Juli 2011
Edisi
Tradisi Ini merupakan galeri dari foto teman-teman yang tergabung dalam grup ‘Potret Bali’ yang diadakan di Facebook Hanya sekadar untuk berbagi.
Tradisi yang Unik di
Ide : Igb Adi Perbawa Widnyana Sudibya
Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena karunianya. Tradisi di Bali memang sangat banyak sekali, di setiap tempat atau di daerah di Bali memiliki berbagai kebiasaan yang berbeda dengan lainya. Sehingga sering sekali dikatakan unik, jika di tempat lainnya tidak ada budaya seperti itu. Kemungkinan juga budaya yang mulai ditinggalkan karenan dianggap tidak sesuai dengan era sekarang, atau mulai digalakkan karena ada perasaan takut akan kehilangan budaya yang sangat adiluhung. Dan apaun itu tradisi adalah tradisi memang begitulah keadaanya. Marilah kita nikmati sajian dari teman-teman kita tentang beranekaragam tradisi di Bali! Terima kasih atas perhatian semuanya. (Martawan)
Layout : Nyoman Martawan
Foto oleh :
Anggara Mahendra Bayu Pratama Dewa Enggung Susila Ewa Nagh Bali Ewa Rock Igb Adi Prabawa Komang Tony Astama ‘Ngakan Abdiyana’ Nyoman Martawan Putradjaja Chandra Wisnu Prima Bombom Rary Tri Guntara Wayan Gunayasa Widnyana Sudibya
Anggara Mahendra
Bayu Pratama
Dewa Enggung Susila
Ewa Rock
Igb Adi Prabawa
Komang Tony Astama
Nyoman Martawan
Putradjaja Chandra Wisnu
Prima Bombom
Rary Tri Guntara
Wayan Gunayasa
Widnyana Sudibya
‘Ngakan Abdiyana’
Klik foto untuk lihat Facebook mereka
(c) Juli 2011
2
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
Tidak diizinkan menggunakan foto-foto yang ada di sini kecuali atas persetujuan pemiliknya. Pemilik foto memiliki hak penuh atas fotonya.
Ini merupakan galeri dari foto teman-teman yang tergabung dalam grup ‘Potret Bali’ yang diadakan di Facebook. Hanya sekadar untuk berbagi.
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
3
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
4
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
5
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
6
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
7
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
8
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
9
“Membuat babi guling� Prima Bombom
10
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
11
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
12
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
13
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
14
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
15
Di setiap tradisi atau kegiatan adat maupun agama di seluruh dunia pastilah ada sesuatu yang khas yang dipersiapkan ..seperti halnya di Bali, Guling babi, sate dan lawatr merupakan ciri khas makanan yang di persiapkan untuk melengkapai sarana upacara maupun untuk sajian makan. Secara tradisional seprtinya belumlah lengkap kalau suatau upacarabaik adat maupun upacara agama Hindu di Bali apabila tidak ada salah satu dari jenis makanan ini, kuranglah mantap, sekarang ini tidak perlu menunggu upacara untuk emndapatkan makanan tradisional, sudah banyak orang orang Bali yang menjual babi guling lengkap dengan lawar dan satenya. (Wayan Gunayasa)
16
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
17
(Wayan Gunayasa)
18
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
19
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
20
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
21
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
22
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
23
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
24
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
25
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
26
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
27
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
28
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
29
“Mencoba keberuntungan di Mongmongan” ”Mongmongan adalah salah satu bentuk permainan judi di daerah Bali Utara dengan menebak nomor atau menebak gambar pada dadu. Pada foto ini yang ditebak adalah 12 jenis gambar binatang. Permainan ini dilakukan dengan “mengocok” 6 buah dadu dalam suatu alat (kaleng) dalam kondisi tertutup. Setelah “dikocok” mulailah penjudi diperpisalahkan memasang taruhannya dengan menaruh pada gambar yang diperkirakan muncul. Setelah alat (kaleng) dibuka kemungkinannya penjudi akan kalah, menang satu kali lipat, menang dua kali lipat dan menang tiga kali lipat. Didaerah lain jenis permainan ini juga disebut “main kocok” Lokasi Foto ini : Jabaan salah satu Pura di Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Buleleng. (Prima Bombom)
30
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
31
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
32
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
33
Pwermainan dadu adalah suatu permainan yang biasanya berhubungan dengan perjudian.. sebelum peraturan “anti judi� di laksanakan permainan dadu ini sangat mudah di temukan di tempat tempat dimana orang Bali menyelenggarakan suatau kegiatan adat atau keagamaan, dan pemainnya dari berbagai kalangan, anak-anak, perempuan, laki, tua muda semuanya tahu dan bisa bermain dadu ini. Semenjak peraturan itu di keluarkan akan sangat sulit menemukan permaina ini karena mereka takut untuk di gusur dan di tangkapin.. biasanya mereka berada di tempat yang agak tersembunyi..susah di jangkau aparat ..kalaupun ketahuan akan cepat untuk mengemas barang barangnay dan lari tunggang langgang... (Wayan Gunayasa)
34
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
35
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
36
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
37
Sebuah tradisi santap bersama, kakak,adik,sepupu,mantu pokoknya keluarga semua.Megibung ini dapat mempersatukan dan merukunkan keluarga (Igb Adi Perbawa)
38
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
39
(Bayu Pratama)
40
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
41
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
42
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
43
Megibung adalah collective meal / communal meal yaitu empat hingga enam orang mengelilingi satu talam berisi nasi dan laukpauk, dan kemudian disantap bersama. tradisi megibung atau makan bersama dalam satu wadah juga dikenal dengan sebutan bancakan. Dalam tradisi ini semua peserta berbaur tanpa memandang status sosial ataupun kasta. Menurut sejarah, tradisi megibung justru datang dari pulau seberang, yaitu Lombok. Ketika sepasukan prajurit dibawa Raja Karangasem menyeberang ke Lombok, mereka melihat tradisi makan bersama dilakukan masyarakat setempat. Raja menyukai tradisi itu, dan kemudian mengajak para prajuritnya makan bersama, yang dianggapnya sebagai salah satu cara demokratis dan menjembatani kesenjangan. Raja ikut duduk lesehan, dan makan bersama prajurit. Para prajurit pun termotivasi oleh sikap Raja dengan megibung itu. Tradisi egalitarian yang semula agak militeristik ini kemudian dibawa pulang dan diadaptasi menjadi budaya rakyat di Karangasem. Aturan megibung cukup diketahui oleh warga Karangasem sebagai nilai-nilai turuntemurun. Bersendawa, bersin, meludah, (maaf, juga kentut), terlarang selama megibung. Tangan harus dicuci bersih sebelum menghadapi makanan, dilarang bicara dan tertawa keras-keras, serta dilarang menjatuhkan remah makanan dari suapan – apalagi dari mulut. (Rary Tri Guntara)
44
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
45
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
46
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
47
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
48
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
49
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
50
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
51
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
52
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
53
Tradisi di Bali yang sampai saat ini masih bertahan dan kerap dilakukan oleh hampir sebagian besar umat Hindu di BaLi yaitu Melakukan pembersihan diri dengan ritual tertentu yang di Bali lebih dikenal dengan istilah melukat. Tujuan utama ritual ini adalah menghilangkan leteh atau kotoran lahir maupun bathin. Dalam tradisi masyarakat Kejawen dikenal dengan istilah ruwatan air. Lokasi : Tirtha EmpuL, Gianyar - BaLi Tempat-tempat suci yang biasa untuk kegiatan melukat adalah tempat-tempat suci yang diyakini mempunyai kekuatan alam yang besar dan mempunyai vibrasi magis. Tempat-tempat itu yaitu : • Sumber (klebutan) : tempat melukat jenis ini biasanya terdapat pada pegunungan atau pada pedalaman, melukat dengan air sumber bertujuan juga untuk menambah aura positif. Salah satunya contohnya adalah di Pura Tirtha Empul di Tampak Siring, pesucian Pura Dalem Pingit lan Kusti di Sebatu, Gianyar. Dan masih banyak lagi. • Campuhan (pertemuan aliran sungai dan laut) : tempat melukat ini biasanya di daerah pinggiran tersebar di semua wilayah pulau bali. Salah satu contohnya adalah di Pura Dalem Pangembak, Pura Beji Dalem Sakenan. Dan masih banyak lagi.
54
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
• Laut : tempat melukat ini adalah di laut, melukat dilaut bertujuan untuk melebur aura-aura negatif yang ada pada tubuh kita. Laut yang biasa untuk tempat melukat adalah di pantai sanur, pantai merthasari dan pantai peti tenget. Selain tempat melukat dari alam itu sendiri, bisa juga melukat melalui pedanda dan pemangku, dan orangorang dengan tingkat spiritual tertentu. Proses melukat dengan orang-orang biasanya memakai sarana bungkak kelapa gading serta bunga. sejarah Tirtha Empul : Secara etimologi bahwa Tirta Empul artinya air yang menyembur keluar dari tanah. Maka Tirta Empul artinya adalah air suci yang menyembur keluar dari tanah. Air Tirta Empul mengalir ke sungai Pakerisan. Sepanjang aliran sungai ini terdapat beberapa peninggalan purbakala. Pendirian pura ini diperkirakan pada tahun 960 A.D. pada jaman Raja Chandra Bhayasingha dari Dinasti Warmadewa. Seperti biasa pura – pura di Bali, pura ini dibagi atas Tiga bagian yang merupakan Jaba Pura (HaLaman Muka), Jaba Tengah (Halaman Tengah) dan Jeroan (Halaman Dalam). Pada Jaba Tengah terdapat 2 (dua) buah kolam persegi empat panjang dan kolam tersebut mempunyai 30 buah
pancuran yang berderet dari Timur ke Barat menghadap ke Selatan. Masing – masing pancuran itu menurut tradisi mempunyai nama tersendiri diantaranya pancuran Pengelukatan, Pebersihan, Sudamala dan Pancuran Cetik (Racun). Pancuran Cetik dan nama Tirta Empul ada hubungannya dengan mitologi yaitu pertempuran Mayadenawa Raja Batu Anyar (Bedahulu) dengan Bhatara Indra. Dalam mitologi itu diceritakan bahwa Raja Mayadenawa bersikap sewenang – wenang dan tidak mengijinkan rakyat untuk melaksanakan upacara – upacara keagamaan untuk mohon keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Setelah perbuatan itu diketahui oleh Para Dewa, maka para dewa yang dikepalai oleh Bhatara Indra menyerang Mayadenawa.
Ternyata (masih dalam buku tersebut) antara lain dinyatakan bahwa Pura Tirta Empul dibangun pada zaman pemerintahan Raja Masula Masuli berkuasa dan memerintah di Bali. Hal ini dapat diketahui dari bunyi lontar Usana Bali. Isi dari lontar itu disebutkan artinya sebagai berikut: “Tatkala itu senang hatinya orang Bali semua, dipimpin oleh Baginda Raja Masula Masuli, dan rakyat seluruhnya merasa gembira, semua rakyat samasama mengeluarkan padas, serta bahan bangunan lainnya, seperti dari Blahbatuh, Pejeng, Tampaksiring”. Dalam Prasasti Sading ada disebutkan, Raja Masula Masuli bertahta di Bali mulai tahun I€aka 1100 atau tahun 1178 M, yang memerintah selama 77 tahun. Berarti ada perbedaan waktu sekitar 216 tahun antara pembangunan permandian Tirta Empul dengan
pembangunan puranya. Akhirnya Mayadenawa dapat dikalahkan dan melarikan diri sampailah disebelah Utara Desa Tampak siring. Akibatnya kesaktiannya Mayadenawa menciptakan sebuah mata air Cetik (Racun) yang mengakibatkan banyaknya para laskar Bhatara Indra yang gugur akibat minum air tersebut. Melihat hal ini Bhatara Indra segera menancapkan tombaknya dan memancarkan air keluar dari tanah (Tirta Empul) dan air Suci ini dipakai memerciki para Dewa sehingga tidak beberapa lama bisa hidup lagi seperti sedia kala. (Rary Tri Guntara)
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
55
“mepeed� prosesi mepeed dalam rangkaian upacara nyenuk, di pura Pucak Sari Nadi desa Tegeh, Baturiti, Tabanan. (Dewa Enggung Susila)
56
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
57
(Komang Tony Astama.)
58
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
59
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
60
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
61
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
62
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
63
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
64
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
65
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
66
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
67
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
68
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
69
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
70
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
71
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
72
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
73
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
74
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
75
“ngebejiang (mesucian)� Upcara yang bertujuan untuk pembersihan, yang pedasarnya memeliki tuajuan yang sama dengan melasti. Namun ngebejiang (mesucian) bisaanya dia laksanakan pada tiap odalan (karya) di setiap pura. NB : mohon koreksiannya bila terjadi kesalahan dalam essay. mohon di bantu agar tidak menyesakan... Terimkasih sebelumnya. (Dewa Enggung Susila)
76
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
77
Mebanten (Prima Bombom)
78
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
79
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
80
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
81
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
82
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
83
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
84
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
85
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
86
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
87
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
88
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
89
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
90
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
91
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
92
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
93
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
94
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
95
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
96
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
97
Upacara potong gigi biasanya diwajibkan kepada mereka yang telah akil balig, usia antara 15 sampai 20 tahun. Pada hari baik yang sudah ditentukan,meraka yang akan potong gigi sejak pagi hari sudah melakukan yang namanya mabersih ring raga. Mereka dimandikan secara adat dengan air kembang 7 rupa. Ada mawar, kenanga, cempaka, pacah, dan bunga lain yang harumnya alami. Potong gigi sendiri maknanya adalah menghilangkan segala macam keburukan dalam diri manusia. Setelah melakukan sembah sebanyak 3 kali, mereka yang akan potong gigi memulai ritual sakral itu. Direbahkan diatas kasur masih lengkap dengan pakaian adat kebesaran. Yang pertama dilakukan adalah, menggigit tebu untuk mengganjal rahang sehingga tidak tertutup selama proses pengikiran gigi. Yang pertama dilakukan adalah secara simbolis memahat dengan pahat kecil 6 gigi bagian atas, 2 taring, dua gigi depan dan dua gigi sebelahnya. Ini simbolis bahwa 6 musuh dalam diri akan segera disingkirkan. Dia terdiri dari keinginan untuk main judi, mencuri, main perempuan, minum, mabuk dan madat.
98
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
Selanjutnya dilakukan kumur suci, dengan menggunakan tirta yang dibuat dengan doa tertentu. Dilanjutkan dengan membung air kumuran itu ke dalam kelapa gading yang sudah dikasturi. Karturi maksudnya dilubangi dengan pisau tajam yang sudah disucikan dengan simetres berbentuk segi enam. Kelapa gading itu kemudian dikumpulkan dan dengan upacara tertentu di buang ke sungai yang mengalir ke laut. Maknanya semua keburukan yang ada pada diri manusia sudah dimusnahkan. Potong gigi adalah melepas masa brahmacari menuju ke masa grahasta. Mereka yang belum potong gigi tidak disarankan melakukan upacara perkawinan lebih dulu. Karena ketika mengikuti upacara perkawinan pasti akan diawali dengan upacara potong gigi lebih dulu. (Wayan Gunayasa)
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
99
(Wayan Gunayasa)
100 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
101
2011_07_10 Proses kremasi atau ngaben yang meninggalkan banyak kenangan. (anggara mahendra)
102 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
103
Prosesi “Ngelawang� yang dilakukan pada saat Pengerupukan atau sehari sebelum nyepi di Desa Yeh Gangga Tabanan (Ewa Nagh Bali)
104 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
Ngelawang di Yeh Gangga Tabanan Bali (Ewa Nagh Bali)
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
105
Ngelawang (Ewa Nagh Bali)
106 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
107
Ngelawang (Ewa Nagh Bali)
108 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
109
Ngelawang (Ewa Nagh Bali)
110 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
111
Persiapan Seebelum Ngelawang di “Art Centre� Denpasar (Ewa Rock)
112 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
113
Ngelawang (Ewa Rock)
114 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
115
Nglawang ‘’Barong Macan’’... Batuyang-Gianyar, 17-07-2011 02:58:17 (‘Ngakan Abdiyana’)
116 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
117
Nglawang “Barong Bangkal”... Batuyang-Gianyar 17-07-2011 04:12:42 (‘Ngakan Abdiyana’)
118 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
119
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
120 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
121
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
122 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
123
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
124 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
125
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
126 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
127
Kesenian di Bali, khususnya seni tari dan karawitan, sesungguhnya tumbuh di masyarakat terkait dengan perayaan suatu upacara. ‘Ngelawang, misalnya, sering dikaitkan dengan perayaan hari Galungan dan Kuningan sebagai simbol kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (keburukan). ‘Ngelawang’ mengandung simbol ritual penolak bala yang dilakukan di pintu (lawang) rumah2 penduduk. Tarian ini berlangsung ringkas dan terus bergerak dari pintu ke pintu rumah penduduk sepanjang jalan yang mereka tempuh. Dari perjalanan ‘ngelawang’ inilah, kelompok kesenian ini mendapat donasi dari masyarakat sehingga bisa membantu menjaga kelanjutan berkesenian kelompok mereka. (Widnyana Sudibya)
128 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
129
NGILU - Kebiasaan membersihkan telinga dengan menggunakan bulu ayam, foto di Karangasem pada 11 februari 2011. Selain disebut Ngilu di banyak tempat juga sering disebut Matilu. Tilu merupakan sebutan dari kotoran telinga di Bali. (Nyoman Martawan)
130 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
131
“sambleh� Acara pengorbanan yang disunguhkan untuk bhuta kala yang tujuannya untuk menetralisir kekuatan negatif, sehinga tercita ke dinamisan dalam lingkungan (alam). sambleh biasanya bisa berupa ayam, itik, babi bahkan telur juga bisa di gunakan. NB : mohon koreksiannya bila terjadi kesalahan dalam essay. mohon di bantu agar tidak menyesakan... Terimkasih sebelumnya. (Dewa Enggung Susila)
132 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
133
ritual unik : omed-omedan fest (banjar kaja,sesetan-denpasar) Omed-omedan melibatkan sekaa terunateruni atau pemuda-pemudi umur 17 tahun hingga 30 tahun atau yang sudah menginjak dewasa namun belum menikah. Dalam bahasa Bali, Medmedan sama dengan paid-paidan, berarti saling tarik menarik. Jadi med-medan adalah ritual saling tarik-menarik antara kelompok pemuda dengan kelompok pemudi untuk memohon keselamatan seluruh warga desa. Prosesi med-medan dimulai dengan persembahyangan bersama untuk mohon keselamatan. Usai sembahyang, peserta dibagi menjadi dua kelompok, laki-laki dan perempuan. Kemudian kedua kelompok tersebut mengambil posisi saling berhadapan di jalan utama desa. Setelah seorang sesepuh desa memberikan aba-aba, kedua kelompok saling mendekat. Bnegitu bertemu, peserta terdepan saling tarik menarik lalu berciuman disaksikan ribuan penonton. Prosesi tersebut dilakukan secara bergantian sehingga semua peserta kebagian berciuman.Tidak semua masyarakat Bali, bahkan masyarakat Sesetan Kaja sendiri, menyukai tradisi ini. Pernah pada 1970-an para sesepuh banjar memutuskan agar acara ini ditiadakan. Namun, tak lama berselang, di pelataran Pura terjadi perkelahian yang amat seru dua ekor babi, dan keduanya menghilang begitu saja di tengah perjelahian. Oleh warga, peristiwa itu dianggap sebagai pertanda buruk. Maka, med-medan pun kembali dilangsungkan. (Bayu Pratama)
134 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
135
(Bayu Pratama)
136 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
137
“mapag rare� upacara tiga bulanan pada bayi, di mana bayi untuk pertamakalinya mengginjakan kaki ke ibu pertiwi. (Dewa Enggung Susila)
138 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
139
Ma-Otonan, upacara 6 bulanan (Igb Adi Perbawa)
140 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
141
(Igb Adi Perbawa)
142 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
143
edisi Tradisi --> Perjalanan Padi BaLi Filosofi Padi “ Semakin Berisi Semakin Merunduk� Lokasi : Manyi/ Ngetig Padi di Sawah Desa Tengkudak, Tabanan - BaLi Pelaksanaan ritual yang dilaksanakan di Subak mengacu kepada filosofi Tri Hita Karana yakni selalu menjaga keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan melalui upacara ritual yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan pertanian di lahan sawah. Upacara ritual dilakukan mulai sejak perbaikan saluran air sampai akhir kegiatan panen, yakni diantaranya : 1. Upacara Magpag Toya (dilakukan oleh prajuru subak), Magpag toya, artinya menyongsong air yang akan dipergunakan untuk mengairi sawah. Upacara ini diselenggarakan oleh krama subak dengan biasa mengambil tempat di Pura Ulun Suwi atau juga di Bedugul. Maksud dan tujuan upacara magpag toya ini adalah memendak datangnya air untuk mengairi sawah. Persembahan ditujukan kepada Dewi Danu, nama lain dari sakti Dewa Wisnu, yang menguasai danu sebagai sumber air. 2. Upacara Ngendagin, Ngendagin berasal dari kata endag, yang berarti muncul atau memulai. Ngendagin berarti memulai mengolah sawah. Ngendagin bisa dilakukan dengan cangkul atau tenggala. Maksud dan tujuan ritual ini adalah untuk memohon waranugraha kehadapan Ibu Pertiwi dan Dewi Sri agar dalam mengolah tanah sawah mendapatkan keselamatan seluruh jenis tanaman yang akan ditanam berhasil dengan baik. 3. Upacara Ngurit, (dilakukan oleh masing-masing krama) Ngurit berasal dari kata gurit, yang artinya goretan. Pada goretan ini dilakukan penaburan benih padi, yang juga berarti mulai menyemai benih. Benih ini juga disebut bulih yang berasal dari kata bulir, yang lazim disebut �memulih�. Maksud dan tujuan ritual ini adalah memohon kepada Dewi Gangga, Dewanya sungai yang mengairi sawah selalu menjaga bulir padi yang disemai agar tumbuh dengan baik.
144 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
145
4. Upacara Mamula/menanam padi (dilakukan di sawah masing-masing), ritual ini dilakukan pada awal menanam padi (nuasen), dengan tujuan memohon kehadapan Dewi Sri agar padi yang ditanam (ditandur) tumbuh dengan baikdan terhindar dari serangan hama dan penyakit. 5. Ritual selanjutnya adalah upacara secara periodik; (i) setelah padi berumur 12 hari, (ii) padi berumur 17 hari (iii) padi berumur 27 hari dan (iv) padi berumur 35 hari (asasih), (v) padi berumur 42 hari (vi) padi berumur 70 hari seluruh rangkaian ritual ini disebut dedinan, ritual ditujukan kepada Dewi Sri, agar padi yang ditanam tumbuh dan berhasil dengan baik. 6. Upacara Biukukung, biukukung berasal dari kata Beya dan Kukung. Beya berarti upacara. Kukung berasal dari kata kung yang berarti asmara. Jadi upacara ini dimaksudkan adalah petemuan asmara antara kepala putik dengan tepung sari, yang berlanjut terjadinya pembuahan. Maksud dan tujuan upacara ini agar pembuahan berjalan dengan baik, sehingga padi akan keluar dengan bulir yang baik dan lebat. 7. Upacara Mantenin Padi di Carik, upacara ini dilakukan ketika padi telah menguning (menjelang panen). Maksud dan tujuan upacara ini adalah memohon kepada Sri Sedana yang diwujudkan dengan simbolis Dewa Nini laki dan perempuan yang distanakan pada sanggah catu. Dewa Nini dibuat dari bulir padi, yang laki 108 bulir dan yang perempuan 54 bulir. Jika dijumlahkan bulir
146 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
pada berjumlah 9 perhitungan angka tertinggi yang berarti seluruh rangkaian kegiatan sudah selesai tinggal menunggu panen tiba. 8. Upacara mantenin padi di Lumbung, upacara terakhir dari rangkaian kegiatan petani memproduksi padi. Ritual ini dilakukan ketika padi sudah dipanen dan ditempatkan di lumbung sebagai stok pangan petani. Ritual ini biasanya dilakukan bertepatan dengan hari Purnama atau Kajeng Umanis Mulu. Maksud dan tujuan, upacara ini merupakan �pejaya-jaya� (piodal) kehadapan Dewi Sri – Sedana, agar padi yang ditempatkan di lumbung dapat dimanfaatkan dengan baik untuk kehidupan di hari-hari berikutnya. 9. Upacara Nanggluk Merana, upacara nanggluk merana maksudnya asalah penanggulangan hama dan penyakit yang merusak tanaman. Upacara ini dilakukan apabila ada tanda-tanda hama merusak tanamam. Upacara tahap awal dilakukan di Pura Khayangan Jagat, dengan mewujudkan air suci atau tirta sebagai sarana keselamatan, kemudian tirta tersebut distanakan di Pura Pengulun Carik dengan upakara selengkapnya, kemudian dibagikan kepada krama carik untuk sarana upacara di sawah masing-masing, dengan memercikkan tirta tersebut keseluruh areal sawah. (Rary Tri Guntara)
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
147
Memenjor adalah suatu kegiatan di Bali dalam rangka memepersiapkan suatu acara/ Upacara, penjor sendiri bisa merupakan perlengakapan upacara ataupun hanya merupakan hiasan Dekorasi. Bahan - bahan dari penjor adalah sebatang bambu yang ada lengkungannya, Janur, daun lontar atau daun jaka, buah (pala gantung) kaen atau sarana laennya yang membuat sebuah penjor itu menjadi menarik. Untuk mengerjakan hiasan penjornya memerlukan 1 atau lebih tenaga begitu pula pada saat penjor akan di berdirikan. ada pendapat yang mengatakan bahwa Penjor adalah simbul dari Naga dimana ekornya menjulang ke atas dan mulutnya ada di bawah (biasanya ada sebuah “plangkiran� atau sanggah menenmpel di bambu penjor bagian bawah. Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa penjor adalah salah satu simbul isi dari bumi/ibu pertiwi dimana segala hiasan , buah dan jajan sebagai simboliknya di pakai hiasan untuk melengkapi hiasan penjor. masing masing daerah mempunyai bentuk hiasan penjor yang berbeda beda, sekarang ini malah hiaan penjor lebih meriah lagi dengan di hiasi patung naga, garuda atau yang laennya, serta bamboo yang dipakai oun ukurannya bermacam2 . Pada hari penampahan Galungan sampai dengan Manis Kuningan apabila kita berkesempatan untuk berkelilling Bali akan melihat kemeriahan penjor menghiasi di sepanjang jalan jalan utama maupuin jalan jalan di pedesaan. (Wayan Gunayasa)
148 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
149
(Wayan Gunayasa)
150 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
151
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
152 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
153
Perang pandan atau mekare-kare dilakukan setiap tahun untuk menyambut upacara Ngusaba Desa. Lokasi di Desa Tenganan, Karangasem, 80 kilometer ke arah timur laut atau dua jam perjalanan dari Kota Denpasar. Perang pandan di Desa Adat Tenganan Dauh Tukad tahun ini diikuti hampir 200 peserta. Masing-masing peserta berhadapan dan dipimpin oleh seorang wasit, biasanya orang yang dituakan dalam perang pandan. Perang pandan, menurut pemuka adat setempat mekare-kare bukanlah sebuah pertarungan. Menurut dia, perang pandan bermakna semangat melindungi desa dalam menghadapi bahaya yang datang dari luar desa. �Spirit perang pandan adalah penghormataan terhadap Dewa Indra,� kata dia. Dewa Indra dalam Hindu berarti dewa perang. Setelah ritual ini, upacara dilanjutkan dengan pementasan tari Rejang Dewa di Pura Desa setempat. Kedua kubu dibekali dengan seikat pandan dan perisai dari pohon ate. Mereka lalu bergumul dan menggeretkan pandan di punggung lawan hingga berdarahdarah. Dari perjanjian, mereka dilarang menggeretkan pandan ke wajah. Meskipun bertarung, dalam pergumulan kadang ada keceriaan berupa pekik untuk menambah semangat ketika menggeretkan pandan ke punggung lawan. (Bayu Pratama)
154 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
155
(Bayu Pratama)
156 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
157
MEKARE-KARE - Sebuah tradisi unik yang ada di Tenganan Dauh Tukad, Karangasem yang disebut dengan MekarĂŠ-karĂŠ. Acara yang berlangsung setiap setahun sekali ini dilakukan oleh dua laki-laki dengan senjata Daun Pandan dengan tameng sebagai pertahanan. Tidak sedikit dari mereka yang terluka akibat pertarungan ini, tetapi mereka tetap senyum dan berbahagia melakukan budaya yang terbilang unik ini. (Nyoman Martawan)
158 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
159
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
160 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
161
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
162 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
163
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
164 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
165
Tenganan Pegringsingan sejatinya satu di antara sejumlah desa pakraman yang masuk dalam wilayah pemerintahan dinas Desa Tenganan. Desa-desa pakraman lainnya yakni Tenganan Dauh Tukad, Gumang, Bukit Kangin dan Bukit Kauh. Desa Pakraman Tenganan Pegringsingan sendiri terdiri dari tiga banjar yakni Banjar Kauh di bagian barat, Banjar Tengah di tengah-tengah serta Banjar Kangin/Pande di bagian timur. Desa Tenganan Pegringsingan berada di sebuah lembah dan diapit oleh bukit dengan luas wilayah mencapai 917.200 ha. Karena letaknya seperti itu, Desa Tenganan Pegringsingan dibuat berundak atau terasering dengan posisi makin ke selatan makin rendah. Tujuannya tentu saja untuk menghidari kikisan air hujan. Di dalam desa juga dibuat saluran limbah atau utilitas lingkungan yang terencana dengan baik seperti adanya boatan, teba pisan dan paluh menuju sungai. Pemukian di desa ini berpetak-petak lurus dari utara ke selatan dengan luas pekarangan yang sama yakni 2,342 are. Masing-masing rumah dihuni satu keluarga. Tiap-tiap leret rumah dibelah oleh sebuah jalan tanah yang disebut sebagai sebagai awangan. Awangan ini dibatasi oleh sebuah sekolan air. Ada tiga awangan di desa ini. Ada awangan barat, awangan tengah dan awangan timur. Awangan tengah dan timur lebih kecil, kira-kira setengah dari lebar awangan di barat. Awangan barat kerap menjadi pusat keramaian tiap kali dilaksanakan upacara keagamaan atau adat.
166 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
Struktur pembagian tata ruang desa mengikuti konsep Tapak Dara yakni pertemuan antara arah angin kaja-kelod (utara-selatan) yang merupakan simbol segara-gunung (laut-gunung) dan arah matahari kangin-kauh (timur-barat). Pertemuan kedua arah itu dipersepsikan sebagai perputaran nemu gelang (seperti lingkaran) dengan porosnya berada di tengah-tengah. Orang Tenganan Pegringsingan mengenalnya dengan istilah maulu ke tengah atau berorientasi ke tengah-tengah. Maknanya, mencapai keseimbangan melalui penyatuan bhuwana alit (manusia dan karang paumahan atau pekarangan rumah) dengan bhuwana agung (pekarangan desa). Perkampungan dikelilingi tembok bak benteng pertahanan. Lawangan atau pintu masuk desa berada di keempat penjuru. Orang Tenganan Pegringsingan menyebut konsep penataan ruang desanya itu sebagai Jaga Satru (berjaga dari serangan musuh). Salah satu acara yang paling menarik adalah “mekare-kare� atau� perang pandan� ini adalah sebuah acara pertarungan atau perang dengan menggunaan daun pandan yang berduri sebai senjatanya. Acara ini selalu diselenggaraka dalam rangka perinagtan sasih kelima atau bulan kelima dalam kalender bali. Selain itu ada banyak pakaian dan budaya unik lainnya yang bisa di temukan didesa ini, di Tenganan Pegringsingan. (Wayan Gunayasa)
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
167
(Wayan Gunayasa)
168 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
169
Masyarakat Bali terutama di pedesaan saat pagi hari ataupun sore hari sering sekali mereka melakukan kegiatan mengobrol bersama rekan sejawat atau saudra baek di Bale Banjar, cdi bawah pohon ataupun depan teras rumah. Banyak hal yang mereka perbincangkan baek soal adat, politik, sekolah bahkan sampai soal artis yang lagi ngetop....suasana seperti ini memeberikan warna tersendiri kepada kehidupan di pedesaan, mereka tidak begitu di buru oleh waktu ataupun stress oleh tugas kantor seperti saudaramereka di perkotaan, selain merupakan suatu terapi “social gathering� seperti ini sebenarnya bagus di sosialisakan sebagai wahana penyebaran suatu informasi ataupun sarana untuk belajar karena sampai sekarang kebiasaan membaca masih sangat minim. Semoga hal hal seperti ini yang nmemebnrikan suasana kenyamanan dna kebaikan masih tetap bis aterpelihara, pohon2 besar masih tetap ada sebagai tempat nongkrong, banjar banjar masih tetap dipakai sebagai tempat kumpul kumpul bukan di sewakan sebagai ruko atyau ditinggalkan sepi. Teras dan telajakan masih tetep terpelihara bukan sebagai tempat pembuangans ampah..SEMOGA! (Wayan Gunayasa)
170 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
171
(Wayan Gunayasa)
172 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
173
Tabuh rah bisanya merupakn pertarungan ayam yang diadakan dalam rangkaian upacara agama (yadnya). Dalam hal ini dipakai adalah ayam sabungan, dilakukan tiga babak. ( telung perahatan) yang mengandung makna arti magis bilangan tiga yakni sebagai lambang dari permulaan tengah dan akhir. Hakekatnya perang adalah sebagai symbol daripada perjuangan antara dharma dengan adharma. (wayan Gunayasa)
174 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
175
(Wayan Gunayasa)
176 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
177
Balinese Tradition Putradjaja Chandra Wisnu
178 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
179
“Wayang Lemah� Dipentaskan pada umumnya siang hari dan dilihat dari fungsinya adalah termasuk kesenian pelengkap upacara keagamaan. Di beberapa tempat disebut dengan Wayang Gedog. Wayang ini dipentaskan tanpa menggunakan layar atau kelir, dan lampu blencong. Dalam memainkan wayangnya, dalang menyandarkan wayang-wayang pada seutas benang putih (benang tukelan). (Dewa Enggung Susila)
180 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
181
Wayang Lemah (igb adi perbawa)
182 | edisi Tradisi | Juli 2011 |
| edisi Tradisi | Juli 2011 |
183
Sampai jumpa pada edisi berikutnya. Mari Berkarya!