Analisis Hukum Teks Voluntery Partnership Agreement antara Indonesia dan Uni Eropa

Page 1

1


2


Analisis Hukum

Teks Voluntery Partnership Agreement antara Indonesia dan Uni Eropa

i


Š 2010 Forest Governance and Multistakeholder Forestry Programme Printed by MFP ISBN M. Hawin, Irna Nurhayati, Veri Antoni, 2010 Analisis Hukum Teks Voluntery Partnership Agreement antara Indonesia dan Eropa

Kredit foto : M Syukur, p.1, p.11, p.23, p.31, p.55, p.79, p.91; Arbi Valentinus p. 69; Rio R Bunet p.117

Dipublikasi oleh Forest Governance and Multistakeholder Forestry Programme Gd. Manggala Wanabhakti Blok IV Lt 6 Wing B, R. 615-616 Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta Tlp : + 62 - 21 - 570 1107 Fax : + 62 - 21 - 570 4397 www.mfp.or.id

Forest Governance and Multi-stakeholder Forestry Programme (MFP-II) Forest Governance and Multi-stakeholder Forestry Programme (MFP-II) merupakan program kerjasama bilateral bidang Kehutanan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Inggris. Orientasi fokus kegiatan MFP-II diarahkan terhadap isyu Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebagai instrumen dalam rangka perbaikan tata kelola kehutanan dan kerjasama perdagangan kayu legal seperti Voluntary Partnership Agreement (VPA) sebagaimana diperkenalkan oleh Uni Eropa. Kegiatan MFP-II diarahkan untuk mencapai 3 (tiga) keluaran utama, yakni: (1) Kesiapan kapasitas para pihak dalam rangka implementasi SVLK, (2) Keberterimaan SVLK di pasar-pasar kayu utama, dan (3) Penguatan implementasi SVLK melalui mekanisme review sistemik.

ii


Daftar isi

Daftar Isi Kata Pengantar Executive Summary

iii v vii

1. Pendahuluan A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan Studi D. Manfaat Studi E. Metode Penelitian F. Kerangka Penulisan

1 3 7 7 7 7 8

2. Kostelasi Kebijakan Perdagangan Indonesia - Uni Eropa (UE) dan Posisi Perdagangan Kayu A. Kerjasama Perdagangan Indonesia UE B. Kebijakan Perdagangan Indonesia UE C. Posisi Perdagangan Kayu Indonesia Ke UE

11 13 15 18

3. Peraturan Perundang-Undangan UE Terkait FLEGT

23

4. Posisi Kebijakan FLEGT VPA dan Due Diligence dari EU A. Kebijakan FLEGT VPA B. Kebijakan FLEGT VPA Ditinjau Dari WTO C. Kebijakan Kewajiban Due Diligence Dari UE D. Hubungan VPA Dan Peraturan Due Diligence Di UE

31 33 35 44 52

5.

Analisis Isi Perjanjian VPA antara Indonesia dan UE A. Tujuan VPA B. Pengertian Legally-Produced Timber C. Licensing Authority D. EU Competent Authority E. Perlindungan Informasi Rahasia/Rahasia Dagang (Confidential Information/Trade Secret) F. Penyelesaian Sengketa

55 57 59 64 65 66 67

iii


6. Resiko Penandatanganan VPA bagi Pengusaha Lokal dan Ekonomi Secara Makro A. Konsekuensi Penandatanganan VPA B. Risiko Bagi Perdagangan Kayu Ke UE C. Risiko Bagi Pengusaha Lokal D. Risiko Secara Ekonomi Makro 7.

iv

69 71 73 75 77

Kemanfaatan Penandatanganan VPA bagi Indonesia A. Kemanfaatan Bagi Usaha Pemberantasan Illegal Logging B. Kemanfaatan Bagi Peningkatan Tata Kelola Hutan C. Kemanfaatan Bagi Perdagangan Kayu Ke UE D. Kemanfaatan Bagi Pengusaha Lokal E. Kemanfaatan Secara Ekonomi Makro F. Kemanfaatan Bagi Masyarakat

79 81 82 85 86 87 88

8. Kesiapan Indonesia dalam Rangka Implementasi VPA 91 MFP Syukur A. Kewajiban Indonesia Dalam Draft VPA B. Ketentuan Verifikasi Legalitas Kayu Di Indonesia C. Kesiapan Indonesia Dalam Menghadapi VPA dengan UE

93 96 108

9. Strategi dan Sikap Politik Pemerintah Indonesia dalam Negosiasi VPA dengan UE

117

Daftar Pustaka

123


Kata pengantar

BUKU Analisis Legal Teks Voluntary Partnership Agreement (VPA) antara Indonesia Uni eropa ini merupakan hasil studi yang dilakukan MFP II terhadap legal teks VPA. Forest Governance and Multi-stakeholder Forestry Programme (MFP-II) yang merupakan program kerjasama bilateral bidang Kehutanan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Inggris dan memliki fokus pada isu Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebagai instrumen dalam rangka perbaikan tata kelola kehutanan dan kerjasama perdagangan kayu legal seperti Voluntary Partnership Agreement (VPA) sebagaimana diperkenalkan oleh Uni Eropa, memandang bahwa pemahaman yang mendalam terhadap teks hukum VPA sangat diperlukan dalam rangka memberikan informasi dan khazanah tentang teks hukum VPA sehingga dapat memperkuat posisi dan pemahaman delegasi Indonesia dalam negosiasi VPA. Forest Governance and Multistakeholder Forestry Programme (MFP-II) melakukan studi analisis hukum teks VPA ini dengan menggandeng tim peneliti (konsultan) dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Hasil studi yang dilakukan oleh tim peneliti yang beranggotakan Prof. M. Hawin, S.H., LL.M., Ph.D; Irna Nurhayati, S.H, M.Hum, LL.M. M dan Veri Antoni, S.H., M.Hum.ini telah telah dibahas dalam 2 kali pertemuan multistakeholder, sebuah pertemuan yang khusus membicarakan legal text. Materi yang disampaikan dalam buku ini antara lain mengungkapkan kepentingan dan posisi Indonesia dalam perdagangan kayu internasional berdasar paket peraturan dan kebijakan yang ada. Termasuk mengungkapkan perdagangan Indonesia-Uni Eropa berdasar kebijakan, program dan perjanjian perdagangan Indonesia-Uni Eropa. Buku ini menjelaskan tentang bagaimana anotomi dan isi (muatan) teks perjanjian VPA hingga implikasi teks perjanjian VPA terhadap kebijakan dan kerangka kelembagaan SVLK.

v


Berbagai implikasi penandatangan VPA terhadap berbagai hubungan dan kerjasama Indonesia-Uni Eropa seperti hubungan perdagangan kayu Indonesia-Uni Eropa, hubungan dan kerjasama luar negeri Indonesia-Uni Eropa dibahas dalam buku ini. Analisis teks hukum VPA mengungkapkan bagaimana gaps/kesenjangan antara muatan teks perjanjian VPA dengan (i) kepentingan dan posisi Indonesia dalam perdagangan kayu internasional dan (ii) konstelasi perdagangan Indonesia-Uni Eropa. Dalam buku ini memuat perbandingan anatomi dan isi (muatan) teks VPA yang ada di beberapa negara lain yang juga menandatangan VPA, antara alain Ghana versus EU dan teks VPA Malayasia versus EU. Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada tim peneliti dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang telah melakukan penelitian ini dengan sangat baik; kepada Kemenerian Kehutanan RI, Kementerian Perdagangan RI, dan Kementarian Luar Negeri RI serta kepada semua pihak yang terlibat dalam Join Expert Meeting yang telah membahas hasil dari penelitian ini. Kami berharap semoga buku ini dapat memperkaya khazanah pengetahuan dan pemahaman tentang teks hukum VPA serta dapat memberikan informasi yang berharga untuk merumuskan strategi dan sikap politik pemerintah Indonesia dalam negosiasi VPA dengan pihak Uni Eropa. Diah Raharjo Program directur

vi


Executive Summary

I. Background Indonesia’s forests are very large, which the primary products are timber, have comparative competitiveness compared to other countries, and is the first foreign exchange producer in non oil and gas1 . European Union (EU) is one of the export destination countries2. EU is very concerned with the aspect of legality of timber and timber products. EU created Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) Action Plan adopted it in 20033. To implement this plan, EU then created Voluntary Partnership Agreement (VPA). VPA is a mechanical practice to identify illegal timber in EU market, which has ultimate purpose to abolish illegal timber in domestic and international trade. This VPA will bind partner countries through an agreement. VPA has a main content that the country partner will only be able to export legal timber to EU based on FLEGT license. Indonesia has the same concern with that at EU towards illegal logging issue and trade of illegal logging. Indonesian government leaded international meeting regarding those matters through Bali Declaration on FLEG in September 2001, joint statement concerning FLEGT Action Plan between Indonesia and EU on 8 Januari 2007 in Brussels. Subsequently, negotiations on VPA have been done by Indonesia and EU since 2007. For that reason, Indonesia needs to analyze the VPA legal draft in order to gain the maximum benefits, to reduce the potential risks, as well as to prevent infringements of national legislations and international conventions. . “Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending Model Usaha Kecil”, http://www.bi.go.id/sipuk/ id/?id=4&no=50307&idrb=44501, accessed on 13 June 2010. 2 . Ibid, at. 220-222 3 . “Final Report EU-Indonesia Business Dialogue 1-2 October 2009”, Brussel, 09.34028EIBDReportFINAL7-12-2009. pdf. 1

vii


II. Research Questions This study will analyze questions as follows: 1. How is VPA policy viewed from WTO Agreements; 2. What are the risks of signing VPA on local traders and macro economy; 3. What are the benefits of signing VPA for Indonesia; 4. How is the Indonesian readiness in the implementation of VPA; 5. What is strategy and political will of the Indonesian government in the negotiation of VPA with the EU.

III.

Research Method

This studi analysis used the mix of normative and emphirical juridical approach. This research includes library research to get secondary data and field research to gain primary data. In detail, it is done through a desk review and collecting data. The desk review was carried out by analysing legal sources namely legislations, legal documents, and other legal literature both nationally and internationaly relevant to the research questions. The collection of data was done in DKI Jakarta, by interviewing relevant stakeholders, namely APKINDO, APHI, Trade Ministry, Foreign Affairs Ministry, and Forestry Ministry. The data were analyzed qualitatively.

IV. Position of FLEGT VPA Policy and EU Due Diligence Regulation A. FLEGT VPA Policy VPA is a part of FLEGT action plan which has an important role to combat illegal logging and to give support to partner countries whose forest governance is insufficient. From the VPA pre-negosiation, it was assumed that the role of VPA was much more an effort to legitimate the trade of timber, rather than the forest governance or legal reform4. VPA consists of four steps, namely: preparation, negotiation, development, full implementation.5 If a trade partner country has signed VPA and fully implemented VPA, the partner country has to have a license when it will export timber and timber

. “Briefing Forest Legal Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) and Voluntary Partnership Agreement (VPA)”, greenpeace_ngo-briefing_mtcc.pdf . “Apa yang Dimaksud dengan Kesepakatan Sukarela-Pendekatan Uni Eropa”, Ringkasan Kebijakan 3 EFI (European Forest Institute), Facility FLEGT UE.

4

5

viii


products into EU. Without the license, its timber exports will be refused by EU. On the other hand, for non partner countries6, their timber export will not be treated by this license system, so that they can export timber into EU without a license. Theoretically, this contravenes WTO rules which govern trade transactions among WTO member countries. However, EU then creates Due Diligence Regulation (DDR) which obliges all timber importers to do due diligence before putting the products into EU market. If there is the same treatment between importers from partner countries and timber importers by DDR, no infringement occurs towards WTO rules. The license scheme has three aspects as mentioned bellow: 1. Verification to prove timber harvesting, transportation, and its trade in accordance with such regulations; 2. Chain of custody to prove that timber entering into EU are not mixed with other illegal timber; 3. License promulgation which shows the verified timber7. VPA and its license scheme are assumed as having several weaknesses, including: 1. Reach, in the sense that in order for VPA to be effective in combating illegal logging in the partner countries, its implementation must reach the entire regions of the partner countries, as well as covers all domestic and export timber trade of the partner countries; 2. Laundering, that VPA will succeed to prevent illegal logging and illegally timber trade if there is no requirement for the partner countries to adopt EU regulation, indeed, there will be legal timber trade into EU, but illegal within the partner countries. Therefore, there must be legally origin of timber traded to EU; 3. Circumvention, in the meaning that VPA is only applied towards the partner countries trading, and not to the third party which are not bound by VPA; 4. Product coverage, that VPA is applied limited to several timber and timber products, but does not cover pulp, paper, and furniture products.8

. Ibid. . “ Siaran Pers Kepala Bidang Analisis dan Penyajian Informasi Depatemen Kehutanan Nomor: S.7/II/PIK-1/2007”, Op. Cit. 8 . “Briefing Forest Legal Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) and Voluntary Partnership Agreement (VPA)”, Op. Cit. 6 7

ix


B. Review of FLEGT VPA Policy from WTO Perspective 1. FLEGT VPA Policy and MFN principle GATT VPA itself does not contravene the principle of MFN of GATT because of its voluntary character. It means that the legal relationship between EU and the signatory countries does not infringe the MFN principle. However, the discriminatory treatment between the signatory country and non signatory country by EU can contravene the MFN principle. The principle of MFN means that the WTO members have to give the “same” treatment to all other WTO members. MFN is governed on Article I GATT, bellow: [W]ith respect to all rules and formalities in connection with importation and exportation, and with respect to all matters referred to in paragraphs 2 and 4 of Article III,* any advantage, favour, privilege or immunity granted by any contracting party to any product originating in or destined for any other country shall be accorded immediately and unconditionally to the like product originating in or destined for the territories of all other contracting parties.

If timber producers in Indonesia have obtained FLEGT license issued by Licensing Authority, their timber products can be exported to EU. The timber products are able to enter into EU market if the EU Competent Authority accepts the legality of this license. EU officials even state that the delivery of timber products under FLEGT license is “legal per se.”9 This is a special treatment by EU to the timber products from the VPA signatory partner countries. Acording to the MFN principle, EU has to give the same treatment towards every like products from other countries including non signatory countries. It is difficult to say that timber products under FLEGT license and timber products without FLEGT license are not like product. Therefore, relied on the MFN principle, timber products from non signatory countries must be accepted in EU market because they are like products. If timber products without FLEGT license were accepted in EU market, it will be a detriment to Indonesia if Indonesia signs the VPA. The acceptance of VPA becomes useless for Indonesia because its timber products will be not competitive compared to products without FLEGT license.

. Client Earth, “Legal Analysis: Applicable Legislation in the Illegal-Timber Regulation,” Client Earth Briefing, April 2010, at 3.

9

x


In addition to that, if EU gives special treatment to other countries, either signatory or non signatory countries, EU will infringe the MFN principle. For instance, EU has ever gives special treatment to ACP countries’ (Africa, Carribean, Pacific) products because they are its former colonies. The special treatment includes, import license, development assistant programs, and Cohesion Funds to compensate environment legislation cost.10 If EU still gives these such special treatments, it will harm Indonesia eventhough Indonesia signs VPA. Meanwhile, Indonesia will also be at a loss if the requirements of FLEGT license under VPA between EU and Indonesia as well as the implementation of the license are much more difficult rather than those of according to VPA between EU and other countries. 2. FLEGT VPA Policy and Article XI GATT Article XI GATT contains prohibition of import restriction other than through tariff. VPA itself does not breach Article XI because of its voluntary character. However, EU’s effort to prohibit imports without FLEGT license from non signatory countries can infringe Article XI GATT, as mentioned bellow: Article XI section (1) GATT stipulates: No prohibitions or restrictions other than duties, taxes or other charges, whether made effective through quotas, import or export licences or other measures, shall be instituted or maintained by any contracting party on the importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation or sale for export of any product destined for the territory of any other contracting party.

Based on the above article, EU will breach Article XI GATT, if EU prohibits importation of timber products without FLEGT license because a member country may not prohibit importation of such products by determining quota, import license or export or other policies. Eventhough it is still uncertain, EU will prohibit imports of timber products without FLEGT license.11 As a consequence, there are chances that non signatory country

. Shawn L. Bryant, “The European Union’s Ecolabel and its Effects on theTropical Timber Industry,” November 26, 1996, video conference on International Trade by David Linnan, Fak Hukum UGM and University of South Caroline, March 2010. 11 . Client Earth, “Legal Analysis: Due Diligence and a General Prohibition in the Illegal-Timber Regulation,” Client Earth Briefing April 2010. 10

xi


will sue EU based on Article XI and I (MFN). If EU then has to allow importation of timber products without FLEGT license, as signatory country, Indonesia will suffer loss. 3. FLEGT VPA Policy and the Principle of National Treatment under the GATT The principle of National Treatment which is governed in Article III GATT has the meaning that each WTO member country has to provide treatment to imported products from other WTO member countries no less favourable than that to local product . EU may infringe the principle of National Treatment if EU does not implement obligation such as FLEGT license on domestic industry. Article III section (1) GATT states: [L]aws, regulations and requirements affecting the internal sale, offering for sale, purchase, transportation, distribution or use of products, and internal quantitative regulations requiring the mixture, processing or use of products in specified amounts or proportions, should not be applied to imported or domestic products so as to afford protection to domestic production.

Article III section (4) GATT stipulates: The products of the territory of any contracting party imported into the territory of any other contracting party shall be accorded treatment no less favourable than that accorded to like products of national origin in respect of all laws, regulations and requirements affecting their internal sale, offering for sale, purchase, transportation, distribution or use.

Relied on those above mentioned provisions , EU infringes the principle of National Treatment if EU does not apply such FLEGT license system for timber industries within EU countries. If EU does not apply it or apply it with easier requirement than requirement within VPA to its domestic industry, it means that EU gives less favourable treatment to the imported timber products from Indonesia rather than local timber products of EU countries. As a consequence, timber products from Indonesia can be less competitive in EU market. Therefore, before signing VPA, Indonesia has to ascertain that: 1. EU has to apply licensing system equal to FLEGT licensing for domestic timber industry EU countries. 2. EU does not give special treatment to domestic timber within that licensing system.

xii


4. FLEGT License Policy Viewed from the TBT Agreement FLEGT license policy through VPA can be in contradiction with Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement) WTO. In accordance to this Agreement, FLEGT license policy is a technical regulation. Technical regulation on Annex TBT Agreement is: Document which lays down product characteristics or their related procesess and production methods, including the applicable administrative provisions, with which compliance is mandatory. It may also include or deal exclusively with terminology, symbols, packaging, marking or labelling requirements ad they apply to a product, process or production method.

Eventhough VPA is voluntary, after being signed it becomes mandatory. Therefore, FLEGT license is a technical regulation relied on TBT Agreement. In Article 2.1 TBT Agreement stipulated that: Members shall ensure that in respect of technical regulations, products imported from the territory of any other Member shall be accorded treatment no less favourable than that accorded to like products of national origin and to like products originating in any other country.

Based on Article 2.1 above, if the requirement of FLEGT license is discriminatory to alternative license which will be implemented by EU to non VPA signatory countries, or if EU refuses the imported timber or timber products without FLEGT license, EU breaches Article 2.1. This can be a reason for the non signatory countries to claim equal treatment as signatory countries. This means that signing VPA is less atractive, because the signatory countries will not get special treatment from EU. In addition to that, if the requirements of FLEGT license cause less favourable treatment to imported timber or timber products rather a local timber or timber products within EU, then EU breaches Article 2.1. concerning the National Treatment principle. Therefore, Indonesia must ascertain EU that its domestic policy may not be easier than FLEGT license requirement. The due diligence regulation for the operator including internal traders (resolution 7 July 2010) does not give any explanations.

xiii


5. FLEGT license Policy and Article XX (General Exceptions) GATT Article XX GATT contains general exception. It means that WTO member countries may not infringe GATT provisions if fulfilling requirements in that article. Article XX (b) and (g) is relevant to FLEGT license policy. Article XX (b) and (g) stipulates: Subject to the requirement that such measures are not applied in a manner which would constitute a means of arbitrary or unjustifiable discrimination between countries where the same conditions prevail, or a disguised restriction on international trade, nothing in this Agreement shall be construed to prevent the adoption or enforcement by any contracting party of measures: ... (b) necessary to protect human, animal or plant life or health; ... (g) relating to the conservation of exhaustible natural resources if such measures are made effective in conjunction with restrictions on domestic production or consumption; ...

Under Article XX (b) GATT, if the FLEGT license policy through VPA is “necessary” to protect plant life, this policy is exempted from GATT rules. However, the requirement is that there is no other alternative suitable with or not too infringing GATT12, could not be too discriminatory so that is unreasonable and does not constitute restriction to international trade. Requirements to apply Article XX (b) GATT are very strict. This is proven by Thailand’s case – Cigarettes. 13 Different from Article XX (b), the requirements of the application of Article XX (g) GATT can be less strict. Appellate Body in US – Shrimp stated that policy which obligated exporting country to obey or adopt certain policies done by importing country was policy or measures which were allowed by Article XX. 14 EU’s justification for prohibition of imported timber or timber product unless accompanied by FLEGT license is: a. Reason to protect the environment; b. The EU has conducted bilateral negosiations with several countries through VPA, namely: China, Jepang, USA, Malaysia, Indonesia, Ghana, Cameroon, Russia dan Brazil; c. EU has participated in multilateral negosiations regarding Illegal Logging;

. GATT Panel Report, Thailand – Cigarettes, adopted on 7 November 1990, BISD 37S/200 195, para 73 and 75. . Ibid. . Appellate Body Report, US – Shrimp, adopted on 21 November 2001, DSR 2001: XIII, 6491 56, para 7.44.

12 13 14

xiv


d. The policy enables other countries to control the legality of timber harvesting by legal improvement; e. With those reasons or conditions, EU states that prohibition of illegal exported timber is in accordance with Article XX GATT (General Exceptions).15 The above explanation shows that policy of FLEGT license can be exempted by Article XX (g). However, FLEGT policy is difficult to comply with Article XX (b) because Article XX (b) required that the policy taken must be “necessary to protect ... plant life.” FLEGT license policy is not the only thing that can protect plant life. To protect plant life, there are many other policies which can be taken other than FLEGT license, for instance giving technical assistance and management to timber exporting countries and timber products to prevent illegal logging, and so on. Historically, Article XX (g) can only be used by GATT contracting parties, which took the excepted measure in Article XX (g) for reasons in conformity with the condition or to the legal implementation in the importing country, not the exporting country. However, in the development, Article XX (g) can be used for the reasons of the exporting country.16 It occurred in the Appellate Body in US- Shrimp case. In FLEGT policy, the law which must be implemented is the law of exporting country after being instructed by the importing country namely, EU. In other words, effort to protect natural resourses of the exporting country is used as reasons to apply Article XX (g). It is a new thing, and there is a case similar to FLEGT, US-Shrimp. In US-Shrimp, US prohibited importation of shrimp which are caught by using technology which can destroy marine turtle’s life in the exported country otherwise the exporting country has regulation program which is certified similar to regulation program in the US or it proven that the catch environment for the certain fish of the exported country does not danger turtles. The Appellate Body of WTO has approved the US measures and allowed it to use Article XX (g). 17 In the US Shrimp, the Appellate Body stated that there must be a link / nexus between exporting country and importing country which apply trade measure (i.e. importation prohibition). The fact that marine turtle which is inflicted by practice of the catching of shrimp has a habit to swim in the

. ClientEarth, “Legal Analysis: WTO Implications of the Illegal-Timber Regulation,” ClientEarth Briefing, September 2009, at 8. . See US Tuna (Mexico), GATT Panel Report, United States – Restriction on Imports of Tuna, 3 September 1991. 17 . Appellate Body Report, US – Shrimp, Op. Cit. 15

16

xv


sea and coastal water in other countries including US is a sufficient relationship between exporting country and importing country. The argument of the Appellate Body is possible to be applied in the FLEGT license in EU, that the EU consumers have relationship with timber exporter countries in the form of their use of timber product, their interest towards global regulations on illegal logging and their interest towards the protection of global protection for biodiversity. Based on this matter, the policy of EU FLEGT license has possibility to be exempted from Article XX (g). Article XX (g) does not require “necessary” as it is mentioned in Article XX (b). Therefore, Article XX (g) is easier. However, Article XX (g) requires that “such measures are made effective in conjunction with restrictions on domestic production or consumption.” FLEGT policy could not cause the protection towards domestic timber industry in EU. It means that EU has to implement similar policy towards timber and timber products. In fact, EU has made an effort to implement this matter in the frame of Due Diligence obligation policy. C. EU’s Policy on Due Diligence Obligation EU Commision proposed the making of regulation which provided that anybody or company (operator) which placed timber products in EU market must do due diligence. Due diligence is purposed to minimalize import risk of illegal timber products into EU. Due diligence is defined as “the prudence and activity expected from, and ordinarily exercised by, a reasonable person under the particular circumstances”. Due diligence is generally connected to “duty of care”. Those two concepts, in fact, are different, and the one is the further process of the other. “Due care” describes such things which must be done to comply with legal liability, and “due diligence” is a set of phases which have to be carried out to comply with the legal liability.18 Based on EU Commission, operator has responsibility that only the legally harvested timber product can be brought into EU market. The Commission states that the requirements of due diligence are only applied for the first operator who places timber product in market, and they are not applied to subsequent operators who received the timber from the first operator.

18

xvi

Questions and Answers on the Proposed Regulation laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the EU market, What is “due diligence”, http://ec.europa.eu/development/icenter/repository/ Q&A_timber_prop_oct08.pdf


The reason is that if it is applied to subsequent operators, it will be too difficult. 19 According to the Commission, an infringement occurs if the first operator does not carry out due diligence system regarding procedure and action to prevent the placement of illegal timber product in EU market. Any first operator will be responsible if he/she fails to carry out sufficient due diligence system. Therefore, the legality of timber product is only once evaluated, i.e. when the first operators place their product to be distributed or used in EU during the commercial activity whether in return for payment or free of charge (“any supply of timber and timber products for the first time on the Community market for distribution or use in the course of a commercial activity whether in return for payment or free of charge.”).20 According to EU Commission, due diligence system have to: 1. Give access to information in relation with timber product regarding: a) Timber Description; b) Country where timber was cut; c) Volume and / or weight; d) Name and address of operator who supply timber product (if available); e) Note of fulfillment of required conditions in the applied legislation; 2. Contain of risk management procedure; 3. Give audit possibility to assure effective implementation of due diligence system. 21 In the proposal of EU Commission, there is no general prohibition towards placement of illegal timber product, but this Commission substitutes it to responsibility for first operator to apply due diligence system.22 Different from EU Commission, EU Parliament on the one hand strengthened the proposal of EU Commission to oblige the first operator to do due diligence. However, on the other hand, Parliament determines responsibility for all operators, including subsequent operators, to place legally timber product. In other words, Parliament obliges all operators within all supply chains to do duty of care. The legality of timber product is the responsibility of all operators. 23

Client Earth, “Legal Analysis: Due Diligence and a General Prohibition in the Illegal-Timber Regulation,” Op. Cit., at 1 – 2. Ibid, at 2. 21. Ibid, at 3. 22 Ibid. 23 Ibid, at 4. 19

20

xvii


Besides, Parliament proposed general prohibition of the placement of illegal timber product in EU market. Parliament stated: Most fundamentally, the proposed Regulation does not actually prohibit the import and sale of illegally logged timber—thereby failing to address “the weak rules to prevent trade in illegally harvested timber� cited by the proposal itself as the starting point for why illegal logging is so entrenched. The revised US Lacey Act, adopted in May 2008, does enact such a prohibition, so a precedent is in place. There is no good reason why the EU cannot emulate this and indeed go further. The Rapporteur thus proposes an explicit statement of the requirement that operators make available on the market only legally harvested timber/timber products, to apply to all operators on the supply chain. 24

Subsequently, Parliament declared that it only obliged due diligence to the first operator as being proposed by EU Commission can not solve illegally harvested timber product. By referring to US policy in the amendment of the Lacey Act in Mei 2008 which generally prohibits the placement of illegal timber product, EU Parliament proposed to generally prohibit the placement of illegal timber product. EU Parliament differentiated responsibility between the first operator and subsequent operators. Eventhough subsequent operators were responsible to carried out duty of care, but in relation to due diligence, the responsibility of the first operator much more difficult then that of the subsequent operator. First operator must have strict and detail due diligence system. Parliament EU added more detailed of due diligence than requirement proposed by EU Commission. According to EU Parliament, due diligence system which must be done by first operator must: 1. Assure that only legally harvested timber product can be placed in market, use supply chain and verification system of third party by supervisory organization; 2. Contain policies to assure: a. Country origin, forest origin, and, if it is available, cutting license; b. Name of species, including its scientific name; c. Value; d. Amount and / or weight;

24

xviii

Ibid, at 7.


e. That timber or timber product have been legally; f. Name and address of operator who supply timber and timber product; g. Individual or legal entity who are responsible in the cutting; h. Operator who receive supply of timber and timber product; These must be supported by one database of documentation. 3. Contain of risk management procedure which have to consist of: a. Systematic identification of risk, including data and information collection and using international community or national sources; b. Application of all important policy for limiting the risk occurs; c. Determining procedure which can be carried out regularly to verify policy on poin a) and b); d. Making records to demonstrate the effective application of the above policy; e. Conducting audits to ensure effective application of due diligence system.25 According to EU Parliament, subsequent operator had to assure the legality of timber and timber product. However, they only had simple due diligence obligation, i.e.: 1. Identifying operator who supply timber and timber products and operators to whom the timber and timber products have been supplied; 2. Giving information about the name of the species, country of the harvest and, where possible, harvest license; 3. Checking, when necessary, that the operator who has placed timber and timber products on the market has fulfilled obligations under this due diligence regulation.26 Another institution, namely EU Council, gave a proposal similar to that of the EU Commission. This EU Council did not oblige the subsequent operators to conduct due diligence. Similar to the Commission’s proposal, Council did not propose general prohibition of the placement of illegal timber or timber products on the EU market. Having regards with the Commission proposal, Council had focused on the due diligence obligation for first operator. In other words, legality of timber and timber products is only once to be examined, i.e on the first operator. However, EU Council gave detailed explanation of the due diligence system which was mentioned on Article 5 of the draft.27 25 26 27

Ibid, at 5 and 6. Ibid, at 6. Ibid at 8 and 9.

xix


EU Parliament in the legislative resolution on the regulation of due diligence requirement on 7 July 201028, other than determined due diligence obligation for first operator in EU, also determined duty of care obligation for subsequent operator. In the resolution, the first operator is called as operator, while subsequent operator is named as internal trader. In accordance with Parliament’s argument previously mentioned, the obligation of internal trader is much easier than obligation for operator. Operator has obligation to apply strict due diligence system. EU Parliament then ultimately adopted the due diligence system for operator on 7 July 2010 as mentioned in Article 6. In Article 6 it is mentioned that due diligence system for operator must contain matters bellow: (a) Measures and procedures providing access to the following information concerning the operator’s supply of timber or timber products placed on the market: – description, including the trade name and type of product as well as the common name of tree species and, where applicable, its full scientific name; – country of harvest, and where applicable: i) sub-national region where the timber was harvested; and ii) concession of harvest; – quantity (expressed in volume, weight or number of units); – name and address of the supplier to the operator; iv) name and address of the internal trader to whom the timber and timber products have been supplied; – documents or other information indicating compliance of those timber and timber products with the applicable legislation; (b) Risk assessment procedures enabling the operator to analyse and evaluate the risk of illegally harvested timber or timber products derived from such timber being placed on the market. Such procedures shall take into account the information set out in point (a) as well as relevant risk assessment criteria, including: – assurance of compliance with applicable legislation, which may include certification or other third-party-verified schemes which cover compliance with applicable legislation;

28

xx

European Parliament legislative resolution of 7 July 2010 on the Council position at first reading for adopting a regulation of the European Parliament and of the Council laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market (05885/4/2010 – C7-0053/2010 – 2008/0198(COD)).


– prevalence of illegal harvesting of specific tree species; – prevalence of illegal harvesting or practices in the country of harvest and/or sub national region where the timber was harvested, including consideration of the prevalence of armed conflict; – sanctions imposed by the UN Security Council or the Council of the European Union on timber imports or exports; – complexity of the supply chain of timber products; (c) Except where the risk identified in course of the risk assessment procedures referred to in point (b) is negligible, risk mitigation procedures which consist of a set of measures and procedures that are adequate and proportionate to minimise effectively that risk and which may include requiring additional information or documents and/or requiring third party verification. Article 6 adopts EU Council’s proposal on due diligence system mentioned before and combines it with EU Perlemen’s proposal. Compared to the previous proposal, due diligence system in Article 6 is much more detail. For instance: it must include an information of trade mark, information of harvesting license, information of the location of harvesting. Besides, it must contain risk assessment procedure, to replace risk management procedure which was proposed by the EU Parliament. The risk assessment procedure has to enable the operator to analyze and evaluate the risk of timber or timber products which are ilegally harvested and was placed on EU market. Article 6 has also mentioned that this system must contain risk mitigation procedure which covers a range of assessment and procedure which is sufficient and proportional to minimize the occurance of risk and includes the obligation to provide additional information or document and/or obligation to make verification from the third party. Compared to the operator’s obligation, the obligation of internal trader is much easier. Article 5 of Regulation on resolution on 7 July 2010 states: Internal traders shall, throughout the supply chain, be able to identify: (a) the operators or the internal traders who have supplied the timber and timber products; and (b) where applicable, the internal traders to whom they have supplied timber and timber products. Internal traders shall keep the information referred to in the first paragraph for at least five years and shall provide that information to competent authorities if they so request.

xxi


Indeed, internal traders only have obligation to identify other operators or internal traders who have supplied timber and timber products, and where feasible, have to identify internal traders to whom the supply of timber and timber products have been given. Moreover, internal traders have to keep and store the information within the minimum of 5 (five) years and give this information to the competent authority where feasible. These obligations are much easier than the obligation of the operator. Compared to proposal from EU Parliament, the obligation of subsequent operator previously, obligation of internal trader on resolusion on 7 July is easier. Obligation to give information regarding the name of species, country in which the harvest was done and license for harvesting does not exist, subsequent operator previously are proposed to own these obligation.29 The other obligation, namely to check, when it is needed, operator who placed timber and timber products in market has fulfilled obligations under due diligence ar not belong to internal trader. Whereas, the Parliament previously proposed that subsequent operator has that obligation.30 In other words, resolution of the Parliement on 7 July does not oblige internal traders to check supply chain that timber and timber products have been sold are legaly harvested. In other words, if internal traders selling ilegal timber and timber products, there is uncertain whether they will be punished. Resolution of the Parliament on 7 July 2010 also contains general prohibition of placement of illegal timber and timber products in EU market. Article 4 section (1) stipulates: “The placing on the market of illegally harvested timber or timber products shall be prohibited.” This prohibition is in accordance with the obligation of the operator and internal traders to do due diligence and duty of care. ClientEarth supports this matter because general prohibition will support due diligence obligation and create effective regulation.31 However, the problem is that why such prohibition is only included in Article 4 regarding operator obligation; there is no obligation for internal traders who support this prohibition. This is a weakness of this regulation, because it can be assumed that internal

Article 3 (2) (ii) regulation draft proposed by EU Parliement stated that subsequent operators were obliged to: “provide upon request information on the name of the species, the country/countries of harvest and where feasible the concession of origin.” Client Earth, “Legal Analysis: Due Diligence and a General Prohibition in the Illegal-Timber Regulation,” ClientEarth Briefing April 2010, at 6. 30 Article 3 (2a) (iii) regulation draft proposed by EU Parliement stated that subsequent operators were obliged to: “check, where necessary, that the operator who has placed the timber and timber products on the market has fulfilled his obligations under this Regulation.” Client Earth, “Legal Analysis: Due Diligence and a General Prohibition in the Illegal-Timber Regulation,” ClientEarth Briefing April 2010, at 6. 31 Client Earth, “Legal Analysis: Due Diligence and a General Prohibition in the Illegal-Timber Regulation,” Op. Cit., at 10. 29

xxii


traders are difficult to be sanctioned by law eventhough they trade illegal timber and timber products in the EU market if they only received supply from operator who breached due diligence obligation. While, the EU Parliament previously proposed that “all operators in the supply chain should be bound by the overriding prohibition against making illegally sourced timber or timber products available on the market….”32 The meaning of “all operators” in that proposal included “first operator” (“operator” within resolution on 7 July 2010) and “subsequent operators” (“internal traders” within resolution on 7 July 2010). In other words, EU Parliament previously have proposed that operator and internal traders are prohibited to trade illegal timber and timber products in the EU market. Now, within resolution on 7 July 2010, only first operator who is strictly prohibited to trade illegal timber or timber products. Based on the above explanation, the prohibition of illegal timber or timber products in EU is not strict. Generally, resolution on 7 July Article 4 section (1) stipulates that: “The placing on the market of illegally harvested timber or timber products shall be prohibited.” However, because internal traders do not have obligation to check supply chain to determine whether or not the products are legal, therefore, that prohibition is not effectively enough. D. The Relationship between VPA and Due Diligence Regulation (DDR) in EU In other words, VPA ensures legality of timber import to EU only from the VPA signatory countries. However, on the other hand, EU creates DDR. DDR generally prohibits the placing of illegal timber in EU market. The question arises as to how the relationship between VPA and DDR is. Article 3 DDR (resolution on 7 July 2010) strictly stipulated that timber or timber products from VPA signatory countries “shall be considered to have been legally harvested for the purposes of this Regulation.” It means that timber or timber products from those countries are deemed as per se legal. Indeed, due diligence obligation is not applied towards timber or timber products from VPA signatory countries. It is assumed to make easier for the importation of timber products from the VPA signatory countries.

32

”ClientEarth Briefing” Parliament Amendments at Amendment 19 (Recital 12), Client Earth, “Legal Analysis: Due Diligence and a General Prohibition in the Illegal-Timber Regulation, April 2010, at 7.

xxiii


Therefore, the question which arises is to what extent the assurance of the legality of imported timber from non VPA and the assurance of timber legality which is harvested in EU countries compared to that of the imported timber under FLEGT license relied on VPA. Article 4 section (1) DDR generally prohibits the placing of illegal timber or timber products on the EU market. Article 2 c stipulates “placing on the market” as “the supply by any means, irrespective of the selling technique used, of timber or timber products for the first time on the internal market for distribution or use in the course of a commercial activity, whether in return for payment or free of charge.” Subsequently, the prohibition of “placing on the market” includes prohibition of placing of illegal imported timber and placing of illegal local timber. However, there are two matters to be paid attention for. On the one hand, there are heavy requirements to get a FLEGT license under VPA which cause that legality of imported timber under FLEGT license will be strongly ensured. On the other hand, because internal traders are not obliged to check legality timber supply chain, so that the assurance of legality imported timber from non VPA signatory countries and the assurance of legality of local timber will not be strong. It may occur a discriminatory treatment between imported timber or timber products accompanied by a FLEGT license from VPA signatory countries and the imported products from non VPA signatory countries and local timber. Whereas, based on Article I GATT, EU must give fair treatment towards any imported timber products from any countries and, based on Article III GATT, EU must give fair treatment between imported timber products and local timber products. V. Analysis on VPA Agreement between Indonesia and EU The aims of VPA are in accordance with the aims of EU FLEGT. The first objective of VPA is for the interest of EU. This purpose has been criticized because: if EU obliges that timber products entering EU market must be legally produced by producing license, there will be possibilities of exporting timber products to other countries which do not require that matter. As a result, illegal logging will not able to be stopped33, and subsequently the aim of FLEGT will not be achieved. The aim to improve trade on timber products raises an important question. Can the purpose be reached if timber products are then exported to

33

xxiv

Fredik Erixon dan Brian Hindley, “New Trade Regulations to Combat Illegal Logging: A Critique”, European Centre for International Political Economy (ECIPE), Brussel, 2009, at 6.


countries other than EU in order to hinder problems to get FLEGT license. It is argued that many illegal timber products from Indonesia have been exported to China.34 It shows that that exportation of illegal timber products to other countries will be difficult to be stopped. Another question is whether the amount of exportation of timber products with a FLEGT license will increase compared to that without FLEGT license. It will be easier to give a negative answer rather than the positive one. In order for VPA to give a win-win deal, the purpose to increase trade of timber products from Indonesia to EU should be reached. If not, it means that VPA is only for the EU’s interest, or give much more benefits to EU. The next purpose of VPA between Indonesia and EU is to improve the implementation of law and forest management. The implementation of law is the implementation of VPA itself, because any producers who want to export timber products to EU have to obey the regulation of the Forest Minister, namely Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009, Regulation No. P.06/ Set-VI/2009 and Regulation No. P.02/VI-BPPHH/2010. However, if the implementation of forestry regulation is discriminative, for example only for the export of timber products to EU countries, then the implementation of forestry law will not improve. Therefore, VPA should become the trigger of the consistency of general implementation of forestry law. It is in accordance with the commitment of Indonesia and EU which is stipulated in Article 1 VPA draft, to implement the sustainable management of all types of forest. If it can be achieved, then VPA will give benefits to Indonesia. A. The Meaning of “Legally-Produced Timber” Article 2 i VPA draft contains terminology “legally-produced timber” which is defined as “timber products harvested or imported and produced in accordance with the legislation as set out in Annex II. In Article 7 VPA draft which regulates the terminology of “legally-produced timber” stipulates that not only national legislation of Indonesia but also subnational regulation, i.e. local regulation, must be obeyed to determine legality of timber products. Besides, there must be a documentation containing criteria and indicators as a proof or a sign of the fulfillment of the legislation.

34

“Recent Amendments to U.S. Lacey Act Should Help Protect Forests Worldwide,” http://inece.org/climate/LaceyActAmendments.pdf (accessed on 11 June 2010).

xxv


The meaning of “legally-produced timber” is a key in VPA, because the most important aim of VPA is to assure that the exported timber products to EU is legal. EU Commission states that to determine that timber products are legally produced must be used legislation applied within producer countries. The above regulation is: [T]he legislation of the country of harvest regulating forest conservation and management and the harvesting of timber as well as legislation on trade in timber or timber products related to forest conservation and management and to the harvesting of timber. 35

The reason of the Commission is that: first, to respect the sovereignity of the timber producer countries. Second, to respect the producers country’s efforts in applying its law.36 Parliament states that: Broadening the scope of the applicable legislation against which “legality” is defined would help achieve [the broader goal of sustainable development]. As parties to multiple international and regional agreements the EU and Member States have already legally and politically committed themselves to the conservation and sustainable use of natural resources, poverty alleviation and protection of the rights of indigenous and forest-dependent communities. The Regulation can be a vehicle for helping to implement their provisions. 37

Besides, EU Parliament also states that other considerations must be done, namely poverty alleviation, promotion of indigenous peoples’ rights and reduction of desertification.38 Indeed, according to the Parliament the meaning of legislation includes not only legislation within timber producer countries but also regional and international legislation related to biodiversity, forest management, and resource-use rights.39 The EU Council has an opinion that law which is used to determine the legality of timber products is legislation within timber producer countries.

Ibid, at 2. Ibid. 37 Parliament legislative resolution of 22 April 2009 on the proposal for a regulation of the European Parliament and of the Council laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market (COM(2008)0644 – C6-0373/2008 – 2008/0198(COD))*hereinafter “Parliament Amendments”+, Explanatory Statement citing EU FLEGT Action Plan (COM(2003)251) dalam ClientEarth, “Legal Analysis: Applicable Legislation in the Illegal-Timber Regulation,” Client Earth Briefing, April 2010, at 3. 38 Ibid, at 4. 39 Ibid. 35 36

xxvi


However, Council gives broad definitions concerning this legislation, includes: a. rights to harvest timber within gazetted boundaries; b. payments for harvest rights and timber including duties related to timber harvesting; c. timber harvesting, including directly related environmental and forest legislation; d. third parties’ legal rights concerning use and tenure that is affected by timber harvesting; and e. trade and customs legislation, in as far as the forest sector is concerned. 40 The argumentation of EU Council supports the definition which is determined in the frame of FLEGT’s negotiation mandate for VPA. This Council’s argumentation was adopted with several additions by EU Parliament on legislative resolution on 7 July 2010 (Ordinary legislative procedure: second reading) towards Regulation draft on due-diligence requirement in Article 2 h which stipulates: “applicable legislation” means the legislation in force in the country of harvest covering the following matters: a. rights to harvest timber within legally gazetted boundaries; b. payments for harvest rights and timber including duties related to timber harvesting; c. timber harvesting, including environmental and forest legislation including forest management and biodiversity conservation, where directly related to timber harvesting; d. third parties’ legal rights concerning use and tenure that is affected by timber harvesting; and e. trade and customs legislation, in so far as the forest sector is concerned. The added matter on resolution on 7 July 2010 is the word of legally on the first point of legislation within the harvested timber countries. It means that legislation concerning right for harvesting is only for the harvesting right within the legal territory limit. Another additional gazette boundaries matter is: legislation in forest area must include forest management and conservation of biodiversity which is directly related to timber harvesting.

40

Ibid, at 5.

xxvii


Therefore, in accordance with negotiation in March 2007, the definition of “legally-produced timber” will refer to legislation in Indonesia. In that purpose, Indonesia has issued regulation on forestry area, namely: a. Regulation No. P.38/Menhut-II/2009 ; b. Regulation of Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. P.06/SetVI/2009; c. Regulation of Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. P.02/VI-BPPHH/2010.

B. Licensing Authority Article 2 f and Article 4 section (1) VPA draft stipulate that Indonesia must develop Licensing Authority. According to Article 4 section (2) – (4), this institution has obligations as follows: 1. Verifying that timber products have legally produced in accordance with Annex II VPA; 2. Issuing FLEGT license to deliver legally timber products to EU; 3. Retaining the procedure of the issuance of FLEGT license and enable it to be publicly acsess; 4. Establishing and maintaining document of timber products delivery conducted through FLEGT license; 5. Disclose all documents for independent monitoring other than that should be confidential. This section (3) is obligation to make transparency to the public including stakeholders. It means that timber producer must be given acess to work and process carried out by Licensing Authority in issuing FLEGT license. As a result, the Licensing Authority should accept any complains from timber producers regarding process of the issuance of FLEGT license. Section (5) also contains transparency principle. Independent monitoring must be given acess to document of the Licensing Authority related to the issuance of FLEGT license and record of timber products delivery under FLEGT license. Furthermore, there is an action which can not be done by Licensing Authority. Article 4 setion (3) prohibits Licensing Authority to: 1. issue FLEGT license for timber products which come from or contains timber products from third countryin case the third country exported timber to Indonesia; 2. issue FLEGT license for timber products illegally produced or infringe the law within the third country.

xxviii


The problem is whether Article 4 section (3) does not hamper Indonesia’s timber exportation? To what extent Indonesia has to check that: first, the third country prohibits exportation of timber to Indonesia; second, the timber products infringe the law within the country. It is assumed that eventhough Indonesia signs VPA, the import of illegal timber will not decrease except the verification of legality timber products applied strictly to the exportation or domestic use. C. EU Competent Authority Competent Authority is the institution established by EU countries to verifiy FLEGT license. According to Article 5 VPA draft, the obligations of this institution are as followed: 1. Verify that any delivery of timber products from Indonesia to EU must be accompanied by legal FLEGT license; 2. Develop, maintain record of any FLEGT license received and announce it annually; 3. Provide access to any documents and data relevant to Independent monitoring from Indonesia. Section 2 of the Article stipulates that in the condition that the legality of FLEGT license is doubtful, then the delivery of timber products to EU market will be supended. Article 9 VPA draft states that in case that the Competent Authority doubts about the legality of FLEGT license, it requests Licensing Authority to provide additional information and further clarification. If there is no response from Licensing Authority within 21 days, or if after the investigation conducted it is proven that the information in the license is not suitable with the delivery of timber products, the Competent Authority then must take action in accordance with applied EU national law and rejects the license. It is still unclear about the way of Competent Authority to check the legality of FLEGT license, whether only formally or must be substantially. If it must be in substantial way, it would be time consuming and it constitutes a non-tariff barrier. It can decrease the interest in exporting timber from Indonesia to EU, so that the increase of timber trade from Indonesia to EU will not occur. However, the obligation to provide transparency towards Independent monitoring from Indonesia can influence the Competent Authority to be careful in doing suspension of the delivery of timber products to EU market because of the assumption of the illegality of FLEGT license.

xxix


D. Protection for Confidential Information/Trade Secret Article 23 of VPA Draft stipulates confidential information or trade secret owned by Indonesia and EU. Article 23 section (1) prohibits disclosure of exchanged confidential information or trade secret. Trade secret is governed by Law No 30 of 2000. Trade secret is “information which is publicly unknowned in the field of technology and/or business, having economic value because it is valuable in business activities, and its confidentiality being maintained by trade secret owner.� (Article 1 letter 1). Nevetheless, in VPA draft there is no explanation about things which can be covered by trade secret. According to Article 2 UURD, trade secret includes: production method, processing method, selling method, or other information in the field of technology and/or business which have economic value and publicly unknowned. It is necessary to clearly mention any matters protected by trade secret on VPA draft. In the implementation, a room for providing information for new trade secret which will arise during the implementation of VPA must be given to the parties. E. Dispute Settlement Article 25 of VPA draft states that: In condition that dispute regarding the implementation or interpretation of the agreement arises, then it will be carried out, first, by consultation, then if it fail, dispute will be brought to Joint Implementation Committee (JIC). In case of it fail, disputes then will be settled by mediation. When it fail, it will be settled through arbitration by 3 (three) arbitrators. Each party appoint 1 (one) arbitrator, whereas third arbitrator will be appointed by both parties. The third arbitrator should be appointed by the two arbitrators appointed by each party. This is to create neutrality. This is mentioned in Rules of Conciliation and Arbitration of International Chamber of Commerce (ICC). Article 25 section (6) of VPA draft states that the decision of arbitration must be taken through majority vote. Hence, the decision should be delivered to the arbitrators or by considering the agreed procedure. Article 25 section (7) stipulates that JIC must establish the procedure of the arbitration. It is important to apply the existing procedure such as Rules of Procedure of ICC.

xxx


Bab

1

Pendahuluan

1


2


A. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai wilayah hutan yang cukup luas. Hasil produk hutan Indonesia dengan kayu sebagai hasil utama yang mempunyai keunggulan komparatif dibanding negara lain merupakan penghasil devisa pertama dari sektor non migas1. Pada tahun 2008, misalnya, volume ekspor kayu Indonesia yang terdiri dari kayu gergajian, kayu lapis, pulp, veneer sheets, particle board, dan fibreboard mencapai 4.530.829.476 kg dengan nilai 3.098.505.013 US$2. Di antara tujuan ekspor kayu tersebut adalah negara Uni Eropa (lebih lanjut disingkat UE). Untuk kayu lapis misalnya, volume ekspor 1.667.509.552 kg dengan nilai ekspor 1.532.267.777 US$, persentase ekspor ke UE mencapai 10%, Jepang 34%, Amerika Serikat 5%, China 7%, Taiwan 9%, dan sisanya ber bagai negara lainnya3. Tidak diketahui apakah jumlah produk kayu yang diekspor dari Indonesia termasuk ke UE tersebut semuanya merupakan produk kayu yang berasal dari penebangan kayu yang sah (legal) atau ada yang tidak sah (illegal). Namun UE sangat memperhatikan persoalan semacam ini. Jelasnya, UE telah beberapa tahun memutuskan untuk melakukan “perang terhadap penebangan liar (illegal logging). UE menyampaikan komitmen ini pada pertemuan puncak dunia untuk pembangunan yang berkelanjutan di Johannesburg tahun 2002. Kemudian EU membuat Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) Action Plan dan mengadopsinya pada tahun 2003.4 Ada beberapa tujuan FLEGT. Pertama, untuk membantu negara produsen 1“Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending Model Usaha Kecil”, diakses pada tanggal 13 Juni 2010 pada: http:// www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=50307&idrb=44501. 2 Data diolah dari Statistik Kehutanan Indonesia Forestry Statistics of Indonesia 2008, Tabel IV.3.1, Perkembangan Ekspor Hasil Hutan 2004-2008, Departemen Kehutanan, Jakarta, Oktober 2009, hlm. 217. 3 Ibid, hlm. 220-222. 4 Final Report EU-Indonesia Business Dialogue 1-2 October 2009”, Brussel, 09.34028EIBDReportFINAL7-12-2009. pdf.

3


kayu meningkatkan tata kelola (governance) dan “capacity building” dalam memberantas penebangan liar. Kedua, FLEGT bertujuan untuk mencegah atau mengurangi konsumsi kayu ilegal dan investasi UE yang mengakibatkan terjadinya illegal logging. Selain itu, FLEGT bertujuan untuk mencegah masuknya produk kayu ilegal ke pasar UE.5 Untuk melaksanakan tujuan FLEGT tersebut, terutama tujuan terakhir, maka UE menciptakan apa yang disebut Voluntary Partnership Agreement (VPA). VPA merupakan mekanisme praktis untuk mengidentifikasi dan mengeluarkan kayu ilegal dari pasar UE. Tujuan akhir perjanjian ini adalah menghapuskan kayu ilegal dari perdagangan domestik dan internasional negara-negara mitra. Perjanjian VPA ini apabila disepakati akan mengikat UE dan negara mitranya. UE telah merundingkan VPA dengan beberapa negara, antara lain: Ca meroon, Malaysia, Gabon, Indonesia, dan Liberia. Ghana dan Congo telah menyepakati VPA. Sementara itu, Republik Afrika Tengah, Sierra Leone, Ivory Coast, Madagaskar, dan Republik Demokratik Congo akan memulai perundingan dalam waktu dekat. Di samping itu, banyak negara lain yang tertarik untuk memulai perundingan VPA.6 Inti VPA adalah negara yang menyepakati perjanjian ini hanya bisa mengekspor produk kayu yang legal ke UE. Caranya adalah dengan mengharuskan produsen kayu untuk mendapatkan lisensi FLEGT yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang, yang disebut Licensing Authority, di negara penghasil kayu sebelum produknya bisa diekspor ke UE. VPA membutuhkan beberapa faktor kunci, yakni: 1. Peraturan perundang-undangan untuk menentukan legalitas produksi kayu; 2. Pengaturan kelembagaan dalam sistem perizinan; 3. Tingkat verifikasi independen dari tindakan hukum pada setiap tahap produksi; 4. Cara meningkatkan tata kelola kehutanan yang baik; 5. Analisis legislasi yang ada dengan komitmen untuk memperbaikinya; 6. Kesepakatan monitoring independen terhadap berfungsinya penjaminan legalitas dan sistem perizinan yang hasilnya terbuka untuk publik; 7. Peningkatan transparansi dalam manajemen kehutanan;

5 Ibid. 6 ClientEarth, “Legal Analysis: Applicable Legislation in the Illegal-Timber Regulation,” Client Earth Briefing, April 2010, hlm. 6 dan 7.

4


8. Komitmen untuk mengikutkan stakeholders dalam joint committee yang akan dibentuk untuk mengawasi proses ini semua; 9. Masyarakat sipil diikutkan dalam pembicaraan dan negosiasi.7 Indonesia sebagai salah satu negara penghasil kayu yang penting, menunjukkan keprihatinan yang sama dengan UE terhadap isu illegal logging dan perdagangan kayu illegal logging. Pemerintah Indonesia bahkan untuk pertama kalinya mempelopori pertemuan internasional terkait hal tersebut, yang menghasilkan dokumen Bali Declaration on Forest Law Enforcement and Governance (FLEG), September 2001. Sejalan dengan hal tersebut, Indonesia menyambut baik gagasan dan tujuan FLEGT Action Plan dari UE. Pada tanggal 8 Januari 2007, di Brussels, Menteri Kehutanan RI dan Komisio ner UE membuat dan meluncurkan pernyataan bersama (joint statement) mengenai FLEGT-VPA, dan kedua belah pihak menyatakan kesiapannya untuk memasuki tahap negosiasi VPA tersebut. Negosiasi VPA pertama berlangsung di Jakarta pada Maret 2007. Dicapai kesepamahaman antara Delegasi UE dengan Delegasi RI bahwa; pertama, VPA merupakan instrument mendorong ketaatan pada hukum dalam pemanfaatan hutan ke arah pengelolaan hutan lestari (PHL); kedua, perlu dibentuk 2 (dua) Working Group yang mendiskusikan (i) Standar dan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, dan (ii) Pengembangan Kapasitas; ketiga, definisi “legalitas� mengacu pada hukum negara produsen (Indonesia); keempat, perlunya tanggung jawab timbal balik (reciprocity). Negosiasi kedua berlangsung di Brussels pada Juni 2007. Pada pertemuan ini dibahas: cakupan produk; pengembangan sistem verifikasi legalitas kayu di Indonesia; langkah legislasi untuk membatasi importasi kayu ilegal dan mengatasi laundering, serta insentif dan pengembangan kapasitas.

Berbagai pertemuan teknis antara kedua delegasi juga dilakukan. Pada April 2008 di Jakarta dilangsungkan pertemuan Technical Working Group (TWG) pertama. Pertemuan ini membahas konsepsi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), pengembangan kapasitas, hasil studi dampak perdagangan atas VPA kasus Indonesia serta pilihan legislasi dan VPA dengan berbagai negara (EU). Pada Desember 2009, masih di Jakarta, diselenggarakan pertemuan TWG kedua, yang antara lain membahas template text VPA, lima komponen TLAS versus SVLK. Salah satu poin penting dari pertemuan ini adalah bahwa SVLK dinilai mempunyai kompatibilitas yang 7

Multistakeholders Forestry Program (MFP II), Term of Reference Analisis Hukum Teks Voluntary Partnership Agreement (VPA), 2010.

5


tinggi terhadap keperluan dan persyaratan VPA. Pada Maret 2010, juga di Jakarta, diselenggarakan pertemuan TWG ketiga yang membahas: perlunya Join Expert Meeting untuk me-review isu independent monitoring, skema lisensi, Verifikasi dan Enforcement Responsibility, Control of supply chain, kaitan SFM dengan standar verifikasi kayu. Selain itu juga pemerintah Indonesia menyetujui untuk mengkaji lebih lanjut legal text VPA. Sejalan dengan itu pula Pemerintah Indonesia pada bulan Juni 2009 telah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Peraturan tersebut dibuat untuk memperbaiki Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), memperbaiki tata kelola kehutanan, dan menekan terjadinya penebangan liar serta perdagangannya melalui penyediaan sistem yang menjamin PHPL ataupun terverifikasinya legalitas kayu SVLK. Permenhut No. P.38/2009 saat ini dalam tahap persiapan menuju implementasi penuh (full implementation). Terdapat setidaknya 2 (dua) aspek utama dalam rangka menuju kesiapan penerapan peraturan dimaksud, yakni: pertama, persiapan para pihak dalam negeri dan Pemerintah di berbagai lini yang dilakukan melalui berbagai program peningkatan kemampuan serta penyiapan infrastruktur pendukung, termasuk peraturan-peraturan tambahan yang terkait. Kedua, jaminan penerimaan pasar atas sistem penilaian PHPL dan SVLK sesuai Permenhut No. P.38 melalui pengembangan berbagai kegiatan promosi dan perjanjian perdagangan internasional dalam rangka memperoleh insentif pasar yang lebih signifikan atas tersedianya produk-produk perkayuan dari Indonesia yang berasal dari sumber-sumber bahan baku yang lestari, atau minimal yang legal. Sebagaimana tersebut di atas, Pemerintah Indonesia telah menyambut baik dan melakukan negosiasi VPA dengan UE. Negosiasi VPA pada level SOM, TWG dan Joint Experts telah beberapa kali dilakukan dengan melibatkan wakil-wakil dari pihak Indonesia dan UE. Pihak EU sudah menyampaikan legal draft VPA kepada pihak Indonesia. Oleh karena itu, sangat penting bagi pihak Indonesia untuk mempelajari, menganalisis dan menyiapkan tanggapan terhadap legal draft VPA tersebut agar sebesar mungkin bisa mendapatkan kemanfaatan, memperkecil kemungkinan terjadinya dampak yang merugikan kepentingan Indonesia, sekaligus menghindarkan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan nasional dan konvensi-konvensi internasional.

6


B. Permasalahan Berdasarkan uraian tersebut di atas, permasalahan yang dikaji dalam studi analisis hukum teks Voluntary Partnership Agreement (VPA) ini meliputi: 1. Bagaimana kebijakan VPA dilihat dari sisi perjanjian dalam WTO; 2. Apa risiko penandatanganan VPA bagi pengusaha lokal dan ekonomi secara makro; 3. Apa kemanfaatan penandatanganan VPA bagi Indonesia; 4. Bagaimana kesiapan Indonesia dalam rangka implementasi VPA; 5. Apa strategi dan sikap politik pemerintah Indonesia dalam negosiasi VPA dengan pihak Uni Eropa.

C. Tujuan studi 1. Mengungkapkan kebijakan VPA sesuai atau tidak dengan perjanjian dalam WTO; 2. Mengungkapkan risiko penandatanganan VPA bagi pengusaha lokal dan ekonomi secara makro; 3. Mengungkapkan kemanfaatan penandatanganan VPA bagi Indonesia; 4. Mengungkapkan kesiapan Indonesia dalam rangka implementasi VPA; 5. Mengungkapkan strategi dan sikap politik pemerintah Indonesia dalam negosiasi VPA dengan pihak Uni Eropa.

D. Manfaat studi Kegiatan studi analisis hukum ini bermanfaat untuk: 1. Memperkaya khazanah pengetahuan dan pemahaman tentang teks hukum VPA; 2. Memperkuat posisi dan pemahaman Delegasi Indonesia dalam negosiasi VPA dengan Uni Eropa; 3. Menyediakan informasi untuk merumuskan strategi dan sikap politik pemerintah Indonesia dalam negosiasi VPA dengan pihak Uni Eropa; 4. Hasil penelitian ini merupakan bahan masukan untuk memutuskan apakah pemerintah Indonesia menandatangani atau tidak menandatangani VPA.

E. Metode penelitian Studi analisis hukum ini merupakan penelitian hukum yang menggabungkan penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Jenis penelitian meliputi library research untuk memperoleh data sekunder dan field research untuk memperoleh data primer, yang secara detail dilakukan den-

7


gan cara desk review dan collecting data dari lapangan. Desk review dilakukan dengan menganalisis bahan-bahan hukum berupa peraturan-peraturan hukum, dokumen dokumen hukum, serta literatur hukum lainnya baik yang bersifat nasional maupun internasional yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Collecting data dari lapangan dilakukan di DKI Jakarta, dengan cara melakukan interview dengan pihak-pihak yang relevan sebagai nara sumber, antara lain: APKINDO, APHI, Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Kehutanan. Data primer dan data sekunder kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif.

F. Kerangka Penulisan I. Pendahuluan 1 Latar Belakang 2 Permasalahan 3 Tujuan Studi 4 Manfaat Studi 5 Metode Penelitian 6 Kerangka Penulisan II. Konstelasi Kebijakan Perdagangan Indonesia Uni Eropa dan Posisi Perdagangan Kayu III. Peraturan Perundang-undangan Uni Eropa terkait FLEGT IV. Posisi Kebijakan VPA dan Due Diligence Regulation dari Uni Eropa A. Kebijakan VPA B. Kebijakan VPA ditinjau dari WTO C. Due Diligence Regulation di Uni Eropa D. Hubungan VPA dan Due Diligence Regulation di Uni Eropa V. Analisis Legal Text VPA antara Indonesia dan Uni Eropa VI. Risiko Penandatanganan VPA bagi Pengusaha Lokal dan Ekonomi Secara Makro A. Konsekuensi Penandatangan VPA B. Risiko bagi Perdagangan Kayu ke Uni Eropa C. Risiko Bagi Pengusaha Lokal D. Risiko secara Ekonomi Makro

8


VII. Kemanfaatan penandatanganan VPA bagi Indonesia A. Kamanfaatan bagi usaha pemberantasan illegal logging B. Kemanfaatan bagi peningkatan tata kelola hutan C. Kemanfaatan bagi Perdagangan Kayu ke Uni Eropa D. Kemanfaatan Bagi Pengusaha Lokal E. Kemanfaatan secara Ekonomi Makro VIII. Kesiapan Indonesia dalam rangka implementasi VPA A. Kewajiban Indonesia dalam VPA B. Ketentuan Verifikasi Legalitas Kayu di Indonesia C. Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi VPA Indonesia-Uni Eropa IX. Penutup: Strategi dan Sikap Politik Pemerintah Indonesia dalam Nego siasi VPA dengan pihak Uni Eropa

9


10


2 Konstelasi kebijakan perdagangan Indonesia Uni Eropa dan posisi perdagangan kayu

11


12


A. Kerjasama perdagangan Indonesia UE Hubungan kerjasama bilateral antara Indonesia dengan Uni Eropa (UE) sudah dimulai sejak tiga dekade yang lalu, ditandai dengan pertemuan tingkat Menteri ASEAN dan UE pada tahun 1978, dan ditandatanganinya persetujuan kerjasama negara anggota ASEAN dan UE pada 7 Maret 1980 yang meliputi kerjasama perdagangan, ekonomi, dan pembangunan.8 Hubungan bilateral antara UE dan Indonesia ditandai dengan forum ”Developing closer relations between Indonesia and the European Union” pada tahun 2000, serta ”RI-EU joint declaration” Menlu RI-Komisioner Hubungan Eksternal (EC) tanggal 14 Juni 2000—Bilateral Consultative Forum (Forum Konsultasi Bilateral-FKB).9 Hubungan antara Indonesia dengan UE juga meliputi bidang perdagangan. UE merupakan mitra dagang dan investasi yang cukup penting dan stabil, serta merupakan tujuan pertama ekspor non-migas Indonesia.10 Sekitar sepertiga dari kayu dan produk kayu Indonesia diekspor ke UE pada setiap tahunnya.11 Sepuluh komoditi utama dari Indonesia meliputi alas kaki, elektronika, kakao, karet dan produk karet, kayu dan produk kayu, kelapa sawit, komponen otomotif, kopi, tekstil dan produk tekstil, serta udang.12 Hubungan perdagangan antara RI dan UE diperkuat dengan adanya negosiasi antara kedua belah pihak. Pada tahun 2005 dilakukan negosiasi untuk menyepakati persetujuan Kerangka Kerja Bilateral tentang Kemitraan dan Kerjasama,13 yang kemudian menghasilkan Framework Agreement on Comprehensive Partnership and Cooperation (PCA) RI-EU pada 9 November

“Kerjasama Pembangunan Uni Eropa di Indonesia”, http://www.delidn.ec.europa.eu/en/special/bluebook/ BB07-ID3.pdf at 8/7/2010 9 Muhammad Syarif Alatas, “Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya”, Sekilas Uni Eropa, 17 Mei 2010 10 “Kerjasama Pembangunan Uni Eropa di Indonesia”, Op. Cit. 11 “ITTO TTM Report 14:23 1-15th December 2009”, ITTO Tropical Timber Market Report, hlm. 5 12 Muhammad Syarif Alatas, “Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya”, Op. Cit 13 “Kerjasama Pembangunan Uni Eropa di Indonesia”, Op. Cit. 8

13


2009 di Jakarta.14 PCA yang ditandatangani oleh Menlu RI dan Menlu Swedia (Presidensi Dewan UE) ini merupakan kerjasama payung yang menjadi acuan untuk berbagai kerjasama di masa mendatang yang berlandaskan pada persamaan, saling menghormati, dan saling menguntungkan. Pemberlakuan PCA masih memerlukan ratifikasi dari negara anggota UE dan Indonesia. PCA memuat kesepakatan kerjasama dalam bidang politik (HAM, kontra terorisme, pelarangan proliferasi senjata pemusnah masal, penanggulangan korupsi, serta kerjasama hukum) dan bidang teknis (ekonomi, perdagangan dan investasi, pariwisata, energi, transportasi, kesehatan, iptek, pendidikan, kehutanan, kelautan dan perikanan, pertanian, kesehatan dan sebagainya).15 Pasal 28 PCA mengatur mengenai kehutanan, sebagai berikut:16 1. Menyetujui perlunya melindungi, melestarikan dan mengelola secara berkelanjutan sumber daya hutan dan keanekaragaman hayati untuk kepentingan sekarang dan mendatang; 2. Berupaya melanjutkan kerjasama untuk meningkatkan pengelolaan hutan dan kebakaran hutan, memberantas pembalakan liar dan bisnis turunannya, pengaturan hutan, dan peningkatan pengelolaan hutan yang berkelanjutan; 3. Mengembangkan program-program kerjasama, antara lain: (a) Kerjasama melalui forum-forum bilateral, regional dan inter nasional yang terkait dalam bidang penciptaan instrumen hukum, pemberantasan pembalakan liar serta bisnis turunannya; (b) Peningkatan kapasitas, penelitian dan pengembangan; (c) Dukungan terhadap pengembangan sektor kehutanan yang berkelanjutan; (d) Pengembangan sertifikasi kehutanan. Dalam rangka mencari solusi tentang strategi kerjasama bidang perdagangan dan investasi juga telah dibentuk forum dialog berupa European Union-Indonesia Business Dialogue (EIBD).17 EIBD pertama diselenggarakan di Brussel pada tanggal 1-2 Oktober 2009,18 and EIBD yang kedua akan dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 28-30 November 2010.19 Hasil yang

Muhammad Syarif Alatas, “Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya”, Op. Cit Ibid. 16 Ibid. 17 “Indonesia-Eropa Tingkatkan Komunikasi Perdagangan”, 16 Juni 2010 http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2010/06/16/brk,20100616-255927,id.html at 8/7/2010 18 “Final Report EU-Indonesia Business Dialogue 1-2 October 2009”, Brussel, 09.34028EIBDReportFINAL7-12-2009. pdf 14 15

14


nampak dari EIBD pertama adalah UE menjadi negara terbesar ketiga mitra dagang Indonesia. Lebih lanjut, UE juga merupakan negara pertama tujuan ekspor produk non-migas. Secara total, 10,4% dari nilai perdagangan keluar dari Indonesia adalah UE, dengan perincian 12,4% ekspor dari UE ke Indonesia dan 7,8% impor UE dari Indonesia. Data tersebut menunjukkan adanya potensi besar untuk memperluas perdagangan dan investasi serta memperdalam kerjasama ekonomi antara UE dan Indonesia.20 Dari EIBD pertama, terdapat indikasi bahwa dialog antara UE dan Indonesia ditandai dengan ketidakseimbangan antara UE dan Indonesia dalam hal ukuran, jangkauan global dan sistem pengaturan serta penerapan dan penegakan hukumnya. Sebagai konsekuensinya, ada beberapa perbedaan dalam kepentingan, kebutuhan, hambatan, maupun pandangan antara UE dan Indonesia.21 Oleh karena itu, masih diperlukan dialog-dialog lebih lanjut, seperti EIBD tersebut. Dalam EIBD mendatang, Indonesia juga akan concern membahas solusi yang dapat diambil mengenai isu-isu regulasi yang ketat oleh Uni Eropa terutama di bidang crude palm oil (CPO) dan kayu.22

B. Kebijakan perdagangan kayu Uni Eropa Terkait dengan isu kebijakan perdagangan kayu yang ketat di atas, UE mempunyai kebijakan yang disebut dengan Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT),23 yang merupakan program UE untuk mengatasi illegal logging dan perdagangan kayu ilegal secara global. FLEGT juga menggambarkan komitmen UE dalam memberantas illegal logging dan perdagangan kayu ilegal. Komitmen UE itu disampaikan pada pertemuan puncak dunia untuk pembangunan berkelanjutan (The World Summit on Sustainable Development) di Johannesburg tahun 2002. Komitmen UE kemudian ditindaklanjuti dengan FLEGT Action Plan pada bulan Mei 2003.24 Tujuan FLEGT meliputi tiga hal, yaitu:25

“Indonesia-EU-Indonesia Business Dialogue (EIBD) 2010 (Multi-Sector)”, http://www.ukti.gov.uk/export/ event/112770.html at 8 Juli 2010 20 “Final Report EU-Indonesia Business Dialogue 1-2 October 2009”, Brussel, 09.34028EIBDReportFINAL7-12-2009. pdf 21 Ibid. 22 “Indonesia-Eropa Gelar Forum ‘Curhat’ Bisnis dan Investasi”, 16 Juni 2010 http://www.detikfinance.com/read/2010 /06/16/192912/1379727/4/indonesia-eropa-gelar-forum-curhat-bisnis-dan-investasi at 8 Juli 2010 23 “Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT)”, http://ec.europa.eu/environment/forests/flegt.htm 24 ”EU response – FLEGT action plan”. http://ec.europa.eu/development/policies/9interventionareas/environment/ forest/forestry_intro_en.cfm at 8/7/2010 25 ”Siaran Pers Kepala Bidang Analisis dan Penyajian Informasi Depatemen Kehutanan Nomor: S.7/II/PIK-1/2007”, Dehut.go.id., 9 Januari 2007 19

15


1. Membantu negara produsen kayu dalam meningkatkan tata kelola dan kemampuan memberantas illegal logging 2. Mengembangkan voluntary partnership agreement (VPA) untuk mencegah masuknya kayu ilegal ke pasar UE 3. Mencegah konsumsi kayu ilegal dan investasi UE pada kegiatan yang mendorong pencurian kayu (over cutting). Action plan FLEGT memusatkan perhatian pada kebijakan perdagangan kayu dan produk kayu yang dikendalikan oleh UE dan pada pembelian kayu dan produk kayu yang dilakukan dengan bertanggung jawab oleh pemerintah maupun importir kayu yang tergabung dalam negara anggota. Lebih lanjut, kebijakan perdagangan UE adalah sebagai berikut: 1. Mengembangkan kemitraan dengan negara-negara yang ingin mengatasi masalah ilegalitas dalam sektor kehutanan mereka dan ingin membuktikan bahwa produk-produk kayu yang mereka ekspor ke UE memang legal; 2. Menyusun peraturan perundang-undangan yang mendorong para importir untuk memikul tanggung jawab atas asal-usul kayu yang mereka beli; dan Pembeli yang termasuk dalam negara anggota: 3. Mendorong pemerintah Eropa untuk membeli kertas, kayu bangunan, perabot kantor dan hasil-hasil hutan lainnya dengan cara yang legal dan berkelanjutan; 4. Menyadarkan perusahaan-perusahaan di UE akan tanggung jawab untuk membeli kayu dengan cara yang lagal dan berkelanjutan, serta membantu mereka mengembangkan alat-alat yang memudahkan mereka untuk melakukannya.26 Fokus dari Action plan FLEGT ditujukan pada tujuh bidang, meliputi:27 1. Dukungan untuk negara-negara penghasil kayu; 2. Kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan perdagangan kayu legal; 3. Meningkatkan kebijakan pengadaan publik; 4. Dukungan untuk inisiatif sektor swasta; 5. Upaya perlindungan untuk pembiayaan dan investasi; 6. Penggunaan instrumen legislatif yang ada atau penerimaan dan penggunaan peraturan perundang-undangan baru untuk mendukung rencana tersebut; 7. Menyelesaikan masalah kayu bermasalah.

�Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Perdagangan�, Ringkasan Kebijakan 2 EFI, Fasilitas FLEGT UE, EFIPolicybrief2innet1.pdf 27 Seri Catatan Pengarahan FLEGT 2007 Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Bidang Kehutanan, Seri 2007,Catatan Pengarahan Nomor 1-7, hlm. 2 26

16


VPA UE mengadopsi Regulation No. 2173/2005 tanggal 20 Desember 2005 yang pada intinya merupakan penetapan suatu skema lisensi terhadap produk kayu dari negara produsen ke UE melalui perjanjian kemitraan yang sifatnya sukarela. VPA menawarkan suatu pendekatan untuk merumuskan dan menegosiasikan sistem mekanisme verifikasi legalitas kayu (SVLK) agar kayu yang diproduksi dan diekspor ke UE dapat dikenali dengan menggunakan identitas atau lisensi yang dikeluarkan oleh lembaga yang ditunjuk. Adapun skema lisensinya meliputi tiga aspek berikut:28 1. Verifikasi untuk membuktikan bahwa pemanenan kayu, transportasi, dan perdagangannya telah memenuhi peraturan perundangundangan yang ditentukan; 2. Pelacakan (chain of custody) untuk memastikan bahwa kayu dari hutan sampai ke UE tanpa tercampur dengan kayu yang tidak jelas asal usulnya; 3. Penerbitan lisensi yang menunjukkan bahwa legalitas kayu telah diverifikasi. Selain tiga skema lisensi tersebut, secara lengkap VPA meliputi lima komponen utama, meliputi: Definition of Timber Legality, Control of Supply Chain, Verification System, LicensingSystem, dan Independent Monitoring System.29 UE menentukan bahwa skema lisensi terhadap kayu harus diperoleh oleh operator yang memasukkan produk kayu ke UE melalui suatu proses due diligence. Selain itu, UE menentukan pula bahwa hanya produk kayu yang memenuhi skema lisensi FLEGT yang akan diterima di pasar UE. Sekarang ini, produk-produk kayu yang dicakup dalam VPA ada lima, (dalam Peraturan Dewan No. 2173/2005): HS 4403 – kayu glondongan; HS 4406 -kayu bantalan; HS 4407 -kayu gergajian atau serpih yang ke arah panjangnya mempunyai ketebalan lebih dari 6 mm; HS 4408 - lembar untuk veneer dengan ketebalan tidak lebih dari 6 mm; dan HS 4412 -kayu lapis dan papan dengan lapisan veneer.30 Jadi hanya jenis-jenis kayu tertentu yang menurut VPA dapat diekspor ke UE.

28 ”Siaran Pers Kepala Bidang Analisis dan Penyajian Informasi Depatemen Kehutanan”, Op. Cit. 29 “Compatibility Assessment of SVLK to the VPA Preparatory for the TWG and DVC”, Yogyakarta, 3-4 June 2010 (AEN) 30 “Analisis Dampak VPA Terhadap Perdagangan Kayu Indonesia-Lampiran A Kerangka Acuan, EC-Indonesia FLEGT Support Project AIDCO/2004/16830”, Jakarta 28 Februari 2008, hlm. 1

17


Dari pemaparan di atas, kebijakan perdagangan kayu yang diterapkan oleh UE melalui FLEGT, dan lebih khusus lagi dalam VPA, memang cukup ketat. Adanya skema lisensi serta verifikasi dan due diligence merupakan tantangan bagi Indonesia. Selain itu, batasan terhadap jenis kayu yang dapat dimasukkan ke UE juga merupakan persoalan yang harus dicarikan solusi. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana dengan produk kayu Indonesia selain yang ditentukan dalam VPA, bagaimana produk tersebut dapat masuk ke pasar UE? Hal ini tentu erat kaitannya dengan persoalan negosiasi antara delegasi Indonesia dengan UE terkait VPA, seberapa mampukah delegasi Indonesia untuk melakukan penawaran-penawaran dan meyakinkannya kepada UE.

C. Posisi perdagangan kayu Indonesia ke Uni Eropa Menilik kondisi Indonesia, Indonesia merupakan negara yang mempunyai wilayah hutan tropis terbesar ketiga di dunia. Hutan di Indonesia dikategorikan ke dalam empat fungsi: 1. Hutan konservasi; yang dikelola untuk menjaga keanekaragaman hayati, sebagai sumber dari kebutuhan sumber daya tumbuhan, tanaman obat; 2. Hutan lindung; yang punya fungsi utama untuk menjaga peresapan air, perlindungan sumber air, dan konservasi tanah; 3. Hutan produksi; menyediakan produk kayu dan non kayu; 4. Hutan konversi; yang dapat dialihfungsikan bagi fungsi penggunaan tanah yang lain.31 Hasil hutan Indonesia berupa kayu dan produk lain berupa arang, tengkawang, kopul, serta minyak atsiri kayu gaharu. Hasil kayu Indonesia merupakan produk unggulan komparatif terhadap negara lain, dan merupakan penghasil devisa nomor satu untuk sektor non migas.32 Industri pengolahan kayu merupakan industri unggul di bidang ekspor karena adanya local content produk kayu Indonesia.33 Ekspor kayu Indonesia telah dilakukan ke berbagai negara, antara lain Jepang, UE, AS, China, India, dan Eropa Timur.34 Produk kayu ekspor dari Indonesia meliputi kayu lapis (plywood) serta produk kayu olahan. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, pendapatan provisi sumber daya hutan pada kuartal pertama 2010

“Forest Carbon Partnership Facility (FCPF)”, Mei 2009, FCPF_140909_0.pdf “Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending Model Usaha Kecil-Industri Kayu Olahan”, bi.go.id., 13 Juni 2010 33 “Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending Model Usaha Kecil-Industri Kayu Olahan”, Ibid. 34 ”Produksi Kayu Indonesia Laris di Pasar Internasional”, Kontan.co.id, 9 Maret 2010 31 32

18


menurun 12 persen menjadi Rp225,2 miliar. Sementara itu, penerimaan negara melalui dana reboisasi pada periode yang sama justru naik 5,25 persen menjadi Rp110,6 miliar.35 Untuk ekspor kayu Indonesia ke UE, studi INDUFOR pada tahun 2002 melaporkan mengenai impor kayu bulat dan kayu gergajian tropis dari Indonesia ke enam negara importir terbesar UE, yaitu Spanyol, Prancis, Italia, Inggris, Yunani dan Negeri Belanda, yang menyerap hampir 83% dari total impor tersebut. Ada juga studi ITTO mengenai impor kayu glondongan tropis, kayu gergajian, veneer dan kayu lapis pada tahun 2003 oleh anggota ITTO yang memperlihatkan bahwa Jerman juga merupakan negara pengimpor utama produk kayu yang sama dari Indonesia. Berdasarkan studi ME mengenai ”Dukungan untuk konsultasi informal di Indonesia mengenai sebuah FLEGT VPA” pada bulan Mei 2006, ekspor Indonesia berupa produk-produk HS 44 ke 25 negara UE pada tahun 2004 bernilai 554 juta Dollar AS atau 17% dari total ekspor global produk-produk HS 44 Indonesia.36 Terkait perdagangan ekspor kayu Indonesia, hambatan perdagangan kayu lapis Indonesia adalah adanya citra negatif Indonesia di luar negeri akibat illegal logging yang terjadi, sehingga importir lebih memilih kayu dari Malaysia atau China.37 Illegal logging memang seringkali terjadi di Indonesia, antara lain di Lampung, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, serta Jawa Timur.38 Sebagai contoh, illegal logging yang terjadi di Aceh, di mana Satuan Reserse Kriminal Polres Aceh Tenggara berhasil mengamankan 3 ton kayu olahan tanpa dokumen resmi di Desa Mutiara Dame Kecamatan Babul Rahmah Kabupaten Aceh Tenggara.39 Selain itu, kasus penangkapan terhadap dua ton kayu olahan tanpa dilengkapi dokumen di Desa Labuhan Bilik Kecamatan Panai Tengah oleh Polsek Panai Tengah, Medan.40 Illegal logging di Indonesia melekatkan citra negatif produk kayu ekspor Indonesia, menyebabkan deforestasi, juga merugikan negara sekitar US$2 miliar per tahun.41 Data menunjukkan bahwa deforestasi tertinggi di Indonesia terjadi pada periode tahun 1997-2000, yang mencapai penurunan sejumlah 2,8 juta hektar setiap tahun. Pada periode 2000-2005 deforestasi di

35 ”Ekspor Kayu Olahan Melonjak”, bataviase.co.id., 5 Mei 2010 36 ”Analisis Dampak VPA Terhadap Perdagangan Kayu Indonesia-Lampiran A Kerangka Acuan, EC-Indonesia FLEGT Support Project AIDCO/2004/16830”, Jakarta 28 Februari 2008, hlm. 1 37 ”Apkindo Targetkan Produksi Kayu Lapis 7,1 Juta M3”, bataviase.co.id, 4 Mei 2010 38 ”Tak Masuk Akal Ekspor Kayu Malaysia Nomor 9, RI Kok Nomor 13”, Detik.com Januari 2009 39 ”Polisi Agara Temukan Tiga Ton Kayu Olahan”, beritasore.com, 8 Juni 2010 40”Kayu Olahan Tanpa Dokumen di Labuhan Bilik Ditangkap Polisi”, 16 April 2007 http://hariansib.com/?s=Kayu+ olahan+tanpa+dokumen+di+labuhan+bilik+ditangkap+polisi, 41 Ibid.

19


Indonesia menurun menjadi 2,1 juta hektar per tahun. Deforestasi di Indonesia juga menyebabkan penurunan hasil panen kayu dari 26,2 juta meter kubik di tahun 1990 menjadi 11,2 juta meter kubik pada tahun 2005.42 Memperhatikan kondisi tersebut, penanganan bidang kehutanan perlu untuk difokuskan kembali disertai dengan reorientasi kebijakan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut sektor kehutanan telah membentuk lima prioritas kebijakan, meliputi: 1. Melawan illegal logging dan perdagangan kayu ilegal hasil illegal logging; 2. Restrukturisasi sektor kehutanan melalui perluasan penanaman kayu, dan restrukturisasi industri; 3. Rehabilitasi dan konservasi hutan; 4. Penguatan ekonomi terhadap masyarakat lokal; dan 5. Pengamanan area hutan.43 Lima kebijakan tersebut diperinci ke dalam rencana kebijakan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Sangat jelas kiranya, bahwa sumber daya hutan yang berkesinambungan adalah faktor krusial untuk berlangsungnya pembangunan nasional. Manajemen yang berkelanjutan untuk sumber daya hutan merupakan sebuah wujud dari standar mitigasi dan adaptasi yang merupakan fenomena yang ada di Indonesia.44 Terkait illegal logging, Indonesia secara khusus telah melakukan upaya untuk mengatasinya melalui kerjasama dengan negara lain serta dengan mengeluarkan beberapa peraturan. Kerjasama ini dituangkan ke dalam sebuah MOU to combat illegal loging dan the Internal trade in illegaly logged timber and wood products pada tanggal 18 April 2002 antara Minister of Forestry Republik Indonesia dan Minister of Environment (United Kingdom). Beberapa peraturan terkait illegal logging di Indonesia tersebut meliputi Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 yang pada intinya menginstruksikan delapan institusi untuk secara serius memberikan sanksi terhadap pelaku illegal logging di seluruh Indonesia. Mengenai tata kelola hutan, beberapa peraturan dari kementerian Kehutanan telah diterbitkan, seperti tertera di bawah ini:

“Forest Carbon Partnership Facility (FCPF)�, Mei 2009, FCPF_140909_0.pdf Ibid. 44 Ibid 42 43

20


a. Peraturan No. P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak ; b. Peraturan Dirjen Bina Produksi kehutanan No. P.06/Set-VI/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Proudksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu. c. Peraturan Dirjen Bina Produksi kehutanan No. P.02/VI-BPPHH/2010 tentang Pedoman pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu. SVLK ini merupakan kebijakan memberlakukan sertifikasi kayu Indonesia dalam rangka membangun citra positif sektor kehutanan. Proses penerapan sertifikasi di Indonesia paralel dengan pengembangan kriteria dan indikator yang dilakukan oleh ITTO, Forest Stewardship Council (FSC) dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI).45 Selain itu, ada peraturan terkait perdagangan kayu di Indonesia untuk ekspor produk industri kehutanan yaitu Permendag No. 1 Tahun 2007, yang melarang eksportasi kayu gelondongan. Kayu yang dilarang untuk diekspor adalah kayu gelondongan dan bahan baku bersih. Larangan yang sama yang juga sudah dilakukan sejak 8 Oktober 200146 ini sepertinya tidak akan dibuka karena akan memacu maraknya aktivitas illegal logging. Kebijakan pemerintah Indonesia mengamanatkan untuk adanya nilai tambah (value added)47 terhadap kayu gelondongan. Nilai tambah terhadap kayu gelondongan dapat diwujudkan dengan kegiatan pengolahan kayu, misalnya dari kayu gelondongan menjadi furniture. Aktivitas pengolahan kayu gelondongan ini tentu membutuhkan sumber daya manusia untuk mengolahnya, sehingga tentunya akan berkaitan dengan pembukaan lapangan kerja bagi masyarakat. Peraturan Menteri Perdagangan No. 20/MDAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Dalam Permendag tersebut ditentukan bahwa terhadap setiap ekspor kayu tertentu sebelum diekspor ada aturan standarnya, misalnya kayu gergajian, juga dilakukan verifikasi oleh surveyor independen. Selain pelarangan ekspor kayu gelondongan, pemerintah Indonesia juga melarang ekspor kayu gergajian sejak 24 September 2004.

45 Laporan Final, ”Analisis Kebijakan Pemerintah Dalam Rangka Pencapaian PHPL”, hlm. 2 46 ”Analisis Dampak VPA Terhadap Perdagangan Kayu Indonesia-Lampiran A Kerangka Acuan, EC-Indonesia FLEGT Support Project AIDCO/2004/16830”, Jakarta 28 Februari 2008, hlm. 1 47 Wawancara dengan Bp. Ryanto Yosokumoro, 22 Juni 2010 di Kementerian Perdagangan RI, Jakarta

21


Berdasarkan hal di atas, maka ada kondisi-kondisi tertentu di Indonesia yang tidak sesuai dengan isi VPA. Sebagaimana telah dipaparkan dalam sub bab sebelumnya, VPA mencakup produk, antara lain kayu gelondongan dan kayu gergajian. Sementara, dua jenis produk kayu tersebut dilarang diekspor oleh pemerintah Indonesia. Perbedaan ini tentu harus dapat dinegosiasikan dengan bijak oleh delegasi pemerintah Indonesia dalam negosiasi FLEGT VPA, karena tentu saja Pemerintah Indonesia harus mempertahankan kebijakan perdagangan kayu yang selama ini sudah dilaksanakan. Tidak diharapkan bahwa Indonesia hanya mengikuti isi ketentuan VPA dan mengorbankan policy dalam negeri. Delegasi dari Indonesia harus memperjuangkan kepentingan Indonesia di hadapan UE. Terkait adanya lisensi perdagangan kayu ke UE, beberapa negara mitra perdagangan kayu Indonesia selain UE juga menerapkan keharusan adanya sertifikat terkait legalitas kayu. Penentuan sertifikat legalitas kayu tersebut juga dilakukan melalui perjanjian yang sifatnya sukarela (voluntary). Sebagai contoh, misalnya: 1. Sertifikat dari Forest Stewardship Council (FSC) 2. AS memberlakukan Lacey Act sejak 2008 terkait dengan perdagangan barang yang berasal dari produk hayati dan di dalamnya termasuk kayu yang legal. Indonesia sudah menyepakati untuk melaksanakan Lacey Act AS tersebut. Jadi, ekspor kayu Indonesia ke AS harus memenuhi aspek legalitas kayu yang ditetapkan dalam Lacey Act.

22


3 Peraturan perundangan EU terkait FLEGT

23


24


UE MEMPUNYAI kebijakan di bidang tata kelola hutan yang disebut dengan Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT).48 FLEGT merupakan program UE untuk mengatasi illegal logging dan perdagangan kayu ilegal secara global. Inti dari FLEGT adalah komitmen UE untuk memberantas illegal logging dan perdagangan kayu ilegal. Komitmen UE itu disampaikan pada pertemuan puncak dunia untuk pembangunan berkelanjutan (The World Summit on Sustainable Development) di Johannesburg tahun 2002. Komitmen UE dalam FLEGT kemudian ditindaklanjuti dengan FLEGT Action Plan pada bulan Mei 2003.49 Peraturan perundang-undangan UE yang menjadi dasar Skema lisensi FLEGT adalah EC Regulation No. 2173/2005 on the establishment of a FLEGT licensing scheme for imports of timber into the EU tanggal 20 Desember 2005, yang pada intinya merupakan penetapan suatu skema lisensi terhadap produk kayu dari negara produsen ke UE melalui perjanjian kemitraan yang sifatnya sukarela (VPA). FLEGT dilakukan dengan cara-cara seperti tersebut di bawah ini:50 1. development cooperation; 2. public procurement; 3. private sector innitiative; 4. FLEGT VPAs; 5. legislation, assessment of further measures Selain didasarkan pada EC Regulation No. 2173/2005 on the establishment of a FLEGT licensing scheme for imports of timber into the EU, FLEGT juga terkait beberapa peraturan di UE berikut ini:

“Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT)”, http://ec.europa.eu/environment/forests/flegt.htm “EU response – FLEGT action plan”, http://ec.europa.eu/development/policies/9interventionareas/environment/ forest/forestry_intro_en.cfm at 8/7/2010 50 “The Potential use of Wood Tracking in European Markets, JLIRA Seminar on Wood Tracking”, Jakarta 4 February 2010 48 49

25


1. Commission of the European Communities, Proposal for a Regulation of the European Parliament and of the Council laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market, 2008/0198 (COD) (17 October 2008)*hereinafter the “Commission Proposal”. 2. Commission of the European Communities, Questions and Answers on the Proposed Regulation laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the EU market (17 October 2008)*hereinafter the “Commission Q&A Document” 3. European Parliament, Debates, Addressing the challenges of deforestation and forest degradation to tackle climate change and biodiversity loss -Timber and timber products (debate), CRE 21/04/2009 – 21 (21 April 2009)(Strasbourg) [hereinafter the “Parliament Debates (21 April 2009)” at http://www. europarl.europa.eu/sides/getDoc.do?type=CRE&reference=20090421&s econdRef=ITEM-021&language=EN&ring=A6-2009-0115. 4. European Commission, Staff Working Document, Accompanying document to the Proposal for a Regulation of the European Parliament and of the Council determining the obligations of operators who make timber and timber products available on the market, Impact Assessment Report on additional options to combat illegal logging (2007)[hereinafter “Commission Impact Assessment”, 5. Directive 2005/60/EC of the European Parliament and of the Council of 26 October 2005 on the prevention of the use of the financial system for the purpose of money laundering and terrorist financing” OJEU L 309/15; Directive 2002/95/EC of the European Parliament and of the Council of 27 January 2003 on the restriction of the use of certain hazardous substances in electrical and electronic equipment; United States Lacey Act, 16 U.S.C. §§ 3371 et seq. 6. European Parliament legislative resolution of 22 April 2009 on the proposal for a regulation of the European Parliament and of the Council laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market (COM(2008)0644 – C6-0373/2008 – 2008/0198(COD))*hereinafter “Parliament Amendments” at Amendment 19 (Recital 12). 7. European Parliament, Committee on the Environment, Public Health and Food Safety, “Report on the proposal for a regulation of the European Parliament and of the Council laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market (COM(2008)0644 – C6-0373/2008 – 2008/0198(COD))(internal citation omitted, emphasis in original) 8. Council of the European Union, Position of the Council at first reading with a view to the adoption of a regulation of the European Parliament and of the Council laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market (2008/0198 (COD))*hereinafter “Council position”.

26


9. Commission of the European Communities (2008), “Proposal for a Regulation of the European Parliament and of the Council laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market,” 2008/0198 (COD).

10. European Commission, Staff Working Document, Accompanying document to the Proposal for a Regulation of the European Parliament and of the Council determining the obligations of operators who make timber and timber products available on the market, Impact Assessment Report on additional options to combat illegal logging (2007)*hereinafter “Commission Impact Assessment”. 11. Directive 2005/60/EC of the European Parliament and of the Council of 26 October 2005 on the prevention of the use of the financial system for the purpose of money laundering and terrorist financing” OJEU L 309/15. 12. Statement from the United Kingdom, Denmark, Belgium and Spain: Regarding proposal for a regulation laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market (15 December 2009). 13. Council of the European Union, Communication from the Commission to the Council and the European Parliament on Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT): Proposal for an EU Action Plan – Council Conclusions (2003),

14. Council Regulation (EC) No 338/97 of 9 December 1996 on the protection of species of wild fauna and flora by regulating trade therein, OJ L 61, 3.3.1997, 15. Parliament legislative resolution of 22 April 2009 on the proposal for a regulation of the European Parliament and of the Council laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market (COM(2008)0644 – C6¬0373/2008 – 2008/0198(COD))*hereinafter “Parliament Amendments”, Explanatory Statement citing EU FLEGT Action Plan (COM(2003)251). 16. Council of the European Union, Position of the Council at first reading with a view to the adoption of a regulation of the European Parliament and of the Council laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market (2008/0198 (COD))*hereinafter “Council position” 17. European Commission, FLEGT Briefing Notes, Forest Law Enforcement, Governance and Trade. What is legal timber? (2007), 18. European Union, “Press Release: Conclusion of Negotiations of the First Voluntary Partnership Agreement Between Ghana and the European Union on a Forest Law Enforcement Governance and Trade,” Accra-Brussels (3 September 2008), available at http://www.vpa-livelihoods.org/vpa_ghana.aspx 19. European Commission, Directorate-General Development, FLEGT VPA Update (June 2009), available at http://www.euflegt.efi.int/uploads/Falconer0609.pdf

27


20. Commission of the European Communities, Proposal for a Regulation of the European Parliament and of the Council laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market, 2008/0198 (COD) (17 October 2008)[hereinafter the “Commission Proposal”+; European Parliament legislative resolution of 22 April 2009 on the proposal for a regulation of the European Parliament and of the Council laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market (COM(2008)0644 – C60373/2008 – 2008/0198(COD))*hereinafter “Parliament Amendments” 21. Commission of the European Communities, Questions and Answers on the Proposed Regulation laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the EU market (17 October 2008)*hereinafter the “Commission Q&A Document” 22. European Parliament, Debates, Addressing the challenges of deforestation and forest degradation to tackle climate change and biodiversity loss -Timber and timber products (debate), CRE 21/04/2009 – 21 (21 April 2009)(Strasbourg) *hereinafter the “Parliament Debates (21 April 2009)” 23. Council of the European Union, Position of the Council at first reading with a view to the adoption of a regulation of the European Parliament and of the Council laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market (2008/0198 (COD))*hereinafter “Council position”+, 24. European Union, Consolidated Versions of the Treaty on European Union and of the Treaty Establishing the European Community, Protocol (No 30) on the application of the principles of subsidiarity and proportionality (1997). 25. European Parliament, Committee on the Environment, Public Health and Food Safety, “Draft Report on the proposal for a regulation of the European Parliament and of the Council laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market (COM(2008)0644 – C6-0373/2008 – 2008/0198(COD))(internal citation omitted, emphasis in original) 26. European Commission, Staff Working Document, Accompanying document to the Proposal for a Regulation of the European Parliament and of the Council determining the obligations of operators who make timber and timber products available on the market, Impact Assessment Report on additional options to combat illegal logging (2007)[hereinafter “Commission Impact Assessment”+, pp. 16-18; see also Council Regulation (EC) No 1005/2008 of 29 September 2008 establishing a Community system to prevent, deter and eliminate illegal, unreported and unregulated fishing, amending Regulations (EEC) No 2847/93, (EC) No 1936/2001 and (EC) No 601/2004 and repealing Regulations (EC) No 1093/94 and (EC) No 1447/1999.

28


27. Position of the Council at first reading with a view to the adoption of a REGULATION OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF THE COUNCIL laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market- Adopted by the Council on 1 March 2010 28. Council Regulation (EEC) No 2658/87 of 23 July 1987on the tariff and statistical nomenclature and on the Common Customs Tariff (OJ L 256, 7.9.1987, p. 1). European Parliament legislative resolution of 7 July 2010 on the Council position at first reading for adopting a regulation of the European Parliament and of the Council laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market (05885/4/2010 – C7-0053/2010 – 2008/0198(COD)) (Ordinary legislative procedure: second reading) 29. Decision No 1600/2002/EC of the European Parliament and of the Council of 22 July 2002 laying down the Sixth Community Environment Action Programme51 identifies as a priority activity the examination of the possibility of taking active measures to prevent and combat trade in illegally harvested wood and the continuation of the active participation of the Union and of Member States in the implementation of global and regional resolutions and agreements on forest-related issues, 30. Regulation (EC) No 338/97 of 9 December 1996 on the protection of species of wild fauna and flora by regulating trade which is related to the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) places a requirement on parties to CITES only to grant a CITES permit for export when a CITES-listed species has been harvested, inter alia, in compliance with national legislation in the exporting country, 31. Directive 2003/4/EC of the European Parliament and of the Council of 28 January 2003 on public access to environmental information. Peraturan perundang-undangan FLEGT UE juga terkait dengan peraturanperaturan berikut yang sifatnya global, maupun multilateral, seperti berikut ini: 1. Union action and commitments in the context of the United Nations Framework Convention on Climate Change; 2. The 1992 Non-Legally Binding Authoritative Statement of Principles for a Global Consensus on the management, conservation and sustainable development of all types of forests, and to the recent adoption by the United Nations General Assembly of the Non Legally Binding Instrument on all types of forest;

51

OJ L 242, 10.9.2002, p1.

29


3. The 1992 Rio Declaration in the context of securing sustainable forest management; 4. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (3 March 1973)*hereinafter “CITES” 5. The Millennium Development Goals of United Nations; 6. The 1980 Cooperation Agreement between the European Union and member countries of the Association of South-East Asian Nations; 7. Food, Conservation and Energy Act of 2008, Section 8204, Prevention of Illegal Logging Practices, adopted 22 May 2008; Lacey Act, 16 U.S.C. §§ 3371 et seq. 8. World Wildlife Fund, Greenpeace, and Friends of the Earth, “Tackling the EU’s role in illegal logging, NGO recommendations for the proposed Regulation concerning the placing of timber and timber products on the EU market,” (February 2009), 9. Treaty Establishing the European Community at Article 23, second subparagraph; see also Treaty Establishing the European Community at Articles 3 (1) (a), 3(1)(c), 14, 23-31 and 90. 10. The Treaty on the Functioning of the European Union, and in particular Article 192(1).

30


4 Posisi kebijakan FLEGT VPA dan due diligence dari Uni Eropa

31


32


A. Kebijakan FLEGT VPA Voluntary Partnership Agreement (VPA) adalah bagian dari rencana aksi FLEGT (FLEGT action plan) yang mempunyai peran penting untuk memberantas illegal logging dan memberikan support kepada negara mitra yang mempunyai manajemen tata kelola hutan yang belum memadai. Sejauh ini, dari pra-negosiasi VPA disinyalir bahwa peran VPA lebih condong kepada usaha legitimasi perdagangan yang berkembang sekarang, daripada kepada tata kelola atau reformasi hukum.52 VPA yang ditujukan untuk mencegah perdagangan kayu ilegal di UE diterapkan dengan cara pemberian skema lisensi terhadap kayu-kayu yang akan masuk pasar UE. VPA menawarkan suatu pendekatan untuk merumuskan dan menegosiasikan sistem mekanisme verifikasi legalitas kayu (SVLK) agar kayu yang diproduksi dan diekspor ke UE dapat dikenali dengan menggunakan identitas atau lisensi yang dikeluarkan oleh lembaga yang ditunjuk. Tahapan pelaksanaan VPA secara lengkap terdiri dari empat tahap, sebagai berikut: 1. Persiapan; di mana negara-negara menjelajahi lingkup model VPA ini dan memperkirakan apakah kebutuhan sektor kehutanan mereka akan terpenuhi; 2. Perundingan; di mana para mitra menyepakati standar dan sistem jaminan, dan di atasnya mereka akan mendasarkan kesepakatan perdagangan kayu mereka; 3. Pengembangan; di mana para pihak mengembangkan sistem seperti yang telah disepakati serta mengevaluasi kredibilitasnya;

52

“Briefing Forest Legal Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) and Voluntary Partnership Agreement (VPA)�, greenpeace_ngo-briefing_mtcc.pdf

33


4. Pelaksanaan penuh; di mana sistem ini sudah mulai berjalan dan hanya kayu legal berijin yang dapat diekspor dari negara mitra ke pasar Eropa.53 Apabila suatu negara mitra dagang sudah menandatangani VPA dan VPA sudah diimplementasikan secara penuh, maka sebagai konsekuensinya bila negara mitra tersebut akan mengekspor kayu dan produk kayu ke UE harus memperoleh ijin. Bila tidak ada ijin, maka ekspor kayunya akan ditolak oleh UE. Di sisi lain, bagi negara-negara non mitra, ekspor kayunya tidak akan diterapkan dengan sistem perijinan ini, jadi negara non mitra dapat mengekspor kayu ke UE tanpa ada ijin.54 Hal ini secara teoretis bertentangan dengan peraturan WTO yang mengatur transaksi perdagangan antar negara-negara anggota WTO. Namun, UE kemudian membuat Due Diligence Regulation (DDR) yang intinya mengharuskan semua importir kayu untuk melakukan due diligence sebelum memasukkan produk tersebut ke pasar UE. Apabila terjadi persamaan perlakuan antara importir dari mitra VPA dengan impor kayu dengan adanya DDR, maka tidak terjadi pelanggaran peraturan WTO. Hal ini akan dibahas dalam sub bab selanjutnya dari Bab ini. Skema lisensi VPA meliputi tiga aspek di bawah ini: 1. verifikasi untuk membuktikan bahwa pemanenan kayu, transportasi, dan perdagangannya telah memenuhi peraturan perundangundangan yang ditentukan; 2. pelacakan (chain of custody) untuk memastikan bahwa kayu dari hutan sampai ke UE tanpa tercampur dengan kayu yang tidak jelas asal usulnya; 3. penerbitan lisensi yang menunjukkan bahwa legalitas kayu telah diverifikasi.55 Dalam VPA dan skema lisensinya dipandang ada beberapa kelemahan, antara lain: 1. Jangkauan; dalam artian bahwa supaya VPA dapat berhasil guna dalam pemberantasan illegal logging di negara mitra, maka pelaksanaan VPA harus dapat menjangkau seluruh wilayah negara mitra, serta mencakup semua perdagangan ekspor dan domestik negara mitra; “Apa yang Dimaksud dengan Kesepakatan Sukarela-Pendekatan Uni Eropa”, Ringkasan Kebijakan 3 EFI (European Forest Institute), Fasilitas FLEGT UE 54 Ibid. 55 “ Siaran Pers Kepala Bidang Analisis dan Penyajian Informasi Depatemen Kehutanan Nomor: S.7/II/PIK-1/2007”, Dehut.go.id., 9 Januari 2007, Op. Cit. 53

34


2. Pencucian; bahwa VPA tidak akan berhasil mencegah illegal logging dan perdagangan kayu ilegal bila negara mitra tidak dipersyaratkan mengadopsi peraturan UE, jadi akan terjadi perdagangan kayu ke UE legal, tetapi perdagangan kayu ke negara mitra bisa ilegal. Oleh karenanya, asal usul kayu yang diperdagangkan ke UE juga harus legal; 3. Kondisi tertentu; dalam artian bahwa VPA hanya diberlakukan terhadap perdagangan dengan negara mitra, sementara perdagangan kayu antara UE dengan negara pihak ketiga tidak terkena VPA; 4. Produk yang dicakup; bahwa VPA berlaku secara terbatas terhadap beberapa kayu dan produk kayu, tetapi tidak mencakup produk bubur kayu (pulp), kertas, dan furniture.56 Dalam praktik, terhadap banyak produk kayu diperlakukan bermacammacam proses sebelum dan setelah produk kayu tersebut ditempatkan di pasar untuk pertama kalinya. Dalam rangka menghindari penerapan pembebanan administrasi yang terlalu berat, operator yang menempatkan kayu dan produk kayu di pasar internal untuk pertama kalinya harus memenuhi due diligence system. 57 Sistem due diligence UE akan dibahas dalam sub C dari Bab ini.

B. Kebijakan FLEGT VPA ditinjau dari WTO Dalam sub bab ini akan dianalisis beberapa hal sebagai berikut: 1. Bagaimama kebijakan FLEGT VPA ditinjau dari prinsip Most Favoured Nations (MFN) dalam Pasal I GATT? 2. Apakah kebijakan FLEGT VPA bertentangan dengan Pasal XI ayat (1) GATT? 3. Bagaimana kebijakan FLEGT VPA ditinjau dari prinsip National Treatment dalam Pasal III GATT? 4. Bagaimana kebijakan Lisensi FLEGT ditinjau dari the TBT Agreement? 5. Apakah kebijakan FLEGT memenuhi Pasal XX (General Exceptions) GATT?

56

57

“Briefing Forest Legal Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) and Voluntary Partnership Agreement (VPA)”, greenpeace_ngo-briefing_mtcc.pdf, Op. Cit. “Article 4 of 2008/xxxx COD-Proposal for A Regulation of the European Parliament and of the Council-laying down the obligation of operators who place timber and timber products on the market (text with EEA relevance)”, http:// ec.europa.eu/development/icenter/repository/flegt_timber_proposal_oct08.pdf

35


1. Kebijakan FLEGT VPA ditinjau dari prinsip MFN GATT VPA sendiri tidak melanggar prinsip MFN GATT karena sifatnya yang sukarela. Artinya hubungan hukum antara UE dengan negara-negara penandatangan VPA tidak melanggar MFN. Meskipun demikian, perlakuan diskriminatif antara negara penandatangan VPA dengan non penandatangan oleh UE bisa melanggar MFN. Prinsip MFN berarti anggota WTO harus memberikan perlakuan yang “sama” kepada semua Anggota WTO lainnya. Prinsip ini diatur di dalam Pasal I GATT. Pasal I ayat (1) GATT menyatakan: [W]ith respect to all rules and formalities in connection with importation and exportation, and with respect to all matters referred to in paragraphs 2 and 4 of Article III,* any advantage, favour, privilege or immunity granted by any contracting party to any product originating in or destined for any other country shall be accorded immediately and unconditionally to the like product originating in or destined for the territories of all other contracting parties. Menurut ketentuan tersebut, berkenaan dengan importasi dan eksportasi dan berkenaan dengan kebijakan di dalam pasar domestik, setiap kelebihan, pemberian, perlakuan istimewa, dan imunitas yang diberikan oleh negara Anggota WTO kepada suatu produk yang berasal atau ditujukan ke negara lain harus diberikan juga secara langsung dan tanpa syarat kepada produk sejenis (like product) yang berasal atau ditujukan ke wilayah negaranegara anggota WTO lainnya. Apabila suatu produsen kayu di Indonesia telah mendapatkan lisensi FLEGT yang dikeluarkan oleh Licensing Authority, maka produk kayunya bisa diekspor ke UE. Apabila Competent Authority UE menerima keabsahan lisensi tersebut, maka produk kayu ini bisa masuk ke pasar UE. Bahkan dikatakan oleh pihak UE bahwa pengiriman produk kayu ke UE dengan lisensi FLEGT adalah “legal per se.”58 Hal ini merupakan perlakuan istimewa oleh UE kepada produk kayu negara penandatangan VPA. Berdasarkan prinsip MFN, UE harus memberikan perlakuan yang sama kepada setiap produk sejenis (like products) dari negara-negara lain termasuk dari negaranegara yang bukan penandatangan VPA. Padahal sulit untuk mengatakan bahwa produk kayu dengan lisensi FLEGT dan produk kayu tanpa lisensi

58

36

Client Earth, “Legal Analysis: Applicable Legislation in the Illegal-Timber Regulation,” Client Earth Briefing, April 2010, hal 3.


FLEGT bukan produk sejenis. Oleh karena itu, berdasarkan prinsip MFN, karena mereka merupakan produk sejenis, maka produk kayu dari non penandatangan VPA harus diterima masuk ke UE. Apabila produk kayu tanpa lisensi FLEGT tetap diterima masuk ke pasar UE, maka hal ini tentu akan merugikan Indonesia, apabila Indonesia menandatangi VPA. Penandatanganan VPA menjadi kurang berguna bagi Indonesia karena produk kayu dari Indonesia bisa tidak kompetitif dibandingkan dengan produk kayu impor tanpa lisensi FLEGT. Di samping itu, apabila UE memberikan perlakuan istimewa kepada negara-negara lain baik kepada negara-negara penandatangan VPA atau negara-negara non penandatangan VPA, maka UE akan melanggar prinsip MFN. Misalnya UE telah pernah memberi perlakuan istimewa kepada produk-produk dari negara-negara ACP (Africa, Carribean, Pacific) karena kebanyakan mereka merupakan bekas jajahannya: a. Perlakuan istimewa lisensi impor; b. Program-program bantuan pembangunan; c. Cohesion Funds untuk mengkompensasi biaya dalam memenuhi peraturan hukum lingkungan.59 Apabila UE tetap memberikan perlakuan istimewa semacam itu, Indonesia akan merugi walaupun Indonesia menandatangani VPA. Oleh karena itu, dalam negosiasi dengan pihak UE, pihak Indonesia perlu meminta UE untuk menghentikan perlakuan istimewa semacam itu kepada negara-negara lain. Di samping itu, Indonesia juga akan rugi apabila syarat-syarat lisensi FLEGT menurut VPA antara UE dan Indonesia dan pelaksanaan pemberiannya lebih berat/lebih sukar dari pada syarat-syarat FLEGT license menurut VPA antara UE dan negara-negara lain. Oleh karena itu, pihak Indonesia perlu meminta UE untuk melakukan harmonisasi syarat pemberian lisensi FLEGT dengan negara-negara penandatangan VPA.

59

Shawn L. Bryant, “The European Union’s Ecolabel and its Effects on the Tropical Timber Industry,� November 26, 1996, materi video conference on International Trade oleh David Linnan, Fak Hukum UGM dan University of South Caroline, Maret 2010.

37


2. Kebijakan FLEGT VPA dan Pasal XI GATT Pasal XI GATT berisi larangan restriksi impor selain dengan tarif. VPA sendiri tidak melanggar Pasal XI karena sifatnya sukarela. Tetapi tindakan UE melarang impor tanpa FLEGT license dari negara non penandatangan VPA bisa melanggar Pasal XI GATT. Pasal XI ayat (1) GATT menyatakan: No prohibitions or restrictions other than duties, taxes or other charges, whether made effective through quotas, import or export licences or other measures, shall be instituted or maintained by any contracting party on the importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation or sale for export of any product destined for the territory of any other contracting party. Menurut ketentuan Pasal XI ayat (1) GATT, negara Anggota WTO tidak boleh melarang atau melakukan restriksi impor suatu produk dari negara Anggota WTO lain atau ekspor atas produk ke negara Anggota WTO lain selain dengan bea cukai, pajak atau pungutan lain. Pasal ini melarang penggunaan quota, lisensi impor atau lisensi ekspor atau tindakan semacamnya untuk membatasi impor atau ekspor. Berdasarkan ketentuan tersebut, UE akan melanggar Pasal XI GATT, apabila UE melarang impor produk kayu tanpa lisensi FLEGT karena suatu negara anggota tidak boleh melarang impor suatu produk dengan cara menetapkan kuota, lisensi impor atau ekspor atau kebijakan-kebijakan lain. Walaupun masih belum pasti, UE akan melarang impor produk kayu tanpa disertai lisensi FLEGT.60 Maka, akibatnya ada kemungkinan bahwa negara-negara non penandatangan VPA akan menuntut UE dengan menggunakan Pasal XI dan Pasal I (prinsip MFN) tersebut di atas. Apabila kemudian UE harus membolehkan impor produk kayu tanpa lisensi FLEGT, maka, sebagai penandatangan VPA, Indonesia akan merugi.

60

38

Client Earth, “Legal Analysis: Due Diligence and a General Prohibition in the Illegal-Timber Regulation,� ClientEarth Briefing April 2010.


3. Kebijakan FLEGT VPA dan Prinsip National Treatment GATT Prinsip National Treatment yang diatur dalam Pasal III GATT mengandung arti bahwa setiap Anggota WTO harus memberikan perlakuan yang adil antara produk impor dari negara Anggota WTO lain dan produk lokal. UE bisa melanggar prinsip National Treatment apabila UE tidak menerapkan keharusan semacam lisensi FLEGT pada industri domestiknya. Pasal III ayat (1) GATT menyatakan: [L]aws, regulations and requirements affecting the internal sale, offering for sale, purchase, transportation, distribution or use of products, and internal quantitative regulations requiring the mixture, processing or use of products in specified amounts or proportions, should not be applied to imported or domestic products so as to afford protection to domestic production. Menurut ketentuan tersebut, undang-undang, peraturan di bawah undangundang dan syarat-syarat yang mempengaruhi transportasi, distribusi dan perdagangan suatu produk dan peraturan kuantitatif internal yang mensyaratkan prosedur dan penggunaan suatu produk dalam jumlah tertentu tidak boleh diterapkan kepada produk impor dan lokal agar dapat memberikan perlindungan produksi domestik. Pasal III ayat (4) GATT menyatakan: The products of the territory of any contracting party imported into the territory of any other contracting party shall be accorded treatment no less favourable than that accorded to like products of national origin in respect of all laws, regulations and requirements affecting their internal sale, offering for sale, purchase, transportation, distribution or use. Menurut Pasal III ayat (4) GATT ini, produk dari negara Anggota WTO yang diimpor ke wilayah negara Anggota WTO lainnya harus diperlakukan tidak kurang baik (no less favourable) dari pada produk sejenis (like products) domestik berkaitan dengan semua undang-undang, peraturan-peraturan di bawah undang-undang, dan syarat-syarat yang mempengaruhi perdagangannya, penawarannya, transportasi, distribusi dan penggunaannya. Berdasarkan pada ketentuan-ketentuan tersebut di atas, UE melanggar prinsip National Treatment apabila UE tidak menerapkan semacam sistem perizinan FLEGT untuk industri perkayuan di dalam negara-negara UE. Apabila UE tidak menerapkannya atau menerapkannya dengan syarat yang lebih mudah daripada syarat yang ada dalam VPA kepada industri domestiknya, berarti EU memberikan perlakuan yang lebih buruk (less fa-

39


vourable) kepada produk impor kayu dari Indonesia daripada produk kayu lokal negara-negara UE. Akibatnya produk kayu dari Indonesia bisa menjadi kurang atau tidak kompetitif di pasar UE. Oleh karena itu, sebelum menandatangani VPA, Indonesia harus meyakinkan bahwa: 1. UE harus menerapkan sistem perizinan setara dengan perizinan FLEGT untuk industri kayu domestik negara-negara UE. 2. Tidak memberikan perlakuan yang istimewa kepada industri kayu domestik dalam sistem perizinan semacam itu. Relevan dengan masalah ini adalah usulan EU Parliament di dalam draft Regulation of European Parliament and of the Council berkenaan dengan kewajiban para operator yang menempatkan kayu dan produk kayu di pasar UE. Draft peraturan ini perlu dipelajari secara mendalam. Posisi Parlemen UE adalah perlu adanya larangan secara umum perdagangan kayu dan produk kayu illegal di dalam UE. Perlu dicermati apakah larangan ini hanya berlaku untuk kayu dan produk kayu yang diimpor ke UE atau juga berlaku untuk kayu dan produk kayu yang berasal dari dalam negeri negara-negara UE. Apabila berlaku juga bagi produk domestiknya, perlu juga dicermati apakah ada diskriminasi penerapan kewajiban due care dan due diligence bagi para operator berkaitan antara produk kayu impor dan produk kayu domestik. 4. Kebijakan Lisensi FLEGT ditinjau dari the TBT Agreement Kebijakan lisensi FLEGT melalui VPA bisa bertentangan dengan Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement) dari WTO. Berdasarkan Agreement ini, kebijakan lisensi FLEGT merupakan suatu technical regulation. Technical regulation dalam Annex TBT Agreement merupakan: Document which lays down product characteristics or their related procesess and production methods, including the applicable administrative provisions, with which compliance is mandatory. It may also include or deal exclusively with terminology, symbols, packaging, marking or labelling requirements ad they apply to a product, process or production method. Walaupun VPA bersifat sukarela, tetapi setelah ditandatangani menjadi kewajiban. Jadi, lisensi FLEGT merupakan technical regulation menurut TBT Agreement.

40


Dalam Pasal 2.1 TBT Agreement dinyatakan: Members shall ensure that in respect of technical regulations, products imported from the territory of any other Member shall be accorded treatment no less favourable than that accorded to like products of national origin and to like products originating in any other country. Berdasarkan ketentuan Pasal 2.1 tersebut, apabila syarat-syarat lisensi FLEGT bersifat diskriminatif terhadap lisensi alternatif yang akan diterapkan oleh UE kepada negara-negara non VPA, atau apabila UE menolak impor kayu atau produk kayu tanpa lisensi FLEGT, maka UE melanggar Pasal 2.1 tersebut. Hal ini bisa menjadi alasan negara-negara non VPA untuk menuntut persamaan perlakuan dengan negara-negara penandatangan VPA. Berarti menandatangani VPA menjadi kurang menarik, karena negara penandatangan tidak akan mendapatkan perlakuan istimewa dari UE. Di samping itu, apabila ketentuan atau syarat-syarat lisensi FLEGT menyebabkan perlakuan terhadap kayu atau produk kayu impor kurang baik (less favourable) dari pada perlakuan terhadap kayu atau produk kayu lokal di UE, maka UE melanggar Pasal 2.1. Hal ini sesuai dengan prinsip National Treatment. Dengan kata lain, UE akan melanggar prinsip ini. Oleh karena itu, Indonesia harus meyakinkan UE bahwa kebijakannya dalam negeri UE tidak boleh lebih lebih mudah dari pada syarat-syarat lisensi FLEGT. Kewajiban due diligence bagi semua operator termasuk internal traders dalam draft regulasi due diligence (resolusi tanggal 7 Juli 2010) tersebut di atas tidak menjelaskan tentang hal ini. 5. Kebijakan lisensi FLEGT ditinjau dari Pasal XX (General Exceptions) GATT Pasal XX GATT berisi pengecualian umum dari ketentuan-ketentuan dalam GATT. Berarti, negara Anggota WTO boleh melanggar ketentuanketentuan dalam GATT apabila memenuhi ketentuan dalam Pasal ini. Ketentuan Pasal XX huruf (b) dan huruf (g) adalah relevan berkaitan dengan kebijakan lisensi FLEGT. Pasal ini menyatakan: Subject to the requirement that such measures are not applied in a manner which would constitute a means of arbitrary or unjustifiable discrimination between countries where the same conditions prevail, or a disguised restriction on international trade, nothing in this Agreement shall be construed to prevent the adoption or enforcement by any contracting party of measures: ... (b) necessary to protect human, animal or plant life or health; ... (g) relating to the conservation of exhaustible natural resources if such measures are made effective in conjunction with restrictions on domestic production or consumption; ...

41


Berdasarkan ketentuan Pasal XX huruf (b) GATT, apabila kebijakan lisensi FLEGT melalui VPA adalah “necessary” untuk melindungi kehidupan tanaman, maka kebijakan ini dikecualikan dari ketentuan-ketentuan GATT yang lain. Namun, syaratnya adalah bahwa tidak ada alternatif lain yang sesuai dengan atau tidak begitu melanggar GATT,61 tidak boleh sangat diskriminatif sehingga tidak masuk akal dan tidak boleh merupakan tindakan restriksi terselubung perdagangan internasional. Syarat untuk menggunakan ketentuan Pasal XX huruf (b) 62 GATT memang sangat ketat. Ini terbukti dalam kasus Thailand – Cigarettes. Berbeda dengan Pasal XX huruf (b), syarat penggunaan ketentuan Pasal XX huruf (g) GATT bisa agak longgar. Appellate Body dalam US – Shrimp menyatakan bahwa tindakan atau kebijakan yang mengharuskan negara pengekspor untuk mematuhi atau mengadopsi kebijakan-kebijakan tertentu yang ditentukan oleh negara pengimpor merupakan tindakan atau kebijakan (measures) yang bisa dibenarkan oleh Pasal XX.63 Adapun justifikasi UE melarang impor kayu atau produk kayu kecuali disertai dengan lisensi FLEGT adalah: a. Alasan melindungi lingkungan; b. Sudah melakukan negosiasi dengan beberapa negara secara bilateral melalui VPA, yaitu dengan: China, Jepang, USA, Malaysia, Indonesia, Ghana, Cameroon, Russia dan Brazil; c. EU telah berpartisipasi dalam negosiasi-negosiasi multilateral tentang Illegal Logging; d. Kebijakannya akan memungkinkan negara-negara lain untuk mengontrol legalitas kayu yang ditebang dengan memperbaiki hukumnya; e. Dengan alasan-alasan atau keadaan-keadaan tersebut, maka EU mengatakan bahwa larangan impor kayu illegal di EU memenuhi Pasal XX GATT (General Exceptions).64 Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada kemungkinan kebijakan lisensi FLEGT bisa dikecualikan sesuai dengan Pasal XX huruf (g). Namun, kebijakan FLEGT sulit untuk memenuhi Pasal XX huruf (b) karena

61 62 63 64

42

GATT Panel Report, Thailand – Cigarettes, diadopsi tanggal 7 Nopember 1990, BISD 37S/200 195, alinea 73 dan 75. Ibid. Appellate Body Report, US – Shrimp, diadopsi tanggal 21 Nopember 2001, DSR 2001: XIII, 6491 56, alinea 7.44. ClientEarth, “Legal Analysis: WTO Implications of the Illegal-Timber Regulation,” ClientEarth Briefing, September 2009, hlm 8.


Pasal XX huruf (b) mensyaratkan bahwa kebijakan yang diambil harus “necessary to protect ... plant life.” Kebijakan lisensi FLEGT bukan satu-satunya yang bisa melindungi kehidupan tanaman. Untuk melindungi kehidupan tanaman, banyak kebijakan alternatif yang bisa diambil selain lisensi FLEGT, misalnya memberikan bantuan teknis dan manajemen kepada negara pengekspor kayu dan produk kayu untuk mencegah terjadinya illegal logging, dan lain sebagainya. Secara historis, Pasal XX huruf (g) pada awalnya hanya bisa digunakan oleh negara peserta GATT yang melakukan tindakan yang dikecualikan dalam pasal tersebut untuk alasan-alasan sesuai kondisi atau untuk melaksanakan hukum di negara pengimpor, bukan hukum di negara pengeskpor 65. Namun, dalam perkembangannya, Pasal XX yakni huruf (g) bisa digunakan untuk alasanalasan negara pengekspor. Ini yang diputuskan oleh Appellate Body dalam kasus US- Shrimp. Dalam kebijakan FLEGT, hukum yang harus dilaksanakan adalah hukum negara pengekspor setelah mendapat “instruksi” dari negara pengimpor yakni UE. Dengan kata lain, upaya perlindungan natural resourses negara pengekspor dijadikan alasan untuk menggunakan Pasal XX huruf (g). Ini sesuatu yang baru, dan ternyata ada kasus mirip yang bisa mendukung kebijakan FLEGT ini, yakni US- Shrimp. Dalam kasus USShrimp, AS melarang impor udang yang ditangkap dengan menggunakan teknologi yang mengancam kehidupan kura-kura laut di negara pengeskpor kecuali negara penangkap (negara pengekspor) mempunyai program peraturan yang tersertifikasi mirip atau serupa dengan (similar to) program peraturan di AS atau terbukti bahwa lingkungan penangkapan ikan tertentu negara pengekspor tersebut tidak mengancam kura-kura. Appellate Body WTO telah membenarkan tindakan AS dan memperbolehkan AS menggunakan Pasal XX (g).66 Dalam kasus US- Shrimp, Appellate Body menyatakan bahwa harus ada hubungan (link /nexus) antara negara pengekspor dan negara pengimpor yang menerapkan tindakan perdagangan (yakni larangan impor). Fakta bahwa kura-kura laut yang terancam oleh praktik penangkapan udang mempunyai kebiasaan berenang di laut dan perairan pantai di beberapa negara termasuk negara AS merupakan hubungan yang cukup antara negara pengekspor dan negara pengimpor. Argumen Appellate Body ini kemungkinan besar bisa diterapkan pada kebijakan lisensi FLEGT di UE,

65

Lihat kasus US Tuna (Mexico), GATT Panel Report, United States – Restriction on Imports of Tuna, 3 September 1991.

66

Appellate Body Report, US – Shrimp, diadopsi tanggal 21 Nopember 2001, DSR 2001: XIII, 6491 56, alinea 7.44.

43


yakni bahwa konsumen negara pengimpor yakni UE mempunyai hubungan dengan negara pengekspor kayu yang berupa penggunaan mereka untuk produk kayu, kepentingan mereka akan peraturan penanggulangan illegal logging secara global dan kepentingan mereka akan perlindungan keanekaragaman hayati secara global. Berdasarkan hal ini, kebijakan lisensi FLEGT UE kemungkinan besar bisa dikecualikan oleh Pasal XX huruf (g). Pasal XX huruf (g) tidak mensyaratkan adanya “necessary” seperti dalam Pasal XX huruf (b). Jadi Pasal XX huruf (g) lebih ringan. Namun, Pasal XX huruf (g) mensyaratkan bahwa “such measures are made effective in conjunction with restrictions on domestic production or consumption.” Jadi, kebijakan FLEGT tidak boleh menyebabkan terjadinya perlindungan terhadap industri kayu domestik negara-negara UE. Hal ini berarti UE harus menerapkan kebijakan yang serupa kepada kayu dan produk kayu domestik. Ternyata UE telah berusaha untuk melaksanakan hal ini dalam kerangka kebijakan kewajiban Due Diligence yang akan dipaparkan berikut ini.

C. Kebijakan kewajiban due diligence dari Uni Eropa EU Commision mengusulkan untuk dibuat peraturan yang berisi bahwa seseorang atau perusahaan (operator) yang menempatkan produk kayu di pasar UE harus melakukan tindakan due diligence. Due diligence ditujukan dalam rangka meminimalisir risiko importasi produk kayu secara ilegal ke UE. Due diligence diartikan sebagai “the prudence and activity expected from, and ordinarily exercised by, a reasonable person under the particular circumstances”. Due diligence biasanya dihubungkan dengan “duty of care”. Dua konsep tersebut, bagaimanapun adalah berbeda, dan dalam realita yang satu merupakan kelanjutan dari yang lainnya. “Due care” menggambarkan sesuatu hal yang harus dilakukan untuk mematuhi sebuah kewajiban secara hukum, dan “due diligence” merupakan tahap-tahap yang harus diambil untuk memenuhi kewajiban hukum tersebut.67 Menurut Komisi UE, operator tersebut mempunyai tanggung jawab bahwa hanya produk kayu yang dipanen secara sah yang bisa dibawa ke pasar UE. Menurut Komisi ini syarat due diligence hanya berlaku bagi operator yang pertama kali (first operator) menempatkan produk kayu di pasar, tidak berlaku bagi operator-operator sesudahnya yang menerima produk kayu tersebut (subsequent operators). Alasannya adalah apabila mengharuskannya bagi subsequent operators, maka akan terlalu mempersukar. 68

67

Questions and Answers on the Proposed Regulation laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the EU market, What is “due diligence”, http://ec.europa.eu/development/icenter/repository/ Q&A_timber_prop_oct08.pdf

44


Menurut Komisi ini, pelanggaran terjadi apabila operator pertama tidak melakukan sistem due diligence tentang prosedur dan tindakan untuk mencegah penempatan produk kayu yang ilegal di pasar UE. Setiap operator pertama akan bertanggung jawab apabila dia gagal melakukan sistem due diligence yang memadai. Jadi, legalitas produksi kayu hanya diukur satu kali, yakni ketika operator pertama menempatkan produknya untuk didistribusikan atau digunakan di UE selama kegiatan komersial baik dibayar atau gratis (“any supply of timber and timber products for the first time on the Community market for distribution or use in the course of a commercial activity whether in return for payment or free of charge.”).69 Menurut Komisi UE, sistem due diligence harus: 1. Memberikan akses kepada informasi berkaitan dengan produk kayu tentang: a) Deskripsi kayu; b) Negara dimana kayu ditebang; c) Volume dan / atau berat; d) Nama dan alamat operator yang mensuplai produk kayu tersebut (apabila memungkinkan); e) Keterangan pemenuhan syarat-syarat yang ditetapkan dalam legislasi yang berlaku 2. Berisi prosedur manajemen risiko; 3. Memberikan kemungkinan audit untuk menjamin penerapan sistem due diligence yang efektif.70 Dalam proposal Komisi UE, tidak ada larangan secara umum (general prohibition) terhadap penempatan produk kayu ilegal, tetapi Komisi ini menggantinya dengan kewajiban bagi first operator untuk menerapkan sistem due diligence. 71

Berbeda dengan Komisi UE, Parlemen UE di satu sisi memperkuat usulan Komisi untuk mengharuskan first operator untuk melakukan due diligence, namun, di sisi lain, Parlemen menetapkan kewajiban bagi semua operator, termasuk subsequent operators, untuk hanya menempatkan produk kayu yang legal. Dengan kata lain, Parlemen mewajibkan semua operator dalam seluruh rangkaian supply untuk melakukan duty of care. Legalitas produk kayu adalah merupakan tanggung jawab semua operator.72

Client Earth, “Legal Analysis: Due Diligence and a General Prohibition in the Illegal-Timber Regulation,” Client Earth Briefing April 2010, hlm. 1 – 2 69 Ibid, hlm. 2 70 Ibid, hlm. 3 71 Ibid 72 Ibid, hlm. 4 . 68

45


Di samping itu, Parlemen mengusulkan untuk secara umum melarang (general prohibition) penempatan produk kayu ilegal di pasar UE. Parlemen menyatakan: Most fundamentally, the proposed Regulation does not actually prohibit the import and sale of illegally logged timber—thereby failing to address “the weak rules to prevent trade in illegally harvested timber� cited by the proposal itself as the starting point for why illegal logging is so entrenched. The revised US Lacey Act, adopted in May 2008, does enact such a prohibition, so a precedent is in place. There is no good reason why the EU cannot emulate this and indeed go further. The Rapporteur thus proposes an explicit statement of the requirement that operators make available on the market only legally harvested timber/timber products, to apply to all operators on the supply chain.73 Jadi, Parlemen menyatakan bahwa hanya mewajibkan due diligence kepada first operator seperti yang diusulkan oleh Komisi UE tidak bisa mengatasi perdagangan produk kayu yang ditebang secara ilegal. Dengan menunjuk kebijakan Amerika Serikat dalam amandemen the Lacey Act pada bulan Mei tahun 2008 yang melarang secara umum penempatan produk kayu ilegal, Parlemen UE mengusulkan untuk secara umum melarang penempatan produk kayu ilegal. Parlemen UE membedakan kewajiban antara first operator dan subsequent operators. Walaupun sama-sama mempunyai kewajiban untuk melakukan duty of care, namun berkaitan dengan due diligence, kewajiban first operator lebih berat daripada kewajiban subsequent operator. First operator harus mempunyai sistem due diligence yang ketat dan rinci. Parlemen UE menambahkan rincian due diligence dari yang diusulkan oleh Komisi UE tersebut di atas. Menurut Parlemen UE, sistem due diligence yang harus dilakukan oleh first operator harus: 1. Menjamin bahwa hanya produk kayu yang ditebang secara legal yang ditempatkan di pasar, menggunakan sistem pelacakan dan verifikasi pihak ketiga oleh organisasi pengawas; 2. Mengandung kebijakan-kebijakan untuk meyakinkan: a. Negara asal, hutan asal dan, apabila memungkinkna, izin pengbangan; b. Nama species, termasuk nama scientificnya;

73

46

Ibid, hlm. 7


c. Nilai; d. Jumlah dan/atau berat; e. Bahwa kayu atau produk kayu telah ditebang secara sah; f. Nama dan alamat operator yang mensuply kayu dan produk kayu; g. Individu atau badan hukum yang bertanggung jawab dalam penebangan; h. Operator yang menerima supply kayu dan produk kayu Semua ini harus didukung dengan dokumentasi dalam suatu database 3. Berisi prosedur manajemen risiko yang harus mengandung: a. Identifikasi sistematik tentang risiko, antara lain melalui pengumpulan data dan informasi dan menggunakan sumber-sumber internasional, community atau nasional; b. Penerapan semua kebijakan yang penting untuk membatasi terjadinya risiko; c. Penetapan prosedur yang dilaksanakan secara teratur untuk memverifikasi kebijakan dalam poin a) dan b); d. Pembuatan catatan-catatan untuk menunjukkan penerapan kebijakan-kebijakan tersebut di atas; e. Melakukan audit-audit untuk menjamin pelaksanaan efektif sistem due diligence.74 Menurut Parlemen UE, subsequent operator harus juga menjamin legalitas kayu dan produk kayunya. Namun, mereka hanya mempunyai kewajiban melakukan due diligence yang sederhana, yakni: 1. Harus bisa mengidentifikasi operator yang memasok kayu dan produk kayu dan operator yang menerima pasokan tersebut; 2. Harus bisa memberikan informasi tentang nama species, negara tempat penebangan dan, apabila memungkinkan, izin penebangan; 3. Harus bisa mengecek, apabila diperlukan, bahwa operator yang menempatkan kayu dan produk kayu di pasar telah memenuhi kewajiban-kewajiban menurut peraturan yang ini (peraturan due diligence).75 Lembaga lain, yakni EU Council, memberikan usulan yang mirip dengan usulan EU Commission. Lembaga ini tidak mengharuskan subsequent operators untuk melakukan due diligence. Serupa dengan usulan Komisi, Council tidak mengusulkan larangan secara umum penempatan kayu atau produk kayu

74

Ibid, hlm. 5 dan 6

47


ilegal di pasar UE. Sejalan dengan pendapat Komisi, Council menfokuskan pada kewajiban due diligence bagi first operator. Dengan kata lain, legalitas kayu dan produk kayu hanya ditinjau sekali saja, yakni pada first operator. Namun demikian, UE Council memberikan rincian yang detail dari sistem due diligence yang tercantum dalam Pasal 5 draft peraturan.76 Parlemen UE dalam resolusi legislatifnya terhadap draft Regulasi due diligence requirement, tanggal 7 Juli 2010,77 selain menentukan kewajiban due diligence bagi first operator di UE, juga menentukan kewajiban duty of care bagi subsequent operator. Dalam resolusi tersebut first operator disebut operator, sedangkan subsequent operator disebut internal trader. Sesuai dengan pendapat Parlemen sebelumnya kewajiban yang dibebankan kepada internal trader lebih ringan daripada kewajiban yang dibebankan kepada operator. Operator mempunyai kewajiban untuk melaksanakan sistem due diligence yang ketat. Sistem due diligence bagi operator yang akhirnya diadopsi oleh Parlemen UE pada tanggal 7 Juli 2010 tercantum dalam Pasal 6. Dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa sistem due diligence bagi operator harus memuat hal-hal sebagai berikut: (a) measures and procedures providing access to the following information concerning the operator’s supply of timber or timber products placed on the market: • description, including the trade name and type of product as well as the common name of tree species and, where applicable, its full scientific name; • country of harvest, and where applicable: i) sub-national region where the timber was harvested; and ii) concession of harvest; • quantity (expressed in volume, weight or number of units); • name and address of the supplier to the operator; iii) name and address of the internal trader to whom the timber and timber products have been supplied; • documents or other information indicating compliance of those timber and timber products with the applicable legislation; (b) risk assessment procedures enabling the operator to analyse and evaluate the risk of illegally harvested timber or timber products derived from such timber being placed on the market.

75

Ibid, hlm. 6

76

Ibid, hlm. 8 dan 9

77

European Parliament legislative resolution of 7 July 2010 on the Council position at first reading for adopting a regula tion of the European Parliament and of the Council laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market (05885/4/2010 – C7-0053/2010 – 2008/0198(COD)).

48


Such procedures shall take into account the information set out in point (a) as well as relevant risk assessment criteria, including: •

•

• •

assurance of compliance with applicable legislation, which may include certification or other third-party-verified schemes which cover compliance with applicable legislation; prevalence of illegal harvesting of specific tree species; prevalence of illegal harvesting or practices in the country of harvest and/or sub-national region where the timber was harvested, including consideration of the prevalence of armed conflict; sanctions imposed by the UN Security Council or the Council of the European Union on timber imports or exports; complexity of the supply chain of timber products;

(c) Except where the risk identified in course of the risk assessment procedures referred to in point (b) is negligible, risk mitigation procedures which consist of a set of measures and procedures that are adequate and proportionate to minimise effectively that risk and which may include requiring additional information or documents and/or requiring third party verification. Pasal 6 mengadopsi usulan sistem due diligence dari EU Council sebelumnya dan menggabungkannya dengan usulan dari Perlemen. Dibandingkan dengan usulan-usulan sebelumnya, sistem due diligence dalam Pasal 6 ini lebih rinci. Misalnya, harus ada informasi nama dagang, informasi tentang izin penebangan, diwajibkannya penyebutan daerah penebangan, bukan hanya negara penebangan. Di samping itu, harus memuat prosedur penilaian risiko (risk assessment procedure), yang menggantikan prosedur manajemen risiko (risk management procedure) yang diusulkan oleh Parlemen. Prosedur penilaian risiko harus memungkinkan operator untuk menganalisa dan mengevaluasi risiko adanya kayu atau produk kayu yang dipanen secara ilegal ditempatkan di pasar UE. Pasal 6 juga menyatakan bahwa sistem ini harus memuat prosedur mitigasi risiko (risk mitigation procedure) yang mencakup serangkaian tindakan dan prosedur yang cukup dan proporsional untuk meminimalkan terjadinya risiko dan mencakup pula keharusan informasi tambahan atau dokumen dan/atau mengharuskan verifikasi dari pihak ketiga. Dibandingkan dengan kewajiban operator, kewajiban internal trader jauh lebih ringan. Pasal 5 Regulasi pada resolusi tanggal 7 Juli 2010 tersebut menyatakan:

49


Internal traders shall, throughout the supply chain, be able to identify: (a) the operators or the internal traders who have supplied the timber and timber products; and (b) where applicable, the internal traders to whom they have supplied timber and timber products. Internal traders shall keep the information referred to in the first paragraph for at least five years and shall provide that information to competent authorities if they so request. Jadi, internal traders hanya berkewajiban untuk mengidentifikasi operators atau internal traders lainnya yang telah memasok kayu dan produk kayu, dan apabila memungkinkan, harus mengidentifikasi internal traders yang akan menerima pasokan kayu dan produk kayunya. Di samping itu, internal traders harus menjaga atau menyimpan informasi tentang hal-hal tersebut selama paling sedikit 5 (lima ) tahun dan memberikan informasi tersebut kepada competent authority apabila diminta. Kewajiban-kewajiban ini jauh lebih ringan daripada kewajiban bagi operator. Dibandingkan dengan usulan Parlemen UE bagi kewajiban subsequent operator sebelumnya, kewajiban internal trader dalam resolusi tanggal 7 Juli ini lebih ringan. Kewajiban untuk memberikan informasi tentang nama species, negara tempat penebangan dan izin penebangan tidak ada, padahal subsequent operator sebelumnya diusulkan mempunyai kewajiban seperti ini.78 Demikian juga kewajiban lain, yakni untuk mengecek, apabila diperlukan, bahwa operator yang menempatkan kayu dan produk kayu di pasar telah memenuhi kewajiban-kewajiban menurut peraturan due diligence tidak ada pada internal trader. Padahal Parlemen mengusulkan sebelumnya bahwa subsequent operator mempunyai kewajiban seperti itu.79 Dengan kata lain, resolusi Parlemen tanggal 7 juli tidak mewajibkan internal traders untuk menelusuri bahwa kayu atau produk kayu yang dijual merupakan hasil panenan kayu yang legal. Dengan kata lain pula, apabila ternyata internal traders memperdagangkan kayu atau produk kayu ilegal, belum tentu mereka dapat dihukum.

78

79

50

Pasal 3 ayat 2 a huruf (ii) draft regulasi usulan Parlemen UE menyatakan bahwa subsequent operator wajib untuk: “provide upon request information on the name of the species, the country/countries of harvest and where feasible the concession of origin.” Client Earth, “Legal Analysis: Due Diligence and a General Prohibition in the IllegalTimber Regulation,” ClientEarth Briefing April 2010, hlm. 6 Pasal 3 ayat 2 a huruf (iii) draft regulasi usulan Parlemen UE menyatakan bahwa subsequent operator wajib untuk: “check, where necessary, that the operator who has placed the timber and timber products on the market has fulfilled his obligations under this Regulation.” Client Earth, “Legal Analysis: Due Diligence and a General Prohibition in the Illegal-Timber Regulation,” Client Earth Briefing April 2010, hlm. 6


Resolusi legislatif Parlemen tanggal 7 Juli 2010 juga memuat larangan secara umum penempatan kayu atau produk kayu ilegal di pasar UE. Pasal 4 ayat (1) menyatakan: “The placing on the market of illegally harvested timber or timber products shall be prohibited.” Larangan secara umum ini sejalan dengan kewajiban bagi operator dan internal traders untuk melakukan due diligence dan duty of care. Lembaga ClientEarth mendukung hal ini karena larangan secara umum akan mendukung kewajiban due diligence dan akan menciptakan regulasi yang efektif.80 Namun, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa larangan semacam itu hanya dimasukkan dalam Pasal 4 yang mengatur kewajiban operator; tidak ada kewajiban bagi internal traders yang mendukung larangan tersebut. Hal ini merupakan kelemahan dari regulasi ini, karena bisa ditafsirkan bahwa internal traders sulit dijerat hukum walaupun mereka memperdagangkan kayu atau produk kayu ilegal di pasar UE kalau mereka hanya menerima pasokan dari operator yang melanggar kewajiban due diligence. Padahal, sebelumnya, Parlemen UE mengusulkan bahwa “all operators in the supply chain should be bound by the overriding prohibition against making illegally sourced timber or timber products available on the market….”81 Pengertian “all operators” dalam usulan tersebut termasuk “first operator” (“operator” dalam resolusi tanggal 7 Juli 2010) dan “subsequent operators” (“internal traders” dalam resolusi tanggal 7 Juli 2010). Dengan kata lain, Parlemen UE sebelumnya mengusulkan operator dan internal traders sama-sama dilarang untuk memperdagangkan kayu atau produk kayu ilegal di pasar UE. Sekarang, dalam resolusi tanggal 7 Juli 2010, hanya operator pertama yang secara tegas dilarang untuk memperdagangkan kayu atau produk kayu ilegal. Berdasarkan uraian di atas, larangan perdagangan kayu atau produk kayu ilegal di UE kurang tegas. Secara umum memang ditentukan dalam resolusi regulasi tanggal 7 Juli Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan: “The placing on the market of illegally harvested timber or timber products shall be prohibited.” Namun, karena internal traders tidak mempunyai kewajiban untuk menelusuri apakah produk yang diperdagangkan itu legal, maka larangan semacam itu menjadi kurang efektif.

Client Earth, “Legal Analysis: Due Diligence and a General Prohibition in the Illegal-Timber Regulation,” Client Earth Briefing April 2010, hlm. 10 81 Parliament Amendments at Amendment 19 (Recital 12), Client Earth, “Legal Analysis: Due Diligence and a General Prohibition in the Illegal-Timber Regulation,” ClientEarth Briefing April 2010, hlm. 7 80

51


D. Hubungan VPA dan Peraturan Due Diligence di Uni Eropa Dengan VPA, maka ekspor kayu atau produk kayu dari negara penandatangan VPA ke UE harus disertai dengan lisensi FLEGT; apabila tidak, maka akan ditolak oleh UE. Dengan kata lain, VPA menjamin legalitas impor kayu ke UE hanya dari negara-negara penandatangan VPA. Namun, di sisi lain, UE membuat peraturan Due Diligence. Peraturan Due Diligence secara umum melarang penempatan kayu ilegal di negara UE. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana hubungan VPA dan peraturan Due Diligence tersebut. Pasal 3 Regulasi Due Diligence (resolusi 7 Juli 2010) secara tegas menyatakan bahwa kayu atau produk kayu yang berasal dari negara-negara penandatangan VPA “shall be considered to have been legally harvested for the purposes of this Regulation.” Ini berarti bahwa kayu atau produk kayu yang berasal dari negara-negara tersebut dianggap per se legal. Jadi, kewajiban due diligence tidak berlaku terhadap kayu atau produk kayu dari negara-negara VPA. Hal ini nampak memudahkan bagi impor produk kayu dari negaranegara VPA. Namun, kenyataan yang sebenarnya tidak mesti demikian. Hal ini karena kewajiban-kewajiban negara penandatangan VPA untuk menjamin legalitas kayu yang akan diekspor ke UE tidak bisa dikatakan ringan. Oleh karena itu, pertanyaan yang muncul adalah sampai sejauh mana jaminan legalitas kayu impor dari negara-negara non VPA dan jaminan legalitas kayu yang dipanen di negara-negara UE dibandingkan dengan jaminan legalitas kayu impor dengan lisensi FLEGT berdasarkan VPA. Sebagaimana tersebut di atas, Pasal 4 ayat (1) regulasi Due Diligence melarang secara umum penempatan kayu atau produk kayu ilegal di pasar UE. Memang larangan secara umum dalam Pasal 4 ayat (1) tersebut menggunakan istilah “placing on the market”. Sementara itu, “placing on the market” diartikan oleh ketentuan Pasal 2 huruf c sebagai “the supply by any means, irrespective of the selling technique used, of timber or timber products for the first time on the internal market for distribution or use in the course of a commercial activity, whether in return for payment or free of charge.” Berarti larangan “placing on the market” meliputi larangan penempatan kayu ilegal impor dan penempatan kayu ilegal lokal. Namun, ada dua hal yang perlu mendapatkan perhatian. Di satu sisi, adanya syarat-syarat yang berat untuk mendapatkan lisensi FLEGT berdasarkan perjanjian VPA menyebabkan legalitas kayu impor dengan lisensi FLEGT akan terjamin secara kuat. Namun di sisi lain, karena internal traders, sebagaimana tersebut di atas, tidak mempunyai kewajiban untuk menelusuri legalitas kayu, maka jaminan legalitas kayu impor dari negara-

52


negara non VPA dan jaminan legalitas kayu lokal menjadi kurang kuat. Akibatnya, dapat dikatakan bahwa bisa terjadi perlakuan yang diskriminatif antara impor kayu atau produk kayu yang disertai dengan lisensi FLEGT dari negara-negara VPA dan impor produk tersebut dari negaranegara non VPA dan produk kayu lokal. Padahal, berdasarkan Pasal I GATT, merupakan keharusan bagi UE untuk memberikan perlakuan yang adil kepada semua produk kayu impor dari manapun dan, berdasarkan Pasal III GATT, UE harus memberikan perlakuan yang adil antara produk kayu impor dan produk kayu lokal. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia sebelum menandatangani VPA perlu meyakinkan hal ini kepada pihak UE. Dalam sub bab ini akan dibahas beberapa hal yang tercantum dalam draft VPA antara Indonesia dan UE. Tidak semua hal atau pasal akan dibahas, hanya hal-hal yang penting saja yang akan dibahas. Di samping itu, akan dibahas Due-Diligence Requirement menurut UE.

53


54


5 Analisis perjanjian VPA antara Indonesia dan Uni Eropa

55


56


Dalam sub bab ini akan dibahas beberapa hal yang tercantum dalam draft VPA antara Indonesia dan UE. Tidak semua hal atau pasal akan dibahas, hanya hal-hal yang penting saja yang akan dibahas. Di samping itu, akan dibahas Due-Diligence Requirement menurut UE.

A. Tujuan VPA Menurut Pasal 1 draft VPA, tujuan VPA antara Indonesia dan UE adalah: a. Untuk menciptakan kerangka hukum untuk menjamin bhw semua impor produk kayu dari Indonesia ke EU telah diproduksi secara legal; b. Untuk meningkatkan perdagangan di bidang produk kayu; c. Sebagai dasar dialog dan kerjasama untuk menfasilitasi dan meningkatkan implementasi penuh VPA; d. Untuk meningkatkan pelaksanaan hukum dan tata kelola kehutanan. Tujuan VPA tersebut sesuai dengan tujuan FLEGT UE. Memang sebagaimana tersebut di atas UE menciptakan VPA dan telah menegosiasikannya dengan beberapa negara adalah untuk melaksanakan tujuan FLEGT. Ada beberapa tujuan FLEGT. Pertama, untuk membantu negara produsen kayu meningkatkan tata kelola (governance) dan “capacity building� dalam memberantas penebangan liar. Kedua, FLEGT bertujuan untuk mencegah atau mengurangi konsumsi kayu ilegal dan investasi UE yang mengakibatkan terjadinya illegal logging. Selain itu, FLEGT bertujuan untuk mencegah masuknya produk kayu ilegal ke pasar UE. Tujuan pertama VPA adalah demi kepentingan pihak UE. Tujuan ini telah mendapat kritikan karena: apabila UE mengharuskan produk kayu yang masuk ke UE harus diproduksi secara legal dengan memberikan syarat lisensi, maka banyak kemungkinan terjadi pengiriman produk kayu tidak

57


ke EU tetapi ke negara-negara yang tidak mensyaratkan hal itu. Akibatnya illegal logging tidak bisa dihentikan.82 Dengan demikian, tujuan FLEGT tidak akan tercapai. Tujuan untuk meningkatkan perdagangan di bidang produk kayu menimbulkan pertanyaan penting. Apakah tujuan ini akan tercapai kalau produk kayu nantinya banyak yang diekspor ke negara-negara di luar EU untuk menghindari kesulitan mendapatkan lisensi FLEGT. Disinyalir bahwa banyak produk kayu hasil penebangan liar dari Indonesia telah diekspor ke negara Cina.83 Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan ekspor kayu ilegal ke negara lain sulit dihentikan. Timbul pertanyaan juga apakah pengiriman produk kayu dengan lisensi FLEGT nantinya akan meningkat jumlahnya dibandingkan dengan jumlah pengiriman sebelum adanya lisensi FLEGT. Akan lebih mudah memberikan jawaban negatif daripada jawaban positif. Memang mudah saja untuk menentukan tujuan dalam draft VPA, tapi pelaksanaannya tentu tidak mudah. Ini salah satu contohnya. Agar VPA menjadi suatu win-win deal, tujuan tercapainya peningkatan perdagangan di bidang produk kayu dari Indonesia ke UE memang seharusnya tercapai. Kalau tidak, berarti memang VPA hanya untuk kepentingan UE atau lebih mementingkan kemanfaatan bagi UE. Tujuan yang lain dari VPA antara Indonesia dan UE adalah untuk mening katkan pelaksanaan hukum dan tata kelola kehutanan. Pelaksanaan hukum kehutanan merupakan pelaksanaan perjanjian VPA itu sendiri. Hal ini karena semua produsen yang akan mengekspor produk kayu ke UE harus mengikuti dan mematuhi peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan. Misalnya Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.38/Menhut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, Peraturan No. P.06/Set-VI/2009 dan Peraturan No. P.02/VI-BPPHH/2010. Namun, apabila pelaksanaan peraturan hukum kehutanan nantinya bersifat diskriminatif, misalnya hanya untuk ekspor produk kayu ke negara UE, maka pelaksanaan hukum kehutanan tidak akan meningkat. Oleh karena itu, seharusnya perjanjian VPA dijadikan pemicu bagi pelaksanaan hukum kehutanan yang konsisten

Fredik Erixon dan Brian Hindley, “New Trade Regulations to Combat Illegal Logging: A Critique”, European Centre for International Political Economy (ECIPE), Brussel, 2009, hlm. 6 83 “Recent Amendments to U.S. Lacey Act Should Help Protect Forests Worldwide,” http://inece.org/climate/LaceyActAmendments.pdf (diakses 11 Juni 2010). 82

58


secara umum. Hal ini sesuai dengan komitmen Indonesia dan UE, yang tercantum dalam Pasal 1 draft VPA, untuk melakukan pengelolaan hutan secara berkesinambungan/lestari (sustainable management of all types of forest). Apabila hal ini tercapai maka VPA akan memberikan kemanfaatan juga bagi Indonesia. Apabila dibandingkan dengan tujuan VPA yang telah ditandatangani oleh Ghana, maka ternyata sama persis. Tidak ada perbedaan sama sekali. Pbeberapa kesamaan tersebut meliputi:

B. Pengertian “Legally-Produced Timber” Pasal 2 huruf i) draft VPA memuat istilah “legally-produced timber” yang didefinisikan sebagai “timber products harvested or imported and produced in accordance with the legislation as set out in Annex II. Dalam Pasal 7 draft VPA yang mengatur definisi “legally-produced timber” dikatakan bahwa tidak hanya legislasi nasional Indonesia tetapi juga peraturan subnasional, yakni peraturan daerah, yang harus ditaati dalam rangka menentukan legalitas produksi kayu. Di samping itu, harus ada dokumentasi yang berisi kriteriakriteria dan indikator-indikator yang dipakai sebagai bukti atau petunjuk dipenuhinya legislasi tersebut. Pengertian “legally-produced timber” merupakan kata kunci dari VPA karena tujuan terpenting dari VPA adalah untuk menjamin bahwa produk kayu yang diekspor ke UE merupakan produk kayu yang diproduksi secara legal. Telah terjadi perdebatan yang cukup alot antara, the Commission UE, the Council UE dan the UE Parliament tentang hukum mana yang digunakan untuk menentukan bahwa produk kayu yang diimpor ke UE adalah produk yang legal, apakah hukum negara produsen kayu, lokal atau nasional, apakah harus dipakai juga hukum internasional, yakni konvensi internasional yang relevan.84 Commission UE menyatakan bahwa untuk menentukan bahwa produk kayu diproduksi secara legal harus dipakai legislasi yang berlaku di negara produsen. Adapun yang dimaksud dengan legislasi tersebut adalah:

84

ClientEarth, “Legal Analysis: Applicable Legislation in the Illegal-Timber Regulation,” Client Earth Briefing, April 2010, hlm. 1

59


[T]he legislation of the country of harvest regulating forest conservation and management and the harvesting of timber as well as legislation on trade in timber or timber products related to forest conservation and management and to the harvesting of timber.85 Jadi, legislasi mencakup peraturan mengenai konservasi dan pengelolaan hutan dan penebangan kayu, dan peraturan mengenai perdagangan kayu dan produk kayu dikaitkan dengan konservasi dan pengelolaan hutan dan penebangan kayu. Alasan pendapat Komisi ini adalah: pertama, untuk menghormati kedaulatan (sovereignty) negara produsen kayu. Kedua, untuk menghargai usaha-usahanya dalam melaksanakan hukumnya.86 EU Parliament mempunyai pendapat bahwa legislasi yang digunakan untuk menentukan legalitas produk kayu harus mencakup pertimbanganpertimbangan tambahan, yakni harus mendukung tujuan luas dari FLEGT Action Plan untuk mendukung pengelolaan hutan yang berkesinambungan/lestari (sustainable) dengan cara menghentikan illegal logging secara terintegrasi. Parlemen ini menyatakan: Broadening the scope of the applicable legislation against which “legality” is defined would help achieve [the broader goal of sustainable development]. As parties to multiple international and regional agreements the EU and Member States have already legally and politically committed themselves to the conservation and sustainable use of natural resources, poverty alleviation and protection of the rights of indigenous and forest-dependent communities. The Regulation can be a vehicle for helping to implement their provisions.87 Pernyataan Parlemen UE menunjukkan bahwa perlu hubungan yang erat antara faktor legalitas kayu dan kebersinambungan (sustainability). Dengan kata lain, pertimbangan pengelolaan dan pembangunan hutan secara berkesinambungan/lestari harus dimasukkan dalam pertimbangan penentuan legalitas produksi kayu walaupun kepatuhan secara ketat kepada legis-

85

Ibid, hlm. 2

86

Ibid.

87

Parliament legislative resolution of 22 April 2009 on the proposal for a regulation of the European Parliament and of the Council laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market (COM(2008)0644 – C6-0373/2008 – 2008/0198(COD))*hereinafter “Parliament Amendments”+, Explanatory Statement citing EU FLEGT Action Plan (COM(2003)251) dalam ClientEarth, “Legal Analysis: Applicable Legislation in the Illegal-Timber Regulation,” Client Earth Briefing, April 2010, hlm. 3

60


lasi yang berlaku di negara produsen merupakan dasar yang paling utama dalam menentukan legalitas produksi kayu.88 Di samping itu, Parlemen UE juga menyatakan bahwa pertimbanganpertimbangan lain juga harus dilakukan, seperti pengentasan kemiskinan (poverty alleviation), peningkatan hak-hak masyarakat asli (promotion of indigenous peoples’ rights) dan pengurangan, dan pengurangan desertifikasi (reduction of desertification).89 Oleh karena itu, menurut Parlemen ini pengertian legislasi mencakup tidak hanya legislasi di negara produsen kayu tetapi juga legislasi regional dan internasional yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati (biodiversity), pengelolaan hutan (forest management), dan hak-hak penggunaan sumber daya alam (resource-use rights).90 The EU Council mempunyai pendapat bahwa hukum yang dipakai untuk menentukan legalitas produksi kayu adalah legislasi di negara produsen kayu. Namun, Council memberikan pengertian yang luas berkenaan legislasi ini yang mencakup peraturan perundang-undangan yang mengatur: a. rights to harvest timber within gazetted boundaries; b. payments for harvest rights and timber including duties related to timber harvesting; c. timber harvesting, including directly related environmental and forest legislation; d. third parties’ legal rights concerning use and tenure that is affected by timber harvesting; and e. trade and customs legislation, in as far as the forest sector is concerned.91 Pendapat Council UE mendukung definisi yang ditentukan dalam rangka mandat negosiasi FLEGT untuk VPA. Pendapat Council ini ternyata diadopsi dengan beberapa penambahan oleh EU Parliament pada resolusi legislatif tanggal 7 Juli 2010 (Ordinary legislative procedure: second reading) terhadap draft Regulasi tentang due-diligence requirement dalam Pasal 2 huruf h yang menyatakan: “applicable legislation� means the legislation in force in the country of harvest covering the following matters: a. rights to harvest timber within legally gazetted boundaries;

88

Ibid.

89

Ibid, hlm. 4

90

Ibid,.

91

Ibid,, hlm. 5

61


b. payments for harvest rights and timber including duties related to timber harvesting; c. timber harvesting, including environmental and forest legislation including forest management and biodiversity conservation, where directly related to timber harvesting; d. third parties’ legal rights concerning use and tenure that is affected by timber harvesting; and e. trade and customs legislation, in so far as the forest sector is concerned. Penambahan dalam resolusi tanggal 7 Juli 2010 adalah kata legally dalam poin pertama legislasi di negara tempat penebangan kayu. Berarti legislasi tentang hak penebangan hanya untuk hak penebangan dalam batas wilayah yang sah. Penambahan yang lain adalah legislasi di bidang hutan harus mencakup pengelolaan hutan dan konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) yang berhubungan secara langsung dengan penebangan kayu. Penentuan legalitas produksi kayu akan sangat menentukan keberhasilan VPA antara Indonesia dan UE. Namun, perlu mendapat perhatian bahwa usaha harmonisasi pengertian “legally-produced timber� akan sangat penting untuk dilakukan dalam rangka menciptakan keadilan dalam bersaing di dalam pasar UE. Harmonisasi meliputi harmonisasi antara negara-negara anggota UE, harmonisasi antara negara-negara UE dengan negaranegara peserta VPA dan harmonisasi antar negara-negara peserta VPA itu sendiri. Hal ini memang merupakan hal yang tidak mudah, terutama untuk harmonisasi antar negara-negara peserta VPA. Bagi negara-negara tertentu, yang sudah mempunyai perundang-undangan di bidang pengelolaan hutan dan tradisi kepatuhan yang memadai mungkin akan mudah untuk menentukan legalitas produksi kayu. Namun, bagi negara yang peraturannya di bidang kehutanan belum memadai dan kepatuhannya masih rendah, penentuan legalitas kayu tidak mudah. Pada bulan Maret 2007, dalam negosiasi di Jakarta, dicapai kesepemahaman antara Delegasi UE dengan Delegasi RI bahwa; pertama; VPA merupakan instrument mendorong ketaatan pada hukum dalam pemanfaatan hutan ke arah pengelolaan hutan lestari (PHL); kedua; perlu dibentuk 2 (dua) Working Group yang mendiskusikan (i) Standard dan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, dan (ii) Pengembangan Kapasitas; ketiga, definisi “legalitas� mengacu pada hukum negara produsen (Indonesia); keempat; perlunya tanggung jawab timbal balik (reciprocity).

62


Jadi, sesuai hasil negosiasi tersebut, pengertian “legally-produced timber” akan mengacu pada legislasi di Indonesia. Dalam rangka itu, Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan di bidang kehutanan yakni: a. Peraturan No. P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak ; b. Peraturan Dirjen Bina Produksi kehutanan No. P.06/Set-VI/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu. c. Peraturan Dirjen Bina Produksi kehutanan No. P.02/VI-BPPHH/2010 tentang Pedoman pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu. Yang menjadi persoalan adalah, apakah peraturan-peraturan daerah dalam rangka ini memang sudah ada? Atau hanya beberapa daerah yang sudah membuatnya? Bagaimana upaya sinkronisasi antara peraturan daerah dan peraturan pusat tersebut di atas? Peraturan daerah seharusnya sinkron dengan peraturan pusat untuk menghindari terjadinya high cost dan birokrasi yang berbelit-belit dalam rangka menentukan legalitas produksi kayu yang bisa mengakibatkan harga jualnya menjadi mahal sehingga tidak kompetitif. Dalam draft VPA antara beberapa negara dengan UE, tentu pengertian “legally-produced timber” juga mengacu ke hukum negara produsen produk kayu. Yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa kriteria legalitas produksi kayu di negara-negara tersebut seharusnya sama walaupun memakai ungkapan yang berbeda. Dalam VPA antara negara Cameroon dan UE yang telah selesai dinegosiasikan pada tanggal 6 Mei 2010, terdapat 5 kriteria untuk legalitas produksi kayu, yaitu: (1) kewajiban-kewajiban administratif dan perpajakan; (2) penebangan, pengelolaan hutan dan jalannya pengolahan (harvesting, forest management, and processing operations); (3) transportasi; (4) Kewajiban sosial; dan (5) kewajiban-kewajiban lingkungan.

92

“FLEGT Voluntary Partnership Agreement Between Cameroon and the European Union,” Briefing Note, May 2010.

63


Untuk setiap kriteria tersebut, dibuat beberapa indikator yang menunjukkan adanya pemenuhan. Apabila 5 kriteria tersebut dipenuhi, maka “certificate of legality’ diterbitkan, yang berlaku selam 1 tahun atau 6 bulan.92 Dalam Annex II dari perjanjian VPA yang telah disepakati antara Ghana dan UE, disebutkan bahwa sebelum lisensi FLEGT diberikan kepada produsen kayu, maka ada 26 ketentuan yang harus dipenuhi untuk verifikasi legalitas produk kayunya. Ketentuan tersebut meliputi 8 (delapan) ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1992, 16 (enam belas) Undang-Undang dan peraturan di bidang kehutanan dan 2 (dua) peraturan lain di luar bidang kehutanan tetapi yang berkaitan.93

C. Licensing Authority Dalam Pasal 2 huruf f dan Pasal 4 ayat (1) draft VPA ditentukan bahwa Indonesia harus membentuk Licensing Authority. Menurut Pasal 4 ayat 2 - 4, lembaga ini mempunyai kewajiban-kewajiban sebagai berikut: 1. Memverifikasi bahwa produk kayu telah diproduksi secara legal sesuai dengan Annex II VPA; 2. Menerbitkan lisensi FLEGT untuk pengiriman produk kayu yang legal untuk diekspor ke UE. 3. Mempertahankan prosedurnya dalam penerbitan lisensi FLEGT dan menjadikannya terbuka untuk umum; 4. Membuat dan memelihara catatan semua pengiriman produk kayu yang dilakukan melalui lisensi FLEGT; 5. Membuka semua catatan tersebut bagi independent monitoring (Lembaga Pemantau Independen), kecuali yang memang harus dirahasiakan. Kewajiban dalam ayat (3) tersebut adalah kewajiban untuk bersikap transparan kepada umum termasuk stakeholders. Berarti produsen kayu harus diberi akses kepada kerja dan proses yang dilakukan oleh Licensing Authority dalam penerbitan lisensi FLEGT. Walaupun tidak diatur di dalam VPA ini, akibat adanya prinsip transparancy ini, maka Licensing Authority seharusnya mau menerima keluhan ketidakpuasan produsen kayu atas proses penerbitan lisensi FLEGT.

93

64

Annex II VPA antara Ghana dan UE, hlm. 10 -14


Ketentuan ayat (5) tersebut juga berisi prinsip transparency. Lembaga Pengawas Independen harus diberi akses kepada semua catatan yang dimiliki oleh Licensing Authority berkaitan dengan penerbitan lisensi FLEGT dan catatan pengiriman produk kayu melalui lisensi FLEGT. Di samping itu, ada tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh Licensing Authority . Dalam Pasal 4 ayat (3) ditentukan bahwa Licensing Authority dilarang: 1. menerbitkan lisensi FLEGT untuk produk kayu yang berasal atau mengandung produk kayu dari negara ketiga apabila negara ketiga tersebut melarang ekspor kayu tersebut ke Indonesia; 2. menerbitkan lisensi FLEGT untuk produk kayu yang terbukti (“there is evidence�) diproduksi secara ilegal atau melanggar hukum di negara ketiga tersebut. Yang menjadi persoalan adalah apakah ketentuan Pasal 4 ayat (3) ini tidak memberatkan bagi pihak Indonesia? Sampai sejauh mana pihak Indonesia harus melakukan pengecekan bahwa: pertama, negara ketiga tersebut melarang ekspor kayu tersebut ke negara Indonesia; kedua, produksi kayu tersebut melanggar hukum negara tersebut. Dalam VPA antara Ghana dan UE, Pasal 4 ayat (3) juga tercantum ketentuan yang sama persis dengan ketentuan dalam Pasal 4 (3) draft VPA antara Indonesia dan UE ini. Hal demikian adalah seharusnya, karena apabila Ghana boleh mengimpor kayu yang ilegal, maka ada diskriminasi perlakuan oleh UE antara produk kayu dari Ghana dan dari Indonesia. Bisa diasumsikan bahwa walaupun Indonesia menandatangani VPA, keinginan untuk mengimpor kayu illegal tidak akan menurun kecuali kalau verifikasi legalitas produksi kayu dilakukan secara ketat baik untuk keperluan ekspor maupun untuk konsumsi dalam negeri.

D. European Union Competent Authority Competent Authority adalah lembaga yang dibentuk oleh negara-negara anggota UE untuk menerima dan menverifikasi lisensi FLEGT. Menurut Pasal 5 draft VPA, lembaga ini mempunyai kewajiban untuk: 1. Melakukan verifikasi bahwa setiap pengiriman produk kayu dari Indonesia ke UE harus disertai lisensi FLEGT yang sah; 2. Membuat, memelihara catatan semua lisensi FLEGT yang diterima dan mengumumkannya setiap tahun; 3. Memberikan akses pada semua dokumen dan data yang relevan kepada Lembaga Pemantau Independen dari Indonesia.

65


Dalam ayat (2) dari Pasal ini dikatakan bahwa apabila lisensi FLEGT diragukan keabsahannya, maka masuknya pengiriman produk kayu ke pasar UE ditangguhkan dan pengiriman akan ditahan. Dalam Pasal 9 draft VPA dikatakan bahwa apabila Competent Authority ragu terhadap keabsahan suatu lisensi FLEGT, maka ia dapat meminta Licensing Authority untuk memberikan informasi tambahan dan klarifikasi lebih jauh. Apabila tidak ada jawaban dari Licensing Authority dalam waktu 21 hari, atau setelah dilakukan investigasi ternyata bahwa informasi dalam lisensi tidak sesuai dengan pengiriman produk kayunya, maka Competent Authority harus mengambil tindakan sesuai dengan hukum nasional UE yang berlaku dan menolak lisensi tersebut. Yang kurang jelas di sini adalah bagaimana cara Competent Authority mengecek keabsahan lisensi FLEGT, apakah cukup secara formal atau harus secara material? Apabila harus secara material, akan memerlukan waktu yang lama dan merupakan non-tariff barrier. Hal ini dapat menurunkan minat ekspor kayu dari Indonesia ke UE sehingga harapan peningkatan perdagangan kayu dari Indonesia ke UE tidak akan tercapai. Namun, kewajiban untuk melakukan transparansi kepada Lembaga Pemantau Independen dari Indonesia, sebagaimana tersebut dalam ayat (3) di atas, bisa menjadikan Competent Authority bersikap hati-hati dalam melakukan penangguhan masuknya produk kayu ke pasar UE karena dugaan ketidakabsahan lisensi FLEGT.

E. Perlindungan Informasi Rahasia/rahasia dagang (Confidential Information/Trade Secret) Di dalam Pasal 23 Draft VPA diatur tentang perlidungan informasi rahasia/rahasia dagang (confidential information atau trade secrets) yang dimiliki oleh Pihak Indonesia dan Pihak UE. Pasal 23 ayat (1) melarang pembocoran informasi rahasia/rahasia dagang yang saling dipertukarkan. Rahasia dagang telah diatur dalam UU No 30 Tahun 2000. Rahasia Dagang adalah “informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/ atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiannya oleh pemilik Rahasia Dagang.� (Pasal 1 huruf 1). Namun, dalam draft VPA belum dicantumkan apa saja yang bisa merupakan rahasia dagang. Menurut Pasal 2 UURD, rahasia dagang bisa mencakup:

66


1. 2. 3. 4.

metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum.

Oleh karena itu, perlu ditegaskan dalam draft VPA apa saja yang merupakan rahasia dagang yang akan mereka lindungi. Namun, dalam pelaksanaannya nanti, perlu diberi ruang bagi para pihak untuk menginformasikan rahasia dagang baru yang muncul selama waktu pelaksanaan perjanjian yang belum diketahui pada waktu perjanjian ditandatangani.

F. Penyelesaian Sengketa Dalam Pasal 25 draft VPA dinyatakan bahwa: apabila terjadi sengketa tentang pelaksanaan atau interpretasi perjanjian, maka akan ditempuh, pertama konsultasi, kemudian apabila gagal, sengketa akan dibawa ke Joint Implementation Committee (JIC). Apabila gagal lagi, maka sengketa diselesaikan dengan mediasi. Apabila gagal lagi, akan dibawa ke arbitrasi dengan 3 (tiga) arbitrator. Masing-masing pihak menunjuk 1 (satu) arbitrator. Sedangkan arbitrator ketiga akan ditunjuk oleh para pihak bersama-sama. Perlu dipertimbangkan bahwa yang memilih arbitrator ketiga adalah dua arbitrator yang telah dipilih oleh para pihak. Hal ini untuk lebih menciptakan kenetralan. Hal demikian ini adalah tercantum dalam Rules of Conciliation and Arbitration of International Chamber of Commerce (ICC). Pasal 25 ayat (6) draft VPA mengatakan bahwa keputusan arbitrasi harus diambil dengan suara mayoritas. Ketentuan seperti ini seharusnya tidak perlu ada. Cara pengambilan keputusan seharusnya diserahkan kepada arbitrator atau dengan melihat aturan prosedur yang telah disepakati. Pasal 25 ayat (7) menyatakan bahwa JIC harus membuat aturan prosedur untuk arbitrasi. Perlu dipertimbangkan untuk menggunakan aturan prosedur yang sudah ada dan sudah banyak dipakai, seperti Rules of Procedure dari ICC tersebut di atas.

67


68


6 Resiko penandatanganan VPA bagi pengusaha lokal dan ekonomi secara makro

69


70


A. Konsekuensi Penandatanganan VPA VPA merupakan salah satu jenis dari perjanjian internasional. Perjanjian internasional diartikan sebagai “perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”.94 Berdasarkan Vienna Convention on the Law of Treaties, perjanjian internasional atau ”treaties” didefinisikan sebagai “an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation”.95 Dalam UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, yang dimaksud dengan perjanjian internasional adalah “setiap perjanjian di bidang hukum publik, diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain”.96 Bentuk dan nama perjanjian internasional dalam praktiknya cukup beragam. Bahkan menurut Myers, ada 39 macam istilah yang digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional.97 Dalam praktik, bentuk dan nama perjanjian internasional tersebut antara lain: treaty, convention, agreement, memorandum of understanding, protocol, charter, declaration, final act, arrangement, exchange of notes, agreed minutes, summary records, process verbal, modus vivendi, dan letter of intent. 98

Pasal 1 angka 1 UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional “Article 2.b of Vienna Convention on the Law of Treaties 1969”, hlm. 3 96 Penjelasan Umum UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional 97 Myers, 1957, The Names and Scope of Treaties, 51 American Journal of Internasional Law, page 546-547 98 Ibid. 94 95

71


Pemerintah Indonesia dapat mengikatkan diri kepada perjanjian internasional dengan beberapa cara, yaitu:99 1. penandatanganan; 2. pengesahan; 3. pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik; 4. cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional. Cara-cara lain yang disepakati para pihak dalam perjanjian internasional yang dimaksud di atas misalnya adalah simplified procedure, yaitu keterikatan secara otomatis pada perjanjian internasional apabila dalam masa tertentu tidak menyampaikan notifikasi tertulis untuk menolak keterikatannya pada suatu perjanjian internasional.100 Pengesahan perjanjian internasional ke dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dilakukan melalui beberapa mekanisme berikut:101 1. Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut. 2. Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Apabila Pemerintah Indonesia sudah mengikatkan diri kepada suatu perjanjian internasional, maka Indonesia terikat untuk melaksanakan perjanjian internasional tersebut. Mulai berlaku dan mengikatnya perjanjian internasional itu sejak �setelah memenuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut�,102 misalnya, �setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara-cara lain sebagaimana disepakati oleh para pihak pada perjanjian tersebut�.103 Penandatanganan VPA mendatangkan konsekuensi bahwa Indonesia harus menaati Agreement yang tertuang dalam VPA yang sudah disepakati antara RI dan UE. Jadi walaupun VPA ini sifatnya voluntary, tetapi ketika Indonesia sudah menyatakan kesepakatannya terhadap VPA, maka VPA itu akan mengikat Indonesia untuk melaksanakannya. Dilihat dari aspek

99 100 101 102 103

72

Pasal 3 UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional Penjelasan Pasal 3 UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional Pasal 9 UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional Pasal 15 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional Pasal 15 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional


hukum perjanjian, terdapat asas pacta sunt servanda, bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian wajib melaksanakan isi perjanjian sebagai undangundang di antara mereka. Oleh karena itu, memang perlu dipertimbangkan secara matang sebelum Indonesia memutuskan untuk menandatangani VPA, karena bila sudah menandatangani, maka akan ada konsekuensikonsekuensi yang menjadi kewajiban bagi Indonesia untuk memenuhinya. Oleh karena itu, text VPA perlu dicermati, kewajiban-kewajiban apakah yang harus dipenuhi Indonesia, dan yang lebih penting lagi adalah apakah Indonesia siap dan sanggup memenuhi kewajiban-kewajiban dalam VPA tersebut. VPA UE mempunyai risiko terhadap beberapa aspek dalam aktivitas perdagangan antara Indonesia dengan UE khususnya, dan dengan negara-negara lain pada umumnya. Risiko tersebut dapat dikategorisasikan ke dalam risiko terhadap ekonomi secara makro, dan risiko terhadap pengusaha lokal. Masing-masing risiko akan dipaparkan pada bagian di bawah ini.

B. Risiko Bagi Perdagangan Kayu Ke Uni Eropa Penandatanganan VPA akan berdampak pada perdagangan ekspor kayu dari Indonesia ke UE yang harus memenuhi persyaratan legalitas melalui suatu verifikasi, seperti yang dipersyaratkan dalam Agreement. Sebagaimana dikemukakan di bagian sebelumnya, bahwa dengan VPA, maka semua kayu yang masuk UE harus memenuhi skema lisensi, yaitu dari proses verifikasi mengenai aspek legalitas kayu, sampai kemudian diberikannya lisensi. Setelah kayu lolos dalam proses verifikasi, maka kayu dapat memperoleh lisensi untuk dapat diperdagangkan ke pasar UE. Sistem verifikasi yang dibentuk dan dikembangkan di Indonesia adalah Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sesuai ketentuan dalam VPA, maka semua kayu yang hendak diperdagangkan ke pasar UE harus memenuhi proses sistem verifikasi legalitas kayu di negara mitra yang bersangkutan. Bila di Indonesia, sistem verifikasi itu adalah SVLK. Hal yang perlu diperhatikan, apakah UE mengakui SVLK ini sebagai sistem yang sama atau memenuhi standar sebagaimana sistem due diligence di UE. Kalau sudah dianggap sama, tentu tidak perlu dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan sistem due diligence di UE. Jadi, dengan lolos dalam verifikasi melalui SVLK, maka tidak akan diverifikasi lagi dengan sistem due diligence di UE. Namun, bila SVLK di Indonesia dianggap belum memenuhi standar sistem due diligence UE, tentu harus ada perubahan-perubahan peraturan terkait sistem verifikasi yang harus disesuaikan dengan sistem due diligence UE. Perlu menjadi catatan bahwa proses verifikasi tentang legalitas kayu melalui sistem due diligence UE ini tidak sederhana. Kayu harus diverifikasi aspek legalitas-

73


nya mulai dari penanamannya sampai kepada cara-cara pemanenan dan perdagangannya. Adapun skema lisensinya meliputi tiga aspek berikut:104 1. Verifikasi untuk membuktikan bahwa pemanenan kayu, transportasi, dan perdagangannya telah memenuhi peraturan perundangundangan yang ditentukan; 2. Pelacakan (chain of custody) untuk memastikan bahwa kayu dari hutan sampai ke UE tanpa tercampur dengan kayu yang tidak jelas asal usulnya; 3. Penerbitan lisensi yang menunjukkan bahwa legalitas kayu telah diverifikasi. Untuk melakukan proses SVLK itu diperlukan waktu, dan biaya yang tidak sedikit. Pemerintah Indonesia harus menyediakan lembaga verifikasi kayu yang memenuhi standar yang ditetapkan oleh UE, yaitu dengan lembaga ketiga yang terakreditasi berupa independent monitoring. Indonesia baru mempunyai sekitar dua lembaga (Sucofindo dan Mal) yang diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).105 Jumlah ini tentu belum cukup untuk melakukan sistem verifikasi untuk legalitas kayu bagi industri kayu di seluruh Indonesia. Di samping itu, standar yang ingin diterapkan oleh UE dipandang sangat tinggi, mendasarkan pada ISO 170930, sementara Indonesia menginginkan agar standar cukup mendasarkan ISO 9500 atau ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Badan Revitalisasi Industri Kayu (BRIK).106 Tentu hal ini perlu dipertimbangkan, apakah Indonesia mampu memenuhi standar yang ditetapkan UE tersebut? Atau, Indonesia harus mampu menegosiasikan pemilihan standar yang hendak digunakan, agar standar yang dipakai tidak terlalu tinggi, sehingga Indonesia dapat memenuhinya. Terkait lembaga independent monitoring di atas, pengoperasian lembaga berikut stafnya tentu juga memerlukan biaya besar. Faktor sarana dan prasarana ini merupakan faktor kemahalan dalam perdagangan.107 Walaupun dalam FLEGT Action plan disebutkan bahwa akan ada dukungan teknis dan finansial dari UE terhadap SVLK, namun belum jelas dan pasti berapa jumlah dukungan tersebut. Mungkin saja dukungan UE memadai, tetapi

Siaran Pers, Ibid. Wawancara dengan Bp. Nandang Prihadi, 21 Juni 2010 di Kementerian Kehutanan RI, Jakarta 106 Ibid. 107 Wawancara dengan Bp. Ryanto Yosokumoro, 22 Juni2010 di Kementerian Perdagangan RI, Jakarta 104 105

74


mungkin juga tidak. Hal inilah yang perlu mendapatkan perhatian, mampukah Indonesia membentuk dan mengoperasikan lembaga SVLK secara baik sesuai standar UE. Kalau tidak, bukan tidak mungkin Indonesia tidak akan berhasil dalam memproses legalitas kayu Indonesia. Oleh karenanya, faktor kemampuan dan biaya ini perlu diperhitungkan, karena bukan tidak mungkin secara ekonomis, penandatanganan VPA dalam jangka pendek akan menjadi tidak menguntungkan bagi Indonesia. Berdasarkan uraian mengenai kemungkinan-kemungkinan terkait ketidaksamaan sistem regulasi verifikasi kayu, penggunaan standar verifikasi nya, maupun masalah pendanaan bagi lembaga independent monitoring di atas, penandatanganan VPA diprediksikan mengandung risiko terhadap berkurangnya ekspor kayu Indonesia ke UE. Hal ini dapat disebabkan oleh perlunya upaya dan waktu bagi penyesuaian sistem verifikasi legalitas kayu di Indonesia dengan DDR UE, perlunya kemampuan dan waktu untuk pemenuhan standar verifikasinya, maupun usaha pendanaan yang memenuhi untuk pembentukan maupun pengoperasian lembaga independent monitoring. Namun demikian, hal tersebut dapat dikatakan sifatnya adalah jangka pendek, ketika sudah terbentuk sistem verifikasi yang se suai dan memenuhi standar, serta sudah terbentuk lembaga independent monitoring yang tercukupi pendanaannya, maka risiko terhadap perdagangan kayu itu akan hilang. Perdagangan kayu ke UE dalam jangka panjangnya justru diprediksikan akan meningkat, karena produk kayu Indonesia sudah memenuhi persyaratan lisensi UE sehingga dapat diterima di pasar UE.

C. Risiko Bagi Pengusaha Lokal Penandatanganan VPA dapat berpotensi terhadap risiko kerugian bagi pengusaha lokal Indonesia. Risiko-risiko tersebut antara lain meliputi: 1. Proses lama VPA memerlukan proses legalitas melalui sistem verifikasi (SVLK) yang memerlukan proses yang panjang. Hal ini dikarenakan, pengusaha harus melalui verifikasi legalitas kayu mulai dari verifikasi legalitas bibit kayu sampai kepada verifikasi legalitas pemanenan kayu beserta transportasinya ke UE. Proses yang panjang tersebut harus dilalui agar pengusaha mendapatkan lisensi sehingga kayu yang akan diekspor dari Indonesia dapat masuk ke pasar UE. Dalam kerangka verifikasi ini, perlu dibentuk suatu lembaga dari pihak ketiga terakreditasi yang akan bertindak sebagai independent monitoring terhadap SVLK. Saat ini baru ada dua lembaga yang terakreditasi oleh KAN, jadi perlu diupayakan untuk mewu-

75


judkan lembaga ketiga yang terakreditasi untuk berfungsi dalam independent monito ring tersebut. Selain itu, standar verifikasi legalitas kayu yang diminta oleh UE sangat tinggi, mendasarkan ISO 170930, sementara Indonesia menginginkan agar standar cukup mendasarkan ISO 9500 atau ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Badan Revitalisasi Industri Kayu (BRIK). Jadi, pengusaha harus mampu memenuhi standar yang tinggi itu. 2. Biaya tinggi Selain waktu yang lama, pelaksanaan VPA juga memerlukan biaya tinggi. Pendanaan ini diperlukan dalam rangka memenuhi proses verifikasi sampai dengan sertifikasi yang panjang, serta untuk mencapai standar tinggi yang ditetapkan oleh UE. Biaya ini biasanya akan termasuk ke dalam production cost, sehingga kemungkinan akan mempengaruhi tingginya harga kayu ekspor Indonesia. Biaya tinggi yang diperlukan untuk memenuhi skema sertifikasi kayu yang mahal ini tentu akan berdampak kepada pengusaha atau petani kecil. Diprediksikan bahwa petani-petani kecil tidak akan mampu menjangkau biaya tersebut, dan ini tentunya menjadi persoalan tersendiri di dalam negeri. 3. Diskriminasi perlakuan Sampai dengan diberlakukannya sistem due diligence regulation (DDR) pada 2013 di UE, masih dimungkinkan adanya potensi hambatan berupa ekspor kayu dan produk kayu ilegal ke UE yang dilakukan melalui negara-negara yang tidak ikut menandatangani VPA. Negara non mitra dagang UE tidak diwajibkan untuk melalui proses verifikasi (SVLK) sebagaimana halnya di negara-negara mitra dagang yang memang terikat untuk melaksanakan kesepakatan dalam VPA. UE tidak dapat secara langsung menangani persoalan perdagangan kayu ilegal dari negara-negara non mitra dagang ini karena terdapat aturan-aturan perdagangan internasional yang ditetapkan oleh WTO108 yang tidak memungkinkan UE untuk mengambil tindakan secara sepihak. Selain itu, dimungkinkan pula adanya diskriminasi terhadap isi ketentuan dalam VPA UE dengan negara-negara mitra lainnya, misalnya Ghana, Cameron, dan sebagainya. Misalnya saja, keten-

108

76

“Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Perdagangan�, Ringkasan Kebijakan 2 EFI (European Forest Institue), Fasilitas FLEGT UE, EFIPolicybrief2innet1.pdf


tuan VPA terkait standar verifikasi legalitas kayu di Ghana lebih mudah bila dibandingkan dengan standar verifikasi legalitas kayu di dalam ketentuan VPA dengan Indonesia. Oleh karenanya, perlu dipastikan akan tidak adanya perlakuan yang berbeda terhadap negara mitra dalam VPA UE. Perlu diketahui isi ketentuan VPA UE dengan negara mitra lainnya. Bila ternyata ada perbedaan ketentuan VPA, Indonesia harus memperjuangkan untuk adanya persamaan perlakuan antara VPA UE-Indonesia dengan VPA UE dengan negara-negara mitra lainnya.

D. Risiko Secara Ekonomi Makro Bagi ekonomi secara makro, VPA UE akan berdampak pada hal-hal berikut: 1. Perubahan pada pasar atau struktur perdagangan Sampai tahun 2013, VPA akan menjadikan pasar perdagangan kayu UE tidak bebas lagi. VPA ini ibaratnya adalah suatu tata niaga. Dengan VPA, akan ada barrier to entry ke pasar UE bagi negara mitra penandatangan VPA, karena kayu yang dapat masuk dan diperdagangkan di pasar UE oleh negara mitra hanyalah kayu yang sah atau legal, yang sudah mendapatkan lisensi. Dengan demikian, kayu-kayu yang tidak mendapatkan lisensi, yang notabene adalah kayu illegal, tidak akan dapat masuk pasar UE. Sementara, terhadap kayu-kayu yang mungkin saja ilegal dari negara-negara non mitra (tidak menandatangani VPA) kemungkinan belum akan diterapkan sistem verifikasi legalitas kayu tersebut. Jadi, adanya VPA ini justru menciptakan hambatan pasar bagi produk kayu untuk masuk dan diperdagangkan di UE yang akan mempengaruhi struktur pasar dan perdagangan kayu di UE. 2. Isolasi sosial Dilihat dari aspek sosial, akan tercipta asumsi bahwa kayu yang dapat masuk ke pasar UE adalah kayu yang legal dan berkualitas, karena memenuhi aspek legalitas yang telah dipersyaratkan. Sementara sebaliknya, kayu yang tidak memperoleh lisensi dan tidak dapat masuk ke pasar UE akan dianggap sebagai kayu ilegal, yang mungkin merupakan produk yang berasal dari illegal logging. Jadi secara sosial akan terjadi gap, antara kayu legal dari negara yang bebas dari kegiatan illegal logging, dengan kayu ilegal dari negara yang masih lekat dengan kasus illegal logging, seperti Indonesia. Selain itu, negara yang tidak menandatangani VPA akan mendapatkan cap sebagai negara yang tidak kooperatif dalam memberantas illegal logging

77


maupun dalam mewujudkan tata kelola hutan yang baik. Lebih lanjut, persyaratan legalitas kayu berdasarkan VPA kemungkinan hanya akan dapat dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan besar yang memang sudah mene rapkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), sehingga banyak perusahaan-perusahaan kecil serta petani-petani rakyat yang kesulitan memenuhi standar persyaratan legalitas kayu VPA. Akibatnya tentu saja adalah perusahaan kecil dan petani kecil tidak dapat berpartisipasi dalam perdagangan ekspor kayu ke UE. 3. Kelemahan finansial Keputusan untuk menandatangani ataukah tidak menandatangani dokumen VPA juga dapat menciptakan indikasi mengenai kuat lemahnya kondisi finansial suatu negara. Sebagaimana disadari, penerapan VPA mensyaratkan adanya sistem verifikasi legalitas kayu yang perlu dipenuhi dengan adanya verifikasi atau due diligence yang tidak sederhana dan memerlukan biaya besar. Biaya ini diperlukan dalam rangka pembentukan dan pengoperasian lembaga licensing authorities serta independent (third party) monitoring body, yang nantinya lembaga pertama akan melakukan proses sertifikasi, dan lembaga kedua akan melakukan independent monitoring terhadap pelaksanaan sistem verifikasi legalitas kayu. Biaya untuk pembentukan serta operasional lembaga tersebut tentu tidak sedikit. Jadi, negara yang tidak mempunyai kemampuan secara finansial pasti akan berpikir apakah dengan menandatangani VPA kemudian akan mendatangkan kemanfaatan secara finansial atau justru akan merugikan secara finansial. 4. Marginalisasi politik VPA juga dapat berpotensi menimbulkan marginalisasi politik. Bahwa dengan VPA ini UE akan campur tangan (intervene) dalam policy tata kelola hutan di Indonesia, juga turut serta dalam policy pemberantasan illegal logging di Indonesia. Secara ekstrim, dikatakan bahwa pemerintah dalam kebijakannya memberantas illegal logging dan menatakelola hutan akan diatur oleh UE. Apakah Indonesia rela menerima kondisi ini, di mana policy bidang kehutanan di Indonesia dicampuri oleh UE?

78


7 Kemanfaatan penandatanganan VPA bagi Indonesia

79


80


SELAIN DAMPAK atau risiko yang mungkin muncul, di sisi lain penandatanganan VPA juga berpotensi mendatangkan keuntungan atau kemanfaatan bagi Indonesia. Kemanfaatan tersebut antara lain meliputi:109

A. Kemanfaatan bagi usaha pemberantasan illegal logging Illegal logging (pembalakan liar) di Indonesia telah menimbulkan kerusakan lingkungan hidup maupun sosial, dan merugikan pemerintah secara finansial dengan hilangnya potensi pendapatan berkisar sepuluh milyar dollar per tahun. Pemerintah Indonesia sangat concern untuk memerangi aktivitas illegal logging di Indonesia, yang notabene telah menimbulkan kerugian besar terhadap kelestarian hutan dan alam, serta hilangnya potensi pendapatan negara yang sebenarnya dapat dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Pemerintah Indonesia bahkan telah mengadakan kerjasama dengan negara-negara atau lembaga lain dalam rangka upaya pemberantasan illegal logging ini. Dalam KTT G8 tahun 1998 disepakati Action Program on Forest, sebuah aksi mengenai langkahlangkah penanganan illegal logging yang kemudian diterima dan diterapkan di Indonesia.110 Penandatanganan VPA oleh Indonesia secara internal bagi Indonesia akan sangat menguntungkan Indonesia, karena akan membantu program pemberantasan illegal logging di Indonesia. Penandatanganan VPA ini merupakan alat-alat penegakan hukum tambahan yang diperlukan untuk memberantas kegiatan illegal logging (pembalakan liar) di Indonesia.

109

110

Seri Catatan Pengarahan FLEGT 2007 Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Bidang Kehutanan, Catatan Pengarahan 2007 Nomor 6, Seri 2007, hlm. 23 Seri Catatan Pengarahan FLEGT 2007 Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Bidang Kehutanan, Seri 2007,Catatan Pengarahan Nomor 1-7, hlm. 1

81


Penandatanganan VPA, secara khusus, akan mendorong Indonesia untuk bersikap dan bertindak lebih tegas lagi terhadap aktivitas illegal logging di Indonesia. Indonesia harus dapat melakukan dan menjamin law enforcement yang tinggi di Indonesia, dengan cara memberikan sanksi tegas terhadap oknum pelaku illegal logging. Hal ini karena Indonesia dituntut untuk dapat menjaga legalitas kayu, dari sejak penanaman sampai dengan legalitas pemanenan bahkan pengangkutan kayu di wilayah Indonesia. Indonesia harus memenuhi tuntutan legalitas tersebut, sehingga mau tidak mau Indonesia harus meningkatkan kinerjanya dalam pemberantasan illegal logging di bumi Pertiwi. Selain itu, penandatanganan VPA oleh Indonesia akan meningkatkan citra Indonesia di mata internasional. Citra Indonesia terhadap komitmen untuk memberantas illegal logging dan perdagangan kayu ilegal akan dikenal dan diakui oleh negara UE khususnya. Dengan penandatanganan VPA dan implementasinya kemudian, maka Pemerintah Indonesia akan dikenal sebagai salah satu pemerintah yang aktif dalam mempromosikan dan memberantas tindakan illegal logging yang sangat merugikan bagi Indonesia, juga masyarakat dunia. Dalam bidang perdagangan kayu, produk kayu Indonesia akan dikenal sebagai kayu legal, yang memenuhi standar mutu dan kualitas yang dipersyaratkan oleh pasar UE.

B. Kemanfaatan bagi peningkatan tata kelola hutan Sebagaimana telah dipaparkan di depan, bahwa salah satu bidang tujuan FLEGT Action plan adalah pemberian dukungan terhadap negara-negara penghasil kayu. Dukungan tersebut berupa penyediaan dukungan finansial dan teknis serta saran bagi negara-negara penghasil kayu untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu:111 1. Struktur tata pemerintahan yang lebih baik, dan pengembangan sistem verifikasi yang dapat diandalkan di mana penegakan undang-undang kehutanan lemah; 2. Reformasi kebijakan yang berfokus pada undang-undang dan peraturan yang cocok bagi negara yang bersangkutan, dan sebagai jalan bagi semua pihak terkait untuk dapat mengikuti dialog tentang kebijakan;

111

82

Ibid., hlm. 2


3. Transparansi dan pertukaran informasi yang ditingkatkan antara negara-negara produsen dan konsumen, termasuk dukungan bagi pemantauan hutan independen; 4. Pembinaan kapasitas dan pelatihan di negara-negara produsen, termasuk dukungan bagi lembaga pemerintahan dalam pelaksanaan prosedur tata pemerintahan yang baru; 5. Dukungan bagi pengembangan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan pemberdayaan masyarakat setempat untuk membantu pembalakan liar. Dalam rangka memerangi illegal logging, VPA secara khusus diarahkan untuk dapat meningkatkan tata kelola kehutanan di negara peserta.112Dengan demikian, terkait program tata kelola hutan di Indonesia, penandatanganan VPA oleh Indonesia akan memberikan dampak positif terhadap pemantapan reformasi pemerintah dari segi politik dan keuangan yang diarahkan untuk meningkatkan tata kelola kehutanan. Sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, Indonesia telah menerima Action Program on Forest pada tahun 1998, serta mempunyai komitmen untuk memberantas illegal logging di Indonesia yang kemudian dituangkan ke dalam joint statement RI-UE terkait FLEGT VPA pada tahun 2007, yang pada intinya menyepakati untuk memerangi illegal logging dan mewujudkan tata kelola hutan yang baik.113 Selain itu, penandatanganan VPA akan berpotensi memberikan performance tata kelola produk kayu yang lebih efektif di Indonesia. Tata kelola hutan yang selama ini diterapkan di Indonesia, tata kelola hutan lestari, juga sistem verifikasi berupa sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) harus terus dijalankan dengan benar. Dengan tata kelola hutan yang baik, akan terwujud potensi peningkatan performance pemerintah Indonesia dalam rangka memberantas aktivitas pelanggaran di bidang kehutanan di Indonesia, seperti illegal logging. Pemerintah Indonesia harus bertindak lebih aktif dan kontinue di dalam mewujudkan tata kelola hutan lestari, sehingga managemen pengelolaan hutan di Indonesia menjadi lebih baik, dan produk kayu legal yang dipersyaratkan oleh UE juga dapat terpebuhi. Lebih lanjut, penandatanganan VPA memungkinkan manfaat diperolehnya prioritas untuk bantuan dari UE bagi langkah-langkah yang berkaitan dengan FLEGT. Secara khusus, Indonesia akan memperoleh bantuan sistem

112 Ibid., hlm. 3 113 Ibid.

83


pengawasan penatausahaan hasil hutan berbasis teknologi (online monitaring system) secara teknis. Dengan penandatanganan VPA, maka akan ada kemanfaatan yang diperoleh oleh stakeholders terkait, karena akan diberikan bantuan secara teknis dari UE dalam rangka pelembagaan sistem verifikasi untuk memberikan status legalitas kayu di Indonesia. Bantuan teknis ini tentu merupakan sesuatu yang berharga bagi Indonesia agar di kemudian hari Indonesia akan sanggup melakukan sistem verifikasi kayu dengan standar yang ditetapkan oleh UE. Namun demikian, perlu pula Indonesia bersikap hati-hati dalam menanggapi bantuan tersebut, apakah ini merupakan bantuan terselubung, yang mengandung maksud dan tujuantujuan tertentu, ataukah ini merupakan bantuan murni. Penandatanganan VPA oleh Indonesia juga akan menjadi suatu kerangka fondasi yang akan memfasilitasi operator swasta untuk maju ke sertifikasi pengelolaan hutan berkelanjutan. Sebagaimana diketahui, dalam VPA ada skema lisensi yang disediakan oleh UE bagi operator yang akan memasukkan kayu ke UE melalui suatu due diligence. Adapun skema lisensi tersebut adalah sebagai berikut:114 1. Verifikasi untuk membuktikan bahwa pemanenan kayu, transportasi, dan perdagangannya telah memenuhi peraturan perundangundangan yang ditentukan; 2. Pelacakan (chain of custody) untuk memastikan bahwa kayu dari hutan sampai ke UE tanpa tercampur dengan kayu yang tidak jelas asal usulnya; 3. Penerbitan lisensi yang menunjukkan bahwa legalitas kayu telah diverifikasi. Di samping kemanfaatan seperti tersebut di atas, penandatanganan VPA juga berpotensi meningkatkan reputasi internasional bagi komitmen pemerintah Indonesia untuk menyediakan tata kelola hutan yang baik. Manajemen tata kelola hutan di Indonesia akan dikenal dan diakui sebagai managemen tata kelola hutan yang telah disesuaikan dengan standar tata kelola hutan yang dilaksanakan oleh negara-negara maju, dalam hal ini UE. Oleh karenanya, tata kelola hutan di Indonesia juga akan diakui secara internasional, paling tidak di negara-negara anggota UE.

114

84

Ibid., hlm. 2


C. Kemanfaatan bagi perdagangan kayu ke Uni Eropa Sebagaimana tertera dalam Action plan FLEGT, bidang tujuan Action plan tersebut di antaranya adalah untuk mengadakan kegiatan-kegiatan untuk peningkatan perdagangan kayu legal. Dalam VPA, secara khusus ditekankan bahwa salah satu hasil yang diharapkan VPA adalah meningkatkan akses ke pasar UE untuk kayu dari negara-negara mitra.115 Oleh karenanya, penandatanganan VPA oleh Indonesia akan berpotensi meningkatkan peluang akses perdagangan kayu Indonesia ke pasar UE. Akses pasar perdagangan kayu Indonesia akan terbuka ke 27 negara anggota UE, karena negara-negara UE secara logis akan menerima ekspor kayu dari Indonesia setelah melalui proses verifikasi (SVLK) di Indonesia yang telah dipersyaratkan dalam VPA. Dengan demikian, akan ada jaminan bahwa bila produk kayu Indonesia sudah lolos proses verifikasi SVLK, maka kayu Indonesia akan diterima di pasar UE. Produk kayu Indonesia tidak lagi harus memenuhi due diligence FLEGT UE, karena sudah memenuhi proses verifikasi SVLK di Indonesia tersebut. Hal yang perlu dipastikan adalah agar UE dapat menerima dan mengakui SVLK di Indonesia sebagai sistem yang sama dengan due diligence system yang diterapkan di UE, sehingga tidak perlu menerapkan standar baru di Indonesia, tetapi cukup SVLK yang selama ini dipraktikkan. Kebijakan pengadaan publik dan swasta semakin memperinci penggunaan kayu legal dan pengeluaran kayu yang tidak teridentifikasi atau liar, karena semua yang diimpor ke UE akan dianggap legal. Potensi peluang bagi perdagangan kayu Indonesia untuk dapat masuk ke pasar Eropa ini tentu saja akan menjadi sarana untuk membantu mempromosikan produk kayu hasil hutan Indonesia ke UE sehingga produk kayu Indonesia akan dikenal diakui di negara-negara UE, serta menjamin diterimanya produk kayu Indonesia di pasar UE. Selain kemanfaatan di atas, keikutsertaan Indonesia sebagai mitra UE akan berpotensi untuk dapat mencegah negara lain dapat mengekspor kayu ilegal dari Indonesia ke negara UE. Penandatanganan VPA rasionya akan menghambat perdagangan kayu illegal yang diekspor oleh negara lain, yang mungkin sebenarnya, berasal dari Indonesia. UE rasionya juga hanya akan menerima kayu legal saja dari negara-negara, dengan sistem penyaringan berupa due diligence system berdasarkan due diligence regulation (DDR). Jadi dengan penandatanganan VPA maka seharusnya hanya kayu Indonesia yang diekspor oleh pengusaha Indonesia saja yang dapat masuk ke pasar UE. 115

Ibid., hlm. 3

85


D. Kemanfaatan bagi pengusaha lokal Penandatanganan VPA memungkinkan pengusaha Indonesia untuk dapat mengekspor kayu ke UE dengan cukup memenuhi sistem verifikasi legalitas kayu berdasarkan SVLK di Indonesia, dan tidak perlu melewati proses due diligence regulation (DDR) di UE. Oleh karenanya, bila Indonesia menandatangani VPA, akan menjadi keuntungan bagi pengusaha. Ini dikarenakan, kalau menjadi peserta VPA, maka proses verifikasi adalah menurut SVLK di Indonesia, sebagaimana yang selama ini sudah diterapkan, tetapi kalau tidak menjadi peserta VPA, maka proses verifikasinya melalui due diligence system di UE, yang mungkin risikonya akan lebih besar, karena bila tidak lolos verifikasi, maka kayu ditolak untuk masuk UE, padahal kayu sudah berada di UE, sehingga dapat diprediksi berapa besar kerugian yang akan menjadi tanggungan pengusaha. Jadi, bukan berarti bahwa bila tidak menandatangani VPA maka pengusaha menjadi terhindar dari kewajiban lolos verifikasi legalitas kayu. Mengikuti VPA atau tidak, pengusaha Indonesia tetap wajib untuk melewati proses verifikasi legalitas kayu. Bagi industri yang telah berorientasi pasar, sebenarnya SVLK tidak menjadi masalah. Karena perusahaan telah mempunyai certificate. Perusahaan memerlukan SVLK ini karena pasar mempersyaratkan atau meminta demikian. Artinya, bila dihitung dari aspek ongkos produksi seharusnya tidak menjadi masalah bagi perusahaan, karena ini merupakan permintaan (demand) dari pasar. Kalau perusahaan tidak dapat memenuhinya, sebagai konsekuensinya produk kayu tidak akan diminati dan diterima pasar. Pada akhirnya pengusaha harus mengikuti keinginan pasar. Keikutsertaan Indonesia dalam VPA UE ini juga akan menguntungkan pengusaha lokal yang hendak mengekspor kayunya ke negara lain selain UE, karena dalam perkembangannya, persyaratan legalitas kayu ini tidak hanya dipersyaratkan oleh UE, tetapi juga oleh Amerika Serikat (dengan Lacey Act-nya), ataupun juga oleh Jepang. Pada perkembangannya, persyaratan akan legalitas kayu ini akan dipersyaratkan juga oleh negara-negara pengimpor yang aware terhadap aspek legalitas produk. Jadi, pemenuhan persyaratan verifikasi legalitas kayu Indonesia ini sekaligus dapat juga untuk memenuhi persyaratan verifikasi legalitas kayu yang hendak diekspor ke negara-negara lain dengan perbedaan yang mungkin tidak cukup significant. Jadi ibaratnya, sambil menyelam minum air. Selain kemanfaatan tersebut, penandatanganan VPA yang mempersyaratkan perdagangan kayu legal ini mendatangkan kemanfaatan dalam meningkatkan business environment di Indonesia. Akan ada potensi penciptaan atau peningkatan lingkungan bisnis yang sehat dan kondusif bagi pen-

86


gusaha kayu Indonesia. Dengan adanya tuntutan untuk memperdagangkan kayu legal, maka pengusaha kayu Indonesia seharusnya akan mematuhi peraturan yang ada, menjalankan bisnis dengan jujur dan sehat, tanpa melakukan pelanggaran hukum maupun persaingan usaha yang tidak sehat (unfair business competition). Itikad baik, kejujuran dan kemurnian dalam menjaga mutu dan kualitas produk ditengarai sebagai tips penting yang dapat melanggengkan relasi antara perusahaan dan pelanggan. Terkait penciptaan business environment yang baik ini, pengusaha juga dituntut untuk dapat menerapkan good corporate governance dalam mengelola bisnisnya. Tata kelola perusahaan yang baik tentu akan dapat memenuhi aspek legalitas kayu, dan menghindari tindakan-tindakan yang tidak benar, seperti illegal logging. Lebih lanjut, good corporate governance akan dapat menjamin kelangsungan hidup perusahaan dan kelanggengan usaha di tengah-te ngah stakeholders. Sedikit menengok kembali pada peristiwa krisis moneter tahun 1998 yang lalu, ditengarai bahwa collaps-nya banyak perusahaan di Indonesia adalah karena tata kelola perusahaan yang buruk. Jadi, good corporate governance adalah kunci dalam menjalankan bisnis agar tetap eksis. Dari hasil penelitian di lapangan, diketahui bahwa SVLK sebenarnya merupakan turunan dari ISO 9000— yang intinya Anda harus mencatat apa yang ingin Anda lakukan dan melakukan apa yang Anda catat.116 Oleh karenya, SVLK bukan merupakan hambatan bila perusahaan sudah menerapkan good corporate governance.

E. Kemanfaatan secara ekonomi makro VPA diarahkan untuk dapat meningkatkan pendapatan yang diperoleh oleh pemerintah negara mitra. Sebagaimana disebutkan di depan, bahwa kegiatan illegal logging di Indonesia telah merugikan negara begitu besar, kira-kira sepuluh milyar dollar per tahun. Hal ini tentu menjadi kerugian secara finansial yang sangat besar bagi Indonesia. Dengan penandatanganan VPA, yang mempromosikan pemberantasan illegal logging dan perdagangan kayu legal, maka dapat diperkirakan potensi pencegahan terhadap kerugian negara, dan perolehan pendapatan bagi negara. Secara sederhana, bila illegal logging di Indonesia berhasil diberantas, maka potensi kerugian sebesar sepuluh milyar dollar dapat dicegah, dan sebaliknya, negara akan berpotensi mendapatkan tambahan pendapatan sejumlah sepuluh milyar per tahun.

116

Wawancara dengan Bp. Nandang Prihadi, 21 Juni 2010 di Kementerian Kehutanan RI, Jakarta

87


Selain itu, keikutsertaan Indonesia menjadi negara mitra dagang UE akan berpotensi meningkatkan pendapatan dari pajak dan bea yang diterapkan dalam perdagangan ekspor kayu. Dalam kasus tertentu pendapatan dari sektor ini dapat melebihi biaya yang berkaitan dengan pengoperasian sistem perijinan. Potensi peningkatan pendapatan negara tersebut pada akhirnya dapat dipergunakan untuk berbagai macam program untuk kesejahteraan masyarakat, misalnya, program pengurangan kemiskinan dan program pembangunan masyarakat. Dengan demikian, kehidupan ekonomi dan kesejahtraan masyarakat diharapkan dapat meningkat. Dari aspek hubungan kerjasama dengan UE, penandatanganan VPA oleh Indonesia berpotensi untuk meningkatkan hubungan bilateral Republik Indonesia-UE. VPA yang merupakan bagian dari program kerjasama bilateral antara UE dengan negara penandatangan itu akan berpotensi menciptakan hubungan bilateral UE dan Indonesia, khususnya di bidang perdagangan dapat meningkat.

F. Kemanfaatan bagi masyarakat Penandatanganan VPA oleh Indonesia berpotensi mendatangkan kemanfaatan bagi masyarakat. Kemanfaatan ini berupa penguatan kemampuan masyarakat Indonesia agar terlepas dari kegiatan illegal logging. Kegiatan pemberantasan illegal logging dan tata kelola hutan yang baik dari pemerintah Indonesia juga akan berpotensi meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi dalam program pemerintah memerangi aktivitas illegal logging dan mendukung program tata kelola hutan yang baik dari pemerintah. Di samping itu, VPA yang erat fungsi dan tujuannya dengan pengelolaan hutan lestari akan memberikan manfaat kepada masyarakat, karena dalam pengelolaan hutan lestari, hak-hak masyarakat diperhatikan. Ada persyaratan yang ditentukan dalam hal mengusahakan hutan dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat sekitarnya (community), mempertahankan alam dan lingkungan, mencegah degradasi hutan, serta memperhatikan persyaratan-persyaratan untuk tetap terwujudnya kelestarian sumber daya hutan. Keikutsertaan Indonesia sebagai negara mitra perdagangan kayu UE juga akan berpotensi meningkatkan kesadaran masyarakat dan pelaku usaha terhadap kebutuhan pasar akan kayu legal. Penandatangan VPA juga ber-

88


potensi untuk dapat menyadarkan masyarakat akan pentingnya aspek legalitas kayu yang merupakan sesuatu hal yang penting dan dijunjung tinggi oleh negara-negara UE serta negara-negara maju lainnya.

89


90


8 Kesiapan Indonesia dalam rangka implementasi VPA

91


92


A. Kewajiban Indonesia dalam draft VPA Draft VPA terdiri dari 32 pasal. Dari jumlah pasal tersebut terdapat beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Indonesia, antara lain: 1. Pembentukan Licensing Authority. 2. Verifikasi Legalitas Kayu 3. Pembentukan Third Party Monitoring 4. Pembentukan Indipendent Market Monitoring 5. Penerapan lisensi FLEGT terhadap kayu yang diimpor ke Indonesia. 6. Social Safeguard 7. Pembentukan Joint Implementation Committee 8. Pelaporan dan Keterbukaan Informasi Terhadap Publik 9. Menjaga kerahasian informasi 1. Pembentukan Licensing Authority Sebagaimana telah disebutkan pada Bab V bahwa, “Licensing Authority means the authorities designated by Indonesia to issue and validate FLEGT lincences�. Dengan demikian, Indonesia diwajibkan untuk membentuk suatu lembaga yang nantinya bertugas untuk mengeluarkan dan mensahkan lisensi FLEGT, yang bertugas antara lain menverifikasi produk kayu telah diproduksi secara legal, menerbitkan lisensi FLEGT dan mempertahankan prosedur penerbitannya, membuat dan mendokumentasikan semua catatan semua pengiriman produk kayu dan membukanya bagi independent monitoring. 2. Melakukan Verifikasi Legalitas Kayu Dalam Pasal 8 Draft VPA disebutkan bahwa Indonesia berkewajiban antara lain: a. Menerapkan suatu sistem untuk menverifikasi bahwa kayu yang diekspor ke Uni Eropa merupakan kayu yang telah diproduksi

93


secara legal serta memastikan hanya kayu yang demikian yang akan diekspor ke Uni Eropa. b. Sistem verifikasi tersebut termasuk juga pengecekan atas kesesuaian untuk menjamin bahwa kayu yang diekpor ke Eropa telah diproduksi secara legal. Lisensi FLEGT tidak akan diterbitkan apabila kayu diproduksi secara ilegal atau berasal dari sumber yang tidak jelas. c. Sistem verifikasi tersebut termasuk juga prosedur untuk memastikan bahwa kayu ilegal atau yang tidak jelas asal-usulnya tidak masuk dalam rantai pasokan. 3. Pembentukan third party monitoring Dalam Pasal 10 Ayat (2) Indonesia diperintahkan untuk membentuk suatu lembaga yang disebut dengan Third Party Monitoring, yaitu suatu entitas atau lembaga yang tidak mempunyai konflik kepentingan dengan organisasi atau pun hubungan komersial dengan komunitas ataupun Lembaga Kehutanan Indonesia, LA, atau tiap lembaga yang terkait dengan LA, untuk menverifikasi kayu secara legal atau tiap operator komersial dalam bidang kehutanan. Third Party Monitoring akan beroperasi dengan struktur dokumen yang terdokumentasi, kebijakan serta prosedur yang terbuka untuk memenuhi ketentuan best practice yang diterima secara Internasional berdasarkan ISO 17021 dan ISO 19011. Third Party Monitoring mempersiapkan laporan secara berkala dan summary. Untuk kegiatan Third Party Monitoring tersebut, Indonesia bersama dengan Uni Eropa akan memfasilitasi pekerjaan mereka dengan memastikan Third Party Monitoring mempunyai akses atas informasi dari kedua belah pihak untuk melaksanakan fungsi atau kewenangannya. Namun, apabila ketentuan perundang-undangan (legislasi) nasional Indonesia menyatakan bahwa informasi tersebut tidak boleh diungkap, maka Indonesia dapat menahan informasi tersebut. 4. Pembentukan independent market monitor Dalam Pasal 11 Draft VPA disebutkan bahwa Indonesia akan menyediakan jasa Independent Market Monitor dalam konsultasi dengan Uni Eropa, sebagaimana tersebut dalam Annex VII, yang melaksanakan jasa dan mempersiapkan laporan.

94


5. Penerapan lisensi FLEGT terhadap kayu yang diimpor ke Indonesia Dalam Pasal 14 Draft VPA disebutkan antara lain bahwa Indonesia wajib berusaha untuk menverifikasi legalitas bahwa kayu yang di eksport ke negara di luar Uni Eropa dan kayu diperdagangkan dalam pasar domestik, serta yang diimpor, sedapat mungkin menggunakan sistem yang dikembangkan dalam pelaksanaan perjanjian ini. 6. Pelibatan pemangku kepentingan dalam penerapan VPA Ketentuan Pasal 17 Draft VPA menyebutkan antara lain bahwa Indonesia akan senantiasa berkonsultasi secara berkala dengan semua pemangku kepentingan dalam pelaksanaan VPA ini dalam hal promosi program, modality, dan strategi-strategi dalam rangka pelaksanaan perjanjian ini. 7. Social safeguard Dalam Pasal 18 Draft VPA disebutkan bahwa untuk menimalisasi kemungkinan dampak buruk dari perjanjian ini, maka para pihak setuju untuk mengembangkan kesepahaman yang lebih baik potensi dampak buruk terhadap kehidupan masyarakat asli dan lokal serta dampak buruk terhadap industri kayu. Selain itu, Indonesia bersama dengan Uni Eropa akan memonitor dampak dari perjanjian ini dan segera mengambil tindakantindakan untuk dapat mengurangi dampak buruk tersebut. 8. Pembentukan Joint Implementation Committee Dalam Pasal 20 Draft VPA disebutkan antara lain: a. Bahwa para pihak akan membentuk Joint Implementation Committee yang bertugas untuk memfasilitasi untuk memonitor dan mereview pelaksanaan perjanjian ini. b. JIC akan concern terhadap hal-hal yang berhubungan dengan keefektifitasan pelaksanaan perjanjian ini dengan cara dialog dan saling tukar informasi antara para pihak. c. Secara khusus JIC akan: 1. Melakukan evaluasi dan monitor menyeluruh terhadap pelaksanaan VPA termasuk TLAS 2. Menilai manfaat dan hambatan yang berasal dari pelaksanaan VPA dan memutuskan dengan tindakan-tindakan pemulihan. 3. Mengevaluasi hambatan-hambatan tentang kegiatan Skim Lisensi FLEGT.

95


4. Memediasi dan menyelesaikan konflik dan sengketa yang mungkin timbul selama pelaksanaan VPA. 5. Menentukan waktu dan jadwal pelaksanaan VPA secara penuh termasuk TLAS. 6. Menyetujui laporan kemajuan VPA untuk publikasi 7. Mempertimbangkan studi atau tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk memperkuat pelaksanaan VPA. 8. Memutuskan persyaratan teknis dan keuangan dalam pelaksanaan VPA. 9. Memutuskan untuk membentuk subsidiary bodies. 9. Pelaporan dan keterbukaan informasi terhadap publik Dalam Pasal 21 Draft VPA disebutkan bahwa para pihak akan memastikan bahwa pekerjaan JIC secara transparan mungkin dan melaporkan, mendiskusikan, dan mendistribusikan kepada para pihak dan kepada publik. 10. Menjaga kerahasiaan informasi Ketentuan dalam Pasal 23 Draft VPA menyebutkan bahwa setiap pihak setuju untuk menjaga, yang melebihi yang dipersyaratkan berdasarkan peraturan negaranya, atas informasi yang bersifat rahasia. Tiap pihak tidak akan membuka informasi tersebut kepada publik dan tidak juga kepada otoritas yang berwenang, apabila ketentuan perundang-undangan menyatakan bahwa hal tersebut rahasia dagang atau informasi komersial yang bersifat rahasia.

B. Ketentuan verifikasi legalitas kayu di Indonesia 1. Pengaturan dan pengertian verifikasi legalitas kayu Untuk melaksanakan Tata Kelola Kehutanan (Forest Governance), penegakan hukum (law enforcement) dan promosi perdagangan kayu legal (trade) maka dikembangkan Sistem Jaminan Legalitas Kayu (Timber Legality Assurance System/TLAS) yang disebut dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dengan melibatkan para pihak (multistakeholder). Di Indonesia ketentuan SVLK tersebut dapat ditemukan dalam Permenhut No. P. 38/MenhutII/, Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.6/VISet/2009 Tentang Standard an Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu (“Perdirjen BPK No. 6/VI-Set/2009�), dan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.02/VI-BPPHH/2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan Penilaian

96


Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu (“Perdirjen BPK No. P.02/VI-BPPHH/2010�). Pasal 1 Angka 10 Permenhut No. 38/Menhut-II/2009 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan SVLK adalah persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak (stakeholder) kehutanan yang memuat standar, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian. Selanjutnya dalam Pasal 1 Angka 11 disebutkan bahwa Sertifikat Legalitas Kayu (Sertifikat LK) adalah surat keterangan yang diberikan kepada pemegang izin atau pemilik hutan telah mengikuti standar legalitas kayu (legal compliance) dalam memperoleh hasil hutan. Sebelumnya berlakunya Permenhut No. 38/Menhut-II/2009, Kementerian Kehutanan telah mengembangkan sistem Penatausahaan Hasil Hutan yang pada prinsipnya merupakan “Timber Tracking System� yang dapat menjamin legalitas kayu. Ketentuan tersebut tertuang dalam Permenhut No. P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal dari Hutan Negara dan Permenhut No. P-51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) bagi kayu yang berasal dari hutan/lahan masyarakat sebagai dokumen legalitas117. Pada intinya dua ketentuan tersebut mengatur administrasi tata usaha hasil hutan mulai dari perencanaan produksi, proses produksi, pengangkutan hasil hutan dan pemeriksaan hasil hutan pada setiap simpul kegiatan dari hulu sampai ke hilir. Prinsip dari verifikasi legalitas kayu adalah menguji keterlacakan sejak dari produk kayu mundur ke sumber/asal usul kayu dan sekaligus menguji pemenuhan kewajiban dan ketaatan terhadap peraturan yang berlaku yang mengalir secara konsisten. Pada dasarnya mekanisme penatausahaan hasil hutan merupakan sistem kendali dan dapat dipakai sebagai alat pelacakan kayu (timber tracking). Dengan kebijakan penatausahaan yang merupakan timber tracking system diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi konsumen/masyarakat. Cakupan kegiatan verifikasi legalitas kayu meliputi administrasi dan fisik, yang meliputi mekanisme pemeriksaan kebenaran dokumen, konsistensi dokumen dan kebenaran fisik pada setiap simpul mulai dari hulu sampai

117

Lampiran 2 Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.02/VI-BPPHH/2010, Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Kementerian Kehutanan

97


hilir sampai dengan pemenuhan hak-hak negara yang dapat dibuktikan penelusuran (traceable). Disamping itu, juga dilakukan pemeriksaaan terhadap ketaatan terhadap peraturan lain yang terkait (legal compliance).118 Perbedaan utama antara Permenhut No. 38/Menhut-II/2009 dengan dua ketentuan verifikasi legalitas kayu sebelumnya, antara lain adanya partisipasi masyarakat seperti sebagai (LP&VI) Lembaga Penilai dan Verifikasi Indipenden dan (LPI) Lembaga Pemantau Indipenden yang dapat dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat kehutanan. Artinya, peranan pemerintah dikurangi, sebaliknya, partisipasi publik melalui keterlibatan LP&VI, LPI, mulai dikedepankan atau didorong. Selain itu dalam Permenhut No. 38/Menhut-II/2009 diperkenalkan konsep (PHPL) Pengelolaan Hutan Produksi Lestari atau yang seringkali disebut dengan SFM (Suitanable Forest Management). Dengan kata lain, sistem verifikasi dan legalitas kayu Indonesia tidak hanya sekedar memastikan akan legalitas kayu yang akan diekspor tetapi juga memastikan bagaimana hutan sebagai penghasil kayu tersebut dapat dikelola dengan baik sehingga dapat berfungsi secara berkesinambungan atau lestari. 2. Tujuan SVLK SVLK antara lain bertujuan untuk: a. Mempromosikan kayu legal melalui implementasi standar legalitas pada konsumen, pemasok dan negara produsen. b. Penegakan hukum dan tata kelola kehutanan terhadap produk kayu. c. Mendorong sector swasta untuk menerapkan kebijakan yang terkait dengan pasokan kayu legal. d. Trend dalam perdagangan internasional kayu yang memerlukan bukti legalitas. e. Komitmen untuk memberantas illegal logging dan perdagangannya melalui SFM dan kesejahteraan rakyat.

118

98

Ibid.


3. Komponen utama SVLK berdasarkan Permenhut No. P. 38/MenhutII/2009 dan peraturan pelaksanaanya Ketentuan dalam Permenhut No. P. 38/Menhut-II/2009 dan Peraturan Pelaksanaanya secara garis besar dapat dikelompokkan atas dua bagian, pertama, ketentuan terkait dengan verifikasi dan legalitas kayu dan ke dua, ketentuan terkait Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL). Dalam penelitian ini pembahasan akan lebih difokuskan pada ketentuan yang terkait dengan verifikasi dan legalitas kayu. a. Lembaga Akreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional Lembaga Akreditasi merupakan lembaga yang akan mengakreditasi LP&VI (Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen), yaitu Komite Akreditasi Nasional. Untuk mendapatkan akreditasi maka LP&VI mengajukan permohonan kepada KAN. Berdasarkan akreditasi oleh KAN, maka Direktur Jenderal atas nama Menteri Kehutanan menetapkan sebagai LP&VI119. b. Lembaga Penilaian dan Verifikasi Indipenden LP&VI merupakan perusahaan berbadan hukum milik Negara atau swasta yang diakreditasi oleh KAN untuk melaksanaan penilaian kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan atau verifikasi legalitas kayu. Dengan demikian, LP&VI yang akan menentukan keabsahan hasil hutan kayu pada pemegang izin atau pemilik hutan. Verifikasi tersebut bertujuan atau dilakukan dalam rangka untuk memperoleh Sertifikat PHPL dan Sertifikat LK. Namun dalam pemegang izin pemanfaatan hutan yang telah memiliki Sertifikat PHPL tidak diperlukan Sertifikat LK.120 Verifikasi legalitas kayu atas pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK), IPK, dan IUIPHHK, pemegang Ijin Usaha Industri (IUI) Lanjutan dilaksanakan oleh LP&VI. Penilaian kinerja pemegang IUPHHK dilakukan oleh LP&VI berdasarkan Standar Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL)121, yang antara lain memuat:

119 120 121

Pasal 1 Angka (6) juncto Pasal 6 Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009. Pasal 1 Angka (7) dan 14 juncto Pasal 4 Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.6/VI-Set/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu.

99


1. Prasyarat (Kepastian Kawasan Pemegang Izin, Komitmen Pemegang Izin, Kesehatan Perusahaan/Holding Company, kesesuaian dengan kerangka hukum, kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam pengelolaan hutan secara lestari, Jumlah dan kecukupan tenaga professional terlatih dan tenaga teknis pada seluruh tingkatan, kapasitas dan mekanisme) 2. Produksi (Penataan areal kerja jangka panjang dalam pengelolaan hutan lestari, tingkat pemanenan lestari untuk setiap jenis hasil hutan, Pelaksanaan penerapan tahapan sistem silvikultur untuk menjamin regenerasi hutan, Ketersedian dan penerapan teknologi tepat guna, Kesehatan finasial pemegang ijin, Realisasi Penebangan sesuai dengan rencana kerja, Tingkat investasi dan reinvestasi yang memadai) 3. Ekologi (Keberadaan, kemantapan dan kondisi kawasan yang dilindungi, Perlindungan dan Pengamanan Hutan, Pengelolaan dan pemantauan dampak terhadap tanah dan air akibat pemanfaatan hutan, Identifikasi species flora dan fauna yang dilindungi, Pengelolaan flora, Pengelolaan Fauna) 4. Sosial (Kejelasan luas dan batas dengan kawasan masyarakat hukum adat, jenis dan jumlah perjanjian yang melibatkan masyarakat adat setempat, Perencanaan dan implementasi pengelolaan hutan telah mempertimbangkan hak masyarakat adat dan masyarakat setempat). Verifikasi legalitas kayu dari Hutan Negara dilakukan oleh LP&VI berdasarkan Standar Verifikasi Legalitas Kayu, antara lain122: 1. P1. Kepastian Areal dan Hak Pemanfaatan 2. P2. Memenuhi sistem dan prosedur penebangan yang sah 3. P3. Pemenuhan aspek lingkungan dan social yang terkait dengan penebangan . Verifikasi legalitas kayu dari Hutan Negara yang dikelola oleh masyarakat dilakukan oleh LP&VI berdasarkan Standar Verifikasi Legalitas Kayu, antara lain123: 1. P1. Kepastian areal dan hak pemanfaatan 2. P2. Memenuhi sistem dan prosedur penebangan yang sah 3. P3. Pemenuhan aspek lingkungan dan social yang terkait dengan penebangan

122 123

100

Ibid. Ibid.


Verifikasi legalitas kayu pada IUIPHHK dan IUI Lanjutan dilakukan oleh LP&VI berdasarkan Standard Verifikasi Legalitas Kayu, antara lain124: 1. P1. Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu mendukung terselenggaranya perdagangan kayu sah 2. P2. Unit usaha mempunyai menerapkan sistem penelusuran kayu yang menjamin keterlacakan kayu dari asalnya 3. P3. Keabsahan perdagangan atau pemindahtanganan kayu olahan. Verifikasi legalitas kayu dari Hutan hak dilakukan oleh LP&VI berdasarkan Standar Verifikasi Legalitas Kayu, yaitu terkait dengan kepemilikan kayu dapat dibuktikan keabsahannya. Verifikasi legalitas kayu bagi Pemegang IPK berdasarkan Standar Verifikasi Legalitas Kayu, antara lain125: 1. P1. Izin lain yang sah pada pemanfaatan hasil hutan kayu 2. P2. Kesesuaian dengan sistem dan prosedur penebangan serta pengangkutan kayu. c. Lembaga Pemantau Independen LPI merupakan lembaga yang dapat menjalankan fungsi pengawasan/ pemantauan yang berkaitan dengan pelayanan publik di bidang kehutanan seperti penerbitan Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK, antara lain lembaga swadaya masyarakat di bidang kehutanan. LSM atau masyarakat madani dapat menjadi pemantau independen dalam proses penilaian PHPL dan atau verifikasi legalitas kayu yang dilaksanakan oleh LP&VI126. Dalam hal LSM atau masyarakat madani tertentu keberatan terhadap hasil penilaian yang dilakukan oleh LP&VI dapat mengajukan keberatan terhadap LP&VI, dan dalam LP&VI tidak dapat menyelesaikan maka keberatan dapat diajukan kepada KAN127 . Hasil penyelesaian keberatan yang dilakukan oleh LP&VI atau oleh KAN dapat berupa Corrective Action Request (CAR) yang disampaikan kepada pemegang izin atau pemilik hutan. Dalam hal pemegang izin atau pemilik hutan tidak mampu menyelesaikan CAR, maka status Sertifikat PHPL atau

Ibid. Ibid. 126 Pasal 1 Angka (8) juncto Pasal 14 Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009 127 Ibid

124

125

101


Sertifikat LK oleh LP&VI penerbit sertifikat tersebut dibekukan sampai pemegang izin atau pemilik hutan hak mampu memenuhi. Apabila masih tidak maupun juga, maka status Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK dibekukan sampai berakhirnya masa berlaku Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK.128 d. Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Merupakan persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak (stakeholder) kehutanan yang memuat standar, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian129. e. Sertifikat Legalitas Kayu (Sertifikat LK) Merupakan surat keterangan yang diberikan kepada pemegang izin atau pemilik hutan hak yang menyatakan bahwa pemegang izin atau pemilik hutan hak telah mengikuti standard legalitas kayu (legal compliance) dalam memperoleh hasil hutan kayu130. Sertifikasi merupakan sesuatu hal yang penting karena131: 1. Dalam pendekatan lingkungan, sertifikasi adalah suatu cara untuk memastikan, melalui pasar, bahwa kegiatan penebangan dan manajemen kayu melindungi integritas hutan pada semua skala selama dan sesudah kegiatan penebangan; 2. Sertifikasi merupakan suatu cara untuk mengurangi konsumsi kayu dengan mendorong daur ulang, dan memastikan penggunaan kayu yang hemat dan efisien; 3. Sertifikasi merupakan cara untuk memahami biaya aktual pengunaan konsumtif atas hutan; 4. Sertifikasi merupakan cara untuk memuaskan konsumen bahwa kayu yang mereka beli telah ditebang dan diproduksi dengan cara yang melindungi fungsi ekosistem dan menyelesaikan stabilitas masyarakat.

128 Ibid. 129 Pasal 1 Angka (10) Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009. 130 Pasal 1 Angka (12) Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009. 131 Abubakar M. Lahjie, 2005, Ekoforestri dalam Panduan Manajemen Hutan Lestari, Universitas Mulawarman, Samarinda, hlm. 95-97

102


Berdasarkan penilaian atau verifikasi yang dilakukan oleh LP&VI, maka LP&VI menerbitkan Sertifikat PHPL dan atau Sertifikat LK kepada pemegang izin atau pemilik hutan hak dan melaporkan kepada Direktur Jenderal. Sertifikat tersebut digunakan sebagai bahan pembinaan dan atau perpanjangan IUPHHK oleh Direktur Jenderal Kementerian Kehutanan. Sertifikat PHPL bagi pemegang IUPHHK atau pemilik hutan hak Sertifikat LK berlaku selama tiga tahun dan dilakukan penilikan (surveillance) setiap tahun132. Sertifikat PHPL dapat berpredikat “Baik” atau “Buruk”. Sertifikat PHPL berpredikat “Baik” apabila sekurang-kurangnya berisi nama perusahaan atau nama pemegang izin atau pemilik hutan hak, luas area, lokasi, nomor keputusan hak/izin/hak kepemilikan, nama perusahaan LP&VI, tanggal penerbitan, masa berlaku, dan nomor identifikasi sertifikasi, serta predikat kerja133. Sertifikat LK dapat berkategori “Memenuhi SVLK” dan “Tidak Memenuhi SVLK”. Memenuhi SVLK apabila sekurang-kurangnya berisi nama perusahaan atau nama pemegang izin atau pemilik hutan hak, luas area, lokasi, nomor keputusan hak/izin/hak kepemilikan, nama perusahaan LP&VI, tanggal penerbitan, masa berlaku, dan nomor identifikasi sertifikasi, serta referensi standar legalitas134. Apabila dalam hasil penilaian PHPL berpredikat “Buruk”, maka LP&VI akan menyampaikan laporan hasil penilaian kepada pemegang izin untuk diberi kesempatan memperbaiki kinerja PHPL. Hal yang sama, apabila hasil verifikasi legalitas kayu “Tidak Memenuhi SVLK”, maka LP&VI menyampaikan laporan hasil penilaian kepada pemagang izin untuk diberi kesempatan memenuhi SVLK135. 5. Permohonan dan pelaksanaan verifikasi Permohonan verifikasi diajukan oleh Pemegang Izin kepada LP&VI yang memuat sekurang-kurangnya ruang lingkup verifikasi, profil Pemegang Izin dan informasi lain yang diperlukan dalam proses verifikasi legalitas kayu. Sebelum melakukan kegiatan verifikasi lapangan, LP&VI harus

132

Pasal 10 Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009.

133

Pasal 11 Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009

134

Pasal 12 Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009

135

Pasal 11 Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009

103


melaksanakan pengkajian permohonan verifikasi dan memelihara rekamannya untuk menjamin agar: a. Persyaratan untuk verifikasi didefinisikan dengan jelas, dipahami, dan didokumentasikan. b. Menghilangkan perbedaan pengertian antara LP&VI dan pemegang izin c. LP&VI mampu melaksanakan jasa verifikasi legalitas kayu yang diminta dan menjangkau lokasi operasi pemegang izin136. Pelaksanaan Verifikasi lapangan terdiri atas tiga tahapan yakni Pertemuan Pembukaan, Verifikasi Dokumen dan Observasi Lapangan, dan Pertemuan Penutup. Pertemuan Pembukaan merupaka pertemuan antara Tim Auditor dengan Manajemen Pemegang Izin yag bertujuan memberikan penjelasan mengenai tujuan kegiatan verifikasi, ruang lingkup, jadwal, metodologi dan prosedur kegiatan137. Verifikasi Dokumen merupakan kegiatan untuk menghimpun, mempelajari, serta menganalisis data dan dokumen agar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Verifikasi dokumen dilakukan dengan mengunakan kriteria dan indikator yang telah ditetapkan. Pertemuan Penutupan merupakan antara Tim Auditor dengan Pemegang Izin untuk memaparkan hasil kegiatan verifikasi dan mengkonfirmasi temuan-temuan di lapangan.138 6. Persiapan yang harus dilakuan dalam pencapaian SVLK139 Hal-hal yang harus dipersiapkan atau dilakukan dalam Pencapaian SVLK antara lain: a. Penetapan Kebijakan dan Komitmen Manajemen dan Penunjukkan Management Representatif. 1 Menetapkan kebijakan dan komitmen manajemen tentang Legalitas Kayu 2 Mengkomunikasikan kebijakan dan komitmen tersebut kepada seluruh karyawan 3 Mengembangkan Rencana Kerja sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan

Lampiran 3 Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.02/VI-BPPHH/2010, Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, tentang Pedoman Pelaksanaan Verifikasi Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu. 137 Ibid. 138 Ibid. 139 Materi Presentasi Powerpoint “Peran Lembaga Penilai/Verifikasi dan Proses Penilaian/Verifikasi PHPL/LK, PT (Persero) Sucofindo, Jambi, 2010 136

104


4. Melatih, mendukung dan mengawasi atau bila perlu merekrut Tim Audit Internal untuk penerapan Rencana Kerja 5. Seorang yang mewakili manajemen dan bertanggung jawab penuh terhadap penerapan kebijakan serta yang akan bertanggung jawab dalam proses sertifikasi di industri. 6. Penunjukan dengan pemberian Surat Kuasa atau Surat Perintah Tugas dari manajemen 7. Mengevaluasi secara berkala untuk penerapan kebijakan yang telah diambil b. Legalitas Usaha Terkait dengan legalitas, dokumen yang harus dipersiapkan diantaranya: 1. Akte pendirian dan perubahan terakhir 2. IUIPHHK / IUI (Ijin Usaha Industri) 3. SIUP (Surat Ijin Usaha Perdagangan) 4. TDP (Tanda Daftar Industri) 5. NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) 6. AMDAL / UKL-UPL 7. RPBBI (Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri) 8. PKAPT (Pedagang Kayu Antar Pulau Terdaftar) 9. ETPIK (Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan) c. Legalitas Pemenuhan Bahan Baku 1. Kontrak/perjanjian pembelian bahan baku 2. Berita Acara Serah Terima Kayu 3. PIB dan dokumen pendukungnya 4. SKSKB/FAKB/SKAU/FAKO/SAL 5. SK RKT Pendukung RPBBI 6. Bukti Pelaporan RPBBI d. Legalitas Produksi Dokumen yang perlu dipersiapkan: 1. Tally sheet penggunaan bahan baku dan hasil produksi 2. Laporan Hasil Produksi 3. LMKB/LMKO (Laporan Mutasi Kayu) dan dokumen pendukungnya.

105


e. Legalitas Pemasaran Produk Dokumen yang perlu dipersiapkan: 1. Dokumen identitas kapal (terkait PKAPT) 2. SKSKB/FAKB/SKAU/FAKO/SAL (terkait PKAPT) 3. PEB dan dokumen ekspor lainnya (Laporan Survey, Endorsement BRIK, packing list, invoice, B/L, FAKO/Nota, Bukti Pembayaran PE jika kena PE) 4. Dokumen CITES.

C. Kesiapan Indonesia dalam menghadapi VPA dengan Uni Eropa Pembahasan kesiapan Indonesia dalam pelaksanaan VPA dengan UE ini berdasarkan pada ketentuan atau kewajiban dalam Draft VPA yang harus dilaksanakan oleh Indonesia ketika Indonesia menandatangani Draft VPA tersebut. Kesiapan tersebut ditinjau dari dua aspek utama, yaitu, kesiapan dalam pengertian aturan yang bersifat normatif dan kelembagaan yang bersifat struktural. Kesiapan dalam pengertian aturan yaitu apakah hukum (baca: peraturan) Indonesia yang ada saat ini telah atau bisa mengakomodasi kewajiban-kewajiaban yang diperintahkan dalam Draft VPA. Pembahasan dengan membandingkan kewajiban-kewajiban bagi Indonesia dalam Draft VPA dengan ketentuan atau peraturan-peraturan terkait yang berlaku saat ini di Indonesia. Sementara itu, kesiapan dalam pengertian kelembagaan yang bersifat struktural, yaitu apakah secara kelembagaan Indonesia mampu atau telah siap melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ada dalam Draft VPA. Yang terakhir, kesiapan pelaku industri sebagai pihak yang melakukan proses ekspor ataupun impor kayu. C.1. Kesiapan Indonesia terkait dengan kewajiban draft VPA Apabila dicermati uraian-uraian tentang kewajiban Indonesia dalam Draft VPA dan SVLK yang ada di Indonesia di atas, maka SVLK Indonesia lebih maju dan luas. Draft VPA penekanannya lebih banyak pada verifikasi dan legalitas kayu semata sedangkan SVLK Indonesia tidak hanya mengatur perihal verifikasi legalitas kayu tetapi juga perihal bagaimana mengelola hutan secara lestari dan berkesinambungan. Dengan kata lain secara substansi kewajiban dalam Draft VPA merupakan salah bagian dari SVLK Indonesia berdasarkan Permenhut No. P. 38/Menhut-II/2009. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kesiapan Indonesia dalam menghadapi VPA dengan Uni Eropa ditinjau dari dua aspek utama, kesiapan dalam pengertian aturan yang bersifat normatif dan kelem-

106


bagaan yang bersifat struktural, terhadap kewajiban-kewajiban yang diperintahkan oleh Draft VPA terhadap Indonesia dikaitkan dengan keadaan yang ada di Indonesia saat ini. Pembahasan kewajiban-kewajiban Indonesia dalam Draft VPA sebagaimana tersebut di atas akan dibahas secara terbatas, yaitu terhadap kewajiban-kewajiban yang bersifat penting atau substansial, antara lain: 1. Pembentukan Licensing Authority. 2. Verifikasi Legalitas Kayu 3. Pembentukan Third Party Monitoring 4. Pembentukan Indipendent Market Monitoring 5. Penerapan lisensi FLEGT terhadap kayu yang diimpor ke Indonesia. 1. Pembentukan Licensing Authority a. Pengaturan Pasal 4 Draft VPA mewajibkan pihak Indonesia untuk membentuk Licensing Authority yang berfungsi mengeluarkan dan mensahkan lisensi FLEGT. Sehubungan dengan kewajiban tersebut, jika dibandingkan dengan Permenhut P. 38/Menhut-II/2009, terutama pada Pasal 1 Angka 6, Pasal 6, yaitu tentang keberadaan Komite Akreditasi Nasional (KAN), dan Pasal 1 Angka 7, Pasal 6 tentang KAN, maka secara substansi Indonesia telah mempunyai lembaga yang dimaksud dalam Pasal 4 Draft VPA tersebut. Pasal 1 Angka 6 menyatakan bahwa lembaga akreditasi adalah lembaga yang mengakreditasi LP&VI, yaitu KAN. Sementara itu, dalam Pasal 1 Angka 7 menyatakan bahwa LP&VI merupakan lembaga yang telah diakreditasi oleh lembaga akreditasi (KAN) untuk memverifikasi keabsahan hasil hutan kayu pada pemegang izin atau pemilik hutan hak. Selanjutnya, dari segi fungsi atau tugas antara Licensing Authority dengan LP&VI juncto KAN pada intinya sama, yaitu memastikan bahwa kayu yang diekspor merupakan kayu bersifat sah secara hukum atau legal. Mencermati hal tersebut, Permenhut P. 38/Menhut-II/2009, secara subtansi materi telah mengakomodasi Licensing Authority sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Draft VPA. b. Kelembagaan Berdasarkan data dari BRIK, untuk tiga tahun terakhir, diketahui jumlah permintaan endorsement kepada BRIK untuk produk Panel dan Woodworking, mencapai angka 59.323 permintaan yang diwakili 705 perusahaan, dengan realisasi 48.902 (82,43%) permintaan dan 636 (90,5%) perusa-

107


haan untuk tahun 2009, 66.341 permintaan yang diwakili 799 perusahaan, dengan realisasi 55.486 (83,63%) permintaan dan 729 (91,24%) perusahaan untuk tahun 2008, 68.899 permintaan yang diwakili 876 perusahaan, dengan realisasi 58.750 (85,27%) permintaan dan 802 (91,55%) perusahaan untuk tahun 2007. Dari data tersebut terlihat permintaan endorsement kepada BRIK untuk tiga tahun terakhir memang mengalami penurunan, namun secara angka tetap besar atau banyak.

Melihat permintaan endorsement yang demikian besar tersebut, sedangkan jumlah lembaga yang telah diakreditasi oleh KAN sebagai LP&VI masih sangat terbatas. Sampai saat ini terdapat 10 (sepuluh) lembaga yang telah mengajukan diri sebagai LP&VI. 5 (lima) di antaranya telah diakreditasi oleh KAN dan 5 (lima) lembaga lain sedang dalam proses akreditasi KAN. Lembaga yang telah diakreditasi oleh KAN antara lain PT. Sucofindo, PT MAL, dan PT. Equality. Dengan demikian, untuk menangani sekian banyak permintaan endorsement, sepertinya lembaga tersebut akan kewalahan. Apalagi lembaga-lembaga tersebut masih bersifat baru yang masih minim pengalaman. Namun demikian, berdasarkan surat BRIK No. 189/BRIK/V/2010, tertanggal 6 Mei 2010, tentang Akreditasi BRIK sebagai Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu, diketahui bahwa BRIK telah mendapat akreditasi dari KAN, yaitu akreditasi No. LVLK-001-IDN tanggal 1 September 2009. Artinya, kewenangan BRIK sebagai lembaga endorsement, tidak serta merta dicabut atau dihentikan. Dengan demikian BRIK tetap dapat melakukan proses endorsement, disamping lembaga pihak ketiga lain seperti PT. Sucofindo. Ini menjadi penting sebagai jalan tengah dalam masa transisi sebelum kewenangan LP&VI sepenuhnya diberikan kepada independent parties, sekaligus mempersiapkan BRIK untuk mengubah status dari lembaga “pemerintah�—BRIK merupakan organisasi nirlaba mitra Kementerian Kehutanan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan—, menjadi independent parties, layaknya, seperti PT. Sucofindo. 2. Verifikasi Legalitas Kayu Pasal 8 Draft VPA mewajibkan Indonesia menerapkan suatu sistem untuk menverifikasi untuk memastikan bahwa kayu yang diekspor ke UE merupakan kayu yang telah diproduksi secara legal. Apabila kayu diproduksi secara illegal atau berasal dari sumber yang tidak jelas, maka lisensi

108


FLEGT tidak dikeluarkan. Jika dicermati ketentuan Pasal 8 Draft VPA dihubungkan dengan Pasal 10 Permenhut P. 38/Menhut-II/2009, maka secara substansi materi ketentuan tersebut telah ada atau diakomodasi, yang dalam istilah Permenhut P. 38/Menhut-II/2009 disebut SVLK. Pasal 10 Permenhut P. 38/MenhutII/2009 menyatakan SVLK adalah persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak (stakeholders) kehutanan yang memuat standar, kriteria, indikator alat penilaian, metode penilaian, dan panduan penilaian. Lebih jauh, Pasal 10 Permenhut P. 38/Menhut-II/2009 dijabarkan dalam Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. P.6/VI-Set/2009, khusus terkait dengan kayu, antara lain menyatakan verifikasi legalitas kayu dari Hutan Negara dilakukan oleh LP&VI berdasarkan Standard Verifikasi Legalitas Kayu, antara lain: (1) Kepastian Areal dan Hak Pemanfaatan, (2) Memenuhi sistem dan prosedur penebangan yang sah, (3) Pemenuhan aspek lingkungan dan sosial yang terkait dengan penebangan. Verifikasi legalitas kayu dari Hutan Negara yang dikelola oleh masyarakat dilakukan oleh LP&VI berdasarkan Standard Verifikasi Legalitas Kayu, antara lain: (1) Kepastian areal dan hak pemanfaatan, (2) Memenuhi sistem dan prosedur penebangan yang sah, dan (3) Pemenuhan aspek lingkungan dan sosial yang terkait dengan penebangan. Selanjutnya, verifikasi legalitas kayu pada IUIPHHK dan IUI Lanjutan dilakukan oleh LP&VI berdasarkan Standar Verifikasi Legalitas Kayu, antara lain: (1) Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu mendukung terselenggaranya perdagangan kayu sah, (2) Unit usaha mempunyai menerapkan sistem penelusuran kayu yang menjamin keterlacakan kayu dari asalnya, (3) Keabsahan perdagangan atau pemindahtanganan kayu olahan. Verifikasi legalitas kayu bagi Pemegang IPK berdasarkan Standar Verifikasi Legalitas Kayu, antara lain: (1) Izin lain yang sah pada pemanfaatan hasil hutan kayu dan (2) Kesesuaian dengan sistem dan prosedur penebangan serta pengangkutan kayu. Dengan demikian, berdasarkan uraian tersebut di atas, secara substansi materi perihal verifikasi dan legaitas kayu dalam pasal 8 Draft VPA tidak hanya telah ada atau diakomodasi oleh Permenhut P. 38/Menhut-II/2009 tetapi juga telah ditambahkan dengan konsep PHPL. 3. Pembentukan Third Party Monitoring Pasal 10 ayat (2) Draft VPA memerintahkan Indonesia untuk membentuk Third Party Monitoring, yaitu suatu entitas atau lembaga yang tidak mempunyai konflik kepentingan, baik karena hubungan organisasi atau komersial

109


dengan Community ataupun Lembaga Kehutanan Indonesia, terhadap Licensing Authority, maupun lembaga yang berkaitan dengan Licensing Authority, untuk menverifikasi bahwa kayu diproduksi secara legal maupun atau tiap operator komersial dalam sektor kehutanan. Dalam Permenhut P. 38/Menhut-II/2009, dikenal juga suatu lembaga pemantau (monitoring) independen, yaitu LPI (Lembaga Pemantau Indipenden). Pasal 1 Angka (8) Permenhut menyebutkan bahwa LPI adalah lembaga yang dapat menjalankan fungsi pengawasan/pemantauan yang berkaitan dengan pelayanan publik di bidang kehutanan seperti penerbitan Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK. Pasal 14 Ayat 1 menyebutkan bahwa LSM atau masyarakat madani di bidang kehutanan dapat menjadi pemantau independen dalam proses penilaian verifikasi legalitas kayu yang dilaksanakan oleh LP&VI. Dengan mencermati ketentuan Pasal 10 Ayat (2) Draft VPA dihubungan dengan keberadaan LPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 8 dan Pasal 14 Permenhut P. 38/Menhut-II/2009, dari segi fungsi monitoring (pemantau), maka secara substansi ketentuan Pasal 10 ayat (2) Draft VPA telah diakomodasi dalam Permenhut P. 38/Menhut-II/2009. Namun jika dikaji lebih jauh, keberadaan Third Party Monitoring sebagaimana tersebut dalam Draft VPA masih kurang jelas, misalnya, hal apa yang akan dimonitoring atau siapa yang akan memonitor. Selain itu, Sebagai perbandingan dalam Permenhut lembaga tersebut adalah LSM, yang memonitor proses penerbitan PHPL dan verifikasi legalitas kayu. Misalnya, jika LSM menganggap atau menilai proses tersebut terdapat sesuatu yang kurang atau menganggap auditor tidak independen, maka LSM dapat melaporkan LP&VI ke KAN140 . Dalam Draft VPA disebutkan bahwa Third Party Monitoring akan beroperasi dengan standard best practice yang diterima secara Internasional berdasarkan ISO 17021 dan ISO 19011. Sementara Permenhut P. 38/Menhut-II/2009— Perdirjen BPK No. P.02/VI-BPPHH/2010—terkait dengan verifikasi dan legalitas kayu memakai acuan ISO/IEC Guide 65: 1996 General Requirement for Bodies Operating Product Certification System. Artinya, Uni Eropa mempersyaratkan ISO yang jauh lebih tinggi dari yang telah digunakan oleh Indonesia selama ini.

140

110

Informasi diperoleh melalui wawancara dengan Nandang dari Kementerian Kehutanan, tanggal 21 Juni 2010, di Jakarta.


Oleh karena itu, mengingat terjadinya gap yang cukup tinggi antara ISO 17021 dan ISO 19011 dengan IEC Guide 65: 1996, maka sebaiknya Indonesia perlu untuk menegosiasikan atau meminta Uni Eropa untuk menurunkan ISO yang dimintakan atau setidak-tidaknya jika tetap mengunakan ISO 17021 dan ISO 19011 tersebut diberikan masa transisi agar pihak Indonesia tidak kewalahan ketika diterapkan. 4. Pembentukan Independent Market Monitoring Dalam Pasal 11 Draft VPA diperintahkan agar Indonesia untuk menyediakan jasa Independent Market Monitoring untuk berkonsultasi dengan Uni Eropa. Sehubungan dengan ketentuan Pasal 11 Draft VPA tersebut, jika dihubungkan dengan Permenhut P. 38/Menhut-II/2009, diketahui bahwa Permenhut P. 38/Menhut-II/2009 tidak mengenal lembaga sebagaimana dimaksud. Dengan demikian ini adalah beban yang harus dipikul oleh pihak Indonesia. Namun jika dilihat dari fungsi Independent Market Monitoring, yaitu untuk konsultasi dengan Community dan melakukan laporan, maka fungsi tersebut digabungkan ke lembaga lain misalnya Third Party Monitoring. Dengan demikian, secara institusi kelembagaan tidak memberatkan Indonesia, namun secara fungsi kelembagaan telah diakomodasi. 5. Penerapan lisensi FLEGT terhadap kayu yang diimpor ke Indonesia Pasal 14 Draft VPA menyebutkan bahwa Indonesia wajib berusaha untuk menverifikasi legalitas bahwa kayu yang di eksport ke luar negara di luar Uni Eropa, kayu yang dijual di pasar domestik, dan yang diimpor, sebisa mungkin mengunakan sistem yang dikembangkan dalam pelaksanaan perjanjian ini. Ketentuan di atas pada intinya adalah untuk memastikan bahwa kayu yang diperdagangkan ke luar negara Uni Eropa, dalam negeri, maupun kayu impor merupakan kayu yang bersifat legal. Penerapan SVLK berdasarkan Permenhut P. 38/Menhut-II/2009 tidak hanya untuk kayu-kayu yang dijual ke Eropa, tetapi untuk seluruh negara tujuan ekspor kayu Indonesia. Artinya, pentingnya kebutuhan verifikasi legalitas kayu merupakan komitmen Indonesia. Oleh karenanya, secara substansi ketentuan Pasal 14 Draft VPA tersebut tidak menjadi permasalahan,

111


karena memang Indonesia menginginkan penerapan SVLK untuk seluruh kayu yang akan dijual ke luar Indonesia. Namun demikian, kewajiban penerapan verifikasi dan legalitas kayu terhadap kayu impor tidak ditemukan pengaturannya dalam Permenhut P. 38/ Menhut-II/2009. Hal ini menjadi penting karena tidak menutup kemungkinan Indonesia akan melakukan impor terhadap kayu dari luar. C.2. Kesiapan pelaku industri (pengusaha hutan) di lapangan Bagi pelaku industri, adanya kewajiban verifikasi dan legalitas kayu sebagaimana dipersyaratkan dalam Draft VPA untuk dapat masuk pasar Uni Eropa, bukanlah suatu masalah. Verifikasi dan legalitas kayu sebenarnya telah dilakukan oleh pelaku industri, baik karena perintah ketentuan perundang-undangan maupun karena permintaan pasar perdagangan kayu itu sendiri. Pertama, karena perintah perundang-undangan, sebelumnya berlakunya Permenhut No. 38/Menhut-II/2009, kewajiban verifikasi dan legalitas kayu dapat ditemukan dalam Permenhut No. P.55/Menhut-II/2006 dan Perrmenhut No. P-51/Menhut-II/2006, yang kedua peraturan tersebut pada intinya mengatur administrasi tata usaha hasil hutan mulai dari perencanaan produksi, proses produksi, pengangkutan hasil hutan dan pemeriksaan hasil hutan pada setiap simpul kegiatan dari hulu sampai ke hilir. Jika ditelisik lebih jauh, ketentuan yang berlaku saat ini, Permenhut No. 38/Menhut-II/2009, lebih maju dari verifikasi dan legalitas kayu berdasarkan Draft VPA, mengingat Permenhut No. 38/Menhut-II/2009 tidak hanya menyorot masalah legalitas kayu semata seperti dalam Draft VPA, tetapi juga masalah pengelolaan hutan secara lestari sebagai sumber kayu itu sendiri. Bahkan sebagian pelaku industri yang telah mengelola hutan secara lestari mendapatkan sertifikat, misalnya dari LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia)141. Dengan demikian, secara substansi kewajiban akan legalitas kayu sebagaimana diperintahkan dalam Draft VPA tersebut telah dilaksanakan oleh pelaku industri di lapangan.

141

112

Informasi diperoleh dari wawancara dengan Herman Pradjudi dari Assosiasi Pengusaha Hutan Indonesia tanggal 21 Juni 2010, di Jakarta.


Kedua, tuntutan pasar memang menghendaki kayu yang bersifat legal. Artinya, dewasa ini, kemana pun tujuan ekspor kayu, persyaratan legalitas tersebut harus dipenuhi. Amerika Serikat misalnya, sebagai salah tujuan utama ekspor kayu Indonesia, melalui Lacey Act mempersyaratkan bahwa kayu yang bisa masuk pasar Amerika Serikat merupakan kayu yang bersifat legal. Begitu juga dengan Jepang, yang juga tujuan ekspor utama kayu Indonesia menerapkan ketentuan Green Konyuho, yang hampir sama dengan Amerika Serikat. Dengan demikian, ada atau tidaknya VPA, legalitas kayu dan pengelolaan hutan secara lestari akan tetap jalan dan memang telah dianggarkan oleh pelaku industri dalam kegiatan bisnisnya, baik karena kewajiban perundang-undangan maupun tuntutan pasar. Namun yang perlu menjadi perhatian sekaligus kekhawatiran bagi pelaku industri adalah penerapan VPA yang bersifat diskriminatif, baik diskriminatif antar negara maupun diskriminatif dalam negeri. Diskriminatif antar negara misalnya, Indonesia diharuskan (baca: ikut) sedangkan negara lain tidak. Kekhawatirannya adalah apabila kayu yang berasal dari negara lain yang tidak ikut VPA dapat masuk secara bebas, tanpa adanya prioritas kayu yang berasal dari Indonesia—penandatangan VPA. Selain itu, apabila Indonesia menandatangani VPA adanya reciprocal obligation, yaitu keseimbangan kedua belah pihak, mengingat selama ini diskriminasi masih berjalan. Misalnya, perlakuan bea masuk yang berbeda-beda pada tiap negara142. Diskriminatif yang bersifat dalam negeri adalah adanya ketidakadilan antara pelaku industri yang menghasilkan kayu secara legal dengan yang tidak legal (illegal). Dibandingkan dengan produk yang berasal dari illegal logging, maka dari segi harga maka produk yang illegal, pastilah tidak sangup bersaing. Produk ilegal tidak mengeluarkan biaya seperti pajak, biaya pengelolaan hutan, dan lain. Lain halnya dengan kayu yang bersifat legal. Oleh karena itu, perlu dipastikan bahwa setelah menandatangani VPA, maka kayu yang masuk ke Uni Eropa termasuk yang berasal dari Indonesia, adalah hanyalah kayu yang legal.143

Informasi diperoleh dari wawancara dengan Herman Pradjudi dari Assosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, dan Njoto dari Asosiasi Panel Kayu Indonesia, tanggal 21 Juni 2010, di Jakarta. 143 Ibid. 142

113


Insentif Bagi Pelaku Industri (Pengusaha Kehutanan) Dalam teori ekonomi dikenal dengan konsep insentif. Insentif, baik positif (reward) maupun negative (cost/penalty/disincentive) mempengaruhi manusia dalam menjalankan perannya baik sebagai pelaku kegiatan ekonomi maupun sebagai pengelola impact and incident dari perbuatannya. Konsep insentif mencakup juga non material reward disamping economic cost dan benefit. Keputusan manusia untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan ekonomi tertentu ditentukan oleh insentif yang dihadapinya, baik yang material maupun non material. Keputusan manusia dapat berubah jika insentif yang dihadapinya berubah. Berdasarkan konsep insentif, jika kegiatan pengelolaan hutan ingin diluruskan, setiap kebijaksanaan pengelolaan hutan perlu mengandung unsur insentif yang secara rasional mengarahkan prilaku masyarakat ke tujuan yang diinginkan. Hanya saja kebijaksanaan seperti ini belum dikembangkan secara maksimal dalam kehutanan.144 Sejauh ini insentif yang diperoleh pelaku usaha adalah insentif yang bersifat pemberian kemudahan—bukan insentif yang bersifat langsung145, di antaranya: a. Bagi pengusaha atau pelaku industri yang telah mampu mengelola hutannya secara baik maka pengelolaanya diserahkan sepenuhnya ke pelaku industri tersebut, yang dikenal dengan sistem self endorsement. Dengan kata lain, tidak dilakukan lagi oleh pemerintah sehinga bagi pengusaha akan mengurangi biaya. Namun demikian, hal ini seperti ini tidak banyak yang mampu melakukan. b. Kayu gergajian pada pada dasarnya dilarang untuk diekspor, namun dalam hal tertentu diperbolehkan 146. c. Pelaku industri diperbolehkan membuat perjanjian hanya melalui hutan rakyat untuk memastikan pasokan bahan baku, dimana selama ini tidak diperbolehkan 147 . d. Adanya kemudahan birokrasi. Misalnya, dalam SVLK berdasarkan Peraturan No. 38/Menhut-II/2009, kewenangan dari Pemeritah (Departemen Kehutanan) telah dikurangi tetapi sebagian diberikan kepada pihak lain, misalnya, KAN, lembaga swadaya masyarakat, dan lain-lain 148.

Hariadi Kartodiharjo, 2008, Dibalik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam: Masalah Transformasi Kebijakan Kehutanan, Wana Aksara, Banten, hlm. 117 146 Informasi diperoleh berdasarkan wawancara dengan Nandang dari Kementerian Kehutanan dan Herman Prajudi dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, tanggal 21 Juni 2010, di Jakarta. 147 Ibid. 148 Ibid. 144

114


Sebaliknya, terdapat hal-hal yang masih memberatkan atau bersifat disinsentif bagi pelaku industri, di antaranya 149: a. Banyaknya peraturan atau ketentuan yang bersifat “pembebenan ganda� yang mengatur pengelolaan hutan. Misalnya, pengusaha selain harus membayar Provisi Sumber Daya Hutan tetapi juga dikenakan kewajiban Pajak Bumi dan Bangunan atas HPH mereka, padahal antara PBB dan PSDH hampir mirip. b. Ketentuan yang terlalu bersifat regit yang membatasi kemandirian pengusaha dalam melakukan Pengelolaan Hutan Lestari bahkan menambah jalur birokrasi. Misalnya, pengaturan terkait dengan peralatan yang harus digunakan oleh pengusaha dalam mengelola hutannya. Contoh sederhana adalah keharusan pengadaan dan kriteria (spesifikasi) traktor yang dipersyaratkan secara detail. Yang penting adalah bagaimana hutan dapat dikelola secara lestari sedangkan bagaimana caranya diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha (pelaku industri) c. Peraturan yang seringkali berubah-rubah. Peraturan dibidang kehutanan haruslah konsisten sehingga menciptakan ketidakpastian.

149

Ibid.

115


116


9 Strategi dan persiapan politik pemerintah Indonesia dalam negoisasi VPA dengan pihak Eropa

117


118


INDONESIA perlu mempertimbangkan dengan seksama potensi-potensi kemanfaatan maupun risiko penandatanganan VPA dengan UE. Indonesia juga perlu mempertimbangkan teks VPA dari aspek hukum perdagangan internasional. Untuk keperluan tersebut, dalam melakukan negosiasi mengenai VPA dengan pihak UE, pemerintah Indonesia seyogyanya memperhatikan hal-hal berikut: 1. Apabila UE memberikan perlakuan istimewa kepada kayu atau produk kayu dari negara-negara lain, Indonesia akan merugi walaupun Indonesia menandatangani VPA. Oleh karena itu, dalam negosiasi dengan pihak UE, pihak Indonesia perlu meminta UE untuk menghentikan perlakuan istimewa semacam itu kepada negara-negara lain. 2. Indonesia juga akan rugi apabila syarat-syarat FLEGT license menurut VPA antara EU dan Indonesia dan pelaksanaan pemberiannya lebih berat/lebih sukar dari pada syarat-syarat FLEGT license menurut VPA antara EU dan negara-negara lain. Oleh karena itu, pihak Indonesia perlu meminta UE untuk melakukan harmonisasi syarat pemberian lisensi FLEGT dengan negara-negara penandatangan VPA. 3. Berdasarkan Pasal III GATT, yang mengatur prinsip National Treatment, UE harus memberikan perlakuan yang adil (no less favourable) antara produk kayu impor dan lokal. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia sebelum menandatangani VPA harus meyakinkan hal ini kepada pihak UE bahwa : a. UE harus menerapkan sistem perizinan setara dengan perizinan FLEGT untuk industri kayu domestik negara-negara UE. b. Tidak memberikan perlakuan yang istimewa kepada industri kayu domestik dalam sistem perizinan semacam itu. c. Peraturan Due Due Diligence di UE harus dilaksanakan secara baik, tidak hanya untuk kayu impor tetapi juga untuk kayu lokal.

119


4. Implementasi Peraturan Due Diligence di UE nantinya perlu mendapat perhatian dari pihak Indonesia. Apabila peraturan tersebut tidak dilaksanakan dengan baik maka akan terjadi diskriminasi perlakuan di UE antara impor kayu dari negara-negara non penandatangan VPA dan impor kayu dari negara-negara penandatangan VPA dan diskriminasi perlakuan antara kayu lokal UE dan impor kayu dari negara-negara penandatangan VPA. Hal ini perlu juga dibicarakan sebelum menandatangani VPA. 5. Ada kemungkinan kebijakan lisensi FLEGT bisa dikecualikan dari ketentuan-ketentuan GATT berdasarkan Pasal XX huruf (b) dan (g) GATT. Namun, Pasal XX huruf (g) lebih memungkinkan untuk digunakan mengingat syaratnya yang lebih ringan daripada syarat dalam huruf (b). Ada satu keputusan Appellate Body WTO, yakni dalam kasus USShrimps yang mirip dengan kebijakan lisensi FLEGT. Kebijakan US dalam kasus tersebut telah dinyatakan oleh Appellate Body WTO memenuhi Pasal XX huruf (g) GATT. Namun, sampai sekarang, hanya kasus tersebut yang bisa dijadikan acuan. Oleh karena itu, pihak Indonesia masih perlu untuk membicarakan persoalan ini dengan pihak EU sebelum menandatangani VPA. 6. Licensing Authority dilarang menerbitkan lisensi FLEGT untuk produk kayu illegal yang berasal atau mengandung produk kayu dari negara ketiga atau apabila negara ketiga tersebut melarang ekspor kayu tersebut ke Indonesia Sampai sejauh mana pihak Indonesia harus melakukan pengecekan bahwa: pertama, negara ketiga tersebut melarang ekspor kayu tersebut ke negara Indonesia; kedua, produksi kayu tersebut melanggar hukum negara tersebut. Hal ini perlu dirundingkan dengan UE; 7. Dalam ayat (2) dari Pasal 5 draft VPA dikatakan bahwa apabila lisensi FLEGT diragukan keabsahannya, maka masuknya pengiriman produk kayu ke pasar UE ditangguhkan dan pengiriman akan ditahan. Pertanyaannya adalah bagaimana cara Competent Authority mengecek keabsahan lisensi FLEGT, apakah cukup secara formal atau harus secara material? Apabila harus secara material, akan memerlukan waktu yang lama dan merupakan non-tariff barrier. Hal ini dapat menurunkan minat ekspor kayu dari Indonesia ke UE sehingga harapan peningkatan perdagangan kayu dari Indonesia ke UE tidak akan tercapai. Oleh karena Indonesia sebelum menandatangani VPA, perlu membicarakan hal ini.

120


8.

Di dalam Pasal 23 Draft VPA diatur tentang perlidungan informasi rahasia/rahasia dagang, namun tidak dicantumkan apa saja yang bisa merupakan rahasia dagang. Oleh karena itu, perlu ditegaskan dalam draft VPA apa saja yang merupakan rahasia dagang yang akan mereka lindungi. Di samping itu, pelaksanaannya nanti, perlu diberi ruang bagi para pihak untuk menginformasikan rahasia dagang baru yang muncul selama waktu pelaksanaan perjanjian yang belum diketahui pada waktu perjanjian ditandatangani. Indonesia perlu merundingkan hal ini.

9.

Dalam penyelesaian sengketa dengan arbitrase, Indonesia perlu mengusulkan untuk menggunakan aturan prosedur yang sudah ada dan sudah banyak dipakai, seperti Rules of Conciliation and Arbitration of International Chamber of Commerce (ICC).

10. Indonesia perlu mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh risiko dan kemanfaatan yang ada sebelum memutuskan apakah akan menandatangani VPA atau tidak. Perlu dipertimbangkan dengan seksama lebih besar manakah di antara risiko dan kemanfaatan tersebut. Bila kemanfaatan yang diperoleh lebih besar, dalam arti kepentingan bangsa Indonesia secara global terjamin, maka seyogyanya Indonesia menandatangani VPA, demikian juga sebaliknya. 11. Bila Indonesia memutuskan untuk menandatangani VPA, Indonesia juga perlu mempertimbangkan kesiapan Indonesia, agar Indonesia dapat melaksanakan VPA sebagaimana yang dipersyaratkan, dengan demikian kemanfaatan yang diharapkan dari penandatanganan VPA juga dapat terwujud. 12. Secara khusus, dalam negosiasi VPA dengan UE, delegasi Indonesia harus mengutamakan dan memperjuangkan kepentingan Indonesia, misalnya terkait kayu-kayu yang dapat diekspor masuk ke pasar UE, supaya tidak bertentangan dengan peraturan yang ada di Indonesia. Dengan demikian, VPA yang mungkin nantinya akan ditandatangani oleh Indonesia dapat mendatangkan kemanfaatan bagi Indonesia, dan tidak justru merugikan kepentingan Indonesia. 13 Kalau akan dibuat peraturan daerah, peraturan daerah tersebut seharusnya sinkron dengan peraturan pusat untuk menghindari terjadinya high cost dan birokrasi yang berbelit-belit dalam rangka menentukan legalitas produksi kayu yang bisa mengakibatkan harga jualnya menjadi mahal sehingga tidak kompetitif.

121


14. Meskipun sebenarnya VPA bukanlah suatu hal yang baru bagi Indonesia, namun terdapat beberapa ketentuan dalam Draft VPA, baik dari segi aturan yang bersifat normatif maupun kelambagaan yang bersifat struktural, yang belum terakomodasi dan siap untuk dilaksanakan Indonesia. Oleh karenanya, Indonesia perlu menegosiasikan aturan yang belum terakomodasi, sehingga aturan tersebut bisa dihapus ataupun dimodifikasi sehingga dapat terakomodasi oleh aturan verifikasi dan legalitas kayu yang ada di Indonesia saat ini. Untuk hal-hal tertentu yang memang Indonesia belum siap terutama terkait dengan kelembagaan maka pemberlakuan VPA secara bertahap perlu dilakukan. Dengan kata lain, perlu masa transisi sebelum diberlakukan secara penuh. 15. Pemberian insentif termasuk pemberian kemudahan-kemudahan bagi pelaku industri perlu dipikirkan bagi pelaku industri untuk lebih mendorong produk perkayuan Indonesia lebih kompetitif sehingga mampu bersaing dengan produk kayu yang berasal dari negara lain.

122


Daftar Pustaka

Abubakar M. Lahjie, 2005, Ekoforestri dalam Panduan Manajemen Hutan Lestari, Universitas Mulawarman, Samarinda Agung Nugraha dan Yudo Eb Istoto, 2007, Hutan, Industri, dan Kelestarian: Dialektika Dikotomi Sepanjang Zaman, Wana Aksara, Banten Annex II VPA antara Ghana dan UE ”Analisis Dampak VPA Terhadap Perdagangan Kayu Indonesia-Lampiran A Kerangka Acuan, EC-Indonesia FLEGT Support Project AIDCO/2004/16830”, Jakarta 28 Februari 2008, hlm. 1 “Apa yang Dimaksud dengan Kesepakatan Sukarela-Pendekatan Uni Eropa”, Ringkasan Kebijakan 3 EFI (European Forest Institute), Fasilitas FLEGT UE “Apkindo Targetkan Produksi Kayu Lapis 7,1 Juta M3”, bataviase.co.id, 4 Mei 2010 Appellate Body Report, US – Shrimp, diadopsi tanggal 21 Nopember 2001, DSR 2001: XIII, 6491 56, alinea 7.44. “Article 4 of 2008/xxxx COD-Proposal for A Regulation of the European Parliament and of the Council-laying down the obligation of operators who place timber and timber products on the market (text with EEA relevance)”, http://ec.europa.eu/development/icenter/repository/flegt_ timber_proposal_oct08.pdf “Briefing Forest Legal Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) and Voluntary Partnership Agreeent (VPA)”, greenpeace_ngo-briefing_mtcc. pdf

123


Client Earth, “Legal Analysis: Applicable Legislation in the Illegal-Timber Regulation,” Client Earth Briefing, April 2010 Client Earth, “Legal Analysis: Due Diligence and a General Prohibition in the Illegal-Timber Regulation,” ClientEarth Briefing April 2010 “Due diligent for timber products”, http://ec.europa.eu/development/policies/9interventionareas/environment/forest/forestry_intro_en.cfm #F4P7_TC2-COD(2008)0198 “Ekspor Kayu Olahan Melonjak”, bataviase.co.id., 5 Mei 2010 “EU response – FLEGT action plan”, http://ec.europa.eu/development/policies/9interventionareas/environment/forest/forestry_intro_en.cfm European Parliament legislative resolution of 7 July 2010 on the Council position at first reading for adopting a regulation of the European Parliament and of the Council laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market (05885/4/2010 – C7-0053/2010 – 2008/0198(COD)). Final Report EU-Indonesia Business Dialogue 1-2 October 2009”, Brussel, 09.34028EIBDReportFINAL7-12-2009.pdf “FLEGT Voluntary Partnership Agreement Between Cameroon and the European Union,” Briefi ng Note, May 2010. “Forest Carbon Partnership Facility (FCPF)”, Mei 2009, FCPF_140909_0. pdf “Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT)”, http://ec.europa.eu/environment/forests/flegt.htm Fredik Erixon dan Brian Hindley, “New Trade Regulations to Combat Illegal Logging: A Critique”, European Centre for International Political Economy (ECIPE), Brussel, 2009 GATT Panel Report, Thailand – Cigarettes, diadopsi tanggal 7 Nopember 1990, BISD 37S/200 195, alinea 73 dan 75.

124


Hariadi Kartodiharjo, 2008, Dibalik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam: Masalah Transformasi Kebijakan Kehutanan, Wana Aksara, Banten “Indonesia-Eropa Tingkatkan Komunikasi Perdagangan”, 16 Juni 2010 http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2010/06/16/ brk,20100616-255927,id.html “Indonesia-Eropa Gelar Forum ‘Curhat’ Bisnis dan Investasi”, 16 Juni 2010 http://www.detikfinance.com/read/2010/06/16/192912/137972 7/4/indonesia-eropa-gelar-forum-curhat-bisnis-dan-investasi “Indonesia- EU-Indonesia Business Dialogue (EIBD) 2010 (Multi-Sector)”, http://www.ukti.gov.uk/export/event/112770.html “ITTO TTM Report 14:23 1-15th December 2009”, ITTO Tropical Timber Market Report “Kayu Olahan Tanpa Dokumen di Labuhan Bilik Ditangkap Polisi”, 16 April 2007 http://hariansib.com/?s=Kayu+olahan+tanpa+dokumen+di+lab uhan+bilik+ditangkap+polisi, “Kerjasama Pembangunan Uni Eropa di Indonesia”, http://www.delidn.ec.europa.eu/en/special/bluebook/BB07-ID3.pdf at 8/7/2010 Laporan Final, “Analisis Kebijakan Pemerintah Dalam Rangka Pencapaian PHPL” Materi Presentasi Powerpoint “Peran Lembaga Penilai/Verifikasi dan Proses Penilaian/Verifikasi PHPL/LK”, PT (Persero) Sucofindo, Jambi, 2010 Muhammad Syarif Alatas, “Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya”, Sekilas Uni Eropa, 17 Mei 2010 Multistakeholders Forestry Program (MFP II), Term of Reference Analisis Hukum Teks Voluntary Partnership Agreement (VPA), 2010. Myers, 1957, The Names and Scope of Treaties, 51 American Journal of Internasional Law, page 546-547

125


Parliament legislative resolution of 22 April 2009 on the proposal for a regulation of the European Parliament and of the Council laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market (COM(2008)0644 – C6-0373/2008 – 2008/0198(COD))*hereinafter “Parliament Amendments”+, Explanatory Penegakan Hukum, “Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Perdagangan”, Ringkasan Kebijakan 2 EFI (European Forest Institue), Fasilitas FLEGT UE, EFIPolicybrief2innet1.pdf Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.6/VI-Set/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu. “Polisi Agara Temukan Tiga Ton Kayu Olahan”, beritasore.com, 8 Juni 2010 Position of the European Parliament adopted at second reading on 7 July 2010 with a view to the adoption of Regulation (EU) No .../2010 of the European Parliament and of the Council laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market ”Produksi Kayu Indonesia Laris di Pasar Internasional”, Kontan.co.id, 9 Maret 2010 Questions and Answers on the Proposed Regulation laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the EU market, What is “due diligence”, http://ec.europa.eu/development/icenter/ repository/Q&A_timber_prop_oct08.pdf “Recent Amendments to U.S. Lacey Act Should Help Protect Forests Worldwide,” http://inece.org/climate/LaceyActAmendments.pdf (diakses 11 Juni 2010). Satria Astana, Subarudi, dan M. Zahrul Muttaqin, “Evaluasi Kebijakan Yang Mendistorsi Pasar Kayu”, Info Sosial Ekonomi, Vol. 3 No.1 (2003) pp. 10-18, (diakses 2 Juli 2010) Seri Catatan Pengarahan FLEGT 2007, Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Bidang Kehutanan, Seri 2007 Seri Catatan Pengarahan FLEGT 2007, Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Bidang Kehutanan, Seri 2007,Catatan Pengarahan

126


Shawn L. Bryant, “The European Union’s Ecolabel and its Effects on the Tropical Timber Industry,” November 26, 1996, materi video conference on International Trade oleh David Linnan, Fak Hukum UGM dan University of South Caroline, Maret 2010. “Siaran Pers Kepala Bidang Analisis dan Penyajian Informasi Depatemen Kehutanan Nomor: S.7/II/PIK¬1/2007”, Dehut.go.id., 9 Januari 2007 “Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending Model Usaha Kecil”, http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=50307&idrb=44501 (diakses 13 Juni 2010) Statistik Kehutanan Indonesia-Forestry Statistics of Indonesia 2008, Departemen Kehutanan, Jakarta, Oktober 2009 “Tak Masuk Akal Ekspor Kayu Malaysia Nomor 9, RI Kok Nomor 13”, Detik.com Januari 2009 “The Potential use of Wood Tracking in European Markets”, JLIRA Seminar on Wood Tracking, Jakarta 4 February 2010 US Tuna (Mexico), GATT Panel Report, United States – Restriction on Imports of Tuna, 3 September 1991. “VPA Legality Assurance System (LASs)”, http://www.euflegt.efi.int/approach.php?approach_id=41&menu=5 “2008/xxxx COD-Proposal for A Regulation of the European Parliament and of the Council-laying down the obligation of operators who place timber and timber products on the market (text with EEA relevance)”, http:// ec.europa.eu/development/icenter/repository/flegt_timber_proposal_ oct08.pdf

127


128


129


130


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.