Menghidupkan Aksi Baca, Diskusi, Tuli(?) Alikta Hasnah Safitri
1
Sekapur Sirih
Berkiprah dalam gerakan mahasiswa adalah pilihan yang saya putuskan sejak tahun pertama saya menyandang status sebagai mahasiswa. Bagi saya, gerakan mahasiswa bukan hanya menjadi wadah untuk beraktualisasi, namun menjadi tempat menempa kedewasaan diri, kawah candradimuka yang menguji matang/tidaknya pola pikir dan pola sikap, serta rumah singgah yang mengantarkan saya menemukan sahabat sejati. Di bagian pertama, saya mencoba mengulik alasan mengapa kita harus bergerak, sebagai mahasiswa sekaligus sebagai manusia. Di bagian kedua, saya menyajikan beberapa kumpulan renungan pemikiran dan interpretasi atas sebuah persoalan di sekitar maupun diskusi/seminar. Pada bagian terakhir, saya sajikan beberapa tulisan hasil pembacaan sederhana yang saya lakukan terhadap beberapa buku pilihan. Memang, tak butuh waktu lama untuk menghimpun tulisan yang terserak ini. Namun, perlu dorongan yang sangat besar untuk membaginya secara massif ke hadapan pembaca sekalian. 2
Saya ucapkan terima kasih yang teramat atas kesempatan untuk persahabatan yang bermakna bagi kakak-kakak di berbagai organisasi eksternal kampus. Mas Zulfikar Ali dan Mba Sakina di KAMMI, Kanda Tori Nuariza dan Adhytiawan di HMI, serta Mba Ida di Muslimah HTI Solo Raya. Tak lupa, terima kasih terhebat juga saya ucapkan pada kawan-kawan Badan Pengurus Harian KAMMI Komisariat Sholahuddin Al Ayyubi UNS: Mas Erick, Mas Apin, Mas Hendra, Mas Hafidh, Nugroho, Dek Zulfikar, Mba Isna, Mba Rona, Mba Alifta, Mba Mila, Mba Shofi, Maryam, Pepy, dan Titik. Tulisan ini adalah cermin untuk berkaca pada masa lalu yang penuh inkonsistensi, menyadarkan saya bahwa proses ini belumlah usai, dan mungkin tak akan pernah selesai. Dengan berbagi, saya berharap hati saya menjadi lapang untuk membuka ruang penerimaan. Sekaligus, membuka ruang kritik dan koreksi untuk memperbaiki kualitas diri. Tak dapat saya berkata banyak. Semoga Alloh swt menunjukkan kita ke jalan-Nya yang lurus.
3
Daftar Isi
Sekapur Sirih 2 Mengapa Kita Bergerak? 6 Metamorphosa Pemuda 7 Mahasiswa Hebat? Yakin? 11 Generasi Instan 15 Refleksi Sumpah Pemuda dan Mainstream Indonesiasentris 22 Refleksi Mendalam tentang Sejarah Kita 31 Jelang Orientasi Mahasiswa Baru 37 Membingkai Potret Intelektual Muda Indonesia, Sebuah Refleksi 40 Leiden is Lidjen, Memimpin adalah Menderita Teladan Kepemimpinan Haji Agus Salim 60 Menjelang Akhir Kepengurusan 64 Dari Renungan hingga Diskusi 68 Bijak Tanggap Isu 69 Baratayuda di Negeri Kita 74
4
Kumbakarna dan Wibisana: Tentang Sebuah Ikhtiar Menghaluskan Rasa 81 Ekalaya dan Segala Hal tentang Strata 87 Pesta Tahun Baru, MEA, dan Ekstase Masyarakat Konsumer 93 Bedah Buku Waktunya Tan Malaka Memimpin 98 Derita Remaja dan Kapitalisme, Islam sebagai Solusi 105 Print Culture Ideologisasi Gerakan Tarbiyah di Indonesia 112 Demokrasi dalam Syariat Islam 120 Menjadi Ibu Peradaban 128 Dari Buku ke Buku 133 Mas Marco: Sama Rata Sama Rasa 134 Irrasional dalam Nalar 138 Menguatkan Keyakinan 141 Mukmin dan Ateis 144 Zainab Al Ghazali, Tentang Sebuah Keteguhan Hati 146 Islam dan Kesadaran Kebangkitan Nasional 150 Korupsi, Korupsi! 161 Bukan Pasar Malam 165 Bibliomania 168
5
Mengapa Kita Bergerak?
6
Metamorphosa Pemuda
“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi manusia, kalian menyuruh (berbuat) kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran dan kalian beriman kepada Allah� (QS. Ali imran Ayat 110)
Mengapa Mahasiswa? Seorang pemikir Islam, Hasan Al-Banna pernah mengatakan sejak dulu sampai sekarang pemuda adalah pilar kebangkitan. Dalam setiap kebangkitan, pemuda adalah rahasia kekuataannya. Dalam setiap fikroh, pemuda adalah pengibar panji-panjinya. Berbicara tentang pemuda (mahasiswa_red) berarti kita membicarakan tentang masa depan dan perbaikan bangsa. Sebab, mahasiswa-lah yang nantinya akan menjadi salah satu tonggak perubahan masa depan. Membangun Peradaban. Ya, itulah yang akan kita lakukan di kampus ini.
7
Mahasiswa memiliki sekian banyak potensi besar untuk senantiasa bergerak. Mereka memiliki peluang untuk bergerak menjangkau setiap elemen masyarakat baik secara vertikal maupun horizontal, hingga kesempatan besar untuk menjamah berbagai sektor, baik publik maupun privat. Meskipun tentu saja kita tak bisa menafikan potensi yang ada dalam internal diri mahasiswa itu sendiri yakni memiliki kekhasan dalam idealisme dan daya saing, sehingga selain terbuka terhadap segala informasi, mereka juga tetap menggunakan logika dalam mengambil setiap keputusan.
Peran Strategis Mahasiswa dalam Membangun Kampus Madani “..Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya..� (QS Ali Imran :79) Kita adalah da’i sebelum menjadi apapun. Sebagai seorang da’i kita tidak boleh berdiam diri dengan kebathilan yang kini kerap menyebar luas di Indonesia. Seorang da’i hendaknya menjadi sumber inspirasi perubahan,
yang
mampu
memimpin
dan
melayani
8
lingkungannya, sehingga kehadiran citra positif terhadap nilainilai Islam dapat terwujud. Kita hadir bukan hanya untuk mengutuk fenomenafenomena yang kini terjadi, bahkan sekedar berdiam diri saja, kita perlu bergerak dan menjadi bagian dari solusi. Sehingga, perlu kiranya kita berhimpun dalam lingkungan kebaikan
untuk
membentuk fokus kerja nyata dan dakwah langsung pada civitas akademik kampus, maupun masyarakat pada umumnya. “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan� (QS. Al Mujadilah :11) Di tengah berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini, mahasiswa sebagai kaum intelektul mendapat tugas memberikan solusi terhadap problematika masyarakat dengan mengkritisi
dan
menghasilkan
solusi
efektif.
Mahasiswa
diharapkan lebih memainkan peranan sebagai problem solver sehingga terciptalah gagasan dan produk baru yang bermanfaat sebagai pertanggungjawaban kapasitas intelektual mahasiswa dalam ranah akademik. Pertanyaannya, bisakah kita menjadikan kampus sebagai embrio dari sebuah peradaban madani dengan ilmu pengetahuan sebagai landasan? Ada proyek pembaruan yang 9
mesti kita rampungkan. Proyek ini selamanya hanya akan menjadi konsep yang terformat di dalam pikiran dan tertulis di memoar kita, dan pada akhirnya usang dan lapuk oleh usia ketika tidak segera direalisasikan. Kita
membutuhkan
energi
perjuangan
untuk
melahirkan kekuatan perubahan. Kita membutuhkan pemuda yang tangguh dan idealis untuk merealisasikannya. Maka, ambilah peran sebagai creator of change itu, pencipta perubahan yang mampu mentransformasikan kehidupan kampus agar tersibghah dengan nilai-nilai rabbani. Mulailah untuk melihat pada diri, komunitas mana yang dapat menjadi ‘ladang amal’ bagimu. Apakah itu di kelas, ataupun kelompok minat tertentu. Bergaul-lah dengan mereka, jadikan mereka sahabat, buat sahabatmu percaya padamu, lalu jadikan kepercayaannya instrumen untuk mengajaknya terus melangkah dalam menjalani kebaikan.
10
Mahasiswa Hebat? Yakin?
Setelah melalui proses seleksi yang ketat dalam SNMPTN, akhirnya saat ini kalian akan segera menyandang predikat sebagai mahasiswa. Mahasiswa dalam tahap awalnya memasuki dunia kampus memiliki orientasi awal yang berbedabeda. Ada yang menganggap kuliah sebagai keharusan penuntasan jenjang pendidikan, ada yang hanya mengejar ijazah sebagai orientasi karir di masa depan, ajang mencari jodoh, ada pula yang mengorientasikan kuliahnya demi penuntasan hasrat intelektual. Termasuk yang manakah diri kalian? Pertanyaan selanjutnya, sudah yakinkah kalian dengan jurusan/ program studi yang kalian pilih? Sebab, kalau kalian tak merasa cocok di awal, bagaimana bisa menjalani masa kuliah dengan penuh tanggung jawab? Ingat, masa kuliah tak akan seindah seperti yang disajikan di layar kaca. Kalian akan disibukkan dengan tugas kuliah, kompleksitas pergaulan dengan rekan kuliah, rekan organisasi, dosen, hingga masyarakat sekitar kampus.
11
Tidak percaya? Merasa hanya kuliah hanya tentang diri kalian sendiri, atau paling banter ya tentang kalian dan orang tua? Proses belajar yang akan segera kalian jalani bukan hanya menyangkut tentang diri kalian, tetapi juga ratusan juta rakyat Indonesia. Saat seleksi masuk perguruan tinggi, ada berapa ratus ribu siswa yang mendaftar? Berapa banyak yang diterima? Kasarnya, jika ada 800 orang yang mendaftar di program studimu, lantas yang diterima hanya 80, kalian pikir berapa banyak kawan kalian yang saat ini sedang berjuang menentukan arah? Dengan perbandingan keketatan tiap orangnya adalah 1:10, kalian memiliki tanggung jawab besar atas 9 orang yang gagal mendapatkan kursi di perguruan tinggi. Jika itu belum cukup, baiknya kalian cari tahu dari mana asalnya subsidi untuk uang kuliah kalian. 20% APBN yang dialokasikan oleh pemerintah untuk pendidikan, termasuk perguruan tinggi dan beasiswa pemerintah diambil dari uang rakyat, tidak peduli seberapa miskinnya ia. Ingat, 70% APBN negara kita berasal dari pajak.
Siapa yang membayar pajak?
Mereka adalah abang tukang becak, ibu penjual asongan, sopir bus, kenet angkutan umum, dan sesiapapun yang terkena wajib pajak. Ingatlah bahwa anonim manusia yang tak kalian kenal pun turut andil dalam penentuan masa depan kalian (tentu dengan asumsi bahwa dana pendidikan diambil dari pemasukan pajak 12
dan non pajak). Maka, kalian tak hanya bertanggung jawab terhadap satu dua orang, tapi juga ratusan juta rakyat Indonesia. Di awal perkuliahan, hampir pasti kalian akan diingatkan dengan status keren kalian sekarang: (MAHA)SISWA. Organisasi mahasiswa akan mencekoki kalian dengan ragam label, dari mulai agen perubahan, moral force, iron stock, dan lainlain. Dosen akan mencekoki kalian dengan ragam tuntutan, bisa dengan optimisme ataupun skeptisisme. Kalian sendiri akan mulai membebani diri kalian dengan ragam pragmatisme dan oportunisme yang disajikan di bangku kuliah maupun anganangan tentang lahan pekerjaan yang hendak kalian garap pasca lulus. Lantas, bagaimana wujud pertanggungjawaban kita pada ratusan juta anonim manusia yang telah meringankan beban kita? Masih enggan untuk serius dalam menekuni kompetensi keahlian yang kita pilih saat ini? Masih apatis untuk sekedar berbaur bersama rakyat dan berusaha memberdayakan mereka? Katanya menjadi mahasiswa artinya juga menjadi kaum intelektual. Ingat, terminologi intelektual bukanlah logika yang sifatnya pasti dan hanya memiliki tafsir tunggal. Namun secara umum, kata intelektual ditafsirkan sebagai kondisi dimana seseorang berkutat secara tekun dan serius pada ilmu profesionalnya,
untuk
selanjutnya
mentranformasikan 13
pengetahuannya
sebagai
bentuk
peran
sosialnya
dalam
menyelesaikan problematika umat. Kaum intelektual adalah sosok yang mencerahkan, demikian kata Gramsci. Konsekuensi logisnya, kaum intelektual wajib memberi fungsi pencerahan bagi orang-orang disekitarnya dengan kapasitas keilmuan yang mereka miliki. Mahasiswa yang terlanjur tercitrakan sebagai kaum intelektual
mestinya
mampu
bergerak
di
ranah
ini,
mempertemukan teori dan praksis guna memecahkan berbagai problem sosial yang mengakar di masyarakatnya. Bukan hanya memperkuat ilmu pengetahuan sesuai dengan basis akademis untuk kebutuhan pribadi, tetapi juga berani untuk peka dan melek pada realitas sosial, serta memberikan kebermanfaatan untuk sesama. Jadi, mau memberikan kebermanfaatan apa kalian selama menjalani studi di kampus?
14
Generasi Instan
Yang instan semakin banyak dan beragam. Berawal dari mie, ikan yang dikalengkan, sampai akhirnya nyerempet juga ke bumbu makanan. Di zaman sekarang, orang tidak usah repotrepot nyiapin ubo rampe buat masak opor, rendang, sayur, nasi goreng, cukup dengan beli si bumbu kemasan sachet, buka, gunting, lalu campurkan ke bahan makanan pokok, panaskan dengan api yang tinggal klik dari kompor, selesai saudara. Betapa mudahnya. Mungkin karena memang gampang dan menghemat waktu dan biaya, bangsa kita jadi terbiasakan dengan pola-pola instan seperti ini. Masyarakat kita jadi pelit menggunakan sedikit nalar mereka untuk berfikir, jadi kikir pula soal penggunaan energi mereka untuk bekerja lebih banyak. Saya jadi miris dan menyesalkan hal ini. Lebih lanjut lagi, pola hidup serba instan ini menyebabkan dampak yang lebih parah, bukan hanya sebatas pada kebiasaan dan perilaku penggunaan, tapi lebih kepada perubahan kepribadian bangsa. Yang sayangnya, saya temukan di kalangan mahasiswa. 15
Beberapa
waktu
lalu,
nomor
handphone
saya
dicantumkan menjadi salah satu contact person dalam sebuah buletin. Sederhana kerjanya: menjawab pertanyaan. Tapi ternyata tak sesederhana dan semudah itu. Beberapa bertanya, “Mba, besok osmaru (orientasi mahasiswa baru) pakai apa?”
Saya bilang, “Lihat di website
resminya.” Si adik ini bertanya lagi, “Lha mbak-nya udah tau kan? Apa to mba? Kasih tau, saya males buka web-nya..” (Tidak hanya satu dua orang yang memberikan tipe pertanyaan macam ini) Beberapa lagi bertanya, “Mba tidak boleh pake jeans ya?”, saya jawab, “Sudah baca yang di web?” Dia jawab: sudah. Hallo? Lalu, untuk apa lagi bertanya? Usut punya usut, ternyata adik yang satu ini menanyakan hal serupa ke beberapa orang, di facebook, lewat sms. Dengan tujuan guna mendapatkan jawaban Ya boleh. Hanya ingin menguatkan argumentasi dan pembenaran yang ia harapkan. Saya jadi ngeri dan takut membayangkan generasi macam apa yang akan lahir dari rahim 2012 ini manakala pertanyaan yang diajukan berkisar seperti yang saya sebutkan di 16
atas. Saya takut bangsa kita akan jadi bangsa yang mandul dalam melahirkan karya-karya monumental yang bercita rasa tinggi. Bukan
karya
(maaf)
ecek-ecek
yang
hanya
menginginkan pengakuan dari museum rekor, tapi kemudian hilang pengaruhnya bagi bangsa ini selain melahirkan budaya konsumtif yang kian merajai panggung demokrasi. Ah,
mau
mengeluhkan
nasib
bangsa
ini
dan
menyalahkan lahirnya generasi instan pada siapa rasanya juga tak akan berefek apapun. Nyatanya, lahirnya generasi instan ini telah dimotori juga oleh orang-orang yang mengaku sebagai aktivis. Sebutlah aksi. Seringkali terjadi, saat mimbar-mimbar ilmiah hilang suaranya, kajian kontemporer sunyi pengikutnya. Mendadak undangan aksi menghampiri. Ramai. Lalu gempar. Kita jadi kehilangan nilai sakral sebuah aksi hanya karena ketidakpahaman kita soal isu yang hendak kita angkat ke jalan. Lalu aksi hanya jadi sekadar luapan emosi tanpa rumusan ‘tuntutan’ dan ‘solusi’ yang jelas. Peserta aksi? Kadang mereka pun tak mengerti, yang penting hafal lirik mars mahasiswa, darah juang, selesai semua urusan. Bah! 17
Generasi instan ternyata bisa lahir juga dari insan-insan cendekia yang kritis dan ‘katanya’ diharapkan. Sekali lagi saya bertanya: Buat apa? “Kritik mendasar pada gerakan mahasiswa adalah ekspresi reaksionernya pada berbagai isu. Bentuk reaksioner ini mengindikasikan bahwa gerakan itu tidak memiliki agenda atau termakan oleh agenda orang lain. Gerakan mahasiswa bukanlah alat pukul politik yang disibukkan mencari musuh dan bergerak sebagai watch dog. Gerakan mahasiswa adalah aset masa depan, maka ia harus memiliki rencana masa depan bangsanya yang kelak ia pun ikut andil dalam proses kepemimpinan bangsa ini. Kompetensi dasar di atas itu merupakan wujud dari pengokohan gerakan yang menjadikan dirinya lebih kontributif pada pemecahan masalah umat dan bangsa.� (Manhaj Kaderisasi KAMMI 1427 H) Saya pernah bergiat di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas. Setidaknya saya berharap begitu. bukan orang yang hanya buat gagah-gagahan saja memakai jaket bertuliskan Badan Eksekutif Mahasiswa. Yang muncul seperti spora di awal, lalu kemudian berguguran di akhir, dan dengan rasa percaya diri yang luar biasa masih berani mengatakan saya pengurus bem, Hidup Mahasiswa. Saya tidak akan mengatakan padamu untuk keluar saja dari BEM mengingat saya sering bilang : 18
Aktivis yang pragmatis juga banyak, ngapain sibuk mencerca mahasiswa apatis! Sering saya bertindak di luar batas, mencerca lembaga sendiri, meski hanya ditanggapi dengan senyuman. Saya sadar bahwa sejatinya tugas kita adalah menyalakan lilin, bukan menyalahkan kegelapan, karena itu saya pantang bungkam. Menjaga lidah itu pasti. Tapi siapa yang mau mendengar kecaman dan tuntutan dari mahasiswa ‘biasa’, kalau diawal para aktivis sendiri menaruh jarak luar biasa lebar dengan mengatakan bahwa mahasiswa yang tak berorganisasi adalah mahasiswa yang pragmatis dan apatis tanpa berkaca bahwa kebanyakan dari kita pun adalah generasi-generasi instan yang bukan hanya pragmatis dan apatis, tapi juga culas dan bermental kancil. Semestinya kritik dan koreksi itu lahir dari pribadipribadi yang banyak belajar, banyak tahu, banyak mendengar, yang katanya mau mengabdi untuk rakyat. Agaknya barang instan ini jadi momok yang kian mengkhawatirkan. Ketika semua orang berharap mendapat sesuatu dengan kilat, ekstra cepat hingga melupakan substansi yang pada dasarnya jauh lebih bermakna. Yang saya khawatirkan 19
adalah ketika pada akhirnya, orang-orang jadi begitu terlena pada masa-masa kejayaan mahasiswa dulu hingga lupa bahwa tantangan hari ini berbeda-tak lagi seromantis zaman-zaman lalu yang sudah lapuk oleh usia Saya sadar, saya bukanlah orang dengan segudang keahlian meskipun saya yakin bahwa Allah menciptakan saya dalam keadaan yang sebaik-baiknya sehingga saya tidak boleh sekalipun menyalahkan siapapun atas apa yang tak saya miliki. Saya iri pada mereka yang memiliki suara lantang dan berwibawa, postur badan yang tegap, serta karisma yang terpancar bahkan sebelum mereka bicara. Tapi, itu bukan tindakan ksatria. Seorang ksatria pantang mengeluhkan keadaan, pantang baginya mencerca diri. Karena sejatinya, seorang yang bisa menghargai dan menghormati segala apa yang ada pada dirinya adalah orang yang bisa menghargai orang lain. Maka meski saya skeptis, saya bersyukur. Masih ada orang-orang seperti kalian. Meski dengan segala kritik dan caci, jangan pernah mundur. Jadikan pelecut diri untuk jadi pribadi yang lebih baik. Wahai aktivis!!
20
Jangan mau jadi generasi instan yang bergerak hanya atas dasar ikut-ikutan, raihlah kefahaman dan capailah ketinggian. Demi Tuhan yang menciptakan akal. Atas nama ilmu pengetahuan.
21
Refleksi Sumpah Pemuda dan Mainstream Indonesiasentris
Refleksi Sumpah Pemuda dan Karakter Pemuda Indonesia Lahirnya sumpah pemuda 84 silam bukan saja merupakan batu pijakan dari rangkaian proses sejarah yang bertonggak pada kejemuan akan realitas penjajahan yang sarat dengan penderitaan dan kesengsaraan, akan tetapi merupakan hasil pergolakan sekaligus pembuktikan kualitas dan karakter pemuda Indonesia kala itu. Sumpah Pemuda membuktikan kuatnya karakter pemuda kita sebagai pemuda yang Visioner dan Pemberani. Para pemuda kita telah melompati mainstream pemikiran kedaerahan, kesukuan,
bahkan
melampaui
batas-batas
rasial
yang
membelenggu, membiarkannya merambah dalam wilayahwilayah universal, penolakan kolonialisme, dan keinginan mewujudkan kesetaraan manusia. Keberanian meneriakkan dengan lantang dan mengambil sikap melawan entitas penjajah bukan merupakan hal yang main-main, mereka dengan berani 22
telah menyatakan persatuan bangsa Indonesia dan sebuah citacita mulia untuk mendirikan sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat. Mari kita cukupkan romantisme sajarah tentang heroisme pemuda dalam periode yang lalu. Pertanyaannya, bagaimana dengan kondisi pemuda kita hari ini? Kebudayan bangsa Indonesia yang bernilai luhur dan agung begitu saja terkikis akibat hegemoni budaya asing. Konflik horizontal yang marak terjadi pun semakin memperlihatkan dengan gamblang disentegrasi bangsa. Jika menilik lagi sejarah, barangkali memang pemuda (dalam hal ini mahasiswa) mulai mabuk akan demonstasi pada 1998. Letih dengan demonstrasi, mahasiswa mabuk label keilmiahan kemudian mengingkari semangat angkatan ’98 untuk berteriak dan turun ke jalan memperjuangkan rakyat. Kini, bukannya menempa pikir dalam kajian dan diskusi untuk mencari solusi, mahasiswa malah asyik masyuk menjadi event organizer. Beberapa mengklaim bahwa mereka memberi solusi pada permasalahan bangsa, nyatanya solusi tersebut terongrong dalam ego dan sikap elitis, selesai dalam ruang-ruang seminar dan kajian akbar.
23
Menjamurnya
berbagai
lembaga
dan
organisasi
mahasiswa, mulai dari BEM, DEMA, Pers Mahasiswa, hingga Unit Kegiatan Mahasiswa telah membentuk spektrum yang mencerminkan karakter mahasiswa dalam skala yang relatif lebih luas, sayangnya hal ini pun berdampak pada lemahnya konsolidasi visi dan orientasi sehingga terjadi dikotomi dan pelepasan tanggung jawab mengemban amanah reformasi yang telah dititipkan oleh generasi sebelum kita. Melakukan refleksi terhadap Sumpah Pemuda 84 tahun silam semestinya bisa menumbuhkan spirit dan semangat membangun karakter baru untuk berpikir visioner melampaui mainstream pemikiran umum sehingga dengan berani kita bisa memberikan sumbangsih ide, gagasan, dan tindakan untuk perbaikan bangsa ini ke depan. Pada hakikatnya, mahasiswa haruslah memiliki karakter yang ideal, kuat dan cerdas. Akan tetapi bagaimanakah cara menumbuhkan karakter ideal tersebut? Apakah ia akan tertanam melalui seminar satu dua hari saja? Atau melalui kontribusi konkrit dengan pengadaan event-event kepemudaan serta beribu lembar karya ilmiah? Ataukah, karakter itu akan muncul saat kita memilih untuk menempuh alternatif gerakan pecinta lingkungan dan pengabdian pada masyarakat? 24
Agaknya, pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi suatu hal yang sukar untuk dijawab lewat tiga sampai lima lembar kertas saja, melainkan harus melalui penelaahan yang panjang dan kontinyu sehingga dapat ditemukan pola kontruksi karakter mahasiswa yang ideal untuk menjawab tantangan zaman.
Mainstream Indonesiasentris Indonesiasentris
mengacu
pada
nilai-nilai
dan
pandangaan yang mengacu pada sudut pandang Indonesia. Sentrisme Indonesia ini adalah suatu bentuk reaksi terhadap sikap elitis dan cara pandang parsial, salah satunya di bidang pendidikan. Paulo Freire menyatakan bahwa pendidikan kita saat ini jelas menerapkan gaya bank. Pendidikan kini bukan lagi diletakkan
sebagai
proses
memerdekakan
manusia
dari
penjajahan kebodohan, kebutaan akan hidup dan kehidupan. Ruang-ruang pendidikan seperti sekolah dan universitas kini menjadi pabrik yang mencetak generasi terbaik bangsa sebagai pekerja, buruh di negeri sendiri. Terbatasnya
sikap
keindonesiaan
menyebabkan
keterpurukan pemuda dalam menjelaskan interpretasi dan eksplanasi, sehingga mereka cenderung membuat generalisasi berdasar narasi besar yang abstrak semata. Jarang pemuda kita membuat konsep yang berbeda dari narasi umum yang ada. 25
Seolah apabila sedang bicara tentang nasionalisme maka kita bicara soal bertempur dan melawan musuh. Padahal ada bentukbentuk lain dari perjuangan dalam rangka nasionalisme. Pada akhirnya, perlu kita sadari bersama bahwa masing-masing pihak mempunyai cara sendiri tentang bagaimana berjuang. Solusi yang bisa diupayakan untuk merekonstruksi karakter mahasiswa yang ideal adalah dengan menanamkan mainstream Indonesiasentris pada pola pikir yang berbasis pada kesadaran. Seringkali kita masih terhegemoni dengan romantisme sejarah bahwasanya mahasiswa adalah tonggak sejarah perubahan bangsa yang telah menumbangkan kekuasaan tiran dan memperjuangkan nasib rakyat. Dan tentu saja, kini kita melihat dengan nyata bahwa sejatinya, kita pun telah dikhianati oleh segelintir oknum yang kala itu memperjuangkan nasib kita. Kesadaran mengenai realita sejarah bermakna bahwa mahasiswa kini harus mampu mengenali dirinya secara utuh sehingga mampu menentukan langkah dan arah geraknya sendiri, tak mesti menunggu untuk ditunggangi kepentingan-kepentingan yang akan memposisikan dirinya sebagai bidak-bidak catur yang tak punya daya dan upaya untuk bergerak sesuai nuraninya.
26
Dalam masyarakat industrial seperti sekarang ini, yang mengatur bukan lagi orang tetapi sistem sehingga perseorangan harus menyesuaikan diri terhadap sistem yang berlaku. Hal ini menunjukkan pada kita bahwa rasionalitas modern telah menempatkan individu sebagai pihak yang otonom dan bebas, sehingga mereka dapat mengambil tindakan atau keputusan terlepas dari kewibawaan institusi. Representasinya tercermin dari sifat konsumerisme dan gaya hidup hedonisme yang kini memiliki arti penting dalam praktek bermasyarakat. Karakter
mahasiswa
ideal
harus
peka
dalam
menghadapi tantangan ini dan mampu menempatkan diri sebagai director of change. Bukan bermaksud untuk latah dengan kembali mengulang stigma (semoga saja belum usang) bahwa mahasiswa adalah ‘Agen Perubahan’, pemegang tahta tertinggi dalam kancah pendidikan. Namun, seiring berkembangnya jaman, lapuk pula-lah slogan itu. Sebuah paradigma baru (yang entah siapa pembuatnya) mengantar orientasi berpikir mahasiswa untuk menjadi si kaya yang bodoh dan sombong. Sombong karena berani berkoar didepan umum dengan janji akan menaklukan dunia di tangannya, tapi akhirnya binasa sebelum melangkah ke medan laga.
27
Konstelasi ini harus dijawab oleh setiap individu dengan menumbuhkan karakter yang utuh, tanpa terdistorsi kepentingan-kepentingan personal maupun golongan tertentu. Semestinyalah ada penerusan dari kesadaran individual menuju kesadaran kolektif. Gambaran tentang masa depan tidak saja berkaitan dengan kesadaran individu, melainkan juga secara sosial/ kolektif dengan jalan mengintegrasikan diri dalam sebuah komunitas masyarakat yang yang mempunyai agenda kebajikan di tengah masyarakat luas. Sehingga individu-individu yang terhimpun dapat saling
mengeksplorasi pikiran tentang
Indonesia di masa yang akan datang.
Pada Akhirnya, Mari berbenah Upaya untuk membangun karakter pemuda Indonesia bukanlah semata-mata kerja seorang teoritisi. Proyek ini merupakan tanggung jawab setiap elemen sosial yang melibatkan kerja proaktif baik dari kalangan aktivis maupun akademisi. Upaya selanjutnya adalah bagaimana menginstutisionalkan kerjakerja
teknis
dalam
upaya
penanaman
mainstream
Indonesiasentris dalam diri pemuda Indonesia. Pada tingkatan nasional misalnya, para aktivis dan kaum intelektual yang bergerak di gerakan akar rumput harus 28
melampaui mainstream karakter perjuangan mahasiswa pada umumnya yang sebatas melakukan aksi turun ke jalan tanpa merumuskan solusi yang konkrit, menulis sejumlah proyek ilmiah namun tak memberikan kontribusi yang berarti pada masyarakat, serta terus menerus memberikan sumbangan materi pada masyarakat miskin tanpa disertai dengan upaya pengabdian sosial. Perjuangan
untuk
menumbuhkan
karakter
Indonesiasentris pada diri pemuda merupakan hal yang sangat penting, karena dengan perhatian pada konfigurasi tatanan pewaris masa depan Indonesia akan menjadi jalan untuk menumbuhkan ulang semangat visioner dan pemberani yang dimiliki oleh pemuda Indonesia dalam momentum 84 tahun silam saat mereka mengikrarkan sumpah pemuda. Beberapa di antara kita mungkin memaknai sumpah pemuda dengan menjadikannya sebagai ritual yang kosong dengan hanya sekedar berucap SELAMAT HARI SUMPAH PEMUDA di jejaring sosial, mungkin pula hanya sekedar menjadikannya pelengkap tema-tema diskusi, atau bisa jadi kita mengambil momentum ini hanya sebagai tema aksi. Tanpa pernah kita benar-benar merefleksikan releansi semangat sumpah pemuda untuk menjawab tantangan masa depan bangsa Indonesia. 29
Inilah saat kita berbenah, Pemuda Indonesia.
30
Refleksi Mendalam tentang Sejarah Kita
Sejak awal penciptaanya, manusia dikenal sebagai pribadi-pribadi yang senang menyederhanakan. Konsep lambang bunyi yang arbitrer kemudian difungsikan dalam ragam bahasa bunyi, penjabaran konsep eksak terwakili oleh simbol-simbol dan lambang-lambang matematis, berbagai referensi buku pelajaran senantiasa tersusun dalam sistematika yang runtut agar mudah difahami. Lalu,
bagaimana
dengan sejarah?
Fragmentasi
kesejarahan yang seringkali dipakai manusia seringkali tersistem berdasarkan periodisasi waktu. Mengapa waktu? Sebab waktu adalah ‘sesuatu’ yang begitu dekat dengan kita, bisa jadi malah mencirikan eksistensi pokok keberadaan kita di alam semesta. Sejarah telah membuktikan, disetiap kebangkitan suatu bangsa terdapat pemuda sebagai rahasia kekuatannya. Revolusi Perancis yang menumbangkan monarki dan gereja di abad pertengahan digerakkan oleh kaum intelektual muda. Di dunia Islam Asia-Afrika, para mahasiswa dan pemuda bangkit
31
mempelopori perlawanan terhadap penjajah di sepanjang paruh pertama abad ke-20 sampai tahun 70-an. Bagaimana dengan sejarah kebangkitan pemuda di Indonesia? Ketika belum ada seorangpun yang terpantik semangat juangnya guna memperjuangkan tanah air, Pemuda Wahidin Sudirohusodo telah melahirkan gagasan tentang kebangkitan nasional pada tahun 1908. Pemuda Sukarno dan Hatta telah merealisasikannya dengan ikrar kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam rentang waktu tersebut terdapat banyak kisah heroik perjuangan para pemuda Indonesia guna mengabdi dan berbakti untuk negeri. Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928 menjadi titik tolak persatuan bangsa. Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Siapa yang menyerukan narasi besar ini? Pemuda. Uniknya, kesadaran persatuan ini tumbuh dan berkembang secara sadar dan kolektif pada tiap elemen kepemudaan. Jauh berbeda dengan sekarang, yang hanya menggaungkan semangat persatuan ketika tim sepak bola kita melawan tim negara lain.
32
Yang lebih menarik lagi adalah bahwa dalam keterbatasan yang ada kala itu, dalam ketiadaan jaminan bahwa gagasan besar yang mereka ikrarkan akan menjadi tonggak perjuangan yang menyejarah, mereka tetap memperjuangkannya dengan gigih dan semangat menyala. Bedakan dengan aksi anarkis para pemuda kita sekarang, yang maunya menjadi ‘sejarah yang menyejarah’, tapi pada akhirnya nol dalam hal kontribusi. Ya, hanya meneriakan slogan kosong kaum oportunis semata. Ini adalah zaman perubahan. Dari wacana menuju realita. Kita sudah terlalu kenyang dengan aksi dan demonstrasi melalui media(termasuk tulisan ini), kita sudah terlalu lama hanya mendengar
dan
menggaungkan
wacana-wacana
tentang
kemiskinan, mahalnya biaya pendidikan, dan globalisasi. Ini saatnya kita bertindak, dengan memberi kontribusi yang berarti. Memang, kita tak bisa menafikan bahwa wacana adalah hal yang juga urgen. Tapi apakah hanya akan kita gantungkan hidup mati bangsa dalam sebuah wacana saja? Sejarah selalu memperlihatkan bahwa perubahan selalu mewujudkan keinginan-keinginan dasar yang merupakan cita-cita bersama. Setiap semangat perubahan akan mengantarkan kita pada
mimpi
yang
terejawantahkan. Karena
itulah, kita
membutuhkan pelaku perubahan yang senantiasa berjuang untuk 33
mengeksekusi gagasan-gagasan besar, yang merealisasikan setiap impian menjadi narasi yang tersejarahkan. Sekali lagi, mari telaah kembali sejarah kita. Pada 1908, pemuda mulai membangun gagasan kemerdekaan. Tahun 1928, gagasan itu dibingkai dalam semangat persatuan. 1945, perwujudan gagasan itu teraktualisasikan secara nyata dalam proklamasi kemerdekaan. Setelah kemerdekaan berhasil dicapai, muncul masalah internal dalam tubuh bangsa. Maka, pemuda lah yang kemudian kembali bertindak, pada 1966 pemuda menumbangkan rezim orde lama, dan keberhasilan pun kembali dicetak ketika mereka menumbangkan rezim orde baru pada 1998. Sejarah selalu menyimpan kisah. Meski tak mungkin sejarah bisa merangkum semua lini kehidupan secara utuh dan sempurna. Euforia masa lalu dan dinamika keberhasilan masa lampau bisa jadi meyebabkan sebagian dari kita beranggapan inilah keberhasilan yang sesungguhnya dan akhir dari tujuan. Pada satu sisi, kita memang mesti berterimakasih kepada para pemuda era lalu. Tapi, itu tidak berarti kita mesti mengikat diri pada kepuasan dan tak mengacuhkan cerita hari ini, serta enggan menyusun gagasan esok hari.
34
Kebangkitan pemuda di masa lalu diwujudkan di tengah cengkeraman penjajahan. Saat ini, kita hidup ditengah kemerdekaan, namun sayang masih semu. Kita masih terjajah! Bukan lagi berebut wilayah dan kekuasaan, tapi melalui destruksi moral generasi, opini publik yang dikembangkan para pemilik konsorsium yang menggurita, dan sketsa politik laba-laba yang menyesatkan. Lantas, apa sejarah yang akan kita bubuhkan dengan tinta emas di atas persada khatulistiwa? Kita butuh para pelaku sejarah yang gigih memperjuangkan cita-cita dan idealismenya. Ketika idealisme pemuda mengendur, maka mengendur pula zaman yang dilaluinya. Ada proyek pembaruan yang mesti kita rampungkan. Proyek ini selamanya hanya akan menjadi konsep yang terformat di dalam pikiran dan tertulis di memoar kita, dan pada akhirnya usang dan lapuk oleh usia ketika tidak segera direalisasikan. Kita membutuhkan energi perjuangan untuk melahirkan kekuatan perubahan. Kita membutuhkan pemuda yang tangguh dan idealis untuk merealisasikannya. Maka,
ambilah
peran.
Jadilah
pemuda
itu.
Jadilah ‘sejarah yang menyejarah’.
35
Hidup Mahasiswa! Hidup Pemuda! Hidup Indonesia!
36
Jelang Orientasi Mahasiswa Baru
Bagi mahasiswa baru
momen samaru (sambut
mahasiswa baru, biasanya dikenal dengan sebutan ‘ospek’) adalah masa yang penting. Untuk pertama kalinya, mereka akan menginjakkan kaki di kampus baru mereka, sekaligus mengurus administrasi kemahasiswaanya. Disisi lain, ada banyak pihak yang juga berkepentingan dengan masa registrasi on desk tersebut. Lembaga internal kampus layaknya organisasi mahasiswa akan mengambil kesempatan ini untuk kepentingan mereka, entah untuk pelayanan semata, pelayanan demi terciptanya citra yang baik (pencitraan), atau pelayanan demi terciptanya citra yang baik (pencitraan) guna perekrutan anggota. Hal ini telah menjadi semacam rutinitas yang terjadi setiap tahunnya, maka semaraklah kampus demi menyambut para fresh graduated high school tersebut. Saya pun pernah menjadi mahasiswa baru, dan saya perkirakan, konsep yang sekarang diusung pun akan sama 37
dengan yang dulu. Hampir semua organisasi mahasiwa menggunakan pendekatan-pendekatan persuasif yaitu dengan cara melayani kebutuhan maru, utamanya dalam hal teknis di lapangan. Misal: akses informasi (info kos, advokasi biaya kuliah, dan lain sebagainya). Bisa jadi, mereka pun mengusung pendekatan edukatif. Amunisi-amunisi seperti leaflet, bulletin mini, sampai booklet akan terlihat berserakan (yah, dibuang dan tak sempat dibaca barangkali). Namun, yang lebih ditonjolkan dengan cara yang kedua adalah ‘pendidikan organisasi’- pemberian stimulanstimulan tentang pentingnya mengembangkan kapasitas personal secara intelektual lewat lembaga kampus. Namun bagi saya, ada satu hal penting yang mestinya menjadi corak berfikir para aktivis kampus. Bukan hanya mengusung fungsi pelayanan, pencitraan, dan perekrutan lembaga. Yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana kita mengupayakan agar kampus tercitrakan sebagai basis moral dan intelektual dalam ranah akademis. Basis intelektual yang saya maksud adalah manifestasi belajar secara luas, menyangkut spesialisasi ilmu yang diambil oleh mahasiswa, maupun pembelajaran yang ia ambil guna pengembangan
dirinya
melalui
organisasi-organisasi 38
mahasiswa. Basis moral adalah hal yang mendasar untuk membentuk karakter yang baik, kuat, dan cerdas. Saya rasa kita harus menawarkan ruang aktualisasi secara menyeluruh, untuk terus mengarahkan mahasiswa pada platform, “Membangun integritas mahasiswa secara moral dan intelektual.” Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Soe Hok Gie dalam bukunya Catatan Seorang Demonstran: “Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemudapemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.”
39
Membingkai Potret Intelektual Muda Indonesia, Sebuah Refleksi
Hal yang menarik ketika kita bicara tentang ‘intelektual’ adalah karena dengannya kita seolah dipaksa untuk berkaca di depan album waktu yang kita beri nama ‘sejarah’. Dalam studi sejarah, Arnold Toynbee mengemukakan adanya recurrent pattern atau kecenderungan berulangnya suatu pola dengan beragam variasinya. Apakah kecenderungan ini pun berlaku ketika memperbincangkan intelektual Indonesia dari masa ke masa? Tentunya, ini akan menarik bila kita telaah bersama. Namun, saya tidak akan membuat cerita ini menjadi panjang dengan membaginya dalam periodisasi waktu yang baku, saya hanya akan membiarkan tulisan ini mengalir sependek jalan pikiran saya yang sederhana. Sejarah modern pergerakan politik, ekonomi, sosial, dan budaya nasional mencatat kaum terpelajar dalam dinamika masyarakatnya memang amat menonjol. Bahkan terlihat sejak menjelang akhir abad ke-19 dengan tampilnya sejumlah kalangan terpelajar yang melakukan kritik pedas terhadap pemerintahan 40
kolonial. Tidak sedikit diantaranya malah yang sudah berani mengajak rakyat bangkit melawan penjajahan. Perlawanan menentang kolonialisme bukan hanya dilakukan oleh mereka yang mengenyam pendidikan barat, tapi juga oleh kaum terpelajar yang berlatar pendidikan Islam.1 Pada 16 Oktober 1965, seorang saudagar batik asal Kampung
Batik
Laweyan
bernama
Hadji
Samanhoedi
mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI), sebuah organisasi modern berasas Islam pertama di Hindia Timur, yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya organisasi pergerakan lain di Indonesia. Selain memperdalam ilmu agama pada Kyai Djodjermo di Surabaya, semasa kecil ia juga mengenyam pendidikan di Inlandsche School dan Eerste Inlandsche School. Ini membuktikan bahwa Hadji Samanhoedi bukan hanya seorang pengusaha yang memegang teguh Islam, tetapi juga seorang pejuang intelektual Islam yang anti terhadap segala bentuk penjajahan. Di era yang sama, kita mengenal RM Tirtoadhisoerjo, murid STOVIA yang sering dikenal sebagai pelopor wartawan Indonesia. Ia senantiasa melakukan kritik pedas terhadap pemerintah kolonial melalui Medan Prijaji. Meskipun surat kabar 1
Yudha, D.P ; Peran Cendekiawan dalam Dinamika Masyarakat
41
tersebut bernama Medan Prijaji, surat kabar tersebut tidaklah dimaksudkan hanya untuk kaum priyayi. Malah, ia yang sebelumnya mendirikan Sjarikat Prijaji dan menjadi bagian dari Boedi Oetomo menulis: Aduh! Dalam programnya perkumpulan muda ini memang memuat maksud yang begitu2, akan tetapi antara maksud dan kesampaiannya maksud itu masih ada ruang lebar... tetapi yang demikian juga tak dapat diharapkan, sebab anggota Boedi Oetomo juga ingin berumah yang patut dan penghidupan senang, hingga masing-masing hendak mencari pekerjaan yang baik, biar di kandang gubermen, biar di halaman partikulir�3 Kehebatan tulisan itulah yang membuat Tirto harus mengalami pembuangan ke Lampung. Namun, di masa pembuangannya pun ia tak pernah berhenti menulis karangankarangan yang bertujuan membela rakyat kecil serta melawan praktik buruk dari pemerintah kolonial setempat. Apa yang dialami oleh Tirto dilukiskan indah oleh Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi pulau buru-nya yang terkenal itu. Termasuk juga kisah pertemuan antara Tirto, Mas Marco, serta Hadji Misbach.
2
maksudnya, melepaskan rakyat dari penderitaan akibat kolonilalisme
3
Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 180
42
Hadji Misbach mendirikan Medan Moeslimin pada tahun 1915 dan Islam Bergerak pada tahun 1917. Salah satu tulisannya yang dirilisnya dalam Medan Moeslimin berjudul Sroean Kita mengundang ragam kontroversi. Ia menyindir umat Islam yang kaya namun enggan bersedekah, juga umat Islam yang memiliki ilmu agama namun enggan mengajarkannya pada bangsanya, malah mereka gunakan untuk menipu bangsanya sendiri. “..itulah sebabnya bangsa kita yang muslim itu terjerumus dengan tipu daya orang yang mengisep darah kita.. itulah sebabnya kita kaum muslim harus melawan dengan sekeras-kerasnya.. contohlah bergeraknya jujungan kita Kanjeng Nabi Muhammad saw yang menjalankan perintah Tuhan dengan tidak mempedulikan payah susah yang terdapat olehnya, tiada takut sakit mati untuk melawan perbuatan sewenang-wenang.. Siapa yang merampas agama Islam, itu yang wajib kita BINASAKEN!�4 Tulisan tersebut menjadi
semangat dan gairah
keberagamaan yang baru. Agama tidak lagi menjadi anjuran beramal shalih yang diterjemahkan hanya sebagai ibadah ritual, 4
Ibid, hal 182
Sumber asli: Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 hal 181
43
tetapi mampu menjadi alat melakukan transformasi sosial. Selanjutnya,
Hadji
propaganda
dan
Misbach memimpin
terus
berusaha
beragam
aksi
melakukan pemogokan.
Langkahnya semakin masif setelah ia bergabung dengan Sarekat Islam.5 Mas Marco Kartodikromo berada dalam sekoci yang sama dengan Hadji Misbach dalam berjuang lewat propaganda melalui tulisan. Ia menulis dalam novelnya, Student Hijo: “...Tuan berkata orang Jawa kotor, tetapi Tuan toh mengerti juga bila ada orang Belanda yang lebih kotor daripada orang Jawa... “Orang Jawa bodoh”, kata Tuan, “Sudah tentu saja, memang pemerintah sengaja membikin bodoh kepadanya. Mengapakah Regeering tidak mengadakan sekolah secukupnya untuk orang Jawa of Orang Hindia, sedang semua orang mengerti bahwa tanah Hindia itu yang membikin kaya tanah kita Nederland?”6 Logika bahwa penduduk pribumi adalah bangsa primitif, kotor, dan terbelakang inilah yang menjadi pembenaran Kelak, Hadji Misbach mengalami perbedaan prinsip yang cukup besar dengan kalangan SI sehingga ia keluar dan mendirikan Partai Komunis Indonesia. Ini pelajaran berharga yang patut dicatat dalam sejarah, bukan dihilangkan karena dianggap sebagai aib. 5
6
Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 189
44
bagi kaum penjajah melanggengkan kekuasaannya di tanah Hindia. Hal ini juga yang membuat kaum terpelajar kita kala itu ‘menjauh’ dari akar masyarakatnya. Sebab, mereka pun tidak ingin dikategorikan sebagai kaum kromo yang primitif, kotor, dan terbelakang. Multatuli, dalam roman yang ditulisnya berjudul Max Havelaar menulis bagaimana dogma agama menjadi pembenaran bagi Belanda menjajah bangsa Hindia dalam ceramah yang dilakukan oleh Blatherer. “Arahkan pandangan anda ke kepulauan di Samudera Hindia, dihuni oleh berjuta-juta anak dari putra terkutuk-putra yang sangat terkutuk-Nuh yang mulia7, yang menemukan rahmat di mata Tuhan! Di sana dalam ketidaktahuan mereka merangkak di sekitar sarang ular berhala yang menjijikan-di sana mereka menyembah kepala hitam, keriting di bawah penindasan pendeta egois! Disana, mereka berdoa kepada Tuhan, memohon pada nabi palsu yang merupakan kebencian di dalam pandangan Tuhan...�8
Dikisahkan, kaum Hindia adalah keturunan Kanaan, putra nabi Nuh yang enggan mengimani risalah yang dibawa ayahnya. 7
8
Multatuli, Max Havelaar halaman 165
45
Lebih lanjut, Blatherer menyampaikan enam tugas yang ia klaim harus mereka lakukan guna menyelamatkan ‘para penyembah berhala miskin’, yang di dalam salah satu poinnya berisi: “Memerintahkan masyarakat Jawa agar dibawa ke Tuhan dengan cara bekerja.” Logika berpikir inilah yang membuat Tan Malaka resah. Belanda memang memberikan kesempatan bagi kaum pribumi untuk belajar (berhitung dan baca tulis), akan tetapi tujuan pendidikan itu pun hanya mendapatkan buruh dengan upah rendah. Tan yang resah kemudian mendirikan ‘Sekolah Rakyat’9 bersama SI Semarang. Sekolah ini tak hanya mengajarkan pada para muridnya agar memiliki keterampilan untuk bekerja dan memenuhi hajat hidupnya, tapi juga menanamkan kesadaran kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan dan penindasan. Begitulah,
kaum
intelektual
di
zamannya
mentransformasikan ide dan gagasan yang mereka yakini dalam praksis kehidupan berbangsa. Memang, ada saat dimana terjadi pertentangan ide dan gagsan hingga menyebabkan konflik, baik Tan Malaka tidak pernah menamai sekolah tersebut dengan nama “Sekolah Kerakyatan”. Para sejarawan lah yang kemudian menamakan dengan nama tersebut karena orientasi pendidikannya berakar pada permasalahan dan kebutuhan rakyat. 9
46
konflik ideologis maupun politis, akan tetapi yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah kemampuan para cendekiawan kritis masa itu mengatasi perbedaan yang ada. SI misalnya, pada rapat di Purwokerto dikacaukan oleh Moeso lewat SI Merahnya. SI pun pernah ribut dengan Muhammadiyyah karena tak senang dengan sikap Muhammadiyyah yang non-politik dan hanya bergerak di dalam agama. Konflik antara Semaoen dan HOS Tjokroaminoto pernah terjadi, namun Semaoen memilih diam dan Tjokro pun menganggap kelakuan Semaoen sebagai bentuk gejolak kaum muda. Pun, konflik itu pernah terjadi antara kubu Soekarno dan Hatta-Sjahrir. Soekarno yang lebih memilih berjuang dengan agitasi masa lewat pidatonya, serta Hatta-Sjahrir yang memilih berjuang dengan PNI-Baru (Pendidikan Nasional Indonesia) yang berasas sosialis. Inisiatif kaum muda yang brilian itu tak berhenti sampai
disana,
generasi
tua
yang
memegang
tampuk
pemerintahan pasca proklamasi kini diimbangi dengan gerakan kaum muda. Inisiatif brilian itu dilakukan jelang dua tahun setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 5 Februari 1947 ketika pemuda Lafran Pane memprakarsai berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam. Kelahiran HMI erat kaitannya dengan realitas kebangsaan, keagamaan, dan kemahasiswaan yang hidup di masa tersebut. Realitas kebangsaan tersebut dapat dilihat dari upaya 47
HMI guna turut serta dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Selain realitas kebangsaan, kehadiran HMI terkait pula dengan realitas keagamaan dan kemahasiswaan, dimana agama Islam saat itu tidak dilaksanakan secara konsisten oleh umat Islam sendiri, terutama mahasiswa. Lafran Pane, bersama kawan-kawannya di UII, melihat pentingnya kembali menegakkan ajaran Islam di kalangan mahasiswa, seperti sholat tepat waktu, dan lain-lain. Dalam perkembangan selanjutnya, HMI secara aktif terlibat dalam melakukan pengkaderan generasi muda bersama PMII dan IMM (yang lahir setelahnya), serta beberapa organisasi mahasiswa lain seperti GMNI, PMKRI, CGMI, dan lain-lain. Sependek referensi yang pernah saya baca, saya akhirnya mengenal beberapa ‘intelektual’ yang hidup di zaman pasca kemerdekaan. Mereka menuliskan sepenggal perjalanan hidupnya lewat catatan harian. Diantaranya, Soe Hok Gie (Catatan Seorang Demonstran), dr.Sulastomo (Hari-Hari yang Panjang 1963-1966), serta Ahmad Wahib (Pergolakan Pemikiran Islam). Ketiga orang tersebut jelas adalah mahasiswa. Gie adalah mahasiswa Ilmu Sejarah UI yang berafilisasi terhadap PSI. Sulastomo adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran UI yang juga merupakan Ketua Umum PB HMI tahun 1963-1966. Ahmad 48
Wahib adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Pasti dan Alam UGM yang juga merupakan kader HMI. Dari catatan harian yang mereka tuliskan, dapat kita simak dengan jeli bagaimana mereka sebagai mahasiswa memandang berbagai persoalan yang terjadi di pada tahun yang diklaim bersejarah bagi gerakan mahasiswa di Indonesia (yang katanya) menumbangkan kekuasaan tiran, yakni tahun 1965 ketika meletus peristiwa G-30 September. Saya tidak akan mengulas lebih lanjut mengenai peristiwa itu. Akan tetapi, ternyata ada hal menarik yang terjadi pada persepsi Sulastomo dan Arief Budiman berkaitan dengan peristiwa tersebut. Arief Budiman mengatakan bahwa pada 1965/1966 mahasiswa sebenarnya bukanlah kekuatan yang independen. Ia menekankan agar mahasiswa tak berilusi bahwa orde baru dilahirkan oleh mahasiswa. Tapi ya, hanya ilusi saja, dan tidak benar. Sebab, yang terjadi sebenarnya saat itu adalah pertarungan antara ABRI melawan PKI dengan gerakan mahasiswa sebagai ujung tombak. Mahasiswa sendiri tidak mungkin bergerak tanpa dukungan ABRI. Oleh karena itu, kemenangan mahasiswa ketika itu sebenarnya merupakan bagian kecil dari pertarungan yang lebih besar dan mungkin tidak kelihatan.10 10
Sulastomo, Hari-Hari yang Panjang Hal 115
49
Sulastomo secara bijak menanggapi pendapat yang Arief Budiman katakan, “Sekali lagi memang salah apabila ada anggapan Orde Baru dilahirkan oleh mahasiswa. Tetapi juga tidak betul apabila mahasiswa digambarkan tidak berperan apaapa. Sebab, kekuatan Orde Baru adalah kekuatan rakyat yang sedemikian luas, ya mahasiswa, ABRI, pemuda, dan lain-lainnya. ABRI berperan besar dan menjadi pelopor adalah benar. Tetapi memfokuskan persitiwa 1965/66 hanya pada pertarungan yang besar antara PKI dan ABRI, dapat menimbulkan interpretasi yang
mungkin
lain,
yang
mungkin
juga
kurang
menguntungkan.�11 Irawan Puspito menjabarkan secara lebih general kemelut dan pertentangan garis politik yang terjadi di antara organisasi-organisasi mahasiswa jelang persitiwa 30 September 1965: Organisasi mahasiswa yang secara tajam mengikuti garis Presiden Soekarno adalah GMNI, dan yang sejalan dengan garis ABRI adalah HMI, PMKRI, dan SOMAL (Sekretariat Organisasi-Organisasi Mahasiswa Lokal). Sedangkan yang mengikuti dan mendukung garis PKI adalah CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia).12 11
Ibid, hal 121
12
Dynamics of Islamic Student Movements, hal 85
50
Mungkin, ingatan kita akan kembali pada adegan di film Gie yang mengisahkan pertentangan pelik yang terjadi antar organisasi mahasiswa tersebut, kemudian bersatunya mereka saat berusaha menumbangkan kekuasaan Orde Lama. Namun, yang patut kita cermati lebih lanjut adalah adegan saat Gie bertemu kawannya yang telah menjadi anggota dewan pasca lahirnya Orde Baru. Adegan tersebut memberi ilustrasi lahirnya calon borjuis kecil yang diam-diam membina hubungan intim dengan pemerintah hingga berimbas pada untung dan proyek, akhirnya idealisme dan semangat militan pun dibonsai jadi kepatuhan pada kenikmatan dan kemegahan. Gagasan demokrasi kemudian dibunuh oleh para pejuangnya. Anak-anak muda yang dulu antusias mengutuk rezim Soekarno duduk antusias di kursi parlemen, berkoalisi menguras lebih dalam kekayaan bangsa untuk kantong pribadi bersama rezim baru yang kini berkuasa. Pasca diberlakukannya Normalisasi Kegiatan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada 1974, praktis ruang gerak mahasiswa baik internal maupun ekstra kampus mengalami pengebirian yang luar biasa. Dampaknya, kampus menjadi tempat yang steril dari kegiatan politik mahasiswa, dan semata difungsikan sebagai lembaga pengkajian akademis.
Kelesuan
menyebabkan
aktivisme
munculnya
mahasiswa
pola-pola
gerakan
yang baru
terjadi yang 51
berkembang dalam kancah kemahasiswaan, khususnya gerakan mahasiswa Islam. Diantaranya, 1) ormas kemahasiswaan yang telah ada sebelumnya seperti HMI, IMM, dan PMII, 2) kelompok mahasiswa Islam yang bersentuhan dengan pemikiran Islam kiri, serta 3) munculnya aktivitas keislaman berbasis masjid-masjid kampus. Fenomena gerakan yang berbasis masjid kampus ini dimotori oleh seorang tokoh HMI bernama Imaduddin Abdulrahim. Melalui beliau, gerakan ini mengakar ke seluruh kampus di Indonesia yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya FSLDK (Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus). Telah beberapa kali dilangsungkan pertemuan FSLDK guna membahas khittah LDK agar tercipta kesamaan pemahaman dan kesamaaan arah dalam melaksanakan strategi dakwah kampus, hingga pada FSLDK Ke X di Malang para Aktivis Dakwah Kampus tersebut menyadari perlunya respon terhadap kondisi perpolitikan nasional
yang
begitu
memprihatinkan.
Selepas
acara,
dideklarasikanlah kelahiran Front Aksi yang disepakati bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) pada 29 Maret 1998. Pada muktamar nasional pertama pada tanggal 1-4 Oktober 1998 dimulailah era baru bagi KAMMI, yakni perubahan statusnya sebagai front aksi menjadi ormas yang permanen. 52
Reformasi yang senantiasa digadang-gadang dengan penuh kebanggaan bukanlah sejarah yang indah, sebab setelah reformasi
ternyata
gerakan
mahasiswa
belum
berhasil
membangun mimpinya akan sebuah negara yang ideal. Gerakan mahasiswa berubah atributnya menjadi gerakan moral, masa kepahlawanan
selesai,
ada
sisi
yang
hilang
karena
ketidakmampuan gerakan dalam menggalang massa. Gerakan mahasiswa menjadi kebingungan membawa peran, saat mereka pulang kandang ke kampusnya, mereka punya aturan-aturan baru, namun kampus ternyata lebih dahulu membuat aturanaturannya sendiri. Ide-ide para ‘pahlawan reformasi’ ini pun tidak hidup. Konsep tanpa prinsip dan uang ternyata tak bisa terealisasi. Ide mahasiswa menghantam kekuatan yang jauh lebih besar. Wujud eksperimentasi gerakan mahasiswa dengan corak kiri-kanan yang menggaungkan politik progresif pun digempur militer. Habislah intelektual kampus. Mereka yang pintar akan masuk ke dalam birokrasi, sementara yang radikal akan tersingkir. Mulai tahun 2001-2002, tradisi intelektual menjadi menurun. Disisi lain, masyarakat mulai meragukan efek reformasi sebab demokrasi nyatanya tak menjamin apa yang dulu dijamin oleh Soeharto (meski diberikan dengan hutang luar negeri). Gerakan Mahasiswa pun hanya hidup saat pergantian kepengurusan, pelantikan, dan 53
diskusi. Kita pun kian terjebak, antara keinginan untuk melakukan pemberontakan atas tatanan dan ketidaktahuan merumuskan alternatif. Mungkin karena
itu
kebanyakan
kemudian memilih pilihan pragmatis yang paling realistis: mengadakan seminar, lomba ini itu, dan lain sebagainya. Lantas, peran apa yang mestinya diambil oleh para intelektual hari ini? Izinkan saya mengutip Manhaj Kaderisasi KAMMI 1427 H, sebagai berikut: Kritik mendasar pada gerakan mahasiswa adalah ekspresi reaksionernya pada berbagai isu. Bentuk reaksioner ini mengindikasikan bahwa gerakan itu tidak memiliki agenda atau termakan agenda orang lain. Gerakan mahasiswa bukanlah alat pukul politik yang disibukkan mencari musuh dan bergerak sebagai watch dog. Gerakan mahasiswa adalah aset masa depan, maka ia harus memiliki rencana masa depan bangsanya yang kelak ia pun ikut andil dalam proses kepemimpinan bangsa ini. Kompetensi dasar atas itu merupakan wujud dari pengokohan gerakan yang menjadikan dirinya lebih kontributif pada pemecahan masalah umat dan bangsa. Menjadi proaktif (tidak reaksioner) bukan berarti abai terhadap permasalahan, kemudian menjadi permisif dan enggan turun tangan. Kaum intelektual wajib menjunjung tinggi dasar ilmiah sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pilihan sikapnya. 54
Pers pernah menjadi alat perjuangan yang mematikan guna melawan kaum penjajah, saat ini pers berubah menjadi penjajah baru yang mematikan intelektualitas dan moral bangsa, kaum intelektual muda memiliki tanggung jawab yang besar untuk membuat arus baru pers yang mencerdaskan. Ragam organisasi pernah didirikan sebagai bentuk ijtihad para founding fathers guna mewujudkan cita-cita besar kemerdekaan Indonesia (dan mereka berhasil), kaum terdidik kita hari ini pun memiliki organisasi untuk mewujudkan cita-cita bersama (Indonesia yang lebih baik), maka pendidikan kader dan penanaman ideologi yang persisten dan konsisten mesti kita jaga dan tanamkan baik-baik, disamping turut andil berbuat dan berkarya untuk menjadi solusi permasalahan umat dan bangsa. Jumlah perguruan tinggi hari ini semakin banyak. Pertemuan mahasiswa semakin mudah, tukar menukar gagasan pun semakin mudah. Yang perlu kita ciptakan adalah momentum dan kesempatan mengambil peran. Sebelum menuju kesana, yang perlu kita perhatikan benar adalah memulihkan kembali kepercayaan publik pada gerakan mahasiswa. Produksi ide kita harus lebih banyak, harus lebih autentik dan genuine. Bukan berdasar kata senior ataupun pendapat mainstream para ilmuwan sosial yang kini lebih memilih menjadi ‘pelayan pembangunan’ ketimbang penggerak perubahan. 55
Gerakan pemuda harus mengakar pada kebutuhan rakyat, dan kita hanya akan bisa mengerti apa yang diinginkan rakyat manakala kita mengidentifikasi diri sebagai rakyat, bukan bagian terpisahkan yang menempatkan diri dengan narsis sebagai agent of change, agent of social control, iron stock, moral force, dan lainlainnya. Sebutan langitan ini membuat mahasiswa berada pada posisi yang berbeda dengan rakyat secara umum, ‘merasa’ lebih intelek-lah, lebih rasional-lah, lebih inilah, itulah. Karena mahasiswa adalah rakyat, maka tiap langkah yang kita ayun, tiap jejak yang kita buat, tiap goresan tinta yang kita torehkan, merupakan tindakan sadar kita sebagai bagian himpunan bernama rakyat. Kita menyadari inferoritas kita ditengah superioritas mitologi yang membangun kerangka diri kita selama ini, menyadari sepenuhnya bahwa sebagai rakyat kita memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mudah-mudahan dengan menghidupkan kesadaran ini, tidak akan lagi terjadi dikotomi yang terbangun antara diri dengan rakyat, sebab kita sendiri pun harusnya menempatkan diri sebagai bagian inheren dari rakyat, tanpa menafikan kapasitas keilmuan yang kita miliki secara teori maupun praksis yang kita dapat di perguruan tinggi. Pada akhirnya, selain mengidentifikasi diri sebagai bagian kolektif dari rakyat, tak bisa tidak, kita mesti 56
mengidentifikasi diri sebagai individu, sebagai pribadi. Sebagai pribadi,
kita
bisa
berkaca
pada
Hadji
Misbach
yang
menggaungkan semangat perlawanan pada kekuasaan yang menggurita atas nama Tuhan. Kita bisa berkaca pada Tan Malaka yang membangkang terhadap otoritas pendidikan di zamannya dengan membuat sistem pendidikan yang memerdekaan, merakyat, dan membebaskan. Kita bisa berkaca pada RM Tirtohadiserjo yang menolak kemapanan sistem dan memilih bergerak dengan kekuatan pena. Apabila kita tak merasa nyaman dengan mengidentifikasi pada sosok-sosok tersebut, yakinlah bahwa kita bisa memainkan peran kita sendiri, tanpa menunggu naskah maupun skenario dari sutradara. Mengambil peran adalah kebutuhan tak terbantah bagi mereka yang mengaku sebagai kaum intelektual! Akhirul kalam, Ihdinaashhirotholmustaqiim. Tunjukilah kami jalan yang lurus Ya Tuhan kami.. Sumber Bacaan: Islam, R. J. (2013, November 15). Jejak Islam untuk Bangsa. Retrieved Oktober 4, 2014, from Hari-Hari Terakhir
57
Hadji Samanhoedi; Pejuang yang Ter(Di)Lupakan: http://www.jejakislam.net/?p=225 Multatuli. (2008). Max Havelaar. Jakarta: Penerbit Narasi. Prasetyo, E. (2008). Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin. Yogyakarta: Resist Book. Puspito, I. (2009). IMM sebagai Mata Rantai Intelektual Muslim. In C. N. Saluz, Dynamics of Islamic Student Movements (pp. 77-103). Yogyakarta: Resist Book. Raharjo, M. D. (1996). Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan Negara:
Wacana
Lintas
Kultural.
In
Kebebasan
Cendekiawan, Refleksi Kaum Muda. Jakarta: Pustaka Republika. Sulastomo. (2000). Hari-Hari yang Panjang 1963-1966. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Wahib, A. (2013). Pergolakan Pemikiran Islam. Jakarta: Pustaka LP3ES. Yudha, D. P. (1996). Peran Cendekiawan dan Dinamika Masyarakat, Sebuah Refleksi. In Kebebeasan Cendekiawan,
58
Refleksi Kaum Muda (pp. 60-74). Yogyakarta: Pustaka Republika.
59
Leiden is Lidjen, Memimpin adalah Menderita Teladan Kepemimpinan Haji Agus Salim Pasca
transisi
kepemimpinan,
Indonesia
masih
dihadapkan pada pelbagai persoalan yang tak kunjung usai. Alihalih beradu argumen ideologis guna menyelesaikan persoalan bangsa, elite politik kita malah asyik berebut pengaruh dan kekuasaan. Pembusukan institusi legislasi tak terhindarkan. Kepercayaan rakyat pada para wakilnya tak pelak musti pupus bahkan sebelum mereka ‘bergerak’. Sebagai himpunan besar bernama ‘rakyat’, sudah pasti kita kecewa. Lantas, kita pun bertanya, “Mengapa pentas politik menampilkan lakon wayang yang tak menarik?”, “Apakah padang kurusetra berpindah di ruang dewan?”, “Tidak adakah figur pemimpin yang patut jadi teladan bagi rakyatnya?” Agaknya mereka lupa. Bisa jadi kita enggan membaca. Bahwa Republik pernah lahirkan tokoh pemimpin besar di masa 60
lalu. Bahwa fakta sejarah itu tak hanya patut diperingati, apalagi berakhir di hafalan para pelajar sekolah negeri. Tanpa berniat lakukan glorifikasi,
penulis ingin hadirkan kembali ia yang
berikan teladan terbaik kepemimpinan. Terlahir dengan nama Masjhudul Haq (Pembela Kebenaran), agaknya menjadi spirit bagi dirinya untuk selalu konsisten membela bangsanya dari penjajah. Spirit itu ia wariskan pada
para
pemuda
Islam
yang
kelak
lanjutkan
jejak
perjuangannya. Natsir, Roem, Kasman, Soeparno, dan banyak aktivis JIB (Jong Islamieten Bond) menjadikannya Bapak tempat bertanya dan menempa diri. Ia mendidik, bukan mengajari. Ia menyederhanakan persoalan, bukan membuatnya makin rumit. Ia tak mendikte solusi, tapi memberi ruang untuk
setiap
kemungkinan alternatif jawaban. Di awal berdirinya Republik, ia tampil penuh percaya diri di panggung dunia. Ia lakukan lawatan ke negara-negara Timur Tengah demi pengakuan kedaulatan atas negara yang terus mengalami invasi militer pihak Belanda. Karena diplomasi seorang poliglot (seorang yang mampu menguasai banyak bahasa) yang brilian ini, sejumlah negara Arab berturut-turut mendukung pengakuan kedaulatan Indonesia. Tak pelak, Soekarno menjulukinya, The Grand Old Man. 61
Dalam konteks politik, Haji Agus Salim pernah terlibat dalam situasi yang pelik. Intrik dan konflik internal melanda Sarikat Islam- Partai Sarikat Islam, ketika ia menjabat dalam struktur kepengurusan pusat. Hal ini akibat infiltrasi yang dilakukan Partai Komunis Indonesia. Ia selesaikan konflik dalam partai dengan cara yang beradab: adu argumen dan debat terbuka. Akhirnya, disiplin partai diterapkan. Mereka yang komunis tersingkir, purifikasi ideologi dilakukan dengan mantap. Meski menghendaki Islam sebagai dasar negara, Haji Agus Salim tidak bertindak agresif. Dengan kepala dingin, ia menjadi penengah kubu nasionalis dan kubu Islamis dalam Panitia Sembilan saat rumuskan dasar negara. Diakui lawan politiknya, Willem Schermerhorn, hanya satu kelemahan Haji Agus Salim, yaitu “selama hidupnya selalu melarat dan miskin�. Deliar Noer, sejarawan Indonesia menguatkan pendapat ini: “Sampai akhir hayatnya, salim tak pernah hidup mewah, tidak mengeluh dengan keadaan dan tanpa mengurangi gairah perjuangan.� Bagaimana tidak? Sampai akhir hayatnya, ia tak memiliki rumah tinggal yang tetap. Tanpa lelah dan keluh kesah, ia, istri, dan ketujuh anaknya berkali-kali pindah rumah kontrakan, sempat ia hanya mampu mengontrak satu kamar saja. Saat anaknya meninggal, ia bahkan tak memiliki uang guna 62
membeli kafan. Ia cuci taplak meja dan kelambu untuk mengkafani anaknya. Leiden
is
Lidjen,
Memimpin
adalah
Menderita.
Demikian keteladanan yang Haji Agus Salim ajarkan dengan tindakan. Bukan semata lewat spanduk dan iklan. Apalagi pencitraan murahan yang jadi bahan cemooh dan ejekan. Semoga kita belajar..
63
Menjelang Akhir Kepengurusan “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.� (QS al-Anfal [8]: 27).
Pergantian kepengurusan dalam sebuah organisasi adalah suatu keniscayaan sekaligus menjadi bukti bahwa denyut organisasi masih berdetak. Adalah merupakan sunatullah, jika silih berganti aktivis datang dan pergi mengisi pos-pos struktural kelembagaan untuk berkontribusi dengan memaksimalkan potensi yang dimilikinya, karena di sanalah ia ditempa untuk mempersembahkan totalitas perjuangan dan pengorbanannya demi tercapinya visi dan misi lembaga. Perjalanan mengemban amanah ini tak selamanya mulus. Ada onak, duri, serta berbagai rintangan yang menghalangi. Karena itulah, seorang aktivis diharapkan bisa menjadi sebuah pisau belati yang selalu terasah tajam, yang memiliki semangat pengabdian, perjuangan, serta pengorbanan 64
secara maksimal dalam setiap bidang kelembagaan tempat ia beramanah Jika ada pengurus baru yang menggantikan pengurus lama, ini berarti bahwa mereka tengah mendapat kepercayaan total untuk mengemban amanah agar ditunaikan dengan penuh totalitas, profesionalitas, dan dedikasi. Pengurus lama yang lengser dari jabatan strukturalnya, bukan berarti kehilangan amanahnya, meskipun secara formal memang Ya. Pasca kepengurusan,
diharapkan
mereka
tetap
menggafiliasikan
idealisme dan pemikirannya untuk keberlangsungan dakwah. Jadi, tidak terbatas pada struktur kelembagaan semata. Kita memikul amanah dari orangtua kita untuk mengoptimalkan potensi fikriyah kita dalam konteks akademis, yakni kuliah. Di sisi lain, kita ingin menembangkan soft-skills kita dengan berorganisasi, yang dengan otomatis membuat kita ‘beramanah’. Dalam konteks ini kita dituntut untuk bisa menyeimbangkan keduanya sesuai proporsi dan porsi yang tepat. Ironisnya, terkadang sikap kekanakkan kita muncul, banyak mengeluh karena amanah yang begitu banyak dengan waktu yang begitu terbatas. Juga rasa lelah yang mencekik dan membuat sesak di dada.
65
Seringnya, hal ini menjadi alasan dan dalih kita untuk mengesampingkan kedua amanah yang dipercayakan pada kita. Menjadikan kesibukan berorganisasi sebagai alasan ketika mendapat IPK rendah, atau malah sebaliknya, menjadikan akademis sebagai dalih untuk melalaikan tugas kelembagaan. Allah tidak akan membebankan pada seseorang suatu ujian yang diluar kesanggupannya. Jika kita bisa melakukan hal yang nilainya (misal saja) A, namun yang kita dapatkan adalah B. Maka, adalah suatu yang lumrah ketika dipertanyakan, “ apa jeda yang memisahkan antara A dan B?� Kita adalah sopir. Apakah kita mampu membuat kendaraan kita mempercepat laju menuju tujuan, atau malah sebaliknya. Kembali pada kita, inti dari pergerakan ini. Seberapa kita mengenal kendaraan kita, mampukah mengoperasikannya dengan baik, dan apakah kita tahu apa yang mesti dilakukan manakala chaos terjadi padanya. Ya memang benar. Kembali pada kita, sang pengendara. Di sinilah saatnya kita merefleksikan diri. Benarkah Allah sebagai tujuan? Jika demikian, sesulit apapun medan, takkan jadi penghalang. Sungguhkah ikhlas sebagai landasan perjuangan? Bila begitu, tiada pantas keluhan demi keluhan terlontarkan. Da’wah memang indah, Kawan. Ia mempesona kita 66
bukan dengan fasilitas yang ditawarkan namun justru oleh tantangan yang memayahkan. Tapi Allah Mahaadil. Ia sediakan jiwa-jiwa penghangat perjuangan, Ia Berikan tangan-tangan yang kan raih kita saat hendak terjatuh. Ia sediakan saudara seiman, dan itulah yang buat manisnya perjuangan.
67
Dari Renungan hingga Diskusi
68
Bijak Tanggap Isu
Dalam menyongsong mihwar daulah, ada beberapa hal yang nampak jelas terlihat. Jika pada mihwar sebelumnya ikhwah sangat intens dengan kajian yang berkaitan dengan akidah, ibadah, serta materi-materi lain yang menumbuhkan pemahaman mengenai tandzim, di era setelahnya persoalan yang menyangkut amal siyasi mau tak mau mendapat porsi yang cukup banyak. Dengan catatan, di era sebelumnya amal siyasi memang selalu menyertai setiap aktivitas dakwah. Misal, di mihwar muasasi, gerakan dakwah telah memiliki rakizah siyasiyah, yakni penekanan kerja di bidang politik. Adalah bukan kapasitas saya berkomentar mengenai berbagai isu yang saat ini berkembang di media massa maupun obrolan ringan di sudut-sudut kampus mengenai hasil Pemilu 2014.
Namun,
artikel
ini
(http://polhukam.kompasiana.com/politik/2014/04/14/harusn ya-pks-tidak-seperti-itu–647710.html) memang sukses membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Segera saya membuka catatan tasqif saya beberapa tahun silam dan menemukan beberapa catatan menarik. 69
Memang,
sebagai follower,
over-reaktif
dalam
menghadapi isu bukanlah tindakan yang bijak. Mungkin hal tersebut memang bertujuan baik, untuk tabayun, agar yang kita anggap
sebagai kebenaran dapat
tersampikan.
Akan
tetapi,
kekaburan kader dalam menyampaikan informasi dengan data yang tak valid dan sama sekali tak akurat justru akan memperkeruh isu negatif yang berkembang. Sayyid Muhammad Nuh sendiri dalam bukunya Terapi Mental Aktivis Harakah pernah mengatakan bahwa tabayun adalah kewajiban qiyadah. Sebagai jundiyah, kita semestinya tidak tergesa-gesa dalam menguatkan suatu pendapat, baik dengan over-reaktif men-share-kannya secara terus menerus maupun memberi komentar-komentar yang berdasar dari asumsi pribadi. Mengutip Ust Eko Novianto dalam bukunya, Dakwah dan Manajemen Isu:“..tabayun, keterbukaan, ketepatan respon qiyadah, kajian kebijakan, dan integritas struktur dakwah bukanlah tugas kita sebagai individu, akan tetapi merupakan tugas struktur dakwah.� Hal tersebut seharusnya akan ditaati dan dilakukan secara bijak oleh mereka yang memahami konsekuensi dari menggabungkan diri dalam sebuah harokah Islamiyah. Ust Fathi Yakan dalam bukunya, Komitmen Muslim kepada Harokah Islamiyah menegaskan bahwa seorang mukmin adakalanya tak mengetahui tanda-tanda adanya bahaya (fitnah), sehingga ia tak 70
menyadarinya kecuali itu benar-benar telah terjadi. Oleh karena itu, seorang Mukmin harus berhati-hati dalam berucap, berbuat, dan bersikap agar tidak mendatangkan bencana bagi orang-orang yang beriman. Perkara ini kembali diingatkan oleh Sayyid Muhammad Abdul Halim Hamid, dalam bukunya Karakteristik dan Perilaku Tarbiyah, beliau berpesan, “Memberikan perhatian kepada perkataan yang buruk dan cepat mengambil keputusan atas isu dan praduga tidak akan menghasilkan apapun kecuali semakin membuat ia durhaka dan menjauh.� Hal ini berlaku baik untuk mereka yang berada dalam internal gerakan dakwah, maupun mereka yang berada di eksternal gerakan, bahkan musuh-musuh dakwah. “Janganlah kita menghancurkan jembatan antara kita dan lainnya, meskipun mereka berbuat jelek dan menjelekjelekkan.� Pernah, saya coba ingatkan kawan yang cenderung senang mengumbar data-data yang kurang valid, menyerang rival politik, dan melakukan klarifikasi tak berdasar, namun atas alasan tsiqah pada berita/info yang ia miliki, ia tak gubris yang saya katakan. Lalu, saya pun bertanya-tanya, apa sebenarnya makna dari tsiqah?
71
Ust Fathi Yakan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tsiqah adalah kepercayaan seorang prajurit akan kemampuan dan keikhlasan komandannya secara mendalam sehingga membuahkan kecintaan, penghargaan, penghormatan, serta ketaatan. Sayyid Abdul Halim Hamid mengungkapkan bahwa tsiqah adalah ketenangan hati tanpa adanya keragu-raguan. Kebutuhan akan tsiqah menjadi prioritas yang penting saat ini. Lebih lanjut, beliau menerangkan mengenai bentuk-bentuk tsiqah. Pertama, tsiqah kepada Allah swt. Ketika terjadi perang dengan tentara kebatilan, dan para tentara mendapat desakan keras, maka tsiqah pada kebersamaan Allah dan dukungan serta pertolongan-Nya dapat meringankan kerasnya tekanan yang dihadapi. Kedua, tsiqah kepada diri sendiri. Tsiqah ini berlandaskan pada keyakinan bahwa segala sesuatunya ia serahkan hanya kepada Allah swt. Ketiga, tsiqah kepada
manhaj
(sistem) dengan
konsisten selama sistem bersumber dari sumber Islam,
72
diturunkan dari sumber Islam, serta pada substansinya secara keseluruhan dan terperinci. Keempat, tsiqah kepada kepemimpinan, selama ia memimpin atas sistem kebenaran, memberi contoh dengan komitmen, ketekunan, dan bermujahadah di jalannya. Kelima, tsiqah kepada prajurit yang merupakan hak tentara atas kewajibannya memberi, berkarya, dan berkorban terhadap pemimpin. Keenam, tsiqah antar individu asalkan mereka adalah kelompok kaum mukminin yang merupakan ahli agama serta senang menciptakan perdamaian. Akan tetapi, yang perlu diingat bahwa kepercayaan ini kadang dimanfaatkan oleh orang-orang yang munafik dan perekayasanya. Maka dari itu, kehati-hatian dalam mencerna ragam informasi yang disajikan di media merupakan keharusan bagi tiap muslim dimanapun berada.
73
Baratayuda di Negeri Kita
Pasca deklarasi pencapresan Jokowi-JK dan PrabowoHatta, media mulai ramai dibanjiri pemberitaan mengenai kedua sosok tersebut. Masing-masing kader maupun simpatisan seolah memiliki energi tak terbatas guna menggali latar belakang masing-masing tokoh, dari mulai orangtua, anak, prestasi yang pernah diperoleh, hingga berderetnya kasus yang masih belum tuntas hingga saat ini. Sebagai orang awam yang baru mulai belajar untuk melek politik, saya tak ingin banyak berasumsi macam-macam. Entah dengan memberi dukungan pada salah satu calon, maupun menistakan calon yang lainnya dengan argumen yang saya ragukan kebenarannya. Tidak, saya tak mau melakukan hal yang (menurut saya) konyol itu. Hanya saja, melihat beberapa hari belakangan beranda facebook, blog, dan twitter saya ramai, saya pun mulai gatal dengan sesekali menandai ‘suka’, meski menahan diri untuk tidak menshare, me-reblog, maupun meretweetnya. Alih-alih teori, saya malah jadi ingat akhir perang Baratayuda yang tragis. Lho? Kok bisa? Bukannya kebaikan 74
menang atas kejahatan? Pandhawa menang! Ya, memang Pandhawa menang, akan tetapi peniadaan kurawa hingga ke akarakarnya, nyatanya tak membawa pada kejayaan yang agung dan diidamkan. Kematian para Kurawa membuat daya hidup Pandhawa juga habis. Memang, Pandhawa berhasil menguasai Astina, tapi apa gunanya itu semua ketika seluruh keturunan Pandhawa pun berhasil dimusnahkan (dengan perkecualian Parikesit)? Hingga pada akhirnya, Pandhawa pun harus menghadapi kematian serupa di puncak Mahameru, menyisakan Yudhistira
dan
anjingnya
dalam
perjalanan
panjang
menemukan hakikat. Mungkin, dialog antara Arjuna dan Kresna di awal perang besar itu patut menjadi renungan bagi kita. Sesaat sebelum perang berkecamuk, Arjuna berkata kira-kira begini, “Mungkinkah kepemilikan suatu negara seimbang dengan korban-korban sedemikian besar?� Jika saja Kresna menyepakati perkataan Arjuna dan memilih menyarankan membatalkan pertempuran di detik-detik terakhir, (toh Pandhawa telah hidup damai di Amarta). Jika pun Kresna tetap memberikan saran yang sama untuk tetap melanjutkan pertempuran, toh Arjuna bisa menolak, dan bisa jadi kematian ratusan ribu nyawa di medan pertempuran urung terjadi, tak ada kisah tragis yang begitu memilukan ini. 75
Hanya saja, selama ini kita telah dicekoki dengan begitu mudahnya bahwa kebaikan akan selalu menang dari kejahatan. Dengan mudah, kita memberi label “BAIK� dan “BURUK� pada masing-masing golongan. Jika sesuai dengan selera, kita katakan BAIK, jika tidak, maka sebaliknya. Tapi, disinilah akan kita lihat uniknya Mahabharata. Kita tidak akan dengan mudahnya memberi label BAIK dan BURUK pada tokoh yang membangun cerita ini. Setiap peran memiliki kompleksitas dan ambiguitas wataknya. Kita betul-betul akan kesulitan menarik garis tegas yang memisahkan antara hitam dan putih, antara baik dan buruk. Jika pihak Kurawa melambangkan kebengisan, kejahatan, dan keangkaramurkaan, disana kita temukan tokoh Bhisma Dewabrata, Resi Durna, Prabu Salya, dan Karna. Mereka adalah para satria utama. Jika kita ingin melambangkan kebaikan, keadilan, dan kepahlawanan pada para Pandhawa, toh egoisitas mereka memilih korbankan nyawa tak berdosa untuk sebidang tanah patut pula dipertanyakan. Itu baru di level pihak yang terlibat dalam pertempuran, belum sampai pada level pribadi. Tak ada yang meragukan watak satria Bhisma Dewabrata. Ia adalah seorang panglima yang dihormati baik oleh Kurawa maupun Pandawa. Tentu saja ia akan memihak pada kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Lantas, mengapa ia memilih berada di pihak Kurawa? Bukankah seorang satria harus memilih 76
yang benar, yang baik, dan yang adil? Tapi di lain pihak, ia adalah seorang satria yang wajib membela tanah airnya, Astina. Bukankah seorang satria memang harus mempertahankan setiap jengkal tanah airnya ketika orang lain ingin merebutnya? Lantas, bagaimana kita akan menghakiminya saat ia mati di tengah pertempuran oleh panah Srikandi? Surga atau Neraka? Begitu pikirmu? Sengkuni memang terkenal culas dan licik, ia dituding sebagai pengobar perang Baratayuda. Tapi bagaimana dengan Kresna? Sosok yang kita kenal sebagai moksa Dewa Wisnu inilah yang mengipasi api agar menyala lebih ganas dan membara! Sebagai seorang satria, ia pun melakukan penipuan terhadap Durna dalam peperangan dengan mengabarkan berita bohong bahwa Aswatama, anaknya, telah mati (padahal yang mati gajah bernama Aswatama). Yudhistira memang terkenal arif dan bijak, tapi kalau bukan karena persetujuannya berjudi dengan Kurawa, Pandhawa tak akan terusir dari Astina begitu saja! Karna mungkin dianggap khianat pada saudara seibunya, tapi ia setia guna membalas budi atas kebaikan Duryudana. Terjebak dalam moralitas murahan baik dan buruk ini akan membuat kita kehilangan kemanusiaan kita. Mungkin kau akan berkata, yang haq telah jelas, demikian pula dengan yang bathil, tapi selesaikah sampai disana? Gambaran dunia 77
bukan hanya hitam dan putih, begitu banyak warna yang membentuk
selengkung
pelangi,
dunia
juga
demikian. Judgement asal-asalan bukan hal yang bijak. Sebagaimana
Kurawa
dan
Pandhawa
yang
mencerminkan sifat khas manusia dengan ambiguitas dan ambivalensinya, demikian pula pribadi kita. Maka, sembari menonton perang di dunia maya ini, saya pun merenung dan berkaca, (mungkin kau juga berminat melakukannya), bahwa baik dan buruk bukanlah suatu hal yang dengan mudahnya dapat diputuskan kadarnya, lebih apik lagi jika kita mau mawas diri. Tokoh yang kita kenal dalam cerita pewayangan sudah memiliki karakter khasnya masing-masing, kita tahu bijak sekaligus liciknya Durna, kita paham kejumawaan sekaligus kedewasaan Antasena dan Antareja, kita tahu watak satria Arjuna meski dia pernah pula berselingkuh dengan Dresnala. Tapi, dalam dunia nyata, watak kita tak tergambarkan sejelas itu. Apakah kita lebih dekat dengan tokoh Sengkuni ataukah Bima? Apakah kita lebih pantas disejajarkan dengan Bambang Ekalaya ataukah Prabu Salya? Jika saja kita mau jujur, barangkali dalam hati kita pun hidup ragam sosok itu, bukan hanya satu-dua, terjadi lebih dari sekedar paradoks dan ambiguitas. Kita ingin menjadi seorang pembelajar sejati macam Ekalaya, tapi apakah setelah sukses kita malah berubah menjadi Salya yang 78
mencampakkan kawan seperguruannya? Kita mungkin akan menelusup dalam batin kita terdalam untuk menemukan hakikat, lalu setelah merasakan damai itu, apa yang akan kita pilih? Bima memutuskan kembali dan menjalani pertempuran, sementara Wisanggeni memilih hidup dalam jagad cilik bersama isterinya. Bagaimana dengan kita? Ada Baratayuda yang berkecamuk dalam tiap diri kita, meskipun dalam perang besar ini kita tak lebih keberadaannya dari prajurit maupun penonton. Sebagai prajurit, kita akan dengan mudahnya membuat rasionalisasi atas perjuangan kita. Kulakukan ini karena yakin akan kebenaran, kulakukan ini atas dasar nasionalisme, kulakukan ini untuk cintaku. Sebagai penonton wayang, kita pun membuat rasionalisasi mengapa Kurawa harus kalah dan Pandhawa memang layak menang. Itu sah-sah saja. Sungguh, saya pun kesulitan menemukan motif saya (termasuk dalam tulisan ini), apakah ia murni merupakan refleksi dan saya berharap orang lain membaca serta memberikan pendapatnya mengenai tulisan ini, ataukah tercampur pula kebencian serta dukungan tersamar? Adakah pamrih? Seberapa besar? Hanya Tuhan yang tahu. Tulisan ini tak bermaksud membuat pelabelan tertentu, bahwa salah satu pasangan capres adalah Kurawa, sementara yang lainnya adalah Pandhawa. Yang ingin saya katakan adalah, dalam Baratayuda, ada
ratusan ribu
‘Baratayuda�
yang 79
berkecamuk dalam tiap diri lakonnya. Dalam kehidupan nyata, sudah pasti kita akan dihadapkan dengan situasi yang menuntut kita memilah dan memilih, lantas memberi keputusan. Tak jarang rasa bimbang menyergap, sebab baik buruk hilang batasnya, tercampur baur! Akan tetapi, pada akhirnya, kita lah yang akan mempertanggungjawabkan tiap keputusan yang kita ambil. Sebagai penutup, saya ingin mengutip perkataan salah seorang mursyid ‘Am Ikhwanul Muslimin, Syekh Hasan Al Hudhaibi: “Kami adalah juru dakwah, bukan hakim.� Pernyataan ini beliau sampaikan sebagai respon atas munculnya golongan takfiri di kalangan Ikhwanul Muslimin puluhan tahun silam. Semoga kita terhindar.
Ya Allah, Tuhan kami, tunjukilah kami jalan yang lurus.
80
Kumbakarna dan Wibisana: Tentang Sebuah Ikhtiar Menghaluskan Rasa
Malam ini saya menonton Sendratari Ramayana di Balekambang. Langit cerah, purnama merekah, lenggak lenggok gemulai lakon Shinta di pentas nampak indah. Untuk sejenak, saya terpukau oleh suasana magis yang melingkupi sekitar sebelum
beberapa
mengeluarkan smartphone/tabnya
orang untuk
mulai mengambil
ramai gambar
hingga menutupi pandangan saya ke arah tempat pagelaran berlangsung. Sembari menonton, saya iseng menguraikan jalan cerita seperti yang sebelumnya saya baca dari kisah tragis Ramayana pada kawan yang duduk di sebelah saya. Ia manggut-manggut saja, namun sepertinya ocehan saya mengganggu fokusnya, jadi saya sadar diri dan memilih diam, ikut memperhatikan. Memang, jika dibandingkan dengan Ramayana, saya lebih suka Mahabharata. Alasannya sederhana: kompleksitas karakter yang berperan dalam membangun kisah Mahabharata. Akan tetapi, itu bukan berarti Ramayana bebas dari ambiguitas 81
peran serta kategorisasi lakon hitam-putih, jahat-baik, penjahatksatria. Rahwana menculik Shinta, dia berdiri di sisi ‘yang bersalah’. Rama datang ke Alengka untuk menjemput kekasih yang dicintanya, Shinta, dia berdiri di sisi ‘yang terzalimi’. Tapi, apa yang dilakukan Rama setelah kembali ke negerinya pada Shinta juga merupakan bentuk kezaliman lainnya. Banyak yang tak tahu bahwa setelah Rama kembali ke negerinya, Rama meragukan kesucian Shinta, terpaksalah Shinta harus melakoni ritual untuk membuktikan kesetiaan dan kesuciannya dengan menceburkan diri ke dalam kobaran api yang menyala-nyala. Apakah setelah Shinta selamat Rama tetap meyakini kesucian dan kesetiaan Shinta? Tidak! Rama mengusirnya dalam keadaan tengah mengandung! Kezaliman apa yang lebih menyedihkan dibanding pengusiran seorang suami pada isterinya yang tengah mengandung buah hati mereka? Adakah jawaban? Tapi, tulisan ini tak akan meributkan perkara percintaan Rama-Shinta, kalau sudah menyangkut soal cinta dan kepercayaan, itu akan jadi bahasan lain. Nah, jadi begini. Ada dua tokoh dalam kisah Ramayana yang sedang jadi role model saya dalam
mengambil
sikap,
dan
selama
pertunjukan
tadi
berlangsung, saya belum juga bisa memutuskan akan memilih bersikap sebagai siapa manakala diminta untuk memilih: 82
Kumbakarna
atau
Wibisana?
Keduanya
sama-sama
adik
Rahwana, keduanya sama-sama mencela tindakan penculikan Rahwana terhadap Shinta, tetapi sikap yang mereka ambil toh berlawanan. Saat Wibisana memilih bergabung bersama Rama atas nama kebenaran, Kumbakarna memilih setia mempertahankan tanah airnya, Alengka, hingga kematian yang tragis datang menjemputnya di medan pertempuran. Keduanya tercatat sebagai satria utama, akan tetapi siapa yang sejatinya mengambil sikap yang benar? Pilihan Wibisana untuk bergabung bersama Rama bukan hanya perkara soal benar-salah. Saya membayangkan, ketidakinginan Wibisana menjadi bagian yang dieksklusi di dalam negeri karena perbedaan sikapnya dengan sang kakak pun ‘memaksanya’ turut menyeberang menjadi pendukung Rama. Pertanyaannya, apakah setelah ia hijrah dengan begitu mudah ia mendapat kepercayaan dari Rama dan pengikutnya? Menurut saya, jelas tidak semudah itu. Secara politik, di pihak Rama, ia pun akan tereksklusi sebagai orang asing, sebagai alien. Barulah ia akan diterima apabila telah memberikan pengorbanan yang setimpal.
83
Kumbakarna sendiri tak serta merta turut andil dalam melawan penyerbuan ke Alengka. Sebelumnya, ia melarikan diri dengan bersemadi. Barulah ia mengambil sikap untuk menyerang balik pasukan Rama manakala keadaan tentara Rahwana semakin mengkhawatirkan. Betapa sulitnya menilai benar-salah dengan tetek bengek logika menjengkelkan ini. Entahlah, saya ingin menilai semua itu dengan rasa, hanya rasa. Mengabaikan segala logika yang
mungkin,
juga
ketajaman
analisa
dalam
melihat
kompleksitas persoalan. Tiga
pekan
yang
lalu,
saya misuh-misuh gara-gara
membaca curhatan Jean Couteau di Kompas yang menurut saya terlalu subjektif dan hanya berpedoman pada olah rasa, olah intuisi, sehingga tentu saja tidak dapat dipertanggungjawabkana. Mungkin memang dimaksudkan demikian, sebab JC sendiri pun memberi judul tulisan itu Igauan “identiterâ€? di Bandara Doha. “Mengapa mereka yang berlalu-lalang itu semuanya merasa harus berbeda, mengikuti gaya tampilan khas warisan dari suku, agama, atau bangsanya masing-masing? Sementara mereka dan saya pun tak lebih dari tetesan air di aliran sungai besar‌Apakah itu cukup sebagai tanda jati diri? Saya melihat
84
“Babel� sekeliling saya. Jelas tidak cukup!� Tulisnya di udar rasa tersebut. Akan tetapi, di bawah tulisan itu kok dia langsung menilai sifat orang, kemudian mengidentikkannya dengan tokoh lain, dengan hanya melihat tampilan luarnya saja, bukan tampilan luar malah, dari tiket yang ia beli! Sayangnya, meskipun misuh-misuh, saya baru sadar bahwa selama ini pun saya telah melakukan dosa tak terampuni itu: menilai dengan begitu mudahnya orang-orang di sekitar hanya
dari
tampilan
mereka,
memperlakukan gadget yang
bagaimana
mereka
mereka
miliki,
status facebook mereka, link-link yang mereka share. Tanpa mau menyelami lebih dalam karakter dari tiap pribadi dengan melakukan interaksi secara intens untuk menghaluskan rasa. Mungkin merenungkan
sikap
(hanya yang
mungkin) diambil
dengan
oleh
kembali
Wibisana
dan
Kumbakarna, kita kembali belajar, bukan untuk menggurui tentang benar-salah, atau sekadar mengingatkan tentang normanorma, pesan moralitas, apalagi sekadar pembenaran penentuan sikap, tapi untuk kembali berkaca pada diri, siapkah kita mengambil keputusan secara sadar dan bertanggungjawab?
85
Sekali lagi, betapa sulitnya menilai benar-salah dengan tetek bengek logika yang menjengkelkan. Betapa inginnya saya menilai semua itu dengan rasa, hanya rasa, mengabaikan segala logika yang mungkin, juga ketajaman analisa dalam melihat kompleksitas persoalan. Tapi, bijakkah? Tanya hatimu saja.
86
Ekalaya dan Segala Hal tentang Strata
Di tengah sinar rembulan, dengan ditemani nyala api obor yang remang-remang, seorang ksatria dengan wajah yang penuh kesedihan tengah memahat pada sebuah batu besar, membentuk sebuah sosok tubuh dengan wajah peyot tua, dengan tangan kanan memegang tasbih di depan perut, sementara tangan kirinya memegang gandewa panah. “Mengapa seorang Pengembara tidak layak berguru? Mengapa seorang gelandangan dilarang belajar?� Kata-kata itu lirih ia ucapkan sembari tangannya tak henti membuat guratan-guratan pada batu besar itu, suara yang hampir-hampir tak terdengar oleh sebab dikalahkan suara desah nafasnya sendiri. Masih terngiang dalam ingatannya waktu-waktu yang telah terlewati. Saat ia meninggalkan kerajaan kecilnya yang berada di wilayah Atasangin, Paranggelung, beserta isteri yang sangat dikasihinya, Dewi Anggraeni, untuk berguru pada Begawan Durna. Betapa ia bersunggguh-sungguh dan dengan kebulatan tekad melakukan perjalanan selama lebih dari dua
87
warsa
agar
bisa
bertemu
dengan
sosok
Guru
yang
didambakannya. Masih terlintas dalam benaknya, penolakan demi penolakan yang dilontarkan Begawan Durna saat ia memohon untuk diizinkan berguru dengannya. Masih terlintas jua dalam pikirannya, hinaan dan cacian yang Begawan Durna ucapkan saat ia memergokinya tengah mencuri dengar saat Sang Begawan tengah memberikan ajarannya pada Permadi. Dan disinilah ia kini, dengan raut wajah yang tak bisa digambarkan dengan kata sederhana. Wajah sedih yang mengguratkan semangat dan keingian belajar yang begitu memuncak, dengan kelelahan yang makin menjadi, serta ketulusan yang tak terperi. “Salam
hormat
saya,
Guru.
.� Ujarnya
sambil
melakukan penghormatan di depan wujud patung Sang Begawan, Resi Durna. “Izinkan hamba berguru pada ruh Guru. Biarkan hamba mengabdi dengan keteguhan hati berkhayal terhadap sosok Anda, Guru.� Lanjutnya. Maka hari demi hari, ia terus-menerus berlatih, ditemani sosok patung Sang Begawan yang telah ia anggap 88
sebagai guru sejatinya. Tiga purnama pun berlalu, mengantarkan sosok ksatria pemahat menjadi seorang ksatria utama yang memiliki kemampuan memanah dan olah kanuragan yang luar biasa. Hingga di suatu kesempatan, ia memberanikan diri memperlihatkan olah kesaktiannya pada Sang Begawan saat ia dan Permadi tengah berlatih di tepi hutan. Saat itulah, sang Ksatria mampu memperlihatkan kepandaian memanahnya yang setara dengan kemampuan yang dimiliki Permadi. Karena takjub atas kesaktian seorang ksatria yang belajar secara otodidak tersebut, Resi Durna dan Permadi mengikuti sang ksatria menembus hutan, hingga diperlihatkanlah pada Sang Begawan itu sebuah patung batu yang sama persis dengan sosok tubuhnya. Mendapati sosok ksatria dengan kemauan keras dan keikhlasan yang luar biasa tersebut, nampak jelas Durna begitu kagum
pada
sosoknya.
Namun
di
sisinya,
Permadi
memperlihatkan wajah iri yang tampak tersirat dari sorot matanya. Melihat
raut
perasaan
itu
di
wajah
murid
kesayangannya, Resi Durna berkata, “Karena sungguh berat kewajiban murid kepada seorang Guru, saatnya engkau
89
memberikan bhaktimu padaku. Potong ibu jari tangan kananmu dan berikan padaku!� Sang Ksatria sadar, memotong ibu jari tangan kanan, bagi seorang pemanah adalah sama dengan menghilangkan seluruh kemampuan memanahnya. Namun, tanpa berpikir dua kali, tanpa ragu, diambillah sebuah belati yang ia sarungkan di pinggangnya, kemudian dengan tangan kirinya, ditebaslah ibu jari tangan kanannya itu. Sembari berlutut dan menunduk, dihaturkanlah ibu jari itu pada Sang Begawan. Tak sedikitpun raut sesal terlintas di benaknya,
bahkan
saat
Sang
Begawan
dan
Permadi
meninggalkannya tanpa sepatah kata pun. Adalah Bambang Ekalaya, sosok ksatria yang saya kisahkan dalam cerita di atas. Bagiku pribadi, Ekalaya telah mengajarkan,
bahwa
sebagai
seorang
ksatria
ia
bukan
sekedar menerima ilmu, tapi benar-benar menjalani proses belajar yang keras dalam kehidupan yang ia lakoni. Meski mengalami penolakan berulang kali, ia tidak menyerah, dalam pahitnya berjuang, ia tetap konsisten dengan komitmennya dan dengan sungguh-sungguh berlatih keras untuk mewujudkannya.
90
Ekalaya juga memberikan teladan mengenai bagaimana menjadi Murid Sejati. Ia mungkin tak mendapat pengajaran langsung dari Durna yang baginya merupakan Guru Terbaik, namun konsistensinya untuk belajar telah memperlihatkan proses pembelajaran yang sesungguhnya. Di zaman ini, banyak orang tua yang berkeinginan menyekolahkan anaknya di sekolah terbaik agar mendapat guru dan pengajaran yang terbaik, rela merogoh kocek dalam-dalam untuk mewujudkan hal tersebut. Akan tetapi, hal itu kadang membuat mereka lupa mengenai proses pembelajaran yang sesungguhnya. Sekolah elit tak memberikan jaminan bahwa anak-anak kita akan mendapat pengetahuan terbaik tentang kehidupan. Rasa iri yang ditunjukan Permadi menggambarkan kesombongannya sebagai ksatria pilihan yang merasa jauh lebih baik dibanding Ekalaya yang tak mengenyam pendidikan yang sama dengannya. Ini adalah penyakit kronis yang mematikan. “Mengapa seorang Pengembara tidak layak berguru? Mengapa seorang gelandangan dilarang belajar?� Kata Bambang Ekalaya. “Mengapa Pak Bagyo (yang jualan nasi goreng di depan kos saya) disebut Tukang Nasi Goreng, sementara para 91
tukang masak di restoran yang juga menyajikan menu yang sama disebut chef? Atau mengapa para pemain musik di jalanan disebut Pengamen yang tidak disukai kedatangannya, sedang para penjaja suara di layar kaca disebut Penyanyi yang selalu dinanti hadirnya? Atau mengapa seorang tukang bangunan yang samasama membuat rancangan rumah sederhana di desa terpencil tidak disebut arsitektur seperti mereka yang juga membuat bangunan besar di kota-kota?� Ah, betapa hidup ini penuh absurditas yang tak mampu saya pahami dengan sederhana.
92
Pesta Tahun Baru, MEA, dan Ekstase Masyarakat Konsumer
Perayaan tahun baru di Kota Solo tahun ini dirundung kelabu. Beberapa hari jelang momen pergantian tahun, Pasar Klewer yang merupakan salah satu jantung perekonomian Kota Solo habis dilalap api. Demi nama kemanusiaan, dan tentu saja atas nama solidaritas, gaung kemeriahan tahun baru pun turut dipadamkan. Akan tetapi, antusiasme warga Solo untuk memeringati momen ini nyatanya tak turut padam. Ribuan orang memadati jalan Slamet Riyadi mulai sejak ba’da isya hingga lepas tengah malam jelang hari pertama di tahun 2015. Saya termasuk salah satu orang yang turut berjubel memadati Slamet Riyadi malam itu. Turut menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri begitu banyak anonim manusia yang duduk berjejer di sepanjang trotoar, membentuk ratusan lingkaran kecil di tengah jalan, ataupun menyantap ragam kuliner yang dijual berjejer sepanjang Purwosari-Gladak. Meski tak meriah, dan bahkan cukup lengang karena matinya listrik,
93
kembang api beberapa kali dinyalakan menghias langit malam yang gerimis. Ada perasaan hampa yang menerpa saya demi melihat momen pergantian tahun yang hening ini. Di tengah temaramnya pencahayaan yang hanya hadir dari gedung-gedung bertingkat di kanan kiri jalan, saya melihat wajah-wajah lelah yang memimpikan harap akan datangnya matahari baru di tahun mendatang. Terwujud atau tidak harapan itu, hanya Tuhan yang kan menjawab. Bukankah manusia memang hanya bisa berupaya sebaik-baiknya? Akhir tahun mendatang, saya dan ribuan anonim manusia yang memadati Slamet Riyadi ini akan menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi Asean). Kami semua harus siap melihat ketimpangan yang lebih besar. Bukan hanya ketimpangan pasar yang terbakar dan meriahnya sekaten di alun-alun. Kami harus siap melihat betapa yang besar akan semakin besar, sementara yang kecil semakin tergilas. Kami harus mengelus dada saat menyaksikan penghasilan kelompok atas dan menengah lepas bebas, sementara kelompok kecil akan selalu di atur dan di tekan serendah-rendahnya. Potret buram in akan hasilkan kesenjangan antara mereka yang termanjakan oleh fasilitas mewah dan mereka yang terhimpit dan tertindih titik nadir kesusahan. 94
Perluasan dan integrasi pasar yang tercermin dari diberlakukannya MEA sedikit banyak telah terlihat dampaknya. Perilaku konsumtif masyarakat telah muncul di berbagai kategori usia, lapisan, dan kelompok. Hal ini tercermin dari lenyapnya dimensi moral, kehangatan spiritual, dan makna kemanusiaan itu sendiri. Sekali lagi, persoalan MEA bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga gesekan lapisan moral, sosial, dan kebudayaan. Perayaan malam tahun baru kemarin adalah perayaan yang pertama saya ikuti sejak saya lulus dari bangku Sekolah Dasar. Saya berharap akan mendapati ribuan orang yang saling berbagi kisah refleksi tentang satu tahun yang telah terlewati dan resolusi yang mereka canangkan satu tahun mendatang. Saya kira akan melihat orang-orang yang saling menggenggam tangan erat untuk ucapkan maaf dan terima kasih atas kebersamaan yang penuh makna sepanjang tahun. Namun, yang saya lihat di hadapan saya adalah orang-orang yang detik demi detiknya sibuk berpose di depan kamera, mengunggahnya ke jejaring sosial, dan saling berbagi cerita dengan kawan mayanya. Fenomena ini kerap diklaim sebagai salah satu bentuk ekstasi. Ekstasi, menurut Jean Baudrillard, adalah kondisi mental dan spiritual di dalam diri setiap orang yang berpusar secara spiral, sampai pada satu titik ia kehilangan setiap makna, dan 95
memancar sebagai sebuah pribadi yang hampa. Seseorang yang tenggelam di dalam pusaran siklus hawa nafsunya, pada titik ekstrem menjadi hampa akan makna dan nilai-nilai moral. Ekstasi dalam masyarakat kita hari ini tercermin dalam suntikan ekstasi yang pragmatik dan narsistik. Yasraf Amir Piliang membaginya dalam banyak term. Tiga diantaranya adalah ekstasi komunikasi, ekstasi sosial, dan ekstasi internet. Ekstasi komunikasi adalah esktasi dalam berkomunikasi tanpa merasa perlu adanya pesan dan makna komunikasi. Ekstasi sosial yakni ekstasi dalam bersosialisasi secara global tanpa merasa perlu berinteraksi secara fisik. Dan, ekstasi internet, yakni sosialisasi global yang membuat dunia bergerak mengelilingi kita melalui internet. Bentuk-bentuk ekstasi ini mengantarkan masyarakat kita menjadi masyarakat konsumer yang senang bertamasya menuju siklus trance/ pencerahan semu. Masyarakat kita saat ini menjadikan jejaring sosial sebagai gaya hidup yang menggoda. Jejaring sosial ini menawarkan
penampakan
ilusi,
kenyamanan,
kegairahan,
prestasi, dan ekstasi. “Saya mengunggah foto di facebook yang di-like oleh ratusan orang, saya eksis, saya berhasil.� Namun, berhasil dalam hal apa? Jumlah like atau komentar kah? Prestasi jumlah like ini adalah prestasi semu yang menenggelamkan manusia dalam ekstasi pengalaman puncak narsistik yang terdalam. Sebab, 96
sejatinya tak ada nilai guna dari jumlah like dan komentar selain citraan narsistik pada diri. Citraan semu ini terus dikejar demi mendapat pengalaman puncak, ilusi akan keberhasilan yang tercipta dari banyaknya like dan komentar di jejaring sosial. Maka, tak heran citraan semu ini menjadi pasar untuk dijajah komoditi. Tak cukup menggunakan efek cantik lewat aplikasi gratis di internet, demi mendapat penampilan sempurna di layar kamera, seseorang rela melakukan perawatan wajah senilai jutaan rupiah. Maka tubuh pun kini hanya jadi seonggok daging terbungkus kulit yang padanya dipakaikan baju yang sesuai mode dan ragam aksesoris yang memikat. Yang perlu kita sadari adalah bahwa perubahan sistem nilai budaya demi terwujudnya consumen culture adalah pilihan rasional ekspansi pasar ke negara berkembang agar tindakan konsumtif tetap terjaga. Selain menggunakan iklan sebagai media advertensi, ekstase narsistik masyarakat juga dipupuk menjadi lahan subur serbuan komoditas asing. Pertanyaan besar yang belum terjawab adalah, sejauh mana kesiapan kita menghadapi era pasar bebas di akhir tahun mendatang jika kita belum jua bisa lepas dari budaya ekstasi masyarakat konsumer ini? 97
Bedah Buku Waktunya Tan Malaka Memimpin
Tan Malaka adalah sosok yang jarang dikenal oleh generasi saat ini. Sekalipun, saat orde lama ia pernah ditepakan sebagai pahlawan nasional oleh Soekarno, akan tetapi foto, biografi, dan kisah kepahlawanannya seolah tenggelam selama berpuluh tahun lamanya seiring dengan keberjalanan Republik Ini. Saat mengetahui ada sebuah buku berjudul ‘Waktunya Tan Malaka Memimpin’, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah. Siapa Tan Malaka? Mengapa Tan Malaka? Dan sejauh mana relevansi gagasannya berpengaruh di era sekarang? Penulis-Eko Prasetyo, menguraikan alasan mengapa ia menulis buku ini dalam bedah buku yang diselenggarakan LPM Kentingan, 10 Juni 2013 dalam tiga poin berikut. Pertama, karena tokoh kiri tak pernah diangkat dalam sejarah Indonesia. Memang, sejauh yang saya ketahui, saat melanjutkan studi di Rijks Kweekschool Belanda pada 1913, ia mengenal beragam pemikiran, termasuk Marxisme-Leninisme 98
yang kemudian diadopsinya sehingga relevan diterapkan bagi bangsa Indonesia. Kedua, karena gagasan Tan Malaka masih sangat relevan. “Kemerdekaan 100%” yang menjadi cita-cita Tan Malaka merupakan inspirator perdana lahirnya konsep negara yang berdaulat pasca kemerdekaan, dimana istilah Republik Indonesia pertama kali dicetuskan olehnya, empat tahun sebelum pledoi Indonesia Merdeka Muhammad Hatta. Gagasan yang kemudian pun diwariskan pada ‘binaan’nya, Bung Tomo, yang seperti kita ketahui bersama, begitu berapi-api dalam orasinya saat perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ketiga, di tengah miskinnya visi aktivis pergerakan, dimana setiap kali diskusi menemui jalan buntu, maka lagi-lagi kalimat yang muncul adalah “Mari kita kembali ke Pancasila”, atau “Mari kita kembali ke manhaj..”, bla bla bla. Ia menolak jalan-jalan diplomasi yang ia yakini sebagai jalan yang tidak meyakinkan. Keyakinan untuk merebut kemerdekaan dengan tangan sendiri, ia buktikan sebagai jalan juangnya membela Republik. “Sejarah hidup Tan Malaka adalah jalan hidup seorang martir. Begitu tegar. Asketisme yang luar biasa. Ia begitu meyakini kekuatan agama dengan spirit Islam”, Demikian 99
Ungkap Eko Prasetyo, sang Penulis buku ‘Saatnya Tan Malaka Memimpin’ itu. Memang, salah satu tesis Tan yang terkenal adalah integrasi semangat Pan Islamisme dan komunisme guna melawan rezim kapitalisme, yang ia sampaikan dalam pidato mewakili PKI di Rusia tahun 1920. Ia meyakinkan komunis Rusia bahwa Islam adalah agama untuk pembebasan rakyat dari kolonialisme yang ia dasari pada perkembangan Sarekat Islam di Hindia Belanda (Meskipun SI pada saat itu pecah menjadi dua, hingga pada akhirnya PKI lahir). Tan sendiri, selain senantiasa menyuarakan kesadaran kolektif massa dan persatuan guna melawan imperialisme juga menyuarakan ketidakpercayaannya pada sistem parlementer yang menurutnya hanya berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan. Ia mengusulkan agar negara dikelola oleh organisasi konvensional, misal: organisasi sosial, bukan Parpol. Sehingga, pengelolaan negara digantikan oleh perwakilan blok-blok. Menyoroti pemilihan umum raya di berbagai kampus di PTN/PTS di Indonesia, agaknya memang mengkhawatirkan. Pemilihan ketua BEM didasarkan pada suara mayoritas dengan mekanisme yang sama sebagaimana ditetapkan dalam Pilkada. Mahasiswa seolah tak memiliki gagasan genuine dalam berpolitik, 100
tertampilkan jelas lewat bagaimana foto calon dan orasi-orasinya yang tak jauh berbeda dengan para politikus yang berebut suara di Pilkada. Memprihatinkan! Bagi
Tan
Malaka,
kemerdekaan
100%
harus
ditegakkan, dengan parameter : semua sektor penting harus dikuasai oleh negara, termasuk pendidikan. Nah, pertanyaanya bagaimana pendidikan ala Tan ini diterapkan? “Pendidikan harus menghasilkan tiga aspek ini lahir pada diri siswa : Rasionalitas, kemauan yang keras, dan menghaluskan perasaan.� Perlu diketahui pula bahwa sebelum ia berangkat ke pembuangannya, ia telah mendirikan sekolah-sekolah rakyat dengan menguraikan dasar tujuannya yaitu: dikuasainya ilmu alam dan bahasa, pendidikan berorganisasi, serta pendidikan yang berpihak pada kepentingan masyarakat. Panelis Bedah buku kali ini, Kanda Ekanada Shofa (Dosen FISIP UNS), mengungkapkan tangggapannya atas buku ‘Waktunya Tan Malaka Memimpin’. Selain mengomentari tampilan buku yang menarik karena disertai dengan kartun dan ilustrasi yang memikat, ia juga berkomentar soal substansi buku tersebut. 101
“Ide-ide Tan Malaka harus memimpin sebab ide yang ia kemukakan masih sangat relevan di era sekarang dimana lawan yang kita hadapi bukan hanya imperealisme kapitalis, tetapi juga mentalisme feodal.� Setelah pemaparan dari Eko Prasetyo dan tanggapan dari Kanda Eka, saya pun mengajukan pertanyaan: “Salah satu alasan Pak Eko menulis buku Tan Malaka ini adalah karena skeptis terhadap visi aktivis pergerakan yang setiap kali menemui jalan buntu, maka dikembalikan pada kalimat normatif seperti kembali ke pancasila atau ideologi organisasinya. Tan Malaka menyegarkan kita dengan tesisnya mengenai integrasi antara Pan-Islamisme dan Komunisme. Nah, disini ada yang aneh. Pan Islamisme itu kanan mentok, sedang komunisme itu kiri njeglek, bagaimana proses integrasi itu bisa terjadi, dan apa implementasinya bagi aktivis pergerakan di era sekarang?� Eko Prasetyo beranggapan bahwa komunisme dan Islam itu memiliki banyak persamaan. Pertama, sama-sama membenci akumulasi yang dikutuk (kapitalisme). Kedua, memiliki semangat militansi yang sama. Ketiga, kelangsungan hidupnya
dipertaruhkan
pada
revolusi.
Nah,
bagaimana
mengimplementasikan dalam dunia aktivis? Pertama, jadilah aktivis yang radikal dan ekstrem. Kedua, Bukalah dialog dengan membuka kran komunikasi. Ini waktunya membuka diri dengan komunikasi untuk melawan imperialisme. 102
Sementara itu, dalam menyoroti dunia aktivisme pergerakan mahasiswa di era sekarang, Kanda Eka berkomentar mengenai ‘narsisme’ aktivis kampus dan pergerakan. Minimnya semangat membaca menyebabkan miskinnya gagasan dan ide-ide segar untuk melakukan transformasi. “Kalau belum baca buku, belum aktivis namanya. Tan Malaka saja saat dalam pembuangannya bawa satu peti buku untuk dibaca!â€? Padahal, seringkali aktivis kampus banyak turun ke jalan untuk menyuarakan aksi. Tanpa membawa data dan solusi yang relevan, sekedar ingin diliput media, selesai. Itu hal yang naĂŻf. Bukannya kesadaran kritis yang dihasilkan, melainkan kesadaran magis. Pun, setelah aksi, evaluasi tak ada (kalaupun ada, tak pernah menyiapkan langkah konkret pasca aksi). Mestinya, saat kita tahu bahwa kapitalisme-yang menjadi musuh kita bersama semakin besar, kita bisa menginisiasi untuk membuat aliansi strategis, membuka krankran diskusi sesama organisasi mahasiswa, baik itu intra maupun eksternal kampus.
103
Sayangnya, kita seringkali memiliki ego sektoral yang berlebih, sektarianisme organisasi, sehingga yang ada saat mengangkat isu bersama adalah kontestasi bendera dan massa.
104
Derita Remaja dan Kapitalisme, Islam sebagai Solusi13
Judul di atas saya ambil dari paparan orator pertama dalam sebuah acara yang digelar oleh Muslimah Hizbut Tahrir Solo Raya dengan judul yang sama. Orator pertama dalam seminar ini berbicara mengenai Derita Remaja dan Kapitalisme dengan menyinggung mengenai kondisi remaja di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia dalam menghadapi berbagai problematika akibat krisis multidimensi yang terus menghinggapi bangsa. Kapitalisme dinilai telah menyebabkan degradasi moral yang luar biasa di kalangan pemuda dengan mengatasnamakan: kebebasan perilaku, ekspresi jiwa, dan mengukuhkan eksistensi diri. Sehingga, sadar tidak sadar kini remaja telah dieksploitasi dalam segala sisi kehidupannya. Akibatnya, lahirlah generasi yang Khilafah Melindungi dan Menyejahterakan Remaja adalah tema dari kegiatan yang diselenggarakan oleh Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia DPD HTI Kota Surakarta Ahad, 16 Desember 2012 di Gedung YPAC Surakarta untuk para pelajar dan mahasisa se-solo raya. 13
105
lemah secara pemikiran, rusak kepribadiannya, dan mengalami split personality (galau). Yang saya garis bawahi dengan mantap dari yang dipaparkan oleh orator pertama adalah mengenai model pendidikan di Indonesia yang sarat dengan sekularisme. Diantaranya adalah pemisahan agama dari kehidupan akademis sekolah dan lebih fokusnya pendidikan untuk menghasilkan tenaga kerja yang serba ‘terbatas’ dengan upah yang jauh dati kelayakan. Untuk bisa menikmati pendidikan yang berkualitas, remaja harus menguras kantong orang tua dengan biaya pendidikan yang luar biasa mahal, sedang yang tidak mampu hanya bisa berharap dari serpihan bantuan yang disebut dengan beasiswa, setelah memenuhi syarat yang sangat menyulitkan dan merendahkan: menyatakan berasal dari keluarga miskin. Memang, saya pun merindukan hal yang sama. Dimana para pemuda dan remaja Islam bangkit dan maju dengan ketinggian syakhsiyah dan tsaqofahnya. Sebab, remaja/ pemudared adalah garda terdepan untuk mengembalikan Islam secara kaffah.
106
Bagaimana caranya? Acara ini mengklaim bahwa hal ini akan terwujud apabila model Negara yang menerapkan Islam sebagai minhajul hayyah, Khilafah Islamiyah menjadi jalan politik. Konsep ini lahir dari interpretasi terhadap Shiroh Nabawiyah,
dimana
Rasulullah
dalam
perjuangannya
menegakkan Islam membentuk kelompok politik (kutlah siyasi). Kutlah siyasi adalah kelompok atau partai politik yang berjuang di tengah-tengah umat untuk mewujudkan syariat Allah swt di muka bumi yang dimulai dengan melakukan pembinaan intensif (haqlah murazakkazah) dalam rangka mewujudkan kader yang bersyakhsiyah Islamiyah dengan tsaqofah yang memadai. Tahap berikutnya adalah dengan melakukan pembinaan umat (tatsqif jama’i) secara luas guna terbentuknya kesadaran umum masyarakat (al wa’yu al amy) yang benar tentang Islam sehingga memunculkan kebutuhan dan terlibat aktif memperjuangkan tegaknya
khillafah. Yang
ketiga
adalah dengan melalui
pembesaran tubuh jamaah (tanmiyatu jizmi) agar kegiatan pengkaderan dan pembinaan umum dapat dilakukan dengan lebih intensif hingga terbentuklah kekuatan politik (al quwwatu al siyasiya). Kekuatan politik adalah kekuatan umat yang memiliki kesadaran politik islam. Yakni kesadaran bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan syariat Islam 107
sehingga massa umat dalam jumlah besar tersebut akan menuntut perubahan ke arah Islam. Didukung oleh al quwwah (polisi, militer, dsb) yang mendukung perjuangan syariat dan khilafah maka sungguh kekuatan politik ini tak akan terbendung. Khilafah adalah sebuah model daulah yang melindungi dan menyejahterakan. Sebab dalam khilafah islamiyah Negara bertanggungjawab terhadap urusan seluruh rakyatnya dengan menerapkan seluruh hukum Islam dan menyampaikan Islam ke seluruh muka bumi. Bahkan, daulah islamiyah pun memiliki sistem kebijakan strategis dan menyeluruh. Bahwa khilafah adalah satu-satuya solusi guna meluruskan tatanan jahiliyah menuju kebenaran Islam yang abadi. Karena sesungguhnya tidak akan pernah mungkin kebaikan dan kejahiliyahan akan dapat hidup berdampingan. Meskipun, beberapa orang menganggap bahwa sejatinya pertempuran antara kebaikan dan kebathilan musykil terjadi hingga satu diantara dua sebab ini terjad : orang yang mempertempurkan itu dalam hatinya mati, atau dunia ini kiamat. Dalam bukunya, Ma’alim Fi Ath-Thariq, Sayyid Qutbh menjelaskan bahwa konsepsi Islam bersifat teoritis sekaligus realistis. Konsepsi Islam bukanlah teori yang lepas dari realitas, akan tetapi tercermin dalam realitas yang dinamis. Kita tidak akan 108
mampu menegakkan konsepsi Islam dan juga mencapai kehidupan Islami, kecuali dengan cara menempuh manhaj pemikiran yang Islami. Sudah pasti, Islam datang untuk mengembalikan manusia juga alam semesta yang melingkupi manusia kepada kedaulatan
Allah-Rabb
semesta
alam.
Upaya
untuk
menghancurkan kejahiliyahan dan mengembalikan kedaulatan kepada Allah semata tidaklah akan bisa dilaksanakan tanpa menggunakan hukum Allah. Dan, kedaulatan Allah sungguhlah hanya akan bisa ditegakkan apabila syariat Allah menjadi pemerintahnya, dan sumber ketentuanya ada di tangan Allah sesuai dengan aturan yang jelas yang telah ditetapkan-Nya. Bahkan, siapapun yang mengaku dirinya mempunyai otoritas menetapkan undangundang bagi manusia, berarti ia telah mengklaim ketuhanan dirinya secara implisit maupun eksplisit, entah ia mengklaim itu dengan ucapan ataupun tanpa ucapan. Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Konsekuensinya, Islam tidak boleh berhenti pada batas-batas geografis, tidak pula mengisolasi diri dalam sekat-sekat etnis. Maka, adalah hal yang menjadi suatu keniscayaan bahwa Islam mulai mengambil inisaiatif gerakan pembaharu guna menegakkan kalimatullah di 109
muka bumi ini. Individu-individu yang hatinya telah murni terhadap
penghambaan
kepada
Allah
dan
steril
dari
penghambaan selain kepada Allah, semestinyalah bersatu dan bergabung dalam sebuah komunitas Islam. Tatkala aqidah sudah berlainan maka terurailah satu ikatan kerabat dan terbagilah yang satu, karena yang menjadi kata kunci dari terbentuknya Darul Islam/ Khilafah Islamiyah adalah ikatan aqidah. Negara Islam diperuntuhkan bagi orang yang mau menerima syariat Islam sebagai tatanan, meski ia bukan seorang muslim. Islam tidak didasarkan pada hubungan tanah kelahiran atau kesukuan, tidak pada ikatan keturunan ataupun pernikahan, dan tidak pula jalinan kabilah ataupun kerabat. Islam tidak akan tegak di bumi yang tidak dikendalikan oleh Islam dan syariatnya. Dalam
marhalah
amal,
Ikhwanul
Muslimin,
pembentukan Negara Islam adalah salah satu capaian sebelum terbentuknya khilafah Islamiyah dan menjadikan Islam sebagai soko guru peradaban. Sehingga, pasca Negara dan bangsa ini telah bertunduk dalam hukum-hukum Islam dan Negara-negara yang lain diseluruh dunia mengazzamkan hal yang sama. Maka yakinlah bahwa gelombang besar itu akan terus bergolak dan melaju penuh gairah, diusung oleh para pemuda Islam yang yakin 110
dengan hati mereka yang tulus bahwa hanya Islam-lah satusatunya solusi perjuangan. Maka, saya sangat mengapresiasi siapapun mereka yang mengafiliasikan dirinya dalam suatu wadah pergerakan pemuda Islam. Sebab saya yakin mereka mencita-citakan hal yang sama. Sama baiknya (setidaknya begitu). Gerakan apapun sama saja dalam manhaj Islam ini, asalkan proaktif berupaya melepaskan manusia dari pengabdian (ubudiyah) kepada hamba menuju pengabdian kepada Allah semata. Selayaknya KAMMI yang bercita-cita mewujudkan bangsa dan Negara yang Islami dan HMI yang berazzam mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah swt. Dan HTI yang dengan menggebu gebu mengatakan tiga baris kalimat yang menggetarkan: Tiada kemuliaan tanpa Islam, Tiada Islam tanpa syariah, Tiada Syariah tanpa daulah khilafah. Namun, apakah benar bahwa hanya ada satu macam negara yang bisa menopang pemerintahan yang Islami, yaitu negara Islam (Darul Islam)?
111
Print Culture Ideologisasi Gerakan Tarbiyah di Indonesia
Gerakan
Tarbiyah
sebuah prototype gerakan-gerakan
sejenis
atau usroh merupakan yang
telah
lama
berkembang di berbagai belahan dunia Islam. Lebih lanjut, model gerakan ini cenderung mengadopsi pola gerakan Ikhwanul Muslimin yang lahir pada tahun 1928 sebagai representasi gerakan pemikiran serta perpolitikan Islam yang didirikan oleh Imam kharismatik, Hasan Al Banna di Mesir. Ciri khas gerakan ini adalah sistem kaderisasi yang terstruktur, bersifat urban dan berbasis perkotaan, serta menjadikan kampus sebagai basis gerakan. Tulisan ini akan membahas mengenai ideologisasi yang dilakukan gerakan tarbiyah di Indonesia dan peran media sebagai print culture dalam upaya transfer ideologi.
Lahirnya Gerakan Tarbiyah Hadirnya gerakan ini di Indonesia tak lepas dari pengaruh rezim otoriterian orde baru yang represif melalui 112
marginalisasi tokoh-tokoh muslim beraliran ‘kanan’ serta pembubaran gerakan-gerakan yang disinyalir fundamental, termasuk penerapan Pancasila sebagai asas tunggal dalam organisasi sosial-keagamaan. Menjalankan Islam secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan yang dianggap materialistik dan sekuler merupakan keinginan yang muncul dari sebagian masyarakat Islam Indonesia yang kala itu merasa menjadi ‘korban’ atas kebijakan-kebijakan politik orde baru yang represif dan tidak memihak pada Islam sebagai golongan mayoritas di Indonesia. Maka, model gerakan Islam yang sebelumnya lebih mengedepankan mobilisasi massa pun beralih melalui proses internalisasi melalui halaqah-halaqah yang beranggotakan tak lebih dari 12 orang, yang melakukan rekruitmen dan kaderisasi dengan hati-hati. Yakni melalui gerakan underground yang mengadakan pertemuan rutin yang berpindah-pindah setiap pekannya dari satu masjid ke masjid yang lain, maupun dari satu rumah ke rumah yang lain. Kebanyakan dari mereka bukan berasal dari pesantren dan sejenisnya. Mereka belajar agama Islam secara instan saat menempuh kuliah di pendidikan tinggi, sehingga rasa peningkatan kesadaran beragama tersebut kadang membuat mereka kaku dan merasa berbangga diri dengan identitas kesantrian mereka. 113
Gerakan ini pun melesat pamornya di beberapa sekolah negeri, menyusup dalam organisasi Islam (Rohis) dan melakukan pengkaderan di sana. Pola pengkaderan yang dilakukan pun cenderung teratur dan sistematis, sebab seorang yang telah dibina selama misal 1 tahun dan dirasa memiliki kepahaman yang cukup akan didaulat menjadi mentor (murobbi) dan bertugas untuk mencari adik binaan dengan ‘ajakan yang baik’. Terus begitu hingga selanjutnya, kader-kader terekrut akan dibina dan nantinya menjadi kader inti pada saat melanjutkan studi di pendidikan tinggi. Materi kajian yang dibahas bukanlah seperti yang dilakukan oleh limited group yang dilakukan beberapa aktivis Himpunan Mahasiswa Islam yang dimotori oleh Achmad Wahib, Dawam Raharjo, dan Djohan Effendi guna pembredelan Islam dilihat dari kacamata filsafat dan sejenisnya, akan tetapi lebih menanamkan pada beberapa aspek seperti aqidah, ibadah, dan akhlak guna menanamkan nilai-nilai dasar ideologi (fikrah). Mereka kerap menggunakan kosa kata bahasa Arab pada saat penggunaan bahasa Indonesia, seperti :Afwan, syukron, Jazakallah, La ba’tsa, dan lain-lain. Kelompok ini menyebut diri mereka sebagai akhi/ikhwan untuk para pria, dan ukhti atau akhawat untuk para wanita. Ideologisasi Gerakan Tarbiyah melalui Media 114
Seiring dengan makin luas dan diterimanya gerakan ini di masyarakat, maka kebutuhan akan materi-materi yang lebih kompleks guna mengideologisasikan tujuan dan cita-cita jangka panjang pun semakin meningkat. Ismatu
Ropi
dalam
essainya
yang
berjudul “Membangun Masyarakat Islami dan Ideologisasi Gerakan Tarbiyah di Indonesia� menyatakan bahwa adalah hal yang tak terbantah bahwa gerakan Tarbiyah di Indonesia (sedikit banyak atau bisa jadi sedemikian besar) mengadopsi dalam batasbatas tertentu ideologi Ikhwanul Muslimin yang dikenal militan dan sangat tertarik dengan hal-hal praktis keseharian. Jikapun dikatakan bahwa gerakan Tarbiyah dan IM masing-masing tak saling berkaitan maka keduanya tetaplah akan saling memberi dukungan disebabkan adanya kesamaan motif dan tujuan. Akan tetapi, seperti yang saya sampaikan di atas, latar belakang para anggota yang bukan berasal dari pesantren maupun perguruan tinggi Islam menghambat transfer ideologi ini. Maka, disinilah peran media cetak sebagai print culture memberikan andil besar dalam proses transmisi gerakan. Maka, dengan modal jaringan dan mobilisasi massa dan dana yang memadai, diterjemahkanlah berbagai bentuk karya islam klasik dan kontemporer besutan para akademisi lulusan 115
timur tengah atau mereka yang memiliki pandangan ideologis yang relative sama, sehingga pemilihan yang selektif terhadap buku-buku bernuansa Islam pun laris manis diterbitkan oleh beberapa penerbit seperti: Gema Insani Press, Pustaka Al Kautsar, Rabbani Press, Asy-Syamil, dan yang terkahir Era Intermedia. Penulis dan buku yang dijadikan sumber referensi yang diterbitkan diilhami oleh karya-karya tokoh ikhwanul muslimin seperti Sayyid Quthb, Hasan Al Banna, Hasan Al Hudhaybi, dan Yusuf Al Qardhawi. Tak hanya melalui media cetak, ideologisasi yang dilakukan pun memanfaatkan sejumlah perangkat modern melalui dunia maya, seperti jejaring sosial (akun facebook dan twitter) dan website (dakwatuna.com, eramuslim.com). Media
yang
digunakan
untuk
propaganda
isu
kontemporer pun lumayan beragam, dari penerbitan beberapa majalah seperti Tarbawi, Sabili, dan Ummi, serta pemanfaatan media elektronik yang tersedia. Disini kentara terlihat bahwa kelompok ini bukanlah kelompok
fundamental
anti-modernitas.
Sebagai
kaum
intelegensia santri baru, mereka menempatkan diri sebagai anakanak zaman yang menggunakan modernitas yang dihasilkan oleh peradaban barat untuk mensubordinasikannya dengan standar 116
ortodoksi keagamaan yang mereka yakini sebagai ideologi sekaligus untuk melawan hegemoni barat itu sendiri.
Menyoroti Print Culture Ideologi Tarbiyah Adalah hal yang luar biasa ketika jumlah penerbitan buku-buku Islam yang menyokong ideologisasi jamaah ini begitu berlimpah di lapangan. Akan tetapi, cobalah perhatikan! Di titik inilah terjadi disorientasi dan stagnasi, dimana buku-buku yang ada hanya mengautentikkan pemikiran khas Ikhwanul Muslimin tanpa mengkolaborasikan dengan unsur kearifan lokal khas Indonesia, bukan hanya dari segi politik, tapi juga sosial dan kultur. Sehingga yang terjadi seolah hanyalah perpindahan ideologi dari Timur Tengah ke Indonesia. Padahal, seperti yang kita ketahui bangsa Indonesia pun memiliki kearifan lokal tersendiri dengan konteks historis, politik, budaya, dan keagamaannya. Disini, penulis akan menganalisa kajian yang dilakukan oleh Robert Wuthnow terkait gagasan reformasi protestan yang dimulai pada tahun 1520-an oleh Martin Luther. Ia berpendapat bahwa dinamika hubungan antara lingkup sosial dan ideologi akan berperan penting dalam proses reformasi. Situasi inilah yang akan memunculkan proses artikulasi gagasan dari aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. 117
Proses ini dibagi menjadi tiga tahap: Pertama, tahap produksi dimana ide-ide bermunculan melalui kerja-kerja penulisan dengan print material berupa buku, jurnal, pamphlet, dan sebagainya. Kedua, seleksi dimana para pemikir dan penulis memilih apa yang akan dituliskan sehingga mulai terbentuklah beragam
school
of
thought.
Ketiga,
adalah
proses
institusionalisasi dimana mekanisme rutin untuk menyebarkan ide sehingga menjadikan diskursus lebih terlembaga. Dalam pelembagaan inilah akan tercipta komunitas yang diwarnai diskursus yang beragam dari ideologi yang saling berkompetisi. Dan untuk menjawab tantangan itu, berani dan mampukah kita sebagai kader dari Jamaah Tarbiyah melakukan desakralisasi terhadap ideologi kita dan mulai membuka kajiankajian yang lebih terbuka guna konteksualisasi ideologi dengan kondisi historis, politik, budaya, dan keagamaan bangsa Indonesia dengan tetap berjalan pada koridor AlQur’an dan AlHadits? Sampai hatikah kita-sebagai pembangun rumahkemudian melupakan pondasi yang telah ditanamkan oleh kakeknenek kita terdahulu dan mengingkari pernyataan yang sangat asasi bahwa kita adalah bagian dari masyarakat Indonesia? Sumber Bacaan: 118
Ismatu Ropi dalam essainya yang berjudul Membangun Masyarakat Islami dan Ideologisasi Gerakan Tarbiyah di Indonesia mengutip hasil penelitian Tim Peneliti Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) IAIN Jakarta :Radikalisme Agama di Indonesia yang laporannya tidak diterbitkan. Robert Wuthnow, Communities of Discourse: Ideology and Social Structure in The Reformation, the Enlightment and European Socialism (Cambridge : Harvard University Press, 1989), hal 9-10
119
Demokrasi dalam Syariat Islam14
Pertanyaan mengenai bagaimana Islam memandang demokrasi
senantiasa
menjadi
topik
menarik
untuk
diperbincangkan dalam berbagai obrolan ringan, selentingan di media sosial, diskusi klasikal, hingga tema dalam berbagai seminar yang diselenggarakan ormas Islam. Hal ini pula yang menjadi fokus kajian sebuah seminar yang dimotori oleh Lembaga Kajian dan Pendampingan Sosial Kholif@h beberapa waktu silam. Bapak M.Dian Nafi, salah satu fasilitator seminar ini melakukan telaah mengenai hakikat manusia, spirit dalam ajaran Islam untuk memperbaiki demokrasi, serta kemungkinan umat
14
Pada 2 Februari 2014 kemarin, saya mengikuti seminar
nasional bertema Demokrasi dalam Syariat Islam yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian dan Pendampingan Sosial Kholif@h di Ruang Sidang Gedung DPRD Kota Surakarta atas ajakan kakak saya di KAMMI.
120
Islam menjadi pelopor dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Beliau menekankan pentingnya kebersamaan untuk membangun kebajikan bersama guna membangun peradaban sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah saw. Dengan kesadaran tersebut, ia berpendapat sudah sepatutnyalah manusia mau dan mampu menerima amanat dan ikut memperbaiki keadaan, bukannya malah menarik diri dari kehidupan komunalnya, termasuk peran sertanya dalam memperbaiki demokrasi. Lebih lanjut, ia berpandangan bahwa sebagai cara bernegara, demokrasi tidak bisa dilaksanakan secara seragam oleh negara tempat umat Islam berada dikarenakan berbagai faktor, baik itu dari segi geografi, kependudukan, dan sejarah masingmasing. Ada demokrasi yang menjamin umat Islam hidup dalam syariatnya meski tidak diterapkan sebagai hukum positif, ada yang masih terus bergerak dinamis, ada pula yang masih terjebak pertikaian politik yang berlarut-larut. Namun secara substansial, beliau berpesan bahwa umat Islam haruslah mampu menjadi pelopor dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dimanapun berada. Umat Islam haruslah mampu menjadi pengawal dan teladan
121
demokrasi sesuai dengan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Sementara itu, fasiliator kedua, Bapak Ihsan Saifuddin, membahas mengenai bagaimana memilih pemimpin dalam Islam dalam perspektif Qur’an, sunnah, dan sejarah. Dalam eksistensi kepemimpinannya, manusia haruslah berkaca pada sosok pemimpin paripurna, Nabi Muhammad saw. Diantara sekian banyak kriteria seorang pemimpin, beliau meringkasnya dalam satu kesimpulan yaitu: pemimpin yang memiliki karakter yang kuat. Karakter yang kuat ini mencakup: kuat fisik dan kuat ilmu/mental (basthotan fil ilmi wa jismi). Interpretasi kuat mental adalah sifat kebaikan yang menyeluruh dengan poros utamanya yaitu taqwa, kuat fisik artinya tidak memiliki cacat fisik dan penyakit yang mengakibatkan lemah kepemimpinannya. Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa di era kini seorang pemimpin haruslah orang yang melek teknologi. Pembicara ketiga, Bapak Abdullah Faishol, membahas mengenai Islam dan Demokrasi di Indonesia. Beliau mengawali pembahasannya dengan mengingatkan kembali pada sejarah pasang surut politik di Indonesia dari masa pra-kemerdekaan 122
hingga era sekarang yang begitu kompleks. Sejurus kemudian, ia mengaitkannya dengan pertanyaan Hefner, yang salah satunya: Apakah Islam sejalan dengan demokrasi? Lalu, bagaimana kontribusi Islam dan demokrasi di Indonesia di masa yang akan datang? Bagi beliau, Indonesia memiliki kapasitas untuk berbicara bagaimana Islam dapat bersenyawa dengan sistem demokrasi yang memiliki nilai-nilai kulturalnya. Namun, yang ia garisbawahi adalah bagaimana menjadikan Islam sebagai sebuah nilai dalam menjalankan sistem budaya Indonesia yang demokratis. Menurutnya, agama dan politik adalah dua entitas yang berbeda, dimana agama bersifat profan dan politk bersifat menindas. Apabila agama dijadikan alat sebagai legitimasi kekuasaan, maka pengalaman pahit sejarah akan kembali terulang. Lebih lanjut, beliau menawarkan nilai Islam dalam sistem demokrasi yang mampu mendukung penguatan budaya demokrasi, seperti: musyawarah, pemufakatan, dan ijtihad. Hal tersebut pada akhirnya akan berorientasi pada bangunan masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Dari perspketif historis,
lantas
beliau
mengisahkan
contoh
tata
kelola
pemerintahan dalam Islam pada masa Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, dan Umar Ibn Abdul Aziz. 123
Sebagai penutup, beliau menyatakan bahwa demokrasi bersifat universal sehingga tidak bisa dilabeli dengan agama manapun. Prinsip Islam haruslah dipakai untuk menyokong sistem demokrasi di Indonesia, bukan dijadikan sebagai alat untuk memenuhi nafsu politik. Dalam sesi diskusi, muncul beberapa pertanyaan, diantaranya: Mampukah umat Islam menjadi pelopor demokrasi? Bagaimana dengan kepemimpinan non-muslim? Siapakah yang disebut ulil amri? Menurut Bapak Dian Nafi, pemimpin Indonesia tak mesti memenuhi semua kriteria pemimpin yang ditetapkan dalam fiqih, maka Nahdatul Ulama menyebut ulil amri sebagai Pengampu urusan umat sementara’. Bagaimana halnya dengan pemimpin perempuan? Presiden RI tidak dapat berdiri sendiri. Jabatan presiden berimplikasi komunal, sehingga akan melibatkan pejabat pemerintah yang lain. Bagaimana dengan kepemimpinan non muslim? Mengutip pendapat Imam Malik atas sengketa yang pernah terjadi di zamannya saat raja yang zalim terpilih menjadi penguasa, beliau berkata: ‘kita ikut saja yang menang’. Ada upaya sebelum pemilihan, dan keberikutan setelah pemilihan. Menurut Ibn Khaldun, negara dibentuk dengan 3 pertimbangan pokok: Pertama, yang kuat yang menjadi raja 124
dengan implikasi siapa yang bisa membeli suara rakyat dia yang akan menang. Kedua, yang sifatnya siyasi dengan implikasi ia mendapat suara terbanyak kehendak rakyat, dapat mengendalikan rakyat, dan mampu mewakili aspirasi rakyat. Ketiga, memiliki filsafat tertentu/nilai-nilai yanng berbasiskan ketuhanan. Negara Indonesia adalah negara falsafi. Ia berbeda dengan negara sekuler! Bapak Ihsan menyatakan agar pertanyaan itu harus dikembalikan pada firman Allah yang termaktub dalam Al Qur’an dalam surat Ali Imran ayat 28 dan surat An-Nisaa ayat 139 dan 144. Menurut Bapak Faishol, demokrasi hanyalah sebuah wadah, yang mengisi bukanlah sebuah label, tapi makna. Sebaiknya umat Islam jangan terkooptasi partai tertentu. Menurut Ibn Katsir, ulil amri adalah ulama, bukan pemimpin sebagaimana yang kita ketahui sekarang. Saya jadi teringat apa yang Al Ghazali Hide Wulakada sampaikan dalam bukunya Al-Qur’an sebagai Parameter Peradaban Indonesia mengatakan. Ia menyampaikan bahwa demokrasi adalah buatan orang-orang barat sudah tidak relevan lagi dipakai dalam penguatan wacana pemberlakuan hukum
125
syariah di Indonesia. Sebab, pemberlakuan hukum syariah Islam akan berjalan seiring kesiapan masyarakat Islam. Abdul Munir Mulkhan dalam suara Muhammadiyah tahun 2002 silam menulis: Penempatan rekayasa kekuatan anti Islam sebagai penyebab kekalahan partai Islam atau partai berbasis umat Islam, belum pernah melahirkan strategi efektif karena yang disebut kekuatan anti Islam itu tidak pernah bisa dirumuskan secara jelas dan kongkrit, kecuali kategori-kategori primordial dan simbolis. Dalam buku Pembentukan Partai Politik Islam (Hizb At Tahrir), Ust Taqqiyuddin An Nabhani berkata bahwa falsafah hakiki untuk mewujudkan kebangkitan bertolak dari adanya suatu ideologi yang menggabungkan fkrah dan thariqah secara terpadu. Ketika seseorang menginternalisasikan sebuah ideologi dalam dirinya
maka
ideologi
itu
akan
mendorongnya
untuk
mendakwahkannya. Ketika sebuah partai berbasiskan ideologi yang benar, dan ia mampu mempertahankan dirinya dari segala macam benturan dan memenangkan pemikiran umat, maka fikrah partai menjadi fikrah umat dan aqidah partai menjadi aqidah umat. Dalam benak saya, partai politik berideologi Islam maupun berbasis umat Islam sah-sah saja, bahkan saya akan turut 126
sertakan afiliasi saya di dalamnya. Hanya saja, pemberlakuan hukum positif formal untuk pemberlakuan syariat Islam agaknya masih menjadi hal yang patut dipertimbangkan kembali. Karena Islam itu universal, maka sudah semestinya ia tak mengambil jarak dengan relasi kekuasaan. Nilai-nilai Islam haruslah dijiwai sebagai metode untuk mewujudkan kesejahteraan, masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah swt.
127
Menjadi Ibu Peradaban
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu� (QS AtTahrim : 6) Keluarga adalah madrasah pertama bagi seorang anak guna pembinaan aqidah, kepribadian, penguasaan dasar-dasar tsaqofah Islam melalui pengalaman hidup sehari-hari. Sehingga, diharapkan anak-anak yang lahir dari rahim ibunda bisa menjadi generasi yang tangguh dan berkualitas dalam mengusung peran strategisnya sebagai pejuang yang akan memperjuangkan Islam dengan seluruh jiwa dan raganya. Bagi sebuah peradaban, keluarga adalah benteng terakhir yang mana harus benar-benar dijaga dan tak boleh lengah dari penjagaan. Keluarga adalah tempat dimana kebiasaan, nilai-nilai, dan cita-cita dipancangkan. Berawal dari ini pula-lah, seluruh proses pendewasaan disemai dan ditumbuhsuburkan. Namun, jika kita lihat potret generasi sekarang yang justru didominasi oleh tingginya angka kejahatan, depresi, 128
kemalasan, gaya hidup konsumtif dan hedonis. Masih layakkah kita bermimpi bahwa anak-anak akan jadi tulang punggung kejayaan Islam dan ditangan mereka-lah kewajiban atas kesejahteraan umat ini diembankan? Saya masih optimis bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut adalah: Ya, Harapan itu masih ada. Berawal dari kesadaran untuk menyehatkan tatanan kehidupan keluarga dengan nuansa Islami, sehingga lahirlah generasi soleh, cerdas, taat pada orang tua, juga taat pada Allah dan Rasul-Nya. Tanggungjawab inilah yang dilimpahkan pada sosok seorang wanita bernama : istri/ibu. Mereka-lah yang memegang kendali dalam pembinaan keluarga. Mereka-lah yang memiliki peran besar untuk menjadi ibu generasi. Serangkaian hukum syariat telah Allah siapkan demi mengatur peran, posisi, dan hakhak mereka dalam kehidupan sesuai dengan kodrati tersebut. Yusuf Al Qardhawi dalam Fiqih Wanita menyatakan bahwa Rumah adalah kerajaan besar bagi wanita. Di sini wanita sebagai pengelolanya, istri dari suaminya, partner hidupnya, pelipur
laranya,
dan
ibu
bagi
anak-anaknya.
Islam
mempersiapkan profesi wanita untuk mengatur rumah dan memelihara urusan suami dan mendidik anak-anak dengan baik sebagai bentuk ibadah dan jihadnya. Sehingga, setiap sistem yang 129
berupaya mencabut wanita dari ‘kerajaannya’ dan merampas suami dan buah hatinya atas nama ‘kebebasan’ adalah musuh baginya. Beliau menambahkan, Islam mengizinkan wanita bekerja diluar rumah selama pekerjaannya itu sesuai tabiat, spesialisasi, dan kemampuannya serta tidak meghilangkan naluri kewanitaannya. Sungguh, semua kebaikan dan harapan akan lahir dari peran dan kontribusi besar seorang ibu. Tak semua pekerjaan rumah harus dikerjakan sendiri, karena ada pekerjaan yang bisa dilimpahkan pada yang lain. Akan tetapi, menananamkan nilainilai, mengajarkan etika, dan mempelajari ruh agama adalah tugas utama seorang ibu, sehingga Rumah sebagai pilar peradaban utama itu akan menghasilkan generasi tangguh yang berkualitas. Ibu peradaban bukan hanya soal mengajarkan anak bisa belajar membaca dan menulis. Lebih dari itu, buatlah anak belajar membaca dan menulis kehidupan dari ibunya. Yang belajar untuk bersabar dalam menghadapi beratnya cobaan hidup, yang belajar makna perjuangan dan pengorbanan dalam mengarungi belantara kehidupan. Pikiran saya menerawang, terpesona dan terkagum pada sosok muslimah yang menjadi pembicara dalam sebuah konfrensi beberapa waktu yang lalu. Mereka sungguh adalah 130
cerminan wanita yang cerdas, yang membekali akalnya dengan pengetahuan dan makna hidup terbaik. Luas cakrawala ilmu mereka membuat saya sadar bahwa saya harus cepat-cepat melek, membuka mata saya lebar-lebar pada semua diskursus yang pada hakikatnya sangat utama diketahui oleh seorang muslimah. Mulai dari sejarah Islam, hingga berbagai pengetahuan modern terkait ekonomi, kesehatan, ideologi, sastra, dan lain-lain. Sungguh, saya yakin bahwa dengan kecerdasan tersebut, seorang ibu akan dapat menjalankan tugasnya dengan keilmuan yang memadai. Anak adalah Penerus Mimpi. Begitu kata seorang teman sore kemarin. Ya, itu benar. Taurits. Pewarisan cita-cita, mimpi, dan harapan. Pewarisan kecintaan dan kebermanfaatan. Pewarisan akan harapan terwujudnya nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Pewarisan keimanan dan keistiqomahan yang akan dengan teguh ia pegang sebagai pondasi dalam menjalani kehidupan. Jadilah seorang ibu tempat berbagi suami dan buah hati. Jadilah ibu cerdas yang selalu mendengar, mengerti, dan berempati. Jadilah seorang ibu bagi terbitnya kembali harapan bagi mereka yang tak lagi 131
berharap. Jadilah ibu yang selalu mengatakan : ‘nahnu du’at qobla kulli syai`in’ Ah, seketika tergelitik, terketuk, dan tertohok. Bagaimana memulainya? Diri sendiri pun belum baik. Masih suka mengeluh dan menggerutu, masih senang asal dan tak tau aturan. Bagaimana bisa? Kata seorang ustadzah, islahu an nafs. Mulailah dari diri sendiri. Tuh, selamatkan aqidahmu, benarkan ibadahmu, kokohkan akhlaqmu, luaskan wawasanmu, kuatkan fisikmu, mandiri belum neng? Bisa mengendalikan nafsu pada kefanaan belum? Rapikan urusuanmu, perhatian sama waktumu. dan sudahkah kau memberikan kemanfaatan pada orang-orang disekitarmu? Sungguh, perbaikan diri adalah titik pangkal dari seluruh perbaikan yang lainnya.
132
Dari Buku ke Buku
133
Mas Marco: Sama Rata Sama Rasa
Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan (Sebuah Catatan Awal) yang disusun oleh Bapak Sapardi Djoko Damono merupakan sebuah buku yang menarik. Buku ini membahas
mengenai
kapan sastra
Indonesia
lahir dan
perkembangannya. Hal ini penyusun telusuri dari media cetak yang berkembang sekitar pertengahan abad ke 19 yang umumnya berupa puisi agama (Nasrani) berbahasa Melayu. Namun, seiring dengan pengaruh kebudayaan barat, para penulis puisi kita mempertimbangkan cara penulisan baru yang kemudian melahirkan
angkatan
Pujangga
Baru dengan
segala
inkonsistensinya. Meskipun demikian, tradisi lisan yang kuat menyebabkan bentuk-bentuk seperti syair dan pantun menjadi pilihan penting penulisan puisi. Salah satu yang menarik dari buku ini adalah ketika penyusun membahas mengenai Mas Marco Kartodikromo, seorang yang selama ini saya kenal sebagai tokoh awal pendiri Partai Komunis Indonesia dalam buku Zaman Bergerak karya Takashi Shiraishi. 134
Saya akhirnya membaca Marco dari perspektif ‘lain’ dari yang selama ini saya ketahui. Selain aktif menjadi wartawan, ternyata ia juga seorang novelis dan sastrawan. Setelah Medan
Prijaji mati,
pada
tahun
1914
ia
menerbitkan mingguannya sendiri yang ia beri nama Dunia Bergerak. Lewat mingguan ini, ia menyuarakan pembelaannya terhadap kaum pribumi jawa yang miskin. Meskipun awalnya menyuarakan kritik lewat beberapa surat dan artikel, pada akhirnya sastra-lah yang dipilih Mas Marco sebagai alat perjuangan. Ia pernah menerbitkan buku puisi berjudul Syair Rempah-rempah sebagai bentuk tanggapannya terhadap situasi sosial politik pada tahun 1918. Buku yang berisi delapan syair itu menunjukkan keburukan pemerintah kolonial di Hindia Belanda yang menyebabkan kesengsaraan rakyat. Salah satu syair dalam buku tersebut berjudul Sama Rasa dan Sama Rata ‌. Dulu kita suka kroncongan Tapi sekarang suka terbangan Dalam SI Semarang yang aman 135
Pergerak keras ebeng-ebengan Ini sair nama: Sama Rasa Dan sama Rata itulah nyata Tapi bukan sair bangsanya Yang menghela kami di penjara Syair di atas ditujukan pada orang-orang Sarekat Islam untuk menyadarkan mereka bahwa prinsip sama rasa sama rata harus diterapkan di dunia ini. Tentu ini berlandaskan pada kenyataan bahwa Marco memang aktif sebagai anggota dari Sarekat Islam. Dalam karyanya, Mas Marco menekankan pandangan hidup orang Jawa yang menyatakan bahwa watak satria dan pandita harus menyatu dalam diri kita. Selain mesti berani berperang dan berjuang, seseorang haruslah memberikan perhatian pada hal-hal rohaniah. Jalan kemardika’an amat susah Buat orang yang hatinya lemah Dan berjalan setengah-setengah Tidak bisa dapat yang diarah 136
Dalam syair tersebut, Mas Marco memberikan semangat pada pembaca untuk berani melakukan perjuangan demi kemerdekaan. Ia menyarankan pada pembacanya agar berani menghadapi bahaya. Meskipun, dalam beberapa nasehat yang ia sampaikan pun, ia tak menampik bahwa “Saya hanyalah berkata saja/ Tak tentu bisa melakukannya�
137
Irrasional dalam Nalar
Seorang kawan sedang membaca Dunia Sophie. Ia meminta pendapat saya mengenai Descartes. Kata saya: Dia menciptakan yang irrasional di dalam nalar. Saya pernah membaca sebuah buku yang berkata kurang lebih begini: sebagian orang menyatakan bahwa Descartes adalah peletak dasar-dasar filsafat subjektivisme. Argumentasinya mengarah pada terciptanya kepuasan dan terbentuk dalam format wacana pembuktian induktif. Setiap orang boleh saja berkata: “Saya berpikir, maka saya ada�, akan tetapi kata-kata itu jelas lebih bermakna dari sebuah ungkapan. Sebab, ungkapan tersebut telah menjelaskan sebuah usaha untuk membangun konsep subjektivisme atau konsep ego sebagai subjek berpikir secara orisinil. Dari sini, kita bisa ambil kesimpulan bahwa filsafat Descartes dibangun di atas kekaburan antara rasio dan irrasio. Itu kata Michael Foucault. Hari ini saya membaca buku berjudul Rindu yang Berujung Surga karya Abul Miqdad Al-Madany. Buku ini saya beli pada 1 November 2010. Sudah beberapa kali saya baca, tapi 138
hari ini entah kenapa saya ingin membacanya lagi. Buku ini berisi kisah perjalanan para ulama salaf baik itu berupa pesan, ucapan maupun tindakan yang mereka telah lakukan untuk kemudian direnungkan diambil hikmahnya. Salah satu bab dalam buku ini berkisah mengenai murid Imam As Syafi’iy yang bernama Al Muzany. Ia pernah bertanya pada gurunya mengenai keraguannya tentang tauhid. Setelah menanyakan hal-hal yang bisa Al Muzany indra namun belum ia pahami dengan baik, As Syafi’iy menjawab: “Sesuatu yang dapat engkau lihat dengan mata kepalamu sendiri saja engkau tak mengetahuinya, lalu bagaimana mungkin engkau ingin tahu bahkan meragukan tentang Allah yang tidak dapat engkau lihat dengan mata kepalamu sendiri?” Beliau kemudian bertanya mengajukan pertanyaan mengenai wudhu, namun Al Muzany salah menjawabnya. Beliau pun berkata, “Sungguh mengherankan, sebuah perkara yang engkau butuhkan lima kali sehari saja tidak engkau ketahui, lalu engkau memaksa diri menggugat tentang Allah, Sang Khaliq?” Kemudian beliau menyarankan membaca QS Al Baqarah: 163-164. Keraguan menganggapnya
memang
tamasya
selalu intelektual,
menggoda. beberapa
Beberapa lainnya
menganggap sebagai keharusan seorang cendekiawan. Nalar 139
Descartes bertujuan untuk mendapatkan kepastian mengenai hakikat kehidupan, dia ingin memulai dengan menyatakan bahwa pertama-tama orang harus meragukan segala sesuatu. Descartes merasa, ia harus membebaskan dirinya dari pengetahuan yang diwarisi atau diterima sebelum ia menyusun filsafatnya sendiri. Lebih lanjut, ia malah bertambah ragu, sebab ia mulai tak dapatmempercayai indera-indera yang dimilikinya sebab mungkin mereka memperdayanya. Pada akhirnya, yang ia yakini adalah bahwa saat ia ragu, maka ia sedang berpikir, dan saat ia sedang berpikir pastilah ia makhluk yang berpikir. Cogito, ergo sum. Bedanya, kita telah menemukan posisi subjektif kita atas dasar tauhid yang melandasi keimanan kita pada kitabullah yang menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan dan menjawab segala pertanyaan. Semoga keraguan itu mampu mengantar kita untuk menyadari bahwa akal (sebagaimana anggota tubuh lainnya) memiliki
kelemahan
dan
keterbatasan.
Di
luar
batas
jangkauannya, ia tak akan sanggup bekerja, dan itulah saat-saat terindah dalam hidup, saat kita menyerahkan segalanya pada Sang Mahasegala, Allah Azza wa jalla.
140
Menguatkan Keyakinan
Buku At Tauhid wat Tawakal yang dibahas oleh Syekh Zuhair Syafiq al Kubbiy merupakan referensi penting untuk menjelajahi pemikiran seorang filsuf besar Islam, Imam Al Ghazali. Buku ini membahas mengenai pemikiran Imam Al Ghazali, khususnya mengenai tawakal. Menarik ketika Al Ghazali memaparkan mengenai bagaimana keyakinan itu didapatkan. Baginya, keimanan merupakan pembenaran, setiap pembenaran yang dilakukan oleh hati adalah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dalam intensitas yang kuat itu akan menjadi keyakinan. Akan tetapi, gerbang keyakinan sangat banyak, maka disini Al Ghazali mengambil satu bentuk keyakinan yang diatasnya bisa dibangun konsep tawakal, yaitu: tauhid. Tauhid merupakan sebuah konsep pokok yang akan menjadi ilmu pembuka rahasia transedental. Menurut Al Ghazali, ada empat strata dalam tauhid. Pertama, tauhid seorang manusia yang mengucapkan kalimah syahadat akan tetapi hatinya lalai dalam ucapan itu. Ini disebut munafik. Kedua, jika hatinya 141
membenarkan arti dari perkataan tersebut sebagaimana yang dilakukan kaum muslimin pada umumnya. Ini disebut keyakinan orang awam. Ketiga, jika ia dapat mempersaksikan semua itu dengan metode kasyaf (terbukanya ilmu transdental), dimana mereka merasakan ketunggalan Allah SWT meskipun ia melihat segala sesuatu yang beragam di dunia ini. Ini disebut keyakinan kaum muqarrabiin. Keempat, jika ia tak memandang perwujudan kecuali hanya satu saja. Kaum sufi menyebutnya ‘peleburan diri’ dalam tauhid. Konsepsi tawakal hanya bisa didirikan diatas landasan strata ketiga. Setelah membahas mengenai kemanunggalan wujud, penulis membahas mengenai kondisi tawakal dan tingkatannya. Pertama, adalah jika kita berada dalam hak Allah, percaya dengan tanggungan dan pertolongan-Nya. Kedua, merupakan tawakal yang kuat, yaitu bila keberadaan kita bersama Allah seperti kebersamaan seorang anak kecil pada ibunya. Ketiga, merupakan bentuk tawakal yang paling tinggi, yaitu jika kita selalu merasa berada di hadapan Allah di dalam segala gerak dan diamnya, seperti seorang mayat di tangan orang yang memandikannya. Dalam ranah praksis, penulis membahas mengenai amalan orang-orang yang bertawakal dan tawakalnya orang-orang yang berkeluarga. 142
Pada akhirnya, interpretasi tawakal dalam sudut pandang yang relevan dengan tuntutan tauhid, dalil naqly, dan syariat, berada dalam kedalaman dan kesukaran kecuali bagi para ulama yang dianugrahkan Allah cahaya hikmah sehingga mereka dapat melihat, menyatakan dan kemudian mengucapkan dengan fasih apa yang telah mereka saksikan jika mereka diminta untuk bicara.
143
Mukmin dan Ateis
“Seorang mukmin tidak dapat melepaskan sikap kebertuhanan dari paham ateisme.” Demikian diungkapkan oleh Dr. Ali Harb dalam essaynya mengenai Mukmin dan Ateis. Saya kira pandangan ini bukan hal baru lagi. Beberapa kawan saya di Himpunan Mahasiswa Islam juga pernah berujar dengan candaan bahwa sebelum kita menjadi seorang muslim, terlebih dahulu kita harus meniadakan semua bentuk penuhanan kepada nalar, akal, bahkan teks. Ateis kan? Nah, setelahnya baru kita menuhankan satu Dzat yang pada-Nya lah tempat kita bergantung dan memohon pertolongan. “Begitulah nalar syahadat. Jadi Al, mereka yang ateis itu saudara dekat kita yang tauhid.” “Kita tidak mungkin mengingkari Ateisme kita.” Kata Harb Ya Alloh, kata mereka para ateis tidak akan membunuh-Mu untuk menghindari semua bentuk kepercayaan. Kata mereka, para ateis adalah pencari kebenaran yang paling 144
hakiki sebab kepercayaan mereka pada kebenaran amatlah besar. Kata mereka, orang-orang yang memiliki posisi subjektif dalam memandang kebenaran tentang-Mu dalam ketunggalan yang mutlak adalah orang-orang fanatik dan eksklusif. Tapi aku percaya, yang mereka cari bukanlah kebenaran. Kekerasan yang diekspresikan Nietzshe, sang cikal bakal ateisme telah menjiwai teks dan wacana yang ia ungkapkan. Sama halnya saat ketika ia mengumumkan kematian tuhan. Sama halnya ketika ia mengingkari Tuhan yang selamanya menjelma dalam bentuk yang diingkarinya. Harb sendiri mengatakan bahwa pengingkaran yang Nietzshe lakukan adalah pengingkaran di atas pengingkaran. Tapi ia tetap saja ia berargumen bahwa kadangkala Nietzshe menjadi sangat teologis dan lebih memasuki dunia malaikat daripada para teolog itu sendiri. Saya hanya berpikir: Bagaimana mungkin sikap ateis seseorang disamakan dengan seorang mukmin? Bagaimana bisa persaksian seorang yang meyakini keesaan Tuhan disamakan dengan perjalanan pencarian kebenaran orang mabuk?
145
Zainab Al Ghazali, Tentang Sebuah Keteguhan Hati
Mulanya, saya mengenal tokoh pejuang wanita bernama Zainab Al Ghazali dari buku berjudul Kontribusi Muslimah di Mihwar Daulah karya Sumaryatin Zarkasyi. Buku ini merupakan salah satu seri dari seratus seri buku pengokohan Tarbiyah terbitan Era Intermedia. Salah satu bab di buku tersebut menerangkan kontribusi muslimah dalam marotibul ‘amal kelima yakni islahu al hukumah. Penulis memaparkan kisah hidup Sayidah Zainab Al Ghazali sebagai percontohan bagi wanita muslimah untuk berperan aktif dalam ranah publik dan politik dengan mengadvokasi masyarakat untuk memperoleh hak-hak yang dirampas oleh pemerintah. Zainab Al Ghazali adalah seorang yang sepanjang hidupnya telah membentuk dirinya sebagai pribadi yang memiliki ambisi yang kuat dan tekad yang membara. Ia adalah sosok
146
muslimah
yang
cerdas
dan
kuat
pendiriannya
dalam
memperjuangkan apa yang ia yakini sebagai kebenaran. Beberapa hari lalu, seorang kawan meminjamkan saya buku yang sayidah tulis berjudul Perjuangan Wanita Ikhwanul Muslimin. Buku ini mengisahkan perjuangan hidupnya sebagai Ketua Umum Jamaah Muslimat di Mesir saat rezim Gamal Abdul Naser berkuasa. Kisah dalam buku ini dimulai saat Zainab Al Ghazali harus menjalani perawatan di rumah sakit karena ‘kecelakaan’ lalu lintas yang dialaminya pada bulan Februari 1964, saat itu pemerintah membuat surat keputusan pembubaran Jamaah Muslimat yang ditolaknya mentah-mentah. Penolakan itu membuat
pemerintah
memaksanya
untuk
melakukan
penggabungan organisasi Jamaah Muslimat ke dalam Front Persatuan Sosialis. Setelah siasat yang dilakukannya untuk menggagalkan rencana Dinas Intelejen Mesir berhasil, ia kembali mendapat bujukan dari Dinas Intelejen mesir. Namun seperti yang sudahsudah, ia berkata lantang dan tegas: TIDAK! untuk sebuah rezim tiran.
147
Jamaah Muslimat yang didirikan tahun 1358 H mendapat tawaran dari Asy Syahid Hasan Al Banna untuk melebur ke dalam Ikhwanul Muslimin sebagai bagian Wanita Muslimat, akan tetapi permintaan fusi tersebut ditolaknya meskipun ia tetap sepakat untuk mempererat hubungan kedua lembaga tersebut. Namun,
sehari
setelah
pembubaran
Ikhwanul
Muslimin tahun 1948 Zainab Al Ghazali berbaiat pada Allah di hadapan Hasan Al Banna untuk berjuang melancarkan dakwah Islam sebagaimana yang dicita-citakan oleh Ikhwanul Muslimin. Tak lama setelahnya, Hasan Al Banna pun syahid menemui Tuhannya dan jabatan mursyid ‘am Ikhwanul Muslimin dilimpahkan pada Imam Hasan Al Hudhaibi. Ketika pada pertengahan 1956 gelombang tahanan pemerintahan Abdul Naser dibebaskan, Zainab Al Ghazali beserta
beberapa
anggota
Wanita
Ikhwanul
Muslimin
menggalang bantuan dana demi meringankan beban para tahanan yang tersiksa, terutama anak-anak dan para yatim. Kemudian, pada 1958 bersama Abdul Fattah Ismail ia memulai menyusun konsep pengkaderan pertamanya yang meletakkan metode pendidikan Islam, yaitu pendidikan individu muslim yang sadar akan kewajibannya untuk Tuhannya, penataan masyarakat muslim yang sadar akan diri dan kewajiban yang diembannya 148
serta terpisah dari masyarakat jahiliyah. Konsep ini semakin dimatangkan ketika pada tahun 1962 Sayid Qutb memberikan berkas berjudul Ma’alim fii Thariq yang ditulisnya dari dalam penjara untuk dijadikan pedoman dalam proses pendidikan, pembentukan, persiapan, dan penanaman aqidah tauhid dalam jiwa para pemuda yang dibinanya secara sembunyi-sembunyi dalam kumpulan antara 5-10 orang pemuda. Rencananya, pendidikan ini akan berlangsung selama tiga belas tahun. Setelah 13 tahun berlalu, maka akan diadakan survei kembali di seluruh negeri untuk mencatat pengikut dakwah Islam. Apabila 75% jumlahnya, maka mereka akan mencanangkan penerapan hukum Islam di negara. Apabila hanya 25%, maka mereka akan mengulang pendidikan kader selama 13 tahun lamanya. Zainab Al Ghazali meyakini bahwa ia tidak boleh menghentikan upaya pendidikan Islam ini dari generasi ke generasi. Membaca dua bab kisah Zainab Al Ghazali yang tetap berdiri tegak ketika para intelejen datang untuk menundukkannya membuat saya merinding dan tercengang. Saya melihat sinar kecerdasan yang terpancar dari tatapan dan tutur katanya. Saya melihat ketegaran tanpa banding yang tak berkarat oleh waktu, ia tetap
berdiri
dan
tetap
teguh
dengan
pendiriannya
memperjuangkan kebenaran atas nama dakwah illallah. 149
Islam dan Kesadaran Kebangkitan Nasional
Islam Sebagai Simbol Nasionalisme Kondisi penjajahan dan penindasan yang telah dilakukan oleh Barat melahirkan pemahaman bagi rakyat Indonesia bahwa Islam identik dengan kebangsaan atau Nasionalisme, sedangkan imperialisme atau penjajahan itu identik dengan kristenisasi. Oleh karena itu, Islam menjadi Simbol Nasionalisme Bangsa Indonesia pada saat itu. Menyikapi hal ini, pemerintah kolonial Belanda merasa perlu berupaya memadamkan cahaya Islam, sebab imperialisme yang dilakukan terhalang oleh kehadiran Islam yang sudah terlebih dahulu menyebar di nusantara. Upaya yang dilakukan oleh Belanda antara lain: 1) DeIslamisasi penulisan sejarah Indonesia yang menafsirkan bahwa setelah jatuhnya kerajaan Hindu-Budha di Nusantara berdampak menimbulkan kemunduran bangsa Indonesia. 2) Penelitian Arkeologi yang menerangkan bahwa masa lalu nenek moyang 150
bangsa Indonesia adalah manusia purba yang tergolong ‘manusia kera’. Sehingga, secara politis mengarah pada pemahaman bahwa bangsa kulit putih adalah manusia beradab yang berhak menjajah bangsa kulit berwarna. 3) Kehadiran pakar Belanda: Snouck Hurgronje (meneliti Islam di Aceh) dan Van Vollenhove yang berusaha
kembali
menggantikan
menghidupkan
hukum
Islam.
4)
hukum
adat
Mengembangkan
untuk aliran
kebatinan (Kedjawen) di kalangan para priyayi dan pejabat pribumi yang berpihak pada Belanda. 5) Membangkitkan kesadaran sejarah Hindu-Budha di Nusantara agar pengaruh ajaran Islam melemah, dan ditargetkan penganut Hindu-Budha akan memihak pada pemerintah kolonial Belanda. 6) Distorsi peta bumi Disadarkan pada kritik yang dilemparkan oleh Conrad Th van Deventer dalam majalah De Gids yang berjudul ‘Utang Kehormatan’ yang berisi bahwa kemajuan kerajaan protestan Belanda dan pemerintah kolonial Belanda diperoleh dengan pengorbanan bangsa Indonesia. Hal ini merupakan utang kehormatan yang wajib dibayar dengan memajukan kehidupan pribumi. Dalam menjawab kritik dari kalangan liberal, Kerajaan Protestan menciptakan tiga macam kebijakan politik : Politik pintu terbuka, politik etis, dan politik asosiasi. Politik pintu terbuka membawa implikasi dibukanya nusantara Indonesia bagi 151
penanaman modal asing di bidang perkebunan, pertambangan, dan transportasi yang ditandai dengan dibuatnya UndangUndang Bumi tahun 1870 M. Pelaksanaan politik pintu terbuka ini memerlukan tenaga kerja terdidik, sehingga diberlakukanlah politi etis pada tahun 1901 M dengan triloginya : Edukasi, Irigasi, dan Emigrasi. Dengan pemberlakukan sistem edukasi yang tidak berdasar kurikulum pesantren, lahirlah generasi yang berorientasi budaya barat. Selain itu, pendidikan juga didiskriminasi dengan diberlakukannya startifikasi sosial dalam sekolah, yaitu sekolah Eropa, Bangsawan, Cina, dan Ambon, sehingga kaum bangsawan dipisahkan hubungannya dengan rakyat. Menyikapi hal ini, diperlukanlah politik asosiasi, yaitu suatu politik yang bertujuan menciptakan
sikap
keterbukaan
generasi
muda
Islam:
kebergantungan pada budaya Barat. Emigrasi dilakukan untuk melahirkan generasi yang cacat budaya dan cacat kepahaman tentang Islam. Namun, hal ini gagal terjadi. Sebab, dengan adanya program ini justru terbentuklah kesadaran sesama muslim, yang lahirkan kesadaran sesama musuh yang satukan Islam untuk lawan imperialisme barat.
Pemikiran Islam dan Nasionalisme 152
Namun, muncullah pertanyaan, benarkah politik etis yang membangkitkan kesadaran nasional pada abad ke 20 M? tentu tidak. Jiwa gerakan tersebut datang dari pengaruh Timur Tengah, India, Cina, dan Jepang. Beberapa konstruktor pemikiran gerakan islam yang berpengaruh tersebut diantaranya adalah: Jamalludin Al Afghani (1897
M),
Muhammad
Abduh
(1849-1905),
Gerakan
Nasionalisme Mesir yang ditandai dengan pemberontakan terhadab Arbi Pasha, dan Rashid Ridha (1865-1935 M) yang menekankan purifikasi pada pemikiran Islam yang ia tuangkan dalam majalah Al Mannar. Akan tetapi, Imperialisme Barat tak tinggal diam. Mereka
merekayasa
pembebasan membenturkan
diri
gerakan dari
antar
nasionalis
kesultanan gerakan
menjadi
Turki.
puritanisme,
gerakan
Mereka
juga
sekulerisme,
pluralism, dan liberalism sehingga terpecahlah gerakan-gerakan ini untuk saling serang satu sama lain dan mengalami disorientasi untuk melawan imperialism barat. Faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya kebangkitan nasional adalah terbentuknya integritas nasional dalam ‘Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia’ oleh Kahin dipengaruhi oleh factor berikut: 1)Terbentuknya kesatuan agama 153
bangsa Indonesia dengan keyakinan Islam 2) Islam menjadi simbol terhadap penjajahan asing barat dengan masuknya rajaraja hindu budha ke Islam akibat adanya invasi katolik Portugis di Indonesia. 3) Perkembangan bahasa melayu pasar berubah menjadi bahasa persatuan Indonesia akibat pelarangan bahasa Belanda untuk dipakai masyarakat Islam Indonesia. 4) Sjarikat Dagang Islam yang didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh Hadji Samanhudi ini dinilai oleh para sejarawan sebagai pelopor Kebangkitan
kembali
kesadaran
Nasional
Indonesia.
Keberhasilan SDI adalah lambang awal keberhasilan gerakan pembaruan system organisasi Islam melalui pasar sebagai lahan operasi aktivitasnya. Guna menjaga kontinuitas gerakan, diterbitkanlah Taman Pewarta sebagai media komunikasi yang bertahan selama 13 tahun. Ditambah lagi, dengan diadakannya kerjasama antar pribumi Islam dan Cina dengan nama organisasi niaganya, Kong Sing. Belanda merasa perlu membangun organisasi tandingan yang di gawangi oleh RMT Adhisoerjo dengan membentuk Sarekat Dagang Islamiyah di Bogor dengan medianya Medan Prijaji. Namun, pada 1911 M, Sarekat Dagang Islamiyah dibubarkan dan diserahkan kepemimpinannya pada Haji Samanhudi.
Pergerakan Islam dan Kebangkitan Nasional 154
Realitas sejarah tentang adanya eksistensi kekuasaan politik Islam di Nusantara semenjak abad ke-9 hingga 20 Masehi digunakan oleh para ulama dan santri untuk menyadarkan kembali kebangkitan politik umat Islam Indonesia. Hal ini dilakukan melalui pembantukan organisasi modern sebagai wahana mobilitas dan mendinamikakan semangat juang umat Islam Indonesia. Fakta sejarah diatas memberi gambaran bahwa kebangkitan Islam memberikan jawaban sesuai dengan tantangan zaman. Sehingga, dalam waktu yang relative singkat ulama berhasil membangun berbagai organisasi kerakyatan yang memiliki karakter nasionalis. Akan tetapi, Pemerintah Belanda tidak tinggal diam, diberlakukanlah politik pecah belah dengan mempertentangkan perbedaan antara ajaran kejawen, kesundan dengan ajaran Islam, serta mengembangkan pertentangan prasangka etnis.
Menyoal Sarekat Islam dan PKI Perpecahan yang paling rentan memang yang yang terjadi pada SI, sebab SI merupakan organisasi yang benar-benar mendapatkan dukungan masa riil dari berbagai strata sosial dan ulama. Yang terjadi di SI ini memang menarik, sebab dengan
155
menggunakan orang Belanda bernama Sneevliet mereka membelah keutuhan SI. Aksi mereka diawali dengan membina pimpinan muda SI Semarang pada 1916 M dalam Sarekat Buruh Kereta Api dan Trem (VSTP). Disini, dibinalah seorang buruh KA bernama Semaoen, Darsono, Alimin, dan Tan Malaka yang menjadi kader ISDV dan VSTP. Pada National Congres CSI di Surabaya, kelompok kader ini mulai berani menyerang pimpinan SI untuk mengganti ideology Islam dengan Marxist. Namun, usaha mereka gagal meskipun dicoba kembali digaungkan pada konggres di Jogja dua tahun kemudian. Akibatnya, Semaoen dan Darsono mengubah SI Semarang menjadi Perserikatan Komunis di India (PKI) pada 23 Mei 1920. Pada
1923,
diresmikanlah
adanya
disiplin
partai
yang
memutuskan menolak ideology Marxist yang dikembangkan PKI dan tidak membenarkan merangkap pimpinan PKI dan SI sekaligus. Konggres juga membentuk partai politik yang pertama, Partai Sarekat Islam. (dua puluh lima tahun kemudian, pada kudeta madiun tahun 1948, PKI membalasnya dengan pembunuhan terhadap ulama dan santri)
156
Bisa dibayangkan. SI yang semula hanya menghadapi Kristenisasi, Kapitalisme, dan Kebatinan selanjutnya juga harus melawan Komunisme dan fitnah Korupsi.
Disorientasi Sejarah Dalam buku-buku sejarah, kita akan menemukan bahwa momen kebangkitan nasional bertolak dari kebangkitan pemuda yang diorganisir oleh organisai Boedi Oetomo pada tahun 1908. Dari persfektif nasionalis hal ini tentu benar dan sangat menguntungkan, tetapi tentunya hal ini merupakan salah satu sudut pandang saja tentang periode sejarah awal kebangkitan nasional. Bahwa Boedi Oetomo pada saat itu banyak membantu menyemaikan rasa nasionalisme Indonesia dengan banyak mendirikan sekolah-sekolah memang benar. Tetapi pertanyaan selanjutnya, apakah hanya Boedi Oetomo saja yang menjadi tulang punggung penyebaran kesadaran terhadap penjajah pada sat itu? Dari pertanyaan inilah kita bisa meluruskan sejarah awal pergerakan pemuda. Buku Ahmad Mansur Suryanegara yang berjudul Api Sejarah menguraikan secara detail secara runtut kronologis peristiwa yang terjadi di zaman pergerakan nasional sebagaimana yang telah saya paparkan di muka.
157
Ia menceritakan bagaimana peran besar Syarikat Islam (SI)
untuk
menyuemaikan
benih-benih
kesadaran
rasa
Nasionalisme yang diikat oleh akidah Islam. Dengan kesaaran nasionalisme yang disatukan dalam bingkai akidah Islam ini SI menjdai organisasi yang paling besar, baik dari sisi anggota ataupun gerakan. Di bandingkan dengan Boedi Oetomo yang hanya digerakan oleh segelintir pemuda lulusan Belanda, SI telah menyebar
ke
hampir
setiap
pelosok,
dan
mempunyai
pimpinannya masing-masing hampir di setiap daerah. Di sisi lain, Boedi Oetomo lebih bersifat organisasi primordial Suku Jawa, karena lebih mengakomodir orang-orang yang berasal dari suku Jawa, begitupun bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa. Berbeda dengan Syarikat Islam, walaupun notabene bercorak dan mempunyai ideologi perjuangan politik ekonomi Islam, tetapi bahasa yang digunakan merupakan bahasa melayu yang pada saat itu telah menjadi bahasa pergaulan nusantara. Dengan demikian bila dilihat dari sepak terjang, gerakan, bahasa, yang seharusnya dijadikan pijakan kebangkitan pemuda atau kebangkitan nasional seharusnya bertolak dari gerakan Syarikat Islam bukan Boedi Oetomo. Disinilah rasa keaberislaman para sejarawan Islam Indonesia diuji. Termasuk kita
sebagai
pemuda
Islam
harus
berani
membantah
kekuranglurusan sejarah tersebut. Forum seperti diskusi yang kita 158
lakukan saat ini adalah salah satu media efektif untuk peyebaran kesadaran sejarah ini.
Refleksi Demikian penggalan sejarah yang coba penulis angkat untuk dijadikan pelajaran bagi kita yang hidup di era kini. Perjuangan para ulama (cendekiawan muslim) kala itu adalah perjuangan yang bersumber dari hati nurani. Perjuangan luhur yang
berupaya
mengentaskan
manusia
dari
penjajahan
kolonialisme menuju kemerdekaan yang hakiki. Sudahkah kita bisa belajar dari apa yang telah diperjuangkan para pendahulu kita? Atau malah lalai dan lari dari tanggungjawab sebagai seorang cendekiawan muslim yang memiliki tanggungjawab besar guna mengentaskan diri kita dari perbudakan terhadap kesewenangan tiran dan menciptakan tuhan baru atas nama popularitas dan jabatan. Benarlah Ali Syariati dalam bukunya “Tanggung Jawab Cendekiawan Muslim� yang menyatakan bahwa pandangan simbolisasi manusia shaleh tidak bisa dipandang dari sisi bentuk formalitasnya saja, sebab manusia yang tercerahkan adalah “ia dengan tangan yang sama menuliskan ayat-ayat suci dari langit serta terbenam dalam genangan lumpur dan mengayunkan kayu untuk 159
menyuburkan tanah yang kering, ia berdiri tegak memperjuangkan ayatayat Allah dan hak-hak masyarakat�
160
Korupsi, Korupsi!
Bakir, nama pak tua itu. Sudah dua puluh tahun ia menjadi pegawai. Hanya sepeda tua berkarat yang jadi kawannya. Ia butuh uang untuk anak-anaknya yang akan melanjutkan sekolah, juga untuk mengusir keluarga Tionghoa yang menyewa beberapa kamar di rumahnya sebagai warung yang saban hari hadirkan keributan. Kebutuhan akan uang itulah yang membuatnya gelisah siang malam. Ia butuh sumber penghasilan yang memungkinkan. Namun, ia hanya pegawai biasa yang andalkan kenaikan sedikit gaji tiap tahunnya. Tak akan cukup. Tak akan cukup. Hingga akhirnya, terbetiklah dalam hatinya, seperti sudah jamak di masa kini: korupsi! Berdengung kata itu di tiap dinding dan tiap benda di kamarnya: korupsi! Korupsi! Hatinya sakit mengingat betapa selama ini kejujuran telah membuat ia dihargai sebagai pribadi yang bermartabat akan lenyap begitu saja, berganti dengan keculasan dan kecurangan yang ia niatkan. Dengung kata Korupsi itu ternyata lebih berkuasa dan merobohkan pertahanan idealismenya. Berawal dari 161
hasil pencurian persediaan alat tulis kantor yang ia jual pada tauke sebesar dua puluh rupiah, semakin menjadi lah hasrat Bakir untuk lakukan korupsi, lagi dan lagi. Isteri yang telah setia mendampinginya belasan tahun melihat gelagat itu. Ia ingatkan suaminya agar tak berbuat lebih jauh. Namun, apa mau dikata, uang telah membuat Bakir silau. Ia pun lakukan korupsi dalam jumlah yang lebih besar. Isterinya berang. Karyawan setianya, Sirad, mulai curiga. Karena senantiasa diliputi kecemasan bahwa tindakannya diketahui orang, ia melarikan diri pada pelukan seorang dara belia bernama Sutijah. “Kalau engkau sungguh-sungguh tak mau dicegah dalam niatmu, besok lusa engkau jual benteng pertahananmu dengan uang. Kemudian engkau kawin lagi. Kemudian engkau menjauhi atau dijauhi kawan-kawanmu. Engkau mendapat kawan-kawan baru yang semua ada di dalam ketakutan. Engkau jadi binatang perburuan. Engkau harus lari, terus lari, terus sampai akhirnya rebah sendiri tiada bertenaga.� Bagaikan kutukan, kata-kata isterinya tersebut satu per satu terlaksana. Bakir tinggalkan isteri dan tiga anaknya demi Sutijah. Mereka tinggal di kawasan Puncak, Bogor. Ia tak lagi berkawan dengan rekan-rekan sejawatnya di kantor. Ia punya komunitas elite sendiri, pelaku pezinahan, koruptor, dan seperti 162
binatang perburuan, ia terus lari, terus, sampai akhirnya rebah sendiri tiada bertenaga. “Dapatlah aku mengetahui bahwa jalan kembali bagiku masih tersedia, hanya saja aku yang tak berani kembali. Tidak berani! Tidak berani! Dan tambah lama tambah tidak berani. Tambah tua aku menjadi tambah penakut menghadapi kebenaran dan menerimanya sebagai milik sendiri..� Agaknya, kegelisahan yang sempat ia rasa mesti ia semaikan sebelum lakukan perbuatan kotor itu. Bakir, dalam kegelisahan sebelum melangkah lebih jauh menjadi budak nafsunya pernah berkata: Apakah yang sebenarnya betul: manusia yang mencari kebahagiaan ataukah kebahagiaan telah memperkudanya? Belasan tahun lampau ia berkata bahwa kebahagiaan adalah harta terbesar yang selalu diimpikan manusia, tapi sekaligus harta benda yang begitu dekat, begitu tak teraba, begitu tak disadarinya, bahwa itulah sesungguhnya yang diimpikannya. Dibalik jeruji besi, Bakir hanya bisa menyesali nasib: betapa pengetahuan dan kesadaran ini terlampau mahal untuk ia beli. Membaca novel Pram ini membuat saya terus menghela nafas. Kita seolah telah kehabisan kata, daya, dan upaya dalam upaya pemberantasan korupsi. Berbagai upaya telah 163
dilakukan, mulai dari gerakan sosial antikorupsi, penafsiran teologi anti korupsi, pembuatan aturan perundangan anti korupsi setiap kali ada kasus korupsi yang dinilai baru, serta pembentukan lembaga yang khusus menangani masalah korupsi. Namun nyatanya, korupsi tetap ada, mengakar, dan membudaya. Benarlah apa yang dikatakan Cak Nun dalam salah satu artikel lepasnya; “Orang lebih tertarik kekayaan dibanding kesalehan. Orang lebih terpikat oleh uang banyak daripada digniti kepribadian. Orang lebih tergiur pada kejayaan materi dibanding kemuliaan hidup.� Agaknya, pabila segala daya dan upaya memang tiada guna. Minimal, diri ini sadari bahwa kalau kita mencuri, kita mencuri harta milik Tuhan, di bumi yang jadi milik Tuhan. Meski kita
membawa
harta
curian
kita
lari,
mentransfernya,
menginvestasikannya, Sang Penadah Agung tetaplah pemilik sahnya. Harta Tuhan saja tak pernah pergi kemana pun, apalagi diri kita yang tak berdaya ini. Melarikan diri kemana pun jua adalah jalan kembali pada asal usul kita yang sejati. Ya, hidup adalah pergi untuk kembali. Kata Ello. Inna lilahi wa inna ilaihi roji’un. Ingatlah bahwa kita akan mati, akan pulang, dan mempertanggungjawabkan apa yang telah kita amalkan. 164
Bukan Pasar Malam
"Mengapa kemudian kita harus bercerai berai dalam maut. Seorang. Seorang. Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa orang-orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti pasar malam." (h.95) Seorang pelayat bertanya dalam suasana duka oleh sebab kawan main judinya mati. Pertanyaan itu tak mendapat jawaban. Yang mendengar tertawa. Yang bicara pun tertawa. Mungkin yang bicara pun tak mengerti apa yang telah diucapkannya. Kemudian, percakapan itu mati. Pramoedya
Ananta
Toer,
seperti
lazimnya
ia,
mengisahkan dengan apik kisah keperwiraan seorang dalam revolusi yang pada akhirnya melunak ketika dihadapkan pada kenyataan
sehari-hari;
pesakitan
yang
meregang
nyawa,
kemiskinan yang mendarah daging, serta ketidakberdayaan yang syahdu. Berpotong-potong kisah itu terbingkai dalam sebuah perjalanan yang hadirkan kembali kenangan yang pernah dilalui. Kenangan-kenangan itu sewenang-wenang menyerbu dalam 165
kepalanya tanpa permisi. Membuatnya tersenyum saat sadari bahwa memang terkadang manusia terlampau kuat dan menenggelamkan kesadarannya. Hari-hari yang dibayangi maut membuatnya sadar; sama seperti berlalunya malam, demikian pula hidup manusia yang lenyap sedetik demi sedetik tanpa disadari. Meninggalkan berbagai persoalan yang bukannya menua, malah meremaja bersama pusaran arus waktu. Membaca Bukan Pasar Malam karya Pramodya Ananta Toer ini membuat saya kembali mendefinisikan diri, hidup, keberadaan saya di dunia, dan akhir cerita hidup saya kelak. Jelang dua puluh satu tahun masa usia yang telah terlewati, saya telah menjalani hidup seperti wanita kebanyakan, tak ada yang istimewa, tak banyak hal berbeda kecuali hal-hal yang detail. Pada intinya, saya adalah orang yang biasa-biasa saja, yang tak pernah berpikir untuk lakukan hal-hal besar, atau bertindak layaknya pahlawan yang mewujudkan hal-hal besar. Banyak orang suka membaca, saya salah satunya. Dan saat saya membaca, saya seperti melihat diri saya tengah berperan dalam skenario cerita yang ditulis dalam buku-buku. Saya telah membaca sedikit dari jutaan buku yang ada, namun cerita hidup 166
saya sama membosankannya seperti dalam roman-roman usang yang mudah dicari referensinya. Tak ada yang istimewa. "Mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula? Dan mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? Dan kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan orang itu pun mencintai kita.." (h.95) Ah, betapa indahnya hidup yang singkat ini bila kita bisa dicintai seorang manusia dengan sungguh-sungguh. Tidak hanya berdasarkan perasaan, akan tetapi juga pada kenyataan yang apa adanya tentang diri dengan segenap paradoks dan ambiguitas yang melekat. Saya tak lagi harapkan cinta yang berakhir indah dan romantis
sebagaimana tertulis
dalam buku-buku. Dalam
kehidupan nyata, kisah itu berakhir dramatis dan tragis. Kita dipaksa
menangis
sejadi-jadinya,
jatuh
sedalam-dalamnya,
menerima seperih-perihnya. Itulah hidup. Hidup yang hanya menunda kekalahan, kata Chairil.
167
Bibliomania
Allison
Hoover
Bartlett
patut
bangga.
Novel
investigasinya berjudul The Man Who Loved Books Too Much mendapat penghargaan sebagai salah satu buku terbaik tahun 2009 versi Library Journal, setelah sebelumnya artikel mengenai tokoh utama novel ini, John Gilkey, dimasukkan dalam Best American Crime Reporting tahun 2007. John Gilkey memang sosok yang memikat. Atas dasar kecintaannya pada buku, ia menjadi pencuri buku-buku langka koleksi para agen di seluruh penjuru negeri dengan bermodal nomor kartu kredit dan telepon umum hotel. Dan, Bartlett berhasil memukau pembacanya dengan detail yang amat teliti mengenai manuskrip-manuskrip bersejarah serta humor satir untuk menarasikan kisah Gilkey. Inspirasinya untuk mencuri buku muncul saat ia masih kanak-kanak. Bukan hanya karena alasan cinta, melainkan juga dampak memiliki buku itu terhadap dirinya. Terlahir dalam keluarga miskin membangkitkan fantasinya akan kehormatan dan penghargaan sebagai orang yang berbudaya dan terpelajar apabila 168
ia memiliki koleksi buku langka. Ia mendapatkan buku-buku koleksinya dengan mencuri, tentu saja. Anehnya, meskipun Gilkey sadar bahwa mencuri buku adalah tindakan ilegal, namun baginya ilegal tidak sama dengan salah. Saat ia berkali-kali ditahan oleh polisi, bukannya merasa bersalah, ia justru menyalahkan orang lain yang dianggapnya menghalanginya untuk mendapatkan itu. Gilkey adalah orang yang percaya bahwa mengoleksi amat banyak buku langka adalah ekspresi terbesar identitasnya, dan dengan cara apapun ia mendapatkannya itu bernilai adil dan benar. Seperti Bartlett, aku pun bertanya-tanya: bagaimana rasanya memandang dunia dengan cara seperti itu, merasa berhak mendapatkan semua yang diinginkan dan membenarkan cara apapun untuk meraihnya. Namun, Gilkey ternyata pribadi yang tak sesederhana itu. Dibalik kegilaannya mengoleksi buku, ia pun sedang berupaya keras membangun
citra
dirinya
sebagai
pria
terhormat.
Dia
mempelajari filsafat, meneliti pengarang buku, membaca sastra, bahkan menulis esai dan naskah dramanya sendiri. Namun, buku ini tak hanya berkisah soal obsesi gila Gilkey untuk membuat perpustakaan raksasa dengan ribuan koleksi langka di rumahnya. Bartlett pun berkisah tentang Ken Sanders, seorang yang menyebut dirinya bibliodick (penjual buku yang merangkap detektif) yang memiliki obsesi besar untuk 169
menangkap John Gilkey lewat jaringannya di Asosiasi Pedagang Buku Amerika. Mengesankan membaca bagaimana Bartlett meletakkan kecintaan dua orang ini pada buku dalam konteks yang lebih besar, tak hanya berkutat soal kejar mengejar antara detektif dan maling, tetapi juga mengeksplorasi secara mendalam tentang gairah terhadap buku selama berabad-abad, meskipun terkadang nyaris menyiratkan seksualitas platonian. Kecintaan fanatik yang cukup intim ini dituliskan oleh Eugene Field dalam The Love Affairs of a Bibiliomaniac pada 1896, “Terlalu sedikit orang yang sepertinya menyadari bahwa buku memiliki perasaan. Tetapi aku tahu sesuatu hal lebih baik dari pada orang lain, yaitu buku-bukuku mengenalku dan mencintaiku. Ketika suatu pagi aku terbangun, aku melempar pandangan ke sekeliling ruangan untuk melihat harta benda yang kucintai, dan ketika dengan gembira aku berseru kepada mereka, ‘Apa kabar teman-temanku yang baik!’ mereka akan berseri-seri dengan indah, gembira aku sudah bangun!� Buku, bagi beberapa orang merupakan catatan pribadi satu bab kehidupan mereka. Secara fisik, ia menjadi saksi bisu pengalaman pembacanya, artefak sejarah tempat berkumpulnya kenangan, misal tentang siapa yang memberi buku itu pada kita, 170
dimana kita saat membacanya, berapa usia kita saat asyik membuka lembar demi lembarnya, dan lain sebagainya. Ada banyak buku yang saya baca saat kecil. Meskipun mencoba mengingatnya dengan keras, terkadang saya pun lupa, buku mana yang lebih dulu saya baca. Namun, bagi saya, buku yang paling penting (dan berharga) di masa kecil saya adalah Little Women karya Alcott. Tidak seperti kebanyakan buku yang saya baca di masa itu, yang selalu berkisah tentang sekumpulan bocah laki-laki yang hobi berpetualang, saya merasa, buku ini berkisah tentang diri saya dalam tokoh Jo. Jo, seorang maniak buku yang ceplas ceplos, apa adanya, menyukai seni bermain peran, tokoh yang selalu saya kagumi hingga menjadi role model saya hingga hari ini. Saya masih ingat bagaimana membuka lembar demi lembar halaman yang telah menguning di kamar tidur saya kala itu. Saya rasa, buku memang bukan hanya sebuah kendaraan yang mengantarkan isinya pada pembaca, tetapi juga pada kehidupan di saat kita tengah membacanya.
Ketika Gilkey bertemu Jo dan Faqih
171
Saya sedang membayangkan bagaimana jadinya bila hari ini John Gilkey bertemu dengan Jo. Apa yang akan mereka obrolkan? Koleksi buku-buku klasik yang mereka miliki? Kesepakatan bahwa Jo akan memainkan naskah drama yang ditulis Gilkey? Ah, akan lebih baik jika Profesor Bhaer (suami Jo) turut serta dalam obrolan mereka. Mungkin, dia akan memberikan Jo dan Gilkey saran bacaan, atau memberikan bukunya secara cuma-cuma untuk Gilkey agar dia tak mencuri lagi. Bukankah Jo dan Profesor Bhaer mendidik anak-anak mereka dengan baik? Saya rasa, Jo dan Bhaer bisa membujuk Gilkey untuk bertaubat. Ah, tapi bagaimana jika Gilkey malah bertemu dengan Faqih. Apa yang akan mereka obrolkan? Mungkin, mereka akan ngobrol soal penghancuran buku yang dilsayakan dari masa ke masa: pembakaran beribu koleksi kesusastraan China pada tahun 213
SM,
pembakaran
buku-buku
sastra
oleh
Nazi,
penenggelaman buku-buku karya para ulama Muslim di laut Merah, pelarangan buku-buku di zaman Orde Baru, dan semakin sedikitnya buku tentang pemikiran Islam setiap tahunnya. Faqih akan katakan bahwa semakin minimnya buku tentang pemikiran Islam merupakan pertanda kemunduran Islam. Sebab, mereka yang katakan bahwa Al Qur’an dan Hadist adalah sumber pedoman satu-satunya justru menunjukkan 172
ketidakyakinan dan kebuntuan mereka dalam mengartikulasikan apa yang Al Qur’an dan Hadits sampaikan tentang masalah yang mereka hadapi hari ini. “We never doing any reading process and too afraid for break the streamlines..” Gilkey akan menepuk pundak Faqih dan berkata, “Jangan khawatir, akan selalu ada kami, para kolektor buku, penyelamat peradaban, yang sedia mengumpulkan buku-buku terlarang sebagai wujud penghargaan kami terhadap ilmu pengetahuan. Sejarah sudah membuktikan. Buku-buku merangkai sebenarbenarnya kisah. Tugas kita adalah menemukan dan melakukan interpretasi secara objektif.” Mungkin demikian.
173
Tentang Penulis
Alikta Hasnah Safitri lahir 28 Februari 1994 di Kemangkon, Purbalingga, Jawa Tengah. Jenjang pendidikan yang telah ditempuhnya, yaitu: MI Muhammadiyyah Senon, SMP Negeri 1 Kemangkon, dan SMA Negeri 1 Purbalingga. Saat ini ia masih menempuh studi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Sembari menempuh studi, ia juga terlibat aktif dalam kepengurusan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Komisariat Sholahuddin Al Ayyubi. Selama menetap di Kota Solo, ia sering berlama-lama membaca di perpustakaan, mengikuti berbagai seminar, serta menonton pertunjukan seni. Saran
dan
kritik
dapat
disampaikan
pada
penulis
ke
aliktahasnahsafitri@gmail.com. Tulisannya yang lain bisa diakses di blog pribadinya: aliktahassa.wordpress.com
174