9 minute read
Bab 13 Negeri Belanda dan Skandinavia
Di Negeri Belanda, kelaliman kepausan segera menimbulkan protes. I Tujuh ratus tahun sebelum zaman Luther, paus Roma, tanpa takut, dituduh oleh dua orang uskup, yang telah pernah dikirim sebagai duta ke Roma. Mereka telah mengetahui tabiat sebenarnya “Sri Paus”: Allah “telah menjadikan gereja permaisuri-Nya, istrinya, untuk menjadi pemelihara yang agung selama-lamanya bagi keluarganya, dengan mas kawin yang tidak akan luntur atau binasa, dan memberikan kepadanya mahkota kekal dan tongkat kekuasaan ... yang kesemuanya memberikan keuntungan kepadamu seperti pencuri yang tercegat. Engkau menempatkan dirimu di bait suci seperti Allah; gantinya sebagai gembala engkau telah menjadi serigala kepada domba-domba;... engkau membuat kami percaya bahwa engkau adalah uskup tertinggi, tetapi engkau bahkan bertindak bagaikan seorang lalim
Yang sebenarnya engkau harus menjadi hamba kepada hamba-hamba seperti yang engkau katakan, namun engkau telah berusaha menjadi tuan segala tuan Engkau membuat perintahperintah Allah jatuh kepada kehinaan … Roh Kudus adalah pembangun semua gereja sejauh dunia masih terbentang … Kota Allah kita, di mana kita menjadi warganya, meliputi seluruh alam semesta. Kota Allah itu lebih besar dari kota yang disebut nabi-nabi kudus Babel yang berpura-pura bersifat Ilahi, mengangkat dirinya ke langit dan menyombongkan diri bahwa hikmatnya kekal. Dan akhimya, walaupun tanpa alasan, ia mengaku bahwa ia tidak pernah salah, atau tidak akan pernah salah.” Brandt, “History of the Reformation in and about the Low Countries,” b. 1, hlm. 6.
Yang lain bangkit menggemakan protes ini dari abad ke abad. Dan guru, guru pada zaman itu, yang menjelajahi berbagai negeri dan dikenal dengan berbagai nama, menghidupkan tabiat misionaris Vaudois, dan menyebarkan ke mana-mana pengetahuan Injil itu, memasuki Negeri Belanda. Ajaran mereka menyebar dengan cepat. Alkitab Waldenses mereka terjemahkan dalam bentuk ayat-ayat ke dalam bahasa Belanda. Mereka menyatakan “bahwa ada keuntungan besar di dalamnya. Tak ada lelucon, tidak ada cerita dongeng, tidak ada hal yang sepele, tidak ada kekurangan, tetapi semuanya adalah perkataan kebenaran. Memang benar, di sana sini ada kerak-kerak yang mengeras, tetapi sumsum dan manisnya apa yang baik dan suci dengan mudah bisa ditemukan di dalamnya.” Brandt, b. 1, him. 14. Demikianlah dituliskan oleh sahabat-sahabat iman zaman kuno pada abad kedua belas.
Sekarang mulailah penganiayaail Romawi. Tetapi di tengah-tengah tumpukan kayu bakar dan penganiayaan, orang-orang percaya terus ber-tambah. Mereka dengan teguh menyatakan bahwa Alkitab adalah satu-sa-tunya pedoman agama yang tidak bisa salah, dan bahwa “tak seorang pun harus dipaksa untuk mempercayainya, tetapi harus dimenangkan dengan khotbah.” Martyn, Jld. II, hlm. 87. Ajaran Luther mendapat tanah subur di Negeri Belanda. Orang-orang yang sungguh-sungguh dan setia bangkit untuk mengkhotbahkan Injil. Dari salah satu propinsi negeri Belanda muncullah Menno Simons. Seorang Katolik Roma yang terdidik, dan yang diurapi kepada keimamatan, ia sama sekali masih buta mengenai Alkitab, dan ia tidak akan membacanya, karena takut tertipu menjadi bidat. Pada waktu keragu-raguan mengenai doktrin penjelmaan roti dan air anggur menjadi daging dan darah Kristus meng-ganggu pikirannya, ia menganggapnya sebagai godaan Setan, dan oleh doa dan pengakuan ia berusaha membebaskan diri dari gangguan itu, tetapi siasia. Dengan hidup boros ia berusaha untuk mendiamkan suara hati nuraninya yang mengganggunya. Namun tanpa hasil apa-apa. Setelah beberapa waktu lamanya ia dituntun untuk mempelajari buku Perjanjian Baru. Dan buku ini bersama-sama dengan tulisan-tulisan Luther membuat ia menerima iman yang diperbarui. Segera sesudah itu ia menyaksikan di kampung yang berdekatan pemenggalan kepala seseorang yang dihukum mati oleh karena dibaptiskan ulang. Hal ini menuntunnya mempelajari mengenai baptisan bayi. Ia sama sekali tidak menemukan bukti-bukti di dalam Alkitab mengenai hal ini, tetapi menemukan bahwa pertobatan dan imanlah sebagai syarat untuk menerima baptisan.
Menno mengundurkan diri dari gereja Roma, dan membaktikan hidupnya kepada pengajaran kebenaran yang telah diterimanya. Suatu golongan orang-orang fanatik telah bangkit, baik di negeri Belanda maupun di Jerman, yang menganjurkan ajaran-ajaran yang tidak masuk akal dan yang menghasut, melanggar hukum dan kesopanan, dan menimbulkan kekerasan dan pemberontakan serta huru-hara. Menno melihat akibat yang mengerikan yang diakibatkan oleh gerakan ini, dan dengan keras ia menentang ajaranajaran yang salah dan rencana-rencana liar golongan fanatik itu. Namun, banyak orang yang telah disesatkan oleh kaum fanatik ini, telah meninggalkan ajaran-ajaran sesatnya. Masih ada tinggal beberapa keturunan orang Kristen purba, buah-buah dari pengajaran Waldenses.
Menno bekerja dengan bersemangat dan berhasil di antara golongan-golongan ini. Selama dua puluh lima tahun ia bersama isterinya dan anak-anaknya mengembara menanggung kesulitan besar, pengucilan, dan sering membahayakan nyawanya. Ia menjelajahi negeri Belanda dan Jerman bagian utara, terutama bekerja di antara golongan-golongan rakyat biasa, namun berusaha menyebarluaskan pengaruhnya. Secara alamiah ia pandai berbicara. Meskipun mempunyai pendidikan yang terbatas, ia mempunyai integritas yang tidak goyang, mempunyai kerendahan hati dan tabiat yang lemah lembut, dan seorang yang tulus dan saleh yang sungguhsungguh, sehingga nyata dalam hidupnya semua jaran-ajaran yang diajarkannya, dan membawa rasa keyakinan orang banyak. Pengikut-pengikutnya tersebar, berpencar di manamana, dan ditindas. Mereka sangat menderita oleh karena disamakan de-ngan pengikut-pengikut Munster yang fanatik. Tetapi banyak sekali yang bertobat atas usahanya.
Doktrin yang diperbarui itu lebih banyak diterima di negeri Belanda daripada di negara mana pun. Di beberapa negara pengikut-pengikutnya mengalami penganiayaan yang mengerikan. Di Jerman, Charles V telah melarang Pembaruan, dan dengan gembira membunuh para pengikutnya di tiang gantungan. Tetapi para pangeran berdiri sebagai penghalang melawan kelalimannya. Di negeri Belanda kuasanya lebih besar lagi, dan dekrit penganiayaan dikeluarkan susul menyusul dengan cepat. Membaca Alkitab, mendengarkannya atau mengajarkannya, atau bahkan berbicara mengenai itu akan mendatangkan hukuman mati di atas tiang gantungan. Berdoa kepada Allah di tempat tersembunyi, tidak menyembah patung, atau menyanyikan nyanyian Mazmur juga bisa dihukum mati. Bahkan mereka yang menyangkal kesalahannya juga dipersalahkan. Jika laki-laki, dibunuh dengan pedang, dan jika wanita, dikubur hidup-hidup. Ribuan orang binasa di bawah pemerintahan Charles dan Philip II.
Pada suatu waktu seluruh anggota suatu keluarga dibawa ke hadapan pemeriksa, dituduh menghindari upacara misa, dan berbakti di rumah. Pada pemeriksaan ini, yang biasanya dilakukan dengan rahasia, anak yang paling muda menjawab, “Kami bertelut berdoa, kiranya Allah menerangi pikiran kami dan mengampuni dosa-dosa kami. Kami berdoa bagi pemerintah kami, kiranya pemerintahannya makmur, sejahtera dan hidupnya berbahagia. Kami berdoa bagi hakim-hakim kami, semoga Allah melindunginya.” Wyliee, b. 18, psl. 6. Sebagian dari para hakim yang mendengarnya sangat terkesan, namun sang ayah dan seorang dari anak-anaknya dihukum mati di tiang gantungan.
Kemarahan para penganiaya diimbangi iman para syuhada. Bukan hanya para lelaki, tetapi juga perempuan cantik yang lemah lembut dan wanitawanita muda menunjukkan keberanian yang pantang mundur. “Para isteri berdiri di samping tiang gantungan suaminya, dan sementara suami menahan api yang membakarnya, mereka membisikkan kata-kata penghiburan, atau menyanyikan lagu-lagu pujian untuk memberi semangat.” “Wanitawanita muda memasuki lubang kubur mereka seolah-olah mereka memasuki kamar mereka pada waktu mau tidur malam, atau pergi ke tempat pembakaran dengan memakai pakaian terbagusnya seolah-olah mereka mau pergi ke pesta pernikahannya.” Ibid.
Seperti pada waktu kekafiran berusaha membinasakan Injil, darah orangorang Kristen itu menjadi benih kabar Injil “ Lihat Tertullian’s “Apology,” Alinea 50. Penganiayaan menambah jumlah orang-orang yang bersaksi bagi kebenaran. Tahun demi tahun raja semakin gusar oleh tekad orang-orang yang tak tertundukkan itu, lalu berusaha meningkatkan usahausaha kejamnya, tetapi hasilnya sia-sia. Di bawah William dari Orange, akhimya Revolusi membawa kebebasan beribadat kepada Allah bagi negeri Belanda. Di Pegunungan Piedmont, di dataran Perancis dan pantai-pantai Negeri Belanda, kemajuan pekabaran Injil ditandai dengan pertumpahanpertumpahan darah murid-murid Injil. Tetapi di negeri-negeri di sebelah utara, Injil itu masuk dengan aman. Para mahasiswa dari Wittenberg, yang kembali ke kampung halamannya, membawa iman yang diperbarui itu ke Skandinavia. Penerbitan tulisan-tulisan Luther juga menyebarkan terang kebenaran itu. Orang-orang utara yang sederhana dan keras berbalik dari kebejatan, kemegahan dan ketakhyulan Roma, dan menyambut kemurnian, kesederhanaan dan kebenaran yang memberi kehidupan Alkitab.
Tausen, “Sang Pembaru Denmark,” adalah anak seorang petani. Sejak kecil ia sudah menunjukkan intelektual yang keras. Ia haus akan pendidik an, tetapi keinginannya ini tidak terpenuhi oleh karena keadaan orangtuanya. Kemudian ia memasuki sebuah biara. Di sini, kemurnian hidupnya dengan kemajuan dan kesetiaan menjadikannya disenangi oleh atasannya. Ujian menunjukkan bahwa ia mempunyai bakat yang menjanjikan pelayanan yang baik bagi gereja di masa yang akan datang. Diputuskan untuk menyekolahkannya di salah satu universitas di Jerman atau di Nederland. Pemuda ini diizinkan memilih sendiri sekolah yang ia sukai dengan satu syarat, bahwa ia tidak boleh pergi ke Wittenberg. Para sarjana gereja tidak boleh dipengaruhi oleh racun bidat. Demikianlah kata para biarawan itu.
Tausen pergi ke Cologne, yang kemudian, sebagaimana sekarang, men-jadi salah satu benteng pertahanan Romanisme. Di sini ia segera muak de-ngan ilmu mistik para pengajar. Kira-kira pada waktu yang sama ia mendapat tulisan-tulisan Luther. Ia membacanya dengan kagum dan dengan se-nang. Dan dengan kerinduan yang besar ingin menikmati pengajaran pribadi Pembaru itu. Tetapi dengan berbuat demikian ia harus siap menanggung risiko melawan atasan biaranya, dan kehilangan dukungannya. Ia segera membuat keputusan. Dan tidak lama sesudah itu ia mendaftarkan diri menjadi mahasiswa di Wittenberg.
Sekembalinya ke Denmark, kembali ia pergi ke biaranya. Tak seorang pun yang menduga bahwa ia adalah pengikut Lutheranisme. Ia tidak membukakan rahasianya, tetapi berusaha menuntun orang-orang kepada iman yang lebih mumi dan kehidupan yang lebih suci tanpa menimbulkan prasangka buruk teman-temannya. Ia membuka Alkitab, dan menjelaskan artinya yang sebenarnya; dan akhimya mengajarkan Kristus kepada mereka sebagai kebenaran bagi orang-orang berdosa, dan satu-satunya harapan keselamat-an. Kepala biara sangat marah kepadanya. Ia telah mengharapkannya sebagai seorang pembela Roma yang berani. Ia segera dipindahkan dari biaranya ke biara yang lain, dan dimasukkan ke dalam kamar tahanan dengan peng-awasan ketat.
Para pengawalnya yang baru ketakutan karena beberapa biarawan segera menyatakan mereka bertobat kepada Protestantisme. Melalui terali-terali ruang tahanannya Tausen berkomunikasi kepada teman-temannya menge-nai pengetahuan kebenaran. Seandainya para pater Denmark cakap dalam perencanaan gereja me-ngenai penanganan para bidat, maka suara Tausen tidak akan pernah lagi kedengaran.Tetapi sebagai gantinya mengirim dia ke dalam penjara di bawah tanah, mereka mengeluarkannya dari biara. Sekarang mereka menjadi tidak berdaya. Dekrit kerajaan baru saja dikeluarkan, yang memberi perlin-dungan kepada guru-guru doktrin baru. Tausen mulai berkhotbah. Gerejagereja terbuka baginya, dan orang-orang pun berduyun-duyun datang men-dengarkannya. Yang lain juga mengkhotbahkan firman Allah. Alkitab Per-janjian Baru yang diterjemahkan ke dalam bahasa Denmark, diedarkan secara luas. Usaha-usaha yang dilakukan oleh para pengikut paus untuk meng-hancurkan pekerjaan itu, justru meluaskannya. Tidak berapa lama kemudian Denmark menyatakan menerima iman yang diperbarui itu.
Juga di Swedia, para pemuda yang telah meminum air dari sumur Witten-berg membawa air hidup itu ke negeri mereka dan memberikannya kepada orang-orang di sana. Dua orang pemimpin Pembaharuan Swedia, Olaf dan Laurentius Petri, anak-anak seorang pandai besi dari Orebro, belajar dari Luther dan Melanchthon. Dan kebenaran yang mereka telah pelajari, mereka ajarkan dengan rajin. Sebagaimana Pembaharu besar itu, Olaf memba-ngunkan orangorang oleh semangatnya dan kemahirannya berbicara, se-mentara Laurentius, seperti Melanchthon, adalah orang yang terpelajar, penuh pikiran dan tenang. Keduanya adalah orangorang saleh yang giat, yang mempunyai pencapaian teologi yang tinggi, dan yang mempunyai keberanian yang sangat, dalam memajukan kebenaran. Oposisi para pengikut paus tidak berkurang. Imam-imam Katolik menggerakkan orang-orang bodoh dan penganut ketakhyulan. Olaf Petri sering diserang oleh orang banyak, dan dalam beberapa kejadian hampir-hampir tidak dapat menyela-matkan jiwanya. Tetapi para Reformis itu sebenarnya disukai dan dilindungi oleh raja.
Di bawah kekuasaan Gereja Roma, rakyat tenggelam dalam kemiskinan, dan dihempas oleh penindasan. Mereka buta akan Alkitab, dan agama mereka hanya sekadar tanda-tanda dan upacara-upacara yang tidak membawa terang ke dalam pikiran. Mereka kembali kepada kepercayaan ketakhyulan dan praktik-praktik kekafiran nenek moyang mereka. Bangsa ini terbagi kedalam dua bagian yang bersaing satu sama lain. Dan permusuhan mereka itu menambah penderitaan semua orang. Raja bermaksud untuk mengadakan pembaruan di dalam negara dan gereja, dan ia menyambut para pembantu yang berkemampuan ini dalam melawan Roma. Di hadapan raja dan orang-orang terkemuka Swedia, Olaf Petri dengan kemampuan besar mempertahankan ajaran-ajaran iman yang diperbarui itu melawan jago-jago Romawi. Ia menyatakan bahwa pengajaran para pater diterima hanya kalau itu sesuai dengan Alkitab. Bahwa doktrin-doktrin penting mengenai iman disajikan di dalam Alkitab dengan cara yang jelas dan sederhana, sehingga semua orang bisa mengerti. Kristus berkata, “Ajaran-Ku tidak berasal dari diri-Ku sendiri, tetapi dari Dia yang telah mengutus Aku(Yohanes 7:16). Dan Rasul Paulus menyatakan bahwa kalau ia mem-beritakan Injil yang lain selain dari yang ia sudah terima, terkutuklah dia (Galatia 1:8).
“Jadi, bagaimana sekarang,” kata Pembaru itu, “haruskah orang-orang lain membuat dogma dengan sesuka hati, dan memberlakukannya sebagai sesuatu yang perlu bagi keselamatan?”
Wylie, b. 10, psl. 4. Ia menunjukkan bahwa dekrit gereja tidak berwenang jikalau bertentangan dengan herintah-perintah Allah, dan mempertahankan prinsip-prinsip Protestan yang utama, bahwa “hanya Alkitab saja satu-satunya” peraturan dan ukuran iman dan perbuatan. Kontes ini, walaupun dilakukan dengan keadaan yang samar-samar, menunjukkan kepada kita “jenis orangorang yang membentuk lapisan dan barisan prajurit para Pembaru. Mereka tidak buta huruf, tidak pendukung sesuatu sekte, dan bukan penentang yang suka ribut jauh dari itu. Mereka adalah orang-orang yang telah mempelajari firman Allah, dan mengetahui benar bagaimana menggunakan senjata yang diberikan oleh Alkitab.
Dalam hal pengetahuan, mereka telah mendahului zamannya. Bilamana kita memusatkan perhatian kita kepada pusat-pusat mengagumkan seperti Wittenberg dan Zurich, dan kepada nama-nama seperti Luther dan Melanchthon, Zwingli dan Oecolampadius, kita cenderung mengetahui bahwa mereka inilah pemimpin pergerakan itu, dan sewajarnyalah kita mengharapkan adanya kuasa luar biasa dan kemahiran yang luas pada mereda. Tetapi tidak demikian dengan bawahan mereka. Baiklah kita memandang kepada gedung kesenian yang tidak terkenal di Swedia, dengan nama-na»na sederhana Olaf dan Laurentius Petri mulai dari guru-guru sampai kepada murid-murid apakah yang kita dapati? . . . Para sarjana dan pakar-pakar teologi. Orang-orang yang telah menguasai seluruh sistem kebenaran Injil, dan yang telah memperoleh kemenangan dengan mudah atas orang-orang yang pandai memutarbalikkan argumentasi di sekolah-sekolah dan pemukapemuka Roma.” Ibid.
Sebagai akibat dari perdebatan ini, raja Swedia menerima iman Protestan, dan tidak lama kemudian majelis nasional menyatakan dukungannya. Alkitab Perjanjian Baru diterjemahkan ke dalam bahasa Swedia oleh Olaf Petri, dan raja ingin kedua bersaudara itu menerjemahkan seluruh Alkitab. Dengan demikian untuk pertama kalinya rakyat Swedia menerima firman Allah dalam bahasa mereka sendiri. Dewan Perwakilan Rakyat memerintahkan agar diseluruh kerajaan itu para pendeta menerangkan Alkitab, dan agar anak-anak di sekolah-sekolah diajar untuk membaca Alkitab. Dengan tetap dan pasti kegelapan kebodohan dan ketakhyulan diusir oleh terang Injil.
Bangsa itu mengalami kemajuan dan kebesaran yang tidak pernah dialami sebelumnya, setelah dibebaskan dari penindasan Romawi. Swedia menjadi salah satu benteng pertahanan Protestanisme. Seabad kemudian, pada waktu bahaya yang paling sengit, bangsa yang kecil dan lemah ini satu-satunya di Eropa yang berani memberikan pertolongan membantu melepaskan Jerman dari perang Tiga puluh Tahun yang sengit. Tampaknya semua negara Eropa bagian utara akan kembali berada di bawah kelaliman Roma. Tentara Swedialah yang menyanggupkan Jerman untuk mengalahkan kepausan, untuk memenangkan toleransi bagi kaum Protestan pengikut-pengikut Calvin maupun Luther dan mengembalikan kebebasan hati nurani Pembaruan.