MEMAHAMI KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER Musdah Mulia
Sejak awal abad ke-20 dunia internasional lantang menyuarakan pentingnya upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai salah satu strategi dalam menciptakan masyarakat yang damai, maju dan sejahtera. Bahkan, tiga dari tujuan MDG’s mengarah kepada upaya membangun kesetaraan dan keadilan gender. Konsep gender mengacu kepada seperangkat sifat, peran, tanggung jawab, fungsi, hak dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Timbullah dikotomi maskulin (laki-laki) dan feminin (perempuan). Di masyarakat, laki-laki selalu digambarkan dengan sifat-sifat maskulin, seperti perkasa, berani, rasional, keras dan tegar. Sebaliknya, perempuan digambarkan dengan sifat-sifat feminin, seperti lembut, pemalu, penakut, emosional, rapuh, dan penyayang. Fatalnya, sifat-sifat maskulin selalu dinilai positif, lebih baik daripada sifat-sifat feminin. Tidak heran jika perempuan selalu dianggap lebih rendah dari laki-laki. Lebih fatal lagi, bahwa maskulinitas dan feminitas tersebut dianggap sebagai hal yang kodrati, padahal sesungguhnya merupakan hasil konstruksi sosial. Karena itu, bukan kodrat. Buktinya, dalam realitas sosiologis di masyarakat ditemukan tidak sedikit laki-laki penakut, emosional, pemalu, lemah, dan lembut. Sebaliknya, cukup banyak perempuan kuat, berani, perkasa, pantang menyerah, rasional, dan sangat tegar. Dengan ungkapan lain, karakteristik gender tersebut bukanlah kodrati, melainkan dapat berubah dari waktu ke waktu dan juga dapat berbeda antara suatu daerah dan daerah lain. Perbedaan gender sesungguhnya merupakan hal yang biasa saja sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan dan ketimpangan gender (gender inequities and injustice). Akan tetapi, realitas di masyarakat menunjukkan, perbedaan gender telah melahirkan berbagai bentuk ketimpangan atau ketidakadilan, baik bagi laki-laki dan terlebih lagi bagi perempuan. Ketimpangan gender terwujud dalam banyak bentuk, di antaranya berupa marjinalisasi atau peminggiran khususnya bagi kaum perempuan dari dunia pendidikan, arena politik, ekonomi dan sebagainya. Dapat juga berwujud burden atau pemberian beban kerja yang lebih panjang dan lebih berat, terutama kepada perempuan pekerja. Sebab, selain bekerja di rumah yang membutuhkan energi dan tenaga, perempuan juga bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ketimpangan gender dapat juga mengambil bentuk subordinasi, yakni anggapan bahwa perepuan itu tidak penting, melainkan sekedar pelengkap dari kepentingan laki-laki. Akibatnya, perempuan selalu diposisikan sebagai bawahan, pembantu, dan pelengkap sehingga sulit menggapai posisi sebagai pemimpin. Ketidakadilan gender sering pula mengambil wujud stereotipe (pelabelan negatif) yang biasanya dilekatkan pada perempuan. Misalnya, perempuan sering diberi label sebagai makhluk emosional, dan juga makhluk penggoda sehingga di masyarakat seringkali terdengar ucapan sebagai berikut: "Hati-hati terhadap perempuan karena godaannya jauh lebih dahsyat dari godaan syetan." Implikasi sosial dari pelabelan negatif seperti itu terlihat, misalnya pada kasus pelecehan seksual atau perkosaan, masyarakat selalu berkecenderungan menyalahkan perempuan, padahal mereka
sesungguhnya adalah korban. Lebih parah lagi, ketimpangan gender dapat juga mengambil bentuk violence, kekerasan terhadap perempuan, baik dalam arena domestik di rumah tangga maupun dalam arena publik. Membiarkan ketimpangan dan ketidakadilan gender terjadi di masyarakat berarti kita membiarkan berbagai perilaku zalim dan tidak adil berupa tindakan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terjadi dan berlangsung terus-menerus di masyarakat. Korbannya bisa laki dan bisa perempuan, namun data-data statistik yang ada menjelaskan kebanyakan korban adalah perempuan karena secara kultur dan struktur mereka selama ini merupakan makhluk yang tidak berdaya dan tertindas. Apakah kita akan membiarkan atau menutup mata melihat perilaku tidak manusiawi tersebut? Bagaimana jika korbannya adalah diri kita sendiri, orang tua kita, anak-anak kita? Atau orang-orang yang kita cintai? Tegakah kita tinggal diam dan berpangku tangan? Manusia adalah makhluk Tuhan yang diberi hidayah berupa agama. Ajaran agama manapun pada hakikatnya memberikan tuntunan pada manusia agar menegakkan keadilan dan mengeliminasi semua bentuk ketidakadilan dalam bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan, khususnya yang berbasis gender. Dengan ungkapan lain, manusia adalah makhluk yang bertanggungjawab menegakkan keadilan. Karena itu kita semua memiliki tanggungjawab moral sesuai kapasitas masing-masing untuk menegakkan keadilan, khususnya keadilan gender yang menjadi inti pesan moral dari semua agama dan kepercayaan. Yang pasti hak kesetaraan warga negara dijamin dalam Pancasila dan Konstitusi Indonesia. Wallahu a’lam bi as-shawab.