Serial Risalah al-Nur
Al-Lama’at (Kilau Cahaya)
Imam Badiuzzaman Sa’id Nursi
Sosok yang memuliakan ulama melalui sabdanya, “Ulama umatku laksana nabi-nabi Bani Israil.” Semoga shalawat dan salam itu terlimpah kepada beliau sebanyak bilangan semua huruf yang digoreskan pena-pena dan memantul pada kata-kata.
Serial Risalah al-Nur
Al-Lama’at (Kilauan-kilauan)
Imam Badiuzzaman Sa’id Nursi
Lama’at Pertama
Dari “Maktub (Surat) Ke-31”
ِ ّ ب ِْســــــــــــــــــــــ ِم ه اّلل َّامر ْ هْح ِن َّامر ۪ح ِمي ِ امظلُ َم َّ ات َا ْن َل ٓ ِا ه َٰل ِا َّ ّٔل ٓ َاه َْت ُس ْب َحاه ََك ِا ۪ ّّن ُل ْن ُت ِم َن ُّ فَنَادهي ِِف امظا ِم ۪م َني “Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, „Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim‟.” (Qs. al-Anbiya‟ [21]: 87)
۪ ِ امُّض َو َاه َْت َا ْر َح ُم َّامر اْح َني ُّ ُّ ِا ْذ َنَ دهي َرب َّ ُهٓ َا ۪ ّّن َم َّس ِ َِن “Dan Ayyub ketika ia menyeru Tuhannya, „(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua penyayang‟.” (Qs. alAnbiya‟ [21]: 83)
اّلل َل ٓ ِا ه َٰل ِا َّ ّٔل ه َُو عَلَ ْي ِه ت ََو َّ َّْك ُت َوه َُو َر ُّب امْ َع ْر ِش امْ َع ۪ظ ِمي ُ ّ فَ ِا ْن ت ََوم َّ ْوا فَ ُق ْل َح ْس ِ َِب ه “Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah, „Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung.” (Qs. al-Taubah [9]: 129)
اّلل َوِه ْع َم امْ َو ۪لي ُل ُ ّ َح ْسبُنَا ه “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (Qs. Ali „Imran [3]: 173)
َل َح ْو َل َو َل قُ َّو َة ِا َّ ّٔل ِِب ه ّ ِّلل امْ َع ِ ِ ّل امْ َع ۪ظ ِمي Tiada daya dan upaya tanpa pertolongan Allah yang Maha Tinggi lagi Agung
ََي َِب ۪ ۪ٓق َاه َْت امْ َب ۪ا۪ق ََي َِب ۪ ۪ٓق َاه َْت امْ َب ۪ا۪ق
Wahai Tuhan Maha kekal, Engkau Kekal! Wahai Tuhan Maha kekal, Engkau Kekal!
Bagian awal “Maktub (Surat) ke-31” mengungkap “enam lama‟at (kilauan). Setiap lama‟at menjelaskan satu dari banyak cahaya yang ada pada setiap kata di antara kalimatkalimat penuh berkah yang disebutkan di atasnya. Itulah kalimat-kalimat yang, bagi pembacanya sebanyak 33 kali setiap waktu, khususnya antara Maghrib dan Isya‟, memiliki banyak keutamaan.
Lama’at Pertama
Sesungguhnya munajat Sayidina Yunus bin Matta – semoga salawat dan salam dicurahkan atas Nabi kita dan atas (Nabi Yunus) – termasuk munajat paling agung, serta wasilah terpenting bagi terkabulnya doa. Ringkasan kisah Sayidina Yunus a.s ﷺyang masyhur ialah bahwa dia dilemparkan ke laut lalu ditelan ikan besar. Lautan sedang berombak dan bergelombang, sementara malam menakutkan dan gelap gulita. Harapan (bisa selamat) sudah terputus dari segala sisi. Saat berada dalam kondisi seperti ini, dia bermunajat kepada Rabbnya dengan berkata:
َّ َل ٓ ِا ه َٰل ِا َّ ٓل َاه َْت ُس ْب َحاه ََك ِا ۪ ّّن ُل ْن ُت ِم َن امظا ِم ۪م َني “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (Qs. al-Anbiya‟ [21]: 87) Maka dengan munajatnya, itu menjadi perantara keselamatan baginya. Rahasia besar munajat ini adalah bahwa semua sebab-akibat sudah runtuh sama sekali dalam kondisi tersebut. Hal itu karena, yang bisa menyelamatkan (Nabi Yunus) dan mengentaskannya dari situasi tersebut hanyalah Dia yang ketentuan hukum-Nya menembus ke dalam ikan paus, di lautan, dalam malam, dan di langit. Disebabkan malam, lautan, dan ikan paus telah sama-sama menentangnya, maka tidak akan ada yang bisa menyampaikan (Yunus) ke daratan aman kecuali Dia yang mampu menundukkan ketiga hal tersebut semuanya di bawah perintah-Nya. Bahkan jika pun seluruh makhluk membantu (Nabi Yunus) a.s, mereka tak akan memberinya manfaat barang sedikit pun. Artinya, “sebab-akibat” sudah tidak berpengaruh apa pun. Yunus a.s berpendapat seyakin-yakinnya („ain al-yaqin) bahwa tidak ada tempat berlindung selain kepada Sang Penyebab segala sebab-akibat (musabbib al-asbab), sehingga rahasia “keesaan” (ahadiyyah) tersingkap baginya dalam cahaya “tauhid.” Maka, seketika itu
juga munajat ini menundukkan malam, lautan, dan ikan paus, baginya secara bersamaan. Dengan cahaya tauhid, (munajat) tersebut telah menjadikan perut ikan paus laksana kapal selam. Dengan cahaya tauhid, (munajat) tersebut telah menjadikan lautan ganas penuh gelombang sebesar gunung itu laksana padang luas yang aman, nyaman, dan tenang untuk dilalui. Dengan cahaya ini, (munajat) menyingkapkan mendung dari wajah langit, dan menjadikan bulan di atas kepala tampak laksana lentera. Makhluk-makhluk yang tadinya menakutkan dan menyesakkan tenggorokannya kini menyunggingkan wajah persahabatan baginya, di setiap penjuru, sehingga sampailah dia ke daratan aman, serta bisa menyaksikan kelembutan rabbani tersebut di balik pohon yaktin (labu). Kita pun tengah berada dalam situasi yang seratus kali lebih menakutkan dari situasi (yang dihadapi) Nabi Yunus a.s. Malam kita adalah masa depan. Dan masa depan kita, menurut pandangan lalai (sepintas), jauh lebih gelap dan lebih menakutkan seratus kali ketimbang malam (yang dilalui Nabi Yunus). Lautan kita adalah bola bumi kita yang berputar bergejolak. Di setiap gelombang lautan ini, di antara banyak gelombangnya, terdapat ribuan jenazah, sehingga ia seribu kali jauh lebih menakutkan dari lautan (tempat Nabi Yunus dilemparkan). Sedangkan hawa nafsu kita, itulah ikan paus kita, sebab ia berusaha mempersempit dan menghancurkan kehidupan kita yang abadi (di akhirat). Ikan paus ini seribu kali lebih berbahaya dari ikan (yang menelan Nabi Yunus), karena ikan pausnya hanya menelan kehidupan yang berusia seratus tahun, sementara ikan paus kita berusaha menghabisi kehidupan kita (di akhirat) yang membentang ratusan ribuan juta tahun. Mengingat kondisi kita yang sebenarnya demikian itu, maka kita harus meneladani Sayidina Yunus a.s. Kita harus berpaling dari “sebab-akibat” seluruhnya, dan seketika kita langsung berlindung kepada Rabb satu-satu-Nya yang merupakan “Penyebab segala sebabakibat,” dengan mengatakan:
َّ َل ٓ ِا ه َٰل ِا َّ ٓل َاه َْت ُس ْب َحاه ََك ِا ۪ ّّن ُل ْن ُت ِم َن امظا ِم ۪م َني “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (Qs. al-Anbiya‟ [21]: 87) Kita wajib menyadari seyakin-yakinnya bahwa yang dapat menyelamatkan kita dari bahaya masa depan, dunia, dan hawa nafsu, yang sama-sama mengancam kita karena kelalaian dan kesesatan kita, tidak lain adalah Dia di mana masa depan berada di bawah kekuasaan-Nya, di mana dunia berada di bawah hukum ketentuan-Nya, dan di mana jiwa kita berada di bawah pengaturan-Nya.Wahai gerangan adakah sebab selain Pencipta langit dan bumi, yang memantau lintasan hati kita yang paling tersembunyi dan halus, yang menyinarkan masa depan bagi kita dengan menciptakan akhirat, yang menyelamatkan kita dari ratusan ribu riak gelombang dunia yang mencekik? Bagaimana pun, selain Zat yang wajib ada (Wajib al-wujud) tidak akan ada yang mampu memberikan pertolongan dan bantuan, tanpa kehendak dan perkenan-Nya. Sama sekali tak ada siapa pun selain Dia yang dapat menjadi penyelamat.
Hakikat kondisi (kita sekarang ini) masih demikian pula. Karena itu, sebagaimana ikan paus (berubah) menjadi tumpangan dan kapal selam berkat munajat (Nabi Yunus) ini, lautan menjadi laksana padang luas yang indah dan lembut, dan malam menjadi terang temaram dengan bulan (yang bersinar), maka kita pun wajib mengucapkan rahasia munajat tersebut:
َّ َل ٓ ِا ه َٰل ِا َّ ٓل َاه َْت ُس ْب َحاه ََك ِا ۪ ّّن ُل ْن ُت ِم َن امظا ِم ۪م َني “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (Qs. al-Anbiya‟ [21]: 87) Kita harus menarik tatapan rahmat (Allah) S.w.t kepada masa depan kita dengan kalimat "La ilaha illa anta” ( ;) َل ٓ ِا ه َٰل ِا َ ّ ٓل َاه َْتkita harus menariknya kepada dunia kita dengan kalimat "Subhanaka" ( ;) ُس ْب َحاه ََكdan kita harus َّ ) ِا ۪ ّّن ُل ْن ُت ِم َن. menariknya kepada jiwa kita dengan ucapan "Inni kuntu min al-dzalimin" (امظا ِم ۪م َني Sehingga masa depan kita bercahaya dengan sinar keimanan dan dengan cahaya purnama al-Qur'an, serta ketakutan dan kegentaran malam kita berbalik menjadi kasih sayang dan kesenangan. Kita pun masuk ke dalam hakikat (kebenaran) Islam yang bagaikan bahtera maknawi yang diproduksi di laboratorium al-Qur'an al-Hakim di lautan dunia kita, juga di bumi kita tempat dimasukkannya jenazah-jenazah yang tak terhitung banyaknya karena kematian dan kehidupan yang datang silih berganti tanpa henti menuju ketiadaan setelah mengarunginya selama bertahun-tahun dan berabad-abad, sehingga kita berjalan mengarungi lautan ini dengan damai, bisa sampai ke daratan aman, dan dengan itu kita dapat menuntaskan tugas kehidupan kita. Badai dan riak lautan ini dapat dilepaskan, diganti menjadi pemandangan yang menawan laksana pergantian layar sinema sebagai visi penuh perenungan dan pemikiran, membelainya dan memancarkan cahayanya, sebagai ganti dari menimbulkan rasa takut dan terkejut. Dengan demikian, jiwa(nafsu) amarah buruk kita, melalui rahasia al-Qur‟an ini dan melalui pendidikan Qur‟ani ini, menjadi bahtera-bahtera yang kita tunggangi, bukannya kita yang ditunggangi, serta menjadi sarana kuat untuk meraih kehidupan kita yang abadi.
Kesimpulan Seperti halnya manusia – sesuai sifat dasar alaminya yang menyeluruh – merasa sakit karena demam, dia pun merasa sakit karena (ditimpa) gempa bumi dan guncangannya, serta karena gempa paling dahsyat alam semesta ketika kiamat terjadi. Seperti halnya dia takut pada bakteri yang amat kecil dan yang hanya terlihat dengan mikroskop, demikian pula dia takut pada komet yang terlihat di antara bintang-bintang tinggi di langit. Seperti halnya dia mencintai rumahnya, dia pun mencintai dunia yang besar. Seperti halnya dia mencintai tamannya yang kecil, demikian juga dia mencintai surga abadi yang tak terbatasi oleh batas apa pun dengan sepenuh kerinduan yang dahsyat. Maka, tidaklah mungkin ada Rabb, sembahan, tempat berlindung, tempat selamat dan tempat tujuan, selain Dia yang memegang seluruh jagad raya dengan tangan kekuasaan-Nya, di mana seluruh atom dan planet berada di bawah perintah-Nya. Dan manusia seperti ini pasti selalu perlu mengucapkan, seperti yang diucapkan Nabi Yunus a.s:
َّ َل ٓ ِا ه َٰل ِا َّ ٓل َاه َْت ُس ْب َحاه ََك ِا ۪ ّّن ُل ْن ُت ِم َن امظا ِم ۪م َني “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orangorang yang zalim.” (Qs. al-Anbiya' [21]: 87).
ُس ْب َحاه ََك َل ِع ْ َل مَنَ ٓا ِا َّ ّٔل َما عَل َّ ْم َتنَ ٓا ِاه ََّك َاه َْت امْ َع ۪ل ُمي امْ َح ۪ك ُمي Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Qs. al-Baqarah [2]: 32)
Lama’at Kedua
ِ ّ ب ِْســـــــــــــــــــــــ ِم ه اّلل َّامر ْ هْح ِن َّامر ۪ح ِمي ۪ ِ امُّض َو َاه َْت َا ْر َح ُم َّامر اْح َني ُّ ُّ َو َايوب ِا ْذَنَ دهي َرب َّ ُ ٓه َا ۪ ّّن َم َّس ِ َِن “Dan Ayyub ketika ia menyeru Tuhannya, „(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua penyayang‟.” (Qs. alAnbiya‟ [21]: 83)
Munajat Sayidina Ayyub a.s – sang pahlawan kesabaran – ini mujarab dan manjur sekali. Maka, dalam munajat-munajat kita, kita pun harus mengucapkan (kata-kata) yang dikutip dari ayat,
۪ ِ امُّض َو َاه َْت َا ْر َح ُم َّامر اْح َني ُّ ُّ َر ِ ّب ِا ۪ ّّن َم َّس ِ َِن “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” Ringkasan kisah Sayidina Ayyub a.s yang masyhur sebagai berikut: (Nabi) Ayyub a.s telah menderita luka dan borok dalam waktu lama. Namun, dia menghadapi penyakit itu dengan penuh kesabaran sembari memikirkan besar pahalanya. Tapi ketika cacing-cacing yang keluar dari luka-lukanya mulai mengena hati dan lidahnya, dia memanjatkan doa: “Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, dan ini mengganggu dzikir lisanku dan ibadah hatiku” – (munajat) ini bukan dimaksud demi kenyamanannya, tapi karena dia berpikir agar penyakit tidak (boleh) mengganggu ibadahnya, yang dia laksanakan dengan hati dan lidahnya yang merupakan sarana dzikir pada Allah dan makrifat ilahi. Allah S.w.t pun mengabulkan munajat yang ikhlas, tulus, murni, dan jauh dari segala kotoran tersebut, dengan jawaban yang luar biasa tiada bandingnya. Dan (Allah) memberikan kesembuhan total padanya, serta mencurahkan beragam rahmat-Nya atasnya. Lama‟at ini mengandung lima nuktah (nuktah).
Nuktah PertamaSesungguhnya di dalam diri kita terdapat penyakit-penyakit batini, rohani, dan kalbu, sejalan dengan luka-luka Sayidina Ayyub a.s dan penyakit-penyakit lahiriahnya. Seandainya sisi batin kita berganti menjadi lahiriah, dan sisi lahiriah kita berubah menjadi batin, tentu akan tampak bahwa kita ini terserang luka-luka dan penyakit yang jauh lebih banyak dari yang dialami Sayidina Ayyub a.s. Sebab, setiap dosa yang kita
lakukan, dan setiap syubhat yang merasuk ke otak kita, akan selalu menimbulkan luka-luka di hati dan rohani kita. Luka-luka Sayidina Ayyub a.s hanya mengancam kehidupan dunianya yang pendek. Sedangkan luka-luka maknawi kita, itu akan mengancam kehidupan kita yang kekal abadi. Karena itu, kita sangat perlu membaca munajat Ayyubiyah tersebut, lebih banyak seribu kali dari Ayyub a.s sendiri. Sebagaimana cacing yang keluar dari luka-luka Sayidina Ayyub menyerang hati dan lidahnya, demikian pula halnya luka-luka yang timbul akibat dosa dan kesalahan kita, serta rasa was-was dan ragu-ragu yang bermunculan akibat luka-luka itu, naâ€&#x;udzu billah, (pasti) akan menyerang batin hati kita yang merupakan tempat keimanan. Maka, (luka-luka) itu pun menggerogoti dan mengoyak keimanan kita, lalu menyerang rasa spiritual lidah yang merupakan penerjemah keimanan, serta menghindarkan lisan dari berdzikir, menjauhkannya, dan membungkamnya. Ya. Dosa merasuk ke dalam hati, menembusnya, serta menghitamkannya selamanya dan secara terus-menerus, sehingga mengeraskannya sampai mengeluarkan cahaya keimanan darinya. Sungguh, dalam setiap dosa terdapat jalan yang membawa (menuju) ke kekufuran. Jika dosa tersebut tidak segera dihapus dengan meminta ampunan (istighfar), ia akan berubah menjadi ulat, bahkan menjadi ular kecil maknawi yang akan mematok hati. Sebagai contoh: Orang yang melakukan perbuatan dosa yang memalukan, secara sembunyi-sembunyi, dan benar-benar merasa malu jika perbuatannya ini diketahui orang lain, maka keberadaan malaikat dan makhluk halus (ruhaniyyat lainnya) akan terasa berat sekali baginya (untuk diakui), dan dia pun suka mengingkari keberadaan mereka meski dengan (adanya) suatu petunjuk kecil. Sebagai contoh: Orang yang melakukan dosa besar, (suatu tindakan) yang akan membuatnya mendapatkan siksa neraka jika dia tidak membentengi diri darinya dengan istighfar, setiap kali mendengar ancaman-ancaman neraka akan mengingkari keberadaannya dengan sepenuh hatinya. Maka (adanya) suatu keragu-raguan atau amarah kecil dalam dirinya (sudah cukup baginya) untuk membangkitkan keberanian mengingkari keberadaan neraka. Sebagai contoh: Orang yang tidak menunaikan shalat-shalat yang sudah ditentukan dan tidak memenuhi tugas kewajiban ibadahnya, serta merasa sakit hati ketika mendapat teguran dari direkturnya atau atasan kecilnya disebabkan kelalaiannya melaksanakan tugasnya, maka kemalasannya dalam memenuhi tugasnya terhadap perintah berulang-ulang dari Sang Penguasa kekekalan dan keazalian akan membuatnya begitu tertekan keras sekali. Dan karena tekanan ini dia mengingkari keberadaan tugas kewajiban ibadah ini, serta berkata pelan-pelan, “Andaikan saja (ibadah) ini tidak ada.â€? Dari hasrat inilah kemudian muncul keinginan pengingkaran yang darinya tercium bau permusuhan maknawi terhadap Allah S.w.t. Jika keragu-raguan terhadap keberadaan Allah sudah merasuk ke dalam hati, maka dia akan cenderung meyakininya, seakan-akan ia merupakan suatu dalil yang mutlak. Dengan demikian, terbukalah baginya pintu kehancuran yang besar.Dan orang celaka ini tidak menyadari bahwa dengan pengingkaran itu dia justru membiarkan dirinya
menghadapi suatu kesulitan maknawi, lebih sulit jutaan kali, bahkan milyaran kali, ketimbang kesulitan parsial dan ringan yang timbul dari (kemalasannya melaksanakan) tugas kewajiban ibadah. Dia lari dari gigitan nyamuk untuk menerima sengatan ular. Demikianlah, hendaknya contoh-contoh tersebut dijadikan suatu kiasan sehingga rahasia ayat berikut menjadi jelas dan dapat difahami:
ب َ ْل َر َان عَ هل قُلُوِبِ ِ ْم “Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (Qs. alMuthaffifin [83]: 14)
Nuktah KeduaManusia tidak memiliki hak mengeluhkan berbagai musibah dan penyakit karena “tiga aspek,” sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan mengenai rahasia takdir (qadar) di “Kalimat ke-26.” Aspek Pertama: Allah S.w.t telah menjadikan busana tubuh yang Dia pakaikan pada manusia sebagai tempat penampilan ciptaan dan kreativitas-Nya. Yakni, (Allah) menjadikan manusia sebagai model di mana Dia memotong, memangkas, mengganti dan mengubah model busana eksistensi (wujud) itu, sehingga dengan demikian tampaklah tajalli (manifestasi) nama-nama-Nya yang berbeda-beda. Sebagaimana nama “al-Syafi” (Maha Penyembuh) menuntut adanya penyakit, demikian pula nama “al-Razzaq” (Maha Pemberi Rizki) menuntut adanya rasa lapar. Demikianlah:
ِ ْ اِل امْ ُم ُ ِ َم َص ُف ِ۪ف ُم ْل ِك ۪ه َل ْي َف ي َ َٓشا ُء َّ َ َْل يَت Sang Pemilik kerajaan berhak melakukan apa pun terhadap kerajaan-Nya seperti yang Dia kehendaki. Aspek Kedua: Sesungguhnya kehidupan menjadi bersih dengan (terjadinya) musibah dan penyakit. Dengannya pula ia mencapai kesempurnaan, semakin menguat, kian berkembang, berbuah, semakin menyempurna, dan menunaikan tugas-tugasnya. Adapun kehidupan monoton di atas kasur istirahat, itu lebih dekat kepada ketiadaan („adam) yang merupakan keburukan mutlak ketimbang (kedekatannya) kepada eksistensi (wujud) yang merupakan kebaikan mutlak; (bahkan) ia condong pada (ketiadaan). Aspek Ketiga: Sesungguhnya dunia ini merupakan medan ujian dan rumah pengabdian. Ia bukan tempat enak-enakan, upah dan imbalan. Karena ia merupakan rumah pengabdian dan tempat beribadah, maka segala penyakit dan musibah – dengan syarat ia tidak bersifat keagamaan dan dengan syarat bersabar atasnya – akan selaras secara sempurna dengan pengabdian dan peribadahan („ubudiyyah) tersebut, serta akan semakin menguatkannya. Maka, hendaknya syukur (dipanjatkan) atasnya, bukan berkeluh kesah karenanya; sebab ia bisa menjadikan setiap jamnya laksana ibadah seharian penuh. Sesungguhnya ibadah terbagi dua: yang satunya positif, dan yang lainnya negatif. Yang positif dari keduanya sudah jelas. Sementara yang negatif dari keduanya adalah,
(begitu) orang yang tertimpa penyakit dan musibah menyadari kelemahannya, serta merasakannya, maka ia pun berlindung dan berpaling kepada Tuhannya yang Maha Pengasih, serta memperhatikan-Nya dan menundukkan diri (tadlarru‟) kepada-Nya. Dengan demikian, ia telah melaksanakan suatu ibadah yang tulus. Maka „ubudiyyah ini pun tulus, tidak terkotori oleh riya. Jika seseorang bersabar atas (musibah dan penyakit), serta menghitung-hitung pahala musibah itu dan bersyukur atasnya kepada Rabbnya, maka saat itu setiap waktu dari jamjam (yang dilaluinya) berubah menjadi ibadah sehari penuh. Umurnya yang pendek berubah menjadi umur yang panjang. Bahkan di sana, sebagian dari (musibah dan penyakit) itu akan mengubah setiap detik darinya menjadi ibadah sehari penuh. Hingga saya pernah begitu merisaukan penyakit berat yang dialami salah seorang kawan saya seakhirat, yaitu Hafidz Ahmad Muhajir. Terbetik dalam hati saya (keinginan) untuk memberikan ucapan selamat kepadanya, karena setiap detik dari detik-detik penyakitnya berubah menjadi ibadah sehari penuh. Dan pada hakikatnya, dia dengan sabar bersyukur kepada Allah.
Nuktah Ketiga Sebagaimana telah kami jelaskan di sebagian kitab “al-Kalimat” bahwa, ketika setiap orang memikirkan kehidupannya yang telah berlalu, maka hati dan lisannya mungkin mengucapkan “Aduh!” atau “Alhamdulillah.” Yakni, mungkin dia merasa menyesal dan kecewa, ataukah memuji dan bersyukur (kepada Allah).Hal yang mendorong ke penyesalan adalah derita-derita maknawi yang timbul dari lenyapnya kenikmatan-kenikmatan masa lalu dan keterpisahannya. Sebab, lenyapnya kenikmatan merupakan derita. Kadang-kadang, kenikmatan temporal mewariskan penderitaan berkesinambungan. Memikirkannya akan menguak luka-luka derita tersebut dan memperbaruinya, serta menghadirkan rasa penyesalan.Adapun kenikmatan dan kesenangan maknawi berkesinambungan yang timbul dari lenyapnya perderitaan-perderitaan temporal yang menimpa seseorang dalam kehidupan masa lalunya, itu akan membuatnya mengucapkan, “Alhamdulillah.” Dan saat dia memikirkan – dan ini fitrahnya – tentang pahala serta balasan akhirat yang merupakan hasil dari musibah, juga tentang peralihan umurnya yang pendek menjadi umur yang panjang sekali karena perantara musibah, maka dia akan bersyukur dengan sabar lebih banyak darinya, sehingga mendorongnya untuk mengucapkan:
ِّ ُ َامْ َح ْمدُ ِ ه ّ ِّلل عَ هل ِك َحال ِس َوي ْام ُك ْف ِر َو امضَّ َالل “Segala puji bagi Allah atas segala hal, selain kekufuran dan kesesatan.” Terdapat peribahasa masyhur yang berbunyi, “Masa kena musibah (terasa) lama sekali (waktunya).” Ya, masa kena musibah (terasa) lama sekali (waktunya). Namun, itu bukan berarti lama seperti dikira lazim diketahui orang bersama kesempitan, kesulitan, dan penderitaan yang ada di dalamnya. Tapi, itu lama karena ia membuahkan hasil-hasil hayati seperti umur yang panjang.
Nuktah Keempat Sebagaimana telah dijelaskan di “Maqam Pertama� pada “Kalimat ke-21� bahwa, jika manusia tidak menyia-nyiakan kekuatan kesabaran yang dianugerahkan Allah kepadanya di jalan angan-angan, maka kekuatan ini bakal cukup (baginya) untuk menghadapi segala musibah. Tetapi manusia, ketika dia memorak-porandakan kekuatan kesabaran dan memisahkannya untuk (penderitaan) masa lalu dan (kekhawatiran) masa depan disebabkan dominasi angan-angan, karena kelalaian, dan karena anggapannya bahwa kehidupan fana ini abadi, maka seketika itu kesabaran tak lagi mencukupi untuk menghadapi musibah yang sedang terjadi memilukan. Manusia pun mulai mengeluh, meratap, dan mengiba, seakanakan dia mengadukan Allah S.w.t kepada manusia. Dia mengeluh dengan semena-mena, tanpa hak, gila, dan mengerang. Sebab, (ketika) setiap hari telah berlalu, ketika ia sudah luruh dalam musibah itu, maka telah berlalu pula beban kesulitannya, dan yang tersisa (hanya) rasa nyamannya. Rasa sakitnya telah sirna, dan yang tersisa (hanya) rasa kenikmatannya yang timbul dari kesirnaan (rasa sakitnya). Himpitan dan kesulitannya telah lenyap, dan yang masih tersisa (hanya) ganjarannya. Karena itu, semestinya dia tidak mengeluh atas (musibah) itu. Bahkan seharusnya ia bersyukur kepada Allah berada dalam enak dan senang. Dia pun sepatutnya tak membenci padanya. Justeru sepatutnya kita mencintai hari-hari (yang penuh musibah) itu. Sebab, usianya yang fana, yang sudah berlalu itu, telah berubah menjadi sejenis usia yang kekal dan bahagia melalui perantara musibah. Karena itu, termasuk tindakan bodoh dan gila (jika seseorang) memikirkan derita (musibah) itu dengan perasaan ragu, dan mengacaukan sebagian kesabaran padanya. Adapun hari-hari yang akan datang, karena ia memang sama sekali belum tiba, maka memikirkan dari sekarang penyakit dan musibah yang mungkin akan dialami pada hari-hari tersebut, serta mengeluhkan dan mengadukannya, itu merupakan suatu kebodohan. Demikian juga halnya, termasuk bodoh jika seseorang minum sepanjang hari dan makan terus-menerus karena khawatir besok dan lusa ia bakal kelaparan dan kehausan. Demikian pula, (ketika manusia) memikirkan berbagai musibah dan penyakit yang akan menimpa di hari-hari mendatang, padahal saat ini sama sekali itu tidak ada, merasa menderita karenanya dari sekarang, berkeluh kesah atasnya, dan menganiaya diri sendiri karenanya padahal (musibah dan penyakit) sama sekali belum terjadi, itu juga merupakan tindakan bodoh yang akan mencabut haknya untuk mendapatkan kasih sayang dan rahmat.
Kesimpulan Seperti halnya bersyukur akan menambah nikmat, mengeluh pun akan menambah musibah dan mencabut hak pemiliknya untuk mendapatkan rahmat. Seorang lelaki yang diberkati di Erzurum2 mengalami sakit keras pada tahun pertama 2
Perang Dunia Pertama. Saya menjenguknya, lalu ia mengeluh sakit ke saya. Katanya, “Saya tak bisa tidur, sudah seratus hari.” Saya sangat iba padanya. Tiba-tiba terbetik fikiran di benak saya, lalu saya katakan padanya, “Saudaraku! Seratus hari lalu yang telah kau lewati dalam sakit dan kesempitan, itu kini bagimu nilainya sama dengan seratus hari dalam kebahagiaan dan kegembiraan. Maka janganlah engkau mengeluh dengan terus memikirkannya. Justru hendaknya engkau bersyukur atasnya setiap kali engkau menatapnya. Adapun hari-hari mendatang, yang sama sekali belum tiba, bersandarlah di dalamnya kepada rahmat Rabbmu Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Jangan menangis sebelum dipukul, jangan mengkhawatirkan sesuatu yang asalnya belum ada, jangan mencap hal yang tidak ada dengan sifat ada. Fikirkan saat ini saja, karena kekuatan kesabaranmu cukup untuk saat ini. Jangan bertindak seperti seorang komandan bodoh yang menghadapi pasukan sayap kanan musuh dengan sayap kanan pasukannya sehingga menjadi kekuatan baru baginya. Namun ia mengirim kekuatan besar ke sayap kanan itu, dan mengirim kekuatan besar lainnya ke sayap kiri, padahal di sana sama sekali belum ada pasukan musuh, mereka sama sekali belum datang, sehingga dengan demikian ia memperlemah pusat secara keseluruhan. Kemudian, musuh mengetahui kondisi ini. Mereka langsung menyerang pusat, sehingga ia mengalami kekalahan telak.” Saya katakan juga kepadanya, “Saudaraku! Jangan bertindak seperti (komandan) tersebut. Tapi satukan dan kumpulkan seluruh kekuatanmu untuk (menghadapi situasi) saat ini saja, dan fikirkan tentang rahmat ilahi, balasan akhirat, dan tentang pengalihan umur fanamu menjadi umur yang kekal abadi. Bersyukurlah dalam kesenangan dan kegembiraan, sebagai ganti dari keluhan yang terus-menerus ini, dan bersikaplah lapang dada sepenuhnya.” Ia kemudian berkata, “Alhamdulillah! Aku sudah sembuh sembilan puluh persen.”
Nuktah Kelima Ini terdiri dari “tiga permasalahan”: Masalah Pertama: Musibah yang sebenarnya dan berbahaya adalah musibah yang menimpa agama. Hendaknya (kita) senantiasa memohon perlindungan kepada Allah dari musibah keagamaan (mushibah diniyyah), serta meminta tolong dan takut kepada-Nya. Musibah-musibah yang bukan keagamaan tidak dianggap musibah dilihat dari sudut hakikat, karena sebagian darinya merupakan peringatan (tanbih) dan penyadaran (iqadh) rahmani. Sebagaimana seorang penggembala yang melemparkan batu ke kambingnya yang masuk ke ladang orang lain sehingga kambing tersebut merasa bahwa (batu tersebut) dimaksudkan untuk menyadarkannya dan mengingatkannya agar menghindar dari bahaya, sehingga dengan penuh senang hati dan rela (kambingnya) kembali, maka demikian pula halnya berbagai macam musibah lahiriah yang banyak sekali, itu merupakan suatu penyadaran dan peringatan ilahi bagi kita. Sebagian di antaranya untuk menghapus dosa, sebagian lagi untuk melenyapkan kelalaian, untuk membuat seseorang merasakan kelemahan dan ketidakmampuannya sebagai manusia, serta untuk menganugerahinya
perasaan adanya semacam pengawasan Allah (raqabat Allah). Maka, penyakit-penyakit yang sejenis musibah pada hakikatnya bukanlah musibah, tapi merupakan pemuliaan (ikram) ilahi dan pembersih (dosa) sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Diriwayatkan dalam sebuah hadits yang maknanya: “Kesalahan-kesalahan orang sakit yang menderita demam berguguran setiap kali ia merasakan gemetar,3 seperti halnya buah-buah matang berjatuhan dari pohon dengan menggoyang-goyangnya.�Sayidina Ayyub a.s berdoa kepada Allah dalam munajat-munajatnya bukan untuk mendapatkan ketenteraman dirinya, tapi semata memohon kesembuhan kepada-Nya demi ibadah, ketika musibah mencegahnya untuk berdzikir dengan lidah dan berfikir dengan hati. Maka, pertama-tama dan sebelum segala sesuatu, kita wajib berniat dengan munajat itu untuk menyembuhkan luka-luka maknawi dan ruhani kita yang timbul dari dosa dan kesalahan. Adapun penyakit-penyakit lahiriah, maka dimungkinkan bagi kita untuk berlindung kepada Allah S.w.t kala (penyakit tersebut) mencegah kita untuk melaksanakan ibadah. Namun, itu pun bukan dalam bentuk penolakan atasnya dan bukan pula dengan keluhan atasnya, tapi kita harus merendahkan diri dan meminta pertolongan kepada Allah S.w.t. Dan karena kita rela dengan rububiyah-Nya S.w.t, maka kita harus menerima segala takdir yang telah Dia gariskan untuk kita dengan rububiyah itu. Namun, mengeluh dengan rintihan dan kerisauan yang beraroma penolakan terhadap qadha dan qadar, itu merupakan semacam kritikan terhadap takdir dan tuduhan terhadap rahmat ilahi. Orang yang mengkritik takdir laksana membenturkan kepalanya sendiri ke paron dan memecahkannya, dan orang yang membuat tuduhan terhadap rahmat akan terhalang dari rahmat. Karena, sebagaimana menggunakan tangan patah untuk memukul justru akan semakin memperparah patahan tangan tersebut, demikian pula halnya orang yang tertimpa musibah, bila ia menghadapinya dengan keluh kesah dan kerisauan yang menyiratkan penolakan (terhadap takdir), justru itu akan membuat musibah menjadi berlipat ganda.
Masalah Kedua: Setiap kali musibah lahiriah dianggap besar maka ia akan makin membesar, dan setiap kali dianggap kecil maka ia akan makin mengecil. Misalnya, ada sosok bayangan orang tampak di malam hari. Setiap kali ia diberi perhatian, ia akan menggelembung dan membesar. Namun jika diabaikan dan tidak diperdulikan, ia akan lenyap dan hilang. Seperti halnya, setiap kali sarang lebah diusik akan semakin bertambah serangannya, namun ketika tak dipedulikan ia akan pergi dengan sendirinya, demikian pula halnya dengan musibah-musibah fisik. Ketika seseorang menganggap (musibah fisik) itu besar, dan diperhatikan, maka (musibah) itu akan semakin membesar. Karena dia mempedulikannya, musibah-musibah itu pun menembus ke dalam tubuh, menetap dan tinggal di hati, serta terus melahirkan musibah maknawi, sehingga (musibah fisik) akan selalu bersandar padanya dan berlanjut. Namun, ketika seorang dapat 3
menghilangkan keresahan tersebut dengan kerelaan menerima takdir dan dengan bertawakal kepada Allah S.w.t, maka musibah-musibah fisik akan sirna dan mengering secara bertahap, seperti pohon yang mengering ketika akarnya ditebang. Untuk menjelaskan hakikat ini, saya pernah sekali mengatakan: Tinggalkan erangan dan ratapan, wahai orang malang, kemarilah dan bertawakallah! Erangan dan ratapan adalah kesalahan dan musibah di atas musibah, maka ketahuilah! Ketika kau menyadari siapa yang mengujimu, kau pasti merasakan adanya karunia dalam kejernihan dan ketenangan yang tersimpan di balik musibah, maka ketahuilah! Jika kau tidak menyadarinya, maka dunia ini seluruhnya kering dalam kefanaan, maka ketahuilah! Kenapa kau harus mengerang karena ujian kecil, sementara kau sendiri tertimpa musibah sepenuh dunia?! Maka kemarilah dan bertawakallah! Hadapilah musibah dengan senyuman, agar musibah juga ikut tersenyum. Setiap kali engkau tersenyum, musibah akan mengecil dan berganti. Sebagaimana permusuhan dapat berubah menjadi perdamaian, dan pertikaian berganti menjadi gurauan, melalui senyuman terhadap musuh bebuyutan di tengah pertikaian atau peperangan, dan permusuhan pun meredup kemudian lenyap, maka demikian pula halnya musibah ketika dihadapi dengan tawakal.
Masalah Ketiga: Tiap zaman mempunyai hukumnya tersendiri. Pada masa kelalaian sekarang ini, musibah telah berubah bentuk. Bagi sebagian orang, pada waktu tertentu, musibah bukanlah musibah, tapi merupakan kelembutan ilahi (luthf ilahi). Saya melihat bahwa mereka yang tertimpa penyakit di zaman ini – selama itu tidak menyentuh agama – adalah orang-orang yang beruntung dan bahagia. Hal ini tidak membuat saya antipati terhadap segala penyakit dan musibah, juga tidak mewariskan perasaan iba di saya terhadap mereka. Itu karena saya dapati, setiap pemuda sakit yang datang kepada saya tak lain pasti lebih banyak ikatannya dengan tugas-tugas keagamaan dan akhirat dibanding (pemuda lain) sepertinya.
Dari sini saya menyadari, penyakit yang menimpa mereka ini bukanlah musibah yang menjadi hak (pemuda) seperti mereka, tapi itu sejenis nikmat ilahi. Sebab, meskipun penyakit ini termasuk mewariskan kesulitan bagi kehidupan dunianya yang fana dan singkat, namun ia berguna bagi kehidupan akhiratnya, dan berubah menjadi semacam ibadah. Seandainya ia sehat dan afiat, mungkin saja ia tidak bisa menjaga kondisinya yang pernah dialaminya kala sakit lantaran dimabuk masa muda, atau karena kebodohan yang kini menyebar, bahkan bisa jadi ia mendobrak kebodohan dan kedunguan.
Penutup: Allah S.w.t menyematkan kelemahan tak terbatas di dalam diri manusia, serta kemiskinan tak terhingga, hingga Dia dapat menampakkan kekuasaan-Nya yang tak terbatas dan rahmat-Nya yang tak terhingga. Dia pun telah menciptakannya laksana mesin hingga Dia dapat memperlihatkan ukiran nama-nama-Nya yang tak terbatas. Sebab, mungkin saja manusia menderita dari berbagai sisi tanpa batas, seperti halnya ia juga mungkin bersenang-senang dan berenak-enakan dari berbagai sisi tanpa batas. Di dalam mesin manusia ini terdapat ratusan perangkat, dan masing-masing memiliki derita khas, kesenangan tersendiri, tugas yang berbeda-beda, dan ganjaran yang khas pula. Seakan-akan seluruh nama ilahi yang tampak di alam semesta – yang merupakan manusia terbesar – juga tampak dalam sosok manusia – yang merupakan alam kecil. Dan tajalli seluruh nama (ilahi) ini tampak pada manusia. Sebagaimana hal-hal berguna seperti kesehatan, afiat, kenikmatan dan kesenangan, menggiring manusia untuk bersyukur, mendorong mesin ini untuk melaksanakan tugas-tugasnya melalui banyak aspek sehingga menjadikan manusia seperti pabrik syukur, maka demikian pula nama-nama ilahi tersebut menggerakkan gigi-gigi lain di mesin itu, memproduksi berbagai musibah, penyakit, nyeri, dan semua hal tak terduga yang bisa mengguncang esensi manusia yang terbuat dari bahan lemah, miskin dan tak berdaya, sehingga mendorong manusia untuk berlindung dan memohon pertolongan kepada Allah bukan hanya dengan satu lisan saja, tapi dengan lisan setiap organ tubuh. Dengan karakter itu, manusia seakan menjadi pena bergerak yang berisi ribuan pena yang berbeda-beda, lalu mencatat capaian-capaian hidupnya di lembaran hidupnya atau di Papan Perumpamaan (Lauh Mitsali), serta menjadikan lembaran hidupnya sebagai papan iklan yang mengumumkan dan menampilkan nama-nama ilahi, seraya menjelma menjadi sebuah kasidah subhaniah yang puitis, sehingga (manusia) dapat menjalankan tugas fitrahnya.