MISTERI ARMONIA
Kata Pengantar
Hayalan‌. Semua orang pasti pernah berhayal. Kali ini Ebook yang aku buat ini berasal dari hayalan ku, aku sangat suka berhayal yang aneh – aneh. Saat aku berhayal aku ingin merasakan apa yang ku hayalkan tadi nyata tapi aku tau itu tidak mungkin ada di dunia nyata sama seperti cerita Ebook yang aku buat ini, mungkin gak jelas aneh atau apalah. Kiranya kalian suka dengan buku ini,
(Irma Agustina Sirait X Rpl 1)
ARMONIA Prolog……
I told you once, “Get out my life. I don’t need ya, I’ll be alright.” But some things are better left unsaid. So tell the truth and hit me hard a broken heart is all I have now but some things are better left unsaid. And I swore that I would never say I miss you more every day but some things are better left unsaid. Are better left unsaid, said, said……. Crack … Suara ranting terinjak membuat Zarra berhenti mendengarkan lagu yang sudah beberapa bulan ini selalu ia nyanyikan. Suara hatinya, Zarra menoleh dengan cepat ke arah di mana suara terdengar. “Hai, sorry ganggu.” Suara gugup Nathan terdengar. “Suara lo bagus.” Tubuh Zarra mematung seketika, dia akan pergi meninggalkan Nathan sendirian, kalimat Nathan membuatnya menghentikan langkanya. “Gue tau lo bukan manusia.”
01 : Ketertarikan Evarado Nathaniel “Eh eh, coba deh lihat di depan sana pak wiratno ada gak?” Tanya Nathan pada Readhood Witch. Sayap Readhood Witch yang berwarna kehitaman mengepak, meninggalkan Nathan yang tengah mengatur napas sambil melirik jam tangan. Perjalanan dari rumahnya-Purity of Heart menuju sekolah memang sebentar, namun ia kesiangan karena tidak bisa tidur nyenyak. Gue telat, bangun. “Lo telat, Nat?” “Sini eh,” Nathan menarik Maudy mendekat. “Jangan berdiri disitu, ntar ketauan sama pak Wiratno.” Pak Wiratno adalah satpam yang terkenal galak di Petrichor High School. “Gila, gue gak mau kena hukum lari keliling lapangan dan gak boleh masuk kelas,” gerutu Maudy, “hari inikan ada ulangan.” Maudy yang memiliki kebiasaan menggigit bibir jika gugup membuat Nathan terkekeh kecil dan menepuk kepala Maudy pelan. Gadis itu mendongak dengan sorot khawatir. “Kita gak akan kena hukum,” ucap Nathan ketika ekor matanya mendapati Redhood Witch yang memberi tanda ‘aman’. “Pak Wiratno udah gak ada.” Nathan menarik Maudy mendekati gerbang dan menoleh ke kanan-kiri, membuktikan bahwa satpam itu tak ada. Ketika sudah yakin ia berjongkok, menunjuk punggungnya sambil menatap Maudy. “Apa?” tanya Maudy dengan alis naik setengah. “Naik,” ujar Nathan tak sabaran. “Lo mau masuk kelas, kan?.” Maudy ragu. Apa dia benar-benar harus naik ke pundak Nathan demi masuk sekolah?. Setelah beberapa detik berpikir, akhirnya Maudy setuju. “Bener si bapak gak ada?” tanya Maudy lagi. Nathan kembali mengangguk, menunjuk punggungnya sekali lagi. “Buruan!” Redhood Witch yang sudah menyadari dari lama tentang ketertarikan Nathan pada Maudy hanya bisa memutar bola matanya malas. “Mencari
kesempatan ,” bisik Redhood Witch, namun terdengar jelas oleh Nathan. Pemuda itu melotot, protes karena Slave berpredikat penyihir itu tengah mencibirnya. Redhood Witch pun terkikik geli dan segera menggerakkan jemarinya hingga Maudy terpekik kaget karena tubuhnya bisa bergerak sendiri. “Badan gue kenapa, astaga?” ucap Maudy kaget. Nathan hanya bisa terkekeh dan mulai berdiri pelan. Telapak tangan Maudy memegang kepala Nathan dengan erat. Takut jika tubuhnya akan jatuh. Ketika gerbang sekolah sudah sejajar dengan dada Maudy terlempar. ”Nathan!” pekik Maudy dengan mata tertutup. Dengan bantuan Redhood Witch, angin berkumpul di sekitar Maudy demi menjadi bantalan bongkok gadis itu tubuhnya tidak menghantam tanah dengan keras. Dalam hitungan detik, Nathan melompat di bantu Redhood Witch sampai ia mendarat mulus tepat di samping Maudy yang masih menutup rapat matanya. “Maudy, hey” panggil Nathan sambil mengguncang tubuh Maudy. Gadis itu membuka kelopak matanya takut-takut dan kembali kaget karena melihat Nathan yang sudah ada di sisinya. Tangannya menunjuk Nathan, matanya mengedip beberapa kali sambil melongo. “Awas nanti laler masuk,” Celetuk Nathan sambil mengamit tangan Maudy. Masih dengan rasa heran dan takjub akan yang dialaminya barusan, , Maudy dibawa lari oleh Nathan, menembus pagi yang sepi karena bel sudah berdering sejak tadi. Sayup-sayup terdengar teriakan Wiratno yang memanggil nama mereka, namun Nathan atau pun Maudy tidak sama sekali menghiraukannya. Nathan terkikik geli, menuju kelas 11-IPA-2
………………..
Seorang gadis dengan rambut kecoklatan sedang memandang lapangan sambil bertopang dagu. Tubuh tingginya membuat dia terlihat lebih tua dari umurnya yang baru menginjak 14 tahun. “Zarra psst,” selogan Tasya sama sekali tidak membuatnya menoleh. Anak itu sama sekali tidak peduli. Dia bahkan bersenandung, memikirkan seseorang yang sudah memenuhi benaknya beberapa bulan terakhir ini. Hingga suatu timpukan membuat lamunannya buyar. “Udah ngelamunnya?” tegur Andre, guru matematika sekaligus wali kelasnya. Zarra terkekeh, mengelak, “saya gak ngelamun kok, Pak!”. Andre menaikkan sebelah alis. Tangannya bersidekap, menatap tajam Zarra yang masih cengar-cengir sambil menatap teman-teman sekelas. Mereka sudah hafal betul sikap Zarra yang suka tidak memperhatikan guru. “Berdiri, Zarra” Andre mengetuk-ngetuk jemarinya di meja Zarra membuat gadis itu berdiri. “Ambil buku catatanmu,” Zarra cemberut, tetapi tetap mengikuti petunjuk Andre. “Setelah selesai pelajaran, saya ingin kamu melaporkan materi hari ini pada saya,” jari Andre menunjuk lorong kelas membuat Zarra meminta belas kasihan. “Sekarang Zarra!.” Akhirnya dengan malas Zarra berjalan keluar kelas, diikuti pandangan kasihan dari Tasya. Tiba di lorong, Zarra berdiri tegap dan mulai mencatat materi yang di terangkan Andre. “And I swore that I wrong never say, I miss you more every day, But, some things are better left unsaid…” Zarra berbisik, menyanyikan lagu kesukaannya sambil menulis materi pelajaran yang di berikan Andre di dalam kelas.
……………
“Yaaah,” elu Maudy saat sebagian isi minumannya mengenai seragam karena bertabrakan dengan Julli, anak klub sepak bola yang berkulit coklat. “Kalo jalan hati-hati dong Jul.” Julli terkekeh pelan dan mengambikan tisu di atas meja kantin. Dini, sahabat Maudy hanya bisa mengela nafas dan membantu Maudy membersihkan kemejanya. “Makanya jangan mikirin Amanda mulu lo,” celetuk Dini. Mata Julli melotot, tangannya menjitak kepala Dini pelan. “Mulut lo jangan kaya ember bocor deh.” “Ugh, ” erang Dini, menonjok bahu Julli dengan keras.”Jangan songong lu!” Pandangan Julli teralihkan lagi pada Maudy. Kantin yang penuh dan sesak menyebabkan minuman yang ada di tangan Maudy kembali menciprat. Gadis itu menghela nafas, dengan perasaan dongkol ia membuang es jeruk yang isinya masih setengah. “Sorry, beb” ucap Julli dengan cengiran lebar. “Bab-beb-bab-beb, gue bukan bebek,” kesal Maudy. Maudy merupakan gadis yang tidak akan marah meskipun ia suka mendumal. Setelah membuang tisu ke sembarang arah, Maudy berjalan membelakangi lautan manusia kelaparan yang ada di kantin. Hilang sudah nafsu makannya. “Eh-eh mau kemana dy?” panggillan Dini sama sekali tidak membuat gadis itu berhenti berjalan hingga akhirnya ia kembali bertabrakan dengan seseorang. “Sial banget sih gue hari ini!.” Gerutunya sambil mendongak “eh, Nathan” Nathan menaikkan sebelah alisnya melihat Maudy yang tengah menggerutu kesal. Ketika matanya menyadari seragam Maudy yang basah, kening Nathan mengerut dalam. “Seragam lo kenapa tu?” tanyanya sambil menunjuk. Maudy menjawab, “biasa si Julli bengong dan gue di tabrak. Kayaknya dia perlu satu mata lagi deh di jidat biar bisa jalan dengan benar.” Nathan tertawa, “Dajjal dong jadinya
hahaha…” Maudy mengedikkan bahu tak peduli, tetapi senyuman kecil tidak bisa di sembunyikan ketika melihat wajah Nathan. Beberapa bulan terakhir semenjak kedekatan mereka, ada perasaan hangat yang menyapa. “Mau gue beliin penggantinya?” tawar Nathan sambil menunjuk kantin yang penuh. “Es jeruk kan?” “eh gak usah, ” Maudy menggoyangkan telapak tangannya “ntar gue jadi ngerepotin.” “Masih kaku aja sih sama gue,” cengir Nathan, dihadiahi jitakan Redhood Witch yag sudah tak tahan melihat tingkah anak angkat tuannya ini. Nathan melotot pada Redhood Witch yang ditanggapi kikikan geli olehnya. Namun ekspresinya segera normal saat melihat wajah bingungnya Maudy akan perubahan ekspresi Nathan yang sangat cepat. “Bentar ya,” Nathan tersenyum “gue beliin dulu” gadis itu hanya bisa mengangguk, memperhatikan Nathan yang mulai berdesakan di kantin yang sangat ramai itu. Senyuman mengembang karena sadar dirinya beruntung punya teman sebaik Nathan. “Ehm, ehem,” deheman Dini membuat Maudy tersentak kaget “apaan sih,” balas Maudy cuek, Dini menaikkan sebelah alisnya. “Kelihatan banget tuh Nathan naksir sama elo” “gak kok, kita Cuma temen” Maudy berjalan mendekati kursi panjang yang terdapat di depan kelas 10. Beberapa adik kelas hilir mudik, menyapa Maudy dan Dini atau sekedar tersenyum. “Teman doang tapi muka lo kok merah sih?” goda Dini sambil menyenggol bahu Maudy. “Ih apaan sih ngeselin banget deh,” ucap Maudy sambil memajukan bibir tanpa bisa ditahan, Dini memegang perutnya yang mulai sakit karena ketawa yang begitu keras. Maudy sendiri mesara sangat kesal karena digoda terus oleh sahabatnya, tidak mungkin seorang Nathan yang terkenal baik dan ramah pada semua orang memiliki perasaan lebih padanya.
Maudy memekik kaget saat ada sesuatu yang dingin menyentuh permukaan kulit pipi, dia menoleh mendapati Nathan dengan segelas plastic es jeruk di tangan kanannya. Sambil tersenyum, Nathan memberikannya pada Maudy “thanks,” ujar Maudy pelan yang ditanggapi anggukan oleh Nathan “buat gue mana?” pinta Dini, tangannya memanjang dan membuka lebar telapaknya. Nathan menaikkan sebelah alisnya “minta sama pacar lo lah jangan sama gue” setelahnya, Nathan tertawa kecil dan menjauhi dua gadis yang menatap punggung Nathan tanpa berkedip. Dini menoleh, menatap Maudy yang hanya asik menyeruput es jeruknya. “Heh Maudy Caroline,” senggol Dini “lo liat sendirikan perbedaannya? Masa lo dibeliin , gue enggak? Kurang jelas apa coba? Dia itu suka sama lo Dy!”. Maudy memutar bola matanya dengan malas, “lo kan udah punya pacar, Dini wajar kayak gitu” “alasan,” cibir Dini.
……………
Gadis kecil bermata biru dengan sayap putih menatap Nathan yang tengah menghabiskan makan malamnya. Bibirnya tersenyum ketika melihat ada remahremah di bibir Nathan, “kak Nathan makannya kayak anak kecil” sahut Crystal geli “berantakan” Nathan yang tengah asik minum hanya melirik sekilas “berarti kaya kamu dong, ya?”. Bibir Crystal melengkung ke bawah mendengar ejekan Nathan gadis berumur 10 tahun itu kembali melahap makan malamnya sambil terus bergumam, “Crystal bukan anak kecil lagi.” Lica yang melihat Nathan bercanda dengan Crystal hanya bisa tersenyum, mengambil piring kosong Duff dan menatap piring makan yang sama sekali belum
tersentuh. Piring milik Baldric. “Ma” semenjak Lica dan Duff menikah, Nathan resmi menjadi anak angkat mereka berdua, panggilan Nathan membuat Lica menoleh. “biar Nathan yang mengurus Baldric”, “makasih ya, sayang” ucap Lica tulus sambil tersenyum. Lica tau betul, anak tengahnya yang pendiam itu hanya dekat dengan Nathan, setelah membersihkan bibirnya dengan sapu tangan dan mengacak rambut Crystal, Nathan mengambil nampan dan meletakkan makan malam Baldric di atasnya. “Pa, Aazad kapan balik kesini?” tanya Crystal tiba-tiba. Pandangan Duff pada Nathan yang menuju Baldric teralihkan ia melirik Crytal setelah menutup buku yang berisikan Purity of Heart. Buku yang ia tulis sendiri, Pria itu bergumam menunjuk – nunjuk dagunya dan menatap Lica sejenak. “Apa?” tanya Lica bingung “ mau jenguk Aazad di Hell, gak?” tanya Duff tiba – tiba . “ kamu aja deh yang kesana sama Crystal, “ Jeda Lica. “ Aku jagain Galaxy Diamond aja.” Aazad, yang tertua di antara Crystal dan Baldric memang memiliki minat yang besar terhadap Hell. Ntah bagaimana pola pikir Aazad, yang pasti bocah itu menganggap Clarion sebagai pribadi yang sangat hebat, “Aazad sombong bangat sih, gak pulang seminggu,” gerutu Crystal. Lica terkikik geli, menarik tangan Crystal untuk bangkit dari duduknya meskipun Crystal dan Aazad selalu berkelahi ketika bertemu, tapi mereka akan saling merindukan kalau tak bertemu beberapa waktu. “Yuk, mendingan Crystal istirahat biar besok bisa latihan pagi – pagi,” ajak Lica. Crystal mengangguk mengikuti langkah ibunya, membersihkan diri sebelum tidur sepeninggal Lica dan Crystal, Duff bangkit dan menuju kamar Baldric. “gak usah sok tau deh anak kecil,” suara Nathan yang di selingi tawa terdengar di
telinga Duff. Sejak setahun yang lalu, ketiga anaknya memiliki ruang tidur masing – masing. Baldric si pendiam lebih suka kamarnya di pojokan berhadapan dengan kamar Nathan. Kamar Crystal dan Aazad sendiri saling berhadapan. “gak usah bohong sama Baldric kak” Duff yang merasa penasaran akan pembicaraan mereka lantas berdiri di depan pintu kamar Baldric. Namun saat dia akan mendekatkan telinga pada daun pintu, pintu kamar terbuka Nathan yang menyadari kehadiran Duff langsung mengerutkan kening. “Pa” “kalian ngomongin apaan sih? “tanya Duff penasaran. “cerita sama papa. Nathan sekarang punya pacarkan?” jawab Nathan “apaan sih Pa? Enggak kok!” Nathan memeriksa ponsel, membuka LINE dan tersenyum saat nama Maudy berada paling atas chat. Maudy : Besok gue mau rampok koleksi music di laptop lo
02 : Nyanyian Kyna Izarra Querida Pagi yang sama, dengan aktifitas yang sama. Bersekolah dengan kemeja berwarna biru muda dan rok berlipat – lipat pendek di atas lutut. Tubuhnya berputar – putar di depan cermin, menghela napas dengan berat. “Bosan sama seragam yang gini – gini aja, “gerutunya. “emangnya lo mau seragam yang kayak gimana sih?”. “kayak lo kak, “ujar Zarra sambil menunjuk Maudy. Maudy tersenyum, “nanti lo juga bakalan make tenang aja.” “Maudy! Ada yang jemput!” teriak Alyssa- mama Maudy. “siapa yang jemput lo kak?” tanya Zarra penasaran. Tanpa menjawab pertanyaan adiknya Maudy pun pergi dan berpamitan kepada mamanya.
……………
“Nguntit lagi nih? “ Redhood Witch melayang di dekat Nathan yang hanya duduk diam memperhatikan gerak – gerik Maudy. “gue gak ngutit kali, “saut Nathan. Dia bangkit ketika gadis itu berjalan beriringan dengan Dini. Nathan dengan sabar berjalan di belakang Maudy, mengikuti langkah gadis itu kemanapun ia pergi. Sebut ia Stalker, karena sudah beberapa kesempatan Nathan mengikuti Maudy selepas sekolah. Ada hal yang selalu membuat dirinya penasaran. Suatu ketika, Nathan tak sengaja melihat Maudy berada di batas terluar dari hutan terlarang. Awalnya, Nathan mengira gadis itu hanya ingin melihat – lihat tapi ternyata dia salah. Tiap kali Nathan akan masuk portal menuju Purity of Heart, dia akan selalu melihat Maudy berjalan kearah hutan. Nathan sendiri tidak mengerti mengapa
hutan indah itu di sebut Hutan terlarang. Sebenarnya bukan karena hal itu Nathan tertarik pada Maudy. Semenjak penerimaan murid baru, Nathan tertarik akan sosok Maudy dengan wajah tenangnya. “Nathan? Lo ngapain dah?” tanya Maudy “gak ngapa – ngapain kok.” Nathan terkekeh “Lo sendiri, ngapain?” “Gue? Balik lah. Lo gak pulang ke rumah?” “Oh- um, mau gue antar?” tawar Nathan. Maudy mengerutkan kening samar kemudian menggoyangkan tangan kekanan dan kekiri. Dia tersenyum sambil berkata, “gak usah, Nat. gue bisa balik sendiri kok.”
……………
”Dia kemana dah? Kok hilang?” tanya Nathan sambil mencari Maudy, “Udah balik kerumahnya mmungkin,” ucap Redhood Witch acuh tak acuh. Nathan mengendus, “ya kali balik ke rumah. Arah yang berlawanan gitu” “bisa jadi ka nada jalan pintas?” ucap Redhood Witch. Mengedikkan bahunya sejenak. “iya kali.”
……………
Zarra menghembuskan napasnya berkali-kali, menggoyangkan kaki yang menjuntai ke bawah. Hampir mengenai rerumputan taman sekolah. Suasana lapangan yang biasanya ramai kini sepi. Tak ada belasan anak lelaki yang berlari mengejar satu bola. “Belum balik Ra?” sapa seseorang yang membuat Zarra menoleh, “Kelihatannya gimana?” Zarra tersenyum kecil melihat orang yang menyapanya dengan terkekeh dengan gugup.
Haidar, dia berdiri di samping bangku tanaman dengan tangan memegang dua cup es krim. Cowok itu terkekeh dan menyodorkan salah satunya pada Zarra. “Es krim?” “uhmm,” deheman Haidar membuat Zarra menoleh. “Lo ngapain deh, kok tadi diam aja?”. Zarra mengedikkan bahunya sekilas, lalu bangkit “Bengong aja, iseng” “Mau kemana?” “Balik dong,” jeda Zarra “oh, ya makasih ya es krimnya”. Baru saja Zarra akan melangkah lengan Zarra. “Uhm, mau balik bareng?” dulu Zarra tergila-gila akan senyuman Haidar. Sikap kikuk dan wajah yang sering menampilkan semburat merah itu menjadikan nilai plus untuknya. Memberikan kesan bawah dia tipe cowok jujur dan baik. Tapi, sekarang sikapnya itu tidak membuat hati Zarra bergetar. Perasaan Zarra sudah tak seperti dulu dengan lembut Zarra melepaskan tangan Haidar. “Gak usah, Haidar. Lain kali aja, ya”
……………
“I told you once, ‘Get out my life. I don’t need ya, I’ll be alright.’ But some things are better left unsaid.” Beberapa kelinci dan kijang menyembul dari semak, terlena akan nyanyian Zarra. Tanpa disadari Zarra, tak jauh dari tempatnya berdiri ada Nathan yang sedang berjalan ke arahnya cowok itu ternyata masih penasaran dengan menghilangnya Maudy secara tib-tiba. “Ada yang nyanyi?” gumam Nathan sambil mengernyitkan kening serta menajamkan pendengaran. Redhood Watch pun ikut terdiam hingga akhirnya terdengar dengan jelas suara lantang Zarra yang merdu.
“So tell the truth and hit me hard, A broken heart is all I have now, but some things are better left unsaid.” “Suaranya keren banget,” timpal Redhood Witch. Nathan mengangguk setuju, kini kakinya melangkah berlawanan dengan arah angin yang akan membawanya ke pemilik suara. Ketika ia menemukan Zarra, kakinya berhenti melangkah. Kini Nathan melihat Zarra tengah merentangkan kedua tangan sembari menutup mata. Menikmati tiap kalimat yang di keluarkan oleh pita suaranya. Wajah terangkat ke angkasa, menikmati desiran angin yang menggoyangkan rambut coklat Zarra. “And I swore that I would never say, I miss you more every day, but some things are better left unsaid, Are better left unsaid, said, said….” Crackk, suara ranting terinjak membuat membuat Zarra berhenti mendendangkan. Suara hatinya Zarra menoleh dengan cepat ke asal suara. “Hai, sorry ganggu.” Suara gugup Nathan terdengar. “Suara lo bagus” Tubuh Zarra mematung seketika. Itu dia, batin Zarra ketika Zarra akan pergi meninggalkan Nathan membuatnya menghentikan langkah. “Gue ”tau lo bukan manusia. Zarra terdiam, mematung memperhatikan Nathan. Tak sampai beberapa detik, ia menyadari pada penyihir kecil yang melayang di samaping Nathan. Redhood Witch melambaikan tangannya pada Zarra dengan ramah “Hello, Banshee,” ucap Redhood Witch.
03 : Ingat Masa Kecil “Ayo Zarra makan dulu,” Alyssa menyapa Zarra ketika gadis itu baru menutup pintu apartemen dari malam. Bukannya menghampiri Alyssa di meja makan ia justru melengos begitu saja. Membuat Alyssa menerka-nerka apa yang terjadi di sekolah. Di dalam kamar Zarra bersandar pada daun pintu sambil menggenggam erat tali tasnya dadanya naik turun mengatur napas yang masih tak beraturan. Percakapan singkatnya dengan Nathan ternyata masih masih menyisakan gugup.
……………
“Gue piker populasi banshee udah gak ada.” Zarra menaikkan sebelah alis “Mungkin gue yang terakhir di dunia ini.” “Selama ini gue selalu penasaran sama sosok banshee yang katanya mengerikan,” Nathan memperhatikan Zarra dari atas sampai bawah lalu kembali lagi ke wajahnya, “ternyata tatapan orang-orang salah.” “Kalau lo liat wujud asli gue mungkin bakalan kabur,” “gue pernah lihat yang lebih mengerikan.” “Oh ya?” Zarra melipat kedua tangannya di depan dada, berusaha meredam detakan jantungnya yang tak beraturan, tenang Zarra, tenang batin gadis itu berulang kali. “Melihat langsung kematian tidak wajar seseorang yang dikasihi ” bisik Nathan dengan sangat pelan,tidak terdengar oleh Zarra. Redhood Witch terbang mendekat dan membungkuk sejenak untuk memperkenalkan diri, “Hai aku Redhood Witch. Penjaga dia” “Penjaga?” “gak usah dengerin dia” Nathan
menarik Redhood Witch hingga ia menjahui Zarra. “Gue Nathan.Elo?” Gadis itu menyambut uluran tangan Nathan. “Zarra” Beberapa saat tangan mereka terlepas, mata Nathan menatap sekitar seperti menari sesuatu seseorang lebih tepatnya, merasa diabaikan Zarra menghela nafas dan hendak berbalik arah, namun segera dicekal di pergelangannya oleh Nathan. “Lo liat cewek yang pakai seragam PHS gak?” Zarra mengerutksn kening “Gue baru sampai jadi gak liat siapa pun.” “Uhmm, okey…” Nathan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, saat ekor mata Nathan menatap tangan Nathan yang masih menggenggam pergelangannya. “Sorry” “It’s okey,” gumam Zarra sambil membuang wajahnya yang terasa panas. “Lo gak kaget karena gue tau diri lo yang sebenarnya?” Gadis itu mengangkat wajah lalu tersenyum. “Enggak, gue udah tau lo punya kemampuan lebih.”
………..
Konon katanya, banshee merupakan sesosok hantu menyeramkan yang telah di bunuh atau roh seorang wanita yang meninggal saat melahirkan. Namun kenyataannya banshee adalah seorang wanita dari negeri peri yang bertugas untuk menyampaikan pesan kematian dengan nyanyiannya. Tetapi, tidak untuk Zarra tak semua nyanyian yang ia dendakan merupakan pesan kematian. Saat di dekat hutan itu Zarra hanya ingin meluapkan emosi yang memuncah di dadanya. “Kalo aja dia tau gue udah merhatiin dia dari beberapa minggu yang lalu,” gumam Zarra samil membungkus tubuhnya dengan selimut. Kemudian sekelebat kilasan saat Nathan menjemput Maudy membuat Zarra menghela nafas. “Ah… dia
kayanya naksir kak Maudy deh,â€? sesal Zarra lalu bangkit dan me natap dirinya di cermin. “Seandainya dia kenal gue duluan, apa dia bakalan tertarik sama gue?â€?. Dan apa yang telah di pikirkan Zarra sebelumnya berkata lain akhirnya Nathan pun akhirnya menyatakan cintanya pada Maudy dan saat Zarra mendengar pernyataan Nathan tadi. Di situ Zarra merasa sedih‌. Walau pun seperti itu Zarra masih mempunyai rasa yang sangat besar pada Haidar. Ia pun menunggu sampai Haidar memerikan hatinya pada Zarra..