Islam dalam menghadapi tutntutan perubahan zaman

Page 1

Muchlas Abdi Pratama Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM 2012

Islam dalam Menghadapi Tuntutan Perubahan Zaman Pada awal tahun 2015, kondisi kerukunan beragama di Indonesia kembali menghadapi guncangan. Terutama bagi umat Islam. Diawali dengan ramainya berita tentang beberapa warga negara Indonesia yang terindikasi ingin bergabung dengan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) melalui Turki. Selang beberapa waktu kemudian, dua puluh situs Islam diblokir oleh pemerintah Indonesia dengan alasan situs-situs tersebut terindikasi mendukung gerakan ISIS, walau pada akhirnya pemblokiran tersebut lalu dicabut. Kondisi tersebut membawa kebingungan tersendiri kepada masyarakat Indonesia, khususnya dengan umat Islam, karena harus dihadapkan pada kondisi dimana berita-berita yang tersebar di masyarakat banyak menggambarkan bahwa umat Islam itu tidak toleran, barbar, dan penuh dengan kekerasan. Padahal, jika menilik pada sejarah, kerukunan beragama di Indonesia yang notabene adalah neraga muslim terbesar di dunia, cenderung aman dan tentram. Dimana jika menilik pada kebebasan agama-agama tertentu selain Islam untuk menjalankan ibadah atau merayakan hari rayanya, maka di Indonesia sudah sangat bebas. Sebagai contoh berbagai toko hingga instansi pemerintah saling berlomba untuk menghias diri sesuai tema hari raya natal dengan pohon natal atau imlek dengan barongsai dan warna merahnya. Padahal total dari seluruh rakyat pemeluk agama selain Islam di Indonesia tidak lebih dari 13%, jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan Islam yang mencapai 87% dari total jumlah penduduk. Setelah muncul beberapa kasus yang mencoreng wajah umat Islam tersebut, banyak pihak-pihak yang berlomba-lomba meminta umat Islam untuk beragama secara moderat serta tidak radikal, tetapi menjadi pertanyaan penting adalah apakah usul untuk deradikalisasi dan membuat moderat umat beragama itu adalah keputusan yang tepat? Himbauan untuk deradikaliasasi umat Islam menuai pro dan kontra. Ada pihak yang menginginkan umat Islam di Indonesia menginterpretasikan kembali 1


Al-Qurâ€&#x;an dan segala aturan Islam agar sesuai dengan budaya Indonesia, disisi lain

memandang bahwa radikal adalah suatu keharusan bagi setiap umat

beragama, karena secara logika tidak ada agama satupun yang menginginkan umatnya menjalankan agama secara setengah-setengah. Keragaman pandangan dari umat Islam terhadap suatu fenomena, merupakan suatu keniscayaan seiring berkembangnya waktu. Banyak sebutan untuk menggolongkan para umat Islam yang terbagi pandangannya, mulai dari Islam moderat, liberal, nusantara, hingga fundamentalis atau radikal. Penggelempokan semacam inilah yang sering kali memecah umat Islam dan mencegah untuk bersatu memperjuangkan yang haq. Islam Sebagai Agama Islam, meskipun sekarang ini oleh banyak akademisi ataupun orang-orang awam, banyak sebutannya, mulai dari Islam fundamentalis, radikal, hingga nusantara, sejatinya tidak memiliki konsep yang sama dengan pengertian agama seperti di Barat. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya Islam and Secularism menyatakan makna din sebagai kata yang tepat dalam menjabarkan Islam, yang jika dimasukkan kedalam Bahasa Indonesia sebagai agama. Din sejatinya berbeda dengan agama dalam hal pemaknaannya. Al-Attas menyebutkan makna-makna yang tepat untuk menjabarkan din adalah keadaan berhutang, penyerahan diri, kuasa peradilan, dan kecenderungan alami1. Keadaan berhutang dimaknai dengan keadaan dimana sejatinya manusia berasal dari ketiadaan, dan atas prakarsa Allah-lah, manusia berada di Bumi. Hal tersebut sesuai dengan Q.S Al-Muâ€&#x;minun 12-14. Prakarsa Allah dalam penciptaan itulah yang membuat manusia lahir dalam keadaan berhutang kepadaNya. Keadaan berhutang membuat manusia menanggung tanggung jawab kepada pemberi hutang, dari situlah makna-makna lanjutan dari din muncul seperti seperti penyerahan diri, kuasa peradilan, dan kecendurangan alami perbuatan manusia yang semuanya ditujukan hanya kepada Allah. Fitrah manusia-lah yang menyadarkan bahwa Allah Yang Maha Kuasa, sang pemberi kehidupan. Lalu bagaimana manusia dengan keadaan berhutangnya dapat membayar kepada 1

S. M. N. al-Attas, Islam and Secularism, edisi Bahasa Indonesia Islam dan Sekularisme, diterjemahkan oleh Khalif Muammar, Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN), Bandung, 2010, hlm. 64.

2


Allah? Al-Attas menyebutkan kembali bahwa manusia tidak akan pernah dapat membayar hutang itu, karena karunia-Nya terlalu besar, kecuali dengan kesadaran bahwa kehidupanlah yang membuat dirinya dalam keadaan berhutang, sehingga mengembalikan diri kepada Allah adalah kemutlakan untuk membayar hutang tersebut2. Pengembalian diri berupa menghambakan diri kepada Allah dengan mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Melalui Q.S Ali Imran ayat 19 dan 84 terjelaskan bahwa penghambaan itu dengan cara ber-Islam, karena Islam adalah satu-satunya agama yang diridhai Allah. Pengembalian diri atau menghambakan diri kepada Allah adalah suatu kebaikan bagi manusia. Seperti dikutip oleh al-Attas dari Lisan al-Arab karya Ibnu Manzur, “Barang siapa yang menghambakan dirinya maka dia beruntung�. Hal tersebut sama artinya bahwa sesorang yang ber-Islam adalah seseorang yang beruntung atau melakukan hal yang baik. Berlaku pula dalam kehidupan berjamaah, muslim ketika benar-benar menjalankan ajaran Islam, seharusnya menebarkan kebaikan dan manfaat kepada seluruh manusia baik sesama muslim ataupun bukan. Pascamodernisme dalam Agama dan Modernisme dalam Kehidupan Seiring berkembangnya zaman, banyak agama mengalami perubahan. Hal tersebut akibat pemikiran Barat yang memandang agama dari yang mulanya dengan pendekatan teistik, lalu pada era modern agama dipahami secara sekular, dan pada akhirnya sekarang, era pascamoderisme agama dipahami secara ateistik3. Apa yang dimaksud dengan pacamodernisme dalam memandang agama banyak dipengaruhi oleh filosof-filosof berpengaruh di dunia seperti Nietzsche, Wittgenstein, dan Heidegger, bahkan pemikiran Karl Marx yang melihat agama sebagai produk masyarakat yang mengalami penderitaan karena kondisi sosial juga termasuk tokoh inspirasi pascamodern4. Inti dari pandangan pascamodern

2

al-Attas, hlm. 70. H. F. Zarkasyi, „Agama dalam Pemikiran Barat Modern dan Pascamodern, dalam A. Armas (ed.), Pluralisme Agama: Telaah Kritis Cendekiawan Muslim, INSISTS, Jakarta Selatan, 2013, hlm. 115. 4 Zarkarsyi, hlm. 116. 3

3


adalah agama tidak lagi dipandang sebagai sumber nilai dan kebenaran bagi manusia, karena sumber kebenaran adalah yang berasal murni dari akal manusia5. Produk dari era pascamodern yang mendekonstruksi agama terjadi pada agama Kristen maupun Protestan, yang keduanya sama-sama menggunakan Injil sebagai pedoman. Pemikir di era pascamodern dengan leluasa mengkritik Injil yang tersebar di dunia, seperti yang dilakukan Ernest C. Cowell 6. Kritik yang leluasa dilakukan terhadap Injil oleh para pemikir, bahkan pemikir protestan sendiri, menimbulkan gagasan-gagasan baru untuk mendekonstruksikan Al-Quran pula. Tentu hal ini tidak dapat diterapkan, karena sejarah Injil yang sekarang tersebar di dunia tidaklah sama sejarahnya dengan Al-Quran. Selain dipahami secara filosofis, modern atau modernisasi sering kali dipahami sebagai modernisasi fisik -seperti industrialisasi- sekaligus modernisasi sosio-politik, dengan berkembangnya sistem demokrasi dalam pemerintahan dan menyebarnya penghormatan terhadap hak asasi manusia7. Modernisasi fisik hingga sosio-politik tersebut umumnya mengacu pada budaya atau sejarah Barat, seperti modernisasi fisik ditandai dengan revolusi industri di Inggris atau modernisasi sosio-politik ditandai dengan Reinnasance di Italia dan revolusi Perancis. Modernisme dalam bentuk pembangunan fisik lebih populer daripada modernisme filosofis atau kultural. Hal ini karena modernisme fisik lebih mudah untuk diukur dan tidak abstrak, sehingga banyak negara saat ini lebih memilih pembangunan insfrastruktur dan ekonomi daripada terlebih dahulu menguatkan peradaban yang mencangkup budaya dan sosio-politik. Modernisme suatu negara dalam konteks industrialisasi juga dipandang kelak pada waktunya secara otomatis akan mengarah pada demokratisasi, bahkan meski itu adalah negara miskin yang diperintah oleh pemimpin otoriter yang menuju modernisme8. Tanggapan Islam

5

Zarkarsyi, hlm. 117. A. Husaini, Kumpulan Catatan Akhir Pekan: Membendung Arus Liberalisme di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, 2009, hlm. 224. 7 S. Hunter, „Why Muslim Countries Lag of Modernisation and Democracyâ€&#x;, Arches Quarterly, vol. 3, no. 4, 2009, hlm. 21. 8 D. Lerner, dalam Hunter, hlm. 22. 6

4


Menanggapi pemikiran pascamodernisme yang menginginkan adanya kritik dan penginterpretasian ulang kitab suci, termasuk dalam hal ini Al-Qur‟an, tentu sikap Islam adalah menolaknya. Seruan perlunya reinterpretasi ulang Al-Qur‟an dan ajaran Islam agar sesuai dengan tradisi kekinian sesuai prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dan nilai demokrasi yang sumbernya banyak didominasi oleh Barat tidaklah sesuai dengan Islam. Penginterpretasian atau penafsiran Islam harus melalui metode yang benar dan tidak boleh serampangan atas dasar opini belaka. Beberapa syarat untuk menafsirkan Al-Qur‟an adalah penafsir harus menguasai bahasa Arab dan literatur hadits secara mendalam dan komprehensif, menafsirkan suatu ayat dengan ayat lain atau dengan sunnah dan atau mengaitkan dengan keterangan para musafir dari kalangan sahabat, tabi‟in, dan para ulama salaf9. Secara etismologis pun, seruan agar setiap orang dapat menafsirkan AlQur‟an dan ajaran Islam “berdasarkan sudut pandangnya sendiri” adalah salah besar10.

Karena

pemikiran

secara

relatifistik

seperti

itu

hanya

akan

menghancurkan Islam dari dalam. Jika memang tujuan dari para pemikir pascamodernisme adalah memajukan Islam, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Syarat-syarat yang ketat dalam menafsirkan Al-Qur‟an seperti diatas semakin menjelaskan bahwa tidak sembarang orang dapat melakukannya. Apalagi jika cara penafsirannya dengan metode-metode penelitian dari Barat yang bersifat sekuleristik bahkan ateistik, maka tidak akan ada jalan temu dan kontraproduktif bagi Islam yang memiliki konsep agama tersendiri. Kontraproduktif bukan hanya berarti menyebabkan Islam menjadi liberal sebebas Barat hingga meninggalkan ruh-nya, tetapi juga berarti bebasnya penafsiran dapat pula menyebabkan kelompok-kelompok ekstremis-militan Islam akan bebas melakukan teror dengan justifikasi ayat Al-Qur‟an dan ajaran Islam sesuai penafsiran kelompoknya sendiri. Sedangkan pandangan Islam dalam menanggapi modernisme sesuai pengertian pembanguan industrialisasi dan sosio-politik adalah tidak menerima begitu saja. Modernisme pembangunan ala Barat cenderung mengarah pada

9

I. as-Sayuti, dalam S. Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Gema Insani, Jakarta, 2008, hlm. 149-150. 10 Arif, hlm. 151.

5


kapitalisme

industri

yang menghancurkan

kerukunan

antar

masyarakat.

Kapitalisme selalu profit-oriented terlebih dahulu tanpa mempedulikan aspek moral, inilah yang menjadi titik tolak antara modernisme pembangunan ala Barat dengan Islam. Pemfokusan pada keuntungan hanya akan menyebabkan kekacauan dan penghancuran diri sendiri, sebagai contoh adalah Energy Watch Group tahun 2007 tentang menurunnya produksi minyak dunia menurun pada pertengahan 2030 dan krisis perbankan global pada 2008 merupakan salah satu bentuk kehancuran akibat kerakusan dari sistem kapitalisme11. Belum lagi keimpangan yang diciptakan, baik dalam skala domestik anatara buruh dan pemilik modal hingga skala internasional antara negara-negara belahan Bumi Utara dan Selatan, selain itu terorisme global muncul tidak lepas akibat dari peran industrialisasi kapitalisme negara-negara Barat yang terlalu bergantung pada minyak 12. Sebagai contoh adalah Al-Qaeda mendapat bantuan dana dari negara-negara Teluk dan Barat yang menginginkan pengamanan pada wilayah tersebut dari pengaruh Uni Soviet, dimana pada akhirnya Al-Qaeda berbalik melawan. Meski begitu bantuan awal pada pelatihan militer dan bantuan material lain sebelumnya turut berperan banyak pada perkembangan Al-Qaeda kedepannya. Contoh-contoh diatas semakin menunjukkan bahwa modernisasi dalam satu sisi dapat menimbulkan kekacauan baik itu dari ranah lingkungan, ekonomi, sosial, maupun politik. Mengutip dari perkataan Dr. Nafeez Mosaddeq Ahmed, direktur eksekutif Institute for Policy Research and Development di London, “Pertumbuhan dan destruksi menjadi dua sisi dalam satu koin modernisasi�13. Suatu bentuk kegagalan modernisasi dalam melihat kehidupan dunia dari berbagai aspek. Unsur modernisasi dalam bentuk pembangunan insfrastruktur dan pengembangan sosio-politik tidak ditolak oleh Islam, tetapi harus sesuai dengan ajaran Islam. Jika modernisasi dari Barat menafikan moral sebagai landasan dari pembangunan itu sendiri dan berkiblat pada dunia, maka pada Islam adalah

11

N. M. Ahmed, „The Crisis of (Post) Modernity: The De-Sacralisation of the Social, the Death of Democracy, and the Reclamation of Islamic Traditionâ€&#x;, Arches Quarterly, vol. 3, no.4, 2009, hlm. 26. 12 Ahmed, hlm. 27. 13 Ahmed, hlm. 27.

6


sebaliknya. Untuk mencapai kemajuan dalam insfrastruktur atau materi harus diawali dengan penguatan moral. Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, pembangunan dalam Islam perlu diganti penyebutannya dengan pengislahan, yang bermakna: perbaikan dari semua segi, dalam semua jenis kegiatan manusia14. Pengislahan bisa berarti maju kedepan, mundur ke belakang, menambah, atau mengurangi, dimana intinya adalah melakukan kebaikan dan perbaikan. Kebaikan dan perbaikan, atau semua yang berunsur baik, tidak ada artinya jika dikaji oleh orang-orang modern yang „bebas nilai‟ dan relatifis. Oleh karena itu, dalam Islam untuk mencapai kebaikan tersebut, harus dilandaskan pada moral yang kuat dari Al-Qur‟an dan seluruh ajaran Islam. Pada akhirnya pengislahan tersebut ditujukan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, terutama untuk muslim dalam lingkup dunia dan akhirat. Dasar untuk melakukan pengislahan dalam Islam adalah keadilan. Sesuai dengan Q.S Al-Hadid 25, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka AlKitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan...” Keadilan berarti menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya. Keadilan dapat menjadi asas semua kegiatan. Dalam perekonomian negara misalnya, keadilan Islam ditunjukkan dengan adanya aturan dimana sumber daya fital harus dikuasai oleh publik dan dalam kepemilikan individu harus berorientasi pada buruh15. Sumber daya alam seperti air mengalir, danau, minyak, sumber daya mineral, sumber daya dari bahan mentah, atau hutan, tidak dapat dimonopoli oleh individu bahkan negara, karena semua rakyat seharusnya mendapatkan akses yang sama terhadap sumber daya tesebut16. Islam juga melihat buruh tidak sebagai pekerja tetapi pengusaha yang tidak hanya menggunakan alat-alat produksinya untuk mendapatkan gaji, tetapi juga berinovasi dalam bagaimana alat-alat dan teknologi digunakan dan dikembangkan, sehingga dapat menciptakan keuntungan dari proses terebut. Bersamaan dengan itu, pemilik modal sebagai penanggung jawab atas semua kerugian, bukan para pengusaha (buruh), karena para pemilik 14

W. M. N. Wan Daud, „Makna Hakiki Pembangunan‟, Republika, 20 November 2014,

hlm. 23. 15 16

Ahmed, hlm. 29. M. A. Khan, dalam Ahmed, hlm. 29.

7


modal-lah yang melakukan kegiatan komersialisasi yang memiliki resiko. Jadi, hubungan antara buruh dan mepilik modal adalah setara dan saling bergantung, memfasilitasi desentralisasi produksi yang sudah terbagikan secara merata17. Dari situlah terlihat bahwa keadilan dalam pengislahan membawa pada kebaikan dan perbaikan. Kesimpulan Islam sejatinya compatible pada semua zaman dan tempat, termasuk Indonesia, dan akan terus begitu. Syaratnya adalah umat muslim harus benarbenar memegang teguh ajaran agamanya. Jika selama ini banyak pihak yang menginginkan adanya pembaharuan ajaran Islam seperti pada agama-agama lain, setelah terdapat banyak kasus yang melibatkan kelompok-kelompok Islam dalam aksi terorisme, maka seruan tersebut salah alamat. Pembaharuan yang diinginkan oleh para pemikir pascamodern terhadap agama, termasuk Islam, hanya akan menyebabkan setiap orang bebas menafsirkan setiap ajaran agama. Hal yang kontraproduktif dengan mereduksi aksi terorisme, karena membuka peluang untuk orang-orang ekstremis menafsirkan sendiri ajaran Islam untuk melegalkan tindakan terorismenya. Satu paket pula dengan modernisme pembangunan ala Barat yang menafikan nilai moral sebagai penggerak pembangunan itu sendiri, hasil dari pembangunan tanpa landasan nilai moral akan berujung pada kekacauan. Konsep Islam sebagai din yang memberikan konsekuensi setiap umat muslim menebarkan kebaikan serta konsep pembangunan-pengislahan yang berorientasi menciptakan kebaikan dan perbaikan dunia-akhirat, seharusnya menjelaskan bahwa Islam sejatinya agama yang damai, bersahabat, sekaligus mensejahterakan. Pengaruh pemikiran diluar Islam lah yang sejatinya membuat adanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh beberapa kalangan muslim. Sehingga menjadi jelas, Islam tidak menolak pembaharuan dalam aspek kehidupan selama masih berpegang pada Al-Qurâ€&#x;an dan Sunnah atau ajaran Islam. Hadist riwayat Abu Dawud yang berbunyi “Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini di dalam setiap penghujung seratus tahun seorang

17

M. A. Khan, dalam Ahmed, hlm. 29.

8


pembaharu dalam perkara agama-Nya.â€?, mengisyaratkan bahwa pembaharu bukan berarti merubah ajaran Islam yang sudah ada selama ini, tetapi melakukan pemurnian kembali ajaran Islam agar sesuai dengan yang dicontohkan Rosul. John L. Esposito pun, sebagai orientalis, mengisyaratkan bahwa modernis Islam itu berpijak pada akal, ilmu pengetahuan, dan teknologi dimana ketiganya tetap berlandaskan Al-Qurâ€&#x;an dan Hadist18. Jadi kembali pada kalimat pertama pada bab ini, Islam sejatinya compatible pada semua zaman dan tempat, termasuk Indoensia, dan akan terus begitu.

18

J. L. Esposito, The Future of Islam, Oxford University Press, New York, 2010, hlm. 92.

9


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.