Berkenalan dengan Bundaran Psikologi

Page 1

Berkenalan dengan...

Perubahan di dunia ini jikalau ingin benar-benar disederhanakan sebab terjadinya hanya ada dua. Dua hal tersebut adalah darah dan semangat para pemuda serta tinta dan kebijaksanaan orang-orang tua. Akan sangat sulit untuk menyatukan karakter ini tampaknya. Bagaimana mungkin, anak-anak muda punya kebijaksanaan. Pun, mustahil agaknya orang-orang tua itu untuk memiliki semangat. Namun, di tubuh mahasiswa dua hal tadi dapat dengan mudah disandingbandingkan. Dua kelebihan ini; bijaksana namun bersemangat dapat dengan mudah kita ambil persimbolannya. Itulah bundaran. Hal ini dilakukan

agar nilai-nilai tadi mudah diserap, diinternalisasi. Ya, karena manusia memang makhluk simbolik. Bundaran tak hanya bergerak untuk dirinya sendiri, tak hanya bersemangat, tapi juga menggerakkan, menyemangati. Bundaran, tiada ia bersudut, semua dapat yang sama, tak ada yang dirugikan semua mendapat keuntungan. Bijaksananya membuat bundaran tak melihat dari sudutsudut, ia melihat holistik. Karena tak bersudut itulah ia dapat bergerak lebih cepat, karena tak merugikan itulah ia lebih gesit dalam bermanfaat. Itulah bundaran. Ingat, itulah bundaran. [media bundaran psikologi]


Mengapa Untuk Bangsa? “Bangsa ini perlu kembali menata cara pandang, membiakkan mimpi, memfokuskan masa depan, membangun gairah dan militansi, serta menancapkan cita-cita besar yang hidup dan terasakan dalam hati” (Menuju Masyarakat Madani) Sudah saatnya kita bergerak sekarang. Tidak lagi berkutat pada romantisisme tanah yang dilakukan tanpa keinsyafan. Cinta tanah air, nasionalisme, saat ini bukanlah sesuatu yang terberi tapi ia adalah pilihan. Maka mulai saat ini kita cari alasan-alasan mengapa harus mencintai negeri ini, bangsa ini, tanah ini, dengan penuh kesadaran penuh tentunya. Tak elok kita lama-lama bergelimang di rasa cinta yang kita tidak tahu mengapa harus begitu karena tanpa dinyana kita saat ini ada di alam globalisme, singkatnya dunia ini milik semua. Tak ada batas geografis atau malah geopolitik yang signifikan lagi hari ini. Redefinisi nasionalisme harus cepat-cepat dicari dari sekarang. Ini hal yang mendesak, kenapa? Karena jikalau kita masih saja terjebak dengan nasionalisme konservatif kita akan terus berkutat dengan masalah. Slogannya sudah jelas, ‘baik atau salah ini tetap negeri saya’. Saatnya melompat ke slogan yang lebih “sadar”, lebih rasional yaitu ‘baik atau buruk ini tetap negeri saya namun saya akan memperbaiki keburukan itu karena saya cinta dengan negeri ini’. Lompatan inilah yang akan membawa kita tidak

lagi berkutat di kepulauan ini saja tapi ke peradaban manusia, kemanusiaan itulah tujuan kita saat ini. Membuat bangsa ini, Indonesia, menjadi peletak dasar-dasarnya, adalah bata-bata yang akan coba kita bakar mulai hari ini. Bentuk sumbangan apa yang kita, bangsa besar bernama Indonesia, dapat berikan utuk membangun yang namanya peradaban itu tentu saja masih menjadi pertanyaan besar. Namun, sadar atau tidak kita memiliki potensi untuk memberikan sumbangan itu. Modal besar kita itu adalah karakter bangsa. Modal inilah yang coba kita kais-kais di antara remah-remah keputusasaan bangsa besar ini. Karakter yang akan membuat kita, bangsa Indonesia, dikenal di luar sana. Di balik ungkapan, “BEM Psikologi untuk Bangsa”, selain terselip berjutajuta harap bahwa kita, anak-anak Psikologi akan menjadi: motivator, pencinta, penggubah, perubahan itu, juga merupakan kalimat provokatif yang ada untuk memberikan kekuatan, kepercayaan diri kepada “kebaikan” yang tersembunyi jauh di sana untuk kembali muncul. Inilah yang saya katakan modal besar itu. “Kebaikan”


bangsa ini, merupakan hal yang bisa membuat bangsa ini menyumbang untuk membangun peradaban baru yang lebih “baik”. Satu hal sekarang kapan modal, potensi besar, ini bisa benar-benar kembali kepada bangsa ini sehingga menjadi karakter yang melekat kuat. Untuk mempercepatnya maka “kebaikan” ini harus terus menerus dicetuskan, dinyatakan, diberi penilaian positif, dan selalu disandingbandingkan dengan Indonesia. kesinambungan inilah yang akan mengubah bangsa ini, percayalah itu. Implikasi dari itu semua luar biasa. Indonesia dengan karakter kuat seperti itu bisa jadi akan menjadi pemimpin peradaban. Kita akan lebih dihargai karena kita akan menjadi pemimpin peradaban yang bukannya menakutnakuti dengan kekuatan militer tetapi dengan menyebarkan “kebaikan’ yang kita punya untuk membangun peradaban yang lebih beradab sebagai tujuan asasi kemanusiaan. Itulah yang saya sebut “bangkit itu Indonesia”, karena Indonesia tidak hanya membangkitkan dirinya tetapi juga membangkitkan peradaban dunia berdasar tujuan kemanusiaan yang telah terkubur ratusan tahun. Dari proposisi-proposisi di ataslah saya tidak sungkan-sungkan menyatakan bahwa BEM Psikologi UI untuk bangsa. Karena semakin tinggi kita meletakkan mimpi, menaruh visi maka space of visibility yang kita miliki semakin besar. Artinya semakin besarlah kemanfaatan kita para mahasiswa ini. Semakin luas pulalah ruang-ruang tempat kita membuktikan rasa cinta kita pada tanah ini, pada bangsa ini, pada negeri ini. Karena cinta pada

sesuatu berarti memberikan kebaikan sebanyak-banyaknya, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya kepada yang dicintai. Untuk marilah kita memulainya dengan mengganti rasa cinta kepada negeri dengan sesuatu rasa yang lebih “sadar” dan bertanggung jawab serta mengukir prestasi-prestasi pribadi dengan membuat peristiwa kebaikan untuk negeri ini, sehingga ia menjadi berita, akhirnya menjadi cerita sehingga makin banggalah kita dengan tanah ini, dengan bangsa ini, dengan negeri ini. [media bundaran psikologi]

“Seonggok kemanusian terkapar. Siapa yang mengaku bertanggung jawab? Tak satu pun. Bila semua pihak menghindar, biarlah saya yang mananggungnya, semua atau sebagiannya. Saya harus mengambil alih tanggung jawab ini, dengan kesedihan yang sungguh, seperti saya menangisinya dengan kesedihan yang sungguh, seperti saya menangisinya saat pertama kali menginjakkan kaki di mata air peradaban modern, beberapa waktu silam” (Ustadz Rahmat Abdullah, Pilar-Pilar Asasi)


Sebuah Nama, Sebuah Cerita: AKhyar “Banyak yang hendak saya nyatakan, apakah yang dapat menghalangi saya, kalau menurut keyakinan saya, saya patut berbicara? Karena cara saya melahirkan keyakinan akan dicela setengah orang? Karena soal yang saya kemukakan, menurut setengah orang mesti didiamkan? Karena saya akan dihinakan orang? Karena saya akan dimaki? Kalau keyakinan sudah menjadi beringin, robohlah segala pertimbangan lain. Perahu tumpangan keyakinanku, berlayarlah engkau, janganlah enggan menempuh angin ribut, taufan badai, ke tempat pelabuhan yang hendak aku tuju. Berlayarlah engkau ke dunia baru.” (Armijn Pane dalam ‘Belenggu’)

Akhirnya Aku Meng-ada

Sahabat, perkenalkan nama saya Akhyar, Muhammad Akhyar, lengkapnya. Nama yang diberikan uwak saya. Nama yang sesungguhnya saya begitu berat memikulnya. Nama yang baru ketika saya berusia 19 tahun baru tahu artinya. Orang yang terbaik. Dan, tahukah kalian sahabat dimana aku menemukan arti namaku itu? Al Qur’an surat Shad ayat 47 dan 48. Sahabat, manusia yang sedang kalian baca tulisannya ini bukanlah manusia yang dengan mudah bertahan hidup sampai sekarang. Begitu kerasnya tak hanya alam, pun takdirNya, mendidik-dera saya sehingga bolehlah saya berkata bertahannya saya di permukaan bumi ini sekarang adalah bukannya sebuah kebetulan belaka, namun anugerah yang sungguh besar. Berikut saya coba hantarkan sahabat-sahabatku semua yang membaca ini ke kehidupan itu, semoga berkenan.

Muhammad Akhyar, sebelum dilahirkan saja sudah menyusahkan ibunya, ibunya ini dikemudian hari biasa dipanggil omak. Ups… sebelum saya bercerita tentang awal lahirnya saya di dunia ini saya harus beritahu kalian semua bahwa saya lahir dengan tanpa saya minta sebelumnya, di keluarga guru. Ibu , pun bapak guru. Mereka awalnya belum saling kenal, dan perkenalan yang akhirnya membawa mereka ke pelaminan tidak lain tidak bukan karena satu tempat mengajar. Sementara bapak saya guru kelas, yang mengajar semua mata pelajaran selain agama dan olahraga, ibu adalah guru agama Islam satu-satunya di sekolah itu. Sebuah sekolah yang berada di kabupaten baru terbentuk Batu Bara, Sumatera Utara. Tahukah kalian dimana itu? Lima jam dari Medan. Sebelum lahirnya saya, ibu meminta agar ia dapat melahirkan di tempat keluarganya di Tanjung Balai. Tanjung Balai (tempat keluarga ibu saya


ini bukan di kotanya benar) ke Batu Bara itu ada hampir tiga jam perjalanan ditempuh dengan angkutan umum. Tak lama (beberapa hari tentunya) setelah ibuku menyentuh tanah leluhurnya, aku pun mulai berontak tuk keluar. Bukan main, itu sudah malam sahabat. Ai, ai belum lahir saja kau sudah susahkan ibumu, Akhyar-Akhyar (dengan gaya Melayu ya ngucapinnya). Jadilah ibuku serta bapakku dan keluarga dari ibu harus pergi malam-malam begitu ke kota Tanjung Balai, tentu saja tiada lain tujuan, rumah sakit satu-satunya di kota itu, Rumah Sakit Umum Tanjung Balai. Seperti yang kukatakan di awal, tempat ibuku bukanlah di kotanya. Pada saat itu boleh jadi kita masih menyebutnya bukanlah kampung melainkan hutan. Listrik saja belum ada pada saat itu, apalagi kendaraan umum. Jadi, dari rumah itu kalau mau ke kota harus jalan dulu sekitar tiga puluh menit baru sampai ke jalan yang agak besar dari sanalah baru ada angkutan umum menuju Tanjung Balai. Sahabat sekalian tentu tidak bisa membayangkan bukan kalau ibuku yang sedang merintih-rintih itu harus berjalan. Akhirnya keluargaku pada saat itu berupaya untuk mencari perahu untuk menuju ke jalan besar tadi. Memang alat transportasi di sana ada dua jenis. Selain jalan terdapat sungai yang biasanya dimanfaatkan untuk transportasi barang. Tak usai di sana sudahnya. Sahabat, aku lupa mengatakan bahwa pada saat ibuku di perahu itu sedang berkumandang takbir Idul Adha. Jadi tak usah heran pada saat sampai di rumah sakit tidak ada satu pun dokter

yang tertinggal. Huh‌semuanya sedang mengambil cuti. Ibuku harus terus menahan sakitnya, sementara aku belum mau juga keluar. Seakanakan aku tidak akan keluar kalau bukan dokter yang menangani. Benar, selang sehari baru ada dokter yang kembali. 6 Agustus 1987 hampir jam 12 tepat, baru aku mau keluar dari perut ibuku dengan tanpa tangisan. Tentu saja keluargaku bingung. Namun, dokter dengan segala pengalamannya menepuk punggungku barulah pecah tangisku. Karena satu dan lain hal aku dimasukkan ke “peti kacaâ€? selama beberapa hari. Aku hingga kini tak tahu alasannya, tapi yang kutahu alasannya pasti bukan karena aku lahir prematur karena usiaku di kandungan ibuku lebih dari sembilan bulan. Bahkan kata bapakku usiaku di kandungan mencapai setahun. Tak sampai, di sini kisah unik awal hidupku sahabat. Entahkah karena anak pertama atau alasanalasan yang tidak aku mengerti air susu ibuku macet. Tidak ada ASI untuk anak pertamanya ini. Aduh-aduh minum susu sapilah terpaksa aku, sahabat. Sampai-sampai bapakku bilang kalau aku anak sapi. He he bagaimana tidak aku tidak pernah mengecap ASI ibuku yang kuminum malah air susu ibu sapi. Akibat dari tidak pernah minum ASI ini fatal bagiku. Daya tahan tubuhku sangat buruk, akibatnya hampir setiap bulan aku harus ke klinik. Dan ini terus berlanjut hingga aku berusia enam tahun. Malang tak dapat ditolak untung tak dapat dijemput karena lupa akte kelahiranku tak terurus. Akhirnya setelah dua bulan aku lahir barulah bapak mengurusnya. Karena


administrasi yang agak aneh, aku dinobatkan terlahir di tanggal 6 Oktober 1987 hanya karena terlambatnya kelahiranku dilaporkan. Itulah tanggal resmi kelahiranku sahabat hingga sekarang.

Aku yang Berada Pada Aku-Aku yang Lain

Selesai saya bertutur tentang awalnya kehadiran di dunia ini, sekarang mari kita beranjak menuju pembentukan utuh seorang akhyar, tentang ke-aku-an dan ke-diri-annya dan penghayatanku tentang hal itu. Sebagaimana Fuad Hassan menyatakan bahwa ke-aku-an dan ke-diri-an itu dapat dihayati sebagai sesuatu yang terkarib kepada manusia akan tetapi sekaligus juga bisa menjauh daripadanya; maka jika akhirnya saya tidak bisa dengan sendirinya mereduksi kedirian itu dengan untaian kalimatkalimat yang mudah dimengerti oleh orang lain. Bahkan bisa jadi apa yang saya rasakan adalah sesuatu yang bukan diri saya sendiri. Itu hanyalah tuntutan sosial belaka. Itulah identitas yang diberikan lingkungan kepada saya. Di identitas tadi juga melekat semacam harapan-harapan untuk bertingkah laku tertentu. Hingga saat ini saya tidak bisa melepaskan diri dari itu semua. Saya harap ada yang bisa membantu saya untuk melepaskan itu yaitu cara bagaimana saya memandang diri pada saat sekarang (present), status, peranannya dan sebagainya; apa yang dikehendakinya kelak tentang dirinya sendiri (future), termasuk aspirasiaspirasinya (kembali dari Fuad Hassan). Akhirnya saya menyadari saya adalah

eksistensi yang punya kemampuan, keharusan, dan keleluasan untuk berubah. Jadi jika sampai saat ini orang-orang melihat saya berkarakter x, bersifat y, jangan kira itu saya. Itu bukan saya yang sebenarnya. Sebagaimana Fuad Hassan menyatakan bahwa aku itu bukanlah suatu esensi yang selesai didefinisikan, melainkan suatu eksistensi yang terus menerus terlibat dalam pendefinisian diri , saya sendiri masih meraba-raba hendak kemana eksistensi ini bergerak. Tapi untuk sementara ini pengertian dari Vygotsky bisa kita pakai, ia menyatakan “human are embedded in social matrix and human behavior cannot be understood independently of this matrix�. Sekarang mari kita mulai penjelajahan diri saya dengan merekonstruksi masa lalu dari sudut pandang masa kini ( pengertian sejarah menurut Ernst Cassirer). Sebelum saya menulis tentang nilainilai yang diajarkan orangtua pada saya ada baiknya jika saya menjabarkan suku-suku apa saja yang ada di keluarga saya. Kedua orang tua bapak saya murni bersuku Melayu Batubara. Melayu Batubara adalah etnik melayu yang hidup di Kabupaten Batubara, kabupaten yang baru terbentuk sebelumnya bernama Asahan, dan sekitarnya. Konon asal muasal etnik ini adalah dari Minang. Saya tidak tahu ini benar atau tidak. Diceritakan dahulu ada seorang pangeran dari Minang yang berburu hingga ke daerah batubara ini. Entah karena betah atau apa, ia malah tidak pulang. Ia kemudian hidup dan menikah di tempat berburunya itu. Tapi, saya cukup percaya dengan cerita ini karena dibanding dengan Melayu


Deli yang lebih banyak menggunakan banyak huruf “e� pada setiap kata yang diucapkan, kami Melayu Batubara malah lebih banyak menggunakan huruf “o� seperti orang-orang Minang. Namun, tetap saja orang-orang Batubara lebih mengindentifikasikan diri mereka sebagai orang-orang Melayu ketimbang orang Minang. Sekarang kita beralih ke kakek dan nenek saya dari pihak ibu. Kakek dari pihak ibu merupakan orang Jawa. Sedangkan nenek bersuku Jawa dan Batak. Namun walaupun demikian karena Ibu saya berasal dari daerah Tanjung Balai yang kulturnya merupakan campuran antara Melayu dan Batak. Hal ini banyak mempengaruhi cara ibu saya dalam mendidik anak-anaknya yaitu cukup keras. Tak jarang jika ada hal-hal yang sudah diperingatkan berkali-kali tapi masih dilakukan maka ia tak segan untuk memukul. Memang walaupun antara Batubara dan Tanjung Balai tidak terlalu jauh jaraknya secara geografis tapi karena ada pengaruh Batak yang cukup kental di Tanjung Balai menjadikan kedua etnik ini memiliki keunikan sendiri-sendiri. Walaupun saya sekeluarga tinggal di daerah Batubara, kami tetap berhubungan dengan keluarga ibu di Tanjung Balai. Tidak mengherankan jika saya malah lebih dekat dengan keluarga ibu daripada keluarga ayah. Seperti saya katakan di awal bahwa di kedua etnik ini ( Batubara dan Tanjung Balai) ada keunikan namun masing-masing memiliki persamaan nilai-nilai yang harus diturunkan kepada generasi berikutnya. Nilai pertama yang diturunkan adalah religius. Orang melayu memang

dikenal dengan religiusnya. Semenjak kecil kami anak-anak melayu sangat ditanamkan nilai-nilai kebaikan yang berasal dari Islam. Bukan Melayu kalau bukan beragama Islam, mirip dengan standar yang berlaku di Aceh, Minang, dan Betawi. Bahkan walaupun tidak mampu menyekolahkan ke sekolah formal anak-anak mereka tetap harus belajar mengaji. Biasanya kegiatan ini dilakukan pada saat waktu Maghrib. Anak-anak mereka dititipkan pada seorang guru ngaji. Di keluarga, orang tua saya mendidik saya dengan pola asuh yang cenderung autoritatif. Iklim diskusi begitu kental di keluarga kami. Bahkan ini adalah hal yang membuat saya bangga sampai sekarang. Bayangkan saja ketika kami anak-anak mereka masih belum mencapai usia sekolah, bapak selalu mengajak berdiskusi tentang masalah di keluarga. Dari masalah sepele seperti menyapu rumah dan memasang anti nyamuk hingga menanyakan televisi seperti apa yang harus dibeli untuk diletakkan di ruang keluarga. Luar biasa itu yang bisa kuucapkan demi mengenangkan hal-hal itu. Karena saya tahu mereka tidaklah dididik seperti mereka mendidik kami. Saya sering diceritakan oleh Ibu dan Bapak bahwa orang tua mereka bukanlah orang tua yang mudah tersenyum pada anak-anak mereka. Namun, mereka juga bercerita bahwa kasih sayang orang tua juga mereka rasakan. Kecuali Bapak, yang sejak masih kecil sudah yatim, Ibu saya merasakan kasih sayang kedua orang tua hingga ia menikah. Saya sampai sekarang yakin mereka memperlakukan kami dengan nilai-nilai demokratis


seperti itu pasti karena pendidikan mereka. Ya, mereka berprofesi sebagai guru di sebuah Sekolah Dasar negeri. Selain dua nilai tadi, religius dan demokratis, nilai penting lain yang diajarkan oleh orang tua adalah menghargai orang tua dan menghormati tamu. Dalam hal menghargai tamu ini saya yakin orang Melayu tidak kalah dari siapapun di dunia ini. Ini tidak berlebihan karena orang-orang Melayu akan merasa terhina sekali kalau tidak bisa melayani tamunya. Bahkan mereka rela untuk berhutang demi untuk menghormati kedatangan tamu dan menjamu mereka dengan hidangan yang layak. Dan hal ini merupakan pemandangan biasa di rumah saya, jika ada tamu minimal seekor ayam akan dipotong. Dari hal-hal di atas akhirnya dapat saya simpulkan bahwa dalam mengajarkan nilai-nilai yang sangat dijunjung tinggi sering kali tidak perlu diverbalkan, cukup dilakukan saja berkali-kali maka anak-anak akan menangkap nilai-nilai luhur itu dengan sendirinya. Contoh lainnya adalah dalam hal membantu orang yang sedang kesusahan. Kecuali memang benar-benar tidak ada, tidak pernah saya lihat orang yang datang ke rumah, baik itu keluarga atau tetangga, untuk meminjam uang tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan. Hal ini sangat berkesan di lubuk hati saya terdalam.

Refleksi Diri

Dari nilai-nilai yang selama ini melingkupi saya, maka bisalah saya merefleksikan bagaimana mengembangkan sifat-sifat tertentu,

bagaimana pengaruh lingkungan sosial dan pola asuh orang tua dalam pembentukan sifat saya. Nilai pertama yang paling penting dalam hidup saya adalah Islam. Saya sangat menginsafi bahwa saya adalah seorang muslim dan ini sangat ditekankan orang tua saya dari kecil. Bahkan ibu saya sering menyatakan bahwa Allah Swt akan selalu melihat semua apa yang kita lakukan. Di sini dan kini saya baru menyadari bahwa adalah nilai asasi dalam Islam. Ibu saya sebagai seorang Muhammadiyah, saya kenal memang lebih religius dari bapak. Ibu akan sangat marah kalau saya terlambat pulang ke rumah ketika maghrib tiba. Tidak ada kompromi dalam menunaikan shalat, bahkan kami anakanaknya sudah dibiasakan shalat sejak usia lima tahun bahkan kami sudah dibiasakan berpuasa penuh pada saat berusia tujuh tahun. Sampai sekarang saya meyakini apa yang dikatakan ibu memang benar, setiap gerak saya saat ini saya usahakan memang untuk Allah Swt. Semoga saya tidak mengkhianati nilai-nilai yang diajarkan ibu ini. Berbeda dengan ibu yang lebih mengajarkan nilai-nilai religius, seorang bapak bagi saya adalah guru politik saya yang pertama. Bagaimana tidak ialah yang mengajarkan saya nilainilai demokratis. Ia sangat menyukai suasana diskusi, bahkan dengan anakanaknya. Dari tema remeh temeh seperti film kartun hingga masalah berat seperti kondisi perpolitikan teranyar atau masalah khilafiyah dalam agama. Mengagumkan bagi saya, bapak tidak pernah marah jika saya tidak sependapat dengan pendapatnya. Dan dengan “tidak sopan� mengungkapkan


alasan-alasan yang ia selalu terima dengan senyuman saja. Inilah bapak saya ketika saya tidak setuju dengan sikapnya maka saya akan menegurnya langsung. Dan ia tidak pernah marah karena tindakan saya itu. Saya yakin ini yang membuat saya selalu “gatal” jika melihat sebuah kesalahan. Saya pasti ingin menyampaikan koreksi, tidak peduli siapa orang itu. Inilah yang diajarkan bapak kepada saya, sampaikan kebenaran walau pahit adanya, dan keegaliteran. Ya, egaliter inilah yang harus bisa diserap oleh orang Melayu, semua orang itu sama derajatnya sehingga semua orang bisa salah dan semua orang bisa menyampaikan sebuah kebenaran. Selanjutnya, saya akan bercerita bagaimana akhirnya lingkungan Melayu tadi mempengaruhi dan saya serap sebagai bagian dari pola hidup saya. Yang paling penting dari semua nilai-nilai itu adalah suka bicara dan tidak terburu-terburu sehingga cenderung santai dalam menjalani hidup. Hal ini sebenarnya wajar karena sebagian besar orang Melayu adalah petani sawah tadah hujan atau nelayan. Sehingga tidak mengherankan jika pagi-pagi hari bukannya langsung ke sawah tapi nongkrong dulu di warung kopi. Karena bagi yang pekerjaannya petani, tidak ada alasan yang membuat mereka harus ke sawah setiap hari atau pergi pagi-pagi. Jikapun mau ke sawah biasanya ketika matahari sudah mulai tinggi. Lain lagi yang kerjanya nelayan, waktu siang adalah waktu istirahat malam hari baru kerja. Inilah yang membuat orang-orang Melayu yang mayoritas tinggal di pesisir pantai punya kesempatan yang sangat

banyak untuk berdiskusi dengan teman-temanya. Waktu bukanlah uang bagi mereka karena ladang dan hasil tangkapan ikan sudah cukup untuk biaya hidup. Pola hidup seperti inilah yang membuat lelaki Melayu suka sekali bicara bahkan berdebat. Bahkan sepertinya adalah sebuah kebanggan jika memiki kemampuan “bersilat lidah” yang mumpuni di kalangan lelaki Melayu. Efek samping dari hal ini tentu saja kami warga Melayu sering diidentikkan sebagai orang-orang yang hidupnya santai seakan tidak ada beban dan hanya bisa bicara tanpa tindakan nyata. Tapi, itulah kami Melayu. [akhyar, media bundaran psikologi]

Bagian hidupmu yang telah berlalu tak dapat tergantikan, dan apa yang engkau petik darinya tak ternilai harganya (Ibn ‘Athaillah dalam Al Hikam) “Human thougt can be understood only by examining its history” (Lev Semyonovich Vygotsky)


Dan Harta Itu Bernama “Harta Kami”

Terlahir dalam keluarga Jawa yang kental, bayi yang lahir pada Rabu malam, tepat di tanggal 20 Juni 1990 itu pun diberi nama yang sarat akan makna ke-jawa-an: Jayaning Hartami, begitu sang Mbah Kakung menamai ku. Nama yang unik. Dan jarang, sangat. Bahkan, bila anda mau iseng mencari nama Jayaning dalam katalog tebal Yellow Pages, bisa aku pastikan anda akan sulit menemukannya. Nyaris tidak ada. Itulah ku pikir yang membuatku istimewa. Aku adalah perempuan, jelas. Tetapi namaku justru mencerminkan bahwa pemiliknya adalah seseorang yang maskulin. Maka tak heran, guru yang baru pertama membaca absen seringkali terkecoh saat membaca frase awal nama panjang ku. “Jayaning,” dan acungan tangan ku pun diabaikan sebab kognisi beliau terkena bias bahwa sebuah nama yang berawalan “Jay” atau “Jaya” pastilah seorang lakilaki. Lalu apa yang membuatnya begitu istimewa? Tentu saja, nama unik tersebut membuat guru-guru cepat hapal dengan diri ku. Terlebih ke depannya, aku menjadi murid yang betah berlama-lama mendengarkan penjelasan panjang lebar mereka, bahkan terhadap guru yang sukses

membuat satu kelas tertidur lelap. Jayaning Hartami. “Jaya” berarti kejayaan. Sedang “Ning” bermakna di sebagai preposisi. “Hartami”? Mmm…, inilah frase yang paling ku suka. “Hartami” tak memiliki tafsiran langsung. Ia merupakan kata singkat dari Harta Kami. Jika digabung, maka nama ku adalah: kejayaan di harta kami. Dahsyat! Mudah-mudahan hal tersebut dapat dirangkaikan dalam usaha untuk meng-ittiba’-i Rasulullah: kewajiban orang tua untuk memberikan nama yang baik. Sebab ia adalah do’a. dan di hari akhir nanti, orang akan dipanggil dengan namanya masing-masing. Tidak kah kita akan bangga ketika dipanggil Allah dengan sebaik-baik nama? Dan tentunya, bersama sebaik-baik amalan pula.. Masa kecil ku? Mmm, ia adalah paradoks besar. Menyedihkan? Ya. Sebab aku dipilih olehNya untuk menjadi anak dalam keluarga yang mendapat ujian istimewa: perpisahan. Ayah Ibu ku berpisah saat aku masih berumur sekitar tujuh tahun. Tak banyak yang kuingat mengenai kejadian itu. Semuanya begitu cepat. Yang ku tahu hanyalah tiba-tiba Ayah tak lagi pulang ke rumah, lalu Ibu membawa aku dan kedua adikku ke rumah Mbah di sudut utara Jakarta sana.


Yah‌,mungkin kejadian itu yang membuat ku begitu peka dan sensitif dengan masalah keluarga, termasuk pernikahan. Iya kah? Hhe.. he‌ Hanya sedih kah? Tidak! Justru lebih banyak menyenangkannya. Dua keluarga yang sungguh sempurna perpaduannya! Dari garis Ibu, ada penekanan akademis yang amat kuat. Masih lekat dalam ingatan bahwa dulu, pukul 7 malam adalah waktu terakhir TV boleh dinyalakan. Hingga pukul 9, jam belajar pun wajib dilaksanakan. Ada teladan ketekunan yang diberikan oleh Ibu dan Ayah beliau (yang berarti adalah Mbah Kakung ku). Tak hanya kognisi, sisi moral pun turut diberi: kejujuran. Itu adalah hal penting terinternalisasi hebat dalam diri seorang Tami. Kepuasan atas hasil sendiri, seberapa rendah pun nilainya, akan terasa lebih berharga dibanding nilai tinggi namun didapat dari hak orang lain. Keluarga Ayah ku beda lagi. Mereka sangat akrab dengan nilai-nilai religius. Sayangnya, disebabkan oleh perpisahan, religiusitas itu pun tidak terlalu terserap. Ketidakdekatan ku dengan keluarga besar Ayah membuat diri ku jauh lebih menyenangi pergulatan dengan angka dan bahasa, dibanding ayat dan hadits. Namun, sungguh, Allah tak pernah salah menempatkan ku dalam keluarga, seburuk apapun kondisinya. Karena kejadian tersebut, aku harus hijrah ke Tanjung Priok, the place where everything was begun‌ Perjalanan akademis ku bermula dari SDN Kebon Bawang 03 Pagi. Di sana, aku langsung menempati

kelas III. Juga langsung mengambil posisi peringkat III pada caturwulan pertama di sana. Di sana pula, aku menamatkan wajib belajar enam tahun ku. Kemudian berlanjut pada jenjang selanjutnya: SMPN 30. Segera tiga tahun di sana berhasil membawa ku pada SMAN 13, Sekolah Menengah Atas terfavorit di Jakarta Utara. Seperti yang telah ku ceritakan sebelumnya, penyokongan sisi akademis ku amat kuat. Namun minim religiusitas. Dan SMAN 13 lah penyempurnaan keduanya. Sekolah yang dipadati oleh aktivis rohis yang memesona, baik akhlak maupun akademisnya. Di sana pula pertama kali ku ikuti program mentoring yang memberikan sudut pandang berbeda terhadap Islam. Melalui itu pula lah aku makin memahami dan mencintai agama ku. Tak lama setelahnya, hijab pun mulai ku kenakan. Ah, indahnya menjadi muslimah yang kaffah (menyeluruh). Hijab membuatku merasa lebih terjaga, lebih mulia. Pun, melindungi ku dari mata-mata tak bertanggung jawab serta sentuhan tangan yang berisi tak lebih dari nafsu dunia. Lalu dalam tiga tahun ke depan, begitu banyak warna yang mengisi masa SMA. Ada senang: canda tawa bersama teman. Lalu kesibukan: saat diminta menjadi bendahara umum OSIS sekaligus PJ Bina Bahasa Asing Rohis. Juga sedu sedan: menjelang hari perpisahan SMA. Ah ya, tak lupa tentu ada banyak cita. Ketika memutus IPS sebagai jurusan utama. Lalu muncul berbagai macam keinginan: SekJen PBB, Ketua Komnas Perlindungan


Anak, Pengacara, Ekonom, Menteri Perlindungan Anak… hingga akhirnya, beralih lah aku menuju satu jurusan: Psikologi. Mengapa psikologi? Agak unik, sebenarnya. Karena saat formulir PMDK UI datang, jurusan yang terlintas pertama kali adalah Ilmu Ekonomi atau Hubungan Internasional. Sekali lagi, mengapa psikologi? Hmm.., sebenarnya ini bermula dari perkataan seorang teman satu lingkup aktivitas ku di SMA. Ujarnya, belajar ilmu psikologi akan sangat bermanfaat, mengingat peran utama ku sebaga (calon) istri dan (calon) ibu kelak. “Ga jadi psikolog juga, ilmu kamu bakal tetep bermanfaat,” begitu ia menutup sarannya. Memang sih, dulu aku sempat bercita-cita menjadi psikolog, tapi setelah mengikuti Olimpiade Sains Nasional (OSN) mata pelajaran Ekonomi-Akuntansi di semester akhir kelas XI, aku menjadi begitu menyukai konsep angka, fiskal, moneter, saham, dan teman-teman sejenisnya. Itulah sebabnya, psikologi tidak lagi menjadi bidang ilmu utama yang ingin ku tuju. Tapi ternyata, peran “singkat” teman ku itu begitu signifikan. Alasan utamanya adalah karena teman ku itu adalah laki-laki. Lalu? Ya, berarti dalam sudut pandang laki-laki, wawasan psikologi adalah hal penting yang ingin mereka dapatkan dari sosok istri dan ibu dari anak-anak mereka nanti. Entah rasio ku yang tidak logis atau ada unsur afeksi di sana, yang jelas, akhirnya siang itu, di sudut ruang BK sekolah, jari ku tergerak untuk menulis kode “223546”, yang merupakan kode fakultas psikologi UI, di formulir PPKB UI.

Menyesalkah aku? Tentu tidak! Diterima di psikologi adalah anugerah yang indah. Saat pertama harus tinggal tidak bersama keluarga, lalu adaptasi dengan dunia baru, teman baru. Apalagi? Ah ya, tentu saja banyak pembebanan demi pembebanan mendidik: belajar membagi waktu, amanah, pun uang bulanan. Tentu saja! Ada banyak kesyukuran yang ku temukan di sini: sahabat, keluarga, kemandirian, dukungan, hiburan, nasihat, cinta, dan kasih sayang. Sehingga tak pantas rasanya jika tak ada yang kuberikan kembali pada fakultas ini. Maka di sinilah aku kini, maju menjadi wakil ketua BEM Psikologi UI… [tami, media bundaran psikologi]


Yang BEDA, perubahan adalah pasti

Wakil ketua hanya ada satu, selain tugasnya yang harus menggantikan ketua pada saat ketua tidak ada atau berhalangan, tidak ada perbedaan seharusnya antara tugas ketua BEM dan wakil ketua BEM. Sehingga untuk periode mendatang tidak akan ada pembagian tugas antara ketua dan wakil yang terstruktural. Ketua dan wakil ketua BEM adalah dwi-tunggal. Tim Ahli BEM bertugas untuk membantu Ketua-Wakil Ketua BEM dalam membahas masalah-masalah strategis ataupun taktis demi meningkatkan kinerja BEM. Tim Ahli BEM juga berkewajiban membantu dan Ketua-wakil Ketua untuk memberikan supervisi terhadap pelaksanaan proker-proker BEM. Tim ahli juga berkewajiban untuk menjaga agar kerja-kerja BEM tetap berada pada jalur untuk mencapai visi BEM. Bendahara hanya akan ada satu, bertugas untuk mencatat semua pemasukan keuangan BEM dan tentu saja semua dana masuk untuk BEM tadi ada pada bendahara. Sedangkan untuk semua uang keluar harus melalui persetujuan dari Controller, setelah permintaan pengeluaran dana tadi disetujui oleh Controller barulah bendahara boleh mengeluarkan dana. Demi melihat tugasnya ini Controller berkewajiban untuk menjaga keseimbangan keuangan BEM. Kastrat (Kaderisasi dan Kajian Strategis) akan dipecah dua agar kinerjanya semakin baik. Untuk membentuk platform gerakan dan membahas isu-isu yang bersifat strategis ataupun reaktif akan dibentuk sebuah bidang baru yang belum memiliki nama tetap, untuk sementara Center of Study. Bidang ini akan harus bisa melahirkan produk-produk intelektual berdasarkan core competence di bidang psikologi dengan melakukan penelitian kecil, diskusi, atau telaah pustaka. Diharapkan produk intelektual tadi bisa dijadikan alat untuk mengadvokasi kebijakan publik pemerintah. Untuk area-area yang lebih taktis pergerakan maka akan dibentuk departemen khusus yang bernama kaderisasi dan pergerakan (belum tetap juga). Departemen ini bertugas untuk melakukan kaderisasi kepemimpinan, manajerial dan pergerakan terhadap mahasiswa Psikologi. Selain itu, departemen ini juga berkewajiban untuk melakukan propaganda-propaganda ketika pergerakan mahasiswa memerlukan banyak massa.







Opini Masyarakat Psikologi Kak Edwin (Ketua BEM UI 2008): “Sejauh yang saya tahu, akhyar itu, orangnya kritis, apa adanya, genuine, kritis dan keras kepala. Dilihat dari kerjanya sebagai PO OKK 08, kinerjanya baik, OKK yang dipimpinnya memberikan sesuatu yang baru, akhyar matang sekali dalam konsep acara OKK. Hal tersebut menunjukkan bahwa akhyar merupakan konseptor yang baik dan memiliki pengalaman yang cukup dalam memimpin organisasi yang berskala besar. Tami sendiri menurut saya orang yang ramah. Dia juga cerdas dan memiliki banyak prestasi yang membanggakan.” Rendi Alhial (mantan ketua Senat F.Psi UI 2006-2007): “Akhyar itu idealis, pembaca, pengetahuannya luas, keras, konseptor, ...” Mas Pur: “Akhyar itu kalem tapi rewel juga, spontan… apa yaa.. walaupun dia tidak mampu, dia tidak menunjukkan ketidakmampuannya, dia bisa berusaha dan dia bisa mandiri, untuk BEM, sepertinya dia jarang terlibat dalam BEM, jarang menjadi PO, namun dia punya spirit untuk berorganisasi, artinya punya komitmen yang tinggi.” Andrian (si Bos), ketua angkatan 2006: “Akhyar itu cerdas yang saya lihat dan kenal udah lama. Orangnya kalo ngomong menggebu-gebu. Kalo boleh jujur dia itu orang konsep tapi menurut saya dia bukan eksekutor yang cukup baik. Tapi dia konseptor yang ulung, konsep-konsepnya luar biasa. Trus kalo orang baru pertama kali kenal agak risih untuk ngobrol visi dan misi, soalnya dia orangnya ceplok batok, kalo menurut dia jelek ya jelek, kalo menurut dia bagus ya bagus. Kalo bagi orang-orang yang kenal deket, akan mengetahui sentuhan-sentuhan dia yang luar biasa dari Akhyar . Untuk masalah BEM psikologi, visi dan misi yang diusung saya belum tahu banyak tapi kalo lihat dari programnya bisa dilihat arahnya, sangat mengedepankan core competence.” Mas Asup: “Saya mengajar Akhyar Metpen 1 ketika semester 2. Saat itu konsep yang kelompoknya ajukan yang paling matang. Selain itu, dia anak daerah yang bersahaja dan memiliki pemikiran dan pemahaman yang baik. Ke depannya yang patut diperhatikan oleh dia mungkin masyarakat psikologi yang cukup plural, karena terkadang hal itu dapat menjadi masalah di kemudian hari.”


Mas Aten: “Akhyar, sejauh yang saya ingat, selalu berusaha memahami hal-ihwal secara menyeluruh dan mendalam. Ia bertanya secara kritis, menelisik pernyataan-pernyataan saya sehingga memunculkan kecurigaan di benak saya bahwa ia mahasiswa yang cerdas.” Rizki M. Gibran (Ketua angkatan 2005) : “Menurut saya akhyar itu orangnya visioner, berani untuk berpikir besar, mandiri, dan tipe orang yang idealis. Namun kadang-kadang menjengkelkan karena banyak bicara. Tapi saya juga mengakui kemampuan oratornya yang baik. Dalam pertemuan seperti seminar, atau kegiatan diskusi dia sering menjadi pusat perhatian karena berani mengungkapkan pendapat yang berbeda.” Kak Verdi (mantan ketua Senat F.Psi UI 2005-2006): “Basically, saya tidak begitu kenal dengan Akhyar, mungkin karena saya dan dia juga jarang berinteraksi. Yang saya tahu dari observasi dan melihat dia bergaul dengan teman-teman yang lain, banyak yang respek dengan dia. Dia juga bisa membuat anak-anak 2008 menghormati dan melihatnya sebagai seorang role mode yang baik. Dia juga membumi dan saya dengar dia menjadi PO OKK 2008, menandakan dia bukan orang sembarangan. OKK juga berlangsung dengan baik. Dan saya bangga dengan dia yang berani bersuara di luar (sebagai PO OKK). “ Atha, ketua angkatan 2008: “Akhyar itu orang yang wah, konseptor, visioner, dan pengetahuannya luas, terbukti dikosannya banyak buku bertumpuk-tumpuk, sepertinya cocok jadi ketua BEM, tapi pasangannya ga tau(tidak kenal), ga terlalu kenal juga. Sebenarnya, yang saya tahu, kepemimpinan yang baik itu ada konseptor dan eksekutor. Semoga,jika Akhyar menjadi konseptor yang baik, pasangannya dan timnya mampu menjadi eksekutor dan merealisasikan ide-ide tersebut”

Helin 2006: “Akhyar itu banyak omong tapi omongannya bermakna. Dia bisa mempertanggungjawabkan apa yang diomongin.”


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.