Kajian Tematik "Kilas Balik JKA dan Kebijakan Urun Bayar Kemenkes RI"

Page 1

PRODUK

K A J I A5N T E M AT IK JARINGAN SURVEY INISIATIF Maret-April 2019

KILAS BALIK

JKA

KEBIJAKAN URUN BAYAR KEMENKES RI COPYRIGHT JARINGAN SURVEY INISIATIF 2019 HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG UNDANG


HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG UNDANG DILARANG mengubah, mengutip dan memperjualbelikan sebagian atau seluruh isi dokumen ini tanpa seizin dari Jaringan Survei Inisiatif.


JARINGAN SURVEY INISIATIF

|2

KILAS BALIK JKA DAN KEBIJAKAN URUN BAYAR KEMENKES RI

A. Latar Belakang Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 51 tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan telah memantik kegaduhan di sektor kesehatan. Permenkes turunan Pasal 81 ayat (4) Peraturan Presiden RI Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan itu, dikhawatirkan dapat merugikan peserta BPJS Kesehatan yang menjalani rawat inap di rumah sakit, dan pasien yang meminta dirawat di kelas perawatan yang lebih tinggi dari haknya. Di Aceh, Permenkes RI tersebut menjadi unsur pelengkap kontroversi kebijakan mengintegrasikan Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) menjadi bagian sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Opini yang berkembang bahwa pelayanan JKA era BPJS Kesehatan lebih rumit dibandingkan saat JKA masih menggandengkan PT Askes (Persoro) sebagai badan penyelenggaranya.


JARINGAN SURVEY INISIATIF

|3

Jaringan Survei Initiatif (JSI) mencoba posisikan Program JKA era PT Askes (Persero) tahun 2010-2013 dan Program JKA era BPJS Kesehatan tahun 2014-2019, serta mengelaborasikannya dengan Permenkes RI Nomor 51 tahun 2018 tentang urun biaya rawat inap peserta BPJS Kesehatan, tersebut di atas. Posisioning Program JKA secara dikotom dalam dua era badan penyelenggara itu diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimanan dinamika yang berkelindan di seputar penyelenggaraan sistem jaminan kesehatan nasional dan jaminan kesehatan Aceh tersebut. Program JKA ditujukan kepada masyarakat Aceh yang rentan miskin namun tidak memiliki jaminan sosial kesehatan. Yang dimaksud rentan miskin di sini yaitu, kelompok masyarakat yang taraf ekonominya berada di batas atau di atas garis kemiskinan, yang tidak mampu membayar biaya pelayanan kesehatannya bila jatuh sakit. Sedangkan kelompok masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan, yang disebut orang miskin, telah mendapat jaminan kesehatan dari pemerintah, yang dikenal Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Pada saat Program JKA dirancang, jumlah penduduk Aceh diperkirakan sekitar 4,372.018 jiwa. Peserta jaminan sosial kesehatan (Jamkesmas) sekitar 2.682.285 jiwa (61%). Sisanya, Pegawai Negeri Sipil sebagai peserta jaminan asuransi sosial kesehatan (Askesos) sebanyak 418.493 jiwa (9,6%). Peserta Jaminan tenaga kerja (Jamsostek) sekitar 30.963 jiwa (2,5%). Sedangkan 1.240.277 jiwa (28,4%) lainnya tidak memiliki janinan. Kelompok penduduk yang belum ada jaminan kesehatan itu menjadi target group Program JKA, yang iurannya dijamin oleh Pemerintah Aceh. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, jumlah penduduk miskin di Aceh pada tahun 2010 mencapai 861,85 ribu jiwa atau 20,98 %. Angka garis kemiskinan ditetapkan Rp 278.389 perkapita/bulan. Sementara itu, kelompok rentan miskin Aceh saat itu mencapai 28,4%. Disebut rentan miskin karena pendapatan perkapita mereka berada di ambang batas garis kemiskinan, dan bisa terjatuh ke bawah garis miskin apabila menderita menderita sakit dan harus mengeluarkan biaya perawatan dan obat-obatan. Program JKA membebaskan mereka dari beban pembiayaan kesehatan agar segera sembuh dari sakitnya dan dapat bekerja kembali secara produktif. Program JKA menjangkau seluruh Indonesia karena itu Pemerintah Aceh perlu menggandeng PT Askes (Persero) sebagai badan penyelenggaranya. Namun, sejak pemerintah mulai menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terintegrasi tahun 2014, JKA yang diselenggarakan PT Askes sejak 2010 diintegrasikan dengan JKN BPJS Kesehatan, selaku lembaga pengganti PT Askes, Hal ini sesuai amanat Undang-Undang No.40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).


JARINGAN SURVEY INISIATIF

|4

Jaminan sosial kesehatan wajib diikuti seluruh penduduk Indonesia dan diselenggarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dibentuk dengan UU Nomor 24 Tahun 2011 dan Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, diubah menjadi Perpres Nomor 111 Tahun 2013, dan diubah lagi menjadi Perpres Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Janiman Kesehatan. BPJS Kesehatan menganut asas efisiensi dan efektifitas pembiayaan pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan rujukan. Sistem kapitasi diberlakukan pada pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas, dokter keluarga, atau klinik kesehatan). Pelayanan kesehatan rujukan diselenggarakan di rumah sakit umum spesialistik dan subspesialistik. Sistem pembiayaan retrospektif (fee for service) di di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan digantikan dengan sistem prospektif (INA-CBG). Hasil uji coba oleh WHO, INACBGs lebih efisien daripada fee for service. Fee for service merupakan metode pembayaran rumah sakit secara retrospektif, yakni pembayaran ditetapkan setelah pelayanan kesehatan diberikan. Pada sistem pembiayaan ini memungkinkan penyedia layanan kesehatan, seperti rumah sakit, memperoleh income yang tidak terbatas. Rumah sakit dapat menawarkan segala macam pelayanan kesehatan kepada pasien, bahkan termasuk pelayanan kesehatan yang sebenarnya tidak diperlukan. Hal ini berpotensi menimbulkan terjadinya over treatment (pemeriksaan yang berlebihan), over prescription (peresepan obat yang berlebihan), serta over utilility (penggunaan alat pemeriksa yang berlebihan).

B. Integrasi JKA dengan JKN Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang JKN menghendaki sistem jaminan sosial kesehatan terintegrasi. JKA sebagai salah satu model Jaminan Kesehatan Daerah diwajibakan berintegrasi dan menjadi bagian JKN. Konsekwensinya, mekanisme dan prosedur penyelenggaraan JKA harus disesuaikan dengan sistem yang berlaku di JKN. Peserta JKA menjadi salah satu jenis kepesertaan JKN dalam manajemen BPJS Kesehatan. Peserta JKA dalam manajemen kepesertaan BPJS Kesehatan dikategorikan sebagai Peserta Penerima Bantuan Iuran yang biayanya dijamin oleh Pemerintah Daerah atau PBI (APBD)—setara dengan jaminan pemerintah untuk Penerima Bantuan Iuran dari APBN atau PBI (APBN). Bersarnya biaya jaminan kesehatan kepada peserta PBI (APBD) maupun PBI (APBN) yaitu Rp 19.225/orang/bulan, dan kemudian diubah menjadi Rp 23.000/orang/bulan.


JARINGAN SURVEY INISIATIF

|5

Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) didefinisikan sebagai jaminan kesehatan yang dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip asuransi kesehatan sosial dan seluruh pendanaan peserta JKA dibayarkan Pemerintah Aceh.1 JKA juga didefinisikan sebagai suatu sistem pendanaan kesehatan perorangan yang menggunakan prinsip-prinsip asuransi kesehatan sosial yang berlaku untuk seluruh penduduk Aceh.2 Definisi JKA pada naskah PKS Pemerintah Aceh dengan BPJS Kesehatan memang tidak persis sama rumusannya setiap tahun, namun substansinya tetap sama. JKA merupakan sistem jaminan perlindungan kesehatan bagi penduduk Aceh untuk memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan, yang iurannya dibayar oleh Pemerintah Aceh kepada BPJS Kesehatan. Tujuan Program JKA untuk mewujudkan jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Aceh yang berkeadilan, tanpa membedakan status sosial, ekonomi, agama, jenis kelamin dan usia dalam rangka meningkatkan produktifitas dan kesejahteraan. Secara khusus ditujukan untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang berkeadilan dan merata bagi seluruh penduduk Aceh; menjamin akses pelayanan bagi seluruh penduduk dengan mencegah terjadinya beban biaya kesehatan yang melebihi kemampuan bayar penduduk; menyediakan pelayanan kesehatan yang berkualitas dari pelayanan kesehatan primer/tingkat pertama sampai pelayanan rujukan yang memuaskan rakyat, tenaga kesehatan, dan Pemerintah Aceh; dan untuk mewujudkan reformasi sistem pembiayaan dan pelayanan kesehatan di Aceh secara bertahap. JKA ditujukan kepada seluruh penduduk Aceh selain Peserta Askes Sosial, Pejabat Negara (yang iurannya dibayar pemerintah), dan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek. Penduduk Aceh pada tahun 2010 diperkirakan 4.794.046. Peserta Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) diperkirakan sekitar 13.397 jiwa, peserta Akses sekitar 436.538 jiwa, dan peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) sekitar 2.596.908 jiwa. 3 Sedangkan penduduk Aceh yang belum memiliki jaminan sosial kesehatan, yang menjadi sasaran utama JKA, sekitar 1.747.203 jiwa. Khsusus penduduk Aceh peserta Jamkesmas yang 2.596.908 jiwa tetap mendapat JKA terhadap pelayanan yang tidak dijamin dalam skema Jamkesmas, seperti ambulance udara, ambulan rujuk balik, dan kursi roda.4 .

1

Perjanjian Kerja Sama Pemerintah Aceh dan BPJS Kesehatan Nomor 09/PKS/2010 dan Nomor 154/KTR/0610. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 56 Tahun 2011 tetang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Aceh. 3 Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Aceh Nomor 1117 Tahun 2010 4 Dinas Kesehatan Aceh, Laporan Penyelenggaraan JKA Tahun 2010, Hal 2 2


JARINGAN SURVEY INISIATIF

|6

C. Sasaran Program JKA Program JKA ditujukan kepada masyarakat Aceh yang rentan miskin namun tidak memiliki jaminan sosial kesehatannya. Yang dimaksud rentan miskin di sini yaitu, kelompok masyarakat yang taraf ekonominya berada di atas garis kemiskinan, namun bila dirawat di rumah sakit mereka tidak mampu membiayainya. Sedangkan masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan telah memiliki jaminan dari pemerintah melalui Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Peserta JKA pada awal peluncurannya didasarkan pada estimasi penduduk yang belum memiliki jaminan kesehatan dengan formula; jumlah penduduk Aceh dikurangi penduduk yang memiliki jaminan Jamkesmas, Askesos, dan Jamsostek. Jumlah penduduk Aceh pada tahun 2010 diperkirakan sekitar 4.494.500 jiwa.5 Peserta jaminan sosial kesehatan (Jamkesmas) sebanyak 2.682.285 jiwa (61%). Sisanya, peserta jaminan asuransi sosial kesehatan (Askesos) PNS sebanyak 418.493 jiwa (9,6%). Peserta Jaminan tenaga kerja (Jamsostek) sekitar 30.963 jiwa (2,5%). Sedangkan 1.240.277 jiwa (28,1%) lainnya belum ada janinan. Kelompok penduduk yang belum memiliki jaminan kesehatan tersebut dijamin oleh Pemerintah Aceh melalui Program JKA. Berbeda dengan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang telah ada di Indonesia yang bersifat lokal, pelayanan JKA cakupannya nasional dan memerlukan badan penyelenggara yang mampu memberikan pelayanan secara nasional. Karena itu Pemerintah Aceh menggandeng PT Askes (Persero) sebagai badan penyelenggara JKA sejak tahun 2010 hingga tahun 2013. Kerja sama Pemerintah Aceh dengan PT Askes (Persero) bersifat setara (equel) dengan sistem kontrak kerja penugasan. Sedangkan mekanisme dan prosedur penyelenggaraan JKA ditetapkan Pemerintah Aceh dalam bentuk Pedoman Penyelenggaraan JKA. Pada Januari 2004, pemerintah mulai menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terintegrasi sesuai amanat Undang-Undang No.40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Jaminan sosial kesehatan wajib diikuti seluruh penduduk Indonesia dan diselenggarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.6 JKA yang diselenggarakan PT Askes sejak 2010 harus berintegrasi dengan JKN BPJS Kesehatan, selaku lembaga pengganti PT Askes.

5

Badan Pusat Statistik Aceh online, Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Tempat Tinggal Tahun 2017, dari https://aceh.bps.go.id/dynamictable/2017/09/08/196/jumlah-penduduk-menurut-jenis-kelamin-dandaerah-tempat-tinggal-2017.html, tanggal 20 Desember 2017 pukul 20.30 6 Undang-Undang nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.


JARINGAN SURVEY INISIATIF

|7

Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dibentuk dengan UU Nomor 24 Tahun 2011 dan Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, diubah menjadi Perpres Nomor 111 Tahun 2013, dan diubah lagi menjadi Perpres Nomor 28 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Janiman Kesehatan. BPJS Kesehatan menganut asas efisiensi dan efektifitas pembiayaan. Sistem kapitasi diberlakukan pada pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas, dokter keluarga, atau klinik kesehatan). Pelayanan kesehatan rujukan yang diselenggarakan di rumah sakit umum spesialistik dan subspesialistik dengan sistem pembiayaan retrospektif (fee for service) digantikan dengan sistem prospektif (INA-CBG).7 Menurut Ketua Ketua Nasional Cesmix Center NCC) Bambang Wibowo, sistem fee for service merupakan metode pembayaran rumah sakit secara retrospektif, yakni pembayaran ditetapkan setelah pelayanan kesehatan diberikan. Pada sistem pembiayaan ini memungkinkan penyedia layanan, seperti rumah sakit, memperoleh income yang tidak terbatas. Rumah sakit dapat menawarkan segala macam pelayanan kesehatan kepada pasien, bahkan termasuk pelayanan kesehatan yang sebenarnya tidak diperlukan. Hal ini berpotensi menimbulkan terjadinya over treatment (pemeriksaan yang berlebihan), over prescription (peresepan obat yang berlebihan), serta over utilility (penggunaan alat pemeriksa yang berlebihan). Sedangkan pada sistem tarif INA CBGs termasuk dalam metode pembayaran prospektif, dimana tarif pelayanan kesehatan telah ditetapkan sebelum pelayanan kesehatan diberikan kepada pasien. Dengan sistem ini, pasien memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhannya tanpa ada pengurangan kualitas. Bagi pembayar, keuntungan sistem tarif INA CBGs adalah terdapat pembagian resiko keuangan dengan provider, biaya administrasi lebih rendah, serta dapat mendorong peningkatan sistem informasi.8

7

Permenkes Nomor Nomor 4 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Permenkes Nomor 52 Tahun 2016 tentang Standar Tarief dalam JKN, dan Permenkes Nomor 76 tentang Pedoman INA-CBGdalam Pelaksanaan JKN 8 http://bpjs-kesehatan.go.id, Fee For Service Vs INA CBG : Mana yang lebih Menguntungkan? (akses 30/11/2017)


JARINGAN SURVEY INISIATIF

|8

D. Biaya Program JKA Program JKA dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintah Aceh dari sumber Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA), tanpa konstribusi (cost sharing) dengan pemerintah kabupaten/kota. Alokasi anggaran JKA sejak tahun anggaran 2010 dapat dilihat PADA grafik di bawah ini. 9

GrafiK Pagu dan Realisasi Anggaran JKA 2010-2017 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0

805

786

535

532 383 381 381 230

403

419

403

344 344

463 438 364

413

230 230

196 196

155 0

0

Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017 Pagu Anggaran

Realisasi ke BPJKA

PBJKA ke Faskes

Grafik di atas menunjukan alokasi anggrana JKA tahun anggaran 2010 sekitar Rp 230 miliar yang direalisasikan kepada Badan Penyelenggaran JKA (BPJK) yaitu PT Askes (Persero) sekitar Rp 196 miliar (85,2%) dan pembayaran kepada Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Faskes) oleh PT Askes sebesar Rp 196 miliar (100%). Pada tahun anggaran 2011 sampai tahun anggaran 2013, meski pagu anggaran JKA meningkat, namun neraca realisasi dari Pemerintah kepada PT Askes dan realisasi pembayaran kepada Faskes relatif konsisten 100%. Ketimpangan neraca pembayarana mulai terlihat pada tahun anggaran 2014, yakni era BPJS Kesehatan. Alokasi Pagu anggaran JKA tahun 2014 sekitar Rp 403 miliar dan direalisasikan kepada BPJS Kesehatan (BPJKA) sebesar Rp 364 miliar (90,3%). Sedangkan realisasi anggaran dari BPJKA kepada Faskes mencapai Rp 805 miliar, artinya BPJS Kesehatan harus menutupi defisit anggaran sekitar 55,1%. Ketidak seimbangan antara pembayaran Pemerintah Aceh kepada BPJS Kesehatan juga terjadi pada tahun anggaran 2015 yakni BPJS mengalami defisit anggaran sekitar 44,3%. Akan tetapi pada tahun 2016 BPJS Kesehatan mencatat surplus sekitar 62,5% dari selisih realisasi Pemerintah

9

Data Presentasi BPJS Kesehatan, 2016


JARINGAN SURVEY INISIATIF

|9

Aceh sekitar Rp 413 miliar dan pembayaran kepada Faskes hanya Rp 155 miliar.10

E. Pengorganisasi Program JKA Pengorganisasian dan kelembagaan penyelenggaraan JKA terdiri dari pelaksana teknis Dinas Kesehatan Aceh, Tim Koordinasi Pemerintah Aceh, dan Badan Penyelenggara, sebagai-berikut: 1. Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Aceh selaku pelaksana teknis JKA sebagai Satuan Kerja Perangkan Aceh Bidang Kesehatan dan bertanggunga jawab kepada Gubernur Aceh. 2. Tim Koordinasi Selain Dinas Kesehatan Aceh sebagai pelaksana teknis JKA, juga terdapat Tim Koordinasi Pemerintah Aceh. Pembentukan Tim Koord i n asi JKR.A Ti ugkat Provinsi untuk menjamin penyelenggaraan JKA sesuai ketentuan dan terkendali baik mutu mapun biaya. Tim koordinasi berfungsi sebagai regulator dalam penyelenggaraan JKA yang melibatkan lintas sektor dan stakeholders terkait dalam pelbagai kegiatan seperti pertemuan, konsultasi, pembinaan, sosialisas, dan lain-lain. 3. Badan Penyelenggara JKA berlaku secara nasional dengan sistem pelayanan berjenjang dan memerlukan suatu badan penyelenggaran yang jangkauannya nasional, terpercaya, efektif, dan efisien. PT Askes (Persero) yang kemudian bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan dinilai memenuhi kriteria tersebut, sebagai Badan Penyelenggara JKA.

PT Askes (Persero) telah memiliki sistem, mekanisme, dan cukup berpengalaman menyelenggarakan asuransi sosial bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) beserta anggota keluarganya, dan penerima pensiun (PNS, ABRI, Veteran, dan Perintis Kemerdekaan beserta anggota keluarganya). Pada tahun 1995 PT Askes (Persero) diberi tugas oleh Pemerintah melalui Departemen Kesehatan RI, sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1241/MENKES/SK/XI/2004 dan Nomor 56/MENKES/SK/I/2005, sebagai Penyelenggara Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin

10

Data Presentasi BPJS Kesehatan Tahun 2016


JARINGAN SURVEY INISIATIF

| 10

(PJKMM/ASKESKIN). Pada Januari 2014 PT Askes (Persero) dilikudasi dan menjadi badan hukum publik BPJS Kesehatan.11 Perubahan regulasi nasional dan likuidasi PT Askes (Persoro) menjadi BPJS Kesehatan dalam penyelenggaraan JKA mempengaruhi bentuk kerja sama Pemerintah Aceh dalam penyelenggaraan JKA dengan kedua lembaga tersebut. Berikut ini akan diuraikan secara singkat bentuk-bentuk perbedaan tersebut.

a. PT Askes (Persero) Kerja sama Pemerintah Aceh dengan PT Askes (Persero) dalam menyelenggarakan JKA berupa bentuk penugasan. Pada Pasal 3 ayat (2) Perjanjian Kerja Sama (PKS) dinyatakan bahwa Pihak Pertama (Pemerintah Aceh) menugaskan Pihak Kedua (PT Askes (Persero)) untuk melaksanakan pekerjaan Penyelenggaraan Program JKA.12 Salah satu bagian penting dan relevan dikemukakan di sini, PKS tersebut mengikat Pemerintah Aceh. Pemerintah Aceh wajib melakukan pembayaran dana JKA atas pelaksanaan pekerjaan yang ditugaskan kepada PT Askes (Persero), sebagaimana dalam bunyi Pasal 4 ayat (2) poin b. Dana JKA yang dibayar oleh Pemerintah Aceh dialokasikan untuk biaya pelayanan kesehatan langsung sebesar 85%, biaya pelayanan kesehatan tidak langsung sebesar 10%, dan biaya operasional penyelenggaraan PT Askes (Persero) sebesar 5%, sesuai Pasal 6 ayat ayat (2) poin a sampai poin c. Apabila terdapat sisa dana JKA biaya pelayanan kesehatan langsung atau biaya pelayanan kesehatan tidak langsung, sisa dana tersebut berikut bunga bank-nya harus disetorkan ke kas daerah Aceh, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (6) poin b. PT Askes (Persero) sebagai penerima tugas menyelenggarakan JKA secara transparan, akuntabel, responsif, independen, dan fair, sebagaimana diatur dan ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 420/483/2010 tanggal 3 Agustus 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Aceh (JKA).13 Bentuk kerja sama penugasan ini berlangsung hingga PT Askes (Persero) diubah menjadi badan hukum publik penggantinya, yaitu BPJS Kesehatan,1 Januari 2014. 11

Wikipedia.org. (“_____�) Sejarah Singkat BPJS Kesehatan. Diperoleh, 1 Desember 2017, dari https://id.wikipedia.org/wiki/BPJS_Kesehatan/ 12 Perjanjian Kerja Sama antara Pemerintah Aceh dengan PT Askes (Persero) Nomor 09/PKS/2010 dan Nomor 154/KTR/0610 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Aceh. 13 PT Askes (Persero), 2010, Laporan Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) Tahun 2010. Hal 3-4.


JARINGAN SURVEY INISIATIF

| 11

Perbedaan bentuk kerja sama tersebut dapat dilihat dari perbedaan sebagaian isi PKS Pemerintah Aceh dengan dengan PT Askes (Persero) tahun 2013 dengan PKS Pemerintah Aceh dengan BPJS Kesehatan tahun 2014. Pada PKS Nomor 02/PKS/2013 pasal 5 ayat (2) poin a dan poin b, dinyatakan Pemerintah Aceh berkewajiban melakukan pembayaran dana JKA dan biaya operasional kepada PT Askes (Persero). Pembayaran dana tersebut diatur dalam Pasal 7 ayat (1) hingga ayat (3) yaitu, Pemerintah Aceh, antara lain disebutkan, Pemerintah Aceh memberikan biaya operasional PT Askes (Persero). Sedangkan dalam PKS Nomor 216/PKS/2014 dan Nomor 479/KTR/2014, miski Pihak Kedua dalam PKS ini masih bernama PT Askes (persero), tapi dalam persiapan akhir menjadi BPJS Kesehatan, tidak mengenal lagi Pedoman Pelaksanaan JKA dan biaya operasional penyelenggaraan JKA. Pada Pasal 3 ayat (4) poin a dinyatakan, besaran iuran peserta yang didaftarkan Pemerintah Aceh sesuai ketentuan perundang-undangan, dan Pasal 4 ayat (2) dinyatakan Pihak Pertama (Pemerintah Aceh) membayar tagihan iuran Peserta Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh yang diintegrasikan ke dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Berintegrasinya JKA dengan JKN meliputi mekanisme, sistem, dan prosedur, sesuai perundang-undangan. Perubahan kebijakan JKN niscaya JKA menyesuaikan. Sekadar contoh di sini, ketika Peraturan Presiden Republik Indonesia (Pelpres) Nomor 111 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional menggantikan Pelpres Nomor 12 Tahun 2013, PKS Nomor 216/PKS/2013 dan Nomor 479/KTR/2013 tanggal 20 Desember 2013 yang baru berlaku tiga bulan dan diaddendum menjadi PKS Nomor 06/PKS/2014 dan Nomor 0088/KTR/0315 tanggal, 19 Maret 2014. Pada PKS addendum ini, selain PT Askes (Persero) menjadi BPJS Kesehatan, juga menyangkut iuran.

b. BPJS Kesehatan BPJS Kesehatan merupakan badan hukum publik pengganti PT Askes (Persero) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UUSJSN); UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS); Pearaturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2012; dan Peraturan Presiden Republik Indonesia (Pelpres) Nomor 12 Tahun


JARINGAN SURVEY INISIATIF

| 12

2013 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres ini telah mengalami tiga kali perubahan, yakni Pelpres Nomor 111 Tahun 2013, dan perubahan terakhir dengan Pelpres Nomor 28 Tahun 2016. Regulasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini mengatur tentang kelembagaan badan penyelenggaran, sistem pembiayaan, kepesertaan, fasilitas pelayanan kesehatan, waktu pembayaran, pengawasan JKN dan pelabagai kebijakan lainnya. Hal-hal teknis operasional pelaksanaan JKN diatur lebih lanjut dengan pelbagai Peraturan Menteri Kesehatan dan Direktur BPJS Kesehatan, sesuai dengan dinamika dalam pelayanan kesehatan bagi peserta JKN, dan JKA yang telah berintegrasi dengan JKN melakukan penyesuaianpenyesuaian sebagaimana telah disinggung di atas. F. Perserta Jaminan Kesehatan Paparan berikut ini merujuk pada pelbagai regulasi penyelenggaraan JKA dan JKN oleh BPJS Kesehatan, dan bukan berdasarkan teori-teori pembiayaan kesehatan atau asuransi sosial kesehatan. Sebab, secara tegas dinyatakan bahwa JKA diselenggarakan sesuai dengan undang-undang,14 yakni peraturan perundang-undangan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. 1. Peserta JKA Naskah Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Pemerintah Aceh dengan BPJS Kesehatan Nomor 13/PKS/2016 dan Nomor 637/KTR/2016, yang ditandatangani di Banda Aceh pada tanggal 23 Desember 2016 merupakan kesepakatan kedua pihak dalam penyelenggaraan JKA tahun 2017 oleh BPJS Kesehatan. Penduduk Aceh menurut perjanjian ini adalah masyarakat yang berdomilisi di Aceh berturut-turut selama sekurangkurangnya enam bulan dan telah memiliki KTP Aceh atau Kartu Keluarga (KK) Aceh. Sedangkan peserta (JKA—pen) adalah setiap penduduk Aceh yang didaftarkan oleh Pihak Pertama (Pemerintah Aceh) untuk diikutsertakan dalam Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh—selanjutnya disebut Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). Jumlah peserta JKA tahun anggaran 2017 pada saat perjanjian tersebut di atas ditandatangani sebanyak 1.920.749 jiwa, yang memuat data nama dan alamat (by name by address), dan telah berhasil dimigrasikan ke database (master file) pihak Kedua (PBJIS) Kesehatan.

14

Peraturan Gubernur Aceh Nomor 30 Tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh


JARINGAN SURVEY INISIATIF

| 13

Peserta JKA sebanyak 1.920.749 jiwa tersebut merupakan jumlah peserta awal. Peserta awal adalah peserta by name by address yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh setelah dilakukan purifikasi oleh BPJS Kesehatan. Selain peserta awal tersebut ada peserta tambahan atau pengurangan secara dinamis. Penambahan dan pengurangan jumlah peserta selalu terbuka sepanjang tahun karena peristiwa mutasi, mutasi pengurangan maupun mutasi penambahan. Mutasi pengurangan peserta JKA akibat meninggal dunia, pindah ke luar daerah Aceh, atau mutasi jenis kepesertaan. Mutasi jenis kepesertaan, misalnya, peserta JKA yang mengalihkan jenis kepesertaannya menjadi peserta JKN Pekerja Penerima Upah (PPU), Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU, atau peserta Bukan Pekerja (BP). Sedangkan mutasi penambahan peserta JKA disebabkan:15 a. Penduduk Aceh yang belum terdaftar dalam database datang mendaftarkan diri dan keluarganya ke BPJS Kesehatan; b. Pendduk Aceh yang mendaftarkan diri dan keluarganya ke BPJS Kesehatan tersebut hanya berlaku bagi yang memiliki KTP dan KK Aceh, dan belum ada dalam database BPJS Kesehatan; c. Penduduk yang tidak memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK). Bayi baru lahir dari pasangan peserta JKA otomatis menjadi peserta JKA, dan bayi baru lahir dari penghuni Panti Asuhan, gelandangan, pengemis, dan orang terlantar, dalam Wilayah Aceh, atau gelandangan, pengemis, dan orang terlantar yang bermukim dalam Wilayah Aceh, dan orang dengan gangguan jiwa, yang belum ditetapkan sebagai peserta JKA atau JKN, diusulkan sebagai PIB (APBN).16 Mutasi perserta, baik pengurangan maupun penambahan, yang terjadi setiap bulan akan dilakukan rekonsiliasi minal tiga bulan sekali. Setiap peserta JKA yang tercatat dalam database diberikan kartu tanda kepesertaan oleh BPJS Kesehatan sebagai tanda kepesertaan.

2. Peserta JKN 15

Naskah Perjanjian Kerja Sama antara Pemerintah Aceh dengan BPJS Kesehatan Nomor 13/PKS/2016 dan Nomor 637/KTR/2016, tanggal 23 Desember 2016 16 PBI (APBN) peserta JKN dari kelompok penduduk miskin atau orang tidak mampu yang dijamin dengan anggaran APBN.


JARINGAN SURVEY INISIATIF

| 14

Menurut Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.17 Peserta JKN terdiri dari Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Peserta Bukan Penerima Bantuan Iuran (BPBI). Peserta PBI meliputi orang golongan fakir-miskin dan orang tidak mampu. Peserta golongan ini pembiayaannya dijamin dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), dan dikenal sebagai PBI (APBN). Masyarakat yang dianggap bukan fakir-miskin dan bukan orang tidak mampu (golongan pada desil 3 dan desil 4 dalam strata kemiskinan) biayanya dibebankan pada Anggaran Pendapatan Daetrah (APBD), dan dikenal sebagai PBI (APBD). Peserta JKA termasuk PBI (APBD) dalam sistem manajemen kepesertaan JKN. Penetapan peserta PBI (APBN) berdasarkan data terpadu yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial RI. Data terpadu dirinci menurut provinsi dan kabupaten/kota menjadi dasar bagi penentuan jumlah nasional PBI Jaminan Kesehatan. Kementerian Sosial RI menyerahkan data terpadu kepada Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan18. Jumlah PBI dapat berubah-ubah karena penghapusan, pergantian atau penambahan.19 Sedangkan BPBI meliputi; Pekerja Penerima Upah (PPU) beserta keluarganya; Pekerja Bukan Penerima Upaha (PBPU) beserta anggota keluarganya; dan Bukan Pekerja (BP) beserta keluarganya. Peserta Penerima Upah, selain Pengawai Negeri Sipil (PNS), anggota TNI/Polri, Pejabat Negara, Pegawai non PNS, pegawai swasta, dan pekerja yang tidak termasuk PNS dan anggota TNI/Polri,20 juga pimpina dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).21. Warga negara asing yang berkerja di Indonesia paling sedikit 6 (enam) bulan, termasuk peserta non PBI. Peserta PBPU upah meliputi pekerja di luar hubungan kerja dan pekerja dalam hubungan kerja yang bukan penerima upah. Jenis peserta JKN lainnya yakni Bulan Pekerja (BP) yang terdiri dari investor, pemberi kerja, penerima pensiun, vetran, perintis kemerdekaan, dan bukan pekerja yang tidak termasuk peserta BP yang disebut tadi, yang mampu membayar iuran.22 Penerima pensiun yang tersebut di atas meliputi PNS, TNI/Polri, dan 17

Pearturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional. PP Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan. 19 PP Nomor 75 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan. 20 Pelpres Nomor 12 Tahun 2013 dan Jo Pelpres Nomor 111 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional 21 Perpres Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Pelpres Nomor 12 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan Nasional 22 Loc.cit Pelres Nomor 12 Tahun 2013 18


JARINGAN SURVEY INISIATIF

| 15

Pejabat Negara, yang berhenti dengan hak pensiun. Selain itu, janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun tersebut. Jumlah peserta JKN non PBI ini juga bersifat dinamis.

3. Manajemen Kepesertaan Manajemen kepesertaan JKN secara teknis dikelola oleh BPJS Kesehatan. Pendaftaran peserta kepada BPJS Kesehatan dilakukan secara kolektif maupun secara perorangan. Peserta PBI (APBN) didaftarkan oleh pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI berdasarkan Data Terpadu yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial RI. Jumlah Peserta PBI (APBN) tahun 2017 sebanyak 2.327.221 orang.23 Sedangkan peserta BPI (APBD), termasuk peserta JKA didaftarkan oleh Pemerintah Aceh melalui Dinas Kesehatan Aceh. Dinas Kesehatan Aceh menyerahkan daftar peserta awal kepada BPJS Kesehatan. Jumlah peserta JKA tahun 2017 sebanyak 1.920.749 orang yang memuat data nama dan alamat, dan telah berhasil dimigrasikan ke database BPJS Kesehatan. Peserta yang didaftarkan tersebut akan mendapatkan identitas kepesertaan dari BPJS Kesehatan.24 Jumlah peserta JKA dalam satu tahun anggaran dapat berubah karena mutasi, penambahan maupun pengurangan. Penambahan peserta JKA terjadi karena adanya penduduk Aceh yang belum terdapat dalam database kepesertaan dan mendaftarkan diri dan keluarganya kepada BPJS Kesehatan. Penambahan ini hanya memungkinkan bagi penduduk yang memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau Kartu Penduduk Elektronik (KTP-el), dan Kartu Keluarga (KK) Aceh. Selain itu, penambahan peserta JKA juga terjadi karena kehiran bayi peserta JKA yang hidup, bayi lahir hidup dari penghuni Panti Asuhan, gelandangan, pengemis, dan orang terlantar, penghuni lembaga pemasyarakatan, dan orang gangguan jiwa, dalam Wilayah Aceh, dan belum terdaftar sebagai PBI (APBN) dalam masterfile BPJS Kesehatan. Penambahan peserta JKA sebagaimana tersebut di atas terdeteksi tahap awal ketika mereka mengakses fasilitas pelayanan kesehatan dan tidak memiliki tanda kepesertaan JKN ataupu JKA. Mereka harus didaftarkan kepada BPJS Kesehatan oleh Dinas Sosial Aceh berdasarkan surat 23

Keputusan Menteri Sosial RI nomor 76/HUK/2017 tentang Penetapan Perubahan Peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Tahun 2017. 24 PErjanjian Kerja Sama Antara Pemerintah Aceh dan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh Nomor 13/PKS/2016 dan Nomor 637/KTR/2016 tanggal, 23 Desember 2016.


JARINGAN SURVEY INISIATIF

| 16

pengantar dari fasilitas kesehatan. Penduduk fakir-miskin dan tidak mampu dapat diusulkan menjadi peserta PBI (APBN). Selain penambahan peserta JKA sebagaimana tersebut di atas, juga terjadi pengurangan akibat meninggal dunia, pindah tempat tinggal ke luar Aceh, atau pindah jenis kepesertaan. Penambahan dan pengurangan peserta JKA setiap bulan akan ditetapkan dalam rekonsiliasi data kepeserta minimal sekali dalam tiga bulan antara Pemerintah Aceh dengan BPJS Kesehatan. G. Mekanisme Pelayanan Kesehatan Jaminan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta JKA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.25 Bagi peserta JKA mendapat jaminan tambahan dari Pemerintah Aceh, yang meliputi; layanan transportasi pemberangkatan dan pemulangan pasien rujukan, transportasi pendamping sebanyak satu orang, paket pemulangan pasien rujukan, transportasi udara untuk pasien rujukan ke luar Aceh, transpor udara bagi pasien darurat dari wilayah sulit, dan pelayanan kursi roda. Jaminan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta JKA, yang disebut di atas sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan, sebagaimana secara teknis diatur oleh Menteri Kesehatan RI26 dan BPJS Kesehatan.27 Pelayanan Kesehatan diberikan secara berjenjang, yakni pada fasilitas kesehatan tingkat pertama, dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan.28 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), meliputi ; Puskesmas atau yang setara, dokter umum praktik perorangan, dokter gigi praktik perorangan, klinik pratama atau yang setara, termasuk fasiltas kesehatan tingkat pertama milik TNI/Polri, dan Rumah Sakit Kelas D Pratama atau yang setara. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL), meliputi: Klinik Utama atau yang setara, Balai Kesehatan, Rumah Sakit Umum, dan Rumah Sakit Khusus. Peserta JKA juga memperoleh pelayanan kesehatan penunjang yang meliputi laboratorium kesehatan, apotek, dan optik. Pelayanan kesehatan yang dijamin, sebagai berikut: 25

Lampiran I Peraturan Gubernur Aceh Nomor 30 Tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh 26 Permenkes RI Nomor 71 Tahun 2013 dan Permenkes Nomor 99 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Permenkes Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional. 27 BPJS Kesehatan (2015). Buku Panduan Layanan Bagi Peserta BPJS Kesehatan Tahun 2015 28 Permenkes RI Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan


JARINGAN SURVEY INISIATIF

| 17

1. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama: Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama meliputi administrasi pelayanan, pelayanan promotif dan preventif, pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis. Selanjutnya pelayanan berupa tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif, pelayanan obat dan bahan habis pakai, pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pertama. Pelayanan lainnya berupa pemeriksaan ibu hamil, nifas, ibu menyusui, dan bayi. Selain itu, diberikan pelayanan upaya penyembuhan terhadap efek samping kontrasepsi termasuk penanganan komplikasi KB paska kehamilan, rehabilitasi medik dasar, pelayanan gigi, ruang inap sesuai indikasi medis, dan pelayanan darah sesuai indikasi medis. 2. Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan; Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan rawat jalan maupun rawat inap, mencakup: administrasi pelayanan, pemeriksaan, pengobatan, konsultasi spesialistik dengan dokter spesialis dan subspesialis, tindakan medis spesialistik bedah atau non bedah, pelayanan obat, bahan habis pakai, alat kesehatan, penunjang diagnostik, rehabilitasi medik, darah, forensik, dan pelayanan jenazah paska rawat inap (ambulance pemulangan jenazah). 3. Pelayanan Persalinan dan neonatal; Pelayanan persalinan dan neonatal meliputi cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal, yang meliputi pemeriksaan kehamilan, persalinan, pemeriksaan pascapersalinan dan bayi baru lahir, dan pelayanan KB. Persalinan yang dijamin BPJS Kesehatan tidak dibatasi jumlah kehamilan dan persalina. Pelayanan kebidanan dan neonatal tersebut diberikan di FKTP dan dapat dirujuk ke FKRTL atas indikasi medis. 4. Pelayanan Gawat Darurat Pelayanan gawat darurat yang dapat dijamin adalah sesuai dengan kriteria gawat darurat yang berlaku, yakni Peraturan Presiden Nomo 12 Tahun 2013, Permenkes RI Nomor 71 Tahun 2013, dan Surat Edaran Menteri Kesehatan RI tentang Pelaksanaan Standar Tarief Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasiltas Kesehatah Tingkat Lanjutan dalam Penyelenggaraan Jaminan Kesehat- an Nasional. 5. Pelayanan Ambulan Pelayanan ambulan diberikan kepada transportasi darat dan air bagi peserta dalam kondisi tertentu antarfasilitas kesehatan, yang disertai dengan upaya mejaga kestabilan pasien untuk penyelamatan nyawa. Kondisi tertentu yang mendapat layanan ambulan ada indikasi medis


JARINGAN SURVEY INISIATIF

| 18

berdasarkan rekomendasi dokter yang merawat, rujukan gawat darurat dari fasilitas kesehatan tanpa kerja sama dengan BPJS Kesehatan ke fasilitas kesehatan kerja sama, dan rujukan balik yang masih membutuhkan rawat inap di fasilitas kesehatan semula. Pelayanan ambulan rujukan antar fasilitas kesehatan (Faskes) diberikan antar Faskes tingkat pertama, dari Faskes tingkat pertama ke Faskes rujukan, antar Faskes rujukan sekunder, dari Faskes sekunder ke Faskes tersier, antar Faskes tersier, dan rujukan balik ke Faskes tipe di bawahnya. 6. Pelayanan tidak Dijamin BPJS Kesehatan tidak menjamin pelayanan kesehatan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, pelayanan kesehatan di Faskes tanpa kerjasa, kecuali dalam keadaan darurat, pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh Program Kesehatan Kerja, memiliki jaminan kecelakaan lalu lintas, pelayanan kesehatan di luar negeri, layanan estetika, mengatasi infertilities, perataan gigi, penyakit akibat ketergantungan obat atau alkohol, akibat menyakiti diri sendiri, pengobatan tradisional yang belum terbukti efektif, dan tindakan medis sebagai percobaan atau eksperimen. BPJS Kesehatan juga tidak menjamin alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi dan susu, perbekalan kesehatan rumah tangga, layanan kesehatan tanggap darurat bencana dan kejadian luar biasa/wabah, dan kejadian yang dapat dicegah agar tidak beresiko bagi ganguan kesehatan. H. Pembiayaan Pelayanan Kesehatan 1. Sumber Biaya Biaya Program JKA bersumber dari Aanggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA). Pada tahun 2014 hingga tahun 2015 Pemerintah Aceh membayar iuran peserta JKA kepada BPJS Kesehatan sebesar Rp 19.225/orang/bulan.29 Pada tahun 2016 dan tahun 2017 Pemerintah Aceh membayar iuran peserta JKA sebesar Rp 23.000/orang/bulan. 30 Pembayaran kepada BPJS Kesehatan dilakukan secara bertahap sesuai perjanjian melaui Virtual Account.31

29

Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional. Perpres Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013. 31 PKS Antara Pemerintah Aceh dengan BPJS Kesehatan Nomor 13/PKS/2016 dan Nomor 637/KTR/2016 30


JARINGAN SURVEY INISIATIF

| 19

2. Pembiayaan Kapitasi Pembiayaan pelayanan kesehatan bagi peserta JKA di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, sebagaimana pembayaran pelayanan kesehatan peserta JKN lainnya, menganut sistem kapitasi. Tarif Kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jumlah Peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.32 Sistem pembayaran kapitasi tersebut sudah populer sejak sistem asuransi kesehatan berkembang di Amerika Serikat. Konsep kapitasi dikembangkan berdasarkan prinsip kemungkinan timbulnya resiko (risk probabiility), prinsip membagi resiko (risk sharing), dan prinsip pelayanan yang profesional (professionalism). Pembayaran kapitasi bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan peran pelayanan kesehatan primer sebagai geet keeper dalam pengendalian mutu dan pengendalian biaya pelayanan kesehatan. Pembayaran kapitasi membuat sistem administrasi pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama menjadi sederhana, penghasilan fasilitas kesehatan lebih stabil dan merata, pelayanan kesehatan lebih efektif dan efisien, dan dapat mencegah kunjungan berulang atau berlebihan karena akan mendorong upaya promotif dan preventif oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama. Fasilitas KesehatanTingkat Pertama yang memberikan pelayanan kesehatan rawat inap melalui prosedur klaim kepada BPJS Kesehatan. Pembayaran sistem kapitasi ini diatur dalam Perpers Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Kapitasi di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, dan Peraturan Bersama BPJS Kesehatan Nomor 02 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Kapitasi Berbasis Komitmen.

3. Pembiayaan Prospektif Sistem INA-CBG’s Pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (Faskes RTL) bagi Faskes sekunder dan tersier, seperti Klinik Utama, Balai Kesehatan, dan Rumah Sakit, berdasarkan cara Indonesia Case Based Group (INA-CBG’s).33 Pembayaran INA-CBGs adalah pembayaran yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit. Pembayaran ini dikembangkan dari sistem bauran kasus (casemix) dengan mengelompokan diagnosis dan prosedur dengan ciri klinis serta biaya yang sama/mirip. Pengelompokkannya dilakukan dengan menggunakan grouper. Implementasi pembayaran INA CBGs

32 33

https://bpjs-kesehatan.go.id/ tanggal 5 Januari 2018 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional, Pasal 39 Ayat (3).


JARINGAN SURVEY INISIATIF

| 20

dilaksanakan di rumah sakit kelas A, B, C, D, serta rumah sakit umum dan rumah sakit khusus rujukan nasional. 34 Sistem tarif INA CBGs termasuk dalam metode pembayaran prospektif, dimana tarif pelayanan kesehatan telah ditetapkan sebelum pelayanan kesehatan diberikan kepada pasien. Dengan sistem ini, pasien memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhannya tanpa ada pengurangan kualitas. Bagi pembayar, keuntungan sistem tarif INA CBGs adalah terdapat pembagian resiko keuangan dengan provider, biaya administrasi rendah, serta dapat mendorong peningkatan sistem informasi. INA CBGs adalah tarif paket pelayanan kesehatan yang mencakup seluruh komponen biaya RS, mulai dari pelayanan non medis hingga tindakan medis. Dalam sistem INA CBGs, pasien dikelompokkan ke dalam satu episode yang dikaitkan dengan biaya pelayanan. Setiap kelompok memiliki ciri klinis yang sama, sehingga pemakaian sumber daya dan biaya yang dikeluarkan juga kurang lebih sama. Pengelompokan ini didasarkan pada data biaya dan data coding penyakit dari beberapa rumah sakit terpilih. Sistem tarif INA CBGs ini memiliki 1077 case based groups (CBG) yang terdiri dari 789 CBG untuk rawat inap dan 288 CBG untuk rawat jalan, dengan tiga tingkat keparahan. Pada sisi lain, dengan sistem tarif INA CBGs, bukan berarti pihak provider tak bisa mendapat keuntungan. Provider tetap bisa surplus, asalkan pelayanan diberikan secara efektif dan efisien.35 Peserta BPJS Kesehatan tidak dikenakan biaya pelayanan kesehatan sejauh masih sesuai dengan mekanisme dan prosedur pelayanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan sistem INA-CBGs tersebut.

I. Urun Bayar Peserta BPJS Kesehatan Era bebas urun biaya peserta BPJS Kesehatan akan segera berakhir. Peraturan Kementerian Kesehatan (Permenkes) Nomor 51 tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan, memberi ruang bagi rumah sakit untuk membebankan biaya tertentu kepada peserta BPJS Kesehatan. Meski kebijakan Menteri Kesehatan (Menkes) itu diklaim dapat mengendalikan mutu dan biaya, serta pencegahan penyalahgunaan pelayanan terjadi di fasilitas kesehatan, namun wajib urun 34

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 29 Tahun 2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. 35

http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs. Fee for Service Vs INA CBGs: Mana yang Lebih

Menguntungkan?


JARINGAN SURVEY INISIATIF

| 21

biaya dan selisih biaya dinilai sebagai upaya menanggulangi defisit yang alami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan selama ini. Konsekwensi dari Permenkes tersebut, peserta BPJS Kesehatan non Penerima Bantuan Iuran (PBI) dipaksa merogoh kantongnya untuk membayar pelayanan yang tidak sesuai kebutuhan medisnya. Jenis-jenis pelayanan kesehatan yang akan dikenakan biaya tambahan masih dipelajari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), BPJS Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan asosiasi kesehatan lainnya. Pada Permenkes itu diberlakukan, pihak rumah saki wajib menginformasikan jenis pelayanan yang akan dikenakan urun biaya dan estimasi besarannya. Peserta atau keluarganya diminta persetujuannya membayar biaya tambahan yang dikenakan. Biaya rawat jalan yang diatur Permeskes Nomor 51 Tahun 2018 sebesar Rp 20.000 untuk setiap kali kunjungan rawat jalan di RS kelas A dan RS kelas B, dan Rp 10.000 untuk setiap kali kunjungan RS C dan RS D dan klinik utama serta paling tinggi Rp 350 untuk paling banyak 20 kali kunjungan dalam waktu tiga bulan. Sedangkan untuk rawat inap, besaran urun biayanya adalah 10 persen dari biaya pelayanan, dihitung dari total tarif Sistem Indonesia Case Base Groups (INACBG) setiap kali perawatan. Sementara soal sistem selisih biaya yang dibebankan kepada peserta BPJS Kesehatan, yakni peserta meningkatkan kelas perawatan seperti ke rawat jalan eksekutif. Peningkatan bisa dilakukan satu tingkat lebih tinggi dari kelas yang menjadi hak kelas peserta. Peserta yang haknya di kelas III naik ke kelas II, dan dari kelas II naik ke kelas I, harus membayar selisih biaya antara tarif INA CBG's antar kelas. Sementara untuk peningkatan kelas rawat inap dari kelas 1 ke kelas di atasnya, seperti VIP, maka peserta harus membayar selisih biaya paling banyak 75 persen dari tarif INA CBG's kelas 1. Sedangkan untuk rawat ialan, peserta harus membayar biaya paket pelayanan rawat jalan eksekutif paling banyak Rp 400.000 untuk setiap episode rawat jalan. Kebijakan urun biaya 10% dari total biaya pelayanan ditanggung oleh peserta untuk menekan defisit yang dialami lembaga tersebut walaupun pengaruhnya tidak terlalu besar. Selain itu, dalam aturan ini, rumah sakit diwajibkan untuk memberitahukan dan mendapat persetujuan dari peserta BPJS Kesehatan tentang kesediaan menanggung selisih biaya. Aturan ini tidak berlaku untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) dan penduduk yang didaftarkan pemerintah daerah.


JARINGAN SURVEY INISIATIF

| 22

J. Persepsi Masyrakat Permenkes Nomor 51 Tahun 2018 dengan tegas menyatakan urun biaya tidak berlaku bagi orang miskin dan tidak mampu, yakni Penerima Bantuan Iuran (PBI) pemerintah maupun peserta yang iurannya di jamin pemerintah daerah, seperti peserta JKA. Akan tetapi masyarakat mempersepsikannya berlaku secara general, akan membebani juga kelompok penduduk minskin dan tidak mampu, dan tidak efektif mencegah terjadinya over utility (fraud) dalam pelayanan kesehatan. Hal itu tergambarkan dalam ungkapan Jamkeswatch, sebagaimana dirilis koranonline.com (19/1), berikut :

1. Kategori jenis pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan (fraud) jaminan kesehatan hanya terkait peningkatan kelas perawatan dan urun biaya serta dikecualikan bagi peserta PBI. Padahal fraud bisa saja terjadi dan bermacam hal, bisa karena tidak prosedural, tidak kompeten dan tidak tersedianya sarana dan prasarana di fasilitas kesehatan. Realitanya dengan banyaknya peserta PBI dan peserta mandiri kelas III tidak ditunjang dengan ketersediaan kamar kelas III sesuai aturan Permenkes minimal 20 % dari jumlah total tempat rawat inap. Banyak rumah sakit yang lebih memilih membangun kamar VIP dan VVIP dari pada kamar kelas III atau kelas II yang secara kalkulasi lebih banyak pesertanya dari segment ini. Merujuk dari Permenkes ini juga kemungkinan besar kamar VVIP bisa dihapuskan. 2. Pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan fraud didasarkan dari usulan BPJS kesehatan, organisasi profesi dan atau asosiasi faskes. Usulan itu disampaikan ke Kemenkes dan Kemenkes berhak menolak usulan tersebut. Ini berarti Kemenkes tidak mempunyai data dan masih sedang melakukan survey. Meski sama-sama dibawah presiden namun secara eksplisit BPJS kesehatan dibawah Kemenkes padahal di sana ada DJSN yang bisa memberikan masukan/solusi.

3. Kewajiban faskes menginformasikan jenis pelayanan yang dikenakan urun biaya dan estimasi biaya kepada peserta/keluarganya serta meminta persetujuan ketersediaan membayar urun biaya sebelum mendapatkan pelayanan. Sejatinya faskes juga wajib mengarahkan kepada peserta berbagai upaya agar tidak terjadi urun biaya serta kondisi tertentu yang tidak dikenakannya urun biaya sebelum peserta memastikan memutuskan bersedia naik kelas dan membayar urun biaya.

4. Realitanya di lapangan, begitu kamar hak kelas peserta penuh atau tidak tersedia, peserta langsung diarahkan naik kelas tanpa diberikan penjelasan dan solusinya.


JARINGAN SURVEY INISIATIF

| 23

5. Besaran urun biaya bukan hanya untuk rawat inap saja tetapi juga rawat jalan . Untuk rawat jalan berkisar antara 10.000 sampai 20.000 sesuai kelas RS dalam sekali kunjungan atau paling tinggi 350.000 untuk paling banyak 20 kunjungan dalam 3 bulan. Untuk rawat inap dikenakan 10% setiap rawat inap dihitung dari total tarif INA-CBG’s atau maksimal 30 juta rupiah.

6. Jenis pelayanan yang dapat menimbulkan fraud itu ditetapkan Kemenkes yang nantinya peserta diharuskan melakukan urun biaya. 7. Ini berarti ada pengeluaran dana lebih bagi peserta BPJS kesehatan selain iuran yang dibayar setiap bulan atau ketika mendapatkan denda akibat menunggak iuran. Jaminan sosial semakin jauh dari filosofinya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan malah bisa memiskinkan masyarakat.

8. Peserta dapat meningkatkan kelas perawatan di rumah sakit maksimal satu tingkat lebih tinggi dari kelas kamar hak peserta dan dikenakan pembayaran selisih biaya atas kenaikan itu. 9. Regulasi ini juga membuka peluang adanya pelayanan rawat jalan eksklusif dalam fasilitas khusus yang terpadu diatas standart tanpa harus menginap di rumah sakit. Kenaikan kelas itu dikecualikan bagi peserta PBIN, PBID dan peserta PPU yang di-PHK beserta anggota keluarganya.


JARINGAN SURVEY INISIATIF

| 24

K. Kesimpulan Kilas balik Program JKA diatas menggambarkan secara konfrehensif sistem jaminan sosial kesehatan yang diselenggarakan pemerintah maupun Pemerintah Aceh dan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Perbedaan prosedur pelayanan kepada peserta JKA era PT Askes (Persero) dan era BPJS Kesehatan disebabkan ada perbedaan sistem kerja sama antara Pemerintah Aceh dengan penyelenggara JKA dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional. 2. Perbedaan prosedur tersebut hanya pada sistem kerja samanya saja tetapi tidak ada perbedaan dari sisi manajemen kepesertaan dan jaminan kesehatan yang diberikan kepada peserta JKA oleh BPJS Kesehatan.

3. Prosedur pelayanan kesehatan rujukan berjenjang yang diterapkan BPJS Kesehatan masih sama dengan penerapan pada era PT Askes (Persero). Begitu juga sistem pembiayan pelayanan oleh para penyedia jasa pelayanan kesehatan. 4. Permenkes Nomor 51 Tahun 2018 tidak berlaku bagi peserta kelompok miskin dan tidak mampu, yang pembiayaan kepesertaannya dijamin oleh pemerintah mapun Pemerintah Aceh. L. Saran-Saran Melihat tidak perbedaan secara signifikan sistem jaminan kesehatan era PT Askes (Persero), dan BPJS Kesehatan, serta Permenkes RI Nomor 51 Tahun 2018 tidak membebani peserta miskin dan tidak mampu, dan tidak mengurangi pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis peserta BPJS Kesehatan. Pemahaman ini perlu disosialisasikan secara masif kepada masyarakat untuk meluruskan persepsi yang bias di kalangan masyarakat awam maupun pada lapisan elite, para pengamat kesehatan di tanah air. Sosialisasi itu sebaiknya dilakukan oleh lembaga-lembaga idependen untuk mencegah syak wasangka dan mudah diterima masyarakat, karena tidak ada konflik kepentingan dengan BPJS Kesehatan maupun dengan penyedia pelayanan kesehatan, seperti Puskesmas atau rumah sakit. Apabila sosialisasi dilakukan oleh BPJS Kesehatan maupun oleh unsur pemerintah cendrung akan dipersepsikan sebagai bentuk propaganda untuk menutupi maksud sebenarnya; strategi mengatasi defisit finansial yang diderita BPJS Kesehatan. [*]


ANALISIS SITUASI • Mei-Juni 2018

JSI

Profil Jaringan Survey inisiatif Berdirinya Jaringan Survey Inisiatif (JSI) dilandasi faktor keinginan sekelompok orang profesional dibidang survey (kuantitatif dan kualitatif), konsultan, dan fasilitator yang berinisiatif mendukung pengembangan nilai-nilai demokrasi dan pemerintahan yang baik (good governance) dalam segala sektor kepentingan publik (ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, sosial, budaya dan lain-lain).Bentuk keterlibatan dari JSI melalui penelitian (kuantitatif dan kualitatif), pelatihan, penerbitan buku dan jurnal, dan konsultasi. Metode kerja JSI berpedoman kepada prinsip-prinsip akademik dan analisis statistik maupun wawancara yang mendalam, relevan, serta bersandar pada kode etik keintelektualan berbasiskan data akurat dan metode yang dapat dipertanggung jawabkan. Semangat menjadikan motor penggerak intelektual membuat JSI mengambil posisi sebagai institute of change. Prinsip kerja-kerja dari JSI adalah Totalitas, Hospitality, Profesionalitas, dan Integritas. Kami singkat menjadi THOPI. Pengelolaan manajemen JSI bersifat nirlaba namun mengembangkan fund raising secara kelembagaan, seperti penerbitan, media, dan pelatihan. Tentunya pondasi utama transparansi dan akuntabilitas menjadi syarat utama di manajemen JSI. Perlu ditegaskan JSI bukanlah lembaga yang berafiliasi kepada partai atau kelompok tertentu.

Pengalaman Lembaga 1. Survey Kandidat untuk Samsuardi (Juragan) dan Nurchalis di Pilkada Nagan Raya (2012) 2. Survey Kandidat untuk Mayor (Purn.) M. Saleh Puteh di Pilkada Aceh Selatan (2013) 3. Survey Calon Legislatif untuk Syarifah Munira (Caleg no. 5 dapil Baiturrahman dan Lueng Bata) di Pemilu 2014 (2013) 4. Survey Indeks Demokrasi Indonesia 2013, kerjasama dengan Research Centre of Politics and Government (Polgov) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (2012) 5. Survey Satu Dekade Perkembangan Ekonomi Aceh (2015) 6. Survey Arah Perilaku Politik Pemilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Periode 2017-2022 (2015) 7. Survey Kandidat Gubernur-Wakil Gubernur Aceh Periode 2017-2022 (2015) 8. Survey Melek Politik (Political Literacy) Warga Kota Banda Aceh, kerjasama dengan KIP Kota Banda Aceh (2015) 9. Survey Perilaku Pemilih pada Masyarakat Kab. Gayo Lues tahun 2014, kerjasama dengan KIP Kab. Gayo Lues (2015) 10. Survey Indeks Kepuasan Masyarakat Bidang Perizinan dan Bidang Pendidikan (2015) 11. Survey Polling Preferensi Kandidat Gubernur Aceh Periode 2017-2022 (2015) 12. Survey Preferensi Pemilih terhadap Gubernur Aceh Periode 2017-2022 (2016) 13. Survey Indeks Tingkat Kepercayaan Masyarakat Terhadap Institusi Politik dan Sosial (2016) 14. Survey Preferensi dan Elektabilitas Kandidat Bupati Aceh Besar Periode 2017-2022 (2016) 15. Survey Preferensi dan Elektabilitas Kandidat Walikota Sabang Periode 2017-2022 (2016) www.jsithopi.org

1


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.