Separuh Dunia

Page 1

Jodhi P. Giriarso

Novel Mini

1


Sinopsis: Seorang pria melintasi separuh dunia untuk menyatakan perasaannya. Sebuah kecelakaan pesawat membuatnya menghancurkan susunan lempeng tektonik di Karibia agar bisa lolos dari kecelakaan. Seorang perempuan mencari pria pujaan hatinya karena kecelakaan pesawat. Hasil pencariannya menuntunnya ke pusat fasilitas utama NASA. Keduanya bertemu. Keduanya berusaha menghentikan tsunami yang akan terjadi. Dan bagaimana keduanya menyatakan cinta saat situasi gawat itu? Mampukah mereka menghentikannya? Tentang Penulis: Selain menulis free PDF novel mini ini, saya juga menulis satu novel berjudul ‘Konspirasi Nuklir’ (Tiga Kelana) dan dua buah buku penunjang pelajaran kimia SMA (Gagas Media). Konspirasi Nuklir (Tiga Kelana, Imprint Tiga Serangkai) Sebuah pertemuan internasional yang akan diselenggarakan di Bandung, terancam menjadi ladang pembantaian. Seorang mahasiswi Kimia, dua orang wartawan, satu inspektur polisi dari Polwiltabes Bandung, dan dua anggota terbaik Paskhas Anti-terror harus menguraikan pesan-pesan yang tersandikan dari seorang agen intelejen untuk menemukan sebuah bom nuklir yang ditanam di Bandung. Mereka diburu waktu untuk menyelamatkan dunia dari Perang Dunia Abad 21. Dan, tanpa mereka sadari, seorang pembunuh berbahaya tengah mengintai mereka!

2


Rangkuman Kimia SMA (GagasMedia) Buku rangkuman Kimia paling atraktif. Cetak ulang TIGA kali dalam waktu TIGA BULAN!!! Sekarang masuk dalam cetakan kelima.

SuperLengkap Kimia SMA (GagasMedia) Rangkuman beserta soal latihan plus CD interaktif. Sudah masuk cetakan ketiga.

3


Separuh Dunia Jodhi P. Giriarso Editor: Jodhi P. Giriarso Desain sampul: Jodhi P. Giriarso Desain isi: Jodhi P. Giriarso Novel mini ini diterbitkan langsung oleh penulisnya dalam bentuk e-book dan dibagikan secara gratis. Siapapun boleh mengutip sebagian atau seluruh isi novel ini. Boleh pula mendistribusikannya dalam bentuk audio maupun visual, baik cetak maupun elektronik asal BUKAN untuk kepentingan KOMERSIL. Tentunya dengan tetap menggunakan nama Jodhi P. Giriarso sebagai penulisnya.

4


Ucapan terima kasih Terima kasih pada semua teman-teman di Facebook, yang telah mengomentari dan memberi masukan pada setiap chapter yang saya tuliskan di note Fecebook saya. Catatan Penulis: Walaupun sudah diriset secermat mungkin, kesalahan selalu terjadi. Jadi walaupun terkesan sangat ilmiah, tak perlu menganggapnya terlalu serius. Nikmati novel ini sebagai fiksi biasa. Semoga menghibur! Semua deskripsi dan interpretasi dalam novel ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.

5


Chapter 1: Guinchos edikit melongok ke luar jendela. Awan semua, sedikit perairan yang terlihat. Aku memegang GPS, di layarnya tertulis Latitude: 24° 9’ 0” N, Longitude: 77° 35’ 10” W pada lokasi tujuan. Dengan sedikit fisika sederhana hasil bagi antara jarak dan waktu maka kudapatkan kecepatan rata-rata pesawat ini. perkiraan itu membantuku mengetahui kapan aku sampai. Ini bukan pertama kalinya aku menuju pulau kecil di dekat perairan Kuba ini. Tapi kali ini rasanya begitu menggelegak. Getaran pesawat kecil ini tak seberapa dibandingkan getaran tanganku yang tercermin pada GPS yang tak mau diam seperti dikendalikan tangan gaib. Aku seperti tak memiliki tanganku sendiri. Bayangkan getaran yang ada di dasarnya, tangan hanya sedikit gambaran dengan yang terjadi pada hatiku. Aku bahkan tak memiliki hidupku sendiri. Mungkin Itulah yang muncul di kepala professor saat kemarin sore aku mengetuk pintunya. Dia masih duduk khusyu di kantor karena sudah seminggu pergi ke pedalaman timur tengah untuk mengecek penemuan terbaru tentang perburuan Bahtera Nuh. Dia pasti banyak pekerjaan, dan aku benar, dia di sana. Aku bertanya padanya tentang pembatalan ekspedisi Guinchos semester ini. “Kau tidak berencana pergi ke sana lagi kan dalam waktu dekat ini? Lagipula kau tahu kondisinya, tak mungkin kita mengirim ekspedisi ke sana. Penjagaan di sana ketat sekali, itu yang kudengar dari berita tadi pagi. Lagipula kau tahu hubungan mesra negara ini dengan dinasti Castro.” Aku menunduk, menimbang apa yang harus kukatakan. Profesor berjambang ini tidaklah botak seperti beberapa teman lainnya. Kulitnya tanning akibat kemauan kerasnya untuk tetap turun ke lapangan walaupun sudah setua ini. Dan baginya jambang yang menutupi hampir separuh wajahnya mencegah air buru-buru keluar dari sel kulitnya saat cuaca panas. Sedikit ragu aku menjawab, “Sebenarnya aku ingin berangkat ke lagi, ikut dalam ekspedisi kali ini,” aku tahu

S

6


jawabanku tidak memuaskan, makanya kutambahkan, “tentu bila anda mengijinkan.” Profesor melepaskan kacamata bundarnya. Dan menatapku kesal. Aku mengutuk diriku yang tak bisa berbohong sebaik orang lain. Sudah pasti jawabanku tidak memuaskannya. Bila bimbinganpun, dia takkan menerima teori spekulatif model konseptual baru blacksmoker di dasar laut pasifik. Dia butuh bukti dan analisis yang menghubungkan buktibukti itu. Dia tak terima hanya sekedar indikasi! Kalau saja ada cermin mungkin aku bisa menakar seberapa besar kadar tatapan minta-dikasihani yang kulontarkan padanya. Dia memandang penasaran. “Kau sudah ikut ekspedisi ini sebelumnya. Kau bahkan sudah lebih tahu dari siapapun tentang daerah itu. Apalagi yang kau inginkan? Kau ingin memandu ekspedisi ini?” dia menghela nafas sejenak, “Aku perlu draft disertasimu bulan ini. Kau takkan bisa menyelesaikannya kalau ikut ke sana.” Aku makin mengerut. “Tidak, aku hanya ingin jadi peserta.” Jadi pemandu takkan bisa membuatku bebas di sana, tambah benakku. “Argumenmu lemah, aku jelas takkan mengijinkannya.” Yah, aku tahu itu. “Tapi aku harus pergi ke sana.” “Harus? Tak ada yang mengharuskanmu pergi ke sana! Justru kau harus menyerahkan draft-mu minggu depan. Ada apa denganmu? Salah minum obat pagi ini?” Sekuat tenaga kutahan agar tak ada yang meleleh dari mataku. Aku melemaskan otot wajahku, tapi aku gagal. Bibirku bergetar hebat ketika aku bicara. “FAA menolakku menjadi relawan. Menurut mereka status kewarganegaraanku beresiko. Dan mereka tidak mau mengambil resiko bila terjadi apa-apa padaku. Seperti mereka tidak tahu saja kalau pemerintahku tak mungkin menekan Amerika walaupun aku mati. Jangankan hanya aku satu orang, pemerintahku tak bisa berbuat apa-apa ketika ribuan TKI disengsarakan di negeri orang!” “Kau mendaftar jadi relawan untuk bencana di sana? Untuk apa? Menurut mereka tak ada yang selamat.”

7


“Aku tahu, aku membaca koran, menonton televisi. Tapi aku harus ke sana! Dan satu-satunya peluangku untuk pergi ke sana adalah dengan mengikuti ekspedisi yang tiba-tiba anda batalkan keberangkatannya.” Kini aku tak bisa mencegah air mataku meleleh. Profesor berdiri menghampiriku, “Aku tahu kau sudah hafal benar daerah itu, kau juga punya lisensi penyelam professional. Tapi sekali lagi kutanya, untuk apa kau ‘harus’ pergi ke sana?” Aku tahu aku tak mungkin menyembunyikan lagi tujuanku sebenarnya. Satu-satunya peluangku pergi ke sana adalah ekspedisi ini. Dan penentuan berangkat atau tidaknya ekspedisi ini hanya di tangan profesor tua ini. Begitu orang tua ini mengetuk palu, tak ada satupun orang di universitas ini yang bisa mencegahnya. Aku menyerah, aku harus mengatakan semuanya. “Pria yang kucintai ada di pesawat itu.” Jawabku singkat, tapi cukup menjelaskan segalanya. Dia menatapku. Ada kekuatan dari sorot matanya itu sehingga aku tak bisa menghindar. Kami saling bertatapan. Tanpa komunikasi verbal si tua ini sedang membaca isi pikiranku. Desas-desus yang kudengar, orang tua ini memang punya efek seperti ini pada orang-orang. Hampir dua tahun aku di bawah bimbingannya, baru kali ini menjadi korbannya. “Kau bisa menjamin tak ada mahasiswa lain yang kau libatkan?” tanyanya. Aku mencium respon positif. Aku mengangguk pasti ditambah, “Ya, aku hanya akan melakukan pencarian sendiri.” “Aku tak mau pemerintah tahu kau di sana untuk melakukan pencarian. Aku sudah malas berurusan dengan mereka.” Dia mengambil tissue di atas meja kerjanya dan memberikannya padaku, “tak perlu menangis lagi. Ambil telepon itu dan hubungkan aku dengan John. Sebaiknya dia saja yang memandu.” *** Begitulah ceritanya pesawat ini terbang menuju perairan Bahama. Aku sendiri masih bertanya-tanya mengapa aku bisa seyakin itu menyebutnya sebagai pria yang kucintai. Tanpa

8


keyakinan penuh itulah kemudian aku memberangkatkan ekspedisi ini dari New Jersey ke Miami, dari Miami ke Congo Town, dan dari Congo Town menggunakan speedboat ke Guinchos. Tempat ini menyenangkan dijadikan tujuan liburan, tapi kali ini bukan liburan. Sangat jauh dari pengertian liburan. Pria itu terlalu hening untuk menarik perhatian. Aku hampir tak pernah berbicara dengannya berdua. Hanya beberapa kali, bisa dihitung dengan jari. Pengalaman terisolasi di laboratorium alam memberiku kesempatan mengenalnya lebih dekat. Yah, lebih dekat karena hampir tak ada siapapun saat itu. Dari dekat pria ini memang cukup menarik. Argumennya sulit dipatahkan dalam diskusi ilmiah. Karena pria ini jugalah aku bisa melanjutkan studiku. Dia seperti malaikat penolong saatku jatuh. Dua kali proposal doktoralku ditolak. Ditambah seorang pria yang sangat kucintai menipuku dengan meninggalkanku bersama perempuan lain saat aku sibuk dengan proyek di Kalimantan. Aku kacau saat itu, dan pria itu datang menyelamatkanku. Terakhir kali bertemu dengannya adalah komunikasi verbal paling intens yang pernah terjadi antara kami berdua. Setelah itu, aku pergi ke tempatku sekarang. Entah kenapa komentarnya di facebook selalu menarik perhatianku. Belum lagi bila dia menyempatkan chatting di waktu sibuknya. Perasaan senang itu timbul begitu saja walaupun telaah risetku sedang kacau balau. Tapi hancur semuanya ketika dia memamerkan foto pernikahannya di facebook. Dia bersikeras tak mau menceritakan kenapa pernikahannya gagal. Sampai tiga hari yang lalu dia mengejutkanku dengan mengatakan bahwa dia sedang mengemasi barang-barangnya untuk berangkat ke Atlanta. Katanya dia baru akan menceritakan soal pernikahannya. Dua minggu, dia bilang selama itulah dia akan berada di Amerika. Cukup bagiku untuk menemuinya dan mengenang masa lalu. Hilangnya pesawat trans-atlantik di perairan Bahama membuat jantungku tak karuan degupnya. Kucari informasi di FAA, ternyata benar. Pesawat yang ditumpangi pria itu melenceng dari jalurnya. Setelah ditolak menjadi relawan, hanya ekspedisi inilah peluangku untuk bertemu dengannya, hidup

9


atau mati. Perkembangan berita tidak memuaskan. Tak ada yang selamat, menurut mereka. Tidak bagiku, kematian semua penumpang berarti akhir hidup seseorang di New Jersey, aku. Di pesawat inilah aku yakin pria dalam keheningan itu adalah hidupku juga. Aku tak mau menjalani hidupku tanpa pernah melihatnya lagi. Pesawat mendarat di bandara Congo Town. Angin hangat menerpa rambutku ketika aku turun dari pesawat. Berita kecelakaan pesawat beberapa tahun lalu di kota ini seakan memberikan aura yang kubenci. Aura yang menambah kekhawatiranku akan akhir perjalanan ini. Aku belum tahu bagaimana caranya menemukan pria itu. Tapi aku bersumpah, bagaimanapun keadaannya, aku akan menemukannya!

10


Chapter 2: Purnama abis sudah keyakinanku. Pilar yang kubangun bertahun-tahun, kepingan demi kepingan di atas sebuah keyakinan tak mampu menghadangnya. Begitu lemahnya seperti terhempas kekuatan 5 pada skala Fujita dari Tornado Waco. Semuanya samar, tak ada bekasnya. Dan semuanya karena seorang perempuan. Perempuan ini kukenal saat studi masterku. Aku tak pernah dekat dengannya. Hanya bicara seperlunya, bergurau seadanya. Aku hampir tak pernah menghubunginya lewat telepon, okelah mungkin beberapa kali, itupun bisa dihitung dengan jari dan hanya urusan kuliah. Satu kesempatan mendekatkanku dengannya. Satu kelompok pada sebuah ekskursi geologi. Kami menjelajahi satu wilayah ke wilayah lain. Mencari lipatan atau sesar yang telah kami prediksikan dari peta topografi. Berdiskusi menjelaskan keberadaannya. Meneteskan asam klorida untuk menguji fosil sinter apa yang tersedimentasi di sungai atau mata air. Begitulah, tak lebih dari itu. Dia memang perempuan yang atraktif. Seperti magnet yang memutar bumi, layaknya gravitasi yang menahan manusia di bumi. Dimanapun berada, keceriaan selalu menghiasinya. Sekembalinya ke kampus, kami tenggelam dalam tesis masing-masing. Punyaku sendiri membuatku jungkir balik menganalisis keberadaan mineral epithermal di Indonesia timur. Hampir mencekik leherku sebenarnya, juga pening tak terkira. Perempuan itu kabarnya meneliti di perairan Malaka. Sangat jauh dari tempatku. Saat seminar tesis, sama seperti temanku yang lain, dia juga hadir. Usai studi, aku memimpin eksplorasi di wilayah Indonesia Timur. Sedangkan perempuan itu tetap di kampus, setia membantu profesor kami, mungkin berharap jadi pengajar tetap juga. Baru enam bulan inilah aku kembali ke kotaku. Kupikir cukuplah bertualang di lapangan, aku ingin suasana kerja penuh hiruk pikuk kota, kejengahan macet dan sedikit kemewahan a la metropolitan.

H

11


Lima bulan lalu aku bertemu lagi dengan perempuan itu. Kami berkumpul bersama teman-teman yang sengaja datang dari luar kota bahkan luar negeri. Waktu itu matanya menjorok terlalu ke depan, ada balutan hitam di bawah kelopaknya. Seperti ada bayangan gelap menaunginya. Tak pernah aku melihatnya semurung itu. Tak seperti biasanya. Belakangan aku tahu penyebabnya. Dua proposal doktoralnya ditolak di Eropa. Tak tahu alasannya. Yang pasti kini dimana dia berada di sana bumi tak berputar. Dan nampaknya gravitasi bumi sudah sama seperti gravitasi bulan. Lemah. Tiga bulan yang lalu aku tahu keseluruhan ceritanya. Kupikir tidak semuanya juga sih, hanya saja kini aku mengerti apa yang membuatnya begitu rupa. Aku bertemu dengannya setelah berdiskusi dengan profesor. Proyek dari pemerintah akan ditangani perusahaanku dan universitas. Dan profesor melimpahkannya pada perempuan itu. Laboratorium tempat kami dulu bercengkrama saat masih jadi mahasiswa menjadi sebuah kamar investigasi. Tadinya kami membicarakan proyek, tapi kemudian aku berubah menjadi polisi investigator yang menahan seorang tersangka. “Kudengar kau memasukkan lagi proposal doktoralmu?” tanyaku ceria, berharap udara menjadi medium konduktif menularkan keceriaanku. “Yah, kali ini aku mencoba Amerika.” “Yellowstone? Aku tahu kau mengincarnya kan?” bagi kami para geolog, Yellowstone bukan sekedar menanti air muncrat dari geyser, tapi jauh lebih menarik dari itu, “Andri dan Vina sudah sampai ke sana. Aku melihat foto mereka di Facebook.” “Aku juga melihatnya. Ingin merasakan sensasinya juga.” Kemudian tertunduk malu, entah kenapa. “Tak ada yang salah dengan mimpi,” kataku menguatkan, “Hanya itu yang bisa kau dapatkan di dunia kapitalis ini secara gratis.” Aku berhasil membuatnya tersenyum. “Lalu, apa yang membuatmu gagal di Eropa?”

12


Perempuan ini mengerucutkan bibirnya sesaat. Matanya menatap meja sebelum menjawab. Baru kali ini aku menatap matanya selekat ini. Barulah dia menjawab, “Hanya masalah asmara.” Katanya singkat, lalu berlanjut setelah tak ada respon apapun dariku, “Itulah yang kubenci dari diriku, terlalu mudah jatuh saat asmara terpuruk.” Aku kaget mendengarnya. Dia perempuan yang menarik. Sama sekali tak ada masalah untuk menarik pria. Siapapun akan jatuh ke pelukannya asal dia mempersilakannya. Agak malu juga sih mengakui aku salah satu dari barisan pria lugu itu. Mungkin aku sedikit naïf, tapi kupikir perempuan cantik tak pernah patah hati. Yah, mungkin aku salah. Kalau saja ada universitas yang membuka jurusan Telaah Asmara, aku pasti jadi salah satu mahasiswanya. Aku pasti bersemangat meneliti sejauh mana berkah fisik berkorelasi langsung terhadap kehidupan asmara. Apakah perempuan cantik tak pernah patah hati? Atau pria tampan tak pernah ditolak? Atau meneliti lebih rinci mengapa banyak orang dengan berkah fisik yang mumpuni menurunkan standarnya memilih pasangan yang secara kualitas fisik ada di bawahnya. Ya, aku tahu di mata cinta segalanya tidak selalu diukur dengan standar fisik. Banyak faktor lain yang membuat seseorang tertarik pada lawan jenis –atau sejenis??? Tapi aku ingin mencoba mengeliminasi semua parameter kecuali faktor fisik. Hanya ingin tahu seberapa pentingnya faktor fisik di dunia yang sudah teracuni materialisme ini. Nyatanya tak ada sekolah seperti itu. Rupanya manusia harus belajar sendiri mengejawantahkan perasaannya tanpa perlu sekolah, tanpa ijazah. Mungkin gara-gara itu banyak orang gagal dalam bercinta. Tapi tak bisa kubayangkan berapa banyak dokter cinta di dunia ini bila memang ada sekolah seperti itu. Bukankah tanpa sekolahpun sudah cukup banyak orang yang mengaku tahu banyak tentang cinta? Padahal mereka tidak tahu apa-apa. Sisa pembicaraan kami tidak mungkin kuceritakan. Terlalu pribadi. Bahkan aku merasa dia masih menutupi beberapa hal. Sudahlah, toh tak terlalu penting. Cukup tahu saja kisah asmaranya membanting semangatnya, ditambah

13


penolakan dari dua universitas top di Eropa sana, cukup membuat semangatnya terkubur. Aku mendukungnya sepenuh hati. Setidaknya aku bisa melakukan satu hal untuknya. Saat memimpin eksplorasi di Indonesia Timur, aku mengenal seorang profesor Amerika. Sebenarnya agak segan menghubunginya karena sudah cukup lama tak bertegur-sapa. Tapi apa boleh buat, aku ingin membantunya menaiki anak tangga selanjutnya menuju mimpinya. Skype menjadi pilihan terbaik untuk mempertemukan mereka di dunia maya. Mereka bertatap muka membicarakan tentang anomali geologi di perairan Pasifik. Perempuan itu sangat cerdas. Aku jelas-jelas berada di luar pembicaraan mereka. Menyelam di dasar laut memang menyenangkan, tapi aku lebih suka meneliti gunung api. Tak sulit meyakinkan profesor itu untuk menjadi sponsornya. Dalam sebulan semua urusan lancar seperti jalan tol – tapi bukan jalan tol di Jakarta. Di akhir bulan selanjutnya dia memelukku dan berterima kasih sudah menjadi pahlawannya. Tak pernah aku membayangkan dipeluk olehnya. Pertemuan selanjutnya di kantor dia terlihat ceria. Presentasi terakhir sekaligus memperkenalkan juniornya yang akan menggantikannya dalam proyek bersama ini. Tubuhnya lebih kurus dan segar, sepertinya dia sudah melewati masa depresinya. Sebelumnya yang kutahu dia melampiaskan perasaan gagalnya lewat makanan. Kurasa tak perlu ada yang dikhawatirkan lagi. *** Sore itu aku baru saja pulang kantor. Kuluruskan tubuh di atas kasur agar aliran darah bisa menyeimbangkan dirinya. Kurasakan denyut venaku makin memanjakan otak dengan oksigen yang dibonceng sel darah merah. Terdengarlah bunyi ponselku. Dari perempuan itu. Suaranya terseret-seret dan sendu. Baru saja menangis, tebakku. Dia pamit pergi. Besok dia akan segera terbang ke negeri Paman Sam. New Jersey akan menjadi tempat tinggal barunya. Aku hampir tak bisa berkata-kata. Hanya memberinya ucapan selamat, mengingatkannya agar hati-hati dan

14


mendoakan kesuksesannya. Tak ada yang istimewa dari responku itu. Barulah setelah dia menutup teleponnya aku menyesal. Ada yang hilang. Rasanya ada begitu banyak yang ingin kusampaikan. Semuanya terasa membeku. Dadaku bergemuruh, memerintahku mengambil ponsel dan meneleponnya kembali. Di luar kendali otakku, mulutku berbicara, “Bagaimana kalau farewell party malam ini?� Suaranya masih terseret, tapi terdengar begitu renyah, “Jemput jam tujuh?� Begitulah malam itu bermula. Aku baru sadar malam itu purnama sedang menggantung ditaburi gemintang sebagai dayang-dayangnya ketika kami duduk di sebuah resto di kaki gunung. Dari sini kami bisa melihat seluruh kota. Cahaya bertaburan, berlomba menampilkan terangnya, di bawah maupun di atas kami. Tapi purnama itu tak pernah tertandingi. Baru kali ini kami membicarakan banyak hal tanpa ada hubungannya dengan pekerjaan ataupun eksplorasi. Semuanya begitu mengalir. Rasanya sebuah jarum yang jatuhpun bisa jadi obrolan seru. Kebanyakan rahasia pribadi terkuak di sini. Tentang dia. Tentang aku. Tentang kampus. Tentang mimpinya. Tentang harapanku. Dia mengernyitkan dahi pada setiap ucapanku. Sepertinya dia baru menyadari kalau aku membahas segala hal secara berlebihan. Malam itu sepertinya kami baru saja saling mengenal. Tahun-tahun penuh perjuangan di kampus memberi jarak pada kami. Kini kami dekat sedekat-dekatnya. Di sinilah keyakinanku mulai goyah. Kutebaskan pedang mematahkan beberapa pilar. Aku luluh begitu menyadari inilah malam terakhir yang kupunya untuk bersamanya. Setelah mengantarnya pulang, aku merasa kosong. Seperti gelas yang baru saja terisi lalu isinya ditumpahkan kembali. Tapi tak pernah terisi lagi. Tepat satu purnama yang lalu dia pergi. Facebook dan YM memang menghubungkanku dengannya. Aku tahu kabarnya, foto terbarunya, dan komentar-komentarnya pada statusku selalu menggelitik. Tapi justru itu aku merasa makin

15


sulit mengisi kekosongan ini. Makin banyak aku mengobrol dengannya, makin sulit kulepaskan keterikatan ganjil ini. Menyusulnya ke New Jersey bukan persoalan gampang. Tahun akademik sudah terlewat, paling bisa satu semester ke depan. Bisa saja aku membuat proposal doktoralku mulai saat ini. Tapi bukan itu masalahnya; satu purnama ke depan aku harus menikahi tunanganku. Pepatah jaman dulu bilang purnama identik dengan kecantikan perempuan. Anekdot masa kini menyebutkan bodohnya perempuan yang mau disandingkan dengan rembulan. Tapi bagiku purnama akan selalu berarti satu orang, satu wajah, dan satu kenangan. Satu perempuan yang membuat duniaku ada. Hanya sesaat, tapi menyadarkanku bahwa purnama itu dia, dan aku terlahir untuknya. Tapi hanya untuk memandangnya dari jauh. Kini aku merasa seperti punguk dalam peribahasa.

16


Chapter 3: PseudoPseudo-Shakespeare tlantik terlihat bagaikan landasan air yang tak ada habisnya. Aku terus tersenyum. Teman seperjalananku menganggapku sudah gila. Mungkin. Hanya beberapa jam lagi aku menginjakkan kaki di kota tempat perhelatan olimpiade ’96 digelar. Tak pernah aku merasa begitu bersemangat. Rasanya pesawat jatuh pun aku akan berenang ke tanah Paman Sam seperti yang dilakukan anak buah Columbus lebih dari 500 tahun yang lalu. Perempuan itu kini ada di hadapanku. Piedmont Park menjadi saksinya. Tak berubah. Wajahnya yang bulat memang serupa purnama. Bulan adalah sebuah simbol kesetiaan. Walaupun ikut berputar, dia selalu menampakkan wajah yang sama pada bumi. Aku berharap menjadi buminya. Kerudungnya yang dinaikkan salah satu lembarannya membuatnya bergaya timur tengah nan anggun. Lembayung yang dipantulkan danau Clara Meer sore ini memberikan efek dramatis yang sempurna pada senyumannya. Kurasa aku tidak sedang berpijak di bumi. Mungkin pesawat yang kutumpangi kemarin terbang terlalu tinggi dan aku mendarat di Negeri Khayangan. Entahlah, khayanganpun rasanya takkan sesempurna ini tanpa dirinya. Ini saatnya bagiku. Tak ada saat lain, tak ada kesempatan lain. Bagi para pecinta tak ada kesempatan kedua untuk menyatakannya. Tak ada, sampai … “Hei … bangun,” Aku masuk dunia mimpi seketika. Kabin pesawat yang kemarin kutumpangi berguncang hebat. Memang harusnya juga bergetar, tapi getaran mesin kurasa tak sehebat ini. Aku ingin lepas dari mimpi buruk ini. Tunggu … aku salah, ini bukan mimpi, tadi yang mimpi, atau … eh, tampaknya aku mengalami disorientasi ruang dan waktu. Sekejap bayangan perempuan itu yang dilatari lembayung Atlanta sore menghilang sudah. Kepanikan makin mengguncang pesawat. Teriakan membentuk awan di langit-langit kabin, persis seperti awan karena ada loncatan elektron yang menciptakan petir di dalam pesawat.

A

17


Aku baru tersadar ketika pramugari, yang masih berusaha seanggun mungkin, meneriakkan instruksi penyelamatan diri. Tak ada yang mendengarkannya. Masker oksigen sudah bergantungan. Di sinilah aku yakin, inilah dunia nyata dan lembayung sore di Piedmont Park itulah yang mimpi. Sialan, sudah hampir dua tahun perempuan itu melakukannya, bermain-main di kepalaku tanpa izin. Dan yang paling menjengkelkan, dia selalu pergi tanpa permisi, hanya meninggalkan arti. “Dimana ini?” tanyaku pada teman seperjalananku yang gendut. Dia seorang teknisi senior yang sering menemaniku untuk mengecek instrumen geofisika. Keputusan gila menempatkanku pada posisi yang selalu berhubungan dengan geofisika setahun yang lalu. Aku benci geofisika, integral lipat tujuhnya adalah neraka yang tak mungkin ditembus. Lebih-lebih aku benci semua yang berhubungan dengan fisika. Padahal sebuah hukum mekanika sederhana –terbang– sedang berusaha menyampaikanku pada pujaan hatiku, tapi aku masih membenci fisika! “Di atas Bermuda. Mesin pesawat tiba-tiba mati.” Jawabnya singkat setelah bersusah payah melepas masker oksigennya, ketakutan . Tak mungkin. Aku terus terusan berteriak di kepalaku. Kapal hilang atau pesawat lenyap bukan hal baru di Segitiga ‘Setan’ Bermuda ini. Aku hampir percaya ketika temanku menceritakan guncangan yang dialaminya setahun yang lalu. Dan kini aku percaya seratus persen padanya. Tak ada keraguan. Tapi, kenapa harus sekarang??? Tak tahukah ada pria yang dimabuk cinta sedang berusaha menyampaikan perasaannya??? Aku tak bisa membiarkan ini terjadi. Okelah, aku harus tahu diri. Aku bukan superman yang tiba-tiba merobek kemeja dan terbang menyelamatkan pesawat ini. Tapi aku tak boleh membiarkan ini terjadi. Apapun yang terjadi aku harus sampai ke Atlanta. Ada bidadari yang menungguku di sana besok sore! Tak terima dengan keadaan ini, berbagai lampu di dalam kepalaku mulai menunjukkan kerlipnya. Panik, takut, marah, dan balas dendam bisa jadi motivasi terkuat. Dan kini aku ketakutan tak bisa menyampaikan perasaanku pada perempuan itu.

18


Motivasi terkuat sedang meledakkan adrenalin di pembuluh darahku! Banyak teori yang berusaha menjelaskan kejadian di Segitiga Bermuda. Salah satunya, yang paling kuyakini paling mungkin terjadi, adalah adanya anomali magnetik gravitasi, medan gravitasi terbalik atau semacamnya yang menyedot burung logam dari angkasa. Aku tidak terlalu yakin, tapi aku tak punya apa-apa lagi yang bisa kuandalkan sebagai pedoman. Bisa saja aku berspekulasi adanya pangkalan UFO, istana setan, air kehidupan bahkan teori tolol tentang lorong waktu di bawah pusaran air di sudut Bermuda. Tapi bila kemungkinankemungkinan itu yang muncul, tak ada yang bisa kulakukan. Aku tak percaya Alien. Aku tak percaya kehidupan abadi. Dan yang pasti aku tidak berminat mempermainkan waktu seperti yang coba diracik Einstein tua dengan relativitasnya. Aku percaya setan, tapi tak percaya setan punya kemampuan membunuh manusia. Kalaupun semua itu benar, aku tak punya apa-apa untuk mengakalinya. Tapi bila adanya medan magnetik yang menarik logam, aku punya sesuatu untuk menyiasatinya. Mengakali kematian, kurasa ini perbuatan paling hina yang akan dibalaskan Tuhan padaku. Aku menarik si gendut, “Kita bisa pakai alat itu untuk membuat medan magnet dan mengeluarkan kita dari segitiga sialan ini!” “Apa? Kau percaya tentang teori seperti itu?” “Dengar, aku tahu ini gila, tapi kalau benar ada medan magnet yang menarik pesawat ini ke dasar lautan, maka satusatunya kesempatan kita hanyalah menyalakan alat itu. Beberapa Tesla cukup untuk meloloskan diri dari anomali magnetik ini.” Guncangan makin hebat. Sangat terasa penurunan ketinggiannya. “Kita bisa terlempar entah-kemana. Kita semua bisa mati! Ini hipotesis paling gila yang pernah kudengar!” “Ya, dan kalau kita selamat kau akan mendengarkan hipotesisku yang lain!” tadinya aku ingin berkata seperti itu. Tapi membuatnya lewat-gila saat dia gila bukanlah ide yang bagus.

19


“Kita belum pernah mengujinya …” katanya lagi. “Memangnya kapan waktu yang paling tepat untuk mengujinya? Ada ide yang lebih baik?” kataku pada akhinya. Hanya satu detik jeda yang dia beri sebelum bertanya, “Apa rencanamu?” tapi rasanya seperti sebulan. “Kau beri tahu pilotnya untuk menyalakan kembali pesawat saat kita terlempar dari medan magnet ini. Dan perintahkan pramugari untuk menyuruh penumpang mengencangkan sabuk pengamannya. Aku tunggu di bagasi, menyiapkan alat itu. Kita akan menari di angkasa dalam arti paling harfiah!” Dia setuju. Pramugari yang menghalanginya dia tembus. Aku berlari belakang pesawat. Katup penutup lantai yang menghubungkan kabin dengan bagasi. Di bawah sini suaranya lebih hening. Benar-benar terisolasi. Sebuah koper menabrakku. Aku terpelanting menghantam dinding. Tapi tak sakit. Bahkan tak berasa apapun. Merangkak melebarkan tekanan, aku mendekati alat itu. Alat ini setinggi sepuluh kaki, berbentuk seperti bola atau lebih tepatnya kusebut planet kecil. Memang harusnya aku menumpang pesawat kargo, tapi perusahaanku memiliki kekuatan yang besar untuk memerintahkan alat ini ada di bawah pengawasanku, bahkan di pesawat penumpang sekalipun. Beruntung alat ini bisa muat ke pesawat airbus. Bola, agak lonjong sih, ini mampu berputar dengan kecepatan 80 mil per jam. Dengan berbahan niobium yang cukup untuk menghasilkan medan magnet dalam satuan Tesla. Di dalamnya berisi natrium yang akan meleleh dengan cepat. Penemunya, Dan Lathrop, berharap lelehan itu akan bekerja seperti inti bumi dan pada akhirnya menghasilkan medan magnet yang cukup besar. Kenapa natrium? Karena logam ini sangat ringan dan titik lelehnya rendah dan … sialan, aku sedang tak punya waktu mereview kemampuan kimiaku! Beberapa panel kuaktifkan. Remote-nya sudah kupegang. Tinggal menunggu si gendut untuk membentangkan kabel agar medan magnet yang dihasilkan merambat sepanjang kabel dan akhirnya menutupi pesawat.

20


Tubuh tambun itu muncul dari lubang. Agak tersangkut dia bersusah payah meloloskan diri. Kalau keadaannya berbeda aku pasti sedang menertawakannya sekarang. Guncangan menghempaskannya ke lantai. Dia bangun dan menatapku dengan mantap. Kurasa dia siap. Aku melemparkan kabel padanya. “Pasang di ujung, lalu berlindunglah!� Instruksi yang tak perlu, sebenarnya. Dia lebih tahu dariku mengenai teknis alat ini. Dia berlari segera. Aku juga. Alat itu terikat kuat di tengah-tengah, tak perlu kuatir terbanting, kecuali kalau benar pesawat ini akan terlempar keluar dari kungkungan anomali medan magnet bumi. Berkali-kali terjatuh, menyeruduk koper, menginjak tas besar, terantuk palang. Terhuyung-huyung sambil memaki, “Sialan, untuk menyatakan cinta saja aku harus melawan bumi!� Aku menantang Shakespeare membuat cerita cinta yang lebih dramatis. Aku tergelak menyadari betapa arogannya diriku menantang mayat yang kini terkubur gereja Holy Trinity itu. Aku harus menancapkannya di ujung depan. Kurobek jaring kain di depan dengan kepingan besi tipis yang terlontar. Dan saat tak ada jalan lagi, aku menancapkan elektroda itu di dinding. Kuharap bagian depan pesawat akan tertutupi penuh dengan medan magnet. Guncangan lagi. Aku terguling ke salah satu dinding. Melihat terpal penutup koper, aku bergulung menimbun diriku di dalamnya. Sambil meringkuk di sudut aku berharap si gendut sudah sampai dan melakukan yang kulakukan juga. Aku tahu dia pasti melakukannya, hanya sudah selesai atau belum? Nasib pesawat ini ada di tanganku. Entahlah, kalau tak kulakukan ini, pesawat ini pasti hancur. Bila kulakukan, mungkin saja kami selamat walau hanya kecil kemungkinannya. Rencana sempurnanya: begitu kuaktifkan, dalam beberapa detik medan magnet akan menyelubungi pesawat, melawan medan magnet bumi dan kami terhempas keluar dari anomali alam sialan ini! Bila pilotnya hebat, dia akan langsung menyalakan mesin. Pastinya mesin tidak akan langsung menyala karena medan magnet yang kuciptakan masih melumpuhkannya. Begitu kuanggap aman, aku matikan alat itu

21


dan kami terbang kembali. Atlanta dan bidadarinya sedang menungguku di sana! Itulah yang ada di kepalaku. Tapi belum tentu itu yang terjadi. bisa saja semuanya salah. Bisa saja alat ini tidak bekerja. Siapa tahu pilotnya hanya punya jam terbang minim? Siapa tahu kami justru makin tersedot ke dalam pusaran medan magnet ini? Hipotesisku ini memang berlandaskan semua asumsi ideal. Dan aku cukup pintar untuk tahu bahwa tak ada yang ideal di dunia ini. Bila ada retak pada gading, ada defek pada kristal, maka yakinlah ada yang salah pada diriku, pada masa laluku! Aku tahu itu. Ini memang hipotesis paling gila yang pernah kuciptakan. Tapi tak ada jalan kembali. Sekarang atau hancur selamanya! Sambil berdoa, “Tuhan, bawa aku kepadanya. Aku ingin hidup bersamanya!� aku menyalakan alatnya.

22


Chapter 4: Dasar Laut dan Puncak Gunung ku sangat menyukai pulau ini. Pulau Andros namanya. Yang paling menarik di tempat ini, setidaknya bagiku, adalah gua bawah airnya yang disebut Blue Hole; Lubang berisi air berwarna biru yang merupakan jalan masuk ke gua bawah air. Bila dilihat dari atas seperti kolam saja, tapi nyatanya memiliki kedalaman sampai 133 meter dan saling terhubung satu sama lain. Brian Kakuk adalah orang pertama yang menjelajahinya. Aku, entah orang ke berapa. Stalagmit dan stalaktit di dalamnya sangat luar biasa. Aku menjelajahinya tahun lalu untuk mengambil sampel fossil tumbuhan pada batuan dan hampir diserang oleh ikan barracuda. John menyelamatkanku dari ikan jelek itu. Kalau saja keadaannya berbeda, aku ingin kembali menjelajahinya. John duduk di sampingku dan membiarkan mahasiswa lain bergurau. Dalam perjalanan menuju pelabuhan dia bertanya, “Kau yakin tidak membutuhkan bantuan?” “Kau dengar sendiri profesor mengatakan aku harus melakukannya sendirian.” Dia mengangguk-angguk. “Kau masih meragukanku?” tanyaku lagi. “Aku tidak meragukan kemampuanmu. Terlebih kau mengantungi semua peralatan tercanggih. Aku hanya tak percaya ada orang yang melakukan semua ini demi cinta. Kau yakin dia punya perasaan yang sama?” Aku terdiam sejenak. Memang tak ada jaminan dia mencintaiku. Aku jadi teringat pembicaraanku terakhir bersamanya –di dunia nyata. Hampir dua tahun yang lalu. Kami makan malam bersama, menganggapnya sebagai sebuah pesta perpisahan. Jujur saja, itulah yang paling kukenang tentangnya. Mengingat makan malam itu membuatku menyadari bahwa kami sama sekali tak punya kesamaan. Porsi pergaulan kami sangat jauh berbeda. Aku banyak bicara, dia selalu hening. Bahkan studi kamipun berbanding terbalik. Dia mempelajari

A

23


gunung api dan endapan epithermalnya. Sedangkan aku mempelajari geologi kelautan dan palinologi. Satu saat dia ada di puncak gunung, aku di dasar laut. Dia dikelilingi panasnya lava, aku kedinginan tak tersentuh matahari di kedalaman. Pada malam itu aku berbicara, dia lebih banyak menatap. Tak mungkin kulupakan tatapannya, seakan matanya lebih banyak berbicara. Dia memang tidak jelek, tapi malam itu dia terlihat sangat tampan. Mungkin karena malam itu aku sambil mengemil coklat. Sedikit kutahu, coklat mengandung PEA – feniletilamin. Percaya atau tidak senyawa ini adalah salah satu senyawa cinta bersama dopamin, nenopinefrin, endorfin dan oksitosin. Yah, terdengar tolol memang bahwa perasaan ternyata dikontrol oleh beberapa senyawa kimia. Tapi sahabatku di jurusan kimia membenarkannya. Menurut temanku, Tiga senyawa pertama membuat wajah memerah dan tersipu malu. Endorfin akan menekan sistem saraf yang tegang dan memberikan perasaan nyaman. Dan senyawa terakhir, bisa dibilang merupakan penjelasan ilmiah dari perasaan rindu, oksitosin menjadikan perasaan itu makin dalam dan hanya akan terpenuhi bila bertemu. Dan saat bertemu, tidak mau berpisah. Hampir seperti sakau. Pesona malam itu rupanya tersimpan dan tumbuh. Dan seperti bom waktu, nampaknya hari ini perasaan itu meledak. Ada kekhawatiran yang terlalu, dalam diriku untuknya. Pria itu bilang akan melakukan eksperimen dengan alat barunya. Makanya dia agak lama di Amerika. Mendengar berita itu seperti mengangkat piala setelah sebuah kemenangan besar. Tapi mungkin John benar, siapa tahu ini hanya rasaku sendiri? Tapi mengejar cinta tak pernah salah, bukan? Kutipan dari sebuah buku menyemangatiku, bukankah cinta bertepuk sebelah tangan tetaplah cinta? “Kau tak percaya cinta?” tanyaku setelah ragu. Dia tertawa, “Aku bisa mendapatkan perempuan manapun yang kuinginkan, kecuali yang kucintai. Itu seperti kutukan!” aku menatapnya lirih, dia mengerti maksudku, “Kenapa kau lakukan ini?” “Karena aku tak pernah tahu kapan aku bisa jatuh cinta lagi.” Jawabku.

24


Dia tak berkata apa-apa lagi. Begitu sampai kulihat pelabuhan dijaga ketat oleh tentara kulit putih yang kurasa tentara Amerika. Sangat kontras dengan penduduk asli yang terlihat legam, lebih banyak yang kumal. Aku tahu pesawat jatuh bukanlah hal biasa, tapi apa perlunya penjagaan militer Amerika? John seperti sudah mencium adanya masalah. Dia menghampiriku, memberikan sebuah kartu dan berbisik, “Kau pergi ke arah sana,” menunjuk ke arah sebaliknya kami menuju, “temui Max; gimbal, hitam dan tonggos. Dia akan mengantarmu. Aku tunggu kau di sini tiga hari lagi. Kau tak ada, aku pergi.” Katanya, aku ingin bicara tapi dia melanjutkan, “Akan kuurus anak-anak ini. Pergilah!” Rupanya dia sudah menyiapkan rencana cadangan. Dan benar saja, dari kejauhan rombongan mahasiswa dihadang militer Amerika. Aku bersyukur memiliki teman sepertinya. Walaupun tak percaya cinta, tapi setidaknya dia tidak menghalangi orang yang sedang mengejarnya. Mungkin dia merasa cukup dia saja yang hidup tanpa cinta. *** Keadaanku antara jatuh lemas dan melompat kegirangan. Guinchos yang menjanjikan kepingan pesawat yang terbakar atau minimalnya hangus sama sekali tidak menggambarkan adanya kecelakaan. Pantainya tenang, pasirnya putih, dan karang masih mantap berdiri. “Sudah kubilang tentara Amerika itu tiba-tiba merangsek masuk negara ini. Apa mereka tidak mengerti apa artinya kemerdekaan? Lalu tiba-tiba ada berita pesawat jatuh di perairan ini.” kata Max sambil muncrat-muncrat liurnya, bau sekali orang ini, “Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi jelas tak ada pesawat jatuh di sini!” Aku tak bisa berkata-kata. Kalau benar tak ada pesawat jatuh, kemungkinan pria itu masih hidup. Masalahnya, dimana?!! Aku memerintahkan Max untuk mengelilingi pulau kecil ini. Kami tak bisa memacu speedboat cepat-cepat karena tentara Amerika juga berjaga-jaga di sini. Max memang bau seperti kuda, tapi dia lihai berkelit dari militer, mungkin seperti Soedirman di Nusantara dengan teknik gerilyanya.

25


Malamnya, Max mengantarku ke rumah saudaranya. Perjalanan ini membuatku ingin pingsan. Esoknya, tanya menyelimutiku. Buat apa militer Amerika berjaga-jaga di sini kalau tak ada pesawat jatuh? Kalaupun ada yang jatuh kenapa bukan polisi lokal yang berjaga-jaga? Dan kalau tidak jatuh, kenapa CNN memberitakan begitu? Pertanyaan besarnya, dimana pria itu sekarang? Tak ada gunanya memasang sonar di bawah laut kalau tak ada yang dicari. Aku bingung setengah mati mencari jawabannya. Pulau ini sangat indah, kalau saja keadaannya berbeda aku ingin menikmatinya, terutama bila bersamanya. Aku minum di bar pinggir pantai setelah seharian berkeliling pulau dengan berjalan kaki, tetap harus berkelit dari tentara Amerika. Seseorang menghampiriku, tampangnya setengah teler. “Kudengar kau mencari pesawat jatuh?” Aku memandangnya sekejap untuk memastikan orang ini bertanya padaku, “Ya,” “Kalau begitu kau pasti ingin ikut denganku.” Tak ada jalan lagi, aku mengikutinya. Melewati deretan pohon kelapa, lalu masuk ke sebuah pondokan. Tempat ini lebih tampak seperti gubuk. Hanya satu orang yang ada di dalam sana. Kulit gelap, rambut keriting tipis, dan menyeringai menjijikan padaku saat aku masuk. Aku tak mau berbasa-basi. Lalu dia memperlihatkan sebuah video. Di dalam video itu sekelebatan cahaya tak beraturan di angkasa. Lalu cahaya itu jatuh dengan cepat menuju laut. Tapi pada detik terakhir cahaya itu naik lagi, dan sesaat kemudian menyorot stabil. Baru di titik inilah aku menyadari bahwa kelebatan cahaya di tengah malam itu berasal dari sebuah pesawat. “Aku mencari pesawat jatuh, bukan demo video game pesawat.” Kataku pedas sambil beranjak pergi. Mereka berdua mengejarku. Sebelum sampai ke pintu, salah satunya berkata, “Hanya ini video yang selamat dari pemeriksaan tentara Amerika.” Aku berhenti, “Aku tak tahu apa gunanya, tapi bila tentara Amerika menginginkannya, pasti ini

26


berharga. Kau tak mau kan video ini jatuh ke tangan tentara Amerika?” Aku berbalik, “Kau juga pasti tak mau tentara Amerika tahu kalian memiliki video yang mereka cari, kan?” Seringai mereka hilang. Tanpa seringai, wajah mereka lebih tolol lagi. Aku berhasil menakut-nakuti mereka. Ini sama seperti belanja di pasar baru. Pasang tampang butuh, dan penjual akan pasang harga tinggi. Tak salah lagi, belanja memang keahlian perempuan. Akhirnya kami menyepakati harga video itu. Masih cukup tinggi, tapi setidaknya mereka puas. Dan aku keluar dari gubuk itu dengan selamat. Di pondokan saudara Max, aku mengeluarkan laptop. Bukan jenis laptop yang bisa ditemukan di pasaran. Kekhususannya digunakan untuk me-render gambar beresolusi tinggi seperti foto satelit yang bisa memotret keadaan bawah laut. Program yang kugunakan lebih canggih lagi karena foto udara itu seolah-olah airnya bisa dikisatkan sehingga yang terlihat hanya daratan curam seperti Grand Canyon. Aku hentikan gambar video pada saat kelebatan cahaya itu mulai sejajar. Aku mengotak-atik beberapa tombol untuk meninggikan resolusinya. Kuperbesar ratusan kali, pencahayaannya kuperbaiki, dan kontrasnya kuperbesar. Aku membandingkan dengan foto pesawat yang seharusnya mengantarkan pria itu padaku. Voila … cocok! Aku menggeser gambar. Ada kelebatan cahaya lain berada di sekitar pesawat itu. Ada dua pesawat lagi, agak berbeda dengan pesawat penumpang, bentuknya lebih kecil tapi lebar dan jauh lebih tipis. Cahaya pesawat penumpang sesaat menyorot ekor salah satu pesawat misterius itu. Kuulangi prosedur untuk melihat pesawat penumpang tadi. Pesawat misterius itu berwarna perak kegelapan, berekor ganda dan tertulis FF MOSE. Aku perbesar lagi bagian atas ekornya. Euurreeekaa … lambang US Air Force terpampang di sana! Pesawat penumpang itu digiring oleh pesawat tempur Amerika Serikat. Itu yang kutahu. Tapi lagi-lagi pertanyaan itu muncul, kemana?!! Aku menelepon temanku di FAA. Aku bertanya padanya tentang pesawat FF MOSE yang melintas di atas kampusku

27


kemarin siang, “Suaranya bising, aku nggak bisa belajar! Dasar pesawat bodoh! Nggak pernah sekolah ya?!!” teriakku menambahkan. Tampaknya teriakanku meyakinkannya kalau aku benarbenar kesal. Temanku itu tak mau mengecewakanku. Besok pagi dia meneleponku kembali. “Bukan FF MOSE, tapi FF M058.” Katanya, “Itu pesawat tempur F-22 Raptor, bukan pesawat biasa, tapi pesawat tempur paling hebat di jagat ini!” Huh … dasar Amerika, soal kebanggaan, mereka rajanya! Dia tak tahu aku menipunya. Tentu aku harus menyiasatinya, karena kalau aku langsung menanyakan adanya pesawat tempur Amerika yang berada di perairan Bahama saat kecelakaan pesawat itu ‘dilaporkan’, dia takkan mau menjawabnya. Kucari dalam database US Air Force. Memasukkan nomor ekornya, dan kutemukan pangkalannya. *** John melambai di dalam pesawat, aku terburu-buru masuk. Dia menepati janjinya. Pria besar yang baik hati ini memang teman yang luar biasa. Kami sering berbeda pendapat tentang objek geologi di bawah laut. Tapi dia adalah teman yang bisa diandalkan. “Baik nyonya, anda mau mengudara kemana?” tanyanya meledek. “Cape Canaveral.” “NASA?” Aku mengangguk pasti. “Sekarang kau mau mengejar cintamu ke luar angkasa?” Pada detik ini pertanyaan John kembali terbayang dibenakku, “Kau yakin dia punya perasaan yang sama?” aku masih tak tahu jawabannya. Aku tahu kehendak Tuhan bukan milikku, dan aku tahu pada suatu saat aku akan tunduk pada kehendak-Nya. Tapi selama aku masih bisa berkehendak, maka inilah kehendakku!

28


Chapter 5: Dilema aru saja mau lepas landas, perhatianku tersedot di luar jendela. Manusia bergerombol memasuki pesawat besar. Aku tak tahu jenisnya, tapi rasanya cukup menampung lebih dari 100 orang. Aku tak bisa memperhatikannya lagi saat pesawat kecilku ini lepas landas. Aku mengerjapkan mata, mencoba melihat masih ada harapan menggantung di fasilitas utama NASA itu. Aku masih bertanya-tanya mengapa pemerintah Amerika mengumumkan pesawat itu jatuh kalau mereka berhasil menyelamatkan pesawat itu? Aku mencari-cari alasan logisnya, tapi tetap tak kutemukan jawabannya. Amerika Serikat mungkin negara demokrasi terbesar di dunia yang menjamin kebebasan informasi. Tapi sudah bukan rahasia kalau negara ini suka bermain rahasia. Aku membuka mata ketika suara ketikan di atas keyboard berhenti. John mengerutkan keningnya saat menatap laptopnya. Sepertinya ada yang jauh membuatnya tertarik ketimbang kericuhan kecil di bandara tadi. Aku mengintip sedikit layar laptopnya. Rupanya dia sedang memproses data mikroseismik. Aku ingin mengintip lebih dekat tapi kantuk menderaku. Aku mulai percakapan sederhana saja agar siang ini tidak makin menguapkan keinginanku. “Ada yang menarik dengan aktivitas seismik di daerah ini?� tanyaku iseng. Aku sengaja memulainya dengan pertanyaan ringan agar bisa meredam perbedaan pendapat di antara kami. Biasanya sih begitu, ada saja perbedaan interpretasi. “Terlalu menarik malah, belum pernah aku melihat aktivitas yang seperti ini di daerah Bahama. Lempeng Karibia tidak cukup besar untuk membuat getaran seperti ini.� katanya sambil menunjukkan laptopnya. Aku memperhatikannya sejenak. Sekilas tak ada yang menarik, aktivitasnya kecil dan rasanya kami sering melihat aktivitas lempeng yang jauh lebih besar, terlebih bila memperhatikan batas lempeng pasifik di San Andreas. Aku pernah ikut temanku seorang ahli geologi struktur meneliti

B

29


Jodhi P. Giriarso

patahan San Andreas. Tempat dimana batas lempeng Pasifik dan lempeng Amerika Utara terlihat dengan jelas. Tempat itu merupakan salah satu batas lempeng yang paling banyak dikaji di seluruh dunia. “Ini sih nggak seberapa,” komentarku. “Memang, tapi aku khawatir ini berasal dari getaran yang jauh lebih besar. Kau ingat penyebab gempa Haiti?” Aku mengangguk pelan sembari terus memperhatikan layar. Benar juga yang dibilang John, aktivitas ini memang terlalu kecil, tapi kalau dihubungkan dengan pergerakan lempeng tektonik Karibia baru-baru ini, rasanya aktivitas ini perlu dipelajari lebih jauh. Gempa Haiti saja bermula dari ambruknya patahan Enriquillo-Plaintain Garden yang sudah terkunci selama lebih dari 250 tahun. “Kau sudah mengonfirmasinya ke USGS?” tanyaku. “Itulah masalahnya, semua salurannya sibuk. Data ini tidak cukup untuk melihat gambaran besarnya.” Aku mencubit bibirku, kebiasaan lama saat berpikir. “Kau sudah mengekstrak persamaannya?” “Sudah, aku menyimpannya di folder persamaan.” “Kondisi geologi di Karibia masih di-update kan?” “Sampai pagi tadi masih.” “Kurasa ini cukup, aku akan coba ekstrapolasi persamaannya dengan variasi kondisi di Karibia. Aku coba ambil beberapa titik di sekitar patahan Enriquillo-Plaintain Garden.” “Itu takkan menjamin kondisi nyata di lapangan.” “Aku tahu, setidaknya kita bisa berpegang pada sesuatu.” John membiarkanku bekerja. Dia hanya memerhatikan jemariku berloncatan di atas keyboard. Kemudian dia menyodorkan data kondisi geologi terakhir di wilayah Karibia tepat saat aku membutuhkannya. Memproses data seismik bukan keahlianku, tapi aku pernah bekerja di bawah Dr. Genda Chen, profesor ahli di bidang ini –saat yang menyenangkan bekerja sama dengannya, jadi aku cukup mengerti inversi pemodelan seismik. Aku menampilkan data dalam bentuk 3 dimensi yang menggambarkan keadaan patahan EnriquilloPlaintain Garden terbaru.

30


“Ya Tuhan,” ucapku tanpa sadar. John mengambil laptop yang kupegang dan menilik hasil pemrosesanku. Dia menggelengkan kepalanya seakan tidak percaya. “Kau membuatnya dari persamaan yang kubuat kan?” Aku mengangguk. Seolah ada jentikan di kepalaku yang membuatku teringat akansesuatu, lalu aku melihat ke jendela. Air laut di bawahku bergejolak seakan tak tentu arah. Lipatanlipatan ombaknya saling menerjang dan saling mengalahkan. Karibia termasuk laut yang tenang karena banyaknya pulau di sekitar dan berada pada lengkungan benua Amerika. Air dingin dari Artik bertemu air panas dari selatan Atlantik menjadikannya tempat yang hangat dan nyaman. Tapi sepertinya karakter itu tak terlihat siang ini. “Katakan padaku ini bukan waktunya Spring Tide!” desakku pada John. Dia mengecek di laptopnya dan memandang dengan wajah mengerikan. Aku tak percaya! Ada sesuatu yang terjadi, dan ini akan sangat mengerikan. “Jangan katakan kau memikirkan apa yang kupikirkan! Ayolah kita hampir selalu berbeda pendapat.” Kataku panik. Baru kali ini aku berharap dia punya argumen hebat yang bisa menghancurkan pendapatku ini. “Kali ini pikiran kita sama. Patahan ini tidak akan mampu menahan beban air laut, apalagi saat Spring Tide ini. Belum lagi kalau ini memicu patahan baru di sebelah utara. Cape Canaveral akan tenggelam dan Florida akan tersapu. Sial, sejak gempa Haiti banyak orang berspekulasi patahan itu akan bergerak menyeimbangkan dirinya lagi, tapi kurasa tak ada yang menyangka akan secepat ini.” kutuknya. “Kita harus memberitahu USGS, walaupun aku tidak yakin mereka belum tahu apa-apa tentang ini. Mereka harus segera memberikan peringatan dini. Kita harus segera mendarat di Florida!” “Dan membiarkan pacarmu tenggelam di Cape Canaveral?” Aku jatuh bersandar. Pria itu kemungkinan besar ada di sana, atau juga tidak? Dan kemungkinan besar juga USGS sudah

31


memberikan peringatan dini pada warga Florida, atau tidak? Tak ada kepastian, aku benci keadaan ini! “Kau bisa tentukan waktu dan besarannya?” tanya John menginterupsi kebimbanganku. Aku mendongak, “Kalau bisa aku sudah dapat Nobel sejak dulu. Ini bisa terjadi kapan saja; sekarang, nanti malam, besok, kapanpun patahan itu tak sanggup lagi menahan beban air laut. Andai saja kita punya data lebih banyak, pasti kita bisa petakan seberapa jauh dampak yang akan ditimbulkan.” John mematung, akupun begitu. Sulit dimengerti bila USGS belum mendapatkan informasi ini. Tapi selama kami tak bisa mengonfirmasinya, kami masih perlu khawatir. Belum lagi pria itu belum diketahui keberadaan pastinya. Kalau benar dia di sana, maka aku harus segera mengejarnya sebelum malam turun. Hanya saja, kalau kami ke Cape Canaveral dulu, mungkin kami tak sempat memberitahu informasi ini ke USGS. Belum lagi bila bencana itu segera datang. Belum lagi aku pasti sulit menembus fasilitas utama NASA itu, apalagi aku hanya mahasiswa asing. Belum lagi, belum lagi, belum lagi … Aaarrgghh … Aneh. Dulu saat pacar terakhirku masuk rumah sakit karena kecelakaan, aku tak seburu-buru ini mengejarnya. Kini, tak ada kepastian tentang keberadaan pria itu. Bahkan kalaupun bertemu dengannya, aku tak yakin bisa mengungkapkan perasaanku dengan mudah. Dan kalaupun sudah diungkapkan, tak kemudian dia punya perasaan yang sama denganku. Dan bila samapun, mungkinkah kami bersama? Kenapa aku bisa seyakin ini? Tuhan, tolonglah ... “John, katakan apa yang harus kulakukan?” lanjutku mendesak. Diapun terdiam sejenak dan berkata, “Aku tak yakin USGS belum mengetahui aktivitas ini. Tapi aku juga tak bisa memastikannya. Tak biasanya saluran mereka penuh.” “Atau mungkin saluran mereka penuh karena banyak orang yang ingin mengonfirmasi hal ini?” “Bisa jadi,” Aku terpikir satu ide. Cukup gila, tapi mungkin berhasil.

32


“Kita terbang di atas Cape Canaveral dulu, aku terjun dengan parasut. Dan kau kembali ke Florida, beritahukan …” John menggeleng dan memotong, “Jelas, aku takkan mengijinkannya!”

33


Chapter 6: Kesalahan Kesalahan ku berpegangan sekuat tenaga. Kurasa semua perhitunganku salah besar. Pesawat makin terasa hampa tanda jatuhnya makin deras, dan ‌ Ruangan ini sangat asing. Berbagai peralatan medis, samar aku melihat seorang wanita berbaju putih. Aku meraba kepalaku, tapi bukan kulitnya yang kusentuh, melainkan kain kasa membalut kepalaku. Aku gerakkan tanganku satunya lagi, belitan selang mencegahku. Gumamanku bahkan tak jelas terdengar di telingaku. Wanita berbaju putih itu mendekat dengan bahasanya yang sangat asing. Sesaat terpejam, aku mencoba menggerakkan otot dahiku, sakitnya bukan main. Tapi cukup manjur rupanya, kini aku mengenali kata-kata wanita itu. Dia bilang aku berada di bawah otoritas tertinggi NASA dan tidak diperbolehkan pergi. Hanya itu kata-katanya, lalu memeriksa denyut nadiku, mengecek monitor di samping kepalaku, dan mencatat. Aku hampir tak bisa menggerakkan badanku. Rasanya kepala ini berat sekali, ototnya seakan mati karena aku tak mampu memerintahkan bahkan hanya untuk mengangkatnya saja tak bisa. Sekali lagi aku mencoba mengingat apa yang terjadi. Setelah tombol kupijit, tiba-tiba aku terlempar kesana kemari. Aku ingat tak mengikat tubuhku pada apapun sebelum alat itu bekerja. Dan aku membayarnya dengan sakit luar biasa di kepalaku, tubuhku yang tak mau menuruti perintah otakku, dan sejumlah pertanyaan menggantung; sedang apa aku di fasilitas NASA? Apa kami semua selamat? Atau hanya aku sendiri? Dimana si gendut? Kalau memang selamat, aku harus segera menemui wanita itu. Tapi aku tak bisa bangun, dan akupun terlelap kembali. *** Entah apa yang mereka berikan padaku dan si gendut. Yang pasti kini aku merasa begitu segar. Aku didudukkan di tengah ruangan dengan berbagai monitor yang memperlihatkan sosok bumi dalam berbagai perspektif dan

A

34


beberapa gambar pemandangan langit malam. Aku merasa seperti pesakitan yang menunggu vonis. Planet kecil yang kuaktifkan ada di depanku, agak ringsek di beberapa tempat. Seorang pria negro berkepala botak terlihat makin sangar dengan seragam US Air Force-nya, kelihatannya pangkatnya cukup tinggi, menunjuk planet kecil itu dan bertanya, “Benarkah kau yang mengaktifkannya?” Aku mengangguk dan menjawab dengan tegas. Si gendut terlihat menggigit bibirnya, tak mau menjawab. Seorang pria pirang dengan kaus bertulisan arogan ‘USGS’, melanjutkan pertanyaan si botak negro, “Apa kau tahu yang kau lakukan?” “Kurasa begitu. Aku membuat medan magnet untuk menyelamatkan pesawat.” Jawabku enteng, “Hei, dimana penumpang yang lain? Kalau kalian bisa menyelamatkan kami, pasti mereka juga selamat.” Seorang pria lain, memakai jas yang terlalu formal untuk pertemuan seperti ini, bertampang garang menimpali, “Mereka selamat. Kau tak perlu tahu dimana mereka karena mereka takkan pernah tahu keberadaan kalian.” Aku merasa seperti peserta kontes menyanyi di Indonesia yang dicacimaki para juri, untung tak ada yang berperilaku seperti banci. Aku mempertanyakan maksud pernyataan pria garang itu. Dan hasilnya pria berambut klimis berseragam NASA menyentakku, aku hampir terjatuh dari tempat dudukku, “Kau memang menyelamatkan mereka, tapi kau menyebabkan semua bencana yang akan terjadi selanjutnya. Kami kini harus bekerja sama untuk membereskan kekacauan yang kau sebabkan.” Aku tak mengerti. Baiklah, mereka tak perlu berterima kasih karena aku telah menyelamatkan lebih dari dua ratus orang dalam pesawat itu, tapi aku tidak terima bila harus menerima caci maki seperti ini tanpa tahu sebab musababnya. Aku menantang mereka menjelaskan kekacauan apa yang kusebabkan.

35


Kemudian, baru kutahu pria garang itu merupakan orang FAA yang diutus untuk bekerja sama dengan NASA, USGS, dan US Air Force. Rupanya ledakan medan magnet yang kuciptakan begitu besarnya sehingga mempengaruhi batuan di bawah perairan Karibia. Mereka menunjukkan rekaman satelit ketika medan magnet itu menghantam batuan. Memang medan gaya itu tidak terlihat dengan mata telanjang, tapi satelit mendeteksi perubahan pada kenampakan bumi setelah ledakan medan magnet itu berhenti. Mereka memperlihatkan dua foto satelit lokasi yang sama namun dengan keadaan yang berbeda. Batuan mengandung mineral-mineral, dan mineral mengandung logam. Jika makhluk hidup memiliki asam nukleat yang menyusun DNA dalam gennya, maka DNA logam adalah sifat kemagnetannya. Tak semua logam bersifat magnet; ada yang aktif, ada juga yang pasif, ada juga yang tidak sama sekali memilikinya. Meskipun suatu logam bersifat magnet pasif tapi bila memiliki DNA magnet, maka sifat kemagnetannya bisa diaktifkan. Mereka berdalih ledakan medan magnetku mempengaruhi batuan di bawah perairan Karibia. Mereka bilang ada patahan yang runtuh dan menciptakan rekahan besar. Seperti efek domino, patahan tersebut ikut menggeser batuan yang berbasis vulkanik. Sebenarnya batuan vulkanik tidak memiliki sifat kemagnetan. Suhu di bawah permukaan sangat tinggi sehingga kondisinya mencapai temperatur Curie, pada suhu inilah sifat kemagnetannya hilang. Tapi dengan adanya efek domino tadi, rupanya wilayah vulkanik di batas lempeng Karibia ikut bergerak. Bila dilihat dari kenampakan foto satelit pergerakannya cukup mengkhawatirkan, sepertinya lempeng tektonik itu bisa menghentak kapan saja. “Singkatnya, perbuatanmu akan menyebabkan gelombang tsunami besar yang bakal menenggelamkan semenanjung Florida, bahkan mungkin sebagian besar pesisir barat Amerika.� Aku tidak tahu siapa yang berbicara karena aku terlalu fokus pada monitor besar di depanku. Kucoba memperhitungkan secara kasar besarnya dampak gelombang

36


raksasa itu. Pesisir barat Amerika berarti kemungkinan bisa mencapai New Jersey, tempat wanita itu menuntut ilmu. “Apa akan mencapai Rutgers?” tanyaku enteng. “Rutgers University di New Jersey?” pria botak itu bertanya, dan makin mendekat, “Apa kau benar-benar ingin menghancurkan pesisir barat Amerika?” “Bodoh, kalau gelombang itu mencapai New Jersey dan terjadi apa-apa pada wanita itu, aku akan mati seketika itu juga!” Ingin sekali aku memuntahkan kata-kata itu. Aku menahan diri untuk tidak berkomentar terlalu banyak. Mereka jelas-jelas memvonisku bersalah dalam hal ini. “Prediksi kami, bencana ini kemungkinan bisa terjadi saat Spring Tide.” Si gendut bersuara, “Apa itu?” Aku menjawab berbisik, sebenarnya tak perlu, mereka pasti mendengar yang kubicarakan, “Saat bumi berada di tengah-tengah antara matahari dan bulan. Saat itu keadaan pasang laut paling tinggi pada dua sisi berlawanan. Massa air laut akan terkumpul pada dua belahan bumi yang berlawanan.” “Maksudmu bulan purnama?” Aku mengangguk dan berkata, “Ya, dan new moon juga; orang islam menyebutnya hilal. Banyak bencana besar terjadi saat Spring Tide, sebut saja gempa Chile dan Tsunami Aceh terjadi saat purnama. Gempa Haiti pun hanya berjarak 2 hari dari new moon.” “Aku pikir new moon itu judul film romantis tentang vampire.” “Romantis???” Tanyaku dalam hati, terserahlah! Aku mengangkat wajah menatap utusan USGS dan berkata, “Apa yang sudah kalian lakukan untuk menghentikannya? Mungkin kalian bisa membunuh purnama untuk mengurangi dampaknya?” “Membunuh purnama?” orang itu tertawa, “Terima kasih karena kau masih bisa bercanda pada saat seperti ini! tapi kami melakukan prosedur peringatan dini, tak ada upaya untuk menghentikannya. Ini pasti terjadi. Kita tak bisa mencegahnya.”

37


“Bagaimana dengan mengurangi dampaknya?” tanyaku lagi, “Misalnya kita bisa mencegah agar gelombangnya tidak sampai ke New Jersey.” “Ada apa dengan New Jersey?” kali ini pria botak yang bicara sambil memelototiku. “Ada wanita yang kucintai di sana! Puas kau botak!” lagilagi aku tidak menyuarakannya, hanya dalam hati. Hening. Pria dari NASA tampak lebih bijak berbicara, “Tidak ada yang bisa kita lakukan lagi. Sesi pembicaraan ini hanya untuk memberikan penjelasan pada kalian.” “Penjelasan apa?” tanya si gendut. “Penjelasan bahwa setelah ini kalian akan dibawa ke penjara federal dengan pengamanan tingkat tinggi karena menyebabkan bencana ini.” jawabnya enteng. Si gendut berdiri lalu dengan lantang berbicara, “Kalian tak bisa begini! Ini bukan salahku! Ini salah dia, semuanya rencana dia!!!” teriaknya padaku. “Hei,” aku berdiri juga, “Kau tenanglah!” Si gendut mendekatiku, “Tenang? Bagaimana aku bisa tenang? Aku punya keluarga, tidak seperti kau yang tak perlu mengkhawatirkan apapun. Kau hidup dalam kesendirian! Aku tak boleh masuk penjara! Aku harus keluar dari sini.” Wajahnya memerah, nampaknya bukan hanya hatinya yang panas, kepalanya juga sudah mendidih, “Semua ini gara-gara ide gilamu itu!” “Kalau bukan karena ideku, Bermuda sudah menjadi kuburanmu sekarang!” Tiba-tiba sebuah hantaman bagai palu godam mendarat di wajahku. Aku tak sempat melihat, apalagi menahannya. Tahutahu aku sudah terjerembab di lantai dengan kepala seperti tertusuk pensil. Luka di kepalaku kembali menggigit. Rasanya darah mau meledak saja. Aku mencoba menggoyang kepalaku siapa tahu bisa mengusir rasa sakitnya. Keempat pria itu menahan si gendut. Dengan panggilan telepon, dua penjaga masuk dan membawa si gendut pergi dari hadapanku. Dua penjaga lagi mencoba menarikku tapi aku bertahan.

38


“Tunggu, kita harus melakukan sesuatu!” Mereka bergeming. Saat ditarik menuju pintu aku kembali memperhatikan dua foto satelit di layar besar. Sekelebat gambaran gelombang tsunami itu sudah terjadi di kepalaku. Simulasi tsunami Aceh kupahami saat menyelidiki gunung api di dasar laut bersama seorang ahli oseanografi. Cara menghentikannya hanya dengan membalas dengan gelombang yang setara ke arah berlawanan untuk mematikannya. Fisika sederhana. Hanya dibutuhkan energi besar untuk melakukannya. Dan tidak ada negara lain yang memiliki energi sebesar itu kecuali negara ini –dan Israel. “Tunggu, aku punya rencana untuk menghentikannya.” Pria NASA itu menyuruh dua penjaga berhenti. “Atau setidaknya meminimalisir dampaknya.” Lanjutku tak mau salah bicara karena aku tak bisa menjamin bisa menghentikannya. “Ok, kami akan dengarkan.” “Tapi ini tidak gratis.” Kataku coba mengajukan penawaran. “Ah, kau ingin menyelamatkan diri juga rupanya.” Ucap pria FAA, “Munafik.” “Tidak, bila rencana ini berhasil, lepaskan temanku tanpa kekurangan satu apapun.” Pria botak tertawa meledek, “Ternyata kita menangkap seorang pahlawan.” Aku muak pada pria negro ini. Aku menghampirinya dan berkata, “Apa aku terlihat seperti seorang pahlawan? Tidak ada tanda S di dadaku, aku juga tidak mengenakan topeng kelelawar, dan aku tak punya pisau yang bisa muncul dari selasela jariku, atau barang-barang aneh lain yang biasa kalian sematkan pada orang-orang tolol yang kalian sebut … superhero?” Si botak tak gentar, malah makin menantang, “Cukup, katakan rencanamu! Dan buktikan bahwa kepalamu masih cukup berharga untuk tetap berada di tempatnya!” Aku makin menggerutu dalam hati. Ingin segera menghajarnya, tapi aku yakin tak mungkin mengalahkan pria besar itu. Ingin sekali kuteriakkan padanya bahwa aku tak perlu

39


menyelamatkan diriku, karena bila rencana ini berhasil kemungkinan besar aku takkan hidup untuk menikmati kebebasanku. Aku hanya ingin memastikan wanita itu selamat dari bencana ini. Aku menghela nafas dan berkata, “Kita butuh bom nuklir. Dan aku yakin kalian tak sulit mendapatkannya. Pabrik nuklir kalian di Savannah River Site tidak terlalu jauh dari sini, bukan?�

40


Chapter 7: Pertemuan ilot kami mengatakan bahwa kami harus menepi. Terlihat satu pesawat tempur US Air Force ada di samping pesawat kecil kami. Perbandingannya seperti kuda dan kambing, tentu kamilah kambingnya. Tapi urusan suaranya dan kecanggihannya lebih tepat disebut semut dengan gajah. Aku tidak tahu apa tipenya, yang pasti bukan pesawat yang menggiring pesawat yang ditumpangi pria itu. Sedikit perdebatan terjadi antara pilot dan John mengenai pendaratan membuatku gugup. Aku belum pernah dipaksa menepi oleh polisi di jalanan, sekarang sebuah pesawat militer menyuruh kami mendarat berdasarkan instruksinya. John ingin menjauh saja, tapi kupikir kalau kami kabur masalahnya makin runyam. Kami sepakat menurut. Pesawat tempur itu menyuruh kami, kata pilot kami, mendarat di bagian utara. Aku belum penah melihat landasan tunggal sepanjang itu. Dilihat dari sini tampaknya Cape Canaveral sejajar dengan permukaan laut di sekitarnya, tidak tampak tinggian, hanya gedung-gedung. Lokasi peluncuran roket luar angkasa terlihat sekilas. Pesisir pantai timurnya sangat tipis, hanya garis putih. Sebelah selatannya, yang sudah kami lewati, terlihat pelabuhan kecil dan kota yang mungkin bisa disebut desa. Nyaris tak ada aktivitas. Saat kami turun dari pesawatpun hanya dua orang yang menghampiri kami, dan menjelaskan bahwa kami telah melanggar zona terbang di wilayah ini. Agak tertolong karena John dan pilot kami orang Amerika tulen. Kubiarkan John menjelaskan temuan kami. Kemudian prajurit itu terdiam dan melakukan panggilan telepon. Tanpa banyak cingcong kami menurut saat dibawa masuk ke dalam sebuah gedung. Kotak biasa saja gedungnya, berwarna putih pasir, tak ada yang istimewa. *** Prajurit itu menempatkan kami dalam sebuah ruang kantor. Katanya informasi yang kami punya bukan di bawah otoritasnya. Kami menunggu dalam diam. Tak lama dua orang,

P

41


satu negro botak dan pria berseragam NASA, menemui kami. Sangat militer. Sekali lagi John menjelaskan temuan kami. Dia membuka laptop dan memperlihatkan data kami agar analisisnya lebih bisa dipercaya. Selama itupun aku diam saja, nggak baik orang asing ikut campur pada urusan bencana dalam negeri negara lain. Kedua pria itu terheran-heran mengapa kami bisa mengetahui informasi ini, padahal tak ada kebocoran informasi, menurut mereka. Cara bicaranya sangat serius, malah terlihat khawatir ketimbang kaget. “Kami peneliti dari Rutgers University.” Ujar John menjawab pertanyaan siapa kami sebenarnya. “Bukankah Bahama dijaga ketat?” Ragu, John menambahkan, “Well, kami peneliti.” “Maksudnya kalian cukup pintar untuk mengelabui para prajuritku?” tanya pria negro. Kami terdiam. Tanpa diskusi, mereka menyuruh kami tidak membocorkan informasi yang kami punya. John tak terima begitu saja. Tadinya dia begitu penurut, tapi setelah mereka menyuruh kami pergi, dia sepertinya tidak sabaran. “Aku punya keluarga di Florida.” Kata John geram, “Mereka harus diberi peringatan.” “Kami sudah memberikan peringatan dini. Bukan kalian saja peneliti di sini, kami punya ratusan peneliti yang mengetahui fenomena ini lebih dulu, dan sudah membuat rencana pencegahan.” Aku gatal ingin bicara, “Aku tidak tahu tsunami bisa dicegah.” “Itu bukan urusan anda.” Baiklah, negaramu yang akan diterjang gelombang raksasa! Ujarku dalam hati. Tapi dari tadi aku menunggu momen untuk bertanya. Satu-satunya petunjuk yang kupunya dan alasanku berpijak di tempat ini hanyalah pria itu. Aku tak mungkin pergi begitu saja tanpa menanyakan keberadaannya. Aku memberanikan diri bertanya. Aku menyebutkan namanya. Jika mereka benar-benar menyelamatkan pesawat itu, mereka

42


pasti mendaftar siapa saja yang selamat. Bahkan aku memperlihatkan video yang membawaku ke sini. “Aku pikir kalian peneliti, bukan detektif.” Kata pria NASA itu. “Tolonglah, kami sengaja ke sini untuk mencari tahu dia selamat atau tidak.” Ujarku memohon. Mereka berdua berdiskusi sendiri. Aku tak bisa mendengar bisikan mereka. Aku melirik John meminta bantuan. Dia memegang bahuku. Tapi tak cukup manjur, di dalam kepalaku seperti ada desingan yang tak pernah berhenti. Dadaku sesak menunggu jawabannya. “Ada kabar baik dan buruk tentang pria yang anda cari.” Kata pria botak itu setelah mengakhiri diskusinya, “Kabar baiknya, dia selamat. Kabar buruknya, dia akan melakukan misi bunuh diri. Dan aku yakin pria itu akan meminta bertemu dengan orang yang dikenalnya sebagai permintaan terakhirnya.” Seketika sesak di dadaku hilang, bukannya lega, justru aku merasa tak bernafas sama sekali. *** Misi bunuh diri. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Aku diantar masuk lebih dalam ke fasilitas ini. Aku merasa kami turun lebih dalam dari ruangan tadi. Mungkin ini sebabnya gedung yang terlihat tadi hanya sederhana saja. Mungkin hanya perasaanku saja, tapi sepertinya makin dalam tekanannya makin besar saja. Sama seperti menyelam di laut dalam, beban air laut seperti itulah yang sedang menindihku sekarang. Menemukannya dalam keadaan selamat adalah doa pada tiap hela nafasku, tapi kabar misi bunuh diri ini menggangguku. Terus diam di sini saja kurasa sama saja dengan misi bunuh diri. Entah kenapa tampaknya dua pria tadi sangat yakin tsunami ini bisa dihentikan. Setahuku, jangankan menghentikan, hanya sedikit ilmuwan yang berani memprediksikan terjadinya gempa, apalagi di bawah laut. Pintu lift terbuka. Aku tak berani bertaruh pada kedalaman berapa kami berada. Lift tadi memang melesat, tapi waktu tempuhnya tidak cepat. Ruangan yang kumasuki memiliki aquarium raksasa, tapi tak ada ikan dan terumbu

43


karang buatan. Semuanya biru transparan. Sebuah kapal selam kecil berwarna kuning melesat dengan cepat. Aku pernah melihat kapal selam kecil itu saat ekspedisi di pasifik beberapa bulan yang lalu. Mereka menyebutnya Subeo Gemini Submersible, atau lebih mudahnya Gemini saja. Bisa digunakan oleh dua orang, terlihat dari dua sembulan kaca di bagian depannya. “Aku tidak main-main dengan misi bunuh diri yang kubilang tadi.” Kata pria negro itu, “Satu-satunya kesempatan dia selamat hanya tentang bagaimana dia mengendalikan kendaraan bawah laut itu. Kami berusaha menyelamatkannya dengan melatih kemampuannya di bawah air.” “Kami sudah memodifikasi kecepatannya.” Tambah pria NASA, “Dan beberapa peralatan pendukung kehidupan juga dimodifikasi.” Baguslah, karena yang kutahu kecepatannya seperti jalannya kura-kura di darat. Tapi ini berarti satu hal, bila NASA bersikeras memodifikasinya secanggih mungkin, misi yang dilakukan pria itu memang sangat berbahaya. Kami memanjat tangga yang cukup curam. Saat kami sampai, terdengar suara desiran udara yang keluar dari dalam aquarium. Tekanan tinggi. Itu yang pertama kali terpikirkan, mereka mensimulasikan tekanan di bawah laut pada aquarium ini. Setahuku pusat pelatihan luar angkasa ada di Houston, aku tidak tahu di sini juga ada fasilitas pelatihannya. Seorang staf menghampiri pria NASA. Katanya hasil pengujian terakhirnya sukses, kecepatannya mencapai 30 knot. Kecepatan seperti itu di kedalaman dengan tekanan besar sama seperti kecepatan tukang ojek nguber penumpang. Kepala pria itu muncul dari sembulan kaca yang terbuka. Aku menilik, berusaha memastikan. Kini desiran udara dari dalam aquarium tadi terdengar dari dalam dadaku. Itu dia. Aku ingin bersorak, tapi tak mungkin. Ini fasilitas NASA dengan situasi gawat darurat, bukan pasar malam dimana komidi yang berputar dan nyanyian yang menyayat. Pria itu keluar dari Gemini. Aku memanggilnya. Tak mungkin panggilan lembut, biasa saja. Atau mungkin aku terlalu berusaha bertingkah biasa? John memandangku seperti zombie

44


kelaparan. Pria itu menoleh, memandang heran, tatapannya seperti ketakutan. Aku tidak mengharapkan tatapan seperti itu darinya. Kemudian dia tersenyum. Agak berlari, dia menghampiriku. “Kau,” ujarnya, matanya tak bisa menyembunyikan rasa kaget, “Sedang apa kau di sini?” Hening. Aku mencari jawaban yang pas. Tak ingin terdengar bahwa aku sengaja mencarinya karena mendengar pesawat yang ditumpanginya jatuh, menyelidiki video dari orang-orang negro dan mendarat di sini dibimbing oleh pesawat tempur US Air Force. Tapi aku tak bisa mencari jawaban lain. “Aku mencarimu,” jawabku tiba-tiba, sebelum keduluan dia bersuara, aku bertanya lagi, “Apa yang kau rencanakan?” Tatapannya berubah lembut. Dia menjelaskan situasinya. Dia menyalakan suatu alat yang tidak aku tahu seperti apa bentuknya. Kemudian semua kondisi berubah. Bencana hampir pasti terjadi. Yang dilakukannya sekarang untuk mencegah dampak yang terlalu luas. Bom nuklir akan disimpan di beberapa titik di bawah laut. Ketika gelombang itu datang, bom akan diledakkan dari sini. Teori mematikan gelombangnya cukup masuk akal. Sebenarnya hulu ledak itu bukan diletakkan, lebih tepatnya digantung, sebisa mungkin menghindari kontak dengan permukaan. Untuk meletakkannya harus ada orang yang turun. Dialah yang menawarkan diri menjadi pelaksana. Dia menceritakannya seakan tak ada resiko pada rencananya. Dia menunjukkan kondisi bawah perairan Karibia saat ini. Kalau bencana itu terjadi, hampir bisa dipastikan sebagian besar kepulauan Karibia habis. Dampak lainnya seperti yang kudiskusikan dengan John, malah lebih parah lagi. Dia menyebut tentang kemungkinan gelombang mencapai New Jersey. Aku mempertimbangkan lagi pernyataannya. Memang bukan tidak mungkin, tapi terlalu berlebihan kalau disebutkan gelombang itu bisa mencapai New Jersey. Dan yang paling berbahaya dari rencana ini adalah tentang waktu. Tak ada yang tahu kapan bencana ini bisa terjadi. Bisa saja patahan ambruk ketika dia sedang meletakkan bom nuklir itu, dan dia tak sempat

45


keluar dari air. Itulah kenapa pria negro tadi mengatakan ini misi bunuh diri. “Gemini tak mungkin membawa hulu ledak nuklir.” kataku berargumen. “Memang tidak, Gemini hanyalah tiketku untuk menyelamatkan diri. Walaupun aku tahu mungkin tiket itu tidak akan berlaku di bawah sana.” Katanya lirih, “Bom nuklir itu akan dibawa oleh sebuah kendaraan bawah laut. Mereka menyebutnya Waterboy.” Dia menunjuk sebuah traktor raksasa di ujung ruangan besar ini. Waterboy dilengkapi alat pengeruk dan pencapit di kedua lengannya. Geriginya seperti tank perang, tapi lebih tinggi, mungkin untuk menghindari terperosok ke dalam parit di bawah laut. “Setelah semua bom kuletakkan, aku akan segera keluar dengan Gemini.” Katanya lagi. “Bagaimana kalau gelombang itu datang sebelum kau selesai?” Terdiam. “Mereka akan meledakkannya. Menurut mereka, aku hanya punya waktu maksimal 30 menit untuk melesat ke utara sebelum mereka meledakkannya.” “Tigapuluh menit dengan kecepatan 30 knot per jam? Kau takkan mencapai perairan Georgia.” “Aku tahu.” Ada hening yang ganjil di sekitar kami. Hanya ini kesempatanku. Memang bukan saat yang tepat untuk melakukannya. Tapi takkan pernah ada lagi saat yang tepat kalau aku tak melakukannya sekarang. “Tadi kaubilang mencariku?” tanyanya membuyarkan semua kalimat yang sedang kususun. Aku mengangguk. “Andai aku bisa mengatakan betapa senangnya aku bertemu denganmu.” Katanya, aku mematung oleh tatapannya, keadaan genting tak menenggelamkan sihirnya, “Kuharap situasinya berbeda, aku tidak akan memilih tempat seperti ini untuk bertemu denganmu.” Semua suaraku tercekat.

46


“Maksudmu?” hanya itu yang bisa keluar dari bibirku. “Aku terbang ribuan kilometer hanya untuk bertemu denganmu, tapi aku malah membuat kesalahan bodoh ini.” Mungkin ini jawaban dari pertanyaanku sedari tadi. Pria negro tadi mengatakan misi bunuh diri, tapi kenapa pria ini yang harus melakukannya? Dia hanya orang asing yang kebetulan lewat perairan Karibia untuk menemuiku, tunggu, menemuiku? Terakhir kali aku cek, telingaku baik-baik saja. Alih-alih bertanya tentang kesalahannya, aku malah bertanya, “Kau ingin menemuiku?” “Aku mencintaimu.” Katanya langsung tertunduk malu. Tadi aku tersihir tatapannya, kini kata-katanya yang tanpa sayap justru membuatku terperangah. Aku suka puisi, aku suka Khalil Gibran, aku suka Paulo Coelho karena kata-kata penuh maknanya. Tak pernah bosan membacanya walaupun kata-katanya panjang. Tapi pria ini menyatakannya dalam bentuk paling sederhana. Bentuk paling murni, tanpa kontaminasi. “Tuh kan, aku berbuat bodoh lagi,” katanya sambil mengibaskan tangannya di atas peta Amerika seakan ada remah roti bertebaran, “Ini bukan saat yang tepat mengatakan semua ini.” Aku protes, “Lalu kapan waktu yang paling tepat?” “Mengingat aku mungkin tak selamat dalam misi ini, kurasa tak ada.” “Lalu kenapa kau bilang ini perbuatan bodoh?” “Karena sepintar apapun orang menilaiku, aku tak pernah benar-benar bisa menyatakan cinta dengan cara yang benar.” Katanya lagi, kini tatapannya kembali memagutku, “Harusnya aku melakukannya sebelum kau pergi ke sini, sehingga aku tak perlu menghabiskan waktuku bersama orang yang tidak pernah kucintai.” “Tak pernah?” Dia menggeleng, “Sejak kekasih pertamaku meninggal, aku berharap bisa menjatuhkan hatiku pada seseorang. Dan itu tak pernah terjadi sebelum malam itu. Maksudku, tak pernah sekilaspun aku berencana untuk mencintaimu.”

47


Aku tergelak mendengarnya, “Kau pikir mencintai bisa direncanakan?” Dia juga tersenyum, “Mungkin, ada temanku yang tertarik pada seorang perempuan hanya karena perempuan itu cantik. Ketika ternyata perempuan itu tidak sebaik yang dia kira, dia tetap ingin mencintainya. Lalu, sedikit-sedikit dia menerima semua kekurangan perempuan itu, hanya karena dia ingin mencintainya. Dan pada akhirnya memang dia benar-benar jatuh cinta padanya.” Dia mengerling seakan ceritanya itu lelucon, tapi entah kenapa aku merasa cerita itu benar adanya, “Aku senang dengan kenyataan itu. Berencana mencintai memang terdengar konyol. Aku melakoni kekonyolan itu selama bertahun-tahun, tapi tak pernah berhasil.” “Kau pernah bercerita tentang istrimu. Kau mengagungkannya setinggi langit. Aku mungkin tidak lebih baik dari dia. Lihat saja,” ucapku sambil mengibaskan ujung rambutku, “Aku bahkan tak bisa mempertahankan kerudungku di sini. Hanya untuk memperoleh berbagai kemudahan dan tak perlu dilingkupi kecurigaan.” Dia tersenyum, mungkin hampir tertawa, “Kau memang tak lebih baik dari dia. Dan kurasa aku tidak berada pada posisi untuk menentukan siapa yang lebih baik, itu pekerjaan Tuhan. Tapi ini bukan tentang siapa yang lebih baik, ini tentang siapa yang kucintai. Kalau seseorang harus mencintai karena kualitas yang lebih baik, kurasa tak ada yang pernah jatuh cinta pada penjahat.” “Jadi sekarang akulah penjahatnya?” “Yeah, kau membuatku melintasi separuh dunia, dan menyebabkan bencana ini untuk Amerika. Siapa yang bisa lebih jahat dari itu?” ucapnya. Aku tahu itu hanya leluconnya. Aku tahu situasinya ganjil. Apakah aku perlu mengatakan bahwa aku punya perasaan yang sama? Mungkinkah itu bisa melukainya karena setelah ini dia akan menjalankan misi bunuh dirinya? Atau justru aku takut melukai diriku karena bila aku mengatakannya dan dia mati, maka aku akan sendiri lagi? Sejak kekasih terakhirku meninggalkanku, aku takut mencintai. Mencintai pria ini juga sangat beresiko, aku tak mau hidup kalau dia mati. Cinta mati, aku pikir itu hanya karya

48


pujangga. Kenapa kata ‘cinta’ disandingkan dengan kata negatif seperti ‘jatuh’ dan ‘mati’ untuk mendapatkan makna yang luhur? Seburuk itukah mencinta? Menuliskan kisah baru pada lembaran hatiku memang keinginanku, tapi aku tak mau kisah ini hanya sepanjang satu halaman dan selesai. Namun, bila aku tak menuliskannya, mungkin tak pernah ada lagi kisah yang kutulis dalam hati. Aku akan mengambil semua resiko, demi hatiku. “Aku akan membantumu meletakkan bom itu.” Ujarku. “Tidak.” “Ayolaah, aku lebih tahu dasar laut. Aku jamin kau tidak akan terperosok di parit laut atau menghancurkan terumbu karang.” Kataku ceria, “Lagipula Gemini bisa ditumpangi dua orang.” “Memang, tapi akan melambatkan lajunya karena kelebihan beban.” “Enak saja, aku nggak segendut itu!!!” “Bukan itu maksudku … ” Aku tak mau kalah, “Jelas itu maksudmu, kalau bukan kenapa kau tak mau membawaku?” “Ini berbahaya!” dia berdiri, suaranya meninggi. Aku juga berdiri, “Ya, itulah sebabnya aku ingin melakukannya. Karena aku juga takkan sanggup kehilangan dirimu! Walau sesaat, aku ingin hidup bersamamu.” Dia menyentuh pipiku. Aku memegang tangannya yang menyentuh pipiku, dan mencium telapak tangannya. “Kalian sudah selesai dengan pesta perpisahannya?” Lagi-lagi pria negro itu. Aku benci dia! *** Kami sudah mengudara. Waterboy akan diterjunkan dari pesawat raksasa ini. Pihak Amerika tidak mau mengambil resiko salah satu kapal induknya tenggelam karena ketidakpastian bencana ini. Lagipula yang kudengar US Air Force memang agak bersaing dengan US Navy. Dan rupanya pria negro itu dari US Air Force, dia pantang meminta bantuan dari seorang laksamana US Navy. John menganggapku gila dan tak mau tersenyum sedikitpun pada pria yang kucintai. Dia menyalahkan priaku atas

49


bencana yang mungkin terjadi. Aku tidak terlalu memikirkannya lagi. Aku bersamanya sekarang, itu yang penting. Kami dipersiapkan. Tadi priaku meyakinkan pria NASA untuk mengikutkanku dalam misi ini. Dia menjelaskan bahwa pengetahuanku di bidang geologi kelautan bisa membantunya menghindari bahaya di dasar laut dan meletakkan bom nuklir dengan benar. Dia bahkan menjelaskan beberapa pencapaianku di bidang ini. Sekarang aku tahu kenapa dia begitu tahu banyak tentang studiku. Dia mencintaiku, itu alasannya. Kami sudah di dalam Waterboy. Duduk berdampingan. Dia memegang kemudi. Aku mengamati citra satelit di bawah perairan yang akan kami kunjungi dan mengoceh tentang rute melarikan diri yang paling aman. Dia mengangguk saja. “Bagaimana dengan orang-orang di Cape Canaveral?’ tanyaku setelah mengencangkan sabuk pengaman, “Sekalipun kita bisa mematikan gelombangnya, kemungkinan tempat itu tetap terkena dampaknya.” Pria itu mengangkat bahu, “Entahlah, kurasa tempat itu dirancang untuk bisa bertahan dari serangan nuklir.” Saat ragupun, dia tetap meyakinkanku semuanya akan baik-baik saja. “Oh ya, aku lupa,” kata pria itu, “Tadi aku minta tabung oksigen cadangan untuk di Gemini. Mereka belum memasukkannya juga. Bisakah kau memintakannya lagi?” “Ok.” Kataku sambil tersenyum. Tak peduli aku harus melepaskan kembali sabuk pengamanku. Aku bersedia melakukannya untuk dia. Apapun. Memikirkan kapan terakhir kali senyumku selega ini, malah membuatku makin tergelak. Aku keluar dari Waterboy. Aku menemui salah satu staf NASA dan meminta tabung oksigen cadangan. “Aku siap,” suara serak terdengar di seluruh ruang kendali, “Terjunkan sekarang!!!” Aku tersentak. Berlari kembali ke Waterboy. Sial! Pria itu sudah menguncinya. Aku berteriak sambil menggebuk pintu, “Buka pintunyaa!!!”

50


Berkali-kali aku memukulnya tapi pria itu tetap bergeming. Dua orang petugas menarikku, “Waterboy akan segera diterjunkan,” Katanya. Aku berlari kembali ke ruang kendali pesawat dan mengambil mikrofon yang dipegang pria NASA. “Kau tak bisa lakukan ini padaku!!!” teriakku, “Aku takkan hidup tanpamu!” kelopak tak kuasa membendung air mataku. Kemudian terdengar suara pria itu, “Hiduplah, aku akan berusaha tetap hidup, untuk kita!”

51


Chapter Chapter 8: Sendiri ku meletakkan hidupku di atas nampan dan mempersembahkannya di meja judi. Aku tak melihat kemungkinan untuk melarikan diri. Kalaupun aku selamat, mereka pasti menahanku. Sulit bagiku untuk mempertanyakan konsistensi mereka. Guantanamo menjadi bukti sahih bahwa mereka tak akan segansegan menahanku tanpa pengadilan. Aku hampir yakin kasus ini takkan tersiar ke media. Bilapun ada wartawan keselek saat mengoceh di depan kamera, pemerintah negara ini akan dengan mudah menyatakanku sebagai teroris dengan pendekatan baru; bukan dengan bom tapi bencana alam. Bom itu cara primitif! Kini semuanya berubah. Kedatangan perempuan itu membalikkan segalanya. Sebelumnya harapanku habis sudah. Aku sudah tak mengharapkan bertemu lagi dengannya. Tapi sekarang ada yang bergerak-gerak di dalam kepalaku, mencari celah keluar dari situasi ini. Hidupku sempurna. Kurasa tiap orang yang kukenal akan memandangnya begitu. Tapi itulah masalahnya. Kalau seseorang punya hidup yang sempurna, maka ada yang salah dengan hidupnya. Entahlah, kadang –bahkan sering, mungkin– aku juga menganggap hidupku terlalu sempurna. Tak ada yang cacat dalam hidupku. Sejak aku berkenalan dengan ungkapan itu, aku mencoba mencari-cari cacat hidupku hanya untuk memastikan segala sesuatunya baik-baik saja. Aku punya kedua orang tua yang mendukung, pasangan yang mencintai, pekerjaanku terjamin. Apalagi yang kubutuhkan? Hampir tak ada, tapi ungkapan itu selalu menggangguku. Kurang ajar mungkin, beranjak dari sana aku mulai mempertanyakan kepantasanku memperoleh ujian. Dari situlah aku sadar bahwa pandangan orang tentang hidupku yang sempurna itu salah total. Mungkin inilah jawaban atas pertanyaanku atau Tuhan membalaskan murkanya padaku. Aku akan menjadi penyebab kehancuran pesisir timur Amerika bila aku tidak melakukan ini. Bahkan bila berhasilpun, tetap saja ada

A

52


yang hancur akibat perbuatanku. Tak pernah hidupku sesempurna ini! Aku sendirian kini. Berada di sebuah kendaraan bawah laut plus semua orang menyalahkanku. Sebuah artian harfiah sekaligus maknawiah. Bahkan si gendut juga begitu! Padahal dia sampai di posisinya sekarang gara-gara siapa?!! Aku yang memberinya kesempatan! Sial, semarah apapun aku padanya, aku mengerti dia punya hak untuk menyalahkanku. Satu hal yang tak bisa kupungkiri, itu semua ideku. Aku tak punya hak mengambil dia dari keluarganya. Bila publik Amerika tahu perbuatanku, pasti mereka menyalahkanku juga. Hanya perempuan itu yang tetap mendukungku walau dia tahu dosaku bisa membunuh banyak orang. Sungguh, aku tak memikirkan semuanya sampai ke sini. Aku pikir dengan mengalahkan medan magnet bumi tidak akan mempengaruhi pergerakan lempeng bumi. Setelah mengamati data yang disodorkan aku baru mengerti, ada hal penting yang kulupakan. Sabuk Van Allen. Medan magnet yang dihasilkan dari inti bumi, yang berisi besi dan nikel, menimbulkan perisai elektromagnetis raksasa. Asal usul medan magnet dan medan listrik sama absurdnya dengan kasus perdebatan kuno tentang ayam dan telur, entah siapa yang duluan, yang pasti mereka ada. Itulah yang kulupakan dan merambat pada yang lainnya. Aku juga lupa bahwa air laut sangat kaya dengan elektrolit, siap menghantarkan listrik kapanpun. Tabrakan medan magnet kemungkinan menyebabkan medan listrik, merambat melalui air laut dan menghantam batuan di dasar laut. Bumi memang isolator raksasa, itulah sebabnya petir menghantam bumi. Setiap pukulan meninggalkan luka. Kini luka itu yang memintaku turun ke kedalaman ini. Bumi memintaku mengobatinya. Bukan obat yang manis, mengingat bom nuklirlah yang akan kugunakan. Tapi bukankah penisilin juga bersifat racun? Lagipula lempeng yang sudah bergerak tak mungkin kembali ke barisannya semula. Yang kulakukan takkan mengobati, hanya meredakan. Kuharap itu bisa meluruhkan dosaku.

53


Semua fakta sains terlupakan begitu saja. Aku panik karena ketakutan. Aku takut pesawat jatuh, maka aku akan mati. Dan bila mati apa kabar dengan perasaanku? Bertahuntahun tak merasakan jatuh cinta meletupkan euforia berlebihan. Bila tidak dilampiaskan, maka euforia itu akan tersedimentasi. Aku tak ingin perasaan itu menjadi batu yang mengganjal hatiku. Tanpa memikirkan resiko, kususun rencana instan. Rencana itu memang dibuat di puncak kepalaku, tapi dorongannya berasal dari kedalaman hatiku. Kini aku menolak untuk pasrah. Bila sebelumnya pilihanku hanya mati atau ditahan, setelah bertemu dengan perempuan itu, pilihanku bertambah: Hidup atau mati. Mati, semuanya selesai. Hidup, bisa berarti dua hal: ditahan atau pelarian. Sebelum sampai paket pilihan selanjutnya, aku lebih fokus pada paket pilihan pertama. Dan aku memilih hidup! Kurasa melalui perempuan itulah Tuhan memberiku daya hidup, setidaknya keinginan untuk hidup. *** Terjun dari pesawat dan berada di dalam Waterboy rasanya ada yang janggal. Perutku terasa diaduk-aduk. Mual. Aku pernah terjun payung, rasanya tak seperti ini. Di dalam ruangan, massa tubuhku lebih ringan dari wahana tempatku berada, membuat semua isi tubuhku terangkat semuanya ke atas. Darah bertekanan tinggi menyerbu otak dengan spartan. Sakit kepalaku tak terkira. Tapi perempuan itu memberiku daya hidup. Aku bisa bertahan. Ada lima titik yang perlu kusambangi. Setiap titik akan kugantungkan satu buah hulu ledak nuklir. Besarnya ledakan, posisi penggantungan, jauhnya jarak dari dasar permukaan dan semua aspek yang perlu diperhitungkan sudah dibereskan para ilmuwan NASA. Aku hanya perlu mengikuti petunjuk dasar mereka dan melakukannya dengan baik. Aku melihat GPS. Posisi jatuhku dan titik pertama berjarak setengah jam.Setelah itu aku akan bergerak makin ke utara menjauhi episentrum gempa yang akan terjadi. Setiap titik berjarak satu jam. Aku akan tiba di titik ke empat ketika malam tiba. Memang banyak waktu terbuang karena persiapan bom nuklir dan evakuasi warga. Makin banyak waktu terbuang,

54


makin besar bahayanya. Tapi aku tak bisa menyalahkan siapapun. Tim NASA sudah bekerja dengan baik. Aku tiba di titik pertama. Aku menggerakkan dua tongkat pengendali , seperti sedang main balapan dalam video game. Sistem dalam Waterboy sangat rumit, tak bisa dipercaya aku mempelajarinya dalam waktu semalam. Aku menggerakkan tangan pengeruk untuk membersihkan sekeliling titik, sementara pria NASA dan pria USGS membimbingku dari atas sana. Kemudian aku menembakkan seutas tali yang mengikat hulu ledak. Begitu talinya tertancap kuat aku lepaskan hulu ledaknya. Dengan cerdas, mereka mendesain hulu ledak yang memiliki baling-baling pendorong. Jadi posisinya akan tetap mengambang karena hulu ledaknya seakan ingin terbang ke atas, menjauhi dasar laut. Aku beranjak ke titik berikutnya. Tanganku makin gemetar saja. *** “Waterboy, situasimu sudah tidak memungkinkan.� Kata pria USGS, “Segera keluar dari sana!� Perintah itu menggelegar di kepalaku. Aku belum selesai. Hampir sampai ke titik keempat. Gempa itu sudah tiba. Aku merasakan getaran itu, gempa yang besar. Menurut para pria di atas kekuatannya di atas 8 SR. Waterboy berguncang. Aku bertekad menempatkan Waterboy di titik keempat, tapi salah satu rodanya terperosok. Rupanya gempa menoreh lantai laut di sini. Waterboy tak bisa bergerak. Aku harus segera keluar! Ruangan penyimpan Gemini kubuka. Aku duduk di dalam kokpitnya. Gemini berada di ruangan di bawah ruang kendali Waterboy. Atap menutup perlahan yang memisahkan bagian utama Waterboy dengan tempat penyimpanan Gemini. Mesinnya kunyalakan. Tombol-tombol warna-warni menyala. Aku punya 72 jam cadangan oksigen di sini, tapi aku mendekap tabung oksigen kecil. Setelah semuanya siap, pintu kubuka. Aku menahan nafas seolah betulan akan menyelam. Air menyeruak masuk ke dalam ruangan. Tekanannya sangat besar. Tanpa Gemini, pasti tubuhku sudah gepeng seperti kecoa terinjak. Aku harus segera keluar dari kedalaman

55


ini. Rute melarikan diri yang dirancang perempuan itu kupelajari dengan seksama dalam perjalanan tadi. Perlu modifikasi, tapi aku akan tetap memakainya. Gemini melesat dengan kecepatan penuh. Di dalam sini sangat hening. Aku yakin keadaannya berbeda dengan di atas sana, penuh kekacauan. Aku perhatikan panel keterangan kedalaman, terus naik. Aku mengambil sudut yang cukup curam menuju permukaan. Harusnya kuambil sudut yang landai agar semakin jauh dari pusat gempa. Tapi sebaiknya aku segera mencapai permukaan secepat mungkin. Baru setengah perjalanan, aku melihat ikan-ikan panik. Di dalam laut, tsunami memang tak terlalu kentara. Tapi ancaman ledakan nuklir yang akan menghabisiku. Dua karang menghantam. Aku berharap Gemini bisa bertahan. Aku harap kendaraan ini bisa lebih cepat. Hantaman ketiga. Kali ini tepat di atas kepalaku. Aku bisa melihat goresan di kaca penutup. Kubelokkan Gemini untuk menghindari karang yang lain. Tapi tetap saja, seekor ikan besar menghantam. Sepertinya dia marah karena aku mengganggu acara kawinannya. Aku keluar jalur. Di sisi lain aku tak bisa menghindari karang. Dua hantaman telak dari atas dan bawah membuat Gemini berputar kacau. Aku gagal mempertahankan posisi. Makin banyak ikan yang bergerak ke utara. Pandanganku terhalang. Aku tarik tongkat pengendali. Di dekat permukaan terasa arus mulai membesar. Gemini makin tak bisa bertahan, terus terdorong menuju pantai. Aku hanya punya lima menit lagi. Limapuluh meter lagi aku mencapai permukaan. Skenario penyelamatan diri terakhirku sudah habis. Tiba-tiba hentakan dari bawah mengguncang. Dari atas jatuhan karang menghantam kaca. Aku sudah siap menggenggam tabung oksigen cadangan. Begitu kaca lepas, air menampar wajahku dengan telak. Sekuat mungkin aku menendang Gemini. Berenang vertikal sambil berharap tak ada karang senewen nyasar ke kepalaku. Arus dalam makin membawaku. Dingin. Waktuku sudah habis. Andai bisa mendengar dengan baik, pasti ledakannya keras sekali. Gelembung air menyerbu ke permukaan. Aku

56


mengandalkannya untuk naik lebih cepat. Setelah tiga kali mengambil oksigen, tabungnya terlepas. Aku tak punya waktu untuk mengumpat. Serbuan ikan memutar tubuhku, aku terus berenang ke permukaan. Pusaran air membolak-balik tubuhku. Aku buta arah. Nafasku habis. Paru-paruku kehabisan udara. Otak sudah memerintahkan hidung untuk menghirup. Aku bersikeras membantah perintah itu. Menahan sekuat tenaga. Aku keluarkan sisa udara dari mulutku, tapi tak menolong. Kalau tidak segera diisi udara, paru-paruku bisa dibanjiri air laut. Aku sudah tak berenang. Hanya bertahan agar tak tenggelam. Tenagaku mulai habis, sementara arus air makin kencang. Dorongan hati sudah mulai tak berguna. Paru-paruku meminta udara, bahkan mulai memaksa seperti satpol PP menggusur kaki lima. Air asin sepertinya melukai lubang hidungku. Pengelihatanku menyusut. Di dadaku terasa ada yang menyangkut. Kesadaranku mengkerut. Sebelum benar-benar habis, aku merasa terangkut. Mungkin malaikat maut.

57


Chapter 9: Pembunuh Gelombang ari balik kemudi John melirik, “Kau yakin?” “Tak pernah seyakin ini,” jawabku mantap. Kamipun terbang. Aku mempelajari rute penyelamatan diri yang kusarankan pada pria itu. Dari titik terakhir sebelum gempa, sinyal Gemini menunjukkan bahwa pria itu berhasil keluar dari Waterboy. Kutandai titik keberangkatan pria itu. Aku melingkari suatu wilayah pada peta dan memasukkan koordinatnya ke GPS. Kuperlihatkan GPS pada John, “Di sini.” “Ini terlalu dekat dengan tempat dia meninggalkan Waterboy.” Seru John. “Aku tahu, kurasa dia akan secepat mungkin mencapai permukaan. Jadi kemungkinan besar dia akan mengambil sudut curam menuju permukaan.” John mengangguk. Kami terbang tepat saat gempa terjadi. Pria NASA mengijinkan kami menggunakan helikopter militernya. Helikopter ini memiliki kaki-kaki pelampung, siapa tahu kami harus mendarat di air. Pria USGS menatap lirih. Sedangkan pria negro dari US Air Force lebih tepatnya tidak peduli pada keinginanku. Seperti yang pria itu bilang, bagian dalam Cape Canaveral dirancang untuk bertahan dari serangan nuklir. Mereka di dalam baik-baik saja. Dan hanya orang bodoh yang memutuskan keluar, begitu kata John. Dia begitu menyalahkan priaku atas bencana ini. Tapi setelah aku berjanji membantu beberapa penelitiannya, dia bersedia menerbangkan helikopter ini. Bukan rencana pintar, memang. Mendatangi perairan saat tsunami menjelang sama saja menerjang badai. Perkiraan waktu terjadinya gempa meleset. Rupanya purnama sudah mengumpulkan air yang cukup berat dan menghasilkan tekanan yang sangat besar. Dari titik keempat kuamati pergerakan

D

58


Waterboy, sepertinya pria itu mencoba menancapkan bom, namun dia tertahan, dan keluar dari Waterboy. Aku tidak tahu kemampuan pria itu berenang, tapi aku bisa menjamin dia tak pernah menyelam tanpa tabung oksigen. Titik kuning berkedip menandakan Gemini masih berusaha memanjat ke permukaan. Perkiraanku cukup akurat. Pergerakannya menanjak curam, sedikit-sedikit arahnya berubah, mungkin akibat arus dalam. Ledakan nuklir tidak sebesar yang kubayangkan. Entahlah, aku tidak tahu bagaimana mereka merancang bomnya. Menurut perhitungan mereka mungkin ledakan itu cukup untuk mematikan gelombang. Tapi kini titik kuning itu bergerak tak karuan. Bukan lagi karena arus dalam, ledakan itu biang keroknya. Aku terus memantau titik kuning itu, sambil mengenakan peralatan selam lengkap. Kudengar John bergumam tak jelas. Mengutuk kejadian ini, dan mungkin mengutuk dirinya sendiri yang melakukan penerbangan saat tsunami menghadang. Gemini sudah muncul di permukaan! “John, turunkan sekarang!” “Tidak mungkin, kita bisa tersambar sisa gelombang.” “Turunkan!” “Kau gila!” “Turunkan!” Teriakku setelah membuka pintu, “Atau aku melompat dari sini!” Aku memeriksa kaitan di punggungku sambil berpijak pada penumpu. Helikopter turun hati-hati. Ombak menjilat-jilat angkasa. Rasanya aku sudah cukup dekat untuk menciumnya. Pandanganku tak lepas dari kendaraan kuning yang mengapung di lautan. Aku mendekap tabung dan melompat. Tabung oksigen kupasang pelampung, siapa tahu aku tak perlu menyelam. Aku meninggalkannya sejenak, mendekati Gemini. Penutupnya terbuka, pecah. Pria itu tak ada di sana. Aku menengadah. Melambai, kemudian memberinya isyarat bahwa aku harus menyelam. John terlihat makin merengut. Seutas tali mengikatku pada helikopter itu. Dan sesuai perjanjian, bila situasi tidak memungkinkan dia harus

59


melepaskan kaitan itu dan pergi secepatnya. Aku juga punya pilihan yang sama, kaitan di punggungku bisa kulepas kapanpun. Tapi dari atas John melarangku melepaskan kaitannya dan menyuruhku cepat. Lampu sorotnya bergerakgerak seperti penata cahaya lampu sorot di operanya seorang amatiran. Tabung oksigen kutarik. Kulepaskan pelampungnya dan kukenakan di punggung. Setelah menurunkan google selam dan menggigit ujung selang, aku menenggelamkan diri di tepian Atlantik. Buih menyerbu naik. Lampu di kepala kunyalakan. Aku menggerutu dalam hati, lautan ini terlalu luas dan tak ada petunjuk yang bisa kuikuti. Di bawah, keadaannya sama kacaunya. Aku tak bisa mempertahankan arah. Berhenti menyelam, hanya mengamati sejauh sorot lampu mampu menjangkaunya. Turun lagi. Mengamati lagi. Tak ada. Aku bernafas dengan baik, tapi rasanya dadaku sesak. Pandangan terganggu karena mataku berkaca-kaca. Aku putuskan turun lagi. Tertahan. Tali yang mengikatku ke helikopter sudah tidak cukup. Kuraba punggungku, menelusup ke belakang tabung oksigen. Kulepaskan kaitannya. Aku harus menemukan pria itu. Tapi aku belum benar-benar melepaskan peganganku pada tali itu. Isi kepalaku mulai berkompromi dengan keputusan hatiku. Sepertinya pria itu sudah tenggelam. Tapi bila kulepaskan tali ini, aku berada pada titik tanpa jalan pulang. Sudah bulat. Kulepaskan talinya. Aku mencoba menyelam lebih dalam tapi terdorong sampai tak bisa mempertahankan diri. Aku berbalik. Pria itu yang menabrakku! Dia tak sadarkan diri atau ‌ ? Aku menahan tangannya. Rentangan tanganku sudah mencapai batasnya saat berusaha meraih tali yang tadi kulepaskan. Kena. Hampir saja lepas lagi talinya. Dengan berpegangan pada tali, aku naik sambil mendekap pria itu. Kaitannya kusambungkan lagi. Kujejalkan oksigen ke mulutnya. Tak ada reaksi. Permukaan, aku harus cepat ke permukaan. Kubiarkan oksigen menggelontor di mulut pria itu. Kudaki lautan untuk

60


mencapai permukaan. Pria itu masih tak bereaksi. Terlalu dingin malah. Berenang naik, melawan arus dan mendekap priaku sungguh menguras tenaga. Kepalaku mulai pening karena kelelahan. Aku memukul-mukul dadanya agar dia bernafas. Tapi tak ada yang terjadi. Bergantian oksigennya kuhirup. Kami muncul di permukaan, tapi ombak memakan kami kembali. Rasanya seperti sedang berusaha keluar dari pasir hisap. Kucoba naik lagi, tapi sudah tak ada tenaga. Kuhabiskan tenagaku untuk terus mendekapnya. Dia belum bergerak juga. Otot di seluruh tubuhku mengeras. Reaksi sel tanpa oksigen akan menyisakan asam laktat di setiap sendiku. Tapi semua itu tak ada apa-apanya ketimbang harus melepaskan pria ini. Demi Tuhan aku sangat mencintainya!!! Aku ragu John melihat kami muncul di permukaan. Ombaknya makin berlipat-lipat. Kami terus termakan ombak, tak bisa muncul ke permukaan lagi. Aku merasakan tali yang mengikatku menegang, lalu mengangkatku. Entah John tahu atau hanya menghindari ombak tinggi, tapi yang pasti sekarang dia membawa kami terbang. Kami tergantung, aku mendekapnya lebih kuat. Selang oksigen masih mengalirkan udara ke dalam mulut pria itu, berharap desakan oksigen di paru-paru bisa membangunkannya. Sepertinya John menyadari kami bergelantungan. Katrol menggulung tali yang mengikatku. Di tengah terpaan angin, di atas jilatan ombak, aku menahan pria ini sekuat tenaga. Kami naik perlahan. Ini detik-detik terlama dalam hidupku. Aku menangkap kaki helikopter dan berusaha naik dengan sisa tenagaku. John tetap di belakang kemudi. Dia tak bisa membantu, tapi tatapannya memberiku semangat. Dia tahu pria ini masih tak sadarkan diri. Aku pukul-tekan dadanya. Oksigen masih mengalir. Air mataku keluar, tapi langsung kering karena terpaan angin. Bahkan anginpun tak membiarkanku menangis! Bangunlah, aku mohon bangunlaaahh!!! Aku periksa nadinya, masih berdetak. Tapi tak ada nafas yang keluar. Kehidupan dan kematian tidaklah dipisahkan oleh

61


garis yang jelas. Jantung boleh berhenti tapi otak masih aktif sampai 36 jam berikutnya. Jantung boleh saja tetap berdetak, tapi otak sebagai pusat komando berhenti memerintah, koma. Begitu pula dengan detak jantung dan nafas, keduanya bisa direstart. Terdengar mulai menyentuh mistis, tapi aku yakin berhentinya nafas pria ini tak meniadakan kemungkinan dia bisa hidup kembali. Tubuh dan jiwa adalah dualitas yang sama seperti elektron sebagai partikel dan gelombang. “John, aku harus gimana???” teriakku meminta bantuan. “Pukul dadanya sekuat mungkin.” Aku memukul dadanya lagi. Kali ini sangat kuat sampai aku berteriak. Pria ini tersentak. Seperti tersengat listrik dia mengejang sampai terlompat bangun. Air menyembur dari mulut dan lubang hidungnya. Tampak kesakitan. Terbatukbatuk keras sambil memegangi dadanya. Matanya merah mengeluarkan butiran air mata. Kulit pucatnya mulai memerah. Dia melirik, menyadari kehadiranku dan memelukku. Rasanya tulang ini akan rontok, tapi biarlah. Tubuhnya menghangat. Semua fungsi tubuhnya bekerja kembali. Lolos dari kematian bukanlah hal yang hebat, biasanya meninggalkan luka yang dalam. Bila tidak cacat fisik maka ketakutan yang teramat sangat bersembunyi di balik cerebellum dan muncul dalam bentuk trauma. Kenyataan dia memelukku, setidaknya memberitahuku bahwa ingatan dan perasaannya masih baikbaik saja. “Aku takut tak bisa lagi bertemu denganmu.” Bisiknya di telingaku, dadanya turun naik, nafasnya tersendat, tapi syukurlah tubuhnya menghangat. Aku menghembuskan nafas lega, “Aku juga.” *** “John, jangan mendarat di sini!” Kata-kata pria itu menyiratkan ketakutan yang dalam. Dia memaksa John mendarat di tempat lain karena melihat beberapa tentara menunggu kami mendarat. John menurut. Dia menaikkan ketinggian, dan terbang ke arah utara. Tiba-tiba panggilan radio berkemerosok agak tak jelas.

62


“Bersikaplah seperti pria terhormat.” Walau tak jelas, aku menebak pria negro itu yang berbicara. Dia masih memelukku dari samping, tak mau melepaskanku barang sedetik. Tak apa-apa, aku juga begitu. Dia terdiam. Apa artinya? “Kurasa kau lebih dari tahu bahwa dimanapun kalian mendarat, kami akan menemukan kalian.” Suara dari radio lagi, “Dan kurasa bahan bakar kalian tidak akan cukup untuk melintasi Atlantik. Lepas dari itu juga, kami bisa menembak kalian jatuh sekarang juga. Turunlah!!!” Dia masih terdiam. Pelukannya makin erat. Wajahnya merengut. Memejamkan mata. Dia membuka mata dan berkata, “John, turun saja.” Kami mendarat. Beberapa tentara langsung menghampiri tak peduli pusaran udara karena baling-baling menerpa tubuh mereka. Pria itu masih menggenggam tanganku saat kami turun. Dua orang tentara menarikku dengan kasar. Pria itu bereaksi, dia langsung mendorong keduanya. Tapi pria botak itu langsung menghajarnya sampai tersungkur di tanah. Aku mencoba menahan jatuhnya, tapi dua tentara itu menangkapku lagi. John juga dijaga dua orang. “Sekarang kau boleh saja dijuluki Pembunuh Gelombang, tapi aku masih bisa melubangi kepalamu!” kata pria negro itu sambil menodongkan pistol di kepala priaku. Priaku mengerang kesakitan. Pipinya berdarah. Aku tahu dia sudah tak punya tenaga lagi untuk melawan. Pertarungannya melawan gelombang telah meluluhlantakan fisik dan emosinya. Lalu dia berkata, “Bersikaplah seperti pria terhormat. Lepaskan mereka!”

63


Chapter 10: Separuh Dunia ku berjalan tertatih. Kecelakaan di dapur kemarin membuatku terpincang-pincang. Kemarin, seseorang membiarkan keran terbuka begitu saja. Lantai dapur banjir, walaupun hanya semata kaki. Begitu melihatnya kepalaku langsung pusing dan merinding. Saat mencoba melangkah untuk mematikan keran, aku terpeleset jatuh padahal aku sudah berpegangan. Baru kali ini aku melihat genangan air dan rasanya begitu ketakutan. Seorang petugas mengawalku. Aku tak terlalu banyak bicara selama di dalam penjara. Aku lakukan saja yang bisa kulakukan. Keras dan kejam, memang begitu adanya. Sebisa mungkin aku menghindari kontak mata dengan sesama narapidana. Begitu masuk ruang kunjungan, kulihat perempuan itu di sana. Masih dengan senyum yang sama, namun matanya terlihat sayu. Sudah sebulan ini aku dipindahkan ke tempat ini. Fairton namanya. Di tempat sebelumnya aku tak bisa mendapatkan kunjungan. Aku melobi pria negro itu agar mau memindahkanku ke fasilitas dengan pengamanan sedang agar bisa mendapatkan kunjungan. Sepertinya dia melunak, dan di sinilah aku sekarang. Aku benar-benar tak bisa lari. Pria negro itu mengatakan penempatanku di penjara berada di luar urutan komando resmi. Entah seberapa kuat orang itu, aku tak pernah tahu, tapi yang pasti kepala penjara ini mau saja menerimaku tanpa banyak bertanya. Pastinya dia seseorang yang sangat berkuasa. Karena penempatanku tidak berasal dari komando tertinggi, kemungkinan hanya pejabat menengah saja yang tahu keberadaanku di sini. Dan kurasa mereka tidak terlalu memedulikan keberadaanku. Toh tak ada yang mencariku di sini. Secara resmi aku sudah mati dalam kecelakaan pesawat. Kini sudah percuma menyebutkan namaku di sini. Hanya perempuan itu yang mengunjungiku. “Kenapa kau tidak memberitahuku???�

A

64


Pertanyaan pertamanya begitu telak menohokku. Saat berusaha melarikan diri di helikopter, aku berharap pelarian itu akan berhasil. Kenyataannya, posisiku terlalu lemah untuk melarikan diri. Sebagai orang asing di tanah ini, aku memiliki kesulitan akses kemanapun. Tak mungkin aku terus-terusan memerintah John dan mengajak perempuan itu dalam pelarian. Mereka punya kehidupan masing-masing. John sejak awal terlihat tidak menyukaiku, mungkin dia menyalahkanku atas bencana yang terjadi. Kurasa dia tak mungkin rela menjadi pelarian. Selain itu juga, perempuan itu memiliki studi yang harus diselesaikannya. Bencana itu memang tidak sepenuhnya mati. Gempa tidak terhindarkan. Terjadi beberapa kematian, dan lebih banyak lagi kerusakan yang timbul. Gempa itu tidak berbahaya, konstruksi buatan manusialah yang menjadi bencana. Tapi rencanaku mematikan gelombang cukup berhasil. Tsunami yang sampai ke pantai intensitasnya kecil. Tapi bagaimanapun, akulah bersalah. Bersikap seperti pria terhormat, yeah, seperti itulah sekarang aku berperan. Tak cukup baik, kurasa, karena setiap kali mengurusi makanan bagi para tahanan lain, anganku selalu mencari-cari jalan untuk melarikan diri. Aku tahu hampir tak mungkin, bilapun mungkin, rasanya sulit bagiku bertahan di Amerika. Menjadi buronan US Marshal dimana aku bukan siapasiapa bukanlah pilihan yang menguntungkan bagi siapapun. Pertanyaan perempuan itu menggantung beberapa detik. Aku menyiapkan jawaban yang panjang lebar. Tapi yang keluar dari mulutku hanya, “Aku tidak tahu cara memberitahumu.â€? Wajahnya merah padam. “Kau tahu, sebulan ini aku berusaha menemuimu. Petugas selalu berkata tak ada namamu dalam daftar tahanan. Apa-apaan ini?? Harusnya ada pengadilan atau semacamnya. Negara ini negara hukum, tapi kenapa mereka melakukan ini padamu ‌ padaku???â€? Ucapannya berbisik tapi menggema di kepalaku berkalikali. Aku menjelaskan yang terjadi. Aku tahu dia tak mau mengerti. Ingin sekali kupeluk dia, tapi tak mungkin. Selama di helikopter aku memeluknya begitu erat. Ajaib, saat itu rasanya

65


aku terbebaskan. Sepertinya semua masalah menghilang begitu saja hanya dengan memeluknya. Ingin mengulanginya lagi. “Jadi tak ada jalan keluar dari sini?” tanyanya, air mata jatuh dari pipinya. “Ada, tuh ke sana,” kataku sambil menunjuk pintu keluar. Dia menatap marah. Aku minta maaf, tak seharusnya bercanda saat seperti ini. Tapi aku benar-benar tak mau melihatnya menangis. “Kau kelihatan kusut,” katanya mereda, “Nggak ada kamar mandi di sini?” “Aku tak tahu kau akan datang.” “Tadinya sih aku mau sms dulu,” kilahnya enteng, “Kau kurus.” “Aku bekerja di dapur membantu membuat makanan untuk tahanan yang lain,” tukasku, “Bayarannya kecil sih tapi bukan itu intinya, setidaknya aku punya kegiatan di sini.” “Berarti seharusnya sebaliknya, bukan?” Aku tersenyum, tak jelas menunjukkan apa, hanya ingin memberinya kesan bahwa aku tidak menderita. Tapi kurasa gagal total, matanya menyiratkan rasa kasihan yang berat; kasihan padaku, dan pada dirinya sendiri. Perempuan tolol mana yang mau mencintai narapidana. Mungkin ada, tapi perempuan ini bukan tipe perempuan yang bisa jatuh cinta pada penjahat. “Memasak untuk ratusan orang bukan hal yang ringan.” Senyumku makin lebar, “Aku jadi teringat waktu kita ekskursi dulu, kemping di hutan, kau tidak bisa memasak. Masih seperti itu sekarang?” “Enak saja, aku sekarang sudah bisa masak … ” Kalimatnya berhenti saat aku menatapnya. Dia berusaha ceria dan tegar. Aku tahu dia berpura-pura. Jeda. “Setelah ini kau tak perlu mengunjungiku.” Kataku. “Kenapa? Aku mau,” kilahnya, “Aku tahu kau minta dipindahkan ke sini juga agar aku tidak perlu menempuh perjalanan jauh untuk mengunjungimu. Fairton masih di New Jersey, dan aku akan mengunjungimu setiap minggu. Aku sudah

66


melihat peraturan pengunjung. Maksimal 5 kali seminggu kau dikunjungi, setiap kunjungan maksimal 2 jam. Dan kau tak punya hak apapun untuk melarangku melakukannya.” Aku tertunduk. Dia benar tentang permintaanku untuk dipindahkan ke sini, memang itu alasannya. Tapi setelah memandang wajahnya, rasanya keinginanku berlebihan. Membuatnya mengunjungiku setiap minggu seperti membunuhnya pelan-pelan karena kami tahu hampir tak mungkin aku keluar dari tempat ini. Bilapun suatu saat aku bisa keluar, entah bagaimana caranya, kurasa itu akan lama sekali. Aku tak mau dia menunggu selama itu. Tapi aku tahu tak ada yang bisa mengubah pendiriannya ini. “Ok, aku bisa terima itu. Tapi begitu studimu selesai, kau harus pulang, dan semua yang kita lewati bersama di sini akan hilang begitu saja.” Kali ini dia yang tertunduk. “Siapa bilang semuanya akan hilang begitu saja?” “Aku yang bilang, tadi.” Ujarku, “Setelah studimu selesai, kau tak mungkin tinggal di sini. Laut Indonesia terlalu luas, dan begitu sedikit ahli geologi kelautan yang secakap dirimu.” “Aku belum secakap itu.” Katanya tersipu, “Itulah sebabnya aku merencanakan menemuimu setiap minggu. Aku akan memaksamu mempelajari yang kupelajari, sehingga aku punya alasan untuk mengunjungimu.” Dia mengeluarkan sejumlah buku dan menyimpannya di meja, “Mulai hari ini, kau akan menjadi teman diskusiku setiap minggu!” Ya Tuhan … Aku sentuh jemarinya. Dia memandangku. Kemudian kupegang penuh tangannya, berharap dia tidak kesakitan karena aku menggenggamnya begitu kuat. Sama seperti saat di helikopter, aku tak mau lepas darinya walau sedetik. “Meskipun aku tahu aku akan sakit saat kau pergi, tapi aku akan menikmati setiap detik yang kuhabiskan bersamamu.” “Aku mencintaimu.” Kata-kata itu meluncur bersamaan dari mulutku dan bibirnya, mengikat makna lebih dari sekedar kecupan. ***

67


Percakapan itulah yang membuatku percaya akan bahwa cinta itu memang ada. Sejak itu dia memang datang seminggu sekali, tiap kunjungan 2 jam penuh. Banyak sekali yang dia bicarakan, seperti biasa. Dia mulai mencekokiku dengan detail riset yang dilakukannya. Rupanya dia menyusun banyak pertanyaan sebelum bertemu denganku. Bila aku tak bisa menjawabnya dia akan menagihnya minggu berikutnya. Rasanya kembali kuliah lagi. Begitulah kami melewatkan kebersamaan. Sekarang, dua hari setelah perpisahan. Dia kembali ke Indonesia, seperti saranku. Sakit rasanya. Ada yang hilang di setiap akhir mingguku. Tubuhku ada di sini, tapi rasa sesak di dadaku memberitahuku bahwa ada sebagian dari diriku yang tidak tinggal di sini. Perasaan terpisah ini menggerogoti akal sehatku. Hanya dia yang tahu keberadaanku. Secara resmi aku sudah dinyatakan mati. Mungkin itulah sebabnya aku merasa tak perlu memberikan namaku pada tulisan ini. Semua nama yang terlibat pada tulisan ini pun kupendam saja sendiri. Hanya nama John, itu pun nama yang sangat umum di Amerika. Selama kunjungan di penjara ini, kami saling bercerita apa yang kami alami untuk bertemu. Cukup kaget juga ketika kutuliskan ternyata sepanjang ini. Aku menuliskan semua ini karena aku yakin tak mungkin bisa melupakannya. Daripada terkungkung plus menghabiskan kapasitas otakku, sebaiknya kukeluarkan saja, dengan menuliskannya. *** Cinta itu hal yang aneh, bukan? Aku sudah mengalami cinta ini, bahkan aku sudah mendengar penjelasan cinta dari perspektif ilmiah. Aku bisa mengerti keanehannya, tapi tak bisa memahami mengapa keanehan itu berdampak psikologis bahkan fisiologis. Temanku bilang jatuh cinta itu sebuah fenomena kuantum. Yah, kuantum. Siapa yang tidak tahu kuantum? Sebenarnya pertanyaan semestinya adalah siapa yang mengerti kuantum? Temanku yang mengoceh tentang cinta dengan pendekatan kuantum mengaku sampai saat itu dia belum mengerti apa itu kuantum. Padahal dia sedang menyelesaikan

68


PhD-nya di Eropa. Aku tergelak membayangkan cinta dijabarkan dengan cacing-cacing integral dan diferensial. “Kuberitahu, teman,” ujarnya dua bulan sebelum aku memutuskan untuk melintasi separuh dunia untuk bertemu perempuan itu, “semua jenis perasaan itu adalah fenomena kuantum. Cinta mungkin ada pada kasta tertinggi.” Aku mengernyitkan dahi. “Kau memandang semuanya dari sudut pandang fisika?” tanyaku menantang logikanya, “Kau tahu perasaan itu jauh lebih dalam ketimbang … ” “Ya itu kan karena kau pernah belajar fisika.” Potongnya tidak sopan. Aku ingin memukulnya, tapi kubiarkan saja. “Lebih baik menjelaskan kuantum pada orang idiot, ketimbang orang fisika klasik.” Lanjutnya, entah memuji atau sebaliknya. “Aku tak pernah bisa benar-benar memahami fisika.” “Bagus, berarti kau termasuk orang idiot dan bisa dengan mudah mengerti fisika kuantum.” Sekarang aku tahu dia mengejekku. Aku menahan diri untuk tidak menggoroknya, dan memberi isyarat padanya untuk melanjutkan. “Sejak awal fenomena kuantum tidak bisa dijelaskan dengan fisika klasik. Kau tahu kenapa? Karena kuantum tidak ditujukan hanya pada realitas fisik saja, tapi lebih dari itu. Kuantum bisa menjelaskan kehidupan abadi, perjalanan waktu, bahkan perasaan cinta. Dan kesemuanya tak bisa dijelaskan oleh fisika klasik, well, setidaknya menurutku.” “Ok, tolong jelaskan tentang yang terakhir.” Pintaku memelas. “Cinta. Orang kimia menjelaskan cinta dengan senyawasenyawanya yang sangat kompleks mempengaruhi otak kita. Tapi benarkah cinta dikontrol oleh otak? Mereka bodoh, senyawa kimia adalah realitas fisik dari manifestasi kuantum. Mudahnya, senyawa kimia adalah alat untuk menggerakkan mesin yang tak kasat mata yaitu hati kita.” Aku masih tak mengerti apa yang dikatakannya. Seorang ahli memang suka meledek ilmu lain untuk menunjukkan

69


ilmunya sendirilah yang paling tinggi. Kalau aku tak segera mengangguk agar dia melanjutkan penjelasannya, mungkin geologi akan menjadi sasaran ejekan selanjutnya. “Kau tahu, semua benda jika dipotong terus sampai bagian terkecil sampai tak bisa dibagi lagi disebut atom. Nah, di dalam atom itu ada tiga partikel subatomik: proton, neutron, dan elektron. Ukuran ketiganya terlalu kecil sehingga fisika klasik tidak bisa menjelaskan perilakunya. Bola, kalau kita tendang ke atas, maka gerakannya akan melengkung dan jatuh kembali ke tanah karena gravitasi. Fisika klasik bisa menjelaskan berapa kecepatannya, dimana titik tertingginya, dan sekuat apa benturan ke tanah. Ya, kan?” baru kali ini dia seolah-olah sedang bertanya, aku mengangguk lagi, “tapi pada dunia partikel subatomik hal seperti itu tidak berlaku. Elektron sangat amat kecil sekali dan bergerak sangat amat cepat sekali. Fisika klasik tak bisa menjelaskan kecepatan dan posisi elektron dengan tepat. Kalau kita mengukur kecepatannya, kita tidak tahu dimana posisinya karena sudah berada di tempat lain. Dan sebaliknya kalau kita menentukan dimana posisinya, kita tidak tahu seberapa cepat dia bergerak karena terlalu cepat” “Kalau begitu untuk apa mengamatinya? Kau nggak punya kerjaan ya?” tanyaku menohoknya. “Nah, itulah yang dikatakan Werner Heisenberg ketika mencoba menganalisis persoalan itu. Dan pada akhirnya dia menemukan Prinsip Ketidakpastian. Prinsip ini sudah diterapkan pada ratusan penelitian tentang kuantum, dan tak pernah salah!” Katanya dengan penuh kemenangan, ternyata pertanyaanku tidak menohoknya sama sekali, “Prinsip ini memiliki keanehan. Ketika kita menentukan posisi elektron, maka kita tidak bisa memastikannya 100%. Bahkan bila kita benar-benar yakin posisinya dimana, maka kita hanya boleh menyatakannya sebagai kebolehjadian. Jadi begini, aku ini dosen. Untuk menemukanku, orang akan lebih mudah mencariku di kampus, bukan?” Aku mengangguk. “Tapi benarkah aku selalu ada di kampus?” “Kurasa tidak,” jawabku, “Dosen juga suka jalan-jalan, apalagi kau!”

70


“Ya, aku bisa berada dimana saja, tapi kemungkinan paling besar orang bisa menemukanku di kampus.” “Ok, intinya? Kupikir kau sedang menjelaskan cinta dalam perspektif kuantum. Tapi sepertinya kau sedang menjelaskan kalau kau ini selebritis!” “Okelah aku bukan selebritis dan tidak banyak orang yang mencariku,” katanya kalah, “Intinya; elektron bisa ditemukan di suatu tempat dengan tingkat keyakinan 99% dan keraguan 1%. Salah satu keanehan penerapan Prinsip Ketidakpastian Heisenberg adalah, walaupun kemungkinannya hanya 1%, elektron bisa ditemukan juga di seberang semesta. Begitu pula orang jatuh cinta. Aku yakin sekali kau sedang berada di sini bersamaku, mendengarkan ocehanku, tapi apa kau benar-benar sedang berada di sini???” Aku tergelak, “Yeah, kau benar, pikiranku sedang berada di Amerika sekarang.” “Itulah maksudku. Cinta adalah sebuah realitas absurd, sama seperti kuantum yang tidak bisa dijelaskan dengan fisika klasik. Fisika klasik bisa menentukan kecepatanmu berlari, dalam berapa detik kamu bisa menempuh lintasan lari sepanjang 100 meter, tapi tak bisa menentukan dimana pikiranmu berada. Kuantum bisa, karena walaupun senyawa kimia mengaktifkan hormon-hormon di otak kita, tapi transmisi di otak kita berlaku sebagai impuls-impuls elektromagnetis, itu artinya ada elektron yang terlibat di sana. Dan pada saat itulah kuantum menjelaskan apa yang sedang terjadi.” Pada saat itu aku berpikir dia gila, tapi benar. “Jadi ketimbang kau hanya bisa memikirkannya terus, kau temui saja dia.” “Untuk apa?” Dia tertawa. Aku celingukan mendengarnya. Dia tak berhenti setelah hitungan menit. Aku perlu menghentikan tawanya sebelum semua orang di kampusnya menganggapku terlalu lucu sampai salah satu dosen kuantum mereka tertawa sebegitu lebarnya. “Mau kuberitahu satu rahasia?” katanya seperti menawari sebuah rahasia yang mampu mengungkapkan kekejaman rezim Soeharto di jamannya. Aku mengangguk lagi,

71


“Perasaan perempuan itu seperti kucing, dan mulutmu seperti kotak yang mengurung kucing itu.” “Dan kau bilang itu rahasia? Itu kusebut gagasan tolol!” kataku kecewa. Aku memang tidak banyak menonton film romantis, tapi aku berani bertaruh hanya dia yang mengumpamakan perasaan perempuan seperti kucing. “Masih soal kuantum yang katamu gila. Ngomongngomong pada awalnya semua gagasan kuantum memang dianggap gila!” katanya menekanku, “Dari Prinsip Ketidakpastian Heisenberg kita bisa tahu bahwa semua keadaan tak ada yang bisa disebut pasti. Semuanya hanya berbagai kemungkinan yang diukur dengan harga probabilitas.” Aku berkata buru-buru, “Kau bisa menganggapku sudah paham tentang hal itu.” “Bagus, sekarang begini; sebuah kotak berisi kucing hidup. Bersama kucing itu terdapat zat radioaktif yang siap meluruh. Peluruhan radioaktif itu dihitung dengan menggunakan Geiger Counter. Saat jarum pada Geiger Counter bergerak, maka sebuah palu yang terikat pada jarum itu akan jatuh menimpa botol gelas berisi racun. Racun menyebar di dalam kotak. Sekarang pertanyaannya, kalau kita menerapkan Prinsip Ketidakpastian Heisenberg, beritahu aku, kucing itu hidup atau mati?” Aku berpikir sejenak. “Konsisten dengan yang kau jelaskan, maka radioaktif itu berada pada dua keadaan: meluruh dan tidak meluruh, dengan probabilitas yang sama. Jadi, jarum Geiger Counter pada keadaan ‘bergerak dan tetap’, maka palu ‘jatuh dan tidak’ sehingga botol ‘pecah dan utuh’ dan pada akhirnya kucing berada pada keadaan ‘hidup dan mati’.” Jujur saja aku tidak mengerti sepenuhnya kesimpulanku sendiri. “Akhirnya kau berbicara cerdas juga hari ini.” “Tapi itu tidak masuk akal.” “Memang tidak, begitu pula dengan perasaan, bukan? Kau menjawab sendiri pertanyaanmu tentang mengapa kau harus pergi ke Amerika.” “Aku tidak mengerti.” Sungguh penjelasannya seperti labirin, pusing aku mendengarnya.

72


“Begini, bagaimana kau membuktikan kucing itu hidup atau mati?” Aku berpikir lagi. “Buka saja kotaknya, kecuali kalau kotak itu terbuat dari kaca transparan.” “Tepat, itulah yang disarankan Neils Bohr untuk menjawab Paradoks Kucing Schrodinger. Kucing dalam kotak itu adalah eksperimen pikiran yang diajukan oleh Erwin Schrodinger untuk menghancurkan Interpretasi Kopenhagen yang salah satunya berisi pembahasan soal Prinsip Ketidakpastian Heisenberg. Neils Bohr adalah guru dari Werner Heisenberg yang membela mati-matian prinsip yang digagas muridnya itu. Sampai saat ini eksperimen pikiran itu tidak terpecahkan. Bohr memang menjawabnya dengan sederhana, tapi tidak menjawab pertanyaan dalam konteks peperangan ilmiah itu. Masalahnya, bila kotak itu dibuka maka fenomena kuantum akan bertransformasi menjadi realitas fisik. Saat kau membuka kotak itu kau bisa mati karena ikut teracuni, atau justru menemukan kucing itu hidup dan bisa merawatnya sampai kematian memisahkan kalian.” Aku tersenyum. “Jadi aku harus pergi ke Amerika, membuka mulutku dengan mengatakan aku mencintainya. Dan lihat apa yang terjadi?” tanyaku, dia mengangguk, “Apa kau pernah menjelaskan sesuatu dengan cara sederhana?” Lagi-lagi dia membalikkan pertanyaanku, “Apa kau pernah puas dengan jawaban sederhana?” Percakapan itulah yang meracuniku untuk pergi ke Amerika. Dan akhirnya kesempatan itu datang. Hanya saja aku menghancurkannya dengan membuat kesalahan itu. Ternyata cinta tidak berada pada kasta tertinggi. Ada kekuatan yang lebih besar ketimbang cinta. Itulah kesimpulan yang kuambil. Kalau cinta adalah yang terkuat, tidak mungkin aku berpisah dengannya. Aku membuka kotakku dan melihat kucing itu hidup. Harusnya realitas fisik berikutnya aku bisa bersamanya seumur hidup, sampai kematian memisahkan, seperti kata temanku. Tapi kenyataannya tidak begitu. Mungkinkah ini fenomena kuantum lagi?

73


Temanku benar. Kuantum gila. Perasaan juga sama gilanya. Itulah sebabnya aku melakukan hal-hal yang mengejutkan, bahkan bagiku sendiri. Sebelumnya semua perilaku bisa direncanakan dengan cermat. Tapi ketika aku jatuh cinta aku tidak lagi berada pada wahana fisik yang bisa kukendalikan seenakku sendiri. Jatuh cinta membuat manusia melayang berada pada kondisi kuantum. Tak ada yang bisa menentukan kemana seseorang akan menuju. Dan sekarang sepertinya ada kekuatan yang lebih besar dari cinta yang membuat masa depan lebih sulit ditentukan dari apapun yang sudah pernah kurencanakan. Takdir Tuhan, kurasa. Aku ingin sekali mendengar penjelasan ilmiah tentang takdir Tuhan dari temanku itu. Aku melintasi separuh dunia untuk bisa bersamanya, bahkan hampir melintasi separuh jalan menuju akhirat. Kini kami terpisah lagi separuh dunia. Aku tak bisa menyentuhnya, tertawa bersamanya, dan merangkul kegalauan hatinya. Tak ada kabar yang hinggap di selku ini. Aku hanya bisa mengamatinya dari publikasi ilmiahnya saja. Aku memang mendapat keistimewaan untuk memperoleh jurnal penelitian yang ditulis oleh perempuan itu. Banyaknya publikasi ilmiah yang diterbitkannya seolah memberitahuku bahwa dia baik-baik saja. Aku yakin, suatu hari, entah bagaimana caranya aku akan mampu melintasi separuh dunia lagi, untuk bisa kembali bersamanya. Karena separuh duniaku ada bersamanya, dan aku berhutang separuh dunia pada dirinya.

SELESAI

Jodhi P. Giriarso Selesai tanggal 18 April 2010

74


Terima kasih sudah sampai ke halaman terakhir ini. Silakan mengirimkan komentar melalui email di facebook saya, bila berkenan. Dan bila berkenan pula silakan membagikan novel mini ini pada siapapun.

Best regards,

Jodhi P. Giriarso

75


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.