Situasi International Imperialisme mengalami resesi yang hebat. Walau masih bisa diredam dengan berbagai cara sehingga tidak sampai benar-benar tewas, namun sampai tahun ini mereka belum bisa mengatasi/menghentikan krisis tersebut. Mereka memerlukan perluasan pasar dengan program restrukturisasi adapun kebijakan-kebijakan yang mereka dapat dari IMF, World Bank tapi itu semua belum bisa mengatasi krisis. Kebutuhan yang mereka perlukan setelah over kapasitas adalah bagaimana mendapatkan keuntungan. Untuk saat ini over kapasitas yang terjadi dapat digunakan untuk proyek-proyek militer, seperti industri baja, elektronik, penerbangan, dsb. Mobilisasi industri untuk kepentingan perang ini untuk sementara waktu berhasil mempertahankan beberapa industri menjadi tidak kolaps sama sekali. Selain itu persoalan domestik dalam industri AS, pendekatan militer mengeliminir ancaman-ancaman yang datang dari dampak perluasan pasar sebelumnya. Seperti munculnya Islam fundamaentalisme yang anti barat adalah dampak perluasan pasar--dan ekses-eksesnya--oleh barat. Akar terorisme yang sebenearnya adalah kapitalisme dilimpahkan ke negara dunia ketiga, dan setiap negera yang dianggap mengancam harus diserang. Kelompok kanan atau militeris di AS sangat menginkan negera-negara yang diangap sarang teroris harus segera dihancurkan atau duduki. Jadi invasi yang dilakukan AS bukan sekedar dalam rangka rebutan sumberdaya alam, tapi juga meletakan basis jaminan keamanan untuk kepentingan mereka. Betapa ributnya ketika Korut dengan sengaja meluncurkan rudal balistik ke Jepang sebagai taktik diplomasi. Atau rencana utk menghidupkan kembali reaktor nuklir. Bukan hanya serangan tapi juga menempatkan tentara secara permanen. Pembagian teritorial militer Amerika itu sudah mengepung dunia, seperti armadanya di Pasifik, dsb. Dalam dokumen keamanan AS, mereka sudah jelas-jelas menyatakan bahwa tugas militer Amerika adalah mendukung dan mengamankan globalisasi. Kemenangan neoliberalisme dimungkinkan oleh apa yang disebut sebagai kelompok-kelompok kooperatif, yang bekerjasama dengan imperialis. Dan kelompok ini ada di berbagai wilayah dunia. Carlos Menem (Meksiko) dalam watu satu tahun menjual seluruh perusahaan negera. Sementara itu privatisasi yang dilakukan oleh pemerintahan Megawati mungkin sampai akhir tahun 2003, karena rencana tersebut akan diintensifkan tahun ini. Atau tingal menggunakan WTO, dsb. Bisa saja DPR akan menunda untuk beberapa waktu proses privatisasi tersebut, tapi borjuasi manapun yang bekuasa tak akan sanggup mengatasi krisis tanpa solusi-solusi neoliberal. Ketika kita bersama-sama menerbitkan manifesto kedua, sangat jelas bahwa apa yang kita alami adalah penjajahan ulang atau rekoloninasi. Dalam hal ini, yang mungkin menjadi kontekstual dalam perdebatan kita adalah bahwa ternyata tidak sesuram itu gambarannya. Pertama, Ada perluasan sentimen anti kapitalisme yang mungkin akan jauh lebih kaya dari gerakan di masa lalu. Sentimen tersebut muncul dari kalangan gerakan perempuan, agamawan, nasionalis, dsb. Situasi ini paling jelas tergambar dalam aksi-aksi anti perang yang terjadi dalam beberapa bulan, sampai dengan berakhirnya Perang Teluk II. Problem dalam gerakan anti perang dalam memajukan tuntutan kelompok-kelompok fundamentalis, dari anti AS (yang masih terbungkus prasangka rasis) menjadi anti imperialis. Sekalipun demikian, kata-kata imperialis sudah lebih sering digunakan untuk menggambarkan situasi dominasi Amerika dan sekutunya. Perlu diingat dan menjadi catatan penting bahwa perlawanan anti imperialis tersebut tidak akan berarti apa-apa sepanjang rejim antek imperialis di negeri mereka masing-masing tidak ditumbangkan (sebagaian besar rejim-rejim di Timur Tengah adalah rejim yang sangat akomodatif terhadap imperialis AS, dalam mengeksploitasi minyak di sana). Kedua, ada beberapa negara baru, yang bisa mencerminkan pelajaran bagaimana menjalankan pemerintahan yang anti imperialis. Kita melihat satu hal, terutama kemenangan Chaves atas kelompok-kelompok reaksioner di Venezuela, meskipun kita tahu aksi kontra-revolusi yang terjadi disebabkan karena lambatnya penerapan program-program revolusi demokratik. Yang kedua, kemenangan Lula, terlepas bahwa perjuangannya yang sangat parlementarian, namun manfaat dari kemenangannya bagi gerakan cukup besar. Contohnya, tidak akan ada WSF di Brasil tahun lalu, tanpa walikota Sou Paulo yang dikuasai oleh TB (partai buruh yang bertendensi kiri). Ketiga, kemenagan Enrico Gueteres yang memiliki beberapa kesamaan dengan Chavez; khususnya asal-usul militernya. Namun Enrico ini juga mulai tergoda seperti Lula. Di berbagai belahan dunia lainnya, di Eropa Barat mulai banyak anggota parlemen Eropa dari partai kiri, partai sosialis Scotland mempunyai 8 kursi. Demikian juga bagi gerakan di negeri-negeri dunia pertama, telah mencapai kemajuan kualitatif tertentu sejak meledaknya aksi-aksi anti perang
1
kemarin. Misalnya di AS, sebagian rakyat mulai melihat dengan lebih jelas kebijakan-kebijakan pemerintahnya yang berlandaskan pada kepentingan korporasi-korporasi internasional mereka (dalam kasus perang Irak adalah perusahaan minyak milik kroni Bush dan Rumshefelt). Sekilas Tambahan Situasi Nasional Naiknya Mega-Hamzah merupakan capaian obyektif dari kontradiksi-kontradiksi dalam kapitalisme Indonesia, dalam hubungannya dengan kapitalis internasional--yang mana keduanya berhadapan dengan situasi rendahnya kesadaran politik massa rakyat. Wujud dari rejim ini merepresentasikan tipikal umum dari borjuasi Indonesia--yang telah berlangsung menyejarah--yang akan terus berlangsung, selama kekuatan massa rakyat terorganisir belum mampu mengambil peran lebih dalam kegiatan politik. Dengan demikian kekuasaan borjuasi yang bakal lahir dari ajang pemilu ini akan membawa karakter yang tidak jauh berbeda; melanjutkan program-program neoliberal dan berkolaborasi dengan sisa-sisa orde baru. Dari catatan ekonomi dapat kita simpulkan bahwa krisis ekonomi belum juga selesai, bahkan memburuk. Para ekonom borjuis berupaya menyampaikan ukuran-ukuran dari membaiknya kondisi ekonomi dengan menunjuk data menguatnya nilai tukar rupiah, atau meningkatnya nilai ekspor. Namun ukuran tersebut tidak memiliki arti apa-apa bagi rakyat miskin. Seharusnya adalah meningkatnya daya beli rakyat. Sementara meningkatnya daya beli rakyat disyaratkan oleh dua hal; pertama, harus ada peningkatan penghasilan (atau harus ada lapangan kerja--berarti harus ada investasi--dan kenaikan upah riil); kedua, harus ada penurunan harga-harga barang (harus menekan biaya produksi). Kedua hal ini tidak dapat disediakan oleh borjuasi, dengan alasan krisis yang sudah sering kita bahas. Problem-problem baru--sebagai ekses neoliberal--terus berdatangan, seperti masalah harga gula yang meningkat tajam di pasaran, sementara harga jual dari petani sendiri sangat rendah. Demikian juga dengan harga gabah yang sekarang mulai memasuki masa panen, dan mengalami penurunan yang cukup besar--dari rata-rata antara Rp. 1.200 sampai Rp. 1.700,- menjadi dibawah Rp. 1.000,- per kilogram. Sementara itu, dalam situasi ini rejim borjuasi tidak sanggup, dan tidak akan sanggup memberi konsesi. Konsesi demokrasi tidak sanggup, karena mereka tidak cukup berani menghadapi tentara. Ketidakmampuan mengatasi krisis ini mengakibatkan mereka harus membenarkan tindakan represif terhadap rakyat dan aktivis pro rakyat. Kecenderungan sikap borjuasi sipil yang pengecut bertemu dengan situasi ekonomi yang terus berada dalam krisis, memberikan peluang bagi militer untuk maju sebagai faksi borjuasi yang paling unggul, yang bisa dilihat dari lolosnya perangkat undang-undang yang menguntungkan militer, operasi militer di Aceh, pengadilanpengadilan terhadap aktivis pro rakyat yang tidak pernah terjadi di masa Habibie dan Gus Dur (sampai menjelang kejatuhannya). Restorasi militer adalah konsekuensi yang tidak terlepas dari investasi politik tentara. Yang menarik adalah tentara semakin gencar memaksakan kepentingankepentingannya melalui RUU TNI, intelejen, pertahanan negera. Dalam RUU TNI ada legalisasi kudeta, di pertahanan negara ada tuntutan penambahan jumlah tentara melalui milisi-milisi sipil. Tentara dalam hal ini cukup mengerti kelemahan borjuasi sipil; Mega, Amin Rais, juga Hamzah Haz Demikian pula dalam hal konsesi ekonomi, tidak akan sanggup mereka berikan, karena programprogram ekonomi yang dijalankan menurut kehendak IMF. Seluruh kekuatan ekonomi negara-yang dapat dialokasikan untuk menyogok rakyat--saat ini berada di tangan korporasi-korporasi internasional. Sedikit yang tercecer di dalam negeri, akan segera diobral habis. Borjuasi Indonesia saat ini bertindak sebagai calo yang mendagangkan harta milik rakyat tersebut. Jika yang terjadi sekarang aset-aset belum juga habis terjual, adalah lebih dikarenakan perlawanan-perlawnaan terhadap proses privatisasi tersebut. Bagi buruh, perlawanan tersebut dimotivasi oleh kekhawatiran terhadap dampak dari privatisasi itu terhadap mereka (berupa PHK) dan ketidakrelaan aset negara dijual kepada borjuasi asing. Sedangkan bagi elit politik dan birokrat, penolakan terhadap privatisasi lebih bermotif bargain untuk mendapatkan ceceran (fee) dari proses jual beli tersebut (korupsi). Semakin banyak perlawanan yang dilakukan oleh buruh, justeru dimanfaatkan oleh mereka untuk mendapatkan fee yang semakin besar. Di sini menjadi penting untuk dijelaskan problem privatisasi ini sebagai problem bersama, dan harus dilawan bersama dengan seluruh sektor rakyat lain; bukan sekedar perjuangan buruh BUMN tempatnya bekerja.
2
Dengan berkembangnya situasi tersebut kita dapat melihat kecenderungan kepercayaan rakyat terhadap elit politik mainstream yang menurun, bahkan mulai melenyap, hal itu dapat dipastikan. Namun kita tidak dapat membuat sebuah kesimpulan yang tunggal mengenai kecenderungan tindakan politik yang mereka pilih seiring menurunnya kepercayaan tersebut. Tindakan politik rakyat harus diarahkan, yang untuk itu (agar kita sanggup mengarahkan tindakan politik mereka) dibutuhkan sebuah pandangan alternatif yang menjadi pilihan selanjutnya bagi rakyat. Keinginan akan perubahan sudah muncul di kalangan massa rakyat, bahkan dapat dikatakan telah ada keinginan pemberontakan dalam makna yang populis/menginginkan perubahan kondisi mereka seminimal apapun-- (bukan pemberontakan dalam makna revolusioner). Bagaimanapun situasi ini cukup menguntungkan bagi gerakan revolusioner, karena perubahan kecil pada kesadaran massa, dapat melahirkan tindakan politik mereka sendiri berhadapan dengan penguasa. Situasi seperti itu akan memudahkan kita untuk mengarahkan rakyat baik secara politik maupun organisasi, karena kesadaran mereka yang meningkat. Problemnya adalah harus ada kesiapan struktur untuk melancarkan pemberontakan tersebut, jika tidak ingin peristiwa kerusuhan 1998 terulang. 1 Kepercayaan massa terhadap elit politik yang menurun ini akan membedakan pemilu 2004 nanti, dengan pemilu 1999 yang lalu--dalam hal melakukan pendelegitimasian pemilu tersebut. Antusiasme dan ilusi massa, bahwa penguasa yang mereka pilih (dalam pemilu) akan dapat menyelesaikan problem mereka seperti yang terjadi pada tahun 1999, tidak akan terjadi pada pemilu kali ini. Aksi-aksi menuntut pergantian rejim, dan perlawanan rakyat umumnya meningkat di bulan Januari 2003, dan kemudian menurun di bulan-bulan berikut. Namun perlawanan spontan/ekonomis, atau perlawanan dengan isu-isu yang berbeda tetap berlangsung dengan cukup masif, meskipun tidak sebesar Januari 2003. Tapi kondisi untuk menyatukan perlawanan tersebut tidak tersedia. Isu-isu yang muncul--dan dirasa perlu diangkat begitu banyak, sehingga front yang munculpun fragmentatif (terutama di Jakarta, sementara di tingkat daerah terfragmentasi dengan isu-isu lokal semacam suksesi kepala daerah, korupsi, dsb). Upaya untuk memajukan kualitas dari front ini terus kita upayakan, namun belum membuahkan hasil yang maksimal, yaitu muara berupa persatuan kekuatan-kekuatan politik yang bersebrangan dengan rejim, dan yang dilihat secara programatik memiliki watak kerakyatan. Potensi penyatuan ini bisa muncul kembali ketika atmosfir politik meninggi. Perlawanan dengan tuntutan pergantian rejim Mega-Hamzah yang konsisten di luar kita(?), hanya dilakukan oleh BEM, cs. Namun patut dilihat juga bahwa dalam momentum atau kasus-kasus tertentu organisasi-organisasi demokratik mulai lebih jelas menunjukkan posisi politiknya yang berseberangan dengan rejim ini. Aksi-aksi BEM cs, sekalipun tidak dapat dikatakan mampu menjaga atau meningkatkan atmosfir politik (seperti pada awal tahun 2003), namun mampu terus mempertahankan isu tersebut, sehingga tidak ada kekosongan propaganda pendelegitimasian terhadap rejim. Persoalan front dalam perkembangan awal Januari ketika momentum kenaikan BBM/listrik, terlihat bahwa program kita bisa diterima banyak kelompok. Itu yang menjadi basis perkembangan front yang lebih baik dari masa-masa seblumnya. Dari beberapa front seperti KN, BOKMM, APM, Ampera, terlihat situasi yang cukup menciptakan optimisme. Dalam perkembangan selanjutnya ada tensi penurunan gerakan akibat sogokan-sogokan yang diberikan oleh rejim atas keputusan sebelumnya. Hal ini kemudian berimbas pada pecahnya front, disamping faktor lain yakni godaan untuk masuk dalam momentum Pemilu 2004 (khususnya Eros, Rachmawati, dll). Mereka terlihat cukup malas untuk menggelorakan kembali gerakan massa, karena menganggap pemecahan problem sekarang dapat melalui pemilu 2004 nanti. Secara keseluruhan semua front yang ada mengalami pelemahan. Investasi propaganda kita selama lebih dari dua tahun menyangkut penggulingan Mega, isu IMF, dsb mulai terlihat hasilnya. Terlihat juga capaian politik kita bukan semata-mata dialektika lapangan saja, namun juga melalui kerja-kerja front yang dibangun di tingkat atas. Begitu banyak perpecahan di serikat-serikat buruh, bagaimana SBSI mengambil posisi yang sangat indpenden atau oposisi terhadap pimpinan nasionalnya. Sikap itu diambil karena neoliberal sudah mengorbankan banyak buruh tapi pimpinannya tidak berbuat apa-apa. Di sini terdapat peluang/potensi untuk lebih luas merekrut massa dari perpecahan-perpecahan tersebut. Itu lebih memudahkan bagi kita untuk mensosialisasikan sikap kita termasuk soal pemilu. Adanya ketidakyakinan dari seluruh partai-partai besar bahwa mereka akan dapat memenangkan pemilu dengan suara mayoritas. Disamping faktor banyaknya pesaing, juga mereka sudah
3
membaca gejala menurunnya kepercayaan massa rakyat terhadap mereka--yang bersumber dari ketidakmampuan mereka sendiri. Bisa dilihat dari penolakan mereka terhadap syarat pencapaian 20% suara bagi partai yang ingin mencalonkan presidennya, termasuk PDIP yang sejak awal bersikeras meloloskan aturan tersebut. Ketidakyakinan ini berpotensi terjadinya kolaborasi antara partai-partai besar (yang mulai nampak adalah golkar dan PDIP, serta partai-partai Islam). Ini ditampakkan dari kecenderungan solidnya kepentingan mereka dalam menghadapi pemilu ini. Struktur serta alat-alat politik borjuasi--yang memiliki jangkauan sangat luas--akan digunakan untuk mengajak massa semaksimal mungkin menyukseskan pemilu kali ini. Termasuk memaksakan opini melalui media massa untuk menuruti mekanisme borjuasi ini, karena dianggap sebagai satu-satunya proses politik untuk memformat sebuah struktur negara yang baru (mereka tidak mengenal tatanan komune, soviet, atau dewan rakyat). Ini lah cara konstitusional yang disepakati oleh seluruh lapisan politisi borjuis--bahkan sampai ke LSM-LSM yang pada pemilu 1999 yang lalu berlomba-lomba penyelenggarakan pendidikan bagi pemilih di segala sektor. Mereka tidak akan mengijinkan sebuah cara lain, diluar cara yang sudah disepakati ini. Artinya, pemboikotan terhadap pemilu berarti menghadapi seluruh faksi borjuasi (termasuk tentara) yang sedang solid melangsungkan hajatannya itu. Konsekuensinya, membutuhkan kemampuan pelopor yang maksimal untuk dapat konsisten melakukan aksi-aksi boikot tersebut. Beberapa aksi dengan isu boikot pemilu sudah terjadi, namun masih dalam jumlah yang tidak signifikan, dan tidak 'bunyi'; seperti yang terjadi di Bandung (oleh BEM), di Jakarta (oleh FAM UI dan Pijar), dan di Makassar oleh (PRD). Kondisi terakhir KN, ada indikasi KN akan dibawa untuk ke boikot Pemilu, khususnya oleh beberapa kelompok mahasiswa seperti FAM UI, dll. Alasan pemboikotan adalah karena disitu ada Golkar dan militer; intinya mereka menuntut pemilu tanpa Golkar dan Orde Baru. Juga Famred, rasionalisasinya tidak ada pemilu dibawah Mega-Haz. Prodem, Iluni, dan HMI MPO juga boikot. Di buruh lebih banyak dalam posisi apatisme. Ada di aksi mayday buruh migran menyerukan boikot mungkin karena mereka diluar negeri. Juga Forbes, Pijar, AJI. Memang dalam beberapa waktu lalu menjelang aksi tanggal 25 Maret 2003 dan 1 Mei 2003 ada diskusi-diskusi kecil di aktivis buruh seperti menanyakan sikap PRD. Akhir-akhir ini ada beberapa serikat buruh menyerukan boikot pemilu, termasuk dalam terbitan-terbitannya, juga Gaspermindo. Di KAPB akan diagendakan pendiskusin sikap SB terhadap Pemilu. Hal ini didorong oleh kekecewaan terhadap UUK. Yang jelas rakyat belum melihat gerakan demokratik sebagai alternatif. Ini menjadi penting utk kita menentukan stratak kita ke depan. Rakyat sendiri kekecewaannya masih bisa dimoderasi dengan sogokan-sogokan. Situasi ini dapat saja dibaca sebagai potensi aliansi (jika pilihan boikot), namun harus diingat konsekuensi dari front tersebut yang tidak memiliki historis pelopor, serta kesetiaan secara programatik dan praktek memperjuangkan program tersebut beserta konsekuensi-konsekuensinya. Strategi-Taktik Titik terpenting sebagai fokus propaganda kita adalah bahwa pemilu ini tidak akan melahirkan perubahan apa-apa bagi nasib rakyat miskin. Pemilu ini hanya sebuah seremoni lima tahunan bagi elit politik untuk kembali membujuk-rayu rakyat agar memberikan stempel kekuasaan kepada mereka. Borjuasi tidak memiliki kemampuan, bahkan tidak memiliki semangat, untuk melepaskan diri dari kebobrokan sistem ekonomi politik yang dibangun orde baru. Dengan menjelaskan masalah ilusi dari pemilu tersebut, maka akan tercapai titik temu pada tingkatan programatik yang kita ajukan dengan kesadaran rata-rata massa rakyat yang sedang dalam ketidakpastian dalam menentukan sikap politiknya. Dari sinilah kita mulai mencermati untuk menentukan pilihan apakah akan mengambil partisipasi dalam ajang pemilu, atau akan berada di luar dan melakukan tindakan boikot--dengan menghitung segi-segi keuntungan dan kerugian bagi gerakan, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. - ikut pemilu, dengan melibatkan atau menyatukan kekuatan-kekuatan oposisi di seluruh sektor. Harus ada penjelasan tentang pentingnya mengikuti proses pemilu ini berhubung situasi kesadaran massa rakyat, yang mana akan mempermudah perluasan porpaganda dibandingkan dengan pilihan boikot.
4
1
Pada tahun 1998 terdapat suatu situasi yang hampir sama, dimana sentimen anti kediktatoran dan keinginan yang besar dari masa rakyat untuk mendapatkan perubahan nyata terlihat dari aksiaksi massa, dsb.
5