Merawat Harmoni dalam Keragaman di Indonesia Oleh Rumadi Ahmad

Page 1

Merawat Harmoni dalam Keragaman di Indonesia1 Oleh Rumadi Ahmad2

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dunia dengan total luas wilayah 1.919.404 km2. Kepulauan Indonesia terhampar di garis 60 Lintang Utara hingga 110 Lintang Selatan, dan 950 hingga 1410 Bujur Timur, Jumlah pulau sebanyak 19.108 (berdasar data satelit oleh Institute Penerbangan dan Antariksa pada 2003). Negara ini juga memiliki posisi geografis yang unik sekaligus menjadikannya strategis. Hal ini dapat dilihat dari letak Indonesia yang berada di antara dua samudera dan dua benua sekaligus memiliki perairan yang menjadi salah satu urat nadi perdagangan internasional. Posisi ini menempatkan Indonesia berbatasan laut dan darat secara langsung dengan sepuluh negara di kawasan. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat religius. Religiusitas itu ditunjukkan dalam konstitusi UUD 1945, yang meletakkan “Ketuhanan” sebagai aspek dasar dari negara. Pasal 29 ayat (1) disebutkan: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari ayat tersebut bisa dipahami, negara harus dikelola dengan prinsip-prinsip ketuhanan. Pasal 29 ayat (2) menyebutkan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Hubungan kuat agama dan negara itu juga terlihat di Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan, “… Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh….”. Demikian juga dengan Pasal 31 ayat (3) yang menjelaskan mengenai pendidikan: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia…”. Kata “keimanan dan ketakwaan” merupakan terminologi yang menunjukkan pentingnya agama dan religiusitas dalam pengelolaan Negara. Dengan berpegang pada prinsip “Negara Ketuhanan” itu, umumnya pandangan menilai jika konstitusi negara tidak memberi kemungkinan adanya kampanye kebebasan untuk tidak beragama, kebebasan untuk promosi anti agama serta tidak memungkinkan untuk menghina atau mengotori ajaran agama atau kitab-kitab yang menjadi sumber kepercayaan agama ataupun mengotori nama Tuhan. Salah satu wujud relasi unik agama-negara ini adalah berdirinya Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama). Dengan konteks keunikan itupun negara tidak punya beban untuk mengakomodasi hukum agama dalam hukum positif seperti yang terkait dengan nikah, talak, rujuk, waris, hibah, wasiat, wakaf, ekonomi syari’ah, dan lain-lain telah menjadi hukum negara, khususnya yang berlaku bagi pemeluk agama Islam”. Sebagian besar hukum agama itu juga sudah ada sejak masa kolonial. Akomodasi terhadap hukum agama (baca, Islam) tersebut di

Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Relasi Islam, Negara dan Pancasila” di Auditorium Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, 5 November 2018 2 Penulis adalah Dosen Fakutas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 2015-2020. 1

1


satu pihak dibaca sebagai bentuk akomodasi Negara terhadap kepentingan agama3, namun sebagian yang lain memandang sebagai bentuk pengutamaan Negara terhadap agama tertentu meskipun Indonesia bukan Negara agama. Indonesia juga dikenal sebagai negeri dengan populasi muslim terbesar di dunia. Total penduduk Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010 mencapai 237.641.326 jiwa, naik sekitar 24 juta jiwa dibanding tahun 2005 yang mencapai 213.375.287 jiwa. Adapun komposisi berdasarkan agama adalah: Islam 207.176.162 (87.18 %); Kristen Protestan 16.528.513 (6.96 %); Katolik 6.907.873 (2.91 %), Hindu 4.012.116 (1.69 %); Budha 1.703.254 (0.72 %), Konghucu 117.091 (0.05%); Lainnya 299.617 (0.13 %). BPS juga menambahkan dua kategori lain yang sebelumnya tidak ada, yakni “tidak terjawab” sebanyak 139.582 jiwa (0.06%), “tidak ditanyakan” 757.118 (0.32%).4 Kolom “dan lain-lain” sejauh ini tidak ada penjelasan resmi. Namun, bisa diduga kolom itu digunakan untuk menunjuk pada komunitas agama selain yang enam, khususnya pengikut keyakinan lokal5 yang tidak mau dikategorikan sebagai pengikut agama tertentu. Ini bisa diindikasikan dengan sebaran mereka di provinsi-provinsi yang selama ini diketahui wilayah mereka tinggal. Yang paling banyak berada di Kalimantan Tengah dengan 138.419 jiwa; NTT 81.129 jiwa; Kalimantan Selatan 16.465 jiwa; Banten 11.722 jiwa. Sebagian lagi mungkin bisa terafiliasi ke dalam agama selain yang enam seperti Yahudi, Baha’i, Sikh, dan lain-lain. Menariknya, jika digabung, jumlah penduduk dengan kategori “tidak terjawab” dan “tidak ditanyakan” jumlahnya cukup signifikan: 896.700 jiwa. Sebaran komposisi umat beragama ini tidak selalu merata. Tiga provinsi dengan mayoritas Kristen Protestan adalah Papua dengan 1.855.245 jiwa (65 persen), Papua Barat 408.841 jiwa (54 persen), Sulawesi Utara 1.444.141 jiwa (64 persen). Bali dihuni mayoritas pemeluk Hindu dengan 3.247.283 jiwa (83 persen). Di antara penganut agama Budha, sekitar 60 persen mengikuti aliran Mahayana, 30 persen menjadi pengikut Theravada, dan 10 persen sisanya penganut aliran Tantrayana, Tridharma, Kasogatan, Nichiren, dan Maitreya. Sebagian besar penganut agama Budha tinggal di Jawa, Bali, Lampung, Kalimantan Selatan, dan Kepulauan Riau. Etnis China merupakan 60 persen dari penganut agama Budha. Populasi komunitas Sikh diperkirakan antara 10.000 dan 15.000, sebagian besar tinggal di Medan dan Jakarta. Delapan gurudwara (kuil) Sikh terletak di Sumatera Utara dan dua di Jakarta. Sementara sejumlah kecil komunitas Yahudi berada di Jakarta dan Surabaya. Komunitas Bahai melaporkan mempunyai ribuan anggota, namun tak ada jumlah pasti. Falun Dafa, yang menganggap dirinya lebih sebagai organisasi spiritual daripada agama, menyatakan memiliki antara 2.000 dan 3.000 pengikut, hampir setengah diantaranya tinggal di Yogyakarta, Bali, dan Medan. 3 Baca misalnya, Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 269-319. Baca juga Arskal Salim, Challenging the Sucular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia, (Honolulu: University of Hawaii Press, 2009). 4 Data Sensus Penduduk 2010, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. Data bisa diakses melalui sumber: http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321&wid=0 (Diakses 24 Nopember 2011) 5 Meski belum sepenuhnya diimplementasi, kondisi tersebut dikoreksi Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 97/PUU-XIV/2016 yang merupakan uji materi terhadap UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang telah diubah menjadi UU No. 24 Tahun 2013 terkait dengan kolom agama bagi kelompok penghayat kepercayaan.

2


Sebagian besar Muslim di Indonesia ini adalah pengikut ahlussunnah wal jama’ah, yang biasa disebut sunni meskipun tidak ada data statistik yang pasti. Kelompok sunni tersebar dalam berbagai ormas keagamaan, terutama NU, Muhammadiyah, al-Wasliyah, Nahdlatul Wathan dan sebagainya. Kelompok-kelompok ormas ini mempunyai orientasi pemahaman keagamaan yang berbeda-beda, tapi mereka tetap bisa saling mengormati satu dengan yang lain. Di samping itu juga ada pengikut Syiah yang, menurut mereka, diperkirakan sekitar satu hingga tiga juta pengikut. Belakangan kelompok Syiah semakin demonstratif menunjukkan identitasnya, terutama melalui Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) sebagai sayap gerakan sosialnya. Selain IJABI, ada juga komunitas Syiah yang tergabung dalam Ahlul Bait Indonesia (ABI). Selain itu, juga ada kelompok Ahmadiyah yang terus diperdebatkan keberadaannya. Mereka diperkirakan berjumlah sekitar 500 ribu jiwa yang tersebar di 242 cabang Ahmadiyah di berbagai wilayah di Indonesia. Mereka masih tetap eksis, meskipun sudah keluar Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Tahun 2008 yang membekukan kegiatan Ahmadiyah.6 Di luar ormas-ormas yang sudah mempunyai akar sejarah yang cukup kuat di Indonesia, munculnya ormas-ormas baru yang lahir pada awal tahun 2000-an seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengusung ideologi kekhalifahan Islam, Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), pecahan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang dikomandani Abu Bakar Baasyir. Selain itu ada juga Front Pembela Islam (FPI) yang aktif menyeru anti tempat maksiat ikut mewarnai dinamika keagamaan di Indonesia. Di luar itu, masih banyak kelompok dan komunitaskomunitas kecil yang turut mewarnai dinamika keagamaan di Indonesia. Berdasar ilustrasi tersebut jelas bahwa Indonesia dibangun di atas pondasi pluralisme dan keanekaragaman sosial. Bila pondasi ini terganggu, maka kekokohan pondasi bangsa kita juga akan terganggu. Karena itu, semua eksponen bangsa dituntut untuk merawat dan menjaga pluralisme bangsa dari berbagai ancaman yang kian nyata. Keragaman agama, suku, ras, bahasa dan sebagainya tidak boleh sedikitpun dikorbankan, apalagi hanya untuk kepentingan popularitas politik. Merawat pluralisme butuh keberanian dan komitmen, baik komitmen ideologis maupun politis. Komitmen ideologis di sini terkait dengan kekokohan ide bahwa pluralisme merupakan anugerah Tuhan yang harus dirawat dan dijaga. Karena itu, membela pluralisme sama artinya kita sedang membela titah Tuhan. Merusak pluralisme sama artinya merusak titah Tuhan. Tak ada keraguan sedikit pun tentang hal ini. Sedangkan komitmen politis terkait dengan perjuangan politik agar kebijakan-kebijakan Negara tidak justru merusak pluralism, tapi sebaliknya, melindungi dan merawat. Pada tingkat ini, perjuangan merawat pluralism tidak bisa dilakukan hanya dengan pidato-pidato politik, tapi harus diikuti dengan nyali politik untuk menghadapi siapapun yang mengganggu sendi kebangsaan ini.

Islam Nusantara Sebagai Modal Sosial Dengan pemeluk lebih dari dua ratus juta, Indonesia dikenal sebagai Negara dengan 6 SKB No 3/2008, No Kep-033/A/JA/6/2008, dan No 199 Tahun 2008 tanggal 9 Juni 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Masyarakat.

3


pemeluk Islam terbesar di dunia. Karena itu, meletakkan agama sebagai perekat harmoni sosial tidak bisa tidak harus melihat corak dan karakter Islam yang berkembang di Indonesia. Di tengah gejolak sejumlah Negara muslim di Timur Tengah, Islam Indonesia masih mampu menjaga harmoni, bahkan menjadi jangkar kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu cara untuk memahami corak dan karakter Islam di Indonesia adalah dengan menelaah bagaimana Islam masuk ke Indonesia. Para ahli sejarah mengemukakan sejumlah teori –bahkan terkadang spekulasi—mengenai sejarah awal mula Islam masuk Indonesia dan bagaimana proses islamisasi terjadi. Masalah pokok yang ingin dijawab beberapa teori itu adalah kapan, dari mana, oleh siapa, dan bagaimana Islam datang ke Indonesia. Dalam catatan Azyumardi Azra,71 paling tidak ada tiga teori kedatangan Islam ke Indonesia. Pertama, Islam masuk Indo nesia pada abad I H/7 M langsung dari Arab (Handramaut) ke pesisir Aceh. Teori ini juga dikukuhkan dalam seminar masuknya Islam ke Indonesia 1962 di Medan. Pembela teori ini adalah Naquib al-Attas dan sejarawan "pribumi" seper ti Hamka, A. Hasjmi dan M. Yunus Jamil. "Teori Arab" ini juga dipegang oleh penulis-penulis asing seperti Crawfurd dengan catatan bahwa interaksi penduduk nusantara dengan kaum muslim yang berasal dari timur pantai India merupakan faktor penting penyebaran Islam di nusantara. Demikian juga dengan Keijzer memandang Islam nusantara berasal dari Mesir karena adanya kesamaan dalam hal menganut mazhab Syafi’i. Teori ini juga diikuti Niemann dan De Holander dengan sedikit revisi dimana mereka memandang Islam nusantara bukan dari Mesir tetapi dari Handramaut.8 Sikap moderat penulis-penulis Barat pro "teori Arab" tersebut berbeda dengan penulis “pribumi” yang secara tegas menyatakan bahwa Islam masuk langsung dari Arab (tidak dari India), tidak pada abad 12/13 M, tapi sejak abad 7 M yang ditandai dengan adanya saudagar Arab di pelabuhan nusantara. Abdul Rahman Haji Abdullah,9 misal nya, mengatakan bahwa pada abad 7 M ini telah terjadi kontak bisnis kapur barus antara penduduk nusantara dengan saudagar Arab. Teori ini banyak diajukan oleh sejarawan Islam bermuara pada keinginan untuk mengatakan bahwa Islam yang ada di nusantara adalah Islam yang asli dan otentik, datang dari pusat asalnya, bukan Islam periferal dan sinkretis. Namun demikian, teori Arab ini agak gagap untuk menjawab pertanyaan bagaimana konversi agama terjadi dan bagaimana proses-proses islamisasi terlibat di dalamnya. Keterga gapan itu dapat dimaklumi mengingat para pedagang terse but tidak semata-mata bertujuan untuk menyebarkan Islam, sehingga konversi agama dan proses islamisasi belum ada. Padahal kedua hal tersebut merupakan kondisi yang harus ada dalam sebuah penyebaran agama. Kedua, teori yang dikemukakan oleh sarjana-sarjana Belanda seperti Pijnappel, G.W.J. Drewes. Mereka berteori bahwa asal muasal Islam di nusantara adalah dari Anak Benua India, bukan Persia atau Arabia yang dikaitkan dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurutnya, adalah orang -orang Arab bermazhab Syafi'i yang berimigrasi dan menetap di wilayah India dan 7 Lihat Azyumardi Azra, “Islam di Asia Tenggara, Pengantar Pemikiran”, dalam Azra (Ed.), Perspektif Islam Asia Tenggara, (Jakarta: YOI, 1989), h. xi-xiii. 8 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII, (Bandung: Mizan, 1995), cet. III, h. 28-29. 9 Lihat Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Umat Islam di Nusantara, Sejarah dan Perkembangannya hingga Abad ke-19, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990), h. 24-30.

4


kemudian membawa Islam ke nusantara. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje yang berhujjah, begitu Islam berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India, muslim Deccan datang ke dunia Melayu Indonesia sebagai penyebar Islam pertama. Baru kemudian disusul orang-orang Arab bergelar Sayyid dan SyarÎf yang menyelesaikan penyebaran Islam di nusantara dengan menjadi "pendeta" (priest) maupun "pende ta-penguasa" (priestprinces) atau Sultan. Proses ini terjadi pada abad ke-12 M sebagai periode yang paling mungkin permulaan penyebaran Islam di nusantara dalam arti sebenarnya. Ketiga, teori yang dikembangkan Fatimi yang menya takan bahwa Islam datang dari Benggali (Bangladesh) karena kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Islam muncul kali pertama di Semenanjung Malaya adalah dari arah pantai Timur --bukan dari Barat (Malaka)-- melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran dan Trengganu. Ia beralasan bahwa secara doktrin Islam di Semenanjung sama dengan Islam di Phan rang, sementara elemen-elemen prasasti yang ditemukan di Trengganu juga mirip dengan prasasti di Leran. Drewes, seorang ahli sejarah tentang Indonesia, mengkritik teori ini terutama yang berkaitan dengan prasasti yang dinilai sebagai "perkiraan liar". Lagi pula, mazhab yang dominan di Benggala adalam mazhab Hanafi, bukan Syafi'i'.10 Mengenai siapa yang menyebarkan Islam ke nusanta ra, kebanyakan sarjana Barat memegang teori bahwa penye barnya adalah pedagang muslim sembari melakukan perda gangan di wilayah ini dan melakukan perkawinan dengan wanita setempat. Hal ini berbeda dengan pendapat A.H. Johns dalam buku "Sufisme as a Category in Indonesia Literature and History" sebagaimana dikutip Azyumardi Azra,115 sulit mempercayai bahwa para pedagang muslim juga berfungsi sebagai penyebar Islam. Karena, jika mereka aktif dalam penyebaran Islam, mengapa Islam belum nyata sebelum abad 12 M. Padahal para pedagang muslim sudah ada di nusantara sejak abad 7 M. Dengan kata lain, meskipun penduduk pribumi telah bertemu dan berinteraksi dengan pendagang muslim sejak abad 7 M, namun tidak terdapat bukti tentang adanya penduduk lokal dalam jumlah besar yang masuk Islam atau islamisasi substansial di nusantara. Atas dasar itu A.H. Johns mengajukan teori bahwa adalah para sufi pengembara, berkat otoritas karismatik dan kekuatan spiritual mereka, yang melakukan penyebaran Islam di nusantara dan berhasil mengislamkan penduduk nusantara dalam jumlah besar sejak abad 13 M. Hal ini dikarenakan kemampuan para sufi dalam menyajikan Islam secara moderat, khususnya penekanan kesesuaian antara Islam dengan budaya lokal, dibanding perubahan dalam praktek dan kebudayaan lokal, sehingga Islam di kawasan ini --teruta ma Jawa—oleh para peneliti Barat seperti Harry J. Benda,12 Clifford Geertz,13 Wer theim,14 Robert Jay,15 Howard M. Fiderspiel,16 dan lain-lain disebut Islam sinkretik.17 Penyebutan sinkretik di sini memang cenderung peyoratif 10

Mengenai bukti sejarah serta kelemahan masing-masing teori lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, h. 24-36. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, h. 31-33. 12 Lihat Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980). 13 Lihat Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981). 14 Lihat W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition, (Bandung: Sumur, 1956) 15 Robert Jay, Santri and Abangan, Religious Schism in Rural Java, (Harvard: Harvard University, 1957). 16 Howard M. Fiderspiel, Persatuan Islam, Pembaruan Islam Indonesia Abad XX, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), h. 1-3. 17 Sinkretik di sini dapat diterjemahkan dalam dua perspektif. Pertama, bercampurnya ajaran Islam dengan nilai-nilai setempat yang sudah hidup dan dipraktekkan masyarakat sejak sebelum datangnya Islam. Kedua, ajaran Islam terlah bercampur dengan nilai-nilai serta tradisi 11

5


dimana Islam Indonesia dianggap Islam yang sudah ”tidak asli” lagi, sudah bercampur dengan bid’ah dan khurafat. Namun, tuduhan semacam ini tidak seluruhnya benar karena aspek-aspek dasar bangunan Islam di Indonesia tidak berbeda dengan Islam di belahan dunia yang lain. Hal yang membedakan adalah cara mengekspresikan Islam. Jika di tempat lain tradisi lokal dimusuhi dan dimusnahkan, Islam di Indonesia justru merangkul. Cara demikianlah yang memungkinkan lebih dari 200 juta penduduk Indonesia memeluk Islam. Persoalannya kemudian, kenapa gelombang sufi pengembara baru aktif sejak abad ke-13? A.H. Johns, sebagaimana diungkap Azyumardi Azra berhujah, tarekat sufi tidak menjadi ciri yang cukup dominan dalam perkembangan dunia muslim sampai jatuhnya Baghdad pada 656 H/1258 M. Pada masa ini tarekat sufi secara bertahap menjadi institusi yang stabil dan disiplin, serta mengembangkan afiliasi dengan kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan yang turut membentuk masyarakat urban. Mengikuti teori A.H. Johns tentang dominasi sufi dalam penyebaran Islam nusantara, disadari atau tidak, turut membentuk karakteristik Islam Indonesia yang lebih bercorak sufistik. Corak demikian turut mempengaruhi tumbuh suburnya kehidupan dan watak sufi --dibanding watak intelektual filosofis-- di Indonesia yang pada gilirannya juga melahirkan tokoh-tokoh sufi besar seperti Nûr al-dîn al-Raniri, Hamzah Fansuri, Abd al-Rauf al-Sinkili, Muhammad Yusuf al-Maqassari, sejumlah tokoh Walisongo di Jawa, dan sebagainya. Oleh karena itu, tidak heran jika wacana intelektualisme Islam Indoensia dalam sejarah lebih banyak diwarnai oleh wacana sufistik. Dalam konteks perkembangan peradaban Islam, proses islamisasi di Indonesia memang terjadi ketika dunia Islam sudah mengalami masa penurunan kekuatan, baik secara politik, ekonomi maupun intelektual. Moderatisme sebagai Landasan Merawat Harmoni Salah satu corak yang menjadi ciri penting Islam Indonesia adalah moderatisme. Karakter demikian menjadi kekuatan penting untuk menjaga keseimbangan dan harmoni sosial, baik dalam konteks nasional maupun global. Dalam perkembangan global mutakhir, Islam memiliki peran sangat penting dalam menentukan arah perubahan dunia. Islam juga semakin berkembang di berbagai belahan dunia, baik kuantitatif maupun kualitatif. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris, dan Jepang, misalnya, Islam menduduki peringkat tertinggi dalam perkembangan dan penambahan pemeluknya, baik karena migrasi maupun konversi. Di sisi lain, ekspresi kultural dan politik Islam di berbagai belahan dunia memiliki ciri khas masing-masing, sesuai dengan karakter, budaya dan tradisi yang hidup dan berkembang di kawasan tersebut. Islam Nusantara atau Indonesia --dalam arti luas meliputi wilayah maritim atau kepulauan kawasan Asia Tenggara—memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh Islam di kawasan lain. Dalam perkembangan dunia mutakhir, Islam bukan saja berkompetisi dengan agama dan kebudayaan lain, melainkan juga berkompetisi di antara sesama Islam yang berada di kawasan-kawasan lain untuk memengaruhi perkembangan dunia global. masyarakat pedagang India, Persia dalam menyebarkan Islam. Lihat Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia masa Orde Baru, (Bandung: Mizan 1990), h. 37.

6


Sekarang ini kita juga menyaksikan konflik berkepanjangan di berbagai wilayah di Timur Tengah, yang sebagian besar muslim. Konflik yang berkelindan antara sekte keagamaan dengan paham politik telah berlangsung lama meskipun eskalasinya naik turun. Peradaban Islam yang dibangun susah payah mereka hancurkan sendiri. Perkembangan ini tentu tidak menguntungkan Islam, baik sebagai agama maupun sebagai peradaban. Jika tidak diantisipasi dengan cermat, bukan tidak mungkin konflik politik yang dibalut dengan pesoalan sekte keagamaan tersebut potensial merembes ke Indonesia. Bahkan, ada kelompok yang memang ingin membawa dan menghidupkan konflik tersebut ke Indonesia. Gejala ini sangat bisa kita rasakan. Timur Tengah yang selama ini menjadi kiblat dalam melihat dunia Islam, sedang berada dalam instabilitas politik yang parah. Arab Spring yang berhembus di berbagai belahan dunia Islam sejak 2010, ternyata tidak sepenuhnya membawa perubahan yang mencerahkan. Tidak sedikit kawasan Timur Tengah yang masih terus bergolak, saling berperang, saling bunuh yang sebagian besar dilakukan sesama umat Islam. Munculnya ISIS juga menjadi tambahan persoalan yang ketika muncul Arab Spring nyaris tak terduga. Secara internasional sekarang ini sedang terjadi pergeseran geopolitik dan peta aliansi dalam merespon berbagai persoalan. Meski sebagian kalangan masih ada yang beranggapan Islam sebagai ancaman terhadap nilai-nilai modernitas, namun harus diakui, dalam perkembangan global mutakhir, Islam memiliki peran sangat penting dalam menentukan arah perubahan dunia. Islam juga semakin berkembang di berbagai belahan dunia, baik kuantitatif maupun kualitatif. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris, dan Jepang, misalnya, Islam menduduki peringkat tertinggi dalam perkembangan dan penambahan pemeluknya, baik karena migrasi maupun konversi.18 Hal yang terakhir ini semakin manarik kalau proyeksi peta agama dunia yang dirilis Lembaga riset demografi Pew Research Center (PRC) pada April 2015 lalu, benar. Dalam riset berjudul: “The Future of World Religions: Population Growth Projections 2010-2050.19 Riset yang mengolah data umur, tingkat kelahiran dan kematian, data migrasi dan perpindahan agama pada populasi delapan kelompok agama mayoritas. Pada tahun 2010, populasi delapan agama mayoritas di dunia adalah: Kristen (31,4%); Islam (23,2 % atau 1,6 milyar pemeluk); Hindu (15 %), Budha (7,1 %); agama local (folk religion, 5,9 %); Yahudi (0,2 %); agama tak berafiliasi (unaffiliated, 16,4 %) seperti ateisme dan agnostic; agama lainnya (0,8 %) Proyeksi yang dibuat PRC pada 2050, populasi muslim menanjak paling tinggi menjadi 29, 7 % (2,76 milyar pemeluk). Kristen stabil diangka 31,4 %. Prosentase mulim dan Kristen diperkirakan sama pada tahun 2070 dengan angka 32,3 %. Tiga dekade berikutnya, 2100 muslim menjadi 34,9 %, dan Kristen 33,8 %). Riset ini juga mencatat, ateisme, agnostic dan kaum tak beragama meski meningkat di beberapa Negara seperti AS dan Perancis, namun secara global menurun dari 16,4 % (pada 2010) menjadi 13,2 % (pada 2050). Sedangkan agama-agama yang lain seperti Hindu, Budha dan Yahudi tidak banyak mengalami pergesesan hingga empat dekade mendatang. 18

Lebih lanjut baca M Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini, Penerjemah Zarkowi Sujuti, (Jakarta: RajaGrafindo, 2005). Hasil survey Pew Research Center mengenai proyeksi pertumbuhan penduduk muslim selengkapnya dapat diakses melalui http://www.pewforum.org/2015/04/02/religious-projections-2010-2050/ 19

7


Apa makna data-data tersebut umat Islam Indonesia? Indonesia sebagai negeri mayoritas muslim terbesar di dunia, tentu berkepentingan dengan perubahan peta dunia tersebut. Persoalannya, apakah peningkatan jumlah muslim tersebut akan membawa ketenangan dan perdamaian dunia, atau justru menjadi ancaman. Pada konteks inilah umat Islam Indonesia seharusnya berkepentingan untuk memastikan perkembangan Islam tersebut menuju ke arah penguatan moderatisme dan perdamaian, bukan justru mengarah pada ekstrimisme dan pertikaian. Umat Islam di berbagai wilayah memiliki tantangannya sendiri, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Tantangan internal terutama terkait dengan munculnya kelompokkelompok puritan yang berujung pada sikap takfir dan menganggap diri yang paling benar; serta munculnya kelompok radikal-teroris yang menjadikan Islam sebagai legitimasi tindak kekerasan. Sementara tantangan eksternal antara lain munculnya islamophobia20 yang menganggap Islam dan muslim sebagai ancaman, baik pada level kelompok maupun Negara. Kedua hal tersebut, baik internal maupun eksternal, saling mempengaruhi, bahkan bergesekan. Tidak bisa dipungkiri, hal tersebut mempengaruhi dinamika kehidupan keagamaan dan kebudayaan pada umumnya. Dinamika tersebut, mungkin saja ada sisi positif, namun tidak jarang pengaruh itu menjurus pada terciptanya ketegangan dalam masyarakat, baik dalam skala lokal maupun internasional. Kita juga juga dihadapkan dengan kenyataan global berupa semakin derasnya arus perpindahan orang (moving people) baik yang bersifat sementara seperti untuk pendidikan dan turisme, maupun yang bersifat permanen. Perpindahan orang dari satu tempat ke tempat lain bukan hanya perpindahan fisik tapi juga berarti perpindahan dimensi non fisik seperi worldview, nilai-nilai, ideologi dan kebudayaan. Hal ini diperkuat dengan perkembangan teknologi informasi yang merangsek masuk ke lorong-lorong kehidupan kita. Tidak ada dunia yang tidak bisa ditembus perkembangan teknologi dengan nilai dan ideologi yang ada di dalamnya. Arus budaya harus direspon dengan membangun dan memperkuat budaya sendiri sehingga mampu berdialog dan bernegosiasi secara setara dengan nilai dan budaya asing. Dalam kerangka seperti itulah Islam Nusantara sebagai sebuah identitas yang tumbuh dan berkembang di nusantara perlu bangkit membangun, mempengaruhi dan memperkuat peradaban dunia. Sebagai sebuah identitas, Islam Nusantara mempunyai watak kosmopolitan karena ia dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai kebudayaan, seperti pengaruh Cina, Yunnan-Champa, India, Persia, dan tentu saja Arab.21 Dengan demikian, sejak awal Islam Nusantara berwatak terbuka, mampu menyerap dan menyaring peradaban lain yang akhirnya membentuk identitas sendiri. Watak kosmopolitanisme tersebut menjadikan Islam nusantara tidak anti terhadap kebudayaan lain, apalagi kebudayaan Arab yang memang tumbuh bersama dan berada di dalam ajaran Islam. Islam dan Arab adalah dua sisi dari satu koin mata uang, bisa dibedakan tapi sulit dipisahkan. Dengan demikian, Islam nusantara sebagai identitas penting untuk digaungkan sebagai kiblat baru dunia Islam. Hal ini karena: pertama, Islam nusantara adalah sesuatu yang nyata dan 20 Baca Nathan Lean, The Islamophobia Industry, How the Right Manufactures Fear of Muslims, (UK: PlutoPress, 2012). Lihat juga Deepa Kumar, Islamophopia and the Politic of Empire, (Chicago: Hypermarket Books, 2012). 21 Lihat Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, (Jakarta: Pustaka IIMAN dan LTN PBNU, 2012).

8


hidup dalam masyarakat nusantara sebagai hasil dari proses sejarah yang panjang. Islam nusantara bukanlah mitos, tapi fakta sejarah. Kedua, Islam nusantara merupakan peradaban yang dibangun dalam waktu yang lama dimana organisasi-organisasi seperti NU, Muhammadiyah, alWasliyah dan sebagainya menjadi penopang utama. Para ulama dan pendakwah Islam, para sufi menjadi tokoh sentral penyebaran Islam yang jejak-jejaknya bisa dilihat dan nilai-nilai yang diwariskan terus dilanjutkan ulama-ulama Indonesia dari waktu ke waktu. Ketiga, Islam nusantara memiliki karakter yang sangat khas yang menonjolkan toleransi, moderat, harmoni, dialog dan perdamain. Keempat, seluruh ekspresi Islam nusantara merupakan cara beragama yang sah dalam pandangan ajaran Islam. Salah satu karya peradaban Islam nusantara adalah tumbuhnya organisasi-organisasi keagamaan yang menjadi penopang gerakan Islam nusantara. Organisasi-organisasi seperti NU, Muhammadiyah, al-Irsyad, al-Wasliyah, Perti dan sebagainya dengan orientasinya masingmasing menjadi kekayaan sosial yang tak terhingga, baik bagi Islam maupun Indonesia. Organisasi sosial keagamaan yang rata-rata lahir pada awal abad 20 ini telah tumbuh menjadi penyangga dan perekat kebangsaan. Islam nusantara mempunyai tanggung jawab besar untuk mengambil peran sejarah untuk mempengaruhi dan menentukan arah peradaban Islam dan dunia. Indonesia sangat beruntung mempunyai organisasi keislaman, terutama NU dan Muahammadiyah—yang mempunyai visi kebangsaan yang jelas. Organisasi-organisasi ini menjadi jangkar kehidupan berbangsa dan bernegara karena mampu menyeimbangkan antara keislaman dan keindonesiaan.22 Meski Indonesia bukan Negara Islam, namun kecintaan NU dan Muhammadiyah pada Negara ini tak sedikitpun berkurang. Sikap kenegaraan seperti inilah yang memungkinkan Indonesia secara ideologi tetap stabil meski goncangan datang silih berganti. NU dan Muhammadiyah telah membuktikan bahwa keislaman dan keindonesiaan bukanlah dua hal yang perlu dipertentangkan, tapi bisa harmoni dan saling memperkuat. Hal tersebut tidak semata karena persoalan politik, tapi paham keagamaan yang dikembangkan kedua organisasi ini memang memungkinkan keislaman dan keindonesiaan bisa hidup bersama. Menjadi muslim yang otentik sekaligus menjadi orang Indonesia yang setia dengan prinsip-prinsip kehidupan berbangsa. Hal itulah yang menyebabkan NU misalnya, tanpa ragu dan tanpa halangan teologis menerima Pancasila sebagai ideologi bernegara. Bahkan, dalam Muktamar ke-27 tahun 1984, ulama-ulama NU sudah berketetapan hati bahwa Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar Negara merupakan bentuk final Negara RI. Arus besar umat Islam Indonesia telah berketetapan hati bahwa Islam adalah keyakinan atau akidah yang melampuai dataran negara dan kemasyarakatan. Sedangkan negara dan fakta sosial adalah profan yang harus terus diperbaiki melalui misi agama. Agama memberikan inspirasi dan berfungsi komplementer bagi suatu misi negara dan kemasyarakatan. Pancasila dengan lima sila di dalamnya adalah misi utama negara yang harus mendapatkan inspirasi dari keyakinan agama. Karena itu dakwah amar ma’ruf nahi munkar dalam berbagai level kehidupan merupakan tugas utama Islam untuk terus memperbaiki negara dan kemasyarakatan. 22 Baca Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai, Konstruksi Sosial Berbasis Agama, (Yogyakarta: LKIS, 2007). Baca juga Ali Masykur Musa, Nasionalisme di Persimpangan, Pergumulan NU dan Paham Kebangsaan Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2011).

9


Landasan keislaman yang relevan untuk memandu kehidupan sosial yang harmonis harus didasarkan pada sikap tawasuth (moderat). Sikap ini diambil dengan kesadaran intelektual yang kokoh dengan hujjah dan adillah yang tak meragukan. Sikap demikian dipraktikkan ulamaulama Nusantara dalam menghadapi berbagai persoalan, baik menyangkut persoalan agama, politik maupun sosial budaya. Sikap moderat di samping dibangun melalui landasan teologis dan fiqih tertentu, juga kemampuan membedakan antara tujuan (ghayah) dan perantara (wasilah). Keteguhan pada ghayah dan lentur dalam menentukan wasilah menjadi salah satu modal kearifan yang menuntun sikap tawasuth. Sikap moderat Islam nusantara merupakan implementasi dari doktrin ahlussunnah wal jama’ah yang terimplementasi pada bidang teologi, fiqih dan tasawuf.23 Pandangan moderat dalam Islam dasar-dasarnya telah diletakkan Imam Hasan Basri dan pilar-pilarnya dibangun oleh Abu Bakar al-Qalanisi; Abdullah bin Kullab; Abu al-Harits asSa’dullah al-Muhasibi. Paham tawasuth dalam teologi ini ditempuh dengan menggabungkan naqli dan ‘aqli sebagaimana dikembangkan Imam al-Asy’ari dan melahirkan ilmu kalam yang tidak terjebak pada tekstualisme atau rasionalisme. Mayoritas umat Islam menerima prinsip wasathiyah yang dirumuskan Imam al-Asy’ari dan mampu mendinamisir perkembangan akademik bidang teologi. Moderatisme Imam al-Asy’ari ini diperkokoh oleh para teolog berikutnya seperti Abu Bakar al-Baqillani, al-Ghazali, Imam al-Razi, ad-Dasuki dan sebagainya melalui karya-karya intelektualnya. Paham moderat ini menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam. Paha mini tidak hanya dipegangi para ulama tapi juga dipeluk masyarakat biasa. Mazhab teologi demikian biasa dikatakan menjadi mazhab mayoritas dalam dunia Islam hingga kini. Di samping bidang teologi, moderatisme juga ditunjukkan dalam bidang fiqih. Fiqih merupakan proses akal dalam memahami nash al-Quran dan Hadits dengan menggunakan berbagai metode yang disepakati. Para ulama NU merumuskan sikap tawasuth dalam fiqih dengan mengikuti salah satu mazhab empat. Meski demikian, yang paling banyak diikuti adalah Mazhab Syafi’iyah yang dirintis Abu Abdullah bin Idris as-Syafi’i (w. 204 H) yang menulis surat jawaban kepada Gubernur Abdurrahman al-Mahdi yang kemudian dikenal sebagai kitab alRisalah. Melalui kitab itulah Imam Syafi’i dikenal sebagai peletak dasar ilmu ushul al-fiqh. Sedangkan moderasi dalam bidang tasawuf dilakukan ulama NU dengan menempatkan Imam Abu Hamid al-Ghazali sebagai tokoh yang mampu mendamaikan tasawuf falsafi dan tasawuf ‘amali. Imam al-Ghazali berhasil menghubungkan antara syari’at dengan haqiqat, dhahir dan batin. Dengan tegas al-Ghazali mengatakan: syariat tanpa hakikat cenderung fasik, demikian juga hakikat tanpa syariat cenderung zindiq. Jalan tengah yang dikemukakan alGhazali menjadikan tawasuf dan fiqih bisa berjalan seiring. Orang-orang yang sebelumnya anti tasawuf menjadi lebih membuka diri. Inilah jalan tengah yang ditempuh Imam Ghazali dan diikuti sebagain besar ulama nusantara, terutama ulama-ulama NU sebagai penyangga utama Islam nusantara. Dengan modal moderasi pada bidang teologi, fiqih dan tawawuf tersebut, ulama-ulama 23

Mengenai dasar-dasar paham keagamaan NU, baca Rumadi, Islamic Post Traditionalism in Indonesia, h. 15-74.

10


pendiri NU, terutama Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah memberikan kontribusi besar dalam melapangkan jalan tengah hubungan krusial antara Islam dan Negara kebangsaan. Ulama-ulama nusantara tidak membenturkan antara Islam dan nasionalisme, sebaliknya mengintegrasikan karena keduanya saling memperkuat dan melengkapi. Islam tanpa nasionalisme tidak akan mampu menyatukan bangsa yang beraneka ragam baik agama, suku, ras maupun budaya. Sebaliknya, nasionalisme tanpa diberi spirit Islam hanya akan menjadi bangunan hampa, jasad tanpa ruh. Nasionalisme dengan spirit Islam inilah yang bisa menyatukan keanekaragaman sebagai fakta sosial bangsa Indonesia yang tak bisa diingkari. Karakteristik Islam Nusantara Islam nusantara bukanlah sinkretisme teologis yang mencampuradukkan berbagai keyakinan, tapi Islam yang sadar akan bumi tempatnya berpijak. Kesadaran ini akan realitas historis akan menjauhkan dari sikap memaksakan budaya yang berangkat dari masyarakat tertentu ke masyarakat yang lain. Islam memang tidak bisa dipisahkan dari Arab, namun budaya Arab tidak selalu identik dengan Islam. Jika dirumuskan lebih jauh, karakteristik Islam nusantara adalah sebagai berikut: 1.

Mengedepankan Dialog dan Jalan Damai. Dialog dan jalan damai merupakan karakteristik yang diturunkan dari ajaran dan proses islamisasi nusantara yang dilakukan oleh para sufi. Mereka telah memberi contoh bagaimana mendakwahkan Islam agar masuk ke dalam sanubari masyarakat. Dialog dan jalan damai akan menghasilkan keberislaman yang jauh lebih kokoh daripada cara-cara kekerasan dan instimidasi. Dialog dan jalan damai merupakan pilihan –bukan keterpaksaan-- yang didasari prinsip-prinsip ajaran Islam.

2.

Adaptif dengan Tradisi Lokal Kehadiran Islam ke nusantara bukan dengan merusak dan menghancurkan tradisi lokal nusantara, baik yang terkait dengan simbol-simbol fisik maupun non fisik. Sikap adaptif ini senafas dengan karaktistik dialog dan jalan damai. Adaptif bukan sinkretik, tapi kemampuan untuk mensenyawakan ajaran Islam ke dalam adat istiadat masyarakat sehingga terjadi hubungan yang harmoni antara Islam dengan tradisi dan adat istiadat yang sudah hidup dalam masyarakat. Tradisi dan adat istiadat masyarakat tetap dibiarkan hidup, tapi worldview-nya diganti dengan worldview Islam. Karakter adaptif ini yang menjadikan Islam di nusantara bukan seperti “keyakinan lain� yang dipaksakan, tapi sudah menjadi bagian dari keyakinan dan kebudayaan masyarakat itu sendiri.

3.

Bertumpu pada Kekuatan Masyarakat Islam nusantara bukanlah Islam yang hidupnya tergantung pada kekuasaan politik. Jika kekuasaan politik runtuh, runtuh juga keislamannya. Meski Islam membutuhkan supporting politik, tapi kekuasaan politik bukan tumpuan utama kekuatan Islam. Kekuatan Islam yang sebenarnya adalah kekuatan kultural yang ada dalam masyarakat yang dipandu oleh ulama. 11


Kekuatan Islam sebagai civil society inilah yang menjadikan ulama-ulama Islam, terutama di lingkungan NU, berperan signifikan dalam memberi pengayoman terhadap masyarakat di satu pihak dan pengawal keutuhan Negara di pihak lain. Ulama tidak hidup di menara gading. Mereka hidup berada ditengah masyarakat sehingga memahami gerak denyut nadinya; katalisator dan penyambung lidah masyarakat; dan menjadi jangkar kehidupan masyarakat. Goncangan-goncangan akibat perubahan, baik sosial maupun politik, selalu dapat redam dengan peran ulama. Hal inilah yang menyebabkan, sebesar apapun perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial dan politik tidak menimbulkan kegoncangan luar biasa yang mengancam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bertumpu pada kehidupan masyarakat ini pada gilirannya akan melahirkan kemandirian baik pada ekonomi, sosial maupun budaya. 4. Penopang Nasionalisme Islam nusantara tidak mempertentangkan Islam dan nasionalisme, bahkan keutuhan bangsa dan Negara menjadi tanggung jawabnya. Cinta pada tanah air merupakan kesadaran pentingnya membangun tanah tempat berpijak. Ulama-ulama NU sudah memberi contoh kecintaan dan pembelaan terhadap Negara tanpa syarat. Demi keutuhan bangsa dan Negara mereka rela Indonesia tidak menjadi Negara Islam. Bahkan tujuh kata “Piagam Jakarta� pun rela dicoret dari konstitusi pada awal pembentukan Negara Indonesia. Namun, hal itu tidak sedikit pun mengurangi kecintaan pada Indonesia. Karena itu, NU sebagai eksponen Islam nusantara akan berdiri di barisan terdepan jika ada orang atau kelompok yang mengganggu konsensus nasional. Kecintaan kepada bangsa dan Negara tak sedikit pun mengurangi kecintaan pada Islam. Bahkan, kecintaan pada Islam dan membangun peradaban tidak mungkin dilakukan jika kaki tidak berpijak di atas tanah yang bisa kita kelola secara merdeka. Karena itu, nasionalisme bagi Islam nusantara dan NU merupakan prasyarat penting untuk membangun peradaban Islam. 5. Kesetaraan Warga Negara Islam nusantara memandang warga Negara mempunyai posisi setara. Tidak ada keistimewaan satu warga Negara atas yang lain. Karena itu, apapun agama, etnis dan asal usul ras harus diperlakukan setara, tanpa diskriminasi. Kesetaraan warga Negara merupakan kelanjutan dari penerimaan paham Negara-bangsa yang meletakkan Negara sebagai “kontak sosial� yang harus melindungi seluruh warganya. Perlindungan Negara terhadap warganya, tanpa diskriminasi, merupakan wujud dari kesetiaan pada prinsip-prinsip dasar Islam, manusia merupakan makhluk Tuhan paling mulia. Perlindungan Negara atas warganya semata-mata karena dia manusia yang menjadi warga Negara, bukan karena yang lain. 6. Menolak Ekstrimisme Esktrimisme merupakan cara berpikir dan bertindak yang bertentangan dengan prinsip tawasuth (moderat) dan tasamuh (toleran). Di manapun posisi ekstrim berada, ia senantiasa akan melahirkan goncangan dan disharmoni. Posisi ekstrim bisa terkait dengan persoalan agama, ekonomi maupun budaya. Karakter Islam nusantara akan selalu menjadi penyeimbang yang bisa melahirkan kehidupan harmoni. Ekstrimisme dalam beragama bisa 12


melahirkan tindakan intoleran, bahkan terorisme yang menghalalkan kekerasan, merusak dan membunuh untuk memperjuangkan keyakinannya. Cara-cara demikian, alih-alih memperjuangkan agama, justru sebaliknya hanya akan merusak agama. Dalam sejarahnya yang panjang, Islam nusantara menolak cara-cara esktrem dalam beragama. Dengan karakteristik ini, Islam nusantara tidak alergi dan akan menjadi mitra kritis gagasan-gagasan modern, seperti demokrasi dan hak asasi manusia yang sekarang menjadi kiblat perjuangan dunia. Demokrasi dan hak asasi manusia tentu membawa nilai-nilai baru yang bisa menimbulkan ketegangan dengan Islam. Tapi dengan prinsip-prinsip dan karakteristik yang dikembangkan Islam nusantara, perbedaan tersebut tidak harus dipertentangkan dan diperhadapkan, tapi harus membuka diri untuk saling memberi dan menerima (take and give). Kesediaan untuk memberi dan menerima inilah yang memungkinkan terjadinya kesimbangan tata dunia dan tegaknya peradaban yang menghargai hakikat dan martabat kemanusiaan. Pengalaman kebangsaan muslim di Indonesia dengan meletakkan Pancasila sebagai dasar Negara yang mampu mengayomi semua jenis keyakinan merupakan bagian dari peradaban Islam nusantara yang sangat penting. Meskipun Indonesia bukan Negara yang menjadikan Islam sebagai dasar Negara, namun Indonesia juga bukan Negara yang mengabaikan pentingnya nilainilai keagamaan sebagai rujukan dalam pengelolaan Negara. Pengalaman Indonesia Mengelola Keragaman Keragaman merupakan keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Kegagaln dalam menyikapi keanekaragaman, baik suku, agama, ras maupun etnis, akan merusak sendi-sendi kebangsaan. Kenyataan beraneka ragam inilah yang dikenal dengan pluralisme. Sebagian kalangan menolak istilah pluralisme agama, namun sebagian yang lain tidak keberatan dengan istilah ini. Kalangan yang keberatan dengan istilah pluralisme agama sering kali menyederhanakan makna pluralisme dalam sebuah pengertian mempersamakan agama-agama. Pluralisme agama bisa dimaknai sebagai sikap menyadari dan mengakui adanya pluralitas agama serta berbagai ajarannya. Dialog antaragama bukan untuk menyatukan akidah dan ajaran agama-agama, tetapi lebih dari itu adalah sebagai upaya untuk menciptakan adanya mutual understanding diantara pemeluk agama. Perdebatan tentang makna pluralisme dalam kehidupan beragama di Indonesia hampir tak pernah berujung. Semboyan yang kita kenal dengan Bhineka Tunggal Ika atau E Pluribus Unum adalah semboyan yang hampir sama maknanya. Yang pertama digunakan di Indonesia dan yang kedua di Amerika.24 Baik Indonesia maupun Amerika sama-sama mempunyai masyarakat yang majemuk dengan sejumlah perbedaannya. Diterimanya Pancasila sebagai dasar bernegara di Indonesia merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh para pendiri bangsa ini untuk memelihara keanekaragaman yang ada di Indonesia. Jika pihak-pihak yang ada di negeri ini hanya memikirkan kepentingan kelompoknya saja, tanpa peduli dengan kelompok lain, 24 Donald K. Emerson, “Konflik Peradaban atau Fantasi Huntington�, dalam Ulumul Qur’an; Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Vol. III, No. 4, (Jakarta: LSAF, 1992), h. 50

13


Indonesia tidak akan bisa bertahan lama. Dalam sebuah sistem demokrasi, penghormatan atas kemajemukan merupakan prasarat mutlak dimana mayoritas tidak bisa seenaknya sendiri dalam bersikap. Suara-suara kelompok lain, bahkan harus diapresisasi dan diakui keberadaannya. Pemaksaan penyeragaman merupakan salah satu sikap pengingkaran kemajemukan itu sendiri yang sudah menjadi ketentuan Allah. Sebagai bangsa yang plural dalam banyak aspek kehidupan, Indonesia memang mempunyai sejumlah kekhasan sekaligus permasalahan tersendiri. Kekhasannya, sejumlah aliran keagamaan tumbuh subur, bahasa daerah sangat beragam, serta sejumlah kekhasan lainnya. Konflik-konflik dengan isu agama yang terjadi di Indonesia seringkali dicurigai sebagai bungkus isu yang diproduksi oleh kepentingan politik. Hal yang paling penting untuk kita pikirkan adalah bagaimana membentuk dan membentengi masyarakat yang sadar bahwa agama sering dijadikan sebagai komoditas politik. Komoditas politik ini tidak selalu terkait dengan hubungan antaragama, tapi persoalan hubungan antar aliran dalam satu agama juga tidak kalah peliknya. Isu-isu di kelompok seagama saja bisa menjadi faktor terjadinya berbagai kerusuhan. Misalnya saja apa yang terjadi kepada jamaah Ahmadiyah, Syiah dan beberapa kelompok lain dalam Islam bisa menimbulkan ketegangan dan konflik sosial. Konflik, dengan sejumlah motifnya seringkali ditimbulkan dari cara pandang serta sikap keberagamaan seseorang atau kelompok yang sempit dan perasaan paling benar sendiri. Sikap keberagamaan tidak jarang terjebak pada pelbagai bentuk formalisme dogma yang dibungkus normatifitas yang disosialisasikan/didakwahkan secara represif. Ketika agama melembaga menjadi sebuah institusi suatu komunitas, terjadilah reduksi sesuai dengan faham kelompok yang—bisa jadi—bersifat sangat eksklusif. Sikap yang diakibatkan dari eksklusifisme kelompok ini adalah fanatisme yang bisa terjatuh pada menuhankan agama. Kebenaran dipahami hanya bisa datang dari ajaran-ajaran dogmatis agama, institusi, atau kelompoknya sendiri. Yang datang dari luar, apapun jenis dan motifnya, akan dianggap sebagai ketidaksesuaian. Sejatinya, sulit sekali menemukan konflik yang benar-benar bermotif agama. Biasanya, dalih umum yang berkembang seputar konflik yang beraroma agama adalah adanya “politisasi agama” yang dimainkan pihak yang tidak bertanggungjawab. Politisasi agama sangat mungkin dilakukan oleh siapapun, baik penguasa, politisi, maupun juga tokoh-tokoh agama tertentu. Banyak sekali deretan konflik yang dibalut isu agama yang terjadi di Indonesia. Masyarakat Indonesia sebenarnya mempunyai kelenturan dan daya tahan dari berbagai konflik sosial. Meskipun sejak runtuhnya orde baru kita menyaksikan adanya letupan konflik yang melibatkan aspek keagamaan, namun hal ini tidak sampai meruntuhkan sendi-sendi kebangsaan. Konflik yang terjadi di Ambon, Poso, Sampit, serta kekerasan yang dialami kelompok Ahmadiyah dan Syiah –sekedar sebagai contoh—menjadi pelajaran berharga betapa sulitnya merawat harmoni. Hal yang paling adalah memberi kekebalan kepada masyarakat agar tidak mudah terbawa arus kelompok yang ingin menjadikan agama sebagai sarana menyulut konflik sosial. Dalam kaitan ini ada contoh yang sangat bagus dari Kabupaten Pohuwato Provinsi 14


Gorontalo. Di tengah semakin meningkatnya iklim intoleransi kehidupan beragama di sejumlah wilayah, masih banyak teladan kehidupan toleransi beragama di sebuah kampung yang jauh dari hingar bingar perkotaan. Jika di Bekasi ada Kampung Sawah yang merupakan potret mini masyarakat Betawi yang plural, saling membantu meski berbeda agama, di Gorontalo ada sebuah desa bernama Banuroja yang terletak di Kabupaten Pohuwato. Desa ini layak dijadikan contoh bagaimana mengelola keragaman suku, agama dan budaya dengan bermodal kearifan sosial. Desa ini letaknya cukup terpencil. Untuk sampai ke desa ini ditempuh sekitar empat jam perjalanan dari Gorontalo dengan medan jalan yang cukup berat. Posisi Kabupaten Pohuwato yang berbatasan dengan Sulawesi Tengah juga menarik diperhatikan. Ketika terjadi konflik bernuansa agama di Sulawesi Tengah dan merembet ke berbagai wilayah di Sulawesi, namun tidak mampu menembus ke Pohuwato. Hal ini terjadi karena tokoh-tokoh agama Pohuwato mempunyai kesadaran yang cukup tinggi bahwa konflik yang terjadi di Palu dan sekitarnya pada awal tahun 2000-an merupakan konflik kepentingan elit yang mengorbankan rakyat jelata dengan menggunakan simbol-simbol agama. Pernyataan demikian penulis dengar berulang-ulang dari tokoh-tokoh agama di sana. Nah, Desa Banuroja sendiri sebenarnya singkatan dari Bali, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo dan Jawa. Tidak jelas siapa yang kali pertama memberi nama itu, namun yang jelas desa transmigrasi itu memang dihuni orang dari berbagai wilayah Indonesia dengan keragaman suku, budaya dan agama. Memasuki Desa Banuroja kita akan merasa memasuki perkampungan di Bali. Rumah-rumah dengan pure di halaman berderet sepanjang jalan. Beberapa ratus meter kemudian ada sebuah pesantren dan masjid cukup megah dengan santri tidak kurang dari 800 orang. Pesantren bernama Salafiyah Syafi’iyah (sama dengan Pesantren ternama di Situbondo Jatim) itu diasuh seorang kiai transmigran dari Cirebon, KH. Abdul Ghafir Nawawi. Kiai Ghafir, demikian biasa disebut, merintis pesantren tersebut sejak awal tahun 1980-an. Kini dialah yang menjadi jangkar dari Desa Banuroja. Pandangan-pandangan keagamaannya yang toleran terbuka menjadikan Kiai Ghafir tempat “berteduh� masyarakat setempat yang sangat beragam. Tidak jauh dari pesantren tersebut berdiri pure desa yang cukup luas. Di sebelahnya lagi ada dua gereja, yaitu Gereja Protestan Indonesia Gorontalo (GPIG) dan Gereka Pentakosta. Ketika penulis berdialog dengan tokoh-tokoh agama di tempat ibadah tersebut muncul kesan bahwa mereka mempunyai modal sosial yang cukup kuat untuk menjaga keharmonisan kehidupan beragama. Namun, tersirat juga kekhawatiran adanya pengaruh-pengaruh dari luar, terutama dengan munculnya gerakan-gerakan radikal yang bisa mereka lihat melalui televisi. Bahkan, seorang ustaz di pesantren Salafiyah Syafi’iyah juga menyampaikan kekhawatiran masuknya gerakan intoleran ke desa mereka yang bisa merusak keharmonisan yang sudah mereka jaga selama lebih dari 30 tahun. Seorang pendeta di gereja Pentakosta juga mulai khawatir ada yang mempermasalahkan eksistensi gereja, karena tetangga Desa Banuroja sudah mulai ada kelompok yang menghambat pendirian gereja. Dari cerita Desa Banuroja tersebut hanya potret kecil yang menunjukkan bahwa masyarakat kita sebenarnya mempunya modal sosial yang cukup kuat untuk membangun toleransi. Penulis percaya, masih banyak perkampungan-perkampungan di berbagai pelosok 15


negari ini yang bisa membangun kehidupan toleransi dan kerukunan hidup beragama tanpa mempersoalkan apakah ada aturan atau undang-undang yang mengatur soal kerukunan. Saya percaya dengan teori yang menyatakan, terkait dengan kehidupan beragama, masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah masyarakat yang toleran dan moderat. Sikap-sikap intoleran dan ekstrim bukanlah karakter asli masyarakat Indonesia. Teladan kecil lain dapat dilihat di Kampung Sawah, Desa Jatimurni, Bekasi. Jatimurni yang dimekarkan dari Desa Jatiranggon, tak banyak dikenal. Justeru Kampung Sawah amat legendaris sejak zaman penjajahan Belanda. Di kampung ini bersembunyi para buronan VOC dan menjadi perkampungan Betawi pertama yang mengalami kebhinekaan agama dan etnis. Pemeluk Katolik, Islam dan Protestan adalah mayoritas. Namun di kampung ini juga ada pemeluk Hindu dan Budha. Suara adzan di setiap waktu solat selalu terdengar di seluruh penjuru kampung. Nadanya mendayu-dayu, meluncur dari sebuah masjid di lingkungan Pesantren Fisabilillah. Beberapa menit kemudian, dari gereja Katolik yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari masjid, lonceng tua berdentang. Tak jauh dari masjid dan gereja itu, berdiri gagah Gereja Kristen Pasundan. Jemaat Protestan, pemilik tempat ibadah ini, bisa beribadah tenang, tanpa takut terusik. Suara adzan tak terasa riuh di dalam gereja. Sebaliknya, dentang lonceng juga tak memekakkan telinga jamaah masjid. Baik adzan maupun lonceng gereja, volumenya memang diatur agar tak saling mengganggu. Tak ada keberingasan di kampung itu. Tak pernah terjadi perseteruan di antara mereka. Bila ada kematian, apapun agama yang meninggal, warga serempak melayat. Mereka membantu semampunya, dan turut mengantarkan jenazah. Saat tahlilan, warga non-muslim menunggu di luar rumah. Begitu acara usai, semua bergabung mencicipi hidangan atau sekadar bercengkerama. Begitu pula ketika penghiburan. Kerabat muslim akan sabar menunggu di luar, sampai acara ritualnya selesai. Hal ini bukan berarti di Kampung Sawah sama sekali tidak ada konflik. Ketika sebagian warga membangun tempat ibadah yang dianggap tidak procedural, sebagian warga yang lain protes. Di sini pemerintah desa turun tangan. Sambil meneliti aspek prosedural, kepala desa menfungsikan balai desa sebagai tempat ibadah, sehingga konflik bisa teratasi. Di sinilah nilainilai kebersamaan dan kewajaran dibangun untuk memastikan masyarakat yang berlainan agama bisa hidup berdampingan. Kekerabatan dan ketetanggaan dengan prinsip tidak saling merugikan menjadi hukum tidak tertulis yang menyatukan mereka. Kesediaan berkorban untuk menjaga harmoni menjadi pilar lain warga Kampung Sawah. Umat Islam di sana tidak mempermasalahkan salat Magrib-nya sedikit terganggu dengan alunan musik gereja. Ketika ada protes juga tidak dimaknai sebagai ajakan berseteru, tapi sebagai aspirasi yang harus didengar untuk menjaga harmoni. Sebaliknya, umat Kristini dan umat lain juga menerima waktu istirahatnya terganggu dengan dikumandangkannya adzan, terutama ketika adzan subuh.25 Tapi, damai Kampung Sawah kini terancam dengan hadirnya kelompok-kelompok keagamaan baru baik dari kalangan Islam maupun Kristen. Kehadiran mereka membawa nilai25 Baca Abdul Azis, “Teladan dari kampong Sawah�, dalam Gamal Ferdi (editor), Ragam Ekspresi Islam Nusantara, (Jakarta: The Wahid Institute, 2008), h. 33.

16


nilai dan semangat baru yang terkadang berbenturan dengan tradisi harmoni yang sudah lama dipelihara masyarakat Kampung Sawah.26 Ancaman terbesar bagi toleransi warga Kampung Sawah bukan dari penduduk asli, tapi dari pendatang yang tidak tahu adat kehidupan warga. Hal demikian tidak hanya di Kampung Sawah, tapi terjadi di hampir semua daerah yang terlibat dalam konflik sosial keagamaan. Masyarakat Indonesia yang pada dasarnya toleran dengan berbagai perbedaan dan mampu menjaga harmoni, namun tidak mempunyai daya tahan dari pengaruh luar yang mendorong tindakan intoleran. Dalam kaitan dengan munculnya intoleransi ini ada beberapa persoalan yang penting mendapat perhatian. Pertama, terjadinya perpindahan masyarakat (moving people) dan pergeseran representasi (shifting representation). Perpindahan masyarakat dari satu tempat ke tempat lain, baik di dalam negeri maupun antarnegara, merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Perpindahan itulah yang justru menjadikan kehidupan masyarakat menjadi dinamis. Namun, perpindahan itu selalu membawa implikasi sosial yang sering tidak diperhitungkan. Perpindahan itu bukan hanya persoalan yang bersifat fisikal, tapi juga berpindahnya ideologi, pemikiran dan cara pandang. Perpindahan ini juga akan berimplikasi pada perubahan pola representasi kelompok-kelompok dalam masyarakat yang biasanya diikuti dengan goncangan politik karena menyodok kesadaran primordial. Goncangan ini juga bisa membawa implikasi berikutnya berupa konflik dan ketegangan, bahkan kekerasan. Perpindahan masyarakat dan pergeseran representasi tidak hanya mengubah komposisi populasi secara kuantitatif, tapi juga akan merubah komposisi kualitatif, bahkan simbolis, seperti munculnya paham-paham keagamaan baru yang sering ditumpangi berbagai kepentingan, baik kepentingan penyebaran paham itu sendiri maupun kepentingan yang bersifat ekonomi dan politik. Perkembangan teknologi dan informasi turut berperan penting dalam proses moving people dan shifting representation tersebut dimana ideologi dan paham-paham keagamaan baru mudah melakukan penetrasi. Kedua, fenomena tersebut akan berujung pada penguatan identitas primordial, baik itu budaya, agama atau etnis yang menuntut adanya identifikasi diri dan kelompoknya secara eksklusif untuk membedakan dengan orang atau kelompok lain. Proses identifikasi secara eksklusif akan memunculkan ketegangan, permusuhan, bahkan kekerasan untuk melindungi atau mendapat resource tertentu. Resource di sini tidak selalu dalam bentuk materiil, tapi juga bisa berupa spiritual, bahkan resource yang bersifat simbolik. Ketiga, masyarakat kita biasanya belum punya daya tahan dan imunitas dari pengaruh buruk moving people tersebut. Daerah-daerah yang dulu dikenal damai tapi tiba-tiba terjadi konflik keagamaan, biasanya karena kurang menyadari adanya implikasi moving people sehingga mereka tidak menyiapkan imunisasi untuk menangkal dampak buruknya yang bisa merusak modal sosial masyarakat. Desa Banuroja sebagaimana diilustrasikan di atas bukan tidak mungkin akan terinfiltrasi gerakan radikal yang bisa berakibat adanya ketegangan sosial. Di sinilah pentingnya memberikan daya imunitas kepada masyarakat yang berkarakter toleran tersebut dari pengaruh kelompok intoleran. Hal ini penting untuk menjadi perhatian bersama. 26

Lihat laporan Majalah GATRA edisi Lebaran, 29 Desember 2000.

17


Jika tidak, jangan kaget kalau suatu saat bangsa ini berubah menjadi bangsa yang intoleran. Karena itu, di tengah situasi kehidupan keagamaan yang semakin mengkhawatirkan, ternyata teladan toleransi itu masih kita temukan di kampung-kampung. Itulah yang menjadikan kita masih optimis untuk menata kehidupan di masa depan. Penutup Bangsa Indonesia memang mempunyai landasan toleransi dan harmoni yang cukup kokoh. Meski demikian, tantangan yang dihadapi juga tidak ringan. Sejumlah peristiwa konflik bernuansa agama yang terjadi di sejumlah daerah menunjukkan hal tersebut. Pembakaran Masjid di Tolikara menjelang menjelang solat Idul Fitri dan pembakaran sejumlah gereja di Aceh Singkil beberapa waktu lalu membuka mata kita, bahwa intoleransi masih menjadi persoalan bagi Indonesia. Peristiwa ini melengkapi kasus-kasus sebelumnya, baik terkait dengan tempat ibadah, kekerasan terhadap kelompok yang dianggap menyimpang seperti Ahmadiyah dan Syiah, serta kelompok-kelompok penganut keyakinan keagamaan yang masih belum merasakan ketenangan untuk menjalankan keyakinannya. Di pihak lain, gerakan gelompok radikal, baik yang berbasis lokal maupun bagian dari gerakan global menjadi tantangan serius bagi bangsa Indonesia. Hal tersebut merupakan ancaman serius yang bisa merusak sendi-sendi toleransi yang menjadi dasar tegaknya Indonesia. Membiarkan kelompok-kelompok intoleran terus menjalankan agendanya sama artinya membiarkan bangsa ini dirusak. Karena itu, membendung gerakan intoleransi dengan terus menggemakan pentingnya harmoni dan toleransi. [ ]

18


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.