“Ingatlah perbuatanperbuatan ajaib yang dilakukan-Nya, mujizat-mujizat-Nya dan penghukumanpenghukuman yang diucapkan-Nya.� Mazmur 105:5 MINGGU, 20 MARET 2011
Cara Tepat untuk Mengikuti Perlombaan "Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri. Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya." Roma 15:1-2 Suami saya, Ken, bertindak sebagai seorang koordinator lapangan untuk pertandingan khusus. Di dalam acara itu selalu ada band musik, spanduk berwarnawarni, dan bendera di mana-mana. Di tengah-tengah lapangan tampak tim-tim yang terdiri dari anak-anak muda penyandang cacat mental. Beberapa tahun yang lalu di dalam se-
buah pertandingan, Ken meniup peluitnya untuk memulai perlombaan lari cepat 500 m. Seorang anak perempuan penyandang down sindrom dengan kaca mata tebalnya bersama seorang anak laki-laki pendekgemuk yang mengenakan celana pendek longgar berada di baris pertama. Ketika bunyi "dor" dari sebuah pistol yang menandakan dimulainya perlombaan, keenam peserta itu mulai berlari di jalurnya masingmasing. Tiba-tiba, anak laki-laki yang mengenakan celana pendek itu mulai berlari ke arah teman-temannya yang ada di tengahtengah lapangan. Ken meniup peluitnya untuk menyuruhnya kembali ke jalurnya, tetapi sia-sia saja. Pada saat itu, anak perempuan down sindrom, yang tinggal beberapa meter saja dari garis akhir, berbalik, lalu berlari ke arahnya dan memeluknya. Kemudian bersama-sama mereka kembali ke jalurnya dan mengakhiri perlombaan itu sambil bergandengan tangan, lama setelah para peserta lainnya sudah mencapai
SEBUAH KISAH DIBALIK TRAGEDI 911 Seorang laki-laki dari Norfolk, Virginia menelpon sebuah radio lokal untuk menceritakan pengalamannya berkaitan dengan peristiwa 11 Septermber 2003 (Menara WTC ditabrak oleh pesawat yang dibajak teroris). Namanya Robert Matthew, dan ini ceritanya : Beberapa minggu sebelum peristiwa 11 September, saat sebelum kelahiran anak pertama kami, istri saya berencana untuk pergi ke California mengunjungi saudaranya. Dalam perjalanan saat mengantarkan istri ke bandara, kami berdoa supaya perjalanan istri diberi keselamatan dan perjalanannya diberkati Tuhan. Tak lama setelah saya berkata, "Amin", kami mendengar suara letusan dan mobil berguncang keras. Ternyata roda ban mobil kami pecah. Saya berusaha mengganti ban yang pecah secepat mungkin, tetapi ternyata kami tetap ketinggalan pesawat. Kami sangat kesal, dan memutuskan untuk pulang. Di rumah saya menerima telpon dari ayah saya, seorang pensiunan NYFD (Dinas Pemadam Kebaran New York). Dia bertanya berapa nomor pesawat istri saya, tapi saya saya katakan kami ketinggalan pesawat. Sambil dalam keadaan terguncang, ayah berkata bahwa pesawat yang sedianya dinaiki istri saya adalah pesawat yang dibajak oleh teroris untuk menabrak menara sebelah selatan dari WTC. Ayah juga memberitahukan informasi yang lain. Dia akan mejadi relawan membantu NYFD untuk menolong korban yang ada. Dia berkata, "Saya tidak bisa diam saja melihat musibah ini. Saya harus melakukan sesuatu untuk menolong mereka."
Saya mengkuatirkan keadaan ayah, tetapi sebetulnya saya lebih prihatin karena ayah belum menyerahkan hidupnya pada Kristus. Setelah melewati perdebatan singkat, saya mengetahui bahwa tekad ayah sudah bulat. Sebelum menutup telepon ayah berkata, "Jaga baik-baik cucu ayah." Itu adalah kata-kata terakhir yang saya dengar, karena ayah juga termasuk korban yang jatuh pada saat NYFD melakukan penyelamatan di menara WTC. Sukacita saya karena Tuhan sudah menjawab doa saya dengan menyelamatkan istri saya, berubah menjadi kamarahan. Saya marah kepada Tuhan, marah kepada ayah saya dan marah kepada diri saya sendiri. Hampir dua tahun saya menyalahkan Tuhan karena sudah merenggut ayah dari keluarga kami. Anak saya tidak akan pernah bertemu kakeknya, ayah saya tidak menerima Kristus, dan saya tidak sempat mengucapkan kata-kata perpisahan.
garis akhir. Kita harus mengikuti perlombaan bukan untuk menyenangkan diri kita sendiri saja, tetapi juga untuk menyenangkan Tuhan. Hal itu sering kali berarti harus mengambil waktu untuk berhenti dan merangkulkan tangan kita kepada seorang teman yang mulai lemah supaya dia dapat kembali ke jalur perlombaan. Apakah Anda memperhatikan ada saudara seiman yang kebingungan secara rohani, namun Anda terus saja maju melampauinya? Yesus sepertinya tidak sesibuk kita dalam memperhatikan "kemenangan." Hal yang penting adalah bagaimana cara kita melakukan pertandingan itu. Kita disuruh untuk melakukannya, menderita dengan sabar bersama-sama mereka yang lemah. Tuhan, semoga aku melakukan pertandingan ini untuk menyenangkan Engkau .. dan juga untuk menolong orang lainnya. Joni Eareckson Tada Kemudian sesuatu terjadi. Sekitar dua bulan lalu, saat saya sedang duduk di ruang keluarga bersama istri dan anak saya, ada suara ketukan di pintu. Saya bertanya kepada istri, tetapi dia menjawab tidak ada temannya yang berencana datang. Akhirnya saya membuka pintu, dan di depan saya berdiri sepasang suami istri dengan anak kecil yang digendong. Suaminya bertanya apakah nama ayah saya Jake Matthew. Saya menjawab ya. Segera dia menjabat erat-erat tangan saya dan berkata, "Saya tidak pernah punya kesempatan bertemu dengan ayah anda, tetapi ini suatu kehormatan bertemu dengan anaknya." Dia kemudian menjelaskan bahwa istrinya bekerja di World Trade Center (WTC) dan terjebak di dalamnya saat terjadi musibah. Dia dalam keadaan hamil dan tertimpa reruntuhan bangunan. Kemudian dia menjelaskan bahwa ayah saya berhasil menemukan istrinya dan menolongnya. Mata saya sembab dan penuh air mata saat saya membayangkan bahwa ayah telah mengorbankan nyawanya untuk menolong orang-orang seperti yang datang saat ini. Kemudian dia melanjutkan, "Ada hal lain yang anda harus ketahui." Istrinya kemudian menyambung penjelasan, bahwa saat menyelamatkan dirinya, dia sempat bercakap-cakap dengan ayah saya - dan menuntunnya untuk menerima Kristus. Saya mulai sesenggukan saat mendengar cerita itu. Sekarang saya tahu bahwa ayah sudah berada di surga. Dia akan berdiri disamping Yesus untuk menyambut saya di surga - dan keluarga ini nantinya dapat mengucapkan terima kasih secara langsung padanya. BERSAMBUNG KE HLM. 2
MINGGU, 20 MARET 2011
Identitas Sejati "Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus AnakNya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak." Galatia 4:4-5 Selama bertahun-tahun, saya mulai menyadari betapa eratnya identitas saya terikat pada cara saya memandang bisnis saya. Sebagai presiden dan pendiri perusahaan manajamen investasi, mudah bagi saya untuk jatuh ke dalam perangkap memiliki identitas yang terbungkus dalam tingkat keberhasilan perusahaan kami. Setiap hari, saya tahu seberapa baiknya dana perusahaan kami. Saat identitas saya terbungkus dalam kehidupan profesional saya, keberhasilan saya dihubungkan dengan apakah kinerja investasi kami naik atau turun. Kekhawatiran, ketakutan dan tidak adanya sukacita dapat dengan mudah merayap masuk ke dalam kehidupan saya saat saya tidak memusatkan perhatian pada identitas saya yang sejati. Saat ini terjadi, saya tidak hanya menderita, tetapi istri dan anak-anak saya juga dapat mengetahui apakah Ayah mengalami hari yang "baik/naik" atau "buruk/ turun". Untunglah, identitas saya yang sejati adalah sebagai anak Tuhan. Dalam Galatia 4:6-7, Paulus menulis, "Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru: ya Abba, ya Bapa!' Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga ada-
lah ahli-ahli waris, oleh Allah." Sebagai orang Kristen, kita adalah putra dan putri serta ahli-ahli waris Tuhan. Saat saya memusatkan perhatian pada identitas saya yang sejati, seluruh pandangan saya tentang hidup diubahkan. Pandangan sementara saya dengan fokus pada hidup saya diubah menjadi perpsektif kekal dengan fokus pada kerajaan Bapa. Fokus saya berubah dari hidup untuk menyenangkan manusia menjadi hidup untuk menyenangkan Tuhan. Satu lagi kesan yang luar biasa dari mengenal dan memusatkan perhatian pada identitas saya yang sejati adalah memiliki damai sejahtera yang melampaui segala akal (lihat Filipi 4:7). Jauh lebih mudah untuk berurusan dengan kekecewaan dan ketidakpastian saat saya mengetahui bahwa saya dipanggil hanya untuk melakukan yang terbaik. Saya dapat menyerahkan yang selebihnya kepada-Nya. Adalah tantangan terus-menerus untuk menjaga fokus saya kepada Tuhan dan identitas saya yang sebenarnya. Kuncinya bagi saya adalah memulai hari saya dengan saat teduh. Saat teduh dalam doa ini dan pembacaan Alkitab menentukan hari saya. Tanpa waktu berkualitas ini, saya cepat melupakan siapa saya sebenarnya dalam Kristus dan kembali kepada kehi-
Semakin Giat Dalam Melayani
kasih secara manusiawi terbatas hanya pada orang dan dalam hubungan khusus. Namun, kasih Tuhan membuat jemaat menjadi satu keluarga sehingga bisa memberikan tumpangan kepada orang lain yang bukan saudara. Ketiga, agar jemaat saling melayani satu sama lain sesuai dengan karunia yang mereka miliki sehingga Tuhan dimuliakan (ayat 10-11). Kesadaran atau pengharapan tentang kedatangan Tuhan Yesus kedua kali memang akan berdampak konkret pada kehidupan dan pelayanan kita. Kerinduan berjumpa Dia dalam keadaan layak mendorong kita mengusahakan yang terbaik dalam segala hal. Renungkan: Menantikan kedatangan Tuhan yang kedua kali seharusnya membuat kita semakin giat melayani bukannya memudar. Santapan Harian
Hidup melayani Tuhan tanpa pengharapan dalam iman adalah hidup yang kurang bergairah. Dengan adanya pengharapan dalam iman ini, kita hidup dengan tujuan yang jelas yaitu pengharapan menantikan kedatangan Kristus yang kedua kalinya. Seruan Petrus ini mengadopsi tradisi orang Yahudi. Orang Yahudi memiliki pemahaman bahwa kesudahan dari segala sesuatu diawali dengan periode penderitaan yang hebat, dan kesengsaraan yang tiada akhir. Oleh karena itu, Petrus menasihati jemaat untuk senantiasa tenang dan berdoa (1 Petrus 4:7). Petrus mendorong supaya jemaat tetap siap sedia menantikan kedatangan Tuhan. Kedatangan Tuhan kedua kali yang digambarkan "dekat" bukan berarti kita hanya tinggal menanti dan tidak melakukan kegiatan apa pun baik pelayanan maupun pekerjaan seharihari. Sebaliknya, justru Petrus mendorong jemaat untuk: Pertama, tetap memiliki kasih yang "bertumbuh" baik kepada Tuhan maupun kepada sesama manusia (ayat 8). Kedua, memberikan tumpangan kepada orang lain dengan tidak bersungut-sungut (ayat 9). Kedua hal ini sulit dilakukan karena memberikan tumpangan kepada orang lain bukanlah suatu hal yang lazim pada saat itu. Tumpangan hanya berlaku untuk sanak saudara saja. Demikian juga
dupan saya yang asyik dengan diri sendiri. Saya berdoa supaya Roh Kudus memberikan kekuatan kepada kita untuk menjalani waktu bersama Bapa kita dan menemukan identitas kita yang sejati sebagai anak Tuhan. PERTANYAAN UNTUK DIRENUNGKAN 1. Apakah yang dapat Anda lakukan untuk memusatkan perhatian pada identitas Anda yang sejati sebagai putra dan putri Tuhan? 2. Bagaimanakah identitas kita yang asyik dengan diri sendiri mempengaruhi karier profesional dan kehidupan pribadi kita? 3. Bagaimanakah identitas Anda yang sejati mempengaruhi karier profesional Anda? Bagaimanakah ini mempengaruh kehidupan pribadi Anda? IDENTITAS KITA SEBAGAI ANAK TUHAN AKAN MENGGERAKKAN SIKAP KITA PADA KEHIDUPAN. Jim Baker
SAMBUNGAN HLM. 1 - SEBUAH Ketika anaknya lahir, mereka menamainya Jacob Mattew sebagai penghormatan kepada orang yang sudah mengorbankan nyawanya sehingga anak itu beserta ibunya bisa hidup. Kisah nyata ini membantu kita untuk memahami dua hal. Pertama: Tuhanlah yang memegang peranan untuk mengatur hidup kita dengan ajaib. Kita mungkin tidak bisa memahami apa yang ada dibalik semua peristiwa yang terjadi, dan kita tidak tahu setiap kejadian menurut sudut pandang surgawi. Tetapi Tuhan sendirilah yang campur tangan dan merencanakan setiap peristiwa yang terjadi. Dan yang kedua: setelah lewat dua tahun peristiwa penyerangan tragis terhadap WTC, kami tidak boleh membiarkan hal itu tetap menjadi sebuah ingatan yang pahit. Tuhan tidak pernah memanggil orangorang yang sempurna, tetapi DIA akan menyempurnakan panggilan-Nya. NN
TIDAK MINTA DIDORONG
Seorang laki-laki berlari-lari menuju stasiun mengejar kereta api yang sudah siap mau berangkat. Sambil lari, ia berdoa, "O, Tuhan, tambahkanlah kekuatanku, supaya aku sampai ke stasiun sebelum kereta berangkat." Tiba-tiba ia tersandung dan jatuh. Sambil memandang ke langit, ia mengeluh, "Tetapi, Tuhan, aku tidak minta didorong!" e-Humor
MINGGU, 20 MARET 2011
HALAMAN 4
BELAJAR MENGAMPUNI DIRI SENDIRI Mengampuni diri sendiri bukan berarti penyangkalan terhadap rasa bersalah atau rasa menyesal. Saat mengampuni diri sendiri, kita tidak berkata bahwa kita benar atau kita hanyalah korban yang tidak bersalah; istilah rohaninya: tidak berbuat dosa. Mengampuni diri sendiri tidak serta-merta menghilangkan akibat kesalahan kita atau berakhir dengan rekonsiliasi. Mengampuni diri sendiri mengharuskan kita untuk membuang perasaan malu, baik yang berasal dari dosa atau kesalahan, karena keduanya dapat melemahkan perkembangan kepribadian diri. Kita tidak perlu hidup dengan rasa bersalah seumur hidup. Kita harus belajar mengampuni diri sendiri. Mengapa Kita Perlu Mengampuni Diri Sendiri? Mengampuni diri sendiri adalah sesuatu yang harus dilakukan. Yesus Kristus datang ke dunia untuk mengajar dan memberi contoh tentang pengampunan. Meskipun kita bisa merasa sedih dan menyesali setiap kegagalan, kita tidak perlu terusmenerus tenggelam dalam perasaan bersalah dan malu. Mengampuni diri sendiri merupakan langkah positif yang harus dilakukan. Mengampuni diri sendiri akan menguatkan kita. Mengampuni berarti menganggap seseorang lebih berharga dibanding dosa atau kesalahannya. Kita mungkin bersedih ketika menyadari kekurangan-kekurangan kita. Banyak orang Kristen yang suka menghakimi dan menghukum diri sendiri. Kita bersikap keras terhadap diri sendiri. Kita menjadi tidak efektif jika kita merasa tidak berharga. Saat kita menghabiskan energi untuk menyalahkan diri sendiri, kita sedang membatasi energi untuk pertumbuhan pribadi yang sehat. Citra diri kita akan sangat menderita sampai kita belajar mengampuni diri sendiri. Mengampuni diri sendiri memampukan kita untuk memusatkan perhatian kepada orang lain. Jika kita tahu orang lain tidak akan menyukai kita bila mereka mengetahui kegagalan kita, maka kita tidak akan bisa mengasihi mereka seperti Yesus melakukannya. Berhenti bersikap merendahkan diri sendiri akan memampukan kita untuk menghasilkan buah-buah Roh. Saat kita menerima pengampunan Kristus dan mengampuni diri sendiri, kita bebas untuk mengasihi. Setelah kita menerima pengampunan dari Allah, pengampunan terhadap diri sendiri menghapus rasa malu seperti yang rasul Paulus sebut "dukacita menurut kehendak Allah." (2 Korintus 7:10) Keluar dari perlindungan yang salah terhadap rasa malu psikologis menuju aliran-aliran dukacita ilahi yang misterius itu, seperti terbang dari satu pijakan ke pijakan lainnya. Suatu saat, kita harus melepaskan pegangan kita pada satu-satunya penopang kita agar bisa berpindah ke tempat yang baru. Kita tidak bisa memahami kebebasan untuk mengasihi bila kita tidak membuang rasa malu. Pada satu sisi, mengampuni diri sendiri melalui dukacita menurut kehendak Allah memberi kesempatan bagi kita untuk berhenti memikirkan
kegagalan-kegagalan kita. Dengan menjalani hidup yang ekstrem, kita justru bisa memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu yang kreatif dan bermanfaat bagi hidup kita. Kuasa pengampunan juga mendorong kita untuk melakukan tindakan yang bertanggung jawab.
Apa yang Terjadi Jika Kita Tidak Mengampuni Diri Sendiri? Jika rasa malu terus berkembang, kita akan terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa malu. Kita mulai terdoktrin bahwa pada dasarnya ada yang salah dengan kita sehingga kita pantas disalahkan. Kita ragu bahwa kita bisa diampuni. Rasa malu yang kita rasakan karena peristiwa masa lalu merenggut kepuasan akan pencapaian baru kita. Kita tidak pernah merasa cukup baik. Rasa malu melumpuhkan kita dan rasa takut membuat kita tidak berdaya. Rasa malu membuat kita merasa dikontrol dan tidak dikasihi. Ketidakberdayaan mengatasi rasa malu dan kemarahan terhadap diri sendiri yang tidak perlu, menuntun kita untuk melakukan bentuk-bentuk kompensasi yang tidak sehat. Kita mungkin memiliki gaya hidup ekstrem, melakukan hal-hal yang bersifat destruktif seperti gila kerja, penyalahgunaan wewenang, kecanduan makanan, seks, atau gila belanja. Kita menenggelamkan diri dalam berbagai kegiatan atau menutup diri dari orang lain. Kita takut kalau orang lain mengetahui aib kita dan melihat diri kita yang sesungguhnya. Bagaimana Kita Mendapatkan Pengampunan -- Khususnya Jika Orang Lain Tidak Mau Memaafkan Kita? Orang lain pasti bereaksi terhadap kegagalan-kegagalan kita, tetapi jangan biarkan reaksi mereka membuat kita tidak bisa mengampuni diri sendiri. Seorang pendeta bijak pernah berkata, "Langkah pertama untuk mendapatkan pengampunan dari Allah adalah dengan memberikan pengakuan". Pengampunan diri sendiri dimulai dengan cara yang sama. Langkah-langkah untuk mengampuni diri sendiri: 1. Akuilah dengan menyebutkan apa saja yang perlu diampuni. Dengan menyatakan pengakuan kita secara jelas, kita bisa fokus terhadap sumber rasa malu. Pengakuan berarti menempatkan kebenaran sebagai dasar tindakan dan pertumbuhan. Pertobatan karena perbuatan buruk muncul setelah pengakuan. Selanjutnya, kita bisa bergantung pada pertolongan Allah untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama pada masa yang akan datang. 2. Sebisa mungkin, perbaikilah kega-
galan-kegagalan masa lalu. Sesudah kita membuat perbaikan, segera ambil langkah untuk keluar dari bayang-bayang rasa malu pada masa lalu. 3. Selidikilah akar rasa malu Anda. Menyelidiki akar rasa malu dengan seorang ahli memberikan keuntungan jangka panjang. Ketika kita menyelidiki akar rasa malu itu, kita bisa memutuskan untuk melakukan sesuatu di area-area yang rentan mendapat kecaman. 4. Ekspresikan perasaan Anda dan pilihlah itu sebagai petunjuk perubahan. Sebagai contoh, "Aku masih jengkel tiap kali aku ingat bagaimana ibuku yang pemabuk itu berteriak-teriak di depanku. Aku sangat terpuruk. Hingga hari ini aku masih merasa malu karena aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku sadar, aku tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi saat ini aku benar-benar kewalahan. Daripada merasa malu, lebih baik aku menggunakan kesempatan ini untuk mengalahkan perasaan malu dan minderku". Setelah itu Anda bisa merasa lega dan siap untuk melakukan perubahan. 5. Ungkapkan keputusan untuk mengampuni diri sendiri. Kita bisa mengungkapkan keputusan kita untuk mengampuni diri sendiri lewat doa, lukisan, atau jurnal pribadi. Kita bisa mengatakannya kepada teman yang kita percaya, cermin, alat perekam, atau seorang konselor. Kita juga bisa mengungkapkannya dalam bentuk-bentuk kreatif lainnya, misalnya menulis daftar kesalahan pada kartu-kartu indeks lalu membakarnya satu per satu ke dalam perapian. Pengampunan adalah suatu gagasan, tindakan dari suatu keinginan, dan sikap. Pengampunan bukanlah suatu perasaan. Coba katakan, "Aku tahu, mengampuni diri sendiri berarti mengakui bahwa aku memiliki keterbatasan, dan bahwa aku tidak bisa selalu menyenangkan orang lain. Karena itu, aku mengampuni diriku sendiri karena rasa malu atas semuanya ini. Aku memilih menolong diriku dan meninggalkan rasa maluku. Aku menerima pengalaman ini untuk membantuku bertumbuh." Sebagian besar orang menyadari bahwa mengasihi adalah sebuah keputusan. Kita bisa memilih untuk mengasihi dan menghormati diri kita sendiri -- tidak peduli apa yang kita rasakan tentang masa lalu -- karena Allah lebih dulu mengasihi kita. Mengampuni diri sendiri adalah bagian dari mengasihi diri sendiri, sehingga kita bisa mengasihi orang lain. Sepanjang hidup, kita terus menyimpan perasaan malu. Kita mengumpulkannya sedikit demi sedikit ke dalam sebuah ransel mental. Setiap kali kita mengalami rasa malu yang baru atau menghidupkan kembali sengatan rasa malu sebelumnya, kita melemparkan perasaan-perasaan itu ke dalam ransel khayalan kita. Kita menyeret beban berat yang terus bertambah setiap hari. Akan tetapi, saat kita mengampuni diri sendiri, kita sedang melemparkan semua beban kita ke tempat sampah dan berjalan bebas dari rasa malu. Tanpa ada ransel untuk menyimpan rasa malu pada masa yang akan datang, kita bisa menjadikan pengampunan diri sendiri sebagai gaya hidup. BERSAMBUNG KE HLM. 5
MINGGU, 20 MARET 2011
HALAMAN 5
HAL KEUANGAN Masalah keuangan dan pengelolaannya merupakan hal yang sangat penting. Ada orang Kristen yang tidak bahagia dan memiliki hidup yang tidak berkemenangan hanya karena masalah materi. Melalui artikel berikut, kita akan belajar salah satu kunci dalam mengatasi masalah keuangan yaitu "Mencukupkan Diri". Mari kita bersama-sama menyelidiki hal ini dari Filipi 4:10-13. Sikap yang benar terhadap pemberian Bagian ini merupakan respons Paulus terhadap bantuan yang diberikan jemaat Filipi kepadanya, ketika ia berada dalam penjara rumah di Roma atau Kaisarea (Filipi 1:12-14; Filipi 2:25). Bantuan ini merupakan pemberian materi yang jemaat Filipi berikan kepada Paulus untuk kesekian kalinya (band. Filipi 4:10, 15-16). Bagaimana Paulus memberikan respons terhadap hal ini? Pertama-tama, ia mengekspresikan sukacitanya yang besar di dalam Tuhan (Filipi 4:10a) -- Paulus tidak langsung menunjukkan ucapan terima kasihnya kepada jemaat Filipi, seakan-akan merekalah aktor paling penting dalam pemberian ini (Filipi 4:10a), artinya ia percaya bahwa di balik pemberian jemaat Filipi, ada tangan Tuhan yang kuat yang telah menggerakkan mereka (Filipi 2:12-13). "Bersukacita" merupakan konsep yang dominan dalam surat Filipi (muncul sekitar 16 kali). Kedua, ia memfokuskan ucapan syukurnya pada pikiran, perasaan, dan pikiran jemaat Filipi (Filipi 4:10b), bukan pemberian mereka. Seseorang yang baru saja mendapatkan bantuan materi, biasanya cenderung "terikat" pada pentingnya pemberian itu. Dalam bagian ini Paulus justru melihat hal yang lebih penting daripada pemberian itu, yaitu kasih jemaat Filipi kepada Paulus. Di bagian selanjutnya ia lebih menyoroti hasil dari pemberian itu, bukan pemberian itu sendiri (Filipi 4:17). Ketiga, ia tidak mengeksploitasi kekurangannya (Filipi 4:11a). Frasa "kukatakan ini bukan karena kekurangan" merupakan antisipasi Paulus terhadap kesalahpahaman yang mungkin muncul dari pihak jemaat Filipi. Di Filipi 4:10 ia mengatakan, perhatian jemaat Filipi akhirnya bertumbuh kembali. Dalam bahasa Yunani, kata "hdh pote" (LAI-TB "akhirnya") menyiratkan durasi waktu yang sangat lama. Sebagian versi Inggris dengan tepat menerjemahkan dengan "sekarang setelah sekian lama" (now at length, ASV/RSV/YLT). Kalimat ini bisa berpotensi menimbulkan kesan bahwa, Paulus mengeluh atau menyindir jemaat Filipi karena mereka kurang tanggap terhadap kebutuhan Paulus. Karena itu, ia menjelaskan bahwa ketiadaan bantuan hanya masalah kesempatan yang belum ada (Filipi 4:10b). Ia juga menegaskan bahwa ucapannya di Filipi 4:10 bukan dimaksudkan sebagai upaya untuk meminta-minta secara halus kepada jemaat Filipi. Paulus secara eksplisit menyatakan bahwa pemberian mereka sudah lebih dari cukup (Filipi 4:18). Mengapa Paulus bisa memberikan respons seperti ini? Bukankah orang cenderung mengungkapkan ketergantungannya kepada si pemberi, dengan cara memuji si pemberi atau mengeksploitasi keku-
rangan si penerima bantuan? Bagaimana ia bisa memiliki cara pandang yang benar seperti itu? Apa rahasianya? Jawabannya, Paulus mencukupkan diri! (Filipi 4:11). Dalam bagian ini kita akan menyelidiki tiga konsep yang benar tentang mencukupkan diri. 1. Mencukupkan diri merupakan hasil belajar (Filipi 4:11b) Mayoritas orang cenderung memiliki sikap tamak. Kondisi ini merupakan akibat dari natur manusia yang berdosa, karena dosa Adam (Mazmur 51:7; Roma 5:1221). Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah mereka miliki, sehingga tidak heran kita sering mendengar orang kaya selalu mengeluhkan "kekurangan" mereka. Ya! Perasaan cukup adalah hasil dari proses pembelajaran. Berdasarkan struktur kalimat Yunani yang dipakai, ayat 11b seharusnya diterjemahkan "aku sendiri [bukan orang lain] sungguh-sungguh belajar...". Istilah "belajar" (mantanw) sebenarnya dipinjam dari kosakata filsafat "Stoa" yang menekankan disiplin/pengendalian diri, sehingga seseorang tidak dipengaruhi oleh situasi di sekitarnya. Ide tentang "mendisiplinkan diri" (belajar) diambil dari filsafat "Stoa", tetapi konsep Paulus sangat berbeda dengan "Stoa". Filsafat "Stoa" bersifat "anthroposentris" (berpusat pada kemampuan manusia), sedangkan konsep Paulus bersifat "theosentris" (berpusat pada Allah). Ayat 11b menunjukkan bahwa Paulus berusaha keras mendisiplin (mengontrol) diri supaya mendapatkan kecukupan yang sebenarnya. "Cukup" bukan masalah jumlah, tetapi kedisiplinan rohani untuk kepuasan dengan apa yang telah Allah berikan kepada kita. 2. Mencukupkan diri mencakup segala situasi (Filipi 4:12) Dalam ayat ini Paulus menggunakan kata Yunani "pas" (segala/setiap) sebanyak dua kali. Kata "pas" juga dipakai Filipi 4:13, "segala perkara...". Penggunaan "pas" di Filipi 4:12 seharusnya diterjemahkan "setiap (pas) hal dan segala (pas) perkara", karena "pas" yang pertama berbentuk tunggal, sedangkan yang kedua berbentuk jamak. Dengan kata lain, Paulus bukan hanya membicarakan beragam situasi secara umum, tetapi juga setiap detail situasi. Rasa cukup dengan Allah tetap harus ada, meskipun berada dalam kekurangan dan kelaparan (Filipi 4:12). Dalam 1 Timotius 6:8 Paulus menjelaskan salah satu batasan "cukup", yaitu asal ada makanan dan pakaian. Manusia cenderung menentukan sendiri batasan "cukup" dalam hidup mereka.
Tidak jarang batasan ini telah memperbudak mereka untuk bekerja di luar batas waktu yang wajar, sampai mengabaikan hal-hal lain yang lebih penting, misalnya waktu keluarga dan waktu beribadah kepada Tuhan. Batasan ini sering kali membuat orang terlalu kikir/pelit (berhemat melewati batas) dan menghalangi mereka untuk memberi materi lebih banyak bagi orang lain maupun gereja (Tuhan). Batasan ini juga membuat orang sulit merasa cukup dengan berkat Tuhan yang ada. Seandainya setiap kita mengikuti prinsip "cukup" seperti yang tertulis di kitab Filipi 4:11 ini, maka kita tidak akan mudah bersungut-sungut kepada Tuhan maupun mengeluh kepada suami/istri/orang tua kita. Apa pun keadaan kita, kita harus menyadari bahwa memiliki Allah dan dimiliki oleh-Nya adalah lebih daripada cukup. Ingat, "enough is more than more" (cukup adalah lebih dari lebih). Orang kaya yang sesungguhnya adalah mereka yang selalu merasa cukup dengan apa yang ia telah terima dari Tuhan. 3. Mencukupkan diri membutuhkan kekuatan Tuhan (Filipi 4:13) Bagian ini merupakan kontras yang tegas antara penganut "Stoa" dan Paulus. Paulus meyakini bahwa kemampuan untuk merasa cukup dalam setiap situasi hanya bisa tercipta melalui kekuatan Tuhan. Kata "menguatkan" (endunamow) menyiratkan ide pemberian kekuatan dari dalam. Secara logika, tidak ada manusia yang merasa cukup ketika ia kekurangan atau kelaparan. Perasaan cukup dan usaha untuk berdisiplin diri supaya cukup, hanya bisa terjadi kalau Tuhan yang memberi kekuatan supranatural. Yakub Tri Handoko, Th.M. SAMBUNGAN HLM. 4 - BELAJAR Kita bisa memercayai pengampunan kita sendiri. Jika perasaan ragu datang kembali, kita boleh mengakui perasaan tersebut sebagai suatu kenyataan, lalu menenangkan diri sambil mengingat kapan dan di mana kita telah mengampuni diri sendiri. Saya tidak mengerti mengapa perasaan yang mengganggu itu kadang-kadang muncul lagi ke permukaan setelah pengampunan diri sendiri. Barangkali emosi kita cenderung kembali ke pola lama yang kita kenal. Mungkin Yesus mengizinkan perasaan-perasaan tersebut untuk mengingatkan kita betapa Dia menghendaki kita untuk terus datang kepada-Nya dengan segala perasaan atau keinginan yang mengganggu kita. Setelah semuanya itu, Dia berkata, "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu." (Matius 11:28) Sesudah kita benar-benar mengampuni diri sendiri, kita bisa melatih pikiran untuk memutar kembali video pengampunan diri sendiri. Kita bisa mengingat bagaimana kita membuang ransel yang penuh dengan rasa malu kita ke tempat sampah, dan kita bisa merasa tenang dalam kebenaran. Setelah itu kita bisa memandang ke depan -- ke masa depan dengan bebas, penuh dengan petualangan, dan penuh dengan harapan. Bahkan lebih dari itu, kita bisa memusatkan perhatian untuk mengasihi sesama. (t/Setya) Jay Frye