Kumpulan Cerita Pendek Tahun 2011 JAMBANGAN BERBUNGA
Penulis: MK. Wirawan
Illustrator: Om Empo Desain Cover: Galih Paramitha
RAIB Oleh: MK. Wirawan
2
QuickTime™ and a decompressor are needed to see this picture.
“Suatu hari aku terkenang dengan kisah seorang pelayan. Ia mencari anak asuhnya kemana-mana, tapi tidak kunjung ditemukan. Paras pelayan itu cantik.
3
Terlalu cantik baginya. Aku seperti tidak percaya bahwa ia yang menjadi pengasuh sekaligus pelayan anak bangsawan itu. Aku tidak percaya dengan lukisan yang menampilkan kecantikannya…….. “……Namun akhirnya pelayan cantik itu harus menemui
ajalnya
disamping pusara ayahnya ketika tangan seorang mafia pabrik milik bangsawan itu menikamnya dari belakang. Mafia itu mengira itulah istri sang bangsawan, karena kecantikannya, ia sampai salah orang… Penyiar itu menghela napas, setelah panjang lebar ia bercerita mengenai seorang pelayan. Kemudian pada epilognya ia memberikan sebuah simpulan, “ para pendengar setia, mungkin kecantikan adalah keindahan, estetika yang nyaman dipandang mata, tapi mungkin juga bisa menjadi malapetaka, seperti kisah yang baru saja saya bacakan kepada Anda. Selepas ini kita akan kembali dalam sesi kisah seribu misteri pemberian Tuhan, namun sebelum itu sebuah tembang melodi akan menyejukkan perasaan gundah dan sedih Anda setelah mendengar kisah tadi.” Penyiar itu beranjak keluar dari ruang broadcast, ia meraih tasnya yang tergantung pada sebuah pintu dan masuk ke pintu yang lain menemui atasannya. Langkahnya cepat dan senyumnya mengembang sempurna. Sesi selanjutnya ia harus memberitahukan Niah yang sudah menunggu di ruang istirahat. Setelah menemui atasannya, ia menjumpai Niah dan pergi dari kantor penyiaran tersebut. Namanya Rudi. Seorang pemuda berpostur tubuh semampai, dengan bentuk yang cukup sempurna, dan wajah yang tidak pasaran. Kulitnya tidak gelap juga tidak terlalu terang. Ia bisa menarik hati siapapun dengan tatapan dan suaranya. Hanya saja ia tidak memikirkan perasaannya jauh lebih sentimental, ia memberikan pikiran jangka pendek pada kehidupannya, ia tidak ingin beranganangan terlalu jauh dan muluk. Baginya, memiliki perasaan itu wajar tapi ia tidak pernah menjadikannya
sebuah kewajaran. Rudi hidup terlalu sulit. Terlalu
menganggap singkat, terlalu menganggap rumit, ia sulit dimengerti bahkan untuk dirinya sendiri. Rudi sulit menjelaskan pada orang lain, pada ibunya bahwa ia ingin mencari kehidupan yang seperti banyak orang mengusahakannya menjadi layak. Karirnya sebagai penyiar dapat dibilang gemilang setelah dua tahun belakangan ini ia meraih beberapa piagam penghargaan untuk penyiar dari sekian
4
banyak radio swasta yang mengadakan seleksi. Beberapa menawarkannya menjadi bintang film atau pemeran pada sebuah teater klasik, tapi Rudi menolaknya. Ia sudah bahagia menjadi penyiar. Dan baginya, suara merupakan suatu anugerah dari Tuhan yang tidak bisa diingkari, dapat membuat para pendengarnya tersenyum, terkejut, berpikir-pikir dan menerka-nerka. Bisa membuat lawan bicaranya terperangah dan terhanyut dalam ceritanya. Setiap harinya Rudi berusaha untuk mencari tahu banyak masalah dalam kehidupan, menanyakan banyak orang, memperhatikan lalu lintas, lalu lalang orang melewatinya. Rudi memperhatikan para peminta-minta di sepanjang jembatan layang, melihat cara mereka mengais rejeki dari kaleng-kaleng bekas yang mereka kumpulkan, dari tangan-tangan yang mereka julurkan, berharap ada secarik kertas uang dan koin menghampiri. Ia berpaling, membuang wajahnya disaat ia merasa tidak bisa menahan tangis. Dalam keheningan, ia memandangi sekitar, masalah sosial. Ia mengambil buku agendanya dan menulis banyak hal disitu. Mungkin bagi kedua orangtuanya, pekerjaan Rudi yang melalang buana itu terkesan bebas tanpa batas. Tapi ia berhasil meraih apa yang ia inginkan. Ia tidak merasa dipaksa dan memaksakan orang lain. Dari apa yang ia raih, ia memikirkan betapa ia sangat beruntung dengan kondisi saat ini. Radio swasta tempat Rudi bekerja bukanlah radio swasta yang berjaya begitu saja. Sejak kehadiran Rudi beberapa tahun silam, banyak sekali respon bagus yang masuk. Kisah-kisah yang diceritakan Rudi seperti kisah yang dialami oleh banyak orang. Ia tidak seperti mendongengkan pada anak kecil, tapi juga dapat diminati oleh para lansia, remaja dan dewasa. Dalam suatu kesempatan, Rudi kembali masuk dalam seleksi radio swasta nasional. Ia mendapat kesempatan untuk mengikuti tiga tahapan seleksi dan meraih penghargaan sebagai penyiar berbakat dan terfavorit tahun ini. Ia bukan seorang yang ambisius, hanya terlalu rumit dimengerti. Mulai beberapa malam sejak seleksi pertama akan diselenggarakan dua minggu lagi, Rudi tidak bisa mengambil waktu istirahat malamnya. Ia berjalan-jalan menikmati angin malam, meresap hingga pori-pori kulitnya. Rudi memandangi bintang-bintang, mencoba memahami apa artinya sinar yang berkelap-kelip di langit luas.
5
“Ada banyak hal dalam memahami keyakinan. Saya, Anda, kita semua. Masing-masing memiliki keyakinan yang berbeda. Ada yang percaya pada sinar matahari. Juga cahaya bintang di waktu malam. Namun ada pula yang mencaricari siapakah yang menciptakan sinar-sinar itu? Yang mampu menerangi bumi, memberikan secercah cahaya pada penglihatan yang tak punya daya apa-apa tanpa sinar… Manusia bergelut dengan kenistaan. Dibawah lampu temaram, di bawah langit hitam, di bawah cahaya sang rembulan. Manusia bergelut dengan asa. Bekerja siang dan malam. Mencari makna dan penghidupan. Dari semua keyakinan itu, tidak ada seorang pun yang dapat menjelaskan mengapa kita bisa memiliki kepercayaan pada sesuatu. Yang padahal sinar matahari akan lenyap setelah petang menjelang. Cahaya bintang dan bulan pun sirna ketika fajar terbangun dari tidurnya… …pernahkah Anda berjalan menyusuri pematang sawah? Warnanya hijau, ya. Kuning juga terkadang. Pernahkah Anda menyusurinya dengan kaca mata hitam? Sensasinya berbeda…. …karena hidup itu penuh warna, atau tidak berwarna sama sekali, begitu Hellen Keller berujar. Tapi pernyataan itu juga pernah saya bantah; kita dilahirkan. Kemudian kita berjalan melintasi waktu yang bergulir. Kita dipaksa memandangi dunia yang penuh warna, kita pun disuruh memilih warna-warna yang ada. Menjadikannya bagian dalam hidup kita. Takdir… …kemudian saya kisahkan seorang wanita tuna susila, berpakaian seronok dengan dandanan cukup menor. Ia menawari saya semalaman. Kemudian saya menolak. Bukan karena saya paham itu dosa. Bukan karena saya mengerti itu tindakan asusila. Tapi karena saya menyayanginya. Ia tidak pantas berbuat sedemikian hanya untuk makan. Saya tanyakan padanya, ‘hei, kau mau satu scoop es krim? Kita bisa menikmatinya di bawah cahaya bulan..’ Wanita itu tersenyum. Saya seperti mendapat rahmat. Telah memberikan kehangatan baginya di malam itu, sepanjang jalan di pinggir perkotaan. Saya menghabiskan waktu malam itu dengannya, juga dengan dua skup es krim yang
6
kami pegang masing-masing. Hingga akhirnya, ketika minggu depan saya melintasi pinggir perkotaan, ia sudah tidak berpakaian seronok lagi dengan menawarkan saya malam itu. Ia tersenyum, dengan balutan pakaian tertutup dan syal biru muda di lehernya. Di tangannya ada dua scoop es krim vanila, dan kami menikmati bersama. Saya Rudi, akan kembali lagi di episode selanjutnya,” Rudi keluar dari ruang broadcast disambut riuh tepuk tangan staf dan karyawan serta penyiar lain. Mereka, memandang pria itu dengan senyum merekah. Ini adalah seleksi tahap akhir yang ia jalani, dan ia mendapat sambutan luar biasa. Lagi-lagi, Rudi memenangkan tahun ini. Malam itu menjadi puncak kebahagiaan seorang Rudi. Pesta, hiburan, sorak sorai, semua memuji kisah-kisahnya. Semua menyuarakan Rudi. Semua menyanjungnya, memujanya. Rudi seperti idola. Tapi lama-lama pandangannya kabur. Semua tepuk tangan, riuh rendah, bersorak-sorai, seperti hanya angin lalu, ia melihat tangan-tangan yang melambai, jemari-jemari yang mengelus wajahnya, Rudi tidak bisa melihat apa-apa lagi. Ia tak sadarkan diri.
“Rudi, hei, Rudi! Halo? Hei—kau bisa mendengarku, Sobat?” Niah menepuk pipi Rudi perlahan. Dilihatnya pria itu menggeliat. Rudi masih kunang-kunang. Ia hanya bisa mendengar suara Niah samar-samar. Matanya terbuka perlahanlahan. Ia memandangi wajah-wajah yang sudah tidak asing lagi. Niah, rekan kerjanya di penyiaran, juga ada mas Anton disana. Keduanya tampak khawatir. Ia juga melihat direktur radio swastanya, semua masih berpakaian semalam sewaktu mereka berpesta merayakan kemenangan Rudi. Pria itu menggeliat perlahan. Mual tidak tertahankan, ia muntah ditempat. Seorang perawat datang, membantunya membersihkan muntahnya. Ia tidak ingat apa-apa lagi. Terakhir kali aku bangun, aku menghirup aroma masakan ibu. Dari dapur, ia menumis bawang bombay dan daging untuk sarapan pagi. Terakhir kali lagi, kudengar keponakanku menangis hingga aku tidak bisa melanjutkan tidur nyenyakku. Dan terakhir lagi, aku merasakan sepraiku berserakan muntah, dan saat ini, aku merasakan seprai baruku, kasur baruku…
7
Aku ada dimana? Tunggu, aku… oh… Ya Tuhan! Suaraku serak! Oh tidak! Aku harus menemukan perawat. Aku sedang ditahan, aku sedang diinfus, aku tidak bisa berlari! Rudi berusaha meneriakkan sesuatu, tapi tidak ada yang keluar sepatah katapun dari mulutnya. Ia mencoba berdeham, namun tidak terdengar apapun di telinganya. Ia mencoba terbatuk-batuk, tetap tidak ada suara. Hanya jam dinding yang berdetak. Kipas yang berputar. Dan mungkin dengan telinga kelelawar, bisa terdengar tetes demi tetes cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya. Rudi mencoba tenang. Mungkin ini mimpi. Atau jika bukan, ia akan terbangun pada kesempatan lain, membuka matanya dengan jelas, dan bersuara. Bersuara. Ayo, bersuara! Rudi berusaha untuk bisa bernyanyi. Binatang kecil naik tembok yang tinggi… Datanglah hujan, binatang jatuh… Dan datang matahari, hujan berhenti… Binatang kecil, naik tembok kembali… Tidak. Itu bukan suaranya. Itu hanya suara dari dalam hatinya. Suara Rudi hilang. Raib. Diambil paksa darinya. Suara yang selama ini menghidupinya, memberikan tiga penghargaan bergengsi selama kurun waktu tiga tahun di kotanya, dan terakhir di negaranya. Suara yang selama ini mengisahkan apa yang ia
lihat
di
sepanjang
jalan
perkotaan.
Yang
selama
ini
menyuarakan
kebebasannya dalam bertutur… hilang, seperti raib, sirna akan panasnya matahari. Sepagian itu di dalam keheningan ia meresapi dan merasakan. Yang ia peroleh, yang ia simpan selama ini, yang ia jaga, yang ia tampilkan untuk publik, mendadak raib, dan jiwanya menjadi hampa. Ia tidak bisa bernyanyi, berceloteh, berkisah, bertutur, dan tertawa… satu-satunya harapan yang sering ia lakukan
8
ketika bosan dan itu tidak bisa ia lakukan kembali. Kemanakah suaraku? Desis dalam hatinya, kemanakah ia. Sejak kepulangan Rudi dari rumah sakit, ibunya sering melihat Rudi termenung. Di depan cermin, di depan jendela kamar. Memandangi hujan yang turun, menjulurkan tangannya keluar jendela dan merasakan tetesan air hujan yang turun dari genting rumahnya. Ia seperti tak punya nyawa. Suatu saat ia memandangi piala dan piagam penghargaan yang pernah ia terima, termasuk yang terakhir ia raih. Sudah satu bulan setengah terpajang di meja kerjanya. Meja tempat ia berpikir, menulis semua yang ia lihat di sepanjang perjalanannya mencari inspirasi. Meja yang selama ini digemarinya melakukan yang terbaik, ia melihat meja itu diam. Tidak bergerak, tidak bergelora seperti biasa ia memandangnya.
Hanya
kaku,
diam
terpekur.
Ibunya
yang
selalu
membersihkannya selama ini. Rudi hanya bisa membisu. “Ibu punya kenalan baik di Surakarta,” kata ibu suatu petang. Rudi sedang mendengarkan musik kesukaannya, dengan diam. Membisu. Tidak seperti biasanya, ia ikut bernyanyi. “Rudi, kau mendengarku?” Rudi tentu mendengar suara ibunya walau kedua lubang telinganya tertutup headset yang mendendangkan lagu. Sepertinya ibunya lupa kalau suaranya itu sudah ditarik kembali ke pangkuan yang Maha Kuasa. Rudi mendelik, melepas kedua alat sumpal di telinganya dan menghampiri ibunya. Menurutnya itu sangat tidak biasa. Seharusnya ia tinggal berkata, “Aku dengar, Bu.” “Kau sudah terlalu lama menyendiri. Keluarlah, hiruplah udara segar. Kau butuh, Rudi. Kau memerlukan suasana baru yang bisa mengembalikan semangat hidupmu. Ibu tidak keberatan jika kau disini, tapi alangkah lebih baik kalau kau pergi ke Surakarta, menemui kenalan ibu tersebut.” Kata ibunya dengan lembut. Ia menyentuh pundak Rudi yang bidang, namun kini terlihat lebih kurus. Tatapannya pun tidak secerah dahulu. Mungkin itu ide yang bagus. Rudi berpikir banyak-banyak. Rasanya penting jika ia harus keluar, melihat dunia, dan mungkin akan bisa membuatnya banyak
menulis ide-ide di
dalam
pikirannya.
Namun
tetap
saja
tidak
9
mengembalikan suara yang selama ini ia pertanyakan kemana raibnya. Malam itu Rudi mengepak pakaiannya ke dalam koper. Sebelum akhirnya, ia pergi keesokan harinya dengan restu dari sang ibu dan tangisan air mata penuh haru.
Jalanannya tidak terlalu bagus, hanya aspal lurus yang terlihat panas. Bahkan suasananya cukup terik. Rudi merogoh buku catatan kecil dan pena dari tas pinggangnya. Terlihat agak kikuk karena ia tidak biasa melakukannya. Ia membaca alamat yang diberikan ibunya. Panggungrejo Jebres Tengah? Dimana itu? Rudi melihat sekeliling dengan bingung. Tatapannya nanar dan merasa asing. Sepertinya air mata di pelupuk tinggal menetes, membasahi pipi. Ia tidak bisa seaktif dan seleluasa seperti dulu. Ia harus mendengarkan banyak kebisingan, keributan, orang lalu lalang, tanpa bisa ia turut campur di dalamnya. Ia tidak bisa menyapa tukang sapu jalanan dengan berkata ‘permisi’ hanya anggukan kepala atau gelengan ketika tukang becak menawarinya tumpangan. Tiba-tiba seorang kakek berjalan menghampiri pemuda tampan itu. Merasa iba dengan Rudi yang terlihat asing dengan sepatu kets yang sudah kotor karena debu jalanan, dan tas punggung besar serta sejinjing koper yang tidak terlalu besar di tangan kirinya. Kakek itu tersenyum dan menyapa, “Ono opo le1 ?” Rudi terkejut. Kemudian dengan anggukan sopan ia menjulurkan buku catatan kecil yang dipegang tangan kanannya sedari tadi. Kakek itu melihatnya dengan bingung. “Kulo mboten saget maos.2” Ujarnya perlahan. Ia menatap lekat mata Rudi dan membuat pemuda itu semakin kebingungan. Kini lengkap sudah, batin Rudi. Si bisu dan si buta huruf. Ia bersungut-sungut dalam hatinya dengan sejenak menyesali mengapa ia harus datang ke kota kecil itu. “Wonten Menopo, Mbah3?” Tanya seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun keluar dari rumahnya, menyaksikan kakeknya sedang bercakap-cakap dengan 1
Ada apa Nak? Saya tidak bisa membaca 3 Ada apa Mbah? (bahasa halus untuk yang lebih tua) 2
10
pemuda yang diam berwajah bingung. “Mas niki wong anyar, nyukani semerep alamat, nanging mbah mboten saget moco. Awakmu iso mocone ora, Sri 4?” Tanya kakek tersebut. Anak kecil bernama Sri itu mengangguk. “Mas ini menanyakan alamat Panggungrejo Jebres Tengah. Ya benarlah. Di sini alamatnya. Siapa yang ingin Mas temui?” Rudi memang tidak bisa berbahasa jawa, tapi ia mengerti jika orang Jawa berbicara dalam bahasa Jawa. Jadi baginya, ia pun tidak perlu menjawab dengan bahasa yang sama, cukup menulisnya dengan bahasa Indonesia dan gadis itu pun mengangguk. Gadis itu menggenggam tangan Rudi, pemuda itu tersenyum simpul dan mengikuti kemana arah gadis kecil itu membawanya pergi. “Sampai sini ya Mas, Sri sudah memanggil yang punya rumah. Mas tunggu disini saja. Nanti Ahong akan keluar.” Kata Sri, gadis kecil yang mengantarku. Aku mengangguk walau dalam hatiku bertanya-tanya siapa Ahong yang ia bilang itu. Aku duduk dengan perasaan cukup lega karena sudah menemukan tempat yang kucari walau dengan tanpa suara. Entah kenapa aku masih belum terbiasa dengan itu. Aku memutuskan untuk mengabarkan ibu lewat pesan singkat. Dan beliau menjawabnya dengan kalimat yang cukup menenangkan, “Jangan khawatir. Ahong orangnya baik.” Setidaknya itu jawaban sampai akhirnya sosok Ahong hadir di hadapanku. Pria besar berkulit putih itu tersenyum lebar dengan tawa khasnya yang memecah kesunyian. Matanya semakin hilang saat ia mengembangkan senyum lebarnya. “Rupanya kau Rudi! Hahaha… aku senang sekali anak muda! Ibumu, Yuliana, haha… adalah kawan akrabku sejak kecil.. sayang sekali kami bukan berjodoh! Rupanya ia melahirkan kau! Ah… apakah perjalanan kesini cukup menyusahkan?” ia berbicara sambil terus dikelilingi tawanya yang membahana. Aku baru hendak menjelaskan kalau aku tidak bisa mengeluarkan suaraku namun pria besar itu terkekeh, “Ah.. bodohnya aku, aku lupa. Ibumu memberitahuku bahwa kau ada sedikit masalah dengan pita suaramu!” Lelaki bernama Ahong itu membawaku ke bagian dalam rumahnya. Semua 4
Mas ini orang baru. Tadi memberikan alamatnya, tapi kan Mbah tidak bisa membaca. Kamu bisa bacanya tidak, Sri?
11
tembok berwarna putih seperti bangsal rumah sakit. Sepanjang lorong rumahnya yang bersih dan sejuk karena taman air di kanan dan kirinya, aku memerhatikan kamar-kamar yang tersusun dan berjejeran. Dari kamar-kamar itu terdapat jendela besar yang bisa dimasuki sinar matahari dengan intensitas yang cukup tinggi. Dan di dalamnya beberapa pasang mata memerhatikanku samar-samar. Ahong tiba-tiba terkekeh seperti biasa sebelum ia memulai perbincangan, “Rudi, kamu akan tidur di kamar nomor 6 ini. Aku sudah menyiapkannya dari semalam, ada kipas, tempat tidur, meja kerja dan berbagai fasilitas lain. Beritahu padaku apa yang kau butuhkan lebih jauh. Ruanganku tidak jauh dari sini. Kau lihat lampion merah besar itu? hahaha‌ itu milik kakek buyutku. Dan di balik lampion merah tersebut adalah ruanganku. Kau bisa kesana kapanpun kau mau. Aku tidak akan keberatan menerima tamu jam berapa pun. Hahaha. Istirahatlah anak muda, nanti malam kita akan makan malam bersama.â€? Aku tidak mengerti dengan apa yang ia rencanakan, tapi sepertinya rumahnya ini memang didesain seperti asrama atau wisma. Ia tidak memintaku sepeserpun uang untuk tinggal atau makan di rumah besarnya itu. Tapi aku tidak berani menanyakannya. Sejauh ini aku hanya tersenyum, mengangguk dan menggeleng jika Ahong menanyakan sesuatu yang tidak kuketahui. Aku menyebutnya Ahong dalam hatiku karena kupikir ia tidak akan tahu apa yang kuucapkan dalam hatiku. Toh ia terlihat seperti orang yang tidak gila hormat. Aku masuk ke dalam kamar nomor 6, meletakkan koperku di sembarang tempat dan mengempaskan diriku di kasur yang cukup nyaman dengan seprai putih. Tembok putih. Semua ruangan yang pucat pasi, dan memberikan sentuhan datar namun memiliki esensi yang berbeda. Tapi lambat laun aku semakin menikmati. Terlalu menikmati bahkan, hingga mata ini perlahan tertutup dan aku tidak merasakan apa-apa lagi.
Saat aku terbangun, aku melihat seorang wanita sedang meletakkan baki berisi minuman dan makanan ringan di atas meja kerja. Wanita itu berambut hitam sepinggang dengan pakaian serba putih seperti perawat. Kemudian aku terduduk karena malu jika dilihat wanita itu masih dalam posisi tidur yang mungkin kurang enak dipandang. Aku tergugu melihat wanita itu hanya
12
mengangguk tanpa seulas senyum sama sekali. Dan ini kali pertamanya aku merasa agak takut, apakah akan diterima di suasana baru yang harus kuadaptasikan sendiri. Aku berencana untuk melupakan ketidakramahan itu, tapi masih terasa hingga makan malam yang kulalui malam itu. Aku duduk di sebuah meja bundar besar yang terbuat dari kayu meranti dan dipelitur dengan indah. Kurang lebih ada delapan orang yang duduk saling bertatapan di meja tersebut. Dan bisa dikatakan, hanya aku dan Ahong yang berjenis kelamin laki-laki. Enam orang sisanya adalah perempuan, termasuk wanita yang tadi sore mengantarkan minuman dan makanan ringan ke dalam kamarku. Ahong mulai terkekeh seperti biasanya dan berkata, “malam ini aku merasa bahagia. Hahaha‌ kalian harus tahu, aku kedatangan seorang anak dari kenalan dekatku sewaktu kecil dari Jakarta. Dan kabar baiknya seperti Anda semua, pria bernama Rudi ini pun tidak bisa bersuara! Hahaha‌â€? Dan ajaibnya, semua perempuan tersebut menyunggingkan senyum. Aku tidak mengerti, apakah tidak bisa bicara merupakan sebuah kebahagiaan atau lelucon yang dapat dijadikan anekdot?. Ahong masih melanjutkan ucapannya sementara aku terlalu fokus pada perempuan tadi yang hanya memandangi mangkuk berisi kembang tahu di depan wajahnya. Selesai Ahong berbicara, kami semua makan dengan lahap. Terutama aku yang memang menahan lapar sejak tadi sore. Makanan ringan yang diberikan wanita itu terlalu nikmat saat lapar namun kurang banyak porsinya. Di dalam masyarakat cina, kue beras memang rasanya tidak terlalu terasa namun lezat karena bisa menunda rasa lapar yang berlebihan. Makan malam itu sangat lezat. Namun satu hal yang membuatku tidak habis pikir dan tidak percaya; semua wanita di hadapanku itu bisu. Esoknya, fajar pun tiba. Semburat mentari masuk melalui celah-celah jendela kamar. Aku bergegas meraih kemejaku dan memakainya. Kupikir akan indah jika berjalan-jalan sejenak keluar rumah menikmati pemandangan dan jalan raya. Tapi sebelum kakiku melangkah keluar gerbang, mataku terpaut pada sesosok wanita berambut hitam sepinggang yang mengantar makananku kemarin sore, ia sedang duduk tegak dengan pakaian putihnya yang sepertinya tidak pernah diganti walau tidak terlihat kusam atau kotor. Di hadapannya terdapat
13
kain kanvas yang cukup besar dan ia sedang melukis. Aku mendekatinya. Mencoba memberikan senyuman ramah dan berharap tidak mengganggunya. Wanita itu tersenyum. Itu adalah senyum pertama yang kulihat darinya— tulus dan sangat bermakna. Sementara itu, jemari-jemarinya tetap berayun melukis objek di sebelah kanannya. Objek itu adalah sebuah radio tua yang sudah sangat kusam dan berdebu, bahkan antene-nya tidak sebagus yang paling butut. Namun radio itu masih berfungsi. Samar-samar aku mendengar suara dari radio tersebut. “ Pendengar yang budiman, kami akan menghadirkan suara rekan kami yang baru saja mengalami kecelakaan yang tidak terduga dan membuatnya tidak bisa bersuara, siapakah ia? Tentu penyiar terbaik tiga tahun ini yang mendapat penghargaan nasional bergengsi yang terakhir meraih penghargaannya dengan sangat gemilang melalui kisah-kisahnya. Sebagai bentuk belasungkawa atas kecelakaan yang menimpanya sehingga memutus karir yang selama ini ia geluti, kami berusaha membuat momen terbaik hari ini sebagai kenangan yang akan terus menghadirkan suaranya, sosoknya, kisah-kisahnya yang kita nikmati setiap hari. Untuk Rudi, inilah rekaman suara Anda yang kami rindukan. Kepada pendengar setia, selamat menikmati,� Aku terkesima sejenak. Itu suara Mas Anton. Entah mengapa dari suaranya aku tidak mendapatkan rasa duka ketika menyampaikan musibah yang menimpaku. Bahkan aku merasa seperti ditelanjangi di radio, dipermalukan. Lambat laun aku mulai mengerti awal dari musibah ini. Namun tak kusangka, dalam renunganku mengenai Mas Anton dan kecurigaanku kepadanya di pesta sebelum raibnya suara ini, wanita berambut hitam sepinggang itu melihatku dengan sedikit takjub. Ia seperti tidak percaya. Dengan secarik kertas yang ada di sebelah kirinya ia menulis dengan kuas kecil seperti pena, namamu Rudi?. Setelah membacanya aku mengangguk. Kemudian wanita itu menulis lagi; Kalau begitu, rekaman di radio yang sedang on air ini adalah rekaman suaramu dulu? Kau adalah penyiar itu?. Aku mengangguk kedua kalinya dan untuk mempertegas aku ikut menulis; iya. Sepertinya ada yang ingin kau tanyakan lagi. Ada apa memangnya?.
14
Wanita itu tersenyum dan memandangku lekat. Kemudian dengan sedikit menutupi tulisannya agar tidak bisa kubaca lebih dulu ia menulis pelan-pelan dengan penuh penghayatan; aku mencintai suaramu. Aku pendengar kisahkisahmu selama ini. Aku tidak menyangka Tuhan akan mempertemukan kita saat ini, dalam kondisimu yang sama—denganku. Ada rasa getir di hatiku. Perempuan berambut hitam itu tersenyum dengan manisnya, membuatku duduk membisu. Ternyata dibalik dunia yang lama, Tuhan telah menciptakan dunia baru, bahkan menghiasinya lebih indah dibandingkan sebelumnya. Aku takkan pernah menyangka menjadi sumber inspirasi bagi seseorang, juga tidak berkhayal seperti itu. Tapi saat ini aku hanya ingin duduk tenang di sisi wanita yang baru kukenal, saling memandang dalam kekaguman dan rasa terima kasih yang mendalam. Terima kasih telah menunggu kisahkisahku selama ini. Melalui tatapan matamu aku kembali meraih suaraku dalam ingatanmu. Setelah membaca tulisanku, wanita itu tersenyum kian manisnya, dengan mata penuh binar ia memandangku dengan tatapan penuh haru. Dan dengan gerakan lembut ia menggoreskan tinta, selamat datang di sisiku.
Sepanjang Ngarsopuro
15
Oleh : MK Wirawan
QuickTime™ and a decompressor are needed to see this picture.
16
Situasi si dia. BARU kali ini selama perjalanan hidupnya, ia merasakan sesuatu yang menyesakkan dada. Ia tidak ingat terakhir kali ia mengulas senyum bahagia. Atau membuat rangkaian bunga pada seseorang yang ia cintai. Ia tidak mengerti mengapa keceriaannya lenyap bagai ditelan bumi. Ia tidak memahami sampai kapan ia akan merasakan jiwanya larut dalam kegelapan. Terlalu gelap bahkan tidak terdapat secercah cahayapun. Tapi perlahan ia mulai mengingat, yang dapat memantik api untuk menerangi langkahnya di dalam kegelapan. Ia butuh sedikit api, ia butuh sedikit sinar, ia butuh sedikit cahaya. Dan ia terus mengingatnya. Sampai ia tiba pada sebuah jalan. Ia yakin ia pernah merasakan perasaan itu sebelumnya. Ia tidak tahu apakah ini merupakan jawaban dari sekian banyak pertanyaannya yang tidak terbendung akan apa yang ia rasakan sendiri, dalamdalam, pekat-pekat. Restan cintanya berlalu seperti angin, seperti ia merasakan lunturnya kehidupan yang ia jalani. Terlalu berat. Ia semakin ingat. Pada senyum seseorang yang dapat membangkitkan semangat hidupnya, membara.
Situasiku. BELAKANGAN ini banyak orang percaya nasib baik terlahir di tahun kelinci. Semuanya mungkin. Tapi aku tidak. Sangat tidak mungkin aku mempercayai diriku sendiri di awal tahun ini. Walau aku berharap tidak sama dengan tahun-tahun penuh penderitaan, nelangsa dan nestapa dalam relung jiwaku. Berharap tahun yang melompat indah bagai kelinci ini memberikan secercah harapan untukku. Itu mustahil. Terakhir kali kulihat Sunu. Ia kurus kerempeng. Tinggi badan seratus tujuh puluh sentimeter. Dan berat badan kurang dari enam puluh kilogram. Namanya Sunu Aditya. Tampan adalah kata pertama yang lompat dari mulutku. Mungkin dengan satu tambahan kata di depannya “sangat� menjadi lebih sempurna menggambarkan fisik Sunu Aditya di dalam khayalan. Kawan lamaku, sahabat terbaik yang pernah ada, pacar pertama. Deskripsi tentang Sunu tidak
17
pernah berakhir, ia yang pertama kali mengukir sebuah perasaan bertahtakan kegilaanku pada lawan jenis dengan sempurna: cinta. Sudah tujuh tahun sepertinya, tidak bertemu Sunu. Tiap tahun berakhir dan mengawali hari yang baru di tahun selanjutnya aku selalu berdoa ia masih bertahan hidup dalam perjuangannya. Hanya dapat berdoa. Memimpikannya untuk menjumpaiku tidak pernah, aku tidak sebodoh itu mengkhayalkan orang yang kurindukan dan tiba-tiba ia hadir di hadapanku dengan wajah tolol. Aku tidak pernah hafal rute. Juga tanda-tanda kecuali yang sangat penting seperti traffic light. Juga baru menyadari bahwa aku cukup lihai mengemudikan motor setelah motor keren dikirim ke alamat kontrakanku. Dari rumah. Dengan begitu aku tidak paham semiotik. Tidak pula memiliki sebuah firasat, baik, buruk, ada marabahaya, awas kecemplung kolam! Atau hati-hati ada gajah di depan wajahmu! Atau firasat datar seperti pancake, melambung tinggi seperti bola kasti yang dipukul ke udara, atau bahkan firasat buruk terkubur dalam liang lahat sendiri dan tidak ada yang menolong. Jadi, aku tidak tahu apakah dulu saat perasaanku mengalir pada Sunu, ia merasakannya atau tidak. Dan aku tidak bisa membaca tanda-tanda darinya. Sama sekali. Jika dia bukan yang seorang, mengapa hatiku bertanya-tanya? Jika dia bukan yang seorang, mengapa batinku menjeritkan dimana ia berada? Jika dia bukan yang seorang, mengapa aku rela menghabiskan waktuku bersamanya? Jika dia bukan yang seorang, mengapa aku tidak menampar wajahnya saat merokok dan mengembuskan asapnya di depan hidungku? Jika dia bukan yang seorang, mengapa aku mengharapkan untuk menghabiskan sisa hidupku di sisinya? Di sisi lain, aku merasa hidupku tahun ini berbeda, hari-hari yang semakin menyeramkan, membuatku sering ketakutan dan gemetar. Aku benar-benar
18
payah, hatiku mati. Perasaanku tidak berfungsi. Ironis. Mungkin itu yang mampu mendeskripsikan aku. Seperti menyukai sesuatu, namun tidak cukup keberanianku untuk itu. Apakah ada manusia terbodoh? Aku jawabannya. Situasi Sunu. SUNU Aditya berlari-lari kecil, mencari dimana ada penjual rokok di sekitar ia memarkir motornya. Kemudian ada seorang ibu muda melihatnya. Ia menghampiri lelaki itu dengan wajah sumringah. “Rokok, mas?” “Ya,” jawab Sunu. Ia cukup tersengal-sengal sekaligus heran mengapa ibu muda itu mengetahui maksudnya. “Marlboro.” Kata Sunu. “Mas ini orangnya keras sekali. Kalau sudah kehendaknya pasti dijalani.” Seloroh ibu muda itu. Sunu semakin heran. Ia menyulut rokoknya dengan korek api yang ia simpan beberapa hari yang lalu. Tidak terlalu bagus. Ia berusaha untuk tidak mengetahui lebih jauh apa yang dimaksud ibu muda tersebut. Ia pergi. Ia menyadari begitu banyak orang bisa membaca pikiran dan karakter orang lain. Sunu sudah terbiasa dihakimi. Bahkan, sudah terbiasa didikte. Sejak kecil mungkin, bisa dibilang ia hidup bagaikan ombak, terombang-ambing. Juga angin yang berpencar ke penjuru bumi. Sunu harus banyak bekerja, harus bertemu banyak muka, karakter, ucapan dan atmosfer kehidupan yang beragam.
Situasi Danar. DANAR bukan baru sekali ke kota itu. Tapi sudah puluhan kali. Mungkin beratus kali, hanya saja tidak sampai ribuan kali. Biasanya Danar datang ke kota itu dengan keluarga lengkapnya, ayah, ibu, dan Baim. Padahal saat itu Danar ingin sekali pergi dengan mobil sendiri bersama teman-temannya ke kota itu. Atau menikmati kesendiriannya di dalam kereta api yang membawanya ke kota tersebut, kota cantik dengan lampu sangkar burung di Ngarsopuro, Solo.
19
Kali ini perasaannya lain. Ia merasakan kesepian yang teramat sangat, bukan, bukan hanya kesepian, tapi juga rasa takut, amarah, emosi dan gemetar. Bahkan ia mulai berkhayal andai mobil keluarganya ada di parkiran kontrakan tempat ia tinggal untuk meneruskan studi sarjananya. Ia mulai merasa bocah. Anak kecil manja yang ingin dipeluk ibunya. Ia ingin aman dan nyaman. Tiba-tiba ia membuka laptopnya, memutar video terakhir ia merekam ayahnya bernyanyi. Dan ia menangis. Sudah hampir dua tahun sejak perceraiannya, Danar tidak percaya lagi dengan apa yang diucapkan laki-laki, juga berusaha untuk tidak merasuki alam bawah sadarnya jika ia sedang mengagumi sesosok pria, yang membuatnya setengah gila. Danar mencoba tidak terbuka. Tidak menerima kembali dengan apa yang telah dihadirkan untuknya di dunia. Kesempatan yang banyak sekali berdatangan, kenalan, nomor telepon, ucapan selamat malam bagai angin lalu yang Danar rasakan. Hatinya tidak ikut berkata. Dan kini, begitu cepat setelah semua yang ia impikan lenyap, ia terlalu diburu dengan keadaan yang memaksanya untuk memugar kembali harapan yang telah rapuh. Terakhir kali ia mengecek akun facebooknya, ia mendapati pesan dari Sunu. Sahabat lama, kenalan lama. Juga kekasih lama. Ia sering berfikir, “apa yang kulakukan?â€? ia tersenyum dengan banyak orang, berkenalan dengan banyak teman lelaki, menemani mereka belajar bersama, nongkrong di internet cafĂŠ, atau sekedar berjalan kaki di sepanjang Ngarsopuro. Setiap lelaki yang menemaninya, duduk bersama, menyentuh tangannya seperti ingin memenjarakan Danar kembali. Memegangnya kuat dan ia tidak boleh berlari. Setiap kata-kata manis dan manja yang ia dengar, yang dibisikan ke telinganya, setiap telepon yang ia angkat, dan juga setiap pesan pendek yang ia baca, hanya membuat luka hatinya semakin menganga. Kosong dan hampa. Danar menutup laptopnya. Menyeka air matanya lekas-lekas. Berharap andaikan masih banyak waktu yang bisa ia tempuh untuk setidaknya membuat kenangan-kenangan baru dengan ayahnya, ibunya dan sanak familinya. Ia hanya bisa berangan-angan.
20
Situasi Sunu. DI TENGAH keramaian kota Surakarta Sunu Aditya melepas penatnya di pinggiran trotoar. Seorang penjual es berdiri tidak jauh dari tempat ia duduk. Sambil melepas helmetnya ia memesan satu skup es krim dan menikmatinya dengan wajah menunduk ke aspal, menghindari sengatan matahari yang menembus celah-celah pepohonan di atasnya ia bernaung. Sejak kemarin ia dikabari oleh Insan sahabat dekatnya dan sahabat dekat Danar, Sunu semakin percaya untuk mengikuti kata hatinya bertandang ke Surakarta, menemui Danar dan mengetahui apa yang sedang gadis itu kerjakan, apa yang ia alami sekarang, bagaimana kabarnya dan detil-detil lain yang menurutnya sangat penting untuk ia telusuri. Perjalanan dari Malang ke Surakarta memang jauh, tapi keinginannya untuk bertemu dengan Danar jauh lebih intens dari pada merepotkan diri mengeluhkan betapa jauhnya jarak antara Malang dan Surakarta. Danar ada di Surakarta. Sunu yakin sekali. Maka dengan bekal informasi sekedarnya dari Insan, Sunu mencari lokasi kontrakan yang Danar tempati. Berharap bisa bertemu dengan gadis itu secepatnya. Situasiku. ADA banyak orang mengartikan cinta itu sesuatu yang datang tiba-tiba. Ada banyak orang pula yang mengartikan cinta itu sesuatu yang diwujudkan atas dasar sesuatu yang lainnya. Juga tidak sedikit yang menafsirkan bahwa cinta itu hanya sebuah hasrat untuk memiliki. Aku tak paham definisi cinta. Tapi aku bisa merasakannya walau aku sendiri ragu apakah ini benar-benar cinta. Karena aku yakin, terdapat perbedaan besar diantara mencintai dan mencintai dengan sungguh-sungguh. Sudah tujuh tahun tidak bertemu Sunu, dan selama itulah aku menunggunya. Sekedar berharap pada nasib, pada suratan yang kuyakini jika memang Tuhan menganugerahkan Sunu untukku, maka ia takkan terbang kemanapun. Di sisi lain, aku menyadari betapa angkuhnya Tuhan itu. Belakangan ini,
21
Claire tidak bisa menemaniku ke rumah sakit. Terpaksa aku pergi sendiri, diamdiam tanpa sepengetahuan keluarga di rumah. Pemilik kontrakan sepertinya sudah mulai mencium gelagatku yang mengendap-endap pergi ke rumah sakit dengan taksi yang kutelepon. Parahnya aku tidak bisa mengatasi rasa pedih ini sendiri. Terkadang aku membenturkan kepalaku untuk mengurangi rasa sakit, tapi entah kenapa setiap aku memandangi diriku di depan cermin, tak ada niat sedikitpun untuk bunuh diri. Seseorang harus menatap wajahku saat sakit dan melihatku menghembuskan napas terakhirku dengan tenang, tanpa beban apapun. Pekan terakhir sebelum ujian. Aku harus bisa mendapat nilai terbaik setidaknya lebih dari semester kemarin. Mengingat, aku tidak akan bisa melakukan lebih banyak lagi untuk semester-semester selanjutnya. Kemungkinan besar aku akan seperti penderita Alzheimer dan melupakan semuanya satu persatu secara berangsur. Tapi, apakah aku bisa melupakan ia yang sudah bertahun-tahun lamanya kucintai?. Jadi, kuputuskan untuk berpikir tenang dan menuliskan semua kejadian yang pernah kuingat di dalam buku catatanku. Dimulai dari aku masih kecil, beranjak remaja, bermain dengan adik-adik, kedua orang tuaku, keluarga besar. Bertemu dengan Sunu, menghabiskan akhir pekanku memanjat pohon kersen dengannya, balapan sepeda sampai akhirnya jatuh di dekat parit dan tertawa ketika Sunu dikejar-kejar lebah pohon kersen. Aku juga menulis beberapa pertanyaan seperti, apakah Sunu masih ingat saat aku muntah darah? Apakah ia masih ingat ketika aku mimisan di siang hari? Juga ketika aku seperti kehabisan napas dan tercekat ketika balapan sepeda dengannya?. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang membuatku sadar pada akhirnya, aku harus mengungkapkan perasaanku sebelum aku tidak bisa mengutarakannya secara langsung. Ia harus tahu. Aku harus memberitahunya dimana aku berada sebelum semuanya siasia.Ya, sebelum penantian ini menjadi sia-sia.
Situasi si dia. Mungkin ia tahu dari Insan. Terakhir kali aku terpaksa bilang pada
22
temanku itu. Kukatakan padanya, “Aku sakit, Insan. Mungkin akan butuh waktu yang lama berada di rumah sakit. Dan selama itu aku tidak bisa membohongimu kalau aku berlibur ke Seattle, padahal aku terbujur di rumah sakit.” Dan saat itu Insan menatapku dengan pilu. Ia mengantarku sampai rumah sakit. Dan kini, ketika kudengar dokter berbisik-bisik, “…sejak dua hari yang lalu…betul sekali, ia tidak sadarkan diri…bertambah buruk…kadang perlu perawatan
intensif
dan
ia
memerlukannya
lebih
sering…Anda
teman
dekatnya?...baiklah saya akan menghubungi keluarganya…lusa akan dioperasi… baik-baiklah…kalau
perlu…”
seperti
perbincangan
putus-sambung-putus-
sambung dan terus begitu. Kemudian si dia menghampiriku, aku tidak bisa membuka mataku tapi aku bisa merasakan jemari-jemarinya yang dingin menyentuh lenganku. Wangi parfumnya pun masih sama. Seperti ada embusan dari surga ketika kuhirup wanginya. Ketika mataku perlahan bisa kubuka, aku melihatnya menunduk. Seperti ia membaca sesuatu di pangkuannya. Kuharap aku bisa leluasa melihatnya. Ia menahan tangis.
Situasiku. Terakhir yang kurasakan adalah pening bukan main. Mata ini terasa berat untuk dibuka. Tapi telingaku masih berfungsi cukup baik. Kudengar percakapan Insan dengan Sunu. Mereka bertengkar. “…kau tidak seharusnya begini…apa? Mengapa semuanya terjadi?...” “…andai bisa kuulang…aku ini berusaha menjadi teman baiknya… kau tak mengerti, Sunu!...ia masih hidup…lusa aku akan ke Jakarta..” Masih percakapan terputus-putus. Aku tidak sadarkan diri. Malam itu Sunu Aditya berjalan di bawah cahaya rembulan. Menunggu kabar dari Insan. Danar sedang di operasi. Penyumbatan pembuluh darah di otak,
23
begitu kata dokter. Terakhir Sunu melihat Danar ia nyaris tidak percaya. Gadis itu, yang menyalakan kembali hatinya yang gelap nyaris tak bernyawa. Ia putuskan untuk mencari udara segar di sepanjang Ngarsopuro.
Angin saat ini mungkin sebuah pertanda. Menjelaskan padamu bahwa aku takkan pernah memiliki hasrat untuk selalu bisa memilikimu di sepanjang hidupku. Tapi Tuhan pernah membuatku nyaman di dekatmu walau itu hanya bagaikan angin malam ini. Entah kenapa aku yakin, kau tidak akan tahan melihatku mati pelan-pelan. Kau ingin aku hidup seperti aku menginginkannya. Perjuanganku sudah usai disini, aku hanya ingin mengutarakan semuanya, semua yang telah kau baca di dalam buku harian ini. Aku berharap kau ada di sekitarku, tapi harapanku rupanya musnah. Perasaanku tiba-tiba mengalir, dan berkata bahwa kau akan pergi ke tempat kenangan kita, Ngarsopuro. Tempat kita bertemu dan berpisah. Dan disinilah aku mengucapkan salam perpisahan untukmu Sunu. Kita tak perlu mencari waktu lebih lama untuk mengungkapkan sesuatu. Aku suka padamu. Situasi Sunu. KETIKA baris terakhir ia baca, Sunu sedang duduk di bawah lampu sangkar burung kesukaan Danar. Itu adalah pengakuan Danar, penantian cintanya akan Sunu Aditya. Telah terungkap semua melalui saksi bisu buku catatan yang diberikan Insan pada Sunu. Dan kali itu tanpa diduga Danar sebelumnya, Sunu menangis. Sesaat sesudah Danar tersenyum, mengepakkan sayapnya menuju langit.
24
Centolla Oleh: MK. Wirawan
25
QuickTime™ and a decompressor are needed to see this picture.
Jendela tidak ditutup rapat sejak tadi malam. Angin berdesir pun masuk di pagi hari yang cerah. Aku duduk di ruang tamu. Memandang keluar, sinar
26
mentari perlahan mulai masuk melalui celah-celah bangunan rumah. Tangan kananku memegang cangkir kopi. Menyeruputnya perlahan karena masih panas. Biasanya Leslie, suamiku akan duduk di hadapanku. Ikut menyeruput minuman coklat kesukaannya dan tersenyum ke arahku. Tidak kali ini. Ia tidak ada di kursi favoritnya. Sejak ia pergi ke Ushuaia, menemui kedua orangtuanya disana. Leslie tidak kembali. Anak kami Joan of Arc. Kami namakan pejuang itu karena berharap jika besar nanti ia bisa mendobrak pintu-pintu kejahatan dan membakar semua kemunafikan di sana. Joan masih tidur di kamarnya. Bukan saat yang tepat untuk membangunkannya sekarang karena sejak semalam ia terus menangis. Kematian Leslie membuatnya tersentak. Aku hanya tidak ingin berpura-pura untuk mengatakan bahwa Leslie sedang berlibur ke Ushuaia, menemui keluarga di sana dan akan kembali dalam waktu yang cukup lama. Entah kapan. Pembohongan publik—dusta terburuk yang ada di masyarakat mungkin bisa menjadi maklum bagi orang banyak, tapi tidak untuk Joan. Aku tidak ingin membohonginya sedikitpun. Sekecil apapun kenyataan itu. Yang sesungguhnya saat ini aku hanya bisa memandangi sederet pot-pot tua yang dulu dicat oleh suamiku. Cat warna-warni. Deretan pot itu ditanami bunga mawar dengan warna yang sama. Sayangnya tidak sesuai warna pot. Setahun yang lalu Leslie kesulitan mencari beberapa warna mawar untuk disamakan dengan warna potnya. Dan akhirnya ia memutuskan untuk menyamaratakan mawar yang ia tanam; putih. Semua mawar yang tumbuh subur, besar dan lebat. Pot-pot yang besar itu dulunya kutertawakan. Menanam mawar dengan pot yang super besar! Kali ini aku-lah yang pantas ditertawakan. Aku baru menyadari bahwa mawar-mawar itu tumbuh dengan sempurna. Mereka hidup dan berkembang di dalamnya. Mertuaku hanya mengabarkan kalau Leslie kecelakaan lalu lintas. Perjalanan ke Ushuaia merupakan perjalanan yang dinanti-nantikannya sebagai wartawan internasional. Sebuah perjalanan tugas sekaligus pulang ke kampung halamannya. Aku tidak pernah menghalang-halangi niat Leslie, termasuk semua jadwal kepergiannya. Kemana saja ia mendaratkan diri. Hanya saja kali ini ia benar-benar keterlaluan. Ia tidak kembali lagi. Keluarga Leslie melarangku untuk
27
menghadiri pemakamannya di Ushuaia. Mereka hanya mengirimku sebuah surat, beberapa barang Leslie yang ingin ia berikan kepadaku sebelumnya jika pulang dari Ushuaia dan sebuah kotak. Semua barang-barang paketan sudah kubongkar. Tinggal kotak itu satu-satunya yang belum sempat kulihat. Dan ketika aku sudah merapikan semuanya, aku mulai membuka kotak itu perlahan-lahan. Aku bukan seorang ahli dalam spesies hewan laut, tapi jelas sekali kulihat di sini; cangkang kepiting. Banyak sekali warna-warna di balik cangkang itu. Bagian luar cangkang berduri dan seram untuk dilihat. Leslie pernah bilang kalau daerah asalnya memang penghasil Kepiting Raja Centolla terbesar di dunia. Sekilas aku merasa, Leslie hanya ingin memberitahu bahwa; Sayang, ini Red King Crab! Kau tidak suka hewan laut, kan? Cukup kukirim cangkangnya. Pajang di tembok manapun kau suka, sejajar dengan pigura dan hiasan dinding lainnya. Sampai akhirnya aku menyadari beberapa warna yang ada di balik cangkang itu. Leslie adalah seniman! Ia tidak mungkin memberikan sesuatu kepadaku tanpa alasan. Itulah yang kukenal dari sosoknya, ia sangat paham semiotik. Dibalik cangkang itu aku bisa melihat jelas; dua belas warna dengan nomor di sisi kiri warna-warna tersebut. Aku menuliskan nomor dan warna itu di atas kertas; warna biru, merah, kuning, abu-abu, hijau, coklat, hitam, merah jambu, ungu, oranye, krem dan putih. Dua belas warna yang berbeda, ia mengecatnya berbentuk kotak-kotak kecil dibalik cangkang Kepiting Centolla. Sejenak aku tidak mengerti apa yang dimaksud Leslie. Tapi, ketika kopi di cangkirku sudah nyaris habis, matahari semakin terik. Mawar-mawar indah yang tumbuh di atas deretan pot-pot warna-warni bergoyang tertiup semilir angin. Aku mengerti. Joan terbangun dengan mata sembab dan keluar dari kamar tidurnya. “Mommy?� sapanya. Ia kaget melihatku bangkit dengan wajah penuh antusias. “Bagaimana tidurmu, Sayang?� tanyaku. Joan tersenyum kecil. Melihat anak gadisku sudah bisa melengkungkan bibir, perasaan lega menyelimuti hati ini. Kemudian aku beranjak dari ruang tamu dan pergi ke arah deretan pot-pot penuh warna. Leslie memang sialan. Ia meninggalkan sesuatu di dalam rumah ini. Dan
28
itu di dalam pot! Aku nyaris tidak percaya dengan apa yang kulihat dan kusadari; warna pot-pot yang ditanami mawar putih ini persis dan berurutan sesuai warna yang ada di balik cangkang Kepiting Centolla. Mereka bukan sekedar pot. Mereka adalah Leslie! Apa yang kulihat bukanlah sesuatu yang menyilaukan mata. Leslie tidak menanam harta karun di dalam sana. Pot-pot itu tidak kupecahkan satu persatu. Di bawahnya terdapat lubang-lubang tempat keluarnya air. Masing-masing pot memiliki lima buah lubang. Dan salah satu dari lubang itu tertutup. Disitulah aku pertama kali bisa mengenal dan mengetahui sosok Leslie. Lebih dari empat puluh tahun aku bersamanya. Ia meninggalkan harta yang manis, yang hanya bisa dikecap oleh indera perasa yang ada di dalam relung batin ini. Surat-surat penghabisan Leslie.
Pot Biru. Untuk Ruth. Sayang, ini adalah pot pertama yang kuberi warna. Warna biru adalah warna laut. Aku menyukai laut melebihi daratan indah apapun di dunia ini. Sedangkan kau membencinya sungguh-sungguh. Kita bertemu pertama kali di Baron. Kau yang berpakaian tipis, tertiup angin. Aku akan menjadi penghangat hatimu. Aku akan melindungimu. Pot Merah. Mungkin kau membenciku jika aku bilang ‘seafood!’. Apa yang membuatmu benci laut mungkin karena ombaknya yang membuatmu tidak tenang. Kamu akan senang jika liburan kita habiskan di rumah, di belakang kebun. Bersama Joan yang masih kecil. Dia akan melempari kita dengan arang karena ia belum tahu apa fungsinya. Kau akan mengajarkan Joan cara memanggang daging yang benar, kan? Beritahu aku jika kau sudah melakukannya. Aku senang saat kau mengecup pipiku ketika aku mengecat pot kedua. Wajahmu memerah. Kurasa warna merah tepat untuk melukiskan wajahmu saat itu. Pot Kuning.
29
Yang paling kau senangi adalah sinar matahari di pagi hari. Dan itu berwarna kuning. Itu sebabnya aku mengecat warna kuning. Matahari adalah inspirasimu. Kau seperti itu; bersinar selamanya di hatiku. Pot Abu-abu. Aku adalah pria teraneh yang kamu miliki. Jangan pernah membenciku. Tapi setiap pasangan di dunia ini adalah berbanding terbalik. Aku suka mendung. Pot Hijau. Daratan indah berwarna hijau adalah bukit golf. Disitu Joan pertama kali bisa berdiri dan berjalan. Aku ingin warna pot ini mengingatkanmu pada perjuangan kita dulu, melatih Joan untuk bisa berlari! Pot Coklat. Tidak ada yang lebih nikmat dari secangkir coklat sementara kau menyeruput kopimu di pagi hari. Tunggu bagianmu, warna hitam setelah ini. Pot Hitam. Maaf membuatmu lelah mencari kertas di dalam pot ini. Padahal aku cuma mau bilang, “Ampas kopimu sering menempel di gigi depan.� Pot Merah Jambu. Ini adalah tanggapanmu ketika tahu ada ampas yang menempel di gigi. Kau akan berlari ke depan cermin, menyeringai. Ketika aku melihatmu dengan wajah menahan tawa—kau akan memukulku pelan seraya tersenyum. Pipi merah jambumu. Pot Ungu. Aku tidak mengerti kenapa wanita Indonesia memasarkan warna ungu sebagai warna janda. Tapi inilah inti dari sekian banyak pot yang kubuat. Aku akan meninggalkanmu—tidak lama lagi. Maafkan aku. Pot Oranye. Kata dokter aku harus banyak mengonsumsi sayur mayur dan makanan
30
sehat. Oranye adalah warna buah kesukaanmu; jeruk! Tapi yang membuatku sedih, kulitku makin lama makin terang dan berwarna seperti jeruk. Apakah aku masih terlihat tampan? Aku tidak mau minum obat. Biarlah menjadi jeruk, pikirku. Selama warna ini kau sukai. Aku tidak keberatan kau makan. Pot Krem. Aku suka warna krem pada sagu keju. Setiap lebaran kue itu akan hadir dan akau akan makan banyak. Harus kukatakan, sagu keju buatanmu memang aneh. Tapi itu yang terbaik yang pernah kau ciptakan dari dapur. Aku berhenti ketika sebelas pot sudah kujelajahi. Terakhir pot berwarna putih. Persis dengan petunjuk yang ada di balik cangkang Kepiting Centolla. Aku menarik napas panjang. Dan melepaskannya dengan ikhlas. Tanganku gemetar meraih pot terakhir. Penasaran dengan surat terakhir yang ada di dalam pot itu. Jika isinya hanya cacian, bersiaplah Leslie—aku akan membongkar kuburanmu. Pot Putih. Seputih mawar yang tumbuh di dalam pot ini dan kesucian yang melambangkannya. Aku hanya ingin bilang, betapa murninya hidup ini. Kau adalah putih. Biasa—namun murni seperti hidup itu sendiri. Dan aku menyukai apa yang ada padamu. Semua yang ada dalam dirimu, semua yang terlukis dalam pot-pot ini.
Warna terakhir adalah konklusi. Leslie memang cerdas. Semua warna itu, dari biru sampai krem. Jika kubuat dalam bentuk cakram dan kuputar dengan cepat akan menghasilkan warna putih. Warna yang melambangkan cintanya padaku. Leslie tidak akan pergi. Ia tidak pernah kemana-mana. Ia ada di sini, di atas pagar rumah. Berderet, terpancar sinar matahari dan terguyur hujan. Ia selalu ada untuk bisa kupandang. Esoknya, aku berdiri tegap di depan pintu rumah. Mawar putih bergoyang
31
tertiup semilir angin. Kulihat bayang Leslie disitu, memandangku dari depan pintu.
Orang yang kita sayangi tidak akan benar-benar pergi. Jakarta, 27 Desember 2011
Depan AvalokiteďƒŹvara Oleh : MK. Wirawan
32
QuickTime™ and a decompressor are needed to see this picture.
Ketika itu hari sudah sore. Segerombolan becak berhamburan, keluar dari
33
barisan parkiran mereka hendak pulang menuju rumah. Lampu-lampu mulai dinyalakan, magrib mulai menjelang. Membuat suasana Pasar Gede menjadi terang. Orang-orang masih banyak yang berseliweran keluar masuk pasar. Mengangkat barang belanjaan. Kuli angkut barang yang hitam dan sudah berusia lanjut, tergopoh-gopoh membawakan belanjaan seorang wanita gemuk berpakaian necis. Rupanya wanita itu membeli banyak sekali peralatan akuarium. Di tangannya ia menjinjing sekotak kecil akuarium yang terbuat dari plastik. Berisi kura-kura Brazil, berwarna hijau kuning dan merah menjadi satu corak. Mereka masih kecil-kecil, berenang-renang dalam kubangan air yang sangat sedikit. “Besok subuh Piranha pesanan Anda bisa diambil,� kata si penjual toko pada wanita itu. Dengan senyum mengembang, wanita tersebut mengangguk. Wanita gemuk berpakaian necis itu masuk ke dalam mobil sedannya ketika ia sudah memastikan semua barang tersimpan baik di bagasi. Mengeluarkan selembar uang bergambar Imam Bonjol dan menyerahkannya pada si kuli angkut barang. Bapak kuli itu mengangguk-angguk, berpaling dari sedan hitam tersebut dan tidak melihat ketika mobil itu bergerak maju meninggalkan parkiran Pasar Gede. Tidak jauh dari situ, seorang anak berusia delapan tahun berjalan dengan sedihnya. Tatapan matanya sendu, sayu tidak bergairah. Seakan-akan hari itu kiamat hanya menimpa pada dirinya seorang. Langkahnya terus menapak dan membawanya pada keramaian orang-orang di dalam pasar hewan, masih di sekitar Pasar Gede yang pusatnya menjual sayur mayur dan makanan khas Jawa Tengah. Tiba-tiba pandangannya berubah; sedikit bercahaya. Matanya menangkap gerakan ikan berenang di dalam akuarium. Banyak sekali ikan hias yang ada di kotak kaca itu. Anak itu berjalan terus mendekati akuarium paling besar di pasar tersebut. Memandangnya lekat-lekat dan hidungnya menempel pada tepian kaca. Ikan bendera berwarna hitam bergerak-gerak, mengibarkan sirip panjang di tubuhnya. Anak itu tersenyum. Sungguh pemandangan yang memukau. “Khalil!� sapa Hasan. Seorang anak kecil seumuran anak lelaki yang
34
ternyata bernama Khalil. Yang disapa menoleh, memandang Hasan dengan senyuman paling indah yang pernah dilihat sahabatnya itu. “Tadi sedih, sekarang kok senyum-senyum?” Khalil tidak menjawab. Ia berpaling ke arah ikan-ikan di dalam akuarium. Hasan ikut melihat. Sayang tubuhnya tidak setinggi Khalil, ia berjinjit dan berpegangan pada alas akuarium tersebut. Keduanya asyik dalam imajinasi, membayangkan andai mereka memiliki sirip, ekor dan insang. Mereka bisa asyik berenang di dalam akuarium. Semua mata memandang mereka berenang dengan lincah dan anggun. Mengagumi keindahan warna mereka, keelokan dan kejelian mata mereka yang seakan-akan tidak pernah berkedip di dalam air. Dan yang pasti, mereka tidak perlu susah-susah mencari makan. Penjualnya akan memberikannya makan tiap waktu, mengganti air akuariumnya agar senantiasa bersih dan sehat. Ketika mereka sudah punya majikan, tentu majikannya akan melakukan hal yang serupa saat mereka belum laku dijual. Itu khayalan mereka. Benar-benar keluar dari pigura dunia yang ada. Namun, keasyikan itu berubah menjadi malapetaka ketika… Gubrak! Craaaanggg!!! Akuarium besar itu jatuh. Ambles seiring jatuhnya alas kayu yang ditekan Hasan sebagai penopang tubuhnya agar bisa melihat ikan. Kedua anak itu bersimbah air akuarium. Ikan-ikan hias berserakan, bergejolak, menggeliat-geliat di atas lantai yang basah, bercampur dengan pecahan kaca. Sedikit banyak kaca yang berpencar ke arah dua anak pengamen itu menggores kulit mereka yang gelap dan kusam. Menyebabkan luka lecet yang cukup perih. Kedua anak itu mematung, memandang orang-orang yang tiba-tiba saja berhenti memelototi mereka. “Biadaaaab!!!” pemilik akuarium itu seorang lelaki Betawi berpostur tinggi dan garang. Mantan preman pasar yang sudah sukses dengan usaha perikanan hiasnya dengan seorang keturunan Tionghoa. Ia menarik kedua anak itu ke sisinya, menempeleng satu persatu. “Lihat ulah Lu berdua! Boro-boro ganti ikannya! Beli batu hiasnya aja ngga mampu kan Lu!”
35
Khalil dan Hasan merasa takut. Bagi Khalil, lebih menyedihkan kali ini. Ketika semua orang di luar sana hanya mampu melihat mereka dimarahi. Khalil tidak berani berkomentar, bergerak se-senti pun ia ragu. Sudut matanya melirik Hasan yang juga merinding gemetaran. Gigi gemeletuk terdengar di kuping Khalil. Kebiasaan sekali si Hasan, batin anak itu. Semua pengamen tahu, Gupron adalah mantan preman yang terkenal di pasar itu. Tidak ada yang berani menyela ucapannya terlebih melawan lelaki itu. Menyela berarti melawan, melawan berarti menandatangani surat kematian. Hasan tidak tahu harus berbuat apa. Ia berpikir satu-satunya jalan adalah lari. Mungkin untuk kesekian kalinya mereka minggat dari satu bahaya yang tentunya menyebabkan bahaya yang lainnya. Sementara itu, si Gupron terus mengomel. Mengeluhkan ikan-ikan hiasnya yang nyaris mati tidak bisa bernapas, menyebutkan harga akuarium kaca yang mahal, bagaimana nanti ia akan laporan pada atasannya yang keturunan Tionghoa dan segala macam keluhan termasuk ia takut miskin lagi. Gupron turun dari kursi besarnya dan memunguti ikan hias itu satu persatu. Terpaksa memasukkannya sementara ke dalam kolam kura-kura leher panjang yang berada dalam ember plastik berwarna hitam. Hasan tidak kuat lagi, ia bisa kencing di celana. Maka, dengan tekad yang bulat ia mengambil ancangancang untuk lari. Menarik lengan Khalil dan keduanya kabur dari situ. “Woi, maling! Balik Lu! Kejar, Din! Kejar tuh Bocah!� seru Gupron memanggil Udin, orang keturunan Jawa yang menjadi asistennya. Mas Udin bergegas lari. Ia mengenali dua anak itu dan sebetulnya tidak tega menyidang dua anak kecil yang tidak sengaja berbuat kesalahan. Terlebih mereka orang Solo, satu asal dengan Mas Udin. Tapi bagaimana lagi? Nasib Mas Udin ada di tangan Bos Gupron. Ia terus berlari sampai akhirnya menangkap dua anak itu persis di depan Kelenteng. Gupron masih terus berteriak dan lengkingannya itu bisa terdengar bermeter-meter jauhnya. Semua antek-antek Gupron, termasuk yang suka cari muka supaya dapat pekerjaan honorer dari mantan preman itu bergegas menyusul
36
Mas Udin. Hingga akhirnya Khalil dan Hasan yang sudah dipegang oleh Mas Udin tidak bisa berbuat apa-apa. Terlebih ketika pasukan antek-antek Gupron datang dan langsung menghakimi membabi buta. Mereka tidak berhenti memukuli kedua anak itu sampai seorang lelaki datang. Antek-antek itu berhenti. Melihat lelaki muda yang datang. Memandang remeh pada orang itu. “Jangan cari masalah, Mas. Mundur! Anak-anak ini milik kami!” “Salah!” seru lelaki muda itu. Tubuhnya tidak besar, tidak tinggi juga tidak pendek. Garis wajahnya tegas dan alim. Jaket yang ia kenakan bersimbol Universitas tempat ia menimba ilmu. “Mereka milik negara.” “Halah! Sebodo amat Lu mau ngomong apa! Selangkah lagi, Lu urusan sama kita semua! Ya ngga? Ya ngga?” kata salah satu dari antek-antek si Gupron sambil meminta persetujuan semua anggotanya. Yang lain, yang ikut menghakimi kedua anak itu bersahutan “Iya, Iya” sambil manggut-manggut tanpa dosa. Tidak mereka duga, lelaki muda itu malah melangkah maju. Menatap lawan bicaranya dengan tegas dan tajam. Sorot matanya menunjukkan keseriusan. “Berapa uang yang harus saya ganti?” tanya lelaki itu, “Saya akan bayar kerugian yang dialami kedua anak ini dengan satu syarat; tidak ada lagi yang namanya main hakim sendiri. Mereka masih anak-anak. Tidak sengaja berbuat kesalahan dan tidak tahu kalau perbuatan itu fatal.” Seperti disihir, semua preman disitu melongo. Sangat tidak rasional jika melihat situasinya. Mungkin inilah yang dinamakan dakwah, pikir Khalil. Ia menatap lelaki muda yang membelanya itu dengan takjub. Khalil banyak melihat Kyai-kyai berceramah di dalam masjid, di siaran televisi dan radio yang terpampang di toko-toko sepanjang Jalan Slamet Riyadi bahkan suara ceramah mereka menggema sampai ke jalan-jalan besar saat Khutbah Solat Jumat. Tapi beda dengan Kyai yang satu ini, batin Khalil. Dalam pandangannya itu, lelaki muda tersebut bagaikan Kyai sungguhan yang memberantas kejahatan tepat pada sasaran. Meskipun taruhannya nyawa. “Bunuh mereka dan saya sekarang tapi itu tidak menutupi apa yang telah
37
dirugikan oleh mereka soal akuarium Gupron.� Tambah si lelaki muda. “Bilang pada Gupron, saya Arif. Toko saya ada di ujung pasar, sederet dengan toko Tjihang yang dikelola dia. Biar besok saya bayar di muka!� Lelaki muda bernama Arif maju melewati kerumunan preman yang berdiri mematung. Sementara itu salah satu dari antek-antek Gupron lari melaporkan apa yang dibilang Arif. Gupron hanya geleng-geleng kepala. Baginya, semua yang sudah terjadi mungkin bisa diselesaikan dengan uang, tapi belum sempurna tanpa pembalasan. Ia menolak saran itu meski akhirnya ia tetap mengiyakan kesanggupan Arif mengganti akuarium yang pecah. Tangan Arif menjulur ke arah Khalil. Anak itu meraihnya dengan malumalu. Tanpa ia sadari air matanya meleleh. Ia menggosok perlahan matanya dengan lengan kiri yang tidak terlalu sakit. Tidak seperti tangan kanannya yang lebam dan sedang dipegang Arif. Ketika lelaki muda itu mengajaknya pergi dari situ, Khalil baru sadar bahwa ia bersama Hasan. Ia menoleh, celingukan mencari sosok sahabatnya. Hasan kabur lagi.
Lelaki bernama Arif itu rupanya memiliki toko kecil di ujung jalan daerah Pasar Gede. Toko itu berisi perlengkapan kue milik ibunya. Tiap sore setelah kembali dari kampus, Arif mampir ke tokonya dan membantu ibunya disitu. Seperti yang Khalil duga, Arif bukanlah orang berada. Tapi tidak bebas berkeliaran seperti dirinya. Khalil masuk ke dalam toko bersama Arif. Tangan kanannya dibalut perban. Sedikit luka sayatan dan lecetan bekas cipratan kaca akuarium. Arif mengurusnya semalam sampai membawanya ke klinik terdekat. Bahkan Arif baru bisa tidur setelah membereskan kamarnya dan menyuruh Khalil tidur disitu bersamanya. Mereka tidak lama disitu. Hanya duduk-duduk sebentar setelah Khalil dikenalkan Arif pada ibunya. Arif mengambil kursi kecil seukuran kursi yang diduduki Khalil dan berbincang-bincang dengan anak itu.
38
“Rumahmu dimana, Lil?” tanya Arif. Khalil hanya menatap mata Arif, terdiam dan akhirnya menunduk. Arif menganggukkan kepala, “Ndak usah dijawab Dik,” Khalil sedikit tersenyum. Dalam hatinya ia lega sekali. Apa yang harus dia katakana soal rumah? Khalil tidak punya siapa-siapa, tidak punya apa-apa. Dari dalam
toko,
Ibunya
Arif
keluar
sambil
membawa
sepiring
roti
selai.
Meletakkannya di atas paha Khalil dan mengelus kepala anak itu dengan lembut. “Nanti malam ada pengajian anak-anak seusiamu, Dik. Mas pinginnya kamu ikut. Dik Khalil sudah bisa mengaji?” “Belum,” jawab Khalil dengan mulut masih penuh dengan roti. Ia mengunyah dengan cepat, menelannya meski belum sempurna dilumat dalam mulut. Khalil sangat lapar sore itu. Arif memandangnya dengan tatapan penuh prihatin. Ia berjanji dalam hati akan merawat anak itu. Tidak peduli dengan keadaan ekonominya, ia merencanakan agar Khalil bisa ikut bersamanya. Kalau perlu, Khalil akan ia sekolahkan. Begitu pikir Arif. “Kalau begitu nanti malam ikut ngaji ya, Dik.” “Inggih, Mas.” Jawab Khalil sambil malu-malu. Ia sadar—wajahnya terlihat konyol dengan selai strawberry belepotan di sekitar bibir dan pipinya. Khalil menjilati jari-jarinya, bahkan sampai ke piring roti hingga licin tandas. Arif terkekeh melihat perilaku anak itu. “Temanmu yang satu lagi itu kemana ya?” tanya Arif sambil menoleh ke arah depan Pasar Gede, sudut matanya melirik ke lokasi kemarin malam saat Khalil dan Hasan digebuki antek-antek Gupron. Khalil menggeleng, “Ndak tahu, Mas. Hasan suka lari kalau ada masalah. Dia selalu kabur.” “Oh jadi namanya Hasan?” “Inggih, Mas.” “Sebelum kejadian kemarin, apa saja yang Dik Khalil lakukan?”
39
Khalil merenung sebentar, mengingat-ingat peristiwa sebelum ia melihat akuarium pembawa sial itu. Ah! Dia ingat saat itu ia sedang bermuram durja. “Uang hasil ngamen saya dicuri Toton, Mas.” “Siapa?” “Toton. Yang kemarin gebukin saya depan Kelenteng.” Arif manggut-manggut. Gupron dan antek-anteknya memang keparat, batin pemuda itu. Mungkin kasus Khalil ini merupakan salah satu dari sekian banyak permasalahan dan keonaran yang diperbuat preman pasar itu. Arif menyebutnya preman karena baginya adat Gupron masih sama sekalipun ia sudah tidak terlihat berseliweran di jalan. Tapi punya anak buah, marah-marah soal sepele, main hakim sendiri, apa namanya kalau bukan preman? Rajanya preman barangkali. Keduanya masih berbincang-bincang hingga akhirnya magrib menjelang. Arif mengajak Khalil kembali ke rumahnya dan bersiap-siap pergi ke Langgar milik seorang Kyai di desa Arif tinggal. Khalil diajarkannya berwudhu, diajarkannya membaca Iqra. Khalil memulai semuanya dari nol. Arif punya keponakan yang setahun di atas Khalil, keponakannya itu memberikan Khalil pakaian muslim. Baju koko yang masih layak pakai, bersih dan berwarna putih. Dengan peci putih yang nyempluk di kepala, Khalil keluar bersama Arif menuju Langgar.
“Assalamualaikum, Ustadz!” seru murid-murid di Langgar At-Taubah ketika melihat Arif masuk. Murid-murid Langgar disitu sangat banyak. Usia mereka berkisar antara tujuh sampai sembilan tahun. Tidak jauh berbeda dengan usia Khalil. Tinggi badan mereka pun sama, hanya saja mereka terlihat lebih bersih dan terurus dibanding Khalil meskipun anak itu sudah mandi. “Wa’alaikumussalam Warahmatullah Wabarakatuh,” Jawab Arif dengan senyum mengembang. “Kaifa haalukum?” Arif selalu memulai pengajian itu
40
dengan tanya jawab berbahasa Arab. Ia senang jika adik-adik santrinya bisa berkomunikasi dengan bahasa tersebut. Dari awal ia mengajar, Arif berusaha untuk
komitmen
dengan
perkuliahan
yang
ia
ambil
dengan
cara
mengaplikasikannya melalui pengajaran. “Bikhoir walhamdulillah, Ya Ustadz!” “Hari ini Adik-adik punya teman baru, saya akan mengenalkan seseorang pada Adik-adik. Penasaran siapa orangnya, bukan? Baiklah, ini dia kawan baru kita, Khalil!” Khalil yang sedari tadi berdiri di pinggiran pintu terperangah. Wajahnya bersemu merah. Ia mulai melangkah maju. Tapi agak ragu. Semua santri disitu menoleh melihatnya. Khalil merasa menjadi pusat perhatian dan ia kurang nyaman. Tapi Arif menatapnya lembut dan dalam, “Ayo, Khalil. Kita berkenalan dulu,” Khalil melangkah maju dengan lebih percaya diri. Berdiri di sisi Arif dan menyentuh lengan pemuda itu. Sedikit bersembunyi dalam bayang-bayang tubuh Arif. Sesi perkenalan itu berlangsung dengan baik. Semua santri pada akhirnya tersenyum, mencairkan suasana dan memberikan peluang bagi Khalil untuk ikut berbaur di dalamnya. Khalil duduk di tengah-tengah santri. Mereka menanyakan Khalil berbagai macam pertanyaan, Khalil menjawab sebisanya, kadang ia hanya bisa tersenyum dan mengalihkan pandangan. Menatap Arif yang sedang mengajar santri lain dan membiarkan santri lainnya berbincang-bincang dengan Khalil. Di mata anak itu, Langgar adalah surga. Ia berjanji dalam hatinya jika sesuatu yang buruk terjadi pada Arif, maka itu pun harus terjadi pada dirinya. Arif bagaikan malaikat yang mengangkatnya dari kubangan lumpur dan sampah. Mensucikannya dengan air wudhu dan menempatkannya di tempat terbaik, Langgar. Jika ia benar-benar berada di surga dan Arif tidak ada di sisinya, ia akan terjun dari surga dan pergi bersama Arif. Kemanapun lelaki itu membawanya pergi.Tidak ia sadari, senyumnya mengembang penuh haru dan tulus. Arif sudah menjadi bagian dari perjalanannya. Arif adalah penyelamat.
41
Petang
menjelang.
Sinar
mentari
yang
hendak
terbenam
masih
menyisakan sedikit semburatnya di balik Avalokitevara. Membuat Kelenteng itu terlihat makin dingin dan beraura. Sepanjang jalan Ketandan Khalil berdiri. Melihat orang-orang lalu lalang. Mengingat terakhir kali ia nyaris mati disana. Persis di momen seperti itu, petang yang dingin dan menyeramkan. Makin lama orang-orang makin beringsut pergi. Suasana Pasar Gede makin sepi dan berdiri angkuh di depan Khalil. Tiba-tiba bulu kuduknya merinding. Dalam bayang petang menjelang magrib matanya dengan samar menangkap bayangan orang berjalan menuju dirinya. Khalil tidak berani bergerak lagi, langkahnya sudah jauh dari Kelenteng. Dalam hatinya ia berdzikir mengikuti apa yang telah diajarkan oleh Arif. “Allahu, Allah…” bisiknya dalam hati. Orang yang ada dihadapannya makin jelas. Berjalan dengan penuh angkuh dan tamaknya. Sesuatu digenggam di tangan orang itu. Hati Khalil kian berkecamuk, ingin kabur, jalanan sudah mencekam gelap. Tiada seorang pun yang melihatnya disitu, di tikungan jalan. “Allahu, Allah…” gumamnya lagi. Ia celingak-celinguk. Sendirian. Orang itu kian dekat. Khalil bisa melihat kumis orang itu dengan jelas, mata hitam yang menyalak seperti anjing kudisan di tempat pembantaian. Itu Gupron. Dengan wajah menyeringai licik, tangannya yang memegang belati mengayun tinggi di udara. Kaki Khalil bagai terpasung di dalam bumi. Ia tidak berdaya. Dengan mata terpejam ia memasrahkan diri pada sang Khalik. “Allahu Allah, Allahu Akbar!” Tepat ketika belati itu menancap di dadanya. Khalil menahan sakit yang luar biasa menjalar ke seluruh tubuh. Melihat darah yang mengalir deras, membanjiri baju koko putihnya yang bersih. Pandangannya kabur, kunangkunang. Khalil ambruk ke tanah. Ia tidak bergerak. Sama sekali. Subuh itu orang-orang sibuk berseliweran di luar pasar. Para pengendara
42
becak memarkir becak-becak mereka sejajar dan rapi. Asap-asap rokok mengebul dari mulut mereka, mengempaskan kepulan putih ke langit biru. Para kuli angkut barang mondar-mandir mencari pelanggan. Berlomba-lomba membawakan barang bawaan seorang wanita gemuk berpakaian necis ke dalam mobil sedannya. Khalil membuka mata; ia tergeletak di depan AvalokiteďƒŹvara. Tubuhnya biru lebam. Pecahan kaca akuarium masih menempel di sisi-sisi lengan dan betisnya. Pakaiannya sudah mengering, tapi bau amis ikan hias tercium keras sampai ke dalam otak. Khalil melihat seseorang di sisinya, Hasan. Anak lelaki itu tidak bergeming sekalipun Khalil menggoyang-goyang dengan keras dan kasar. Khalil berteriakteriak. Memanggil-manggil nama Arif, mencari-cari sosok Arif. Sosok yang semalaman itu hanya menjadi mimpinya.
43
Penulis Naskah Oleh : MK. Wirawan
44
QuickTime™ and a decompressor are needed to see this picture.
Dari arah barat, rumahku terlihat di atas pucuk-pucuk pohon kurma yang tinggi menjulang. Seakan-akan hendak menusuk langit, memecahnya menjadi
45
beberapa kepingan yang tidak akan tersusun lagi. Aku benci warna langit cerah; jarang sekali hujan turun. Benar-benar jarang. Teriknya menusuk sampai ke poripori tubuh. Jika sedang ekstrem-ekstremnya, kulit bisa terbakar dan kusam. Sepanjang jalan menuju rumah berlorong-lorong dan berkelok-kelok menurun. Sesekali tanjakan yang tidak terlalu tinggi disertai gundukan tanah yang dibuat agar anak-anak tidak bebas berkeliaran. Sepanjang lorong di Wirzazat adalah toko-toko dari seluruh Jazirah Arab yang ada. Mereka menjajakan barang-barang khas kebudayaan Timur Tengah dan Timur Dekat. Toko mereka berada di balik pintu-pintu berkenop dua. Tertutup dengan dua daun pintu yang lebar bertemu di tengahnya. Daun pintu tersebut berukir pahatanpahatan kayu seni orang Timur. Walau tidak sedikit juga yang tidak menghias daun pintu mereka sama sekali. Hanya mengecatnya dengan warna-warna primer seperti hitam dan merah. Dan tidak jarang yang mengecat dengan warna-warna sekunder. Pintu-pintu toko di Wirzazat baru akan dibuka ketika matahari sudah keluar di waktu Syuruq. Pamanku, Amri dan anaknya yang bernama Hesham tinggal di sebuah toko milik nenek buyut mereka dan sudah mengembangkan usaha itu sejak lama. Mereka menjual perkakas rumah tangga yang berasal dari Iran. Usaha tersebut makmur pada awal perintisan, membuat leluhur mereka kaya raya seseantero Wirzazat. Bahkan pengiriman barang-barang dari Iran kerap datang tiap minggunya. Sempat menjadikan keluarga besar Hesham bin Amri bin Abdullah menjadi termashyur. Namun kini usaha itu kian mundur. Semua orang di Wirzazat tahu kemunduran itu. Disebabkan para pemuda yang bekerja di Toko Paman Amri enggan untuk sekedar menjadi pesuruh dan pedagang. Mereka tergiur dengan kontes-kontes dan sesi pemotretan untuk pencarian bakat bintang muda yang dikepalai seorang Direktur yang berasal dari perusahaan film di Hollywood. Kini Wirzazat sudah menjadi daerah kasting film internasional. Sinema-sinema membuka lowongan pekerjaan bagi mereka baik di belakang layar, sebagai pengendali ataupun aktor utamanya. Aku tinggal di rumah peninggalan mendiang kedua orangtuaku. Satusatunya kerabat terdekat adalah Paman Amri dan Hesham dengan segala kesulitan mereka karena terlilit hutang-hutang yang zaman dulunya dilakukan
46
oleh buyut mereka. Para pengusaha di Iran yang juga sudah beranak cucu mulai membungakan hutang-hutang tersebut. Jika tidak segera dibayar, toko itu akan menjadi milik mereka. Dan itu adalah akhir dari Klan keluarga Hesham bin Amri bin Abdullah. Hesham yang sudah menginjak usia remaja enggan untuk menamatkan sekolah Tsanawiyahnya. Sama denganku yang juga tidak lulus Aliyah. Hesham sudah seperti teman-temannya yang lain. Berjalan-jalan mengitari daerah Wirzazat yang berpasir karena letak geografisnya berada di tengah-tengah gurun. Hesham lebih mencondongkan diri menjadi aktor. Ia senang melihat para pemain film berlaga di atas padang pasir. Mereka yang berkunjung ke Wirzazat adalah aktor-aktor asing yang berasal dari belahan bumi lain, Eropa, Timur Jauh, termasuk Asia di dalamnya. Walau tidak sedikit mereka mengambil banyak orang di Wirzazat sebagai tokoh figuran. Para kru film itu berasal dari Hollywood namun tidak sedikit juga yang bebas masuk karena memiliki visa ke Wirzazat dan melakukan dokumentasi di daerah gersang ini. “Assalamualaikum,” seseorang mengucap salam dari depan pintu rumah. Aku sedang menulis sebuah novel di komputer yang kudapatkan dari pekerjaanku sebagai penginput data di salah satu kantor Sinema terbaik di Wirzazat. Hanya ini yang paling bisa kulakukan, menulis dan menulis. Sekalipun aku selalu gagal dalam penerbitannya. Orang di depan rumah kembali mengucap salam. Aku kenal baik suara itu. Sarah. Ia teman baikku sewaktu di Aliyah. “Waalaikumussalam, masuk Sar. Pintu tidak dikunci.” Seruku dari dalam. Sarah beringsut masuk dan langsung duduk di sebelahku. Ia menjawil pipiku dengan ceria. “Sudah tahu ada Brad Pitt dan Angelina Jolie, di Wirzazat?” “Aku khusyuk di depan komputer.” Jawabku tidak acuh. “Apa yang kau lakukan dengan para pemain film itu? Mereka memberimu upah sebagai penonton?” “Aku dapat tawaran main film.” Aku sedikit terkejut. Sarah dapat tawaran main film? Bukan sesuatu yang
47
mustahil. Dengan wajah cantik, paras yang elok dan bulu mata yang lentik ditambah ia masih aktif di Aliyahnya, tentunya bahasa Inggris Sarah lebih baik dariku. “Selamat kalau begitu,” jawabku santai. Masih tidak bergeming dari posisi dudukku di depan komputer. “Ambil peran apa disitu?” “Entahlah. Soal peran masih seminggu lagi. Yang jelas hari ini ada sesi pemotretan di center Wirzazat. Depan kantor Sinema. Kamu tidak tahu apapun soal ini?” tanya Sarah. Aku menggeleng. Bahkan tidak punya ketertarikan sedikitpun soal itu. “Aneh. Padahal kamu kan kerja di kantor Sinema.” “Apa sih hebatnya penginput data?” jawabku dengan sinis. “Kalau tidak salah hari ini sesi pemotretan akan ada setelah waktu Dzuhur.” Sarah melihat ke arah jarum jam. “Dua jam lagi kutunggu depan kantor Sinema. Kamu kudaftarkan sekarang. Dah!” “Sarah, tunggu!” Terlambat. Gadis itu sudah melenggang pergi. Tidak terpikir olehku untuk menjadi pemain film. Terlebih sejajar dengan para artis Hollywood. Sangat tidak mungkin. Aku beranjak dari kursiku menuju kamar mandi. Memandang diriku di depan cermin. Hidungku sama bangirnya dengan milik Sarah. Hanya warna kulitku lebih gelap. Potongan tubuhku sedikit gempal karena aku jarang berolahraga. Tidak ada yang bisa kuandalkan dari fisik ini. Hal ini tidak akan terlalu menolongku. Namun kata hatiku berkata lain. Mungkin menjadi penulis hanyalah angan-angan kadaluarsa. Ketika jarum jam menunjukkan angka semakin dekat menuju waktu Dzuhur, sekelebat bayangan Paman Amri dan Hesham menghantui diri ini. Terbayang toko mereka yang nyaris tutup. Dan para penagih hutang dari Iran akan datang menghancurkan toko yang sekaligus menjadi rumah bernaung bagi mereka. Itu tidak boleh terjadi, pikirku.
48
Kulihat
layar
komputerku.
Novelku
sudah
hampir
selesai.
Aku
menyimpannya di dalam flash disk dan mengalungkannya di leher. Sesaat setelah aku berkemas. Gerombolan llama memenuhi padang pasir yang tinggi agak jauh dari lorong-lorong pemukiman di Wirzazat. Tampak kehausan karena memang cuaca benar-benar panas. Teriknya matahari menyengat. Aku memakai krim tabir surya, mengenakan kacamata hitam dan kerudung dari bahan beludru berwarna putih. Berjalan keluar pemukiman menuju center Sinema, tempat banyak orangorang melakukan pembuatan trailer film di sana. “Masuk, masuk…” seru seorang kru film. Mereka melangkah keluar masuk tenda yang didirikan. Seperti para musafir yang berjalan jauh dari satu kabilah ke kabilah lainnya. Mendirikan tenda dan bermalam di atas gurun pasir bermingguminggu lamanya. “Ahlan, silakan masuk… disana, Nona. Oh ya… terima kasih mawarnya. Besok, tunggu besok kabarnya. Andrew! Oh Andrew… sebentar, sebentar.. permisi Pak saya mau lewat.” Yang paling ribet sendiri adalah Chris. Aku mengenalnya karena beberapa bulan yang lalu ia pernah menjadi kru film yang sama di sini. Aku hanya menontonnya dari jauh. Chris berjalan melewatiku yang berdiri canggung memandangi kesibukan para kru. Juga orang-orang Wirzazat yang membuat barisan panjang untuk difoto di dalam tenda. Mereka begitu antusias menjadi bintang film. “You!” seru Chris ketika melewatiku empat kali lebih. Ia berdiri lurus di hadapanku dan memicingkan mata. “Sepertinya kita pernah bertemu tapi dimana…” ia mengangkat telunjuknya ke arah pelipis kanan dengan tangan kiri sebagai penopang siku kanannya seperti berpikir panjang. “Di sini. Di Wirzazat tentunya.” Jawabku. “Ah!” kata Chris. Kru yang memiliki lenggok gemulai itu berjalan maju selangkah ke arahku. Melihat mataku, turun ke leher, melihat gantungan flash disk di leher. “Apa itu?” “Ini flash disk.”
49
“Obviously.” Jawab Chris, “Isinya apa?” “Novel.” “Ah, kamu si penginput data di kantor Sinema. Pasti kerjaanmu duduk depan komputer, bingung mau tulis apa lalu bikin novel. Am I right?” Aku mengangguk-angguk. Chris meraih lenganku dan menarikku ke dalam tenda yang lain. Ia mendudukkanku di sebuah kursi yang lebih mirip kursi festival malam. Menghadapkanku ke depan cermin dan menyuruhku melepas kerudung beludru putih yang masih menempel di kepala. “Sini flash disk nya.” Kata Chris. Aku bingung dengan permintaannya itu. “Mau diapakan?” “Tunggu di sini. Aku akan pinjam sebentar flash disk ini. Mona! Mona! Nah, ya kamu ke sini. Tolong hias penampilannya. Aku akan kembali dalam beberapa menit.” Ujar Chris dengan logat Inggrisnya yang cepat. Ia berjalan lincah keluar tenda sementara Mona yang disuruhnya tadi memegang bahuku dari belakang. Pertama-tama ia memegang rambut ikalku sebahu. Menggulungnya ke atas, seperti punuk unta. Kemudian ia menggerainya lagi. Menyisir perlahan dan membiarkan helai demi helai rambut ini berjatuhan di sisi kedua pipiku. Mona menyentuh kulit wajahku, “Kering sekali,” ujarnya. Aku hanya nyengir kuda. Mona meraih pelembab dan tabir surya untuk wajah dan mengulasnya ke wajahku. Sedikit perona mata berwarna krem kecoklatan ia biaskan pada kelopak mataku dan memberikan sentuhan akhir di bibir, warna peach yang lembut. “Kau sudah siap.” Seru Chris yang tiba-tiba masuk ke dalam tenda. Ia mengembalikan flash disk milikku dengan mimik datar. Di tangannya aku menjumpai beberapa carik kertas. “Apa itu?” tanyaku sambil menunjuk ke kertas yang ia pegang. “Ini kertas, tentunya.” Ia menarikku berdiri dari kursi dan sedikit membenahi kemeja flannel-ku. “Kamu keren.” Chris membawaku keluar tenda dan menderetkanku pada jajaran kru film.
50
Banyak kabel berhamburan di tanah. Aku melangkah hati-hati takut salah pijak atau bahkan tersangkut kabel. Bagiku itu masalah besar, mengingat aku kurang bisa fokus pada keadaan berisik dan ramai. Kabel-kabel ini sedikit mengganggu langkahku. “Ini Andrew. Ia asisten sutradara. Kamu bisa berkenalan lebih dulu.” Kata Chris memperkenalkanku pada Andrew. Lelaki itu menganggukkan kepala, menjulurkan tangan kanannya dan kami bersalaman. “Aku ingin kamu memperbaiki beberapa ejaan di sini dan menerjemahkannya dalam bahasa Inggris. Andrew bisa membantumu. Deadline kita pendek, satu hari harus tuntas. Ok? Selesaikan, ya.” Chris meninggalkan kami yang melongo melihatnya. Ia memberikan kertas yang dibawanya dan meletakkannya di tanganku. “Masya Allah,” gumamku. “Ada apa?” desak Andrew, “Ada yang salah?” Aku menggeleng, “ Ini novelku. Novel yang bahkan belum selesai.” “Jadi kamu tidak tahu kalau novelmu itu akan jadi naskah skenario?” “Maksudmu?” “Chris bilang kamu scriptwriter-nya. Yeah, masih dipertimbangkan sih. Chris sedang memajang poster sayembara penulisan naskah. Tapi sepertinya naskah novelmu sudah diliriknya.” “Kamu sudah baca?” “Sedikit. Tadi sewaktu membantu Chris mencetaknya dari flash disk.” “Sempurna.” Jawabku. Tanpa pikir panjang aku bergegas meraih bolpoin dari sebuah meja tanpa penghuni. Mengerjakan terjemahan novel karanganku yang mungkin tidak pernah lulus penerbit begitu saja. Demi sebuah proyek film yang entah dari mana asalnya bisa nyasar ke karyaku. Entah aku harus menyebut ini mukjizat atau musibah. Setelah gagal menerbitkan buku lima kali lebih, kasus ini seperti mengangkatku ke dunia yang tidak kukenal sebelumnya. Mungkin sebentar lagi aku akan tenar.
51
Bukan sebagai pemain film. Tapi penulis naskah! Malam itu Paman Amri menyambangi rumahku bersama Hesham. Rupanya mereka ikut sesi pemotretan dan bilang kalau ternyata Hesham tidak terpilih sebagai aktor di film layar lebar berjudul ‘Rihlah’. Mereka terlihat sedikit lesu. “Apa yang kau lakukan kemarin di sekitar pemotretan? Kau ikut juga?” “Tidak. Naskahku dipakai untuk film drama yang akan dimainkan artis lain. Tapi proyeknya masih tahun depan. Itupun bersaing dengan naskah-naskah lain yang masuk. Chris, asisten direkturnya belum bilang secara pasti kalau naskahku akan dipakai, tapi ia mengusahakannya.” Jawabku. “Naskah?” Paman Amri melihatku dengan terkejut. “Ya, Chris suka naskahku dan sudah diterjemahkan ke Bahasa Inggris. Aku benar-benar tidak menyangka!” “Subhanallah.” “Ya, aku sangat bersyukur. Setidaknya novelku bermanfaat.” “Setelah bertahun-tahun penantianmu, Nak.” “Alhamdulillah.” Jawabku dengan senyum lebar. Melihat kebahagiaan yang terpancar dari mata Paman Amri, sedikit membuatku lega. “Para penagih hutang itu, kapan mereka datang Paman?” “Entahlah,” jawabnya. Sendu mata lelaki tua itu terlihat tapi ketegaran dan kesabarannya membuat rona wajah mereka terkesan kuat dan bertabah. “Kapanpun mereka datang kami akan membayar semampu kami. Entahlah mencukupi atau tidak.” “Aku berencana akan membantumu melunasi hutang-hutang itu.” jawabku. “Bagaimana caranya?”
52
“Hasil dari penulisan naskah skenario ini tentunya. Pasti bisa membantu.â€? “Kuharap naskahmu sukses. Bukan karena niatmu untuk membantuku, tapi karena memang aku ingin kau sukses Nak. Jangan hiraukan kami, kami juga berusaha semaksimal mungkin. Mungkin sepanjang syuting orang-orang itu, aku akan berjualan teh mawar. Semoga laku karena cuaca panas sekali, kan.â€? Aku mengangguk. Malam itu setelah Paman Amri dan Hesham pulang ke toko mereka, aku duduk kembali di depan komputer. Merampungkan novel untuk dijadikan naskah yang lebih bagus. Beberapa file lama kubuka untuk kutunjukkan pada Chris. Mungkin saja bisa dijadikan bahan pertimbangan jika novelku yang kemarin tidak disetujui direkturnya. Dengan perasaan penuh bahagia aku melepas penatku malam itu.Tidak jadi ikut sesi pemotretan, ditarik menjadi penulis naskah. Senyum terkembang lebar dan mungkin tidak aku rasakan hingga mata ini terpejam dan larut dalam tidur malamku yang paling nyenyak semenjak kedua orangtua meninggalkanku. ďƒŹ Lorong-lorong di Wirzazat mendadak penuh karena ramai orang. Seakanakan berdatangan dari cabang terowongan yang lain. Pintu-pintu toko sudah terbuka lebar, semua penghuninya berdiri di luar toko sambil menjajakan dagangan mereka seperti biasa. Para pemuda yang kebanyakan kemarin kulihat di sesi pemotretan berkumpul disitu. Tidak sedikit juga kaum hawa yang seliweran di sana. Mereka
melihat
iklan
sayembara
yang
dipasang
Chris
kemarin.
Menyebalkan memang, aku jadi punya saingan. Tapi Chris sudah menandai karyaku. Kemungkinan besar akan dipakai. Lagi pula bukankah proyek itu butuh cepat untuk bulan depan? Kesempatan ini akan kugunakan sebaik mungkin. Pagi itu aku menyiapkan makan siang di dalam keranjang yang kubawa ke tempat Chris dan rekan-rekan kru film-nya mengerjakan trailer dan dokumentasi. Berharap bisa makan bersama Andrew di sana sembari mendiskusikan naskah. Aku tahu dia sangat peka dan cermat. Ia bisa menjelaskan bagian-bagian
53
terpenting, menarik dan kurang bagus yang ada dalam naskah novelku. “Kupikir akan matang sekali jika dalam novelmu diberikan sedikit karakter tambahan pada tokoh utamanya.” Saran Andrew. Mulutnya mengulum helwa yang kubuat dan tangannya sibuk mencoret-coret bagian cerita yang menurutnya kurang ‘berkesan’. “Aku bawa beberapa novel lagi untuk dijadikan pertimbangan jika novel ini kurang bagus di hadapan direktur.” “Well, aku hanya seorang editor naskah skenario.” “Kulihat orang-orang di jalan tertarik dengan sayembara penulisan naskah itu.” “Ya, mereka semua sangat antusias. Sama sepertimu.” “Tidak di bagian ini sebenarnya,” jawabku, “Awalnya aku berinisiatif untuk bisa ikut sesi pemotretan. Sarah sahabatku mendaftarkanku di sana.” “Oh begitu. Sayang sekali, pendaftarannya sudah tutup kemarin. Kalau hari ini masih ada pemotretan kamu bisa ikut. Tapi sekali lagi, sayang sekali.” “Tidak apa. Aku masih berharap soal naskah ini.” “Aku berusaha sebaik mungkin untuk membantumu.” “Bagaimana dengan naskah novelku yang lain? Mau dilihat dulu?” “Sebaiknya tidak. Naskah yang ini diselesaikan dulu kemudian akan kuperlihatkan pada Chris dan Chris sendiri yang akan memberitahukan pada Direktur.” “Aku sangat berharap.” “Kurasa setelah hari ini kamu bisa menunggu di rumah. Minggu depan kita akan tahu hasilnya. Selama sepekan inilah kami akan mengoleksi karya-karya yang ada dari iklan sayembara.” “Aku akan menunggu.” Jawabku dengan senyum merekah. Meraih tas dan memasukkan lembar-lembar novel yang sudah dikoreksi Andrew. Aku melenggang
54
pergi sesaat setelah Andrew berdiri dan berkata, “Helwa-nya enak. Sampai jumpa minggu depan.” Pengumuman seleksi naskah yang diterima direktur film layar lebar itu tinggal dua hari lagi. Selama itu aku berkutat di rumah, membuat beberapa naskah
ditemani
Sarah.
Gadis
itu
membaca
beberapa
naskahku
dan
mengomentari beberapa bagian. Cukup menyenangkan bisa membuat tulisan dan dikritik langsung oleh orang lain. Sarah selalu tersenyum, mengatakan bahwa karya-karyaku ini sangat hebat. Terutama novelku yang berjudul ‘The Life’. “Akhirnya kau diterima jadi bintang film?” tanyaku pada gadis itu. Sarah mengangguk. Senyumnya merekah. “Alhamdulillah. Judul filmnya Girl From Wirzazat.” Jawabnya. “Apakah kamu akan menyertakan novel-novel ini di sayembara itu?” “Tidak, aku sudah memasukkan satu novel. Ini hanya cadangan.” “Kalau novelmu itu lulus seleksi dan dipakai jadi skenario akan kamu gunakan untuk apa royaltinya?” tanya Sarah. Ia memang selalu ingin tahu. “Membantu
Paman
Amri
dan
Hesham.
Insya
Allah.
Bagaimana
denganmu?” “Oh,” Sarah terlihat menunduk, “Aku ingin beli barang-barang kebutuhan sekolah. Mungkin buku-buku tambahan atau bisa juga baju baru.” Aku melihatnya lurus tepat di matanya dan ia terkesan menyembunyikan sesuatu. Sarah memang suka bersekolah tapi bukan untuk belajar setekun itu. Aku yakin ia menginginkan sesuatu. “Aku yakin kamu ingin membeli sesuatu dengan uang itu. Bukan sesuatu yang berkaitan dengan sekolah, tentunya. Tapi kalau kau tidak mau cerita tidak masalah bagiku. Aku akan menghargainya.” Ujarku sambil menatapnya lekat. Ia mengangguk seakan-akan hendak mengucapkan terima kasih. Sarah berdiri, hendak kembali ke rumahnya namun ia menghentikan langkah ketika aku memanggilnya.
55
“Tolong koreksi novelku yang berjudul The Life. Kamu suka kan novel yang ini? Ada di dalam flash disk ini.” Kataku sambil menyerahkan flash disk. “Keberatan?” “Tidak. Sama sekali.” Jawab gadis itu. “Ada lagi yang bisa kubantu?” “Tidak itu saja. Terima kasih, Sarah.” kataku, “Oia Sarah, ada lagi.” Aku nyengir kuda ketika ingat belum mengucapkan sesuatu pada Sarah ketika tahu gadis itu bakal main di film layar lebar. “Selamat ya!” Sarah tersenyum simpul. Mengangguk dan keluar menuju pintu. “Assalamualaikum,” “Siapa namamu?” tanya seorang panitia di depan pintu tenda. Aku memandangnya kesal. “Sudah kusebutkan tadi. Sabila.” “Baik, Sabila. Dengan sangat menyesal kami sampaikan, karya Anda sangat bagus tapi belum beruntung. Kami sudah menentukan pemenangnya.” “Boleh saya tahu siapa pemenangnya?” tanyaku. Separuh hati ini sudah bergetar cukup hebat. Karyaku ditolak lagi, itu sudah biasa memang. Rasa sedih mungkin
bisa
diatasi
lain
waktu,
aku
hanya
penasaran
siapa
yang
memenangkannya. “Pemenangnya bernama Sarah. Ia juga mengirimkan dalam bentuk novel. Judulnya The Life.” “The Life?” jeritku. “Kapan ia mengirimkannya?” “Kemarin. Dan karyanya sungguh fantastis.” “Tapi, bukankah ia sudah diterima menjadi pemain di film layar lebar ‘Girl From Wirzazat’?” itu seingatku. Ya, Sarah bilang ia memerankan sebuah peran di film itu. Panitia itu mengernyitkan dahi. “Setahuku tidak ada judul film seperti itu, Nona Sabila. Kami hanya memproduksi dua film tahun ini. Sebuah film layar lebar berjudul Rihlah dan film dokumenter yang belum diberi judul.”
56
Aku bergegas menuju rumah Sarah. Dalam hati ini ingin sekali aku mendampratnya. Setiap lorong yang berkelok-kelok kutempuh dengan berlari dan berurai air mata. Berharap segera bertemu gadis itu, gadis yang mengaku sahabatku. Justru seorang yang merusak hidup dan karirku pelan-pelan dan terselubung. Aku sudah siap-siap mencaci di depan pintu Sarah ketika pintu itu kuketuk cukup keras. Seorang wanita tua keluar dari rumah itu; berpakaian kumuh, terbungkuk dan terbatuk-batuk. “Sabila?” sapa wanita tua itu yang ternyata adalah ibunya Sarah. “Masuklah.” Ia menyuruhku masuk. Aku diam di depan pintu. Bingung untuk berkata apa. Wanita itu masih terbatuk-batuk. “Sayang sekali Sarah tidak ada di rumah.” Katanya. Aku masih diam. Wanita itu berkata lagi, “Mungkin ada pesan yang ingin kau titipkan, Nak?” Aku menggeleng pelan, “Tidak, Bu. Kira-kira kemana Sarah pergi?” Ibunya Sarah meraih kursi kecil dan menaruhnya di depan pintu. Kemudian ia duduk di situ. “Sudah dua hari ini ia selalu berada di pusat Wirzazat, menjual roti. Aku sudah tua, sakitku mungkin bertambah parah—aku tidak tahu. Seperti yang kau lihat sekarang. Apa pendapatmu?” Kulihat tubuh ibunya Sarah dengan mata nanar. Berharap bisa memaklumi apa yang telah dilakukan sahabatku itu demi ibunya. Aku berusaha untuk merelakan sekalipun itu harus dibayar dengan habisnya Klan Hesham bin Amri bin Abdullah.
(Untuk Ayyida Sabila)
57
58
Gelora Oleh : MK. Wirawan
59
QuickTime™ and a decompressor are needed to see this picture.
Hujan lagi. Menjadi penghuni kamar nomor enam Wisma Surya cukup membuatku ngeri dengan kondisi cuaca yang belakangan ini kurang bersahabat. Pintu belakang kamarku mengarah langsung dengan langit terbuka, seakan-akan
60
kilat yang menyambar menjadi tamunya. Meja kerjaku penuh dengan buku-buku ketika kuhampiri, mencoba mencari kesibukan yang efektif di saat mendung seperti ini. Meskipun aku tahu beberapa menit lagi taksi langgananku akan tiba di depan wisma dan membunyikan klakson berisik dengan tidak sabarnya. Supirnya orang Jawa Timur, berpenampilan rapi dengan rambut disikat agak klimis. Karena pembawaan budaya daerahnya itulah ia jarang sekali diam, mengoceh di dalam mobil yang ia kendarai sambil memberitahukan letak restauran atau kafe dari tarif murah sampai mahal, dari yang kurang enak, enak sampai tidak layak disebut rumah makan. Satu hal yang kusukai dari supir taksi langgananku adalah hobinya itu, kuliner. Memberikan wawasan bagiku mengenai kuliner kota Solo. Seperti yang kukatakan, taksi itu tiba dan membunyikan klaksonnya dua kali. Bunyi berisik bagiku. Aku bergegas menuju taksi dan seperti biasa, terjadi percakapan cukup panjang dengan si supir. “Rupanya ingin berobat ya Dik,” jawab si supir. Ia lebih suka memanggilku dengan sebutan adik setelah tahu aku berasal dari Jakarta. “ Betul sekali, Pak Hery.” Jawabku, “sudah lama ingin berobat tapi tidak sempat terus,” “Kalau boleh tahu Adik sakit apa?” “Semacam penyakit paru-paru… anu.. Pneumonia,” jawabku hati-hati. “Oh… paru-paru basah ya Dik! Saya punya langganan juga yang mengerti penyakit seperti itu.” “Penderita pneumonia juga?” “Oh bukan, maksud saya, beliau seorang dokter dan dosen. Satu universitas dengan Adik. Beliau mengajar di Fakultas Kedokteran,” “Hmm.. begitu rupanya. Banyak sekali langganan Pak Hery ini ya, kemarin bercerita langganan Bapak yang suka belanja batik di Kampung Batik Laweyan, kemarinnya lagi langganan Bapak yang tergila-gila dengan Gudeg Margoyudan. Kalau dibikin cerita pendek tidak akan cukup. Ditambah lagi cerita hari ini tentang seorang dokter.”
61
Pak Hery terkekeh. Kami sempat diam sejenak setelah melakukan percakapan ringan. Terkadang saat di lampu merah, orang tua itu akan tertawa lebih dulu sebelum mengisahkan apa yang ingin ia ceritakan. Pernah beliau berkisah tentang seorang pemuda berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang mencegatnya di bandara Adi Soemarmo, meminta padanya untuk diantar ke Sarangan. Penampilan yang necis, handphone model terkini dan gaya bicara khas orang Jakarta sambil menenteng dua koper besar dan sejinjing sepeda lipat seharga puluhan juta. Ternyata sampai di Sarangan malah minta diantar ke Madiun untuk menemui seorang wanita. Pak Hery bilang agaknya itu selingkuhannya karena bertemu pun tidak berani di luar hotel, mereka bertemu di dalam hotel dan ketika wanita itu hendak di ajak kembali ke Sarangan, Pak Hery hanya menilai bahwa perempuan itu tidak lebih dari delapan belas tahun yang menutupi wajahnya dengan syal berwarna abu-abu muda. “Ya seumuran Adiklah!� begitu Pak Hery menjelaskan. Saat itu ia takut tidak dibayar argonya karena lelaki itu sempat menyuruhnya menunggu. Tapi lelaki itu memberinya segepok uang bahkan lebih dari yang terpampang di argo. Menunjukkan bahwa ia akan membayar semuanya dengan lunas. “Akhirnya setelah ia menaruh sepedanya di bengkel sepeda dan mengantar sang wanita kembali ke Madiun ia minta diantar kembali ke Adi Soemarmo. Saya gelenggeleng kepala, dari mana uang sebanyak itu ia dapatkan? Hanya dipakai untuk seharian saja sudah berjuta-juta habisnya. Belum lagi kalau mau dihitung uang makan dan uang belanjaan pacarnya. Tapi saya tidak ingin ikut campur. Saya hanya merasa, Tuhan melukiskan banyak kejadian di dunia ini di hadapan saya sekalipun saya tidak beranjak dari dalam taksi.� Saat itu wajahnya terlihat lebih kalem dari biasanya dan ia agak tenang. Mobil berhenti tepat di depan rumah sakit, aku meminta beliau untuk menunggu. Aku bergegas masuk dan menuju ruang poli dokter spesialis internis, dokter Ratna. Setelah mendapat rujukan untuk rontgen thorax, aku menunggu hasilnya dan mendapatkan resep serta hasil diagnosa. Aku kembali ke dalam taksi dan berbincang dengan pak Hery sampai tiba di depan wismaku kembali. Aku mencari-cari kertas resepku. Ternyata tertinggal di dalam taksi. Pak Hery menelpon dan memberitahukan bahwa resepku ada bersamanya beserta
62
hasil diagnosa dan kebetulan beliau sedang mengantar sang dokter langganannya keluar kota. Aku mengiyakan dan bilang padanya tidak mengapa jika aku harus menunggu resep itu sampai akhir pekan. Toh aku akan meminta pak Hery mengantarku lagi di hari minggu karena beberapa urusan penting di Sragen. Seperti yang dijanjikan oleh pak Hery, kami bertemu akhir pekan dan beliau menceritakan perjalanannya dengan si dokter spesialis. “Berhubung saya tidak sempat memberikan resep ini kepada Adik pada awal pekan, saya menyimpannya di balik kaca depan mobil agar mudah mengingat bahwa saya harus mengantarnya kepada Adik. Kebetulan dokter spesialis yang saya antar keluar kota kemarin melihat resep dan hasil diagnosa itu. Saya jelaskan padanya kalau itu kepunyaan Adik, dan saya sedikit menceritakan tentang Adik dan penyakit yang Adik derita. Tidak apakan?” “Ah ya, santai saja Pak. Lalu bagaimana kelanjutan ceritanya?” “Yah akhirnya dokter itu melihat hasil rontgen Adik, dan katanya ia bisa menolong Adik menebus resep obatnya di rumah sakit ia bekerja. Ini obatnya, sudah ditebus dokter langganan saya.” Sesampainya di wisma, aku hampir lupa dengan obatnya. Kubuka plastik obat itu, ada secarik kertas di dalamnya, “Minum yang teratur, semoga cepat sembuh. Salam sehat, dokter Reza.” “Dik, kata dokter langganan saya itu, abonnya enak. Dia pikir Adik yang bikin.” Ujar pak Hery suatu hari saat mengantarku ke Taman Budaya Jawa Tengah. “Oh, itu beli di sebuah toko oleh-oleh Pak. Syukurlah kalau Dokter Reza suka.” Jawabku dengan sumringah. “Adik tahu dari mana kalau namanya Dokter Reza?” “Anu…
Beliau
menyebutkan
namanya
di
secarik
kertas
dan
memasukannya ke dalam plastik obat.” Pak Hery tersenyum-senyum sendiri. Seperti mengetahui bahwa sesuatu akan terjadi. Mobil terus melaju hingga akhirnya tiba. “Tolong tunggu di sini ya
63
Pak. Saya hanya sebentar saja, menjemput teman saya. Ia mau ikut saya ke wisma dan berbincang-bincang soal produk kesehatan. Barangkali teman saya ini bisa jadi langganan Bapak juga.” Pak Hery memarkir taksinya di parkiran mobil dan menungguku disana. Tidak lama aku membawa temanku ke dalam taksi. Seorang lelaki berusia tiga puluh tiga tahun berlari-lari kecil memanggil taksi yang sudah dipesannya melalui layanan pesan pendek. Di sisi kanannya juga berlari-lari kecil seorang gadis dengan wajah penuh peluh. Tanpa mereka sadari, keduanya membuka pintu taksi yang sama dari pintu yang berbeda dan terkejut ketika mendapati keduanya saling berpandang mata di dalam taksi. Si supir yang ikut kaget menengok ke belakang dan memandangi kedua penumpang yang samasama kebingungan. “Maaf Mba, saya sudah booking taksi ini lebih dulu. Coba tanya saja dengan supir taksinya.” “Saya juga sudah booking, Mas. Kalau tidak percaya Mas boleh tanya dengan supirnya juga. Ya kan Pak Hery?” Si supir tiba-tiba tertawa lebar dan terbahak-bahak. Kemudian dengan sedikit masih berguncang-guncang sebab tawanya yang luar biasa geli, ia berkata, “Selamat datang Dokter Reza dan Dik Mira, Anda berdua sama-sama mengirim pesan pendek melalui handphone saya. Dan inilah yang akhirnya Tuhan takdirkan. Dokter dan pasiennya akhirnya bertemu juga.” Siang itu aku mengenal dokter Reza yang sebenarnya. Bukan dari cerita pak Hery. Juga tidak hanya membayangkan seperti apa orangnya. Berbagai kisah dan kesempatan-kesempatan unik, tragedi dan perstiwa bisa saja terjadi dimanapun. Termasuk untuk siapa kisah-kisah itu ditujukan. Kepada aku yang tidak pernah terbesit akan pertemuan manis, kepada dokter Reza yang selalu terburu waktu, juga pada pak Hery meski ia hanya berkutat di dalam taksi.
64
Terima kasih untuk taksi langgananku yang supercepat dan memberi warna dalam kisah-kisah hidupku, Taksi Gelora, Surakarta.
Keluarga Hollar Oleh: MK. Wirawan
65
QuickTime™ and a decompressor are needed to see this picture.
66
Menjelang natal, Nathan Von Bleuler tidak banyak beraktivitas. Ia masih membuka praktek medisnya di seberang Upper Harley Street, di sebuah apartemen yang cukup luas. Nathan tidak berkeluarga. Usianya sudah cukup tua, sekitar empat puluh lima tahun. Masa mudanya ia habiskan menjadi relawan pada banyak lembaga kesehatan dan kemudian ditarik ke posko-posko kesehatan yang dibuka Florence Nightingale sewaktu perang Krimea tahun 1854. Ketika resmi menjadi dokter, Nathan kembali ke London dan membuka praktek di apartemennya. Tidak banyak yang dilakukan pria lajang seperti Nathan. Ia hanya mondarmandir ketika perlu menghangatkan badan di dekat perapian dan kembali lagi ke meja kerjanya untuk melihat kasus-kasus yang sudah lalu. Ia selalu mencatat semua kasus tentang penyakit dan berbagai masalah kesehatan dalam lembaran tebal yang menumpuk di atas meja. Saat itu salju turun di London. Banyak pasien yang datang untuk diperiksa. Ia mencatatnya sebagai penyakit ‘musim dingin’ yang merebak di akhir tahun 1870. Merangkum semua catatan penyakit itu dan merapikannya. Menjilid lembaran-lembaran itu dalam diktat yang besar dan memasukkannya dalam deretan buku-buku medis di rak. Nathan berdiri ke arah kaca apartemennya. Memandang sepanjang jalan yang diselimuti salju sambil menyeruput secangkir teh. Pandangannya tertuju pada sebuah toko mainan anak yang berada di seberang apartemen tempat ia berada. Toko mainan yang berisi ribuan kado natal, cokelat dan pohon-pohon natal. Cukup banyak pengunjung. Ramai bangsawan membeli keperluan natal di situ. Mereka datang dengan kereta kuda yang berbaris rapi di depan toko. Ketika berjalan, roda-roda kereta kuda tersebut membentuk garis-garis yang saling bertabrakan dan tumpang tindih. Pemandangan yang sangat menarik dari kaca apartemen. Nathan duduk di kursi, melonggarkan sejenak pakaian tebal yang membalut tubuh dan syal yang menutup leher. Ia menambah kayu bakar ke dalam perapian, membuat suasana remang di apartemen itu sedikit terang. Waktu menunjukkan pukul enam petang ketika pintu apartemen Nathan diketuk dari luar. Lelaki itu bangkit dari kursinya dan memegang knop pintu,
67
memutarnya dan menjulurkan kepala keluar. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan logat Inggris yang sopan. Nathan melihat seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh empat tahun berdiri di ambang pintu sambil memeluk tubuhnya sendiri. Wanita itu kurus, postur tubuhnya tinggi dengan balutan mantel abu-abu dan sarung tangan yang berwarna sepadan dengan mantel. Topi lebarnya dihiasi selembar bulu elang yang terlihat eksentrik. Menunjukkan dengan jelas bahwa wanita tersebut adalah seorang bangsawan. “Anda Tuan Bleuler?” tanya wanita itu. Nathan mengangguk. Kali ini ia membuka pintu sedikit lebih lebar. “Perkenalkan, saya Marianne Norah Hollar. Saya hendak menceritakan sesuatu pada Anda tentang kedatangan saya kemari. Tapi setelah Anda mengizinkan saya masuk. Astaga—dingin sekali di sini.” Nathan
mempersilakan
wanita
bangsawan
itu
masuk
ke
dalam
apartemennya dan tanpa di persilakan wanita itu langsung duduk di dekat perapian. Mengusap-usap tubuhnya di sana dan Nathan melihatnya dari belakang. Wanita itu sadar bahwa ia sedikit lancang dan berpaling menghadap Nathan. Ia melepas topinya yang diselimuti serpihan salju dan meletakkan begitu saja di lantai. “Maaf atas gangguan ini, Tuan Bleuler.” “Tidak apa, Nyonya Hollar.” “Sebenarnya saya hendak menceritakan sesuatu kepada Anda. Tentang penyakit saya. Boleh saya langsung bercerita?” “Silakan.” Jawab Nathan. Ia selalu bertindak kalem. Wanita itu tidak melanjutkan ceritanya. Malah membuka mantelnya dan Nathan sedikit terganggu dengan tindakan wanita itu. “Maaf, apa yang Anda lakukan?” Nathan berpikir wanita itu sudah hampir gila. Datang begitu saja, masuk dan langsung duduk dalam apartemennya sebelum dipersilakan. Dan kini membuka mantel di hadapannya. Sungguh Nathan tidak habis pikir dibuat olehnya. Wanita itu menggeleng, “Jangan
68
bertanya dulu, Tuan Bleuler. Saya hanya ingin menunjukkan ini.” Nyonya Hollar menunjukkan ruam-ruam yang ada di kulitnya. Ia hanya memakai pakaian dalam yang menutupi dada dan perut, celana panjang di balik mantel panjangnya tidak ia lepas. Ruam-ruam itu berwarna merah, seperti lentingan yang berisi cairan putih di dalamnya. “Saya diusir oleh suami saya karena penyakit ini.” Nyonya Hollar menundukkan wajahnya dan mulai menangis. “Saya datang jauh-jauh ke sini dengan kusir pribadi. Ia terpaksa harus menunggu di ujung jalan karena banyak kereta di sepanjang apartemen Anda. Saya berlari sendiri ke sini dan dengan penuh penyesalan saya harus menunjukkan ruam-ruam ini pada Anda.” “Anda berasal dari mana, Nyonya?” “Surrey.” Katanya. Tangisnya mulai mereda kemudian meraih kembali mantelnya dan memakainya lagi. Nathan beranjak dari kursinya. Membuka catatan penyakit beberapa tahun lalu dan mencari-cari kasus ruam melenting yang dialami Nyonya Hollar. “Penyakit ini mewabah pada tahun 1853. Juga penyakit yang sama mendera selama perang Krimea. Selama di rumah, apa yang Anda lakukan dengan ruam ini?” “Saya mengolesinya dengan campuran air, garam dan soda. Menurut banyak orang itu bisa mengempiskan lenting.” “Lentingan dan ruam yang memerah ini bukan seperti luka akibat terkena panas atau akibat terciprat air panas.” Ujar Nathan, “Tubuh Anda terasa demam?” “Benar. Ditambah cuaca ekstrem seperti ini.” “Berdasarkan catatan yang pernah saya buat, penyakit Anda memiliki gejala yang sama dengan penyakit cacar air.” Nathan ingat betul, waktu itu bulan Oktober tahun 1854. Wabah cacar melanda di Scutari, berseling dengan penyakit kolera. Ia membuat resep untuk penyakit itu. “Anda terjangkit virus Varicellazoster. Sistem kerjanya menyerang sistem kekebalan tubuh.”
69
Tidak lama pintu apartemen dokter itu kembali diketuk. Nathan baru hendak berdiri dan membukakan pintu namun tamunya sudah membukanya lebih dulu dan berdiri dengan sangar di depan pintu. “Marianne!” seru tamu itu. Nyonya Hollar terlihat terkejut dengan kehadiran suaminya. Dua orang pengawal Tuan Hollar beranjak mendekati Nyonya Hollar. Wanita itu memakai topi berbulu elang dan dengan pasrah tanpa perlawanan sama sekali menyerahkan dirinya pada dua pengawal itu. Mereka membawa Nyonya Hollar keluar ruangan. Nathan mengangguk ke arah Tuan Hollar. Bangsawan itu hanya melihatnya dengan tatapan tajam. Sejurus kemudian ia maju selangkah dan berkata dengan suara berat. “Tuan Bleuler maaf atas ketidaksopanan ini.” Ujarnya. Tiba-tiba tatapan matanya melembut. “Saya akan mengantar pulang istri saya. Ia harus di rawat di Rumah Sakit Upper Harley Street. Beberapa waktu lalu saya sudah membawanya pada seorang ahli kejiwaan yang sama seperti Anda dan dengan perkiraan ia mengalami gangguan jiwa, ia harus masuk ke dalam rehabilitasi.” “Nyonya Hollar bilang kalau Anda mengusirnya.” “Tidak demikian, Tuan Bleuler.” Ujar lelaki itu. Dalam sekejap ia terlihat sangat prihatin dan menyedihkan. “Saya ingin ia direhabilitasi. Tapi kemudian ia melarikan diri karena tidak mau. Istri saya melarikan diri ke sebuah pemukiman penduduk di daerah pedesaan yang sedang terjangkit cacar air. Kurang lebih seminggu ia berada di sana. Pengairan di sana sangat buruk. Bahan pangan pun sangat terbatas. Ketika ia kembali, ia sudah sakit. Saya berusaha membawanya langsung ke Upper Harley Street tapi ia merasa saya mengusirnya.” “Saya tidak mengerti, kenapa istri Anda melarikan diri ke pedesaan?” Tuan Hollar menoleh ke kanan dan ke kiri memastikan tiada seorang pun yang akan mendengarnya. “Saya akan menjelaskannya kepada Anda. Tapi saya mohon Anda bisa merahasiakan hal ini.” Kemudian ia menutup pintu dan beranjak ke arah kursi tamu. “Boleh saya duduk?” “Silakan.” “Istri saya mengandung anak kami yang pertama. Keduanya kembar.
70
Namun sayang sekali, keduanya lahir cacat. Kami meninggalkan keduanya di desa yang berbatasan dengan Surrey. Diasuh oleh seorang pelayan kepercayaan kami. Tanpa kami ketahui, ternyata desa itu terjangkit wabah cacar air beberapa waktu ini. Istri saya dikabarkan oleh pelayan kami bahwa salah satu anak kami meninggal dunia karena wabah itu. Istri saya terguncang jiwanya dan memaksakan diri untuk pergi ke sana. Tapi saya melarangnya karena saya takut akan menjangkitinya. Dan benarlah. Ketika kembali, ia sudah terjangkit virus yang sama. Ia membawa pulang putra kami yang masih hidup dan juga terjangkit cacar air. Namun saya melarangnya dan memulangkannya lagi ke desa. Ia pun minggat dari rumah dan setelah saya telusuri ternyata ia pergi ke sini. Anda sangat terkenal dengan bintang relawan perang Krimea yang Anda raih. Ia meyakini kalau saya mengusirnya karena saya jijik kepadanya. Padahal bukan itu yang saya maksud.” “Lantas apa maksud Anda?” “Saya hanya ingin ia sembuh dari penyakit jiwanya.” “Maaf sebelumnya, Tuan Hollar. Tapi yang tidak saya mengerti, kenapa harus menitipkan kedua putra kembar Anda di sebuah desa seberang Surrey dan memisahkannya dari ibu kandungnya sendiri?” “Saya tahu itu perbuatan keji, namun Anak yang lahir cacat merupakan hambatan bagi kepentingan politik saya saat itu. Semua keturunan Hollar tidak boleh ketahuan cacat. Itu akan menghambat posisi saya.” “Anda benar-benar keterlaluan Tuan Hollar. Maaf saya harus mengatakan demikian.” Kata Nathan. Ia menyulut cerutunya dan merokok dengan santai di depan bangsawan yang terlihat frustasi itu. “Apa yang harus saya lakukan, Tuan Bleuler?” “Sebagai dokter, sebelum saya mengetahui riwayat penyakit jiwa Nyonya Hollar, saya hanya memastikan bahwa ia terjangkit cacar air dan memberikan preskripsi untuknya. Tapi jika dilihat kasus seperti ini, saya punya saran selain menebus resep yang saya berikan.” “Katakan saja, katakan saja.”
71
“Anda harus membiarkan Nyonya Hollar mengurus putranya yang terjangkit cacar air. Keduanya harus dirawat secara intensif. Nyonya Hollar dan putra Anda yang masih hidup harus diselamatkan dari wabah ini. Lagipula, jika putra Anda tinggal serumah dengan Anda di Surrey sudah bukan masalah lagi kan?” “Iya. Tapi akan sulit bagi saya untuk menjelaskannya pada khalayak umum.” “Tuan Hollar,” kali ini Nathan benar-benar diluar batas kesabaran, “Jika Anda tidak keberatan, izinkan saya untuk melihat seberapa cacat anak Anda dan mungkin saya bisa membantu Anda melakukan solusi lain.” “Seperti apa solusi itu?” “Membakarnya hidup-hidup beserta istri Anda.” “Astaga—demi Tuhan jangan! Jangan Tuan Bleuler. Baiklah, baiklah, saya akan membawa anak saya kembali ke Surrey.” Kata Tuan Hollar dengan berlinang-linang air mata. Ia berdiri, merapikan jas dan mantelnya. “Saya rasa, saya telah menyita banyak waktu Anda.” “Tidak apa, Tuan Hollar. Saya harap Anda mau melakukan kebaikan ini. Tentu dengan begitu saya yakin istri Anda akan kembali normal dan tidak perlu direhabilitasi. Masalah cacatnya putra Anda, bagaimanapun—yah, Anda adalah ayah kandungnya. Cepat atau lambat masyarakat dan pejabat-pejabat akan memahami Anda.” “Saya harap demikian.” Tuan Hollar mengulurkan tangannya, menjabat tangan Nathan. Keduanya berpisah di depan apartemen. Nathan kembali ke dalam ruangannya. Memasukkan beberapa kayu bakar ke dalam perapian dan duduk santai sambil menghisap cerutunya. Tidak lama, sepekan kemudian ada bingkisan dari Surrey. Nathan Von Bleuler membuka bingkisan itu. Di dalamnya ia menemukan sebingkai foto keluarga Hollar beserta putra mereka yang masih hidup serta sepucuk surat dari Tuan Hollar.
72
“Selamat Hari Natal.� Demikian bunyi suratnya. Nathan Von Bleuler tersenyum. Memasang foto itu dalam jejeran pigura yang terpampang di dindingnya. Menikmati masa tua dengan perapian yang hangat. Menikmati hidup dalam lahirnya Natal.
Untuk Bernadette Lea Amandine Kristiawan Sebagai permohonan maaf
73