Inspirasi untuk Banyumas.

Page 1


ii


iii


iv


Sebuah Prakata Banyumas, sebuah kabupaten yang terletak di lereng Gunung Slamet dan Lembah Serayu ini merupakan salah satu kabupaten dengan potensi sumber daya alam yang melimpah. Oleh karena itu generasi muda harus di didik menjadi insan yang mampu memanfaatkan potensi yang ada. Namun kondisi di lapangan menunjukan tingkat pendidikan masyarakat Banyumas masih rendah dengan rata-rata lama sekolah hanya 7,79 tahun (BPS Prov. Jateng. 2012). Angka partisipasi kasar perguruan tinggi di Kabupaten Banyumas juga relatif masih rendah. Masalah ekonomi masih menjadi alasan utama generasi muda tidak melanjutkan kuliah. Padahal begitu banyak kesempatan mendapatkan beasiswa yang ada di perguruan tinggi. Melalui buku Inspirasi untuk Banyumas kami ingin berbagi

kisah

dalam

memperjuangkan

mimpi

kami

mendapatkan bangku di perguruan tinggi serta berbagi pengalaman mendapatkan beasiswa di bangku kuliah. Semoga

buku

ini

dapat

menginspirasi

adik-adik

di v


Kabupaten Banyumas terutama dan di seluruh Indonesia untuk terus memperjuangkan impiannya. Terimakasih kami ucapkan kepada segenap kontributor yang bersedia berbagi inspirasi kepada adik-adik di Banyumas. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Keluarga Mahasiswa Banyumas (GAMAS ITB) yang selalu memberikan inspirasi hingga tersusunlah buku ini. Demikian dari kami, semoga pembaca dapat mengambil pembelajaran yang ada di buku ini. Terimakasih

Tim Penyusun

vi


Isi Buku Secuil Asa Anak Desa | 1 Banyak Jalan Menuju Roma | 9 Mengejar Kampus Impian = Masa Depan Cerah, Ini adalah tentang Aku Belajar, Berjuang dan Meraih Mimpi | 23 Idealisme Kurang Bumbu | 39 Sepucuk Kertas Kehidupanku | 55 Ibu, Bapak, Izinkan Aku Kuliah | 64 Pejuang Kecil Peraih Mimpi | 72 Perjuangan Menggapai Impian | 81 Kuliah? Siapa Takut | 94 Motivasi Bangunkan Mimpi untuk Sebuah Aksi | 101 Bermimpilah dengan Aksi dan Iringan Doa | 109 Mimpiku Akan Terwujud Dimulai Hari Ini | 116

Don’t be Scared to Try | 120 Kisahku | 130

It’s All Paid-Off | 135 vii


Mayuh Pada Kuliah, Lur ! | 142 Inspiring Your Surrounding | 152 Dreams are Real, Go Get Them | 158 Gagal? Jangan Bangun Kalau Tak Punya Mimpi | 169 Akhir dari Cerita | 187 Janjiku, Si Pejuang Mimpi | 199 Berbekal Olimpiade, Aku Taklukan Kampus Impianku | 209

viii


Secuil Asa Anak Desa Tofik Hidayat | Institut Teknologi Bandung

--------------------------------------------------------------

P

ernah terbayang kuliah di kampus ternama? Tidak. Seorang anak ingusan yang tak tahu apa-apa ini ingin

mencoba membagikan kisah perjalanan hidupnya hingga bisa singgah di kampus kenamaan bernama ITB. Dahulu, ketika orang bertanya kamu ingin jadi apa? Jawabku dengan polos menjadi artis. Saat itu, sedang maraknya sinetron yang banyak digemari orang yaitu Tersanjung. Setelah disadari ternyata aku adalah korban sinetron. Lebih besar sedikit, saya mulai berpikir untuk menjadi seorang guru, karena guru itu bisa berbaur dengan anak-anak setiap hari, bisa berbagi ilmu pengetahuan, dan gajinya tetap, plus dapat pensiunan. Maklum, mental saya adalah mental pegawai yang juga menjadi mental mayoritas penduduk sana. Upaya untuk mewujudkan cita-cita pun saya buktikan dengan menduduki ranking 1 ataupun 2 di kelas, sejak bangku SD hingga SMP. 1


Pada saat akan masuk SMA, ada kisah unik yang akan sangat sulit untuk dilupakan. Saya adalah anak yang kuper, bahkan untuk urusan sekolah lanjutan mana yang bagus sekalipun. Sosialisasi ke SMP saya waktu itu mayoritas berasal dari sekolah kejuruan. Tapi, saya kurang tertarik karena jurusan yang ditawarkan banyak yang tidak saya sukai. Alhasil, saya mulai bimbang. Orang tua pun kelabakan mencari informasi sana-sini mengenai sekolah yang bagus. Alhasil, pada suatu hari, ayah mengajak saya melihat-lihat 3 sekolah, yaitu SMEA, SMA, dan STM yang ketiganya berlokasi di kecamatan Banyumas. Waktu itu tidak terpikirkan untuk mencari sekolah lain karena lokasi yang cukup jauh, sementara ketiga sekolah itu lokasinya berdekatan. Sekolah di SMEA awalnya menjadi impian saya, karena ada jurusan akuntansi di sana, sebab saya sangat suka pelajaran ekonomi saat itu. Namun, dasar saya menjaga gengsi, saya urungkan niat sekolah di sana karena lebih banyak kaum hawa dibanding kaum adam, which is mengurangi rasa PD saya. Alhasil, saya lihat dulu STM. Meskipun dari awal sudah tidak berminat, tapi karena menuruti kata ayah, akhirnya sayapun kesana, dan tetap tidak 2


tertarik. Pilihan terakhir adalah SMA. Di SMA, ada dua jurusan yaitu IPA dan IPS. Tanpa pikir panjang, saya bilang ke ayah saya agar mendaftar di SMA saja karena saya sangat suka rumpun pelajaran IPS. Akhirnya, mendaftarlah saya di sana. Pendaftaran dimulai, dan saya lolos administrasi. Lalu, menyusul daftar ulang. Waktu itu, dipungut biaya sekitar 3 juta. Nominal yang sangat memberatkan kami. Yang mana orang tua hanya petani dan penderes gula kelapa, tapi harus membayar biaya sekolah semahal itu. Akhirnya, orang tua saya putar otak, dan kalung ibu saya pun harus dijual beserta beberapa ekor kambing dan beberapa batang pohon untuk menggenapi tiga juta tersebut. Akhirnya daftar ulang pun terlaksana. Mulailah pelajaran di minggu pertama. Rasa PD saya goyah ketika mendapati satu pelajaran yang agaknya susah dan saya rasa tidak mampu mengikutinya yaitu Elektro. Gurunya pun terlihat killer. Bahkan, beliau menyarankan kalau dirasa kami tidak mampu mengikuti sistem KBM yang ada di SMA itu, lebih baik kami pindah sekolah saja. Wah, pikiran dalam hati berkecamuk. Saya pun menyampaikan hal 3


ini pada orang tua dan meminta secepatnya saya ingin pindah ke sekolah lain yang masih membuka pendaftaran. Waktu itu, sekolah kejuruan swasta di kecamatan somagede masih membuka pendaftaran. Tapi, orang tua saya bersikeras tidak membolehkan saya pindah, karena yang jelas mereka sudah korban uang untuk pendaftaran, ditambah lagi saya yang sudah terlanjur mengikuti pelajaran selama seminggu. Akhirnya saya simpan rasa kecewa itu, hingga pagi harinya sebelum saya berangkat, saya minta orang tua saya untuk ke sekolah untuk menyampaikan pengunduran diri saya dari sekolah itu. Di sekolah, saya sudah tidak konsentrasi lagi belajar di kelas karena beban pikiran yang berkecamuk. Hingga menjelang jam istirahat, guru BP memanggil saya ke ruangannya. Ternyata di sana ada ayah saya. Saya ditanya macam-macam mengapa tidak ingin bersekolah di sana. Air mata sempat mewarnai curahan hati saya. Dan nasihat guru cukup membuat saya tegar, di samping saya juga tidak tega melihat ayah yang sudah berjuang memasukkan saya ke sekolah itu, akhirnya pun saya bertekad melanjutkan pendidikan di sana bagaimanapun resikonya. Masalah ekonomi yang saya khawatirkan dijawab guru BP dengan 4


jaminan bahwa saya akan diikutkan pada program beasiswa yang bertujuan untuk meringankan biaya sekolah. Waktu terus berjalan, dan Alhamdulillah saya berhasil mencapai hasil akademis yang membanggakan, apalagi setelah memasuki jurusan yang saya inginkan yaitu IPS. 3 tahun berjalan cukup lama, dan di kelas 3 kami harus menentukan perguruan tinggi mana yang kami inginkan. Pada saat itu, pengetahuan tentang universitas pun nol besar. Saya hanya tahu kampus yang ada di area Kabupaten Banyumas. Kalau saja tidak ada sosialisasi dari kampuskampus lain, sudah pasti saya akan menjatuhkan pilihan pada kampus di daerah saya. Namun, pencerahan-pencerahan dari beberapa kampus ternama membuat saya yang tadinya tak tau apa-apa menjadi tergugah untuk memasuki salah satu kampus ternama tersebut. Apalagi ketika saya mendengar ada kakak kelas dari IPS yang berhasil masuk di kampus teknik terbaik di indonesia. Wah, sudah saja saya pun mengikuti jejak beliau. Waktu perpisahan dan wisuda pun tiba. Saat itu, saya tidak menyangka sama sekali kalau saya akan menyabet tiga 5


penghargaan sekaligus yaitu peraih nilai sempurna pada mapel Matematika; siswa berprestasi IPS; dan peraih nilai ujian nasional tertinggi jurusan IPS. Dan pada hari yang sama, sore harinya pukul lima, ada pengumuman SNMPTN undangan. Waktu itu, ada kakak kelas yang kuliah di ITB menanyakan nomor registrasi saya dan password, lalu dia memberitahukan bahwa saya diterima di SBM ITB. Saya masih belum percaya, dan akhirnya saya mengajak ayah saya ke warnet untuk memastikan kebenarannya. Setelah melihat dengan mata kepala saya sendiri, Alhamdulillah, saya benar bisa kuliah di kampus yang awalnya saya tidak kenal tersebut. Saya menempuh kuliah dengan beasiswa Bidik Misi yang diberikan oleh DIKTI. Beasiswa tersebut meliputi biaya kuliah, serta biaya hidup yang besarnya lebih dari cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Saya manfaatkan waktu kuliah sebaik-baiknya dan berusaha mengikuti perkuliahan semampu yang saya bisa. Hingga akhirnya, tiga tahun berjalan, saya bisa menyandang gelar sarjana manajemen. Dan saya bersiap untuk menatap masa depan, menempuh karier dan akan berusaha menjadi manusia bermanfaat bagi sekeliling saya. 6


Untuk bekerja, saya sebenarnya tidak ingin yang mulukmuluk, misal penghasilan harus sekian sekian. Akan tetapi, saya berkeinginan bekerja di tempat yang dekat dengan keluarga, penghasilan cukup dan berkah, serta bisa mendatangkan manfaat. Bagi saya itu lebih dari cukup. Pada akhirnya, saya berkesimpulan bahwa apa yang orang tua saya sampaikan dan katakan adalah benar. Karena orang tua sudah melampaui pahit manis kehidupan, sehingga dalam memberikan nasihat, saran, ataupun keputusan selalu didasarkan pada naluri yang benar. Coba kalau saya memaksakan diri keluar dari sekolah itu, pasti saya memiliki cerita yang berbeda dari apa yang saya tulis ini. Tetapi, kembali lagi semua itu adalah kehendak Tuhan. Karena yang harus selalu diingat adalah Tuhan mungkin tidak memberi apa yang kita inginkan, tapi Tuhan memberi apa yang kita butuhkan. Dan ingat selalu bahwa ridho Illahi adalah restu orang tua kita. Marilah berusaha menjadi anak yang berbakti pada orang tua kita, agar setiap langkah kita diridhoi Yang Maha Kuasa.

7


Satu yang terakhir, kepada pembaca kisah ini, jangan takut untuk kuliah, karena sangat disayangkan jika kita melewatkan kesempatan untuk mendapatkan bekal dan pengalaman yang luar biasa. Masalah keuangan? Jangan khawatir, banyak beasiswa yang bisa kita dapatkan, yang terpenting adalah tekad kuat untuk belajar lebih giat lagi. Kalau kata kampus saya, “tidak ada kasus drop out hanya karena masalah ekonomi�, artinya permasalahan ekonomi pasti ada solusinya selama kita berkomitmen untuk serius belajar. Dan, dalam berkuliah menurut saya ada tiga pilihan yaitu menjadi orang biasa di kampus ternama; menjadi orang luar biasa di kampus biasa; atau menajdi orang luar biasa di kampus ternama. Itu semua pilihan. Tapi kembali lagi bahwa keberhasilan

seseorang

tidak

ditentutkan

dari

asal

almamaternya, karena setiap orang sudah memiliki jalan hidupnya masing-masing. So, berkaryalah dimanapun kita berada! *Penulis merupakan alumni SMA Negeri Banyumas dan telah menyelesaikan studi sarjananya dari Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB dengan predikat Cumlaude

8


Banyak Jalan Menuju Roma Hardika Ilhami | Institut Teknologi Bandung ----------------------------------------------------------------------------

“Banyak jalan menuju roma� – Anonim

S

ering saya mendengar pepatah itu. Sejalan dengan katakatanya, kalimat tersebut dibuat untuk memberikan

motivasi bagi seseorang yang sedang jatuh untuk kembali bangkit dengan menemukan jalan lain menuju roma. Mungkin kalimat tersebutlah yang sangat merefleksikan proses saya untuk mendapat gelar menjadi seorang mahasiswa. Mahasiswa. Salah satu dari sekian banyak kata yang sangat di idam-idamkan oleh banyak siswa SMA yang sudah ada diujung kelulusan. Hampir semua teman yang saya tanyai selalu mengatakan akan berkuliah. Begitu pun dengan saya. Meskipun awalnya saya kurang begitu tertarik, karena menurut saya tidak ada yang lebih menarik sebagai mahasiswa selain rambut gondrong. 9


Ada

banyak

keraguan

yang

muncul

jika

saya

membayangkan ketika menjadi seorang mahasiswa. Saat itu, orang tua saya sangat menginginkan saya untuk mendaftar menjadi TNI saja, keinginan orang tua saya bukan tanpa alasan semata. Orang tua saya sangat khawatir karena kiprah saya di SMA memang sangat buruk. Selalu ranking dengan peringkat 25 kebawah. Alasan yang cukup kuat untuk saya supaya tidak melanjutkan kuliah. Namun akhirnya saya memilih untuk kuliah. Sebelum menjadi seorang calon mahasiswa, banyak tahap-tahap yang harus dipersiapkan dan sukur-sukur bisa dilalui. Proses memantaskan diri menjadi amat sangat susah bagi saya yang notabene tidak mendapatkan ilmu apa-apa dari bangku SMA. Semester dua kelas tiga SMA pun datang. Semua teman saya di SMA sibuk untuk mempersiapkan hari untuk penerimaan mahasiswa. Termasuk saya, tanpa sadar saya sudah bekerja lebih keras dari dua tahun sebelumnya karena saya sadar yang menjadi saingan saya adalah orangorang yang jauh lebih baik dibanding dengan saya. Kesempatan pertama datang. SNMPTN Undangan. 10


Banyak yang menyebutnya jalur VIP. Bagi mereka yang memiliki nilai bagus di SMA, tahap ini hanyalah semudah membalikkan telapak tangan. Sangat mudah. Sayangnya tidak bagi saya. Nilai baik hanyalah mitos. Walaupun kesempatan ini terbuka bagi semua siswa yang ada, namun bagi saya untuk diterima di SNMPTN Undangan bagaikan saya bisa mencium Raisa. Hampir tidak mungkin. Saya pun mengisi form pendaftaran tanpa keseriusan sedikit pun. Saya lebih memilih untuk mempersiapkan diri untuk kesempatan selanjutnya yaitu SBMPTN Tertulis. Pengumuman SNMPTN Undangan pun datang. Terbukti, saya pun gagal di kesempatan tersebut. Kebetulan hari pengumuman Undangan berbarengan dengan waktu SMA saya doa bersama. Kami satu angkatan ada diruang yang sama dengan harap-harap cemas untuk diterima. Tepat pukul lima sore, hasilnya resmi diumumkan.

“Yes! Aku mlebu.” “Yes, diterima!” “Alhamdulillah ya Allah....” 11


Satu ruangan riuh dalam euforia. Terkecuali saya. Walaupun sudah tahu bahwa saya tidak akan diterima, masih saja ada rasa iri hati dalam diri saya. Saya pun memilih pulang lebih cepat ke kosan. Dan ternyata kekecewaan saya masih berlanjut, bermaksud untuk mengurangi kekecewaan saya membuka facebook dan twitter saya. Ternyata kekecewaan saya masih berlanjut, mata saya perih melihat banyak teman saya yang update status tentang keberhasilan mereka.

“Yes! Aku mlebu.” “Yes, diterima!” “Alhamdulillah ya Allah....” Kalimat yang cukup membuat iri hati saya semakin meningkat. Selepas hasil Undangan diumumkan, pendaftaran SBMPTN tertulis pun dibuka. Itu merupakan kesempatan kedua bagi saya dan mungkin menjadi kesempatan terakhir bagi saya untuk masuk kuliah dengan jalur murah. Dengan rasa iri dan dongkol yang amat besar, saya pun mulai mempersiapkan diri lagi untuk kesempatan kedua tersebut. 12


Berangkat sekolah pukul tujuh pagi dengan seragam SMA, dan pulang pukul sembilan malam masih dengan seragam yang sama. Mungkin seragam tersebut menjadi saksi bisu betapa keras perjuangan saya memantaskan diri menjadi seorang mahasiswa hingga hari Ujian SBMPTN tiba. Saya pun merasa puas dengan ujian tersebut karena saya merasa bisa mengerjakan ujian tersebut. Saya keluar dari ruangan dengan senyum tanpa beban. “Akhirnya perjuangan saya selesai,� ujar saya semangat dalam hati. Pengumuman SBMPTN adalah pada tanggal 8 Agustus 2013. Kebetulan dihari itu, saya sedang melakukan tes UMUGM paginya. Jeleknya, saya mengikuti UM-UGM agar bisa liburan ke Jogja. Saya ujian tanpa ada persiapan karena sudah terlalu yakin dengan hasil diterima di SBMPTN Tertulis. Sorenya, saya dan teman saya pulang. Seperti biasa, pengumuman dimulai pada pukul lima sore, saya dan teman saya sudah ada di terminal giwangan menunggu bis yang sudah kami pesan.

13


“Walaikum salam,

pripun Pak?” Sayup-sayup suara

Dharu, teman saya menerima telepon. Saya menganggap panggilan telepon teman saya itu hanya telepon orang tuanya yang sedang menanyakan sudah di perjalanan pulang atau belum. Ternyata bukan. Dengan mata berkaca-kaca, Dharu menghapiri dan duduk didekat saya. “Anu kepriwe ru?” Tanya saya dengan nada menghibur. “Aku ora ketampa koh dik.” “Maksude?” “Ora ketampa SBMPTN, bapakku ngomong nembe bae,” katanya lemas. “Lah, lomboan ndean, Bapakmu ngomong kaya kue arep

aweh surprise nggo koe pas tekan umah.” Saya masih menganggap Ayah Daru hanya bercanda. Saya tidak bisa membayangkan jika saya jadi Dharu. Dia bagaikan menerima panggilan kematian saat menerima telepon dari bapaknya itu. Namun, ternyata bapaknya benar. 14


Dharu tidak diterima setelah di akun SBMPTN nya ada tulisan berwarna merah yang intinya meminta maaf kalau dia belum diterima. Saya beruntung karena saya lupa untuk membawa

password dan nomor pin untuk membuka pengumuman. Sehingga saya bisa mempersiapkan untuk hal terburuk. Seperti dihari pengumuman sebelumnya, hari itu

timeline akun facebook dan twitter saya pun banjir dengan ungkapan euforia kesuksesan. Kata-kata yang membuat saya berpikir yang tidak-tidak dan tanpa sadar saya sudah berdoa lebih kusyuk dibanding doa-doa yang pernah saya lakukan sebelumnya. Perjalanan empat jam Jogja–Purwokerto itu menjadi salah satu perjalan terpanjang yang pernah saya lalui. Setelah empat jam berlalu, saya sampai dan langsung mengambil nomor pin dan password. Pergi ke warnet dengan tergopoh-gopoh membawa sebuah harapan untuk diterima menjadi seorang mahasiswa. Mengisi password, mengisi nomor pin. Enter!

Maaf, anda belum diterima di pilihan yang anda pilih. Terima kasih telah berpartisipasi pada SBMPTN Tertulis 2013 15


Seketika saya lemas. Saya bingung ekspresi apa yang harus saya lakukan saat itu. Saya pulang ke rumah dengan muka murung, bingung harus menjawab apa saat orang tua menanyakan hasilnya. “Priwe pengumumane?” kata ibu saya. “Ora olih koh bu.” Ibu saya diam, tahu kalau saya butuh waktu untuk menenangkan diri. Saya pun langsung pergi ke kamar untuk tidur dan berharap bisa amnesia saat terbangun nanti. Berharap terlalu tinggi, jatuh terlalu keras. Itulah yang sedang saya alami saat itu. Pikiran saya kalut, tidak tahu harus bagaimana. Bahkan saya masih berkabung dua hari setelahnya. Banyak sanak saudara saya yang menelpon

Embah

saya

tentang

bagaimana

hasil

pengumuman yang lama-lama malah membuat saya semakin risih dengannya. “Semangat Dik, mungkin memang bukan jalanmu,” ucap Pakdhe saya. “Iya pak.” 16


“Banyak jalan menuju Roma, Pakdhe juga bakal nyariin jalan buatmu, Dik.” “Iya makasih pak,” jawab saya seadanya. Selang sehari, Pakdhe mengirim SMS yang berisi jadwal pendaftaran universitas yang masih buka. “Ternyata masih banyak jalan menuju Roma,” ungkap saya dalam hati. Saya pun mulai mempersiapkan pendaftarannya. Saya tidak ingin gagal untuk kesekian kalinya. Saya tahu kegagalan pasti ada batasnya, setali tiga uang dengan keberhasilan. Dari sekian banyak lowongan pendaftaran, saya memilih mendaftar di Universitas Brawijaya. Setelah mempersiapkannya, saya mengikuti tes. Saya berada di Malang selama hampir seminggu. Satu bulan kemudian pengumuman. Dan disitu tertulis bahwa saya diterima. Dan pada saat itu akhirnya saya bisa mengatakan hal yang sama seperti teman-teman saya yang sudah diterima sebelumnya.

“Yes! Aku mlebu.” “Yes, diterima.” 17


“Alhamdulillah ya Allah....” Ternyata cobaan belum berhenti sampai disitu. Belum selesai saya merayakan keberhasilan saya, dua hari kemudian pengumuman UKT diluncurkan. Saya kaget melihat nominal nilai UKT saya yang selangit. Saya tidak tahu bagaimana caranya kuliah dengan nilai UKT tersebut. “Bu biaya kuliaeh semene koh. Priwe yah Bu?” “larange,” kata Ibu saya sambil memegang jidat. “Pangapurane Bu.” Jujur, kala itu saya menangis. Saya bingung. Disaat harapan saya untuk kuliah sudah didepan mata, ternyata masih ada saja halangan yang harus saya lewati. Satu hari kemudian, Ibu saya masuk ke kamar saya. “Wis mangkat bae Dik, nek duit tah masalaeh aku karo

bapane, kowe gari sekolah sing bener.” Saya bingung harus berekspresi seperti apa. Senang karena akhirnya jalan untuk kuliah kembali terbuka, atau

18


harus sedih karena nantinya saya akan melihat orang tua saya bekerja sangat keras demi biaya kuliah saya. “Ya kesuwun Bu, tapi mengko disit jajal dika nggolet

celah mbok ana keringanan.” Setelah mencari informasi, akhirnya saya mendapat keringanan agar pembayaran UKT saya ditangguhkan terlebih dahulu. Namun sayangnya nominalnya masih sama. Alhasil, saya resmi menjadi seorang mahasiswa. Tidak tahu kenapa, seharusnya saya senang sudah bisa kuliah, tapi malah yang ada dongkol tiap berangkat dan pulang kuliah. Pikiran saya hanya ingin cepat-cepat lulus agar uang UKT nya bisa lebih berkurang. Mungkin saat itulah saya malah menjadi tidak ingin kuliah. Setelah satu bulan berjalan, datang lagi kesempatan. Saya mendengar informasi tersebut dari kakak kelas dan teman-teman saya yang ada di SMA. “Kie ana pendaftaran maning Dik,” isi sms dari teman saya. “Pendaftaran apa?” 19


“D3 Metrologi neng ITB, biaya kuliaeh gratis loh,” kata teman saya Tanpa pikir panjang, saya pun langsung membuka laman pendaftarannya dan melihat persyaratan apa saja yang dibutuhkan. Input data, pengumuman pertama, dan saya ke ITB untuk tertulis. Tiga minggu kemudian pengumuman. Berbeda dengan pengumuman sebelumnya, pengumuman ini diberikan dengan memberikan daftar 50 orang nama yang lulus dalam ujian. Saya mencari-cari nama saya, dari awal sampai akhir. Dari nomor satu sampai lima puluh. Tidak ada sama sekali nama saya. Dan untuk keempat kalinya saya ditolak. Kecewa? Pasti, namun tidak sekecewa saat gagal dikesempatankesempatan sebelumnya. “Mungkin emang aku kudu kuliah neng kene. Neng

malang,” ujar saya dalam hati Seperti biasa, di tiap hari rabu saya berangkat kuliah siang. Saya tidak menyangka hari itu menjadi hari yang tidak biasa, setelah mencuci baju. Saya mendapat telepon dari nomor yang tidak saya kenal. 20


“Betul, ini dengan Hardika Ilhami?” suara ibu-ibu terdengar. “Iya betul, maaf ini siapa ya?” “Selamat, anda diterima di D3 metrologi ITB. Mohon untuk melakukan pendaftaran ulang di Bandung hari Jumat ya.” “Iya Bu, siap terima kasih banyak.” Saya sujud sukur. Saya bagaikan menang lotre hadiah dua milyar walaupun saya belum pernah merasakannya. Saya menelfon ibu saya dan ibu saya pun bersukur. Tanpa pikir panjang

saya

langsung

pulang

kerumah

untuk

mempersiapkan persyaratannya. Jarak 16 jam MalangPurwokerto terasa sangat menyenangkan bagi saya kala itu. Singkat cerita, akhirnya saya berkuliah disini. Saya masih ingat candaan saya dengan teman-teman saya yang kala itu masih kelas 2 SMA. “Kowe bar lulus arep ngendi mad?” tanya teman saya kepada saya

21


“Aku? ITB lah! Hahahahahhaha,� saya menjawab sekenanya dan teman-teman saya pun ikut tertawa lebar. Saya tidak menyangka, keinginan saya untuk menjadi seorang mahasiswa harus berjalan sepanjang dan serumit itu. Bahkan sampai sekarang, saya pun masih kaget. kalo bahan candaan saya waktu SMA untuk kuliah di ITB malah jadi kenyataan. Saya pernah mendengar ungkapan, kerja keras takkan

menghianati. Saya hampir tidak percaya dengan ungkapan itu, karena saya sudah dikhianati hampir ke-empat kalinya. Namun, ternyata akhir dari cerita pun berbeda. Mungkin hasil dari kerja keras tidak akan datang dengan cepat dan mudah, mungkin hasilnya akan datang diwaktu yang sangat lama dan rumit. Bahkan mungkin saat kita sudah lupa dengan kerja keras kita, hasil tersebut baru datang. Tetaplah semangat kalian yang sedang mengalami cobaan. Tenang saja. Banyak jalan menuju Roma.

*Penulis merupakan alumni SMA Negeri 1 Purwokerto tahun 2013.

22


Mengejar Kampus Impian = Masa Depan Cerah Ini adalah tentang aku belajar, berjuang, dan meraih mimpi Dian Pratiwi | Universitas Indonesia -----------------------------------------------------------------------------

O

rang biasa memanggilku DP. Aku adalah anak bungsu dan anak perempuan satu-satunya dari keluarga

broken home. Ayahku seorang PNS, bekerja di perbatasan provinsi Jawa Barat-Jawa Tengah. Ibuku hanya seorang ibu rumah tangga dan petani biasa, hidup di desa jauh dari kota. Karena orang tuaku berpisah sejak aku masih kecil aku harus memilih untuk hidup bersama siapa? Dari TK sampai SD aku ikut ibuku, mulai SMP sampai sekarang aku ikut ayahku. Namun, karena ayahku bekerja di luar kota aku lebih sering hidup bersama tetangga dan teman-temanku. Ayahku tak pernah memaksaku untuk belajar atau rajin sekolah, setiap hari aku berangkat ke sekolah atas niat dan tekadku sendiri. Bahkan pernah suatu kali aku kabur dari rumah karena kesal dengan ayahku, tapi saat hari senin tiba aku pulang ke rumah karena aku harus berangkat ke sekolah. Sampai lulus SMA 23


aku tidak pernah sekalipun membolos karena aku pikir ayahku sudah bayar uang sekolah mahal-mahal kalau aku bolos sekolah artinya aku hanya membuang uang ayahku secara percuma, berarti aku rugi donk? Udah bayar enggak dapet ilmu, ya gak? Akhirnya aku lulus SMA dengan nilai yang baik meski ayahku tak pernah mengontrol kegiatan sekolahku, tidak pernah menyuruhku belajar, tidak pernah menyuruhku les sana sini, kalaupun aku les di kelas 3 itu pun atas kemauanku sendiri bukan karena arahan dari orang tuaku.

Setelah lulus SMA tahun 2007 aku ingin sekali kuliah di perguruan tinggi negeri favoritku, yaaah‌kampus negeri ternama seperti UNDIP, UGM, STT Telkom, STAN, dan UI. Pada waktu itu aku sadar tabungan ayahku terbatas, karena banyak masalah keluarga seperti mbah putri yang sakit keras setelah ditinggal wafat mbah kakung sampai masalah keluarga yang tak terduga sehingga menguras isi rekening tabungan ayahku. Saat itu ayahku menanggung hidup banyak orang di keluarga besar kami, isi rekening tabungan ayahku hanya tersisa sekitar sebelas juta saja. Ayahku 24


memaksaku untuk berkuliah di Purwokerto saja, “kuliah aja di UNSOED yang negeri dan paling murah, jangan jauh-jauh di luar kota! Kalau kuliah di UNSOED papah masih sanggup biayain kuliah kamu, tapi kalo mau kuliah di luar kota sanah biaya sendiri! Mau gak kuliah jadi bakul pecel juga sanah!� ujar ayahku marah-marah. Aku sadar ayahku tak akan mampu membayar kuliahku sampai lulus jika aku hidup dan kuliah di kota besar, biaya hidup di sana sangat tinggi. Aku harus memikirkan biaya hidup untuk makan dan kos jika aku nekat kuliah di kota besar. Pada saat itu aku memang nekat, tahun 2007 ibuku sedang berada di Depok ikut tinggal bersama kakakku. Aku memutuskan untuk kuliah di Depok atau Jakarta karena aku pikir jika kuliah di dekat ibukota apalagi di universitas nomor satu di Indonesia aku akan mudah mendapat pekerjaan. Namun, tidak semudah itu untuk dapat berkuliah di UI, saingannya berat dan ketat sekali.

Bayangkan

saja

berapa

ribu

orang

yang

memperebutkan satu kursi di universitas nomor satu itu? Masuk

kampus

negeri

ternama

saja

sudah

syukur

alhamdullilah. Aku sadar diri, aku tidak sepintar dan seberuntung itu. Maka, aku memutuskan untuk mencoba 25


kuliah di UGM atau UNDIP saja yang biaya hidupnya tidak terlalu tinggi, tapi apa mau dikata? Ayahku bersikeras melarang ku kuliah di luar kota dan tidak mau membiayai kuliahku, katanya tidak sanggup.

Oke, aku tidak kehabisan akal. Aku coba kuliah di kampus yang gratis karena dapat bantuan penuh dari pemerintah. Bahkan, dapat uang saku tiap semesternya, tapi kata orang susah keterima di STAN, tidak hanya pandai, tetapi juga harus berpengetahuan umum luas jika ingin lulus ujian masuknya. Katanya aku harus rajin nonton berita di TV dan baca Koran sebelumnya. Aduh, aku paling tidak suka membaca, bahkan selama ini aku hanya memperhatikan apa yang diajarkan guru saat di kelas, pulang mengerjakan PR lalu sudah selesai. Aku paling malas membaca dan menonton berita di TV, tapi aku tetap coba mengikuti ujian STAN di kota yang paling dekat, yaitu Jogja. Aku memang tidak yakin akan lolos ujian STAN jadi aku sudah mempersiapkan segalanya, aku sudah membawa semua ijazahku beserta legalisirnya untuk mendaftar kuliah di kampus lain di Jakarta atau Depok jika aku tidak diterima di STAN. Ujiannya memang benar 26


susah bagiku, soalnya seperti “ada berapa jumlah provinsi di Indonesia sekarang? Siapa peraih medali emas kejuaraan blablabla‌â€? aku tidak pernah update berita terkini jadi aku gagal ujian masuk STAN dan setelah itu aku nekat melanjutkan rencanaku ke Jakarta untuk menemui ibu dan kakakku yang tinggal di Depok.

Aku bilang pada mereka aku ingin sekali kuliah di ibukota, karena menurutku peluang mendapatkan pekerjaan di sana akan lebih besar daripada di Purwokerto. Syukursyukur kalau aku bisa masuk UI, aku ingin sekali merasakan kuliah di kampus terbaik negeri ini. Aku minta kakakku menemaniku ke beberapa universitas di Jakarta, baik negeri maupun swasta. Sialnya waktu pendaftaran masuk UI sudah lewat, ujian SPMB nasional juga sudah lewat, dan saat ujian SPMB itu aku diterima di UNSOED Purwokerto atas paksaan ayahku. Namun, aku bersikeras tidak mau kuliah di Purwokerto, jadilah aku mendaftar di UI college yang bernama Politeknik Negeri Jakarta. Dulu PNJ merupakan bagian dari kampus UI yang kemudian berdiri sendiri, seperti perguruan tinggi negeri binaan UI programnya adalah 27


Diploma yaitu D3 dan D4 (setara S1). Ada jurusan yang baru dibuka

saat

itu

tahun

2007,

namanya

“Manajemen

Konstruksi� di bawah naungan departemen teknik sipil dan merupakan program khusus Dual Degree (kuliah 3 tahun di PNJ lalu dilanjutkan 1 tahun di London dan pulang mendapatkan 2 ijazah D3 dan S1). Program itu baru dibuka dan hanya menerima kuota mahasiswa sebanyak 23 mahasiswa/i. Persyaratannya cukup ketat, seperti nilai bahasa Inggris di UAN harus minimal 7,00 dsb. Alhamdullilah saat itu aku lulus tes, masuk urutan ke-22 dan aku memaksa ayahku untuk membayarkan uang kuliahku di semester pertama terlebih dahulu, setelah itu aku akan cari kerja untuk biaya kuliahku selanjutnya. Namun, ayahku bersikeras menyuruhku untuk registrasi ulang di UNSOED dan kuliah di Purwokerto saja. Jika tidak, silahkan aku membiayai kuliahku sendiri. Meski ayahku tidak membiayai kuliahku, aku tidak mau pulang! Aku tetap tinggal di Depok sampai ayahku mau membiayai kuliahku di Depok. Aku bilang pada ibu dan kakakku ingin kuliah di sini, kalau kalian tidak ada uang aku bisa bekerja untuk membiayai kuliahku sendiri, tapi ibuku

28


melarangku bekerja. Ibuku bilang kakakku akan menabung dan akan menguliahkan aku.

Pada akhirnya 2 tahun berlalu dan aku tetap belum bisa kuliah karena di tahun 2008 kakakku mendapat masalah dengan rekan kerjanya sampai mengalami kecelakaan dan memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak kerjanya. Uang tabungan pun habis untuk menghidupi orang satu rumah dan saat itu kakakku hanya kerja serabutan yang pendapatannya tidak tentu. Aku ingin sekali bekerja, tetapi ibuku selalu melarangku. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke rumah ayahku. Bukan, aku kembali bukan untuk menyerah. Sebelum aku pulang ke rumah ayahku, aku mampir dulu main ke rumah saudara, menginap di kosan saudara sepupuku. Bahkan terkadang aku ikut teman ke kampus dan sit in jadi mahasiswa illegal karena aku sangat ingin tahu kehidupan para mahasiswa/i.

Aku pulang ke rumah untuk kembali bernegosiasi dengan ayahku, ini sudah 2 tahun dari hari kelulusan SMAku. Aku yakin pasti tabungan ayahku sudah bertambah 29


walaupun sedikit. Aku minta ayahku memberiku jatah uang tiap bulan untuk kuliah atau sekedar untuk hidup di luar kota, jika tidak aku akan terus menumpang hidup di rumah saudara-saudara sampai ayahku malu. Kemudian berhasillah aku membujuk ayahku untuk mengijinkanku berkuliah di kota besar dengan budget tertentu. Jika uang kuliah dan biaya hidup melebihi budget yang diberikan ayahku, maka aku harus mengurusnya sendiri. Oke, aku bersiap untuk perang agar dapat meraih impianku kuliah di Universitas Indonesia!

Hari di saat aku akan mengikuti ujian masuk universitas secara nasional yang sudah berganti nama menjadi SNMPTN tahun 2009 adalah H – sebulan. Jadi, persiapanku untuk belajar hanya satu bulan. Aku sudah dua tahun tidak belajar. Aku sudah lupa semua rumus-rumus fisika dan kimia yang dulu aku pelajari saat SMA. Waktunya tidak memungkinkan karena passing grade UI sangat tinggi. Sepertinya mustahil untuk bisa diterima di kampus ini, tapi karena ini adalah impianku aku akan berusaha keras! Aku ubah strategi, cari jurusan yang tidak banyak rumusnya! Oke aku coba jurusan 30


IPS dan Bahasa. Aku coba saja pilihan pertama di peringkat yang tinggi yaitu jurusan management fakultas ekonomi dengan passing grade tahun lalu 835 dan pilihan terakhir jurusan Bahasa yang passing gradenya tidak setinggi FE. Karena tidak ada bahasa tertentu yang aku minati aku pilih saja jurusan baru yang berdasarkan survey bagus peluang kerjanya. Lulusan prodi ini akan banyak dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan di seluruh Indonesia dan karena posisi negaranya yang berada di sebelah Jepang, maka aku memutuskan untuk memilih jurusan Bahasa dan Kebudayaan Korea, yah siapa tahu ada kesempatan ke Korea lalu bisa nyebrang dikit ke Jepang deh hehe..

Manusia hanya bisa berencana, tetapi tetap Allah yang menentukan. Sedari SMA ingin kuliah di jurusan Teknik Kimia. Namun, apa daya ternyata takdirku untuk berkuliah di UI

dengan

jurusan

Bahasa

dan

Kebudayaan

Korea.

Alhamdullilah sekali aku bisa diterima di kampus yang merupakan impian banyak orang yaitu UI. Namun, masalah tidak berakhir di situ saja. Untuk dapat berkuliah di UI aku harus membayar biaya kuliah yang tidak murah. Saat 31


pertama diterima aku harus registrasi ulang secara online dan memilih cara pembayaran uang kuliah (DPP & SPP). Pada layar tersedia tiga pilihan pembayaran: bayar tunai lunas, bayar tunai dicicil, atau cara pembayaran BOPB (dana bantuan yang disesuaikan) secara dicicil. Secara otomatis tanpa pikir panjang aku langsung memilih pilihan ketiga, aku “klik� dan muncul persyaratan yang harus dipenuhi dalam waktu dua minggu. Ada lembar essay yang harus aku isi dan ditulis tangan, isi essay harus menceritakan kondisi permasalahan

ekonomi

keluarga

yang

memberatkan

mahasiswa untuk membayar uang kuliah secara penuh sehingga pihak kampus dapat mengerti dan memutuskan berapa besaran biaya yang sanggup ditanggung oleh keluarga mahasiswa/i. Alhamdullilah sekali, Allah emang baik banget. Aku akhirnya bisa kuliah di UI hanya dengan membayar SPP tidak sampai Rp 1.500.000/semester. Biaya kuliahku sama dengan kuliah di UNSOED sehingga ayahku sanggup untuk menguliahkan aku di UI.

Ceritaku tidak berakhir sampai di sini ya kawan-kawan. Aku akan menceritakan suka duka kisah kehidupan 32


kampusku yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan semasa masih duduk di bangku SMA. Saat diterima di UI kampus idamanku, aku berkata pada diriku sendiri: “aku akan sukses! Aku akan memulai masa depanku yang cerah, itu semua dimulai dari sini. Ini adalah jalanku. Ini adalah langkah awalku menuju kesuksesan yang dapat merubah nasibku sendiri dan juga mengangkat derajat keluargaku. Aku akan dapat membanggakan orang tuaku di mata kerabat, tetangga, dan orang lain di luar sana. Aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan peluang yang bagus selama di kampus dan semoga cita-citaku pergi ke luar negeri dapat terwujud semasa kuliah. Ini kampus terbaik negeri ini, masa iya aku gak bisa dapetin beasiswa atau kesempatan ke luar negeri? Kan kampusnya dekat Ibukota dan banyak orang asing yang bisa jadi koneksi di sini, aku yakin aku pasti jadi orang sukses kelak!� ujarku pada diri sendiri.

Aku bertekad sangat kuat saat itu! Semua kegiatan yang bersifat positif seperti mengikuti UKM dan organisasiorganisasi kampus dari mulai tingkat jurusan, fakultas, sampai tingkat universitas aku ikuti. Aku berusaha sebaik 33


mungkin di bidang akademik maupun kegiatan nonakademik atau kegiatan bersosialisasi lainnya, seperti hanya sekedar nongkrong dan mengobrol dengan teman atau orang asing di kantin. Itu tidak mudah, kuliah yang sulit serta tugas yang menumpuk membuatku sebagai mahasiswa harus benar-benar pintar membagi waktu agar semua bisa dilakukan dan tidak mengganggu prestasi akademikku. Aku ingat sekali kata-kata yang diucapkan oleh Rayi-RAN (penyanyi terkenal alumni kampus kami), “ilmu itu tidak hanya didapatkan dari kelas dan kegiatan formal di kampus, tapi seringkali kita mendapatkan ilmu dari orang lain di luar kelas, seperti di kantin kampus,â€? pesan Rayi kepada semua MaBa. Yah kata-kata itu sangat menginspirasiku, ilmu yang kita dapat di kampus tidak 100% dapat kita serap. Dan saat kita bekerja nanti kerjaan kita tidak selalu sama dengan bidang yang kita pelajari di kampus, tapi tahukah kawan‌ Bahwa kampus adalah tempatnya orang-orang besar bermunculan, tempatnya orang-orang cerdas berkumpul dan bertukar pikiran, tempat dimana banyak peluang dari mulai persahabatan sampai koneksi pekerjaan. Jika mau

34


sukses dekatilah orang-orang yang telah sukses dan curi ilmunya, setidaknya kita dapat mengcopynya pada diri kita.

Perjuanganku baru dimulai saat aku masuk kuliah. Aku baru merasakan yang namanya harus membagi waktu, belajar mengatur dan membedakan mana tanggung jawab dan mana kewajiban, mana juga hak dan mana peluang. Di kampus, aku banyak belajar, berjuang untuk lulus tepat waktu dengan gelar caumlaude. Bahkan, saat aku merasa terjun ke dalam jurang karena memilih jurusan yang tidak sesuai dengan bidangku, aku belajar mati-matian untuk menghafalkan kosakata asing yang bukan bakatku. Aku tidak pandai bahasa asing, aku anak IPA, otakku lebih cepat menangkap rumus dan penerapannya dibandingkan ilmu sosial atau bahasa. Dari kecil sampai lulus SMA aku dapat lulus dengan mudahnya tanpa harus belajar, tapi di kampus aku harus belajar mati-matian di perpustakaan sampai malam. Begadang mengerjakan tugas setiap hari sabtu dan minggu juga hanya agar dapat lulus ujian bahasa agar tidak mengulang tahun depan. Aku belajar banyak hal di kampus, mengenal banyak orang dari yang sangat polos dan baik, 35


sampai yang sangat jahat dan bertindak licik demi tujuannya agar tercapai. Semua itu adalah proses menuju kehidupan yang sebenarnya agar saat aku terjun ke masyarakat aku tidak terkejut lagi akan kekejaman dunia ini.

Berita baiknya, target yang kukatakan di awal kuliah dapat aku raih lebih cepat dari perkiraanku. Jalan menuju kesuksesanku terbuka lebar sejak aku berkuliah di UI. Tak disangka keinginanku dapat pergi ke luar negeri semasa masih berkuliah dapat terwujud. Di akhir semester pertama tahun 2009 aku terpilih sebagai salah satu delegasi, perwakilan dari teater mahasiswa Indonesia untuk turut tampil di pementasan teater Singapura. Mulai semester tiga aku sudah bisa mencari uang sendiri dari mengajar. Dua kali mendapat kesempatan makan malam bersama Duta Besar Korea untuk Indonesia di kediaman Beliau di Jakarta. Tahun 2012 dapat pergi untuk bekerja (magang) di Pulau Dewata yang sedari sekolah sudah aku impikan. Di tahun yang sama setelah pulang dari Bali aku dapat pergi ke Korea dengan usahaku sendiri (memanfaatkan peluang dan koneksi yang ada, jalan-jalan dengan budget minim hasil mengajar selama 36


kuliah). Bertemu dengan orang-orang tenar, yah maklum banyak artis yang kuliah di UI. Bahkan, pejabat juga banyak yang merupakan alumni UI, seperti: Sri Mulyani, Jajang C. Noer, Okky Setiana Dewi, Kukuh Adirizky, Dian Sastro Wardoyo, dan masih banyak lagi. Sudah dapat membeli motor sendiri dan mendapatkan pekerjaan yang bagus sebelum lulus kuliah. Banyak kesempatan emas yang dapat aku raih karena berkuliah. Kampus adalah gudangnya ilmu, baik yg formal (akademik) maupun yang non formal (nonakademik).

Kebetulan di kampus ku banyak orang asing (bule) jadi aku dapat melebarkan sayap lebih luas, koneksiku lebih banyak dari kebanyakan orang, sehingga rejekiku pun alhamdullilah lebih lancar. Ini bukan sekedar “berkuliah di kampus ternama atau terbaik di Indonesia.” Aku bicara tentang masa depan, “ini adalah tentang aku belajar, berjuang, dan meraih mimpi.” Jangan percaya pada kata-kata “kalau

mimpi

jangan

tinggi-tinggi,

nanti

kalau

gak

kesampaian jatuhnya sakit.” Aku lebih percaya pada katakata dan cara berpikirku sendiri, “bermimpilah setinggi 37


mungkin bahkan melebihi atmosfir karena jika mimpimu tidak kau capai setidaknya kamu sudah berjuang dan sampai pada titik yang tinggi,� maksudnya apa? Gampangnya gini: “jika kau terbang tinggi dan tak kau capai bulan, setidaknya kau sudah melampaui awan.� Awan tinggi gak? Tinggi kan? Kalau masih belum juga paham gini deh dibuat lebih simple, “kalau mimpi jadi presiden gak tercapai setidaknya kau bisa jadi menteri, kalau mimpi jadi dokter setidaknya bisa jadi perawat, sekarang paham kan? Perjuangan itu tidak ada yang mudah, pasti berat, tapi hasilnya pasti berbuah manis. Allah sangat menyukai orang yang mau berusaha merubah nasib daripada orang yang hanya meratapi nasibnya. Ayo persiapkan dirimu untuk masa depan lebih baik!

*Penulis merupakan alumni SMA Bruderan Purwokerto.

38


Idealisme Kurang Bumbu Astiawan Handi Pradana | Sekolah Tinggi Akuntani Negara ----------------------------------------------------------------------------

T

ahun terakhir di SMA itu ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, kita ingin menikmatinya karena merupakan

akhir dari masa-masa yang “katanya” paling indah, namun di sisi lain datanglah sederetan cobaan di dalamnya. Selain tentunya ujian, perubahan sikap teman-teman kita pun jadi cobaan tersendiri. Mereka yang tadinya langsung cabut saat kita ajak nongkrong, sekarang punya jawaban, “Nyong arep

sinau, demi kuliah neng ITB” artinya “Aku mau belajar, demi kuliah di ITB”. Obrolan di sekolah juga bukan lagi tentang Manchester United yang dibantai oleh Liverpool atau Liverpool yang dibantai Queens Park Ranger tapi tentang UN lah, SNMPTN lah, apalagi sampai ada yang ngobrolin tentang ospek. Yah, begitulah. Jujur saja, saya bukanlah siswa berprestasi di sekolah, bahkan saya termasuk deretan peringkat 10 besar terbawah di kelas. Jadi, di saat teman39


teman lain mulai ngobrolin tentang hal-hal yang berbau dunia perkuliahan, saya tidak tertarik. Sayangnya sedikit sekali orang-orang seperti saya di sekolah ini, semuanya

mainstream. Tibalah saatnya untuk memilih 4 jurusan di dua universitas negeri yang ingin kita masuki melalui jalur undangan atau

SNMPTN.

Pada

masa

itu, SNMPTN

menggunakan nilai rapor dari semester satu sampai lima. Tahu sendiri lah bagaimana nilai saya, rendah dan tidak stabil. Kadang peringkat 10 terbawah, kadang peringkat 4 terbawah, terus naik lagi ke peringkat 6 terbawah. Sungguh bervariasi. Tapi, di saat seperti ini, saya bingung dan galau. Wawasan saya mengenai dunia universitas sangat sempit. Apalagi tentang prospek kerjanya. Saya juga tidak tahu citacita sendiri, mau jadi apa di masa depan, benar-benar tidak tahu. Satu jam sebelum mendaftar, saya searching mengenai dunia universitas dan akhirnya menjatuhkan pilihan pada Geologi dan Statistika UGM, kemudian Teknik Elektro dan Statistika Undip. Empat pilihan yang bisa dibilang dipilih secara spontan. 40


Dan

hasilnya

mudah

ditebak.

Saya

tidak

lolos.

Sedangkan teman-teman lain yang sudah belajar lebih keras dan merencanakan dengan baik masa depannya mulai menapaki kampus impian mereka. Saya kecewa dan sedih. Pertama, karena belum diterima dimanapun dan menjadi pengangguran karena sudah tidak lagi terdaftar sebagai murid SMA. Ngomong-ngomong, hasil Ujian Nasional menempatkan saya di peringkat 8 terbawah di kelas. Oke, lanjut ke alasan kekecewaan dan kesedihan saya yang kedua adalah saya harus belajar dan membuka buku lagi untuk mengikuti SBMPTN atau tes masuk perguruan tinggi negeri secara tertulis. Di saat teman-teman lain yang telah lolos mulai merencanakan traveling, hiking, snorkeling, doing

nothing, dan sleeping all day long, saya malah masih berkutat dengan buku. Malu dan rikuh (tidak enak) pada orang tua kalau sampai jadi pengangguran karena tidak diterima di kampus mana pun. Untungnya saya masih punya kesadaran itu dan mulai belajar demi masa depan. Saya benar-benar direpotkan oleh SBMPTN, saya harus belajar dari awal karena sudah lupa dengan sebagian besar 41


materi pelajaran. Optimisme yang berlebihan di jalur undangan ternyata berbuah petaka. Karena merasa bakal diterime, saya tidak pernah belajar, berangkat les pun tidak pernah. Padahal sudah didaftarkan dan dibiayai oleh orang tua. Apalagi soal-soal di SBMPTN itu bukan soal-soal dasar, tapi sudah satu sampai tiga level di atasnya. Saat itu saya benar-benar stress. Pikiran saya benar-benar lurus, semua hobi dan kesenangan ditinggalkan, belajar siang malam demi PTN idaman. ∞ Manusia memang dianugerahi akal untuk membuat rencana, tapi tetap saja Tuhan yang menentukan. Lagi-lagi rencana saya untuk berkuliah di UGM ataupun Undip tidak diridhoi. Rasa kecewa dan sedih kali ini jauh lebih dalam daripada saat pengumuman jalur undangan karena saya merasa sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi saya mau menyalahkan siapa? Jelas-jelas ini kesalahan saya yang kurang mempersiapkan semuanya dengan baik. Baru mau belajar setelah gagal, tetapi memilih universitas yang mulukmuluk. Gak tau diri! Tanggapan orang tua pada saat itu 42


sangat dingin. Mereka diam, tidak berkomentar apa pun. Pastilah mereka kecewa dengan anaknya yang satu ini. Mereka sudah menyarankan untuk memilih Unsoed yang selain dekat dengan rumah, universitas ini juga menunjukan kemajuan yang pesat beberapa tahun terakhir. Tapi saya dengan keras kepala menolak saran tersebut dengan alasan bosan di Purwokerto terus. Hasilnya ya seperti ini. Bingung dan menyesali diri sendiri. Walaupun sebenarnya masih ada kesempatan di UMBPTN (Ujian Mandiri Bersama Perguruan Tinggi Negeri), tapi saya rasa ikut UMBPTN hanya akan buang-buang waktu, pikiran, dan tenaga karena sudah merasa gagal duluan. Di saat keadaan saya lagi kalangkabut, seorang teman menyarankan buat mulai melirik perguruan tinggi swasta. Saran itu saya pertimbangkan. Terus ada temen lain bernama Laila yang menyarankan buat ikut tes-tes masuk perguruan tinggi ikatan dinas. Bahkan dia sampai mencarikan manamana saja perguruan tinggi ikatan dinas yang masih membuka pendaftaran. Saya merasa benar-benar dikasihani, mereka ikut memikirkan dan terus memberi suntikan 43


motivasi, meminjami buku-buku, bahkan ikut mencari info tentang perguruan tinggi yang cocok buat saya. Yang paling ngena adalah kalimat singkat yang terlontar dari mulut Nova Ristiana, teman kelase saya yang berbunyi, “Keep kalem bro, usaha keras tidak akan berkhianat”. Pas banget sama gejolak di hati saya yang merasa usaha keras selama ini sia-sia. Setidaknya, saya jadi punya keyakinan bahwa usaha keras beberapa bulan terakhir, meskipun hasilnya nihil di SBMPTN, tapi bisa jadi mengantarkan saya ke tempat yang lain. Ya, saya

mulai

semangat

kembali.

Pokoknya

saat

itu

ungkapan “Sahabat bukan mereka yang menghampirimu

ketika butuh, namun mereka yang tetap bersamamu ketika seluruh dunia menjauh” terasa relevan. Orang tua pun yang meskipun diam saya yakin mereka masih selalu mendoakan, dan yang paling penting, saya masih diberi asupan gizi setiap hari agar bisa berpikir jernih. ∞ Pilihan telah dijatuhkan. Saya memilih buat mendaftar Ujian Saringan Masuk (USM) STAN. Sebuah sekolah ikatan dinas di bawah Kementerian Keuangan yang sejak saya SMP 44


sudah diidam-idamkan oleh orang tua. Setelah orang tua tahu kalau STAN masih membuka pendaftaran, tanpa ragu lagi mereka langsung memberi instruksi untuk mendaftar. Di USM STAN ini, ada secercah harapan dimana materi yang diujikan hanya Tes Potensi Akademik, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia. Di sana tidak ada fisika, kimia, dan biologi. Ya, orang tua menyarankan ikut USM STAN itu bukan semata-mata nafsu mereka ingin anaknya masuk ke STAN. Tapi karena mereka tahu betul kalau saya lemah di Fisika dan Kimia. Dua mata pelajaran itu juga yang sering jadi kambing hitam atas kegagalan di SNMPTN dan SBMPTN. Tapi memang benar sih, saya merasa payah di dua mata pelajaran itu. Jadi ceritanya, saya itu korban salah jurusan, ingin masuk jurusan IPS malah dimasukan ke IPA. Tapi ora papa, ini kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar. STAN meskipun singkatan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, tetapi bukan berarti hanya dapat dimasuki oleh anak dengan jurusan IPS karena sama sekali tidak melihat latar belakang jurusan sebelumnya. Ya, inilah kesempatan saya.

45


Keputusan saya sudah bulat untuk mengikuti Ujian Saringan Masuk (USM) STAN. Jadi saya harus bekerja keras buat itu. Tapi, ada yang berbeda dengan atmosfer belajar saya kali ini. Rasanya sekarang lebih santai dan tidak terlalu sulit. Tinggal mengerjakan buku-buku latihan soal yang dipinjami Nova dan Aldy. Tidak perlu lagi belajar dari nol karena hasil belajar SBMPTN masih membekas. USM STAN juga membuat saya jadi rajin ibadah dan berdoa. Mungkin Allah memberi rangkaian kegagalan agar saya jadi lebih dekat dengan-Nya. Singkat cerita saya akhirnya menjalani ujian tulis USM STAN. Ternyata ujiannya tidak sesulit SBMPTN. Meski begitu saya masih pesimis karena ada sekitar 90.000 pendaftar sedangkan yang nantinya lolos hanya sekitar 5.000 orang. Saya tahu diri saja lah. Tidak terlalu berharap meski doa tidak pernah terputus. Sekarang, lebih baik saya jalan-jalan keliling desa untuk menyegarkan otak. Ngomong-ngomong, saya tinggal di sebuah desa bernama Lesmana, yang masuk dalam daerah administratif Ajibarang. Sekitar 15 km dari pusat Kota Purwokerto. Kadang-kadang saya memang suka iseng jalan46


jalan keliling desa hanya untuk menghirup-hembuskan udara pagi, menyentuh embun di dedaunan, dan menyapa warga desa dengan segala aktivitas paginya. Tapi jangan salah sangka ya, saya bukan calon kepala desa menjelang pilkades yang sedang melakukan pencitraan untuk mengambil hati masyarakat. Bukan. Di tengah perjalanan, saya berhenti di jalan setapak diantara tanah-tanah yang tidak terawat. Isinya hanya rumput, semak-semak, dan beberapa pohon buah yang jarang berbuah. Tanah-tanah ini milik orang kaya di desa ini. Mereka memiliki kebun luas mung nggo duwe-duwe. Barangkali mereka membeli kebun hanya untuk menyimpan uang mereka. Daripada disimpan di bank dan terkena biaya administrasi setiap bulan lebih baik uangnya dipakai untuk membeli tanah dan jika suatu saat butuh tinggal dijual saja tanahnya. Sah-sah saja sih hal seperti itu. Tapi mbok ya lebih baik jika tanahnya jangan dibiarkan terbengkalai dan tidak produktif sama sekali. Jika tanahnya produktif bukan hanya sang pemilik tanah yang diuntungkan melainkan juga masyarakat sekitar. Yang tadinya menganggur, bisa saja 47


dipekerjakan sebagai buruh tanam. Penjual bibit semakin untung. Pedagang buah tak perlu jauh-jauh mencari barang jualannya. Lingkungan pun menjadi lebih hijau dan tidak gersang. Pokoknya banyak sekali faedahnya jika semua tanah kosong dimanfaatkan dengan bijak. Atas dasar itu, sebagai anak yang dibesarkan di lingkungan pedesaan, tiba-tiba terbesit pikiran “Oya, kenapa saya gak jadi petani aja ya, lebih tepatnya

petani

modern.

Menanam

banyak

bibit,

mempekerjakan banyak orang, panen berlimpah, dan memakmurkan desa ini.� Hemm ujare gampang ya mas. Tapi apa salahnya punya impian wong Bung Karno saja pernah bilang, “Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.� Saya lantas pergi ke rumah eyang untuk meminjam cangkul dan peralatan bertani lainnya. Kemudian memakai sepatu boot dan mengolesi tubuh dengan lotion anti nyamuk. Yap, petani masa depan siap beraksi. Kebetulan ada tanah milik eyang yang belum digarap jadi bisa saya pakai untuk mencari jam terbang di dunia pertanian. Ditemani alunan musik karya John Coltrane dan Miles Davis tangan ini 48


mulai memainkan cangkul, menghujam tanah musim hujan yang gembur dan sedikit basah. Ternyata tidak mudah menjadi petani. Baru berapa kali ayunan tangan ini langsung pegal-pegal. Tapi saya menikmatinya, menikmati setiap keringat yang mentes karena kerja keras. Yah, semoga ada manfaatnya. Setiap hari begitulah kegiatan saya. Berangkat ke ladang, mencabuti rumput liar, dan kembali menyangkul. Kali ini prosesnya memasuki tahap penanaman bibit. Ngomongngomong saya mau menanam munthul, atau bisa disebut ubi manis. Kalau lelah biasanya saya duduk-duduk di bawah pohon buah klesem yang rindang sembari menyantap sandwich buatan mama. Dalam kedaan lelah itu tiba-tiba terpikir, “Kalau gini apa bedanya saya sama petani-petani lainnya ya, apanya yang petani modern kalau sama-sama kelelahan�. Saya sadar dalam melakukan sesuatu itu harus didasari oleh ilmu. Jika ingin jadi petani modern, otomatis kita harus mengacu pada ilmu pertanian yang terkini dan terhangat. Ilmu bertani konvensional yang diajarkan eyang masih belum cukup jika cita-cita saya adalah petani modern 49


masa depan yang dielu-elukan masyarakat. Saat itu lah tibatiba saya terpikir buat mendaftar di Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman. Kebetulan Unsoed masih membuka jalur mandiri dan kuota untuk Fakultas Pertanian tampaknya masih banyak. Setelah koordinasi dengan orang tua, akhirnya saya mendaftarkan diri dan mengikuti ujian mandiri di Fakultas Pertanian jurusan Agroteknologi. ∞ Alhamdulillahirabbil’alamin.

Akhirnya

ada

juga

Universitas yang mau menerima saya apa adanya. Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman. Ah saya bangga sekali bisa masuk ke sini. Padahal dulunya saya selalu memandang sebelah mata kampus ini. Menganggap bahwa kuliah di luar kota jauh lebih baik dari segi kualitas maupun pergaulan. Opini saya berubah ketika ternyata banyak sekali mahasiswa dari luar kota yang sangat berharap bisa diterima di kampus ini. Sebagai putra daerah dan sekarang menjadi bagian dari kampus ini, saya harusnya bersyukur dan tidak boleh hanya berpikir kampus ini mau menjadikan aku apa. Tapi 50


sebaliknya, apa yang bisa aku lakukan untuk kampus ini. Lagipula, Unsoed mulai menunjukan taringnya beberapa tahun terakhir, dan saya ingin mengasah taring tersebut untuk menunjukan wibawanya di mata dunia. Hari-hari

di

Unsoed

semakin

hari

semakin

menyenangkan. Apalagi setelah saya bergabung dengan Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Pertanian. Meskipun belum menjadi anggota resmi, tapi saya sudah biasa nongkrongnongkrong di sekretariat mapala. Sering juga diajari menggunakan peralatan seperti seat harnest, carabiner,

descender, dinding panjat tebing, dan sebagainya. Dan yang paling penting adalah teman saya bertambah banyak. Sebagai calon petani modern yang memegang harapan masyarakat, saya harus memperbanyak relasi. Toh dengan adanya mereka saat ini, saya jadi semakin betah dan menjalani hari-hari di kampus dengan tanpa kebosanan. Lagi seru-serunya di kampus baru, sebuah kabar tak terduga datang dari STAN. Secara mengejutkan saya lolos tes tulis dan melaju ke tahap selanjutnya yaitu tes wawancara dan tes fisik. Kejutan berlanjut, satu bulan kemudian saya 51


berhasil menaklukan kedua tes tersebut. Saya baru saja menyingkirkan 85.000 peserta lain. Saat orang tua tahu, saya langsung dipeluk sama mama. Ekspresi gembira terpancar dari keduanya. Tapi bukannya sujud syukur saya malah bengong kebingungan kemudian merasakan haru yang luar biasa. Meskipun saya sangat bersyukur bisa lolos USM STAN, sejujurnya saya belum mengambil keputusan apakah akan pindah ke STAN atau tetap di Faperta tercinta ini. Saya sudah terlanjur betah. Sudah terlanjur banyak impian yang tergagas setelah saya masuk ke kampus ini. Mungkin bergabung dengan STAN memberikan jaminan pekerjaan di masa depan, tapi benarkah saya mencintai pekerjaan tersebut? Kalau bertani sudah jelas saya sangat tertarik dan mencintai pekerjaan sebagai petani. Ah lagi-lagi ada pergolakan di hati saya. Tidak diterima dimanapun bingung, sekarang diterima di dua kampus ternyata lebih bingung lagi. Orang tua yang dari saya SMP sudah mendambakan anaknya bisa masuk STAN, ternyata masih konsisten dengan cita-cita mereka. Mereka berharap saya memilih STAN. 52


Karena selain masa depan yang sudah hampir terjamin, berkuliah di sana juga meringankan beban mereka karena gratis. Bahkan diberi uang saku setiap bulan. “Masalah pekerjaan di masa depan bakal menyenangkan atau tidak, tergantung seberapa besar rasa syukur kita�, begitu kata bokap. Masuk akal juga sih. Lagipula saya sudah pernah tidak menuruti kata orang tua, dan akhirnya terseok-seok sendiri. Bisa jadi idealisme saya memang belum cukup penopang, idealisme yang terbentuk tanpa ilmu yang cukup. Berbeda dengan idealisme orang tua yang mungkin sudah dicampuradukan dengan segudang pengalaman dan sedikit realitas. Tapi bukan berarti anak muda tidak boleh beridealisme ya, maksud saya, idealisme anak muda juga harus dibumbui nasehat orang tua. Okelah, kali ini saya coba menahan hasrat pribadi dan mencoba merevisi lagi rencana-rencana jangka panjang yang telah disusun. Sembari terbayang kembali betapa gembiranya orang tua ketika mereka tau saya lolos, saya akhirnya memutuskan untuk memilih STAN. Besoknya saya langsung

menemui

teman-teman

di

kampus

untuk 53


berpamitan. Sedih sih meninggalkan kampus hijau beserta isi-isinya, tapi untuk sukses, terkadang seseorang harus berani meninggalkan zona nyamannya. Setelah itu berharap zona nyaman baru segera menyusul. ∞ Ya, begitulah saya beberapa tahun yang lalu. Sekarang, meskipun saya sudah bergabung dengan keluarga besar Direktorat Jenderal Pajak, tapi hasil revisi rencana jangka panjang yang saya buat beberapa tahun lalu masih saya pegang teguh. Rencananya, saya mau menabung sebagian gaji untuk modal mendirikan perkebunan, dan yang akan mengurus segala macam keperluan termasuk teknologi dan formula-formulanya adalah teman-teman saya sewaktu masih di Faperta dulu. Meskipun tidak bisa selalu terjun langsung ke lahan, tapi saya berharap agar bisa berguna bagi dunia pertanian dan tidak lupa juga perpajakan. Aamiin *Penulis merupakan mahasiswa STAN angkatan 2013 dan merupakan alumni SMA Negeri 2 Purwokerto.

54


Sepucuk Kertas Kehidupanku Dwi Astuti | Institut Teknologi Bandung ----------------------------------------------------------------------------

T

ujuh belas tahun yang lalu, saya lahir disebuah desa kecil bagian dari Kota Banjarnegara. Desa yang begitu damai,

tentram, dan jauh dari keramaian perkotaan. Kehidupnnya masih sangat tradisional. Bahkan, akses transportasi umum pun masih begitu langka. Terlebih, pendidikan bukan menjadi aspek penting untuk mereka. Saya lahir dari keluarga yang sederhana. Sebelumnya, saya tumbuh dalam kondisi keuangan yang berkecukupan. Namun, semuanya berubah saat saya masih duduk di kelas empat SD. Usaha ayah saya mengalami kebangkrutan. Dan kini, ayah saya hanyalah seorang buruh tani. Ibu saya juga sebagai buruh pembuat genting. Kakak sayapun bekerja sebagai buruh serabutan. Mengingat kondisi keluarga saya yang seperti itu, saya memiliki keinginan yang kuat untuk mengangkat derajat 55


mereka. Cita-cita saya sangat sederhana, yakni masuk SMK terbaik

di

daerah

saya

dan

segera

bekerja

untuk

meringankan beban mereka. Tidak pernah terbayangkan saat itu, saya bisa merasakan duduk dibangku perkuliahan. Perjalanan saya hingga lulus SMP tidak semulus yang teman-teman saya rasakan. Karena ekonomi keluarga yang semakin memburuk, saya pernah menjajakan makanan yang hasilnya bisa cukup untuk uang saku saya sehari-hari. Saya juga sudah terbiasa jalan dari sekolah kerumah kurang lebih 1.5 km setiap harinya. Hal itu menjadi perjuangan saya untuk bisa mendapatkan pendidikan di SMP. Alhamdulillah, berkat doa dan usaha, saya mendapat beberapa beasiswa yang cukup bahkan lebih untuk memenuhi kebutuhan saya sampai lulus. Setelah lulus SMP, sesuai rencana saya akan mendaftar ke SMK. Tetapi, ayah saya melarang saya. Keluarga saya adalah keluarga yang cukup agamis. Teman-teman ayah saya menyarankan untuk memasukkan saya di SMA islam yang didirikan oleh yayasan pengajian yang keluarga saya ikuti. Bagi ayah saya, karakter saya itulah yang paling penting. Buat 56


apa mejadi menteri kalau dia tidak tau agama. Ayah saya berusaha menempatkan saya dalam lingkungan yang baik. Dengan risiko yang besar bagi orang tua saya, akhirnya saya dilepaskan jauh di kota Solo. Keluarga saya bisa dibilang

cuek dengan pendidikan. Saya tidak pernah menuntut mereka untuk tau apa yang saya pelajari dan apa yang saya butuhkan. Saya juga tidak marah ketika ayah saya tidak hadir dalam awwalussanah maupun akhirussanah dan tidak pernah mengambil nilai-nilai raport saya. Satu tahun telah berjalan dan tiba saatnya liburan panjang. Suatu hari, Ibu saya mendekati saya dan mengatakan "Ndhuk, kalau nanti bapak sudah tidak sanggup lagi membayar SPP kamu, kamu berhenti sekolah saja ya. Kamu harus tau kondisi bapak". Spontan saya kaget dan dalam hati kecil saya menangis. Tapi, saya harus memahami dan mengiyakan permintaan ibu saya. Tiba-tiba, mendekati hari masuk awal semester, saya mendapat telepon dari sekolah. Bahwa saya mendapat beasiswa

alumni

sebesar

Rp

500.000,00

per

bulan.

Sebelumnya, saya memang mendapatkan beasiswa dari 57


sebuah bank, tetapi itu jauh dari kata cukup untuk membayar kebutuhan bulanan saya. Rasa syukur yang tiada tara selalu saya ucapkan. Saya semakin yakin bahwa Allah SWT tidak akan memberikan cobaan yang diluar kemampuannya. Namun, ditengah perjalanan, saya melakukan kesalahan besar. Saya "mencontek" saat ujian tengah semester. Saya tidak tau kenapa saya melakukan itu. Saya menjadi orang paling bodoh saat itu, karena tidak mampu mengatur diri sendiri. Akhirnya, saya menyerahkan diri ke BK dan mengakui semua kesalahan saya. Saya siap menerima hukuman apa saja. Cemoohan dan cacian itu menjadi hukuman sosial bagi saya. Ditengah kehancuran kepercayaan itu, saya berusaha menciptakan kepercayaan baru. Saya memang sudah menjadi seperti abu yang tak berguna di mata teman-teman saya. Mengulang ujian, di-skors dari tim olimpiade dan sebagainya.

Namun,

guru

pembimbing

saya

selalu

menguatkan saya "Orang yang baik itu bukanlah orang yang selalu benar. Tetapi, orang yang baik adalah orang yang apabila salah langsung mengakui kesalahannya dan kembali 58


ke jalan-Nya". Ya, semuanya berjalan dengan baik. Saya berhasil mendapat kepercayaan baru yang bahkan jauh lebih besar sebelumnya. Tapi, ada satu yang tidak bisa saya kembalikan. Kepala sekolah saya mengatakan dengan berat hati, bahwa beasiswa saya tidak bisa diperpanjang. Namun, beliau mengijinkan saya untuk meminta keringanan pembayaran. Guru pembimbing saya juga menerima saya kembali aktif di tim. Beliau juga siap membantu jika saya mendapat masalah finansial. Saya menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Alhasil, saya dipercaya untuk mengikuti beberapa event di perguruan tinggi. Dan berhasil mengharumkan nama sekolah di dua event terakhir. Dan dari situlah saya tertarik untuk kuliah. Saya mulai mengerti dan memahami

artinya

pendidikan

dari

pengalaman-

pengalaman itu. Guru, teman, bahkan Kepala Sekolah sangat mendukung saya untuk kuliah, walaupun orang tua saya tidak mengijinkan kerena masalah biaya. Saya berjanji kepada mereka kalau saya bisa mendapatkan beasiswa untuk biaya 59


kuliah nanti. Keterbatasan pengetahuan dan informasi yang orang tua saya miliki, membuat saya kesulitan untuk meyakinkan kepada mereka bahwa kuliah adalah hak untuk semua orang. Saya beranikan diri mendaftar lewat SNMPTN, walaupun tidak sepenuhnya diijinkan oleh orang tua saya. Saat banyak yang tau saya memilih ITB sebagai perguruan tinggi pilihan saya, banyak orang mencemooh saya. Tidak mungkin saya diterima disana. Saya tidak memiliki prestasi yang melimpah. Pesimisme itu akhirnya berhasil mengalahkan rasa optimis saya. Setelah

Ujian

Nasional

berakhir,

saya

ditawari

kesempatan oleh guru pembimbing saya untuk mengikuti les SBMPTN yang mana biayanya akan ditanggung oleh beliau. Akhirnya, saya kuatkan hati saya untuk tidak kembali ke rumah sampai saya benar-benar mendapat kuliah. Rindu akan kampung halaman pasti ada, tapi saya punya cita-cita yang harus diperjuangkan. Karena kekhawatiran saya, sayapun mencoba mendaftar di sebuah universitas yang menjajikan beasiswa penuh bagi 60


yang lolos seleksi. Dan Alhamdulillah saya lolos. Tetapi, keraguan itu muncul lagi dalam benak saya. Saya masih mengharapkan pengumuman SNMPTN itu. Dengan berat hati, saya mengundurkan diri dari universitas pertama dan menunggu hingga pengumuman SNMPTN tiba. Hari-hari saya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Saya dipinjami buku dari guru dan teman-teman saya untuk mendukung usaha saya. Hingga ada teman saya yang mengikhlaskan akun zenius yang ia beli untuk digunakan oleh saya. Ya, sebuah keberuntungan bagi saya disaat saya tidak memiliki apa-apa, banyak orang yang mau membantu saya. Tanggal 9 Juni pun tiba. Hari yang ditunggu juga paling ditakuti bagi saya. Sejak pagi hari, pikiran saya menjadi kacau, waktu pun berasa kian melambat. Hingga tepat pukul lima, guru BK saya datang keasrama dan mengajak saya untuk membantu membuka pengumuman SNMPTN untuk satu sekolah. Dan subhanallah, sebuah keajaiban terjadi, saya diterima menjadi mahasiswa baru di ITB.

61


Segera saya pulang kampung dan mengatakan kabar bahagia tersebut kepada mereka. Sempat saya kecewa, karena orang tua saya malah menyuruh saya merahasiakan kabar tersebut dari orang lain. Saya tau, karena mereka khawatir kalau-kalau saya tidak mendapat beasiswa dan tidak jadi kuliah. Tetapi dengan keyakinan saya, saya kuatkan diri saya untuk tetap melanjutkan proses berikutnya. Saya juga harus menerima saat keluarga saya tidak ada yang mengantarkan saya ketika daftar ulang tiba. Saya harus menyadari bahwa kuliah

adalah

pilihan

dipertanggungjawabkan.

Saya

saya berangkat

yang

harus

ke

Bandung

dengan gambaran masa depan saya yang indah tidak dengan diantar orang tua saya. Mungkin, kini saya belum bisa mengajak mereka mengunjungi kampus ini, tapi saya yakin, suatu saat nanti kalau sudah tiba waktunya, saya akan mengajak mereka melihat inilah kampus yang mencerahkan hidup kami. Amiin..

62


Semua orang itu memiliki warna yang berbeda. Namun, tidak akan menjadi masalah apabila kita bisa menyikapinya dengan baik. Tidak ada kata tidak mungkin kalau mau berusaha.

"Sesungguhnya

bersama

kesulitan

ada

kemudahan" (Qs Al-Insyirah : 5).

*penulis merupakan mahasiswa Fakultas Teknologi Industri ITB angkatan 2015

63


Ibu, Bapak, Izinkan Aku Kuliah Eka Setianingsih | Institut Teknologi Bandung ----------------------------------------------------------------------------

B

etapa senangnya hati ini ketika menginjakkan kaki di kelas XII IPA 3, aku merasa sebentar lagi aku akan

menempuh kehidupan baru, kehidupan anak kuliahan. Dengan berbagai kisah yang menyenangkan tentang kehidupan anak kuliahan, siapa yang tidak tertarik untuk segera lulus dan

meneruskan ke pergururan

tinggi

favoritnya. Namun ada sesuatu yang mengganggu pikiranku, “apa aku bisa kuliah?� pikirku. Bahkan, sebelum aku sempat menanyakan

pada

orang

tuaku,

mereka

sudah

mendahuluinya dengan menasehatiku, �De, mama tahu kamu ingin kuliah, tapi kamu harus tahu dan mengerti keadaan orang tua, mama berharap kamu jangan merasa minder kalau nantinya kamu tidak kuliah dan terpaksa kerja, tetap semangat, kuliah atau enggak kamu tetep bisa 64


bahagiain mama kok�. Air mata ini tidak tertahankan lagi ketika mendengar kata-kata itu. Aku merasa hancur disaat semua teman-teman sudah merencanakan pendidikan masa depannya, lalu bagaimana nasibku?

Apa

aku

tidak

diberi

kesempatan

untuk

melanjutkan kuliah? Aku sempat marah pada orang tuaku, aku belum siap terjun ke dunia kerja dan aku masih ingin merasakan indahnya pendidikan. Padahal selama di SMA sejak semester satu hingga semester lima, aku berusaha masuk peringkat tiga besar agar aku bisa mengikuti tes SNMPTN. Orang tuaku sama sekali tidak mendukung keinginanku. Aku iri pada orang tua yang lain, walaupun mereka kondisi ekonominya sama seperti orang tuaku, namun mereka tetap mendukung dan memberi semangat pada anaknya agar bisa melanjutkan kuliah. Setiap kali aku ditanya oleh teman-temanku hendak melanjutkan kemana, pasti aku hanya bisa menjawab, �dimana aja si, yang penting bisa membahagiakan orang tua�. Dengan tersenyum kecil, hanya itu yang bisa aku jawab karena aku belum punya tujuan yang pasti, ya setidaknya itu 65


merupakan doa yang mudah-mudahan menjadi suatu kenyataan. Namun aku tidak pantang menyerah, menjelang UN aku mengikuti les, bahkan uang untuk membayar les aku dapatkan dari hasil usahaku berjualan martabak unyil dan piscok di kelas serta dengan serta menghemat uang sakuku. Hingga tiba saatnya pendaftaran SNMPTN, aku bingung memilih universitas. Aku tidak berani memilih univeritas yang berlabel elit. Mendengar teman-teman memilih ITB, UGM, UNDIP, UNPAD, UI, membuatku merinding dan aku merasa sama sekali tidak berhak memilih universitas tersebut sebagai tujuanku, karena untuk pergi ke tempatnya pun tidak ada biaya apalagi bayar biaya pendaftarannya. Bapakku seorang pensiunan biasa yang sudah berumur 70 tahun dan ibuku adalah ibu rumah tangga. Mereka harus menghidupi dua

orang

anak

yang

sama-sama

harus

dibiayai

pendidikannya. Tapi apa salahnya mencoba, dengan mengandalkan peruntungan saat itu, aku memilih ITB sebagai tujuan utamaku, dan fakultas teknik sipil dan lingkungan di ITB 66


sebagai jurusan yang akan aku masuki. Aku mendapat info ada beasiswa bidik misi yang diperuntukan bagi siswa yang kurang

mampu,

aku

dibantu

oleh

guru

bimbingan

konselingku untuk mendaftarkan diri sebagai calon penerima beasiswa bidik misi. Setelah ujian nasional dilaksanakan, orang tuaku menyuruhku melamar pekerjaan. Mereka terus mendesakku bekerja dengan memberiku berbagai tumpukan koran yang berisi info lowongan pekerjaan. Menyebalkan rasanya saat itu dan aku belum berani mengatakan bahwa aku mendaftar SMNPTN di ITB. Hingga hari pengumuman kelulusan pun tiba, dan alhamdulliah, segala puji bagi Allah SWT, aku lulus dengan nilai yang tidak mengecewakan. Aku senang dan terharu,

namun

terharuku

mulai

bercampur

dengan

ketakutanku yang semakin kuat kalau aku akan didorong oleh orang tuaku untuk bekerja. Setelah pengumuman ini berarti aku sudah memiliki SKHU yang bisa digunakan untuk melamar kerja. Dan benar saja ketika dua hari menjelang perayaan wisudaku, aku dipaksa melamar pekerjaan di tempat 67


percetakan foto. Benar-benar siang itu aku naik sepeda dan ke warung membel kertas folio untuk menulis surat lamaran. Surat lamaran dikirimkan siang hari sebelum pengumuman hasil SNMPTN. Aku pasrah apapun hasilnya, itu aku anggap sudah merupakan jalan takdirku, yang jelas aku sudah berusaha dan berdoa. Pukul 16.00 wib aku berangkat ke SMA Negeri Banyumas. Sekolah yang selama tiga tahun merekam semua kisah putih abu-abuku dan keesokan harinya aku akan diwisuda, melepas semua kenangan manis dan setiap tingkah polah kekanak-kanakanku. Sore itu aku latihan perayaan wisuda untuk esok harinya dan hari ini juga aku akan membuka web dikti untuk melihat hasil tes SNMPTN ku. Seorang sahabatku yang bernama Firdha menjerit dan menangis ketika dia mendapatkan hasilnya bahwa dia di terima di ITB di jurusan FTTM. Syukurlah, sahabat karibku akhirnya mendapatkan apa yang ia cita-citakan. Lalu, apakah aku masih bisa bersama firdha lagi pikirku. Dengan hati ragu dan perasaan pasrah aku membuka pengumumannya. Aku mendapati sebuah tulisan sederhana 68


yang begitu istimewanya hingga aku meneteskan air mata. Ini dia kata-kata yang membawaku berada pada jalan yang aku cita-citakan, “atas nama Eka Setianingsih dinyatakan lulus SNMPTN ITB jurusan FTSL,� begitulah kurang lebihnya. Sujud syukur bagi Allah SWT yang telah mengabulkan keinginanku. Aku langsung menghubungi mamahku dan mengatakan aku lolos seleksi, beliau menangis dan memintaku segera pulang. Sesampainya di rumah aku dipeluk, dan diberi ucapan selamat. Namun, kebahagiaan itu sempat terhenti ketika bapakku bertanya bagaimana caranya membiayaiku kuliah di ITB ? Aku pun menjelaskan kalau aku mengikuti besiswa bidik misi yang artinya orang tuaku tidak perlu mengeluarkan biaya sepeserpun untuk membayar uang kuliahku dan kehidupanku selama aku kuliah nanti. Menyebalkan

memang,

bapakku

masih

tidak

mengijinkan aku kuliah, apalagi sampai kuliah di Bandung. Katanya jauh dengan orang tua sangat berisiko. Aku mencoba berbagai cara untuk meyakinkan bapakku, dibantu dengan mamahku yang mendinginkan suasana. 69


Hingga aku meminta bantuan pada seorang mahasiswa ITB yang juga merupakan tetanggaku untuk meyakinkan bapakku kalau semua tidak seburuk yang ia pikirkan. Hingga akhirnya bapak luluh dan mengijinkan aku kuliah. Sebagai calon penerima beasiswa bidik misi, aku harus mengikuti suatu kegiatan yang disebut matrikulasi. Bapakku harus mencari ongkos dengan meminjam uang pada

tetangga

dan

saudara

untuk

membiayai

keberangkatanku ke Bandung. Ada rasa sedikit berdosa karena telah membebani bapakku. Hingga tiba saat keberangkatanku ke Bandung bersama enam orang temanku yang berasal dari SMA Negeri Banyumas juga. Semua ini nyata dan aku benar-benar mencium tangan kedua orang tuaku saat aku memasuki mobil yang akan mengantarkanku ke Bandung. Aku kira hanya bermimpi dan mana mungkin terjadi, tapi sekarang semuanya ada di depan mata.

70


Terbayarlah sudah semua perjuanganku selama tiga tahun, semua ada di genggaman, tinggal melanjutkan mimpi dan mempertanggung jawabkan amanah yang aku emban sebagai penerima beasiswa. Semangat dan berdoa serta ikhlas menerima setiap kegagalan yang meyertai setiap jalannya perjuangan adalah kunci keberhasilan.

*Penulis merupakan mahasiswa Teknik Kelautan ITB angkatan 2013 yang juga merupakan alumni dari SMA Negeri Banyumas. Naskah tersebut juga merupakan 30 besar Kisah Inspiratif Forum Bidikmisi ITB.

71


Pejuang Kecil Peraih Mimpi Esti Rahayuning Tias | Institut Teknologi Bandung ----------------------------------------------------------------------------

Ku berdebar melewati gerbang yang penuh sakura Di awal musim semi ku memulai sekolah Orang-orang disekitar semua tampak bersinar Hanya aku sendirilah yang tak percaya diri

R

asanya lirik lagu tersebut cocok sekali dengan perasaanku saat aku pertama kali menginjakan kaki di

ITB, ya di Institut Teknologi Bandung. Saat itu aku benarbenar berdebar melewati pintu gerbang ITB dengan bungabunga ungu yang mulai bermekaran. Ku lihat banyak para calon mahasiswa sepertiku, mereka semua tampak begitu bersinar, sempat terlintas rasa tak percaya diri saat melihat mereka. Karena mereka adalah putra-putri terbaik bangsa. Desember 2014, saat itu ada sosialisasi ITB di sekolahku, ku lihat beberapa kakak kelasku saat di SMA dengan begitu 72


gagah memakai jas almamater ITB. Mereka menjelaskan banyak hal tentang ITB. Sejak saat itulah aku mulai berani untuk mengubah angan-angan semu ku menjadi mimpi yang harus diwujudkan, ya impian untuk bisa seperti mereka menjadi mahasiswa ITB. Aku tahu untuk bisa masuk ITB pasti butuh perjuangan keras. Memang benar perjuanganku untuk bisa diterima di ITB tidak mudah. Ayah dan ibuku sempat tak setuju dengan pilihanku. Kuliah di Bandung? Jauh dari orang tua, biaya hidup yang mahal, dan banyak alasan lain. Bahkan, saat aku katakan bahwa ada beasiswa bidik misi pun, ibu ku belum sepenuhnya rela aku kuliah di ITB. Seiring waktu berjalan, perlahan orang tuaku setuju dengan pilihanku. Aku ceritakan bahwa ada kakak-kelas ku yang saat ini kuliah di ITB lewat bidik misi, Aku katakan apabila aku ingin seperti mereka, meski kurang biaya tapi bisa mewujudkan mimpinya kuliah di ITB. Pendaftaran SNMPTN, aku mantapkan niatku untuk memilih ITB sebagai pilahan PTN pertamaku. Aku putuskan untuk memilih SITH-S, aku senang belajar makhluk hidup 73


dan beragam kehidupannya. Meski guruku saja kurang mendukung pilihanku untuk memilih SITH-S, aku tetap mantapkan niatku tersebut. Dukungan untukku pun tidak sedikit, tapi dukungan yang paling berarti bagiku adalah dukungan keluargaku. Setelah aku jelaskan dengan baikbaik, keluargaku pun merestui pilihanku. Aku percaya bahwa restu orang tua lah yang paling berarti untukku. Setelah proses pendaftaran SNMPTN dan menunggu hasil SNMPTN, memang membuatku resah. Untunglah, selama menunggu, banyak hal yang harus dilakukan. Aku fokus untuk mempersiapkan UN. Banyak teman - temanku yang sibuk juga mendaftar berbagai universitas. Sempat ada yang meremehkan keputusanku memilih ITB, bahkan ada yang bilang bahwa aku terlalu percaya diri hanya mengandalkan SNMPTN dan tidak mendaftar kesana kemari seperti yang dia lakukan. Entah mengapa, aku yakin akan pilhanku. Bukan berarti aku terlalu percaya diri, tapi aku kuatkan pilihanku tersebut dengan doa yang tulus dan penuh kepasrahan karena hanya usaha itu yang bisa aku lakukan. Meski begitu aku tetap khawatir tentang hasilnya, untuk itu aku mulai sedikit demi sedikit belajar untuk 74


SBMPTN . Ingin rasanya seperti teman-teman yang lain bisa ikut bimbingan belajar untuk mempersiapkan SBMPTN, tapi aku sadar saat ini orang tuaku tak punya cukup uang untuk membiayai keinginanku itu. Aku lakukan usaha terbaikku dengan belajar sendiri, dan aku tetap berharap banyak bisa lolos SNMPTN. Ujian Nasional, akhirnya aku bisa mengikuti ujian dengan baik. Aku yakin apapun hasilnya itulah yang terbaik untukku. Aku telah berusaha sekuat tenaga. Karena hasil tak akan pernah mengkhianati usahanya, aku percaya itu. 9 Juni 2015, pengumuman SNMPTN saat itulah yang telah aku nantikan. Ternyata bukan hanya aku yang khawatir, kedua orang tuaku pun ikut khawatir. Mereka tetap menguatkan dan meyakinku bahwa apapun hasilnya itulah yang terbaik. Air mataku tak kuasa ku tahan saat terpampang namaku dinyatakan lolos SNMPTN dan diterima di ITB. Ku ucap syukur sembari memeluk kedua orang tuaku. Raut wajah mereka tampak haru dan bahagia . Ibuku pun tak kuasa menahan tangis. Kami larut dalam rasa syukur.

75


Apa yang aku rasa? Senang, terharu, tidak percaya, semua bercampur menjadi satu. Aku sangat bersyukur bisa lolos, tapi ternyata dari sekolahku hanya ada lima orang yang dinyatakan lolos SNMPTN, dan dari kelasku hanya aku yang lolos. Sedih dan kecewa, kenapa teman-temanku tidak ada yang lolos? Bahkan ada dari mereka yang begitu kecewa dan melampiaskannya padaku, aku tahu itu pasti hanya bentuk kekecewaannya dan aku tak marah padanya, tidak akan . Untunglah semangat mereka tak putus. Meraka berjuang untuk SBMPTN dan UMPTN, dan aku berharap mereka bisa lolos dan diterima. Pasca pengumuman, aku mulai menyiapkan berkasberkas yang diperlukan. Aku bersyukur karena ada satu teman sekolahku yang sama-sama diterima di ITB sehingga kami bisa menyiapkannya bersama-sama. Perjuanganku dimulai, saat itu aku semakin merasakan betapa besar dukungan ayah, ibu dan kakakku. Mereka memberi yang terbaik untukku, saat aku merasa lelah mereka lah yang mengembalikan semangatku. Saat itu untuk tes kesehatan aku harus pergi ke kota, saat itu ayahku sedang sakit tapi beliau dengan rela mengantar ku. 76


Bukan hanya aku. Di sisi lain, kakakku yang sudah dewasa akan segera menikah. Sayang, belum ada cukup dana yang terkumpul. Karena sejak ia bekerja banyak uangnya digunakan untuk biaya sekolahku. Kakakku rela menunda keinginannya demi aku. Dia terus memberi yang terbaik untukku. Ayah dan ibuku pun bekerja keras untuk bisa membiayai ku ke Bandung karena memang tak sedikit uang yang dibutuhkan. Oleh karena itu, aku bertekad untuk bisa membahagiakan keluarga ku. Aku perbaiki niat dan semangatku untuk belajar di ITB. Tak akan aku kecewakan orang-orang yang begitu luar biasa mendukungku. Aku di Bandung. Dulu saat aku berselisih pendapat dengan orang tua, ku pikir berada jauh dengan mereka akan jauh lebih baik. Tidak. Aku benar-benar merindukan mereka, aku sering menangis dan ingin pulang saja. Namun, sekali lagi, semangat dan dukungan dari mereka pula lah yang menguatkanku. Mimpiku masih terlalu pendek untuk aku akhiri saat ini. Aku harus berjuang demi impian-impianku untuk membahagiakan keluargaku. Aku tahu akan banyak tantangan yang harus aku hadapi, tapi inilah yang namanya

77


perjuangan,

harus

dinikmati.

Menikmati

indahnya

perjuangan. Orang-orang hebat. Banyak pelajaran berharga yang aku dapat, aku malu akan sikapku yang begitu manja, aku malu. Para pembicara di acara pengembangan karakter begitu memotivasiku. Merekalah orang-orang hebat yang membangkitkan semangatku. Perjuanganku tak sepadan dengan perjuangan mereka. Oleh karena itu, aku tak berhak untuk menyerah sebelum menjadi orang-orang hebat seperti mereka. Impian. Sejak itu, mimpi-mimpiku semakin berkembang. Cita-cita kecilku untuk menjadi guru kini berubah, aku ingin menjadi seorang dosen. Bisa belajar ke luar negeri, mengelilingi dunia untuk mewujudkan mimpi. Lebih dari itu, aku ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Aku yakin tidak ada kata “terlalu banyak� untuk impian dan cita-cita yang harus diwujudkan. Perjuangan dan doa. Tak cukup rasanya hanya bermimpi, harus ada usaha nyata dan doa penuh harap agar impian itu bisa menjadi kenyataan. Aku selalu teringat pesan 78


ibuku, bahwa cita-cita besar akan dipaketkan dengan ujian yang besar pula. Aku yakin setiap ada ujian dan cobaan aku harus kuat, karena ujian itulah jalanku untuk bisa meraih mimi-mimpiku. Bukan si jenius. Aku ada di antara orang-orang hebat yang memiliki mimpi-mimpi luar biasa. Aku bukan si jenius, aku perlu belajar keras dan bersungguh-sungguh demi impianku. Oleh karenanya aku harus semangat, semangat, dan terus semangat. Aku

percaya

bahwa

usaha

keras

itu

tak

akan

mengkhianati. Man jadda wa jadda. Demi impian yang harus aku perjuangkan untuk menjadi kenyataan, demi cita-cita, demi keluarga tercinta. Demi mengharap ridho dari mu, ya Allah . Aku berjuang. Aku harus berjuang. Sekarang inilah aku, seorang pemimpi kecil yang punya impian besar. Ceritaku mungkin tak seindah dan se-inspiratif seperti orang-orang hebat yang hidup penuh perjuangan. Tapi aku percaya, setiap kisah pasti punya makna. Inilah kisahku, sebuah kisah kecil yang terus diperjuangkan. Karena hidup adalah perjuangan. Nikmatilah, petik hasil usaha dan 79


perjuangan itu. Sekali lagi, percayalah. Usaha keras itu tak akan mengkhianati, man jadda wa jadda.

*Penulis merupakan mahasiswa Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati program Sains ITB angkatan 2015 dan merupakan alumni SMA Negeri Jatilawang

80


Perjuangan Menggapai Impian Indah Nur’aini | Universitas Gadjah Mada ----------------------------------------------------------------------------

Assalamu’alaikum wr.wb

“Ilmu adalah mutiara yang ada di samudra kehidupan, yang harus direngkuh dalam asa dan cita, sebagai harapan untuk terus berjuang melawan kebodohan”, Kalimat mutiara ini untuk adik-adikku di Banyumas, generasi muda pengubah masa depan bangsa, dan sebagai pembuka cerita yang sederhana ini dari seseorang yang juga sederhana  “Mbak mbaaakk, ingkang dereng ngaos diaturi ngaos

seniki!” Teriak salah satu teman kamar, mengagetkanku. Seperti biasa, segera aku lirik jam di aula kompleks El Hawa. Jam 07.30! Astaga. Aku terlalu asyik menulis laporan. Untunglah, jam di aula dipercepat 10 menit, masih ada waktu untuk ngaji Al-Qur’an. Dengan cepat aku menuju aula Pondok Pesantren 81


Al-Barokah. Ramai, banyak yang antri. Aku urutan ke-5. Bagaimana cukup waktu untuk aku menunggu, pikirku. Aku ada jadwal kuliah jam 08.05.

“Mbak-mbak ingkang ngaos Al-Quran bin nadhor maju

riyin...” ngendhikanipun ibu nyai Anita Durrotul Yatimah “Nggih Bu” jawabku. Alhamdulillah ternyata yang antri di depanku mbakmbak yang sedang menghapal Al-Quran bil ghaib. Segera aku baca ta’awudz, Al-Fatihah dan aku baca halaman demi halaman mushaf tercinta, panduan hidup umat manusia. Cukup 3 halaman, lagi-lagi aku melirik jam di aula, jam 07.45!! Jam di aula pondok ini tepat waktu berbeda dengan jam yang ada di aula kompleks El-Hawa. “Shodaqollahul’adziiimm.” Segera aku salim ke ibu nyai, lalu dengan cepat naik tangga lagi ke kompleks El Hawa. Tenang, tenang, jangan terburu-buru. Diriku mencoba tenang. Segera aku masukkan laptop, buku catatan, kertas 82


laporan, dan jas lab yang ada di almari segera aku ambil, sekaligus pamitan ke teman-teman kamar, “mbak-mbak aku berangkat dulu yaa.. assalamu’alaikum”. “Hati-hati

mba

Indah..

wa’alaikumsalaaam”

jawab

teman-teman. Dengan segera aku menuju parkiran sepeda yang ada di belakang pondok. Dengan berlari-lari kecil aku membawa sepeda mini warna ungu merk phoenix keluar komplek pondok, aku mulai mengayuh sepeda itu setelah melewati ndalem Pak Kyai. Dalam perjalanan aku berdoa semoga tidak telat. Lima menit kemudian, peluh keringat bertetesan dari dahi, bajuku serasa mulai basah oleh keringat, maklum aku terburu-buru mengayuh

pagi

itu.

Lima

belas

menit

kemudian,

alhamdulillah sampai di fakultas tercinta, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada. Segera aku parkir sepeda yang telah setia menemaniku selama hampir 3 tahun ini. Meskipun nampak telah berkarat di beberapa bagian, tapi sehari saja tanpa sepeda ini, perjalanan ke kampus menjadi sangat lama karena harus berjalan kaki atau mencari tebengan. Perjalanan ke kampus sekitar 4,5 km tidak pernah menyurutkan 83


langkahku untuk bersemangat menuntut ilmu di kampus terbesar di Indonesia ini. Sudah kuduga, aku telat 10 menit. “Assalamu’alaikum Bu, maaf saya telat”, kataku sambil tersenyum. “Tidak apaapa, silahkan duduk”, kata dosen immunobiologi cantik dan keibuan. Beliau bernama Bu Nastiti. Aku langsung duduk di meja paling depan pojok karena hanya meja ini yang tersisa. “Ndah.. bajumu basah?” kata teman yang duduk di sampingku,

dia

nampak

kaget

melihat

keringatku

bercucuran.. “Eh, iya, gapapa, nanti juga kering”, kataku, sambil mengeluarkan buku catatan ukuran kwarto berwarna biru yang ada di tas. Pagi itu, aku kuliah di laboratorium biologi dasar barat lantai satu. Lima menit pertama aku belum bisa fokus, nafasku masih terengah-angah. Berulang kali aku menatap jendela tepat 5 meter di hadapanku, berusaha mencari pemandangan yang menyejukkan. Bukan pemandangan yang aku lihat tetapi dua orang bapak tukang bangunan 84


yang sedang merenovasi toilet di samping laboratorium ini. Tiba-tiba aku teringat sosok laki-laki yang telah berumur 44 tahun, seorang bapak yang tidak kenal lelah menyemangati dan mendoakan anak-anaknya. Tiba-tiba terlintas di pikiran “Sedang apa yaa bapak sekarang?� Rasa lelah yang aku rasakan sekarang ini tidaklah sebanding dengan perjuangan bapak. Bapak bukanlah seorang yang berpendidikan, dia hanya lulusan SMP dan setiap hari bekerja sebagai buruh harian lepas. Walaupun begitu, kecintaannya terhadap ilmu sangat besar. Begitu pula semangatnya. Tidak pernah sedikitpun keluhan keluar dari bibirnya. Sudah sebulan ini bapak pergi merantau ke ibu kota dan bekerja sebagai kuli bangunan juga, sama dengan dua orang bapak itu. Biasanya jam 08.00 bapak mulai bekerja, kadang sampai malam, kadang hanya sampai sore, tergantung pekerjaan apa yang dilakukan. Banyak orang yang tidak percaya, bagaimana mungkin anak seorang buruh bisa kuliah di UGM? Sebuah universitas ternama, yang identik dengan mahasiswa kaya. Ditambah lagi dengan nyantri di pondok pesantren. Jawabannya adalah niat dan doa. Semua bisa 85


terjadi itu karena kehendak Allah SWT. Tidak ada yang dapat mencegah kalau Allah sudah berkehendak. Oleh karena itu, usaha saja tidak cukup, perlu doa yang mengiringi. Apabila doa saja yang kita panjatkan, juga sama saja, tidak akan cukup mengantarkan pada kesuksesan, perlu usaha dan niat yang kuat. Ingatanku terlempar lagi ke masa pendaftaran SNMPTN 3,5 tahun yang lalu. “Bapak yakin kamu bisa diterima di Biologi UGM, belajarlah dan berdoalah�, begitu doa bapak ketika mengantarkanku untuk mengikuti tes tertulis. Saat itu aku hanya bisa meng-amin-i doa bapak. Dua hari mengikuti SNMPTN Jalur tertulis aku lalui ditemani bapak. Tentu tidak di ruang ujian. Bapak dengan sabar menunggu di masjid fakultas Biologi UNSOED, tempat di mana aku ujian. Jarak dari rumah menuju UNSOED terbilang cukup jauh, butuh sekitar 1,5-2 jam untuk mencapai lokasi ini dengan naik kendaraan umum. Dulu aku dan bapak berangkat dari rumah tepat sehabis sholat Shubuh. Saat itu bapak bekerja bukan sebagai kuli bangunan tapi penjaga warung makan milik saudaraku. Warung itu buka 24 jam, tetapi bapak hanya jaga 86


yang malam saja. Jadi, bapak berangkat bekerja setelah Ashar dan pulang Shubuh. Aku sudah bersiap-siap sejak pukul 03.30. Sholat malam tak terlewatkan sebagai ikhtiar untuk meraih ridho-Nya. Setelah itu, aku mandi. Udara masih sangat dingin, tapi alhamdulillah ibuku sangat baik dan perhatian, ibu telah menyiapkan air panas untuk mandi. Tak seperti biasanya, pagi itu bapak pulang lebih awal sebelum Shubuh dengan membawa makanan kesukaanku, nasi kucing dan combro. Seusai sholat Shubuh, aku makan dengan lahap, walaupun rasanya aneh juga sarapan jam 04.30. Tapi tak mengapa, daripada nanti kelaparan saat mengerjakan soal, lebih baik sarapan di awal saja. Hari pertama ujian aku hampir telat, aku belum tahu lokasi ruangan ujian, aku juga tidak pernah pergi ke gedung biologi UNSOED. Tepat pukul 06.50 aku dan bapak sampai di depan gerbang biologi UNSOED. Kami bingung ke arah mana, ditambah motor dan mobil yang ramai berlalu lalang semakin menambah kegundahan hatiku. Dari jauh aku lihat ada kakak kelas SMAN Ajibarang yang sedang duduk di depan gedung. Langsung saja aku tanya lokasi ujian itu, 87


alhamdulillah dengan baik hati mas itu mengantarkanku ke gedung tempat ujian. “Bapak, maturnuwun nggih, doakan Indah nggih Pak”, kataku terharu mengingat kembali perjuangan bapak yang dapat menyekolahkanku hingga SMA dan memiliki niat tulus ingin anaknya terus belajar, melanjutkan studinya agar anaknya yang tidak terlalu pintar ini dapat menjadi seseorang yang berilmu dan bermanfaat. “Iya, semoga sukses. Sudah bel, segera saja masuk ruangan”, begitu kata bapak. Aku cium punggung tangan bapak, langsung aku masuk ruangan tempat perang dimulai. Perang yang harus aku menangkan, demi ilmu yang manfaat itu. Saat aku menuliskan namaku di lembar soal I N D A H N U R A I N… Belum lengkap, tiba-tiba ada suara sedikit keras, “Mba, lepas sandalnya!” astaga! Aku tidak tahu kalau saat ujian harus memakai sepatu, aku memakai sandal jepit kesukaanku. Malu, itu yang aku rasakan. Dengan berjalan pelan, aku lepas sandal itu di dekat pintu. Lalu aku duduk 88


kembali dan berusaha fokus mengerjakan soal-soal TPA. Beberapa pasang mata melirikku, mungkin dalam hati mereka tertawa karena kesalahanku ini. Tapi aku memang benar-benar tidak tahu. Aku tidak memiliki banyak informasi dan cerita mengenai dunia kampus dan perkuliahan karena di keluargaku, akulah yang pertama menempuh pendidikan sampai perguruan tinggi. Selama ini, dari belasan cucu mbah Sudar, nama mbahku, tidak ada yang kuliah. Paling tinggi sampai lulus pendidikan SMA. Itu pun hanya beberapa. Mungkin orang jaman dahulu berpikiran bahwa pendidikan itu tidak penting, apalagi untuk seorang wanita yang pada akhirnya nanti akan jaga tungku di dapur. Aku tidak setuju dengan perkataan itu, menuntut ilmu dilakukan sejak lahir sampai akhir hayat. Dengan ilmu, Allah akan memuliakan hamba-Nya. Dengan ilmu, segala hal yang dikerjakan akan ada maknanya. Teeeeettttt. Waktu untuk mengerjakan soal-soal TPA telah habis. Aku segera memakai sandalku lalu keluar 89


ruangan. Di balik pintu tanpa kusangka, ada sesosok yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. “Bapak, kok ngga pulang saja istirahat di rumah. Bapak kan capek habis bekerja semalam suntuk malah nungguin aku. Insya Allah aku bisa pulang sendiri Pak�, kataku, lagi-lagi dengan air mata berlinang. “Sudah, ngga papa, Bapak nanti tunggu dari masjid ya. Bapak selalu ada menemani perjuangan Indah. Sekarang manfaatkan waktu istirahat untuk istirahat saja, tenangkan pikiran, jangan belajar terus, udah belajar dari dulu kan? Bapak tinggal dulu ya. Semangat mengerjakan soal berikutnya�, kata bapak sambil berlalu. Ujian berlanjut lagi, kemampuan dasar aku berhasil mengerjakan dengan baik. Tak henti aku panjatkan doa semoga ada jawaban yang menggembirakan dari perjuangan dan sebagai jawaban atas doaku dan orang tuaku. Kebaikan bapak dan ibu tidak mungkin aku lupakan. Dalam kesederhanaan sikap, mereka memberikan suntikan semangat yang luar biasa besar ke dalam diri yang lemah ini. 90


Hingga detik ini, aku merasa belum bisa membalas kebaikan mereka. Hanya dengan menuntut ilmu sebaik-baiknya dan berusaha untuk menjadi anak yang baik dan sholehah semoga dapat memberikan kebahagiaan di hati bapak dan ibu tercinta. “Mba Indah yang baru datang, coba jawab teknik apa yang dapat digunakan dalam penelitian imunobiologi?” Suara Bu Nastiti menghentikan lamunanku. Peluhku sudah mulai berkurang, aku mulai lebih fokus dalam mengikuti kuliah. Dengan tenang aku menjawab “ELISA Bu, Enzyme

Linked Immunosorbent Assay”. “Ya benar. Jadi ada banyak teknik yang dapat digunakan dalam penelitian imunobiologi, yaitu ELISA, presipitasi, dan lain-lain“, Bu Nastiti melanjutkan penjelasan. Kuliah pagi itu aku lalui dengan senang hati. Rasa lelah yang sedari tadi kurasakan ternyata hanya hinggap sejenak, tak sebanding dengan nikmatnya berenang di lautan ilmu.

91


Hari itu aku lalui kegiatan kuliah sampai sore. Selesai praktikum pukul 16.00, aku langsung menuju mushola untuk sholat Ashar. Setelah itu, aku langsung pulang. Perjalanan yang cukup membuatku berkeringat kembali aku lalui. Satu kayuhan, dua kayuhan hingga puluhan aku lakukan dengan senang hati. Nikmatnya menuntut ilmu ada di sini, di kisah perjuangan ini. Bahwa yang paling penting adalah prosesnya. Proses yang baik memiliki peluang besar untuk menghasilkan “hasil� yang terbaik. Apabila dari niat yang baik saja Allah telah menunjukkan keridhoan-Nya dengan memberikan pahala. Apalagi jika kita telah melaksanakannya

dengan

sepenuh

hati,

maka

pintu

keberhasilan sesuai yang dicita-citakan akan semakin dibuka oleh-Nya. Berniatlah, niat ikhlas menuntut ilmu agar dapat menjadi seseorang yang bermanfaat karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain, tidak hanya

untuk

dirinya

sendiri.

Sekarang apalah

yang

menghalangi diri untuk terus belajar menuntut ilmu? apakah harta? kekurang percayaan terhadap kemampuan diri? Atau kelelahan saat harus belajar dan belajar? Tidak. Tidak ada 92


yang menghalangi setiap orang untuk menuntut ilmu. Harta dapat

dicari

dengan

ikhtiar,

usaha

diiringi

doa.

Ketidakpercayaan diri dapat diatasi dengan semangat yang membuncah dan keyakinan dalam hati bahwa Allah selalu menemani langkah ini, langkah kecil namun berada di jalanNya. Rasa lelah dan peluh yang mengucur pun sungguh tidak sebanding dengan nikmatnya ilmu yang akan kita dapat. “Nawaitutta’aluma li izaalatil jahli lillahi ta’ala”, aku berniat menuntut ilmu untuk menghilangkan kebodohan karena Allah ta’ala. Sekian tulisan singkat ini, semoga dapat bermanfaat untuk adek-adek sekalian  Ditulis di Aula Komplek El-Hawa, Pondok Pesantren Al-Barokah 8 November 2015 1:44 Indah Nur’aini 

*Penulis merupakan mahasiswa Biologi UGM angkatan 2012 dan merupakan alumni SMA Negeri Ajibarang.

93


Kuliah? Siapa Takut Lukito Nur Wulandari | Institut Teknologi Bandung ----------------------------------------------------------------------------

H

alo! Perkenalkan, saya Lukito Nur Wulandari, panggil saja dengan Wulan atau Lukito. Nama saya unik

bukan? ‘Lukito’, nama dari almarhum ayah saya yang sangat menyukai sinden jawa ‘Candra Lukito’. Dan menurut orangorang, nama ini berasal dari kata bahasa Inggris ‘lucky’, yang berarti beruntung. Apakah hidup saya seberuntung itu? Dan mungkin ini memang semacam doa yang diberikan oleh almarhum ayah saya pada nama saya, dan berdampak pula dalam kehidupan pendidikan saya. Ketika saya berada di tingkat akhir di SMA, saya termasuk kalangan yang tidak mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah demi sukses untuk masuk perguruan tinggi yang diinginkan. Ya, saya berasal dari golongan ekonomi yang pas-pasan. Ayah saya seorang PNS saat itu, dan menurut pandangan orang secara umum, PNS itu mampu, namun keluarga kami, ya, pas-pasan. Saya adalah anak 94


sulung, tidak mungkin bagi saya untuk meminta uang pada orang tua saya untuk ikut bimbingan belajar di luar sekolah tersebut, yang memakan biaya berjuta-juta rupiah. Nanti bagaimana dengan biaya pendidikan kedua adik saya yang masih kecil? Bagaimana dengan biaya hidup keluarga kami yang sangat pas-pasan? Dan pikiran inilah yang memenuhi otak saya ketika saya menjadi siswa baru di SMA. Ya, saya harus belajar sebaik mungkin agar saya dapat diterima di perguruan tinggi negeri yang saya inginkan tanpa melalui tes atau melalui nilai rapor sehingga tidak perlu ikut bimbingan belajar yang mahal itu, di tingkat akhir di SMA saya nanti. Saya sangat bersyukur saya dapat mewujudkan mimpi saya tersebut. Dengan nilai rapor saya selama 5 semester yang cukup baik, tanpa melalui tes atau dimasa itu dibilang ‘SNMPTN UNDANGAN’ saya diterima di FTTM ITB tahun 2012. Saya sangat senang impian saya terwujud, dan saya sampaikan kabar baik ini pada orang tua saya. Ketika orang tua saya mendengar kabar ini, mereka tersenyum senang, namun yang tampak pada saya ialah semacam senyum yang dipaksakan. Mereka khawatir tidak mampu membiaya kuliah saya di ITB. Orang tua saya justru lebih mendukung saya 95


untuk meneruskan seleksi masuk Sekolah Tinggi Sandi Negara di Bogor saja, karena jika melanjutkan pendidikan disana, lebih terjamin untuk kerja dan tidak mengeluarkan biaya kuliah. Ya, saya sudah memasuki tahap 3 seleksi dari 6 tahap seleksi. Saya tidak mendaftar beasiswa Bidik Misi sebelumnya. Penghasilan orang tua saya tidak memenuhi syarat untuk mendaftar beasiswa tersebut, dan sebenarnya kelebihan

sedikit

saja

penghasilannya

dari

syarat

pendaftaran beasiswa bidik misi tersebut yakni 3,5 juta, bahkan penghasilan bersihnya jauh dari nilai penghasilan kotornya karena kami memiliki beberapa hutang. Jadi, saya harus membayar biaya kuliah tiap semesternya. Dan orang tua saya merasa tak mampu untuk membiayai kuliah saya. Saya pun meyakinkan mereka bahwa di ITB memiliki beasiswa yang banyak, tak perlu khawatir untuk masalah biaya kuliah, karena di ITB tidak akan di-DO karena masalah biaya. Dan itu memang benar. Saya melakukan penangguhan untuk biaya semester satu ketika memasuki awal kuliah. Saya berusaha mencaricari informasi beasiswa untuk mahasiswa baru dan ternyata beasiswa bidik misi di ITB masih terdapat kuota. Saya 96


daftarkan diri saya untuk apply beasiswa tersebut, dan saya diwawancara oleh salah satu pegawai LK ITB, yang saya ingat sekali namanya, Pak Sandro. Saat itu, saya menceritakan masalah ekonomi saya, bahwa ayah saya tidak mampu membiayai kuliah saya, apalagi harus membiayai pendidikan kedua adik saya yang masih kecil, dengan penghasilan bersih sebesar 2,5 juta tiap bulan, orang tua saya tidak mampu membiayai kuliah saya sehingga saya mengajukan beasiswa bidik misi ini. Saya menceritakan masalah ini dengan mata yang berkaca-kaca, hampir menangis di depan Pak Sandro ini, ya karena saya teringat bagaimana ayah saya bekerja sekuat tenaga untuk menghidupi kami, dan saya ingin meringankan

beban

ayah

saya

tersebut

dengan

mendapatkan beasiswa ini. Hingga akhirnya bapak ini menanyakan hal berikut “Kalau kuota bidik misi ini tinggal satu, dan ada dua mahasiswa yang butuh sekali, yakni kamu dan satu orang lain yang kondisi ekonominya lebih susah daripada kamu, apa yang akan kamu lakukan?� Saya sangat bingung menjawabnya, disisi lain saya butuh disisi lainnya ada orang yang lebih butuh daripada saya. Saya ragu awalnya untuk menjawab, namun akhirnya saya menjawab 97


“Saya akan biarkan orang tersebut yang lebih butuh beasiswa ini untuk mendapatkannya pak, jika saya tidak mendapatkan beasiswa ini, ayah saya bilang bahwa ia masih bisa untuk pinjam uang ke tempat lain demi membiayai kuliah saya, ayah saya akan melakukan apa saja pak�. Keluar dari tempat wawancara tersebut, saya langsung menangis sejadi-jadinya karena saya takut tidak mendapatkan beasiswa ini, saya bingung sekali bagaimana saya akan membayar biaya kuliah di ITB ini. Dan beberapa waktu kemudian, terdapat pengumuman bahwa saya masuk ke gelombang kedua bidik misi di ITB, saya sangat bersyukur sekali mendapatkan beasiswa ini. Setidaknya saya dapat mengurangi sedikit saja beban ekonomi keluarga saya. Dan di akhir semester dua saya di ITB, saya mengalami pengalaman hidup yang sangat menyedihkan bagi saya dan keluarga. Ayah saya, tulang punggung keluarga, meninggal pada 30 April 2013. Saya sangat sedih, apalagi saya sebagai anak sulung, saya harus menjadi tulang punggung dikemudian hari. Dan saya sangat bersyukur bahwa di tiap bulannya kami mendapatkan pensiunan dari ayah saya 1,5 juta setiap bulan. Menurut sebagian orang, penghasilan ini 98


sangat kecil. Ya, tapi sekali lagi saya sangat bersyukur masih mendapatkan pensiunan dari ayah saya, dan saya juga sangat bersyukur saya mendapatkan beasiswa bidik misi ini untuk dapat melanjutkan kuliah saya. Jika tidak mendapatkan beasiswa ini, kemungkinan saya tidak akan melanjutkan pendidikan saya ke kuliah karena saya tidak memiliki biaya untuk itu. Saya sangat berterima kasih pada pemerintah di masa pemerintahan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, pada

Menteri Pendidikan yakni bapak Muhammad Nuh,

terima kasih sekali di masa pemerintahan bapak diadakan beasiswa ini, demi memutus rantai kemiskinan di Indonesia, agar anak miskin yang akademiknya cukup baik, dapat melanjutkan pendidikan kuliah di seluruh PTN yang ada di Indonesia. Tanpa beasiswa ini, saya tidak akan bisa melanjutkan kuliah. Terima kasih, Pak. Bagi kalian yang masih bingung masalah biaya untuk melanjutkan pendidikan ke kuliah, saya tekankan, jika kamu berusaha, pasti ada jalan. Jangan takut, jangan batasi mimpimu, lanjutkanlah pendidikanmu, buatlah orang tuamu bangga, ubahlah nasib ekonomi keluargamu, bangunlah desa atau daerahmu dengan ilmu yang kamu dapatkan di 99


perkuliahan nanti. Jangan pernah takut untuk melanjutkan kuliah karena tidak ada biaya. Jika kamu berusaha pasti ada jalan. Man Jadda Wa Jada, barangsiapa bersungguhsungguh pasti akan berhasil. Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu-Andrea Hirata. Salam semangat dari saya, Purwokerto, 7 Agustus 2015

*Penulis merupakan mahasiswa Teknik Perminyakan ITB angkatan 2012 dan merupakan alumni SMA Negeri 1 Purwokerto.

100


Motivasi Bangunkan Mimpi untuk Sebuah Aksi Millatul Khasanah | Institut Teknologi Bandung ----------------------------------------------------------------------------

Gadis itu kembali mengeluarkan buliran hangat dari kelopak matanya. Bukan karena sedih ataupun menyesali nasibnya. Tetapi dia hanya sedang mencari keadilan untuk seorang pemimpi kecil yang harus membatasi mimpinya hanya karena ‘biaya’.

M

ungkin itu adalah sebuah fakta yang pernah terjadi pada setemplik kehidupanku. Sebuah takdir yang

tidak mungkin bisa aku negosiasi. Hidup sebagai gadis pemimpi yang hanya bisa berharap pada keajaiban dari sebuah do’a dan jawaban dari setiap usaha. Sebuah pertarungan keras menghadapi cobaan kehidupan yang sewaktu-waktu berusaha mematahkan dan mematikan sebuah mimpi.

101


Tertulis dalam buku catatan harianku, 7 Juli 2012. Di sebuah malam kuceritakan mimpiku pada ayah ibu yang selalu menjadi inspirasi dan semangatku. Aku mengharapkan motivasi dari mereka agar semakin mengukuhkan mimpi ini. Sebuah mimpi besar seorang gadis yang duduk di bangku kelas XII SMA, “Aku ingin kuliah.” Teringat

mata ibuku yang menahan tangis di balik

senyum tenangnya saat kuceritakan mimpiku setelah SMA. Jawabannya singkat, tetapi begitu meresap di hatiku, “Ibu hanya bisa membantu berdo’a, Nak”. Ya, aku sadar dengan keadaan keluargaku saat itu. Seorang ayah yang hanya mengandalkan dagangan kaki limanya di pasar dan sesekali membantu menggarap sawah orang lain untuk menghidupi keluarga seakan ditodong oleh mimpi anaknya yang begitu egois. Ya, biaya untuk kuliah tidaklah murah. Belum lagi keperluan mahasiswa yang tidak sedikit. Suatu hari, sebuah cambukan lidah salah seorang sahabat hampir mematahkan mimpiku. “Aku juga pengin kuliah Mil. Tapi buat orang seperti kita, harusnya sadar diri dengan keadaan keluarga kita. Mendingan kerja, biar bisa 102


cari uang buat meringankan beban mereka, bukan malah merepotkan dengan biaya kuliah kita yang ngga murah itu.� Sempat

aku

merenungi

kata-katanya

dan

sedikit

mengiyakan. Tapi kemudian akupun tersadar, jika aku hanya sekolah sampai SMA, maka aku tidak akan bisa berkembang dan tak tahu kehidupan di luar sana. Padahal cita-citaku adalah bisa menjadi salah satu tokoh berpengaruh di Indonesia. Setelah

kubincangkan

lagi,

akhirnya

keluargaku

menyetujui permintaanku untuk melanjutkan kuliah. Mereka berharap aku bisa melanjutkan di sekolah tinggi ikatan dinas yang tidak memungut biaya pada mahasiswanya. Tes masuk sekolah tinggi pun aku ikuti. Setidaknya ayahku masih bisa membayar untuk biaya pendaftarannya saja. Sementara ongkos ke tempat tes, beliau meminjam uang kepada kakekku. Semua orang di rumah begitu berharap aku lolos. Akupun tidak ingin mengecewakan mereka karena sebuah kegagalan. Karena ku pikir ini adalah jalan satu-satunya aku bisa kuliah.

103


Saat pengumuman tiba, seketika mimpiku terpatahkan. Bukan karena berhasil kuraih, tetapi justru sebaliknya. Sebuah kekecewaan telah kuukir di hati kedua orangtuaku. Hal itu terlihat dari raut wajah mereka dan mulut mereka yang membisu tak bisa berkata. Namun dengan sisa-sisa ambisiku, aku terus mencoba meyakinkan kedua orangtuaku bahwa pasti ada jalan lain. Senyum penuh harap itu pun kembali hadir dari mereka dan membuatku tetap optimis untuk mencari jalanku. Ditengah-tengah

ketidakberdayaan

meratapi

kegagalanku, akupun teringat bahwa masih ada SNMPTN yang

masih

menumbuhkan

harapan,

walaupun

kecil

kemungkinan untukku bisa masuk. Apalagi saat itu pilihan yang kuisi adalah Institut Teknologi Bandung (ITB), salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Pastilah di sana persaingannya begitu ketat. Tetapi mau bagaimana lagi, itulah kampus impianku. Walau terasa jauh untuk meraihnya, tetapi apa salahnya untuk mencoba. Walaupun selalu menggelisahkannya. Jika gagal masuk, maka aku benarbenar harus mengkubur mimpiku. Namun, jika aku lolos tetapi tidak bisa membayar kuliah, itu sama artinya dengan 104


gagal masuk ke sana. Aku benar-benar hanya bisa berserah diri padaNya. 27 Mei 2013, sebelum berangkat ke sekolah untuk acara tasyakuran, setelah mencium tangan ibu, akupun bersujud di bawah telapak kaki beliau yang hendak mengantarku ke depan rumah. Aku benar-benar memohon keridhoannya dan mengharap do’a dari beliau. Buliran hangat yang keluar dari mata Ibu membuatku ikut menangs dalam pelukannya. “Insyaa Allah Ibu ridho atas apa yang Milla pilih,� sebuah kalimat pendek yang begitu menentramkan dan membuatku lebih ikhlas untuk menerima apapun yang terjadi nantinya saat pengumuman SNMPTN. Saat di sekolah, semua orang sibuk membicarakan pengumuman hasil SNMPTN. Mungkin hanya aku yang tidak tertarik sedikitpun untuk membuka web itu. Aku takut sakit karena

selalu

terbayang

kegagalan

yang

kurasakan

sebelumnya. Terdengar ramai suara teman-temanku. Ada yang bersorak karena lolos ke PTN pilihannya, dan tidak sedikit yang menangis atau sekedar cemberut tanda kecewa. Akupun menyibukkan diri membaca sholawat dan tak 105


berhenti berdo’a. Ya, mungkin hanya itulah yang dapat kulakukan untuk membuatku tetap tenang saat itu. Tiba-tiba beberapa SMS masuk membuatku sedikit waswas. Teman-teman terdekatku bertubi-tubi mengucapkan selamat padaku. Namun aku tak begitu saja percaya. “Memangnya dari mana mereka tau? Aku saja belum membuka webnya,� gumamku dalam hati. Namun itu membuatku memuncak penasaran. Melalui handphone milik teman

yang

duduk

di

bangku

sebelahku,

akupun

memberanikan diri untuk membukanya. Seketika aku bersujud syukur diantara keramaian teman-teman. Airmata ini benar-benar mengalir derasnya mengungkapkan rasa syukur yang luar biasa di dalam sujudku.

106


Sesampainya di rumah, segera kukabarkan berita bahagia ini. Namun, tak ada satupun keluargaku yang percaya, bahkan orangtuaku. Akhirnya kutunjukkan hasil di web yang kubuka melalui handphone tetanggaku yang bisa koneksi dengan internet barulah mereka percaya. Namun seketika Ibu kembali menangis. Di samping tangis syukur, ternyata tangis itu pun bercampur kekhawatiran beliau akan biaya kuliah nantinya. Namun dengan tenang aku menjawab, “Tenang bu, insyaa Allah kuliah Milla gratis karena ada Bidikmisi dari pemerintah.� Akhirnya hari itu aku berhasil mengukir sebuah senyum kebahagiaan di wajah keluargaku, sahabatku, orangtuaku, 107


dan yang utama adalah Ibu. Tanpa motivasi mungkin mimpiku telah mati. Karena motivasiku adalah tekadku untuk bisa mengukir senyum di wajah Indonesia. Karena untuk Indonesia aku mengabdi, melalui bidikmisi aku berani terus bermimpi. Berawal dari mimpi, ciptakan lebih banyak aksi untuk negeri.

*Penulis merupakan mahasiswa Teknik Kelautan ITB angkatan 2013 dan merupakan alumni SMAN 1 Purwokerto.

108


Bermimpilah dengan Aksi dan Iringan Doa Muhammad Aziz Ali Mutia | Institut Teknologi Bandung ----------------------------------------------------------------------------

T

ak

disangka

anak

sawah

ini

sedang

menjalani

perkuliahan semester tujuh di kampus terbaik Institut

Teknologi Bandung. Tak disangka pula dia yang hanyalah anak seorang petani pernah mewakili ITB diberbagai kompetisi bahkan pernah menjadi delegasi Indonesia dalam acara Nusantara Leadership Camp di Putrajaya, Malaysia, Asean Youth Forum di Kuala Lumpur dan bertemu presiden SBY dalam acara Forum Bidikmisi Nasional di Hotel Bidakara Jakarta. Inilah aku Muhammad Aziz Ali Mutia, sang pejuang mimpi yang tumbuh dalam keterbatasan ekonomi. Berbicara tiga tahun lalu, aku akan selalu mengingat perjuangan untuk menaklukan impianku. Aku tinggal bersama kedua orang tuaku di Desa Gerduren sekitar 30 km dari Purwokerto. Aku dan teman-teman harus berjalan 2 km menyeberangi sungai, melewati pemakaman, sawah, serta permukiman untuk mencapai jalan raya sebagai akses 109


menuju ke sekolah. Ketika aliran sungai membesar, kami harus menggunakan perahu yang dikemudikan dengan tenaga manusia. Ketika banjir datang, maka kami harus memutar arah berjalan hingga 4 km melewati jembatan tua peninggalan Belanda untuk menuju sekolah kami. Kondisi desa kami memang benar-benar terisolir walaupun masih berada di pulau Jawa.

Gambar kiri : Perahu Pembawa Masyarakat Desa Gerduren Beraktivitas Gambar kanan : Jembatan Mancangan Peninggalan Belanda sebagai Akses Utama Menuju Kota

Sumber : Majalah PPI Belanda “Jong Indonesia�, 2009

Terisolasinya desaku berdampak pada kurangnya minat sekolah di desaku. Sebagian besar masyarakat desa kami 110


hanyalah lulusan SD, sementara hanya sedikit yang melanjutkan SMA dan hanya satu dua yang melanjutkan kuliah. Mereka yang melanjutkan kuliah biasanya anak orang-orang penting di desa. Hal inilah yang menjadikan sedikit ganjalan ketika aku ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi. “Le, kowe olih kuliah asal bisa mbiaya dewek kaya

mbamu,� itu adalah pesan mamaku yang selalu aku ingat. Ya, pantas sajalah, bapaku yang hanya seorang petani dan mama yang hanya seorang pembuat nira tak akan mampu membiayai kuliah apalagi di ITB yang saat itu uang masuknya mencapai Rp 55 juta. Walaupun dengan berbagai keterbatasan, aku sangat bersyukur kedua orang tuaku sangat terbuka mengenai pentingnya pendidikan sehingga aku tidak terkekang untuk bekerja. Kondisi inilah yang membuat aku memiliki tekad kuat untuk kuliah. Karena aku percaya semakin tinggi pendidikan tentu pekerjaan yang didapat juga semakin baik. Saat kelas satu SMA dengan mantap aku pilih ITB sebagai pilihan utama studiku. Aku yakin dengan kuliah di 111


kampus yang berkualitas tentu banyak pembelajaran yang aku dapatkan. ITB ITB terus aku lontarkan di hatiku hingga kelas XII. Aku percaya apa yang dikatakan Andrea Hirata “Bermimpilah maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.� Mimpi-mimpi itu aku visualisasikan di buku mimpi, di meja belajar, di buku catatan, facebook, dan berbagai media sosial lainnya. Foto ITB Penyemangatku

Sumber : Ardisaz.com

Mimpi

memang

mudah,

yang

susah

yaitu

merealisasikannya, aku percaya itu. Aku sadar aku berada di 112


sekolah biasa bahkan bukan di sekolah unggulan sehingga aku harus berjuang mati-matian. Apalagi apabila dilihat dari sejarah hanya ada 3 kakak kelas yang diterima di ITB. Walaupun sedikit pesimis dengan kondisi yang ada, tetapi aku berusaha tetap optimis. Berbekal buku-buku SNMPTN yang aku perbanyak dari teman-teman, aku berjuang untuk persiapan SNMPTN tulis. “Man Jadda wa Jada,� aku percaya bahwa siapa yang bersungguh-sungguh maka dia akan mendapatkannya. Inilah kalimat motivasi yang menjadi penyemangat hidupku. Perjuangan kedua orang tuaku membiayai ketiga anaknya sekolah hingga SMA menjadi motivasi untukku. Mama harus menjual beras setiap pagi untuk uang saku kami, bapak harus pergi ke sawah baik saat hujan maupun panas demi mendapatkan sesuap nasi untuk kami. Belum lagi saat mama harus pontang-panting cari pinjaman untuk membiayai SPP kami. Sungguh kondisi ini menjadi suntikan motivasi yang paling ampuh ketika aku sedang terjatuh. Sebelum shubuh aku selalu dibangunkan mama untuk sholat malam dan belajar. Aku percaya walaupun aku telah 113


berusaha semaksimal mungkin, tetapi apabila Allah tidak mengizinkan maka mimpi-mimpi itu tidak akan terwujud. 26 Mei 2012, satu hari setelah usiaku genap berusia 18 tahun, SNMPTN undangan resmi diumumkan dan SAPPK ITB menjadi hadiah ulang tahun terindah yang pernah aku peroleh. Sujud syukur tak lupa aku panjatkan terlebih aku juga mendapatkan Bidikmisi sehingga tidak membayar sepeserpun untuk melanjutkan kuliah. Tetesan air mata mama juga menjadi momen yang sangat mengharukan. Sungguh setelah ada kesusahan pasti ada kemudahan. Mimpi, usaha dan doa inilah tiga kunci utama yang aku percaya akan memberikan arah pada hidupku. Hingga saat ini, tiga prinsip tersebut tetap menjadi peganganku untuk menjalani hari-hari di ITB. Aku merasa kehampaan hidup setelah aku memegang tiga kunci ini seketika hilang dibandingkan sebelum aku memiliki 3 kunci ini. Semoga dengan tiga kunci ini aku terus mampu untuk berkarya membahagiakan kedua orang tua, membangun desa kelahiran, agama dan tentu membangun Indonesia ď Š

114


“Dan bahwa sanya seorang manusia tidak akan memperoleh

selain

apa

yang

telah

diusahakannya�

(QS. An-Najm : 39) Dan ingat, kita memiliki waktu yang sama, yang membedakan adalah bagaimana kita memprioritaskan kegiatan positif dalam kehidupan kita. Masa depan ada di tanganmu, lakukan sekarang karena 5 menit yang lalu adalah masa lalu ď Š

*Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung dan alumni SMA Negeri Jatilawang.

115


Mimpiku Akan Terwujud dimulai Hari Ini Oki Purwaningsih | Universitas Negeri Semarang ----------------------------------------------------------------------------

A

wal masuk kelas XII sudah banyak teman-temanku yang membicarakan SNMPTN, salah satu seleksi masuk

PTN lewat jalur undangan. Aku masih cuek, acuh tak acuh, karena aku berpikir toh itu masih ada waktu lama, dan alasan lainnya juga karena aku masih disibukkan dengan kegiatankegiatan organisasi. Pun sampai tiba di semester dua, dan bahkan saat sudah ada beberapa universitas yang mulai sosialisasi ke kelas-kelas, aku belum memikirkan aku akan memilih

program

studi

apa.

Namun,

yang

perlu

digarisbawahi, AKU SANGAT INGIN KULIAH. Sampai pada acara tahunan yang diadakan oleh alumni yaitu Open House University (OHU) SMA N Jatilawang Tahun 2015, aku seperti dibangunkan dari tidurku. Kamu punya mimpi besar dan kamu hanya diam tanpa ada gerakan apapun, heyyy ayo bangun! Dari situlah aku mulai mencari-cari informasi tentang SNMPTN, universitas-universitas di Indonesia, dan prodi yang sekiranya cocok untukku. Dan tibalah pilihanku di 116


Farmasi-UNS, Kimia-UNS, dan pilihan ketiga FarmasiUnsoed. Klik. Pengisian SNMPTN telah difinalisasi. 9 Mei 2015, waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Aku membuka pengumuman dengan hati berdebar, berharap ini adalah rezeki ku, ini adalah kesempatanku dan berharap ini kesempatanku. Namun, yang terjadi saat aku membuka pengumuman, background warnanya adalah merah. Aku menangis sangat lama, aku sangat mengharapkan aku hanya sampai ditahap ini, tanpa harus berjuang di jalur tes, tapi apa daya kali ini bukan rezeki ku. Ah ini bukan rezeki ku, aku harus segera fokus tahapan seleksi selanjutnya, SBMPTN. Aku juga segera mengingat kata motivasi yang pernah aku baca disalah satu media sosial, bahwa Allah mempunyai 3 jawaban atas doa dan harapan para hambanya. Pertama, Ya, Aku beri sekarang. Atau yang kedua, Tidak sekarang, Aku ingin melihatmu berusaha lebih keras lagi. Atau juga jawaban yang ketiga, Tidak, Aku punya yang lebih baik untukmu. Sembari sibuk belajar aku juga sambil memikirkan beberapa kemungkinan kenapa aku belum berhasil di tahap SNMPTN sebagai bahan evaluasi untuk ke depannya. Salah 117


satu faktor yang mungkin adalah prodi yang aku ambil, tidak cocok dengan kemampuan yang aku miliki, tidak sesuai dengan bakat dan minat yang ada pada diriku. Hal ini terpikir berkat obrolan ku dengan salah satu kakak kelas, “kamu minatnya apa? Memilih prodi yang sesuai dengan minat sangatlah penting untuk bisa bertahan dalam masa perkuliahan�. Aku baru menyadari pada saat pengisian SNMPTN, aku hanya memikirkan prospek kerja setelah lulus, berapa gaji yang didapat saat sudah kerja, tanpa memikirkan apa kemampuan ku dan apa minat dan bakat yang ku miliki. Dan ditanggal yang sama namun bulan yang berbeda, 9 Juni, mimpiku siap terwujud dimulai hari itu. Pengumuman SBMPTN dibuka dan Alhamdulillah aku lolos Pendidikan Kimia UNNES. Maha Besar Allah dengan segala ketentuanNya.

Tidak

lolosnya

aku

di

SNMPTN,

Allah

telah

menunjukkan bahwa bukan itu yang cocok untukku, ada yang lain yang lebih cocok untukku. Insya allah, seorang pendidik, cita-cita waktu kecil ď Š Kini, saat aku menulis cerita ini, aku sudah merasakan atmosfer para pejuang dari hampir seluruh penjuru negeri 118


melalui kegiatan mahasiswa baru. Disanalah aku bertemu orang-orang hebat, berada disekeliling pejuang-pejuang yang hebat, merasakan energi positif yang berasal dari pejuang-pejuang hebat, yang memunculkan mimpi-mimpi baru dan semakin membuatku bersemangat menggapai mimpi-mimpiku. Adik-adikku, bermimpilah setinggi langit maka jika kau jatuh, kau akan berada diantara bintang-bintang. Dan bangunlah dari mimpimu untuk bergerak merealisasikannya atau kamu akan terlelap selamanya. Begitupun kuliah, jadikan kuliah sebagai salah satu mimpi besarmu dan teruslah bergerak merealisasikannya. Selamat bermimpi  Kutunggu nama kalian muncul didaftar mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Indonesia  Kutipan favorit teman seperjuangan:  Bismillah  Ada Mimpi yang harus menjadi nyata  Luruskan niat, Kuatkan tekad

*Penulis merupakan alumni SMA Negeri Jatilawang

119


Don’t be Scared to Try Rido Dwi Ismanto | Institut Teknologi Bandung ----------------------------------------------------------------------------

N

ama saya Rido Dwi Ismanto. Saya lahir di Desa Tambaknegara. Desa kecil nan tentram dengan

penduduknya yang masih menganggap satu sama lain sebagai saudara. Kebanyakan penduduk di desa ini berprofesi sebagai petani atau buruh tani. Namun, disini saya bukan mau bercerita tentang desa saya. Keluarga saya hanya berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Ibu saya bekerja sebagai buruh tani sedangkan ayah saya bekerja sebagai buruh serabutan. Sementara kakak saya bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik di kawasan industri di Cikarang, Bekasi. Melihat kondisi ekonomi yang kurang menentu, selalu terbesit di pikiran saya untuk merubah nasib keluarga. Keinginan terus menggebu-gebu tersebut, sehingga timbul niat untuk segera bekerja setelah lulus SMA agar segera bisa 120


memperbaiki perekonomian keluarga. Namun, orang-orang di desa saya yang kelas ekonominya menengah ke atas mayoritas

menyandang

gelar

Sarjana.

Hal

tersebut

mengubah pandangan saya. Saya ingin kuliah untuk menjadi seorang sarjana dan mengubah nasib keluarga saya. Sebuah keinginan yang terasa tidak mungkin terwujud jika dilihat berdasarkan latar belakang ekonomi saya. Ditengah dilema antara bekerja atau melanjutkan pendidikan, saya mendapat pencerahan dari guru BK saya. Ternyata terdapat beasiswa yang ditunjukan bagi siswa yang kurang mampu untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Betapa bersyukunya saya mendengar hal itu. Nama beasiswa tersebut adalah Beasiswa BIdik Misi. Tanpa pikir panjang saya langsung mengejar beasiswa tersebut. Syarat untuk mendaftar beasiswa tersebut sangat mudah saya penuhi karena kebanyakan berhubungan dengan kondisi ekonomi keluarga. Masalah ekonomi sudah berhasil saya back up, tantangan selanjutnya adalah bagaimana cara saya bisa masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang saya idamkan. 121


Karena PTN tersebut menuntut standar akademik yang sangat tinggi bagi calon mahasiswanya. Saingan yang saya hadapi juga bukan hanya teman se-SMA, melainkan saya harus bersaing dari lulusan SMA se-Indonesia untuk masuk ke PTN pilihan saya. Rasa pesimis kembali muncul di benak saya. Apakah mungkin seseorang dari pinggiran seperti saya bisa bersaing melawan anak-anak kota yang kehidupanya lebih terjamin? Apakah masih ada peluang untuk saya mengalahkan mereka? Andai pun saya lolos, apakah saya pantas kuliah di kampus yang isinya anak-anak orang “gedongan“ itu? Di saat pikiran kacau seperti itu, saya hanya bisa berdoa. Akhirnya saya bulatkan tekad untuk tetap mendaftar. Karena seseorang tidak akan tahu hasil sebelum mencobanya. Jalur yang ditempuh pertama untuk masuk PTN adalah jalur Undangan atau yang biasa disebut dengan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Pada jalur seleksi ini, saya hanya mengirimkan nilai raport beserta data prestasi akademik dan non akademik yang saya raih. Selanjutnya, data yang dikirim akan dirangking dalam skala 122


nasional. Jika memenuhi syarat yang di tentukan PTN terkait maka bisa saja saya diterima. Melihat nilai raport saya yang lumayan stabil dari semester ke semester membuat saya merasa cukup optimis bisa diterima. Apalagi setelah saya berkonsultasi dengan kakak kelas yang sudah terlebih dahulu kuliah, saya menjadi sangat optimis. Dia mengatakan berdasarkan nilai raport saya, maka sangat dimungkinkan bagi saya untuk diterima di PTN favorit saya. Hari pengumuman pun tiba. Perasaan cemas takut gagal bercampur aduk dengan rasa penasaran. Tidak hentihentinya saya berdoa semoga saya bisa diterima. Dengan rasa opitimisme yang sangat tinggi saya membuka pengumuman online tersebut. Namun, berulang kali saya mencoba, saya gagal membukanya. Mungkin karena pendaftar

dari

seluruh

Indonesia

secara

bersamaan

membukanya, maka server yang menyediakan pengumuman tersebut akhirnya down. Saya putuskan untuk meminta bantuan kakak kelas. Beberapa saat saya tunggu, akhirnya kabar itu pun datang. Pesan yang saya terima dari kakak 123


kelas adalah “Semangat buat SBMPTN�. Langsung hancur lebur hati saya, karena pesan itu berarti saya gagal lolos jalur SNMPTN. Stres terus melanda diri saya. Langsung saya kontak teman-teman untuk mencari mereka yang senasib dengan saya. Waktu itu juga saya pergi main ke rumah temen cewek yang senasib dengan saya. Saya berharap bisa berbagi cerita dengannya. Namun hal itu gagal mengobati rasa kekecewaan saya. Keesokan harinya saya memutuskan untuk membeli gitar dengan uang yang rencananya akan saya gunakan untuk mendaftar di Pegruan Kedinasan (PTK). Karena rasa kecewa yang begitu luar biasa saya melupakan hal itu. Setelah banyak upaya yang saya lakukan, akhirnya rasa kecewa, stress, malu, dan lainnya akhirnya hilang juga. Setelah itu saya baru ingat plan B, yaitu rencana yang akan saya lakukan jika saya gagal lolos SNMPTN. Namun semua itu sudah terlambat, karena uang yang akan saya gunakan untuk menjalankan rencana tersebut sudah habis untuk membeli gitar. Sebenarnya saya berencana untuk mendaftar di PTK jika saya gagal, karena kuliah di PTK juga dibebaskan dari biaya. Penyesalan pun menimpa diri saya. Sempat orang 124


tua berniat untuk menjual perhiasannya untuk membiayai pendaftaran tersebut namun saya larang karena saya tidak tega. Ini semua kesalahanku sendiri, orang tua tidak boleh menanggungnya, itu yang ada di benakku saat itu. Pada akhirnya aku pun gagal di dua kesempatan tersebut. Kegagalan dikesempatan kedualah yang paling membuatku kecewa karena itu akibat kesalahanku sendiri. Sebenarnya masih ada dua jalur lagi yang membuatku bisa kuliah. Pertama jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) dan yang kedua yaitu jalur Seleksi Mandiri di masing-masing Universitas. Walaupun gratis (Untuk pendaftar Beasiswa Bidik Misi), namun kedua jalur tersebut

menggunakan

ujian

sebagai

media

untuk

menyeleksi. Saya pun pernah mencoba mengerjakan soalsoal kedua jalur seleksi tersebut. Ternyata sangat sulit. Tingkat kesulitannya mungkin sekitar satu atau dua tingkat diatas Ujian Nasional. Ditambah lagi dengan alokasi waktu yang sangat kurang (itu yang saya rasakan) untuk soal sesulit itu. Kemungkinan saya diterima sangat kecil untuk jalur seleksi ini. Apalagi mereka yang punya biaya kebanyakan mengikuti bimbingan belajar untuk mempersiapkan ujian 125


tersebut. Sedangkan saya hanya menjadi pengangguran dirumah. Meskipun saya tetap mendaftar SBMPTN, namun

spirit saya untuk kuliah sepertinya sudah luntur. Suatu saat sekitar H-11 menuju SBMPTN saya mendapat tawaran untuk bekerja. Pekerjaan tersebut bukan pekerjaan yang mewah hanya sebagai kuli bangunan. Namun karena kondisi saya sebagai pengangguran yang ingin sebuah kegiatan untuk mengobati kebosanan, tanpa pikir panjang saya terima tawaran tersebut. Dua hari saya bekerja sebagai kuli tidak tetap dan saya mendapat uang Rp 100,000,00. Uang itu saya gunakan untuk membeli buku soal-soal SBMPTN beserta pembahasannya. Dengan membeli buku tersebut, peluang saya untuk berkuliah akhirnya kembali hidup. Selama sekitar 9 hari, saya habiskan hari-hari saya hanya untuk belajar. Pada saat itu yang ada dipikiran saya hanya satu yaitu saya harus kuliah. Dengan tekad yang luar biasa dan dibarengi dengan doa akhirnya saya putuskan untuk mengisi hari-hari itu dengan full belajar. Pagi pukul tujuh sampai sebelas, siang pukul satu sampai lima dan malam 126


pukul tujuh sampai sepuluh, semua waktu itu saya gunakan hanya untuk belajar. Tidak keluar “ngelayab” dan tidak main. Setelah belajar mati-matian, hasilnya ternyata saya tetap kesulitan dalam mengerjakan soal ujian itu. Namun, bukan tanpa hasil, saya menjadi terbiasa dengan soal-soal sesulit itu. Saya sudah tidak merasa keget lagi jika bertemu soal dengan tingkat kesulitan seperti itu. Hanya berbekal “kebiasaan”, saya melangkah maju menghadapi ujian SBMPTN. Sudah kuduga soal-soal yang keluar sudah pernah ku jumpai, namun tetap saja saya kesulitan untuk mengerjakannya. Satu bagian soal terdiri dari 15 soal, dan saya hanya mampu mengerjakan mungkin 5 atau 6 soal saja. Sisanya saya mengandalkan keajaiban dari Yang di Atas, saya pilih jawaban secara acak karena soal yang diujikan bertipe pilihan ganda. Walaupun jika salah ada nilai

minus, saya tetap yakin untuk melakukan itu. Karena secara matematis mungkin peluang saya untuk diterima hampir pasti sudah tertutup jika hanya mengerjakan soal sesedidkit itu.

127


Berselang beberapa minggu, akhirnya hasil seleksi pun keluar. Untuk kali ini saya tidak terlalu optimis namun juga tidak pesimis mengingat pengalaman sebelumnya yang begitu menyakitkan. Selain itu, saya juga berniat membuka pengumuman itu sendiri agar tidak mendapat berita buruk dari orang lain, lagi. Namun, seperti biasa, server down. Saya coba terus-menerus membuka pengumuman tersebut, namun tetap saja gagal. Saat saya sedang sibuk membuka pengumuman online itu, tiba-tiba handphone saya berbunyi tanda ada pesan singkat masuk. Lalu saya buka pesan itu, ternyata pesan itu dari kakak kelas saya di SMA dan isinya “Selamat Do, FMIPA ITB�. Terdiam saya membaca pesan itu. Perasaan bahagia, bingung, kaget, sedih , senang, semuanya becampur dalam keheningan. Sejenak aku bertanya-tanya, kok bisa aku diterima? Hmm, mungkin ini sudah kehendak Allah Swt. Seharian aku menikmati kabar bahagia tersebut tanpa memikirkan tidak lanjut dari pengumuman itu.

128


Sekarang saya sudah memasuki semester ketiga kuliah di ITB. Alhamdulillah, saya masuk program studi Matematika. Sebuah awal yang baik untuk mewujudkan cita-cita

impossible saya.

*Penulis merupakan mahasiswa Matematika ITB angkatan 2014 dan merupakan alumni SMA Negeri Jatilawang.

129


Kisahku Riris Purnis | Universitas Padjadjaran ----------------------------------------------------------------------------

M

elanjutkan ke perguruan tinggi adalah hal yang sempat membuat saya bingung. Saya belum yakin

keluarga saya dapat membiayai uang kuliah saya nanti. Langsung bekerja setelah lulus SMA sempat terlintas dalam pemikiran saya ketika saya masih awal duduk di kelas XII. Karena sebelumnya saya tidak memikirkan mau kemana setelah

saya

lulus

SMA.

Banyak

hal

yang

harus

dipertimbangkan antara lanjut ke perguruan tinggi atau turun ke dunia kerja. Ini mungkin karena saya anak pertama yang harus membantu orang tua untuk mencari nafkah. Maklum saja, orang tua saya hanya berprofesi sebagai buruh yang penghasilannya tidak tetap. Namun, semakin dekat dengan kelulusan SMA, saya justru semakin tertarik untuk melanjutkan pendidikan saya ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu masuk perguruan tinggi. 130


Setelah saya diskusi dengan keluarga saya, mereka semua mendukung rencana saya untuk melanjutkan kuliah, “rejeki bagi seorang anak akan selalu ada selama masih tetap berusaha� itulah yang dikatakan kedua orang tua saya kala itu. SNMPTN, saya sangat semangat untuk bisa masuk ke universitas lewat jalur tersebut. Walaupun saya sadar nilai raport saya sangat pas-pasan, nilai saya turun drastis pada semester lima atau tepatnya semester pertama di kelas XII yaitu hamper 50 poin dan saya sempat menangisi nilai saya. Untuk bisa meringankan beban orang tua saya memutuskan untuk mengikuti program bidik misi. Selama mengurus pendaftaran kuliah, saya lebih sering dibantu oleh temanteman saya yang memiliki fasilitas lebih. Dengan modal nekad, waktu itu saya mengambil jurusan arsitek dan teknik di Universitas Indonesia. Belum nasib saya memang untuk lolos lewat jalur SNMPTN. Saya tidak berhenti berjuang disitu, saya pun mengikuti seleksi melalui jalur SBMPTN dengan biaya pendaftaran nol rupiah. Dengan percaya diri saya berusaha mengerjakan soal tes masuk perguruan tinggi semampu saya saja. Sambil menunggu pengumuman 131


SBMPTN, saya mencoba mendaftar tes STAN dan SMUP (seleksi masuk Universitas Padjajaran). “Maaf anda tidak lolos SBMPTN�, itu adalah kalimat yang muncul

ketika

saya

membuka

laman

yang

berisi

pengumuman dari tes SBMPTN. Kecewa itu pasti, tapi mungkin memang kemampuan saya belum sebanding dengan soal SBMPTN yang saya kerjakan. Saya sempat putus asa tidak ingin mencoba lagi. Namun, dukungan terus datang dari keluarga saya. Akhirnya saya memutuskan untuk berangkat ke Jogja demi mengikuti tes STAN. Dengan harapan kali ini saya bisa lolos masuk ke STAN. Ketertarikan saya terhadap STAN yaitu karena adnya ikatan dinas, saya berfikir jika STAN mempunyai ikatan dinas maka saya tidak perlu khawatir tentang biaya dan akan kemana nanti setelah usai kuliah. Harapan saya terlalu tinggi akan tes STAN ini, dan kenyataan yang saya etrima saya tidak lolos tes STAN. Tiga kali berturut-turut saya ditolak oleh perguruan tinggi. Kini harapan saya hanya tinggal SMUP, pendaftaran dengan mengirimkan nilai raport secara online saja. Dan kali ini saya juga merepotkan teman saya dalam mengurus 132


pendaftaran SMUP. Saya yakin bisa lolos SMUP karena mata pelajaran yang digunakan bukanlah mata pelajaran kejuruan. Ya, waktu itu saya adalah siswi SMA di kelas IPA. Waktu pengumuman

tiba,

saya

tidak

bisa

membuka

situs

pengumuman sendiri karena tidak ada fasilitas dirumah saya untuk bisa online dan teman saya yang memberi info ke saya saat pengumuman. Alhamdulillah saya bisa lolos SMUP, saya mengambil jurusan Administrasi Pemerintahan Program Diploma III. Saya tetap bersyukur walaupun hanya D3. Kini saya harus mengurus semua berkas-berkas yang diperlukan. Niat saya untuk registrasi ulang agak tersendat karena biaya yang dibutuhkan lumayan besar. Awalnya saya berubah pikiran lebih baik kerja saja langsung. Namun, kegigihan orang tua saya membuat saya tetap semngat dan berfikir pula bahwa rezeki tidak akan kemana dan akan selalu ada. Akhirnya, saya bisa menjadi seorang mahasiswa, ketika ospek saya merasa sangat terharu sampai menangis bisa masuk universitas yang banyak orang inginkan. Baru seminggu saya menjadi mahasiswa, tiba-tiba ayah saya jatuh 133


sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Jauh-jauh dari Bandung saya langsung pulang ke Banyumas dan di semester awal ini saya harus izin selama dua minggu. Ayah saya terkena penyakit stroke. Saya bingung harus berhenti apa tetap lanjut kuliah. Akhirnya, saudara-saudara sayalah yang membantu biaya kuliah saya agar saya tetap lanjut sampai wisuda nanti. Saya tetap menjadi mahasiswa selama ayah saya sakit. Dengan berusaha bisa mendapat beasiswa dari program beasiswa yang ada. Saya mendaftar beasiswa di semester awal, namun katanya masih belum memenuhi syarat. Saya mencoba lagi semester berikutnya. Dan akhirnya saya bisa meringakan beban orang tua saya dengan beasiswa prestasi yang saya peroleh. *Penulis merupakan alumni SMA Negeri Jatilawang tahun 2013.

134


It’s All Paid-Off Slamet Setya Aji | Institut Teknologi Bandung ----------------------------------------------------------------------------

P

erkenalkan, saya Slamet Setya Aji, saat ini Alhamdulillah diterima

di

Fakultas

Teknologi

Industri,

Institut

Teknologi Bandung. Disini saya ingin sharing dengan adikadik di Banyumas tentang perjalanan saya bisa sampai di kampus Ganesha ini. Pertama, anda mungkin berpikir bahwa kuliah itu mahal, atau buat orang berada yang kaya punya uang, atau juga hanya anak bimbel ternama,atau berasal dari keluarga guru, dokter,

pejabat

mungkin.

Saya

bilang

semua

itu

salah,mengapa? Karena saya anak dari seorang ayah yang bekerja sebagai tukang las pinggir jalan, anda pikir ayah saya lulusan smk politeknik atau teknik mesin, semua salah lagi. Ayah saya bersekolah hanya sampai SMP, ia pun tidak lulus. Namun, ayah saya adalah orang yang bekerja keras agar bisa mencari nafkah. Bahkan uniknya, saat mendengar cerita dari 135


ayah saya bahwa suatu saat ia diminta untuk mengelas besi sepeda oleh seseorang guru atau orang teknik mesin itb tetapi hasilnya lebih baik dari orang itu. Maaf, bukan berarti sombong memang ayah saya merantau ke Bandung dan bekerja di bengkel bus suatu perusahaan bus sebelum beliau kembali ke desa. Kalau ayah saya seperti itu, anda pikir ibu sebagai guru, pegawai negeri atau yang lain. Ibu saya hanya lulus SMK Banyumas sebelum berkarier sebagai tukang potong rambut di Bandung. Namun, ibu saya adalah orang yang rela melakukan apa saja demi anaknya. Beliau adalah panutan dan inspirasi saya tentang bagaimana menjalani hidup. Jadi, yang ingin saya tekankan adalah apapun jenis pekerjaan orang tua anda tidak menjadi halangan bagi anda untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Asalkan ada kemauan keras pasti ada jalan. Baik, mari mulai berlayar bersama cerita saya dalam mengarungi samudera perjuangan. Saya bersekolah di SMA N Banyumas. Saat di SMA kelas X, belum terlintas di benak saya bahwa saya akan melanjutkan mimpi di perguruan 136


tinggi. Tetapi hati saya sadar bahwa jika saya adalah siswa SMA maka saya harus melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, wajar saja, saya bukanlah lulusan SMK yang punya bekal keterampilan kerja. Saat kelas X itulah, saya pulang sekolah dengan bus, di bus saya mendengar cerita dari kakak kelas ia bercerita panjang lebar tentang cara masuk perguruan tinggi karena saya tidak mengenal dia saya hanya duduk dan mendengarkan dengan seksama. Kalimat yang terpatri dalam memori saya adalah "kalau kamu ingin masuk perguruan tinggi tanpa tes atau SNMPTN syaratnya nilai rapor kamu harus stabil dari tiap semester kalau bisa ada peningkatan". Sejak saat itu, terlintas di pikirkan saya bahwa Allah telah menunjukkan jalan bagi saya untuk merajut mimpi. Petunjuk semakin jelas tatkala aku sedang meminjam buku - buku SMA tetangga saya yang kebetulan baru saja lulus. Ibunya berkata bahwa kalau ingin kuliah harus rajin, nilai rapor dijaga dan jangan lupa berdoa. Itulah awal perjalanan panjang yang akan ku lalui. Sejak saat itu, saya bersungguh-sungguh untuk kuliah bagaimanapun caranya pasti ada jalan. Maklum saja, di desaku kebanyakan temanteman saya langsung kerja atau merantau .Alhamdulillah, 137


Allah memudahkan jalanku berkat usaha dan doa saya berhasil naik ke kelas XI jurusan IPA dan Alhamdulilah saya menjadi yang terbaik. Rasa syukur senantiasa kupanjatkan pada Allah yang telah menunjukkan jalan yang mudah dengan cara yang tak mudah. Selanjutnya, cerita indah terus berlanjut hingga kelas XI di kelas ini saya merasa inilah keluarga yang sebenarnya. Saat kelas XI saya belum berpikir untuk masuk ITB. Saya merasa hal yang harus saya lakukan adalah berusaha lebih keras dari sebelumnya. Saat kelas XI, saya aktif sebagai pengurus ROHIS dan saat itu saya ditugaskan untuk menjadi ketua panitia training motivasi bagi kakak kelas saya yang akan menempuh ujian nasional. Hal positif yang dapat dari acara ini adalah bagaimana membangun motivasi diri dan menyingkirkan segala halangan yang ada. Kelas XII saya semakin sadar akan masa depan yang harus saya kejar. Saat itu saya semakin giat belajar berlatih bersama sahabat sahabat saya. Saya sangat senang untuk belajar bersama baik dengan teman satu kelas maupun kelas yang lain. Cerita yang cukup membuat saya terpukul adalah ketika saya dan kelompok belajar saya diremehkan oleh anak 138


bimbel. Dalam hati saya berujar lihat saja akhirnya apa yang akan terjadi. Sejak saat itu, saya menuliskan hal apa yang akan saya raih di kamar saya tempelkan target nilai UN saya masih ingat kertas itu saya tempatkan di dinding kamar. Tertulis 17 Oktober 2014 "Target Nilai Ujian Nasional" saya tulis Matematika 100, Fisika 100, Kimia 100, Bahasa Indonesia 92, Bahasa Inggris 86. Hal ini saya lakukan jauh hari sebelum UN di bulan April.T ulisan kedua adalah saya akan masuk Fakultas Teknologi Industri melalui jalur SNMPTN. Saya tempelkan tulisan tersebut di dinding kamar. Siapa bilang saya tidak pernah gagal. Awalnya saya pesimis dengan tulisan itu saat try out UN pertama nilai kimia saya jauh dari harapan sekitar 65. Saya tahu saya harus banyak belajar masalah kimia. Siapa bilang saya tidak pernah terpuruk, saat ITB mengikuti try out di SMAN 1 Purwokerto saya menempati peringkat 101, secara nalar sangat sulit untuk masuk ITB melihat nilai dari simulasi try out ITB. Saat itu saya sadar saya harus bisa mewujudkan mimpi saya. Setelah try out berlangsung, saya mengambil pamflet tentang gambaran kampus ITB sampai di rumah saya menempelkan pamflet itu bersanding dengan tulisan saya 139


sebelumnya.Tapi apa hal yang istimewa dari semua itu. Tuhan memang punya jalan sendiri menentukan nasib umatnya. Saat tanggal 9 Juni 2015, saat pengumuman SNMPTN, satu target yang aku tuliskan terwujud. Alhamdulillah saya di terima di Fakultas Teknologi Industri ITB. Setelah itu tulisan saya yang lain menjadi kenyataan saat pengumuman UN SMA saya mendapat nilai 100 di mata pelajaran Kimia dan Fisika. Hal ini sangat sesuai dengan tulisan saya. Untuk Matematika,Bahasa Indonesia,dan Bahasa Inggris nilai nya tidak jauh berbeda dengan tulisan saya.Matematika sebesar 97.5 dari target 100, Bahasa Indonesia 91.38 dari target 92, serta Bahasa Inggris 84 dari target 86. Saya merasa bersyukur dengan apa yang saya lakukan dan saya dapatkan. Semua apa yang saya tulis menjadi kenyataan.

Saya berharap kawan- kawan dapat mengambil hikmah dari cerita perjuangan saya. Saya yakin Tuhan Maha Mengetahui apa yang baik untuk kamu, jika hal itu baik, maka Dia akan berikan. Jadi sekarang juga tuliskan apa yang ingin 140


kamu raih di secarik kertas dan tempelkan. Saya siap untuk menuliskan mimpi saya dan mewujudkannya. Saat ini saya menulis di kertas yang isinya "Saya akan lulus TPB ITB , Saya akan meraih IPK > 3.6 dan Masuk Jurusan Teknik Kimia". Entah, temanmu mungkin menertawakan hal ini, tetapi tulis saja. Jika hal ini baik maka Tuhan akan wujudkan.

"Tuliskan mimpimu dan wujudkanlah mimpimu" Sekian dari sang Penulis dan Pewujud Mimpi.

*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Teknologi Industri angkatan 2015 dan merupakan alumni SMA Negeri Banyumas.

141


Mayuh pada Kuliah, Lur! Patrick Nugroho Hadiwinoto | Institut Teknologi Bandung ----------------------------------------------------------------------------

S

ugeng

enjang/siyang/sonten/ndalu,

sedulur

se-

Panginyongan! Kenalna dhisit ya, jenengku Patrick

Nugroho Hadiwinoto. Biasa diceluk Patrick. Nyong umure 18 taun, siki mahasiswa STEI ITB tingkat siji. Oiya, nyong asale saka Purwokerto. SMAne nang SMA 1 Purwokerto. Umahe ya nang Purwokerto. Pokoke, Purwokertone kenthel, lah! Hehe. Yawis, siki nyong arep crita, ya. Nyong njaluk pangapurane nek nang tulisane nyong bahasane campur aduk, ngapak karo Indonesia. Maklum, urung jago banget Banyumasane. Ya, sebelumnya saya ingin bercerita soal bagaimana ceritanya saya bisa masuk ITB. Orang kalau mendengar kata ”ITB”, pasti terdengar ‘wow’ banget. Iya, kan? Nah, aku juga merasa begitu. Pada saat aku masuk SMA, aku belum terpikir mau kuliah dimana. Tapi, setelah kira-kira kelas XI SMA, aku sudah mulai 142


terbayang mau kuliah apa nantinya. Sudah terbayang mau ambil jurusan apa. Aku

ingin

masuk

Teknik

Elektro.

Ini

mungkin

dikarenakan melihat pamanku yang juga lulusan Teknik Elektro dan sukses sekarang ini. Dan juga karena aku punya minat di sana. Kalau mau kuliah dimana, aku ingin di ITB karena aku dengar untuk elektro yang paling bagus, ya di ITB. Selain itu juga karena banyaknya alumni SMA ku yang diterima di ITB. Awalnya, aku pikir, wah, pasti tidak mungkin aku yang berasal dari kota kecil seperti Purwokerto bisa diterima di institut yang sangat tersohor seperti ITB. Awalnya aku rendah diri dan minder, merasa kalah saing dengan anak-anak dari SMA lain di kota-kota besar yang pastinya lebih pintar dan cerdas daripada aku, pikirku. Tapi, aku tetap berjuang di SMA. Aku berusaha melakukan yang terbaik di tiap mata pelajaran di tiap semesternya dan aku bersyukur bisa mendapat hasil (nilai rapor) yang memuaskan. Lalu, tiba saatnya kelas XII. Di tingkat ini, aku mulai serius belajar ujian dan disibukkan 143


dengan berbagai kegiatan yang menyangkut ujian, seperti bimbel dari sekolah, praktikum maupun belajar sendiri untuk ujian. Waktuku rasanya benar-benar terkuras habis untuk urusan ujian dan semacamnya. Karena aku ingin masuk PTN, maka aku akan mengikut yang namanya SNMPTN kan. Nah, untuk SNMPTN itu yang diperhitungkan adalah nilai semester 1-5. Jadi, di kelas XII ini aku benar-benar fokus untuk nilai raporku di semester LIMA ini. Sedangkan semester dua sudah fokus ujian. Aku bersyukur karena nilai semester lima ku bisa lebih baik dari semester-semester sebelumnya. Setelah selesai semester lima, aku langsung fokus ke ujian, tidak berpikiran sampai misalnya, “Ah, aku bakal lolos SNMPTN undangan tidak, ya?� Aku tidak sempat berpikir ke situ karena langsung disibukkan dengan agenda ujian yang super padat. Berangkat pagi, pulang sore. Itu kami lakukan setiap hari sebagai siswa kelas XII yang akan menempuh UN. Setelah melalui berbagai Try Out sekolah maupun kabupaten, akhirnya ujian sekolah tiba juga. Untuk ujian ini, jujur persiapanku bisa dibilang sangat minim, karena masih 144


belum bisa menyesuaikan diri dengan jadwal yang ada. Aku masih kewalahan membagi waktu antara try out yang satu dengan try out yang lain. Antara bimbel yang satu dengan bimbel yang lain. Akhirnya, selesai juga ujian sekolah itu. Emm, aku lupa, penyelenggaraan ujian praktek itu sebelum atau setelah ujian sekolah, ya? Ya, pokoknya ujian praktek pun akhirnya datang juga. Aku berusaha mempersiapkan diri sebaik mungkin. Aku juga berusaha menjalaninya dengan sebaik mungkin. Akhirnya ujian praktek pun selesai juga. Dan, jeng jeng jen, akhirnya yang dinanti-nantikan pun tiba juga. Ujian Nasional. Ya, UN. Walaupun di tahunku itu UN tidak menentukan kelulusan, tapi dengan dipertimbangkannya nilai UN sebagai parameter diterima atau tidaknya siswa pada SNMPTN membuat semua siswa ketar-ketir menghadapi UN ini. Tidak terkecuali aku.

Ya, aku awalnya tentu khawatir dengan UN ini. Tapi, aku berusaha menghadapinya dengan lebih berpikir positif setelah aku berkeluh kesah dengan orang tua. Aku membicarakan soal hal-hal yang membuatku stress dengan 145


orang tua. Nah, ini dia pentingnya kita curhat sama orang tua. Niscaya beban kita bisa berkurang. Aku juga sudah mengalaminya di 11 minggu pertama kuliah di ITB ini. Tiap hari aku pasti telpon (atau lebih tepatnya ditelpon mamaku). Aku yang baru mulai kuliah tentu menghadapi berbagai hal baru. Nah, semua itu pasti bikin kaget dan stress kan pada awalnya. Nah, di saat aku lagi stress-stresnya, aku bersyukur bisa mengurangi stresku engan mengobrolkan hal-hal yang membuatku stress dengan mamaku itu. Kadang papaku, Jadi, paling tidak stresku berkurang, lah. Jadi ngga terlalu stress lagi deh. Oke, kembali lagi ke topik. Sampe mana aku tadi? Sampe UN ya? Kok, aku malah jadi curhat, ya. Gapapa, kan? Hehe. Oke, jadi waktu mau UN itu aku perbanyak latihan soal aja. Nah, akhirnya UN tiba juga. Hari pertama adalah Bahasa Indonesia dan Biologi. Puji Tuhan, lancar, walaupun BI ada yang ga yakin si. Bio juga, hehe. Hari kedua: Mat dan Kimia. Untuk Mat, aku inget banget ada 1 soal yang susah banget dan akhirnya aku jawab ngasal. Untuk Kimia ada 2 soal yang aku ga yakin. Dan, hari ketiga atau terakhir menunya adalah 146


Bhs Inggris dan Fisika. Untuk B.Ing, ya lumayan lancar, lah. Nah untuk Fisika nih ada yang unik. Seperti biasa, kalau aku mengerjakan ujian dan ada soal yang ngga bisa, langsung dilewati. Nah, untuk Fisika ini, ada 1 soal yang ngga bisa dan ngga kebayang sama sekali gimana caranya. Aku udah koreksi kembali 39 soal yang lain dan sudah cukup yakin dengan jawabnya. Nah, yang 1 soal ini aku udah coba pikirin pake cara apa yah supaya ketemu jawabnya. Eh, ga ketemu-ketemu juga. Akhirnya, aku berdoa mohon bantuan Tuhan untuk menerangi akal budi dan menunjukkan jawaban yang tepat. Nah, setelah beberapa waktu emang ngga kerasa apa-apa. Tetap aja aku ngga kebayang gimana cara ngerjainnya. Sedangkan waktu tinggal 15 menit lagi. Waduuhh, gimana nih? Dan, entah ada angin apa, ijig-ijig kaya ana ilham mudun

maring sirahe nyong, koh. Kayane carane kuwe kaya kiye. Lah, banjur tak jajal, ya. Eh, kayane logis. Yawis, jajal tak jawab. Eh, ana nang pilihan jawabane. Yawis, langsung bae tak pilih. Dan ngga tahu kenapa aku yakin banget jawabanku itu benar. Padahal, aku juga baru mendapatkan ilham tidak 147


lama sebelumnya. Dan, ngga tahu kenapa aku juga yakin jawaanku itu bakal bener semua. Terus, aku tulis aja di soalnya (kan soalnya ngga bakal dikoreksi, tapi buat sekolah masing-masing). Aku tulis “Puji Tuhan!� karena Tuhan sudah menunjukkan jalan-Nya padaku. Eh, jebul temenan, pas

pengumuman UN, Fisikane nyong entuk 100! Wah jan bersyukurepol yakin nyong. Dadi, kaya entuk pencerahan gitu loh. Jadi, intine: kalau sedang menghadapi ujian (dan lainnya juga) jangan hanya belajar saja, tapi berdoa juga harus! Temenan kiye loh, ora lombo! Hehe.

Nah, jadi setelah selesai UN, aku refreshing dong pastinya, haha. Dolan kambi bocah sekelas maring Gua Jatijajar karo Pantai Logending, Pantai Ayah nang Kab. Kebumen. Nyarter bus, ora nginep si, tapi berkesanepol yakin. Kowe-kowe juga pada kaya kuwe, ya. Nek arep ujian ya belajar sing sregep. Do Your Best. Nah, bar ujian kuwe dolan bae sedolan-dolane, nglepas stres lan penat men seger maning pikirane. Work Hard, Play Hard. Bar kuwe, tanggal 9 Mei 2015 kuwe tanggal sing ditunggu-tunggu lan pastine deg-degane pol. Kuwe tanggal 148


pengumuman SNMPTN. Dari pagi sudah deg-degan padahal pengumumane baru jam 5an sore. Setelah jam yang ditetapkan, aku buka dan Puji Tuhan ketrima di STEI ITB. Setelah itu tanggal 15 Mei 2015 pengumuman kelulusan. Puji Tuhan juga, aku lulus! Lalu tanggal 19 Mei 2015 pelepasan dan 23 Mei 2015 perpisahan. Nah, sekitar akhir Mei, kami yang diterima di ITB yang berasal dari Kab. Banyumas diajak kumpul bareng Gamas. Gamas? Apa itu Gamas? Setelah aku cari tahu, ternyata Gamas adalah singkatan dari Keluarga Mahasiswa Banyumas,

yaitu

paguyuban

mahasiswa-mahasiswa

yang

tempat dari

berkumpulnya

Banyumas

dan

Banjarnegara. Kita dikasih tahu ini itu soal ITB dan 9 Juni 2015 aku daftar awal di Sabuga. Lalu, LIBUR LAGI! Yeay! Barulah tanggal 5 Agustus 2015 aku daftar ulang. Dan setelah itu ada serangkaian kegiatan sampai 24 Agustus 2015 mulailah kuliah. Setelah masuk kuliah, ngga taunya banyak juga yang berasal dari daerah dan mereka dapat bersaing di ITB ini. Oh ya, kan peneriman mahasiswa baru secara resmi itu pada Sidang Terbuka tanggal 10 Agustus 2015 lalu ya. Nah, 149


pada sidang itu, selain penerimaan mahasiswa baru, ada juga pemberian penghargaan kepada Mahasiswa Berprestasi tahun 2015. Nah, di antaranya ada juga lo yang dari Banyumas. Dia meraih medali emas ONMIPA 2015 bidang kimia. ONMIPA tuh kaya OSN nya mahasiswa. Tingkatnya nasional. Keren ngga tuh dapat emas tingkat nasional? Oh ya, selain disebut namanya, Mahasiswa Berprestasi (atau biasa disingkat Mapres) juga disebut asal SMA nya juga dan dapat bersalaman dengan Rektor ITB di hadapan ribuan mahasiswa baru. Gimana ga bangga, tuh? Keren banget, kan? Nah, ini nunjukin kalo kita-kita yang dari Banyumas juga bisa berprestasi dan bersaing di ITB, ngga kalah sama yang dari kota-kota besar. Kita tidak boleh rendah diri, tapi juga jangan terlalu percaya diri dan malah jadi meremehkan. So, ayolah kita harus kuliah, men! Karena pendidikan itu penting, dan lulusan SMA itu biasanya cuma bisa jadi (maaf) tukang

ngecor bensin nang SPBU. Ya, kita emang ga ngejar gelar doang di kuliah, tapi lulus tepat waktu dengan nilai yang baik itu juga penting! Janganlah kita hanya berhenti pada wajib belajar 12 tahun. 150


karena wajib belajar itu baru kriteria minimal pendidikan seorang WNI. Kalau masalah biaya, kalau kita benar-benar niat, niscaya beasiswa ada dimana-mana. Karena dengan pendidikan kita bisa lebih membuka mata kita terhadap halhal baru di sekitar kita. Ya, mungkin cuma segini yang bisa diomongkan oleh seorang mahasiswa baru tingkat pertama yang baru kuliah 11 minggu sampe tulisan ini dibuat. Mungkin aku belum bisa omong banyak, tapi yang sudah kutulis ini adalah seluruh yang aku rasakan dan alami bagaimana ceritanya sampai aku bisa diterima di ITB. Oke, jadi intinya: Mayuh pada kuliah, lur!

Sekian. Suwun. Salam Panginyongan! Keep Ngapak! Ora ngapak, dupak!

*Penulis merupakan mahasiswa Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB angkatan 2015 dan merupakan alumni SMA Negeri 1 Purwokerto.

151


Inspiring Your Surrounding Aisah Resti Amalia | Institut Teknologi Bandung ----------------------------------------------------------------------------

Kenapa SITH Sains? Jeng‌jeng‌.

S

emester 1 kelas XII baru saja dimulai. Hawa liburan itu masih menyelimuti alam bawah sadar yang terdalam.

Pagi itu, aku masih belum percaya kalau liburan sudah selesai dan harus kembali ke sekolah. Biasanya ada upacara juga. Pasti pengin banget baris paling belakang, tapi nggak pernah kebagian. Jadi harus siap grak di bagian depan. Setelah upacara, biasanya sekolahku nggak pulang

gasik. Kalo pulang gasik, berarti itu kejadian langka, selangka dua pelangi melengkung bersama di langit biru hehe. Tapi kadang belum ada pelajaran pagi juga. Mau bagaimana lagi, sebagai pelajar yang baik harus menaati peraturan sekolah, bukan? 152


Pada saat jam kosong itulah, temen-temenku udah pada tanya atau bahasa gaul sekarangnya kepo temen-temen lainnya mau masuk universitas mana. “Kowe arep mlebu ngendi ngesuk?” “Jurusane, jurusan apa?” “Passing grade-de si pira? Mbok dhuwur?” Dan mereka tanyanya nggak cuma sekali, dua kali. Tapi hampir berkali-kali dan setiap hari sampe aku mabok ditanyain begitu terus. Kenapa aku nggak terlalu suka ditanya begitu? Bukan nggak suka, hanya saja setiap kali orang bertanya, semakin besar beban yang aku rasa. Sering aku berfikir, kalau aku masuk ini, besok aku mau jadi apa? Besok aku sukses nggak ya? Mending aku pilih universitas ini atau ini ya? Universitas atau kedinasan ya? Besok hidupku gimana ya? Dan selalu berkata besok, besok dan besok, padahal hidupmu ya hari ini. Biarkan hari esok itu datang dengan sendirinya karena hari ini Anda sudah sangat sibuk. Lebih mengherankan orang-orang yang berani menebus kesedihan suatu masa 153


yang belum tentu matahari terbit di dalamnya dengan bersedih dan ketakutan akan masa depan (La Tahzan) “Wahai masa depanku, engkau masih dalam kegaiban. Maka, aku tdak akan pernah bermain dengan khayalan dan menjual diri hanya untuk sebuah dugaan. Aku pun tak bakal memburu sesuatu yang belum tentu ada, karena esok hari mungkin tak ada sesuatu.” Kalimat diatas adalah yang kutemukan dalam buku La Tahzan yang kubaca. Terasa lelah sekali waktu itu, ketika aku memikirkan masa depan yang terlalu jauh dan selalu dirundung pertanyaan yang aku tak bisa menjawab karena pertanyaan itu diawali dengan “Apakah besok....” Hingga akhirnya, aku merubah itu semua. Aku mulai bertanya, “Apa yang aku senangi, apa yang aku bisa lakukan?” Dan semua itu terjawab, mungkin kalau aku tanpa biologi aku nggak bisa menyumbangkan prestasi, piala, dan nama harum bagi sekolahku. Jadi dalam hati akhirnya aku memilih biologi.

154


Badai di pikiranku sudah reda. Kemudian kusampaikan kepada kedua orang tua. Namun, kulihat raut sedih di wajah mereka. Kedua orang tuaku menyarankan agar aku masuk sekolah dinasan saja yang dijamin kerja karena kedua orang tuaku nggak punya tabungan sama sekali untuk membiayai aku kuliah. Aku menyerah, aku akhirnya mendaftarkan diri ke salah satu sekolah kedinasan dan lolos babak 1 ujian saringan sekolah tersebut. Namun, aku masih punya niat besar untuk biologi. Oleh sebab itu, aku juga mendaftar SNMPTN 2014, mengambil Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati program Sains Institut Teknologi Bandung (SITH S, ITB). Mengapa ITB? Karena, aku mendapatkan informasi kalau mahasiswa penerima bidikmisi ITB, benar-benar tidak membayar uang kuliah. Bahkan malah dibiayai hidupnya. Aku sudah berserah saat itu, kalo tidak lulus ITB, saya akan menuruti keinginan kedua orang tua saya mengambil kedinasan. Karena pada saat itu saya tidak ingin mengikuti SBMPTN. Sebelum ujian babak 2 sekolah kedinasan, keluarlah pengumuman SNMPTN 2014. Dan Alhamdulillah, saya di terima di ITB di SITH Sains. Orang tua saya juga bersyukur dan bahagia. 155


Pesan sponsor Orang tua sering menyarankan masuk ini, masuk itu, karena mereka khawatir dengan dirimu. Mereka ingin putraputrinya bisa hidup sukses, terjamin baik material maupun batin. Jadi, kalau ada perbedaan pendapat dengan orang tua, jangan emosi dulu. Dicerna dulu perkataan orang tua, pasti ada benarnya. Kemudian, sampaikan maksud dan keinginan kita secara lemah lembut kepada mereka. Dan temukan mufakat yang terbaik. Pilih jurusan yang memang kamu senangi bahkan hobi. Karena apabila salah jurusan, itu nggak nyaman kuliahnya. Jangan pilih berdasarkan universitasnya, jangan ikut-ikutan temen, apalagi ngikutin trend. Bertanyalah pada dirimu sendiri? Soalnya apabila ada masalah di kampus nantinya, bila kamu memikirkan masak-masak sebelum kamu masuk universitas itu, kamu akan lebih dingin menyelesaikan masalah tersebut, dan berfikir “ya sudah, ini pilihanku�. Beda halnya yang memilih bukan dari hati, mungkin akan mengungkit “coba aku dulu milih ini aja.�

156


Life is Choice and The Choice Is Yours, Selamat Menikmati Indahnya Perjuangan.

*Penulis merupakan mahasiswa Biologi ITB angkatan 2014 dan merupakan alumni SMA Negeri 2 Purwokerto.

157


Dreams are Real, Go Get Them Endang Asih Safitri | Institut Teknologi Bandung ----------------------------------------------------------------------------

J

ujur, saya bukanlah orang yang ahli dalam menulis, tapi perkenankanlah saya membagi cerita perjalanan saya

sebelum bisa besekolah di ITB, yang semoga saja bisa menjadi inspirasi adik-adiku semua. Silahkan dibaca, mohon ambil yang baik–baik dan buang jauh–jauh yang buruk. Karena sebagai seseorang yang masih dalam tahap belajar, saya juga memiliki banyak kekurangan. Sebenarnya saya merasa belum pantas untuk mulai membagi kisah perjuangan saya, karena memang secara fisik dan mental perjuangan saya belum apa-apa dibanding teman- teman saya yang lain, para pejuang jalur tulis. Karena saya adalah salah satu dari sekian anak yang beruntung mendapatkan undian berhadiah SNMPTN jalur Undangan. Saya amat sangat bersyukur, atas semua nikmat yang Allah SWT berikan ini.

158


Mau melanjutkan sekolah kemana Ndang? Hmm, pengennya ke ITB pak. Hah, Kamu mau sekolah di ITB? (Sambil ngelus-ngelus dada). Yah, itu adalah reaksi sebagian besar

orang

melanjutkan

ketika sekolah

mereka ke

ITB.

mendengar

saya

Maklumlah,

ingin

sebagian

masyarakat masih menganggap ITB sebagai sekolah anak para pejabat dan konglomerat, yang punya banyak uang. Yang mereka tanyakan pertama kali pasti masalah biaya, biaya, dan biaya. Seolah-olah tidak ada hal yang lain bisa dibicarakan. Pada saat awal–awal masuk SMA N Jatilawang, saya sudah tidak asing lagi dengan nama Azka Mujiburohman. Sering sekali saya mendengar nama itu disebut dan diperbincangkan oleh guru di kelas dan teman- teman. Konon kabarnya, mas Azka berhasil diterima di Institut Teknologi Bandung. Waaahh, hebat, keren #pikir saya. Karena setahu saya, Institut Teknologi Bandung itu termasuk perguruan tinggi terbaik di Indonesia setingkat Universitas Indonesia dan Universitas Gajah Mada.

159


Saat naik ke kelas XI, ada satu kakak kelas lagi yang berhasil masuk Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB namanya mas Heriawan, anak kelas XII IPA 1. Tapi saya dan teman–teman tidak heran, mas Heri memang pantas dapat itu semua, lihat saja prestasinya dalam dunia karya tulis, mas Heri dan teman–temannya, salah satunya mas Rajif Dri Angga yang sekarang dapat beasiswa di Fisipol UGM itu sudah menjuarai beberapa perlombaan karya tulis, kepintarannya di kelas juga sering menjadi bahan cerita ibu guru fisika di kelas. Kemahirannya melakukan presentasi juga sering dijadikan model oleh guru bahasa Indonesia. Sejak saat itu, tidak tahu karena apa, saya jadi terinspirasi oleh mas Heriawan, kata teman–teman dulu mas Heri ikut ekstra KIR, oke saya juga ikut ekstra KIR. Mas Heri dulu jadi pengurus koperasi, dengan beraninya aku juga mencalonkan diri menjadi pengurus koperasi. Terus dulu mas Heri juga ikut Dewan Ambalan, tapi yang satu itu saya tidak mau ikut-iku karena saya memang tidak berminat saja. Konyol memang, tapi itulah saya, mencoba menyamakan diri dengan orang lain yang menjadi idola saya, dengan harapan semoga saja saya memiliki nasib yang sama. 160


Ada lagi satu kakak kelas yang diterima di ITB, namanya Mas Mujianto dan dialah pioneer SMA ku yang pertama kali masuk

ITB,

lulusan

tahun

2007.

Saya

juga

kaget

mendengarnya, jujur saya juga baru tahu awal janurari kemarin, sewaktu ada sosialisasi ITB ke sekolah. Ternyata ada yang lebih sepuh lagi dari mas Azka. Mas Mujianto itu termasuk mahasiswa yang berprestasi di ITB, dia juga berhasil mendapat beasiswa S2 program studi Kimia. Sekarang sudah lulus dengan gelar M.Sc, kereen kan adek – adek, dan Insha Allah aku adalah the next mas Muji. Aamiin. Cerita – cerita sukses kakak kelas itulah yang selalu menjadi motivasi saya dalam belajar dan berjuang agar bisa masuk ITB. Kalau Mas Mujianto, Mas Azka, Mas Heriawan bisa, lalu kenapa saya tidak bisa? Sama–sama anak Smanja (sebutan popular SMA ku), diajar oleh bapak ibu guru yang sama, dapat pelajaran yang sama, sama – sama makan nasi, sama–sama berasal dari desa dan banyak persamaan yang lainnya.

Seperti anak – anak SMA yang lainnya, kelas XII itu menjadi masa–masa yang teramat galau. Masa–masa dimana 161


kita harus belajar dengan serius untuk menghadapi Ujian Nasional dan yang lebih penting lagi karena kita juga harus sudah punya rencana hidup, mau jadi apa kita kelak. Kemana kita mau melanjutkan ke universitas mana dan jurusan apa? Belum lagi ditambah masalah yang lainnya lagi seperti kendala biaya atau lainnya, yang bisa membuat kepala pusing. Sebagai anak yang masih labil, saya juga sering mengalami kegalauan, puncak kegalauan itu terjadi saat kelas XII semester dua. Saya benar–benar pusing memikirkan masa depan, sebenarnya mau jadi apa saya? Ditambah lagi beban

ujian Nasional yang semakin tahun, standar

kelulusannya semakin tinggi. Oleh karena itu, adik–adiku kalau saya boleh kasih saran, kalian harus sudah punya rencana dari jauh–jauh hari. Mau melanjutkan kemana nanti setelah lulus dan mau mengambil jurusan apa. Semua itu butuh waktu dan pemikiran yang jernih, jangan sampai kalian salah jurusan atau salah universitas. Pikirkanlah baik–baik karena itu akan menetukan masa depan kalian, kedengarannya agak lebay memang, tapi yaah begitulah adanya.

162


Saya sudah mencoba mencari informasi tentang ITB di Internet, tentang jurusan- jurusan, syarat pendaftaran sejak kelas XII semester awal. Menurut saya, ini adalah penentu masa depan kita yang harus kita persiapkan sematang mungkin, agar tidak sampai menyesal di kemudian hari. Saya dan teman–teman juga sering membuat forum disela–sela istirahat sekolah dan jam pelajaran kosong untuk sekedar

sharing info perguruan tinggi, info try out, dan beasiswa. Untuk memotivasi, saya sengaja mencari foto-foto kampus ITB dan saya jadikan wallpaper di HP. Entah mengapa saat sedang malas belajar seolah semangat belajar saya terisi kembali ketika melihat gambar-gambar tersebut. Gambar dibawah ini adalah foto–foto yang berhasil saya download dengan memanfaatkan gratis internetan. Tiga gambar kampus ITB ini selalu saya pajang secara bergilir menjadi wallpaper HP. Entah mengapa ketika saya sedang malas belajar, gambar ini seolah menjadi semangat baru yang berhasil membujuk saya untuk tidak berhenti belajar. Saya bayangkan suatu saat saya berdiri di tengah-tengah bangunan kokoh seperti gambar tersebut.

163


Teringat akan nasihat seseorang, Mba Upik namanya, beliaulah yang sering memotivasi saya ketika sedang down. ”Visualisasikanlah apa yang kamu impiakan!” Jadi intinya jangan lah adik-adiku semua merasa malu dan takut atau pun minder untuk bermimpi. Saya bangga dengan salah seorang teman, namanya Muhammad Aziz Ali Mutia, kalian kenal sudah kenal kan adik – adik? Dia dengan lantang mendeklarasikan keinginannya untuk masuk ITB. Setiap ada orang yang bertanya tentang rencana melanjutkan kuliah kemana, dia dengan lantang menjawab ITB. Bahkan yang paling ekstrim, dia dengan pd¬nya memproklamirkan diri dengan memasukkan Institut Teknologi Bandung ke dalam timeline facebooknya, padahal waktu itu pendaftaran SNMPTN pun belum dibuka. Teman saya satu lagi, namanya Dani Mustofa, pasti semua sudah kenal. Dia anak yang luar biasa, meskipun anak IPA tapi jiwanya IPS. Dia memiliki minat yang besar dalam dunia Ekonomi, sehingga dia mengincar Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB. Di setiap buku catatan dan buku latihan soalnya, tertulis SBM ITB, SBM ITB, SBM ITB dimana–mana 164


ada tulisan itu. Kadang–kadang saya heran, tapi mungkin itu adalah caranya dalam memotivasi diri. Saya bangga bisa memiliki teman–teman seperti mereka, tidak seperti saya yang pengecut. Karena hampir saja saya menyerah karena tidak bisa membujuk kedua orang tua saya untuk member ijin kepada saya untuk bersekolah di ITB, lagi – lagi karena masalah biaya kuliah. Pada saat masa SMA, saya tergolong anak yang kuper dan pendiam. Berbeda dengan teman- teman seperjuangan di SMP saya, Diah dan Fitria, yang pada awal masuk SMA sudah ikut berorganisasi di OSIS, juga teman-teman lain yang aktif di kegiatan Dewan Ambalan. Saya hanya berbicara seperlunya, tetapi saya rasakan sikap saya yang seperti itu malah mengganggu saya. Oleh karena itu, pada awal kelas XI saya mencoba merubah sikap dan kebiasaan saya untuk bisa lebih membaur, dan ternyata hal tersebut mudah untuk saya lakukan karena saya memang berada dilingkungan yang mendukung saya untuk berubah. Semenjak saat itu, saya mulai bisa untuk berbicara di depan umum, saya terbiasa untuk mendiskusikan masalah dan 165


mempresentasikan di depan kelas. Saya merasakan ada kemajuan yang positif dari diri saya. Begitu juga pada awal kelas XII, saya ditempatkan di kelas XII IPA 3 yang notabene anak-anaknya sangat gaul. Mereka justru menganggap tabu apabila menggunakan waktu istirahat untuk belajar dan pergi ke perpus. Yah, tapi saya tetap percaya diri, bukankah kita di sekolah memang untuk belajar bukan untuk bergaya ataupun bermain. Saya lebih merelakan masa-masa SMA saya berjalan tidak seindah yang dikatakan orang. Namun, setelah itu saya sungguh merasakan keindahan luar biasa yang lebih dari apa yang saya duga sebelumnya. Alhamdulillah, nilai rapot saya dari semester satu sampai semester lima cukup stabil. Mungkin itulah yang membuat saya bisa lolos jalur undangan.

Upacara Peresmian Mahasiswa Baru Selamat malam teman-teman. Saya menulis cerita ini tepat dimalam hari setelah saya dan teman-teman ITB 166


angkatan

2012

dilantik

secara

resmi

sebagai

mahasiswa/mahasiswi ITB yang sah oleh bapak Rektor ITB, bapak Akhmaloka, di Sabuga (Sasana Budaya Ganesha). Acara sakral ini bahkan dihadiri oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Muhammad Nuh. Sungguh, semenjak saya menginjakkan kaki di Kampus ITB, sudah menjadi hal yang biasa untuk bertemu dengan tokoh- tokoh penting dan berpengaruh di Indonesia, seperti Bapak Muh. Nuh (Menteri Pendidikan RI), kemudian Bapak Hatta Rajasa, dan juga direktur utama Bank Mandiri. SELAMAT DATANG MAHASISWA BARU ITB 2012, PARA CALON PEMIMPIN GLOBAL. Slogan itulah yang terpampang saat pertama kali memasuki sabuga, tempat dimana kami sebagai calon mahasiswa baru diresmikan menjadi seorang mahasiswa. Merinding pastinya saat membaca tulisan itu. Saat itu, dalam hati saya tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya yang telah member kesempatan kepada saya untuk menuntut ilmu di lingkungan hebat dengan teman- teman yang luar biasa hebat pula. Segala puji bagi-Mu Ya Allah.

167


OSKM (Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa) Tulisan ini saya tulis tepat setelah OSKM ( Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa ) ITB 2012 berakhir. Semua yang sudah saya dapat setelah menjalani OSKM ini semakin meyakinkan saya bahwa ITB adalah yang terbaik dan sampai kapanpun akan selalu yang terbaik. Oleh karena itu, marilah belajar dan bekerja lebih giat lagi. Bagi siapapun yang menginginkan untuk bisa berkuliah di ITB, berusahalah lebih giat lagi. Buktikanlah kalau kalian memang terbaik dan pantas berada di tengah orang-orang terbaik di institut terbaik bangsa ini. Di ITB, kalian tidak hanya belajar di dalam kelas, tapi ITB lebih dari itu semua, lebih luar biasa dan tak terduga- duga sebelumnya. Percayalah semua itu sebanding dengan kerja keras kita. Untuk bisa masuk ITB, butuh ekstra kerja keras, maka maksimalkanlah usaha adik-adik semua. Seleksi masuk ITB memang sangat ketat dan butuh ketekunan, keberanian, kekonsistensi untuk bisa menjadi bagian dari keluarga besar ITB. *Penulis merupakan mahasiswa Kimia ITB angkatan 2012 dan merupakan alumni SMA Negeri Jatilawang.

168


Gagal? Jangan Bangun Kalau Tak Punya Mimpi Ginanjar Ramadhan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ----------------------------------------------------------------------------

A

khir semester 5, anak-anak SMA masih banyak yang sibuk untuk bermain, tapi ada yang sudah memikirkan

untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Begitu pula aku, aku dari awal masuk semester 5 sudah mulai dihantui rasa bingung. Bingung mengenai mau lanjut kuliah atau tidak, pasalnya ekonomi keluarga ku yang pas-pasan sulit kalau untuk membiayai studiku selama katakanlah 3-4 tahun di perguruan tinggi. Faktor lingkungan juga yang belum mendukung untuk menjadi acuanku kuliah. Sekitar rumahku hanya beberapa saja yang sudah jadi sarjana dan melanjutkan kuliah. Maka dari itu, aku dari awal sudah mencari peluang beasiswa full untuk studi, dari beasiswa bidikmisi, beastudi etos, beasiswa astra, dan lainnya. Awal kelas XII aku sudah bertanya ke kakak alumni SMA ku yang 169


sudah melanjutkan kuliah, dari A sampai Z udah aku tanyakan. Tak hanya modal nekat bertanya, tapi aku juga browsing dan masuk di grup anak-anak kelas XII dari seluruh penjuru nusantara. Tapi memang iya, banyak dapat kenalan dari Palembang, Surabaya, Jakarta, Bekasi, banyak lah. Dari situ jadi tau banyak mengenai persiapan buat masuk perguruan tinggi, belajar bareng, diskusi bareng, saling share soal untuk UN dan SBMPTN, dan kalau hari apa itu ada khusus English Day, jadi chatnya pakai bahasa Inggris, kadang kalau English day malah pada ngumpet ngga ada satu orangpun yang aktif, tapi kadang juga sering ngobrol pake bahasa Inggris, aku sih cuma jadi silent reader hehe. Aku sedang membuka recent update di Blackberry messager, aku membaca post message dari temanku Sulis dari SMAN Wangon, “Astra buka beasiswa teman� aku langsung chat Sulis, tanya tentang linknya. Dan aku pun dikasih link untuk informasi lebih lanjut. Aku baca-baca dan ternyata ini full beasiswa. Beasiswa sekolah gratis di Politeknik Manufaktur Astra dan setiap bulannya diberi uang saku. Aku mencoba mendaftar, aku mendaftar di akhir Desember. Kala itu aku harus mengurusi surat seperti SKTM, 170


surat rekomendasi sekolah, dan bukti tagihan listrik. Ada beberapa tahapan seleksi, administrasi, psikotes, wawancara, dan tes kesehatan. Aku lolos seleksi administrasi, dilanjutkan tes psikotes di SMKN 1 Gombong, Kebumen. Aku berangkat dengan Difki dan Langgeng, mereka berdua juga lolos administrasi. Setelah tes psikotes hampir berlalu sebulan, pengumuman kelulusan psikotes aku diberi tulisan seperti ini : “Maaf Anda tidak lolos tes psikotes�. Ya udah nggapapa, masih banyak kesempatan yang lain. Bulan Februari, aku diberi NISN dan password untuk mendaftar SNMPTN. Tak ketinggalan aku juga diberi nomor peserta bidikmisi dan kode akses untuk mendaftar. Bingung lagi mau ndaftar jurusan apa dan dimana. Karena waktu itu ada acara dari alumni Open House Universities merupakan acara tahunan dari alumni SMA ku yaitu SMA Negeri Jatilawang, yang memberikan gambaran tentang bagaimana melanjutkan di perguruan tinggi. Disitu aku sebenarnya sudah mempunyai gambaran untuk masuk Jurusan Teknik Elektro di UNSOED, sudah tanya-tanya juga sama mas Yahya (TE UNSOED ‘14). Tapi akhirnya aku mendaftar SNMPTN di Teknik Elektro UNDIP, Teknik Informatika UNDIP, dan Teknik 171


Elektro UNSOED. Sebenarnya takut daftar di UNDIP, tapi banyak yang mensupport untuk daftar disitu. Dari situ, jadi aku punya motivasi kuat untuk di UNDIP. Mungkin karena ke”alay”an ku, sampe di buku detik-detik UN pun ditulisi. “Calon Mahasiswa Teknik Elektro UNDIP’15 Aamiin.” Biar semangat aja sih waktu belajar, bahwa aku mau kesitu masa ngga belajar? Pikirku gitu. Ujian Sekolah dan Ujian Nasional berlalu, disela-sela liburan itu aku mencoba menyempatkan diri untuk belajar materi SBMPTN dan disaat liburan juga pak Lutfi (Waka kurikulum) memberitahuan bahwa akan ada kegiatan

Learning

Camp

persiapan

SBMPTN

yang

diselenggarakan oleh keluarga mahasiswa Banyumas di ITB. Aku

dan

teman-temanku

di

rekomendasikan

untuk

mendaftar. Jujur antara pengumuman kelulusan dan pengumuman SNMPTN aku rasa lebih dag dig dug pengumuman

SNMPTN.

Pengumuman

SNMPTN

dijadwalkan 9 Mei jam 5 sore, aku tak terlalu berharap pada seleksi ini. Karena sekolahku yang notabene masih sekolah pinggiran, belum terlalu mendapat nama di universitas. Walaupun tak berharap banyak, tapi aku tetap berdoa agar diterima. Aku membuka pengumuman SNMPTN 9 Mei tepat 172


jam 5 sore. Dan akhirnya background merah menghiasi layar hpku. Tanda bahwa aku tidak diterima SNMPTN. “Anda dinyatakan tidak lulus seleksi SNMPTN 2015� begitu kata webnya. Dari sekolahku hanya 5 orang saja yang lolos SNMPTN 2 ITB, 2 IPB, dan 1 UNNES. Teman sekelasku hanya 1 orang yang lolos yaitu Esti di ITB. Malamnya, aku di sms oleh mas Gilang dari keluarga mahasiswa Banyumas (GAMAS) ITB, menanyakan mengenai perihal kegiatan Learning Camp yang akan diselenggarakan. Aku diminta untuk mendaftar di web, dan mengirimkan essay/karangan tentang pribadi, keluarga, dan jurusan dan kampus pilihan beserta

alasannya.

Waktu

itu,

aku

bersama

teman

sebangkuku selama 3 tahun, Aan, mendaftar kegiatan tersebut. Sebelumnya, kami mendaftar SBMPTN terlebih dahulu. Aku memilih jurusan Teknik Elektro UNDIP, Pendidikan Fisika UNNES, dan Pendidikan Teknik Elektro UNNES. Setelah mendaftar, pengumuman LC tanggal 21 Mei, sedangkan

kegiatan

berlangsung

mulai

26

Mei.

Alhamdulillah, aku dan Aan menjadi bagian dari 10 orang yang lolos seleksi. Kegiatan tersebut berlangsung di yayasan QT Purwokerto. Kami berangkat tanggal 26 dengan 173


membawa berbagai perlengkapan untuk 2 minggu ke depan. Aku, Aan, Adib, Afit, Apit, Dhila, Dika, Dimas, Giri, dan Kaful dibimbing dan dibekali untuk mengerjakan soal-soal SBMPTN, diberi arahan juga mengenai kehidupan kuliah itu seperti apa. Dari Learning Camp, bukan hanya bisa dapat ilmu untuk mengerjakan SBMPTN saja, tetapi juga mendapat ilmu agama. Memang karena tempat LC ini berada di sebuah yayasan islami. 2 minggu telah berlalu, 9 Juni waktunya kami bertempur untuk mendapatkan kursi di PTN. Kami semua diantar oleh kakak-kakak GAMAS dari yayasan menuju lokasi ujian. Pulangnya pun kami dijemput. Aku ujian di panlok Purwokerto tepatnya di MAN 2 Purwokerto bersama dengan Aan, kami hanya berbeda ruangan saja. Alhamdulillah aku diberi kesempatan untuk mengikuti kegiatan ini. Berkat LC Alhamdulillah aku bisa mengerjakan soal SBMPTN dengan tenang, dan berharap hasilnya maksimal. Aku juga sudah mengoreksi jawabanku dengan jawaban versi bimbel. Kalau dihitung aku mendapat passing grade 38 sekian. Kata temenku itu sudah aman. Ujian SBMPTN selesai, aku langsung bergegas pulang dan menuju ke terminal Wangon untuk membeli tiket untuk ke Jakarta mengikuti ujian mandiri 174


UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tanggal 13 dan 14 Juni. Aku berangkat ke Jakarta sendirian, ini sudah kali ke 4 aku ke Jakarta sendirian. Di UIN aku mengambil jurusan sistem informasi dan pendidikan fisika. Di UIN ujian selama 2 hari di lantai 6 FEB. Ada ujian Tes Potensi Akademik dan Pernyataan Akademik, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Pengetahuan Agama, Matematika IPA, dan IPA Terpadu. Aku diantar oleh om ku yang memang tinggal kurang lebih 4 km dari UIN. Saat ujian Alhamdulillah aku bisa mengerjakan, dengan cara berlatih soal dari buku yang aku peroleh dari seseorang mahasiswa UIN Kak Ridwansyah (AK UIN JKT’14) yang mengadakan sebuah kuis di jejaring sosial Twitter, dan aku mengikutinya dengan cara mengirimkan essay ke kak Ridwansyah. Alhamdulillah barangnya dikirim ke sekolah. Aku ujian bersama dengan temanku Abu yang memang saudaranya tinggal dekat UIN juga. Aku pulang sebelum bulan puasa, aku sudah sangat kangen dengan rumah. Karena hampir 3 minggu aku tidak berada di rumah. Menunggu hasil pengumuman SBMPTN dan UIN, aku dirumah saja. Sambil mengurus e-ktp yang karena datanya hilang jadi harus bolak balik kantor catatan sipil di 175


Purwokerto. 9 Juli tiba, saatnya aku membuka pengumuman SBMPTN, karena saat itu tepat kuota internetku habis, jadi aku ke rumah saudaraku untuk menumpang melihat pengumuman. Tepat jam 5 sore aku membukanya, tapi server down. Karena waktu buka puasa yang semakin dekat, akhirnya aku memutuskan untuk pulang saja dan hasilnya aku minta dikabari lewat sms. Aku juga ditanya lewat sms oleh teman-teman dan kakak kelas. “Gimana Njar hasilnya?� tanya mereka. Karena aku belum tau hasilnya, tiba-tiba temanku ada yang menawarkan untuk membuka hasilnya. Pengumumanku dibuka pertama kali oleh Deventi, tapi karena lama sekali membalas smsku jadi aku tinggal salat Maghrib dulu. Sisa-sisa kuotaku ternyata masih bisa untuk membuka BBM, dan banyak teman-temanku yang lolos SBMPTN yang aku tau dari grup kelasku. Deventi memberitahu bahwa aku tidak lolos SBMPTN katanya disuruh tetap semangat dan jangan putus asa. Okehlah, tidak mengapa mungkin belum rejekinya di Semarang. Aan juga turut membukanya, dan tetap saja aku tidak lolos. Aku turut senang dengan diterimanya teman sebangkuku ini di Pendidikan Teknik Otomotif UNNES. Teman LC ternyata yang 176


lolos Aan dengan Afit anak SMAN Ajibarang lulus Geodesi UGM. Jujur, aku merasa tidak enak dengan para panitia yang sudah bekerja keras membimbing tapi hasilku masih belum sesuai dengan ekspetasi. Tidak lolos SBMPTN rasanya begitu sakit, lebih sakit ketimbang waktu membuka ASTRA dan SNMPTN. Karena tidak lolos, aku memikirkan kedepan harus bagaimana. Ada seleksi mandiri yang menggunakan nilai SBMPTN yaitu UNS. Mba Gamma (Psikologi UNS’14) yang sering aku kepoin juga mendukung untuk mendaftar, aku mencoba mendaftar.

Walaupun uang di dompet hanya

tinggal seratus tiga puluh ribu, aku relakan seratus ribu untuk mendaftar. Siapa tau rejekiku di UNS. Aku mendaftar jurusan S1 Perencanaan Wilayah & Kota, S1 Pendidikan Fisika, D3 Teknik Informatika, dan D3 Teknik Kimia. Aku mendaftar hari terakhir pendaftaran di saat sahur, alhamdulillah lancar. Tapi setelah tinggal klik setuju, ternyata aku salah klik saat memasukan kabupaten orang tua. Harusnya Banyumas malah Banjarnegara. Akhirnya aku ulangi pendaftaram lagi dari awal dan berhasil. Pembayaran Ujian Mandiri UNS ini dilaksanakan setelah pendaftaran online, membayar seratus ribu pada Bank BNI. Karena saat itu hari Sabtu, jadi teller 177


tutup dan diharuskan untuk membayar lewat ATM. Aku punya ATM BNI, tetapi tidak ada saldonya, apa malah sudah mati rekeningnya. Tapi aku punya ATM Bersama siapatau bisa, tapi aku juga mencoba ke rumah Ibuku dan meminjam apakah punya atau tidak, ternyata tidak punya. Tapi aku sudah punya rencana, kalau memang nanti punyaku tidak bisa mengirim aku akan berniat menitip kepada orang yang sedang transaksi untuk membayar. Aku sampai di ATM BNI Wangon, ada dua orang perempuan sedang

melakukan

transaksi, aku tidak sengaja melihat ternyata mereka juga mendaftar UNS. Mereka keluar dan bergantian aku masuk ke dalam ruang ATM terlebih dahulu mencoba siapa tau punyaku bisa untuk transaksi, dan ternyata tidak bisa. Dan kedua orang perempuan itu ternyata masih diluar, karena bukti pembayaran salah satu belum keluar. Aku keluar, mereka masuk lagi. Dan ternyata mereka keluar lagi, dan bukti transaksinya tidak keluar juga. Aku dengan berani bilang “Mba, ndaftar UNS juga yah? Aku nitip boleh ngga mba? Aku ada uang di saku� “Iya boleh, tapi ini punya temenku juga belum keluar bukti transaksinya� jawabnya. Kami bertiga masuk kedalam ruangan ATM, aku membayar. 178


Dan keluar transaksinya, ternyata atas nama Elsa perempuan itu. Berarti tinggal punyaku yang masih nyangkut di mesin. Aku, Elsa, dan Riska keluar, dan aku belum mendapatkan bukti pembayarannya. Aku menunggu ada sesorang yang melakukan transaksi dan berharap akan keluar bukti punyaku. Awalnya ada ibu-ibu ambil uang, aku menjelaskan semuanya,

ternyata

ngga

keluar

bukti

transaksinya.

Kemudian ada bapak-bapak dan aku menjelaskannya lagi, akhirnya beliau bilang “Ini rejekinya kamu mas, keluar�. Alhamdulillah aku sangat bersyukur sudah keluar bukti transaksiku. Dan aku lanjutkan untuk login dan cetak kartu. Dan ternyata kedua perempuan itu adalah temannya Afit dan Adib kawan LC dari SMAN Ajibarang. Dua hari setelah itu, pengumumanpun tiba. Namaku tidak tercantum dalam calon mahasiswa yang diterima. Gagal SM UNS, akhirnya aku, Adib, Dhila, dan Kaful berencana untuk mendaftar ujian mandiri UNSOED. Kami pun berencana untuk mendaftar bersama agar ruangan kami bisa berdekatan, dan kami pun berencana untuk H-1 sudah berada di Purwokerto, jadi menginap di Purwokerto. Sebenarnya ingin ikut ujian mandiri banyak univ,

179


tetapi aku yang hanya mengandalkan bidikmisi, jadi hanya mendaftar di UNSOED. Idul Fitri, hari yang penuh kemenangan. Harusnya tak ada lagi kesedihan dalam hati. Tapi, aku tak dapat menyembunyikannya. “Njar, sekarang kuliah dimana?� hampir semua orang yang datang ke rumah eyangku bertanya seperti itu. Sedih iya sedih, tapi aku berfikir bahwa Allah pasti akan memberikan jalan terbaik untuk hamba-Nya yang sabar. Tak hanya aku yang sedih, keluarga dekatpun ikut prihatin kenapa aku bisa diberi maaf terus. Dengan sabar aku selalu mengatakan “Belum rejekiku�. Pengumuman UIN Jakarta tanggal 1 Agustus, tapi aku melihat di web spmb, aku mencari namaku. Disitu tertera status kelulusan. Punyaku hanya setrip. Aku mencoba memasukan nama depanku saja, dan ternyata ada yang sudah tertera jurusannya. Aku bingung, aku berfikir bahwa aku tidak lolos. Karena itu, aku harus berjuang untuk ujian mandiri UNSOED tanggal 2 Agustus. Aku sempatkan untuk belajar sungguh-sungguh. Tak hanya belajar, aku juga sudah mempersiapakan untuk bekerja jika di UNSOED tidak lolos, udah ke POLSEK untuk membuat SKCK, rencana juga untuk membuat kartu kuning 180


yang diterbitkan oleh Dinsosnaker. Karena sudah ada yang sedang mencarikan aku kerja di Jakarta jadi aku persiapkan sejak dini agar tak terburuburu di kemudian hari. Aku juga sudah berniat kerja sambil belajar untuk SBMPTN 2016. Pagi kerja, malamnya belajar untuk SBMPTN. Aku dan 3 teman LC ku mendaftar SPMB UNSOED di hari yang selisih beberapa hari. Aku bingung untuk memilih jurusannya, jadi aku putuskan untuk memilih kelompok ujian campuran bersama Kaful. Adib dan Dhila tetap memilih Sainstek. Aku dan Kaful masih satu komplek tesnya di FE, sedangkan Adib di FIK dan Dhila di FKU. Kami berencana akan survei tempat bareng, karena mendadak ada acara Dhila dan Adib tidak bareng cek lokasinya. Aku bareng dengan Kaful untuk cek lokasi dan mencari masjid untuk menginap saat H-1 UM yaitu 1 Agustus 2015. Adib akan menyusul ba’da Maghrib. Jam 4 sore aku dan Kaful sudah menemukan masjid untuk berlindung dari dinginnya malam tepat di depan UNSOED persis. Pengumumman ujian UIN Jakarta tak terlalu aku pedulikan, dari pagi aku sudah mencoba membuka, ternyata pengumuman jam 5 sore seperti pengumuman ujian biasanya. Hanya modal nomor 181


peserta, bisa langsung melihat hasilnya. Kali ini, aku pinjem hpnya Kaful untuk membuka, soalnya dia yang udah stay di opera mini. Aku memasukan nomor pesertaku. Langsung dilihat hasilnya, dan disitu tertera. Status kelulusan nama, nomor peserta. Kirain emang semuanya ada namanya terus ngga lolos gitu, soalnya emang diawal aku sudah mengira ngga lolos karena setrip yang ada di status kelulusan di web. Alhamdulillah diberi ucapan “Jenis Seleski : SPMB Mandiri Nomor Peserta : 154130000997 Nama : Ginanjar Ramadhan. Selamat Atas Keberhasilan Anda! Anda dinyatakan LULUS pada program studi SISTEM INFORMASI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Terima Kasih” sempet ngga percaya. “Ful, beneran lolos?” kataku. “Iya Njar, selamat ya” jawabnya. Saat itu aku berfikir mau pulang, tapi udah tanggung . Aku juga langsung mengabari ibuku dan tanteku bahwa aku lolos. Tak ketinggalan kakak GAMAS juga aku beritahu. Mereka turut senang mendengar kabar dariku. Keseokan harinya aku tetap mengikuti ujian di UNSOED, kesampean juga ngerjain soal soshum. Ini juga sedang bingung untuk masalah finansial, karena bidikmisi di UIN diajukan setelah resmi menjadi mahasiswa UIN Jakarta. 182


Aku daftar ulang di UIN Jakarta tanggal 14 dan 18 Agustus

2015,

sedangkan

pemungumuman

UNSOED

tanggal 12 Agustus. Aku membayar di Bank BNI Wangon tanggal 12 Agustus, aku juga sudah memutuskan untuk tetap mengambil UIN jika UNSOED diterima. Aku tanggal 12 sore berangkat ke Jakarta.

Waktu itu belum pengumuman

UNSOED, karena aku tertidur setelah naik bus ke Jakarta. Jam 7 pagi saat aku masih di jalan tol baru aku bisa membuka pengumuman UNSOED, dengan memasukan nomor peserta dan tanggal lahir aku membukanya. Permohonan maaf lagi aku dapatkan. Aku saat itu bersyukur karena aku tidak diterima, mungkin jika aku diterima maka aku akan menyianyiakan rejeki. Kasihan teman-teman yang belum mendapat bangku kuliah di PTN. Temanku Adib dan Kaful yang menginap bareng di Masjid diterima. Adib yang diterima di Teknik Sipil dan Kaful yang diterima di Administrasi Negara (Pararel). “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukain setiap orang 183


yang sombong lagi membanggakan diri� (57:23). Jadi, tetap semangat untuk terus menggapai asa. Jangan menyerah hanya karena satu kali gagal. Teruslah mencoba selagi kau bisa. Karena jika kamu menyerah berarti kamu kalah. Mungkin sulit menerima keadaan bahwa jika gagal masuk PTN, tapi ingatlah Allah selalu memberi yang terbaik untuk hamba-Nya. Udah biasa kalau ditolak PTN, aku hanya mencoba 6 kali. Ditolak 5 kali, Alhamdulillah 1 kali diterima. Temanku di grup malah sampai 10 kali lebih mencoba, dan masih belum diberi kelulusan. Jangan sampai karena garagara ditolak PTN, malah jadi malas belajar, malas beribadah. Harusnya malah harus hijrah menuju lebih baik. Yang masih berjuang untuk cari PTN, semangat ya! Banyak jalan menuju PTN. Usaha keras tidak akan menghianati, kalau masih menghianati berarti usahamu belum keras. Jangan lupa untuk selalu berdoa, berusaha, dan bersyukur. Mungkin cuma kata-kata sederhana sih, tapi semoga bermakna. Aamiin

184


Bukti Perjuanganku

185


*Penulis merupakan alumni SMA Negeri Jatilawang angkatan 2015

186


Akhir dari Cerita Adib Haekal Al Kautsar | Universitas Jenderal Soedirman -----------------------------------------------------------------------------

S

emua orang pasti memiliki cita-cita untuk meningkatkan taraf hidupnya menjadi lebih baik. Salah satu caranya

yaitu dengan berkuliah atau melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Inilah yang menjadi alasan aku selalu berusaha untuk mendapatkan kursi di salah satu perguruan tinggi di Indonesia. Perkenalkan aku Adib, sekarang aku berkuliah di Jurusan Teknik Sipil Universitas Jenderal soedirman angkatan 2015. Untuk bisa berkuliah di perguruan tinggi negeri bukanlah hal yang mudah, perlu perjuangan dan usaha yang keras untuk melampaui itu. Dulu saat kelas XII, aku mempunyai rencana untuk mengambil jurusan Arsitektur atau Teknik Sipil. Selain karena aku adalah anak IPA, aku juga hobi menggambar. Jadi menurutku dua jurusan tersebut adalah pilihan yang tepat. Tentunya aku menginginkan kuliah di Universitas yang akreditasinya A, misal ITB, Undip atau UGM. Di akhir semester 187


1 saat itu ada pengumuman akan dibukanya SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi), ini adalah jalur masuk PTN cara yang pertama, yaitu dengan nilai rapot. Pada awal semester II, banyak dari alumni sekolah dan mahasiswa asal Banyumas yang kuliah di luar daerah datang ke sekolahku untuk melakukan sosialisasi perguruan tinggi yang mereka

duduki.

Banyak

universitas

yang

melakukan

sosialisasi tetapi yang sangat menarik bagiku adalah ITB, siapa yang tidak tahu institut terbaik Indonesia? Sekolah tempat dimana mantan Presiden Indonesia BJ. Habibie mengenyam pendidikan. Terbesit saat itu keinginanku untuk masuk FTSL, SAPPK, dan FSRD ITB. Kenapa FSRD? Karena saat itu aku pernah membaca di berita “jurusan desain sedang

banyak diminati pasar�. Karena hobiku menggambar aku terbesit untuk masuk FSRD, selain arsitektur atau teknik sipil. Semua sosialisasi sudah terlaksana, lantas aku berfikir apakah berani dengan nilaiku yang pas-pasan tetapi ingin masuk univ favorit seperti ITB? Sekolahku yang berada di pinggiran Banyumas yaitu SMA Negeri Ajibarang yang juga belum memiliki alumni di tempat tersebut menjadi bahan pertimbangan. Akhirnya aku berfikir realistis saat itu, pada H188


1 penutupan pendaftaran SNMPTN, aku memilih Undip sebagai pilihan pertama dengan jurusan Teknik Sipil. Sedangkan pilihan kedua adalah UNS dengan jurusan Teknik Sipil dan Desain Komunikasi Visual. Setelah mengentri data dan portofolio gambar (jurusan seni harus menunjukan portofolio) aku melakukan finalisasi, aku berharap bisa istiqomah saat itu. Aku berdoa setiap hari agar bisa diterima di PTN yang aku pilih. Pengumuman SNMPTN dilakukan setelah ujian nasional. Sedikit cerita, UNku berjalan lancar, dengan tes CBT aku bisa melaluinya dan hasilnya Alhamdulillah, cukup memuaskan. Setelah UN selesai aku menyiapkan plan B jika tidak diterima di jalur SNMPTN. Pada saat itu, Sekolah Tinggi Ilmu Statistika (STIS) juga membuka pendaftaran untuk mahasiswa baru. Aku mendaftar dan saat itu aku kebagian tempat tes di Yogyakarta tepatnya di Universitas Atmajaya. Aku berangkat ke Jogja bersama teman sekolah. Disana aku menginap di penginapan satu malam untuk istirahat, esok paginya tes, dan setelah tes langsung pulang ke Ajibarang. Aku baru ingat waktu itu, hari itu juga adalah pengumuman SNMPTN. Semua teman-temanku begitu juga denganku, jantung kami 189


sangat berdebar, Menunggu pengumuman online untuk pertama kalinya. Pada saat perjalanan pulang dari Jogja kami sempat singgah di sebuah Masjid di Kebumen untuk sholat Ashar, saat itu juga aku berdoa dengan penuh mohon agar aku bisa diterima di salah satu pilihan itu. Sekitar jam 5 sore, kami sepakat untuk membuka pengumuman di mobil, awalnya banyak teman yang sms, “kepriwe, kowe ketrima

ora? Aku zonk kie”, tulis beberapa temanku dengan logat jawa ngapak. Ada juga yang menulis status di bbm, “Alhamdulillah pilihan 1 ”, ada yang mengubah tampilan BBMnya dengan screenshoot halaman web SNMPTN bahwa ia diterima, dan masih banyak lagi kisah pengumuman SNMPTN di medsos saat itu. Aku dan temantemanku di mobil tambah panik, akhirnya sesuai kesepakatan awal kami membuka pengumuman bareng di mobil. Pertama, temanku membuka dan hasilnya gagal. Kedua, juga gagal, ketiga, dan keempat juga gagal, akhirnya kini giliranku, aku buka dengan login nomer pendaftran dan tanggal lahir, apa hasilnya? Tak terduga, ada tulisan di dalam kotak merah yang berbunyi “maaf anda tidak diterima di jalur snmptn, berusaha lagi dan jangan menyerah”, itu artinya aku gagal, aku langsung down 190


saat itu. Orang tua di rumah juga sudah mengirim pesan kepadaku yang isinya, “gimana pengumumannya? lolos kan?�, aku bingung akan membalas pesan apa, aku takut menyakiti hati orang tuaku, Akhirnya tidak aku balas sampai pulang kerumah. Sesampainya di rumah aku mengatakan yang sejujurnya, bahwa aku gagal. Aku melas juga melihat orang tuaku, tapi aku yakin ini bukan akhir, aku harus bangkit dan mencoba jalan lain untuk kuliah. Pada saat pulang dari Jogja, ada dua temanku yang tidak mau membuka pengumuman bersama-sama. Sialnya, hanya merekalah yang diterima, mereka lolos PWK dan Teknik Sipil UGM. Mungkin ini hanya keberuntungan mereka, aku selalu berfikir positif. Sekitar satu minggu setelahnya, ada pembukaan pendaftaran lagi, kali ini adalah LNG Academy di Bontang milik perusahaan gas PT Badak,. Tidak ada salahnya aku mencoba mendaftar, toh selesksi tahap 1 adalah seleksi administrasi. Pendaftaran berlangsung 3 hari, dan hari itu juga

pengumuman

secara

online.

Aku

membuka

pengumuman, dan‌. Aku tidak lolos, untuk seleksi administrasi saja aku gagal, aku berfikir positif saja, mungkin aku salah mengentri data. Seminggu setelah pengumuman 191


LNG Academy adalah pendaftaran SBMPTN, adalah jalur kedua dari Dikti untuk masuk PTN. Ini adalah kesempatan ke sekian kalinya, akupun turut mendaftar SBMPTN. Saat masa pendaftaran SBMPTN itu ada pengumuman STIS. Kali ini pengumuman STIS sama-sama online tetapi berbeda cara penyampaiannya. Yaitu dengan SK dan di lampirannya terdapat nomor-nomor pendaftaran yang lolos. Perlu teliti membacanya, akhirnya aku menemukan deretan nomor yang ada di kisaran nomor pendaftaranku. Aku baca berkalikali, dan naasnya memang tidak ada nomor pendaftaranku, alias aku gagal untuk yang ketiga kalinya untuk tahun ini. Pahit memang, tapi aku tetap berpikir positif akan ada jalan yang baik. Setelah pengumuman STIS aku mulai belajar mandiri dengan giat lagi, dengan buku soal-soal yang kubeli di toko buku. Sebenarnya aku sudah mempersiapkan SBMPTN jauhjauh hari sebelum UN karena aku menyiapkan rencana jika tidak diterima di jalur undangan, dan memang benar adanya. Aku belajar mandiri karena aku tidak mungkin mengikuti bimbingan les seperti anak yang lain, aku melihat kondisi ekonomi kedua orangtuaku sepertinya sayang jika hanya 192


membuang

uang

untuk

les

saja,

aku

tidak

ingin

menyusahkan mereka. Pada saat itu, aku dikabari oleh temanku bahwa ada bimbingan gratis dari mahasiswa ITB untuk persiapan SBMPTN. Syarat pendaftarannya adalah dengan mengirim essay tentang motivasi untuk bisa berkuliah. Aku coba saja waktu itu menulis essay sebisaku, dan fyi itu adalah tulisan essay pertama yang pernah aku tulis. Alhamdulillah, akhirnya aku terpilih menjadi satu dari 10 orang di Banyumas yang bisa mengikuti bimbingan, namanya bimbingannya adalah “Learning Camp (LC)� yang diselenggarakan

oleh

Keluarga

Mahasiswa

Banyumas

(GAMAS) ITB. Aku berfikir, sangat mulianya mahasiswamahasiswa tersebut mau membagikan ilmunya untuk anak yang baru lulus SMA dan bingung akan kemana. LC dilaksanakan dua minggu di SD Qyta Purwokerto, disitu sistemnya seperti di karantina. 24 jam aku dibawah pengawasan dan bimbingan kakak-kakak ITB. Banyak cerita yang aku dapat di LC, aku bertemu dengan teman baru yang berasal dari banyak sekolah berbeda di Banyumas. Di LC aku

digembleng materi dan latihan soal oleh kakak-kakak mahasiswa yang tentunya bukan mahasiswa sembarangan, 193


mereka

adalah

juara-juara

OSN

nasional

bahkan

internasional dan mahasiswa yang sudah sering pergi ke luar negri. Selain itu juga disitu aku dilatih mengatur waktu dengan baik dan salah satu yang terpenting disitu adalah aku bisa meningkatkan kualitas ibadah karena tiap waktu sholat kami melakukan sholat berjamaah, mengikuti kajian islam, dan membaca Al Quran tiap Ba’da Sholat Shubuh. Intinya aku senang bisa mengikuti LC, selain gratis dan makan terjamin, aku bisa mendapat banyak pengalaman. Aku di gembleng di LC selama dua minggu sampai H-1 SBMPTN. Pada saat H-1 aku juga cek tempat di Unsoed karena tempat tes SBMPTNku di Unsoed. Hari yang ditunggu-tunggu tiba, setelah belajar sekian lama dan ditambah pematangan di LC aku menyelesaikan soal-soal SBMPTN. Seingatku aku hanya mengerjakan separuh dari jumlah soal yang ada. Selain soal yang levelnya sangat sulit dan waktu yang terbatas, ada juga pengurangan nilai jika salah nilai akan dikurangi -1. Oh iya, waktu SBMPTN aku mendaftar di UNS dan Unsoed, belajar dari pengalaman aku mencoba realistis dengan keadaan diriku. Aku memilih jurusan Arsitektur dan Teknik sipil untuk UNS, dan pilihan ketiga adalah Teknik Sipil Unsoed. Setelah 194


beberapa waktu pengumuman SBMPTN pun tiba, seperti biasa dilakukan secara online. Lagi lagi dan lagi, aku harus menelan pil pahit. Aku gagal lolos di jalur SBMPTN. Dan teman-temanku yang ada di LC juga hanya dua dari 10 yang lolos SBMPTN, rasanya kami telah mengecewakan orang tua lagi dan mengecewakan kakak-kakak GAMAS ITB yang membimbing kami dalam persiapan SBMPTN. Rasanya aku sangat frustasi saat itu, tetapi bersyukur aku masih bisa mengendalikan diri. Setelah SBMPTN diadakan seleksi mandiri yang dilakukan oleh PTN itu sendiri. Aku kembali mencoba peruntungan dan berusaha lagi. Yang pertama aku mendaftar SM-UNS, dengan sistem seleksi nilai SBMPTN. Aku yang tidak tahu berapa nilai SBMku tetap mencoba mendaftar, ya seperti sedang berjudi. Pada saat itu aku sudah tidak enak dengan orang tua karena selalu membuat mereka kesusahan. Untuk mendaftar pun aku meminjam uang ke saudara sebesar 100.000 tanpa sepengetahuan orang tuaku. Namun, mungkin karna ridho Allah tergantung ridho orang tua aku kembali gagal masuk perguruan tinggi. Padahal pilihanku saat itu tidak terlalu tinggi karena ada program DIIInya. Tapi mungkin ini lah 195


rencana Tuhan saat itu. Aku kembali mendaftar seleksi mandiri dan menurutku ini cukup ekstrim, aku mendaftar UTUL UGM dimana ribuan mahasiswa dari seluruh Indonesia menginginkan untuk masuk sedangkan kuota untuk seleksi mandiri hanyalah sekitar 10% dari kuota total. Aku saat itu mencoba hal yang baru, aku saat itu memilih jurusan Teknik Geologi, Geodesi dan D-III Teknik Sipil. Saat tes, aku harus kembali ke Jogja dan tes disana. Dan memang benar, keberanianku yang ekstrim ini berbuah pahit kembali. Aku gagal masuk UGM lewat jalur mandiri. Tetapi tidak hanya sampai situ ceritaku, sebenarnya aku ingin berhenti dulu untuk mendaftar kuliah tahun itu dan mencoba hal yang baru yaitu bekerja. Aku sudah ditawari untuk ikut omku untuk bekerja di Riau. Namun bertentangan dengan izin orang tua, dan orang tua menyarankan untuk mencoba lagi, jika gagal mereka baru boleh membolehkanku untuk bekerja. Akhirnya aku mengikuti saran orang tua. Pada sekitar bulan Agustus tinggal beberapa universitas yang membuka pendaftaran lewat jalur mandiri, dan yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumahku adalah Unsoed dan Unnes. Sayangnya jadwal tesnya bersamaan sehingga aku harus memilih antara 196


keduanya. Akhirnya aku memilih untuk mendaftar Ujian Mandiri Unsoed. Selain itu juga aku ikut mendaftar USMSTAN. Pada akhir Juli aku mendaftar UM Unsoed dengan jurusan Teknik Sipil dan Teknik Elektro, H-7 tes aku mulai mereview

materi

lagi

dan

mengontak

teman-teman

seperjuanganku di LC, ternyata beberapa dari mereka juga mendaftar UM Unsoed. Dan kami sepakat pada waktu itu menginap H-1 di Purwokerto. Akhirnya H-1 kami menginap di Masjid depan kampus Unsoed. Esoknya eksekusi soal dilaksanakan, seperti biasa tipe soalnya adalah tipe-tipe SBMPTN begitu juga peraturannya. Setelah beberapa minggu menunggu, akhirnya pengumuman juga. Tak disangka aku yang awalnya pesimis bisa diterima di jurusan yang aku idam-idamkan dari dulu, TEKNIK SIPIL UNSOED! Ya, akhirnya aku diterima sebagai calon mahasiswa dengan predikat penerima Bidikmisi, Alhamdulillah aku sangat bersyukur. H+3 pegumuman Unsoed ada tes USM STAN, padahal aku sudah mendaftar dan membayar tetapi aku mencoba istiqomah dengan pilihanku dan aku tetap daftar ulang Unsoed dan meninggalkan USMku‌.

197


Rencana Tuhan memang tidak ada yang tahu, kita sebagai makhluk hanya bisa menjalankan apa yang Dia perintah. Usaha, doa, dan kerja kerasku akhirnya berbuah manis. Tentunya setelah diuji dengan berkali-kali gagal. Percayalah, rencana Tuhan lebih baik. Jangan pernah berputus asa dan tetap realistis. Jika kamu gagal bukan berarti doamu tidak dikabulkan, percayalah, saat satu doa dikabulkan ribuan doa dikorbankan. Tinggal menunggu saja, kapan doamu akan dikabulkan. Usaha keras tidak akan menghianati ď Š Adib Haekal Al kautsar Alumni LC Gamas ITB 2015 Mahasiswa Teknik Sipil Unsoed angkatan 2015

*Penulis merupakan alumni SMA Negeri Ajibarang tahun 2015

198


JANJIKU, SI PEJUANG MIMPI Eka Nur Prasetiani | Institut Teknologi Bandung ----------------------------------------------------------------------------

.... “ mba, apasih yang bikin mba Eka semangat lagi, kalau lagi down kuliah”. Tiba-tiba seseorang teman melontarkan pertanyaan itu kepadaku di sela-sela perbincangan. Hmmm, pertanyaan ini sebenarnya pertanyaan yang sering juga kutanyakan kepada diriku sendiri. Entah berapa kali di saat aku ‘down’ karena masalah akademik, organisasi maupun diluar masalah kuliah, aku merenung dalam kebimbangan. Bukannya tak ada yang memberi semangat, teman-teman dekat ku tak ada capek nya selalu menyemangatiku. Ahhh, tapi entah kenapa energi semangat dari mereka belum mampu mendobrak ku untuk bangkit dan semangat lagi, i don’t know.

Banyak sekali

199


pertanyaan yang sebenrnya lebih pantas disebut kalimat penyesalan bermunculan dikapalaku. “ Apa aku pantas kuliah disini ?”. “ Apa aku bisa nyelesain masalah ini ?” “ kamu gak bisa survive deh kalo gini aja gak bisa”. “ Duh payah bet, yang lain aja bisa”. Dan

banyak

lagi

blaa

blaa

lain

yang

seakan

menndorongku untuk menyerah. Namun semua godaan itu terpatahkan, ketika aku mengingat janji itu. Usaha dan perjuangan panjangku. Eh bukan hanya aku, tetapi juga mereka, Ibu, bapak dan orang-orang yang mensupportku. Yaapp, masa perjuanganku sebelum aku mengenyam pendidikan perguruan tinggi di kampus yang katanya kampus impian ‘ putra-putri terbaik bangsa’ ini. Dan inilah kisahku. Aku merupakan salah satu siswa kurang mampu yang alhamdulillah diberi rezki, kesempatan dan keberuntungan untuk kuliah di ITB melalui program beasiswa bidikmisi. Teknik Elektro menjadi jurusan yang aku pilih, dan semester 200


4 sedang menantiku di depan mata. Namaku Eka Nur Prasetiani, anak pertama dari tiga bersaudara. Aku dilahirkan oleh seorang ibu bernama Nani Rahayu, beliau sosok wanita yang

tangguh, pantang menyerah, pekerja keras namun

begitu sederhana. Kesederhanaan beliaulah yang sangat aku kagumi. Dan bapakku bernama Samsi, merupakan seorang petani yang tak punya sawah dan peternak yang tak punya hewan ternak. Bapak ku hanya pekerja (petani dan peternak) yang

bekerja

pada

seseorang

saja,

yang

otomatis

penghasilanya tak seberapa. Tapi beliau seorang imam keluarga yang selalu taat akan kewajiban nya sebagai muslim, dan sekali lagi aku mengagumi beliau, lebih tepatnya kedua orang tuaku. Di sebuah desa kecil di pinggir kota Purwokerto, aku dibesarkan dalam kesederhanan. Meskipun kondisi keluarga yang pas-pasan, oh lebih tepatnya kekurangan, namun satu hal yang selelu dipegeng oleh orang tuaku adalah masalah pendidikan. ‘ Kalian harus sekolah setinggi-tingginya. Meskipun orang tuamu ini orang gak punya, tapi kita punya tenaga dan doa untuk kesuksesan kalian.’ Itulah kata-kata yang sangat sering orangtuaku yakinkan kepadaku, begitu menyentuh bukan?. Aku percaya 201


disamping kondisi keluargaku yang pas-pasan, Alloh yang Maha Adil pasti memberikan kelebihan lain. Saat aku lulus SMP, disaat itulah aku sempat merasa bingung antara melanjutkan SMA atau tidak. Bukan masalah nilai sebenarnya, tapi biaya masuk SMA yang pada waktu itu menurutku tidak mampu untuk orang tuaku membayarnya. Karena disaat yang bersamaan ke dua adikku juga sedang membutuhkan biaya sekolah yang lumayan besar. Namun lagi-lagi Alloh menunjukan kebesaranya. Seseorang yang kini sudah kuanggap sebagai bapak ku yaitu Pak Tono, bersedia menjadi wali ku dengan menanggung biaya selama aku sekolah. Beliau merupakan salah satu perangkat desa di desaku dan kebetulan juga teman bapak ku sejak masih kecil. Tak ada alasan ku untuk menolong kebaikan beliau, begitu pun dengan kedua orang tuaku. Selain itu, Pak Tono juga menawarkan tanggungjawab kepada kedua orangtuaku untuk membantunya mengurus sawah dan peternakan ayam miliknya, tak ada alasan lagi untuk orangtuaku menolak. InsyaAlloh dengan niat saling membantu, orang tuaku bagaikan menggadaikan tenaga mereka (bahasa kasarnya) untuk biaya sekolahku. Sejak saat itu, kehidupan orangtuaku 202


berubah. Gubuk kini bagaiakan rumah untuk bapakku, karena beliau harus berangkat sekitar pukul 22.00 WIB ke sawah untuk menjaga ayam ternaknya. Tidur digubuk dan paginya akan langsung bekerja di sawah sambil mengurusi ayam ternaknya juga. Dan akan pulang ketika senja kembali ke peraduanya. Dan terus berlangsung begitu setiap harinnya, tak kenal lelah dan tak pernah mengeluh. Sedangkan Ibuku akan mengantarkan makanan untuk bapakku pada siang harinya, kemudian ibuku akan menanam ataupun memetik sayuran yang dia tanam untuk membantu bapak ku, meskipun hasilnya tak seberapa. Selain itu ibuku juga akan membantu mengurusi ayam ternaknya dan akan pulang bersama bapakku saat malam menjelang. Dan begitu setiap harinya. Dengan tujuan mengurangi biaya, akupun memilih SMA terdekat dari rumahku yaitu SMA Negeri 3 Purwokerto sehingga aku bisa menghemat ongkos transportasi dengan jalan kaki. Lagian menurutku sekolah di SMA manapun sma saja, yang penting niat kita untuk mencari ilmu sungguhsungguh. Dan alhamdulillah aku diterima di SMA tersebut. Karena tidak ada uang untuk membeli perlengkapan sekolah, 203


akupun memakai buku dan alat tulis sisa dari SMP begitupun dengan tas dan sepatu. Namun tak seperti perlengkapan lainya yang masih layak pakai, sepatu yang kupunya satusatunya tersebut sudah berlubang dibagian depanya. Sempat enggan untuk aku memakainya, namun dengan wajah yang berusaha menahan air mata, ibuku berusaha menutup lubang sepatuku dengan menjahitnya sambil berkata “biarlahh kamu pakai sepatu berlubang jahitan ibumu, biar kelak jika kamu sukses bisa menjadi cerita indah seperti pak Dahlan Iskandar dengan sepatu bututnya�. Lagilagi kelembutan hati dan kata-kata bijak dari seorang ibu membuat hatiku terenyuh dan sempat meneteskan airmata. Akhirnya dengan senang hati aku memakai sepatu jahitan ibuku tersebut, sebelum akhirnya aku mendapat rezki untuk membeli

sepatu

menyenangkan,

baru.

sangat

Hari-hari menyesal

di jika

SMA saat

begitu itu

aku

memutuskan untuk putus sekolah. Beasiswa prestasi dan bantuan bagi siswa kurang mampu menjadi salah satu caraku membantu meminimalisasi biaya yang harus dibayarkan bapak ku. Bahkan sejak kelas XI-XII, untuk biaya bulanan SPP sepenuhnya aku yang bayar dengan beasiswa yang kudapat 204


tersebut. Tawaran untuk mengajari anak-anak SD disekitar rumah juga saya terima, selain bisa berbagi ilmu dengan mereka, orang tua mereka juga bersedia membayar ku seikhlasnya perminggu nya. Sejak saat itu, setiap sore pukul 15.00 sampai menjelang magrib, rumahku ramai dengan anak-anak SD ( sekitar 10 anak) mulai dari kelas 1 sampai kelas 5 untuk sekedar menanyaan PR ataupun aku kasih materi

pelajaran

Alhamdulillah

dari

dan

belajar

mengajar

mengerjakan tersebut,

soal-soal.

sebagian

bisa

kutabung dan tambahan uang jajan. Seseorang yang juga banyak membantuku yaitu fattahalani rizkika, dialah mbaku, sahabat, teman sekelas, temen belajar, main, dan curhat yang begitu baik, yaa meskipun tak jarang pula kami berbeda pendapat. Dia tak senggan untuk menebengiku untuk pergi ke sekolah atau pulang ke rumah, padahal arah rumah kita saling berlawanan. Dia juga yang selalu meminjamiku laptop jika ada tugas laporan sampai laptop dia kubawa pulang, karena saat itu aku belum punya perangkat tersebut. Hingga masa SMA pun berakhir dan akupun lulus. Alhamdulillah. Kegalauan kembali menghampiriku, antara melanjutkan kuliah atau tidak sama sekali. Dengan alasan yang sama yaitu 205


masalah biaya, apalagi ini kuliah, yang semua orang tau kalau biayanya tak sedikit. Tak hanya itu, banyak juga orang didesaku

yang

meremehkan

kemampuan

finansial

keluargaku, kalau keluarga petani seperti orangtuaku tidak akan mungkin untuk mampu membiayai kuliah. Tetapi dengan semangatku dan dukungan orangtuaku, Pak Tono, sahabatku dan orang-orang yang menyayangiku, akhirnya kuputuskan untuk mendaftar kuliah melalui jalur SNMPTN dan beasiswa bidikmisi. Pilihan PTN menjadi masalah kedua bagiku, karena sebelumnya aku disarankan untuk masuk ke STAN sehingga aku tidak punya kampus impian, satupun tidak. Dengan pertimbangan jurusan, tempat tinggal, transportasi dan lain-lain yang sudah didiskusikan bersama keluarga, yang awalnya aku anggap ini cuma sebuah keisengan untuk memilih STEI ITB sebagai pilihan pertamaku. Jujur sebenarnya pada waktu itu aku sangat awam dan tidak tau menau tentang ITB apalagi persaingan PMB nya. Saat kucari tahu informasi tentang bagaimana itu kampus ITB, seketika aku down dan pesimis kalau aku pasti tidak mungkin diterima. Dari SMA almamaterku saja belum ada satupun yang berhasil menembus ITB, apalagi aku yang istilah 206


katanya hanya sekedar ‘iseng’ memilih ITB. Hingga akhirnya, pengumuman ‘membahagiakan’ itu kubaca. Serasa mimpi, tak percaya, entah perasaan apa yang kurasakan saat itu. Bahagia, haru, sedih, cemas, ragu bercampur menjadi satu. Mungkin inilah yang dinamakan takdir sebagai hasil dari usaha dan doa yang tak henti-hentinya dari kami, khususnya doa orangtua yang menginginkan kesuksesan anaknya. Alhamdulillah,

kabar

ini

membuat

orang-orang

tercintaku bahagia. Senyum dan tangis bahagia itu kembali terlihat dari muka kedua orangtuaku. Namun lagi-lagi ibuku membuatku

terharu,

beliau

rela

berhutang

untuk

membelikan dua celana jeans, satu kemeja dan dan satu kaos untuk kuliah nanti. Yaaa, begitulah ibuku yang selalu berhasil membuatku semakin mengagumi beliau. Hingga tiba hari dimana aku harus pergi merantau ke Bandung, memulai kisah baru sebagai mahasiswa ITB, sebuah title yang tak enteng untuk kusandang. Bersama pak Tono , untuk pertama kalinya aku menginjakan kaki di kampus Institut Teknologi Bandung dan kubaca kalimat sambuatan yang tertulis di sebuah poster di gerbang kampus

‘SELAMAT DATANG

PUTRA – PUTRI TERBAIK BANGSA’. Seketika kakiku serasa 207


bergetar dan bulu kudukku merinding. Detik itulah, aku meyakinkan diri sendiri dan berjanji. Berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku akan tetap semangat dan terus berjuang apapun yang terjadi. Impian dan kesuksesanku akan berada di tahap baru ketika aku berada disini. Dan janji itulah yang selalu menjadi pengingat ku sebagai flashback akan memori perjuangan panjang ku hingga aku bisa sampai di titik sejauh ini, pendobrak semangatku ketika aku down . Selain tentunya berdoa dan memohon ampunan kepada Alloh yang Pengasih dan Penyayang. Karena aku sadar, perjuanganku tak hanya perjuanganku dan impianku tak hanya impianku, semua ini tentang mereka, keluargaku.

*Penulis merupakan mahasiswa Teknik Elektro ITB angkatan 2014 dan merupakan alumni SMA Negeri 3 Purwokerto.

208


Berbekal Olimpiade, Aku Taklukan Kampus Impianku Ryan Setyabudi | Institut Teknologi Bandung

--------------------------------------------------------------------

N

ama saya adalah Ryan Setyabudi, lahir di Banyumas 7 Juli 1997 dan merupakan anak kedua dari pasangan

Bapak Rasikun dan Ibu Waridah. Perjuanganku menaklukan kampus impianku tak lepas dari perjuanganku selama mengikuti olimpiade. Olimpiade Sains Nasional atau orang lebih suka menyebutnya OSN merupakan ajang kompetisi bergengsi yang digunakan sebagai tolak ukur pemetaan kapasitas akademik siswa di seluruh Indonesia. Saya mulai mengenal OSN saat saya duduk di bangku SD, tepatnya di SD N Kembaran. Saat itu saya berkesempatan merasakan atmosfer persaingan olimpiade bidang IPA di tingkat Kecamatan Kembaran namun hasilnya kurang memuaskan. Kegagalan yang saya alami waktu itu karena persiapan yang kurang matang. Maklum sajalah lokasi sekolah saya cukup

209


jauh dari perkotaan dan fasilitas sekolahku juga kurang mendukung. Perjalanan

olimpiadeku

dilanjutkan

ketika

saya

melanjutkan studi di SMP Negeri 8 Purwokerto. Bidang Matematika menjadi fokusku saat itu. Namun lagi-lagi kegagalan kembali membayangiku sehingga saya tertahan seleksi di tingkat kabupaten. Saya benar-benar penasaran dengan dunia olimpiade. Saya penasaran untuk dapat bersaing dengan siswa siswi cerdas di olimpiade. Alhamdulillah saya berhasil lolos tes masuk salah satu sekolah favorit di kota saya, SMA Negeri 2 Purwokerto. Saya bergabung dengan komunitas anak olimpiade COSCODA (Community of Science Olympiad of SMA Negeri 2 Purwokerto). Saya mendaftar di bidang Astronomi namun saya gagal seleksi menjadi Tim Astronomi SMA Negeri 2 Purwokerto. Akhirnya sayapun mendaftarkan diri ke tim kebumian karena kebetulan tim ini kekurangan anggota. Dari 10 anggota tim hanya akan ada enam siswa yang menjadi tim inti dengan komposisi tiga tim inti kebumian dan tiga tim inti geografi. Saya sedikit pesimis waktu itu apalagi 3 dari 10 anggota tim merupakan siswa kelas XI. Namun saya bekerja 210


sekeras mungkin untuk bisa lolos menjadi tim inti. Setelah mendapatkan pelatihan dari Lembaga Pelatihan OSN Alhamdulillah saya lolos menjadi tim inti kebumian. Setelah terpilih menjadi dua tim, kami diberi pelatihan di LIPI Karang Sambung, Kebumen selama kurang kebih 4 hari, pelatihan di UGM selama kurang lebih seminggu. Kemudian diadakan lagi pelatihan dari Lembaga Pelatihan OSN untuk persiapan seleksi olimpiade tingkat kabupaten. Kami pun diberi waktu kelonggaran tidak mengikuti pelajaran selama seminggu

untuk

belajar

mandiri

persiapan

OSK.

Alhamdulillah setelah melalui tahap persiapan yang cukup panjang kami bertiga dari tim inti kebumian bisa lolos ke tingkat provinsi. Lalu kami pun kembali diberikan pelatihan dari Lembaga Pelatihan OSN untuk persiapan OSP. Cobaan terus berlanjut, 8 Februari 2013 sebulan sebelum OSK saya mengalami kecelakaan lalu lintas. Motor yang saya kendarai melaju cukup kencang karena saya terburu-buru pulang ke rumah. Saat mendekati perempatan terlihat lampu lalu lintas berkedip-kedip namun saya tetap menarik gas motor saya. Tak disangka dari arah kanan ada mobil yang melaju kencang, tabrakan pun tak bisa dihindari. 211


Tubuh saya terlempar sejauh lima meter. Dengan menahan rasa sakit saya berusaha duduk dan melihat ke arah belakang yang terlihat motor saya terlindas oleh bagian depan mobil dengan dipenuhi asap yang mengepul. Alhamdulillah Allah masih memberi kesempatan bagi saya hidup untuk membahagiakan orang tua saya. Momentum kecelakaan tersebut memberikan semangat dan energi baru untuk persiapan OSP. Saya menyusun jadwal untuk meng-khatamkan beberapa buku yang saya miliki dan juga menjadwalkan seminggu terakhir persiapan untuk me-

review ulang materi yang sudah dipelajari. Hari pelaksanaan OSP pun tiba, saat itu pelaksanaannya di Hotel Kusuma Said, Surakarta. Setelah diumumkan saya dinyatakan tidak lolos ke tingkat nasional. Saya sangat terpukul namun saya menyadari saya kurang sungguh-sungguh menyiapkan OSP ini. Sayapun bertekad untuk menebusnya tahun depan di kelas XI. Saya bertekad mendedikasikan hidup saya kepada orang tua dan sekolah melalui olimpiade ini. Setahun kemudian, dengan tekad yang kuat saya mengikuti

lagi

olimpiade

kebumian

dan

mengikuti

pembinaan yang diadakan oleh sekolah. Namun kali ini 212


sekolah sedikit mengurangi intensitas pelatihan bagi kebumian, mungkin hal ini karena pertimbangan tim tahun sebelumnya yang gagal melaju ke OSN. Jadi kami hanya diberi pelatihan oleh Lembaga Pelatihan OSN. Sebagai senior di sekolah saya pun diberi tanggung jawab untuk memberikan tutorial sebaya bagi adik-adik kelas. Mungkin dari tutor ini pula lah saya semakin memahami konsep kebumian. Alhamdulillah dengan tekad yang kuat saya berhasil lolos ke tingkat provinsi dan memperoleh peringkat delapan passing grade Jawa Tengah. Sekolah kembali memberika pelatihan dari Lembaga Pelatihan OSN untuk persiapan OSP. Selain mengandalkan materi yang didapat dari pelatihan saya pun belajar mandiri dengan lebih giat lagi daripada tahun sebelumnya. Alhamdulillah kali ini saya berhasil menjadi juara satu tingkat provinsi Jawa Tengah. Sungguh tidak menyangka, saya sangat bersyukur saya dinyatakan lolos ke tingkat nasional bersama adik kelas saya. Kami pun mengikuti PELATDA atau pelatihan daerah di Yogyakarta selama sebulan untuk mempersiapakan OSN. Saya mengikuti PELATDA ini dengan tekad dan semangat untuk membalas budi kepada orang tua, sekolah dan dindik 213


Jawa Tengah yang telah mendukung dan memfasilitasi saya. Alhamdulillah saya berhasil mempersembahkan medali perak bagi mereka. Sekaligus ini merupakan medali kedua saya yang berhasil saya persembahakan untuk sekolah setelah sebelumnya saya mempersembahkan medali emas pada Olimpiade Geografi dan Geosains ITB. Perjuangan sesungguhnya sebenarnya baru dimulai di tahap ini. Saya mengikuti pelatihan nasional sebagai tahap awal perjuangan selanjutnya. Di pelatihan nasional ini seluruh medalis OSN dikumpulkan dan diberikan pelatihan untuk selanjutnya diseleksi lagi untuk memilih delegasi Indonesia di IESO 2015 (International Earth Science

Olympiad). Di pelatihan ini saya harus bekerja keras. Disini juga saya berusaha lebih mendekatkan diri kepada Allah agar usaha saya mendapatkan ridho dan kemudahan. Saya berusaha lebih keras lagi, mengurangi waktu tidur, mengatur jadwal lebih disiplin dan dituntut aktif di dalam kelas. Saya juga ikut termotivasi dan bersemangat karena berada di sekitar orang-orang yang hebat. Persaingan di pelatnas ini memang sangat ketat namun kekeluargaan tetap terjaga.

214


Alhamdulillah setelah beberapa kali seleksi, saya berhasil lolos ke pelatnas tahap dua dan tiga. Di pelatnas tahap tiga terjadi banyak perubahan pola pembelajaran. Pelatihan di fokuskan pada materi astronomi sehingga kami sering di ajak ke Bosscha. Jadwal yang cukup padat dan banyaknya materi yang diberikan membuat saya sempat sakit. Saya juga merasa tertinggal dari teman-teman yang lain sehingga harus menyediakan waktu belajar ekstra. Di posisi ini saya sempat down dan kehilangan semangat. Saya pun menelpon orang tua dan meminta nasehatnya. Saya juga sempat meminta saran dari teman-teman. Akhirnya saya pun memutuskan

untuk

berusaha

lebih

keras

lagi

dan

berkeyakinan bahwa semua sudah diatur dan ditakdirkan oleh Allah, kewajiban saya hanya berusaha sekeras mungkin masalah hasil serahkan kepada Allah. Tiba saatnya tes akhir dalam penentuan delegasi Indonesia yang akan berangkat ke IESO 2015. Saya merasa kesulitan dan minder karena sudah ada anak yang memang diunggulkan untuk lolos, terlebih lagi mereka adalah peraih medali emas OSN. Namun dengan keyakinan yang kuat setelah berusaha keras, saya hanya bisa berusaha maksimal 215


dan berdoa. Setelah tes saya sempat merasa stres dan pesimis. Akhirnya sore itu juga diumumkan hasilnya. Setelah selesai sholat Ashar kami dikumpulkan untuk pengumuman. Setiap anak akan menerima kertas yang berisi nama dan tulisan IESO 2015 bagi yang lolos. Kami diminta membuka bersama-sama. Inilah saat-saat yang mendebarkan. Saya hanya tawakal dan dengan mengucap Bismillah saya pun membuka kertas itu. “Alhamdulillah� ternyata ada tulisan IESO 2015 di kertas saya yang menunjukan bahwa saya lolos ke tingkat internasional. Saya sempat memandangi kertas itu beberapa saat dengan perasaan tidak percaya. Seketika itu juga saya menitikkan air mata dan langsung bersujud sebagai tanda syukur. Saya sempat merasa tidak enak dengan teman yang lain karena di pelatihan ini saya dianggap sebagai kuda hitam. Namun ternyata dengan rasa kekeluargaan yang ada mereka tetap menyambut dengan ucapan selamat kepada tim yang sudah terpilih. Sebagai siswa kelas XII, masa depan untuk melanjutkan kuliah juga menjadi hal utama yang harus difikirkan. Di SNMPTN saya pilih ITB sebagai pilihan utama saya dengan 216


Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan (FTTM) sebagai pilihan pertama studi saya. Alhamdulillah berbekal perjuangan beberapa sertifikat di olimpiade serta karuniaNya saya dinyatakan diterima di FTTM ITB. Sungguh, mungkin inilah salah satu buah perjuangan saya selama berjuang di olimpiade. Perjuangan saya kembali berlanjut, di pelatnas empat atau yang terakhir kami diberikan porsi latihan yang terintegrasi dari keempat subdisiplin ilmu kebumian. Kami pun berusaha untuk mengubah atau membalik pola tidur untuk menyesuaikan waktu lokal tempat diadakan IESO. Di pelatnas ini saya sempat merasa stres memikirkan kuliah karena memang waktu pelatanas bersamaan dengan penerimaan mahasiswa baru. Saya juga sering bingung memikirkan

ketinggalan

kuliah.

Namun

saya

pun

memutuskan untuk memfokuskan daya dan upaya untuk IESO, saya kembali teringat perjuangan selama kurang lebih dua tahun ini di bidang kebumian dan teringat kecelakaan waktu itu yang mungkin salah satunya untuk alasan ini lah saya masih hidup dan juga semua pihak yang sudah mendukung termasuk seluruh masyarakat Indonesia pasti 217


mendoakan usaha kami. Dengan semangat itulah saya berjuang di IESO, walaupun beberapa soal ujian tidak sesuai dengan eskspektasi, saya pun hanya bisa berusaha semaksimal mungkin dan berdoa dan Alhamdulillah saya bisa mempersembahkan medali perunggu bagi bangsa Indonesia dan juga tim Indonesia berhasil menduduki peringkat tiga setelah Taiwan dan Korea. Ini juga merupakan pengalaman yang sangat bersejarah bagi saya, untuk pertama kalinya saya menginjakan kaki di balik belahan bumi dari tempat kelahiran saya dan berjuang mengharumkan nama bangsa. Kontingen Indonesia di IESO, Brazil 13-20 September 2015

Sumber : International Earth Science Olympiad

218


Itulah kisah singkat perjuangan saya di OSN Kebumian. Kisah dari seorang anak kecil dari desa yang kecil dengan mimpinya yang besar. Semoga dapat menginspirasi para pembaca, para pejuang OSN, pejuang SNMPTN hingga SBMPTN. Saya sangat bersyukur kepada Allah SWT karena telah diberi kesempatan untuk menjadi salah satu peraih medali IESO. Saya juga ingin berterima kasih kepada semua pihak

yang

telah

membantu,

menyemangati,

dan

mendoakan selama berjuang di olimpiade ini.

Olimpiade bukan satu-satunya jalan mendapatkan kampus impian, tetapi dengan olimpiade peluang kamu untuk mendapatkan kampus impian akan lebih terbuka lebar. Dan yang terpenting untuk adik-adik pejuang SBMPTN dan tes tertulis lain semoga dapat mengambil pembelajaran dari perjuangan anak desa di kompetisi olimpiade ini. Bahwa perjuangan itu tidak instan, butuh waktu yang lama tidak cukup sehari dua hari atau hanya seminggu untuk mempersiapkan itu tetapi dibutuhkan waktu bertahunbertahun untuk mempersiapkan masa depan terbaikmu.

219


*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB angkatan 2015, alumni SMA Negeri 2 Purwokerto dan peraih medali perunggu di International Earth Science Olympiad di Brazil.

220


221


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.