Polemik Tahapan & Jadwal Pilkada Aceh

Page 1

PRODUK

A N A L5I S I S S I T UAS I JARINGAN SURVEY INISIATIF Januari - Februari 2020

POLEMIK TAHAPAN & JADWAL

PILKADA ACEH Copyright Jaringan Survey Inisiatif 2020 Hak Cipta Dilindungi Undang Undang


DAFTAR ISI WRITERS ARYOS NIVADA DESAIN LAYOUT PONDEK

PENDAHULUAN

3

pilkada asimetris

4

klasifikasi kekhususan aceh

6

pilkada bukan kekhususan aceh bacaan aspek politis

10

rJARINGAN SURVEY INISIATIF

Jln. Tgk. Di Haji, Lr. Ujong Blang, Np. 36, Gp. Lamdingin, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, INDONESIA Telp. (0651) 6303 146 Web: www.jsithopi.org Email: js.inisiatif@gmail.com

16


JSI

ANALISIS SITUASI • Januari - Februari 2020

PENDAHULUAN Aceh selalu jadi magnet of political sorotan publik terkait dinamika politik lokalnya. Baru-baru ini terjadi polemik perihal kepastian jadwal pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dua arah mata angin saling membuat justifikasi keinginan, dimana terbagi ke kubu satu mengatakan tetap pada tahun 2022 pelaksaaan Pilkada sedangkan kubu satu lagi mengatakan berlangsung Pilkada pada 2024 Jika kita telusuri dasar hukumnya, khususnya tentang pelaksanaan kepemiluan telah diatur dalam Undang-Undang 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU Pilkada). Disatu sisi pasal 65 Ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa Pilkada Aceh dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

Namun Disisi lain UU Pilkada menghendaki agar Pilkada di tingkat provinsi dan tingkat kabupten/kota seluruh Indonesia dilaksanakan serentak pada bulan november 2024. Tentunya memunculkan tanda tanya, legalitas pelaksanaan Pilkada Aceh? Apakah akan dilangsungkan tahun 2022 atau 2024? Disinilah akan menganalisis tuntas dengan pendekatan pemikiran rasional berdasarkan logika hukum kepemiluan dan politiknya.

www.jsithopi.org

3


JSI

4

ANALISIS SITUASI • Tahun 2020

Pilkada Asimetris di Indonesia Ketika kita memahami makna dari Pilkada asimetris, sebelum masuk ke subtansi pengertian. Paling mendasar makna arti asimetris yaitu ketidakberaturan, berbeda bentuk, dll. Jika dikonstruksikan dalam pemikiran Pilkaa asimetris adalah sebuah sistem dimana dimungkinkan adanya ruang perbedaan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah pada tiap tiap wilayah. Perbedaan tersebut muncul karena pertimbangan terdapat daerah yang memiliki karakteristik kekhususan atau keistimewaan tertentu baik dalam aspek administrasi, budaya ataupun aspek strategis lainnya. Pilkada Asimetris sendiri merupakan bagian dari konsep Desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization) atau juga dikenal dengan istilah otonomi asimetris (asymmetric outonomy). Filosofi desentralisasi asimetris muncul karena dalam praktik terdapat ragam perbedaan demografi, sosial dan ekonomi daerah daerah tertentu sehingga hal ini menyebabkan kebijakan politik atau desentralisasi yang “satu ukuran untuk semua” (one size fits all) terasa sulit untuk dilakukan. Dengan demikian dalam kerangka mengomodir kebutuhan setiap daerah yang berbeda satu dengan lain, diperlukan kebijakan yang memperlakukan unit yang berbeda (kondisinya) secara berbeda pula demi mencapai tujuan bersama. 1 Sistem asimetris sendiri menurut Tarlton,

memang lebih condong kepada konsep negara federal. dalam sistem negara federal terdapat unit politik yang memiliki perbedaan perhatian, karakter, yang eksis serta meliputi komunitas secara keseluruhan. 2 Mencermati pelaksanaan Pilkada bersifat asimetris tidak hanya berlaku hanya di Aceh saja, namun sejumlah provinsi lain menerapkan Pilkada serentak, seperti Provinsi DKI Jakarta yang hanya memilih gubernurnya saja sedangkan walikotanya ditunjuk, Daerah Istimewa Yogyakarta gubernurnya tidak dilangsungkan pemilihan cukup hanya dilevel kabupaten/kotanya. Ketiga provinsi tersebut merupakan khususan yang melekat secara langsung karena suatu kesepakatan perjanjian ataupun ketentuan yang diputuskan secara politik bersama. Selain itu syarat keterpilihan adalah mayoritas mutlak (50%+1). Bila tidak ada calon terpilih yang meraih suara mayoritas mutlak maka dilaksanakan pemilihan putaran kedua dengan dua pasangan calon. Belum lagi dihadapi pada pemilihan kepala daerah di Papua, dimana untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur harus bersyaratkan asli orang Papua (OAP) yang pengajuan pencalonaannya diajukan oleh DPRD Papua dengan persetujuan MRP (Majelis Rakyat Papua). Keunikan sistem pelaksanaan Pilkada di Papua menerapkan “sistem noken”. Apa itu “noken” mekanisme dalam pemungutan suara berdasarkan ak-

1 Desentralisasi terjadi manakala kewenangan menata dan mengelola penyelenggaraan pemerintahan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat (central government), melainkan berbagi peran dengan satuansatuan pemerintahan tingkat lebih rendah yang mandiri (zelfstanding) bersifat otonom (teritorial maupun fungsional). Desentralisasi bukan sekedar pemberian wewenang (spreiding van bevoegdheid) tetapi mengandung juga pembagian kekuasaan (scheiding van machten) un-

tuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan negara antara pemerintahan pusat dan satuansatuan pemerintahan tingkat lebih rendah. Lihat : Jennie Litvack, Junaid Ahmad, Richard Bird, “Rethinking Decentralization in Developing Countries”, The World Bank Sector Studies Series, September 1998. Hlm. 23 2 Charles D. Tarlton, “Symmetry and Assymetry as Element of Federalism: A Theoretical Speculation”, the Journal of Politics, Vol. 27 (1965): 869 FOTO : MERCYNEWS

www.jsithopi.org


ANALISIS SITUASI • Januari - Februari 2020

lamasi atau kesekapatan warga dengan mekansime diatur oleh kepala suku. Praktek lainnya dilakukan oleh Aceh ketika memilih kepala daerahnya. Lain lagi praktek politik lokal di Aceh, dimana provinsi ini merupakan satu-satunya wilayah yang diizinkan hadirnya keberadaan jalur perorangan diterapkan pada Pilkada serta partai lokal untuk berkontestasi dalam Pemilu. Pembeda perlakuan politik lokal di Aceh, bahwa rezim Pilkada tidak dimasukan di dalam satu paket di Pemilu, dikarenakan khusus bagi Aceh pengelolaan dan pelaksanaan Pilkada memiliki otonom tersendiri dimulai Pilkada pasca konflik tahun 2006, 2012, dan 2017. Namun ketika inisiasi dari pemerintah pusat untuk membuat penyeragaman “serentak� pelaksanaan Pilkada menjadi perdebatan serius di publik Aceh, disinilah menarik untuk di analisis arah pelaksanaan Pilkada di Aceh apakah di tahun 2022 atau 2024. Hal lain yang membedakan Aceh dengan provinsi

JSI

lainnya sehubungan adanya uji mampu membaca Al-Quran (bagi muslim) sebagai bagian dari persyaratan pencalonan bagi kandidat untuk maju dalam pemilu atau Pilkada. Jaminan pelaksanaan pilkada asimetris diatur dalam konstitiusi Indonesia, yaitu Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Melalui pasal ini dapat ditafsirkan secara terang bagwa negara mengakui adanya wilayah yang menjadi bagian dari Indonesia yang bersifat khusus atau istimewa. Dalam praktiknya, regulasi pengaturan kekhususan ini sendiri selanjutnya diatur dalam Undang Undang tersendiri yang khusus mengatur tentang kekhususan wilayah khusus tersebut.

www.jsithopi.org

5


JSI

6

ANALISIS SITUASI • Tahun 2020

Klasifikasi kekhususan & Keistimewaan Aceh dalam UUPA

Ditinjau secara gramatikal merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (https://kbbi.web.id) kata “khusus” di definisikan istimewa; tidak umum. Dari arti kata khusus, maka kita dapat suatu hal yang bersifat khas, memiliki keistimewaan tertentu dan tidak umum/lazim. Lantas apa yang dimaksud dengan Kekhususan jika dikorelasikan dalam konteks kewilayahan Indonesia? Daerah khusus adalah pengakuan negara terhadap adanya daerah bersifat khusus dan istimewa dalam hal tertentu karena faktor historis, kultural maupun aspek lainnya. Satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus ini melalui Undang undang ditetapkan kemudian menjadi daerah yang diberikan otonomi khusus. 3 Salah satu yang diberikan status kekhususan dan keistimewaan itu adalah provinsi Aceh. Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang

Gubernur. Regulasi pengaturan kekhususan Aceh diatur yang masih berlaku diatur oleh dua Undang undang. Pertama, peraturan perundangan undangan yang mengatur tentang keistimewaan Aceh yaitu Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Kedua, peraturan perundang undangan yang mengatur tentang penyelenggaraan dan tata kelola pemerintahan Aceh yaitu Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (selanjutnya disebut UUPA). 4 Pada pasal 3 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh menyebutkan : 1. Keistimewaan merupakan pengakuan bangsa lndonesia yang diberikan kepada daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan spiritual. moral, dan kemanusiaan; 2. Penyelenggaraan Keistimewaan meliputi: • penyelenggaraan kehidupan beragama; • penyelenggaraan kehidupan adat;

3 Lihat Bab I Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

4 Lihat Bab I Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

www.jsithopi.org


ANALISIS SITUASI • Januari - Februari 2020

• penyelenggaraan pendidikan; dan • peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah; Berdasarkan pasal diatas, maka dapat disimpulkan bahwa keistimewaan atau yang membedakan Aceh dengan daerah lain adalah 4 hal diatas. Penyelenggaraan kehidupan beragama di Aceh diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat. Dengan demikian Aceh dapat menerapkan aturan aturan yang bersumber dari hukum Islam yang selanjutnya diatur dalam ketentuan Qanun Aceh. 5 Adapun dalam penyelenggaraan kehidupan adat, Aceh dapat dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam. Aceh juga dapat membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat yang sudah ada sesuai dengan kedudukannya masingmasing di Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kemukiman, dan Kelurahan/Desa atau Gampong. 6 Sedangkan dalam bidang pendidikan, Aceh dapat mengembangkan dan mengatur berbagai jenis, jalur, dan jenjang pendidikan serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syariat Islam. 7 Terkait peran ulama, Aceh dapat membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri atas para ulama. Badan dimaksud bersifat independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami.8 Penyelenggaraan tata kelola pemerintahan Aceh diatur dalam UUPA. UUPA adalah regulasi yang mengatur pelaksanaan tata kelola pemerintahan Aceh dan hanya berlaku khusus untuk wilayah Aceh. Tidak 5 6 7 8

Pasal 4 UU Nomor 44 Tahun 1999 Pasal 6 dan Pasal 7 UU Nomor 44 Tahun 1999 Pasal 8 UU Nomor 44 Tahun 1999 Pasal 9 UU Nomor 44 Tahun 1999

JSI

setiap aturan atau regulasi dalam UUPA merupakan regulasi khusus atau lex specialis. Sebab dalam UUPA sendiri terdapat aturan aturan umum yang juga diatur dalam aturan lain. Penulis mengklasifikasikan 4 (empat) karakteristik tipe aturan yang tertuang dalam UUPA. Tipe Pertama, aturan yang bersifat khusus yang diatur dalam rangka penyelenggaraan keistimewaan Aceh. Indikatornya adalah berhubungan dengan 4 hal sebagaimana diatur dalam UU keistimewaan Aceh yaitu penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah. Contoh : Dalam konteks Pemilu/ Pilkada, ketentuan syarat uji mampu baca Al-Quran bagi kandidat termasuk kekhususan Aceh karena berhubungan dengan keistimewaan Aceh dalam penyelenggaraan kehidupan beragama. Tipe Kedua, aturan yang bersifat umum yang diatur dalam UUPA dan/atau turunannya serta aturan tersebut juga diatur dalam UU nasional. Yang dimaksud aturan bersifat nasional yang juga diatur dalam UUPA Artinya aturan tersebut tidak hanya diatur dalam UUPA atau turunanan saja melainkan juga diatur di UU lain di luar UUPA. Aturan tersebut berlaku secara nasional berlaku secara nasional dalam lingkup NKRI tidak hanya khusus wilayah Aceh. Contoh : aturan terkait tupoksi kepala daerah, tata cara pelantikan maupun pemberhentian kepala daerah, tupoksi DPRA/DPRK. Tipe Ketiga, aturan yang diatur secara khusus di UUPA namun bukan bagian dari penyelenggaraan keistimewaan Aceh. Aturan hukum tersebut tidak ada pengaturannya dalam undang-undang lain namun diatur secara khusus dalam UUPA, AKAN TETAPI bukan bagian dari penyelenggaraan keistimewaan Aceh. www.jsithopi.org

7


JSI

8

ANALISIS SITUASI • Tahun 2020

Contoh : ketentuan keikutsertaan calon Independen/perorangan dalam Pilkada di Aceh yang hanya berlaku satu kali. Dari segi historis ketika UUPA pertama diundangkan, ketentuan keikutsertaan calon independen dalam Pilkada tidak diatur dalam UU Lain. Meski awalnya banyak yang menilai bahwa ketentuan ini merupakan kekhususan Aceh, namun MK melalui palunya mengeluarkan Putusan MK No.35/PUU-VIII/2010 yang mencabut pasal 256 mengenai calon perseorangan yang dibatasi hanya untuk sekali Pilkada di Aceh. Sejak saat itu calon independen dapat berkontestasi di Aceh dalam Pilkada selanjutnya. Dengan demikian jelas bahwasanya ketentuan calon independen di Aceh bukanlah bagian dari penyelenggaraan keistimewaan Aceh. Tipe Keempat, aturan yang diatur dalam UUPA namun tidak dapat dilaksanakan. Contoh: Ketentuan penanganan penyelesaian sengketa Pilkada di Mahkamah Agung yang tertuang dalam Pasal 74 UUPA. Ketentuan ini tidak dapat dilaksanakan karena MA tidak memiliki kewenangan mengadili sengketa Pilkada. Sebagai catatan, aturan ini masih berlaku dan belum dicabut. Grafik 1. Klasifikasi Tipe Aturan Dalam UUPA

www.jsithopi.org


JSI

ANALISIS SITUASI • Januari - Februari 2020

Berikut indikator untuk menentukan suatu aturan dalam UUPA masuk kedalam tipe yang mana: Tipe Pertama : Aturan tersebut harus berhubungan atau memiliki korelasi dengan penyelenggaraan keistimewaan Aceh, yaitu penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah. Tipe Kedua : Aturan tersebut juga diatur dalam Undang Undang Nasional Tipe Ketiga : Aturan tersebut hanya diatur dalam UUPA dan tidak diatur dalam Undang Undang Nasional namun bukan merupakan bagian dari pelaksanaan 4 pokok keistimewaan Aceh. Tipe Keempat : Aturan tersebut diatur dalam UUPA namun tidak dapat dilaksanakan karena undang undang setara atau peraturan pelaksanaannya tidak ada atau bertentangan dengan UUPA sendiri.

www.jsithopi.org

9


JSI

10

ANALISIS SITUASI • Tahun 2020

Putusan MK : Pilkada Bukan Kekhususan Aceh Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2010 menegaskan, bahwa pemilihan kepala daerah tidak termasuk dalam keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Terkait hubungan antara UU Pilkada dan UUPA, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 51/PHP.GUB-XV/2017 menyatakan meskipun Provinsi Aceh memiliki kekhususan, namun kekhususan tersebut tidak berkenaan dengan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Selain itu, dengan menggunakan dasar pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007, MK menyatakan antara UU 11/2006 (UU Pilkada) dan UU 10/2016 (UUPA) tidak terdapat hubungan yang bersifat khusus dan hubungan yang bersifat umum. Mengacu kepada putusan MK, maka jelas secara umum Pilkada bukan merupakan bagian dari kekhususan Aceh. Akan tetapi hal itu tidak berlaku mutlak. Apabila terdapat ketentuan dalam konteks penyelenggaraan Pilkada Aceh yang berhubungan dengan 4 keistimewaan Aceh sebagaimana tercantum dalam UU No.44 Tahun 1999 (Agama, Adat, Pendidikan, Peran Ulama dalam Kebijakan daerah), maka hal tersebut dapat dianggap sebagai kekhususan Aceh. Dalam UUPA yang menjadi kekhususan Aceh dalam penyelenggaraan pemilu atau Pilkada misalnya berkaitan dengan syarat uji mampu baca Alquran (berhubungan dengan penyelenggaraan kehidupan beragama). Bila kita mengacu pada grafik 1 klasifikasi tipe aturan dalam UUPA, maka ketentuan uji mampu baca alquran sebagai syarat pencalonan dalam Pemilu dan Pilkada masuk dalam tipe pertama. Dalam konteks pelaksanaan Pilkada, mayoritas ketentuan dalam UUPA masuk ke dalam tipe kedua dan tipe ketiga serta sebagian kecil di tipe 4. Tabel 1. Klasifikasi Tipe Aturan Pemilu/Pilkada di UUPA

TIPE 1 Persyaratan menjalankan syariat agamanya, bagi muslim dibuktikan dengan uji mampu baca Quran (Pasal 67 ayat 2 huruf b UUPA)

www.jsithopi.org

TIPE 2 Ketentuan 120 Persen bagi Parlok pasal (Pasal 17 Qanun 3 Tahun 2008)

TIPE 3 Ketentuan pengaturan Partai lokal (Pasal 75 s.d Pasal 88 UUPA)

TIPE 4 Penyelesaian Sengketa Pilkada di Mahkamah Agung (Pasal 74 UUPA)


ANALISIS SITUASI • Januari - Februari 2020

TIPE 1

TIPE 2

TIPE 3 Persyaratan pencalonan calon independen/ perseorangan minimal 3 persen dari jumlah penduduk yang tersebar di sekurangkurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dan 50% (lima puluh persen) dari jumlah kecamatan untuk pemilihan Bupati/ Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota (Pasal 68 UUPA) Seleksi KIP dan Panwaslih Aceh (Adhoc) oleh DPRA untuk tingkat Provinsi dan DPRK untuk Tingkat Kab/Kota. Komposisi keanggotaan KIP Aceh dan KIP Kabupaten Kota

JSI

TIPE 4

KetentuanPelaksanaan calon independen hanya sekali (Pasal 256 UUPA)

www.jsithopi.org

11


JSI

12

ANALISIS SITUASI • Tahun 2020

Pasal 65 Ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa Pilkada Aceh dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Berikut isi pasalnya : Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/ wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap 5 (lima) tahunan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil sekali. Disisi lain UU Pilkada menghendaki agar Pilkada di tingkat provinsi dan tingkat Kabupaten/Kota seluruh Indonesia dilaksanakan serentak direncanakan pada bulan November 2024. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal Pasal 201 ayat (8) : Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024. Pada Pasal 201 ayat (3) UU Pilkada menyebutkan : Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022. Untuk mengisi kekosongan kepemimpinan kepala daerah, Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada mengatur bahwa kekosongan ini akan di isi oleh Penjabat (Pj) baik untuk penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota hingga Tahun 2024. Berikut isi pasal tersebut :

www.jsithopi.org

Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya t a h u n 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024. Bila mengacu pada UU Pilkada, maka Aceh yang melaksanakan Pilkada pada tahun 2017 lalu akan mengalami penundaan Pilkada hingga Tahun 2024. Padahal bila mengacu pada skema periodik Pilkada 5 tahun sekali sebagaimana pasal 65 Ayat (1) UUPA maka Pilkada Aceh harusnya berlangsung pada tahun 2022. Untuk memahami hal tersebut, maka ketentuan dalam pasal 65 Ayat (1) UUPA perlu dilihat dalam dua aspek. Pertama, Pasal pasal 65 Ayat (1) UUPA dilihat melalui metode interpretasi hukum secara sistematis. Metode interpretasi secara sistematis yaitu penafsiran yang menafsirkan peraturan perundangundangan dihubungkan dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum. Karena, terbentuknya suatu undang-undang pada hakikatnya merupakan bagian dari keselu-


ANALISIS SITUASI • Januari - Februari 2020

ruhan sistem perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak mungkin ada satu undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Sebagai konsekuensi logis dari berlakunya suatu sistem perundang-undangan maka untuk menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan itu. Oleh karena itu interpretasi sistematis ini disebut juga interpretasi logis. Metode interpretasi secara sistematis dilakukan melalui penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu per Undang-undangan yang bersangkutan, atau dengan Undang-undang lain, serta membaca penjelasan Undang-undang tersebut sehingga kita memahami maksudnya. Ketentuan dalam 65 Ayat (1) UUPA apabila kita kaji secara seksama juga diatur dalam peraturan perundang undangan lainnya. Diantaranya adalah UU Pemerintahan daerah dan UU Pilkada. Hanya saja pasca diundangkan UU Pilkada, rezim pilkada di tata menjadi serentak diseluruh wilayah Indonesia. Dalam UU Pilkada pada pasal 3 disebutkan bahwa : Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016 (Qanun Pilkada Aceh) kemudian mengadopsi ketentuan Pilkada serentak sebagaimana tertuang dalam UU Pilkada, dimana tersebut pada Pasal 3 Ayat (1) : pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun

JSI

sekali secara serentak di Aceh. Bila mengacu pada klasifikasi tipe aturan dalam UUPA, maka pasal 65 Ayat (1) UUPA masuk dalam tipe 2, yaitu aturan yang bersifat umum yang diatur dalam UUPA dan UU nasional. Pilkada 5 tahun sekali bukanlah bagian dari keistimewaan Aceh ataupun kekhususan Aceh, karena daerah lain di wilayah Indonesia juga mengadopsi ketentuan tersebut. Berbeda dengan daerah lain, teknis Pilkada Aceh diatur oleh Qanun Aceh. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 66 ayat (6) UUPA, dimana disebutkan : Tata cara pelaksanaan tahapan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur oleh KIP dengan berpedoman pada qanun. Permasalahannya adalah pada Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016 Pasal 101 Ayat (3) juga menjelaskan bahwa pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022. Sedangkan pada Ayat (4) menyebut pemungutan suara serentak Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2018 dilaksanakan pada tahun 2023. Ketentuan dalam Qanun Pilkada Aceh bertentangan dengan Pasal 201 ayat (3) UU Pilkada dimana disebut Kepala daerah di Aceh hasil Pilkada tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022. Kemudian Pasal 201 ayat (9) UU Pilkada mengatur bahwa kekosongan ini akan di isi oleh Penjabat (Pj) baik untuk penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota hingga Tahun

www.jsithopi.org

13


JSI

14

ANALISIS SITUASI • Tahun 2020

2024. Disinlah kemudian perlu dilihat kembali bahwa pasal 65 Ayat (1) UUPA tidak lepas dari konteks 65 Ayat (2) UUPA, dimana disebutkan : Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Perlu dipahami kemudian, bahwa 65 Ayat (1) UUPA yang mengatur mengenai jadwal pemilu berlangsung lima tahun sekali adalah dalam kerangka menjaga periodisasi masa jabatan yang juga lima tahun sebagaimana dimaksud dalam 65 Ayat (2) UUPA. Kemudian pada Pasal 73 UUPA disebutkan bahwa penyelenggaraan Pilkada diatur lebih lanjut dengan qanun Aceh, akan tetapi Qanun Aceh tersebut harus berpedoman pada undang undang. Selengkapnya bunyi pasal 73 UUPA : Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur/ Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 diatur lebih lanjut dengan qanun dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Frasa ketentuan berpedoman pada peraturan perundang undangan ini menegaskan bahwa Qanun Pilkada Aceh tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus merujuk kepada aturan perundang undangan yang juga mengatur ketentuan pelaksanaan Pilkada, dalam hal ini adalah UU Pilkada. Pasal 199 UU Pilkada menegaskan : ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi penyelenggaraan Pemilihan di Provinsi Aceh, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur lain dalam Undang-Undang tersendiri. UUPA tidak mengatur jadwal pilkada serentak di Aceh. Ketentuan jadwal pilkada Aceh tersebut hanya diatur dalam Qanun Pilkada Aceh pada Pasal 101 Ayat (3) dan www.jsithopi.org

ayat (4). Ketentuan dalam Qanun Aceh tentu tidak dapat disamakan dengan Undang undang. Karena Qanun Pilkada Aceh sendiri merupakan derivasi atau turunan dari UUPA. Bahkan UUPA sendiri menegaskan bahwa Qanun harus merujuk atau berpedoman pada peraturan Undang undang. Dengan demikian frasa “sepanjang tidak diatur lain dalam UU tersendiri� pada pasal 199 UU Pilkada dapat diberlakukan untuk konteks Pilkada Aceh, dikarenakan Aceh tidak mengatur lain terkait jadwal pilkada serentak. Kedua, Jadwal Pilkada serentak tahun 2024 harus dilihat dari konteks penundaan atau perubahan jadwa Pilkada. Meski 65 Ayat (1) UUPA mengatur jadwal Pilkada Aceh 5 tahun sekali, namun jadwal 5 tahun tersebut tidak mutlak harus dilakukan. Secara hukum, Terdapat kondisi tertentu dimana penundaan atau perubahan jadwal pilkada dapat dilakukan oleh karena tiga kondisi: 1. Adanya kekosongan atau kekaburan hukum terkait jadwal pelaksanaan pilkada 2. adanya putusan pengadilan yang memerintahkan penundaan tersebut. 3. karena adanya perintah undang undang. Untuk konteks Aceh, Pilkada Aceh pernah mengalami penundaan atau istilahkan dengan cooling down akibat kekaburan hukum. Konflik Pilkada Aceh ini berawal dari putusan Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan uji materi penghapusan pasal 256 Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Pasal tersebut mengatakan calon perseorangan (independen) hanya berlaku sekali sesudah UU tersebut diundangkan. Melalui keputusan Nomor 35/PUU-VII/2010, MK memenangkan gugatan para judicial review dari penggugat yang pro calon independen. Dengan pencabutan pasal tersebut, maka keberadaan calon independen sah demi hukum. Keputusan MK tersebut ditentang oleh sejumlah anggota DPRA,


ANALISIS SITUASI • Januari - Februari 2020

yang menilai soal pasal calon independen tersebut tidak bisa dihapus MK karena UU Pemerintahan Aceh ada berdasarkan MoU Helsinki. DPRA kemudian menggalang suara dari partai lokal dan partai kecil dan membuat Qanun Pilkada Aceh. Melalui Qanun tersebut calon independen ditiadakan. Namun Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf menolak penandatangan Qanun. Irwandi sendiri pada Pilkada 2004 terpilih menjadi gubernur Aceh melalui jalur perseorangan. Perubahan jadwal Pilkada juga dapat dilakukan oleh perintah pengadilan. Hal itulah yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan KIP Aceh membuka kembali pendaftaran bakal calon pasangan gubernur/wakil gubernur, bupati/ wakil bupati/walikota/wakil walikota dalam pemilukada Aceh selama tujuh hari setelah putusan sela yang dijatuhkan MK dalam perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dengan KIP Aceh pada 17 Januari 2012. Sebelumnya MK juga mengeluar Putusan sela Nomor 108/PHPU.D-IX/2011 tanggal 2 November 2011 yang intinya meminta Komisi Independen Pemilihan (KIP) sebagai penyelenggaran pemilihan kepala daerah untuk membuka kembali pendaftaran calon kepala daerah di Aceh. Dalam putusan sela Mahkamah Konstitusi, majelis hakim yang dipimpin Ketua MK Mahfud MD meminta KIP membuka kembali pendaftaran pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota, untuk memberi kesempatan kepada bakal pasangan calon baru yang belum mendaftar, baik yang diajukan oleh partai politik, gabungan partai politik, maupun perseorangan. Dalam putusan itu juga disebutkan, pendaftaran dibuka sampai 7 hari sejak putusan sela diucapkan. Putusan itu juga meminta KIP menyesuaikan tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan pemilihan umum di semua level. Akan halnya penundaan atau peruba-

JSI

han jadwal Pilkada melalui jalur undang undang, hal tersebut dimungkinkan apabila undang undang mengatur tentang penundaan tersebut. Dalam BAB XVI UU Pilkada diatur mengenai mekanisme Pemilihan Lanjutan Dan Pemilihan Susulan. Pasal 120 1. Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah Pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilihan tidak dapat dilaksanakan maka dilakukan Pemilihan lanjutan. 2. Pelaksanaan Pemilihan lanjutan dimulai dari tahap penyelenggaraan Pemilihan yang terhenti. Pasal 121 1. Dalam hal di suatu wilayah Pemilihan terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan/atau gangguan lainnya yang mengakibatkan terganggunya seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilihan maka dilakukan Pemilihan susulan. 2. Pelaksanaan Pemilihan susulan dilakukan untuk seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilihan. Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada melakukan harmonisasi dan sinkronisasi pelaksanaan Pilkada di tingkat provinsi dan tingkat Kabupaten/Kota seluruh Indonesia dilaksanakan serentak pada bulan November 2024. Adapun mengenai mekanisme kekosongan jabatan diatur dalam Pasal 201 ayat (9). Dengan demikian konteks perubahan dan penyesuaian jadwal pelaksanaan Pilkada dapat terjadi selama adanya perintah dari peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah UU Pilkada.

www.jsithopi.org

15


JSI

16

ANALISIS SITUASI • Tahun 2020

Bacaan Aspek Politis Dari pengalaman yang telah berlalu terkait pelaksanaan Pilkada di Aceh terdapat beberapa catatan penting ditinjau dari aspek politis. Pemerintah Aceh telah menundukan diri secara kebijakan bersifat politis pada pelaksanaan Pilkada serentak gelombang kedua tahun 2017 sesuai pada UU Pilkada nasional. Apalagi di era terpilih Irwandi Yusuf sebagai gubernur Aceh juga telah dilantik kedua kalinya sesuai UU No. 10 tahun 2016 di istana. Maka secara logika politik hukum sejak tahun 2017 telah mengakui serentak secara nasional. Sejarah juga mencatat bahwa KIP Aceh pada tahun 2017 telah mengakui jadwal nasional, bahkan KPU juga telah menetapkan Peraturan KPU untuk daerah khusus. Tidak ada kala itu yang keberatan dari siapa pun tentang PKPU tersebut. Bacaan dinamika politik lokal Aceh yang akan terjadi kalangan elit politik dari petahana (incumbent) akan berupaya keras memperjuangkan pelaksanaan Pilkada berlangsung di tahun 2022. Pertimbangan logika rasionalnya, jika dilaksanakan Pilkada serentak tahun 2024, maka bisa dipastikan akses kekuasaan sebagai modal utama petahana akan hilang. Itu sangat merugikan dirinya selaku pihak yang akan mempertahankan kekuasaan selanjutnya. Untuk mewujudkan agar tetap Pilkada 2022, maka tindakan manuver secara kepentingan politik akan dilakukan petahana, mulai mengerahkan pendukungnya, dll. Target utama jelas berkuasa untuk kedua kalinya. Dampak lain dari kalangan petahana yaitu akan sulit mengkondisikan jika dirinya tidak lagi berkuasa sekaligus mengontrol jalannya pemerintahan. Disinilah sangat www.jsithopi.org

menguntungkan bagi lawan politik lainnya untuk serius menekan petahana semakin lemah secara dukungan pemilih atau konsistuen. Bisa dikatakan zero power yang menyebabkan kompetisi semakin menarik, dikarenakan semua kandidat berpeluang menang dan berkuasa di Pilkada serentak tahun 2024 nantinya. Namun ketika gelombang tekanan politik lebih besar hadir dari pemerintah pusat atas nama kepentingan negara lebih prioritas guna menjaga stabilitas politik nasional, keamanan serta menjaga agar tidak cemburu provinsi lain. Pertimbangan tetap dilaksanakan Pilkada serentak 2024 tetap berjalan. Prinsip sederhananya selama masih ada ruang komunikasi politik dan celah hukum, maka bisa dipastikan pelaksanaan Pilkada sesuai dengan agenda yang telah lama disetting yaitu 2024. Bentuk kongkrit dari celah hukum melalui pembuatan produk UU yang diajukan ke program legislasi nasional (Prolegnas). Disini pastinya provinsi-provinsi yang asimetris akan dibahas mekanisme pelaksanaan Pilkada serentaknya. Demikian analisis dalam tulisan ini dibuat dengan fokus pada penjadwalan pelaksanaan Pilkada khusus bagi Provinsi Aceh. Semoga saja bermanfaat menambah khasanah pengetahuan, informasi, serta mendorong ruang-ruang diskusi guna berdialektika mengedepankan gagasan dan pemikiran yang saling mewarnai serta melahirkan satu terobosan untuk kepentingan kita bersama.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.