e-NAFIRI GKY BSD | JUL 2021 | TH18

Page 1


Pembaca ‘Nafiri’ terkasih, Tanpa terasa kita sudah sampai di pertengahan tahun 2021 di kala pandemi Covid-19 masih terus ‘mengintai’ kita. Semoga kita semua tetap dalam perlindungan dan belas kasih Tuhan. Untuk membantu memupus rasa galau Anda, mari kita nikmati dan renungkan tulisan-tulisan menarik yang kami sajikan pada Nafiri edisi kali ini. Sebuah permintaan sederhana ternyata menjadi sebuah taruhan nyawa bagi seorang janda yang sangat papa. Kisahnya mengharu biru rasa, mengulik iman, dan air mata kita. Mari ikuti drama kehidupan ini di rubrik “Enlightenment”. Siapa itu St. Agustinus? Mengapa warisan kesaksian hidupnya bisa memberikan landasan kokoh bagi setiap pendidik Kristen saat ini? Mari kita cermati pemikirannya di rubrik “Perspektif”. Rubrik “Capture” menghadirkan sosok Nia Ingrid yang menggeluti seni lukis di wajah. Wajah dilukis? Sampai masuk Kompas TV pula. Apa ada dampak positifnya bagi kawula muda? Penasaran? Temukan sendiri jawabannya. Bersyukurlah jika kita masih bisa berkumpul dengan anggota keluarga. Bersyukur untuk apa


pun juga, karena bersyukur akan membuat kita lebih sabar. Bu Charlotte Priatna kembali mengingatkan kita betapa pentingnya hal ini dalam rubrik “Parenting”. Junianto Hosea dan Sely Husin, apakah Anda sudah kenal dengan mereka? Bisa jadi Anda sudah kenal wajah dan senyum mereka saat melayani sebagai usher. Rubrik “Potret” menggali kisah hidup dan komitmen pelayanan mereka, termasuk kisah asmaranya lho .... Ingatkah pada Bapak yang biasa tampil ke depan membacakan angka-angka laporan keuangan? Ternyata passion awalnya dalam pelayanan justru di bidang Sekolah Minggu dan Remaja. Mari kita sambangi Pak Johanes Widjaja di rubrik “Shoot Majelis”. Masih banyak tulisan menarik untuk dinikmati, seperti: “Pastoral Notes”, “Kesaksian”, “Thought”, “Teropong”, “Percikan”, “English Corner”, “Event Notes”, “Leadership Spot”, dan lain-lain. Tidak semuanya serba serius, ada cerita jenaka di “Taman Ketawa”, “Sentilan Ucil”, ada juga karikatur Bang Arif, dan lugunya “Pertanyaan Anak Sekolah Minggu”. Mari kita nikmati semua dalam edisi yang terbit mingguan secara digital ini. Tuhan Yesus memberkati kita semua. Salam, Redaksi


Penasihat Pdt Gabriel Kadarusman Gofar Pembina GI Feri Irawan, Hartono Basuki Majelis sub. bid. Literatur Humprey Pemimpin Redaksi Humprey Wakil Pemimpin Redaksi Maya Marpaung Editor Pingkan Abigail Palilingan, Titus Jonathan Proof Reader Sarah Amanda Palilingan, Yati Alfian Creative Design Arina Renata Palilingan, Christina Citrayani, Glory Amadea Juliani Agus, Nerissa, Novita C Handoko Illustrator Ricky Pramudita, Shannon Ariella, Thomdean Fotografer Yahya Soewandono, Tim Dokumentasi GKY BSD Penulis Anton Utomo, Edna C Pattisina, Elasa Noviani, Elizabeth Wahyuni, Erwin Tenggono, Hendro Suwito, Lily Ekawati, Liany Suwito, Lislianty Lahmudin, Maya Marpaung, Sarah Amanda Palilingan, Thomdean, Titus Jonathan Kontributor Andreas K Wirawan, Susanti Alamat Redaksi Sub bidang literatur GKY BSD Jl. Nusaloka E8/7 BSD Tangerang Telp/ Fax: 021-5382274 Email: nafiri@gkybsd.org

Kirimkan KRITIK, SARAN, SURAT PEMBACA dan ARTIKEL anda ke alamat redaksi ataupun lewat e-mail di atas


JUNIANTO

HOSEA Sebuah Komitmen Pelayanan Usher

/ Lily Ekawati


Junianto Hosea lahir di Jakarta sebagai anak ketiga dari empat bersaudara. Walau dibesarkan di tengah keluarga dengan orang tua nonKristen, sejak kelas lima SD ia dan adiknya rajin mengikuti Sekolah Minggu di GKJMB Mangga Besar karena diajak oleh tantenya yang aktif sebagai pianis di sana.


Ketika akhir minggu tiba, Junianto (Jun) dan adiknya menginap di rumah sang tante untuk bersama-sama ke gereja keesokan harinya. Keadaan ini berlangsung hingga Jun menginjak remaja; namun sayangnya ketika baru satu tahun ia bergabung di komisi remaja, orang tuanya harus pindah rumah sekaligus membuka usaha peternakan ayam di daerah Parung. Jun tidak pernah lagi menginap di rumah tantenya dan tidak datang lagi ke gereja. Karena jarak yang cukup jauh dan kendaraan umum yang masih jarang di saat itu; Jun perlu waktu cukup lama ketika harus berangkat pulang dari rumah ke sekolahnya di PSKD V Blok M. Hari-harinya disibukkan dengan membantu papanya mengurus peternakan di pagi hari dan kemudian siangnya ke sekolah. Satu hari, sahabat Jun semasa SD berulang tahun dan mengundang Jun untuk datang merayakan. “Di sana teman tersebut menginjili saya dan di situlah saya seperti disadarkan lagi …,” kata Jun. Momen singkat itu membuat Jun merasa rindu untuk kembali ke gereja. Ia mulai mengikuti kelas katekisasi dan dibaptis pada tahun


1988. “Pasti juga semua karena Tuhan yang bekerja lewat teman saya yang cuma ceritacerita aja ... tapi bikin saya kok melek dan sadar,” jelas Jun. Meskipun jarak yang lumayan jauh dari Parung ke Mangga Besar; tapi karena Jun sudah berani membawa mobil sendiri, ia semangat ikut KTB serta jadi pengurus di komisi remaja. Dia terus setia beribadah di GKJMB Mangga Besar dan bergabung di Komisi Pemuda, juga menjadi anggota paduan suara, dan bertemu dengan gadis cantik bernama Sely Husin asal Jambi yang akhirnya menjadi istrinya. Kisah perkenalan pasangan ini pun cukup unik—diawali dengan kartu ulang tahun dengan inisial nama yang diterima oleh Jun. “Saya penasaran siapa yang kirim kartu dan mikir siapa ya yang punya inisial nama ini .… Waktu itu kan GKJMB ultah kelima puluh di PRJ, jadinya kita padus

“Pasti juga semua karena Tuhan yang bekerja lewat teman saya yang cuma cerita-cerita aja ... tapi bikin saya kok melek dan sadar,”


sering latihan bersama. Dari situ saya sering ajak pulang bareng dari latihan dan ... akhirnya pacaranlah kita selama tiga tahun,” tawa Jun. Di tahun 1996 mereka pun menikah dan mulai pindah ke BSD dan bergereja di GKY BSD mulai tahun 1997. Mereka dikaruniai dua orang anak laki-laki bernama Jason Hosea yang lahir pada tahun 1997 dan adiknya Julian Hosea yang lahir lima tahun kemudian. Menjalani Pelayanan dengan Setia Tinggal di Parung, dengan jarak tempuh yang lumayan panjang ketika harus bergereja, membuat Jun bersiap lebih awal setiap Minggu pagi karena ia tidak ingin terlambat. Hal ini tidak luput dari perhatian Ibu Ellyani—yang langsung mengajak Jun untuk melayani sebagai usher Kebaktian I. “Kalau seandainya ga diajak sama Laoshi Ellyani, sepertinya saya ga bakal mengajukan diri juga sih buat jadi usher … dan karena saat itu saya juga belum punya pelayanan ya sudah saya mau aja,” kata Jun menjelaskan.


Dia bersyukur karena dengan sifatnya yang pemalu ada yang memperhatikan dan mendorong dia untuk berpartisipasi. Satu tahun kemudian Jun menjadi koordinator usher dan menjadi pengurus di Kebaktian Umum I. Kesetiaan dan komitmen Jun benar-benar seratus persen dalam pelayanan ini. Untuk menghindari supaya tidak terlambat gereja, sering Jun menginap dulu di rumah BSD hari Sabtu supaya Minggu pagi tidak ada risiko terlambat datang ke gereja. “Kemarin-kemarin waktu ibadah offline saya berangkat dulu dan istri anak-anak nyusul ke gerejanya,” kata Jun.

"Seharusnya memang kita persiapan yah kalau mau ke rumah Tuhan, bukannya kita harus bersyukur karena Tuhan sudah mengundang kita ke rumah-Nya? ..."

Tanpa disadari sejak 2011 sampai saat ini Jun terus setia melayani dan benar-benar berkomitmen dalam pelayanan ini.


“Seharusnya memang kita persiapan yah kalau mau ke rumah Tuhan, bukannya kita harus bersyukur karena Tuhan sudah mengundang kita ke rumah-Nya? Kenapa kita kurang menghargai dengan datang terlambat? Dan itu kan juga mengganggu jemaat lain,” renung Jun. Di masa pandemi ini Jun merindukan untuk segera bisa beribadah offline juga dan bertemu dengan teman-teman sepelayanan. “Sudah kangen juga untuk beribadah offline di gereja dan bertemu teman-teman sepelayanan. Pergumulan tersendiri untuk saya juga, di masa-masa ibadah online seperti sekarang supaya anak-anak tetap antusias mengikuti ibadah dan tidak sekedar seperti menonton TV ya ...,” jelas Jun. ***


BIODATA Nama Lengkap

: Junianto Hosea

Nama Panggilan

: Jun

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 28 Mei 1969 Nama Istri

: Sely Husin

1970

Nama Anak

: Jason Hosea

1997

Julian Hosea 2002

Riwayat Pekerjaan Wirausaha ternak Ayam

1983 - 1990

Supplier makanan ringan

1990 - sekarang

Riwayat Pelayanan Pengurus Komisi Remaja

1989

GKJMB Pengurus Paduan Suara Zion

1994 - 1995

GKJMB Pengurus subbidang Ibadah GKY BSD

2014 - 2021


Menabung KESABARAN / Charlotte Priatna


Sebelum masa pandemi Covid-19, banyak orang tua yang bekerja di kantor ataupun yang mempunyai usaha di luar rumah merindukan kenyamanan untuk di rumah saja karena banyaknya kesibukan di luar rumah membuat waktu bersama anakanak sangat terbatas. Tetapi ketika Covid-19 ‘memenuhi’ kerinduan itu, satu dua bulan pertama bekerja di rumah mungkin masih ‘excited’ tapi apa yang terjadi kemudian setelah lebih dari setahun? Orang tua menjadi bosan dan tidak sabar menghadapi anak-anak di rumah.


Apa itu sabar? Sabar artinya: Kita dapat menahan penderitaan tanpa batas waktu. Bagi orang tua yang memiliki anak yang masih kecil, karakter inilah yang sedang diuji. Bagaimana agar Anda bisa sabar terhadap anak-anak Anda? Ingatlah momen ini akan berakhir—tidak selamanya seperti ini—jadi ayo kita rebut kesempatan ini. ’Seize the day‘ (rebut hari ini), karena hari ini belum tentu terulang lagi besok. Ayo kita pakai kesempatan ini menjadi kesempatan yang positif dan berdampak positif! Ketika anak merengek, berarti dia butuh asupan perhatian dan cinta Anda. Ketika dia sudah mulai kosong, pasti akan menguras tangki emosi Anda. Oleh karena itu cukupkan tangki emosi Anda agar tetap penuh. Bagaimana caranya? Tentu dengan bersyukur. Tidak mungkin kita bisa sabar— menderita tanpa batas waktu—kecuali ketika kita bisa mensyukuri.


Bersyukur kalau rumah berantakan, artinya masih ada anak-anak. Bersyukur meja makan berkali-kali kita bereskan, artinya masih ada makanan. Bersyukur kita masih di dalam rumah bersama-sama, artinya kita semua masih sehat. Ingatlah ketika anak-anak Anda berulah, gunakan kata-kata yang positif. Ketika Anda bisa ngomong baik-baik, sebenarnya Anda sedang mengajari anak untuk juga berpikir positif dan berpikir kritis. Semua yang Anda katakan dan lakukan menjadi contoh soal yang dilihat oleh anak-anak.


Mengasuh anak berusia dini tidak mudah; ingat mereka butuh instruksi, butuh peneguhan yang berulang-ulang. Kesempatan di rumah saja menjadi ajang latihan yang sangat efektif untuk mengubah cara berpikir, gaya bicara, dan mindset Anda. Bersyukurlah jika kita masih bisa berkumpul dengan anggota keluarga. Bersyukur untuk apa pun juga karena bersyukur akan membuat kita lebih sabar.

Sumber

: YouTube Sekolah Athalia

Disarikan oleh : Lislianty Lahmudin



Sebuah Permintaan Nyawa “Faith is deliberate confidence in the character of God whose ways you may not understand at the time.” ~ Oswald Chambers

/ Titus Jonathan


Pada suatu masa, terjadi kelaparan hebat melanda tanah Israel. Hujan tak pernah turun selama lebih dari dua tahun. Tanah kering kerontang tak menghasilkan apa-apa. Kedahsyatan kekeringan itu meluluhlantakkan kehidupan siapapun, merembet hingga ke luar wilayah Israel, dan mengenai juga seorang janda yang tinggal di Sarfat, di wilayah Sidon (saat ini termasuk wilayah Lebanon). Bagi janda itu, hidup dan mati hanya berbatasan setipis rambut. Meja makannya kosong, periukbelanganya telah lama kering. Wajannya sudah beberapa hari tengkurap; setelah penggorengan itu dipakainya terakhir kali beberapa hari yang lalu. Janda itu memang tidak tiap hari meremas tepung dan membikin roti. Ia mencoba bertahan dengan mengatur pola makannya bersama seorang anaknya. Tepung dan minyak yang dimilikinya tak bakal cukup jika harus tiap hari memasak, karena kemarau tak ada tanda-tanda berakhir.


Jadi perutnya hanya terisi kadang-kadang saja, on-off, atau istilah lainnya ‘SeninKemis’. Hari itu kritis. Perutnya dan perut anaknya melilit perih. Tubuhnya gemetar dan lemas. Ia meninggalkan anaknya dan ke luar rumah untuk mencari rantingranting kering untuk kayu api. Hari itu bakal menjadi hari terakhirnya. Sementara ia keluar rumah, maut menunggu di ambang pintu rumahnya— mengintip melalui sebuah celah sempit. Maut tak sabar untuk masuk dan menyambar nyawa anaknya. Ketika ia mengumpulkan rantingranting di tengah teriknya hari, tiba-tiba seseorang menyapanya. Seorang asing. Dari penampilannya, jelas bukan orang sebangsanya.


Laki-laki yang tampak lelah itu adalah Nabi Elia. Janda itu tak mengenalnya selain melihatnya sebagai seorang asing yang kelelahan. “Berikan aku sedikit air dalam kendimu itu,” kata Elia. Janda itu memang masih memiliki air dalam kendinya. Baru saja ia beranjak hendak menuang airnya, Elia berkata lagi, “Buatkan bagiku sepotong roti.” Deg. Janda itu kaget. Ia yakin tak salah dengar. Walaupun perutnya sudah beberapa hari ini kosong, kesadarannya masih baik, telinganya masih normal. Entah bagaimana, ia tahu Elia datang dari suatu bangsa yang menyeru Allah. “Maaf Tuan, demi Tuhan, Allahmu yang hidup, aku hanya punya segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli, yang hanya cukup untukku dan anakku pada hari ini, dan besok aku tidak punya apa-apa lagi, selain kain kafan yang sudah kusiapkan untukku dan anakku,” jawab janda itu. Tetapi Elia menjawab, “Bikinkan roti untukku terlebih dahulu, baru untukmu dan anakmu.” Telinganya sungguh terbukti masih normal. Orang asing itu jelas sekali


meminta makan, tanpa tanya ini-itu, pun tak sepatah katapun menanyakan misalkan, “Bagaimana keadaanmu? Bagaimana anakmu? Adakah cukup roti di rumahmu?” Tidak ada pertanyaan ramah seperti ini. Orang itu langsung minta makan kepadanya. Ia sangat ingin menolong orang asing yang membutuhkan. Tapi hatinya serasa tergilas roda besi kereta kuda. “Duhai Tuan, Tuan sungguh tidak punya rasa,” pikir janda itu. Mulutnya terkunci tapi bibirnya gemetar. Wajar ia berpikir demikian; karena Elia meminta makan padanya di saat paceklik dan jandaitu hanya punya nafas sehari lagi, dan itu pun akan dimintanya pula? Itu bukan sekadar permintaan roti melainkan sebuah permintaan nyawa. Janda itu ingat kepada anaknya yang tergolek memegangi


perutnya. Ia tahu keperihan itu. Perutnya pun juga sama. Tetapi mata Elia seakan berbicara. Lalu janda itu mengajak Elia ke rumahnya. Sementara mereka sedang berjalan, Nabi Elia berkata, “Allah Israel berfirman kepadaku, tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam bulibuli pun tidak akan berkurang sampai pada waktu Tuhan memberikan hujan ke atas muka bumi.” Apakah janda itu mengerti perkataan Elia atau tidak, entahlah. Ia terus berjalan. Perkataan Elia memojokkannya di sebuah sudut ketaatan. Tibalah mereka di rumah. Ketika maut melihat janda itu membuka pintu untuk Nabi Elia; maut yang sudah menahan air liurnya sejak tadi bergeser agak menjauh. Ia untuk sementara membatalkan niatnya untuk masuk. Ia menunggu di bawah pohon yang daun dan rantingnya sudah kering. Dengan hati nelangsa, janda itu mempersilakan Nabi Elia untuk duduk dan menunggu. Ia menuju ke belakang, meremas tepungnya dalam genggam terakhir, menuang minyak dalam tetes


terakhir, lalu membolak-baliknya di atas wajan. Perutnya perih, tetapi hatinya terasa lebih perih lagi. Hari itu ia harus merelakan bagiannya untuk diambil bagi orang lain. Biarlah. Ia ikhlas. Ia sendiri tak peduli ada dua perut kosong yang meronta menuntut makan. “Jika makananku kuberikan kepadanya, aku mati hari ini, jika tak kuberikan, aku mati besok. Ah sudahlah, mati hari ini dan besok tak jauh beda,” pikirnya. Dan ia pun pasrah. Mustahil untuk melihat matahari esok. Tubuhnya limbung, tetapi tiba-tiba … ia merasa sedang memegangi sesuatu.


Sesuatu yang tak ia mengerti, tetapi tibatiba ia miliki, jauh di kedalaman hati. Entah darimana, tiba-tiba ia rasakan seperti ada yang memberi. Ia ingat saat berjalan tadi Elia menyebut Allah Israel. “Allah Israel kah yang memberiku sesuatu untuk peganganku hari ini?” tanyanya dalam hati tak mengerti. “Bukankah aku orang Sidon? Mengapa Allah Israel mengutus orang ini untuk mengunjungi aku?” pikirannya berputar, tetapi tetap tak mengerti. Ia hanya memegangi ‘sesuatu’: pemberian tadi, setitik kecil tapi cukup baginya untuk bersandar. Ia belum pernah mengerti apa itu iman. Yang ia lakukan hanyalah suatu perbuatan kepada seseorang yang perkataannya berkuasa. Di balik itu, apalagi, ia tak mengerti bahwa ia lah yang diperintahkan oleh Allah untuk memberi makan kepada Nabi Elia.

“Bersiaplah, pergi ke Sarfat yang termasuk wilayah Sidon, dan diamlah di sana. Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan.”

~ 1 Raja-raja 17: 9


Ia mematikan api. Keringatnya bercucuran—bukan hanya karena udara yang panas, tetapi juga karena perutnya yang bergejolak. Dilihatnya Nabi Elia yang masih duduk tepekur di ruang depan. “Ambillah Tuan, redakan rasa laparmu,” katanya sambil menyajikan roti yang baru diangkat dari penggorengan. Semerbaklah harum roti yang cuma sekerat itu. Ia melihat anaknya berjuang menahan air liurnya yang hampir menetes. Ia memalingkan muka. Matanya basah. Janda itu masih mendengar suara mulut Elia yang mengecap-ngecap roti ketika ia menghampiri anaknya yang tergolek lemah. Ia mendekapnya, menciumnya, lalu berjalan menuju ke belakang.


Ia melihat tempayan tempat tepung itu dan buli-buli tempat minyak itu. Ia hendak menengkurapkan tempayan dan buli-buli itu dan menunggu ajal menjemput. Tetapi hari itu, ia dua kali lagi membuat roti bundar. Kali ini untuk anaknya dan untuknya sendiri. Hari-hari setelahnya, tempayannya, buli-bulinya, dan wajannya tak pernah tengkurap lagi •

“Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.”

~Kisah Para Rasul 10: 34–35


Johanes Widjaja:

Tetaplah Setia Melayani di Masa Pandemi

/ Humprey


Bisa menyapa dan bertemu kembali teman-teman dan keluarga kita walaupun secara online: di tengah pandemi ini, merupakan berkat tersendiri. Demikian juga, dengan kesempatan kami dari ‘Nafiri’ bisa mewawancarai salah seorang majelis GKY BSD: Yaitu Johanes Widjaja yang telah kembali terpilih meneruskan pelayanannya di kemajelisan, khususnya di bidang keuangan, untuk periode yang ke-2. Walaupun sudah cukup lama mengenal dan kadang bertemu, baru kali ini saya dapat mengenal lebih dekat seorang Johanes Widjaja, yang tak keberatan dipanggil ko atau pak. “Bebas manggilnya, sama aja kayak yang lain,” kata Johanes dengan kalem. Saya panggilnya Pak Jo saja biar sok akrab hehe....


Tak disangka, ternyata Pak Jo ini memiliki banyak riwayat pelayanan di sekolah minggu—baik di gereja sebelumnya di Solo, Jogja, Jakarta, dan di BSD. Selain itu ada juga pelayanan di vocal group dan kolintang di gereja sewaktu di Solo. Hal inilah yang tadinya masih dipertimbangkan Pak Jo sebelum menerima tawaran di bidang kemajelisan. Dia sebenarnya masih ingin fokus dan senang melayani di sekolah minggu dan remaja.

Foto dari kiri searah jarum jam: mengajar Sekolah Minggu di pos VMM; Camp Sirem Juni 2015; mengajar Sekolah Minggu di Yogyakarta


Namun, menyadari mulai adanya generation gap dimana tentunya gaya bahasa di umur remaja sudah mulai berbeda; ia mulai mendoakan untuk pelayanan di bidang yang lain. Tuhan menjawab doanya—ia diminta untuk melayani di kemajelisan bidang keuangan. “Saya pikir itu sesuai dengan talenta yang Tuhan berikan; jadi akhirnya selama tiga tahun ke belakang saya terima tawaran itu dan bersyukur Tuhan masih mengijinkan melayani lagi di periode ini”. Tantangan yang Menyapa Kembali sebentar ke masa tiga tahun yang lalu tersebut, apakah Pak Jo langsung menerima kesempatan pelayanan ini? Ternyata tidak, beliau sempat bertanyatanya dahulu mengenai tugas-tugas majelis kepada Pak Titus Jonathan yang sudah lebih berpengalaman, rapat-rapat apa saja yang harus diikuti, dsb.


Apa saja sih tugas-tugas majelis di bidang keuangan? 1. Tugas Ketua Bidang Keuangan: - Memimpin bidang keuangan secara keseluruhan. - Bersama dengan gembala jemaat dan ketua jemaat menyusun anggaran/PUK (Permohonan Usaha Kegiatan). - Membuat laporan keuangan jemaat untuk dilaporkan kepada majelis dan diwartakan kepada jemaat minimal satu kali dalam satu tahun. - Mengelola keuangan jemaat sesuai Permohonan Pembelian Aktiva Tetap (PPAT) dan PUK. - Memfasilitasi audit keuangan sinode. 2. Tugas sub bidang bendahara: - Menangani semua pengeluaran dana, sesuai yang telah dianggarkan sebelumnya. 3. Tugas sub bidang administrasi keuangan: - Menangani semua penerimaan dana (contohnya: persembahan kebaktian umum, perpuluhan, dana pembangunan, persembahan sulung, persembahan khusus, dan diakonia).


Selain itu, Pak Jo juga masih ingat tantangan yang menyapanya di saat awal periode ia menjabat kemajelisan. Pak Welan Palilingan yang sebelumnya menjabat ketua bidang keuangan mendapat tugas baru ke kota Manado dari perusahaan tempatnya bekerja; sehingga tidak ada masa transisi dengan Pak Jo. Untuk lebih mengerti tugas-tugas yang harus dia lakukan, Pak Jo pun menjalin komunikasi jarak jauh cukup intensif dengan Pak Welan. Menurut Pak Jo, pengelolaan keuangan penting; karena biaya-biaya seluruh kegiatan perlu diatur dengan baik agar pengeluaran dan penerimaan bisa balance. Di masa pandemi ini, Pak Jo menyadari penerimaan gereja dari jemaat tentunya akan berkurang. Maka dengan tetap bersandar pada Tuhan; ia tetap menyampaikan analisis-analisisnya, dan bagaimana pos-pos pengeluaran bisa lebih dihemat. Masing-masing bidang pun me-review kembali PUK sebelumnya agar segala sesuatunya bisa lebih efisien dan dampaknya tetap optimal. Puji Tuhan, selama pandemi, keuangan gereja tidak mengalami defisit.


Pak Jo melihat pula hal yang dapat dikembangkan dari sisi keuangan adalah untuk mempersiapkan Bajem Pamulang untuk lebih menjadi jemaat mandiri dan juga untuk Pos Alam Sutera. Tentunya hal ini masih tidak mudah direalisasikan di masa pendemi saat ini. Namun, Pak Jo menambahkan bahwa administrasi keuangan dan support antara GKY BSD, Bajem Pamulang, dan Pos Alam Sutera selama ini sudah berjalan cukup baik. Di bidang keuangan, khususnya sub bidang admin keuangan, suka dukanya antara lain adalah: saat mencocokkan, merekap, rekonsiliasi antara worksheet data penerimaan dana, dan realisasi uang persembahan yang diterima (ini sebelum pandemi). “Misalnya, jika ada selisih sekecil apapun (Rp500,00 atau Rp1.000,00 misalnya), harus dicari sampai ketemu selisihnya di mana,“ kenang Pak Jo sambil tertawa. Tantangan lainnya adalah pengembalian dana pinjaman pembangunan gedung GKY BSD sebesar dua ratus juta per bulan ke sinode, bersyukur sejauh ini Tuhan cukupkan sehingga bisa berjalan dengan lancar.


Saling Melengkapi Ketika ditanya mengenai koordinasi dengan sesama majelis, contohnya: Di periode sebelumnya, Pak Jo memandang bahwa majelis-majelis cukup kompak, dengan karakteristiknya masing-masing. Ada yang memegang teguh prinsip-prinsip, ada yang bisa mencairkan suasana, ada yang cukup fleksibel, namun semuanya saling melengkapi. Itu sebabnya selama tiga tahun yang lalu—walaupun kadang ada perbedaan pendapat— semuanya bisa diselesaikan dengan baik. Semuanya menyadari bahwa mereka melayani hanya untuk kemuliaan Tuhan. Berlanjut ke hal umum mengenai rencana ibadah on-site; menurut Pak Jo ada baiknya kita tetap melihat terlebih dahulu perkembangan penyebaran Covid-19— terutama di daerah lokal. Asal semua terkendali, ia pikir oke-oke saja; karena tentunya ada jemaat yang sudah sangat rindu ibadah on-site. Namun, protokol kesehatan harus tetap dijaga dengan ketat. Khusus yang terkait bidang keuangan, Pak Jo berpesan agar jemaat tetap menggunakan QR Code/QRIS/ dengan metode transfer dalam hal pemberian persembahan demi keamanan bersama.


~Biodata Nama lengkap : Johanes Widjaja, Solo 26 Maret 1962 Nama panggilan: Johanes Nama istri : Elasa Noviani, Magelang 20 Nov 1966. Riwayat Pendidikan • SD Sanjaya, Solo • SMP & SMA Warga, Solo • Perguruan tinggi: Unpar: Teknik Sipil (1980-1981) UGM: Teknik Kimia (1981-1987) IPPM: Bisnis (1987-1988) Riwayat Pekerjaan • PT Sadang Mas (1988-1990) • Santika Indonesia Hotels & Resorts (1991 - sekarang) Riwayat Pelayanan • Guru Sekolah Minggu • Pendamping di Komisi Remaja • Koordinator KU 3 • Majelis Bidang Keuangan (Periode 2018-2021, 2021-2024)


Akhir kata Pak Jo berpesan:

“Mungkin tiap-tiap jemaat punya pergumulan di masa pandemi ini; namun itu semuanya tetap dalam kedaulatan Tuhan. Tetaplah bersandar pada Tuhan apapun yang dihadapi; tetap setia dalam melayani Tuhan dalam bidang masing-masing. Walau pelayanan dalam masa pandemi bisa saja berbeda, yang penting adalah hati untuk tetap melayani Dia.”


Pengaruh Pemikiran

Agustinus terhadap Pendidikan

/ Susanti


Apakah pengetahuan itu dan dari mana asalnya? Apakah hubungan akal manusia dengan pengetahuan? Dapatkah manusia mencapai pengetahuan yang tertinggi?

P

ertanyaan tentang bagaimana menghubungkan iman dan rasio mewarnai pemikiran dan pergumulan banyak filsuf di abad pertengahan. St. Agustinus (354—430), filsuf dari Kota Thagaste, Numidia, Romawi Afrika; mencari jawaban atas pertanyaan fundamental epistemologi tentang manusia, akal, sumber pengetahuan, dan Allah sepanjang hidupnya. Dalam menempuh perjalanan hidup penuh tantangan, petualangan hidup yang terbelenggu dengan kelemahan manusiawi, dan perjuangan mencari kebenaran; Agustinus menuliskan refleksinya dalam sebuah mahakarya sastra yang pengaruhnya masih dirasakan sampai sekarang—khususnya bagi umat Kristen dan sejarah gereja. Confessions, mahakarya itu, adalah sebuah perjalanan pertobatannya dari kehidupan penuh dosa dan kembali kepada kehidupan yang terarah kepada kebenaran Kristus.


Sumber Pengetahuan

Bagi Agustinus, manusia adalah imago Dei— makhluk yang diciptakan sesuai gambar dan citra Allah. Dia meyakini ada ketergantungan manusia kepada kedaulatan Tuhan (transendensi). Manusia juga merefleksikan sifat-sifat Penciptanya (vestigium Dei) di dalam kehidupan sosialnya (imanensi). Agustinus meyakini bahwa Allah adalah sumber pengetahuan dan firman-Nya adalah sumber kebenaran. Allah menciptakan akal manusia untuk memahami realitas dunia dan masalah kehidupan. Bagi Agustinus, pemahaman pengetahuan manusia terbatas kepada benda-benda yang dapat dirasakan melalui pancaindra yang ditandai dengan simbol, misalnya: kita melihat dan mempelajari dunia ciptaan Tuhan beserta isinya, merasakan hangatnya sinar matahari, mendengarkan suara burung, dan merasakan dinginnya angin bertiup.


Selain tanda-tanda yang dapat dimengerti melalui pancaindra, manusia juga menghadapi konsep abstrak dan sulit dipahami secara akal. Bagaimana manusia dapat memahami konsep matematika, geometri, dan spasial? Bagaimana manusia dapat memiliki persepsi bahwa warna merah yang dilihat pada bunga di taman juga merupakan warna merah yang sama pada buah apel? Siapakah yang memberikan pengertian pada manusia sehingga dapat memiliki persepsi yang benar? Sekalipun Allah memberikan akal pada manusia, Agustinus meyakini bahwa manusia akan mampu memahami semua hal yang bersifat abstrak secara utuh hanya jika disinari oleh cahaya terang dari Allah (divine illuminations).

When we deal with things that we perceive by the mind, namely by the intellect and reason, we’re speaking of things that we look upon immediately in the inner light of Truth, ... He’s taught not by my words but by the things themselves made manifest within when God discloses them. (The Teacher 12.40.29–37)


“Teacher’s Within”

Agustinus meyakini bahwa manusia memiliki guru yang disebut teacher’s within: Yaitu Kristus di dalam diri manusia—yang mengajarkan pengetahuan. Teacher’s within menunjukkan langsung ke dalam pikiran manusia hal-hal yang kita pelajari, sehingga kita mampu memahami pengetahuan: Misalnya dalam mengerjakan soal pada pelajaran matematika, seringkali kita tidak memahami mengapa pembuktian matematika harus seperti itu. Ada ruang dimana kita tidak mengerti, namun setelah beberapa waktu, kita mendapatkan aha! moment dan mengerti soalsoal matematika. Dalam hal ini, ada perbedaan pemahaman kognitif sebelum dan sesudah aha moment. Bagi Agustinus, inilah situasi dimana teacher’s within dalam diri manusia—yaitu Kristus—berperan memberikan penerangan akan apa yang tidak dipahami sebelumnya. Menurut Agustinus, Allah menanamkan benih-benih kebaikan dalam diri manusia yang memampukan manusia untuk mengenal kebenaran. Sebagai penganut Neoplatonisme, Agustinus menegaskan pernyataan Plato, “Semua kebenaran sudah ada dalam diri manusia,” sebagai firman Allah. Manusia sebagai makhluk berdosa perlu memohon Roh Kristus untuk bekerja dalam hati dan pikiran sehingga dapat mengenali kebaikan dan kejahatan.


Hal tersulit dalam pendidikan moral adalah membawa manusia mengetahui apa yang harus diketahuinya (know what they ought to know) dan melakukan apa yang harus mereka lakukan (do what they ought to do). Walaupun manusia mengetahui hal yang baik; manusia dapat memilih untuk tidak melakukannya. Manusia harus memohon bantuan Allah untuk melakukan hal yang baik dan benar. Berpikir Kritis

Sebagai pendidik, keterampilan ‘berpikir kritis’ merupakan keterampilan abad ke-21 yang ingin kita tumbuhkan pada murid. Dalam berpikir kritis, manusia juga memerlukan kebebasan berpikir. Namun, kebebasan berpikir tanpa didasari dengan kebenaran firman Allah akan melahirkan dosa. Untuk itu, manusia memerlukan hikmat ilahi dalam proses berpikir kritis. Bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu itu benar? Apakah akal manusia mampu memberikan pemahaman tentang kebenaran? Bagi Agustinus, Allah yang menciptakan manusia telah mendesainnya dengan akal dan persepsi yang memampukannya memahami pengetahuan, termasuk keterampilan berpikir kritis yang merupakan bagian dari proses pembentukan identitas manusia. Keterampilan berpikir kritis tidak lepas dari nalar atau logika manusia yang berjalan beriringan dengan


kehendak dan emosi. Ini harus dimulai dari hati dan pikiran yang mengenal dan mencintai kebenaran dan kebaikan. Agustinus percaya bahwa pendidikan bukan hanya sekadar mentransfer ilmu pengetahuan secara verbal dan tulisan, tetapi lebih kepada pendidikan hati dan pikiran manusia (educating mind and heart). Hanya melalui hati dan pikiran yang dipenuhi dengan kebenaran firman Allah maka manusia dapat berdialog dengan Allah dan memahami-Nya, sehingga dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritisnya.

Warisan Pemikiran bagi Pendidikan

Walaupun Agustinus tidak pernah merumuskan tujuan pemikirannya secara khusus untuk dunia pendidikan, namun warisan pemikirannya memberikan pengaruh secara umum di dunia pendidikan. Sebagai pendidik, kita dapat mengawali proses pembelajaran di kelas dengan berdoa meminta hikmat Tuhan dan mengakhirinya dengan doa ucapan syukur. Doa yang kita panjatkan seharusnya tidak menjadi rutinitas dan simbol keagamaan belaka. Berdoa berarti berserah dan yakin bahwa ada kuasa yang lebih besar di luar diri manusia yang mampu membawanya berada pada pemahaman yang utuh. Dengan demikian, manusia akan membangun kemampuan


kognitifnya dalam mengelola pengetahuan yang kelak bermuara kepada kebijaksanaan (wisdom). Kurikulum dalam pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kebenaran firman Allah. Ada korelasi yang kuat antara ilmu dan iman sehingga proses pembelajaran harus mengintegrasikan keduanya. Dalam mempelajari dunia dan isinya, kita sebenarnya sedang mengagumi hasil karyaNya dan belajar menjadi penatalayan yang baik. Dalam proses pembelajaran, seorang guru dapat mengajak murid menuliskan refleksi pembelajaran: Misalnya membuat jurnal belajar atau manifesto pembelajaran yang menunjukkan bagaimana murid memahami dan menghubungkan pengetahuan yang dipelajarinya dengan dirinya dan realita kehidupannya. Pemikiran Agustinus—meski disampaikan hampir 1600 tahun yang lalu—tetap memberikan pesan-pesan yang sangat aktual bagi kita di abad ke-21. Warisan Agustinus berupa kesaksian hidupnya telah memberikan fundamental yang kokoh bagi setiap pendidik Kristen untuk bertahan di tengah aliran humanisme dan rasionalisme yang mewarnai dunia saat ini. ***


Referensi

Raymond Canning. (2014). Teaching and Learning: An Augustinian Perspective. Australian eJournal of Theology 3, 1-10. Diakses dari http://aejt.com.au/__data/assets/pdf_file/0007/395647/AEJT_3.4_ Canning.pdf Rorty, Amelie Oksenberg. (1998). Philosopher on Education: New Historical Perspectives. London and New York, 64-82: Routledge. St.Agustinus. (1997). Pengakuan-pengakuan. Edisi ke 1. Yogyakarta, Indonesia: Kanisius, BPK Gunung Mulia. Tapio Puolimatka. (2005). Augustine and education in critical thinking, Journal of Beliefs & Values, 26:2, 191-200, DOI: 10.1080/13617670500164924

*** Artikel ini telah diterbitkan di sejumlah media online pada Rabu, 3 Desember 2020: https://www.suarakristen.com/2020/12/03/pengaruh-pemikiran-agustinusterhadap-pendidikan/ https://www.gramediapost.com/2020/12/pengaruh-pemikiran-agustinusterhadap-pendidikan/ https://www.protestantpost.com/2020/12/03/pengaruh-pemikiran-agustinusterhadap-pendidikan/ https://www.pendidikankristenri.com/2020/12/03/pengaruh-pemikiranagustinus-terhadap-pendidikan/ http://www.cendekiawanprotestan.com/pengaruh-pemikiran-agustinusterhadap-pendidikan/ https://www.pilarnkri.com/2020/12/03/pengaruh-pemikiran-agustinusterhadap-pendidikan/


“Kemudikan kapal ini: demi Tuhan, negeriku, dan kebaikan umat manusia.” Itulah kalimat yang ditulis oleh John Lie bagi dirinya sendiri di kabin kapalnya. Di sudut lain, terpasang lukisan bunga dengan kutipan kalimat, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.” (Matius 11: 28).

John Lie (1911–1988) adalah kapten kapal The Outlaw yang belasan kali berhasil menembus blokade Belanda saat perang revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di saat kapal Indonesia yang lain berhasil ditangkap Belanda, John Lie berhasil setidaknya lima belas kali menyelundupkan hasil bumi ke Singapura untuk ditukar dengan senjata bagi para pejuang Indonesia. Di tengah pertempuran laut, ia selalu membawa dua Alkitab: satu berbahasa Inggris dan satu berbahasa Belanda. Roy Rowan–wartawan majalah Life yang sempat mewawancarai John Lie–menjulukinya “Great Smuggler with The Bible”, karena melihat kebiasaan John Lie yang tak pernah jauh dari Alkitabnya. John Lie menikah dengan Margaretha Angkauw yang adalah pendeta GPIB pada tahun 1956—saat ia berusia 45 tahun. Mengakhiri pengabdiannya bagi Tuhan dan negeri tercinta, John Lie tutup usia pada 1988 sebagai Laksamana Muda TNI (Purn.). Tahun 2009 Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar pahlawan nasional bagi John Lie. Pada tahun 2014 nama John Lie diabadikan sebagai kapal perang baru TNI AL: KRI John Lie-358.


“Pasti sangat sentral …. Biasanya kalau besok akan menangani tindakan operasi, malamnya pasti berdoa dulu minta Tuhan memimpin operasi yang kami tangani. Kadang walaupun sudah ratusan kali melakukan operasi yang sama, hasilnya tidak selalu sama .... Itu sebabnya, kita harus selalu bersandar pada kuasa Tuhan saja. Ini membuat kita harus selalu rendah hati dan menyadari bahwa sebenarnya kita ini—walaupun sudah punya pengalaman panjang— sebenarnya tak bisa apa-apa tanpa pertolongan Tuhan” Dr. dr. Yesaya Yunus, Sp.BS, pada saat ditanya, “Walaupun jam terbang sudah panjang dan teknologi di bidang kedokteran juga makin canggih, bagaimana dokter Yesaya melihat peran Tuhan?” (Nafiri, edisi Oktober 2019).



ditulis oleh : Lily Ekawati

Nia Ingrid: Perjalanan Seru Pakar Lukis “Face Art” Saat ini, sosok Nia Ingrid mungkin sudah tidak asing lagi untuk kalangan muda— terutama pecinta seni makeup makeup.. Sebagai salah satu dari delapan pemenang Make Over MUA (Makeup Artist) Hunt 2019 dan dengan karya-karyanya cukup sering ditayangkan lewat acara TV, Nia konsisten memberikan pengaruh positif pada anakanak muda dengan talentanya. Nia tidak pernah membayangkan akan menerjuni bidang makeup artist ketika ia duduk di bangku kuliah. “Saya kan ambil jurusan desain grafis di UMN (Universitas Multimedia Nusantara), tapi karena suka musik maka saya ikut UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Teater,” tutur Nia.


Sebagai mahasiswa desain, ia punya kebiasaan menenteng kanvas yang sudah dia lukis. Ketika ketua teater melihat lukisan Nia, dia langsung tergerak untuk mengajak Nia bergabung dalam keanggotaan divisi pengurus makeup. “Saya bilang kalo saya ini ga bisa ngerias lho. Namun saat itu dia meyakinkan saya bahwa saya pasti mampu; karena saya akan ditempatkan dalam divisi face painting; painting; sama-sama melukis tapi bedanya ini melukis di wajah. Setelah mempertimbangkan ya okelah. Nia pikir seru juga ada tantangan lain; karena saat itu saya sudah terima sampingan melukis sketsa wajah, tapi seringkali bosan dan jenuh. Mungkin karena sendirian lukisnya,” gelak Nia. Supaya bisa maksimal dalam merias pemain teater, Nia pun langsung berguru pada senior yang pernah secara khusus mengikuti kursus makeup untuk pemain teater yang akan beraksi di panggung.


Seiring waktu berjalan, Nia mendapatkan hal-hal baru yang tidak dia dapatkan ketika menggambar sketsa wajah. “Ketika merias wajah orang lain itu lebih seru karena bisa secara langsung berelasi dengan orang yang dirias.” Faktor utama yang menurut Nia sangat bernilai adalah ketika dia—melalui makeup yang dia kerjakan—dapat menolong dan membuat sang pemain teater lebih percaya diri ketika tampil di panggung. “Hal itu jadi kebahagiaan dan kepuasan tersendiri buat Nia.” Di akhir masa perkuliahan, Nia pun akhirnya memutuskan untuk menjadi MUA (Makeup (Makeup Artist) Artist) meskipun ia lulusan desain grafis.

Jokowi dan Prabowo Satu momen penting bagi Nia didapatkan ketika dia sering berelasi dengan Chandra Liow—seorang YouTuber—yang YouTuber —yang membuka kesempatan bisa berkenalan dengan Andovi— seorang YouTuber nasionalis yang kerap mengangkat konten-konten yang sangat inspirasional.


Namun setelah peristiwa itu terjadi, Nia melanjutkan kesehariannya sebagai seorang MUA dan tidak aktif mengunggah konten-konten dengan melukis di wajahnya. Pandemi Covid-19 sejak awal tahun 2020 sangat berdampak pada profesi Nia sebagai MUA. Acara-acara teater seketika menghilang dan Nia pun banyak menghabiskan waktu di rumah. “Tahun kemarin itu tahun galau. Nia sempat kepikir gimana ya kalau kondisi seperti ini ga kelar-kelar.” Untuk menyemangati diri sendiri, Nia memutuskan untuk membuat challenge #10hariberkonten di Instagram. “Ternyata sambutannya positif dan tak disangka banyak yang ikutan juga.”


Tidak berhenti sampai di situ, Nia tetap melanjutkan konten makeup pada wajahnya meski challenge challenge-nya -nya sudah berakhir, hingga makin banyak yang mengenal Nia sebagai MUA yang fokus di face painting. painting. Beberapa kali Nia dipanggil mengisi acara TV seperti Rumpi Feni Rose, YouTube Jessica Iskandar, dan melukis wajah Nagita di pipi Nia. “Sebenarnya Sebenarnya ide Nia ya dari apa yang ada di sekitar aja. Misalnya, seperti waktu Nia melukis makanan Nusantara, Nia ingin mengingatkan masyarakat untuk tidak lupa pada kekayaan makanan Indonesia yang sangat beragam dan lezat. Kala itu Nia merasa restoran cepat saji lebih menjadi pilihan saat pandemi.”


“Nia menggambar empek-empek, sate, bakso malang, tumpeng, dan nasi padang. Ini sulit juga sih sampai bisa belasan jam untuk satu look makeup saja. Tapi terbayar karena sudah mencoba sesuatu yang di luar zona nyaman Nia,” katanya penuh tawa. Ketika dia unggah di Instagram, tanggapannya sangat positif hingga sempat ditayangkan di beberapa stasiun TV dan situs berita. Selama masa pandemi ini, selain banyak melukis di wajahnya yang menyoroti kondisi yang sedang berlangsung, Nia cukup konsisten membuat makeup yang berkaitan dengan toleransi beragama. Di antaranya mengenai Jumat Agung, Paskah, dan Idul Fitri. Caption-nya sedikit banyak menyuarakan iman-percaya Nia dan juga pesan-pesan positif untuk masyarakat umum.


Menceritakan Kabar Baik Keberaniannya untuk menyatakan iman lewat talenta yang dimiliki patut diapresiasi. Nia juga sempat membuat YouTube channel. “Video pertama Nia persembahkan untuk Tuhan tentang Natal. Ini semacam doa Nia, pengen dari karya Nia bisa menceritakan Kabar Baik.” Ketika Nafiri menanyakan, “Apakah dengan melukis dan menulis hal-hal yang berwarna kekristenan tidak membuatnya khawatir kehilangan followers atau bahkan menuai tanggapan negatif?” Nia menjawab dengan mantap bahwa ia tidak ingin capek karena mengikuti ‘apa kata dunia’. Sehingga ia tetap memutuskan untuk menyuarakan iman-percaya melalui lukisannya. “Akhirnya, followers Nia pun tersaring dengan sendirinya … yang menyukai konten Nia. Seperti halnya caption Nia yang seringkali panjang, tersaring pula followers yang memang gemar membaca,” canda Nia.


Beberapa bulan terakhir, hari-hari Nia lebih banyak diisi dengan menerima endorse dari produk makeup, makanan, skin care, care, dan ada pula dari NGO (Non Governmental Organization). Organization). Contohnya: Saat International Women’s Week, Nia mendapat job dari satu organisasi (Suara Tanpa Rokok) untuk melukis dan menyuarakan nilai-nilai bahwa di dunia sekarang ini wanita modern tidak harus merokok. “Nia seneng menerima job yang seperti ini. Jadi bisa memberikan dampak bagi orang banyak,” katanya. Di samping itu dia pun kadang menolak untuk mengendorse ketika dirinya tidak yakin akan produk yang akan dipromosikan kepada followers-nya followers -nya karena baginya kejujuran adalah hal yang penting.


Sebaliknya, tidak jarang juga Nia membantu meng-endorse produk makanan homemade untuk orang yang baru merintis bisnis. “Ga semuanya harus ditukar dengan materi, karena ada nilai lain dan kebahagiaan sendiri ketika bisa menolong orang lain,” tandas Nia. Harapan Nia di masa mendatang dia ingin membuat tempat pelatihan atau sekolah MUA untuk para face-art/beauty enthusiast muda yang mau mengasah diri untuk bisa semakin kreatif dalam menciptakan sebuah karya makeup. Semangat terus Nia, tebarkan kebenaran dan nilai-nilai positif lewat karyamu! Teruslah berdampak! ***


Rekomendasi Buku / Andreas K Wirawan

266 halaman


P

ertanyaannya bukan, “Mengapa umat manusia menderita?”, tapi “Mengapa saya menderita?”, “Mengapa orang yang saya kasihi menderita?”. Pertanyaan-pertanyaan ini secara tidak terbatas jauh lebih sulit untuk dijawab dan jauh lebih penting. Subjek ‘kesakitan dan kekecewaan’ tidak bersifat teologis dan abstrak. Kesakitan menjadi sangat personal—terhubung kepada orang-orang yang dekat dan konsekuensi-konsekuensi nyata, emosi yang nyata. Ini dirasakan oleh Peter Chin—seorang pendeta keturunan Korea yang memulai gereja di satu daerah multietnik yang mayoritasnya keturunan Afrika di Amerika Serikat. Buku ini merupakan realitas perjalanan hidup seorang pendeta beserta keluarganya; tentang kekhawatiran, kekecewaan, kesulitan, kesakitan, dan penderitaan yang mereka alami. Kisah perjalanan hidupnya diawali dengan kisah pertemuan penulis dengan calon istri dan juga kisah keluarga penulis. Sebagai seorang Kristen, penulis dapat memahami kisah kasih Allah dan penderitaan yang dialami tidak bertolak belakang, melainkan dapat menimbulkan pemahaman yang menguatkan dan meneguhkan iman. Pada bagian akhir bab pertama penulis menyatakan, “Kita menjadi buta terhadap dalamnya kasih Allah. Kita, orang-orang Kristen, adalah orang yang berdiri di bawah bayang-bayang salib—dibungkus dalam darah yang berharga yang dicurahkan oleh kasih-Nya. Tapi kita masih menangis dengan getir karena kita gagal menerima pernik murahan yang begitu kita ingini.”


Penderitaan demi penderitaan seakan tidak berhenti dalam awal-awal memulai pelayanan gereja baru. Keguguran bayi yang ketiga, perampokan rumah yang akan didiami, dan banyaknya barang-barang yang dicuri menimbulkan kekhawatiran bahwa keluarga mereka yang minoritas— sebagai keluarga Korea—menjadi target bagi lingkungan di sana. Puncaknya adalah kenyataan bahwa Carol, istrinya, mengidap kanker payudara. Penyakit yang menjadi bagian besar kisah yang diceritakan. Juga bagaimana berita ini disampaikan kepada anakanaknya yang masih kecil, kepada jemaat yang bersemangat dalam menatap perkembangan gereja yang baru, hingga pergumulan iman yang dihadapi tentang Allah yang begitu dalam. Perasaan ‘dikhianati’ dan kecewa yang begitu besar akan Allah muncul dalam perasaan penulis. “Sebagai orang Kristen yang sudah dewasa dan menjadi pendeta, saya berusaha sebaik mungkin untuk menolak perasaan ini. Saya mengingatkan diri saya sendiri bahwa saya lebih tahu tentang hal ini dan tidak ada janji dalam Kitab Suci bahwa kehidupan yang baik akan menjamin kurangnya penderitaan,” demikian pernyataan jujur penulis. Ketegangan dan kekhawatiran bertambah karena pihak asuransi yang tampaknya ingin membatalkan secara sepihak— dengan trik yang biasa dilakukan. Proses pengujian dan pengetesan akan kanker juga memberikan perasaan tertekan dan putus asa.


Namun, semua tetap dijalani dengan terus merelasikan seluruh pergumulan yang dihadapi dengan memandang, bertanya, memohon, dan berserah pada kasih Tuhan. Buku yang mengungkapkan penderitaan, kekecewaan, dan kemarahan diungkapkan dengan baik; disertai dengan adanya iman kepada Tuhan yang dipahami dan dipercayai. Cerita yang tidak hanya berisi tentang kesulitan dan penderitaan panjang, tetapi juga juga tentang pemeliharaan dan penghiburan yang datang melalui kesempatan dan orang-orang yang paling tidak terduga. Betapa menghiburkan untuk mengetahui bahwa pada saat kita kekurangan tenaga untuk datang kepada Yesus, justru Yesuslah yang datang kepada kita. Pada intinya penulis berpendapat bahwa cerita ini bukan cerita tentang dia dan keluarganya, tapi ini adalah cerita tentang Allah. Buku ini tentang kesaksian bagaimana pada saat-saat yang paling kelam dan menakutkan dalam hidup, Allah tidak meninggalkan. Sebaliknya, secara misterius dan terus menerus, Dia bekerja untuk kebaikan mereka yang mengasihi Dia. Cerita ini adalah milik Allah. Sebagai orang Kristen, penderitaan dan kekecewaan tidak meninggalkan kita. Tentu jenis penderitaan bisa berbeda-beda; namun ketika kita mengalaminya, kita dapat datang kepada Tuhan dengan perasaan yang ada— memohon pertolongan dan belas kasih-Nya. Dan Allah sumber penghiburan dan damai sejahtera akan menyatakan diri-Nya. Kisah nyata dalam buku ini membuktikan itu. ***


Nicander Oscar:

Saya Harus

Pulang

/ Titus Jonathan


Kehadiran GI. Nicander Oscar (Nic) di GKY BSD telah memberi warna tersendiri di gereja ini. Ia muda, tampan, energik, ramah, dan pintar. Di gereja selain berkhotbah, ia juga memainkan piano, menyanyi, bahkan menciptakan lagu. Hari itu, Sabtu pagi di penghujung Mei, di sebuah kedai kopi di BSD, saya berbincang santai dengan Nic yang akan segera bertolak ke Medan setelah mengakhiri tugas pelayanannya di GKY BSD. Sepenggal demi sepenggal, sambil sesekali menyeruput kopi hitam yang terhidang di atas meja, mengalirlah sekelumit kisahnya. Perihal kegemarannya menyanyi ini, saya mengorek cerita, dan keluarlah pengakuannya, “Sejak kecil saya hanya punya dua keinginan: menjadi penyanyi atau pastor. Itu saja.” Menjadi penyanyi barangkali adalah citacita banyak orang. Tetapi menjadi pastor? Bukankah ini jarang sekali diminati siapa pun terutama anak-anak muda? Tetapi Nic—yang lahir di Medan 26 tahun lalu— sangat firmed soal dua cita-cita itu. Ketika waktu bergulir dan ia beranjak dewasa, cita-


cita itu tidak bergeser sedikit pun. Hal ini mengherankan, karena Nic terlahir dari keluarga yang memeluk kepercayaan Taoisme.

Nic waktu SD

Sosok Papa “Beberapa waktu setelah saya lahir, saya dititipkan oleh mama saya ke tante saya yang tinggal di Surabaya. Tante itulah yang menjadi ‘mama’ saya sehari-hari. Setiap hari Minggu, tante mengajak saya ke gereja Katolik. Entah bagaimana, setiap kali saya melihat pastor berjalan dan naik ke panggung dengan jubahnya itu, perasaan saya berbeda. Saya tidak tahu apa, tetapi saya ingin sekali menjadi seperti dia. Padahal waktu itu saya masih anak-anak,” kata Nic. Mungkin sosok pastor yang gagah dan saleh itu begitu mempesona bagi Nic, karena memang ia tak pernah memiliki sosok papa seperti anak-anak lain pada


umumnya. “Papa saya pergi dari rumah pada waktu mama tengah mengandung saya,” katanya. “Pergi? Pergi begitu saja?” tanya saya. “Begitulah mama bilang. Dia pergi begitu saja.” “Tapi Laoshi (saya memanggil Nic dengan sapaan “Laoshi") tahu dong seperti apa wajah papa?” “Enggak. Sampai sekarang benar-benar saya enggak tahu seperti apa papa saya. Itu foto yang tergantung di rumah di Medan, tepat di bagian wajah papa itu dibolongin oleh mama, hehe ....” tawanya getir. Mengapa Nic terpaksa harus dititipkan di Surabaya, tak lain alasan beban mamanya yang berat karena harus menghidupi keluarga termasuk dua kakak Nic. Setelah beberapa tahun tinggal dengan tantenya—ketika Nic sudah mulai betah karena tantenya memperlakukannya dengan sangat baik—tiba-tiba suatu hari mamanya datang dan membawanya pulang ke Medan. Hidup serumah dengan mama dan terlebih dengan dua kakaknya yang selama ini tak pernah kenal dekat,


membuat Nic tidak nyaman sama sekali. “Tanpa saya sadari, saya menjadi punya sifat pemberontak. Terlebih kalau saya berantem dengan koko atau cici saya, saya tak segan-segan mengucapkan kata-kata kasar, dan saya minta agar mama balikin saya ke Surabaya.” “Ahhh ... masa sih Laoshi bisa kasar dan memberontak? Ngga ada potongan sama sekali,” canda saya. “Waahhh ... orang lain pada salah sangka. Saya ini nakal sekali di Medan. Bukan sekali-sekali nakal, tapi nakal sekali … hahaha ...,” kata Nic dengan tawa berderai.

, a y n a m a m n a u k g n a p i d Nic . a y in ic c n a d o k o k a m a s r be


Tetapi di balik kenakalannya, Nic sebenarnya adalah seorang yang minder, terutama di hadapan bapak-bapak— entah itu bapak pendeta, bapak majelis, atau siapa pun di gereja yang sempat ia temui. Mungkin, lagi-lagi karena ia betulbetul tidak memiliki figur seorang papa sejak ia berada di dalam kandungan. “Sampai sekarang pun, walaupun saya sudah dewasa dan menjadi hamba Tuhan perasaan itu tetap ada walaupun sedikit. Saya tidak bisa nyaman waktu ngomong dengan bapak-bapak.” Di Medan itulah Tuhan menangkap Nic. ‘Kamu terpilih’ Masa remajanya yang nakal itu dibarengi dengan keaktifannya di sebuah gereja Bethel. Gereja itu sangat kreatif dan menjadi wadah bagi aktivitas anak-anak remaja dan pemuda. Nic masih ingat, suatu hari ia mendapat sebuah surat dari komunitas pemuda-remaja gereja itu, yang tulisannya kira-kira berkata “Kamu terpilih menjadi pelayan Tuhan. Apakah kamu mau?” Menerima surat itu, Nic merasa hatinya membuncah dengan sukacita yang


membuat semangatnya meletup. “Saya merasa mendapat perhatian sekaligus kehormatan dengan kalimat ‘kamu terpilih’ itu, padahal saya adalah anak yang nakal sekali,” kata Nic. Seiring berjalannya waktu, Nic terus melayani dengan rajin. Ia tekun belajar main piano sampai benar-benar mahir. Kemampuan memainkan piano dan menyanyinya makin terasah karena dukungan komunitas pemuda-remaja gerejanya dan juga kakak pembinanya. “Di situlah saya bertumbuh dan bertobat, lalu janji memenuhi panggilan Tuhan untuk menjadi hamba-Nya,” kata Nic yang suka bercanda ini. Belakangan ketika Nic sudah lulus sekolah, ia memutuskan untuk bergereja di Gereja Methodist Medan. Gereja inilah yang kemudian mengutus Nic untuk sekolah Alkitab di Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung (STTAA) di Jakarta.

“Saya merasa mendapat perhatian sekaligus kehormatan dengan kalimat ‘kamu terpilih’ itu, padahal saya adalah anak yang nakal sekali,”


“Mama tahu Laoshi sekolah untuk menjadi pendeta?” tanya saya. “Enggak. Saya enggak bilang mama. Bagaimana mau bilang, waktu itu Tao-nya kuat sekali,” jawabnya. Tetapi belakangan mama Nic tahu juga apa yang dikerjakannya di Jakarta. Juga perihal sekolah Alkitab itu. Datang ke Gereja “Selama saya di sini, tiap hari saya sempatkan telepon mama. Ya ... ngobrolngobrol saja. Tiap hari. Dan akhirnya mama tahu saya sekolah Alkitab. Herannya, sekarang justru mama kalau ketemu teman-temannya suka bilang dengan bangga, “Anakku sekolah di Jakarta, gurunya adalah guru para pendeta.” Betapa ajaib tangan Tuhan. Walaupun Nic dan mamanya punya masa lalu yang tidak bisa dikatakan dekat sebagai ibuanak, dan sekarang pun justru terpisah jarak yang jauh, beberapa tahun ini mamanya sudah meninggalkan ritual sembahyangnya—yang sudah dilakoninya seumur hidupnya—dan mulai datang ke gereja di Medan.


“Saya pernah tanya ke mama, ‘Kenapa kok sekarang mau ke gereja?’ Jawab mama, ‘Karena mama lihat kamu banyak berubah.’” Itu saja jawabnya. Mungkin mama lihat dulunya saya ini nakal sekali dan sulit diatur, tetapi entah apa yang dirasakannya sekarang waktu melihat saya begini, haha,” jawab Nic dengan tawa renyah. Nic mengakui dan bersyukur sekali betapa ajaibnya kasih karunia Tuhan jika ia mengingat masa lalunya. Setelah Nic lulus dari STTAA, ia ditempatkan untuk pelayanan di GKY BSD. Harus Pulang Pelayanannya di GKY BSD dikerjakannya dengan sangat baik, sehingga waktu dua tahun betul-betul terasa hanya sekelebat saja. Banyak yang menyayangkan betapa singkatnya waktu kebersamaan Nic dengan GKY BSD, karena gereja ini membutuhkannya dalam memberikan warna pelayanan yang mungkin berbeda. “Apakah Laoshi tidak ingin tetap stay di BSD?” tanya saya.


“Ohhh … ingin sekali. Saya bahkan betah sekali di BSD ini. Tapi saya harus pulang …,” katanya. Nic harus pulang. Barangkali itu adalah pilihan yang berat, tetapi merupakan keputusan yang harus diambil. Ia seperti punya ‘sesuatu’ yang belum selesai untuk dikerjakannya di Medan. Tentu selain tugas pelayanan di Gereja Methodist, barangkali ada tugas khusus lainnya yang tidak mungkin ia lalaikan. Mamanya yang sendirian, kokonya yang sudah berkeluarga dan menjadi seorang Muslim, dan cicinya yang masih memegang teguh Taoisme. Tuhan memintanya pulang ke Medan dan telah menyiapkan tugas baginya. “Apakah Laoshi tidak kepingin ketemu papa?” tanya saya. “Hmm … enggak tahu yahhh … papa sekarang ada di mana dan masih ada atau tidak saya sama sekali tidak tahu ....” jawabnya lugas. Memang wajar sekali apa yang dikatakan Nic soal papanya itu. Ia tidak merasa apaapa ketika berbicara soal papanya. Rasa itu tidak pernah datang di hatinya setelah 26 tahun. Atau barangkali rasa itu masih bersembunyi entah di mana.


Catatan: Setelah Nic sampai di Medan, saya sempat mengontaknya. Nic menceritakan betapa bersyukurnya dia dengan kepulangannya ke kota kelahirannya. Dalam minggu-minggu pertama ia sudah melihat banyak keajaiban yang tak pernah terlintas sebelumnya dalam benaknya, di antaranya adalah ketika phopho (nenek) nya pun ikut datang ke gereja, menerima Yesus Kristus dan menyembah-Nya.

Nic bersama mamanya di gereja sepulangnya ke Medan.

Mama dan pho-pho (nenek) Nic. Momen ini adalah pertama kali pho-pho nya menginjakkan kaki di gereja.


Pdt. Dr. Junit Sihombing, M.Th:

Gereja-Gereja Perlu Lebih Aktif

Membantu Masyarakat


/ Hendro dan Liena Suwito

Pada paruh awal Juni lalu, Nafiri mendapat kesempatan untuk berbincang-bincang dengan Pdt. Dr. Junit Sihombing, M.Th., Pembina Masyarakat (Pembimas) Kristen Provinsi Banten di Kota Serang. Kami mencoba menyerap aspirasi Pak Junit—khususnya pada hal-hal yang berkaitan dengan perannya dalam mewakili dan membina masyarakat Kristen di Banten. Kami juga menyerap pandangan dan harapan beliau bagi gereja, lembaga, dan masyarakat Kristen di Banten agar dapat menjadi berkat bagi masyarakat.


Pak Junit, lahir di Palembang tahun 1973, lulus S-1 bidang teologi (2002) dan pendidikan Agama Kristen (2003). Setelah menamatkan S-2 teologi (2009), beliau masih melanjutkan studi dan meraih S-3 teologi pada awal 2021. Sebelumnya, Pak Junit adalah pendeta Gereja Methodist di Perum Karawaci, Tangerang. Jabatan sebagai pendeta ini harus dia lepaskan dan dilanjutkan oleh istrinya ketika Pak Junit diangkat sebagai pimpinan Bimas Kristen di Kementerian Agama Provinsi Banten tahun 2019 lalu. Beliau sudah berkarya sebagai pegawai negeri di lingkungan kantornya selama sembilan belas tahun. Berikut beberapa topik perbincangan yang sempat digali Nafiri dari Pak Junit:


Nafiri: Pandemi Covid-19 sudah berlangsung lebih dari setahun. Bagaimana dampaknya terhadap program-program pelayanan yang Bapak lakukan melalui kantor Bimas Kristen di Provinsi Banten? Junit Sihombing: Sepanjang tahun lalu, sejak pandemi Covid-19 mulai melanda Indonesia, pelayanan kantor kami benarbenar sangat tersiksa. Kami sangat stres. Kebijakan untuk membatasi berbagai kegiatan di tengah masyarakat terusmenerus diperpanjang oleh pemerintah. Akibatnya, program pelayanan yang bisa kami lakukan sangat terbatas. Namun, sejak beberapa bulan terakhir ini, kami berusaha keluar dari tekanan dan keterbatasan yang ada. Kami harus bisa jalan terus secara lebih intensif. Keterbatasan ini justru telah membuka peluang-peluang baru. Misalnya, sebelum pandemi, biasanya kami tiap kali hanya bisa mengundang sekitar tiga puluh guru agama untuk mengikuti program pembinaan secara on-site. Baru-baru ini—dengan sarana komunikasi online—kami justru bisa melakukan pembinaan untuk 140 guru sekaligus.


N: Apa saja yang menjadi fokus pelayanan Bimas Kristen di Banten saat ini? JS: Ada dua fungsi utama yang dijalankan kantor kami: yaitu fungsi pembinaan di bidang pendidikan dan di bidang keagamaan. Di bidang pendidikan, kami melakukan pembinaan kepada guru-guru agama di sekolah-sekolah negeri dan swasta di Banten, dan khususnya juga di sekolah SD, SMP, dan SMA bidang teologi yang ada di bawah supervisi Kementerian Agama. Kami ikut mendukung penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan juga bantuan Program Indonesia Pintar untuk siswa-siswi kurang mampu. Dananya yang berasal dari negara langsung ditransfer ke rekening para siswa.


Di bidang keagamaan, kami aktif mendampingi dan memberi arahan untuk gereja-gereja, yayasan-yayasan, dan lembaga-lembaga Kristen yang ada di Banten, seperti misalnya: PGI wilayah Banten, perwakilan Pentakosta, Advent, Bala Keselamatan, dan lain-lain. Kami juga tiap tahun mengadakan pembinaan untuk memperlengkapi sekitar lima puluh pendeta dengan materi-materi yang bermanfaat untuk pelayanan mereka dan juga arahan untuk meningkatkan kedisiplinan mental mereka dalam melayani. Selain itu, saya hampir setiap minggu keliling melakukan kunjungan ke gerejagereja di Banten untuk melakukan pendampingan dan pembinaan. N: Bagaimana dengan masalah perizinan untuk gereja-gereja di provinsi Banten? Apa saja kendalanya yang biasa terjadi? JS: Memang masih banyak gereja di Banten yang belum memiliki izin resmi dari pemerintah. Saat ini ada sekitar dua ratus gereja di Banten. Dari jumlah ini, baru sekitar tiga puluh gereja saja yang sudah mendapatkan izin—termasuk GKY BSD.


Sementara itu, jumlah masyarakat Kristen sekitar lima hingga enam persen dari total populasi di provinsi. Gereja-gereja yang dibuka di ruko-ruko memang sangat sulit untuk mendapatkan izin, karena sangat susah untuk mengubah fungsi dan peruntukan ruko menjadi rumah ibadah. Bagaimanapun, membuka gereja di ruko memang lebih mudah dan aman daripada di rumah-rumah pribadi yang kadang bisa menimbulkan masalah (dengan masyarakat sekitar). Proses mendapatkan izin untuk gereja memang tidak mudah—bisa berlangsung bertahun-tahun. Namun, saya menghimbau pada para pengurus gereja untuk secara sungguh-sungguh mengurus dan mengikuti proses perizinan yang ada. Permasalahan perizinan yang cukup sering terjadi adalah persetujuan dari warga sekitar, atau kadang juga karena ada lurah yang masih keberatan untuk memberi persetujuan. Dan kendala-kendala seperti ini kadang bisa menimbulkan ‘gesekan’ di tingkat akar rumput. Sejauh ini, saya pribadi aktif terjun ke lapangan kalau muncul permasalahan antara gereja-gereja dengan masyarakat sekitar. Bersyukur dalam tiga tahun ini


tidak ada gereja yang ditutup. Ada satu– dua yang sempat diminta tutup akibat kesalahpahaman di grassroot (tingkat akar rumput), namun semua akhirnya sudah diperbolehkan untuk beroperasi lagi. Saya juga menghimbau pada lembagalembaga yang mau membuka pelayanan di tempat baru, permisi dululah pada gereja-gereja yang sudah ada di wilayah itu. Mereka bisa memberi masukan yang sangat berguna agar gereja baru itu nantinya dapat lebih mudah diterima oleh masyarakat sekitar. N: Bagaimana dengan gereja-gereja yang sudah ada di Banten sekarang? Apakah sudah terjalin kerja sama cukup erat di antara mereka? JS: Kita ini biasanya sering bicara tentang keesaan gereja. Namun, pada kenyataannya masih sangat sulit untuk menjalin kerja sama antar gereja. Harus diakui masih banyak gereja yang egonya terlalu kuat dan belum siap untuk duduk bersama menjajaki kemungkinan kerja sama pada program pelayanan mereka. Sebenarnya, dalam bidang sosial, banyak peluang bagi gereja-gereja


untuk menjangkau kelompok-kelompok masyarakat yang masih sangat tertinggal dan membutuhkan bantuan. Di daerah Rangkasbitung misalnya, ada kelompokkelompok masyarakat Kristen yang masih sangat miskin dan perlu dibantu. Kantor kami siap membantu gereja-gereja— termasuk GKY BSD—kalau tergerak untuk menjangkau mereka. Beberapa tahun ini GKY BSD telah melakukan aksi sosial ke daerah Lampung. Saya ikut senang atas misi pelayanan ini yang telah menjadi berkat bagi komunitas di sana. Mungkin sudah saatnya untuk menjajaki juga pelayanan kemanusiaan di wilayah Banten (di luar apa yang sudah dilakukan selama ini di sekitar gereja di BSD). Harapan saya: Gereja-gereja dan lembaga-lembaga Kristen di Banten bisa lebih bersatu dan bisa menjadi berkat bagi masyarakat. Kalau bisa dijalin kerja sama antar gereja dan lembaga pasti dampaknya akan jauh lebih signifikan. N: Bagaimana peran Bimas Kristen dalam menjembatani gereja-gereja dengan pemerintah dan komunitas dengan latar belakang agama yang berbeda?


JS: Kementerian Agama dibentuk untuk menaungi komunitas semua agama yang ada di Indonesia. Masing-masing kelompok agama sudah ada pos-posnya masing-masing. Untuk itu, kita wajib lebih mengenal dan saling menghargai agar terjadi hubungan yang lebih baik. Kita harus membangun silaturahmi dengan komunitas—tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat—yang ada di Banten untuk menjaga kerukunan dan keutuhan bangsa. Seperti pada acara peringatan Hari Lahir Pancasila awal Juni lalu, misalnya: pimpinan MUI, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh masyarakat di Banten berkumpul untuk bersilaturahmi. Melalui forum-forum seperti ini kita bisa lebih saling mengenal dan saling menghargai. Untuk komunitas Kristen sendiri, di Banten juga ada forum musyawarah pimpinan gereja yang ditujukan untuk membangun komunikasi dan kerja sama. Intinya, gereja-gereja harus makin aktif menjalankan peran sosial kemanusiaannya agar bisa menjadi berkat dan membawa dampak positif bagi masyarakat sekitar. Gereja-gereja dipanggil untuk menjangkau


masyarakat yang masih sangat perlu dukungan. Ini tantangan bagi gereja-gereja yang ada di Banten. Jangan harap gereja-gereja yang tidak pernah melakukan apa-apa bagi warga sekitar akan dikenal dan dihargai oleh pemerintah dan masyarakat. Gerejagereja ditantang untuk aktif melakukan misi kemanusiaan bagi masyarakat yang hidupnya masih sangat tertinggal. N: Setelah melayani di lingkungan masyarakat di Banten cukup lama, apa yang Bapak temukan yang bisa mengubah persepsi pihak lain terhadap masyarakat Banten? JS: Saya sudah sembilan belas tahun berinteraksi intensif dengan komunitas masyarakat Banten. Dan saya menemukan bahwa kita—masyarakat Kristen khususnya—sering mempunyai persepsi yang salah terhadap masyarakat di Banten. Selama ini, saya tidak pernah mengalami masalah dalam membina hubungan timbal balik yang akrab dengan berbagai kelompok masyarakat di sini, yang memang mayoritas berlatar belakang agama Islam.


Sering ada anggapan bahwa masyarakat daerah Banten ini kurang ramah terhadap masyarakat lain yang mempunyai latar belakang berbeda. Kenyataannya tidak seperti itu. Sejauh ini, dari apa yang saya alami sendiri secara langsung, tidak pernah ada kesulitan dalam menjalin hubungan dengan masyarakat di Banten. Sejauh ini, semua berjalan baik-baik saja. Persepsi kita saja yang selama ini sering kurang tepat •


“Ekklesia” GKY BSD: Survei di Masa Pandemi

/ Maya Marpaung


Sudah satu setengah tahun lamanya kita hidup dalam keadaan yang berbeda dari keadaan normal. Sejak Maret 2020 saat kasus pertama infeksi Covid-19 dilaporkan, walau telah disusul dengan larangan berkumpul dan protokol kesehatan yang dinamis (dari 3M hingga 6M), hingga saat ini kita masih belum tahu ujung dari pandemi panjang ini. Nafiri pun ingin memotret keadaan jemaat GKY BSD dengan survei kecilkecilan. Dari 1.700 jumlah jemaat GKY, hanya 85 respons valid yang dapat kami olah datanya. Tes kesahihan survei pun dilakukan secara sederhana dan menunjukkan bahwa isi pertanyaan cukup sahih (Cronbach’s alpha 0.61).

52,4%

47.6%

Laki-laki Perempuan

Usia responden terbentang dari 19–66 tahun, dengan sebaran seimbang antara laki-laki dan perempuan. Pada pertanyaan tentang keaktifan


responden dalam kegiatan seharihari gereja kami menanyakan: Apakah responden mengambil pelayanan di GKY BSD? Kami membagi responden menjadi dua grup: pelayan (77%) dan nonpelayan (23%). Grup pelayan inilah yang sebelum pandemi sering menghabiskan waktu di gereja—baik untuk rapat, fellowship, dan lain sebagainya. Hal ini terlihat dari hasil survei yang menunjukkan 95% dari responden yang sering menghabiskan waktu di gereja prapandemi adalah dari grup pelayan. Dari berbagai berita dan bahan bacaan tentang Covid-19, yang sering kita temukan adalah keluhan tekanan psikologis. Maka Nafiri mencoba melihat secara garis besar tentang tingkat tekanan psikologis dari responden dengan instrumen kuesioner PHQ4 yang sering digunakan untuk melihat beban psikologis seseorang. Survei menunjukkan 71% responden masuk ke dalam grup normal, 20,5% dalam grup beban psikologis ringan, dan 8,4% dalam grup moderat-berat. Tidak ada perbedaan bermakna antara gender dan peran responden di gereja (pelayan dan nonpelayan).


Saya bukan seorang psikolog, namun jika kita membaca literatur umum, maka nilai ini serupa dengan nilai tekanan psikologis masyarakat normal pada umumnya. Pandemi yang telah kita jalani selama satu setengah tahun ini juga memberikan perenungan yang berbeda di antara grup pelayan dan nonpelayan. Kami menanyakan responden: Apakah pandemi ini merupakan kesempatan dalam melihat kuasa Tuhan atau lebih terfokus pada virus yang mengancam? Hampir semua pelayan (96%) melihat pandemi sebagai kesempatan untuk melihat kuasa pemeliharaan Tuhan. Sebanyak 21% nonpelayan tidak memiliki jawaban yang pasti, dan 10% terfokus pada virus Covid-19. Kami juga ingin mengetahui, apakah ibadah online yang kita jalani mempengaruhi pertumbuhan iman jemaat. Cukup banyak (34%) jemaat yang mengalami kombinasi antara dapat belajar tentang Kristus dan keimanan yang turun. Hal ini tidak berbeda antara grup pelayan dengan nonpelayan dan grup gender. Lalu bagaimana dengan pembinaan-pembinaan online lainnya? Apakah jemaat cukup aktif dalam mengikutinya? Terdapat 78%


jemaat yang aktif mengikuti pembinaan komunitas gereja secara online. Dari jumlah tersebut, terdapat perbedaan bermakna dari proporsi antara pelayan (85%) dan nonpelayan (15%). Perbedaan bermakna antara grup pelayan dan nonpelayan kembali terlihat pada pertanyaan kerinduan akan ibadah fisik atau offline di GKY BSD. Walaupun 98% responden mengemukakan bahwa ibadah online GKY BSD baik bahkan sangat baik, namun sebagian besar jemaat tetap rindu untuk tetap beribadah offline. Terdapat 78% jemaat yang rindu (dan sangat rindu) untuk ikut kebaktian secara fisik (di gereja), dan 82% diantaranya adalah grup pelayan gereja.


Survei ini singkat dan sederhana, tapi membawa saya ke dalam perenungan arti gereja. Awal kata gereja dalam bahasa Yunani ekklesia berarti ‘perkumpulan orangorang’. Dan inilah yang Tuhan inginkan dari sebuah gereja: orangnya. Jelas sekali dalam survei ini, bahwa komunitas yang melayani menjadi faktor penentu gereja yang bertumbuh, gereja yang aktif, gereja yang membuat rindu para anggotanya. Tidak mungkin seseorang rindu kalau dia mengalami trauma, kepahitan, atau hal lain yang berdampak buruk. Kesan yang kita dapat dari survei singkat ini juga adalah pentingnya jemaat terlibat dalam pelayanan—apa pun bentuk pelayanan itu. Dengan melayani, jemaat akan merasakan kebersamaan dalam melakukan visi Tuhan melalui gereja: Ekklesia adalah kebutuhan seorang Kristen. Apakah kebutuhan itu sudah dapat dicukupkan oleh ibadah online yang baik? Ternyata survei ini mengatakan tidak. Oleh karena itu, mari kita berdoa untuk sebuah pelayanan. Mari berdoa agar Tuhan ‘mau’ kita layani dan memberikan kita sebuah pelayanan—apa pun itu •


Taman Ketawa Hadiah untuk Mama

Johnny yang baru saja jadi orang kaya baru (OKB)—berkat investasi saham— memutuskan untuk membeli hadiah untuk mamanya tercinta yang tinggal seorang diri di kota lain. Suatu ketika, dia masuk ke toko hewan piaraan (pet shop) dan meminta penjualnya mencarikan burung yang paling bagus dan mahal di toko itu. “Nah ini dia … burung kakaktua yang langka. Dia hafal sepuluh perintah Allah dan beberapa ayat Alkitab ... tentu mama kamu bakal senang!” kata si pemilik toko hewan. “Berapa harganya? “ tanya Johnny. “Tujuh puluh lima juta saja .…” Tak apalah, pikir si Johnny, kapan lagi bisa membuat mamanya senang? Akhirnya dia membeli burung kakaktua itu dan meminta dikirim ke alamat mamanya. Sehari kemudian, Johnny menelepon mamanya. “Mama, apa Mama sudah terima burungnya?” “Wah … sudah John. Mama suka sekali. Sudah lama mama tidak masak sendiri. Burungnya enak banget rasanya …,” jawab mama.


Mencari Adam dan Hawa Ketika Sherlock Holmes—sang detektif terkenal itu—masuk ke surga, Rasul Petrus bertanya kepadanya, “Bisakah kamu membantu kami memecahkan misteri? Adam dan Hawa sudah lama menghilang dari antara kami .… Bisa tolong bantu carikan?” Sherlock menyanggupi dan akhirnya memulai investigasi. Setelah beberapa hari, dia kembali ke tempat Rasul Petrus dan memberikan laporannya, “Sudah ketemu, saat ini mereka berdua ada di dekat pintu surga. Tepatnya sedang asyik nongkrong di bawah pohon .…” “Wah bagaimana caranya bisa ketemu?” tanya Rasul Petrus. “Gampang itu Pak .… Hanya mereka berdua kan yang tidak punya pusar?” jawab Sherlock kalem.


Konseling Pranikah Sepasang muda mudi untuk pertama kalinya hadir dalam bimbingan pranikah yang diselenggarakan di sebuah gereja. Si calon pria, Bobby—yang baru pertama kali bicara dengan Pak Pendeta—tampak gugup dan gelisah. Pendeta berusaha menenangkan. “Jadi bagaimana Bobby, apakah kamu ingin menikah karena keinginanmu sendiri?” tanya Pak Pendeta. Hening sejenak dan lama …. Tiba-tiba calon pasangan Bobby melirik ke arah Bobby dan berkata, “Udah ... bilang saja, ‘Iya!’”


Dimarahi Iklan Sebuah iklan yang beredar di media sosial: IKUTILAH WEBINAR : BAGAIMANA MENGONTROL KEMARAHAN ANDA di MASA PANDEMI! Pembicara: Dr. Kalembanget Sabarboss Host: Ayu Kemayu, S.Psi. Hanya untuk 100 orang!!! Usia 15+ GRATIS!!! TEMPAT TERBATAS, MAKANYA CEPETAN!!!!! AYO DAFTAR!!!! KODE LINK pendaftaran terlampir!!! GA USAH PAKE TANYATANYA LAGI!! CATAT TANGGAL dan JAMNYA, INGAT JANGAN SAMPAI LUPA, APALAGI TERLAMBAT HADIR!!! NGERTI !!?!?!!!

(Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkatakata, dan juga lambat untuk marah Yakobus 1: 19) ( adaptasi dari berbagai sumber)


/ Liany D. Suwito

Menjalani ‘Isoman’ dengan Hati Gembira, Bisakah?


Di akhir Juni 2021 lalu saya berkesempatan untuk membawakan materi mengenai The 7 Habits of Highly Effective People oleh Stephen R. Covey dalam sebuah pelatihan di Kulonprogo, Yogyakarta, pada anak-anak muda yang tertarik terhadap dunia konservasi. Pelatihan ini kami adakan secara on-site di sebuah tempat dengan menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat—dengan screening test beberapa kali sebelum masuk ke lokasi kegiatan. Prokes ketat ini harus kami terapkan karena pada saat pelatihan berlangsung, kasus Covid-19 sedang melonjak sangat cepat di Indonesia— termasuk di daerah Jogja. Padahal, ketika acara ini dirancang, situasi masih tampak aman-aman saja. Satu hal yang tidak saya bayangkan sebelumnya adalah saya akan membawakan materi ini dalam situasi isolasi mandiri atau lebih tepatnya karantina mandiri. Hal ini karena selang beberapa hari kegiatan, ada beberapa peserta yang menunjukkan gejala sakit; setelah dilakukan tes ulang ternyata terindikasi positif Covid-19. Sedangkan saya sebagai salah satu panitia dan juga beberapa rekan lain telah melakukan kontak dengan peserta tersebut, sehingga kami terpaksa mengisolasi diri kami di aula. Maka materi-materi pelatihan pun akhirnya dilanjutkan secara online bersama para peserta yang tinggal di kamar masing-masing.


Kebetulan lagi, salah satu poin dalam materi yang saya bawakan adalah mengenai bagaimana menjadi pribadi yang proaktif dengan menggunakan ilustrasi Viktor Frankl. Viktor adalah seorang psikiater dan neurolog Austria, yang juga seorang penyintas the Holocaust pada Perang Dunia II. Dalam situasi ketidakpastian dan penuh penderitaan pada masa tersebut, Viktor—yang juga merupakan penulis buku Man’s Search for Meaning ini—justru menemukan arti hidupnya.

Hidup dan Mati Meski raganya terjebak tiap hari dalam kurungan dan ancaman kematian dalam kamar gas, Viktor tidak menghabiskan waktunya untuk memikirkan kematian. Ketika dihadapkan pada situasi hidup dan mati, ia memilih untuk memikirkan tentang kehidupan.

“Forces beyond your control can take away everything you possess except one thing, your freedom to choose how you will respond to the situation.”


Dalam keadaan tersebut, Viktor justru menemukan kebebasan. Ketika situasi yang tidak dapat kita kendalikan telah mengambil semua yang kita miliki, kita masih memiliki satu kebebasan: Yaitu bagaimana kita memilih untuk merespons situasi tersebut.

Menjelaskan mengenai kehidupan Viktor Frankl pada para peserta yang masing-masing sedang mengisolasi diri menjadi satu momen yang mungkin sudah direncanakan oleh Tuhan sebelumnya. Dalam situasi terisolasi—sama seperti Viktor—raga kita mungkin terjebak dalam ruang dan situasi yang tidak memungkinkan kita untuk memiliki kebebasan. Namun, sebenarnya kita masih memiliki satu kebebasan: Yaitu bagaimana diri kita secara pribadi merespons situasi dan kondisi itu.


Apakah kita akan menyerah dan menjalani masa isolasi dengan hati sedih dan penuh ketakutan? Atau kita akan fokus menjaga kesehatan kita dan berjuang memikirkan kehidupan dan masa kebebasan yang menanti di depan? Optimisme dan keyakinan bahwa semua akan berujung pada kebaikan seharusnya akan membuat hati kita tenang dalam menghadapi situasi apa pun itu. Menjalani hari dalam ketakutan tentu tidaklah menyenangkan dan hanya akan melemahkan kondisi kita. Maka setiap hari selama masa isolasi para panitia berusaha keras untuk membuat para peserta agar tetap positif. Salah satunya dengan melakukan senam dan berjemur bersama dengan prokes ketat, serta membawakan materimateri yang dapat memacu semangat mereka. Beruntungnya anak-anak muda ini adalah pejuang-pejuang yang optimis dan berhati bebas. Puji Tuhan, hal ini berhasil membuat para peserta merasa lebih tenang dan tidak terfokus pada bahaya yang bisa ditimbulkan virus Covid-19 itu sendiri. Para peserta yang sedang sakit pun segera sembuh dan kami semua berhasil menyelesaikan proses karantina ini dengan baik dan kembali ke rumah kami masingmasing—baik di Jogja maupun kota-kota lain. Sementara rekan-rekan yang masih terindikasi positif, kami bantu untuk menjalani isolasi mandiri lanjutan dan saat ini mereka sudah bebas dari COVID-19.


Gotong Royong Tentunya saat ini kegiatan-kegiatan seperti ini tidak direkomendasikan untuk diadakan karena risikonya yang sangat besar. Namun, banyak hal yang akhirnya kami pelajari dari hal ini. Tidak mematahkan semangat, justru pengalaman ini membuat kami semakin yakin untuk tidak berhenti dan menyerah pada keadaan. Kami sadar bahwa gotong royong, kebersamaan, dan kebahagiaan adalah apa yang dibutuhkan oleh dunia saat ini.

Saling menolong dan tidak meninggalkan satu sama lain akan membangkitkan energi positif yang sangat besar. Tentu pemberitaan mengenai kematian dan banyak hal lainnya seringkali mematahkan semangat, tapi kita pun harus terus


meyakini bahwa Tuhan tak pernah meninggalkan kita. Apa pun yang terjadi semua tetap berada dalam kendali Tuhan. Meski kita belum dapat memahami apa maksud Tuhan saat ini, kita harus yakin bahwa ada hal besar yang sedang dijalankan Tuhan dalam kehidupan manusia. Tugas kita sebagai manusia yang penuh keterbatasan adalah: Berusaha memahami dan memaknai arti dari setiap kejadian dan pengalaman yang kita lalui. Apakah masa isolasi akan kita lalui dengan menjemukan atau dengan penuh harapan; itu semua bergantung pada respons kita. Menjadi jemu dan jenuh sangatlah manusiawi, tapi bersama Tuhan seharusnya kita tidak takut akan apa pun yang menanti di depan. ***

“Janganlah takut kepada mereka, sebab Tuhan, Allahmu, Dialah yang berperang untukmu.” (Ulangan 3:22)


/ Anton Utomo

Konflik

Palestina– Israel, Sampai Kapan??


Setelah baku tembak selama sebelas hari bulan Mei 2021 yang memakan ratusan korban jiwa, kelompok Hamas (fraksi milisi Palestina) dan Israel kembali memulai gencatan senjata. Ini bukan konflik pertama dan tentu juga bukan yang terakhir. Pada konflik tanggal 10–21 Mei 2021 itu, tak kurang dari 243 warga Palestina dan 12 warga Israel tewas dan ribuan lainnya dirawat karena luka berat dan ringan. Mengapa konflik Palestina-Israel terus berulang, terutama ketika umat Muslim atau Yahudi merayakan hari besar keagamaannya? Isu perebutan lahan yang diwarnai rumitnya intrik politik dan kentalnya bias agama kian ‘memperuncing’ perseteruan dua negara bertetangga ini.



Siapa Israel? Siapa Palestina? Israel adalah negara yang baru terbentuk tahun 1948 setelah Inggris melepaskan mandat PBB atas Palestina pasca-Perang Dunia II berakhir. Inilah buah kerinduan orang Yahudi untuk kembali ke ‘Tanah Perjanjian’ dan memiliki tanah air sendiri sesudah ribuan tahun hidup sebagai diaspora di seluruh dunia. Pada tahun tujuh puluh Masehi Jenderal Titus yang perkasa menghancurkan Yerusalem sekaligus membumihanguskan Bait Allah kedua yang baru saja diperluas dan diperindah Herodes. Kisah penyerangan pasukan Romawi ke Yerusalem dan penghancuran Bait Allah telah diulas dalam Buletin Nafiri edisi Juni 2019 (Teropong: “Hari-Hari Tergelap Bangsa Yahudi”). Setelah penyerangan besar yang disusul dengan meluasnya pemberontakan Yahudi, pemerintah Romawi mengusir semua orang Yahudi dari tanah yang saat itu masih disebut Yudea. Konon, nama Yudea dihapus dan kemudian diganti menjadi Palestina oleh penguasa Romawi— merujuk pada musuh bebuyutan bangsa Yahudi selama ribuan tahun: Yaitu bangsa Filistin. Jadi, apakah bangsa Palestina sama dengan bangsa Filistin yang sudah ada di sana sejak masa Musa dan Yosua menaklukkan tanah Kanaan? Penelitian ilmiah menunjukkan hasil yang sangat jauh berbeda. Pada sebuah proyek arkeologi yang dilakukan di pekuburan kuno orang Filistin,


para ahli meneliti DNA sepuluh sisa kerangka manusia yang terpendam ribuan tahun dan mendapatkan hasil yang mengejutkan. Ternyata leluhur orang Filistin adalah orang Yunani, Sardinia, dan Iberia (Spanyol-Portugal sekarang). Mereka pindah dari tanah leluhur ke Palestina dan sekitarnya pada abad kedua belas Sebelum Masehi, terdesak oleh peperangan dan keruntuhan peradaban di tanah asalnya. Tak aneh bila kita mendapati sosok tentara dan pejuang Filistin yang tinggi dan besar seperti Goliat, karena mereka adalah orang-orang seberang lautan dari Eropa yang membanjiri tanah Palestina demi kehidupan yang lebih baik. Anehnya, bangsa ini kemudian lenyap dari Palestina beberapa ratus tahun kemudian, bahkan tak tertulis sama sekali dalam Perjanjian Baru. Pada masa Yosua, orang Filistin terdesak dan tinggal di lima kota saja: Gaza, Asdod, Askelon, Gat, dan Ekron. Lantas, siapa bangsa Palestina sekarang? Apakah Jalur Gaza (the Gaza Strip) yang sekarang sama dengan Kota Gaza di masa lalu? Kota Gaza memang terletak di Jalur Gaza yang terkenal, namun orang Palestina tentu saja berbeda dengan bangsa Filistin. Orang Palestina adalah keturunan suku-suku Arab yang telah hidup ratusan tahun, menyebar di kota-kota Palestina. Tidak semuanya beragama Islam, ada juga— walau tak banyak—yang beragama Kristen. Mereka tak dapat dilepaskan dari sejarah


penguasaan tanah Palestina yang setelah abad ketujuh dikuasai oleh beragam penguasa Islam— dengan beberapa periode sempat juga direbut tentara Salib dari Eropa. Ketika Khalifah Umar merebut Yerusalem pada tahun 673, ia mendapati sebuah bukit luas yang telah diratakan oleh Herodes hampir tujuh ratus tahun sebelumnya untuk proyek besar perluasan Bait Allah. Di atas bukit itu didapatinya hanya ada puing-puing dan di sebelah barat tersisa tembok tebal sepanjang enam puluh meter (aslinya 485 meter) dengan tinggi sembilan belas meter. Di atas puing-puing di bukit yang kini disebut Temple Mount itulah kemudian Khalifah Umar mendirikan kompleks Masjid Al-Aqsa yang masih ada sampai sekarang. The Dome of the Rock, bangunan persegi delapan berkubah emas yang merupakan bangunan paling menonjol di kota lama Yerusalem, juga terletak di kompleks Masjid Al-Aqsa. Demikianlah Yerusalem akhirnya membentuk diri menjadi kota suci tiga agama samawi. Umat Yahudi berdoa di sisa tembok Bait Allah buatan Herodes yang dinamakan Tembok Ratapan (the Wailing Wall). Umat Islam berdoa di kompleks Masjid Al-Aqsa, situs Islam terpenting setelah Makkah dan Madinah. Umat Kristen berziarah ke tempat-tempat yang akrab dikunjungi Yesus, juga tempat penyaliban-Nya di Bukit Golgota, sampai ke makam-Nya yang telah menjadi gereja megah. Uniknya, semua tempat suci itu terletak di kota


lama di Yerusalem Timur. Tak ada yang menduga bahwa tempat ini kelak akan menjadi sumber pertikaian antar bangsa di sepanjang zaman.

Perang Berulang Israel-Arab Sehari setelah perdana menteri pertama Israel Ben-Gurion mendeklarasikan kemerdekaan negaranya pada tahun 1948; esoknya pasukan negara-negara Arab serentak menyerbu Israel dengan kekuatan penuh. Mereka berasal dari sekeliling Israel: Mesir, Suriah, Lebanon, Yordania, dan Irak. Pasalnya, mereka tidak setuju pembagian tanah Palestina sesuai keputusan PBB dimana orang Yahudi (Israel) memperoleh 55 persen wilayah Palestina, padahal jumlah penduduknya hanya tiga puluh persen. Warga


Palestina yang jumlahnya mayoritas dinilai memperoleh bagian terlalu kecil. Sesuai keputusan PBB waktu itu, warga Palestina memperoleh Jalur Gaza dan Tepi Barat (lihat peta). Sedangkan Yerusalem dijadikan kota internasional di bawah pengawasan PBB. Perang pertama Israel-Arab di tahun 1948 itu dimenangkan oleh Israel yang malah merebut tujuh puluh persen wilayah Palestina. Perang ini menyebabkan banyak kaum Palestina mengungsi ke negara-negara Arab, namun banyak pula orang Yahudi yang terusir dari negara-negara Arab. Relasi Israel dengan para tetangga Arab sekelilingnya tak kunjung membaik selepas perang tahun 1948. Hubungan yang terus memanas akibat penutupan Selat Tiran yang strategis oleh Mesir, menyebabkan pecah perang lagi antara Israel dengan negara-negara Arab pada tahun 1967. Perang yang hanya berlangsung singkat itu kemudian dinamakan Perang Enam Hari (5–10 Juni 1967). Hasilnya, Israel kembali memenangkan pertempuran dan semakin luas merebut wilayah: Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir, Yerusalem Timur dari Yordania, Dataran Tinggi Golan dari Suriah. Di kemudian hari, daerah-daerah itu dilepaskan kembali setelah serangkaian perundingan yang diprakarsai oleh PBB dan Amerika Serikat. Masih memendam kemarahan mendalam,


negara-negara Arab—terutama Mesir— menunggu waktu yang tepat untuk menyerang Israel lagi. Dan ini terjadi pada saat orang Yahudi merayakan Yom Kippur—hari raya Yahudi terbesar—pada Oktober 1973. Koalisi negara Arab yang terdiri dari Mesir, Libya, dan Suriah, menyerbu Israel serentak dari berbagai front. Israel yang awalnya terdesak karena tak siap, lambat laun memulihkan kekuatannya dan ‘memukul balik’ para penyerang. Perang paling berdarah ini bukan hanya mengorbankan ribuan nyawa tentara Israel dan koalisi Arab, namun juga menyeret negaranegara superpower Amerika Serikat dan Uni Soviet berhadapan di medan perang. Arab Saudi pun mulai terlibat dengan melakukan embargo minyak, menyebabkan krisis energi dunia karena harga minyak bumi yang melonjak naik. Gencatan senjata akhirnya disepakati bersama setelah PBB turun tangan. Kepedihan akibat kehancuran infrastruktur dan jatuhnya ribuan korban jiwa rupanya membuat negara yang bertikai semakin berhati-hati. Tak ada lagi perang Arab-Israel sesudah tahun 1973. Sebagai gantinya, satu demi satu negara-negara Arab dan Timur Tengah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Dimulai dengan Mesir pada 1978 dengan penandatanganan perdamaian Camp David yang terkenal, kemudian Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan terakhir Maroko (2020).


Palestina Berjuang Sendiri Setelah negara-negara Arab lelah ‘mengeroyok’ Israel—yang setiap kali diserang malah menambah luas wilayahnya—maka tinggallah bangsa Palestina seperti ‘anak yatim’ yang harus berjuang sendiri. Seiring berjalannya waktu, Israel semakin maju di segala bidang kehidupan— termasuk teknologi persenjataan—sedangkan bangsa Palestina yang hidup berdesakan di Jalur Gaza dan Tepi Barat tetap saja bergumul dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Kondisi mereka semakin buruk karena pertikaian internal dalam pemerintahan, sehingga muncul fraksi-fraksi yang saling berebut kekuasan. Saat ini Jalur Gaza (the Gaza Strip) dikuasai Hamas—fraksi militan yang dicap teroris oleh Israel dan negara Barat—namun, tetap diakui PBB dan negara-negara non-Barat. Otoritas utama Palestina yang dimotori fraksi Fatah hanya berkuasa di Tepi Barat (the West Bank). Situasi menjadi lebih rumit karena Hamas disokong penuh beberapa negara Arab kaya seperti Qatar, kemudian juga oleh Suriah dan Iran, yang mengandalkan Rusia di belakang layar, sedangkan Fatah mengandalkan negara-negara Arab yang didukung Amerika Serikat. Akibatnya, yang paling menderita sebenarnya adalah rakyat Palestina. Melawan Israel yang makin kuat yang terus ‘mencaplok’ tanahtanah mereka saja sudah membuat hidup


mereka sengsara. Perlawanan mereka hanya mengandalkan lemparan batu melawan tentara Israel yang bersenjata lengkap (dikenal sebagai gerakan intifada sejak akhir 1980-an). Benarbenar seperti Daud versus Goliat, hanya saja posisinya kini terbalik: Israel di posisi Goliat. Fraksi Hamas yang militan tampaknya lebih mendapat dukungan kebanyakan rakyat Palestina ketimbang fraksi Fatah yang moderat, karena Hamas dianggap sebagai simbol perlawanan menghadapi kesewenangan pasukan Israel.

Yerusalem dan Temple Mount: Episentrum Pusaran Konflik Ketika roket Hamas menghujani ‘pinggiran’ kota-kota di Israel pada Mei lalu, sontak pasukan Israel membalasnya dengan sangat keras. Seperti sedang menerapkan hukum “mata ganti mata, gigi ganti gigi” dengan skala maksimum, pesawat tempur Israel meluluhlantakkan gedung-gedung yang disinyalir menjadi tempat berlindung tokohtokoh Hamas. Walau kematian dan kerusakan dialami kedua pihak, konflik ini tetap saja sangat tidak seimbang. BBC menulis bahwa kekuatan tempur udara, drone bersenjata, dan kemampuan intelijen Israel jauh mengungguli Hamas, sehingga mereka dengan mudah menyerang target yang diinginkan di sepanjang Jalur Gaza.


Namun, tak mungkin meluputkan sama sekali korban sipil, mengingat ada dua juta orang tinggal di Jalur Gaza yang sempit—salah satu kawasan paling padat di dunia. Ketika Mesir kemudian turun tangan mendamaikan kedua pihak yang bertikai, seluruh dunia sadar bahwa ini hanya sementara. Konflik berikutnya tinggal menunggu waktu .… Faktanya, bangsa Palestina dan Israel seperti tinggal di atas gunung berapi super aktif yang setiap saat bisa meletus. Dan episentrum pusaran konflik itu memang ada di sebuah bukit, walau bukan gunung berapi. Temple Mount, dataran luas di bukit itu, secara hukum dikelola oleh pihak Palestina karena di atasnya berdiri kompleks Masjid Al-Aqsa. Namun, area di luarnya dikuasai oleh tentara Israel yang mengawasi dan memeriksa keluar masuk orang ke Temple Mount. Tak ayal, dualisme otoritas ini seringkali menyebabkan konflik yang bisa meruncing menjadi pertikaian dan kerusuhan, terutama ketika salah satu pihak ramai berkumpul merayakan hari besar keagamaan. Tak terbayangkan apa yang akan terjadi bila kaum Yahudi radikal suatu saat menuntut pendirian kembali Bait Allah di tempat aslinya—yang diperkirakan di sekitar kompleks Masjid Al-Aqsa sekarang. Tentu bukan hanya bangsa Palestina yang meradang, tapi semua negara yang rakyatnya mayoritas beragama Islam akan turut terseret konflik.


Umat Kristen Berpihak Kemana? Saat mengunjungi Betlehem—kota kelahiran Kristus, yang terletak di Tepi Barat—kita berada di negara Palestina. Ketika menyusuri Kota Nazaret tempat Yesus bertumbuh dewasa, kita berada di negara Israel. Kala berziarah ke Yerusalem—ke tempat-tempat yang sangat akrab dengan pelayanan Yesus sampai lokasi penyaliban dan kebangkitan-Nya—kita bertemu kedua pemerintahan: Israel dan Palestina. Tentu, bukan karena itu kita harus berhubungan baik dengan kedua pihak tersebut. Sebagai murid Kristus kita mesti membawa pesan perdamaian kepada keduanya. Kita mengerti kerinduan rakyat Israel memiliki negeri yang damai, walau dikelilingi bangsa-bangsa berbeda ras dan agama. Tapi, kita juga mesti mendukung rakyat Palestina sebagai pihak yang seringkali tertindas oleh arogansi dan keserakahan otoritas Israel. Solusi dua negara dengan kedua pihak menghormati garis batas yang jelas dan menjadikan Kota Yerusalem di bawah pengawasan internasional seperti resolusi PBB adalah solusi yang banyak didukung negaranegara cinta damai, termasuk Indonesia. Inilah juga kerinduan umat Kristen: Menyaksikan Israel dan Palestina hidup berdampingan dengan damai selamanya.


Sumber: https://www.bbc.com/news/world-middle-east-20415675

1

https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Arab-Israel_1948

2

https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_Palestine

3

https://www.history.com/topics/middle-east/palestine

4

https://www.history.com/topics/middle-east/history-of-israel?li_

5

source=LI&li_medium=m2m-rcw-history https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Lama_Yerusalem

6

Harian Kompas edisi 22 Mei 2021

7


Baptis & Sidi 6 Juni 2021

Juni

2021


Peneguhan Majelis 6 Juni 2021


Seminar Pasutri “Cherishing Your Spouse” 19 Juni 2021


Sekolah Injil Liburan 2021


Ayo Berdoa Vaksinasi


Vaksinasi 5 – 9 Juli 2021


/ Erwin Tenggono

"The

True

Leadership "


Dunia saat ini masih dilanda pandemi. Dampaknya dirasakan pada semua aspek kehidupan, bahkan dalam dunia kepemimpinan. Kepemimpinan menjadi hal yang sangat penting bagi setiap institusi baik itu perusahaan ataupun gereja. Kata “pemimpin” dan “kepemimpinan” seakan adalah kata-kata yang hebat bagi diri seseorang. Keterampilan seorang pemimpin dituntut dan diuji dengan berbagai kemampuan berpikir strategis dalam mengelola institusi itu. Pada umumnya, orang akan menunggu hasil akhir yang dicapai dari kepemimpinan seseorang. Tanpa kita sadari saat ini, banyak institusi yang dikelola dan dikendalikan secara berlebihan, serta bertumpu pada figur seseorang atau sekelompok kecil orang. Padahal seseorang ataupun sekelompok kecil orang tersebut memiliki puluhan, ratusan, dan ribuan orang yang mendukungnya. Banyak organisasi gagal di kala hanya fokus pada pemimpin tanpa memikirkan siapa orangorang di balik pemimpin itu. Banyak perusahaan gagal atau jatuh karena hal ini. Mereka gagal membuat pemimpin baru


dalam hidup mereka di mana pun mereka berada. Leonard Doohan pernah berkata, “Leadership is not what one does but rather who one has become through the opportunities of interaction with others in organizational life.” Kalimat ini memberikan makna yang mendalam bahwa kepemimpinan bukanlah mengenai karya seseorang tapi bagaimana seseorang melihat peluang untuk berinteraksi dengan sesama dalam organisasi. Hasil akhir yang akan dicapai pun bukan hanya sekadar strategi, kinerja, dan keterampilan. Tetapi lebih dari itu, kebersamaan dalam satu visi yang kuat. Mari kita merefleksikan apa yang Leonard Doohan katakan: Bahwa peran kepemimpinan bukan ditentukan oleh seberapa hebat karya kita, tetapi lebih pada seberapa besar hati kita mau berempati, melihat, dan bekerja dengan orangorang dalam organisasi kita. Bukankah


kita percaya itulah panggilan iman kita— berinteraksi dan berkarya, merubah hidup orang lain. Pada akhirnya perbuatan baik kita membuat orang-orang memuliakan Bapa kita di Surga. Matius 20: 28 menjelaskan peran Kristus: Bagaimana Ia mempunyai motivasi internal yang begitu kuat dalam kepemimpinan-Nya bagi kita semua. Begitu juga Rasul Paulus dalam Filipi 2: 7 merefleksikan pengorbanan dan sukacita yang dia rayakan. Kedua ayat ini berbicara bagaimana seorang pemimpin harus mempunyai inner values, yakni: Nilai luhur dalam hati yang memotivasi kepemimpinan mereka dengan tidak berfokus pada diri mereka, tetapi pada orang lain.


Bapak-bapak, ibu-ibu, teman-teman; jikalau di tengah pandemi ini ada di antara kita yang menjalankan peran sebagai seorang pemimpin di bidang apa pun—baik dalam pelayanan, gereja, ataupun perusahaan—biarlah kita semua mengambil waktu untuk merefleksikan hal berikut: Seberapa besar waktu yang kita telah luangkan untuk memikirkan tim kita dan berkumpul bersama dengan mereka? Seberapa besar inner values yang kita miliki yang mendorong kita untuk ingin memakai semua berkat dan talenta yang Tuhan berikan, demi merubah hidup banyak orang melalui kesaksian hidup dan perbuatan kita? Pada akhirnya, seorang pemimpin harus autentik, karena kepemimpinan bukanlah mengenai apa yang kita mampu kerjakan, tetapi kembali lagi kepada siapa diri kita. Pemimpin adalah mengenai panggilan—respons kita terhadap gejolak dalam hati yang menginginkan sesuatu yang lebih baik.

Inner Values


Marilah kita semua terus menggumuli panggilan kita menjadi seorang pemimpin yang memberikan pengaruh. Seperti John Maxwell katakan, “ The true measure of leadership is influence—nothing more, nothing less .” Kiranya Tuhan Yesus memberkati semua peran kita dan kepemimpinan kita. Selamat melayani bagi para majelis terpilih dan dipercayai untuk melayani dalam periode ini.



Terima kasih telah membaca Nafiri Juli 2021 Sampai jumpa di edisi berikutnya!

#DiRumahAja


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.