PAMFLET
>>
Edisi I, April 2014
"Generasi Apasih” KETJIL BERGERAK
without ‘WHY’
“KITA BISA MEMBUAT KULTUR KITA SENDIRI.”
MEMPERTANYAKAN KEKRITISAN GENERASI PASCA REFORMASI
Hilmar Farid: TENTANG ANAK MUDA, ORDE BARU, DAN MEDIA
‘Generasi apatis’, ‘generasi Y’, ‘global generation’, ‘net generation’, ‘millenials’, ‘digital native’, ‘generasi menunduk’, sampai ‘Me Generation’ (yang menjadi laporan utama Time pada Mei tahun 2013 lalu). Bisa jadi anak muda saat ini adalah generasi dengan panggilan terbanyak yang pernah ada.
Terbentuk sejak 2006, beberapa kegiatan mereka yang menarik perhatian kami di antaranya adalah Nyawang (Seeing With Heart Opened) (2009), proyek kolaborasi dengan Griya Lentera PKBI serta beberapa komunitas LGBTIQ dan anak jalanan, Benih Bunyi (2012), dan masih banyak lagi.
Lima belas tahun selepas Reformasi, generasi muda kembali dipertanyakan. Generasi pasca-Reformasi, begitu mereka kira-kira dapat dinamakan, dicap sebagai generasi yang pragmatis nan apatis. Generasi ini dituduh yang macam-macam. Tidak peduli, hedonis, apatis, pemalas dan miskin kemauan.
Di newsletter pamflet edisi #1 ini, kami melayangkan sebuah email berisi pertanyaan seputar anak muda, media, dan pra-reformasi. Untuk mencari jawabannya, rasanya salah satu orang yang tepat kami tanyai adalah hilmar farid, , sejarawan indonesia yang bisa dibilang muda sekaligus ketua perkumpulan praxis.
GENERATION Y
>>
01
>>
02
>>
03
>>
04
uh lur Se ks
te 14 20
Š N er
tb
f le
am rP
t te
sle
ew ah
aw ea Cr e
tiv t tr sA
on
m m Co tio n on N e lik
A re
ha
-S
l cia er
m
m Co 3.0
Layout Syennie Valeria
ibu
Penulis M Fajri Siregar Farhanah Faridz Raka Ibrahim Anonimus
ib
id
ns
lise
Redaksi Raka Ibrahim Farhanah Faridz
or
p Un d
te en Lic .
se
Newsletter oleh: Perkumpulan Pamflet Generasi Jl. Kemang Raya No. 83H, Kemang, Jakarta Selatan, 12720 www.pamflet.or.id Email: pamfletindonesia@gmail.com
editorial notes
Sepanjang bulan Februari dan Maret, Pamflet mengumpulkan penulis muda dari berbagai latar belakang dan mengajak mereka menelaah budaya kritis di generasi mereka sendiri, serta mencari tahu apa yang sebenarnya bisa dilakukan untuk mengubah itu. Ragam pemikiran mereka mencoba untuk mengulas munculnya gejala-gejala yang membuat generasi pasca Reformasi keburu di-cap “apatis.” Sulit memang, untuk mengelak dari kesimpulan menarik Jajak Pendapat Kompas, yang mengemukakan bahwa orientasi sikap anak muda kini didominasi oleh kepentingan dirinya sendiri (Kompas, 2011). Namun, kata kunci dari kalimat di atas adalah “keburu”. Bagi kami, ketimbang sekedar melempar kesalahan ke arah anak muda, atau menggunakan argumen mengawang serta sloganeering salah tempat untuk membakar semangat yang telah jauh berubah bentuk, jauh lebih menarik (dan produktif) untuk mencari akar permasalahan yang ada. Pada edisi perdana newsletter ini, kami mengajak beberapa rekan dan teman untuk menawarkan observasi mereka tentang bagaimana keseharian membentuk apatisme kita, serta apa yang bisa dilakukan untuk membalikkan keadaan tersebut. Mulai dari film yang kita tonton, sampai informasi yang kita serap dari institusi pendidikan, media, dan budaya populer. Apakah keseharian kita justru, tanpa sadar, telah me-‘mati’kan sikap kritis kita? Editorial Raka Ibrahim & Farhanah Faridz
>>
artikel
‘Generasi apatis’, ‘generasi Y’, ‘global generation’, ‘net generation’, ‘millenials’, ‘digital native’, ‘generasi menunduk’, sampai ‘Me Generation’ (yang menjadi laporan utama Time pada Mei tahun 2013 lalu). Bisa jadi anak muda saat ini adalah generasi dengan panggilan terbanyak yang pernah ada. Di antara panggilan-panggilan tersebut, ada satu benang merah, yaitu semuanya sama-sama menjelaskan kedekatan generasi ini dengan teknologi digital, sementara beberapa di antaranya bernada negatif. Tak ada definisi dengan angka tahun yang tepat yang menjelaskan kapan Generasi Y pertama muncul. Berdasarkan sejumlah literatur, Generasi Y adalah generasi yang lahir pada tahun 1982 sampai 2000. Artinya, anak-anak muda di era sekarang termasuk dalam generasi ini. Generasi Y tumbuh dengan kemampuan mengoperasikan berbagai teknologi baru tanpa membaca manual terlebih dahulu. Tech savvy pun menambah jejeran sebutan yang lekat dengan teknologi.
GENERATION Y
without ‘WHY’ GENERASI ME ME ME,
PERBANDINGAN
TANPA UJUNG M
ei tahun 2013, Time mengangkat topik yang cukup menghebohkan. Joel Stein menjadi jurnalis yang menjadi topik hangat selama satu bulan di berbagai platform digital. Ia menulis satu laporan yang terang-terangan menyebut generasi muda masa kini sebagai generasi paling narsistik yang pernah ada. Tudingan Stein tidak hanya bermodalkan telunjuk dan tangan kosong, tapi ia mempunyai data dan dukungan argumen dari sejumlah tokoh ahli. Berdasarkan data dari National Institutes of Health, kepribadian narsistik anak muda kini nyaris tiga kali lipat lebih tinggi dari generasi-generasi sebelumnya. Pada tahun 2009, anak-anak muda 58% lebih narsis dibandingkan dengan anak-anak muda di tahun 1982. Selain itu, mereka juga disebut-sebut sebagai generasi dengan keterlibatan sipil dan partisipasi politik yang lebih rendah dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Anak muda kini akan jauh lebih panik dengan kenyataan langganan data internet mereka sudah habis dibandingkan fakta semakin langkanya air bersih.
Tak salah yang diungkapkan oleh Stein. Tak perlu membantah argumentasi yang ia utarakan dengan data yang didukung sejumlah penelitian ilmiah. Tak perlu juga melancarkan serangan balik terhadap Stein atau generasinya (Generasi X) seperti yang dilakukan oleh banyak Generasi Y yang menjadi obyek serangan Stein (banyak di antaranya berupa ejekan dan parodi terhadap argumen Joel Stein di Time). Lagipula ini bukan hal baru. Hal seperti ini sudah menjadi ritual yang dilakukan oleh setiap generasi yang lebih tua terhadap generasi di bawahnya. Penilaian-penilaian buruk sampai pembandingan-pembandingan anak muda kini dengan anak muda sebelumnya. Salah satu contohnya terjadi di Indonesia pada awal tahun 1970-an. Generasi muda saat itu juga sama seperti semua generasi muda lainnya, mendapatkan label-label negatif dari generasi sebelumnya. Mereka dianggap lebih menyukai hidup manja dan senang menghisap ganja. Mereka dipandang telah direcoki oleh kebudayaan Barat yang materialistis, imitatif, dan konsumtif. Pembandingan yang tak akan pernah habis karena setiap masa tak akan pernah sama. Generasi muda di setiap era memiliki tantangannya masing-masing; dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, dan politik yang sedang berlangsung (perang, gerakan sosial, penemuan-penemuan ilmiah dan teknologi). Faktor-faktor tersebut berdampak paling besar pada anak muda dikarenakan nilai-nilai dan kebiasaan mereka yang belum tetap (masih dalam proses pembentukan).
MERAYAKAN TUDINGAN
Pada faktanya, setiap generasi memiliki tudingannya masing-masing. Yang perlu dilakukan oleh anak muda, sebagai obyek tertuding, sebenarnya sederhana, yaitu merayakannya. Merayakannya dengan memanfaatkan segala keuntungan yang hanya didapatkan oleh generasi di masa kini. Label yang menempel terhadap anak muda Indonesia masa kini salah satunya adalah dianggap hanya bisa galau. Tentunya label tersebut muncul karena kemudahan yang didapatkan anak muda kini untuk mengekspresikan isi pikiran (dan hati) melalui berbagai sosial media (anak muda generasi sebelumnya menyimpan kegalauannya rapat-rapat di buku harian). Butuh tujuh tahun sejak meninggalnya Kartini sampai surat-suratnya dikumpulkan dan diterbitkan dalam sebuah buku. Seperti halnya dengan anak muda lain, pada dasarnya, isi surat-surat Kartini pun punya benang merah serupa, yaitu kegalauan personal. Bukan salah Generasi Y jika kegalauan mereka punya kesempatan untuk menyebar lebih luas; lewat blog, tweet, bahkan Youtube (di luar tingkat kepentingan dari kegalauan tersebut). Stein benar, generasi ini memang begitu “me me me”, seolah pusat dunia ada pada mereka. Namun, ternyata kecenderungan “me me me” tersebut justru merupakan kekuatan generasi ini. Terjadi transisi dari nilai-nilai eksistensial menuju nilai-nilai ekspresi diri. Dari apa yang penting menurut orang tua atau guru menjadi apa yang penting menurut anak muda. Hasrat yang besar untuk mengendalikan suatu lingkungan, kebutuhan besar terhadap otonomi, dan mempertanyakan otoritas. Ekspresi diri ini tidak individual, bahkan kerap berujung pada gerakan-gerakan atau aksi kolektif yang subversif; seperti aksi terkait isu lingkungan, fair trade, dan kesetaraan gender. Gerakan Blank Noise, aksi di India yang dicap sebagai gerakan masyarakat yang paling menarik, membentuk komunitas online di mana cerita personal orang-orang yang pernah mengalami maupun menyaksikan pelecehan seksual di jalanan dimanfaatkan dengan begitu kreatif menjadi kampanye online lewat berbagai format audio visual yang menarik. Salah satu contoh ekspresi personal yang berujung pada aksi kolektif. Dengan kesamaan ekspresi personal, me me me pun bertransformasi menjadi us us us. Sosial media terbukti mampu memberikan ruang pada anak muda untuk berpartisipasi dalam bentuk konsumsi, produksi, sekaligus distribusi ide, pengetahuan, dan budaya. Aksi ini disebut sebagai budaya partisipatif yang berupa afiliasi, ekspresi, kolaborasi, distribusi, dan sirkulasi.
GENERASI LEDAKAN INFORMASI Perayaan tudingan tersebut tentunya bukan titik akhir dalam wacana ini. Muncul pertanyaan berikutnya. Apakah ekspresi diri sudah menunjukkan kekritisan suatu generasi? Landasan utama berpikir kritis adalah selalu mempertanyakan sesuatu, tak pernah menerimanya bulat-bulat. Kemampuan berpikir kritis penting diterapkan oleh anak muda, apa pun perannya. Tak terkecuali perannya sebagai generasi yang tumbuh di era ledakan informasi. Perkembangan a generasi-generasi sebelumnya harus sengaja menyempatkan waktu untuk naik bus ke perpustakaan dan seharian mencari informa si yang dibutuhkan, anak muda kini mendapatkannya hanya beberapa saat setelah tombol ‘enter’ ditekan. Di masa personal computer menjadi pilihan aktivitas rumah lain selain Sega dan Nintendo, kehadiran Encarta pada tahun 1993, salah satu produk yang lahir di bawah Microsoft Corporation, perlahan mengalihkan metode pencarian pengetahuan dari analog ke digital. Meskipun tak bertahan lama karena pada akhirnya Microsoft menutupnya setelah persaingan ketat dengan Wikipedia yang lahir pada tahun 2001. Belum lagi informasi yang didapat dari berbagai sumber informasi; seperti portal, news aggregator, sampai social media. Berdasarkan statistik dari MBAonline.com yang dikutip oleh Mashable, dalam satu hari, data informasi yang menyebar di internet setara dengan jumlah data dalam 168 juta keping DVD. Secara harfiah, generasi saat ini mengalami kebanjiran informasi. Ramalan Marshall McLuhan yang dituliskan di bukunya Understanding Media: The Extension of Man pada tahun 1964 pun bangkit dari teori dan menjadi kenyataan. Ia menyebut fenomena ini sebagai Ledakan Informasi (Information Explotion). Menurutnya, Ledakan Informasi adalah ketika kita dikelilingi oleh jawaban-jawaban, bahkan jutaan jawaban, yang kian bergerak dan berubah dengan kecepatan elektrik.
Ledakan informasi ini secara revolusioner mengubah cara anak-anak muda mempelajari sesuatu. Dengan analogi terbrutal, era ini nyaris meluruhkan arti dinding sekolah dalam proses belajar. Larangan menjadikan Wikipedia sebagai sumber dalam pengerjaan tugas sekolah maupun kuliah merupakan salah satu bukti pergeseran cara menggali pengetahuan yang sedang terjadi. Pengetahuan dan informasi menjadi semakin cair (bahkan banjir). Anak-anak muda pun dihadapkan pada dua pilihan dalam menghadapi fenomena ini: menyelam dengan seksama atau tenggelam di dalamnya. Batas yang membedakan menyelam atau tenggelam berada pada kemampuan menjadi kritis, dan sadar. Selama berpikir kritis secara sadar selalu dilakukan, maka sebesar apapun ledakan informasi yang ada, anak-anak muda tidak akan tenggelam.
>> MENYELAM ATAU TENGGELAM? Anak muda kini patut sedikit berbangga. Ketika anak muda di era sebelumnya memasang televisi untuk menonton MTV, anak muda sekarang (yang sebagian besar aktivitas medianya sudah berlangsung secara online), beberapa waktu lalu, masih rela menyalakan televisi untuk menonton sebuah program talkshow edukasi politik yang dibuat dan diisi oleh anak-anak muda. Provocative Proactive yang juga menggunakan Twitter sebagai basis medianya (ditambah persona-persona lain di baliknya: Panji Pragiwaksono, Raditya Dika) harus diakui berhasil membuat anak-anak muda penggemarnya berpikir bahwa isu politik itu keren. Peduli sosial dan mengkritik pemerintah kini hampir setara kerennya dengan kesukaan Rangga pada sastra di era Ada Apa Dengan Cinta dan kejagoan berkelahinya Boy di masanya Catatan Si Boy. Tweet, blog post, dan status update berisi kritik dari anak-anak muda pun menjadi hal yang tidak lagi aneh. Masalahnya adalah, apakah dengan melempar tweet semacam “Jakarta macet, apakah ini karena pemerintah daerah yang korup?� di Twitter mewakili kekritisan anak muda? Ya, tapi belum sepenuhnya. Kritik-kritik semacam itu menurut Scammell masuk ke dalam istilah “consumer-style critique�, kritik ala konsumen. Ekspresi-ekspresi (berupa kritik) yang terjadi karena motivasi yang narsistik, tidak sengaja dilakukan secara sadar untuk berkontribusi langsung pada public sphere maupun menguatkan keterlibatan warga. Motivasi menjadi keren karena me-retweet tweet bernada kritis dari salah satu idola tidak serta-merta mencoret sebutan kritis dari anak muda. Sah-sah saja, apalagi jika motivasi keren tersebut akhirnya berujung pada motivasi kritis murni. Permasalahannya adalah ketika anak-anak muda tersebut berhenti hanya pada tahap retweet, ikut menyetujui segala hal, ikut menyerang menteri yang mengeluarkan pernyataan diskriminatif; tanpa adanya proses berpikir dan mempertanyakannya ulang secara sadar terlebih dahulu. Kritik narsistik tersebut akan sekadar menjadi medium narsistik lain jika tidak disertai dengan adanya kesadaran politis pada anak-anak muda. Mengingat kembali pada konteks Indonesia, anak muda saat ini merupakan anak-anak yang besar dan tumbuh pada masa Orde Baru oleh orang-orang tua yang juga besar bersama nilai-nilai era tersebut. Tak mengherankan jika anak muda kini pada akhirnya menjadi individu-individu yang ahistoris dan kehilangan konteks. Pada masa Orde Baru, karakter politis yang disematkan kepada golongan muda di masa sebelumnya menghilang seiring makin didepolitisasinya kehidupan masyarakat. Istilah pemuda pada zaman revolusi kemerdekaan sangat kental dengan nuansa politik pun menghilang. Kegiatan kaum muda pada masa Orde Baru terbatas hanya pada kalangan mahasiswa. Namun aktivitas politik mereka pun diputus melalui kebijakan normalisasi kehidupan kampus pada 1978. Anak muda kemudian didefinisikan ulang dari istilah pemuda yang berkonotasi politik dan revolusioner menjadi remaja atau ABG yang apolitis. Kehilangan konteks inilah yang menjadi pangkal dari opini-opini pseudocritical (kritis yang semu) yang menggenang di berbagai sosial media. Generasi muda bukannya menjadi generasi kritis melainkan generasi keroyokan. Generasi yang hanya berani angkat suara karena melihat yang lain berpendapat serupa. Tugas generasi ini adalah mengisi kembali kekosongan konteks tersebut dengan menjadi generasi yang memiliki kesadaran historis, politik, dan kelas. Kesadaran inilah yang akan membuat generasi ini bukannya tenggelam (dalam ledakan informasi), tapi menyelam. Dengan kesadaran kritis, teknologi yang nilai politisnya bergantung kepada penggunanya ini akan menjadi wadah yang amat strategis bagi anak-anak muda jika digunakan dengan tepat. Karena jika tidak, kali ini anak muda tidak hanya sekadar tenggelam dalam ledakan informasi, tapi juga dalam ledakan opini. Kemudian, sebutan bagi anak muda kini pun bertambah lagi, Generation Y without Why.
>> Referensi >> Angelina, Maesy. (2010). Beyond the Digital: Understanding Contemporary Forms of Youth Activism. Institute of Social Studies. Keeter, Scott & Paul Taylor. (2009). The Millenials. Pew Research Center. Lim, Merlyna. (2013). Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia. Arizona State University. McCrindle, Mark. (2002). Understanding Generation Y. The Australian Leadership Foundation, 2002. McLuhan, Marshall. (1964). Understanding Media: The Extension of Man, hal. 239. NY: McGraw Hill. Papacharissi, Zizi. The Virtual Sphere 2.0: The Internet, the Public Sphere and beyond. Temple University. Scammell, M. (2000). The Internet and Civic Engagement: The Age of the Citizen-Consumer. Political Communication. Silverman, Matt. (2012). A Day in the Life of the Internet. Mashable.com. (diakses pada pukul 16.00, 23 Oktober 2013) Stein, Joel. (2013). Time Magazine: The Me Me Me Generation. Time Inc. Yudhistira, Aria Wiratma. (2010). Dilarang Gondrong. Marjin Kiri. Yudhistira, Aria Wiratma. (2013). Anak-Anak Orde Baru dan Indonesia Sekarang. Stein, Joel. Time Magazine: The Me Me Me Generation, Time Inc, 2013. McCrindle, Mark. Understanding Generation Y, The Australian Leadership Foundation, 2002. Yudhistira, Aria Wiratma. Dilarang Gondrong. 2010. Marjin Kiri. Keeter, Scott & Paul Taylor. The Millenials. 2009. Pew Research Center. Papacharissi, Zizi. The Virtual Sphere 2.0: The Internet, the Public Sphere and beyond. Angelina, Maesy. Beyond the Digital: Understanding Contemporary Forms of Youth Activism. 2010. Institute of Social Studies. Lim, Merlyna. Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia. 2013. Arizona State University. Silverman, Matt. A Day in the Life of the Internet, Mashable, 2012 (diakses pada pukul 16.00, 23 Oktober 2013) McLuhan, Marshall. Understanding Media: The Extension of Man. 1964. hal. 239, NY: McGraw Hill. Scammell, M. The Internet and Civic Engagement: The Age of the Citizen-Consumer. 2000. Political Communication, 17(4), 351 – 355. Yudhistira, Aria Wiratma. Anak-Anak Orde Baru dan Indonesia Sekarang. 2013.
wawancara
“KITA BISA MEMBUAT
KULTUR KITA SENDIRI.�
Kami pertama kali dikenalkan pada ketjilbergerak oleh salah satu kawan baik kami, Ratih. Segera, aksi komunitas asal Yogyakarta ini menarik perhatian kami. Terbentuk sejak 2006, beberapa kegiatan mereka yang menarik perhatian kami di antaranya adalah Nyawang (Seeing With Heart Opened) (2009), proyek kolaborasi dengan Griya Lentera PKBI serta beberapa komunitas LGBTIQ dan anak jalanan, Benih Bunyi (2012), proyek wawancara anak muda tentang perasaan dan harapan mereka sebagai anak muda, Jogja Eklektik (2013), diskusi akbar tempat anak muda bicara tentang berbagai isu, dan masih banyak lagi. Kini, mereka datang dengan program baru Gap Balik!, yang ingin mengajak anak muda berperan dalam jurnalisme warga. Berikut obrolan kami dengan mereka
Silahkan mengenalkan diri - siapa itu ketjilbergerak? ketjilbergerak adalah komunitas anak muda yang berkomitmen pada kerja-kerja budaya yang bersifat kolaboratif. Kita punya program berkala Angkatan Perubahan, Kelas Melamun, Ben Prigel dan Gap Balik! dan bisa juga dikunjungi di website nan segar, www.ketjilbergerak.org, atau follow @ketjilbergerak di Twitter, Instagram, Pinterest, Youtube, Google + dan Fanpage Facebook. Siapa saja yang muda, kreatif, berani dan berdikari adalah ketjilbergerak!
Menarik juga menilik sejarah kalian yang bermula sebagai zine. Bagaimana ketjilbergerak berkembang jadi komunitas anak muda lintas isu seperti sekarang? Perkembangan itu berdasar pembacaan kebutuhan anak muda jaman sekarang ya, kita hanya mencoba menjawab aja pertanyaan-pertanyaan di depan kita, itu aja udah banyak banget ya.
Apa itu program "Gap Balik!" dan apa maksud dibuatnya program ini? Ini semacam youth civic jurnalism, mengenalkan jurnalisme kepada anak muda, sekaligus membuktikan bahwa kita anak muda bisa membuat media kita sendiri. Kalau di Gap Balik!, kita menanamkan bahwa dengan saling mengabarkan, kita juga saling mendukung dan saling berkolaborasi, nah kalau lingkaran itu sudah terbentuk dari anak muda sendiri, ke depan bukan tidak mungkin kita bisa membuat kultur kita sendiri, yang youth banget, yang independen bahkan dalam arti yang sangat luas.
Apa menurut kalian tak ada ruang berekspresi untuk anak muda di media arus utama? Apa peran media independen dalam menyiasati hal ini? Ada sih saat ini, dan itu bagus, kita nggak merasa melawan siapa-siapa, kita melakukan apa yang menurut kita baik dan memiliki efek konstruktif yang oke pada budaya. Media arus utama kan ada pemiliknya, media A milik si anu, media B milik si itu, dan selain tentu memiliki kaidah-kaidah internal dan acuan arah, kan itu juga karya mereka, nah karya kita mana? Apa mau membebek terus? Prinsip kita, kalau nggak setuju sama sesuatu nggak usah banyak menggerutu, tapi tunjukkan seperti apa sih yang kita mau, ya harus dilakukan.
Bagaimana tanggapan pembaca kalian sejauh ini soal kegiatan-kegiatan ketjilbergerak, utamanya "Gap Balik!"? Baik, banyak yang pengen ikut, dan tanggung jawab kita ya bekerja bareng sekaligus terus meningkatkan pengetahuan perihal jurnalisme.
Menurut kalian (dan berkaca pada pengalaman kalian sendiri), bagaimana relasi zine dan pembacanya bisa bikin sesuatu lebih dari sekedar zine, misalnya kegiatan, dsb? Media itu kan bagian dari kebudayaan, nah kebudayaan itu kan macam-macam syaratnya, ada ide, ada kegiatan rutin, ada artefak, ada sense of spirituality-nya dan lain-lain, ya itu kita coba penuhi aja, sebisanya aja, semampunya.
Apa saja tantangan yang kalian hadapi sejauh ini, dan bagaimana pembaca kami bisa membantu? Mari saling membantu, saling merangkul, berkolaborasi, kita ciptakan budaya seperti yang kita cita-citakan, harus bersama-sama, dan harus asyik :)
artikel
N A K A Y N A M E M P E RT
I T I R KEK
PASC
“Untuk
I S A R E N E G SAN
I S A M R O F A RE
u ada nti wakt e s a u m ya se na ng bagin ar Panca Daha a y a d u h km – Rad nak-ana
a
L
ima belas tahun selepas Reformasi, generasi muda kembali dipertanyakan. Generasi pasca-Reformasi, begitu mereka kira-kira dapat dinamakan, dicap sebagai generasi yang pragmatis nan apatis. Generasi ini dituduh yang macam-macam. Tidak peduli, hedonis, apatis, pemalas dan miskin kemauan. Sering kali mereka dibanding-bandingkan dengan para pendahulu, pemuda/i era reformasi yang terlalu sering diagungkan sebagai pahlawan pembela rakyat, yang berhasil menurunkan Soeharto dan mendatangkan demokrasi ke tanah air. Segala glorifikasi ini membuat anak muda era berikutnya hidup dalam bayang-bayang yang menyesatkan. Gerakan mahasiswa dianggap melempem, dan anak muda yang khususnya hidup di perkotaan, divonis telah tercerabut dari akar kerakyatan. Tetapi di balik itu, perlahan muncul inisiatif untuk menghidupi kembali gerakan kepemudaan, ditunjang oleh beberapa tokoh senior yang melihat arti penting dari peranan anak muda. Mereka (anak muda) pun perlahan menyadari peran mereka yang tak tergantikan dan meski terkadang terkesan malu-malu, mulai berani angkat suara. Maka muncullah beragam acara untuk mengakomodasi aspirasi mereka, mulai dari yang diadakan di ruangan kampus, lesehan di kosan sampai ke gedung bertingkat berpendingin udara. Musisi diundang untuk menghibur, kaum cerdik pandai diminta untuk memberi nasihat dan anak muda diajak untuk berikrar. Namun untuk benar-benar bisa bunyi, suara berlimpah tersebut haruslah datang dari diri mereka sendiri. Tapi apa yang dimaksud dengan ‘datang dari diri mereka sendiri’? Bukankah cukup jika mereka mendapat pengetahuan dari orang lain (misalnya soal kesehatan reproduksi, demokrasi, atau perubahan iklim) lalu diserap dan dijalankan dalam keseharian? Bukankah peningkatan kapasitas cukup dilakukan dengan menambah pengetahuan anak muda? Bukankah ini sudah awal dari perubahan?
ri”
k menca
g untu lah ruan
Tentu. Tetapi ada yang hilang jika semuanya dijalankan tanpa tujuan. Ini yang membedakan generasi pasca-Reformasi dengan para pendahulu mereka. Kekritisan dan kepedulian yang membungkus rasa ingin tahu mereka berbeda, karena realita sosial yang dihadapi pun sudah mengambil wujud yang tidak sama. Tidak ada lagi gagasan soal musuh bersama, tidak ada ide soal antitesis yang hendak dicapai (1. Soeharto tidak baik untuk Indonesia. 2. Indonesia masih dipimpin Soeharto. 3. Indonesia tidak bisa dipimpin Soeharto agar bisa baik). Sekalinya masih terdapat anak muda yang memperlihatkan ‘militansi’, mereka mengidap sindrom yang sama seperti para New Left; tahu apa yang tidak disukai tetapi gagap dalam menjelaskan apa yang mereka kehendaki. Kondisi yang dihadapi pemuda/i zaman ini berbeda jauh, meski hakikat mereka sebagai manusia tak berubah. Dorongan pemuda/i tetap saja terbuat dari rasa ingin tahu, rasa bisa berbuat lebih baik, dan rasa kebersamaan. Yang diperlukan adalah kritisisme yang berbeda, yang lebih awet dan tahan banting. Yang dicari adalah orang-orang yang tidak puas dengan jawaban di atas permukaan. ‘Kesadaran kritis’, begitu sikap tersebut dinamakan, adalah hal yang sebenarnya dicari dari anak muda.
PENTINGNYA KESADARAN KRITIS E
sensinya, kesadaran kritis dimulai dari keberanian untuk tidak menerima realita apa adanya dan mempertanyakan nalar umum. Ini resep yang senantiasa berhasil, hanya bergantung pada cari kita mengolahnya. Hal ini pula yang selalu didengungkan Paulo Freire atau Ivan Illich, dedengkot pedagogi kritis, sebuah mazhab yang menghubungkan pendidikan dan gagasan pembebasan bagi masyarakat tertindas. Mereka menggarisbawahi bahwa ilmu tidak bisa dianggap terpisah dari gagasan keadilan, dan pendidikan harus bisa mengusik rasa keadilan tersebut. Jika tidak, ia gagal dalam membebaskan individu dari dominasi yang ada di dalam masyarakat. Pendidikan, dalam pandangan kritis, harus selalu kita pertanyakan perannya dalam membangun tatanan masyarakat yang lebih adil. Bisa jadi ia justru menjadi penghambat perubahan karena tidak mengajarkan generasi muda untuk berpikir kritis-analitis. Untuk kasus Indonesia, sistem pendidikan memang bukan oase bagi mereka yang mencari gagasan segar nan progresif. Dalam teori ilmu sosial, tokoh seperti Antonio Gramsci atau Louis Althusser mempertanyakan kemungkinan perubahan dari aspek tatanan yang membatasi individu. Negara, penguasa ekonomi beserta aparatus negara (termasuk pendidikan!) dianggap sebagai musuh perubahan. Namun teori ini berkembang hingga budaya pop yang kita telan mentah-mentah setiap hari dilihat sebagai musuh perubahan. ‘Hegemoni’ budaya arus utama lah yang sebenarnya menguasai isi kepala dan perilaku kita. Akan tetapi, sebaliknya, jika kita perhatikan lebih seksama, budaya juga bisa menjadi agen perubahan. Hanya saja, ia hadir dalam bentuk yang lebih subtil dan tidak selalu mendapat tempat utama dalam masyarakat. Namun kritisisme yang ia bangun jauh lebih mengena jika kita bisa memahami pesannya. Coba saja simak lirik-lirik yang dibangun oleh Belkastrelka, Melancholic Bitch, atau Efek Rumah Kaca yang dalam hal ini membuktikan bahwa kesadaran kritis bisa menjadi milik semua orang. Syaratnya, ada keyakinan bahwa ada sesuatu yang salah dengan apa yang kita namakan hidup keseharian. Mereka adalah musisi muda yang memiliki apa yang disebut dengan ‘kesadaran obyektif’, tidak dipengaruhi oleh kondisi pribadi mereka yang sebenarnya hidup berkecukupan dan tetap memandang lingkungan sekitar mereka dengan nada kritis.
Theodore Rozak, dalam The Making of a Counter Culture mengatakan bahwa hanya anak muda lah yang punya rasa lapar cukup besar untuk bisa menghadirkan pilihan-pilihan alternatif dalam kehidupan. Mungkin ini benar, karena berpikir soal menghadirkan alternatif terasa lebih masuk akal ketimbang menciptakan perubahan. Dalam menciptakan alternatif, kesadaran kritis diolah dan diaktualisasikan dalam sesuatu yang sudah berwujud. Lantas ketika gagasan alternatif ini mulai diadopsi, maka bola perubahan sudah bergulir dan tak bisa lagi dibendung. Kembali, resep sederhana yang selalu ampuh ini bisa kita temukan dalam literatur, film, musik, media, arsitektur dan lainnya. Resep ini yang menghidupi budaya tanding apa pun di mana pun. Hal ini sebenarnya jauh lebih mudah dilakukan dari yang kita bayangkan. Dalam keseharian kita, ada begitu banyak hal yang bisa dijadikan inspirasi kesadaran kritis. Dalam sejarah, pada tiap era perubahan, selalu ada gagasan pembaharuan yang ditawarkan untuk mendobrak tatanan yang ada. Mereka diilhami oleh keinginan untuk melawan kungkungan dan dominasi penguasa, baik politik maupun non-politik, untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik, relatif dari apa yang telah ada sebelumnya. Budaya, konsepsi abstrak yang sifatnya mengatur dan mengontrol perilaku individu, dalam hal ini bisa jadi sasaran perubahan tersebut. Untuk melakukannya, maka diperlukan budaya tandingan yang diyakini secara teguh oleh segelintir orang untuk kemudian diadu dengan budaya dominan yang dianggap merugikan tersebut. Budaya kritis bisa ditemukan dalam banyak bentuk seperti yang telah disebut di atas; literatur, film, musik, media dan bahkan arsitektur. Kesemuanya merujuk pada satu gagasan: mendobrak tatanan lama yang mengekang.
Sebagai contoh, gerakan emansipasi hak sipil di Amerika Serikat yang bermula sejak era 1920 melewati jalan panjang gerakan sosial yang dihidupi oleh banyak kelompok dan lapisan masyarakat. Satu demi satu menyumbangkan pikiran dan suaranya sehingga bisa beresonansi di banyak tempat dan menjangkau banyak orang, sampai akhirnya tidak bisa lagi dibendung. Mulai dari gelombang, musik Soul dan Jazz karya kaum African American yang kemudian mengarusutama, para Beatniks dan penulis subversif hingga pada gerakan seperti Black Panther. Begitu juga dengan perjuangan melawan Apartheid di Afrika Selatan. Meski sangat bergantung pada aspek ketokohan, budaya perlawanan juga kental dihidupi oleh musisi dan seniman, seperti ditampilkan dalam film Searching for Sugarman. Dalam skala yang lebih kecil, gerakan mahasiswa Prancis 1968 juga dihidupi oleh kelompok akademisi dan pemuda/i, yang meleburkan gagasan-gagasan ke dalam aspek sastra serta film dan menjadikan gerakan ini memiliki taring yang kuat dalam menghadapi pemerintah Prancis era tersebut. Sejalan dengan contoh tersebut, kita juga bisa melihat bagaimana pertarungan ideologi politik di Indonesia pada era 1960-an juga diwarnai pertarungan budaya yang kental, dalam bentuk Lekra vs Manikebu, yang merupakan bentuk paling nyata bagaimana seni bisa terperangkap, atau didesain, dalam agenda politik kekuasaan. Dari beberapa contoh di atas, terlihat bagaimana seni juga mengambil peran yang nyata dalam perubahan. Kuncinya satu: terdapat orang-orang yang tidak menafikan realita sekeliling mereka. Justru sebaliknya: selalu terdapat orang-orang yang mampu menangkap kesenjangan antara realita dan harapan, lalu mengolahnya menjadi sebuah karya, dalam bentuk gambar, tulisan, rekaman, foto, atau apapun yang tidak lekang oleh waktu. Selalu ada orang atau individu yang gemar bermain dengan abstraksi dan realita, menghubungkan keduanya agar kesenjangan antara realita dan harapan tersebut semakin terasa dan dirasakan. Dalam berpikir dan bertindak kritis, ada kesadaran bahwa kondisi yang dihadapi sekarang harus dipahami secara historis (dengan bertanya: apa kaitannya dengan peristiwa di masa lampau) dan sebisa mungkin soal relasi kuasa di baliknya (dengan bertanya: siapa dan apa yang memungkinkan ini terjadi?). Ini esensi dari kesadaran kritis, yang jika diolah dengan baik oleh anak muda, akan mendorong mereka sendiri untuk menjadi bagian dari perubahan.
>>
M U L A I DARI M A N A >>
?
Dari paparan di atas, terlihat bagaimana kesadaran kritis tidak muncul serta-merta. Ia harus dimunculkan oleh orang yang memang mau menyuarakan kegundahannya. Bentuknya tidak tunggal, tapi bisa diselipkan dalam produk budaya apapun. Yang mengkhawatirkan, produk budaya yang dihasilkan pasca-Reformasi seakan menjauh dari realita keseharian kita, dan malah cenderung tenggelam dalam banalitas budaya pop. Hal ini mungkin paling terasa dalam sastra dan film, yang tidak mengangkat tema-tema alternatif yang justru krusial dalam menggugah kesadaran kritis anak muda. Maka jangan heran jika Arief Budiman berkata “Kita tidak tahu pada konteks mana kita harus letakkan karya-karya ini (sastra pasca-Reformasi)�. Kita tidak tahu di mana kita berada, ujarnya. Keengganan untuk berurusan dengan pahitnya realitas sosial politik memang terasa dalam literatur kontemporer. Beruntung masih terdapat beberapa penerbit yang mau mencetak buku-buku dengan tema-tema kritis, meski mereka harus berhutang untuk bisa terus bisa bertahan hidup (Contoh: Marjin Kiri, Kepik Ungu, Insist Press). Kembali, yang kita cari dalam hal ini adalah alternatif, setidaknya untuk membuka ruang bagi terciptanya pandangan dan pemikiran yang kemudian bisa memperlebar diskursus publik.
>>
Syahdan, kesadaran kritis itu harus dibangun selagi muda, sebelum mereka semua berlomba menjadi CPNS dan merasa perubahan itu harus dihadirkan dari dalam ‘sistem’. Karena sikap terakhir tersebut hanyalah bentuk lain dari ungkapan menyerah (meski di sisi lain keinginan untuk membenahi sistem juga harus diapresiasi). Pragmatisme telah mendominasi sikap kebanyakan orang, termasuk juga anak mudanya. Maka jangan heran, jika dari pilihan pekerjaan hingga pada pilihan kebijakan semuanya didasari kepentingan jangka pendek dan kekayaan jangka panjang (baca: korupsi). Belum lagi jika ini sedikit kita kaitkan dengan analisis kelas, di mana pemuda/i tampaknya memiliki keterbatasan dalam memahami persoalan sosial secara utuh, dan cenderung melihat sebuah problem hanya dari kacamata kelas sosial ia sendiri (Contoh: persoalan perubahan iklim dianggap selesai dengan mengikuti gerakan Bike 2 Work). Bias kelas ini bisa jadi penghambat, karena pada akhirnya tiap kelompok hanya memperjuangkan kepentingan mereka sendiri. Kembali, ketiadaan agenda atau tujuan bersama menjadi momok tersendiri pasca-Reformasi. Tanpa kesadaran kritis, semua usaha perbaikan dilakukan secara parsial, tersekat-sekat dan sporadis.
Dari beberapa uraian di atas, terlihat mengapa kekritisan generasi pasca-Reformasi dipertanyakan. Jika hendak disingkat, maka semuanya bisa disederhanakan pada satu tesis: Mereka terlihat berjalan tanpa arah dan tujuan, karena tidak tahu dari mana harus bertolak. Tetapi tentu tidak adil untuk menuduh generasi ini tanpa mengakui perbedaan karakter yang paling mendasar: Jika generasi Reformasi identik dengan kolektivisme, maka ciri dari generasi sekarang adalah fragmentasi, lantaran keragaman isu dan tujuan yang diusung. Hal ini merupakan tantangan yang perlu diakui. Sehingga ketiadaan tujuan yang telah dibahas di atas juga perlu diperhatikan dengan lebih seksama. Maka, tugas generasi pasca-Reformasi bukanlah melahirkan revolusi, atau reformasi baru, melainkan membangun sesuatu di atas fondasi yang telah dibangun oleh generasi pendahulu mereka. Klise memang, tetapi di balik semua uraian di atas terdapat satu hal yang dimiliki generasi pasca-Reformasi yang tidak dimiliki para pendahulu mereka: momentum. Sejatinya, peluang untuk memperbaiki kondisi masyarakat berpihak pada generasi ini. Kesadaran kritis tentang realita sosial yang mereka hadapi menjadi kuncinya. Tiap generasi pada dasarnya dihadapkan pada tugas yang sama, namun senantiasa dalam latar dan tantangan yang berbeda: Menciptakan ruang yang baru, menulis sejarah yang belum pernah ditulis sebelumnya dan dengan satu prinsip: harus lebih baik dari generasi pendahulu. Semuanya dimulai dengan prinsip yang paling sederhana: Sapere Aude! Beranilah berpikir untuk dirimu sendiri.
>> Referensi >> Budiman, Arief. 2002. Warna Ungu dan Surrealisme Cerita Pendek Kita. Dalam Jejak Tanah. Cerpen Pilihan Kompas 2002. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Dahana, Radhar Panca. 2001. Menjadi Manusia Indonesia. Yogyakarta: LKIS Rozak, Theodore. The Making of a Counter Culture.
wawancara
Hilmar Farid:
TENTANG ANAK MUDA, ORDE BARU, DAN MEDIA Di Newsletter Pamflet edisi #1 ini, kami melayangkan sebuah email berisi pertanyaan seputar anak muda, media, dan pra-Reformasi. Karena sebelum kami mencerocos banyak sok tahu soal anak muda, gerakannya, budayanya, dan bahkan sebutannya; kami mau tahu terlebih dahulu sekilas soal gambaran anak muda dan media sebelum Reformasi dan apa bedanya dengan anak muda sekarang. Untuk mencari jawabannya, rasanya salah satu orang yang tepat kami tanyai adalah Hilmar Farid, sejarawan Indonesia yang bisa dibilang muda sekaligus ketua Perkumpulan Praxis. Berikut ini obrolan singkat-padat-tangkas kami dengan Bang Fay.
APAKAH DALAM SEJARAH MEDIA DI INDONESIA, ADA KULTUR DEPOLITISASI ANAK MUDA? BAGAIMANA CARA PEMERINTAH, MISALNYA PADA ERA ORDE BARU, MENGGUNAKAN MEDIA UNTUK MENUNTUN DAN MENGENDALIKAN OPINI PUBLIK? Istilah 'Anak Muda' Sendiri Adalah Bentuk Depolitisasi. Sebelumnya Dikenal Istilah 'Pemuda' Yang Berperan Besar Dalam Pembentukan Republik, Dan Karena Itu, Sangat Politis. Istilah 'Anak Muda' Menempatkan Orang Berusia Muda Dalam Masyarakat Dalam Posisi Subordinat, Sebagai 'Anak' Yang Dalam Kebanyakan Kultur Di Nusantara Ini Belum Diakui Dewasa, Artinya Belum Punya Hak, Belum Punya Kekuatan Untuk Berdiri Sendiri Dan Seterusnya. Di Masa Orde Baru, Sosok Ini (Anak Muda) Dihadirkan Dengan Gaya 'Santai' Tapi Pada Saat Bersamaan Sangat Bergantung Pada Figur Orang Tua (Tidak Mesti Orang Tua Biologis). Padahal Kenyataannya Ada Jutaan Orang Berusia Muda Sangat Mandiri Dalam Banyak Hal.‟‟
BAGAIMANA CARA ANAK MUDA MENEMUKAN IDE-IDE ALTERNATIF, MENGEMBANGKANNYA, SERTA MENYEBARLUASKANNYA DI ERA PRA-REFORMASI? Saya kira titik tolak terpenting adalah ketika mereka melihat ada yang salah dengan sistem waktu itu, yakni Orde Baru. Dari sini keinginan untuk mencari alternatif muncul. Sumbernya macam-macam, mulai dari buku atau tulisan, pengalaman orang lain yang mereka lihat berbeda dengan sistem, sampai pada pengalaman sendiri hidup di bawah rezim Orde Baru. Kombinasi antara pikiran dan praktek ini yang saya kira melahirkan bermacam alternatif di kalangan muda.‟‟
APAKAH INTERNET DAN MEDIA INDEPENDEN SEPERTI ZINE/NEWSLETTER SAAT ITU BERPERAN? BAGAIMANA PERANNYA?
Media independen sangat berperan. Di kalangan mahasiswa yang paling populer tentunya pers mahasiswa. Di sinilah mereka menuangkan keresahan, kritik, dan juga ide-ide alternatif tadi. Di luar kampus juga banyak zine/newsletter yang timbul-tenggelam, kadang usianya pendek, kadang panjang. Internet saya kira baru mulai meluas akhir 1990an. Ada era milis yang kemudian digantikan bentuk-bentuk yang lebih interaktif dan akhirnya social media seperti sekarang. Perannya penting dalam pembentukan kesadaran kolektif. Kita membaca, membahas, menimpali persoalan yang diangkat dalam media independen atau alternatif ini dan membentuk kesadaran baru dan berbeda dari mereka yang hanya makan propaganda pemerintah.â€&#x;
BAGAIMANA MEDIA MEMANDANG ISU ANAK MUDA DI MASA SEKARANG? APAKAH MASIH SAMA ATAU BELUM BANYAK BERUBAH DARI DULU? APA SAJA PERUBAHANNYA (BILA ADA)?
Anak muda sekarang jauh lebih luas penjelajahannya terhadap bermacam isu daripada generasi-generasi sebelumnya, karena media dan internet. Apa yang dianggap penting sekarang ini berbeda dari masa sebelumnya. Dunia digital juga mengubah cara komunikasi orang, bukan hanya anak muda, dan juga hubungan sosial. Tapi di sisi lain, ada banyak isu yang masih sama dari waktu ke waktu. Hubungan orang tua dengan anak, posisi anak muda dalam masyarakat lebih luas lengkap dengan semua tuntutan dan harapan yang dibebankan kepada mereka, dan seterusnya.â€&#x;
APAKAH INTERNET DAN MEDIA SOSIAL BERPENGARUH PADA KESADARAN POLITIK DAN SOSIAL ANAK MUDA? BAGAIMANA IA MEMPENGARUHINYA?
Ya, pengaruhnya banyak sekali terutama dalam cara pandang terhadap tatanan. Media sosial punya kecenderungan mengabaikan atau menggugat hirarki. Siapapun bisa berkomentar tentang apapun dalam posisi setara. Kehidupan sosial dengan kata lain lebih lugas dan transparan, tidak dibatasi atau dibungkus oleh bermacam-macam selubung seperti sebelumnya.
anonimus
“youth fenced in, stabbed and shaven, taught words propped up to die.”
(Charles Bukowski, Burning in Water, Drowning in Flame)
A
nak muda dipagari, ujar penyair Jerman-Amerika ini. Bahkan tidak hanya dipagari, tapi juga ditusuk dan digunduli, diajarkan kata-kata, ditopang untuk mati. Entah tepat apa tidak terjemahan mentah tersebut, tapi sejauh ini Bukowski adalah penulis dengan gaya tutur yang cukup telanjang. Semoga ini tidak benar, tapi jika ini benar, sebenarnya berbagai analisis soal mengapa anak muda tidak kritis seharusnya sudah terjawab. Jawabannya, anak muda memang dibuat untuk tidak kritis. Bahkan mungkin, “dimatikan.” Pikiran saya melayang ke Leningrad, awal dekade 1980’an. Pemerintahan represif Uni Soviet sekarat. Masyarakat perlahan-lahan muak dengan stagnasi ekonomi negaranya dan bosan hidup di tengah ancaman Perang Nuklir terus menerus. Perlahan-lahan, ide perlawanan mulai muncul di tengah masyarakat. Pertanyaan berbahaya yang tadinya hanya tersirat mulai berani disuarakan. Amarah masyarakat butuh simbol – dan tidak ada yang lebih pas dari musik rock. Band-band rock dan punk seperti Akvarium, Kino, dan Automatic Satisfiers muncul, memainkan musik baru yang terasa bak angin segar bagi generasi baru anak muda yang tak lagi percaya propaganda pemerintah tentang “masa keemasan” Uni Soviet. Band-band ini memiliki kesadaran sosial tinggi, berani berinovasi dengan musiknya, dan tak takut menjadi beda.
Langkah yang ditempuh otoritas Uni Soviet untuk menghadapi potensi ancaman baru ini menarik. Jika band-band rock ini dibungkam paksa, mereka akan menjadi pahlawan dan semakin dipuja-puja. Tidak, harus ada strategi lain. Uni Soviet memutuskan untuk berbuat sebaliknya – mereka membuka diri pada rock. Leningrad Rock Club dibuka. Sebuah klub megah nan nyaman tempat band-band rock yang serba perlawanan ini bisa bermain, berkumpul, dan bercengkrama dengan penggemarnya. Label musik milik negara, Melodiya, menawarkan kontrak rekaman pada mereka. Beberapa band diundang bermain di acara televisi, bahkan diminta berpartisipasi sebagai penampil di parade Victory’s Day, perhelatan akbar negara. Namun, eksposur ini bukan tanpa syarat. Band-band ini sudah terlebih dahulu disensor, diaudisi secara ketat, dan dikemas agar lebih ramah publik. Sementara, band-band yang terlalu politis atau tak mau menurut diusir begitu saja dari peredaran dan hanya hidup sebagai band pinggiran yang tak mungkin mendapat perhatian masyarakat.
Rupanya, cara mematikan perlawanan tidak selalu dengan cara kekerasan. Ada cara yang lebih halus tapi berbahaya: Berikan ruang bagi para pelawan untuk berekspresi, namun kendalikan ruang tersebut secara diam-diam. Kemarahan mereka tersalurkan, ego artistik mereka terkendali, penonton senang, tapi tidak ada perubahan yang benar-benar nyata di luar sana. “Tidak ada yang percaya bahwa sistemnya telah berubah,” keluh Boris Grebenshchikov, penyanyi Akvarium. “Maka mereka berpikir, pasti kita yang telah berubah.” Arwah Bukowski kembali lagi: “Anak muda dipagari; ditusuk, digunduli. Diajarkan kata-kata, ditopang untuk mati.”
Atau mungkin, jangan-jangan, anak muda sendiri yang tanpa sadar sudah membangun pagar superluas yang membuatnya seolah-olah bebas bergerak, melompat, dan berekspresi; padahal semuanya dilakukan di balik pagar nan nyaman? Jadi, masih perlukah mencari tahu kenapa anak muda tidak mau tahu?
Mungkinkan ini juga sedang terjadi pada anak muda hari ini? Mereka diam-diam dipagari. Bukan lagi dengan kokangan senjata seperti di era Orde Baru. Bukan juga dengan pemagaran aktivitas anak muda lewat OSIS atau BEM. Apatisme yang mengakar kuat sejak zaman sebelumnya sepertinya sudah tumbuh menjadi sulur-sulur pohon yang membentuk pagar kokoh. Kalaupun masih ada sisa-sisa kepedulian, ia dipagari juga dengan cara berbeda. Bila dulu amarah anak muda dipusatkan lalu dikendalikan, kini kita dipecah-pecah. Dari ada satu musuh besar, jadi seolah ada seribu musuh kecil. Sehingga ujung-ujungnya, kekuatan kita pun berubah dari satu kekuatan besar menjadi seribu kekuatan kecil yang seolah tak saling berkaitan dan berhubungan.
>> >>
pam flet. or.id