SI SAKIT JIWA DI BILIK SUARA : HAK PILIH ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ) DALAM PEMILU DITINJAU DARI PERSPEKTIF
YURIDIS DAN MEDIS
TIM RISET JSI Aryos Nivada, MA Teuku Harist Muzani, S.H, M. IPol
JARINGAN SURVEI INISIATIF Alamat : Jln. T. Di Haji, Lr. Ujong Blang, Np. 36, Gp. Lamdingin, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, Telepon : (0651) 6303 146 Email : js.inisiatif@gmail.com, Website : www.jsthopi.or
COPYRIGHT @ 2018 JARINGAN SURVEI INISIATIF
JARINGAN SURVEY INISIATIF
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG UNDANG
DILARANG mengubah, mengutip dan memperjualbelikan sebagian atau seluruh isi dokumen ini tanpa seizin dari Jaringan Survei Inisiatif.
|2
JARINGAN SURVEY INISIATIF
|3
HAK PILIH ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ) DALAM PEMILU DITINJAU DARI YURIDIS DAN MEDIS TIM RISET JARINGAN SURVEI INISIATIF Aryos Nivada, MA1 Teuku Harist Muzani, S.H, M. IPol.2
Latar Belakang Belakangan ini topik keikutsertaan penyandang disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dalam Pemilu menjadi topik yang hangat di perbicangkan baik di media sosial maupun media massa. Adalah Komisi Pemilihan Umum melalui Surat Edaran Nomor 1401/PL.02.1-SD/01/KPU/CI/2018 telah resmi meminta KPU di semua provinsi dan kabupaten/kota agar
mendata warga negara Indonesia (WNI)
penyandang disabilitas grahita atau gangguan jiwa/mental guna dimasukkan dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019. Komisioner KPU Pusat Hasyim Asy’ari mengatakan penyelenggara pemilu tetap melayani hak pilih penyandang disabilitas, termasuk penyandang disabilitas mental atau orang yang mengalami gangguan jiwa. “Khusus untuk disabilitas mental (sakit jiwa), tetap didaftar (sebagai pemilih). Hanya saja penggunaan hak pilih pada hari-H sesuai dengan rekomendasi dokter yang merawatnya,” ujar Hasyim sebagaimana dilansir JPNN. Tak pelak Kebijakan KPU ini kemudian memantik reaksi serta menjadi perbicangan hangat berbagai kalangan. Media massa baik lokal maupun nasional kemudian berlomba menaikan topik ini menjadi tajuk utama. Media lokal Aceh semacam Harian serambi Indonesia misalnya, mengangkat topik utama menjadi tajuk utama dengan judul bombastis : “Si Sakit Jiwa Bisa Memilih” pada edisi senin 26 November 2018. Sebelumnya Serambi juga pernah mengangkat berita terkait jumlah pengidap gangguan jiwa di Aceh pada maret 2017 lalu.
1
Peneliti JSI Peneliti Pemilu dan Demokrasi. Alumnus Magister Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Konsentrasi Tata Kelola Pemilu. 2
JARINGAN SURVEY INISIATIF
|4
Disebutkan Jika di tahun 2012 orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) tercatat mencapai 16.892 kasus di Aceh, di tahun 2016 meningkat menjadi jadi 22.033 orang. Meskipun Hak Pilih ODGJ dalam sejarah Penyelenggaraan Pemilu di negara ini terbiliang bukanlah hal yang baru, karena pada prakteknya ODGJ juga dilibatkan dalam bilik suara ketika Pemilu 2014, akan tetapi topik ini kemudian menggelinding menjadi isu nasional yang selanjutnya menyulut reaksi dari beragam kalangan. keputusan KPU yang resmi memasukan ODGJ sebagai warga yang dikutsertakan dalam pemilu 2019 menjadi semakin hangat untuk digoreng, karena sebagian kalangan menilai keputusan KPU yang mendata semua ODGJ dalam Pemilu 2019 dianggap sebagai sebuah kebijakan yang kurang waras. Walhasil, KPU pun kemudian menjadi bulan bulanan warganet di media sosial.
Tak kurang ulama sekaliber Ustad Abdul Samad (UAS) juga turut mengkritik kebijakan ini melalui sebuah rekaman video ceramahnya yang viral di media sosial. UAS menyatakan bahwa ada tiga golongan manusia yang tidak dicatat dosanya, salah satunya yakni orang gila. Pertama anak kecil, kedua orang yang sedang tidur dan ketiga orang gila. "Maka aneh orang gila bisa nyoblos," kata UAS dalam video tersebut. Segendang sepenarian, infulencer media sosial Denny Siregar juga turut menggeleng kepala dengan mengatakan KPU aneh. “di Indonesia ada peraturan aneh, orang gila boleh memilih dalam Pilpres 2019 nanti� ujarnya dalam tulisannya : ketika orang gila memilih presiden (lihat : https://www.tagar.id/ketika-orang-gilamemilih-presiden).
Pandangan senada juga disampaikan Pengamat politik dari Universitas Syiah Kuala, Dr Effendi Hasan MA. Sebagaimana dilansir Harian Serambi Indonesia edisi 26 November 2018, Wakil Dekan I FISIP Unsyiah ini dengan yakinnya mengatakan bahwa kebijakan KPU ini memang agak aneh. Menurutnya orang dengan kategori gangguan jiwa harusnya ditinjau untuk diberikan hak pilih sebab ODGJ dinilai telah kehilangan semua hak dan kewajibannya.
Lantas benarkah kebijakan KPU untuk melibatkan warga negara yang memiliki gangguan jiwa di bilik suara merupakan kebijakan yang tidak waras?
JARINGAN SURVEY INISIATIF
|5
Apakah benar ODGJ, yang dalam bahasa aceh disebut dengan “ureung pungo�ini, memang tidak layak untuk diberikan hak pilih dalam memilih pemimpin negara ini di masa mendatang?
Bagaimana pandangan hukum sendiri dalam menyikapi hak pilih warga negara yang menderita gangguan jiwa? apakah mereka memiliki kompetensi dari segi medis untuk memilih dalam bilik suara? lantas benarkah keputusan mendata penderita gangguan jiwa ini merupakan agenda terselubung petahana dalam rangka suksesi elektoral pada pilpres mendatang?
Dalam analisis tematik kali ini, Tim riset JSI akan membahas hak pilih ODGJ tersebut ditinjau dari tiga perspektif yaitu Hukum, medis dan politik.
JARINGAN SURVEY INISIATIF
|6
HAK PILIH ODGJ DITINJAU DARI PERSPEKTIF YURIDIS
Secara yuridis, Konstitusi tertinggi negara Indonesia, yaitu UUD 1945 pada hakikatnya telah menjamin kesetaraan dan persamaan kedudukan setiap warga negara. Landasan kesetaraan bagi penyandang disabilitas termaktub pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Dalam pasal ini ditegaskan bahwa : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Jaminan atas persamaan hak ini kemudian dikuatkan pada Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, disebutkan “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, yang dimaksud dengan Orang Dengan Gangguan Jiwa (disingkat ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia Dalam UU nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas, ODGJ termasuk kedalam penyandang disabilitas intelektual atau mental.3 pada pasal 1 UU 8 Tahun 2016 menyebutkan yang dimaksud
Penyandang Disabilitas adalah setiap
orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
3 Berkaitan dengan istilah disabilitas itu sendiri, Bivitri Susanti, S.H., LL.M, pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) yang merupakan salah seorang saksi ahli dalam sidang perkara No. 135/PUU-XIII/2015, mengatakan bahwa istilah disabilitas (disability) digunakan untuk menggantikan istilah “cacat” karena istilah cacat sudah berkonotasi negatif dan sering kali digunakan untuk sesuatu yang rusak atau tidak normal. Disabilitas adalah konsep untuk menerangkan suatu cara pandang dalam melihat hambatan yang dialami seseorang dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Dalam cara pandang disabilitas, hambatan yang dialami oleh seseorang dalam menjalankan aktivitas disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak mudah diakses, tidak accessible. Dengan cara pandang ini solusi masalahnya ada pada intervensi negara terhadap lingkungan tempat beraktivitas supaya lebih accessible.
JARINGAN SURVEY INISIATIF
|7
Klasifikasi penyandang disabilitas sendiri terangkum dalam Pasal 4 UU 8 Tahun 2016 yaitu : Penyandang Disabilitas fisik; Penyandang Disabilitas intelektual; Penyandang Disabilitas mental; dan/atau Penyandang Disabilitas sensorik.
Pada bagian penjelasan UU 8 Tahun 2016, disebutkan Yang dimaksud dengan �Penyandang Disabilitas intelektual� adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrom.Sedangkan yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas mental� adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:
a. psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan b. disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.
Terkait dengan hak penderita gangguan jiwa, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menegaskan bahwa penderita gangguan jiwa juga mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.
Ini mengindikasikan bahwa sebagai warga negara, baik UUD 1945 maupun UU kesehatan telah mengariskan secara tegas bahwa ODGJ sebagai warga negara Indonesia memiliki persamaan hak dengan warga negara yang tidak memiliki gangguan jiwa.
Dengan demikian secara konstutisi jelas bahwa ODGJ tidak sepenuhnya kehilangan hak haknya, termasuk dalam hal ini adalah hak politik yaitu memilih dalam pemilihan umum. Hal ini terangkum Pada Pasal 5 ayat (1) huruf h UU 8 Tahun 2016, yang menyebutkan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak politik.
JARINGAN SURVEY INISIATIF
|8
Pasal 13 UU 8 Tahun 2016 menyebutkan Hak politik untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak: a. memilih dan dipilih dalam jabatan publik; b. menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan; c. memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum; d. membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi masyarakat dan/atau partai politik; e. membentuk dan bergabung dalam organisasi Penyandang Disabilitas dan untuk mewakili Penyandang Disabilitas pada tingkat lokal, nasional, dan internasional; f. berperan serta secara aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya; g. memperoleh Aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; dan h. memperoleh pendidikan politik. Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM�) juga telah mengatur hak warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan, sepanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. 4 Disisi lain dalam ketentuan peraturan perundang undangan (baik UU Pemilu maupun Aturan lainnya) tidak menyebutkan larangan ekslipisit terkait aturan larangan bagi orang yang sakit jiwa untuk ikut serta memilih dalam pemilu.
4
Pasal 43 UU Nomor 39 Tentang HAM Menyebutkan : (1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (2) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan; (3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
JARINGAN SURVEY INISIATIF
|9
Satu satunya limitasi atau pembatasan ODGJ terlibat dalam pemilu, adalah Putusan MK Nomor 135/PUU-XIII/2015. MK memberikan batasan terhadap ODGJ yang tidak dapat diberikan hak pilih, yaitu mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum.
Oleh karena itu Keterangan profesional bidang kesehatan jiwa wajib dilampirkan untuk menunjukkan bahwa gangguan jiwa permanen
yang dialami ODGJ telah
menghilangkan kemampuan yang bersangkutan untuk memilih dalam pemilu. Dalam pertimbangannya MK juga menegaskan bahwa tidak semua orang yang sedang mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan akan kehilangan kemampuan untuk menjadi pemilih dalam pemilihan umum.
Jadi dapat disimpulkan bahwa secara hukum, pada dasarnya setiap warga negara dijamin haknya untuk dipilih dan memilih dalam pemilu. Termasuk dalam hal ini orang yang memiliki gangguan kejiwaan atau mental.
Terlebih Indonesia sendiri juga sudah meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Disabilitas melalui UU Nomor 19 Tahun 2011. Pasal 29 dari konvensi ini menuntut Negara untuk memastikan bahwa para penyandang disabilitas secara efektif dapat sepenuhnya berpartisipasi dalam kehidupan politik dan publik atas dasar kesetaraan dengan orang lain, termasuk dengan menjamin hak pilihnya sebagai bagian dari hak politik warga negara . Pasal 29 Konvensi dimaksud menyebutkan bahwa semua penyandang disabilitas baik fisik maupun mental berhak mengikuti pemilihan umum.5 5
Berikut hak hak penyandang disabilitas sebagaimana terangkum dalam Pasal 29 Paragraf a dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas : “Negara- negara pihak menjamin hak-hak politik penyandang disabilitas beserta kesempatan untuk menikmatinya atas dasar kesetaraan dengan orang lain dan berjanji untuk: Memastikan agar penyandang disabilitas dapat secara efektif dan sepenuhnya berpartisipasi dalam kehidupan politik dan publik atas dasar kesetaraan dengan orang lain, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas termasuk hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Antara lain dengan: pertama, memastikan adanya prosedur, fasilitas dan materi pemberian suara yang tepat dapat diakses dan mudah dipahami serta digunakan. Kedua, melindungi hak-hak penyandang disabilitas untuk memilih dengan surat suara rahasia dalam pemilihan umum dan referendum publik tanpa ancaman dan untuk mendukung pemilihan umum untuk secara efektif, memegang jabatan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat pemerintahan, memfasilitasi penggunaan teknologi alat bantu dan teknologi baru apabila diperlukan. Ketiga, menjamin dinyatakannya secara bebas kehendak penyandang disabilitas sebagai pemilih dalam pemilihan umum dan untuk tujuan ini, dimana
JARINGAN SURVEY INISIATIF
| 10
HAK PILIH ODGJ DITINJAU DARI PERSPEKTIF MEDIS
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) II mendefinisikan gangguan jiwa atau gangguan mental (mental disorder) adalah sindrom atau pola perilaku dan atau psikologik seorang individu yang secara klinik memiliki arti dan secara khas berkaitan dengan suatu distress atau gejala penderitaan dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari seorang individu. Secara medis ternyata banyak kondisi kesehatan yang dapat dikategorikan sebagai sakit jiwa. Tiap kelompok dapat terbagi lagi menjadi jenis-jenis yang lebih spesifik. International Classification of Diseases (ICD) seperti yang tercantum dalam Depkes (2003) menggolongkan gangguan jiwa menjadi beberapa jenis, yaitu: Gangguan mental organik Gangguan mental simptomatik,
Skizofrenia, Gangguan suasana
perasaan (Depresi) , Ansietas atau kecemasan Gangguan makan, gangguan tidur, dan disfungsi seksual Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa, Retardasi mental, Gangguan brevaza, gangguan membaca, gangguan berhitung, dan autisme, Gangguan hiperkinetik dan gangguan tingkah laku.
diperlukan, atas permintaan mereka, mengizinkan mereka dibantu oleh orang yang mereka pilih sendiri ketika memberikan suaranya�.
JARINGAN SURVEY INISIATIF
| 11
Mengacu pada riset kesehatan dasar tahun 2013 diperkirakan lebih dari 6% penduduk Indonesia memenuhi kriteria atau mengalami gangguan mental emosional yang dapat dikategorikan menderita gangguan jiwa. kondisi “gila”, secara medis disebut sebagai sakit jiwa (psikosa). Padahal acapkali kondiisi “gila” hanya satu jenis dari abnormalitas mental. Adapun jenis abnormalitas mental lain adalah gangguan jiwa (neurosa), yang memiliki rentang kategori sangat luas. Keluasan rentang kategori gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan dalam bahasa sehari-hari terlihat dari berbagai istilah, antara lain “stres”, “cemas”, “paranoid”, “latah”, “fobia”, dan “pikiran buruk”. Tentu tidaklah sama kondisi antara orang dengan gangguan jiwa semisal psikosis dengan orang yang “hanya” mengalami stres dalam kadar ringan. Dr. dr. Irmansyah, Sp.KJ, Mantan
Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian
Kesehatan yang menjadi saksi ahli dalam sidang perkara No. 135/PUU-XIII/2015, menjelaskan bahwa secara umum gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan, dari perspektif medis memiliki beberapa jenis yang lebih spesifik. Jika melihat dari sisi waktu/durasi gangguan secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
a. gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan yang bersifat relatif permanen atau kronis; dan b. gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan yang bersifat sementara, tidak permanen, atau episodik (kambuhan).
Adapun dari sisi kualitasnya, gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu a. gangguan ringan; b. gangguan sedang; dan c. gangguan berat.
Masing-masing tingkatan kualitas (stadium) gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan demikian memiliki perbedaan tingkat pemulihan, baik dari sisi kecepatan pemulihan maupun dari sisi kualitas pemulihan.
JARINGAN SURVEY INISIATIF
| 12
Secara Medis, kapasitas seseorang untuk memilih dalam Pemilu tidak ditentukan oleh diagnosis atau gejala yang dialami penderita, melainkan dari kemampuan kognitif (kemampuan berpikir). Artinya, penyandang disabilitas mental seperti penderita skizofrenia, bipolar atau depresi berat tidak otomatis kehilangan kapasitas menentukan pilihan.
terdapat penderita yang mengalami pemulihan kondisi kejiwaan atau ingatan nyaris mencapai seratus persen atau setidaknya mengalami pemulihan yang memampukan penderitanya untuk beraktivitas kembali secara normal, baik aktivitas fisik maupun psikis. Namun terdapat pula penderita yang tidak mengalami pemulihan kondisi jiwa dan/atau ingatan, bahkan sekadar dalam batas minimal untuk dapat beraktivitas secara psikis
Dr Firmansyah mengajukan empat instrumen penilaian untuk menilai ODGJ dapat menggunakan hak pilihnya di bilik suara. Instrumen tersebut adalah hasil penelitian disertasinya di Universitas Indonesia berjudul “Fenomena Pengabaian Hak Autonomi dalam Perawatan Penderita Skizofrenia: Landasan Penilaian Laik Kembali dalam Kapasitas Menentukan Pengobatan (Studi Kombinasi dan Refleksi Filosofis).�
empat komponen untuk menilai apakah seseorang memiliki kapasitas memilih dalam pemilu yaitu a. understanding : apakah dia mengerti akan adanya pilihan yang diberikan; b. expression of choice: apakah dia mampu menyatakan pilihannya; c. reasoning: apakah dia memiliki alasan untuk memilih; dan d. appreciation apakah dia mengetahui konsekuensi pilihannya.
Memilih dalam pemilihan umum sendiri pada dasarnya bukan pilihan yang sulit. Tidak ada pilihan salah dalam berpartisipasi dalam Pemilu, serta tidak ada konsekuensi buruk bagi pasien maupun masyarakat bila seorang penderita melakukan pilihan. Pilihan dalam pemilihan umum bukan benar atau salah, akan tetapi memilih mana yang terbaik untuk pemilih.
JARINGAN SURVEY INISIATIF
| 13
Pilihan yang tersedia dalam pemilihan umum juga sudah melewati berbagai proses penjaringan, sehingga pilihan apapun yang diberikan akan dianggap benar. Sehingga Argumentasi yang melarang hak pilih ODGJ sebenarnya tidak beralasan dari sisi medis.
Walaupun mungkin ada ODGJ yang tidak mampu untuk membuat pilihan politik yang rasional, namun banyak sekali kalangan diluar penyandang disabilitas mental yang juga tidak membuat pilihan politik yang “rasional� dan “kompeten�. Contohnya banyak orang yang memilih salah satu calon karena dibayar (politik uang). Jelas ini bukanlah sebuah pilihan berdasarkan pertimbangan yang rasional, valid dan kompeten. Oleh karena itu, apabila baik penyandang disabilitas mental/odgj maupun yang bukan penyandang disabilitas bisa melakukan pilihan politik yang tidak rasional dan kompeten, tentunya tidak adil hanya penyandang disabilitaslah yang dibatasi hak pilihnya.
MK sendiri dalam putusannya menegaskan bahwa penderita gangguan jiwa psikosis (gila), yang memiliki ciri antara lain hidup menggelandang, makan sembarangan, bersifat asosial, bahkan tidak menyadari keberadaan dirinya sendiri, hal demikian menurut MK tidak perlu diatur secara khusus karena orang dengan psikosis demikian telah pasti, dengan penalaran yang wajar, tidak akan didaftar oleh petugas pencatat pemilih karena orang dengan psikosis seperti itu memang tidak memiliki keinginan untuk mengikuti pemilu.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa ODGJ yang tidak termasuk gangguan jiwa permanen atau kronis, relatif dapat menggunakan Kemampuan otaknya untuk mennggunakan hak pilihnya. Akan halnya ODGJ yang mengalami gangguan berat atau kronik, , di luar periode episodik (kambuhan) , pemikiran, sikap, ingatan dan perilaku penderita tetap memiliki kapasitas untuk memilih dalam Pemilu. untuk membuktikan yang bersangkutan tidak dapat menggunakan hak pilihnya pada hari H, harus dibuktikan dengan surat keterangan profesional di bidang kesehatan jiwa (dokter jiwa) sebagaimana amanat Putusan MK.
JARINGAN SURVEY INISIATIF
| 14
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut :
1. Secara yuridis, tidak ada aturan yang secara eksplisit (baik dalam UU Pemilu maupun peraturan perundang undang lainnya) yang melarang Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) memilih dalam Pemilu. Sebagai warga negara, hak pilih ODGJ dijamin dan dilindungi oleh konstitusi. Hak memilih ODGJ hanya dapat dianulir apabila ada keterangan dari profesional bidang kesehatan jiwa yang menunjukan bahwa yang bersangkutan tidak mampu mengunakan hak pilihnya. 2. Secara medis, ODGJ yang tidak termasuk gangguan jiwa permanen atau kronis, relatif dapat menggunakan Kemampuan otaknya untuk menggunakan hak pilihnya. Akan halnya ODGJ yang mengalami gangguan berat atau kronik,, di luar periode episodik (kambuhan) , pemikiran, sikap, ingatan dan perilaku penderita tetap memiliki kapasitas untuk memilih dalam Pemilu.
KAJIAN TEMATIK • Desember 2017
JSI
Profil Jaringan Survey inisiatif Berdirinya Jaringan Survey Inisiatif (JSI) dilandasi faktor keinginan sekelompok orang profesional dibidang survey (kuantitatif dan kualitatif), konsultan, dan fasilitator yang berinisiatif mendukung pengembangan nilai-nilai demokrasi dan pemerintahan yang baik (good governance) dalam segala sektor kepentingan publik (ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, sosial, budaya dan lain-lain).Bentuk keterlibatan dari JSI melalui penelitian (kuantitatif dan kualitatif), pelatihan, penerbitan buku dan jurnal, dan konsultasi. Metode kerja JSI berpedoman kepada prinsip-prinsip akademik dan analisis statistik maupun wawancara yang mendalam, relevan, serta bersandar pada kode etik keintelektualan berbasiskan data akurat dan metode yang dapat dipertanggung jawabkan. Semangat menjadikan motor penggerak intelektual membuat JSI mengambil posisi sebagai institute of change. Prinsip kerja-kerja dari JSI adalah Totalitas, Hospitality, Profesionalitas, dan Integritas. Kami singkat menjadi THOPI. Pengelolaan manajemen JSI bersifat nirlaba namun mengembangkan fund raising secara kelembagaan, seperti penerbitan, media, dan pelatihan. Tentunya pondasi utama transparansi dan akuntabilitas menjadi syarat utama di manajemen JSI. Perlu ditegaskan JSI bukanlah lembaga yang berafiliasi kepada partai atau kelompok tertentu.
Pengalaman Lembaga 1. Survey Kandidat untuk Samsuardi (Juragan) dan Nurchalis di Pilkada Nagan Raya (2012) 2. Survey Kandidat untuk Mayor (Purn.) M. Saleh Puteh di Pilkada Aceh Selatan (2013) 3. Survey Calon Legislatif untuk Syarifah Munira (Caleg no. 5 dapil Baiturrahman dan Lueng Bata) di Pemilu 2014 (2013) 4. Survey Indeks Demokrasi Indonesia 2013, kerjasama dengan Research Centre of Politics and Government (Polgov) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (2012) 5. Survey Satu Dekade Perkembangan Ekonomi Aceh (2015) 6. Survey Arah Perilaku Politik Pemilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Periode 2017-2022 (2015) 7. Survey Kandidat Gubernur-Wakil Gubernur Aceh Periode 2017-2022 (2015) 8. Survey Melek Politik (Political Literacy) Warga Kota Banda Aceh, kerjasama dengan KIP Kota Banda Aceh (2015) 9. Survey Perilaku Pemilih pada Masyarakat Kab. Gayo Lues tahun 2014, kerjasama dengan KIP Kab. Gayo Lues (2015) 10. Survey Indeks Kepuasan Masyarakat Bidang Perizinan dan Bidang Pendidikan (2015) 11. Survey Polling Preferensi Kandidat Gubernur Aceh Periode 2017-2022 (2015) 12. Survey Preferensi Pemilih terhadap Gubernur Aceh Periode 2017-2022 (2016) 13. Survey Indeks Tingkat Kepercayaan Masyarakat Terhadap Institusi Politik dan Sosial (2016) 14. Survey Preferensi dan Elektabilitas Kandidat Bupati Aceh Besar Periode 2017-2022 (2016) 15. Survey Preferensi dan Elektabilitas Kandidat Walikota Sabang Periode 2017-2022 (2016) www.jsithopi.org
23
JSI
24
KAJIAN TEMATIK • Desember 2017
16. Survey Preferensi dan Elektabilitas Kandidat Bupati Pidie Jaya Periode 2018-2023 (2017) 17. Survey Preferensi dan Elektabilitas Kandidat Walikota Subulussalam Periode 20182023 (2017) 18. Riset Komunitas Adat Terpencil (KAT) Kabupaten Aceh Timur Kecamatan Simpang Jernih, Dinas Sosial Provinsi Aceh (2017)
Riset dan Penelitian 1. Satunama, “Potret Demokrasi: Studi Kasus Peran CSOs Dalam Memperkuat Demokrasi di Nagan Raya” (2013) 2. Perludem, “Memantau dan Meneliti Pemetaan Daerah Pemilihan dan Pencalonan Perempuan Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota Pada Pemilu 2014” (2013) 3. The Habibie Center dan Jaringan Survey Inisiatif, “Penelitian dan Seminar Demokrasi Pasca Konflik, Kekerasan, dan Pembangunan Perdamaian di Aceh” (2015)
Buku dan Literatur 1. Pembuatan Buku Biografi untuk Deni Irmansyah (Anggota DPRK Aceh Selatan) dari Partai Rakyat Aceh 2. Pembuatan Buku Biografi Hamdani Hamid (Mantan Anggota DPRA) 3. Wajah Politik & Keamanan Aceh, Aryos Nivada (2014) 4. Rekam Jejak Pemilu 2014, Aryos Nivada (2014) 5. Universitas Almuslim, Penulisan Buku Konsep Koperasi di Indonesia, (2015) 6. KNPI Aceh dari Masa ke Masa, Aryos Nivada (2016)
Pelatihan dan Lain lain 1. 2.
Pelatihan Public Speeking, Partai Demokrat Kab. Aceh Tamiang (2012) Pantau dan Jaringan Survey Inisiatif, Pelatihan Penulisan Santri (2015
www.jsithopi.org