Makalah isbiaceh

Page 1

Muhammad Takari, 2015.”Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.” Jantho,Aceh: ISBI.

MENGKAJI SECARA SAINTIFIK BUDAYA MUSIK ACEH DARI SISI STRUKTURAL DAN FUNGSIONAL

Muhammad Takari bin Jilin Syahrial Program Studi Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara dan Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia

ISBI ACEH 2015

i


MENGKAJI SECARA SAINTIFIK BUDAYA MUSIK ACEH DARI SISI STRUKTURAL DAN FUNGSIONAL

Muhammad Takari bin Jilin Syahrial Program Studi Etnomusikologi FIB USU dan Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia

Pendahuluan Musik adalah fenomena yang universal di dalam kebudayaan manusia. Musik adalah salah satu ekspresi keindahan (estetik) yang berfungsi secara kultural untuk memenuhi kebutuhan manusia akan keindahan. Media utama musik adalah bunyi, yang diolah secara musikal oleh manusia dan difungsikan di dalam kebudayaan manusia. Bunyi musikal ini secara alamiah disusun oleh dimensi waktu dan ruang (nada dan lainnya). Dimensi waktu disusun oleh: tempo, durasi, ritme, motif dan pola ritme, birama, meter, perulangan-perulangan rentak, dan aspek-aspek sejenis. Sementara dimensi ruang disusun oleh unsur-unsurnya seperti: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, pola-pola kadensa, interval, distribusi nada, kontur, dan lain-lainnya. Sementara komposisi musik bisa dideskripsikan teksturnya sebagai monofoni, unisono, heterofoni, polifoni, homofoni, disfoni kanon, dan lain-lainnya. Ada komposisi (arsitektonik) musik yang mengutamakan garapan ritme, sebagaimana halnya musik Afrika secara umum. Ada pula yang mengutamakan melodi dan progresiprogresinya seperti musik-musik di Asia, Timur Tengah, dan Pasifik. Ada pula yang mengutamakan sajian unsur-unsur harmonik khordal sebagaimana lazimnya musik Barat. Musik ini dapat memenuhi fungsi-fungsi sosial seperti: hiburan, komunikasi, penghayatan estetis, integrasi, kesinambungan kebudayaan, ekonomis, pengabsahan upacara, ritual, keagamaan, dan lain-lainnya. Karena fungsi-fungsi inilah maka musik dapat bertahan di dalam komunitas tertentu. Ada pula musik yang kemudian pupus (sirna) karena tidak fungsional lagi di dalam masyarakat di mana musik itu tumbuh dan berkembang. Dua sisi ini, yaitu struktural dan fungsional ini, menarik untuk dikaji secara keilmuan (saintifik). Selanjutnya di dalam berbagai kebudayaan di dunia ini, musik memiiki kaitan yang erat bahkan tidak dapat dipisahkan dengan seni tari. Di dalam kebudayaan Melayu misalnya seni zapin secara emik (pengetahuan masyarakat) langsung merujuk kepada sebuah genre tari dan musik 1


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

sekaligus, yaitu tari zapin dan musik zapin yang khas. Demikian pula di dalam kebudayaan Aceh, membincangkan seni rapa’i, salah satu genre seni pertunjukan Aceh, pastilah merujuk kepada tari dan musik sekali gus. Demikian pula dalam seni dakwah saman, pastilah merujuk kepada musik dan tari sekaligus, yang mengandung nilai-nilai yang dijiwai oleh kebudayaan Aceh yang Islamik. Dalam hal melihat hubungan tari dan musik dalam kehidupan yang kita jalani ini, baik pada dimensi waktu maupun ruang, pada dasarnya manusia tidak dapat melepaskan diri dari gerak dan bunyi. Bahkan pada saat manusia lahir di dunia, ia melakukan aktivitas gerak dan bunyi (menangis). Dalam kehidupan sehari-hari, gerak tersebut ada yang berupa gerak alamiah, seperti berjalan, berlari, menulis, melukis, memetik buah, memasak, memanggil, melarang, dan lainnya—maupun gerak yang telah distilisasi secara estetis seperti gerak pantomim, mimik muka dalam teater, tarian dengan berbagai gaya seperti: memetik bunga, menyisir, mendayung perahu, meniti batang, dan lan-lain. Gerak-gerak yang mengekspresikan segala keindahan ini lazim pula disebut dengan seni tari. Adakalanya seni tari ini terkait dengan olahraga seperti senam, silat, lintau, capoeira, judo, karate, wu shu, dan lainnya. Dalam ekspresi yang sedemikian rupa unsur seni tari dan beladiri menjadi satu kesatuan. Dalam konteks mengkaji, memahami, menghayati, melestarikan, mengembangkan, dan memungsikan musik (tari dan seni pertunjukan) di dalam kebudayaan masyarakat maka diperlukan pendekatan-pendekatan keilmuan, terutama ilmu-ilmu yang mengacu dan berdasar kepada kebudayaan setempat dengan tidak melupakan ilmu-ilmu lainnya yang datangnya dari luar, namun bersifat universal, dan memperkayah khasanah kehidupan kesenian itu di tengah-tengah masyarakat. Melalui makalah ini, penulis memaparkan secara umum mengenai bagaimana kebijaksanaan kita sebagai ilmuwan dan seniman untuk mengkaji secara saintifik kebudayaan musik Aceh dengan pendekatan struktural dan fungsional. Namun sebelumnya dipaparkan terlebih dahulu wilayah Aceh dan seni budayanya. Aceh Sejarah terbentuknya Provinsi Aceh, dapat djelaskan bahwa pada akhir tahun 1949 dengan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerinah Nomor 8/Des/Wk.PM/1949 tanggal 17 Desember 1949 Keresidenan Aceh dikeluarkan dari Provinsi Sumatera Utara dan dibentuk 2


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

menjadi provinsi tersendiri (Provinsi Aceh yang pertama). Wilayahnya meliputi Keresidenan Aceh dahulu ditambah dengan sebahagian Kabupaten Langkat yang terletak di luar daeah negara bagian Sumatera Timur waktu itu. Provinsi Aceh ini merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia yang pada waktu itu merupakan salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Sebagai gubernur Aceh diangkat Teungku Muhammad Daud Beureuh, yang sebelumnya adalah Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Dengan terbentuknya Provinsi Aceh ini, maka disusunlah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum yang bertingkat dan demokratis, sesuai dengan Peraturan Daerah No. 3 tahun 1946. Segala sesuatu yang berkenaan dengan keadaan susunan pemerintahan dan perwakilan provinsi dan kabupaten-kabupaten disesuaikan menurut Undang-undang No. 22 tahun 1948. Kemudian dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia tanggal 19 Mei 1950 dan pernyataan bersama tangal 20 Juli 1950, dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1950 yang menetapkan bahwa daerah Republik Indonesia serikat sudah membentuk negara kesatuan yang terbagi atas 10 provinsi administratif, di antaranya terdapat Provinsi Sumatera Utara yangeliputi daerah-daerah Keresidenan Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli dahulu. Dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 tahun 1950 dikeluarkan oleh Pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia, dibentuklah Provinsi Sumatera Utara yang otonom yang mulaiberlaku pada tanggal 15 Agustus 1950. Jadi sejak saat itu Aceh menjadi suatu Keresidenan Administratif yang dikepalai oleh seorang Residen. Disebabkan oleh peleburan Provinsi Aceh dengan Sumatera Utara bertentangan dengan keinginan rakyat Aceh dan sesuai dengan perubahan kebijakan pemerintah pusat, melalui Undang-undang No. 24 tahun 1956, dibentuklah Provinsi Otonom Aceh yang kedua, yang kewilayahannya meliputi daeah bekas Keresidenan Aceh dahulu, terlepas dari Provnsi Sumatera Utara. Provinsi Aceh ini pembentukannya didasarkan pada ndang-undang No. 22 tahun 1948, dan dengan keluarnya Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 disesuaikan menjadi Daerah Swantara Tingkat I aceh. Berhubungan dengan pembentukan Provinsi Aceh yang baru, maka tanggal 27 Januari 1957, bertempat di Pendopo Residen Aceh dilantiklah Gubernur 3


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

Provinsi Aceh, yaitu Ali Hasymi. Bersamaan itu pula dilakukan serah terima pemerintahan dari Gubernur Sumatera Utara, Sutan Kumala Pontas kepada Ali hasymi. Sealnjutnya sesuai dengan tuntutan rakyat Aceh dalam rangka keamanan, pada pertangahn tahun 1959 melalui Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/missi/1959 tertanggal 26 Mei 1959 ditetapkan bahwa Daerah Swantara Tingkat I Aceh menjadi Daerah Istimewa Aceh, yang bermakna diakui hak otonomi seluas-luasnya, terutama di bidang keagamaan, adat, danpendidikan. Kemudian melalui Perpres No. 6 Tahun 1960 dan Undang-undang No. 18 tahun 1965 sifat keistimewaan Aceh ditambah lagi yaitu diberi kedudukan hukum yang lebih kuat. Sampai akhirnya terjadi reformasi sosiopolitik di Indonesia tahun 1998, yang berdampak kepada situasi di Aceh. Akhirnya pemerintah Republik Indonesia menjadikan Aceh sebagai Provinsi Aceh. Kali pertama pula syariat Islam diterapkan di daerah ini, sebagai salah satu contoh di Indonesia. Bagaimanapun kesadaran tentang syariat ini begitu tinggi dalam budaya Aceh, yang dipercayai sebagai sebuah solusi krisis sosiobudaya. Aceh adalah salah satu provinsi yang mendapat status otonomi istimewa. Daerah ini terletak di bagian paling utara Pulau Sumatera. Di daerah ini pada abad kesebelas terdapat dua kerajaan Islam tertua di Nusantara iaitu Samudera Pasai dan Perlak. Dari daerah ini berlangsung penyebaran agama Islam ke seluruh wilayah Nusantara. Pada saat Sultan Ali Mughayatsyah memerintah Aceh, tahun 1514-1530, Kerajaan Aceh mencakup wilayah: Pasee, Perlak Aru, Pidie, dan Lamno. Kerajaan Aceh memiliki tentara yang kuat, maka tak heran daerah Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara sampai Melaka pernah menjadi daerah taklukannya pada abad keenam belas. Diperkirakan sebagian orang Aceh sudah migrasi ke Sumatera Timur sejak adanya kontak antara kedua daerah ini, baik melalui penaklukan, perdagangan, dan penyebaran agama Islam. Masyarakat Aceh Secara umum, masyarakat Aceh terdiri atas kelompok-kelompok etnik (suku bangsa), yaitu: (1) Aceh Rayeuk, (2) Gayo, (3) Alas, (4) Tamiang, (5) Kluet, (6) Aneuk Jamee, dan (7) Semeulue. Keenam kelompok etnik ini masing-masing mendiami daerah yang mereka anggap sebagai tanah leluhurnya. Daerah kebudayaan mereka ini adalah: (1) Aceh Rayeuk memiliki wilaah budaya di Utara Aceh, dengan pusatnya di Banda Aceh atau Kutaraja, (2) etnik Alas berdiam di Kabupaten Aceh 4


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

Tenggara dan sekitarnya, (3) etnik Gayo mendiami Kabupaten Aceh Tengah dan sekitarnya, (4) etnik Kluet mendiami Kabupaten Aceh Selatan dan sekitarnya, (5) etnik Aneuk Jamee mendiami Kabupaten Aceh Barat dan sekitarnya, (6) etnik Semeulue mendiami Kabupaten Aceh Utara dan Kepulauan Semeulue dan sekitarnya, serta (7) etnik Tamiang mendiami Kabupaten Aceh Timur dan sekitarnya. Etnik Tamiang secara budaya mempergunakan beberapa unsur kebudayaan etnik Melayu Sumatera Utara, dan bahasa mereka adalah bahasa Melayu (wawancara dengan Prof. Dr. Tan Sri Kra Ali Hasymi, 1995). Ditinjau daripada sudut geografisnya, etnik Tamiang, Kluet, Aneuk Jamee, dan Semeulue tinggal di daerah pesisir pantai, sedangkan suku Gayo dan Alas mendiami daerah pedalaman Aceh. Letak geografis ini mempengaruhi juga tingkat interaksi dengan berbagai budaya. Mereka yang tinggal di pesisir pantai cenderung lebih banyak menerima unsurunsur budaya lainnya, dibanding mereka yang tinggal di daerah pedalaman Aceh. Masing-masing etnik ini mempunyai ciri khas budayanya. Asal-usul orang Aceh menurut Dada Meuraxa yang termasuk rumpun bangsa Melayu, terdiri dari suku-suku Mante, Lanun, Sakai, Jakun, Senoi, Semang, dan lainnya, yang berasal daripada Tanah Semenanjung Malaysia. Ditinjau secara etimologis mempunyai hubungan dengan bangsa-bangsa yang pernah hidup di Babilonia yang disebut Phunisia, dan daerah antara sungai Indus dan Gangga yang disebut Dravida (Dada Meuraxa, 1977:12). Hubungan antara Aceh dengan Dunia Melayu juga terjalin dengan akrab. Sultan pertama Negeri Deli, iaitu Gocah Pahlawan, adalah kepercayaan Sultan Aceh, untuk memerintah Deli. Menurut sumbersumber Deli Gocah Pahlawan berasal dariIndia (Pelzer, 1978:3). Penguasaan wilayah jalur pantai yang terletak antara Kuala belawan dan Kuala Percut sebagai jalur yang potensial bagi sumber ekonomi Deli oleh Gocah Pahlawan, menyebabkan posisi Deli semakin menonjol. Selain itu, kekuasaan Gocah Pahlawan selaku wakil resmi Aceh didukung oleh kekuatan tentara Aceh (Ratna, 1990:49). Seni Budaya Aceh: Musik dan Tari Alat-alat musik tradisional Aceh, berdasarkan sistem klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel adalah sebagai berikut. Kelompok kordofon adalah arbab yaitu sebuah spike fiddle, lute berleher panjang, yang 5


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

memaminkannya digesek. Terbuat dari tempurung kelapa, kulit kambing, kayu, dan senar dari ijuk. Fungsi utamanya adalah membawakan melodi. Alat musik lainnya dari Aceh adalah biola Aceh, yang umum dijumpai di daerah Pidie. Alat musik ini berasal dari Asia Barat kemudian ke Eropa dan setelah itu ke Aceh. Istilah Aceh dalam musik ini, lebih menitikberatkan pada gaya musikal yang dihasilkannya. Alat musik ini tergolong dalam klasifikasi bowed short neck lute, lute berleher pendek yang memainkannya digesek. Dalam ensambelnya biasanya disertai sebuah gendang rapai. Kelompok aerofon adalah bangsi Alas, yaitu jenis alat musik aerofon rekorder, yang terbuat dari bahan bambu, dengan panjang sekitar 40 cm. Berasal dari daerah pegunungan Alas. Lagu-lagu yang biasa disajikan pada bangsi ini adalah: Lagu Canang Ngaro, Canang Ngarak, Canang Patam-patam, Canang Jingjingtor, dan Lagu Tangis Dillo. Alat musik lainnya dalam keluarga aerofon adalah bebelen. Alat musik ini termasuk ke dalam klasifikasi aerofon reed tunggal, lima lobang nada, dan ujungnya memiliki bell. Alat musik Aceh lainnya adalah bensi. Alat musik ini tebuat dari bambu, termasuk kelas rekorder, dengan enam lobang nada. Kemudian alat musik aerofon tradisional Aceh lainnya disebut dengan bereguh. Alat musik ini terbuat dari tanduk kerbau, yang dijumpai di daerah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, dan lainnya. Termasuk ke dalam aereofon trumpet. Fungsi utamanya adalah untuk komunikasi antar warga masyarakat di hutan. Alat musik lainnya adalah buloh meurindu, yaitu alat musik aerofon lidah tunggal, yang terbuat dari bambu. Alat musik lainnya adalah lole yaitu aerofon lidah ganda yang terbuat dari batang padi. Alat musik lainnya adalah Seurune Kalee, sebuah serunai (shawm) yang sangat terkenal di daerah Aceh. Kelompok alat-alat musik idiofon, adalah canang kayu, yaitu termasuk ke dalam klasifikasi alat musik xilofon dari Aceh. Bentuk lainnya adalah canang trieng yaitu canang yang terbuat dari bambu. Kemudian alat musik lainnya celempong, yaitu alat musik xilofon yang terbuat dari tujuh bilahan kayu tampu dan kayu senguyung. Lagu-lagu yang biasa disajikan oleh alat musik ini adalah Cico Mandi, Kuda Lodeng, Buka Pintu, Nyengok Bubu, dan Cik Siti. Celempong juga digunakan mengiringi tari Inai. Alat musik lainnya adalah doal, yaitu sebuah gong kecil terbuat dari kuningan, berasal dari Aceh Singkil. Alat musik berikutnya adalah genggong termasuk dalam klasifikasi jew’s harp. Kemudian alat musik lainnya adalah kekepak, yaitu alat musik jenis slit gong (seperti kentongan). Alat musik berikutnya 6


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

adalah ketuk, yaitu alat musik idiofon yang terbuat dari dua ruas bambu, satu ruas untuk resonator, dan satu ruas yang dibagi dalam dua kerat untuk dipukul. Alat musik jenis gong disebut dengan memong, yang biasanya digunakan untuk berkomunikasi, misalnya dipukul malam hari, esok masyarakat bergotong royong. Alat musik berikutnya adalah canang, yaitu 5 gong kecil yang setiap instrumen ini dimainkan dengan cara dipegang dan dipukul dengan pemukul, terutama oleh pihak perempuan. Kecapi yaitu termasuk ke dalam alat musik idiokord yang terbuat dari bambu. Kecapi Oloh adalah alat musik tuber zither yang terbuat dari bambu. Kelompok alat musik mebranofon di antaranya adalah yang disebut dengan gegedem, yaitu alat musik gendang satu sisi dari daerah Gayo. Alat musik lainnya adalah gendang Singkil, gendang barel dua sisi. Alat musik berikutnya adalah geundrang, yaitu termasuk dalam klasifikasi alat musik gendang barel dua sisi dipukul dengan satu stuk. Alat musik lainnya adalah gendrang kaoy, alat musik gendang barel dua sisi. Repana adalah alat musik perkusi yang berasal dari Aceh Tengah, biasanya digunakan untuk mengiringi Tari Guwel. Alat musik lainnya adalah tambo, gendang silindris satu sisi, selalu dijumpai di meunasah sebagai alat komunikasi. Lagu-lagu Aceh yang terkenal adalah: Bungong Jeumpa, Bungong Keumang, Bungong Seulanga (ciptaan A. Manua dan Anzib), Bungong Sie Yung-Yung, Cut Nyak Dhien karya T. Djohan dan Anzieb, Dibabah Pinto, lagu populer tradisional, Doda Idi (lagu yang lazim disenandungkan oleh ibu-ibu agar anaknya tidur), Jak Kutimang (ciptaan Anzib), Lagu Mars Iskandar Muda, Meusaree-saree, Resam Berume (Kebiasaan Bersawah), dan lain-lain. Dalail adalah genre musik vokal Aceh yang isi teksnya adalah ajaranajaran Islam. Dendang Sayang adalah genre kesenian tradisional Aceh di daerah Tamiang, Aceh Timur, yang berbentuk ensambel, yang terdiri dari alat-alat musik: biola, gendang, dan gong. Dipergunakan dalam berbagai aktivitas rakyat Aceh seperti upacara perkawinan, sunat Rasul, dan lainnya. Rebani adalah salah satu genre musik vokal diiringi gendang rebana berbentuk bingkai (frame), yang tumbuh di Aceh Timur. Syaer adalah genre musik vokal yang temanya adalah ajaran-ajaran Islam, terdapat di kawasan Aceh Tengah. Selanjutnya adalah seni tari. Masyarakat Aceh memiliki warisan budaya yang sangat menarik, yang pada umumnya berakar dari nilai-nilai ajaran Islam. Ini semua bisa dilihat dari berbagai aktivitas masyarakat dalam bidang seni budaya. Misalnya pada tari-tarian, upacara-upacar adat, 7


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

tata krama pergaulan sosial, hasil kerajinan. Kesemuanya kental dengan nuansa ajaran Islam. Aceh mengalami perkembangan kebudayaan sejak zaman dahulu kala. Ini terbukti di Aceh terdapat berbagai macam kebudayaan daerah, seperti di Pasai, Pidie, Gayo, Alas, Lahop, Tamiang, Singkil, Tapaktuan, Meulaboh, Simeuleu, dan lainnya. Masyarakat Aceh sejak dahulu hidup di bidang pertanian, perkebunan, minyak dan gas, dan lainnya. Daerah Aceh Utara memiliki keseniannya sendiri dan begitu berkembang, seperti seni tari, drama, sastra, ukiran, pahat, dan lainnya. Tari-tarian daerah Aceh biasanya diiringi dengan vokal, dilakukan pada malam hari, setelah musim panen di sawah selesai. Di antara kesenian-kesenian Aceh itu adalah: seudati atau saman, rapai Pasai, rapai dabus, rapai lahee, rapai grimpheng, rapai pulot, alue tunjang, poh kipah, biola Aceh, meurukon, dan sandiwara Aceh. Pada masa kini berkembang tari kreasi baru, yang berbasis dari tari-tarian tradisional. Di antara contoh tari kreasi baru adalah Tari Ranup Lampuan, Rampoe Aceh, Pemulia Jame, Tarek Pukat, Limong Sikarang, Ramphak Dua, dan lainnya. Tari Sudati, kata seudati berasal dari kata yahadatin, yang mengandung makna pernyataan atau penyerahan diri memasuki agama Islam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. Tari Seudati dipertunjukkan oleh 8 orang laki-laki dan 2 orang aneuk syeh (syahie) yang bertugas mengiringi tarian dengan syair dan lagu. Seluruh gerakan Tari Seudati berada di bawah pimpinan seorang syeh sudati. Musik dalam Tari Seudati hanya berbetuk bunyi yang ditimbulkan oleh hentakan kaki dan kritipan tangan penari serta tepukan dada, yang diselingi dengan irama syair lagu dari aneuk syeh. Di dalam Tari Seudati jelas tergambar semangat perjuangan, kepahlawanan, sikap kebersamaan, dan persatuan. Gerakannya lincah dan dinamis. Pada saat ini Tari Sudati selain berfungsi sebagai hiburan rakyat juga merupakan simbol kekayaan seni budaya Aceh, sekaligus sebagai penyampai pesan-pesan komunikasi pemba-ngunan. Tarian ini juga sering dipertandingkan sampai semalam suntuk, yang juga dikenali sebagai Tari Seudati Tunang. Tari Poh Kipah, tari ini merupakan seni tradisional Aceh yang menunjukkan gerakan-gerakan memukul kipas dengan ritme yang unik dan mengagumkan. Kipas yang digunakan dalam tarian ini dijalin khusus. Terbuat dari pelepah pinang yang terdiri dari tiga sampai empat lapis, yang menimbulkan bunyi nyaring saat dihentakkan penarinya. Disertai dengan berbagai ritme tepukan tangan. Tari Poh Kipah ini mengandung pesanpesan keagamaan dan pembangunan. Lazim disajikan pada saat 8


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

memperingati kelahiran Rasulullah Muhammad pada Maulid Nabi, dan hari besar Islam lainnya. Biola Aceh, kesenian biola ini telah cukup lama berkembang di Aceh Utara, terutama setelah berkembangnya Tari Seudati. Kesenian biola Aceh ini menjadi salah satu seni hiburan rakyat yang sangat diminati. Kesenian ini dipertunjukkan oleh tiga orang pria—masing-masing satu orang bertindak sebagai pemain bila yang disebut syeh, yang juga merangkap sebagai penyanyi. Dua orang lagi bertindak sebagai penari dan pelawak. Keduanya bertindak sebagai linto baro, yaitu sebagai suami dan isterinya, yang melakukan gerak tari dan banyolan. Ciri khas genre kesenian ini adalah biola dan tarian, dialog, dan berbalas pantun dengan tema ungkapan-ungkapan yang lucu, menggelikan, dan penuh rasa humor, serta warna-warni pakaian, sehingga membuat pertunjukan kesenian ini mengasyikkan penontonnya. Rapai Pasai, genre kesenian ini adalah sebuah pertunjukan yang mengutamakan nyanyian syair yang temanya adalah keagamaan Islam dan memiliki fungsi ritual. Komposisinya rapai kecil di depan dan rapai ukuran besar digantung di belakang pemain. Rapai-rapai kecil sebagai pendukung. Seluruh pemainnya berbaris membentuk garis lengkung dengan pakaian yang khas tradisi Aceh. Pertunjukan ini dipimpin oleh seorang khalifah dengan penyajian syair yang sinkron dengan irama gendangnya. Rapai Daboih, dalam penyajian Rapai Daboih ini titik utamanya adalah pada kemahiran spiritual dalam menggunakan senjata tajam yang ditusuk-tusukkan ke tubuh pemain tetapi atas ijin Tuhan mereka kebal. Rapai Daboih ini selalu dipertandingkan (urouh). Setiap kelompok biasanya terdiri dari satu kuru minimal 12 rapai dan pemainnya dan maksimal 6 kuru (60 pemain rapai). Pihak-pihak yang bertanding membentuk lingkaran dan di antara kedua pihak dibuat tanda batas. Di tengah-tengah pemain ada seorang khalifah yang mengangkat tangan tinggi-tinggi, dan kemudian terdengarlah teriakan melengking yang diikuti suara pukulan gendang rapai, yang dilanjutkan dengan zikee (salam selamat datang).

9


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

Gambar 1: Pertunjukan Tari Saman (sumber: Muhammad Takari dan Nuning Putriani, 2012)

Gambar 2: Pertunjukan Rebab Aceh (sumber: www.wikipedia.org)

Pada saat-saat pukulan rapai dimulai cepat, tampilan para pemain debus dengan kemahiran dan keberanian yang cukup tinggo dalam menggunakan senjata tajam dan membakar diri dengan api yang membuat setiap penonton menahan nafas. Apabila ada pemain debus yang mengalami cedera atau luka dalam atraksi tersebut, karena kesalahan dalam memukul rapai, atau pihak lain yang ingin mencoba ilmunya, khalifah akan segera turun tangan, dengan hanya menyapu bagian yang terluka dengan tangannya. Biasanya darah akan segera berhenti mengalir, luka itu 10


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

pun akan lenyap seketika. Pertunjukan bercanda dengan maut ini biasanya berlangsung sampai menjelang subuh jika dilakukan pada malam hari. Rapai Lagge, kesenian tradisional Aceh ini berasal dari daerah Kandang, Kecamatan Muara Dua, dan Paya Bakong, Kecamatan Mantangkuli yang biasanya ditampilkan pada upacara-upacara adat, upacara resmi pemerintahan, serta hari-hari besar agama Islam. Fungsinya adalah hiburan rakyat yang bersifat sosial. Pertunjukan rapai ini dipimpin oleh syeh. Para pemain terdiri dari 12 orang pemain rapai, denganpakaian khas yang berwarna menyala. Syair yang dibawakan menyerupai syair Seudati yang bertujuan untuk membangkitkan semangat patriotisme, persatuan, gotong-royong, serta diiringi pantun jenaka dan terkadang pantun romantis, namun tetap tak dilupakan dasarnya agama Islam. Bungong Seulanga adalah lagu daerah Aceh yang bersifat kreasi baru. Lagu ini populer di tengah masyarakat Aceh, dan diajarkan di sekolahsekolah. Lagu ini ciptaan A. Manua dan Anzib. Bungong Seulanga yang artinya bunga kenanga, dalam budaya Aceh digemari oleh para ibu dan gadis. Ada pula lagu yang bertajuk Bungong Sie Yungyung, yang kemudian dijadikan tajuk lagu dan tarian. Lagu ini diciptakan oleh A. Manua tahun 1960-an. Demikian sekilas masyarakat dan seni di Nanggroe Aceh Darussalam. Kajian Saintifik Secara Multisisiplin Sepertia uraian di bagian pendahuluan dan kemudian diteruskan dengan keberadaan seni (pertunjukan musik dan tari) yang sangat kaya dan eksotik di Aceh ini, maka langkah berikutnya adalah penting untuk mendokumentasikannya. Sesudah itu dokumentasi tersebut dikaji, diwacanakan, diperbincangkan, dan dihayati secara fungsional di dalam masyarakat. Dampaknya akan memberikan kekayaan spiritual dan material kepada seniman, budayawan, ilmuwan seni, dan masyarakat Aceh secara keseluruhannya. Dalam rangka mengkaji kesenian ini, maka perlu dilakukan melalui pendekatan-pendekatan saintifik yang ilmian, dengan berbagai proses dan dasar-dasar keilmuan. Yang penting dalam konteks ini adalah kajian dalam konteks ilmu seni tertentu dan dikaitkan dengan konteks multidisiplin, interdidiplin, dan konterdisiplin. Untuk mengkaji seni dapat digunakan berbagai ilmu seni seperti: etnomusikologi, etnokotreologi, musikologi, antropologi teater, antropologi, sosiologi, komunikasi, fisika, psikologi, dan lain-lainnya. Berikut ini diuraikan disiplin etnomusikologi dan 11


Muhammad Takari, 2015.”Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.” Jantho,Aceh: ISBI.

etnokoreologi yang relevan digunakan dalam konteks mengkaji keberadaan seni musik dan tari di dalam kebudayaan Aceh. Etnomusikologi Untuk mengkaji budaya musik Aceh baik secara struktural dan fungsional para ilmuwan dapat menggunakan disiplin etnomusikologi. Seperti yang penulis ketahui dari pakar etnomusikologi yaitu Merriam yang dimaksud etnomusikologi adalah sebagai berikut. Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam, 1964:3-4).1

Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan etnologi [antropologi]. Selanjutnya menim1

Sebuah buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang bersifat etnomusikologis.

12


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

bulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri. Di lain sisi, sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas. Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika Serikat telah mempersembahkan teknik analisis suara musik. Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masingmasing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya. Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang 13


Muhammad Takari, 2015.”Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.” Jantho,Aceh: ISBI.

terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.2 Etnokoreologi Untuk mengkaji aspek struktural dan fungsional tari-tarian (yang di dalamnya juga mengandung aspek musikal) di Aceh, maka ilmu yang relevan digunakan adalah etnokoreologi. Yang dimaksud antropologi tari atau disebut juga etnologi tari dan etnokoreologi adalah sebagai berikut. Ethnochoreology (also dance ethnology, dance anthropology) is the study of dance through the application of a number of disciplines such as anthropology, musicology (ethnomusicology), ethnography, etc. The word, itself, is relatively recent and means, literally, “the study of folk dance”, as opposed to, say, the formalized entertainment of classical ballet. Thus, ethnochoreology reflects the relatively recent attempt to apply academic thought to why people dance and what it means. It is not just the study or cataloging of the thousands of external forms of dances—the dance moves, music, costumes, etc.— in various parts of the world, but the attempt to 2 Buku ini diedit oleh R. Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya.

14


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

come to grips with dance as existing within the social events of a given community as well as within the cultural history of a community. Dance is not just a static representation of history, not just a repository of meaning, but a producer of meaning each time it is produced—not just a living mirror of a culture, but a shaping part of culture, a power within the culture. The power of dance rests in acts of performance by dancers and spectators alike, in the process of making sense of dance‌ and in linking dance experience to other sets of ideas and social experiences. Ethnologic dance is native to a particular ethnic group. They are performed by dancers associated with national and cultural groups. Religious rituals (ethnic dances) are designed as hymns of praise to a god, or to bring in good fortune in peace or war (Blacking, 1984).

Dari kutipan di atas, dapat diartikan bahwa yang dimaksud etnokoreologi (juga disebut dengan etnologi tari dan antropologi tari) adalah studi tari melalui penerapan sejumlah disiplin ilmu seperti antropologi, musikologi (etnomusikologi), etnografi, dan lain-lain. Istilah itu sendiri, adalah relatif baru, yang secara harfiah berarti studi tentang tarian rakyat (sebagai lawan dari tari hiburan yang diformalkan dalam bentuk balet klasik). Dengan demikian, etnokoreologi mencerminkan upaya yang relatif baru dalam dunia akademis untuk mengkaji mengapa orang menari dan apa artinya. Dalam konteks tersebut para ilmuwan etnokoreologi tidak hanya belajar ribuan tarian yang mencakup gerak, musik iringan, kostum, dan hal-hal sejenis, di berbagai belahan dunia ini, tetapi juga meneliti tarian dalam kegiatan sosial dari suatu masyarakat, serta sejarah budaya tari dari suatu komunitas. Tari bukan hanya representasi statis sejarah, bukan hanya repositori makna, namun menghasilkan makna setiap kali tari itu dihasilkan. Tari bukan hanya cermin hidup suatu budaya, tetapi merupakan bagian yang membentuk budaya, sebagai kekuatan dalam budaya. Kekuatan tari terletak pada tindakan penampilan penari dan penonton, dalam proses pembentukan rasa dalam tari, dan menghubungkan pengalaman gagasan tari dan wujud sosialnya. Tari juga berkait dengan kelompok etnik tertentu. Tarian ini dilakukan oleh penari yang berhubungan dengan kelompok bangsa dan budayanya. Tarian etnik dirancang sebagai himne pujian untuk Tuhan, atau untuk membawa keberuntungan dalam damai atau perang.

15


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

Mengkaji Hubungan Musik dan Tari Dalam seni pertunjukan yang sangat menjadi identitas kebudayaan Aceh, aspek gerak dan bunyi juga selalu menjadi unsur pendukungnya. Aspek bunyi dalam tarian ini selalu disebut dengan seni musik, yang lebih jauh lagi ada yang menyebutnya dengan musik iringan, atau musik tari. Dalam kebudayaan tertentu, sebuah genre atau judul tarian bisa saja memiliki arti tari dan musik sekali gus. Misalnya dalam kebudayaan Melayu, istilah zapin, pastilah merujuk kepada genre musik dan tari, yang mengandung pengertian sebagai sebuah genre tari, dan sekaligus pengertian sebagai genre musik. Bicara zapin pasti akan langsung merujuk kepada tari dan musik zapin. Keduanya menyatu dalam sebuah genre musik dan tari dalam konteks seni pertunjukan. Kalau dikaji lebih jauh dari aspek tari pastilah merujuk kepada gerak-gerak yang memiliki identitas khas zapin seperti: tahtum (tahto), siku keluang, tandak, anak ayam, dan seterusnya. Begitu juga kepada musiknya yang khas seperti rentak zapin dalam meter ostinato empat, taqsim (melodi free meter di awal pertunjukan), senting (intensitas kuat dalam pukulan gendang), onomatopeik, dan instrumen musik penciri zapin seperti marwas, gambus atau ‘ud, lagu-lagu khas zapin (bisa saja teks Arab, Melayu, atau campuran keduanya) seperti: Anak Ayam, Lancang Kuning, Selabat Laila, Bulan Mengambang, Kasih Budi, Persebatian, dan lain-lain. Tari dan musik adalah dua bidang seni yang saling terkait dan saling mendukung. Keduanya memiliki hubungan dalam dua dimensi yang sama yaitu waktu dan ruang. Dalam dimensi waktu ini, kedua bidang seni tersebut disusun oleh satuan-satuan yang lebih kecil lagi seperti tempo, aksentuasi, fungtuasi, meter (isometer, simetris, dan asimetris), siklus hitungan, ketukan dasar (pulsa atau beat), ritme, 3 dan unsur-unsur sejenis. Adakalanya hubungan antara tari dengan musik digarap dalam meter atau motif ritme yang berbeda untuk memberi kesan poliritme atau ritme yang 3 Kata ritme adalah unsur serapan dari bahasa Inggris rhythm. Dalam bahasa Indonesia, kata ini lazim dihubungkan dengan irama. Kata i.ra.ma artinya adalah: 1. Gerakan berturut-turut secara teratur, turun naik lagu (bunyi dan sebagainya) yang beraturan, ritme; 2. Dalam sastra artinya adalah alunan yang tercipta oleh kalimat yang berimbang, selingan bangun kalimat, dan panjang pendek serta kemerduan bunyi (dalam prosa); ritme; 3. Dalam musik berarti waktu atau tempo, misalnya irama Bengawan Solo berlainan dengan lagu Jali-jali, 4. Dalam sastra adalah alunan yang terjadi karena perulangan dan pergantian kesatuan bunyi dalam arus panjang pendek bunyi, keras lembut tekanan dan tinggi rendah nada dalam puisi (Kamus Umum Bahasa Indonesia).

16


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

kontras. Yang lebih sering adalah membentuk atau berdasar kepada meter dan ritme yang sama. Selain dari dimensi waktu, hubungan lainnya antara tari dan musik adalah dimensi ruang. Dimensi ruang dalam tari, disusun oleh satuansatuan yang lebih kecil seperti, bentuk gerak, frase gerak, motif gerak, pola lantai, setting pentas, getur, sampai pula pakaian, properti tari, pencahayaan pertunjukan tari, dan unsur-unsur sejenis. Kalau dimensi ruang dalam musik lebih menekankan kepada aspek pendengaran (audio), walau juga tetap mempersembahkan dimensi visual, maka dalam seni tari, penekanan dan fokus pertunjukan adalah pada dimensi visual yang bergerak. Namun demikian, dimensi tari ini biasanya harus didukung oleh dimensi audio musik, walau tidak menjadi sebuah kewajiban. Sementara dimensi ruang dalam musik, termasuk musik untuk mengiringi tarian, dapat dikelompokkan dalam dua besaran utama di bawah dimensi ruang, yaitu melodi dan harmoni. Unsur-unsur melodi di antaranya adalah: tangga nada (modus), wilayah nada (ambitus kadang disebut tebanada), nada dasar (nada pusat), interval, formula melodi, distribusi nada, pola-pola kadensa, dan kontur. Seterusnya unsur-unsur harmoni dalam musik di antaranya adalah: nada fundamental dan parsial, interval konsonan dan disonan, akord dan progresinya, akord posisi akar (root) dan balikan, teknik apergiasi dalam konteks arsitektonik khordal, aturan-aturan melangkah dan meloncat, hubungan bas dengan suara-suara di atasnya, berbagai pola-pola kadensa akord seperti kadensa plagal, kadensa penuh, kadensa deseptif, kadensa setengah, dan seterusnya. Selain itu, dimensi ruang dalam musik juga disusun oleh teknik komposisi yang disebut dengan tekstur. Jika bangunan musik tersebut disusun oleh satu melodi yang sama yang dilakukan oleh beberapa pemain musik atau vokal, maka tekstur yang seperti ini disebut dengan monofoni. Selanjutnya apabila bangunan musik tersebut disusun oleh satu melodi yang sama, yang dilakukan oleh beberapa pemain musik atau vokal, namun menyertakan nada-nada oktafnya, bisa di bawah atau di atas, maka tekstur yang seperti ini disebut dengan unisono. Jika bangunan musik tersebut dibentuk oleh satu melodi pokok yang sama, yang dilakukan oleh beberapa pemain musik atau vokal, namun setiap musik atau penyanyi menggarap variasi-variasi melodinya sendiri terhadap melodi pokok tadi, maka tekstur musik yang seperti ini disebut dengan heterofoni. Seterusnya, apabila bangunan musik tersebut disusun oleh beberapa melodi yang berbeda dan ritmenya sama, disajikan dalam waktu yang bersamaan, namun berdasar 17


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

kepada prinsip-prinsip harmoni, maka tekstur musik yang seperti ini disebut dengan homofoni. Lebih jauh lagi, apabila bangunan musik disusun oleh beberapa melodi yang berbeda dan ritmenya juga berbeda, disajikan dalam waktu yang bersamaan, tetapi tetap berdasar kepada prinsip-prinsip harmoni, maka tekstur musik yang seperti ini disebut dengan polifoni. Selanjutnya, apabila bangunan musik tersebut disajikan oleh beberapa pemusik atau penyanyi, tidak berdasar kepada prinsip-prinsip harmoni, maka teksturnya dapat disebut sebagai disfoni. Jika bangunan musik ini ini disajikan oleh beberapa pemusik atau penyanyi, tidak berdasar kepada prinsip-prinsip harmoni, namun mengacu kepada satu lagu, yang antara pemusik atau penyanyi memulai lagu itu pada waktu yang berbeda dalam konteks satu pertunjukan musikal, maka teksturnya disebut dengan disfoni kanon. Dalam konteks pertunjukan musik dan tari, dimensi ruang dalam musik adakalanya berjalan bebas tanpa terikat oleh dimensi ruang dalam tari, artinya berjalan sendiri-sendiri dalam waktu yang bersamaan. Adakalanya dimensi ruang antara tari dan musik ini, terjalin sangat erat, artinya saling menguatkan pertunjukan, seperti yang terjadi di dalam pertunjukan berbagai tari dan musik di Aceh. Selain itu, dimensi lainnya yang paling dieksplorasi dalam tarian adalah tenaga (power). Setiap penari, biasanya akan mengelola tenaga ini sesuai dengan komposisi tari yang mendasarinya. Tenaga ini akan digunakan secara penuh atau lemah, tergantung dari bahagian tari yang hendak diekspresikan. Secara budaya, ada tarian yang mengekspresikan sifat wanita yang lemah lembut, penuh kasih sayang, feminimisme, keibuan, dan sejenisnya yang mengeksplorasi tenaga yang relatif “lemah.� Sebaliknya ada pula tari yang mengekspresikan kegagahan, kejantanan, yang berasosiasi kepada ekspresi sifat-sifat pria, yang berasosiasi dengan kebijaksanaan, ketampanan, maskulinitas, bahkan sampai sikap kasar dan jahat. Dua sisi penggunaan tenaga ini sangat dieksplorasi dalam seni tari. Demikian pula yang terjadi dalam seni tari di Aceh. Dalam musik, sebagimana dimensi tenaga dalam tari itu, dapat dikaitkan dengan aspek dinamik, yang juga merujuk pada tenaga, walau ini eksplorasinya tidak seluas yang digunakan dalam tarian. Dinamik dalam musik mencakup lirih dan kuatnya musik itu disajikan. Dalam komposisi musik biasanya digunakan saat mana harus lirih dan saat mana pula harus kuat. Dalam musik Barat dinamik ini diungkapkan dengan terminologi seperti pianissimo, piano, forte, mezzo forte, fortissimo, dan lain-lainnya. 18


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

Ekspresi dinamik dalam musik ini biasanya lebih mengekspresikan suasana, bisa perasaan atau alam. Demikian pula musik yang disajikan untuk mengiringi tari-tarian di Aceh, sebenarnya mengekspresikan dinamik yang mendukung gerak dan tenaga yang diekspresikan tarinya. Dengan demikian, sangatlah menarik untuk mengkaji dan memahami, bagaimana dan sejauh mana eksplorasi kultural, etika, dan estetik yang diekspresikan dalam tari dan musik dalam budaya Aceh ini. Kajian Struktural Untuk mengkaji struktur musik yang berbentuk melodis yang terdapat dalam budaya musik Aceh, maka salah satu teori yang dapat digunakan di dalam disiplin ilmu etnomusikologi, adalah teori bobot tangga nada (weighted scale) seperti yang ditawarkan oleh Malm (1977). Unsur yang dikaji adalah mencakup 8 struktur melodinya yaitu: (1) tangga nada, (2) wilayah nada, (3) nada dasar, (4) interval, (5) jumlah nada-nada yang digunakan, (6) formula melodi, (7) pola-pola kadensa, dan (8) kontur (garis melodi). Menuurut pengalaman penulis, salah satu aspek yang sangat penting dalam lagu-lagu atau musik vokal Aceh ialah peranan teks atau lirik yang sangat menonjol. Garapan teks ini mendapat kedudukan yang utama dalam pertunjukan lagu-lagu Aceh. Sebagian besar tari Aceh selalu diiringi lagu. Lagu-lagu ada yang dalam bahasa Aceh Raya, Gayo, Aneuk Jamee, Melayu Aceh Tamiang, dan lainnya, yang umumnya berdasarkan kepada aturan-aturan puisi di kawasan ini. Dengan kedudukan sedemikian rupa, maka penulis bisa mengkategorikan musik Aceh ini sebagai musik yang logogenik. Yang dimaksud logogenik adalah satu kebudayaan musik etnik atau musik dunia, yang ciri khas utamanya adalah menggunakan dan menumpukan teks yang dikomunikasikan secara verbal. Biasanya menggunakan salah satu atau perpaduan unsur-unsur ritme, melodi, atau harmoni. Dalam kebudayaan musik logogenik ini, unsur sastra dan folklor mendapat perananan penting. Namun agak berbeza dengan bahasa seharihari, teks dipertunjukkan melalui lagu bukan bahasa sehari-hari. Dengan demikian nyanyian jenis ini selalu menggunakan bahasa yang digayakan dan mengandung unsur-unsur perlambangan. Ada kalanya bersifat rahsia seperti pada mantera. Seterusnya, jika sebuah kebudayaan musik mengutamakan aspek melodi atau ritma saja, bukan menekankan kepada 19


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

teks, maka musik seperti ini dapat dikategorikan sebagai budaya musik melogenik. Musik seperti ini, lebih menumpukan pertunjukan pada aspek komunikasi bukan lisan terutama menggunakan dimensi waktu dan ruang. Untuk mengkaji makna yang diungkapkan melakui ritme, melodi, atau bunyi-bunyia lainnya, diperlukan pemahaman dan penafsiran dengan cara menelitinya, terutama apa yang ingin dikomunikasikan pencipta musik atau senimannya, yang boleh ditelusuri melalui cara berpikir mereka. Contoh musik logogenik dalam kebudayaan Aceh adalah pada teks Esra, seperti hasil penelitian dan kajian Dindin Achmad Nazmudin (2013:192) yang baru lalu. Adapun syair dalam bagian Esra adalah sebagai berikut. Piasan raya ta pukong adat Ta pulang tungkat bak aneuk muda Oh mate aneuk ta tu phat jirat Oh gadoh adat han ta pa mita [Perayaan pesta memperkuat adat Memberi tongkat kepada anak muda Jika meninggal anak tahu kuburnya Jika hilang adat tak tahu mencari kemana]

Berikut salah satu contoh syair dalam Esra dengan tema pembangunan. Nanggroe Aceh nyo jino kah aman Hase ni bak nyan ekspor u lua Pala ngon Kupi kirim u medan Aceh hai rakan jino kah jaya Negeri Aceh sekarang sudah aman Hasil dari daerah sudah di ekspor ke Medan Pala dan kopi sudah dikirim ke Medan Aceh sekarang sudah berjaya Ngon Aspal buton jalan neu tata Ngon BKIA KB cukup na SKB tudong tipi kah rata Rast lam desa listrik meu banja [Dengan aspal buton jalan tertata Dengan BKIA (Rumah sakit ibu dan anak) KB cukup ada SKB (sanggar kegiatan belajar) sudah didirikan, televisi sudah menyala Merata di desa, listrik sudah menyala] Pu got irigasi pu e ie blang Supaya senang rakyat lam desa

20


Muhammad Takari, 2015.”Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.” Jantho,Aceh: ISBI.

Talake do’a bak sidroe Tuhan Supaya aman rakyat lam desa [Buat irigasi untuk mengairi sawah Supaya senang rakyat di desa Kita berdo’a kepada Allah Supaya aman rakyat di pedesaan]

(sumber: Dindin Achmad Nazmudin, 2013:193) Kajian Fungsional Untuk mengkaji fungsi musik dan tari di dalam kebudayaan masyarakat Aceh dapat digunakan teori fungsionalisme baik dalam ilmu antropologi, etnomusikologi, maupun dalam etnologi tari, yang ditawarkan oleh beberapa pakar. Mereka menggagas teori fungsi itu sebagai berikut. Radcliffe-Brown mengemukakan bahawa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap saat. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahawa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya berikut ini. By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which

21


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).

Dalam kaitannya dengan tari-tarian dan musik pada adat Aceh, maka tari dan musik ini adalah salah satu aktivitas dari sekian banyak aktivitas masyarakat Aceh, yang tujuannya adalah untuk mencapai harmoni atau konsistensi internal. Tari dan musik adalah bahagian dari sistem sosial yang bekerja untuk mendukung tegaknya budaya Minangkabau. Curt Sachs (1963:5) seorang ahli musik dan tari dari Belanda mengemukakan dalam bukunya yang berjudul World History of the Dance mengutarakan bahwa fungsi tari secara mendasar ada dua, yaitu (1) Tari berfungsi untuk tujuan magis, dan (2) Tari berfungsi sebagai media hiburan atau tontonan. Pakar lainnya Gertrude Prokosch Kurath yang mengemukakan adanya 14 fungsi tari dalam masyarakat, yaitu (1) sebagai media inisiasi (upacara pendewasaan), (2) sebagai media percintaan, (3) sebagai media persahabatan atau kontak sesial, (4) sarana untuk perkawinan atau pernikahan, (5) sebagai pekerjaan atau matapencaharian, (6) sebagai media untuk sarana kesuburan atas pcrtanian, (7) sebagai sarana untuk perbintangan, (8) sebagai sarana untuk ritual perburuan, (9) sebagai imitasi satwa, (10) sebagai imitasi peperangaa, (11) sebagai sarana pengobatan, (12) sebagai ritual kematian, (13) sebagai bentuk media untuk pemanggilan roh, dan (14) sebagai komedian (lawak). Anthony V. Shay dalam disertasinya yang berjudul The Function of Dance in Human Society, membagi tari dalam 6 fungsi, yaitu (1) sebagai refleksi dari organisasi sosial, (2) sebagai sarana ekspresi sekuler serta ritual keagamaan, (3) sebagai aktivitas rekreasi atau hiburan, (4) sebagai ungkapan serta pembebasan psikologis, (5) sebagai refleksi nilai-nilai estetik atau murni sebagai aktivitas estetis, dan (6) sebagai refleksi dari kegiatan ekonomi. Sementara pakar tari lndonesia yaitu Narawati dan R.M. Soedarsono membedakan fungsi tari menjadi dua, yaitu (1) kategori fungsi tari yang besifat primer, yang dibedakan menjadi tiga, yaitu: (a) fungsi tari sebagai sarana ritual, (b) fungsi tari sebagai ungkapan pribadi, dan (c) fungsi tari sebagai presentasi estetik, dan (2) kategori fungsi tari yang bersifat sekunder, yaitu lebih mengarah pada aspek komersial atau sebagai lapangan mata pencaharian (Narawati dan Soedarsoso, 2005: 15-16). 22


Muhammad Takari, 2015.”Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.” Jantho,Aceh: ISBI.

Berdasarkan teori fungsi tari dari Narawati dan Soedarsono ini, maka fungsi tari galombang, mencakup baik itu fungsi primer dan juga fungsi sekunder. Di dalam kegiatan tari ini terdapat fungsi ritual, ungkapan pribadi, estetik, dan mata pencaharian. Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba menerapkannya dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Para pakar etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada keebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bahagian dari pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain (1964:210). Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut. Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose which it serves. (1964:210).

Dari kutipan di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian penggunaan dan fungsi musik berdasarkan kepada tahap dan pengaruhnya dalam sesebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bahagiannya. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Dia memberikan contoh, jika seeorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia—[yaitu untuk memenuhi kehendak biologikal bercinta, kawin dan berumah tangga dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia]. Jika seseorang menggunakan musik 23


Muhammad Takari, 2015.”Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.” Jantho,Aceh: ISBI.

untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut behubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual dan kegiatan-kegiatan upacara. “Penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayaninya. Dengan demikian, selaras dengan Merriam, menurut penulis penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktikal, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya. Menurut Alan P. Marriam (1964:209-226) bahwa terdapat beberapa fungsi musik yaitu diungkapkan namun tidak semua berlaku untuk seluruh suku bangsa yang ada di dunia. Adapun beberapa fungsi musik yang diungkapkan oleh Alan P. Marriam adalah: (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi penghayatan estetis, (3) fungsi hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5) fungsi perlambangan (syimbolic representation), (6) fungsi reaksi jasmani, (7) fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial, (8) fungsi pegesahan lembaga sosial dan upacara agama, (9) fungsi kesinambungan kebudayaan, dan (10) fungsi pengintegrasian masyarakat. Catatan Awal Karakteristik Struktural dan Fungsional Musik Aceh Sesuai dengan topik seminar ini, yaitu karakteristik musikal Aceh sebagai aset perkembangan musik Nusantara, maka penulis akan membahasanya berdasarkan pengalaman penulis sebagai ilmuwan seni selama ini. Di antara karakteristik strukturalnya adalah sebagai berikut. 1. Hubungan erat antara musik dan tari. Bahwa di Aceh terjadi hubungan yang erat di dalam seni pertunjukan antara musik dan tari. Dalam pertunjukan ini musik dan tari saling terintegrasi secara sepadu dan tidak terpisah perannya. Ini diwakili seperti dalam seniseni pertunjukan rapai (geuleung, pasee, laghe, geurimpheng, pulot, daboih, dan sejenisnya), saman, poh kipah, ranub lampuan, meusekat, pukat, dan masih banyak lagi yang lainnya. Jadi bicara musik Aceh tidak akan lengkap tanpa membicarakan tari yang menyatu dengan musiknya. 2. Musik yang logogenik. Sebagaimana di Dunia Islam pada umumnya, musik di Aceh kuat sekali mengekspresikan lagu-lagu (musik vokal), yang bisa jadi menjadi bagian dari seni puisi dalam adat dan agama Islam, yang dikenal memiliki berbagai genrenya, 24


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

seperti syair, panton, hikayat, riwayat, dan sejenisnya. Musik logogenik ini menumpukan pesan komunikasi kepada aspek verbal yang dinyanyikan. 3. Musik yang dinamik dengan perubahan-perubahan ritme. Salah satu karakteristik lainnya di dalam budaya musik Aceh adalah pengolahan komposisi musik dengan menggunakan irama (rentak) yang berubah-ubah disertai dengan break-breaknya. Sebagai contoh dalam pertunjukan rapai geuleung digunakan teks nyanyian yang diujung frasenya digunakan pola-pola ritme gendang rapai yang dimuali dari tempo lambat, kemudian beralih ke sedang, dan kemudian di ujung pertunjukan menggunakan ritme gendang yang cepat. Ini adalah karakteristik yang menjadi identitas khas budaya musikal Aceh. 4. Orientasi melodis dengan meramu berbagai tangga nada dari unsur internal musik Aceh, Nusantara (Alam Melayu), dan Timur Tengah. Pada umumnya musik Aceh di dalam pertunjukannya dapat dikatakan berorientasi melodis, bukan harmonik khordal sebagaimana musik Barat. Orientasi melodis di dalam budaya musik Aceh ini menurut penulis, mengandung beberapa tipe. Tipe yang pertama adalah melodi yang khas berasal dari aspek dalam musik Aceh itu sendiri, baik dari budaya musik Gayo, Alas, Aceh Raya, Tamiang, Simeulue, Aneuk Jamee, dan lainnya. Tipe yang kedua adalah mengadopsi dan mengolah melodi yang bertipe Dunia Melayu (Nusantara), bisa jadi diolah dari tipe-tipe tangga nada dan struktur musik Melayu, musik di Sumatera, musik Nias, dan lain-lainnya. Tipe ketiga adalah musik Aceh yang berorientasi melodi yang diambil dari budaya musik Timur Tengah dan India, yang merupakan ekspresi sejarah akulturasi antara budaya Aceh dengan agama Islam. Orientasi ini muncul dengan mengadopsi sisi ruang (maqam) dan waktu (iqaat) dari musik tersebut, seperti dapat dilihat pada Notasi 2 makalah ini. 5. Ornamentasi melodi yang khas Aceh. Musik Aceh memiliki karakteristik ornamentasi melodi yang khas Aceh. Selalu menggunakan bahasa Aceh, frekuensi pemimpin vokal yang tinggi nada-nadanya. Selain itu hiasan-hiasan melodi yang berdasarkan kepada garapan-garapan estetik yang khas Aceh.

25


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

Notasi 2. Sistem Maqam (Tangga Nada) dan Ritme (Iqaat) dari Budaya Islam di Asia Barat (Timur Tengah)

26


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

6. Kaya dengan alat-alat musik etnik. Karaktersitik lainnya adalah bahwa budaya musik Aceh sangat kaya dengan sumber utama musik, yaitu alat-alat musik. Kekayaan dan keeksotikan alat-alat musik Aceh ini sesuai dengan keberadaan berbagai kelompok etnik natif Aceh, yang memang beragam tetapi menyatu dalam sebuah tata kelola pemerintahan dan sejarah yaitu Aceh. Alat-alat musik di Aceh ini juga dapat mengungkapkan identitas budaya, sejarah kebudayaan Aceh, dan juga konteks sosial musik di dalam peradaban masyarakat Aceh. Alat-alat musik Aceh ini juga ada yang memang tuimbul dan berkembang dari kebudayaan Aceh sendiri, namun adapula yang diambil dari kebudayaan Nusantara, Asia Tenggara, India, Timur Tengah, bahkan Eropa. Dengan demikian, melalui keberadaan alat-alat musik ini kita dapat menafsirkan bahwa orang-orang Aceh adalah sebagai masyarakat yang terbuka, mengolah kebudayaan dunia secara kratif, tetapi dipolarisasikan menurut ajaran Islam yang syumul (universal). Selanjutnya, karakteristik fungsional musik Aceh di antaranya adalah seperti berikut ini. 1. Digunakan dalam berbagai aktivitas adat-istiadat Aceh, seperti menyambut tetamu, perayaan hari-hari besar Islam, upacara walimatul ursy, sunat Rasul, bahkan festival, pertandingan atau perlombaan, juga lomba cipta lagu. 2. Sangat kuat mengekspresikan ajaran-ajaran Islam dan adat Aceh sehingga fungsional secara keagamaan dan adat. Bahwa dalam realitas sosial kebudayaan Aceh, aktivitas musik atau seni pertunjukan adalah bagian dari adat Aceh, yang berdasar kepada ajaran Islam. Hal ini tercermin dalam konsep etnosains orang Aceh: adat bak peutumeuruhom, hukom bak syiah kuala, adat ngon agama laghee zat ngon sifeut. Musik dalam kebudayaan Aceh adalah bahagian yang terintegrasi secara kuat dengan adat dan agama Islam. 3. Fungsi ritual. Musik Aceh salah satu fungsinya adalah ritual. Musik ritual ini digunakan dan berfungsi di dalam berbagai upacara-uoacara di dalam adat Aceh. Upacara-upacara di dalam kebudayaan Aceh selalu bertahan dan sekaligus berkembang selaras dengan perubahan zaman. 27


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

4. Fungsi hiburan. Hampiur semua pertunjukan musik (juga tari) di Aceh berfungsi hiburan. Artinya pertunjukan musik akan dapat memenuhi semua penontonnya yang memang membutuhkan hiburan, santai setelah lelah dengan pekerjaaan atau aktivitasaktivitas lainnya di dalam menjalani kehidupan. Hiburan ini dapat menetralisasi ketegangan fisik, emosi, maupun sosial. Jadi sedikit banyaknya, pertunjukan musik Aceh adalah berfungsi hiburan. 5. Fungsi pengungkapan emosional. Dalm hal ini musik Aceh dijadikan sebagai sarana mengekspresikan emosi para senimannya beradasrkan tema atau genre musik tersebut. Misalnya di dalam genre marhaban dan barzanji tampak dengan jelas ekspresi emosi keagamaan Islam. Di dalamnya terkandung riwayat Nabi Muhammad dan bagaimana Islam datang sebagai rahmatan lil alamin. Ada juga lagu-lagu Aceh yang mengekspresikan emosi kesedihan, haru, cinta tanah air, perjuangan, sanjungan, dan lainlainnya. 6. Fungsi kesinambungan kebudayaan Aceh. Musik Aceh yang fungsional di dalam masyarakatnya ini ada juga yang berfungsi sebagai pemacu kesinambungan kebudayaan Aceh. Dengan eksistensi musik ini di dalam berbagai saluran sosial kemasyarakatakan, maka pada saatnya musik tersebut turut melesatkan momentum kesinambungan kebudayaan Aceh pada umumnya. 7. Fungsi komunikasi. Salah satu fungsi musik Aceh lainnya adalah fungsi komunikasi. Pada prinsipnya pertunjukan musik (juga tarian) Aceh itu sendiri sebenarnya adalah proses komunikasi, baik komunikasi yang berbentuk verbal (lisan) maupun yang bukan verbal. Lagu-lagu di dalam budaya musik Aceh jelas mengkomunikasikan sesuatu ide kebudayaan kepada para pendengarnya. Dalam konteks ini seniman adalah sebagai komunikator, penonton bertindak sebagai komunikan, sementara lagu tersebut memiliki pesan-pesan kebudayaan. Dengan demikian komunikasi yang terjadi ini menyumbang kepada konsistensi internal kebudayaan Aceh secara umum. 8. Fungsi pengabsahan upacara. Berbagai musik di Aceh memiliki fungsi pengabsahan upacara. Misalnya di kawasan Tamiang Aceh Timur, tari Persembahan atau Makan Sireh fungsinya adalah mengabsahkan upacara pembukaan di berbagai peristiwa budaya, 28


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

9.

10.

11.

12.

13.

misalnya menyambut tamu, meresmikan gedung baru, pembukaan festival atau perlombaan dan lainnya. Demikian juga marhaban dan barzanji adalah mengabsahkan upacara seperti perkawinan adat Aceh, khitanan, menyambut bayi lahir dengan menyematkan nama dan akikah, dan lain-lainnya. Fungsi integrasi sosial. Kemudian salah satu fungsi pertunjukan musik Aceh lainnya adalah sebagai sarana integrasi sosial. Musik yang seperti ini biasanya memiliki nilai-nilai kebersamaan. Musik yang berfungsi sebagai integrasi sosial ini didukung oleh keragaman etnik yang ada di Aceh tetapi menyatu dalam satu peradaban Aceh. Fungsi simbolik. Musik di dalam kebudayaan Aceh juga ada yang berfungsi simbolik. Artinya di dalam musik ini berbagai unsurunsur perlambangan muncul di dalamnya. Bisa saja terekspresi dalam teksnya seperti bungong jeumpa, bongong seulanga, dabus, dan lain-lainnya. Bisa juga terekspresi dalam alat musik, melodi, ritme, dan lain-lainnya. Fungsi ekspresi historis. Bahwa di antara fungsi musik Aceh lainnya adalah sebagai ekspresi kesejarahan. Di dalam musik ini dijumpai atau tergambar peristiwa sejarah. Mislnya dalam Lagu Hasan Ngon Husein ciptaan Medya Hus yang dinyanyikan oleh Raffli, menyiratkan sebauh peristiwa sejarah kelabu dalam Islam, ketika cucunda Rasulullah Muhammad, yaitu Hasan dan Husein wafat dalam perang di Karbala. Fungsi perjuangan untuk kemerdekaan sebagai manusia. Kemudian fungsi lainnya di dalam musik Aceh ini adalah fungsi perjuangan, terutama untuk kemerdekaan sebagai makhluk manusia. Fungsi perjuangan ini terekspresi melalui lirik-lirik lagunya atau bisa pula melalui melodi dan rentak yang digunakan. Fungsi ekspresi kemahiran bermusik dan berkesenian. Salah satu fungsi musik Aceh lainnya adalah ekspresi kemahiran bermusik dan berkesenian. Menurut pengamatan dan pengalaman penulis, pertunjukan musik dan tari Aceh selalu menonjolkan kepada aspek kekuatan kelompok bukan individu. Kesenian yang seperti ini menghendaki latihan yang intensif dan menjaga integrasi tidak menonjolkan diri dan egois. Dalam hal ini seseorang itu mengekpresikan kemahirannya dalam bermusik dengan cara 29


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

14.

15.

16.

17.

menjaga harmoni sosial, baik di kalalan seniman (musik dan tari) dan juga mestilah tercermin di dalam kehidupan sosial. Fungsi ekspresi kearifan-kearifan lokal Aceh. Fungsi musik Aceh lainnya adalah sebagai ekspresi kearifan-kearifan lokal Aceh. Kearifan ini dipandu oleh nilai-nilai agama Islam yang datangnya darai Allah, yang kemudian diterapkan di dalam adat Aceh. Berbagai kearifan lokal Aceh yang tercermin di dalam musik di antaranya adalah: kebersamaan, rendah hati, teguh pada prinsip, menuju insan yang bertakwa, memiliki solidaritas sosial, manusia adalah makhluk seni yang mencintai keindahan sebagaimana Allah juga indah, berjuang untuk kemerdekaan diri atau kelompok berdasar nilai-nilai kebenaran, dan lain-lainnya. Fungsi pembelajaran budaya. Fungsi pertunjukan musik lainnya di dalam kebudayaan Aceh adalah pembelajaran kebudayaan. Pembelajaran ini secara langsung diturnkan dari satu generasi ke generasi Aceh berikutnya. Pembelajaran itu melalui kesenian, yang umumnya dilakukan berdasarkan tradisi lisan (oral tradition). Fungsi kritik sosial terhadap fenomena yang sedang terjadi. Kemudian fungsi pertunjukan musik Aceh lainnya adalah kritik sosial. Melalui pertunjukan musik ini, berbagai gejala sosial yang tidak baik dikritisi untuk menuju kepada yang lebih baik lagi. Karena disampaikan secara musikal dan penuh dengan nilai-nilai, maka yang dikritisi pun dapat menerimanya dan tentu saja akan melakukan perubahan sosial. Fungsi penghayatan nilai-nilai kepemimpinan. Fungsi ini melekat di dalam pertunjukan-pertunjukan musik. Di dalam berkesenian itu sendiri ada yang memimpin dan ada yang dipimpin. Dalam pertunjukan musikal Aceh pemimpin ini memiliki sebutan khusus seperti syeh dan anggota aneuk sahi. Yang dipimpin yaitu seniman lain harus tunduk dan tertib terhadap aturan dan pertunjukan. Semua ini dapat dilakukan di atas pentas. Nilai-nilai kepemimpinan itu selanjutnya dapat diteruskan ke dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Demikian sekilas uraian fungsional budaya musik Aceh.

Penutup Dengan melihat dan kemudian “membaca� kebudayaan musik Aceh seperti penulis uraikan di atas, maka dalam bagian penutup ini 30


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

penulis menyimpulkan karakteristik umum musik Aceh sebagai aset perkembangan musik Nusantara, dan kemudian memberikan beberapa saran secara keilmuan. Adapun karakteristik budaya musik Aceh adalah secara struktural terbentuk dari aspek inovasi dari dalam dan akultuarsi dari luar. Musik Aceh sangat kaya selaras dengan kekayaan budaya etnik yang ada di Aceh. Baik dimensi ruang maupun waktu di dalam arsitektonik musik Aceh merupakan hasil kreativitas para seniman Aceh. Struktur ini merupakan olehan dari idiomatik musik Aceh itu sendiri yang diakulturasikan dengan musik-musik Nusantara dan Dunia. Budaya musik Aceh ini sangat fungsional di dalam masyarakat. Oleh karena itu, budaya musik Aceh tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Fungsi-fungsi kebudayaan musik Aceh ini juga akan terus berkembang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sosiomusikal masyarakatnya. Ke depan dalam konteks mempertahankan dan mengembangkan musik Aceh adalah terus memungsikan kesenian ini di dalam masyarakat. Seterusnya di tataran perguruan tinggi erlu secara berkesinambungan melakukan penelitian, pendokumentasian, dan penciptaan keseniankesenian yang berpandu kepada ajaran-ajaran Allah. Semoga bumi nanggroe ini menjadi sinaran kepada semua wilayah di dunia, dan menjadi pusat dari negeri yang rahmatan lil alamain, negeri yang baldatun thoyibatun warobbun ghofur. Insya Allah.

31


Muhammad Takari, 2015.”Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.” Jantho,Aceh: ISBI.

Daftar Pustaka untuk Memperdalam Kajian Abd. Rahim Daudy , 1987. “Sejarah Tanah dan Suku Gayo,” Renggali. Jakarta. Abdul Hayat dkk. 1987. Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Barth, Fredrik, 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya: Tatanan Sosial dari Perbedaan Kebudayaan. (Penerjemah Nining E. Soesilo). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, UI-Press. Barth, Fredrik, 1964. “Ethnic Processes on the Pathan-Baluch Boundary, “ dalam G. Redard (ed.), Indo Iranica. Wiesbaden. Blacking, John, 1985. “Dance as Cultural System and Human Capability: An Anthropological Perspective.” in Dance: A Multicultural Perspective, Report of the Third Study of Dance Conference, ed. J. Adshead, 4-21, Guildford, University of Surrey. Dada Meuraxa, 1978. Sejarah Kebudayaan Sumatera. Medan: Hasmar. Dindin Achmad Nazmudin, 2013. “Rapai Geleng di Banda Aceh: Analisis Fungsi, Teks, dan Musik.” Dalam Muhammad Takari (ed.), 2013. Seni: Fungsi, Perubahan, dan Makna. Medan: Bartong Jaya. pp. 155-205. H.M. Zainuddin, 1965. Bungong Rampoe. Medan: Pustaka Iskandar Muda. Malm, William P., 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs; serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm, 1993. Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur Tengah, dan Asia, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari, Medan: Universitas Sumatera Utara Press. Merriam, Alan P., 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North Western University Press. M.J. Melalatoa, 1971. Kebudayaan Gajo. Djakarta: Koordinator Asisten Kabupaten Atjeh Tengah. Muhammad Husein, 1970. Adat Atjeh. Banda Atjeh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Atjeh. Mursalan Ardy. 1975. Peranan Adat-Agama Mewarnai Tari Tradisional Banda Aceh. Banda Aceh: (t.p.). 32


Muhammad Takari, 2015.”Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.” Jantho,Aceh: ISBI.

Naisbit, John, 1988. Global Paradox. London. Pelzer, Karl J., 1962. “Western Impact on East Sumatra and North Tapanuli.” Journal of Southeast Asian History. 2(2). Pelzer, Karl J., 1978. Planters and Peasant Colonial Policy and the Agrarian Struggle in East Sumatra 1863-1847. s’Gravenhage: Martinus Nijhoff. Juga terjemahannya dalam bahasa Indonesia, Karl J. Pelzer, 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria 1863-1947. Terjemahan J. Rumbo. Jakarta: Sinar Harapan. Radcliffe-Brown, A.R., 1952. Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press. Rahayu Supanggah (ed.), 1995. Etnomusikologi. Surakarta: Yayasan Bentang, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Ratna, 1990. Birokrasi Kerajaan Melayu Sumatera Timur di Abad XIX. Tesis S-2. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Sachs, Curt, 1963. World History of the Dance. California: University of California. Shay, Anthony V., 1963. The Function of Dance in Human Society. New York (Disertasi). T. Alibansyah Talsya, 1977. Aceh yang Kaya Budaya. Anda Aceh: Pustaka Meutia. Tati Narawati dan R.M. Soedarsono, 2005. Tari Sunda: Dulu, Kini, dan Esok. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional Universitas Pendidikan Indonesia. Teuku Djohan, 1972. Lagu-lagu Daeah Aceh. Banda Aceh: PGSLP.

33


Muhammad Takari, 2015.�Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.� Jantho,Aceh: ISBI.

Tentang Penulis Muhammad Takari, dosen Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, lahir pada tanggal 21 Desember 1965 di Labuhanbatu. Menamatkan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas di Labuhanbatu. Tahun 1990 menamatkan studi sarjana seninya di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya tahun 1998 menamatkan studi magister humaniora pada Program Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tahun 2009 menyelesaikan studi S-3 Pengajian Media (Komunikasi) di Universiti Malaya, Malaysia. Aktif sebagai dosen, peneliti, penulis di berbagai media dan jurnal dalam dan luar negeri. Juga sebagai seniman khususnya musik Sumatera Utara, dalam rangka kunjungan budaya dan seni ke luar negeri. Kini juga sebagai Ketua Prodi Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Kantor: Jalan Universitas No. 19 Medan, 20155, telefon/faksimili: (061)8215956. Rumah: Jalan Amal Luhur No. 4, Helvetia, Medan. E-mail: mtakari@yahoo.com.

34


Muhammad Takari, 2015.”Mengkaji Secara Saintifik Budaya Musik Aceh dari Sisi Struktural dan Fungsional.” Jantho,Aceh: ISBI.

35


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.