Jalan Panjang Menuju Kebebasan Mesir Peran Ikhwanul Muslimin dalam The Arab Spring Musim Semi Arab (The Arab Spring) yang bermula pada tahun 2011 silam menimbulkan sejumlah pergolakan di negara-negara Timur Tengah. Dan yang menjadi salah satu sorotan dunia dari fenomena Musim Semi Arab tersebut adalah yang di Mesir. Pergolakan di Mesir memang pada mulanya dipicu oleh anak-anak muda yang melakukan protes secara masif di jalanan sudutsudut kota besar Mesir. Kekacauan yang ada menjadi kesempatan emas bagi setiap kelompok kepentingan politik, terutama oposisi, untuk menurunkan pemerintah yang masih berlangsung. Dalam kasus Mesir, kelompok Ikhwanul Muslimin dimana sudah sejak lama menjadi lawan politik dari pemerintah Mesir mengambil alih sebagai political entrepreneur1. Ikhwanul Muslimin muncul untuk memaksa pemerintahan saat itu turun, dan pada akhirnya menjadikan anggota dalam dirinya menduduki banyak posisi-posisi strategis di pemerintahan Mesir. Hal yang sudah sangat lama tidak dirasakan oleh Ikhwanul Muslimin sejak tahun 1952. Bahkan berhasil menempatkan kadernya sebagai presiden Mesir. Namun sayangnya hal tersebut tidak berlangsung lama, hal ini dikarenakan masih ada pergolakan antara Ikhwanul Muslimin terhadap elit pemerintahan dan oposisi. Lalu dari hal tersebut timbul pertanyaan, apakah peran Ikhwanul Muslimin dalam The Arab Spring dan apakah Ikhwanul Muslimin benarbenar berhasil dalam The Arab Spring? The Arab Spring – Musim Semi Arab Tahun 2011 merupakan titik balik dari perubahan di Timur Tengah, dimana banyak kepala negara yang sebelumnya sudah berkuasa selama bertahun-tahun bahkan hingga puluhan tahun diturunkan oleh rakyatnya sendiri. Penggunaan kata Musim Semi sendiri digunakan oleh media Barat untuk menganalogikan bahwa musim semi adalah waktu ketika bunga-bunga bermekaran, dimana dalam hal ini yang dimaksud adalah demokrasi di kawasan Timur Tengah tumbuh. Awal dari Musim Semi Arab dipicu oleh aksi bakar diri oleh seorang pemuda bernama Mohamed Bouazizi sebagai bentuk protes terhadap bentuk kesenewang-wenangan pemerintah 1 J. G. Dees, The Meaning of “Social Entrepreneurship�, Stanford University, 1998, hlm. 4.
Tunisia. Aksi Bouazizi tersebut menyulut kemarahan massa dan terkonstruksi menjadi protes anti-pemerintah. Hingga Presiden Zine El Abidine Ben Ali berhasil diturunkan oleh rakyat Tunisia menjadi tonggak pertama kali rangkaian penurunan pemimpin-pemimpin negara Arab yang dianggap diktaktor2. Apa yang terjadi di Tunisia dengan cepat menyebar ke negara-negara tetangganya, hal ini merupakan dampak dari mudahnya akses informasi yang tersebar ke seluruh dunia, terutama melalui media sosial seperti Facebook dan twitter. Salah satu negara yang juga “disambangi” Musim Semi Arab adalah Mesir. Bentuk protes di Mesir merupakan salah satu yang paling disoroti dunia, hal ini karena posisi Mesir sebelumnya sebagai salah satu negara paling berpengaruh di Timur Tengah dengan kekuatan militer terbesar di regionalnya dan menjadi tujuan wisata utama dunia3. Protes di Mesir ditujukan kepada Presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa lebih dari tiga puluh tahun. Mubarak merupakan presiden yang memiliki latar belakang sama seperti presiden-presiden sebelumnya, yaitu militer. Dengan latar belakang militer itulah Mubarak memimpin negara dengan gaya yang terlampau tegas, ketat, dan dianggap diktaktor oleh masyarakatnya sendiri. Sehingga masyarakat menuntut turunnya Hosni Mubarak. Salah satu kelompok yang memiliki massa paling banyak diantara protester lainnya dan menjadi aktor utama perlawanan terhadap pemerintah Mesir adalah Ikhwanul Muslimin. Apa yang dilakukan oleh Ikhwanul Muslimin tersebut merupakan sebuah akumulasi perlawanan yang dipendam selama ini, karena sebelumnya Ikhwanul Muslimin selalu menjadi sasaran black list pemerintah Mesir. Bahkan di masa Mubarak, terdapat ratusan anggota Ikhwanul Muslimin, terutama elitelitnya, yang ditahan4. Sehingga di masa itu Ikhwanul Muslimin bergerak secara underground dengan program-program sosial atau masuk ke dalam politik dengan melepaskan atribut
2 P. Manfreda, ‘Definition of the Arab Spring’, aboutnews (daring), < http://middleeast.about.com/od/humanrightsdemocracy/a/Definition-Of-The-Arab-Spring.htm>, diakses 3 Desember 2014. 3 Global Scurity, World’s Largest Armies (daring), < http://www.globalsecurity.org/military/world/armies.htm>, diakses 3 Desember 2014. 4 E. Zahriyeh, ‘Egypt’s presidential history: Military’s tight grip on power’, Al Jazeera America (daring), 29 Januari 2014, < http://america.aljazeera.com/multimedia/2014/1/egypt-spresidentialhistorymilitarystightgriponpower.html>, diakses 3 Desember 2014.
organisasinya. Maka tidak mengherankan ketika Mubarak hendak diturunkan, Ikhwanul Muslimin menjadi pihak yang paling depan mendukung penurunan tersebut. Setelah akhirnya Hosni Mubarak mengundurkan diri, perjuangan Ikhwanul Muslimin tidak berhenti di situ. Mereka ikut dalam persaingan untuk mencari pemimpin negara yang baru. Dalam penempatan kadernya sebagai pemimpin negara baru Mesir, Ikhwanul Muslimin berhasil dengan Muhammed Mursi sebagai presiden baru. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena setahun setelah pertama kali dilantik sebagai presiden Mesir, yaitu pertengahan 2013, Presiden Mursi dikudeta oleh gabungan militer dan oposisi sipil. Dari sini, Musim Semi yang diusahakan oleh Ikhwanul Muslimin menjadi kabur dan dipertanyakan keberhasilannya. Hal ini diperkuat dengan majunya Abdel Fattah el-Sisi yang berlatar belakang militer sebagai presiden baru menggantikan Mursi. Ikhwanul Muslimin: Kelompok Perlawanan di Mesir Terbentuknya Ikhwanul Muslimin tidak dapat dilepaskan dari peran pendirinya, Hasan alBanna. Pada Maret 1928 al-Banna bersama enam buruh lokal membentuk organisasi yang nantinya menjadi organisasi terbesar di Mesir, Ikhwanul Muslimin5. Basis worldview dari Ikhwanul Muslimin adalah mahzab Hanbali dalam pemikiran Islam, dengan fokus utama pada permasalahan didominasinya Mesir oleh kekuatan asing, kemiskinan pada penduduk Mesir, dan kemunduran moral Mesir sebagai negara ataupun masyaratnya 6. Ikhwanul Muslimin mencoba untuk memecahkan permasalahan-permasalahan tersebut dengan melakukan berbagai layanan sosial. Kegiatan dari Ikhwanul Muslimin terfokus pada pelayanan sosial seperti pembangunan masjid, sekolah, klinik, dukungan ke unit industri kecil, atau mendukung program-program olahraga. Sembari memberikan pelayanan sosial, anggota Ikhwnul Muslimin secara intens juga menyamaikan dialog yang penuh dengan pesan terhadap visi Ikhwanul Muslimin7. Pada tahun 1932 al-Banna memindahkan pusat kegiatan Ikhwanul Muslimin ke Kairo dengan tujuan untuk mengembangkan pengaruh. Setelah setahun berada di Kairo, Ikhwanul 5 M. Zahid, The Muslim Brotherhood and Egyptâ&#x20AC;&#x2122;s Succession Crisis: The Politics of Liberalisation and Reform in the Middle East, I.B Tauris Publishers, London, 2010, hlm. 71. 6 Z. Mudson, â&#x20AC;&#x2DC;Islamic Mobilitation: Social Movement Theory and the Egyptian Muslim Brotherhoodâ&#x20AC;&#x2122;, The Sociological Quarterly, vol. 42, no. 4, 2001, hlm. 489. 7 Mudson, hlm. 501-502.
Muslimin berhasil menerbitkan untuk pertama kali buletin mingguan dan mengadakan pertemuan akbar antar anggota. Keputusan al-Banna untuk memindah pusat kegiatan Ikhwanul Muslimin ke Kairo adalah tepat, karena pertumbuhan anggotanya menjadi begitu cepat. Dari semula tahun 1930 Ikhwanul Muslimin memiliki lima kantor cabang, menjadi lima belas pada tahun 1932, dan tiga ratus pada tahun 1938 dengan jumlah anggota â&#x20AC;&#x201C;belum ada pencatatan resmi- antara 50.000 hingga 150.000 orang8. Sedangkan pada tahun berikutnya, yaitu pertengahan akhir abad dua puluh satu dan awal tahun 2000an, perhitungan jumlah anggota ikhwanul muslimin menjadi sulit karena mereka bergerak secara underground. Tahun 1939, sebuah konferensi Ikhwanul Muslimin menandakan mulai berubah fokus gerakan dari peningkatan spiritual masyarakat ke aktivitas politik di Mesir, dan mendefinisikan gerakan sebagai inter alia atau organisasi politik9. Sehingga mulai saat itu Ikhwanul Muslimin resmi menjadi gerakan politik Islam (GPI). Masuknya Ikhwanul Muslimin ke dalam aktivitas politik merupakan reaksi terhadap krisis sosio-ekonomi dan semakin menyebarnya sekularisme di Mesir. Setelah mendeklarasikan sebagai organisasi politik, Ikhwanul Muslimin diwakili oleh al-Banna semakin intens berhubungan dengan pemerintahan. Bahkan pada tahun 1946 al-Banna diundang sebagai penasihat untuk pemilihan perdana menteri baru. Keterlibatan al-Banna dalam aktivitas-aktivitas negara menunjukkan bahwa Ikhwanul Muslimin tidak menolak konstitusi. Bahkan kesempatan-kesempatan tersebut menjadi jalan bagi Ikhwanul Muslimin untuk masuk ke dalam parlemen dan melebarkan pengaruhnya. Sayangnya elektabilitas Ikhwanul Muslimin setelah itu terus menurun setelah pemerintah menganggap kepentingan mereka mengancam stabilitas negara. Hubungan Ikhwanul Muslimin dengan pemerintah benar-benar dalam titik terendah setelah salah satu anggotanya, Hasan Taleb, membunuh PM Naqrashi dan tidak lama setelah itu pada February 1949 al-Banna dibunuh oleh polisi rahasia10. Pengganti al-Banna adalah Hasan Hudaybi. Di masa kepemimpinannya, Ikhwanul Muslimin menandatangani perjanjian damai dengan Raja Farouq dan berjanji tidak akan 8 Mudson, hlm. 488. 9 Zahid, hlm. 74. 10 Zahid, hlm. 76-77.
memerangi tentara Inggris11. Tetapi tidak lama setelah itu Ikhwanul Muslimin bersama-sama dengan sejumlah perwira militer muda yang tergabung dalam â&#x20AC;&#x153;Tentara Pembebasanâ&#x20AC;? melakukan kudeta kepada Raja Farouq. Hal ini dilakukan dengan harapan setelah kudeta Ikhwanul Muslimin dapat masuk dalam pemerintahan dan mempengaruhi sistem politik dengan visinya. Tetapi pada kenyataannya militer tidak memasukkan Ikhwanul Muslimin pada pemerintahan baru Mesir, ini menjadi pemicu pertama konflik berkepanjangan Ikhwanul Muslimin dengan militer Mesir12. Puncaknya pada tahun 1954 Ikhwanul Muslimin ditutup oleh pemerintah militer setelah terjadi percobaan pembunuhan terhadap Perdana Menteri Gamal Abdul Nasser 13. Dampak pelarangan Ikhwanul Muslimin terasa hingga tahun 2000an atau pada masa Mesir dibawah pemerintahan Mubarak. Pasca turunnya Mubarak, kesempatan Ikhwanul Muslimin untuk meneruskan perjuangannya menjadi terbuka lebar. Tetapi disisi lain mereka akan menghadapi kelompokkelompok kepentingan Mesir lainnya, seperti kelompok Kristen Koptik dan kelompok nasionalis sekuler. Menjadi permasalahan selanjutnya adalah bagaimana Ikhwanul Muslimin dapat membumikan kepentingannya sebagai Islamis ke masyarakat Mesir yang plural. Melalui Partai Kebebasan dan Keadilan (Freedom and Justice Party - FJP) sebagai sayap partainya, Ikhwanul Muslimin masuk dalam politik praksis secara legal untuk pertama kalinya. Mensiasati kendala-kendala dalam jalan politiknya, FJP melakukan pendekatan yang berbeda dari pendekatan awal berdirinya Ikhwanul Muslimin, yaitu dengan mengedepankan pluralisme dan demokrasi14. Hal ini berimplikasi pada manuver politiknya yang melakukan koalisi dengan partai-partai sekuler pada pemilu 2012 daripada dengan partai-partai Islam yang lain. Manuver tersebut memberikan gambaran yang berbeda terhadap kelompok-kelompok Islamis yang umumnya diberi label ekstrimis atau teroris. Sehingga menyumbang banyak suara untuk kemenangan FJP dalam pemilu 2012 dan mengantarkan Mursi maju menjadi presiden. Kemenangan FJP juga disukseskan oleh banyaknya kader-kader Ikhwanul Muslimin yang 11 Zahid, hlm. 77. 12 Zahid, hlm. 78. 13 Zahid, hlm. 80. 14 S. Asem, â&#x20AC;&#x2DC;The Muslim Brotherhood from Opposition to Governance: Examining Classical and Contemporary Political Literatureâ&#x20AC;&#x2122;, Arches Quarterly, vol. 6, no. 10, 2012, hlm. 95.
berasal dari akademisi dan ulama, dimana kedua faktor tersebut memiliki pengaruh yang besar untuk memobilisasi masyarakat Mesir.
Apakah Musim Semi Sudah Berakhir? Keberhasilan Ikhwanul Muslimin melalui FJP untuk menarik simpati msyarakat Mesir mendapatkan tantangan lebih lanjut, yaitu menciptakan stabilitas ekonomi dan politik di masa awal pemerintahan Presiden Mursi. Sayangnya hal tersebut tidak berhasil diatasi oleh Mursi. Hubungan yang tidak kunjung harmonis terhadap militer serta memburuknya hubungan dengan kelompok kepentingan lain membuat elektabilitas Mursi semakin turun. Pemicunya adalah adanya indikasi bahwa Ikhwanul Muslimin terlalu mendominasi pemerintahan dibawah Mursi. Dampak akhirnya adalah terjadinya kudeta militer yang didukung oleh kelompok sipil oposisi Mursi yang pada akhirnya mengembalikan Mesir pada tangan militer lagi yang tentunya sangat mungkin memerintah dengan gaya diktator, yaitu dibawah pemerintahan el-Sisi. Terlebih, dimasa el-Sisi, Mubarak dibebaskan dari tuduhan pembunuhan ratusan orang ketika protes 2011 dan tuduhan korupsi ekspor gas ke Israel, serta diprediksikan akan segera bebas15. Maka dari sini, dapat dikatakan bahwa proses demokratisasi di Mesir belum kunjung “berbunga”. Ikhwanul Muslimin sebagai aktor utama pun malah kehilangan taringnya setelah pemimpin-pemimpinnya ditahan dan dijatuhi hukuman mati, termasuk mantan Presiden Mursi. Pada akhirnya bukan masalah pada siapa yang memimpin suatu negara di Timur Tengah agar mengembangkan “bunga” demokrasi layaknya di musim semi, tetapi bagaimana aktor-aktor yang memimpin di dalamnya dapat membuat nilai-nilai demokrasi berlaku dalam pemerintahannya dan membawa pada stabilitas dalam segala bidang. Musim Semi di jazirah Arab pun sebenarnya tidak dapat dikatakan berakhir -disamping terdapat negara-negara yang berhasil, gagal, dan masih dalam proses pembebasan dari pemimpin diktator- karena perjuangan 15 I. Wulansari, ‘Mubarak Bebas, Protes Mahasiswa Makin Memanas’, Republika.co.id (daring), 1 Desember 2014, < http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/14/12/01/nfvv7z-mubarak-bebas-protesmahasiswa-makin-memanas>, diakses 3 Desember 2014.
dari berbagai pihak yang membawa nilai-nilai demokrasi masih terus ada, meski melalui jalur bawah tanah.