Metamorfosis final

Page 1


Redaksi

“Pengantar” “Metamorfosis” merupakan suatu proses, sebuah perubahan dari bentuk awal ke bentuk kehidupan selanjutnya. Contoh yang telah menjadi klise, kita selalu membayangkan sebuah pelajaran Ilmu Alam di suatu kelas dan mendengarkan guru Ilmu Alam menjelaskan seekor ulat berubah menjadi kupu-kupu, melalui proses semedi di dalam rumah mungilnya yang sunyi, yang biasa disebut kepompong. Lalu kita membayangkan seekor kupu-kupu cantik terbang dengan warna yang indah menembus angin. Lewat proses yang disebut Metamorfosis, barangkali kawan-kawan Kajian Rabu Sore menginginkan suatu perubahan, tentu ke arah kedewasaan. Meski buletin Metamorfosis terbit perdana pada tahun 2011 kemudian fakum untuk sekian lama, kini Metamorfosis kembali kepada khalayak penikmat sastra. Dengan setia pada format sederhananya, kawan-kawan Kajian Rabu Sore kembali mendokumentasikan proses mereka ke dalam buletin. Tentu yang menjadi harapan adalah kontinuitas, sehingga ada tempo yang tetap dan teratur. Pada akhirnya, tak lain harapan tim redaksi adalah dapat menyajikan suatu proses yang berkala untuk bulan berikutnya dan berikutnya. Dan selamat menikmati untuk edisi beta ini. Pimpinan Redaksi

1

m

Staf Redaksi

Penasehat Dwi S. Wibowo Pimpinan Redaksi Thoriq Aufar Sekretaris Arif Widodo Staf Redaksi Iwong, Wisda, Azwar, Arif Wibowo, Ely, Ali, Aan, Weda, Dkk Editor Armada N. Layouter Mawai, Rio Anggora Ilustrator Dwi S. Alamat Redaksi Depan C14 FBS UNY Buletin Metamorfosis menerima tulisan berupa puisi, cerpen dan esai, silahkan kirim ke: komunitasrabusore@yahoo. co.uk dan kunjungi blog keluargarabusore.wordpress.com atau facebook Keluarga Rabu Sore.

w


2

Tokoh Patrick Modiano: Peraih Nobel Sastra yang Tak Terdengar

“For a long time - and this particular time with greater force than usual - summer has been a season that gives me a sense of emptiness and absence, and takes me back to the past.” --Patrick Modiano (Nobelis Sastra 2014) MUHAMMAD FARID ANSHORI

PERTAMA KALI ketika seorang teman di facebook menulis status yang mencantumkan nama Patrick Modiano, kukira nama tersebut hanyalah sebuah nama dari seseorang yang membuatnya terharu, sehingga teman saya pun menyombongkan nama itu di salah satu status facebooknya. Memang sekilas nama itu seperti nama orang Jawa, “Modiano”, yang tetangga saya-pun menyandang nama itu dengan lafal “Mudiono1”, ya apa boleh dikata, ternyata Modiano adalah seorang penulis berkebangsaan Prancis yang mendapat penghargaan nobel sastra di tahun ini. Secara pribadi saya tampak asing dengan nama itu dalam khazanah sastra dunia, bah1 Tetangga yang berprofesi sebagai petani

kan saya belum pernah mengenal karyanya. Sehingga saya pun membutuhkan perjuangan yang sangat keras untuk membuat tulisan ini. Patrick Modiano, lahir pada tanggal 30 Juli 1945 di Prancis. Ayahnya adalah seorang pembisnis, dan ibunya seorang artis yang bernama Louisa Colpeyn2. Setelah lulus dari SMA, ia melanjutkan kuliahnya di Lycée Henri-IV3, Paris. Sambil kuliah, ia mengambil les privat geometri dari Raymond Queneau4, dan kemudian novelis ini menjadi sosok penting atas proses kembang kreatif sang penulis. 2 Lahir pada tanggal 24 Februari 1918 di Belgia. Membintangi film salah satunya Madame êtes-vous libre? 3 Paul-Michel Foucault pernah mendaftar di kampus ini pada tahun 1936. 4 Pengarang, penyair.


Tokoh Pada tahun 1968, Modiano melakukan debut pertamanya sebagai seorang penulis dengan menerbitkan La Place de l’ Etoile, sebuah novel yang menceritakan tentang masa ketika pendudukan Jerman. Meski ini adalah novel pertamanya, namun cukup menyita banyak perhatian. Karya Modiano biasanya bertema ten-

tang kenangan, identitas dan konflik batin seperti rasa bersalah yang dialami oleh para tokohnya. Selain itu, lanskap kota Paris kerap digambarkan sebagai latar utama dalam karyanya, bahkan bisa dibilang kota Paris menjadi bagian penting dalam proses kreatifnya dalam berkarya. Tema yang diangkat Modiano ini banyak mengangkat cerita yang berdasarkan pada sebuah otobiografi seseorang, atau sebuah peristiwa yang terjadi selama pendudukan Jerman di Paris. Bagi kebanyakan orang, karyanya tidak menyerupai novel pada umumnya, tapi kebanyakan karya-karyanya mengungkapkan sebuah kisah tentang penyelidikan nyata atas orang-orang pada masa lalu dan nasib yang menimpa mereka. Seperti penyelidikannya pada seorang wanita bernama Dora Bruder (1997). Mudiano melakukan investigasi kecil untuk mencari tahu tentang gadis ini yang menghilang ketika pendudukan Jerman. Bahkan Mudiano mencari informasi kepada ayah dari Dora Bruder sendiri, yang tinggal dan bersembunyi pada waktu yang sama. Mereka saling berhubungan sampai Dora Bruder bertemu kemalangannya ketika di Auschwitz5. Tema-tema seperti inilah yang—bisa dikatakan—menjadi ciri khas atas karya-karya Modiano. Beberapa karya Modiano telah diterbitkan dalam bahasa Inggris, antara lain Les Boulevards de Ceinture;1972 (Ring Roads, 1974), 5 Camp Nazi

3

Villa Triste;1975 (Villa Triste, 1977), Quartier Perdu;1984 (A Trace of Malice, 1988) dan Voyage de Noces;1990 (Honeymoon, 1992). Dan karya terakhirnya berjudul Pour que tu ne te perdes pas dans le quartier; 2014. Selain diterjemahkan dalam bahasa Inggris, banyak karyanya yang diterjemahkan juga dalam bahasa Spanyol, Swedia, dan Jerman. Modiano tidak hanya menulis novel, ia juga menulis cerita anak-anak dan skenario film. Bersama dengan sutradara film Louis Malle6 ia membuat film Lacombe Lucien7 (1974).

6 Keturunan bangsawan Prancis . Menciptakan film-film yang mengeksplorasi kehidupan dan maknanya. 7 Mendapat rating 7,7 di IMDB.com

Muhammad Anshori, cerpenis sufistik. Tengah menyelesaikan studi di Sastra Indonesia UNY, beberapa karyanya termaktub di antologi cerpen bersama dan tengah menyelesaikan risetnya tentang wayang populer. Salah satu karyanya Menyeberang Jendela (Juara 1 UGM, 2013).


4

Musik Menjelajahi Lautan Cinta Lewat Souvenir Pernikahan

SELAIN SAJIAN aneka makanan yang lengkap, hal yang paling dinantikan ketika hadir ke pesta pernikahan adalah mendapatkan souvenir dari kedua mempelai. Namun, kebanyakan souvenir yang dijadikan sebagai bingkisan dari mempelai saat ini terkesan monoton. Lihat saja di pesta-pesta pernikahan, kebanyakan memberikan mug cantik, gantungan kunci, kipas, atau pembuka tutup botol. Nah, melihat situasi demikian tentu berbeda dengan Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca) dan Irma Hidayana ketika dalam pesta pernikahannya pada 5 Oktober 2008 silam mereka membagi-bagikan sebuah CD album duo-nya, Indie Art Weeding , Hidup Itu Pendek Seni Itu Panjang. Meski hanya berisikan empat buah lagu, Dua Langkah Kecil, Cinta Itu Sengit, Untuk Anakku dan Anak dari Anak-Anakku, dan Hidup Itu Pendek Seni Itu Panjang, mampu menciptakan kesan bagi para hadirin yang mendapatkan album tersebut secara gratis di pesta pernikahannya. Teknik vokal vintage Irma dan komposisi musik yang diciptakan Cholil begitu pas di telinga para pendengar. Barangkali, lagu-lagu yang diciptakan oleh sepasang kekasih ini mengajak pendengarnya untuk menyelami, sekaligus menghayati perjalanan cinta yang sungguh polos tapi terasa berwarna. Begitupula liriknya yang meskipun sederhana namun tampak begitu manis. Diawali dengan lagu pertamanya Dua Langkah Kecil, di mana lirik-liriknya yang sederhana dan nada-nadanya mengantarkan keteduhan dan membuat hati riang. Lagu berikutnya, Cinta Itu Sengit, melalui idenya yang cerdas dan humoris ini Cholil mampu menafsirkan kembali cinta dan ego ditambah dengan suara petikan gitar yang mengajak para pendengarnya memahami arti cinta. Selain itu, lewat salah satu lagunya Untuk Anakku dan Anak dari Anak-Anakku, Cholil dan Irma merancang lirik dan komposisi musik tersebut layaknya lagu-lagu pengantar tidur seperti Nina Bobo. Lirik-liriknya menggambarkan dongeng yang penuh dengan imajinasi sekaligus harapan-

harapan manis yang terpancar lewat katakata dan komposisinya. Nada-nadanya yang dimainkan begitu hangat seakan-akan mengantarkan kita ke alam mimpi. Album ini kemudian ditutup dengan sebuah lagu berjudul Hidup Itu Pendek Seni Itu Panjang, yang diilhami dari pepatah Latin Ars Longa Vita Brevis. Di mana cara hidup dimaknai dengan melakukan kesenian. Diwarnai dengan gitar dan siulan Cholil yang merdu serta komposisi musiknya yang terkesan ramai membuat para pendengarnya betah untuk memutar lagu ini secara berulang-ulang. Indie Art Wedding, sebuah souvenir di tengah hari kebahagiaan Cholil-Irma. Di mana sebuah rekam jejak percintaannya diabadikan lewat album ini. Mendengarkan lagu-lagunnya seolah membawa kita pergi ke suatu tempat yang nyaman dan tenang. Disanalah kita diajak untuk melihat perjalanan cinta dan gerak cinta yang beriringan. Seperti dalam salah satu lirik lagunya, Berjalan, terus berjalan, hingga sampai ke bulan Bergerak, terus bergerak, ikut awan berarak‌ Album ini mengajak para pendengarnya untuk mengimajinasikan benda-benda langit yang kerap diambil citranya untuk menggambarkan kebahagiaan sepasang manusia dan memahami kembali nuansa kebahagiaan lewat lirik-lirik puitik dan komposisi yang estetik. Selamat mendengarkan dan selamat menjelajahi lautan dongeng dalam album ini. [] Armada Nurliansyah, mahasiswa yang bingung merancang skripsi. Terkenal sebagai mahasiswa yang banyak menyebet prestasi baik dalam skala lokal dan nasional. Sehari-hari bekerja menjadi wartawan. Saat ini tengah tekun menulis artikel kebudayaan dan pendidikan.


Puisi

5 MUHAMMAD ARIF WIBOWO

Lelaki Tua Yang Hidup Seorang Diri /I/ lelaki tua yang hidup seorang diri dengan rambut yang keperakan itu sedang menatap kopinya

padahal sudah bertahum-tahun ia berjanji: “saya tak akan lagi minum kopi�

tapi ia memang belum menyeruputnya sebab setiap ia ingin melakukannya terpantul wajah sang istri dari dalamnya

/II/ maka ketika sepi itu datang ia kembali berjalan ke sebuah kedai kopi dengan matanya yang miopi

lalu setelah memesan dan duduk di paling tepi ia akan mulai menyeruputnya tapi selalu tak 2014

Di Ujung Dermaga bila lampu di ujung dermaga ini redup kutahu malam habis dan ini belum cukup dan gigil yang tertancap —kau tahu?—adalah sebuah cap yang setiap hari kujejakkan di antara balok-balok kayu tapi apa arti sebuah tanda bila perahu-perahu yang labuh di dermaga tak pernah sekalipun mengantar kepingan tubuhmu yang terulur untukku?

dan kelak, bila kautemukan tapak serta retak pada kayu biarkanlah mereka selalu di sana sebagai tanda penghabisan waktu sebab di subuh kesekian ini ada yang ingin sekali kupagut di antara kabut dan laut 2014

Muhammad Arif Wibowo, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Produktif berkarya utamanya cerpen. Pernah meraih Anugerah Pekan Seni Mahasiswa UNY tingkat nasional kategori menulis cerpen. Suka diajak berdiskusi.


6

Puisi

ANTO KELANAJATI

Tanpa Judul

Iktikad Semut Pada kriyuk yang pertama semesta pun terbata dari sudutan kecil kawanan semut gegas terpanggil pada tikarmu yang lurik semut kecil dekati kripik

dan, “habis!� katamu sinis remah kecil pun jatuh dan percakapan semut berakhir bisu Yogyakarta, Desember 2013

Menjelang kepergian kita cat tembok memucat, lumut menebal, dan jemuran jatuh tanpa disentuh. Semua mendadak asing dan acak, dan kita saling bersitatap mengenang coretan-coretan kecil pada tembok kusam itu: tentang pertengkaran kita, tentang kran yang mampat, gelas yang pecah, plastik yang terserak, dan listrik rumah yang padam tiba-tiba.

Ah, biarlah tetap seperti itu. Mari duduk dan bercakap barang sebentar. Kita tangkap senja, lalu menyeduhnya dalam gelas perbincangan sebelum percakapan baru kembali dimulai pada waktu yang entah. Pringwulung, 2014

Anto Kelanajati, alumni sekolah Teknik dan kini kuliah di Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY. Selain bekerja sebagai aktor teater, ia pandai menulis kritik sastra. Tulisannya sering diikutkan di pelbagai lomba tingkat nasional.


Cerpen

7

BiBiR BiBiR BiBiR ZUHDI ALI

BIBIR BIBIR bibir. Ya, kali ini kita akan mendengarkan cerita tentang bibir bibir bibir. Kenapa kita perlu menyebutnya bibir bibir bibir, tidakkah cukup menyebutnya sekali saja? Sebenarnya kita bisa juga menyebutnya sekali, karena dalam keseluruhan cerita yang akan kita dengarkan ini, memang tak ada makna tentang penyebutan bibir yang sebanyak tiga kali itu. Lalu kenapa harus tiga kali? Sebenarnya ini hanya untuk menciptakan perbedaan. Kita tahu mungkin telah berlimpah juru cerita yang mengisahkan tentang bibir. Ya, sekedar itu. Hanya untuk tidak menyamakan sebatas penulisan—terutama judul. Namun walau kita sudah menuliskannya tiga kali, masih sangat mungkin ini pun telah dituliskan dengan sama oleh entah siapa. Sangat beralasan memang. Bibir adalah komoditas yang sangat menarik bukan? Bukankah bibir adalah candu untuk siapa pun yang pernah mencobanya—dalam hal mengisahkan atau apapun? Siapa akan menyangkal? Lalu, kisah seperti apakah tentang bibir yang akan kita dapatkan di sini? Begini: Kita akan mendengarkan bersama-sama sebuah kisah tentang seorang wanita yang tak mempunyai bibir. Apakah Anda cukup untuk merasa heran dengan pernyataan awal ini? Atau Anda berpikir betapa wanita ini tidak menarik dan kehilangan hal yang membuat laki-laki tercandu? Bukankah bibir adalah candu? Atau lagi Anda justru merasa iba karena berpikir wanita ini adalah cacat? Tunggu dulu. Kita lihat dulu cerita selanjutnya. Kita sebut saja tokoh yang tidak mempunyai bibir ini dengan sebutan wanita. Atau Si wanita? Baiklah, sepakat, tak ada masalah kita kira karena dalam kisah ini hanya ada satu tokoh wanita yang terlibat. Jadi, kita tak perlu membedakan dengan nama atau sebutan lain-

nya. Kita menyebutnya dengan Si wanita. Sekarang kita bicara tokoh lain. Hanya ada tiga tokoh dalam kisah tentang bibir bibir bibir ini. Karena sudah disebutkan sebelumnya bahwa hanya ada satu wanita yaitu Si wanita, sudah pasti dua tokoh sisa adalah laki-laki. Sekarang kita buat kesepakatan lagi, mau dengan sebutan apa kita membedakan dua tokoh ini? Apakah nama? Warna? Atau apa? Nama? Ah tapi kita akan lama hanya untuk mencari yang tepat untuk dua tokoh ini. Bukankah yang wanita juga tak bernama? Supaya adil dan mudah, bagaimana kalau kita sebut saja mereka lelaki A dan lelaki B. Sepakat? Anggaplah sepakat. Apakah dari tokoh yang sudah ada Anda telah bisa menebak jalan cerita selanjutnya? Anda menebak ini adalah kisah dua lelaki yang berebut akan seorang wanita? Anda pasti berpikir ulang akan tebakan Anda tersebut. Bukankah wanita di sini; Si wanita, tidak mempunyai bibir, jadi tak mungkin diperebutkan oleh dua lelaki. Atau apakah Anda menebak tentang kemungkinan-kemungkinan yang lain dan yang lain lagi? Mungkin juga Anda adakah cukup bijak dan sabar dengan membiarkan cerita ini berjalan terlebih dahulu. Ya, kita sepakat lagi membiarkan cerita ini berjalan. Seseorang yang tidak berbibir itu; Si wanita, sebenarnaya adalah istri dari lelaki A. Sekarang kita cari tahu deskripsi tentang lelaki A. Dia adalah seorang pria tampan yang juga


8

gagah. Kenapa dia mau menjadi suami dari wanita yang tak berbibir? Pasti itu yang Anda pikirkan, bukan? Sebenarnya tokoh yang ada di dalam cerita ini adalah rupawan dan menarik semua. Walau Si wanita tidaklah berbibir, dia adalah sangat cantik. Terbukti dia menjadi rebutan. Dan yang pasti, lelaki A menikahi Si wanita sebelum dia kehilangan bibirnya. Jadi, pertanyaan Anda tentang kenapa dia mau, selesai sampai di sini. Suatu ketika, dalam cerita ini, lelaki A melabrak lelaki B. mereka yang sama gagah dan tampan, hampir saja, sangat dekat jaraknya dengan perkelahian. Lelaki A menuding-nuding, mendekat, dan akhirnya sampai mengangkat kerah baju lelaki B. “Kau bukan yang telah mencuri bibir istriku? Kau sembunyikan di mana bibir istriku itu?” Hampir saja sebuah pukulan mengena di muka lelaki B. Tapi dengan cekatan dan tak kalah cepat dengan datangnya kepalan tangan lelaki A, dia berhasil menahannya dan menghidarkannya ke sembarang arah. “Atas dasar bukti apa kau menuduhku, hei? Jangan sok jagoan dan asal main pukul kau orang. Kau harus punya bukti sebelum kau menuntut. Dan aku memang tak tahu menahu akan bibir seorang yang kau akui sebagai istrimu itu.” “Kau tak usah berpura-pura. Tak usah banyak bicara kau itu. Bukankah kau yang selama ini main mata dengan istriku. Tak cukup kau

Cerpen menjadi bahan peperangan keluarga kami hingga kau harus mencuri bibirnya?” Ya, bibir adalah candu dari seorang wanita. Bibir adalah keindahan yang tak bisa diingkari. Bayangkan seorang secantik apapun namun tak berbibir. Itu yang kini sedang dituntut lelaki A. Dia menuntut kembalinya bibir indah sang istri. Dia telah mencari ke manamana akan hilangnya bibir itu. “Posisi kita sama sebagai orang yang mencintai dia. Dan kau tak perlu marah, apalagi menuduhku sebagai si pencuri bibir itu. Tak perlu kau, jika dia kehilangan bibir, aku jugalah yang akan merasa kehilangan. Dan aku akan mencari bibir itu pula.” “Kau tak perlu banyak bicara setan. Aku tahu, karena aku tak pernah rela berbagi bibir itu denganmu, lantas kau mencurinya untuk kesenanganmu sendiri. Memang setan kau!” “Kau pikir aku rela berbagi denganmu. Atau jangan-jangan kau sendiri yang telah menyembunyikannya agar aku tak mencintai wanitaku itu lagi. Busuk sekali otakmu.” Semakin seru saja perkelahian yang hampir bukan hanya sebagai caci memaki itu. Kedua tangan mereka berdua sama-sama telah mengepal dan siap mengayun ke lawan masing-masing sebelum Si wanita datang melerai. Suara meratap wanita itu semakin pilu saja dengan mulutnya yang tanpa bibir. Atau bisa jadi dia juga tidak meratap, hanya berteriak, tapi sebab tak adanya bibir itu, suaranya terdengar seperti ratapan yang memilukan. Ratapan yang meluluhlantakkan emosi dua lelaki yang mencintainya, yang hampir saling pukul, yang sama-sama mencintai dan mencari bibirnya. Sekeras apapun usaha Si wanita untuk melerai dan menjelaskan kepada dua lelaki itu, semua tak mereka pahami selain hanya sebagai ratapan seorang yang tak punya bibir. Itu membuat dua lelaki itu tak sampai hati dan emosi mereka meninggi kembali. Mereka benar-benar tak tega membiarkan wanitanya tanpa bibir. Dalam saat hampir bersamaan, keduanya hampir memeluk Si wanita. Lelaki A tak terima dengan itu, dia mendorong tubuh lelaki B menjauh. Begitu pula lelaki B, merasa itu adalah wanitanya, ia hendak membalas lelaki A. Tak jadi. Pertengkaran yang sudah di depan mata kita itu tidak jadi. Si wanita dengan segera memisahkan mereka lagi. Ia berdiri di antara dua orang itu. Dia memberikan surat


Cerpen yang memang sudah dia persiapkan masingmasing kepada dua orang lelaki itu. Dia sadar tak bisa menjelaskan langsung dari mulutnya. Begini bunyi suratnya. Kepada lelaki A dulu. Kepada suamiku yang pasti aku cintai Sekarang aku hendak menjelaskan padamu sejelas-jelasnya. Kau tak perlu mencari bibirku itu, karena bibir itu sebenarnya tak pernah hilang. Tak pernah ada pencuri yang memotongnya dari mulutku. Aku sendirilah yang telah memotong bibir itu menggunakan pisau dapur yang biasanya aku gunakan untuk memasak untukmu. Untuk kita. Jika kau cermat, bukankah kau tak melihat pisau itu lagi dari setelah bibirku hilang. Oh, bukan hilang tepatnya. Aku masih menyimpannya dengan sangat baik. Aku sengaja memotong bibir itu karena, kau sendiri sudah tahu bahwa aku mencintai dua orang lelaki dengan sama rata dan besar, aku ingin membagi bibir itu kepada kalian. Dan kebetulan memang, ketika aku memotong bibir itu, secara pasti dia telah menjadi dua. Dan kau akan mendapatkan yang satunya bersama surat ini. Maafkan aku suamiku. Yah... Anda jangan menagis dulu karena cerita belum usai. Begitulah isi surat Si wanita itu kepada lelaki A. Apa kita perlu memberi komentar akan itu? Apa kita perlu membicarakannya dulu? Tidak perlu sepertinya. Kita langsung melihat saja surat kedua; kepada lelaki B. Kepada kau yang pasti kucinta Apakah kau merasa bersalah karena mencintai istri orang? Seharusnya kau tak perlu merasa terlalu bersalah akan itu. Di sini, akulah yang paling berhak untuk disalahkan. Aku mencintaimu namun juga masih mencintai suamiku. Aku tak bisa meninggalkan dia untukmu. Begitu pun sama tidak bisanya aku meninggalkan kamu untuk hanya bersamanya. Aku mencintai dua-duanya. Dan bersama surat ini, kau akan menemukan sepotong bibirku yang memang kuberikan untukmu. Aku membaginya untuk kalian. Dan seperti itulah yang kepada lelaki B. Untuk lebih adilnya, kita harus tak memberi komentar juga kepada yang ini. Kita lihat saja ceritanya berikutnya: Setelah sama-sama selesai membaca surat untuk mereka masing-masing, dengan hampir bersamaan lagi mereka menatap mata Si wanita. Mereka tak tahu harus bagaimana mengartikan sorot mata yang menyimpan seribu pertanyaan itu. Sama halnya akan kita

9 yang tak bisa mengartikan tatapan mata kedua lelaki itu. Entah apa yang mereka pikirkan setelah itu. Hampir bebarengan pula, mereka memberikan surat dan bibir itu kepada Si wanita itu lagi. Kemudian mereka perlahan mundur menjauhi Si wanita. Semakin mundur. Semakin mundur. Berbalik badan. Terus berjalan semakin jauh. Semakin jauh. Hingga meninggalkan Si wanita itu seorang diri di sana. Kita tak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh dua lelaki itu. Mungkin kita bisa menebak seperti ini, mereka sama tak relanya cinta mereka diduakan oleh Si wanita. Sangat mungkin memang begitu. Namun selanjutnya yang kita tahu, begini yang mereka ceritakan. Hampir sama memang. Mereka, dua orang lelaki yang mencintai wanita yang sama ini, tak ingin peristiwa bibir ini akan melahirkan peritiwa lainnya pada Si Wanita. Mereka tak ingin wanita yang mereka cintai ini memotong satu demi satu bagian tubuhnya untuk diberikan kepada mereka, walau itu sama rata. Mereka tak ingin menerima sepotong tangan, kaki, telinga, mata, sepotong payudara, jantung, hingga satu sisi kelamin wanita itu. Mereka tak ingin wanita itu melakukan hai itu. Begini mereka bilang; cukuplah hanya bibir dan hatinya yang telah terlanjur terbagi dua. DIJ, September 2014

Zuhdi Ali, cerpenis muda berbakat. Kelahiran Pati, Jawa Tengah. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY. Tinggal di Forum Kecil Gowok Blok E 1 Yogyakarta.


10

Ulasan Cerpen Juru Cerita dan Bibir yang Hilang

SETIAP CERITA memiliki kandungan pesannya masing-masing. Apalagi cerita pendek, satu jenis prosa yang satu ini lebih padat ketimbang novel. Jadi, pendapat umum yang mengatakan bahwa cerita pendek dapat dibaca dalam sekali duduk adalah sangat mungkin. Sebab ia ringkas dan terfokus kepada satu tema pokok. Cerpen karya Zuhdi Ali yang berjudul “Bibir Bibir Bibir” adalah upaya untuk mengarah ke sana. Ada hal-hal yang tidak lazim disodorkan pengarang kepada pembaca dalam karyanya ini. Cerita bergulir dalam uraian narator tentang seorang perempuan (pengarang menyebutnya si wanita) yang kehilangan bibir. Si Wanita ini memiliki dua kekasih yang sama-sama dicintainya, Lelaki A dan Lelaki B. Konflik dimulai ketika si Lelaki A yang menjadi suami si Wanita, menuduh Lelaki B sebagai pencuri bibir sang istri. Sehingga terjadi perkelahian di antara mereka. Sampai pada suatu momen ketika si wanita, entah menjerit atau mengerang, entah takut akan kehilangan salah seorang di antara keduanya, atau ingin menyampaikan sesuatu, pintu penafsiran diserahkan begitu saja pada pembaca. Cerita berakhir ketika si perempuan menulis surat pada kedua orang terkasihnya. Cerita memiliki alur, latar dan karakternya masing-masing. Kombinasi dari ketiganya bisa juga disebut sebagai fakta cerita. Mari kita lihat bagaimana cerpen “Bibir Bibir Bibir” ini lewat struktur fakta ceritanya. Meskipun pengarang menyodorkan bentuk cerita berbingkai atau cerita dalam cerita, lewat narator. Tapi kejelasan sebab-akibat dan detail-detail yang membentuk pola cerita sangatlah perlu diuraikan sedemikian rupa sehingga pembaca paham kondisi tokoh maupun jalinan peristiwa yang disodorkan pengarang. Sang narator yang disebut sebagai juru cerita ini tidaklah jelas selain sebutan sebagai juru cerita itu sendiri. Identitas dan ciri khas tokoh sangat penting untuk menuntun pembaca ke dalam cerita. Namun dalam cerpen ini, juru cerita itu serta merta ada begitu saja tanpa ada deskripsi perihal siapa juru cerita ini, lelaki atau perempuan, atau shemale-kah ia? Bagaimana mimik muka dan perawakannya? Di mana dan kepada apa, kepada siapakah ia bicara dan bertanya? Di hutankah atau di kuburan, kepada rimbunan pohon atau kepada iring-iringan semut? Kita sebagai pembaca, curiga sekaligus membayangkan bahwa narator si juru

cerita itu buta dan cerewet, sehingga saking cerewetnya, jika ia bertemu dengan makhluk hidup atau benda mati, ia akan bercerita dan sekaligus bertanya tentang apa, siapa, dan bagaimana, fisik perempuan yang kehilangan bibir. Sampai-sampai kita pun dibawanya ke dalam penglihatan yang gelap. Karakter tokoh juga tampak seragam. Kita lihat bagaimana lelaki A dan lelaki B, sama-sama tampan. Si wanita pun cantik (meski tanpa bibir). Masihkah wanita tanpa bibir itu terlihat cantik atau menyeramkan? Tidak hanya bentuk fisik, tapi juga dalam segi temperamen lelaki A dan lelaki B mudah marah. Sehingga terjadilah perkelahian. Alur, merupakan rentetan peristiwa dalam cerita, dan peristiwa meliputi pengalaman. Dan pengalaman terbagi menjadi dua, pengalaman internal dan eksternal. Jika kehidupan batin maupun pemikiran individu dihadapkan pada dunia eksternal yang bertentangan dengan dirinya, maka terjadilah peristiwa. Namun, pengarang ini memakai sarana simbolisme dalam cerita dengan menggunakan bibir sebagai komoditas yang hilang dari wajah perempuan cantik. Dua lelaki meributkan bibir, karena bibir adalah simbol dari kecupan cinta maupun hasrat. Ada yang dibenturkan dari realita dan dunia rekaan pengarang. Di alam nyata tidak ada perempuan tanpa bibir, sementara dalam fiksi apa pun bisa terjadi. Cerita tentang perempuan tanpa bibir tidak lagi sebagai tiruan dari alam nyata, tapi berdiri sendiri sebagai ciptaan pengarang, walau tidak utuh. Meski demikian, tampak usaha pengarang untuk mengarah ke sana, hal ini tercermin dalam cerpen “Bibir Bibir Bibir”. Dalam konteks cerita, hal yang realistis bukan berarti harus masuk akal. Banyak cerita-cerita yang tidak masuk akal, kadang absurd dan tampak magis tapi tidak mengabaikan detail-detail kecil sehingga menimbulkan rangkaian yang jelas dan teratur, yang membentuk rentetan hubungan sebab-akibat, sehingga membuat cerita jadi utuh. Tapi secara keseluruhan, cerpen ini belum benarbenar selesai sebagai cerpen.[]

Irwan Apriansyah S, cerpenis dan penerjemah. Banyak melakukan percobaan-percobaan kecil sejak duduk di semester pertama di prodi Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY. Cerpennya terkumpul dalam Misteri Jodoh (LKiS, 2014), Elegi Shinta, (UNY, 2014).


Teater

11 Immersive Theater, Memahami Gagasan ‘Jalan Emas’

ARIF WAHYU WIDODO

BERTEMPAT DI SaRang Building, Kasihan, Bantul, Teater Garasi mementaskan sebuah pertunjukan bertajuk “Jalan Emas (The Game) pada Minggu (28/9) lalu. Pertunjukan ini sukses menyita perhatian para penikmat seni pertunjukan di Yogyakarta karena tawaran yang bisa dibilang cukup menarik di dunia teater Indonesia. Jalan Emas, ebuah pertunjukan kontemporer berbasis musik yang merupakan sebuah inisiasi dari Yennu Ariendra dan Asa Rahmana dari kelompok musik Belkastrelka ini merupakan sebuah pertunjukan multidisipliner yang mencakup pertunjukan musik, soundscape, site specific, teater tari, performance art dan visual art. Ide pertunjukan ini berangkat dari kegelisahan atas maraknya bisnis yang mengomersilkan harapan beserta fenomena-fenomena yang tak rasional yang turut menyertainya.Dalam hal ini, harapan yang dimaksud adalah sebuah kesuksesan finansial, kemapanan dan sejenisnya. Harapan-harapan tersebut dikomersilkan

melalui para motivator dengan segala jenis dagangannya (buku, seminar, sekolah, dsb), multi level marketing, bisnis investasi yang menjanjikan kekayaan cepat, hingga praktek pesugihan yang masih berlaku di masyarakat. Segala batasan-batasan yang hidup di tengah masyarakat (agama, norma, etika, dsb) turut ditempeli demi mudahnya upaya pengomersilan harapan, agar cara-cara di atas dapat dengan mudah diterima. Namun kenyataannya, segala kemapanan tersebut tidak selalu berakhir indah dan tak jarang menuai perkara baru seperti investasi bodong, penipuan MLM, penggelapan, dan sebagainya. Participatory HAL yang selalu menjadi sebuah tantangan bagi para seniman pertunjukan adalah, apakah penonton mengerti dan menangkap pesan yang disampaikan melalui sebuah pertunjukan? Dalam sebuah pertunjukan sudah pasti terdapat suatu maksud atau alasan yang mendasari kenapa pertunjukan terse-


12 but dilakukan. Tak mungkin jikalau seorang menampilkan sesuatu kepada para khalayak umum tanpa sebuah tawaran yang lahir dengan kekosongan gagasan. Untuk itu sebuah pertunjukan pasti memiliki sebuah konten yang akan disajikan kepada para penonton. Konten inilah yang memuat pesan dari pembuat pertunjukan untuk para penonton, yang selanjutnya dikemas dalam sebuah pertunjukan yang apik. Kemasan pertunjukan itu kemudian menjadi sarana komunikasi antara pembuat pertunjukan dan penonton dalam melakukan upaya serah-terima konten.

Dalam sebuah pertunjukan sudah pasti terdapat suatu maksud atau alasan yang mendasari kenapa pertunjukan tersebut dilakukan. Tak mungkin jikalau seorang menampilkan sesuatu kepada para khalayak umum tanpa sebuah tawaran yang lahir dengan kekosongan gagasan.

Akan tetapi, apakah setiap penonton dijamin akan mampu menangkap setiap konten atau gagasan yang dipertunjukkan? Penerimaan penonton terhadap suatu pertunjukan bukanlah sebuah keseragaman yang harus terjadi, melainkan biarkan menjadi sebuah interpretasi yang bersifat subyektif. Namun sebisa mungkin, pembuat pertunjukan harus bisa mengemas konten tersebut dengan cara yang paling tepat sehingga mudah diterima oleh para penonton, dan syukur-syukur dapat mengarahkan para penonton kepada pesan yang sebenarnya akan disampaikan oleh pembuat pertunjukan. Dalam kasus pertunjukan teater ‘Jalan Emas’ yang dipentaskan oleh Teater Garasi, ide cerita tersebut dikemas ke dalam sebuah pertunjukan dengan menggunakan pendekatan Immersive Theater atau Participatory. Pendekatan Immersive Theater membutuhkan adanya partisipasi penonton secara langsung. Dalam pertunjukan ini, pendekatan tersebut digunakan dengan melibatkan para penonton ke dalam sebuah game atau tata cara tertentu, yang membuat mereka berada di dalam

Teater sebuah pengalaman mencapai kesuksesan finansial (secara fiktif). Tujuan ini dimaksudkan untuk dapat lebih mudah menyampaikan ide-ide dari proyek ini, yang mungkin akan sangat terbatas untuk dapat disampaikan dalam format panggung konvensional. Bagaimanapun juga, penonton adalah target dari sebuah pesan pertunjukan. Perkara penonton akan mengamini atau menolak gagasan yang ditawarkan dalam sebuah pertunjukan, adalah urusan lain. Namun yang lebih utama di sini adalah sinkronnya komunikasi antara pembuat pertunjukan dan para penonton dalam upaya memberi dan menerima sebuah informasi yang bernama gagasan. Patut kita tunggu, kejutan-kejutan seperti apalagi yang akan diberikan oleh Teater Garasi dalam mengemas sebuah pertunjukan. Mengingat mereka juga pernah mengemas pertunjukan layaknya sebuah video dokumenter seperti dalam proyek Jangkar Babu Sangkar Madu (2013). Yang jelas, hal ini merupakan sebuah warna baru dalam dunia seni pertunjukan di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.[*]

Arif Wahyu Widodo, semester 5 jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY. Sekarang sedang mengelola Perpustakaan Mata Baca. Menulis puisi, cerita pendek, esai dan naskah lakon. Seringkali menyebet beberapa penghargaan lomba seni.


13

Film Menelisik Dunia Mr. Kane

SELAIN BERTAHUN-tahun, Citizen Kane banyak menerima pujian dari kritikus dunia sebagai film terbaik di Amerika pada era film hitam putih. Pun ada yang mengatakan sebagai film terbaik sepanjang masa. Namun, membicarakan kebesaran film tanpa melihat siapa yang ada di belakang proses produksinya, barangkali akan terasa kurang adil. Melalui Orson Walles, yang berperan sebagai produser, sutradara sekaligus aktor, Citizen Kane mendapatkan nyawanya. Bekerja sama dengan Herman J. Maikewicz dalam penulisan naskah, ia mendapatkan bantuan dana sebesar $800.000 dari RKO Radio Pictures. Dan hasilnya, sebuah film yang banyak diisi oleh adegan dan penampilan menawan dari para aktornya. Citizen Kane berkisah tentang kehidupan Charles Foster Kane, seorang tokoh yang dikenal sebagai raja surat kabar Amerika, yang diceritakan melalui banyak sudut pandang. Banyaknya sudut pandang ini tercipta melalui penelusuran jurnalistik Thompson dalam mencari makna kata terakhir yang diucapkan oleh Mr. Kane.Rosebud. Seperti menyusun jigsaw puzzle, Thompson mencoba menggali kehidupan Charles Foster Kane sejak masa kecilnya hingga masa-masa menjelang kematiannya dalam kesunyian dan kemegahan Xanadu. Satu per satu orang-

orang yang pernah dekat dengan Mr. Kane dihubungi. Dimulai dari pengacara dan wali dari Mr. Kane sejak kecil, Walter Park Teachers, hingga pembantu yang setia menemani akhir masa hidupnya. Perlahan, kehidupan dari Mr. Kane terbongkar. Akan tetapi, kepribadian dari Mr. Kane tetap menjadi misteri dan makna dari kata Rosebud tetap tidak terpecahkan. Merasa frustasi dan putus asa atas kegagalannya menemukan makna kata “Rosebud�, Thompson mendatangi Xanadu. Dikelilingi oleh koleksi karya seni Mr. Kane, Thompson hanya bisa berkata “Aku pikir, kehidupan dari seorang manusia tidak bisa dijelaskan dalam satu kata�. Kehadiran Citizen Kane tidak serta merta membawa tanggapan positif saja. Banyak pihak menganggapnya sebagai usaha perlawanan terhadap sistem liberal Amerika. Mengusung tokoh yang mengesankan citra sosialis, Citizen Kane menerima banyak surat gelap berisi ancaman, tanggapan miring dari beberapa surat kabar, hingga investigasi dari FBI terhadap Orson Walles dan beberapa orang yang terlibat dalam produksinya. Akan tetapi, tetap saja sebuah karya selalu memicu pro dan kontra.Selayaknya Copernicus yang membawa pengertian bahwa bumi itu bulat di tengah-tengah pandangan gereja yang beranggapan sebaliknya. Kehadiran Mr. Kane pun demikian.Membawa pandangan baru tentang kehidupan tepat di tengah jantung ideologi Amerika. []

Agus A. Pribadi, mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah FIS UNY angkatan 2014. Banyak menulis esai film di pelbagai media seperti koran dan majalah. Ia adalah pembaca buku yang baik.


14

Buku Judul Hikayat Hang Tuah | Penulis Muhammad Haji Shalleh | Penerbit Phoenix Publishing | Terbit Desember 2013 | Tebal Book Paper; 400 hlm. | ISBN 978-602-7689-50-3

Hang Tuah Masih Berlayar

“HIKAYAT HANG Tuah tak punya akhir,” tulis Henk Maier dalam salah satu telaahnya yang diterbitkan dalam buku Bijdragen tot de Taal, Land, en Volkenkunde (1853). Layaknya karya-karya Melayu lainnya, Hang Tuah terus diperbaharui dalam pelbagai kombinasi, entah dengan motif sastra maupun kesejarahan. Hikajat Hang Tuah, tercatat sebagai karya sastra Melayu klasik yang paling panjang. Salah satu versinya, setebal 593 halaman, telah dikenal sejak abad ke-18, dan sejak saat itu sangat menarik perhatian para peneliti Barat. Selanjutnya terbit dalam berbagai versi, dan sekitar 20 versi tersimpan di berbagai perpustakaan di dunia. Masyarakat sastra dunia pun telah mengakui Hikayat Hang Tuah sebagai karya yang penting bagi kebudayaan global. Tidak terlepas dari perannya yang besar di dalam kesejarahan Indonesia dan Malaysia. Bahkan karya ini pula pernah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa internasional, baik sebagian maupun utuh. Bersama dengan Sulalat al-Salatin, Hikayat Hang Tuah juga telah diakui sebagai karya agung antarbangsa oleh UNESCO. Meski begitu, Hang Tuah masih menjadi teka-teki. Ada banyak versi pengisahannya, dan hampir semuanya berbeda dalam menanggapi kehidupan Hang Tuah. Ada yang heroik, ada yang melankolis. Memang, bisa dikatakan, keterangan tentang siapa dan apa kiprah Hang Tuah tidak ditemukan di dalam literatur-literatur sejarah. Namun, itulah salah satu sisi menariknya dari kesusastraan klasik, juga Hang Tuah. Ia tak memiliki versi yang final. Setiap orang bisa membaca dan mengapresiasinya, baik dengan semangat kesejarahan maupun kesusastraan. Dengan sifatnya yang tak pernah final, orangorang akan terus merevisinya sesuai dengan kebutuhan zaman sang perevisi. Salah satu yang perlu kita baca adalah hikayat versi Prof. Dr. Muhammad Haji Salleh, penyair, kritikus sastra, editor, dan peneremah bahasa Melayu dan Inggris. Haji Salleh

merupakan salah seorang penulis Malaysia yang telah dianugerahkan gelaran Sasterawan Negara 1991. Beliau juga telah memenangi Anugerah Penulis S.E.A. pada tahun 1997. Pada 2008, beliau dinobat sebagai Tokoh Akademik Negarta. Beliau pernah menjadi Presiden Persatuan Penterjemah Malaysia (1978-1982). Beliau juga menjadi sidang editor jurnal Tenggara, anggota Lembaga Pengelola Dewan Bahasa dan Pustaka, dan anggota Panel Anugerah Sastera Negara. Sesuai dengan kiprahnya dalam bidang kesusastraan, Haji Salleh berhasil menghadirkan Hang Tuah dengan cita-rasa sastrawi hari ini. Hang Tuah yang telah ia edit pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris dari bahasa Melayu versi Kassim Ahmad (1975), dan diberi judul The Epic of Hang Tuah (2006). Dalam Sajak-Sajak Sejarah Melayu penyair Malaysia ini kita berjumpa Hang Tuah yang dibawa menyingkir dari amarah Sultan. Ia difitnah berzina dengan seorang kekasih baginda. Tapi di persembunyiannya, ia merasa Tuhan memberikan ‘keheningan’ kepada akalnya. Ia juga dijauhkan dari hasrat “kembali ke kusut istana dan kata-kata di belakang tabir.” Buku ini, sebagaimana Hang Tuah sendiri, meskipun lebih banyak dikaji oleh kalangan intelektual dan kampus, namun pada hakikatnya ia merupakan warisan dari zaman di mana sastra masih menjadi tuturan lisan; ia hidup di dalam masyarakat. Haji Salleh, dalam hal ini, berhasil membawanya kembali ke masyarakat, dengan gaya sastrawi yang memikat; untuk dibaca dan direnungkan kembali.[] Muhammad Aswar, alumnus Jurusan Ilmu al-Quran dan Hadist UIN Sunan kalijaga. Judul skripsinya yaitu “Enkulturasi Al-Qur’an (Telaah Ayat-Ayat Tentang Surga).


15

Solilokui

Skripsi

“TUGAS KESARJANAAN adalah untuk menghidupkan dunia yang telah mati dengan menggunakan kekuatan ilmu pengetahuan, untuk menciptakan kembali nyanyian penyair, ajaran filosof dan pembuat undang-undang, kesucian biara dan perasaan orang yang beriman dan tidak, kehidupan pasar dan pelabuhan yang sibuk, pemandangan fisik tanah dan laut, manusia yang sedang berkerja dan bermain,”1 tulis seorang ahli filologi Jerman, suatu ketika di akhir abad 20. Saya berpendapat bahwa pernyataan tersebut dibuat bukan sekadar pemanis untuk dirinya sendiri, untuk orang-orang di negaranya atau cendikia dalam bidang yang sama dengannya. Akan tetapi lebih pada tanggung jawab kesarjanaan secara universal. Betapa dasyat orang bertugas menghidupkan dunia yang telah mati, sebuah pemikiran atau peradaban yang pernah jaya, menyanyikan kembali syair-syair yang telah terkubur jauh di masa lampau, juga mempelajari filsafat moyangnya dan sebagainya. Tentu tugas kesarjanaan bukan sekedar membaca naskah kuno kemudian menuliskannya kembali. Lewat pemikiran juga mendamaikannya dengan zaman adalah tugas berat seorang sarjana. Saya menjadi teringat beberapa teman saya yang begitu giat mengerjakan skripsi sebagai syarat kelulusan, juga mahasiswa yang saya kenal atau pun tidak, dari kampus saya sendiri maupun dari ratusan kampus lain yang ada di negeri ini. Apakah mereka kelak setelah lulus akan bertugas mengembalikan kejayaan Nusantara. Akan lahirkah Empu Nala, Empu Prapanca, Empu Tantular, atau Empu-Empu yang lainya dalam bentuk baru. Berapa juta orang setiap tahunnya akan dilahirkan? Saya pun menjadi malu, karena tulisan Wilamowitz seorang filolog Jerman tersebut. Apakah kelak saya akan mampu menciptakan kembali nyanyiar penyair setelah skripsi dan segala macamnya saya kerjakan. Mungkin nantinya bagi filolog Jerman itu saya bukanlah sarjana atau sarjana yang mangkir dari tugas-

1 Peter Leviene, “Nietzsche; Potret Besar Sang Filsuf”, terj. Ahmad Sahidah, hlm. 74.

nya. Entahlah. Tiba-tiba seorang kawan mengirim pesan pendek kepada saya. Ia meminta saya mendoakannya semoga ia segera menyelesaikan skripsinya dan dapat lulus sesuai dengan watku yang ditargetkan. Saya pun tercengang. Saya? saya belum menyentuh tugas yang disakralkan para maha peserta didik itu. Saya pun hanya mendoakan, “Semoga. . ,” tak lebih. Antara takut dan ragu, skripsi yang menjadi tugas akhir seolah-olah menjadi tugas yang dipaksakan agar mahasiswa segera lulus dan masa studinya tidak molor. Di sisi lain, saya pernah menbaca skripsi yang luar biasa dari Eka Kurniawan, pengkajian tentang seorang sastrawan besar, Realisme Sosialis Pramoedya Ananta Toer (sebuah tinjauan filsafat seni) yang kemudian diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama menjadi Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Di dalam skripsinya, Eka terjun jauh ke dalam dunia Pram juga sosialis yang kemudian dapat mengulas secara mendalam. Sebagaimana juga skripsi Rheinhardt Sirait dengan tema yang sama yakni Gagasan Revolusi dalam Tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Rhein memerlukan sekitar waktu 3 tahun interview kepada si tokoh secara langsung untuk mengerjakan tugas akhirnya. Mungkin mereka berdua merupakan bagian dari sekian banyak mahasiswa yang benarbenar siap menjalankan tugas kesarjanaanya seperti apa yang dikatakan Wilamowitz. Meskipun juga masih banyak yang masih dipaksakan.[]

M. Thoriq Aufar, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY. Ia seorang penyair yang juga seorang pemeran utama dalam beberapa pementasan drama. Puisinya terhimpun di dalam antologi komunal. Sekarang menggeluti seni rupa.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.