto, buku teks sekolah, dan media masa, membantu propaganda halus pola pengasuhan ala Orba ini. Mungkin benar kata netijen di Facebook: institusi otoritarian pertama kita adalah keluarga. Kita gak benci keluarga. Kita cuma ingin bilang ada banyak cara mengasuh anak dan membina masyarakat ataupun individu. Menerima suara dan berdialog dengan mereka, misalnya. Tentu saja tidak sambil bawa toa ataupun air suci buat rukiyah.


Kasih Ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menyinari dunia

Kata mama, sekolah lah tinggi-tinggi TAPI jangan ketinggian kan kamu nanti (cuma) jadi istri Kata mama raih prestasi supaya nanti kerja gajinya tinggi TAPI jangan ketinggian nanti ga ada laki-laki yang mau beli



Keep Your Hands Off, Kekerasan terhadap perempuan ada di mana-mana. Tak hanya terang-terangan terjadi di dunia nyata. Tapi juga ada dalam hiburan yang kita nikmati sehari-hari di kala penat mengerjakan skripsi. Alkisah terdapat seorang pemuda dan pemudi bernama Kim Tan dan Cha Eun Sang sedang berselisih paham di atap sekolah. Cha Eun Sang mendapatkan telepon dari pemuda lain dan ingin mengangkatnya, tetapi Kim Tan melarang Eun Sang mengangkatnya. Ia melarangnya karena ketika ia melihat layar HPnya, ternyata yang meneleponnya adalah Choi Yong Dong, saingan Kim Tan yang juga menyukai Eun Sang. Eun Sang jelas menolak, karena ya ngapain juga dia ngatur-ngatur? Toh itu telepon telepon dia, dan mungkin juga dia memang perlu mengangkat telepon itu. Melihat Eun Sang mengangkat telepon itu, Kim Tan mencengkram tangan Eun Sang, mendorongnya ke pagar, dan menciumnya. Adegan di atas adalah cuplikan dari salah satu drama dari Korea Selatan, The Heirs, yang juga merupakan salah satu contoh bagaimana pelecehan seksual dinormalisasi di drama Korea. Lho pelecehan seksual? Ga terlalu berlebihan? Ya nggalah, banyak elemen yang dipenuhi untuk bisa mengatakan bahwa itu adalah pelecehan seksual yang dilakukan

OPPA!

oleh Kim Tan. Tangan Eun Sang yang didorong dan ditahan di pagar itu jelas menunjukkan pemaksaan untuk mencegah Eun Sang memberontak terhadap ciumannya. Kim Tan bahkan tidak mengecek apakah Eun Sang memberikan persetujuan sebelum menciumnya, karena ciuman itu dilakukan dengan begitu cepat. Seakan memang disengaja supaya Eun Sang tidak ada waktu untuk membuat keputusan untuk menerima atau menolak ciuman tersebut. Adanya pemaksaan dan tidak ada persetujuan ini kedengaran familiar? Jelas, karena itu adalah pelecehan seksual. Ini bukanlah sebuah adegan yang spesial di drama Korea. Kalau kalian sudah pernah menonton drama Korea, adegan-adegan di mana perempuan ditarik-tarik secara paksa, didorong ke tembok, dipeluk paksa sampai dicium tiba-tiba pasti sudah tidak asing untuk kalian. Hampir semua drama memiliki variasi dari adegan ini. Lebih mengerikannya lagi, tindakan pemaksaan yang dideskripsikan di atas dianggap sebagai hal yang lumrah, bahkan diromantisasi sebagai hal yang ideal dalam suatu hubungan. Tindakantindakan tersebut dianggap sebagai tindakan yang dilakukan karena si

lelaki sedemikian cintanya dengan si perempuan. Alih-alih mendapatkan perlawanan dan kemarahan sebagaimana mestinya, adegan pemaksaan ini malah dipakai sebagai cara untuk membangun hubungan romantis antara protagonis laki-laki dan perempuan. Padahal, apa sih yang romantis dari lelaki yang suka memaksa perempuan buat dicium atau ditarik-tarik? Apalagi kalo motifnya karena cemburu dengan lelaki lain, bah, menjijikkan! Coba deh pikir, mana sih yang lebih baik dalam suatu hubungan? Apakah suatu hubungan akan lebih baik ketika kedua belah pihak saling menghormati keputusan satu sama lain atau ketika satu pihak main hajar sana hajar sini dan masa bodo dengan apa yang dirasakan dengan pihak lainnya? Kalau kita percaya bahwa yang pertama itu adalah bentuk hubungan yang lebih baik, maka tidak sepantasnya kita terenyuh melihat perempuan dicium atau dipeluk secara paksa di drama Korea. Pemaksaan itu hanya bisa terjadi ketika satu pihak tidak menghargai pihak lainnya dan keputusan-keputusan yang dia buat. Jadi ya, mau mereka anak orang kaya kek, mau seganteng atau secantik


apapun, berhubungan dengan orangorang yang suka maksa begini akhirannya enggak akan mebuat bahagia, tetapi sengsara. Kalau kita lihat kembali dari adegan antara Kim Tan dan Eun Sang misalnya, ciuman yang Kim Tan lakukan dilakukan bukan sebagai ekspresi cinta yang oh-soromantis, tapi sebuah tindakan untuk mengontrol Eun Sang ketika tuntutan Kim Tan tidak dipenuhi. Euh, dasar lelaki brengsek. Ini bisa kita lihat sebagai sisi gelap dari hallyu wave, sebuah fenomena di mana produk pop-culture seperti musik dan drama tersebar secara global dengan dukungan dari lembaga pemerintah Korea Selatan dan konglomerasi media. And South Korea is so damn good at this. Drama yang mereka buat mampu menjadi sangat populer di berbagai negara, musik yang mereka produksi juga mampu mencapai berbagai

pencapaian di level internasional. Melalui hallyu wave, mereka mampu meraup keuntungan yang sangat banyak melalui industri pariwisata, industri musik, sampai menciptakan alat diplomasi budaya yang mampu membantu mereka di komunitas internasional. Dalam penyebaran produk pop-culture tersebut, Korea juga menyebarkan nilai-nilai yang mereka anut, termasuk nilai-nilai patriarkal yang dimanifestasikan dalam drama dan produk pop culture lainnya. Dalam hal ini, nilai patriarkal yang mengglorifikasi karakter perempuan yang penurut dan submisif dan karakter lelaki yang otoritarian, yang menjadi model keluarga konfusianis, menjadi dasar terciptanya klise-klise drama romansa tersebut. Karena itulah mereka membuat tokoh perempuan yang submisif terhadap pasangan lelakinya sebagai bentuk penokohan yang mereka anggap ideal.

APA SIH YANG ROMANTIS DARI LELAKI YANG SUKA MEMAKSA PEREMPUAN BUAT DICIUM ATAU DITARIK-TARIK? Okelah, mari kita adil dalam menganalisa drama Korea. Memang harus diakui bahwa di drama Korea banyak nilai-nilai yang sebetulnya memberikan manfaat dalam diskursus feminisme, seperti penggambaran tokoh protagonis perempuan yang berjuang meniti karir (tokoh Choi In Ha di drama Pinocchio misalnya) atau sangat berdedikasi untuk mendapatkan pendidikan tinggi (seperti Eun Tak di drama Goblin).

Tapi jujur saja, penggambaran hubungan antar individu itu masih cupu abis. Perempuan bisa bekerja, punya ambisi, tapi adegan-adegan klise ini masih sangat sering dipakai. Seolah ketika perempuan tertarik dengan seorang lelaki dia tidak mampu membuat batasan dan akan menerima saja segala pemaksaan dan perilaku yang tidak menghormati dia. Untungnya bukan cuma saya yang berpikir demikian. Beberapa waktu lalu Amnesty International melakukan kampanye untuk meningkatkan awareness terhadap adegan-adegan romantis klise bermasalah di drama-drama Korea. Beberapa orang merasa bahwa kampanye itu berlebihan karena toh drama Korea itu cuma fiksi. Argumen ini jelas bermasalah. Preferensi dan tindakan yang kita anggap dapat diterima dan tidak diterima dipengaruhi juga dari media yang kita konsumsi, di mana media tersebut juga mempromosikan dan menolak nilai-nilai tertentu. Adalah hal penting untuk melihat secara kritis mediamedia yang kita konsumsi, walaupun media itu cuma bertujuan sebagai hiburan semata. Hal ini jelas berlaku bukan hanya pada drama Korea, tapi juga sinetron Indonesia, telenovela, film Hollywood, serial TV India, anime, dan lain sebagainya. Lebih jauh lagi, saya rasa ketika produk pop culture ini memberikan manfaat yang signifikan untuk negara asalnya seperti kasus Korea Selatan, perlu ada tanggung jawab lebih untuk tidak menormalisasi hubungan yang mencekik sebagai hal yang normal-normal saja.


Penonton mereka bukan cuma orang Korea saja, tapi juga orang-orang di seluruh dunia, termasuk perempuan di negara-negara dunia ketiga yang memiliki pandangan hidup yang jauh lebih patriarkis. Hal ini terutama sangat relevan di berbagai negaranegara berkembang Asia, yang secara alami tertarik dengan drama Korea karena kedekatan tema yang sering dipakai drama Korea dengan kondisi masyarakat di Asia. Perjuangan tokoh perempuan melakukan mobilisasi kelas, konflik dengan keluarga inti lelaki, adalah hal yang para penonton di negara berkembang dapat hubungkan dengan masalah nyata yang mereka alami. Masalahnya, di negara seperti ini menolak dan menjauhi lelaki-lelaki yang menunjukan tendensi posesif dan sangat mengontrol semacam Kim

10 KLISE DRAMA KOREA YANG PENUH KEKERASAN

Tan itu adalah hal yang super penting. Di sini masalahnya bukan sekedar kandas atau tidaknya hubungan seorang perempuan dengan pacarnya, tapi juga apakah mereka akan terjebak dengan suami yang tidak segan melakukan kekerasan fisik dan verbal terhadap perempuan atau tidak, juga apakah mereka akan memperlakukan istrinya sebagai manusia yang perlu diberikan kebebasan atau sekadar pabrik bayi merangkap pembantu rumah tangga sekaligus pemuas hasrat lelaki. Secara harfiah, ini membedakan antara hidup dan mati perempuan. Yeah, promosi budaya sih ya udah lah oke-oke aja, tapi kayaknya lain kali ga usah bawa-bawa model hubungan patriarkal beracun bisa kali ya.

1. MENARIK PEREMPUAN SECARA PAKSA 2. BERTERIAK DAN MENGUMPAT 3. MEMAKSA MENGANGKAT DAN MENGGENDONG PEREMPUAN 4. MENDORONG MEREKA KE TEMBOK 5. MENGENDARAI MOBIL DENGAN UGALUGALAN KETIKA BERTENGKAR 6. MELEMPAR DAN MERUSAK BARANG 7. DATANG KE RUMAHNYA TIBA-TIBA 8. MENGUMUMKAN HUBUNGAN TANPA PERSETUJUAN SI PEREMPUAN 9. MENINGGALKAN PEREMPUAN DI JALAN KARENA BERTENGKAR 10. MENCIUM PEREMPUAN SECARA PAKSA


BAGAIMANA PATRIARKI MENGHANCURKAN HUBUNGAN KITA DENGAN ALAM? “Di mata saya tidak ada anak emas, juga tidak ada anak yang tidak saya senangi. Tidak ada. Semua mereka itu, dalam tugas dan bidangnya masingmasing, mempunyai kepercayaan yang sama dari saya. Semuanya pembantu-pembantu dekat saya sesuai dengan bidangnya masingmasing.” (Soeharto dalam Ucapan, Pikiran, dan Tindakan Saya, dikutip dari Saya Sasaki Shirasi, 1997: 1). Menurut Orde Baru, seperti dikutip oleh omongan Jendral asal Kemusuk di atas, negara adalah sebuah keluarga patriarkis di mana ‘ayah yang tegas’ memimpin ‘anak-anaknya yang kadang penurut dan kadang bandel’. Sehingga ketika ‘anak-anak bandel’ ini mulai membuat si ‘Bapak’ meradang, maka ia memiliki legitimasi untuk ‘mendisiplinkan’ si anak. Orde Baru boleh berganti dan Soeharto sudah menghadap sang khalik, tapi apa daya pola pikir patriarki dan keluarga heteronormatif-otoritatif seperti ini sejatinya jauh lebih tua ketimbang rezim pembangunan. “Anak-anak yang bandel” tersebut hari ini adalah Yu Sukinah ‘yang menolak pembangunan dan hidup maju ala orang-orang kota (unch unch, keren banget yaa jadi orang kota)’

hingga repot-repot sudi menyemen kaki maupun meneriakkan ‘menanam adalah melawan’ seperti para petani Kulon Progo. Mereka adalah para masyarakat Kampung Pulo yang dituduh tinggal di ‘kawasan kumuh’ pinggir sungai sehingga menjadi alasan tunggal mengapa Jakarta banjir terus menerus. ‘Bandel’nya si ‘anak’ di sini adalah bentuk pembangkangan paling paripurna dalam struktur keluarga. Sehingga, hubungan otoritatif menemukan justifikasinya di sini. Sebab, anak-anak dianggap tidak tahu apa-apa sehingga ia harus terus mendengarkan dan menuruti semua masukan orangtuanya terlepas ia barangkali tidak mau/suka dengan arahan tersebut (Shiraishi, 1997: 110– 113). Setidaknya dasar-dasar filsafat pun turut mengiyakan pandangan ‘patriarki’ di atas. Aristoteles dalam Politics dengan lempengnya mengatakan bahwa laki-lakilah yang sanggup membangun sebuah tatanan politik ‘ideal’ di keluarga maupun masyarakat (Bookchin, 1982: 111). Laki-laki di sini adalah laki-laki kaum penguasa, dan sabda Aristoteles ini kemudian dapat dilihat dengan mulainya perbudakan dan dikeluarkannya perempuan dalam proses pengambilan keputusan di

polis-polis mereka. Namun paradigma pembangunan yang patriarkis ini tidak hanya masalah identitas ‘bapak’ maupun laki-laki yang dianggap tubuh sempurna identitas maskulin. Patriarkikapitalisme berhasil menguatkan model keluarga heteronormatif yang tidak memberikan pilihan-pilihan di luar skema pasar dan kedaulatan negara untuk mempertahankan ruang hidup warganya baik untuk kolektifnya maupun untuk diri sendiri. Melihat keruwetan pola pikir mengenai pembangunan patriarkis di atas, ia juga bukan hanya persoalan bagaimana perempuan ataupun identitas lain seperti LGBTQIA tidak masuk dalam rencana-rencana pembangunan. Pembangunan patriarki memiliki banyak karakter. Ia disimbolkan dalam kekuasaan yang terpusat, relasi kuasa yang tak seimbang antara para pemangku kepentingan. Dalam relasi kuasa yang timpang, selalu ada perampasan akan sumber daya oleh pihak yang memiliki mekanisme kekuasaan lebih besar. Petani bisa saja memiliki lahan, tapi bukan berarti itu jaminan bahwa tanahnya tidak akan dirampas. Ini bukan masalah siapa yang punya sumber daya, tapi bagaimana segelintir pihak memiliki

seperangkat kuasa dan nilai yang bisa membuat sumber daya itu berpindah tangan dengan cara apapun. Hari ini, masih banyak yang ogah bersimpati dengan petani maupun para masyarakat kampung kota karena mereka memasrahkan kedaulatan hidup kepada negara maupun swasta yang dianggap akan membuat kehidupan lebih baik. Petani dan masyarakat kampung kota dinilai sebagai kerak-kerak ‘peradaban modern’ di mana masyarakat hari ini jijik untuk melihat mereka masih bertanah-tanah maupun membuat MCK di dekat sungai. Pertanyaannya, apa itu hidup yang lebih baik? Pembangunan patriarkis adalah sebuah kerusakan relasi antara manusia dan alam. Di sini saya tidak akan membandingkan penghancuran alam dan penindasan terhadap perempuan karena mereka berada dalam ruang kesadaran yang berbeda. Patriarki bersama kapitalisme hadir sebagai usaha sistematis untuk menghancurkan, dalam bahasa Marxist, persepsi subjek (mentalitet) terhadap dunianya. Hubungan alam dan manusia dirusak habis-habisan di sebatas nilai tukar semata, di mana manusia adalah sentral dari seluruh peradaban ini (Smith, 2010: 8). Usahausaha konyol semacam program “ramah lingkungan-tapi tetap ramah kepada bisnis’ pada perdagangan karbon dan atau kampanye membelilebih atas dasar konsumsi ‘yang baik dan hijau dan taat etika’ pun masih mengulang jargon era modern memuakkan bahwa kita menuju suatu pembangunan yang terus maju, tanpa susah-susah ingin bertanya


apa definisi maju setiap individual maupun kolektif. Hanya pasarlah, secara kontradiktif adalah penyebab semua masalah tersistematis ini, yang menjadi jawaban. Seolah, bahwa untuk menyelamatkan bumi dan lingkungan, di bawah panji pembangunan yang sama, saya harus mengeluarkan sedikit lebih uang untuk menjamin tidak akan ada eksploitasi buruh anak di batangan cokelat, atau meyakinkan bahwa hanya uang yang saya habiskanlah satu-satunya juru selamat sungai Gangga yang hancur karena pabrik garmen fesyen cepat. Tentu saja logika ini gagal memahami bahwa tak semua orang punya kesempatan yang sama untuk membuat pilihan-pilihan konsumsi. Saya ingin sekali semua orang membeli minyak Barco yang seliternya Rp 200.000 rupiah agar orang taat pada azas kelapa sawit berkelanjutan, tapi uang senilai itu adalah gaji sepuluh hari tukang bersihbersih jalanan di sebuah universitas kelas-dunia mentereng di Depok. Peliyanan (othering) atau proses ‘me-lain-kan’ adalah kata kunci penting dalam memahami dan mengidentifikasi pembangunan yang patriarkis. Semua konsep ‘peminggiran suara’ dan ‘memudarkan relasi yang lebih sosial-ekologis (untuk manusia maupun alam) ketimbang ekonomi antara manusia dan alam’ bermuara di proses peliyanan (Harcourt dan Nelson, 2015: 146). Tidak hanya pembuangan identitas marjinal dalam kemajuan, proses ini juga sangat terlihat ketika otoritas memaksa para petani menjadi buruh semen atau mendiskreditkan masyarakat kampung kota sebagai

orang-orang tolol yang tidak mau ‘maju’ hanya karena ia memilih tinggal di bantaran sungai. Proses peliyanan dan melanjutkannya dengan arogansi seperti rusun berbayar (lebih mahal dari yang dijanjikan) dan mengganti tanah berarti abai terhadap relasi kerja dan proses reproduksi (aktivitas) sehari-hari masyarakat yang bertumpu kepada lingkungan sekitarnya. Semua pembenaran itu dihadiri dengan amdal abal-abal, logika bahwa lahan itu tidak subur sehingga lebih baik dialihkan saja menjadi pabrik atau bandara, atau ia mengganggu ruang sungai meskipun jelas ada teori rekayasa (engineering) lain yang dapat membangun ruang ramah sungai DAN masyarakat di bantarannya. Di sini konter fakta mengenai produktivitas lahan maupun data penyebab banjir tidak lagi penting dan strategis, karena yang beroperasi adalah sebuah kekerasan epistemik, atau pemaksaan pola pikir dan pengetahuan yang sejatinya tidak bebas nilai, yang berjalan selama ribuan tahun. Apapun yang diluar narasi maskulin dan pembangunan patronistik ini harus dibantai, baik secara koersif yang vulgar, maupun dengan rasionalitas (logika dinginrasio!) yang represif (Bookchin, 1989: 89). Ingat para buzzer mantan gubernur Jakarta itu berkata bahwa orang kampung kota itu bodohdikasih yang baik-kok-gak-mau? Para pembebek semen itu dengan teganya mengatakan petani itu anti-kemajuan dan lebih baik cor saja mulutnya? Ini adalah tuturan rasio yang represif dan diskriminatif tadi.


Feminisme sebagai paradigma memiliki langkah-langkah bayi yang signifikan untuk merombak cara berpengetahuan yang diskriminatif seperti paparan di atas. Melampaui identitas, feminisme dalam perkembangannya berhasil menjadi radikal dengan mempertanyakan bangunan pengetahuan yang kelak akan terlihat dalam kebijakan maupun teknologi. Pengetahuan hari ini, ujar Harding (2008, 2004) maupun Haraway (2003), adalah sebuah pengetahuan yang patriarkis di mana kita secara repetitif dan berkebutuhan untuk menghancurkan alam dengan pengetahuan-pengetahuan kita akan konsep ‘maju’. Premis feminis mengenai pengetahuan amat datar tapi menusuk langsung ke cara berpikir hari ini yang terus mempromosikan logika dan ‘berpikir kritis’. Pertanyaan mereka sesederhana, “Apa kamu yakin cara berpikir kita hari ini, logika yang terus kita agung-agungkan itu, maupun cara pandang kita terhadap bentuk-bentuk berpikir alternatif, bukan warisan patriarki?” Konsep degrowth atau antipembangunan (patriarkal-kapitalistik) juga diturunkan dari refleksi feminis terhadap kegagalan pembangunan dan ketidakpuasan terhadap peradaban yang tidak hanya terjadi di negara-negara dunia ketiga, tapi juga negara ‘maju’. Refleksi-refleksi itu justru ditemukan dalam relasi antara para petani perempuan Afrika yang semakin dihisap nilai lebihnya dalam skema ‘pembangunan hijau’ di sektor agrikultur maupun para petani perempuan yang proses pengambilan kelapa sawit di kebunnya

maupun menanam tumbuhan lain di pekarangannya dalam enclave perkebunan kelapa sawit (bersertifikat SPOP!) tidak dianggap sebagai ‘kerja’ (Li, 2015). Toh hari ini, kita semakin melihat tampilan paling jelas keterbatasan dari konsep ‘pertumbuhan (growth)’ yang pada dasarnya sangat tidak (bisa) berkelanjutan. Konsep anti-pembangunan bukan cuma asal menolak, tapi secara kritis mempertanyakan relasi kuasa, dominasi, dan hierarki dalam pembangunan semu. Masyarakat dapat ditransformasikan menjadi sebuah organisasi yang bertanggungjawab kepada individual maupun kelompoknya, tanpa ribut diganggu dengan definisi pembangunan dan pengetahuan yang diskriminatif. Pada dasarnya konsep degrowth maupun hal-hal lain yang mengkritik pembangunan adalah usaha-usaha mempertahankan pilihan ruang hidup masyarakat. Sejak kajian awal mengenai ekonomi politik feminisme dan dikawinkan nantinya dengan feminis ekologi politis, perspektif subsitensi adalah kata kunci yang terus didesakkan dalam agenda radikalisasi konsep ‘tumbuh’ dan ‘pembangunan ini’. Perspektif subsistensi bukan hanya soal ‘cukup hari ini’, tapi bagaimana menjaga relasi sosial-ekologis yang jauh lebih dulu hadir sebelum kapital maupun patriarki. Alternatif ini memang tidak mudah, tapi perubahan memang bukan sesuatu yang datang dari langit apalagi dari pajak barang mahal maupun bilik suara untuk memilih nabi palsu. Patriarki dan kapitalisme

bukan sesuatu hal yang bisa direformasi atau sekedar dijinakkan (Federici dalam Mies, 2014). Ia harus dihancurkan secara bersamaan, dan jika kita memang berniat untuk menghancurkannya, maka gaya-gaya reformis level gimik pada hukum dan kebijakan belaka tidak akan membawa perubahan berarti dan patriarki hanya akan berubah wujud. Patriarki bukan hanya persoalan identitas yang diliyankan seperti identitas ‘alam’, ‘perempuan’, maupun LGBTQIA, tapi juga memiliki tubuh yang jelas; perebutan atas sumber daya. Jika kita tidak segera mengimplementasikan lensa gender dan feminis ke dalam isu pembangunan hari ini dan terus terkecoh dengan rencana pembangunan, saya takut sekian liter air mata (almarhum) Yu Patmi dan sak pasir untuk mengecor kakinya akan terbuang sia-sia.


Saya punya pohon Saya punya sawah Tapi harganya cuma beberapa sak semen Saya harus jual Karena katanya mereka cinta pada petani Jangan miskin terus, yuk jadi produsen semen pake teknologi canggih “I love petani. Thanks Petani� Sawah saya pun menjadi goni


Perempuan d alam Perlawanan Kelam, Kata itu menggambarkan bagaimana ia melihat masa depannya. Tak ada sedikitpun kemerdekaan yang ia rasakan sebagai manusia. Putus asa, sedih, dan terluka. Apa itu kemerdekaan? Apakah hidup terlahir sebagai seorang perempuan otomatis berhak diperlakukan seenaknya? Bagaimana rasanya hidup sebagai manusia yang merdeka? Ia tak tahu, yang ia ketahui adalah tubuhnya masih menjadi medan pertempuran. Ia mengulang-ulang kejadian menyakitkan tersebut di kepalanya. Detik-detik di mana “kemerdekaan� dirampas dari tangannya. Ia ingin menjerit, melawan sekuat tenaga, tapi apa daya tubuhnya kaku dan lidahnya kelu. Hanya air mata dan rasa sakit yang menjadi saksi perlakuan biadab tersebut.

Terkejut, Ia kira hidupnya akan berakhir hari itu juga. Ternyata, ia hidup. Ia masih hidup. Terlintas di benaknya, apakah Tuhan masih mencintainya? Atau justru Tuhan tidak pernah hadir di dalam hidupnya? Kemana Tuhan saat bajingan itu memanjat tubuhnya dan menggagahi ciptaanNya?

Takut, Ia ingin mengungkapkan kejahatan kemanusiaan yang menimpanya. Kemana ia harus mengadu? Ia menonton televisi dan membaca surat kabar, bagaimana perempuan yang bernasib sama seperti dirinya digambarkan oleh media. Kata masyarakat, ia adalah perempuan pengundang hawa nafsu. Perempuan sepertinya digambarkan sebagai penggoda, iblis, pintu neraka, sehingga wajar jika laki-laki “menghukumnya�.

Penggoda, Padahal gambaran tentang penggoda jauh dari dirinya, ia hanyalah gadis belia yang baru tumbuh payudara. Mengapa paman tega berbuat demikian? Ia hanya anak-anak yang memakai seragam sekolah dasar, mengapa ia disebut sebagai penggoda? Penggoda, Padahal gambaran tentang penggoda jauh dari dirinya, ia hanyalah gadis belia yang baru tumbuh payudara. Mengapa paman tega berbuat demikian? Ia hanya anak-anak yang memakai seragam sekolah dasar, mengapa ia disebut sebagai penggoda? Keluarga, Ia mendengar percakapan dalam ruang keluarga, Ayah dan Ibu bilang bahwa ia harus menjadi penurut, menjaga sopan santun dan tunduk pada norma. Kata mereka jika ia tak tunduk maka ia bisa menjadi sasaran pemerkosaan, seperti yang televisi siarkan. Laki-laki suka menyasar anak bandel katanya. Ayah Ibu, Bukankah selama ini ia sudah menjadi gadis penurut? Ia tak pernah pulang larut, ia tidak pernah membantah... Semua orang dalam keluarga tahu ia adalah teladan. Tapi justru paman tega memperkosanya ketika Ayah dan Ibu tidak ada....


Tetangga, Ia mendengar bisik-bisik tetangga, mereka bilang perempuan zaman sekarang tak bermoral. Mereka bilang jika seorang perempuan kehilangan selaput daranya, maka perempuan tersebut sudah “rusak�. Bayangkan sebuah keramik yang pecah ujar mereka, tak mungkin diperbaiki dan tak bisa berfungsi lagi. Benarkah ia seorang manusia layak disandingkan dengan keramik yang bahkan tak bernafas dan tak bisa merasakan kesakitan? Perih, Perih ia rasakan, bukan hanya pada vaginanya yang ditumbuhi rambut saja belum, tetapi juga hatinya. Siangmalam ia tak tidur memikirkan kemana ia harus berlari, siapakah yang akan berpihak padanya? Kemanakah ia harus mengadu? Karena tidak hanya keluarga tetapi juga masyarakat sepertinya membenci perempuan. Bahkan oleh sesama perempuan. Kisah, Ia putuskan untuk memendam kisahnya. Ia takut mempermalukan nama keluarga dan tak siap dicemooh oleh masyarakat. Ia melihat sang paman masih hidup bebas, melenggang kesana kemari bersama istri dan anaknya. Disanjung-sanjung oleh Ayah dan Ibu nya karena prestasinya sebagai pejabat negara. Kata mereka paman adalah contoh laki-laki relijius dan bermoral. Tak pernah korupsi dan mendua. Namun diam-diam amarah muncul dalam hatinya, ia tahu bahwa pria bermoral itu adalah perampas kemerdekaan manusia. Dan ia tahu suatu hari akan tiba di mana ia dapat membalas.

Pengetahuan, Ia mulai menyibukkan diri dengan membaca. Tenggelam dalam sebuah dunia yang asing dan tak pernah didongengkan oleh Ibu di ranjang. Nama-nama asing muncul, ia berkenalan dengan perempuanperempuan tangguh pada zamannya. Ternyata banyak perjuangan perempuan yang berhasil merubah nasib perempuan lain, termasuk dirinya. Hilang sekejap ketakutan yang memenjarakan hidupnya selama ini, ia mulai merangkak perlahan. Waktu, Seiring berjalannya waktu ia tumbuh dewasa. Ingatan tentang kisah di masa lalunya masih terbawa, membentuk pribadi dan cara pandangnya terhadap kehidupan. Kegetiran selalu terasa di setiap ucapannya, tetapi ketakutan itu sudah lenyap. Digantikan oleh api yang sedikit demi sedikit bertambah besar. Buku, Ia melahap semua bacaan yang ada. Ia tak punya uang jadi ia tak punya banyak pilihan. Buku adalah satusatunya cara untuk melihat dunia lain yang ingin ia jelajahi. Dan buku pun membuatnya dapat mengerti mengapa perempuan begitu dibenci.

Pola, Ia melihat sebuah jaring laba-laba. Ia melihat pola di mana perempuan menjadi manusia kelas dua. Perlahan-lahan tabir itu terkuak, mengapa ia diperlakukan demikian kejamnya oleh orang terdekatnya. Bagian dari keluarga. Rupa-rupanya, keluarga justru kerap kali menjadi awal mula dari penindasan. Hilang sudah rasa kecil hati, ia tahu ia bukanlah keramik atau jajanan di pinggir jalan. Ia manusia.

Solidaritas, Adakah perempuan yang mengalami nasib serupa seperti dirinya? Jawabannya adalah iya, ada puluhanratusan bahkan ribuan perempuan di luar sana yang memikul beban penderitaan yang sama. Ia tak lagi sendirian. Tak akan pernah lagi sendirian dan terkungkung dalam kesedihan. Mereka saling menggenggam, bersatu di dalam penindasan yang sama.

Amarah, Tangannya mengepal, tubuhnya gemetaran dan giginya gemertak. Berani-beraninya seseorang memanjati tubuhnya dan kemudian menimpakan kesalahan dan beban pada dirinya. Mengapa orang itu lolos dan ia malah mengutuki diri sendiri? Mengapa penjahat itu dapat hidup tenang dan ia tidak? Ia tahu dunia berkonspirasi melindungi pemanjatpemanjat tubuh ini. Ia tahu dunia membenci perempuan.

Perlawanan, Ia berdiri tegak. Suaranya tak lagi hilang dan lidahnya tak lagi kelu. Tubuhnya sama sekali tidak gemetar, ia berbicara dengan lantang. Ia menyadarkan sesamanya, jangan mati dengan perasaan terhina, setidaknya kejadian pahit yang hampir semua perempuan pernah mengalaminya bukanlah akhir dari dunia. Hal itu membuat ia sadar bahwa ia tidak mau hidup dalam diam, ia ingin melawan, ia ingin berjuang. Sekalipun ia kalah dalam pertempuran ia sudah melawan dan gugur dengan terhormat.

Api, Amarah berkobar di dalam dirinya. Ia bertekat untuk melakukan perlawanan. Ia tak sudi hidup di dalam kungkungan, ia tak mau tunduk pada tatanan yang merampas kemerdekaan perempuan.

Di dalam sistem patriarki perlawanan perempuan akan terus dipukul mundur akan tetapi, sejarah membuktikan bahwa perlawanan kaum perempuan tak perna sia-sia dan tak pernah mampu dibinasakan. Ia muncul lebih kuat seiring dengan bertambahnya penindasan. Perempuan akan bersatu, bangkit dan melawan. Ia, kamu dan kita adalah penerus dari para perempuan yang gagal mereka binasakan.


Hai Sayang, Sudah marah belum hari ini? Di era protes itu artinya bagi-bagi KTP, bisa marah itu bagai privilese!


Chad Sudarsono Punya selera humor tingkat tinggi yang tidak bisa diapresiasi koleganya di MMM. Percaya bahwa Cap Orang Tua > wine manapun di dunia. Rose Laurent Suka nangis nonton vidio anjing dan ingin pindah ke meikarta. Patch Pisang Benci hal-hal yang dimulai dengan huruf P: Pisang, Pepaya, Patriarki tapi sayang Parasetamol. Moodnya lebih asin dari laut merah. CIta-citanya hidup tenang seperti Kira Yoshikage.

Rindu Konsumen tetap congyang karena alasan ekonomis dan cintaproduk lokal. Fraser Zynder Mengerti tapi tidak dimengerti. Cintanya t’lah di ujung jalan Pluton Klepton Suka sama klepon. Elok Penggoler profesional.

Sabine Kentang bermake-up. Ingin pindah menggunakan pintu kemana saja. GD -_- -_- -_Sebut Saja Mawar Penyuka sesama jenis dan segala rasa sakit. Ingin terlahir sebagai aktor film porno. Kusno Van Galer Berpartisipasi dalam hubungan romantik monogami heterseksual. bentukan sistem patriarkal kapitalis, berakhir dikhianati. Primbon lebih manjur dari MBTI. Badrun de La Sardine Anjingnya hanya mau makan sardine dan nasi. Unabomberina yang takut sama alat peledak. Coco Latte Sangat suka apapun yang berbau kelapa, susu, dan kopi. Kalau dia bilang “ih kayak anjing!!,� itu maksudnya pujian.

Kontributor


Bantu Kami, Plz? Selain Merah Muda Memudar, kami sering bercanda MMM juga singkatan dari Milenial Miskin Menangis. Tolong jangan #jajmental. Pernah nonton Brown Girls? Kami muda, miskin (walau salah satu dari kami adalah seorang borjuis), dan penuh krisis eksistensialisme (bahkan tanpa alkohol pun kami bisa kena diare air mata). Tetapi kami ingin berbuat sesuatu agar eksis seperti kakakkakak panutanqu agar kapitalisme dan patriarki bisa punah, salah satunya dengan zine dan webmedia di Medium. MMM adalah kerja kolektif, tidak ada yang dibayar dalam proses pengerjaannya. Ia dibangun dari sebuah ketubiran di fesbuq inisiatif untuk skena feminizma Indonesia Raya. Selayaknya moda produksi di bawah panji kapitalisme, kami butuh #uang untuk hal-hal berikut: 1. 2. 3. 4.

Memastikan selalu ada zine cantik cetar di tangan kamu Membuat grup diskusi feminisme di berbagai kolektif lain Tabungan untuk di masa depan membayar penulis MMM Tabungan untuk website profesional, capek juga numpang terus sama Medium

Uang yang kalian berikan tidak akan ditaruh di saku pribadi pegiat MMM. Pertanggungjawaban keuangan akan kami publikasi di web. Agar tidak dicydug KPK. Pun kalau ditangkap KPK, kami tidak akan mangkir karena kecapean main pingpong (alat main pingpong mahal! Kami kan sudah bilang tidak punya duit!!). Kalau kamu ingin menyumbang jangan sungkan! Silakan masukkan uang ke rekening BNI 0376929716 a.n Ester Arinamy Haloho. Apakah kamu juga miskin dan/atau merasa menyumbang untuk kegiatan sosial di bawah kapitalisme tak ada gunanya, tapi tetap ingin berkontribusi? Ayo menulis untuk kami! Tapi ingat ini tidak dibayar ya. Setidaknya sejauh ini. Kami belum cukup kaya untuk bisa membayar kalian. Sial, sekarang kami terdengar tidak ada bedanya dengan para bos pekerja digital itu. Atau buku mengenai kajian gender, seksualitas, dan feminisme. Kami selalu senang menerima pengetahuan.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.