KEBIJAKAN, IMPLEMENTASI SERTA KONSEKUENSINYA TERHADAP KUALITAS KERJA DAN KUALITAS HIDUP BURUH TEKSTIL DAN GARMEN
Oxfam adalah konfederasi internasional yang terdiri atas 20 afiliasi yang bekerja di lebih dari 90 negara. Konfederasi ini merupakan bagian dari gerakan global menuju masa depan yang bebas dari kemiskinan dan ketidakadilan. Sangkalan: Pendapat dan pandangan di dalam dokumen ini bukan mencerminkan pendapat padangan Oxfam di Indonesia. Kontak: Andhika Nurwin Maulana, amaulana@Oxfam.org.uk Edisi seminar di Universitas Sebelas Maret, Solo Š Oxfam di Indonesia, November 2016
Daftar Isi
Daftar Isi ……………………………………………………………………………………………………
1
Daftar Grafik ……………………………………………………………………………………………….
2
Daftar Singkatan …………………………………………………………………………………………..
3
Daftar Istilah ……………………………………………………………………………………………….
4
Kata Pengantar ……………………………………………………………………………………………
5
Ucapan Terima Kasih …………………………………………………………………………………….
6
Ringkasan Eksekutif ……………………………………………………………………………………… 7 Bab I. Pendahuluan Latar belakang …………………………………………………………………………………… 12 Area penelitian …………………………………………………………………………….…….. 13 Profil perusahaan …………………………………………………………………..……………. 13 Profil responden …………………………………………………………….…………………… 14 Metodologi ……………………………………………………………..…………………………. 17 Bab II. Konsep dan Kebijakan Pengupahan Konsep dan arah kebijakan pengupahan …………………………………..…………………. 19 Penentuan Upah Minimum Regional (UMR) ………………………..………………………… 19 Keterlibatan buruh dalam penentuan upah …………………..……………………………….. 20 Bab III. Kondisi Pengupahan dan Pemenuhan Kebutuhan Hidup Kesenjangan antara kebijakan pengupahan dan upah buruh …………..………………….. 23 Kesenjangan antara upah dan pengeluaran keluarga ………….…………………………... 24 Persepsi buruh terhadap keadilan upah ………………….………………………………...... 27 Bab IV. Upah, Kapabilitas Kerja dan Kualitas Hidup ………………………………………………... 30 Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi ………………………………………………………………… 33 Daftar Pustaka …………………………………………………………………………………………….. 36 Lampiran …………………………………………….…………………………..…………………………. 37
1
Daftar Grafik
Grafik 1. Upah Minimum antar negara dan nilai ekuivalennya berdasarkan disparitas daya beli ……………………………………………………………...……... 14 Grafik 2. Asal modal ……………………………………………………………………………….. 15 Grafik 3. Tujuan pasar ……………………………………………………………………………… 15 Grafik 4. Proporsi Jenis Kelamin ………………………………………………………………….. 16 Grafik 5. Tingkat pendidikan ……………………………………………………………………..… 17 Grafik 6. Tingkat pendidikan per masa kerja …………………………………………………….. 17 Grafik 7. Status tempat tinggal …………………………………………………………………….. 18 Grafik 8. Status kepegawaian …………………………………….……………………...………... 19 Grafik 9. Upah pokok dan tunjangan ……………………………………………………………… 25 Grafik 10. Upah total, pendapatan keluarga dan pengeluaran keluarga ……………………… 26 Grafik 11. Indeks perspepsi keadilan upah ………………………………………………………. 29 Grafik 12. Korelasi antara ketercukupan pendapatan keluarga dengan kapabilitas kerja, kualitas hidup di tempat kerja dan kualitas hidup secara keseluruhan ………...… 32 Grafik 13. Korelasi antara rasa keadilan upah dengan kapabilitas kerja, kualitas hidup di tempat kerja dan kualitas hidup secara keseluruhan ……………………………. 32
2
Daftar Singkatan
ADB
: Asian Development Bank
APINDO
: Asosiasi Pengusaha Indonesia
ASEAN
: Association of Southeast Asian Nations
BPS
: Badan Pusat Statistik
BWI
: Better Work Indonesia
FGD
: Focus Group Discussion
ILO
: International Labour Organization
KHL
: Komponen Hidup Layak
PKB
: Peraturan Kerja Bersama
PKRB
: Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral
PMA
: Penanaman Modal Asing
PMDN
: Penanaman Modal Dalam negeri
PP
: Peraturan Pemerintah
SB/SP
: Serikat Buruh/Serikat Pekerja
UMR
: Upah Minimum Regional
UU
: Undang-Undang
3
Daftar istilah Komponen Hidup Layak
: Standar kebutuhan seorang Pekerja/Buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1(satu) bulan
Lembaga kerjasama bipartite
: Suatu forum inisiatif yang terdiri dari perwakilan para pekerja/buruh atau organisasi pekerja dan perwakilan pengusaha
Lembaga kerjasama tripartite
: Suatu forum inisiatif yang terdiri dari perwakilan para pekerja/buruh atau organisasi pekerja, perwakilan pengusaha dan perwakilan pemerintah
Operator
: Tingkat pekerja paling bawah di perusahaan garmen
Pendapatan keluarga
: Jumlah total pendapatan yang diperoleh oleh buruh dan anggota keluarganya per bulan
Pendapatan tambahan
: Pendapatan yang diperoleh oleh buruh atau anggota buruh di luar upah total yang diterima buruh dari perusahaan
Perjanjian Kerja Bersama
: Perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja atau beberapa serikat pekerja (yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan) dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak
Tunjangan tetap
: Pembayaran kepada Pekerja/Buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran Pekerja/Buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu
Tunjangan tidak tetap
: Suatu pembayaran yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan Pekerja/Buruh, yang diberikan secara tidak tetap untuk Pekerja/ Buruh dan keluarganya serta dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sama dengan waktu pembayaran Upah pokok, seperti tunjangan transport dan/atau tunjangan makan yang didasarkan pada kehadiran
Upah layak
: Jumlah pendapatan Pekerja/Buruh dari pekerjaannya yang dapat memenuhi kebutuhan hidup Pekerja/Buruh dan keluarganya secara wajar
Upah minimum
: Suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau kerjanya
Upah pokok
: Imbalan dasar yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh menurut tingkat atau jenis pekerjaan yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan
Upah total
: Jumlah keseluruhan upah yang diterima oleh buruh, terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap
4
Kata pengantar Dalam beberapa tahun terakhir industri garmen dan tekstil Indonesia mengalami penurunan daya saing dibanding negara-negara kompetitornya, seperti Vietnam. Hal ini tentu cukup mengkhawatirkan mengingat industri garmen dan tekstil merupakan salah satu sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dan memberikan sumbangan signifikan terhadap nilai ekspor Indonesia. Daya saing sebuah sektor industri tak bisa dilepaskan dari performa tenaga kerjanya. Performa tenaga kerja akan menentukan sejauh mana proses produksi dapat dilakukan secara efisien serta sejauh mana organisasi mampu terus berkembang untuk beradaptasi dengan lingkungan industri yang terus berubah. Sayangnya, sejauh ini kualitas tenaga kerja Indonesia masih terbilang rendah. Kualitas tenaga suatu sektor industri tentu berkaitan erat dengan kondisi pengupahannya. Menyadari hal ini Pemerintah Indonesia terus berusaha memperbaiki regulasi pengupahan, terakhir dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 78/2015 yang mengatur mekanisme baru penetapan upah. Namun, penerbitan PP 78/2015 ini telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan buruh dan pengusaha. Pihak yang setuju berpendapat bahwa PP 78/2015 mampu memberikan kepastian pertumbuhan upah dari tahun ke tahun dan menjamin terpenuhinya upah layak. Sementara pihak yang tidak setuju berpandangan bahwa PP tersebut membatasi keterlibatan buruh dalam penentuan upah dan menyebabkan kenaikan lebih kecil daripada dengan menggunakan mekanisme sebelumnya. Terlepas dari pro dan kontra tersebut, perlu adanya studi sistematis untuk melihat kondisi pengupahan pasca penerbitan PP 78/2015 dan melihat dampaknya terhadap kualitas kerja tenaga kerja. Sejauh mana PP 78/2015 mampu menjamin terpenuhinya upah layak? Bagaimana kondisi pengupahan pasca penerbitan aturan baru tersebut? Bagaimana dampak terpenuhi atau tidaknya upah layak terhadap kualitas kerja buruh? Sebagai salah satu upaya melakukan studi sistematis atas persoalan-persoalan di atas, Oxfam di Indonesia melakukan penelitian untuk memberikan gambaran kondisi pengupahan di sektor industri garmen dan tekstil pasca penerbitan PP 78/2015. Lebih dari itu, penelitian ini juga berupaya memberikan perspektif yang berimbang tentang dampak positif pemenuhan upah layak baik bagi pengusaha maupun bagi buruh. Oleh karena itu, penelitian ini akan difokuskan pada sejauh mana pemenuhan upah layak dapat menunjang kualitas tenaga kerja melalui peningkatan kapabilitas kerja dan kualitas hidup buruh secara keseluruhan. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan survei, wawancara dan focus group discussion (FGD) dengan pengurus dan anggota Serikat Buruh di empat provinsi, yaitu Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Meskipun penelitian ini belum mencakup sampel yang merepresentasikan buruh di seluruh Indonesia, namun setidaknya hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan oleh berbagai pemangku kepentingan dalam memperbaiki kondisi pengupahan dan kualitas kerja buruh di sektor teksil dan garmen.
Jakarta, 17 November 2016
Dini Widiastuti Direktur Program Keadilan Ekonomi 5
Ucapan terima kasih
Penelitian ini dapat terlaksana berkat bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada Pengurus Serikat Pekerja Nasional (SPN) dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) baik di tingkat Pusat maupun Daerah yang ikut terlibat aktif di dalam proses pengambilan data. Selanjutnya, peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada Oxfam di Indonesia, khususnya Andhika Maulana dan Chris Wangkay, yang telah menyediakan sumber daya, fasilitas dan petunjuk sejak fase perencanaan, pelaksanaan sampai tahap penyelesaian penelitian ini. Peneliti juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Wahyu Setyo Budhi dan Titis Sekti Wijayanti yang bersedia menjadi asisten penelitian. Terakhir, segala macam perencanaan penelitian ini tidak akan dapat terlaksana dengan baik tanpa dukungan dari responden. Oleh karena itu, peneliti mengucapan terima kasih kepada rekan-rekan buruh yang secara sukarela bersedia meluangkan waktu untuk mengisi kuesioner dan berpartisipasi di dalam sesi-sesi wawancara dan FGD. Harapan peneliti, hasil penelitian ini dapat berkontribusi di dalam usaha untuk meningkatkan kualitas hubungan yang saling menguntungkan (mutual benefits) antara buruh dan pengusaha.
Yogyakarta, 17 November 2016
Moh. Abdul Hakim Peneliti
6
Ringkasan eksekutif
Pemerintah menerbitkan PP 78/2015 dalam rangka memberikan kepastian pertumbuhan upah baik bagi buruh maupun pengusaha. Secara konseptual PP 78/2015 sudah mengadopsi prinsip upah layak di mana kebijakan pengupahan diarahkan untuk mencapai penghasilan yang layak. Namun terdapat dua persoalan yang menyebabkan pro dan kontra terhadap peraturan baru tersebut. Pertama, PP 78/2015 mengamanatkan bahwa kenaikan upah minimum dihitung berdasarkan nilai UMR tahun berjalan dengan mempertimbangkan nilai inflasi dan produktivitas nasional yang ditetapkan oleh BPS. Hal ini dilakukan agar penentuan UMR dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien. Namun di sisi lain, mekanisme baru tersebut menyebabkan keterlibatan buruh dalam penentuan upah minimum menjadi terbatas. Kedua, PP 78/2015 mengatur bahwa upah layak ditentukan berdasarkan hasil kesepakatan antara pengusaha dan buruh di setiap perusahaan yang dimuat di dalam Perjanjian Kerja Bersama (collective agreement). Akan tetapi, terdapat dua kendala yang menyebabkan upah layak sulit tercapai melalui mekanisme perjanjian kerja bersama bipartite ini. Pertama, sebagian besar SB/SP di tingkat perusahaan kurang memiliki kapasitas untuk memperoleh data-data akurat dan argumen yang kuat untuk menegosiasikan upah. Kedua, di perusahaan buruh cenderung berada di posisi yang jauh lebih lemah saat berhadapan dengan pengusaha (high power distance), sehingga mereka kurang mampu mengartikulasikan kepentingannya dengan baik. Penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan pengupahan baru tersebut belum mampu mengatasi berbagai persoalan pengupahan. Pertama, upah yang diterima oleh buruh belum mampu memenuhi kebutuhankebutuhan keluarganya secara layak. Kedua, sebagian perusahaan menggunakan kerja lembur sebagai instrumen untuk memberi kompensasi upah pokok yang rendah. Ketiga, masih terdapat kesenjangan upah antar gender, di mana di dalam penelitian ini upah buruh perempuan hanya sebesar 82,24% dari upah buruh laki-laki meskipun sama-sama di level operator. Keempat, secara rata-rata persepsi buruh terhadap keadilan upah masih terbilang rendah. Keempat persoalan di atas menimbulkan masalah-masalah ikutan yang mempengaruhi kualitas kerja dan kualitas hidup pekerja. Untuk menutupi kekurangan pendapatan, buruh dan keluarganya menempuh berbagai cara, seperti mengurangi kualitas komponen kebutuhan, mengesampingkan kebutuhankebutuhan yang bersifat jangka panjang (misal, pendidikan anak dan tabungan), kerja lembur melebihi batas waktu yang ditentukan (lebih dari 3 jam/hari atau 14 jam/minggu) dan mencari pekerjaan tambahan di luar pekerjaan utamanya. Selain itu, kekurangan pendapatan juga menyebabkan buruh rentan terjerat hutang rentenir.
7
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebenarnya dengan memberikan upah yang mencukupi kebutuhan dan memenuhi rasa keadilan, perusahaan dapat memperoleh berbagai keuntungan. Buruh yang memperoleh pendapatan yang cukup dan merasa diperlakukan secara adil cenderung memiliki kapabilitas kerja yang tinggi, yang ditandai dengan tingginya rasa berdaya di tempat kerja dan motivasi kerja. Selain itu, mereka juga menunjukkan sikap dan perilaku kerja yang lebih efisien, yang ditandai dengan rendahnya intensi pindah kerja dan frekuensi bolos kerja. Kemudian mereka juga memiliki kehidupan kerja yang lebih positif, yang ditunjukkan dengan tingginya kepuasan upah dan kepuasan kerja. Ketercukupan pendapatan dan rasa keadilan upah juga mendorong peningkatan kualitas hidup buruh baik di tempat kerja maupun secara keseluruhan. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat ketercukupan upah dan rasa keadilan upah, semakin rendah tingkat stress dan gangguan fisik yang dialami oleh buruh. Kapabilitas dan kualitas kerja yang tinggi serta kualitas hidup buruh yang positif dapat meningkatkan iklim positif di tempat kerja dan menunjang perusahaan untuk melakukan efisiensi upah (wage efficiency). Dengan demikian, perusahaan akan memiliki modal sumber daya manusia (human capital) dan iklim organisasi yang mendukung peningkatan produktivitas dan perluasan ekspansi bisnisnya. Berdasarkan temuan-temuan di atas, penelitian ini menghasilkan beberapa rekomendasi sebagai berikut: 
Untuk serikat buruh 1.
Salah satu faktor yang menyebabkan buruknya kondisi pengupahan adalah karena lemahnya daya tawar kolektif buruh di tingkat perusahaan. Oleh karena itu, pengurus SB di pusat dan daerah perlu meningkatkan kapasitas pengurus SB di tingkat perusahaan agar dapat memahami aspek legal pengupahan secara mendalam dan melakukan negosiasi upah secara lebih efektif
2.
Keterampilan negosiasi upah harus didukung dengan riset-riset pengupahan yang bersifat jangka panjang (longitudinal study), terutama dalam hal pertumbuhan upah dan harga kebutuhan, perkembangan kualitas hidup buruh dan keluarganya, serta kualitas kerja buruh serta perkembangan perusahaan. Untuk hal ini, serikat buruh dapat melakukan penelitian tentang pengupahan
3.
Serikat Buruh perlu mengembangkan instrumen untuk mengukur dan memonitor terpenuhinya keadilan upah bagi buruh. Secara lebih spesifik, diperlukan adanya perhatian khusus terhadap buruh perempuan yang seringkali mengalami diskriminasi upah
4.
Serikat buruh juga perlu menyelenggarakan program-program yang menyentuh persoalan keuangan keluarga buruh, seperti bagaimana mengakses pinjaman dari bank dengan bunga rendah, mengelola keuangan keluarga untuk mencukupi kebutuhan dan bagaimana mengembangkan usaha rumah tangga secara baik sehingga tidak mengganggu pekerjaan utama
8
Ringkasan Eksekutif

Untuk pengusaha 1.
Untuk dapat bersaing di tingkat global, perusahaan perlu mulai mengadopsi konsep upah layak demi untuk meningkatkan kualitas kerja buruh dan menjaga kepercayaan dari buyers internasional
2.
Perusahaan perlu bekerjasama dengan serikat buruh untuk memonitor kesenjangan upah antara buruh laki-laki dan buruh perempuan
3.
Perusahaan perlu bekerjasama dengan bank untuk menyediakan kredit bagi karyawannya guna melindungi mereka dari praktik-praktik rentenir
4.
Perusahaan harus menjamin terpenuhinya rasa keadilan upah di antara karyawan dengan meningkatkan transparansi tentang keuntungan/kerugian perusahaan dan distribusi upah

Untuk pemerintah 1.
Pemerintah perlu menetapkan besaran upah layak, di samping upah minimum, sebagai acuan untuk mengevaluasi kondisi pengupahan di setiap perusahaan
2.
Pemerintah perlu mendorong pemberian insentif untuk perusahaan jika mampu memberikan upah layak untuk para pekerjanya
3.
Pemerintah perlu membentuk Tim Pengawasan Pelaksanaan Pembayaran Upah di tingkat Provinsi yang terdiri dari unsur tripartite yang bertugas untuk memberikan respon cepat terhadap kasus-kasus pelanggaran pembayaran upah, termasuk di dalamnya memonitor kesenjangan upah antara buruh perempuan dan laki-laki
4. 
Pemerintah perlu mendorong perbankan untuk memperluas akses kredit kecil bagi buruh
Untuk Oxfam: 1.
Oxfam perlu meningkatkan kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat perburuhan lainnya untuk terus mendorong buyers internasional mempertimbangkan faktor upah layak dalam menjalin transaksi dengan perusahaan-perusahaan garmen dan tekstil di Indonesia
2.
Mengingat bahwa pasar utama produk garmen dan tekstil Indonesia adalah masyarakat Amerika Serikat dan Eropa, maka Oxfam bersama lembaga swadaya masyarakat lainnya perlu semakin mengintensifkan kampanye kesadaran upah layak dan perdagangan yang adil (fair trade) yang menyasar mereka
3.
Di level ASEAN, Oxfam perlu mendukung ASEAN Trade Union Council (ASEAN-TUC) untuk melakukan riset-riset pengupahan lintas negara dengan tujuan untuk melakukan advokasi upah layak di level regional
4.
Di level nasional, Oxfam perlu membantu menjembatani kerjasama antara Serikat Buruh dan lembaga setempat guna menyelenggarakan riset dan training dalam rangka peningkatan kapasitas negosiasi upah para pengurus SB di tingkat daerah dan perusahaan Ringkasan Eksekutif
9
11
a. Latar Belakang 1
Dalam beberapa tahun terakhir daya saing industri tekstil dan garmen Indonesia mengalami penurunan, salah satunya disebabakan karena kualitas kerja buruh Indonesia relatif lebih rendah jika dibandingkan 2
dengan para kompetitornya di kawasan Asia Tenggara, seperti Vietnam. Namun rendahnya kualitas kerja buruh tidak dapat dipisahkan dengan persoalan kondisi pengupahan di Indonesia yang terhitung masih di bawah standar layak (BWI, 2015). Selama ini upah murah dianggap sebagai salah satu daya tawar perusahaan-perusahaan garmen Indonesia untuk mendapatkan kontrak kerja dari perusahaan-perusahaan di pasar global, khususnya yang berkedudukan di Amerika, Eropa dan Jepang (Oxfam, 2016; PKRB, 2014; Tjandraningsih & Herawati, 2009). Namun, dalam jangka panjang strategi upah murah justru dapat berakibat buruk terhadap kualitas kerja buruh dan kinerja perusahaan itu sendiri. Upah rendah dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup buruh dan keluarganya, yang selanjutnya berakibat pada menurunnya kualitas kerja mereka di peru3
sahaan (Carr, et. al., 2016). Hal ini didukung oleh fakta bahwa banyak perusahaan tekstil dan garmen yang merelokasi pabriknya ke Vietnam dan Myanmar meskipun upah minimum di kedua negara ini lebih tinggi (Lihat Grafik 1). Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memetakan kondisi pengupahan buruh garmen di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga akan melihat bagaimana dampak kondisi pengupahan di empat daerah tersebut terhadap kualitas hidup buruh dan keluarganya (quality of life), serta kualitas kerja mereka di perusahaan (quality of work life). Di samping itu, mengingat bahwa mayoritas buruh di industri garmen adalah perempuan, penelitian ini akan memberikan perhatian khusus pada isu pendayagunaan (empowerement) buruh perempuan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam merumuskan dan mengevaluasi kebijakan pengupahan menuju ke standar upah yang lebih layak, yang dapat memberikan keuntungan baik bagi perusahaan maupun buruh (mutual advantages).
1. https://bisnis.tempo.co/read/news/2016/02/19/090746626/daya-saing-industri-tekstil-mengalami-kemunduran 2. http://finance.detik.com/read/2015/10/09/142153/3040556/1036/mendag-harap-investor-tekstil-tak-relokasi-pabrik-ke-vietnam 3. Sumber: Wageindicator.org
12
Bab I. Pendahuluan
b. Area Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di empat provinsi dengan tingkat pertumbuhan industri tekstil dan garmen yang berbeda. Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten dikenal sejak lama sebagai pusat industri tekstil dan garmen nasional. Per tahun 2014 di Jawa Barat terdapat 1.673 perusahaan besar dan menengah dengan jumlah angkatan kerja lebih dari 265 ribu orang (BPS Jawa Barat, 2015). Sementara di Banten, jumlah perusahaan tekstil dan garmen mencapai 189 perusahaan dengan jumlah pekerja hampir mencapai 81 ribu orang (BPS Banten, 2015). Jawa Tengah saat ini dianggap sebagai pusat pertumbuhan industri tekstil dan garmen baru. Faktor semakin tingginya upah minimum di daerah Jabodetabek menjadi salah satu alasan pengusaha untuk merelokasi pabrik lamanya atau membangun pabrik baru di daerah ini.4 Hal ini ditandai dengan peningkatan nilai investasi sektor tekstil dan garmen yang mencapai sepuluh kali lipat dibanding tahun sebelumnya.5 Terdapat 1.030 perusahaan tekstil dan garmen di Jawa Tengah dengan jumlah tenaga kerja mencapai lebih dari 253 ribu orang (BPS Jawa Tengah, 2015). Sementara itu, industri tekstil dan garmen di Yogyakarta terbilang baru mulai tumbuh, di mana terdapat pabrik tekstil dan garmen sebanyak 57 perusahaan dengan jumlah angkatan kerja mencapai lebih dari 19 ribu orang (BPS DI Yogyakarta, 2015).
c. Profil perusahaan Penelitian ini dilakukan di 4 provinsi yang mencakup 6 kabupaten/kota dan melibatkan sebanyak 46 pabrik bergerak di sektor garmen dan tekstil. Secara keseluruhan, pabrik garmen dan tekstil yang menjadi target penelitian ini mempekerjakan buruh sebanyak 82.900 orang. Dilihat dari asal modal, 63,5% pabrik tekstil dan garmen tersebut berbentuk perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA). Hasil produksi mereka pun sebagian besar (85,8%) ditujukan untuk pasar luar negeri.
3. https://m.tempo.co/read/news/2006/01/26/05672963/industri-garmen-jabotabek-pindah-ke-jawa-tengah 5. https://bisnis.tempo.co/read/news/2015/11/05/090716131/jawa-tengah-jadi-primadona-baru-investasi-tekstil
Bab I. Pendahuluan
13
d. Profil responden
Rentang usia responden berkisar antara 19 tahun sampai 59 tahun. Rentang usia ini sudah sesuai dengan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang menentukan batas usia minimal pekerja adalah 19 tahun (batas usia pensiun tidak ditentukan oleh UU). Seluruh buruh yang terlibat dalam penelitian ini merupakan pekerja di sektor formal. Dalam hal ini buruh sektor formal didefiniskan sebagai mereka yang bekerja di lembaga berbadan hukum, memperoleh pendapatan tetap, mendapatkan perlindungan kerja, dan dikenai pajak (Saparini & Basri, 1991). Namun ada indikasi kuat bahwa banyak anak di bawah usia kerja yang bekerja di sektor informal di perusahaan garmen skala menengah dan kecil, seperti konveksi atau usaha rumahan.6
Adapun profil partisipan buruh garmen dan tekstil yang menjadi partisipan penelitian ini dipaparkan secara lebih detail sebagai berikut: 1. Jenis kelamin
Dilihat dari jenis kelamin, secara keseluruhan proporsi partisipan buruh perempuan lebih dominan (59,49%) dibanding buruh laki-laki (40,51%). Proporsi ini sesuai dengan karakteristik populasi buruh garmen secara nasional dimana jumlah buruh perempuan mencapai 78% dari total angkatan kerja (BWI, 2015). Oleh karena itu, isu-isu yang terkait dengan perlindungan hak-hak buruh perempuan menjadi hal yang terpisahkan dari persoalan pengupahan di industri garmen dan tekstil di Indonesia (Oxfam, 2015).
6. Wawancara dengan PN (Laki-laki, 26 th) buruh konveksi di Jakarta Barat dan dan ST (Perempuan, 25 th), buruh konveksi di Jakarta Pusat
14
Bab I. Pendahuluan
2. Tingkat pendidikan
Proporsi tingkat pendidikan partisipan penelitian bervariasi di setiap daerah. Namun secara keseluruhan, proporsi buruh yang berpendidikan SMA dan Perguruan Tinggi mencapai 64,4%. Data ini menggambarkan, meskipun tingkat pendidikan minimal untuk menjadi buruh pabrik tidak diatur oleh Undang-Undang, namun lulusan pendidikan menengah (SMK/SMA) atau lebih tinggi semakin diprioritaskan oleh perusahaan. Di samping pendidikan, perusahaan juga cenderung memberikan prioritas bagi pelamar kerja yang memiliki keterampilan dan pengalaman yang relevan dengan jenis pekerjaanya, misalnya keterampilan untuk mengukur, membuat pola dan menjahit pakaian.
Sebagaimana yang dapat dilihat pada Grafik 6, buruh yang mulai bekerja lebih dari 15 tahun yang lalu didominasi oleh mereka yang berpendidikan SMP atau lebih rendah (56,5%). Sementara sebaliknya, untuk angkatan buruh yang mulai bekerja 1 tahun yang lalu atau kurang, komposisi mereka yang berpendidikan SMA dan Perguruan Tinggi jauh lebih dominan, yaitu sebanyak 84,6%. Trend ini tak terlepas dari semakin mudahnya akses masyarakat terhadap pendidikan. Selain itu, hal itu juga berkaitan dengan program pemerintah untuk menaikkan daya saing komparatif buruh Indonesia melalui peningkatan lulusan SMK/SMA dan PT yang siap kerja (PKBR, 2014).
Bab I. Pendahuluan
15
3. Status tempat tinggal
Selain jumlah tanggungan, status kepemilikan rumah juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi kualitas hidup buruh dan keluarganya. Survei ini menunjukkan bahwa tidak ada partisipan yang tinggal di asrama pabrik. Jika pun pabrik menyediakan asrama, buruh lebih memilih tinggal di luar lingkungan pabrik karena merasa lebih leluasa untuk mengatur aktivitas pribadinya. Data penelitian ini menunjukkan hanya 36,2% buruh yang sudah memiliki rumah sendiri (lunas atau kredit). Sementara selebihnya (63,8%) tinggal di rumah orang tua, rumah saudara, kontrak, kos dan lainnya. Menurut penuturan buruh, dengan kondisi pengupahan saat ini sulit bagi buruh untuk membeli rumah.7 Jika hanya mengandalkan upah, mereka harus bekerja dalam jangka waktu lama dan harus sering mengambil jam kerja lembur untuk mulai mencicil atau membeli rumah. Menurut penuturan mereka, perusahaan tidak menyediakan tunjangan perumahan.
4. Status kepegawaian Salah satu faktor yang menjadi sumber keresahan buruh saat ini adalah semakin banyaknya perusahaan yang memilih menggunakan tenaga kerja pihak ketiga (outsource). Namun demikian, didorong oleh konsumen yang semakin memperhatikan etika bisnis berkeadilan (fair trade), saat ini banyak pembeli (buyers) internasional yang menetapkan standar bahwa pabrik tekstil dan garmen harus memiliki karyawan tetap lebih banyak daripada karyawan outsource.8
7. FGD dengan Pengurus Pusat KSBSI 8. Wawancara dengan Pengurus Serikat Buruh di Jawa Tengah
16
Bab I. Pendahuluan
Nampaknya hal ini cukup efektif mempengaruhi kebijakan kepegawaian di perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam penelitian ini. Terhitung secara keseluruhan sebanyak 86% buruh yang menjadi partisipan penelitian ini sudah memperoleh status status kepegawaian sebagai pegawai tetap.
e. Metodologi Penelitian ini menggunakan metode Non-Probability Sampling 9 untuk menggali data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh melalui survei yang melibatkan total 317 orang buruh. Di dalam pelaksanaan survei, pengurus cabang SP/SB setempat terlibat dalam kegiatan survei dengan para buruh garmen di wilayah koordinasinya. Sementara data kualitatif dilaksakanan melalui diskusi kelompok terarah (focus group discussion/FGD) dan wawancara individual dengan melibatkan pengurus dan anggota (total 30 orang) Serikat Pekerja (SP)/Buruh (SB). FGD dan wawancara dengan pengurus SP/SB diarahkan untuk memahami mekanisme penentuan UMR di daerah penelitian beserta dinamika negosiasi di antara buruh, pemerintah dan pengusaha. Sementara FGD dan wawancara dengan anggota SB/SP lebih menekankan aspek pengalaman kerja, evaluasi terhadap pelaksanaan UMR, harapan-harapan mereka terhadap kualitas hidup diri dan keluarganya, serta strategi-strategi yang mereka gunakan saat berhadapan dengan jumlah kebutuhan dibandingkan dengan pendapatan keluarga. Pengisian kuesioner, FGD dan wawancara selalu diawali dengan meminta partisipan untuk membaca lembar informasi yang menjelaskan tujuan penelitian, hak partisipan untuk tidak menjawab pertanyaan manapun, kerahasiaan data penelitian, resiko partisipasi di dalam survei, serta identitas dan kontak peneliti utama. Setelah itu, bagi buruh yang bersedia secara sukarela untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, mereka diminta untuk menandatangani Lembar Penyertaan Kesediaan serta menuliskan nama lengkap dan nomor telpon yang bisa dihubungi. Seluruh protokol survei, wawancara dan FGD telah diperiksa dan disetujui oleh Oxfam di Indonesia dan Pengurus SB/SP.
9. www.oxfam.org.uk/policyandpractice
Bab I. Pendahuluan
17
18
a. Konsep dan arah kebijakan pengupahan Kebijakan PP 78/2015 sudah searah dengan gagasan upah layak (living wage) di mana disebutkan bahwa kebijakan pengupahan dijalankan dengan tujuan untuk mencapai “…penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi buruh/pekerja.” Di dalamnya juga dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan penghasilan layak adalah “…jumlah pendapatan pekerja/buruh dari pekerjaannya yang dapat memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar.” Konsep dan arah kebijakan pengupahan tersebut relatif sejalan dengan prinsip upah layak minimum (minimum living wage) yang diadopsi oleh International Labour Organization (ILO, 2008). Konsep upah layak minimum tersebut mengandung pengertian bahwa upah yang diterima oleh buruh seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar buruh dan keluarganya secara wajar dengan standar hidup masyarakat setempat dan sesuai dengan tingkat pembangunan ekonomi (Anker & Anker, 2013). PP 78/2015 juga menjelaskan mekanisme penentuan upah untuk mencapai penghasilan layak bagi buruh. Menurut sistem pengupahan baru ini, buruh berhak memperoleh penghasilan layak melalui dua komponen pendapatan, yaitu upah dan pendapatan non-upah. Upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap. Selain itu juga terdapat ketentuan bahwa besaran upah pokok paling sedikit 75% dari jumlah total upah. Sementara pendapatan non-upah mencakup Tunjangan Hari Raya (THR), bonus dan pengganti fasilitas kerja.10 Jenis dan besaran masing-masing komponen pendapatan non-upah tersebut harus tercantum di dalam dokumen Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. b. Penentuan Upah Minimum Regional (UMR) Selain mengatur sistem pengupahan secara umum, PP 78/2015 juga menjelaskan prinsip dan mekanisme penentuan UMR. Secara prinsip, penetapan UMR merupakan kebijakan yang bertujuan sebagai jaring pengaman bagi buruh. Dengan kata lain, kebijakan ini memberikan kepastian hukum bahwa setiap buruh yang bekerja sesuai dengan perjanjian kerja berhak untuk mendapatkan upah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya secara layak. Namun berbeda dengan standar hidup layak yang termuat di dalam konsep penghasilan layak (living wage), UMR membatasi pengertian kebutuhan hidup layak sebagai “…standar kehidupan seorang buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.” Konsekuensinya, komponen dan jenis Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang menjadi dasar perhitungan UMR belum mencakup kebutuhan-kebutuhan fisik keluarga bagi buruh yang sudah menikah dan kebutuhan-kebutuhan non-fisik seperti biaya pendidikan anak (Tjandraningsih & Herawati, 2009). 10. Menurut PP 78, bonus adalah insentif yang dapat diberikan oleh Pengusaha kepada buruh atas keuntungan Perusahaan. Uang pengganti fasilitas kerja adalah kompensasi yang diberikan kepada buruh karena Perusahaan tidak menyediakan fasilitas kerja, seperti transportasi, asrama, makan siang, dll.
Bab II. Konsep dan Kebijakan Pengupahan
19
PP 78/2015 juga menjelaskan mekanisme penetapan besaran UMR. Gubernur memiliki kewenangan untuk menetapkan besaran UMR di daerahnya berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Daerah. Sementara Dewan Pengupahan menghitung besaran UMR tahun depan berdasarkan nilai UMR tahun berjalan dengan mempertimbangkan nilai inflasi dan produktivitas nasional yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Secara ekonometris, UMR dihitung berdasarkan rumus berikut:
Di mana: = Upah Minimum tahun depan = Upah Minimum tahun berjalan = Nilai inflasi tahun berjalan = Nilai Produk Domestik Bruto tahun berjalan Nilai UMR tahun berjalan sendiri dihitung berdasarkan harga jenis-jenis Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dikeluarkan oleh BPS. Sementara komponen dan jenis KHL ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan dievaluasi setiap 5 tahun dengan mempertimbangkan hasil kajian yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan Nasional. PP 78/2015 menggarisbawahi bahwa UMR hanya berlaku bagi buruh dengan masa kerja kurang dari 1 tahun. Sementara upah buruh dengan masa kerja 1 tahun atau lebih ditentukan berdasarkan perundingan bipartit antara Serikat Buruh/Pekerja dan Pengusaha di perusahaan yang bersangkutan. Dengan konsep dan mekanisme pengupahan di atas, diharapkan buruh dapat memenuhi kebutuhan keluarganya secara layak sebagaimana prinsip penghasilan layak (living wage) yang menjadi gagasan dasar kebijakan pengupahan di Indonesia.
c. Keterlibatan buruh dalam penentuan upah Salah satu hal yang menjadi sumber polemik kebijakan upah adalah tentang tingkat keterlibatan buruh dalam penentuan upah minimum. Sebelum pemberlakuan PP 78/2015, upah minimum ditentukan setiap tahun oleh gubernur setiap provinsi beradasarkan rekomendasi dewan upah daerah. Dewan upah sendiri terdiri dari perwakilan buruh, pengusaha dan pemerintah. Pasca diberlakukannya PP 78/2015, mekanisme penentuan upah minimum setiap tahunnya tidak lagi melibatkan dewan upah daerah. Sementara Komponen Hidup Layak yang menjadi dasar perhitungan upah minimum dievaluasi setiap lima tahun sekali. Menanggapi perubahan tersebut, Pengurus SB/SP cenderung tidak setuju karena secara otomatis semakin membatasi keterlibatan buruh di dalam penentuan upah minimum.
20
Bab II. Konsep dan Kebijakan Pengupahan
Di sisi lain, menurut pemerintah, mekanisme penentuan upah minimum yang baru tersebut menguntung11
kan kedua belah pihak, baik buruh maupun pengusaha. Penetapan UMR berdasarkan nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi akan memberikan kepastikan kenaikan upah minimum setiap tahunnya. Sementara bagi pengusaha, mekanisme tersebut akan memberikan kepastian usaha. Di samping itu, penentuan upah minimum oleh dewan upah yang dilakukan setiap tahun juga dinilai tidak efektif dan efisien. Pemerintah harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk menyelenggarakan survei harga KHL di pasar secara bersama (tripartite) tiap tahun. Di samping itu, rapat penetapan upah minimum juga sering berlangsung alot dan menciptakan polemik yang berkepanjangan. Salah seorang peneliti APINDO mengeluhkan bahwa proses negosiasi upah tersebut seringkali terkesan seperti “jualan kacang.� Masing-masing pihak bersikukuh dengan nilai upah minimum versi mereka sendiri tanpa didasari dengan data-data pendukung yang kuat dan akurat. Di luar polemik tentang mekanisme penentuan upah minimum, buruh juga memiliki kesempatan untuk menegosiasikan upah layak di tingkat perusahaan. PP 78/2015 mengamanatkan bahwa upah bagi buruh dengan masa kerja satu tahun atau lebih harus ditentukan berdasarkan struktur dan skala upah. Struktur dan skala upah ini harus dicantumkan di dalam dokumen Perjanjian Kerja Bersama (PKB). PKB disusun dan disepakati bersama oleh kedua belah pihak, yaitu pengusaha dan Serikat Pekerja/Buruh. Namun ada dua kendala yang selama ini membuat daya tawar buruh dalam penyusunan PKB cenderung lemah. Sebagaimana yang dituturkan oleh salah satu pengurus pusat SB/SP, pengetahuan dan keterampilan negosiasi upah para pengurus SB/SP di tingkat perusahaan cenderung tidak merata. Sebagian besar SB/ SP di tingkat perusahaan mengalami kendala untuk memperoleh data-data akurat dan argumen yang kuat untuk menegosiasikan kepentingan mereka dalam penyusunan PKB. Persoalan kedua adalah di level perusahaan, buruh cenderung memiliki kedudukan yang jauh lebih lemah dibandingkan pihak pengusaha (high power distance). Konsekuensinya, pengurus dan anggota SB/SP kurang mampu mengartikulasikan kepentingan mereka secara efektif dalam penyusunan PKB (misalnya karena takut dipecat oleh perusahaan).
11. http://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3043669/pemerintah-dan-buruh-belum-sepakat-soal-sistem-perhitungan-upah-baru
Bab II. Konsep dan Kebijakan Pengupahan
21
22
a. Kesenjangan antara kebijakan pengupahan dan upah riil Pada prinsipnya sistem pengupahan nasional Indonesia yang dimuat di dalam PP No. 78/2015 sudah mengadopsi gagasan upah layak (living wage). Pemerintah juga mengatur bahwa upah layak tersebut dapat diperoleh melalui upah dan pendapatan non-upah. Bagian ini akan mendeskripsikan upah yang diperoleh buruh, dan menginvestigasi sejauh mana konsep upah layak tersebut terealisasi. Nilai upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan non-tetap yang diperoleh buruh juga akan dibandingkan dengan besaran upah minimum di masing-masing kabupaten/kota. Selain itu, kesenjangan upah antara buruh perempuan dan laki-laki juga akan menjadi fokus pembahasan.
Secara keseluruhan, besaran upah yang diterima oleh buruh sudah di atas nilai UMR masing-masing kabupaten/kota. Hal ini dapat dipahami mengingat 96,1% buruh yang terlibat di dalam penelitian ini sudah bekerja lebih dari 1 tahun, sehingga upah mereka ditentukan berdasarkan struktur dan skala upah yang nilainya lebih dari upah minimum. Namun demikian, data penelitian ini menunjukkan masih adanya kesenjangan upah antara buruh perempuan dan buruh laki-laki untuk jabatan pekerjaan yang sama (dalam hal ini operator). Bila dibandingkan dengan besaran upah buruh laki-laki, upah buruh perempuan sebesar 86,4% di Kabupaten Tangerang, 87,5% di Kabupaten Semarang, 91,17% di Kabupaten Bandung, 94% di Kota Bandung, 95,1% di Kabupaten Sleman dan 102.2% di Kota Yogyakarta. Secara keseluruhan, data penelitian ini menunjukkan upah buruh perempuan adalah sebesar 84,24% dari upah buruh laki-laki. Hal ini tentu tidak konsisten dengan prinsip-prinsip kesetaraaan gender dalam hal pengupahan. Remuneration Convention tahun 1951 (No. 100) dari ILO secara jelas menyebutkan bahwa perempuan dan laki-laki berhak mendapatkan upah yang setara untuk pekerjaan dengan nilai yang sama. Demikian juga PP 78/2015 (Pasal 11) secara tegas menyatakan bahwa, “Setiap buruh/pekerja berhak memperoleh Upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.�
Bab III. Kondisi Pengupahan dan Pemenuhan Kebutuhan Hidup
23
b. Kesenjangan antara upah dan pengeluaran keluarga Sistem pengupahan Indonesia sudah mengadopsi konsep living wage walaupun dalam praktiknya upah buruh masih berpatokan pada upah minimum. Bagian ini akan memaparkan kesenjangan antara besaran rata-rata pengeluaran untuk setiap komponen kebutuhan keluarga dengan nilai Upah Minimum Kabupaten/Kota dan upah total (upah pokok dan tunjangan) yang diterima oleh buruh. Pada Permenakertrans No. 13/2012, pengeluaran keluarga buruh mencakup 7 (tujuh) komponen kebutuhan yang terdiri dari (i) makanan dan minuman, (ii) sandang, (iii) perumahan, (iv) pendidikan, (v) kesehatan, (vi) transportasi dan 12
(vii) rekreasi dan tabungan. Selain itu, survei ini juga memasukkan dua komponen yang menjadi kebutuhan sehari-hari buruh, yaitu komunikasi dan dana sosial (Tjandraningsih & Herawati, 2009).
Grafik 10 menunjukkan bahwa rata-rata untuk keseluruhan daerah, nilai upah total yang diperoleh buruh (upah pokok dan tunjangan) hanya mampu mencukupi 85,6% nilai pengeluaran keluarga. Oleh karena itu, buruh dan keluarganya dituntut untuk melakukan berbagai strategi dalam mengelola keuangan keluarganya. Dari hasil wawancara dan FGD, setidaknya terdapat tiga strategi untuk mengatur pendapatan dan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan keluarga, yaitu mengurangi komponen kebutuhan, mencari pendapatan tambahan dan/atau berhutang. Cara yang paling umum digunakan buruh untuk menyiasati pendapatan yang terbatas adalah dengan mengurangi, menunda, atau menghilangkan beberapa komponen kebutuhan demi memenuhi kebutuhan yang lebih mendasar dan mendesak. Makanan dan minuman, perumahan (sewa/cicilan rumah, listrik, air dll) dan sandang merupakan kebutuhan-kebutuhan yang dianggap paling mendasar sehingga sebisa mungkin tercukupi. Sementara beberapa kebutuhan yang lebih lebih bersifat jangka panjang seperti pendidikan anak, asuransi dan tabungan seringkali terpaksa disisihkan. Kondisi pengupahan saat ini 12. Sesuai Permenakertrans No.13/2012, besar tabungan adalah 2% dari total pengeluaran untuk ketujuh komponen kebutuhan.
24
Bab III. Kondisi Pengupahan dan Pemenuhan Kebutuhan Hidup
membuat mereka tidak terlalu berharap untuk mampu menaikkan kualitas hidup keluarganya. Sebagai contoh, terkait dengan pendidikan anak, banyak buruh yang berpikir cukup menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang SMA dan kemudian langsung bekerja.13 Strategi berikutnya adalah dengan mencari sumber-sumber pendapatan tambahan di luar upah pokok dan tunjangan. Pendapatan tambahan ini bisa berasal dari upah lembur, pendapatan anggota keluarga lainnya (pasangan atau anak), usaha rumah tangga dan lainnya. Secara keseluruhan, pendapatan tambahan ini memiliki kontribusi terhadap pendapatan keluarga sebesar 36,5% di Kota Yogyakarta, 26,4% di Kabupaten Sleman, 20,4% di Kabupaten Semarang, 13,2% di Kabupaten Tangerang, 8,7% di Kabupaten Bandung serta 6,9% di Kota Bandung. Hal ini mengindikasikan bahwa upah dari perusahaan tetap menjadi komponen pendapatan utama bagi keluarga buruh. Implikasinya, kehidupan ekonomi keluarga buruh sangat dipengaruhi oleh kebijakan pengupahan yang dikeluarkan baik oleh pemerintah maupun oleh setiap perusahaan. Hal ini menjadi salah satu penyebab mengapa posisi buruh di perusahaan menjadi sangat lemah. Kondisi mereka menjadi lebih rentan bila Serikat Buruh di perusahaannya tidak berfungsi. Mereka cenderung pasrah terhadap segala kebijakan perusahaan yang merugikan hak-hak kerja mereka 14
(misal, tidak diberi tunjangan makan, upah terlambat dan sebagainya).
Selain dengan pendapatan tambahan, sebagian buruh menutupi kebutuhan keluarganya dengan mencari uang pinjaman dan kredit. Uang pinjaman biasanya diperoleh baik dari bank, perseorangan (teman dan saudara) juga rentenir. Sebagian perusahaan sudah menjalin kerjasama dengan bank guna menyediakan 15
pinjaman mikro untuk karyawannya. Dengan adanya kerjasama tersebut, buruh dapat memperoleh pinjaman dengan bunga ringan dan membayar cicilan dengan potongan otomatis dari gaji bulanannya. Namun Box 1: Terjerat Hutang Setyawati (bukan nama sebenarnya, perempuan, 33 tahun) sudah bekerja di PT LI, sebuah pabrik garmen di Yogyakarta, selama lebih dari 8 tahun. Salah satu alasannya bekerja di sana adalah karena jaraknya yang dekat dengan rumah sehingga saat istirahat kerja (siang hari), ia bisa pulang untuk mengasuh anaknya yang masih balita (anak pertamanya masih balita pada waktu Setyawati memutuskan pindah ke PT LI. -red). Setyawati memiliki dua orang anak laki-laki, anak pertamanya duduk di bangku kelas empat SD sedangkan anak keduanya berusia 3,5 tahun. Ia dan suaminya sama-sama bekerja sebagai buruh di PT. LI. Setiap bulannya Setyawati dan suaminya memperoleh upah bersih masing-masing sebesar Rp 1.200.000,00. Dengan jumlah pendapatan keluarga sebesar 2,4 juta, Setyawati mencoba mengatur pengeluarannya sedemikian rupa agar mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup keluarganya. Namun, dengan pendapatan yang pas-pasan, beberapa kali terpaksa ia harus mengambil pinjaman bank atau kredit untuk menutupi kekurangan kebutuhan. Ia per-
nah membeli sepeda motor dengan kredit. Namun selama masa pelunasan itu ia betul-betul merasa tertekan. Dengan upah yang pas-pasan, jumlah cicilan kredit sepeda motor yang mencapai separuh dari upahnya membuatnya kesulitan untuk mengatur pengeluaran. Kondisi itu seringkali membuatnya harus mencari uang pinjaman lagi. “Saya sudah berusaha mencukup-cukupkan, kalau ndak cukup gimana lagi, ya cari utangan,� katanya. Setyawati dan keluarganya saat ini masih tinggal bersama dengan orang tua (mertua). Dengan kondisi keuangan seperti sekarang, ia dan suaminya merasa pesimis dapat memiliki rumah sendiri. Terlebih lagi, biaya sekolah pun semakin mahal. Setyawati dan suaminya merasa pekerjaannya sekarang tidak dapat dijadikan tumpuan hidup keluarganya dalam jangka panjang. “Cita-cita kami ke depan, kami ingin memiliki usaha jahitan sendiri. Yang jelas saya ndak mau bekerja sampai pensiun di PT LI.� Tutur Setyawati mengakhiri obrolan.
13. Wawancara dengan Ibu KY (54 tahun) di Semarang dan FGD dengan kelompok di Yogyakarta 14. Wawancara dan FGD dengan buruh dan pengurus SB/SP di Yogyakarta 15. Wawancara dan FGD dengan buruh di Bandung
Bab III. Kondisi Pengupahan dan Pemenuhan Kebutuhan Hidup
25
tidak semua perusahaan memiliki kerjasama dengan bank. Di perusahaan-perusahaan ini, buruh yang mengalami kesulitan untuk memeroleh pinjaman dari bank cenderung mencari pinjaman uang ke teman atau renternir. Berhutang ke teman kerja memang pilihan yang paling menguntungkan karena mereka tidak diharuskan membayar bunga. Namun, kaitan utang-piutang antar teman kerja kerap menyebabkan konflik, misalnya karena hutang tidak terbayar tepat waktu atau seseorang menjadi terlibat hutang dengan banyak orang di tempat kerja. Buruh yang sering berhutang ke teman kerja juga kerap menjadi bahan gunjingan antar sesama buruh dan cenderung dihindari dalam pergaulan di tempat kerja. Renternir menjadi pilihan yang mudah untuk memperoleh pinjaman karena mereka tidak membutuhkan proses administrasi yang berbelit dan pencairan pinjaman juga relatif cepat. Selain itu mereka memilih berhutang kepada rentenir karena menghadapi kebutuhan yang mendesak, seperti saat tiba-tiba anggota keluarga sakit, harus membayar sekolah anak saat tidak memiliki tabungan, atau untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Skema pinjaman di rentenir bisa bermacam-macam, namun pada akhirnya selalu menuntut bunga yang sangat tinggi (bisa mencapai 4 kali lipat dari pinjaman pokok). Box 2: Sekolah ATM Di antara buruh di Tangerang ada istilah “menyekolahkan ATM.” Ini adalah istilah untuk model pinjaman rentenir yang mensyaratkan buruh untuk menyerahkan agunan Kartu ATM yang digunakan untuk menarik gaji beserta PINnya. Pada setiap tanggal gajian, si rentenir akan mengambil cicilan utang beserta bunganya, baru kemudian gaji yang tersisa diserahkan kepada peminjam. “Saya bisa katakan 90% buruh di pabrik tempat saya bekerja sudah menyekolahkan kartu ATM-nya ke rentenir. Jadi setiap tanggal gajian, dengan mudah Mas bisa menemukan di ATM-ATM di lingkungan pabrik ada orang yang membawa banyak kartu ATM dan menarik uang berkali-kali. Bisa dipastikan dia adalah rentenir.” (P, perempuan, 35 tahun, Tangerang). Praktik rentenir semacam ini sulit untuk dihindari oleh buruh karena tidak hanya melibatkan orang di luar pabrik, melainkan juga teman kerja atau bahkan atasan buruh sendiri. Selain itu, buruh juga seringkali tidak mampu menutup hutang-hutangnya ke rentenir karena selama ini mereka hanya mampu membayar cicilan bunga sementara hutang pokoknya tetap tak terbayar. “Ada teman saya yang sudah bertahun-tahun tidak pernah memegang ATMnya lagi gara-gara tidak mampu menutup hutangnya ke rentenir”, cerita Pak M (46 tahun, Tangerang).
Sumber pendapatan tambahan utama lainnya adalah upah lembur. Upah lembur tidak bersifat tetap karena tergantung pada tingkat kebutuhan perusahaan akan tenaga kerja tambahan. Kerja lembur biasanya ditawarkan pada saat target produksi lebih tinggi dari biasanya. Oleh karena itu, jumlah jam dan besaran upah lembur bisa berbeda-beda antar perusahaan dan antar karyawan. Sebagai ilustrasi, di Kabupaten Bandung hanya 7% buruh operator yang mengaku mengambil kerja lembur. Sementara di Kabupaten Semarang, terdapat 81% buruh yang tercatat mengambil kerja lembur. Menurut buruh, upah lembur sangat penting untuk membantu menutupi kebutuhan keluarga. Namun, terdapat beberapa praktik kerja lembur yang melanggar hak-hak buruh. Sebagian perusahaan menggunakan upah lembur sebagai instrumen kompensasi upah pokok yang rendah. Sementara sebagian yang lain meminta buruh untuk kerja lembur melebihi ketentuan (3 jam/hari atau 14 jam/minggu) dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi produksi.
26
Bab III. Kondisi Pengupahan dan Pemenuhan Kebutuhan Hidup
Box 3: Dilema Kerja Lembur Kerja lembur merupakan hal yang dilematis, khususnya bagi para buruh perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak. Di satu sisi, lembur merupakan cara yang paling mudah untuk memperoleh pendapatan tambahan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu buruh, “Lembur bagi kami bukan lagi pilihan, seolah-olah itu sudah menjadi keharusan. Bayangkan saja, jika tidak mengambil lembur upah saya paling-paling sebesar UMK. Tapi dengan mengambil lembur saya bisa memperoleh pendapatan tambahan antara 700 sampai 900 ribu.� (WN, 30 tahun, perempuan) Namun di sisi lain, jika mengambil kerja lembur maka secara otomatis mereka harus mengorbankan waktu bersama keluarga, terutama untuk mengasuh anak. Tak jarang sesampainya di rumah mereka sudah terlalu letih untuk membersamai anaknya. Selain itu, kerja lembur juga membuat beban tugas mereka menjadi semakin tinggi karena mereka juga tetap diharapkan untuk menjalankan tugas-tugas rumah tangganya. Tugas ganda tersebut yang seringkali menjadi beban yang cukup berat di antara buruh perempuan. “Saya benar-benar berharap bisa pulang kerja lebih sore, sehingga bisa memiliki lebih banyak waktu untuk keluarga. Karena sering mengambil kerja lembur, jam pulang saya sering tidak pasti, kadang bisa sore tapi sering juga sampai malam,� tutur CS (40 tahun, perempuan).
c. Persepsi buruh terhadap keadilan upah Persepsi terhadap keadilan upah akan menentukan bagaimana buruh bereaksi terhadap kondisi di tempat kerja. Persepsi keadilan yang positif akan menumbuhkan komitmen kerja dan perilaku organisasional yang mendukung produktivitas perusahaan. Sebaliknya, rasa ketidakadilan akan memicu munculnya perilaku-perilaku yang merugikan perusahaan, seperti ketidakpatuhan pada aturan, resistensi terhadap perubahan organisasional dan korupsi (Furnham, 2010). Persepsi keadilan atas upah muncul dari hasil perbandingan upah secara internal dan eksternal. Buruh secara internal akan menilai seberapa adil timbangan antara upah yang ia peroleh dengan beban pekerjaan (work load) dan besarnya usaha (effort) yang harus ia kerahkan. Secara eksternal mereka juga akan melihat nilai keadilan dengan membandingkan upahnya dengan upah orang-orang di sekelilingnya (evaluasi 360O) yang mencakup rekan kerja, buruh setingkat di perusahaan lain, atasan langsung (supervisor) dan jajaran manajemen (eksekutif). Oleh karena itu, persepsi keadilan atas upah dapat menjadi indikator yang baik untuk melihat kondisi psikososial di tempat kerja.
Bab III. Kondisi Pengupahan dan Pemenuhan Kebutuhan Hidup
27
Secara keseluruhan data penelitian ini menunjukkan bahwa dari perspektif buruh, kondisi pengupahan di 16
perusahaan mereka belum sepenuhnya adil. Meskipun demikian, dengan menggunakan poin 1.5 sebagai nilai tengah dapat dilihat bahwa buruh di Kabupaten Semarang, Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta merasa upah yang mereka peroleh cenderung adil. Sementara sebaliknya, buruh di ketiga daerah lainnya menganggap upah yang mereka dapatkan cenderung tidak adil. Hal ini memberikan gambaran bahwa secara kualitatif kondisi pengupahan di Semarang, Sleman dan Yogyakarta lebih baik dibandingkan buruh di ketiga daerah lainnya.
16. Persepsi keadilan diukur dengan menggunakan 6 pertanyaan yang meminta subyek untuk membandingkan upahnya dengan beban kerja, usaha yang sudah mereka kerahkan, upah rekan kerja, upah buruh setingkat di perusahaan lain, upah atasan langsung dan upah staff manajemen. Rentang pilihan jawabannya adalah dari 0 (tidak adil), 1 (cenderung tidak adil), 2 (cenderung adil) dan 3 (tidak adil). Indeks persepsi keadilan dihitung dari hasil skor rata-rata jawaban atas 6 pertanyaan tersebut.
28
Bab III. Kondisi Pengupahan dan Pemenuhan Kebutuhan Hidup
29
Perasaan berdaya merupakan elemen kunci dari
kapabilitas pekerja (Carr, et al, 2015). Buruh yang
memiliki rasa berdaya memiliki standar pribadi yang tinggi untuk mengevaluasi kinerjanya sendiri. Rasa berdaya juga mendorong buruh untuk selalu belajar hal-hal baru di tempat kerja (Fenwick, 2008; Zahrani, 2012). Selain itu, ketercukupan pendapatan dan rasa keadilan upah juga mendorong tumbuhnya motivasi kerja. Studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki motivasi kerja tinggi cenderung menunjukkan sikap kerja yang professional, memiliki komitmen tinggi untuk mencapai target kerja yang sudah ditentukan dan lebih tangguh saat menghadapi berbagai persoalan di tempat kerja (Grant, Curtayn, & Burton, 2009; Moynihan & Pandey, 2007).
30
Bab IV. Upah, Kapabilitas Kerja dan Kualitas Hidup
Grafik 12 dan Grafik 13 menunjukkan hubungan antara ketercukupan pendapatan dan persepsi keadilan 17
upah dengan faktor-faktor kapabilitas kerja dan kualitas hidup buruh secara keseluruhan. Ketercukupan pendapatan dan terpenuhinya rasa keadilan secara signifikan meningkatkan perasaan berdaya di tempat kerja (a sense of empowerement in the work place). Selain meningkatkan kapabilitas kerja, persepsi keadilan upah ternyata berkorelasi negatif dengan perilaku-perilaku kerja yang tak produktif. Semakin positif persepsi keadilan upah, maka semakin rendah intensi untuk pindah kerja (turnover) dan frekuensi bolos kerja. Turnover dan bolos kerja merupakan dua hal yang menyebabkan organisasi kerja menjadi tidak efisien. Perusahaan harus menanggung biaya tambahan untuk menanggung terganggunya proses produksi, mengimplementasikan kebijakan untuk menurunkan absensi dan kepindahan kerja, serta merekrut dan melatih tenaga kerja baru. Selain itu, tingkat pindah kerja dan bolos kerja yang tinggi dapat menurunkan kondisi psikososial di tempat kerja sehingga dapat berpengaruh negatif terhadap iklim organisasi secara keseluruhan. Oleh karena itu, memberikan upah yang dapat memenuhi rasa keadilan merupakan langkah yang dapat ditempuh untuk meningkatkan efisiensi perusahaan. Terakhir, ketercukupan pendapatan dan persepsi keadilan upah berkorelasi positif dengan kualitas hidup buruh secara keseluruhan. Data penelitian ini menunjukkan bahwa dengan pendapatan yang mencukupi kebutuhan keluarga dan terjaminnya rasa keadilan upah, buruh cenderung mengalami stres kerja rendah, semakin sedikit mengalami gangguan kesehatan fisik, semakin tinggi tingkat kepuasan hidup dan merasa lebih mampu meningkatkan standar hidup keluarga. Dengan kualitas hidup yang baik, buruh dapat bekerja lebih optimal sehingga dapat mendorong kinerja perusahaan secara keseluruhan.
17. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknis korelasi Pearson’s Product Moment. Hasil analisis akan menghasilkan rentang skor yang bergerak dari -1 (semakin tinggi X maka rendah tinggi Y) dan +1 (semakin tinggi X maka semakin tinggi Y). Tingkat toleransi kesalahan di bawah 5%.
Bab IV. Upah, Kapabilitas Kerja dan Kualitas Hidup
31
32
1. Kesimpulan Kebijakan pengupahan nasional telah mengadopsi konsep upah layak dan setara, namun implementasinya sangat bergantung pada negosiasi bipartite di tingkat perusahaan. Dalam praktiknya, alih-alih berusaha mencapai standar upah layak, perusahaan cenderung menggunakan Upah Minimum sebagai standar untuk menentukan upah buruh secara keseluruhan. Sementara di sisi lain, kemampuan negosiasi Serikat Buruh di tingkat perusahaan masih belum merata. Konsekuensinya, upah riil yang diterima buruh belum mampu memenuhi kebutuhan keluarga untuk hidup secara layak. Usaha untuk menyiasati kekurangan pendapatan keluarga kerap membawa persoalan-persoalan baru bagi buruh. Efisiensi pengeluaran keluarga seringkali dilakukan dengan mengesampingkan sebagian kebutuhan dasar untuk hidup yang bersifat jangka panjang, misalnya pendidikan anak dan tabungan. Sementara waktu kerja yang terlalu panjang untuk memperoleh pendapatan tambahan (misal, kerja lembur dan kerja sampingan) kerap menyita waktu keluarga dan menurunkan kualitas hidup mereka (misalnya menjadi mudah sakit dan stress). Selain itu, kondisi pengupahan yang buruk juga membuat mereka rentan terjerat hutang dan kredit konsumtif yang semakin memperberat pengelolaan keuangan. Selain itu masih terdapat beberapa persoalan ketidakadilan upah di tempat kerja. Penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan upah buruh perempuan hanya mencapai 82,24% dari upah buruh laki-laki. Di samping itu, terdapat perusahaan yang menetapkan waktu kerja lembur melebihi batas yang ditentukan (3 jam/hari atau 14 jam/minggu) untuk memaksimalkan efisiensi produksi. Sementara sebagian perusahaan menggunakan upah lembur sebagai instrumen untuk mengkompensasi upah pokok yang rendah. Terakhir, hasil penelitian ini mendukung argumen bahwa ketercukupan pendapatan dan rasa keadilan di tempat kerja dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. Buruh yang memperoleh pendapatan yang cukup dan merasa diperlakukan secara adil cenderung memiliki kapabilitas kerja yang tinggi, yang ditandai dengan tingginya rasa berdaya di tempat kerja dan motivasi kerja. Selain itu, mereka juga menunjukkan sikap dan perilaku kerja yang lebih efisien, yang ditandai dengan rendahnya keinginan untuk pindah kerja dan frekuensi bolos kerja. Kemudian mereka juga memiliki kehidupan kerja yang lebih positif, yang ditunjukkan dengan tingginya kepuasan upah dan kepuasan kerja. Ketercukupan pendapatan dan rasa keadilan upah juga mendorong peningkatan kualitas hidup buruh baik di tempat kerja maupun secara keseluruhan. Semakin tinggi tingkat ketercukupan upah dan rasa keadilan upah, semakin rendah tingkat stress dan gangguan fisik yang dialami oleh buruh. Kapabilitas dan kualitas kerja yang tinggi serta kualitas hidup buruh yang positif dapat meningkatkan iklim positif di tempat kerja dan menunjang perusahaan untuk melakukan efisiensi upah (wage efficiency). Dengan demikian, perusahaan akan memiliki modal sumber daya manusia (human capital) dan iklim organisasi yang mendukung peningkatan produktivitas dan perluasan ekspansi bisnisnya.
Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi
33
2. Rekomendasi 
Untuk serikat buruh 1.
Salah satu faktor yang menyebabkan buruknya kondisi pengupahan adalah karena lemahnya daya tawar kolektif buruh di tingkat perusahaan. Oleh karena itu, pengurus SB di pusat dan daerah perlu meningkatkan kapasitas pengurus SB di tingkat perusahaan agar dapat memahami aspek legal pengupahan secara mendalam dan melakukan negosiasi upah secara lebih efektif
2.
Keterampilan negosiasi upah harus didukung dengan riset-riset pengupahan yang bersifat jangka panjang (longitudinal study), terutama dalam hal pertumbuhan upah dan harga kebutuhan, perkembangan kualitas hidup buruh dan keluarganya, serta kualitas kerja buruh serta perkembangan perusahaan. Untuk hal ini, serikat buruh dapat melakukan penelitian tentang pengupahan
3.
Serikat Buruh perlu mengembangkan instrumen untuk mengukur dan memonitor terpenuhinya keadilan upah bagi buruh. Secara lebih spesifik, diperlukan adanya perhatian khusus terhadap buruh perempuan yang seringkali mengalami diskriminasi upah
4.
Serikat buruh juga perlu menyelenggarakan program-program yang menyentuh persoalan keuangan keluarga buruh, seperti bagaimana mengakses pinjaman dari bank dengan bunga rendah, mengelola keuangan keluarga untuk mencukupi kebutuhan dan bagaimana mengembangkan usaha rumah tangga secara baik sehingga tidak mengganggu pekerjaan utama

Untuk pengusaha 1.
Untuk dapat bersaing di tingkat global, perusahaan perlu mulai mengadopsi konsep upah layak demi untuk meningkatkan kualitas kerja buruh dan menjaga kepercayaan dari buyers internasional
2.
Perusahaan perlu bekerjasama dengan serikat buruh untuk memonitor kesenjangan upah antara buruh laki-laki dan buruh perempuan
3.
Perusahaan perlu bekerjasama dengan bank untuk menyediakan kredit bagi karyawannya guna melindungi mereka dari praktik-praktik rentenir
4.
Perusahaan harus menjamin terpenuhinya rasa keadilan upah di antara karyawan dengan meningkatkan transparansi tentang keuntungan/kerugian perusahaan dan distribusi upah

Untuk pemerintah 1.
Pemerintah perlu menetapkan besaran upah layak, di samping upah minimum, sebagai acuan untuk mengevaluasi kondisi pengupahan di setiap perusahaan
2.
Pemerintah perlu mendorong pemberian insentif untuk perusahaan jika mampu memberikan upah layak untuk para pekerjanya
3.
Pemerintah perlu membentuk Tim Pengawasan Pelaksanaan Pembayaran Upah di tingkat Provinsi yang terdiri dari unsur tripartite yang bertugas untuk memberikan respons cepat
34
Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi
terhadap kasus-kasus pelanggaran pembayaran upah, termasuk di dalamnya memonitor kesenjangan upah antara buruh perempuan dan laki-laki 4. 
Pemerintah perlu mendorong perbankan untuk memperluas akses kredit kecil bagi buruh
Untuk Oxfam: 1.
Oxfam perlu meningkatkan kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat perburuhan lainnya untuk terus mendorong buyers internasional mempertimbangkan faktor upah layak dalam menjalin transaksi dengan perusahaan-perusahaan garmen dan tekstil di Indonesia
2.
Mengingat bahwa pasar utama produk garmen dan tekstil Indonesia adalah masyarakat Amerika Serikat dan Eropa, maka Oxfam bersama lembaga swadaya masyarakat lainnya perlu semakin mengintensifkan kampanye kesadaran upah layak dan perdagangan yang adil (fair trade) yang menyasar mereka
3.
Di level ASEAN, Oxfam perlu mendukung ASEAN Trade Union Council (ASEAN-TUC) untuk melakukan riset-riset pengupahan lintas negara dengan tujuan untuk melakukan advokasi upah layak di level regional
4.
Di level nasional, Oxfam perlu membantu menjembatani kerjasama antara Serikat Buruh dan lembaga setempat guna menyelenggarakan riset dan training dalam rangka peningkatan kapasitas negosiasi upah para pengurus SB di tingkat daerah dan perusahaan
Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi
35
Daftar Pustaka Anker, R., & Anker, M. (2013). A shared approach to estimating living wages: Short description of the agreed methodology. London, UK: Iseal Alliance BPS Banten, (2015). Provinsi Banten dalam Angka 2015. Serang, Indonesia: Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. BPS Jawa Barat. (2015). Jawa Barat dalam Angka 2015. Bandung, Indonesia: Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. BPS Jawa Tengah (2015). Jawa Tengah dalam Angka 2015. Semarang, Indonesia: Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. BPS DI Yogyakarta (2015). Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2015. Semarang, Indonesia: Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah. BWI (2015). Indonesia Worker Survey Summary: Better Work Impact Assessment. Tufts University. Carr, S. C., Parker, J., Arrowsmith, J., Watters, P., & Jones, H. (2016). Can a living wage springboard human capability? An exploratory study from New Zealand. Labour & Industry: A Journal of The Social and Economic Relations of Work, 26(1). Faturrochman (2003). Rasa keadilan dan kondisi psikologis buruh pabrik. Jurnal Psikologi, No. 1, pp. 1-5. Fenwick, T. (2008). Workplace learning: Emerging trends and new perspectives. New Directions for Adult and Continuing Education, 2008(119), 17-26. Furnham, A. (2010) Justice at work. In S. C. Carr, A. Furnham, & M. McLachlan. Humanitarian Work London, UK: Palgrave Macmillan, pp. 52-79.
Psychology.
Grant, A. M., Curtayne, L., & Burton, G. (2009). Executive coaching enhances goal attainment, resilience and workplace well-being: A randomised controlled study. The Journal of Positive Psychology, 4(5), 396-407. ILO & ADB (2014). ASEAN Community 2015: Managing integration for better jobs and shared prosperity. Bangkok, Thailand: ILO and ADB. Moynihan, D. P., & Pandey, S. K. (2007). Finding workable levers over work motivation comparing job satisfaction, job involvement, and organizational commitment. Administration & Society, 39(7), 803-832. Oxfam (2016). Underpaid and undervalued: How inequality defines women’s work in Asia. Retrieved from: https:// www.oxfam.org/sites/www.oxfam.org/files/file_attachments/ib-inequality-womens-work-asia310516.pdf PKRB (2014). Analisa Daya Saing dan Produktivitas Indonesia Menghadapi MEA. Jakarta, Indonesia: Kementerian Ekonomi dan Keuangan RI. Saparini, H. & Basri, M. C. (1991). Pekerja Sektor Informal. Jakarta, Indonesia: FH Universitas Indonesia Tjandraningsih, I. & Herawati, R. (2009). Menuju Upah Layak. Bandung, Indonesia: AKATIGA. Zahrani, A. A. (2012). Psychological empowerment and workplace learning: An empirical study of Saudi Telecom Company. Advances in Management.
36
Lampiran 1
Tabel 1. Profil pabrik asal responden Provinsi Banten Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Total
Kab/Kota Kab Tangerang Kota Bandung Kab Bandung Kab Semarang Kab Sleman Kota Yogyakarta
Jumlah Pabrik Garmen & Tekstil 5 unit 10 unit 4 unit 21 unit 4 unit 2 unit 46 unit
Total Karyawan (+/-) 27.800 2.800 8.800 42.000 1.500 700 82.900
37
1 1 .116* .147*
2
Lampiran 1
4
1
3
*
1
1 .331* -.032
*
.261*
.032
.171*
*
.186* *
.185*
.340*
*
-.026
*
.345* *
.512* .119*
.276*
*
*
.426* *
.538* *
-.121
.197*
*
.104
.211*
.153*
*
*
.330*
.287*
.148* -.028
.210*
5
1
*
.419*
*
.340*
*
.385*
*
.327*
*
.296*
.265* *
-.111
.113*
*
*
.044 *
.379*
.234*
*
.270*
*
.405*
*
.269* *
.162*
*
.218*
*
.160*
6
1
7
1
8
1
*
.491*
*
.380* *
9
1 .240*
*
.340*
*
*
*
.215*
.229*
*
.221*
.270*
*
*
.255*
*
*
*
.169*
.466*
.373*
*
.244*
.470*
*
.288*
*
.331*
*
.405*
*
.217*
10
1
1
11
*
.316*
*
.154*
*
.199*
12
1
Tabel 2. Matriks korelasi ketercukupan pendapatan, persepsi keadilan upah dan indikator-indikator kapabilitas kerja dan kualitas hidup
(1) Ketercukupan pendapatan (2) Persepsi keadilan upah (3) Rasa berdaya (4) Bolos kerja (5) Pindah kerja (6) Kepuasan kerja (7) Kepuasan upah (8) Motivasi kerja (9) Stress (10) Kepuasan hidup (11) Peningkatan standar hidup (12) Gangguan kesehatan .006
38
42
Oxfam di Indonesia Jl. Taman Margasatwa No. 26A, Ragunan, Jakarta Selatan, 12550 T.: 021 7811-827 | F.: 021 7813 321 Blog: oxfamblogs.org/Indonesia | Facebook, Youtube, Issuu: Oxfam in Indonesia Twitter: @OxfamIndonesia | Instagram: @oxfamdiindonesia