Yang Meredup di Kejauhan 700 Tahun Cahaya dari Sini

Page 1


700TAHUNCAHAYA DARISINI

SOLOMONDAREEN

Yang Meredup Di Kejauhan

700 Tahun Cahaya

Meteor di Langit Stepa

Pertama-tama harus kutegaskan di sini. Aku bukanlahseorangmaniakyangtergila-gila dengan langit. Ya betul. Langit yang tak terbatas itu. Langit yang berisi ratusan, ribuan, jutaan, bahkan triliunan bola-bola panas dan dingin. Aku bukan seseorang yang mempelajari bagaimana bola-bola itu berputar dan melayang. Bukan juga orang yang menyipitkan satu matanya untuk mengukur jarak mereka yang jauh-jauh itu dengan jari jempol dan kelingking.

Bisa dikatakan, aku adalah orang yang tidak

peduli dengan langit. Bahkan saat orang-orang berkerumun untuk melihat penampilan gerhana

yang dilakukan antara Bulan dengan Matahari, aku hanya fokus pada diriku sendiri.

Tanpa memperdulikan tengkuk mereka yang mendongak itu, aku hanya berfokus pada jejak kakiku sendiri. Jangan sampai ada satu orang pun di

dunia ini yang berani menghapus dan mengikuti atau bahkan membalap jejak kakiku itu.

Mempelajari langit adalah hal yang sia-sia bagiku. Untuk apa kau menjelajahi suatu hal yang sangat mustahil untuk dijelajah? Untuk apa kau

menyempitkan luasnya langit yang hitam pekat kedalam ruang huruf di atas kertas putih? Langit akan selalu menjadi rahasia. Dan yang sudah kita pelajari selama ini hanyalah sekedar hipotesis belaka.

“Bila mereka berpikir bola-bola itu adalah

sebuah hal yang menakjubkan. Akan kubuat diriku

seperti meteor panas yang akan menghanguskan

ketakjubkan mereka itu. Akan kubuat mereka

semua tertunduk dan menganggap diriku sebagai ancaman yang tidak dapat diprediksi”

“Aku bergerak tidak sesuai orbit. Aku berbeda”

Namun, itu dulu. Itu yang kukatakan dengan

sangat ambisius kepada salah satu temanku di SMA, 6 tahun lalu.

Qaanitah, temanku saat kelas 2 SMA. Seorang

gadis lugu nan manis, yang rambut sepundaknya

jatuh lurus menggaris. Kepala dan kedua pipinya

bulat seperti tomat. Pipi kanannya berlesung, dan gigi taring kirinya bergingsul.

Aku tahu karena lesung pipi dan gingsul gigi itu

selalu terlihat ketika ia tersenyum dan membuka mulutnya. Saat ia sedang menjawab pertanyaan soal

dari guru maupun mengobrol santai bersama teman-temannya.

Alisnya lebat dan matanya sangat kecil. Namun tidak sipit. Aku tidak terlalu yakin dengan ukuran matanya itu. Karena aku tidak pernah melihat ia melepas kacamatanya. Lensa kacamatanya sangat tebal. Terlihat jelas pada ilusi patahan garis luar matanya. Seperti ilusi pensil yang dicelupkan ke dalam gelas berisi air. Ilusi yang sama-sama untuk mengukur kedalaman suatu makna.

Saat bertatapan langsung dengannya, mata itu selalu terlihat malu dan ragu untuk mengeluarkan binarnya. Tidak seperti alisnya yang selalu memberi intimidasi kepada lawan bertatapnya.

Di bawah daun bibir tipisnya yang pucat,

terdapat garis merah sepanjang jari kelingking bayi berumur 1 bulan. Itu tanda lahirnya. Aku yakin saat

kau melihat dia untuk pertama kalinya, kau pasti berpikir dia memiliki 3 daun bibir.

Aneh bukan? Tidak ada satupun keserasian

antara nama dengan parasnya. Namanya seperti

nama perempuan yang berasal dari Semenanjung

Arabia, sedangkan paras serta penampilannya menggambarkan seorang perempuan penggembala

dari Stepa Mongol-Manchuria. Ia seperti seorang perempuan antah berantah yang diutus untuk menengahi kecamuk dahsyatnya peperangan Islam-Mongol.

Aku tidak terlalu akrab dengannya. Bagiku, ia

hanya 1 dari 39 murid yang kurang beruntung saja karena bertemu denganku dan kawan-kawanku di satu kelas yang gelap dan berisik.

Jarang sekali terjadi interaksi antara diriku

dengan dia. Mungkin hanya beberapa kali saja dalam 1 tahun pembelajaran di kelas yang sama.

Yang paling dan akan terus kuingat adalah pembicaraan tentang Betelgeuse di konstelasi

Orion.

Apa itu? Aku juga tidak tahu. Pembicaraan

dengan bahasan seperti apa itu? Aku tidak tahu.

Siapa pula anak SMA yang memiliki topik bahasan seperti itu? Siapa lagi kalau bukan dia.

2 Selepas Fisika

Jam istirahat pertama, selepas pelajaran fisika.

Di lorong belakang, di depan kelasku.

“Apakah kau ingin pergi ke konstelasi Orion?”

Ucapnya kepada teman-temannya.

Ucapan tersebut tak sengaja terdengar olehku.

Mengapa aku mendengar itu? Dengan suara yang pelan itu, harusnya ucapan itu hanya tersampaikan kepada teman-temannya.

“Aku sudah pernah pergi ke sana” Jawabku tanpa aba-aba apapun. Tanpa menerima ajakan untuk bergabung ke dalam perbincangan.

Mereka semua menatapku dengan alis yang

mengernyit. Kecuali Qaanitah. Dia sama sekali tidak mengernyitkan alisnya yang lebat itu. Meskipun

begitu, aku tetap saja terintimidasi oleh alisnya.

“Ada apa saja di sana? Apakah kau menemukan

Betelgeuse dan jalan menuju ke sana?” Tanya Qaanitah.

“Tidak. Tidak ada apa-apa di sana”

“Hanya ada beberapa pohon anggur hitam saja.

Namun pohon itu tidak berbuah anggur hitam, melainkan kepompong yang bercabang dua. Lalu

yang keluar dari kepompong-kepompong itu adalah cairan nanah”.

Aku tak bermaksud untuk menganggap remeh pertanyaannya. Namun pertanyaannya sendiri seperti menganggap remeh orang yang ditanya.

Lagipula apa itu ‘Betelgeuse’? Mendengar

namanya saja sudah membuatku terkonyol-konyol.

Seperti nama obat batuk.

“Apakah kau tahu Betelgeuse?”

Respon yang tidak kuharapkan. Ia tidak terlihat

marah dan kesal, justru menanyakan lagi tentang

Betelgeuse kepadaku.

“Tidak. Aku tidak tahu itu. Yang kutahu hanya

The Beatles” Jawabku.

Sesaat dia ingin melanjutkan pembicaraannya

tentang Betelgeuse. Aku diteriaki oleh kawanku.

Menyuruhku untuk cepat-cepat mengikutinya ke

kantin agar tidak kehabisan nasi uduk si Babeh yang

selalu menjadi andalan.

Tidak ada lagi interaksi yang terjadi antara aku

dan dia setelah perbincangan Betelgeuse yang

sangat singkat itu.

Kami menjalani hari-hari biasa sebagai murid

SMA yang biasa. Seperti bola-bola tata surya yang

mengorbit Matahari dengan ritme dan tempo

rotasinya masing-masing, kami sekadar 2 murid biasa yang mengorbit sekolah tempat kami bertemu. Matahari yang menjadi pusat orbit

kehidupan tata surya sama halnya dengan sekolah kami yang menjadi pusat orbit keberadaan kami berdua. Hingga pada akhirnya kami berdua bertemu lagi di pelajaran fisika. Kelas kami diminta untuk

membuat kelompok berjumlah 4 orang. Kelompok dibuat dengan cara mempersatukan 4 orang sesuai dengan urutan absen.

Yang

3 Damai dan Jarak yang Tidak Ada

Kelompokku diisi dengan 2 orang yang

namanya berawalan huruf ‘P’, Qaanitah yang merupakan satu-satunya murid di sekolah dengan awalan huruf ‘Q’, dan diriku yang menjadi urutan

pertama murid dengan huruf ‘R’ di kelas.

Materi yang dijadikan tugas kelompok adalah materi tentang objek luar angkasa. Masing-masing kelompok dibebaskan untuk memilih objek dan membuat pembahasan berupa ringkasan singkat dari objek tersebut.

Aku dan kedua teman kelompokku -yang

namanya berawalan huruf ‘P’ (Pi dan Pu) sama

sekali tidak tahu apa-apa tentang keberadaan objek di luar sana selain bola-bola puyeng di tata surya. Pi mengusulkan untuk membahas tentang keberadaan Alien dan kedatangannya yang membawa pesan damai.

Kami -Qaanitah, Aku, dan Pu bertiga terdiam sebentar. Sambil memikirkan usulannya tadi di dalam kepalaku. Terlihat Pu yang cengengesan seperti menertawai usulan dari Pi tersebut.

“Alien itu tidak ada dan tidak akan pernah ada. Lagipula meskipun mereka benar-benar ada dan datang ke Bumi ini dengan membawa pesan damai. Manusia Bumi tidak akan menerima pesan damai itu dengan begitu saja”

“Manusia justru akan menindas mereka dan menjadikan mereka sebagai budak hina” Jawabku dengan serius memperhitungkan kemungkinan terburuk yang sekaligus menjadi kemungkinan termungkin yang akan terjadi.

“Seperti aku dan kawan-kawanku yang datang ke sekolah ini dengan damai, lalu dijadikan samsak oleh para senior. Senior-senior bangsat” Ucapku dalam hati.

“Bisa jadi” Saut Pu yang masih cengengesan.

“Bagaimana kalau Betelgeuse?” Usul Qaanitah.

“Bitel apa? Bitesljus? Gambar yang seperti di tas itu? Mereka bukannya grup musik?” Tanya Pi sambil menunjuk ke arah tas ku.

“Bukan, bukan mereka. Mereka The Beatles.

Betelgeuse. Bintang merah di konstelasi Orion” Jawab Qaanitah.

“Betelgeuse yang waktu itu kau bicarakan

kepadaku?” Tanyaku.

“Memangnya aku pernah membicarakan itu kepadamu?” Tanya balik Qaanitah.

Aku tidak percaya dia bisa melupakan itu.

“Apa itu Betelgeuse?” Tanya Pu.

“Betelgeuse, bintang raksasa yang berada di konstelasi Orion. Bintang itu menjadi salah satu di

antara 10 bintang paling terang di malam hari yang dapat dilihat dari Bumi, dari sini” Jelas Qaanitah.

“Bintang itu menjadi satu-satunya bintang yang berwarna merah di antara bintang biru lainnya yang

berada di konstelasi Orion. Meskipun berada di kejauhan hampir 700 tahun cahaya dari sini. Saat bintang itu menampakkan dirinya di langit malam yang luas, kita dapat melihat sinarnya dengan mata telanjang”

“Dengan pengecualian warna merahnya di antara bintang biru di konstelasi Orion. Kita dapat langsung menemukan bintang itu “ Ucap Qaanitah.

“Hmmmm, menarik” Balas Pi.

“Tapi, dengan jarak yang sangat jauh itu, apakah benar kita dapat melihat sinarnya dengan mata telanjang. Kurasa itu semua hanya sekadar dugaan dan perasaan yang dibuat-buat .” Sekadar mengetes, aku bertanya kepada Qaanitah.

“Sudah banyak penelitian dan bukti yang dilakukan oleh para ahli dan astronom. Bahkan itu dilakukan dari zaman dulu sampai sekarang”.

“Apabila benar jika datangnya sinar Betelgeuse ke Bumi hanya sekadar dugaan dan perasaan dari keberadaan jaraknya yang jauh, bagiku itu lebih bagus dan tidak apa-apa. Setidaknya perasaanku sampai ke Betelgeuse”

“Seperti kata Mas Joko Pinurbo, penyair

favoritku, bahwa Jarak itu sebenarnya tidak ada, pertemuan dan perpisahan dilahirkan dari perasaan” Jelas Qaanitah menjawab pertanyaan isengku. Kami berempat -Aku, Qaanitah, Pi dan Pu akhirnya setuju untuk menjadikan Betelgeuse sebagai objek bahasan dari tugas kelompok kami.

4 Maniak Langit

Setelah proses 1 minggu pengerjaan dan pengumpulan tugas kami yang membahas tentang

Betelgeuse itu. Selain mendapatkan nilai yang pas-

pasan dari guru fisika kami yang ternyata pelit nilai, aku mendapatkan satu hal baru yang tidak pernah

kusangka-sangka tentang apa hal itu dan dari siapa hal itu kudapatkan.

Mengerjakan tugas bersama Qaanitah dalam

satu kelompok bagiku sangat menyenangkan. Ia selalu berbicara dengan rapi dan menjelaskan sesuatu secara detail. Saat pengerjaan tugas tentang

Betelgeuse, Ia menjelaskan segala hal tentang

Betelgeuse. Yang Meredup Di Kejauhan 700 Tahun Cahaya Dari Sini

Mulai dari orang pertama yang menemukan

Betelgeuse di langit malam yang luas, posisi

Betelgeuse yang secara kebetulan dijauhkan dari

Rigel -bintang paling besar di Orion agar tidak

menghimpit bintang-bintang lainnya, arti dari kata

Betelgeuse yang merupakan anatomi dari tubuh

Orion, ukurannya yang berkali-kali lipat lebih besar dari Matahari.

Bahkan sampai kepada dugaan-dugaan liar

seperti bagaimana jika teori relativitas tentang

keberadaan ruang-waktu dilakukan oleh manusia

untuk menuju ke Betelgeuse, bagaimana jika

Betelgeuse menjadi pusat tata surya menggantikan

Matahari, planet apa saja di tata surya ini yang akan

musnah akibat ukurannya yang sangat besar, dan

bagaimana jika sinarnya yang terang tiba-tiba meredup lalu menjadi sebuah ledakan supernova yang akan menimbulkan lubang hitam di konstelasi

Orion dan lubang hitam baru di langit semesta.

Kami bertiga hanya terdiam dan mengangguk

saja. Qaanitah terlihat seperti seorang astrolog.

Tidak, ia terlihat seperti seorang maniak langit.

Atau mungkin jangan-jangan dia adalah Alien?

Kami tidak tahu.

Yang jelas, dari semua penjelasannya tentang

Betelgeuse, memberi kesan bahwa ia sudah pernah

pergi ke sana. Pergi mengarungi jarak sejauh 700 tahun cahaya dari sini. Dari Bumi. Pergi dengan

berpegangan pada teori relativitas Einstein.

Tugas telah terselesaikan dan terkumpulkan.

Nilai pun sudah tertuliskan di buku nilai kelas guru

fisika kami. Dan yang mendapatkan nilai terbesar yaitu kelompok yang membahas tentang Alien.

Ternyata guru fisika itu cukup aneh. Mungkin

dia terlalu sering menonton film fiksi ilmiah tentang

alien. Aku yakin film favoritnya adalah Men In

Black. Sangat subjektif sekali.

Aku dan Qaanitah sekali lagi menjalani

kehidupan murid SMA biasa di sekolah yang sudah

tidak bisa dibilang biasa. Ternyata sekolah ini cukup buruk.

Rotasi kami berdua berputar sesuai dengan

kecepatan dan percepatannya masing-masing.

Mengorbit sekolah yang menjadi pusat orbit kami berdua. Hanya ada 1 tahun lagi sebelum kami

berhenti mengorbit sekolah kami.

Apakah kami akan bertemu secara papasan lagi bagaikan Matahari yang menggerhanakan Bulan?

Apakah kemungkinan fenomena seperti itu terjadi

lagi setelah revolusi orbit kami tahun ini selesai?

Sial! sekarang aku terdengar seperti seorang maniak langit.

Yang Meredup Di Kejauhan 700 Tahun Cahaya Dari Sini

5 Orbit Terakhir

Tahun pembelajaran telah berganti. Revolusi

terjadi di sistem tata surya. Aku hanya memiliki sisa

waktu orbit 1 kali revolusi lagi, sebelum lenyap dan menjauh seperti Pluto kecil. Menjauh dari pusat

orbit, mendingin, membeku lalu menyublim di hamparan langit luas nan hitam pekat. Mencari bintang terdekat pun perlu waktu ratusan sampai

jutaan tahun cahaya.

Benar saja. Aku dan Qaanitah tidak berada di satu kelas yang sama lagi. Ia masuk ke kelas unggulan. Sementara aku masih di kelas yang sama. Kelas yang gelap dan berisik.

Minggu awal pembelajaran berjalan dengan biasa, Betelgeuse perlahan mulai meredup dari ingatanku. Qaanitah tidak pernah terlihat di lorong

sekolah saat jam istirahat pertama maupun kedua. Mungkin ia sedang belajar untuk mempersiapkan ujian kelulusan.

Kau mau tahu satu hal yang menarik? Ya.

Seniorku tetap menjadi anjing. Sudah lulus masih

saja bangsat. Dengan mengutus salah satu dari kawan kami, mereka masih saja memalak uang

kami demi satu plastik arak yang rasanya seperti air kencing monyet.

Saat diriku dan kawanku sedang kabur dari

kejaran seorang utusan senior kami yang sudah lulus itu. Dari kejauhan terlihat Qaanitah dengan penampilan yang berbeda. Sambil memegang susu kotak kemasan, terlihat sehelai kain rapi menutupi

rambutnya yang lurus sepundak. Sehelai kain yang menjanjikan surga.

Saat berpapasan dengannya, tercium harum dari sosoknya. Mungkin itu dari semprotan minyak parfum. Wajahnya terlihat lebih menyala, itu terlihat di kedua daun bibirnya. Bibirnya tidak terlihat pucat seperti sebelumnya. Namun tanda lahir di bawah bibirnya masih terlihat pucat. Alis dan kedua matanya masih sama. Alisnya yang lebat masih menjadi pelindung untuk matanya yang kecil dan malu-malu.

Perbedaan yang sangat signifakan terlihat pada pipinya. Bukan perihal lesung di pipi kanannya.

Namun terlihat 2 lingkaran rona kemerahan di pipinya yang bulat itu. Merahnya sangat terang.

Setidaknya menurutku.

Aku tidak terlalu yakin, apakah rona-rona

kemerahan yang menyala itu disebabkan oleh

refleksi dari sinar matahari yang sedang membujur,

atau memang karena ia yang sedang berusaha untuk menegur.

Waktu istirahat telah selesai. Kami berdua -Aku

dan kawanku berhasil kabur dari kejaran utusan

senior kami yang haus arak itu. Saat sampai di kelas, aku bertanya kepada kawanku untuk memastikan 2 lingkaran rona merah yang ada di pipi Qaanitah.

“Apakah kau melihat pipi Qaanitah tadi?”

“Pipi? Qaanitah? Tidak. Aku tidak melihatnya.

Ada apa memangnya? Lagipula siapa Qaanitah?”

Balas kawanku.

“Tidak. tidak ada apa-apa di sana” Jawabku

“Qaanitah,

anak kelas unggulan angkatan kita”

Lanjutku.

“Oooh. Aku tidak tahu yang mana orangnya.

Tapi namanya terdengar bagus” Jelas kawanku.

Pelajaran fisika pun dimulai. Sekali lagi, aku bertemu dengan guru fisika yang pelit nilai dan maniak film fiksi ilmiah itu.

Sial!

Yang Meredup Di Kejauhan 700 Tahun Cahaya Dari Sini

6 Qaanitah

Tahun pembelajaran berjalan dengan biasa.

Tidak terjadi apa-apa yang membuat diriku dan kawan-kawanku merasa bangga bersekolah di

sekolah yang buruk ini. Siklus rotasi orbit masih

tetap sama, pergi, belajar, istirahat, dipalak senior yang sudah lulus, lalu pulang.

Sampai pada mendekati akhir pembelajaran

kami semua di sekolah itu, terjadi gelombang virus menular yang menyebar dengan sangat cepat.

Sangat cepat memasuki wilayah-wilayah di seluruh dunia. Virus yang menyebar dengan kontak fisik antara manusia, menyebar melalui tetesan air

bahkan hembusan nafas dan suara. Virus yang

sangat cepat menyebar, menular dan meniadakan

manusia Bumi, membuat pemerintah dunia

bersama organisasi kesehatannya menetapkan situasi tersebut sebagai situasi pandemi. Melebihi epidemi.

Tinggal beberapa bulan lagi menuju perayaan

kelulusan kami dari sekolah yang buruk itu.

Mengapa itu bisa terjadi? Apakah itu ulah dari

Alien? Tidak mungkin juga.

Lagipula organisasi kesehatan dunia sudah

membeberkan banyak data dan kuota mengenai

kemunculan virus tersebut serta kematian manusia

Bumi. Bagaimana virus tersebut menginfeksi jaringan tubuh manusia. Bagaimana virus tersebut

mengalir di aliran sel darah manusia hingga

menyerang sampai kepada sistem pernafasan manusia.

Mayoritas korban meninggal dunia adalah

mereka yang paru-parunya terinfeksi sehingga menyebabkan kondisi sulit bernafas, bahkan

sampai membangkitkan Pneumonia.

Peringatan menjadi salah satu senjata utama.

Berdiam diri di dalam rumah adalah salah satu bentuk pencegahan paling efektif. Inisiasi manusia adalah tindakan yang paling diandalkan.

Untuk menekan penyebaran virus tersebut, sekolah akhirnya diliburkan dan kantor sementara

dialih tempatkan. Berbagai macam sisa memori berupa pertemuan dan perpisahan mau tidak mau harus ditahan sampai pada tahap mengikhlaskan.

Menunggu hadirnya satu kabar bahagia di tengah-tengah kabar berduka bagaikan menunggu munculnya cahaya harapan di dalam gua lembab penuh lipan.

Sudah hampir 1 tahun setengah, situasi

pandemi masih berlangsung. Sudah hampir

memasuki 1 tahun, Qaanitah mengabadi bersama

rona merah pipinya. Ia telah meninggalkan dunia.

Menjadi salah satu korban pandemi.

Paru-parunya yang terinfeksi membangkitkan

penyakit pernapasan bawaan-nya dari lahir. Dia tidak bisa melawan sesak itu.

Aku mendapatkan kabar tersebut, tidak, bukan hanya Aku. Kami -semua murid seangkatan

mendapatkan kabar tersebut. Temannya mengirim kabar duka tersebut berupa pesan singkat melalui grup percakapan murid angkatan kami.

Ia menjelaskan bahwa Qaanitah memang

memiliki penyakit paru-paru bawaan dari lahir.

Pada awal tahun terakhir pembelajaran kami,

Qaanitah sudah sering tidak masuk sekolah untuk

pergi konsultasi ke dokter.

Dengan situasi pandemi, pemakaman Qaanitah

hanya dihadiri keluarganya saja. Tidak ada satupun

temannya yang bisa ikut mengantar dia menuju

tempat peristirahatan terakhirnya. Yang bisa

dilakukan oleh kami semua hanya mendoakan kepergiannya dan mengikhlaskannya.

Yang Meredup Di Kejauhan 700 Tahun Cahaya Dari Sini

7 Yang Meredup di Kejauhan 700 Tahun Cahaya dari Sini

Kini diriku adalah seorang mahasiswa jurusan

Jurnalistik. Sama seperti di sekolah, orang-orang di kampusku sangat buruk. Kawan seangkatan yang saling tindas, dosen yang berbicara dengan terbatabata, bahkan sampai senior yang mulutnya sangat bau. Kurasa mereka sarapan dengan bangkai tikus yang dicelupkan ke gelas arak sisa kemarin malam.

Aku menjalani kehidupan seperti biasa lagi.

Berangkat kuliah, menghadiri kelas perkuliahan,

lalu pulang. Kalau ada waktu luang kugunakan

untuk mempelajari hal baru bersama kawan kelasku. Bermain musik, bermain papan seluncur beroda, bahkan sampai berdiskusi tentang langit luas.

Dosen salah satu mata kuliahku memberi tugas

untuk menulis berita atau meliput berita dari berita

yang sudah ada. Itu seperti menulis ulang berita

namun dengan versi diri sendiri. Tema untuk tugas

berita dibebaskan. Namun lebih baik berita yang

minim mengandung unsur SARA.

Kawan-kawan kelasku mengambil berita yang bervariasi. Fenomena musik, peluncuran film horor

yang jelek, kemiskinan struktural, perundungan di sekolah negeri, praktik aborsi ilegal di ibukota hingga pembunuhan yang terjadi di pinggir jalan.

Ternyata banyak juga berita lain yang beredar di

internet selain tentang pandemi, proses pembuatan vaksin, dan bobroknya pemerintah dalam menekan jumlah korban pandemi.

Saat aku sedang mencari berita di Internet, tibatiba ada satu berita yang membahas tentang Betelgeuse lewat di layar handphone-ku.

Aneh sekali. Aku tidak pernah mencari berita tentang Betelgeuse di Internet. Bahkan bisa dibilang Aku sudah mulai lupa tentang sosok

Betelgeuse itu semenjak lulus SMA. Semenjak kepergian Qaanitah.

Judul berita tersebut seperti ini;

Betelgeuse: Bintang Megaraksasa yang

Cahayanya Meredup dan Berpotensi Menjadi Supernova

“Judul berita apa itu? Sangat tidak menarik.

Akan kutulis ulang berita tentang Betelgeuse itu” Ucapku dalam hati.

Aku langsung memutuskan untuk mengambil berita tersebut dan menjadikannya sebuah berita yang baru dengan judul;

Betelgeuse: Kau Yang Meredup di Kejauhan

700TahunCahayadariSini

Setelah seminggu pengerjaan, tugaku telah terselesaikan. Pengumpulan pun sudah kulakukan juga. Dan nilai sudah dibeberkan oleh dosenku.

Yang menarik adalah, tugas yang mendapatkan nilai tertinggi yaitu tugas yang mengangkat berita tentang Alien.

Ini bukan soal nilainya, Aku sudah tidak peduli terhadap perlombaan nilai semacam itu. Itu seperti anak sekolah. Namun, apakah tidak ada berita lain

selain Alien yang bisa mendapatkan nilai tertinggi?

Dosen Ini mengingatkanku terhadap guru fisika

ku dulu. Si maniak fiksi ilmiah.

Yang Meredup Di Kejauhan 700 Tahun Cahaya Dari Sini

8 Tunggu Aku di Orion

Betelgeuse. Bintang megaraksasa itu akhirnya mulai meredup. Benar seperti dugaan liar Qaanitah saat kelas 2 SMA.

Para peneliti langit menilai bahwa redupan itu

adalah redupan yang akan menyebabkan fenomena supernova. Khususnya di kontelasi Orion. Ledakan

dari fenomena supernova yang terjadi pada

Betelgeuse tersebut akan menimbulkan 1 lubang hitam baru di konstelasi Orion dan membuat

Betelgeuse hilang dari konstelasi.

“Hei,

Qaanitah. Apakah kau tau fakta itu juga?” Ucapku

Bagiku, Betelgeuse sudah lama menghilang dari

konstelasi Orion sana. Ia menghilang, namun tidak dengan fenomena supernova-nya. Melainkan

membelah dirinya menjadi dua. Membelah diri lalu berpindah ke atas pipi Qaanitah yang putih itu.

Membelah sinar merahnya menjadi rona merah di pipi Qaanitah.

Tidak pernah terjadi fenomena semacam

supernova di konstelasi Orion sana. Supernova justru berlangsung di dalam hatiku, dan itu terjadi

persis sesaat kami berdua berpapasan di waktu jam istirahat sekolah pada 2 tahun lalu.

Sampai akhirnya aku menyadari bahwa ledakan supernova itu menimbulkan lubang hitam yang

keberadaannya jauh di dalam hatiku, selama hampir 2 tahun lebih.

“Hei, Qaanitah apakah menyenangkan bersinar

seperti Betelgeuse di konstelasi Orion sana? Perlu menghabiskan berapa waktu untuk sampai ke sana?

Apa saja yang harus kubawa untuk bekal di perjalanan? Apakah cukup hanya dengan membawa

1 kotak rokok Camel Purple? Kurasa cukup.

Lagipula jika kau benar berada di sana, Orion tidak akan terasa jauh bagiku”

Seperti tulisan dari penyair favoritmu, Mas

Joko Pinurbo.

“Jarak itu sebenarnya tidak pernah ada.

Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan”

Aku ingin pergi menemuimu ke konstelasi

Orion.

Hand-PrintedbyHamburgerfold

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.