Hapuskan Stigma dan Diskriminasi Terhadap Kusta NOME -NEWS OF MEDICAL EDUCATION - JANUARY 21st 2021 Halo sobat NOME! Hari kusta sedunia diperingati setiap tanggal 25 Januari dengan tujuan untuk menghilangkan atau mengubah pandangan masyarakat terhadap penderita penyakit kusta. Orang dengan penyakit kusta memerlukan seluruh perhatian masyarakat karena saat Ini Indonesia berada di nomor tiga di dunia dengan penderita kusta terbanyak setelah India dan Brasil (World Health Organization [WHO], 2019) Kemenkes targetkan eliminasi kusta pada 2020 dan hal tersebut belum bisa terealisasi dengan baik. Kusta bukan hanya sekadar masalah klinis, tetapi juga masalah sosial. Diskriminasi beserta stigma yang belum benar-benar hilang akan mempersulit proses eliminasi total. Sebab,kedua hal tersebut "World Health Organization- Weekly Epidemiological Record. Geographical bisa membuat pasien dan keluarganya distribution of new leprosy cases, 2016". enggan berobat,sehingga penyakit terus berlanjut dan penularan tidak dapat dihentikan. Lalu, apakah penyakit kusta itu? Apakah penyakit kusta merupakan penyakit keturunan dan akibat dari kutukan? Penyakit kusta bukanlah penyakit kutukan. Kusta/Lepra/Morbus Hansen adalah suatu penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Bakteri ini dapat ditularkan melalui droplet atau percikan cairan dari hidung dan mulut pada saat kontak langsung secara terus menerus dalam waktu yang lama dengan pasien kusta (WHO, 2019). Penyakit ini menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf, kulit, dan mukosa saluran pernafasan atas. Sehingga gejala tidak langsung muncul jika seseorang terpapar oleh bakteri ini, gejala dapat muncul dalam satu tahun tapi juga bisa muncul setelah lima tahun atau lebih. Gejala awal kusta tidak selalu tampak jelas. Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena cacat tubuh. Gejala pada kusta terjadi dalam beberapa tahap diantaranya: 1.
2. 3.
Tahap awal kusta, gejala yang timbul dapat hanya berupa kelainan warna kulit. Kelainan kulit yang dijumpai dapat berupa perubahan warna seperti hipopigmentasi (warna kulit menjadi lebih terang), hiperpigmentasi (warna kulit menjadi lebih gelap), dan eritematosa (kemerahan pada kulit). Tahap lanjut, kasus kusta dapat berkembang menjadi perubahan bentuk kulit berupa penonjolan kulit. Bahkan pada kasus tertentu membuat penyandang kusta kehilangan bentuk wajah aslinya karena perubahan kontur kulit. Hilangnya sensasi rasa di kulit. Sehingga penyandang kusta mudah sekali terkena luka karena tidak muncul rasa sakit ketika luka terjadi.
NOME -NEWS OF MEDICAL EDUCATION - JANUARY 21st 2021 MEDICAL STUDENTS COMMITTEE FOR INTERNATIONAL AFFAIRS
NOME -NEWS OF MEDICAL EDUCATION - JANUARY 21st 2021
Walaupun gejala yang ditimbulkan berat, tidak semua jenis kusta bisa menular lho. Kusta dikategorikan menjadi dua, yaitu : 1.
Kusta kering atau pausi basiler (PB) yang ditandai dengan adanya bercak putih seperti panu dan mati rasa, permukaan bercak kering dan kasar, tidak tumbuh rambut, bercak pada kulit antara satu sampai lima lokasi. Ada kerusakan saraf tepi pada satu lokasi bercak, namun hasil pemeriksaan bakteriologis negatif. Kusta PB tidak menular.
2.
Kusta basah atau multi basiler (MB) yang ditandai dengan bercak putih kemerahan yang tersebar di seluruh kulit dari tubuh penderita, terjadi penebalan dan pembengkakan pada bercak, bercak lebih dari lima lokasi, terdapat banyak kerusakan saraf tepi, dan hasil pemeriksaan bakteriologi positif. Kusta MB sangat mudah menular.
Kusta dapat diobati dan jika ditangani lebih cepat maka dapat mencegah kecacatan. Di Indonesia, pengobatan pasien kusta dengan multidrug therapy (MDT) yaitu beberapa macam antibiotik (Kementerian Kesehatan, 2018). Akan tetapi, kusta yang tidak ditangani atau tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, saraf tepi, anggota gerak, dan mata (WHO, 2019). Kerusakan permanen atau kondisi cacat yang dialami oleh pasien kusta memicu stigma masyarakat pada pasien kusta baru maupun pasien kusta yang sudah sembuh. Stigma adalah pandangan negatif dan perlakuan diskriminatif. Stigma menghambat pasien kusta maupun pasien yang sudah sembuh dan keluarga untuk menikmati kehidupan sosial sebagaimana mestinya. Yuk, sama-sama dukung program eliminasi kusta pada 2021. Hilangkan stigma dan diskriminasi terhadap kusta!
Inspired from 1.
Kementerian Kesehatan. (2018). Infodatin: Hapuskan stigma dan diskriminasi terhadap kusta. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
2.
Tosepu, R., Gunawan, J., Effendy, D. S., & Fadmi, F. R. (2018). Stigma and increase of leprosy cases in South East Sulawesi Province , Indonesia. African Health Sciences, 18(1), 29-31. https://dx.doi.org/10.4314/ahs.v18i1.5
3.
World Health Organization [WHO]. (2019). Leprosy. https:/ /www.who.int/news-room / fact-sheets / detail/leprosy
NOME -NEWS OF MEDICAL EDUCATION - JANUARY 21st 2021 MEDICAL STUDENTS COMMITTEE FOR INTERNATIONAL AFFAIRS