Pijarzine #1 Perpustakaan Pijar Blitar
1
Pijarzine #1
PIJARZINE #1 Tim Perpustakaan Pijar Tata Letak: Senartogok Penyunting: Kelana Wisnu Publikasi Pijar 2016 ©opyleft https://perpustakaanpijar.wordpress.com Perpustakaan Pijar Blitar
2
Pijarzine #1
EDITORIAL “Ratusan ribu huruf terbubuh, dua puluh ribu kata menyimpan beragam asa dengan bermacam gaya bahasa. Ragam tulisan tergores, ragam kata ditata, entah itu ode, serenade, maupun elegi. Semuanya hanyalah kata bisu yang bertalu melawan rindu akan kehidupan yang semu. Sebelum ia menjumpai mati yang selalu membisu.� Menulis kata pembuka di zine ini adalah pekerjaan menyambut fajar. Diselasela waktu itu Pijar telah rampung. Berapa malam yang terlewat sudah tak terhitung. Walaupun, kegiatan membuat zine adalah hal yang wajar, namun saya merasa ini sangat ganjil. Perasaan yang menyelimuti ini tak dapat digambarkan, entah senang, atau malah sebaliknya. Ini sungguh asing bagi saya. Seolah semua tiba pada waktunya tanpa dijemput atau dipaksa. Walaupun mengungkapkan rasa itu hanya soal merangkai kata, namun kebiasaan itu telah lama saya tinggalkan hingga akhirnya saya lupa dan tidak dapat mendefinisikan perasaan ganjil yang dirasa. Anggap saja saya sangat bergembira! Sejak gugurnya sahabat Luwi di buku Mang Luwi karya Lukman Hakim yang kita baca pada minggu lalu pada saat itu pula salah satu misi Pijar yang paling sederhana yakni “membudayakan kembali membaca� telah gugur. Walaupun misi itu tidak akan pernah selesai namun yang terpenting kita sudah mulai kembali membaca. Lalu, setelah membaca ada satu misi lagi yang ingin kita capai yakni menulis. Setelah kegiatan itu saya meminta beberapa teman menulis tentang apapun untuk diabadikan dalam zine yang akan kalian nikmati ini. Pagi ini (4/2/16) semua tulisan telah terkumpul dan semuanya adalah barisan pemukul yang membuat saya tersendu-haru. Misi yang kedua pun gugur, akhirnya semua karya itu bersemi, dan akhirnya saya tahu: saya tahu saya tidak sendiri! Tinggal selanjutnya kita bersama-sama melanjutkan kegiatan ini. Terima kasih kepada semua kontributor dan layouter yang telah menanggapi rengekan saya untuk menyumbangkan tulisannya dan membantu saya. Lalu tak lupa saya mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu terwujudnya Pijar, dan menjadi pijar itu sendiri. Dan pada akhirnya kita hidup lagi setelah melawan kebisuan mati dengan rindu yang bertalu-talu. -Kelana Wisnu Perpustakaan Pijar Blitar
3
Pijarzine #1
Pijar, Maka jadilah Pijar!
Dunia dicipta dalam enam hari. Adalah bahasa Tuhan diikuti segala kebisingan: "jadilah itu.. jadilah ini.." Maka jadilah semua beserta nama-nama, yang pula menamai hari-hari. Urutan yang menyingsing sebelum tenggelam. Satuan hari yang selalu menghadap akhir pekan. Bukan kebetulan, apabila Perpustakaan Pijar bergerak di hari Minggu, selepas hari ketujuh yang tenang telah ditelan petang. Lalu pagi kembali bagi orang-orang dengan sebatas daya manusia namun mantap langkahnya mendatangi pusat kota dengan keyakinan: "maka jadilah pijar!" Perpustakaan Pijar Blitar
4
Pijarzine #1
Minggu pagi itu aku terbangun mendadak ingat ucapan kawan lama: tidak ada revolusi di hari Minggu. Ingin rasanya tidur kembali dan mempererat lilitan selimut tapi mengingat keharusan mengantar kakek ke Gereja dan menjemputnya. Memang tak ada revolusi, pula tak ada itu namanya revolusi dalam selimut. Harus tega menurunkan kaki, segera menapak dinginnya lantai pagi. Lagipula, selain tugas antar-jemput, aku ada janji lain. Janji yang bila tak ditagih pun terasa sayang bila tak ditepati. Sebenci aku dengan lantai yang dingin, lebih sayang aku akan hal-hal kecil yang tampak baru dan menyegarkan. Aku berangkat ke pusat kota dan menyimpan seru: revolusi bisa dipersiapkan sejak hari minggu! Janji itu berupa gelaran perpustakaan jalanan yang bisa jadi adalah sebentuk revolusi mental —istilah yang populer belakangan ini. Meski tak sedikit yang berpikir semua orang perlu direvolusi-mental kecuali dirinya. Aku rasa kehadiranku pada acara ini justru karena aku salah satu orang yang perlu direvolusi itu, yakni menumbuhkan minat baca dimulai dari diri sendiri. Gerakan ini dikenalkan seorang kawan baruku, seorang pendirinya, dinamakannya Perpustakaan Pijar. Perpustakaan Pijar menggelar lapak bacaan gratis untuk dibaca di ruang publik, seperti di Alun-Alun Blitar yang kuhadiri pada Minggu (31/1/2016). Tidak hanya menyediakan buku saja, telah ada sekumpulan kami yang saling bertukar nama dahulu, maklum masihlah penjajagan komunitas, yang kemudian ke depan bukannya tak mungkin menjadi arus deras saling tukar pikiran. Adalah kami yang khidmat menyimak dan membaca bergantian sebuah buku terbitan Pustaka Jaya. Mang Luwi judulnya. Suatu cerita yang berlatar Sunda. Cerita Mang Luwi belum selesai kami baca ketika toa pada menara Masjid Agung membacakan hal lain dari sudut pandang Tuhan. Pembacaan kami memang payah. Ada banyak tanda seru yang dibaca datar. Ada banyak dialog yang kehilangan dialognya ketika kami bacakan. Tak jauh beda dengan toa itu, yang melulu mengalunkan nada-nada yang indah: apakah yang dibacakan adalah kata-kata Tuhan nan lembut atau kata-kata yang mengancam. Bisa jadi pula ayat-ayat yang sedang dibacakan saat itu berbicara tentang kemiskinan, yakni tema yang sama yang coba diangkat dari cerita Mang Luwi. Ya, bisa jadi kita semua sama-sama sedang membacakan kemiskinan. Tapi, untuk siapa? Ya tak lain untuk kuping masing-masing yang menyimak. Setelah pembacaan lalu apa? Aku tak tahu. Membaca kemiskinan memang bisa dari mana pun. Membacanya dari kitab suci, dari sebuah buku tipis yang kami baca bersama, dari koran yang telah dijajakan berkeliling ke seluruh penjuru kota dan tak kunjung ringan dalam dekapan loper koran, dari peminta-minta yang renta, dari orang sakit yang terasing dari rumah sakit, sementara di pasar minggu seorang anak kecil duduk bersimpuh sedang menjual kerupuk. Ada cerita kemiskinan yang tercetak Perpustakaan Pijar Blitar
5
Pijarzine #1
dalam kertas menjadi kata-kata yang bisa kita eja, namun lebih banyak yang tidak. Ada seorang bocah yang kuyup oleh debu namun cukup antusias melihat-lihat buku utamanya yang bergambar. Ia mengambil satu buku yang paling besar dan tebal, hard cover, bergambar dan berwarna, dan berbahasa Inggris. Dibukanya halaman per halaman. Aku tidak tahu apakah dia menguasai Bahasa Inggris, ataukah pertanyaannya seharusnya diganti begini: apakah dia sudah lancar membaca? Sayang sekali tak banyak buku untuk seusianya. Tak sempat aku tanyai bocah itu: sekolah atau tidak; bila sekolah, apakah di sekolahnya ada perpustakaan; bila ada perpustakaan sekolah, bacaan apakah yang tersedia di sana; dan seterusnya. Sementara tidak sulit untuk menemui sekolah (utamanya sekolah dasar) tanpa perpustakaan, atau bila ada yang hanya sekedar ada. Padahal akses terhadap bacaan kategori anak usia pendidikan dasar sangat krusial bagi tumbuhnya minat baca sedini mungkin. Daripada menjejali murid dengan lembar kerja untuk diuji benar salahnya pada kunci jawaban, selayaknya hidup adalah soal pilihan ganda. Memang kita tak bisa membebankan ini pada perpustakaan sekolah saja, justru keluarga sebenarnya berperan besar dalam menumbuhkan minat baca pada anak-anak. Namun kita tahu bahwa rumah tangga kelas ekonomi menengah-bawah sebagian besar pengeluarannya untuk kebutuhan pangan. Membeli bacaan anak adalah suatu kemewahan. Terlalu kompleks. Permasalahan seperti ini lambat laun akan dihadapi juga oleh Perpustakaan Pijar sebagai gerakan yang sedikitnya turut mengurai kompleksitas dengan membawa bacaan mendekati siapapun, termasuk anakanak. Tujuan menggalakkan minat baca bukanlah hal yang mendakik, justru karena tujuan seperti ini memang tak pernah selesai kecuali hidup menyelesaikan dirinya, yakni suatu ketika dunia membuat dirinya buta dan manusia tak lagi mampu membaca kegelapan. Mari kita nikmati saja selagi membaca itu nikmat. Selagi hidup tak bosan menyediakan dirinya untuk dibaca. Selagi terang dan selagi kita bisa menempa gelap menjadi pijar. Maka jadilah pijar. -Praba Nindita
Perpustakaan Pijar Blitar
6
Pijarzine #1
Saya Terbakar Amarah Sendirian 1
Hai, apa kabar? Kalian pasti tidak tahu siapa saya, saya pun baru tahu siapa diri saya akhir-akhir ini. Ah, bagaiamana diri ini, memang pemalu adalah sifat yang saya bawa sejak kecil, maka dari itu saya menyembunyikan identitas asli. Namun bolehlah sedikit narsis, saya akan memberi bocoran atau petunjuk tentang siapa diri ini. Saya sering disebut sebagai orang yang berada di balik Perpustakaan Pijar. (Hah? Buku dong!) Bukan! Peknu. Bagi orang-orang yang dekat pasti familiar dengan nama itu. (Ah sok terkenal!) Biarlah! Cukup ya 1 Meminjam judul buku hasil wawancara Andre Vltchek dan Rossie Indira dengan Pramoedya Ananta Toer. Diterbitkan tahun 2006 oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Perpustakaan Pijar Blitar
7
Pijarzine #1
tebak-tebakannya saya lanjutkan ceritanya saja. Sungguh. Nama asli saya memang Broto Nugroho, meskipun nama itu adalah merger (emangnya bank!) nama lahir dan nama kecil saya. Saya memang seorang pemalu, ehm. Jika anda pernah melihat saya memalukan bukankah itu tetap malu? Sudahlah jangan ikut tertawa. Saya tidak mau membuat belut yang bersemayam di permukaan perut anda tersiksa oleh getaran yang timbul karena tertawa. Sudah! Saya bilang apa? Tidak usah tertawa. Saya memang lucu. Saya tahu itu. (Oh Tuhan mengapa makhluk ini narsis sekali?) Oke, suasana sudah kondusif ‘kan? Kalau sudah, Broto terusin nih ceritanya. (Brot? Gak enak banget! Kaya sound efek keluarnya feses!) Sudah dong, ini waktunya serius! Saya Terbakar Amarah Sendirian!! Akhirnya anda bertahan memperhatikan setelah melihat ulah saya yang sedikit waras barusan. Memang ketika amarah merajai diri itulah yang terjadi, saya seperti orang gila, tolol, dan tidak bisa mengenali diri sendiri. Mungkin itu adalah bawaan sejak lahir, tapi saya syukuri nikmat itu walaupun getir. Berbicara tentang terbakar, pasti ada sesuatu yang menyulut. Seperti itulah yang terjadi pada diri saya. Saya terbakar ketika melihat sesuatu gaya yang memacu untuk bergerak. Seperti yang kita ketahui menurut hukum Newton III “jika suatu benda memberikan gaya pada benda lain maka benda yang dikenai gaya akan memberikan gaya yang besarnya sama dengan gaya yang di terima dari benda pertama� Tapi yang saya rasa amarah itu membakar diri saya saja, tidak dengan yang lain. Ya, melihat perkembangan dan kemunduran kota lahir saya: Blitar adalah hal yang membuat saya terbakar. Jika diibaratkan sebagai seorang ibu, maka Blitar memiliki rahim yang melahirkan anak-anak yang kelak akan berguna bagi nusa dan bangsa. Yang saya tahu raja-raja dari Kerajaan Kediri-Singosari-Majapahit banyak yang memilih Blitar sebagai tempat peristirahatan terakhir mereka. Entah mengapa mereka memilih daratan yang sejarahnya masih misterius ini. Dewasa ini orang memilih atau dipilihkan makam atau tempat peristirahatan terakhir di tempat dimana mereka lahir atau suatu tempat yang memiliki ikatan emosionil, berarti sangat mungkin raja-raja itu dilahirkan di Blitar ataupun memiliki cerita khusus di daratan ini. Bukankah budaya diturunkan, dan bukankah pemakaman, ritual, pemilihan, tempat itu termasuk budaya? Entahlah hanya setan yang tahu. (Loh kok bukan Tuhan?) Karena kita adalah masyarakat yang sesat sejarah, maka saya meyakini itu adalah pebuatan setan, karena tugas mulia seorang setan adalah menyesatkan manusia. Hahahaha. Hail Satan! Agar mudah untuk menghubungkan dengan apa yang saya tulis maka kita anggap saja mereka– para raja lahir di Blitar. (Loh kok seenaknya begitu! Ini namnya penyesatan sejarah!) Memang, karena saya adalah anak rohani Setan, ya tugas saya termasuk menyesatkan dong! (Lagian artefak berupa candi dan Perpustakaan Pijar Blitar
8
Pijarzine #1
prasasti sudah banyak yang ditemukan, cari tahu buktinya dong! Jangan hanya menyesatkan!) Males, mendingan nonton pagelaran multikultural di Penataran daripada nengok apa isi prasasti atau reliefnya. (Woooh, dasar Rahwono!) Wah, kamu tidak tahu sejarah ya? Saya juga bernama Wisnu, Rama yang melawan Rahwana adalah titisan Wisnu. Jelas saya adalah Rama walaupun tak jelas siapa Sintanya. Ya ampun saya larut lagi karena terbakar amarah. Maafkan, memang begitulah saya. Alter-ego saya terlalu kuat, berikutnya saya akan mencoba menghiraukannya. Mari kita lanjutkan. Kembali lagi kepada Blitar sebagai seorang ibu bagi para raja. Saya lebih memilih kalimat itu karena terlalu menyeramkan jika menganggap Blitar adalah makam para raja. Dan mungkin sedikit terkesan meniru Lembah Para Raja, Mesir. Lalu jika saya adalah anak rohani dari rahim yang sama yakni Blitar, apa yang sudah saya lakukan? Seorang anak yang telah disusui dan dibesarkan oleh seorang ibu pada waktunya pasti akan meninggalkan ibunya untuk menggapai cita-cita dan kembali pada pangkuannya ketika semua cita telah tercipta. Namun apa? Saya hanyalah anak durhaka yang tidak memberikan suatu yang membanggakan kepada sang ibu dibandingkan anak-anak rohaniah yang masih seumur dengan saya. Itulah yang membuat saya tidak bisa tidur karena terbakar amarah sendirian. Karena amarah itu menjadi iri dengki jadi saya mencoba melakukan tindakan licik dengan mewawancarai anak-anak yang telah membanggakan sang ibu agar saya bisa mencuri tips bagaimana caranya membanggakan Blitar. Hasil dari wawancara itu saya tulis di sini agar kalian bisa membacanya dan ikut terbakar amarah bersama diri saya! Salam hangat dari setan yang senantiasa membujuk manusia menuju kesesatan abadi dan membawanya ke neraka untuk terbakar bersama selamanya. “Tempat tergelap di neraka dicadangkan untuk mereka yang tetap bersikap netral ketika krisis moral.� –Dante Alighieri
Perpustakaan Pijar Blitar
9
Pijarzine #1
IKILHO! 2
Perkenalan Halo para pembaca yang budiman, sebelumnya saya ucapkan terimakasih buat saudara Broto Nugroho yang sudah susah-susah membuat interview ini, oya perkenalkan nama saya Taufan Prima Ardiansyah teman-teman sering memanggil saya Topan, saya adalah pembuat kanal youtube “IKILHO!”, saya juga memproduseri sebuah program musik oldies bertajuk “Classic Play” di salah satu stasiun TV lokal Blitar, saya juga aktif sebagai biduan tunggal di band punk abal-abal bernama Bully Brat yang barusan rilis album beberapa bulan yang lalu. Nah, kembali lagi ke awal “IKILHO!” adalah sebuah kanal alternatif yang saya buat di youtube, didalamnya saya mengunggah studio session live dari beberapa musisi lokal khususnya Blitar. Masih ada satu band 2 Wawancara dengan Taufan Prima Ardiansyah dilakukan via surat elektronik. Pertanyaan dikirim pada tanggal 25 Desember 2015 pukul 16.26 W.I.B dan jawaban diterima pada tanggal 26 Desember 2015, pukul 16.35 W.I.B. Jadi hal itu mengakibakan beberapa hal yang sudah dilakukan dalam rentang waktu setelah tanggal tersebut tidak dapat terekam dalam wawancara ini. Saat ini “IKILHO!” sudah mengunggah video Flowerless – True Love is Mine di kanal youtubenya. Perpustakaan Pijar Blitar
10
Pijarzine #1
yang kami unggah di youtube, yakni Kill Your Stereo (Pop Punk), selanjutnya kami akan mengunggah lagi beberapa perfoming live dari Flowerless (Indie Pop), Last Train To Heaven (Metal), Nobodies Perfect (Pop Punk) dan band atau solois lainnya. Nampaknya akan banyak lagi band yang akan di unggah karena respon teman-teman sangat positif, dan mereka banyak yang mengulurkan tangannya secara sukarela untuk memajukan musik Blitar. Apa saja yang di kerjakan di “IKILHO!”? IKILHO! mengerjakan sebuah studio session yang dikemas ke dalam sebuah video dan diunggah di situs youtube, atau bisa di copy di komputermu, atau bisa juga disebarkan lewat blutut di HPmu. Ide awal atau latar belakang pembuatan “IKILHO!”? Sebenarnya ide ini sudah dari dulu ya, karena keterbatasan alat dan dana jadi ide ini dilaksanakan akhir-akhir ini. Bermula saat band saya "Bully Brat" latihan di studio musik Merapi, saya bertemu Kampes pemilik studio lalu saya membicarakan tentang konsep saya tentang studio session yang dibuat video, Kampes pun menyetujuinya, lalu saya mencari band untuk project pertama ini disepakatilah bandnya Fahmi yaitu Kill Your Stereo sebagai bahan percobaan istilah jawanya try and error. Sesudah disepakati tanggal produksi lalu saya mencari pinjaman kamera dan properti kesana kemari karena saya tidak punya kamera dan properti pendukung "semua serba pinjaman" hehehe. videonya bisa dilihat di youtu.be/3UQNx8Ep5XM Untuk sementara program ini sebatas akustik karena keterbatasan alat, untuk rencana kedepan saya dan Kampes juga Amar akan membuat program acara ini menjadi full band session. IKILHO! ini tidak terpatok genre, jadi siapapun entah itu band atau solois boleh ikutan, disamping itu saya tekankan sementara program ini tidak “beruang" jadi buat band atau solois yang ingin mengisi program ini diharap sabar dan mengantri, yaaah.. kendalanya karena tadi saya sebutkan diatas ada keterbatasan, yaitu alat, dana, properti dan SDM. Memang untuk mengawali suatu ide memang susah dan perlu ngotot, tapi harapan saya “IKILHO!” kelak menjadi besar. Dan saya ucapkan banyakbanyak terimakasih buat teman-teman yang sudah menyumbangkan tenaganya : Kampes, Benny, Fahmi, Amar, Bagus, Nafta, Sendy, Delpi, dll. Filosofi nama “IKILHO!”? Mengapa memilih nama tersebut? Pertama saya bingung mau kasih nama apa buat acara ini, mikirin ini selama Perpustakaan Pijar Blitar
11
Pijarzine #1
semingguan, banyak kata yang terngiang di telinga buat judul acara dan skip skip skip lalu tercetus nama IKILHO! yang berarti "INI DIA". Nama IKILHO! saya ambil dari bahasa jawa karena saya tinggal di Blitar dan berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Filosofi IKILHO! mempunyai banyak makna antara lain bisa seperti : iki lho Blitar, iki lho acaraku, iki lho bandku, iki lho karyaku, iki lho laguku, iki lho videoku, iki lho aku, iki lho aresemenku, iki lho suaraku, dan iki lho - iki lho lainnya. Makna nama IKILHO! mungkin lebih terkesan pamer ya? hehehehe.. ah tidak apa-apa karena menurut saya "karya meskipun bagus atau jelek patut untuk dipamerkan" tergantung orang yang menilai. Visi “IKILHO!"? Memajukan musik Blitar meskipun cuma maju nol koma sekian persen Harapan untuk kawan-kawan Blitar? Harapan kedepan semoga kawan-kawan lebih bisa mengembangkan karyanya bukan di musik saja, tapi juga di bidang yang lainnya, dengan itu pasti Blitar bisa jadi lebih berwarna (tidak cuma ikut-ikutan yang lagi ngetrend saja, eh!) Pesan kepada para kawan? Buatlah ciri khasmu sendiri Tambahan Jika ingin menyaksikan IKILHO! kunjungi kanal saya: Taufan P. Ardiansyah atau search di youtube dengan kata kunci: IKILHO! buat yang gak kuat wafer bisa hubungi saya: @topantrevor (berlaku untuk instagram dan twitter), terimakasih sudah membaca.
Perpustakaan Pijar Blitar
12
Pijarzine #1
GREEDY DUST RECORDS 3
Perkenalan Karena subjek atau narasumber yang saya wawancarai ini adalah seorang yang pemalu atau mungkin lebih tepat dikatakan rendah diri maka ia tidak mau mengenalkan dirinya secara personal. Mungkin penulis akan mengenalkannya. Walaupun dengan cara tersebut mungkin anda tidak dapat mengenalnya secara utuh karena keterbatasan penulis. Namun di kesempatan lain anda bisa berkenalan secara langsung dengannya. Delpi Suhariyanto, pemuda 19 tahun yang tengah menjalani kuliahnya di salah satu perguruan tinggi ternama di Bandung itu adalah sosok seumur yang menginspirasi penulis. Di tengah kesibukannya sebagai mahasiswa ia mengurus Band, Records Label dan Records Store yang memiliki tujuan mulia yakni mewadahi dan mendukung band-band lokal dan movement di Kota Blitar. Gagasan yang ia bangun tidak hanya menjual namun memberikan, kita dapat melihatnya dari sepak terjang “Greedy Dust� (nama records label miliknya) yang bisa dibilang gaspol. Blitar membutuhkan setidaknya 10-100 orang pemuda seperti ini agar menjadi daratan yang produktif dan aktif. Sekian, selanjutnya kita simak saja langsung jawaban yang ia berikan. Mari ikut terbakar! Ide awal atau latar belakang pembuatan Greedy Dust? 3 Wawancara dengan Delpi Suhariyanto dilakukan via obrolan di media sosial. Dilakukan mulai pukul 18.31 – 18.58 W.I.B pada tanggal 25 Desember 2015. Perpustakaan Pijar Blitar
13
Pijarzine #1
Saya melihat Blitar sebagai Kota yang memiliki banyak potensi yang belum terwadahi sebut saja Deluded, Vicious Divine, No Love, Flowerless, dan yang baru baru ini muncul ada kolektif stoner Phill. Dan Greedy Dust ada dengan harapan bisa membantu teman teman tersebut untuk terus berkarya. Bentuk bantuan yang kami lakukan bermacam-macam: mulai dari membantu menjadi media partner, merilis band-band tersebut, hingga bantuan komersil. Besar atau kecilnya bantuan yang kami berikan, kami berharap bahwa bantuan itu bisa menjadikan kejut atau pendorong mereka untuk terus berkarya. Filosofi nama Greedy Dust? Mengapa memilih nama tersebut? Terus terang waktu itu nama yang terlintas di otak cuma Greedy Dust doang haha, dan dirasa rasa ternyata cukup nyaman diucapkan. Kalau di tanya filosofi mungkin Kata Greedy yang berarti serakah bisa dikaitkan dengan pihak-pihak yang mencari uang dan memperkaya diri sendiri secara berlebihan. Lalu disambung dengan Dust yang berarti debu yang jikalau dikaitkan dengan keserakahan memiliki filosofi debu yang menimbulkan penyakit. Meskipun ukurannya kecil namun ketika memasuki tubuh seseorang ia bisa menimbulkan penyakit, seperti keserakahan itu kecil namun jika seseorang sudah terkena penyakit kecil tersebut ia akan menjadi sangat mengerikan. Dan kami ada untuk melawan itu! Visi Greedy Dust? We dedicated our effort to support local independent movement and local badass musician. Harapan dan pesan untuk kawan-kawan? Bisa lebih produktif dalam berkarya dan lebih pede dalam artian tidak mengesampingkan kualitas karya yang diciptakan Kalian bisa datang langsung untuk sekedar ngobrol ke toko Greedy Dust di jalan Veteran no. 53. Karena penulis meramalkantoko mungil itu akan menjadi alternative-space yang akan membawa Blitar gilang-gemilang, suatu hari nanti. Jadi tunggu apalagi?
-Kelana Wisnu Perpustakaan Pijar Blitar
14
Pijarzine #1
Blitar Sekarang, Sekarang Blitar!
Tidak bosan rasanya bercerita dan mengabadikan kota tercinta ini dengan berbagai susunan kata ataupun sekedar update dan upload di sosial media. Blitar, memang terasa nyaman, tidak ada macet, kemana-mana deket dan makanan murah (pada umumnya). Tentunya juga udah pada hafal titik-titik kuliner dan ngopi yang murah dan nikmat itu dimana, dan tentu saja semua itu tergantung selera. Blitar sekarang, terasa sedikit berbeda dengan yang dulu, Blitar yang sepertinya “dipaksa� untuk sedikit modern agar seimbang dengan kota sejenis, dan tentu saja modernitas ini diharapkan dapat memperoleh pengakuan entah dari siapa dan untuk siapa, yang semoga saja tetap berimbang sisi positif dan negatifnya buat kota kecil tercinta ini. Blitar sekarang, semarak dengan menjamurnya ruko, toko waralaba modern, dan berbagai modernitas jajahan yang entah datang darimana. Bagaimana nasib Usaha Kecil Masyarakat (UKM) Blitar kalo laju pembangunan Ruko dkk. ini tidak dapat dibendung. Mana ruang terbuka hijaunya? Mana pohon-pohon yang rindang dan bersih dari beantara iklan yang mengganggu pemandangan? Mana ruang bermain untuk anak-anaknya? Karena sekarang semua serba online dan serba praktis, anak-anak lebih suka maen Play Station (PS) ataupun maen game online di warnet, udah sangat jarang kita temui anak-anak yang maen bola di lahan kosong, maen kelereng ataupun maen gobak sodor, karena ruang bermain udah mulai punah. Jarang juga kita temui Sepakbola Tarkam (antar kampung) di lapangan-lapangan desa yang dulu selalu ramai oleh penonton, udah tergantikan dengan turnamen-turnamen futsal di lapangan tertutup. Beberapa memang udah pudar, tidak seperti dulu lagi, karena memang semua akan berkembang pada waktunya. Blitar, semoga saja tetap asli dan asri seperti dulu, semoga tetap berimbang antara modernitas dan pelestarian keasliannya, tentu saja ada pihak yang ahli dalam mengurusi ini, saya hanya mengamati, mengomentari dan menulis apa Perpustakaan Pijar Blitar
15
Pijarzine #1
yang saya komentari tadi dalam suatu wadah sharing berbentuk tulisan. Akan sangat senang kalo ada tanggapan, saran atau ajakan untuk ngopi dan ngobrol. Jadi mari saling berbagi, berbagi kopi mungkin, karena Blitar juga mulai menjamur cafe buat ngopi dan cangkruk, ya semoga muda-mudi Blitar tidak menjamur juga budaya cangkruknya haha.. Salam!!
30 tahun nanti..
Umur tidak mendefinisikan sebuah generasi, karena pada akhirnya tanggal dan tahun lahir adalah sebuah kebetulan kosmik Ini adalah saat di mana kemungkinan-kemungkinan menjelang masa tua sudah mulai terlihat. di mana lebih banyak kita lihat laki-laki dan perempuan berbaju rapi yang lebih banyak menundukkan kepala, memandangi layar kecil untuk mengukur seberapa dangkal layanan berita online mengurus berita cerai dan fetishisme akan girl dan boyband. Dan jika tersangka korupsi sekarang menjadi semakin muda dan tepat ada di usia tiga puluhan, ini merupakan aib besar buat mereka yang seharusnya tidak peduli dengan apakah kita harus menjadi kaya atau bukan? Bagaimana jika pilihan untuk generasi 30-an sekarang adalah untuk berjalan lebih pelan. Bangun siang, membaca buku lebih sering, menikmati musik dan lebih banyak berdiam dan berpikir. Bagaimana jika kita mulai berhenti menjadi konsumen dan mulai menjadi produsen. Menulis, bermain musik, bermain-main dengan ide-ide kreatif di industri kreatif. Bagaimana jika kita berhenti mengeluh –di sosial media, di jalanan, di televisi– dan mulai menjadi altruis? Mengajar di sekolah miskin atau membantu band band lokal menjadi semakin dikenal misalnya? Kutipan keren dari Artikel di Jakartabeat.net Oleh Taufiq Rahman.
-Mangantelo Perpustakaan Pijar Blitar
16
Pijarzine #1
Persimpangan Jalan Dimana Kita Berbicara Dengan Kepalan I’m all lost in supermarket I can no longer shop happily I came in here for that special offer A guaranteed personality The Clash – Lost In The Supermarket Alarm itu membangunkanku dari mimpi aneh berkencan dengan anak jin. Jam sudah menunjukkan pukul satu pagi. Dengan sedikit malas aku bangun dari tempat tidurku. Aku meraih tas yang memang telah kusiapkan sejak siang tadi. Aku memandang sweater lusuh yang tergeletak di sudut kamarku. Aku tahu, aku tidak akan gentar dengan udara dini hari. Budaya begadang dan beberapa kali bekerja pada shift malam telah membuatku terlampau congkak jika sekadar harus berhadapan dengan udara dingin. Ah, tentu saja ini bukan perkara daya tahan tubuh. Aku memungut sweater itu. Sweater kebanggaanku yang kudapat dari sebuah pasar loak lima belas tahun yang lalu. Entahlah, aku sungguh merasa nyaman saat benda usang ini membalut tubuhku. Perlahan, aku mengeluarkan sepeda dari dalam ruang tamu. Tentu saja ruang tamu, aku tidak memiliki garasi di rumah kontrakan ini. Semoga saja tidak ada yang terbangun dengan kegaduhan setang sepeda yang beberapa kali membentur meja dan kursi.
Perpustakaan Pijar Blitar
17
Pijarzine #1
Aku mulai mengayuh sepedaku. Seperti biasa, telingaku telah tersumpal earphone. Aku begitu menikmati keheningan kota ini. Kota ini memang tidak terlampau ramai, hanya saja keheningan pagi seperti ini selalu mampu menawarkan sensasi transendensi yang mustahil aku ingkari. Tiga lagu berselang, aku menghentikan perjalananku di salah satu sudut kota. Aku mengamati sejenak, sepintas tidak lagi ada ruang kosong di tembok itu. Sial! Semua sudah penuh sesak. Aku menemukan sebuah celah kecil. Sepertinya cukup untuk sekadar mencoret sebuah logo. Biarlah, daripada tidak sama sekali. Lagipula aku akan membuatnya dengan ukuran yang lebih besar, walaupun aku harus menimpa sebagian karya di sebelahnya. Tentu saja aku tidak peduli. Tidak lama waktu yang kubutuhkan untuk menuntaskan stensilan ini. Ah, mungkin ini yang dikatakan oleh Bu Sri, guru Bahasa Indonesia ku semasa SD, sekali dayung dua tiga pulau terlewati. Sekali vandal, dua entitas aku nodai. Tembok putih sudah pasti ternoda, tetapi entah kenapa, aku merasa lebih puas ketika melihat stensilan ini juga menimpa sebagian karya di sebelahnya. Aku masih terduduk di seberang jalan. Mengamati coretan yang baru saja kutorehkan, sambil sesekali membasahi kerongkonganku dengan sebotol air mineral yang selalu kubawa kemana-mana. Aku tersenyum kala membayangkan bagaimana sang pemilik karya yang coretannya kutimpa. Aku bahkan tidak peduli dengan reaksi pemerintah kota yang pasti akan berang dengan bertambahnya coretan provokatif. Aku lebih tertarik dengan amarah yang mungkin saja sulit terkendali dari pemilik coretan lain tadi. Aku memandangi dinding itu lagi. Aku merasa tidak asing dengan hiasan dinding yang baru saja aku nodai. Desain, gaya bahasa dan inisialnya mengingatkanku pada sosok tertentu. Ya. Tidak salah lagi. Aku telah merusak salah satu karya kawanku sendiri. Kawan? Ya benar, bagaimanapun orang tersebut tetaplah berstatus kawan, tentu saja dengan alasan sederhana : kami saling mengenal satu sama lain. Remember yesteryear When we ruled the scene Without a care in the world And nothing to pretend? The Gamits – Last Of The Mullets Lagu itu mengalun dengan cukup lantang melalui earphone yang masih saja aku sumpalkan di kedua telingaku ini. Lagu ini selalu mampu mengantarku kepada sebuah gerbang besar bernama nostalgia. Entahlah, mungkin liriknya, mungkin juga memang kenangan yang aku alami kala pertama mendengarkan lagu ini sekian belas tahun lalu. Aku masih memandangi coretan kawanku yang aku nodai. Aku tak kuasa menahan tawa saat membayangkan reaksinya nanti. Seorang punk berusia kepala tiga yang meradang. Kemudian seluruh Perpustakaan Pijar Blitar
18
Pijarzine #1
pengikutnya, yang gayanya begitu pedih di mata, akan ikut memasang tampang garang karena mahakarya milik pimpinannya ternoda. Semakin aku membayangkannya, semakin ingin terpingkal aku rasanya. Anganku, seperti biasa, gemar sekali mengembara. Kali ini dia tengah menyusuri masa belasan tahun yang lalu. Ah, tidak. Sepertinya masa itu telah menyentuh dua dasawarsa yang lalu. Masa dimana aku masih begitu belia. Baru menginjak akhir belasan tahun sepertinya. Aku, selayaknya kaum muda, begitu marah pada dunia. Merasa begitu kecewa kala menemui segala rupa dusta. Begitulah kemudian, aku dan beberapa kawan kemudian terperangkap dalam gelora melawan norma, budaya dan lain sebagainya. Aku begitu mabuk dengan apa yang Hebdige sebutkan sebagai budaya perlawanan. Kawan-kawanku pun demikian. Termasuk kawan yang coretan dinding nya kunodai barusan. Aku mengingatnya kala dia masih berseragam SMA. Rambutnya berwarna merah. Entah bagaimana dia mampu bertahan selama satu minggu dengan rambutnya itu. Mungkin sejatinya dia tidak pernah sekalipun menginjakkan kakinya di halaman sekolah. Mungkin pula dia mengelabui guru-guru nan bodoh itu sengan alasan kepalanya terluka. Atau mungkin pula sekolahnya memang tidak memperhatikan sama sekali apa yang dilakukan siswanya. Aku mengingatnya. Lantang berteriak tentang penindasan dan ketidakadilan. Keras menyindir berhala-berhala picik yang menyeret banyak kepala dalam ritus konsumsi minim nalar. Aku mengingatnya. Mengenakan jaket penuh ornamen. Dengan logo A memenuhi bagian belakangnya. Tidak cukup sampai disitu, pada bagian lengan kirinya pun Nampak sebuah logo A. Begitulah. Kini, aku sebut saja sang kawan ini sebagai si A. A, untuk kata Aneh. Mungkin pula Ajaib. Bisa juga Anjing. Hahahahahaha. But see, it’s only entertainment Superficial urgency. Posterboard mentality Only entertainment. Tightly constrained. The buzz that remains Is the story how we run our lives. Bad Religion – Only Entertainment Tentu bukan tanpa alasan jika aku harus mengaitkan A dengan anjing. Tentu saja ini bukanlah anjing secara harfiah. Ini adalah anjing sebagai sebuah bentuk umpatan yang tulus dari hati. Sama sepertiku, A kini telah menua. Hidup tentunya tidak lagi sederhana. Tidak lagi mudah. Terlebih bagi orang-orang sepertiku (dan mungkin juga A) yang tidak memiliki kapasitas untuk memiliki pekerjaan tetap. Aku memilih teguh untuk bekerja serabutan. Terkadang menghasilkan, tidak jarang mengecewakan. Sesekali memberikan kepuasan, seringkali meninggalkan kehampaan. Tidak masalah bagiku. Aku pun tidak akan berlindung di balik perisai klise bernama ‘hidup adalah sebuah pilihan’. Perpustakaan Pijar Blitar
19
Pijarzine #1
Berbeda denganku, A sepertinya mengambil cara yang berbeda. Kegigihannya untuk tetap berada pada sebuah komunitas selama belasan tahun tentunya bukan tanpa hasil. Setidaknya siapa yang tidak mengenal nama A di kota ini? Peampilannya yang teramat sangat memberontak, tentunya begitu menarik perhatian. A berbeda denganku, dia jauh lebih kreatif. A berhasil memanfaatkan popularitasnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Benar sekali, A saat ini memusatkan perhatian dan energinya untuk membangun bisnis. Bisnis perlawanan katanya. Bisnis yang bukan sembarang bisnis, karena konon ada muatan di dalamnya. Entahlah, aku yang bodoh ini tetap tidak mampu mencerna muatan apa yang terkandung dalam bisnisnya. Tidak dapat dipungkiri, subkultur yang pernah aku jalani bersama A, memang terbukti kokoh melawan pergeseran waktu. Entahlah, keberadaan subkultur ini seolah menjadi oase di tengah padang gurun, serupa segelas es teh manis di tengah setumpuk gorengan. Begitu menyegarkan. Sudah pasti diperebutkan. Mengutip apa yang dikatakan oleh band idola hipster, Efek Rumah Kaca tentang ‘Pasar Bisa Diciptakan’, aku menyadari bahwa hal tersebut memang benar adanya. Oase, maaf, segelas es teh manis yang semula adalah penyelamat hidup kini bertransformasi menjadi komoditi. Apa yang semula ada sebagai sebuah kritik kini berubah menjadi sasaran kritik. Apa yang awalnya adalah jalan keluar dari sebuah kejenuhan kini berubah menjadi kejenuhan itu sendiri. Begitulah A, dia benar-benar meyakini bahwa revolusi memang tidak dapat ditelevisi-kan, tetapi tidak berarti mustahil diperjualbelikan. Kerja kerasnya selama belasan tahun untuk meraih posisi penokohan seperti saat ini memang berbuah manis, aku mengakui hal itu. Dia memiliki begitu banyak pengikut bahkan di berbagai keramaian aku melihatnya bak induk bebek. Aku kembali memandangi coretan di seberang jalan itu. Coretan yang baru saja kunodai estetikanya adalah coretan milik A. Coretan itu bukanlah sebuah coretan yang penting bagiku. Tidak memberikan pesan apapun. Tidak ada persuasi. Tidak ada edukasi. Hanya sebuah ajakan tidak langsung untuk konsumsi. Benar sekali. Coretan itu adalah logo dari kegiatan bisnis yang sedang dijalankan oleh A. Aku seringkali menemukan logo serupa di berbagai sudut kota ini. Seolah A memang berusaha meninggalkan jejak dimana-mana. Persis seperti anjingku yang selalu menandai wilayah kekuasannya dengan beberapa tetes air kencing. Persis sama. Aku paham betul, A menganggap apa yang dilakukannya adalah upaya perlawanan pada sistem. Promosi dengan mencoret-coret fasilitas umum adalah caranya untuk melawan sekaligus memperkenalkan produknya. Aku tidak bermasalah dengan cara itu. Namun di sisi lain, aku juga tidak bisa diam begitu saja kala aku melihat bagaimana kemudian lusinan remaja tanggung krisis identitas berbondong-bondong mengubah diri mereka untuk terlihat menyerupai A. Itu menjijikkan. Sumpah! Perpustakaan Pijar Blitar
20
Pijarzine #1
Sekali lagi, itu menjijikkan! Pada akhirnya aku melihat bahwa bisnis A tidak lebih dari bisnis diluar sana. Bisnis yang sudah tentu menempatkan keuntungan diatas segalanya. Bisnis yang tidak peduli bagaimana mereka ternyata dengan keji menjerat banyak kepala dalam sebuah jaring maha kuat bernama konsumerisme. Bisnis yang tidak peduli akan sejauh mana mereka berfungsi layaknya pabrik mainan yang mencetak bentuk-bentuk serupa tapi tak sama. Bisnis yang tidak peduli bahwa mereka sesungguhnya tengah memperdaya banyak jiwa untuk larut dalam ilusi bernama budaya perlawanan. Tidak. Aku tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Ini mimpi kecilku. Aku harus menjaganya tetap indah. Aku yakin, coretan kecilku tadi tidak sepenuhnya mampu menghentikan A. Setidaknya, itu adalah usaha kecilku untuk sedikit membuat koreografi bisnisnya berantakan. Ya, aku yakin, coretan kecilku yang menodai mahakarya itu serupa dengan segenggam pasir yang kalian masukkan ke dalam mesin. Tidak mampu menghentikan, tetapi setidaknya itu mampu menjelaskan kalimat ‘pain in the ass’ dengan cukup akurat. So, here we are Two different walks of life crossed once before And, it still takes a thousand miles to co-exist We are the same, just trying to exist If rewritten pamphlet is the best clarity can provide Then you need one (a drink) worse than me Coalesce – Sometimes Selling Out Is Waking Up -Jagalbabi
Perpustakaan Pijar Blitar
21
Pijarzine #1
Perpustakaan Pijar Blitar
22
Pijarzine #1
BOLONG MERAH Teman-teman, jikalau bolong hanya ada pada siang mengapa tak disebutkan pada pagi atau malam juga, oh sungguh tak adil rasanya. Dunia memang selalu begitu. Pagi yang bolong itu saya memulai aktifitas seperti biasa: mandi dan berangkat bekerja demi sesendok nasi, saya sengaja memakai istilah sesendok karena sesuap “suap� merupakan kata yang terlalu sering mengotori pemikiran saya. Sembari berangkat bekerja, saya menemukan pemandangan yang tak biasa saya jumpai, langit yang kian cerah di pagi hari yang notabene berwarna biru di hari ini berganti menjadi merah. Tak ada lagi awan putih bergumpal, semuanya merah tak berganti, pohon-pohon di pinggir jalan berwarna merah semuanya berwarna merah kompak layaknya pasukan berkomando. Saya masih terheranheran, ada fenomena apa ini? Berbekal rasa penasaran saya berhenti di pinggiran jalan sembari melepas helm standar yang saya kenakan waktu itu. Ah, kenapa saya tidak sadar dari tadi ternyata badan jalan yang saya lewati ini juga berwarna merah, mungkin tandanya saya disuruh berhati-hati atau berhenti. Saya duduk dan terlibat perkelahian dengan pertanyaan-pertanyaan di kepala. Di seberang jalan banyak masyarakat berkumpul, namun anehnya mereka tak asing dengan fenomena ini. Anehnya lagi beberapa ratus meter dari tempat saya berhenti ada sekumpulan masyarakat yang sedang menyaksikan hiburan rakyat, hiburannya seperti paduan dari berbagai alat musik yg lengkap dengan penarinya. Namun hiburan seperti ini tak dapat membuat saya berirama menjadi satu atau dengan kata lain saya masih sulit terhibur dengan hiburan semacam ini. Penarinya pun tak mau kalah dengan alunan musiknya, dengan jumlah empat penari di atas panggung hiburan itu sambil bergoyamg layaknya ular yang diterompet oleh pawangnya dan tak terkecuali sang penari pun tak mengenakan busana sama sekali hanya sekujur tubuhnya dicat dengan warna merah, kalau dilihat dari jarak jauh persis kita melihat layaknya siluman lipan menggelinjang terkena percikan dari bubuk garam. Usut demi usut hiburan ini merupakan favorit dari sang raja. Masyarakat yang notabene jenuh dengan warna tersebut, merasa sedikit terhibur dengan adanya pentas itu. Tak hanya itu, raja pun naik keatas panggung dan menyebar beberapa uang koin merah yang telah disiapkan untuk masyarakat yang menonton lebih dekat dari panggung. Saya kembali duduk diatas kuda besi yang saya tunggangi sambil melanjutkan perjalanan, dari jarak yang sudah lumayan jauh saya tempuh, saya menemukan bangunan yang menjulang sangat tinggi. Saya pun mendekat dan baru sadar kalau bangunan ini merupakan mercusuar tertinggi disini, saya mencoba Perpustakaan Pijar Blitar
23
Pijarzine #1
mencari tangga untuk naik keatas. Sesampainya di atas saya terheran-heran melihat semua berwarna merah, tak ada yg bolong sedikitpun! Danau yang kerap saya jadikan tempat mandi bersama teman-teman itu airnya berubah menjadi merah, meski tak sepekat darah. Bukit yang menjadi tempat favorit saya makan burger bersama kakak itu pun warnanya merah, semua terlihat jelas dari atas mercusuar ini. Saya pun kembali turun untuk bertanya kepada siapa yang saya sendiri tidak tahu. Tidak jauh dari mercusuar tersebut saya melihat wanita yang sedang menggembala kambing. Kambingnya dua ekor yang satu warna merah dan satunya merah pekat. Saya mendekat dan bertanya "kenapa semua menjadi merah seperti ini bu?" Wanita itu menjawab sambil menangis dan cerita panjang lebar tentang apa alasan kota ini menjadi merah tanpa ada bolongnya, yang intinya raja memang sangat fanatik pada warna merah. Hal itu disebabkan kefanatikannya terhadap partai kancil bermoncong putih yg dianutnya. Maka dari itu semua harus berwana merah. Usut demi usut sang wanita penggembala kambing tersebut merupakan mantan selir dari sang raja. Tapi saya tak mempedulikan. Klimaksnya saya sudah mendapatkan sedikit jawaban dari fenomena menarik yang saya lihat. Kendati sudah merasa mendapatkan jawaban, saya melanjutkan perjalanan ke arah timur, baru disitu saya merasa klimaks yang seklimaks-klimaksnya karena tiba-tiba saya tersadar bahwa cerita diatas hanya semata lamunan saya dalam beberapa menit belakangan di pagi bolong. Hal ini terjadi karena saya lebih terlalu banyak ngendon. Maafkan saya jika lamunan saya mengganggu atau mungkin membingungkan. Tak ada unsur sengaja sedikitpun, harapannya semoga lamunan saya tidak terjadi pada kisah nyata dimanapun. Oh, lamun. Kenapa kau tak berganti tegun? Sekian!
-Yanuar Febrianto
Perpustakaan Pijar Blitar
24
Pijarzine #1
2015
Para remaja berseragam putih abu-abu berlarian, saling bersendagurau menikmati masa peralihan. Angin berhembus lembut serta menyapa mereka dengan sopan, dahan pepohonan serta rumput melambai mesra mengiringi. Kebebasan adalah kata yang pas untuk mendefinisikan perasaan mereka saat ini. Bebas untuk tersenyum, bebas untuk tertawa, dan juga bebas untuk menentukan jalan manakah yang akan mereka lalui. Dikekang? Jangan bercanda! Itu adalah tabu untuk mereka. Mereka adalah raja, bukan bidak bagi diri mereka sendiri. Merekalah yang menentukan langkah, langkah mana yang akan diambil. Karena pada masa inilah masa dimana pencarian jati diri mereka dimulai. Berbahagialah para remaja menikmati berbagai warna yang diberikan oleh Tuhan. Mata mereka hanya menangkap warna pelangi, sedangkan hitam adalah warna realita sebenarnya, bukan condong kearah putih yang menghasilkan abu-abu melainkan hitam yang berpendirian. Semu. Sinar matahari menyusup hangat diantara sela-sela pohon markisa, terasa hampa menyinariku yang sedang terduduk lesu melihat kesemuan yang terlukis rapi didepanku. Apakah aku iri dengan mereka? Tidak. Daripada menikmati banyak topeng tertawa, alam memberikan kesejukan menenangkan. Burung-burung merpati mulai menghampiri saat beberapa butir beras kulemparkan ke tanah. Berebutlah mereka akan makanan yang telah kuhidangkan. Terbang kekanan saat sekepal beras aku lemparkan kekanan, kekiri saat aku lemparkan sekepal beras kekiri. Mereka bebas memilih beras mana yang mereka pilih untuk dimakan. Tetapi burung-burung itu selalu refleks kepada beras yang baru saja aku lemparkan entah itu kekanan atau kekiri. Meninggalkan beras yang masih bersisa di daerah yang mereka tinggalkan untuk memakan beras yang baru. Para Perpustakaan Pijar Blitar
25
Pijarzine #1
ayam pun mulai datang menikmati perjamuan yang sedang kulakukan untuk berterimakasih pada alam, tanpa kuundang. Memakan beras-beras lama yang ditinggalkan para dara. Butiran beras tergenggam ditanganku tetapi Jeda kuberikan kepada para binatang ini supaya para binatang ini fokus dengan makanan mereka. Setelah puas dengan makanan yang telah kuhidangkan, para burung dara pun terbang bebas ke angkasa. Menerobos sela-sela pohon dengan lincah buktikan bahwa mereka adalah penguasa angkasa di tempat ini. Ayam jantan berkokok tegas, memimpin kawanannya kembali ke kawasan hijau. Bel berbunyi satu kali menandakan istirahat. Bel itu merupakan tanda untukku memasuki kelas, banyak anak memilih untuk keluar kelas, bermain, pergi ke kantin ataupun hanya keluar kelas untuk sekedar berbincang-bincang didepan kelas. Kelas adalah pilihan terbaikku saat istirahat karena disaat seperti inilah kelas sepi, sepi dari segala omong kosong mereka yang tak memperhatikan pelajaran dengan benar. Aku mulai berjalan melewati kerumunan dengan earphone menempel ditelinga, volume kusetting ke volume tertinggi. Mengapa? Karena aku tidak ingin disapa dan diajak berbincang, pun dengan mata yg kuarahkan tetap terarah kebawah. Jika mata ini kuarahkan lurus kedepan maka seakan-akan aku ingin membuka percakapan seperti yang aku inginkan saat berpapasan dengan orang-orang. Segerombolan anak berperawakan sangar berjalan beriringan menerobos lintasan jalanku. Tabrakan tak bisa dihindarkan, bukan karena kecepatan, melainkan karena kepala mereka yang terlalu dongak ke atas tanpa sedetik pun dibiarkan beristirahat untuk sekedar melihat semut. “Hei, apa maksud lo!� salah satu anak berteriak kepadaku “Lo cari gara – gara ya! Kalau jalan itu pakai mata dong!� dengan nada lebih tinggi temannya tak kalah membentakku. “Dimana-mana jalan itu pakai kaki, pakai mata? Emang lo kata sirkus!� aku membalas kalem omongan mereka. Mereka mulai geram karena perkataanku “Untung lo pakai rok, kalok nggak gak jamin gua lo bakal bisa sekolah besok!� Anak paling tinggi dari gerombolan berkata emosi kepadaku. Dan merekapun pergi. Sudah hampir 3 tahun aku berada ditempat ini, tak pernah aku melihat pemandangan seperti itu. Anak bau kencur yang baru 3 tahun lulus dari Sekolah Dasar berperilaku seperti itu disini. Dulu Indonesia dikenal sebagai negara ramah. Tapi itu dulu. Untuk 10 tahun lagi tak ada jaminan bahwa predikat tersebut masih layak disandang. Melihat tingkah laku mereka. Kurikulum baru yang menitik beratkan kepada aspek karakter dengan maksud memperbaiki Perpustakaan Pijar Blitar
26
Pijarzine #1
karakter dari siswa yang norma kesopanan mulai hilang, boleh dibilang belum berhasil. Alih-alih mendapatkan hasil yang menjadi dasar pembuatan kurikulum ini, banyak siswa yang tertekan dengan banyaknya tugas yang diterima oleh mereka. Guru lebih banyak duduk memantau didalam pembelajaran. Katanya, nilai ulangan dan nilai-nilai yang berhubungan dengan akademis bukanlah aspek utama dalam penilaian rapor. Karakter, adalah aspek utamanya. Dengan kata lain penilaian baik buruknya nilai rapor obyektif, tergantung bagaimana profesionalisme dari masing-masing guru untuk menilai. Dengan kata lain kebebasan mengemukakan pendapat sedikit banyak dikekang dengan sistem penilaian seperti itu, para murid jadi takut untuk berpendapat karena mungkin saat berselisih pendapat dapat berpengaruh dengan masa depan mereka. Ketidakpuasan terpendam, api untuk merubah tatanan yang buruk padam. Semua organisasi mulai dikekang, bersimpul mati. Berbeda dengan saat pertama kali aku datang ke tempat ini sebagai murid. Beberapa murid sibuk mengurus acara yang akan dilaksanakan, sibuk mencari dana usaha, sibuk rapat mengenai bagaimana acara dapat berjalan dengan lancar nantinya. Tetapi semuanya tampak berubah sepi-sendu suasana sekarang. Setiap akan berucap, duri selalu menancap dikaki dengan dalam. Semua kegiatan organisasi ditekan, diminimalisasi dengan dalih sekolah akademisi. Persetan! Umpatku dalam hati. ITB yang mayoritas akademisi pun pernah menjadi poros revolusi, mengapa ditempatku mati suri. Semua memori akan siswa yang kritis telah putus, yang tersisa hanyalah para anjing bedebah seperti segerombolan para pemuda tadi. Hanya menyalak tak mau beraksi, mungkin tak hanya yang ada di atas lah yang salah, tetapi juga para pelaksana. Bagaimana bisa merubah jika tak berani bergerak? Mana bisa bergerak jika tak ada ruang? Mana bisa mencipta ruang jika tak punya keinginan? Berubahlah kawan, perbaikilah yang harus diperbaiki. Jangan hanya berdiam dan berteriak dalam diamnya lisan. Mulailah bertindak, karena para pemuda lah yang memiliki api paling panas diantara golongan umur manusia lainnya. Jangan buat api kalian padam sebelum waktunya. Api tak ‘kan mudah padam ditangan kalian. Dalam sejarah, mahasiswa Indonesia membuat dua presiden lengser dari singgasananya dan membuat seorang presiden naik tahta. Bergeraklah! bergeraklah! Ubah tawa semu dan pelangi semu menjadi kebahagiaan yang hakiki. Karena didalam kebahagiaan yang hakiki terdapat kata yang diinginkan banyak manusia. Kebebasan. Perpustakaan Pijar Blitar
27
Pijarzine #1
-Hibatullah Faris
Dian Sastrowardoyo dan Motivasinya Mengacu dari biografi seorang aktris dari zaman 2000an yang terkenal hingga sekarang dan menjadi aktris melegenda. Dian Sastrowardoyo, kisahnya dimulai dari umur 9 sampai 10 tahun. Pada saat itu hidupnya mulai diarahkan oleh ibunya tentang goal setting. Dian terlahir dari rahim ibu yang super sibuk. Seorang dosen sastra di Universitas Indonesia. Ibunya sering pulang malam dan cenderung jarang di rumah. Namun Ibunya selalu mengarahkan Dian kecil ini menjadi sosok yang mandri dan berani menatap kedepan dan memperjuangkan hidupnya sendiri. Dian kecil dengan didikan ibunya yang menginginkan Dian menjadi pribadi mandiri ini membuat Dian mulai menata hidupnya. Dian mempertaruhkan hidupnya pada umur-umur yang dibilang masih belia yaitu 10 tahun. Langkah yang dia lakukan adalah menyusun goal setting yang diajarkan ibunya untuk mendapatkan uang. Pikiran anak kecil yang sudah berorientasi ke depan. Dia ingin jadi kaya 10 tahun mendatang. Lalu dia berfikir jika 10 tahun ingin kaya berarti pada 5 tahun sebelumnya dia harus sudah berpenghasilan. Disaat pikiran itu muncul dia tertegun pada salah seorang model Tracy Trinita yang sukses dan melanglang buana kemana saja pada saat itu. Akhirnya dia memutuskan untuk menjadi model. Namun, ada pikiran lain dalam benak Dian kecil ini. Model apa yang cepat mendapatkan uang dan paling banyak dilihat orang? Dian kecil yang berumur 10 tahun tersebut melihat model gadis sampul yang setelah itu mendapatkan uang banyak. Dia mulai mencari tahu bagaimana cara memenangkan ajang gadis sampul tersebut. Lalu dia mengetahui bagaimana cara yang paling efektif dengan melihat pemenang- pemenang sebelumnya. Dian kecil ini melihat juara 1 dari gadis sampul ini selalu berkarakter. Akhirnya dia mempunyai waktu 4-5 tahun lagi untuk membuat dirinya Perpustakaan Pijar Blitar
28
Pijarzine #1
berkarakter dengan mengikuti berbagai macam kegiatan yang ada di sekolahnya. Seperti pencak silat, pidato bahasa inggris dan sebagainya. Dian kecil membuatnya serba detail dan mengerjakan semuanya dengan sempurna agar dia memperoleh apa yang dia inginkan. Akhirnya pada umur 14 tahun dia menjadi juara 1 gadis sampul dan berlanjut karirnya hingga sekarang . Dan sampai sekarang dia tetap menerapkan goal setting yang dia lakukan sejak kecil dan mulai diajarkan kepada anak-anaknya. Dian sastrowardoyo menjadi aktris yang berkarakter hingga sekarang. PEMBAHASAN: Pada biografi Dian Sastrowardoyo diatas kita bisa melihat motivasi yang diperoleh oleh Dian Sastrowardoyo dari ibunya, dengan melihat keseharian ibunya sebagai wanita karir yang super sibuk dan naluri untuk bertahan hidup yang diajarkan ibunya. Teori motivasi yang berkaitan dengan cerita masa kecil Dian Sastrowardoyo ini adalah teori Insting dari McDougall yang agak berbeda pandangannya dengan William James. Bila James memandang insting sama dengan reflek-reflek, ia meyakini bahwa semua tingkah laku sifatnya instingtif kecuali reflek-reflek. Bila ingin memahami motivasi, maka tugas utamanya adalah berusaha mengungkap dalam arti mencari kejelasan mengenai berbagai macam insting dalam kehidupan organisme. Perilaku instingtif meliputi: dorongan yang berkaitan dengan masalah pengasuhan anak, rasa simpati, dorongan menyerang, naluri mempertahankan diri, rasa ingin tahu tahu, kepatuhan, mencari makanan, dorongan untuk kawin, penolakan, melarikan diri, dorongan untuk minta tolong, dorongan berkelompok serta dorongan untuk membangun. Dengan itu teori insting dari Mc Dougall sangat pas bila dikaitkan dengan kisah inspiratif Dian Sastrowardoyo dalam menentukan hidupnya ke arah yang lebih baik.
-Canthing Khamaisya
Perpustakaan Pijar Blitar
29
Pijarzine #1
Seperempat Abad Oleh: Yossy Andreas
Datang di rimba Menenteng saka berlumur api Tuan telah mati diterpa badai Tapi saka tetap menebar bara Saya adalah tuan Saya adalah saka Bara sebuah visi Berharap visi menerjang badai Dalam ruang raung sebuah rimba Perpustakaan Pijar Blitar
30
Pijarzine #1
Kesan Jenuh sering terjadi pada tiap - tiap sudut aktivitas bagi mereka yang memiliki kehidupan. Kosong, konyol, memuakkan terus terulang dan mengulang layaknya Sisyphus. Blitar tetap bertahan dengan rutinitas tersebut yang mana pada hari ke hari makin mengikis kreativias para penghuninya. Berkurangnya ruang yang dapat menampung segala kreativitas para pemuda di Blitar semakin menciutkan nyali masyarakat sekitarnya untuk tetap menjaga produktifitas mereka. Disamping hal-hal tersebut Pijar muncul dan menerjang segala keterbatasan yang ada di Blitar. Sebuah movement independen yang digagas secara individu oleh pemuda setempat yang bisa kita sebut dengan Boeng Kelana. Perpustakaan jalanan yang melakukan aksinya di taman -taman kota pada hari Minggu dengan properti seadanya namun dengan movement yang bertumpu pada kultur DIY dan seharusnya bisa diterapkan oleh seluruh manusia di planet ini. Pada dasarnya kemandirian dan kesadaran ber-DIY harus ada pada tiap-tiap individu di muka bumi ini. Untuk dapat menjaga sisi sadar kita dari serangan bertubi-tubi dengan bentuk kotoran yang terlontar dari semuat cocot yang ada di layar TV dan segala media yang mencoba merusak instuisi kita untuk tetap berpikir kreatif. Dimanjakannya masyarakat modern dengan serba-serbi perangkat canggih yang tinggal pencet langsung jadi dengan mengesamping nilai estetis untuk benda benda yang tercipta dari hal tersebut sehingga proses penciptaan suatu hal yang sangat berharga terpotong dan hilang dari kehidupan masyarakat saat ini. Maka teruslah berpijar, Pijar! Lawan!
-Delpi Suhariyanto Perpustakaan Pijar Blitar
31
Pijarzine #1
Dua Arus Sungai: Cinta Dan Benci “Mengerikan jika mati kehausan di tengah laut. Apakah kebenaranmu harus sedemikian asin, sehingga ia bahkan tidak bisa lagi dapat meredekan dahaga?� —Friedrich Nietzsche Aku melihat beberapa kejadian disekitarku. Kesemuanya membawaku pada rentetan panjang kontemplasi tak berujung. Sebut itu lamunan, akan tetapi ia menggerakkan diriku, kehendakku, lebih tepatnya. Aku menyaksikan anak kecil yang rapuh, terjatuh ketika ia berusaha berlari jauh. Anak yang polos itu dengan sesegeranya mengetahui kebenaran baru dalam dirinya. Ia tahu siang itu terik, tanah itu berkerikil, angin yang berhembus dapat menyentuh kulitnya. Ia merangkak ke tepi, menelusuri pojokan ruangan, dengan keberaniannya pula, ia menangis setelah mencoba memanjati tangga. Apa yang ia lakukan adalah eksperimentasi akan rasa ingin tahu. Seusianya, tak ada buku yang dibaca, manual yang dipelajari, sehingga tubuh akal dan perasaannya-lah yang menuntunnya untuk bertindak. Anak kecil sangatlah jujur, kalau bisa kubilang, makhluk terjujur, dan kejujuran yang kupahami selalu pahit. Kejujuran membongkar segalanya, sebagaimana adanya, sehingga lecet di lututnya, benjol dikepalanya, nanah di ujung jempol kakinya, atau rona merah di punggungnya, menjadi kreasi, atas kejujuran. Anak kecil mengalami tahap perjuangan yang acak. Dalam mitos Yunani, akar dari penciptaan adalah chaos. Kondisi kekacauan itu yang membentuk ceruk kehidupan. Anak kecil memiliki daya cipta atas kekacauan yang ia perbuat sendiri. Ia menumpahkan susunya, mengaduk-aduk nasi di piringnya, menyeraki rak sepatu di rumahnya, menggunting, memotong, mencoreti, melukisi, melempari, memanjati, mengejari, bahkan ia bertarung dengan seumurannya. Ia berkelahi dengan diri dan di luar dirinya sendiri. Pengetahuan akan kebebasan yang sesungguhnya telah membawa si anak pada penciptaan yang menakjubkan. Ia akan berpikir ulang, ada beberapa Perpustakaan Pijar Blitar
32
Pijarzine #1
tindakan yang tetap ia lakukan, ada yang ia berhentikan, ada pula yang ia kurangi kadarnya. Kesemuanya berasal dari pengalamannya, untuk melakukan aksinya secara langsung tanpa ditunda, bersamaan dengan evaluasi tiada henti di kemudiannya. Anak kecil merupakan ekspresi tinggi akan kebebasan. Kejadian lain adalah seorang remaja. Seorang pemuda yang memiliki daya cipta lain, yang cukup berbeda dengan daya sang bocah. Seorang muda seakan memiliki ketakterbatasan. Emosinya yang meluap, tanggapannya yang hiperbolik, penerimaan yang teguh, hingga proses membalikkan semua definisi secara cepat, indah, penuh gelagat, dan mempesona. Seorang muda seperti mesin mekanis yang tak pernah lelah, untuk memproduksi makna-makna. Ia akan berkutat seharian dengan kegelisahannya, sebelum sebuah jawaban ditemukan. Ia tak akan berhenti begitu saja, sebelum sesuatu ditaklukkan. Ia memiliki energi luar biasa menerobos misteri yang tengah ia hadapi. Ibarat badai yang mengguncang pertahanannya, seorang muda adalah sisi pemberontak itu sendiri. Ia adalah kepahlawanan sesungguhnya, baik dengan nama atau tanpa penanda jasa di belakangnya. Apa yang penting adalah seorang muda harus mengalami. Seorang muda menjadi potret pembangkang itu sendiri. Ia tak lagi ekspresi, ia mulai berpikir sekali, tidak seperti anak kecil yang langsung menggasak kenyataan di depannya. Artinya, ada rentang yang sangat pendek dimana pikirannya mulai termanifestasi. Muda menjadi masa dimana ketakutan hampir saja tak menyentuhnya. Muda adalah keinginan progresif melampaui segala hal. Saat muda, seseorang akan dengan beraninya mengutarakan, menampar, melakukan tindakan tak senonoh sekalipun, dengan ujung tipikal tendensi. Ia adalah api, membakar kayu yang meradang panasnya. Ia melompat dari satu titik ke titik lain dengan gerak gemulai yang indah. Ia adalah percepatan, segalanya harus sesuai kehendak. Wujud kehendak sejati justru dilihat saat masa ini berlangsung. Masa muda, ketika para pelalu di dalamnya tak pernah kenal dengan marabahaya. Seorang muda adalah marabahaya itu sesungguhnya. Entitas ketiga adalah orang tua. Orang tua mulai melemah, raganya seperti anak kecil, akan tetapi semangatnya menyublim dalam kebijaksanaannya. Masa dimana segala rasionalisasi atas tindakan, sejarah panjang berbuat, telah ia susun kesimpulannya. Di titik ini para orang tua, akan tahu harus berbuat apa dan tidak, sehingga eksperimentasi bagi hasratnya mulai tereduksi kepada beberapa kepingan evaluatif yang kokoh. Seorang tua ibarat air, tenang, namun bisa saja menghanyutkan bagi mereka yang menentang. Adalah orang tua yang belum mencapai masanya, jika kemudaan dalam dirinya tampak konyol dengan alasan di baliknya. Maka posisi yang perlu di ambil, apakah menjadi anak-anak yang tanggung atau remaja yang menggantung, orang tua akan menepi. Ia Perpustakaan Pijar Blitar
33
Pijarzine #1
adalah rundukan padi yang berat isi. Ia memiliki pengetahuan bahkan tanpa harus mencari. Orang tua seperti matahari, yang setiap saat memancarkan sinarnya, akan tetapi tak pernah lelah bertukar posisi yang tampaknya itu-itu saja. Sifat dasar orang tua adalah ketenangan itu sendiri. Membedakan kebebasan, pemberontakan di masa sebelumnya, orang tua adalah beriak yang dalam. Ia mampu menyesuaikan. Masa ini dilalui bukan untuk melampaui, akan tetapi menyendiri. Ia bukan defensifitas orang muda, ia adalah pertahanan itu sendiri. Orang tua lebih banyak mengalah, sementara penyerangan yang ia lakukan bertekuk pada kelemahannya. Masa inilah ketika kita dihadapkan pada banyak serabut yang menuju satu terminal cara berpikir. Kita mengambil definisi, dimana kita membenturkannya dengan situasi. Tak jarang orang tua dianggap kompromi, padahal sebenarnya tidak. Ia adalah masa, tengat kalau mau gegabah menyebutnya. Ketiga sifat yang aku lihat ini, antara bocah, remaja dan orang tua, mengikut pada pengertian rentang waktunya saja. Sebenarnya mereka semua sama, dengan indulgensi berbeda. Keberpihakan, cara mereka menyikapi, seperti dingin malam yang berbeda kita tanggapi. Kadang dengan selimut, kadang dengan api anggun, atau terkadang hanya dengan merapatkan tubuh dan akhirnya meringkuk. Untuk mengatasi. Pengaruh eksternal yang menuju pada seseorang membuatnya mampu beradaptasi. Sikap ini akan sangat berbeda satu diantara yang lainnya. Dengan tidak serta merta membahasakannya secara eksplisit, aku membutuhkan keberpihakan yang lain, yang kata mereka, banyak penduduk hari ini, adalah keunikan. Daya cipta, tanggap, rasa cita, karsa, karya, dan darma memilin jadi satu balutan benang seorang manusia. Ia menguraikannya, membentuknya, menjahitinya, atau sekedar memintalnya menjadi sesuatu. Hal inilah yang menjadi proses terus menerus ketika tubuhnya mulai kaku, dan keras, atau dalam titik terburuknya menuju kematian. Dekomposisi hasrat yang bergelimpangan menyempatkan dirinya terus bertanya, seakan tiada akhir, seakan jawaban tak melulu datang, keberpihakan seseoranglah yang menjadi secercah eksistensinya untuk mengada di dunia ini. Ibarat debu, bocah adalah yang paling gemulai menari, remaja adalah yang paling tangguh mencari arti, dan orang tua adalah kegagahan bersendiri. Bocah dengan ketakterbatasan, Remaja dengan sifat menyeluruh, dan orang tua rapuh dalam kekuatan mistisnya. Lantas, dimanakah posisiku dari ketiga kategori itu? Akankah aku masih seorang bocah, sementara takut masih ada? Apakah aku remaja, sementara kebijaksanaanku mulai merekah, atau aku merapat ke gerbang tua, padahal sisi kekanakan dan ambisi masa mudaku masih bergentayangan. Ataukah sebenarnya ketiga pengelompokan gegabah itu tidak pernah ada?
Perpustakaan Pijar Blitar
34
Pijarzine #1
Baiklah, kita akan menjadi bocah, muda, dan tua sekaligus. Dengan berat hati kembali, baiklah! Kita adalah manusia tanpa kategori. Manusia adalah misteri, tak tedefinisi, dan tak terkelompokkan. Lantas apa arus yang membawaku sampai pada pengelompokan jenis barusan. Aku berpikir keras, mencoba memikirkan bagaimana pola pikirku sendiri, dan terbuat dari apakah dia. Kalau ia hilang, apa yang terjadi. Apakah cukup perasaan tanpa pola pikir, atau sebaliknya. Yang aku sadari sampai detik ini, jika ingin diutarakan secara dilematis dengan kalimat, terdapat dua arus besar yang membedah kegelisahan ini, bahwa sejarah hidupku adalah deretan panjang atas kebencian dan kecintaan. Dua jenis inilah yang saling berperang, mengisi satu sama lain, menegasikan satu dengan lainnya, atau menghidupinya menjadi siklus berkepanjangan.
Yang perlu dicurigai dalam gelisah, adalah setulus apa aku membenci, dan seikhlas apa aku mencintai. Tak jarang, kebencian manusia itu munafik, alias tidak tulus, begitu pula kecintaan yang ia perbuat, selalu berlebih. Maka kebencian bukanlah hal yang harus aku tolak atau jauhi, ia akan tetap ada. Aku tidak sedang ingin menjadi orang suci yang melulu melepaskan rasa bencinya. Aku tidak mampu tanpa itu. Hanya saja kebencianku adalah sesuai kadarnya. Kebencian yang sederhana, dengannya rasa cintapun alakadarnya. Kecintaan yang cukup. Kebencian dan kecintaan yang biasa, yang pas, dan tak membuatku tergesa-gesa, atau terbata. Kecintaan yang tak menggerogotiku. Begitu pula dengan rasa benci yang tak menghantuiku, memburuku sampai aku lupa akan Perpustakaan Pijar Blitar
35
Pijarzine #1
banyak hal. Maka, untuk dua arus inilah aku akan terus menapaki sejarah hidupku hingga liang lahat aku tuju. Banyak hal yang sudah terjadi di belakang, dan siapapun pasti akan punya alasan atas tindakan, dan setiap alasan tak jarang disepakati sebagai acuan seorang insan. Apabila memang seperti itu, akan selalu ada penjelasan bagi apapun, hal-hal, maupun perbuatan. Untuk arus utama, yang bernama kebencian, aku perlu membongkarnya. Setiap orang adalah pembenci, maka aku akan membenci sesuatu dengan cukup, tak berlebih. Upaya itu akan membuatku terus merasa, mempertimbangkan sikapku. Aku tak ingin kebencianku berujung pada fanatisme buta, atau menjadi fasisitik atas kebenaran yang aku kecupi. Aku ingin kebencian itu bersarang untuk mengingatkan rasa cintaku. Kebencianku akan dingin malam, misalnya, tidaklah sesuatu yang harus kutuki terus menerus, melainkan penawar bagi rasa cintaku akan kegelapan yang menelisik suasana. Dengan membenci seperti itu, dingin tak melulu berurusan dengan selimut. Ada saja yang bisa kita petik. Semisal lagi, terik di siang hari. Aku tak ingin rasa gerah hanya akan bermuara pada kipas angin. Mungkin saja, keringat tak diundang yang mengucur sebagai kristalisasi dari rasa benciku akan cuaca panas yang sumpek, menjadi tema puisi yang bisa kurangkai. Selalu ada inisiatif akan kebencian, sehingga ia tak mengakar, dengan kata lain, ia tumbuhkembang menjadi sesuatu yang lain. Kebencian yang tumbuh, bukan kebencian yang merengek. Begitu pula dengan kecintaanku pada apapun. Pada benda, pada lawan jenis, pada keluarga, pada diri, pada manusia yang lalu lalang, hingga pada semesta ini. Hanya saja sesuatu yang berlebih akan berpengaruh fatal pada pembusukan. Aku tak mau mencintai seperti itu. Cintaku harusnya sederhana, selayaknya kebencian yang alakadarnya. Dengan kecintaan yang cukup, saat mencium bunga mawar misalnya, aku tak mau terlelap berlebihan sehingga kumbang tidak kebagian. Kecintaan yang cukup akan menghindarkanku dari usaha memiliki objek cintaku. Kecintaan pada ide, tentunya akan membuatku memiliki ide itu sendiri, bukan lagi ide itu yang memenjarakanku, sehingga aku melakukan kefanatikan yang semena-mena. Rasa cinta dengan kadar cukup inilah yang akan membatasiku mengagumi, mengingini, dan mengenali. Cintaku pada benda bernama kepingan CD misalnya, tidak membuatku melupakan hal lain. Kecintaanku pada lawan jenis, tak memaksakan sikapku untuk memperbudaknya, memilikinya seperti barang. Aku tidak ingin seperti itu, begitu pula kecintaan pada keluarga akan menghasilkan pembelaan yang wajar, tidak membabi buta. Kecintaan pada manusia juga memberi arti yang lebih mahfum pada relasi yang aku bangun, sehingga kalaupun ada ketidakcocokan, perpisahan akan dijalani dengan gembira. Aku ingin kecintaan yang seperti itu. Kecintaan yang tidak memburuku seperti peluru, begitupulalah Perpustakaan Pijar Blitar
36
Pijarzine #1
rasa cintaku pada semesta ini. Dengan arus cinta yang wajar seperti ini, aku akan menjadi penjaga, pemelihara yang baik, dan pencipta yang tak melampaui batas. Aku tahu kini kenapa ada kebencian yang begitu kelewat batas dan kenapa ada kecintaan yang fanatik. Keduanya bukanlah sifatku, atau keinginanku untuk tidak terjebak disana. Apabila memang hal terbaik adalah tak lagi membedakan cinta dan benci, maka aku memilih sebuah kata wajar dalam menyikapi, sehingga aku adalah anak kecil yang akan menangis lantaran tak bisa menjangkau mangga, dengan kata lain ia berhenti selagi kemampuannya terbatas. Aku akan menjadi remaja pembangkang yang akan memilih jeda saat jurang terdalam itu begitu sulit kupecahkan teka-tekinya, sehingga aku adalah orang tua dengan kebijaksanaan yang bersahaja yang akan diam saat tak perlu ada yang ditanggapi dengan pengalaman yang kulalui, dan lantang secukupnya saat sesuatu memerlukan jawabannya. Dengan merasa cukup atas semuanya, aku hanya ingin tindakanku alakadarnya. Entah pengaruh apa yang mendasari pikiranku atas dua arus ini, seperti yang aku rasakan saat ini. Beberapa waktu ini, aku mengaplikasikan tesis mengenai arus ini dalam keseharianku. Aku membenci sekaligus mencinta, namun penuh kesahajaan yang teramat biasa. Ketika dihadapkan pada seorang polisi yang menilangku tanpa ada alasan yang jelas, aku menghadapinya dengan kebencian yang sederhana. Aku tak lagi seperti dulu yang melulu mengajaknya berkelahi, memukulkan helm-ku di tempat, atau ketika kebencian telah merenggut energiku, aku akan menunggunya di satu ruas jalan dan kemudian menikamnya. Itu terasa lucu bagiku, karena benciku terlalu bersyarat. Saat aku di tilang kemarin, aku mengikuti kelicikan yang ia lakukan. Ia mempermainkanku dan aku membencinya dengan cukup. Alhasil, banyak bentuk protes yang aku tegaskan padanya, ada perasaan yang aku sentuh darinya, dan ada bagian yang aku pukul telak untuknya. Aku tak kehilangan uang, motor ibuku selamat, dan setiap kali lewat dari sana ada nuansa yang kami dapati berdua. Seragamnya, rasa benci dalam diriku yang berlebih yang telah dipermainkan sistem ini pada wujud asli kami sebagai manusia biasa. Perlu kuingatkan, aku bukan kompromi, meski beberapa orang yang membacanya akan merasakan kecurigaan itu, namun kisah dibaliknya yang membuatku kreatif mengatasi segala hal yang datang. Bukan tak mungkin, suatu saat aku kembali pada sifatku yang dulu dalam melawan polisi. Itu salah satu contoh saja. Aku membenci negara ini, sampai kapanpun, tak usah ditanyakan lagi. Akan tetapi dahulu aku lebih sering mengajak orang lain untuk membenci apa yang aku benci. Itu tidak efektif. Seperti dalam kisah ketika aku dan keluargaku menonton mengenai pakar politik di sebuah stasiun televisi, kebencianku kini Perpustakaan Pijar Blitar
37
Pijarzine #1
mengalir pada proses yang lain. Aku lelah membuktikan kebobrokan negara pada siapapun, dan tampaknya negara hanya akan berbuat seperti itu, namun kini energiku akan kugunakan untuk membuktikan bahwa tanpa negarapun kita bisa bertindak. Kebencian kuarahkan pada hal lain. Alih-alih menderetkan semua kesalahan negara, karena mencari kesalahan adalah yang paling mudah, justru aku mengkreasikan beragam opsi bagaimana hidup tanpa negara, di sanalah epos perjuanganku kini atas arus yang kujelaskan tadi, khususnya di bagian kebencian. Penolakan tegasku pada kapitalisme juga sama. Kebencian yang kudasari pada sifitas yang sama dengan penegasianku pada negara, bahwa sesungguhnya lebih baik aku menciptakan ruang keseharian yang beretos anti-kapitalistik ketimbang membuktikan kesalahan kapitalisme dengan terus berdebat tanpa berbuat apaapa. Alasanku mudah, otakku sudah mulai tumpul mewacanakan apa-apa, dan sebuah kolektif paling anti-kapitalisme pun sudah mengingatkan “jangan percaya pada orang yang menyatakan bagaimana hidupmu seharusnya, namun dekatilah mereka yang membuatmu hidup�. Dengan kata lain, dunia ini sudah di isi jutaan pakar yang menyebutkan ketimpangan kapitalisme, dan pakar-pakar itu hanya jadi kurir di belakang meja filsafat mereka, dan aku menaruh optimisme pada non-pakar yang punya kecerdasan sederhana membongkar kapitalisme untuk kemudian berkelanjutan menguji kebenciannya di lapangan, di dalam kegiatan sehari-hari. Aku tak menolak teori, itu tetap penting sebagai amunisi, dan ku katakan, bukan sebagai kitab suci. Jadi kalaupun ada rasa benci yang sudah mendarah daging atas sistem kapitalisme yang terorganisir ini, aku akan membahas teorinya ala kadarnya, dengan keanggunan penjelasan yang tak rumit, untuk kemudian melakukan proyek yang mengindikasikan hal tersebut. Mudahnya, energiku akan habis mempurgasi dunia dengan pertanda bahwa aku bisa hidup tanpa harus mempercayai ilusi yang kapitalisme ciptkakan. Semisal, kita bisa bekerjasama ketimbang melulu dihadapkan pada kompetisi. Dari sekian contoh atas jutaan contoh (misalnya) bagi kebencian ini, kecintaan pun memiliki hal serupa. Kecintaanku akan ide-ide, baik itu dari marx, anarkisme, islam, hingga aneka filsafat kontemporer yang masih terus aku pecahkan dengan belajar, juga sebagai amunisi, sebagai referensi, sebagai interaksi, dan juga sebagai tindaklanjut yang akan terus kuuji di laboratorium hidup. Aku tak ingin Bakunin memilikiku, karena selain dirinya sudah mati, idenya seharusnya lebih berguna jika kulakukan. Dengan melakukan, kesalahan akan terjadi, evaluasi hadir, dan keberlanjutan akan mengecap kreasi. Aku tak ingin Muhammad memperbudakku dengan ide-idenya. Aku ingin melakukan idenya, mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika ada yang usang akan aku berhentikan, jika ada yang bepotensi akan aku lanjutkan, dan gelora aplikatif inilah yang kumaksud dengan kecintaan alakadarnya. Begitu pula rasa Perpustakaan Pijar Blitar
38
Pijarzine #1
cintaku pada perempuan, aku tak akan berusaha memainkan peran nafsu dan keinginanku membabi buta. Kalaupun ada, biarlah kami menyepakati secara spontan kapan kami bertamasya, berjumpa, bercinta, bersenggama, dan sebagainya. Aku seharusnya lebih leluasa bergerak, dirinya pun begitu. Saat kami tak berasama, kami belajar hadir dalam keabsenan antara kami. Sehingga, percintaan antara diriku dengan sesama manusia setidaknya menjadi persinggungan romantik beragam jenis orang. Aku, kamu, kalian memiliki sisi romantisnya sendiri, kita hanya perlu menyinggungkannya. Banyak lagi jenis kecintaan yang tak dapat aku sebutkan. Kesimpulannya, kecintaan dan kebencian, sebagai dua arus yang menuju muara bernama sikap, akhlak, atau apapun sebutannya, sebaiknya kupahami kini dengan kadar yang cukup, pas, tak menuntut, tak menggerogoti, dan halus seperti kesahajaan yang tak rumit. Maka, hidupku memiliki dua arus utama, antara cinta dan benci, yang akan aku pegang selanjutnya dalam bertindak. Satu yang perlu kuingat adalah segala hal yang berlebih itu buruk...
-senartogok Perpustakaan Pijar Blitar
39
Pijarzine #1 Perpustakaan Pijar Blitar
40