N ua n s A 124 TH XX/2009
2
Salam Redaksi
N ua n s A 124 TH XX/2009
Merenungkan Kembali Hakikat Guru P embaca yang budiman, tentu sangatlah menggembirakan menyaksikan seorang guru bersepeda motor atau bermobil saat berangkat mengajar. Saat proses pembelajaran berlangsung, guru tersebut dapat melakukan presentasi bahan ajar menggunakan laptop dan LCD, menggunakan program power point, misalnya. Hal itu dapat menjadi sebuah tanda, bahwa guru tak lagi menjadi satu pekerjaan “hanya” mendulang pahala saja. Dewasa ini, guru memang terlihat begitu “dimanjakan”. Kesejahteraan yang semakin diperhatikan, gaji yang dinaikkan, dan fasilitasfasilitas lain yang bisa “bikin iri” profesi lain. Wajar memang, ketika melihat bagaimana kondisi guru dahulu. Sudah saatnya, dan sudah sepantasnya guru mendapatkan kemudahan-kemudahan semacam itu. Apalagi mengingat jasa-jasa guru yang telah mendidik anak-anak bangsa menjadi manusia-manusia yang berguna. Kita semua pun mafhum, pendidikan merupakan pilar bagi pembangunan bangsa. Tanpa pendidikan, hendak dikemanakan bangsa ini? Oleh sebab itu, untuk memajukan bangsa, maka majukanlah pendidikan. Untuk memajukan pendidikan, perbaikilah nasib para guru. Selama guru masih sibuk mengurusi S L E N T I N G A N
dapur dan kebingungan mengatur keperluan-keperluan rumah tangga, bagaimana guru akan sempat memikirkan formulasi yang tepat dalam proses transfer ilmu kepada anak didiknya? Bereskan dulu keperluan dapur, niscaya guru dapat berkonsentrasi dalam pengajaran. Walhasil, diberikanlah guru kebebasan, kesempatan/ruang yang lebih luas untuk mengasah skill, keterampilan dan inovasi mengajar, penggunaan media pembelajaran yang baik, dan sebagainya, lewat program-program yang dirancang oleh pemerintah: sertifikasi, PLPG, dan semacamnya. Teramat mulia dan besar jasajasa para guru, sehingga nyaris tak layak kita usik kenyamanan mereka. Namun, justru berangkat dari “kemuliaan-kemuliaan” itulah, kami sengaja mengangkat tema Nuansa kali ini. Kami seakan tak rela jika kemudian profesi guru dipandang dengan kacamata/orientasi materiil semata. Dengan profesi guru yang prospektif saat ini, lantas berbondong-bondonglah orang yang dulu memandang sebelah mata profesi guru, menganggap profesi guru sebagai profesi alternatif saat tak mampu menggapai cita-cita. “Sudahlah, jadi guru saja!” begitulah kira-kira. Lebih lanjut, program sertifikasi bagi para guru juga ternyata ma-
sih menyisakan berbagai persoalan.
Program yang sedianya ditujukan bagi peningkatan profesionalitas para guru itu, pada perkembangannya justru kerap dituding hanya bertujuan pada usaha menambah gaji. Di sinilah, karakteristik guru mulai dilunturkan oleh kepentingan materi, walaupun kami pun sadar, tentu guru melakukan hal itu sebenarnya lebih sedikit jumlahnya. Terlepas dari semua itu, alangkah
baiknya bila kita renungkan kembali hakikat guru yang sesungguhnya. Bahwa guru tak hanya sosok yang mentransfer pengetahuan saja, tetapi juga bertanggung jawab atas moral siswa, mendidik dengan nilainilai. (Redaksi)
N A N S T R I P
Puluhan pasang remaja terjaring razia pacaran di kampus. Nggak pacaran kok, Pak. Cuma HOT-spot-an! Peminat PMW (Program Mahasiswa Wirausaha) ternyata cukup banyak. Lebih baik jadi wirausaha ya... Mahasiswa kurang peduli mengenai sampah. itu saja..?
ans Cak N
NuansA Tabloid Mahasiswa NuansA diterbitkan oleh Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Universitas Negeri Semarang merupakan media komunikasi, informasi, dan rekreasi sivitas akademika yang memadukan idealisme, objektivitas, dan kreativitas mahasiswa. Terbit berdasarkan SK Rektor IKIP Semarang nomor 53/1983. Alamat Redaksi Kompleks Joglo Unnes Kampus Sekaran Jl Raya Sekaran Gunungpati Semarang 50229 Telp. (024) 70789389 Web Site: www.bp2mgroup.com E-mail: nuansa.bp2m@gmail.com
Pembina: Rektor Universitas Negeri Semarang; Penasihat: Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan; Penanggung Jawab: Dra Martitah, M.Hum; Pendamping: Drs Eko Handoyo, MSi; Pemimpin Umum: Muqsith Ary Wibowo; Sekretaris Umum: M. Rifai Fajrin; Pemimpin Perusahaan: M. Noor Ahsin; Bendahara Umum: Yuli Resista; Litbang: M. Ulil Amri; Pemimpin Redaksi: M. Rifan Fajrin; Sekretaris Redaksi: Yuli Resista ; Bendahara Redaksi: Ayu Purwaningrum; Redaktur Pelaksana: Surahmat; Redaktur Artistik: Arif Z . N; Editor: Zumrokhatun; Reporter: Amri, Rifan, Yuli, Zumrokhatun, Rahmat, Ayu, Rizki, Jannah (nonaktif), Zakki, Ryadloh (nonaktif); Fotografer: Yuli, Zakki; Ilustrator: Sidiq, Rizki Lay-out: Zed, Cover: Adityo ~ Redaksi menerima tulisan berupa artikel, opini, cerita pendek, puisi, dan naskah lain yang sesuai dengan visi dan misi NuansA. Redaksi berhak mengubah naskah sepanjang tidak menyalahi isi. Semua naskah yang masuk menjadi hak redaksi. Penulis naskah yang dimuat akan mendapat imbalan sekadarnya.~
Tesa
N ua n s A 124 TH XX/2009
Menumpas Terorisme
3
Oleh Muhammad Nur Ahsin* Terjangan badai terorisme kembali mengguncang bumi pertiwi. Kali terakhir, pada Juli kemarin, dua hotel mewah JW Marriott dan Ritz-Carlton di Kuningan, dibuat hancur berantakan oleh aksi radikal yang dilakukan sekelompok teroris. Akibatnya, korban tak berdosa pun banyak yang berjatuhan dengan kondisi sangat mengenaskan. Ketentraman negeri ini seolah sedang diacak-acak oleh Noordin M. Top dkk yang mengatasnamakan jihad. Berdasarkan hukum agama dan negara, membunuh orang yang tak bedosa dengan brutal termasuk dosa dan larangan, apalagi sambil membunuh diri sendiri. Menurut islam, pemaknaan kata jihad untuk memerangi “musuh”
hanya dibenarkan jika terlebih dahulu kita diserang atau didholimi. Aksi destruktif tersebut jelas tidak bisa dikatakan jihad. Dalam hal ini, para teroris sangatlah pantas jika kita jadikan sebagai musuh bersama. Hal itu karena keberadaan mereka tidak membawa kemaslahatan, melainkan menebarkan benih ketakutan dan kebencian umat manusia. Menumpas terorisme di Indonesia memang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Selagi, Noordin M. Top selaku otak pengeboman belum tertangkap, sepertinya keamanan negeri ini akan senantiasa terancam. Walaupun demikian, para pengikut fanatiknya pun tetap tak bisa diremehkan, karena mereka juga berpotensi melakukan teror. Untuk itu, semua teroris di Indonesia harus ditangkap dan diadili. Meskipun jaringan mereka diyakini sangat licin dan sulit dideteksi keberadaannya. Namun, semua pihak,
khususnya polisi dan masyarakat harus bekerjasama serta berusaha untuk menumpas sampai akar-akarnya. Bila ditelaah, menjamurnya terorisme di Indonesia, disebabkan beberapa faktor. Pertama, administrasi kependudukan kita amburadul. Akibatnya, orang dengan mudah bisa memiliki lebih dari satu KTP. Kondisi ini menguntungkan para teroris. Mereka dapat merubah status sesuai yang dikehendaki dengan mudah. Kedua, sanksi hukum orang yang terlibat terorisme sangat ringan. Selama ini, hanya pelaku peledakan bom Bali yang dihukum mati, pelaku lain hanya dipenjara 2-5 tahun. Ketiga, korupsi yang dilakukan birokrasi tinggi. Hal ini menyebabkan mayoritas rakyat berada dalam lingkaran setan kemiskinan. Orang bodoh dan miskin merupakan lahan subur tumbuhnya ideologi radikal. Bagi penganut ideologi tertentu, mati menjadi mujahid dipandang sebagai suatu yang lebih
baik daripada hidup susah di dunia. Dengan demikian, menumpas perjuangan terorisme juga harus harus diimbangi dengan upaya pemberantasan korupsi serta strategi untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan bangsa. Kedua, yaitu menertibkan administrasi kependudukan agar masyarakat tidak mudah memiliki KTP ganda. Hal yang tidak kalah penting adalah melaksanakan program “deradikalisasi” setelah menjalani hukuman penjara bagi mantan narapidana terorisme. Gerakan terorisme tidak mengenal batas-batas negara. Untuk itu, perlu juga pemerintah Indonesia bekerjasama dengan negara asing dan lembagalembaga internasional tertentu untuk menumpas gerakan terorisme secara global. Muhammad Noor Ahsin Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia 2005
menjadi tempat persembunyian teroris, mengingat polisi pernah menemukan bom rakitan aktif di Desa Lembujati, Kecamatan Gemawan, Kabupaten Temanggung yang dirakit Abdul Hadi, teroris yang tewas dalam penggrebegan di Wonosobo 29 April 2006 silam. Rupanya, Temanggung bukanlah kota baru dalam pemetaan jaringan terorisme di Indonesia. Banyak yang meyakini bila dalang teroris di Indonesia seperti Noordin M. Top ditangkap maka ancaman bom di Indonesia akan hilang. Hipotesis ini membuat beberapa kalangan meragu ketika terorisme itu sendiri seolah patah tumbuh hilang berganti. Terorisme seakan menjadi bahaya laten yang sulit dimusnahkan. Jaringan teroris telah terbangun dengan rapi dalam bentuk sel-sel sehingga tidak mudah dilumpuhkan. Penjagaan ekstra ketat di berbagai tempat pascapengeboman bukanlah tindakan yang utama. Mempersempit ruang gerak dan menangkap
dalang terorisme di Indonesia memang harus segera dilakukan, tetapi itu juga bukan solusi utama dalam menghancurkan terorisme di Indonesia. Esensinya, yang harus diperangi bukan hanya gejala terorisme, tetapi hingga ke akar penyebabnya. Kemiskinan, buruknya pendidikan, rendahnya pemahaman agama, rendahnya nilai budaya dan kehidupan sosial pun dapat menjadi pemicu terorisme. Bila dicermati, semua pihak punya potensi menjadi media tumbuhnya cikal bakal terorisme tanpa disadari. Kelemahan pemerintah, pemuka agama, dan seluruh lapisan masyarakat dalam menyikapi hal-hal tersebut harusnya segera diperbaiki. Pemahaman ajaran Islam secara mendalam dan mengedepankan toleransi antarumat beragama dapat menghindarkan pemikiran radikal dan fundamental yang mengarah pada aksiaksi kekerasan.
tangan orang yang “tepat”. Dengan sedikit menjejali mereka dengan doktrindoktrin tertentu, sudah pasti mereka akan melaksanakan tugas dengan baik. Sungguh sayang jika kita kehilangan cikal bakal penerus bangsa dengan sia-sia. Untuk mencegah keadaan yang lebih buruk, perlu peran serta banyak pihak antara lain, pemerintah, keluarga, dan masyarakat. Pemerintah seharusnya meningkatkan kesejahteraan rakyat karena kita pun mengakui bahwa kemiskinan sangat dekat dengan kriminalitas. Saat perut kosong, manusia pastilah berusaha memenuhi kebutuhannya. Cara apa pun pasti akan ditempuh. Selain
itu, pemerintah perlu meningkatkan keamanan negara dari teroris yang menyusup. Daerah yang terkesan aman, belum tentu benar-benar aman. Keluarga seharusnya memberikan pengenalan agama secara benar. Ajaran yang diselewengkan akan berdampak global. Keluarga juga hendaknya memberikan pendidikan formal atau keterampilan untuk mengembangkan diri. Ketika seseorang meninggalkan rumah, maka pengawasan akan diambil alih oleh masyarakat secara otomatis. Masyarakatlah yang berkewajiban menjaga lingkungannya dari bahaya yang mengancam. Dengan peran serta semua unsur di atas, banyak jiwa muda tidak akan terjerat pemahaman yang keliru. Dengan tidakan preventif yang kita lakukan, niscaya teror sekeji apa pun, doktrin sekuat apa pun, tidak akan mampu menggoyahkan jiwa-jiwa remaja yang masih butuh bimbingan itu.
Terorisme yang Laten Oleh Ayu Purwaningrum* Aksi terorisme yang terjadi di beberapa negara belakangan ini menjadikan banyak kambing hitam yang muncul. Berbagai pihak saling tuding sebagai biang penyebabnya. Para pemimpin dunia dan tokoh agama Islam menuduh Amerika dan Israel sebagai biang terorisme dunia. Sedangkan sang negara tertuduh balik menuding bahwa negara tertentu adalah produsen teroris dunia. Namun, melihat kompleksitas permasalahan terorisme itu sendiri, tampaknya aksi teror yang terjadi bukan hanya sematamata permasalahan agama, melainkan masalah umat manusia dalam berbagai aspek. Di Indonesia, pihak keamanan pun tidak luput dari tudingan
akan ketidakprofesionalan kerja dalam mencegah terorisme. Namun, tuduhan ini seakan dimentahkan karena di Amerika sendiri yang merupakan pusat rujukan anti teror dunia sekan dibuat tidak berdaya mencegah hancurnya gedung WTC dari tabrakan maut para teroris. Ini membuktikan, kehebatan keamanan di suatu wilayah bukanlah satu-satunya jaminan untuk dapat melenyapkan terorisme dari muka bumi. Penyergapan yang dilakukan Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri di rumah Muhzuri di Desa Beji, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung pada 7 Agustus 2009 kemarin setidaknya dapat membuktikan keseriusan pemerintah Indonesia dalam menangani aksi terorisme. Walaupun ternyata Noordin M. Top masih belum tertangkap, paling tidak pemerintah telah berusaha memberantas dan mempersempit ruang gerak jaringan terorisme. Tidak mengherankan kiranya ketika Polri menduga Temanggung
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris 2007
Bunuh Diri Jadi Strategi Siti Zumrokhatun* Serangkaian aksi peledakan terjadi di Indonesia. Hotel Marriott dan Ritz-Carlton pun tak luput dari tragedi ini 17 Juli lalu. Para pelaku tak tanggungtanggung dalam melakukan aksinya. Bahkan, tanpa ragu mereka ikut meledakan diri. Bagi kita orang awam, kematian mungkin akan menjadi hal yang paling menakutkan. Namun bagi mereka, kematian merupakan tiket emas menuju surga. Cara yang dipilih pun tergolong sadis. Strategi bunuh diri dipopulerkan tahun 1980 oleh kelompok paramiliter Basidji Iran yang pada saat itu melawan Irak yang berkoalisi dengan Barat dan Arab Saudi. Kelompok ini terdiri dari ratusan ribu orang yang akan mengorbankan nyawanya secara sukarela. Strategi ini menjadi sangat populer dan inspirasi bagi banyak kelompok Islam fundamental dan radi-
kal. Karena tindakan ini berdasar pada salah satu agama, mereka tidak merasa bahwa perbuatan tersebut salah. Justru mereka menganggap akan memperoleh pahala karena mati dalam jihad. Satu hal yang membuat kita terkejut dari kasus peledakan di Hotel Marriott dan Ritz-Carlton adalah salah satu pelaku bom bunuh diri masih remaja. Secara psikologis, remaja memang masih rentan akan hal baru. Mereka dapat dipengaruhi dengan mudah. Banyak keuntungan memang jika merekrut seorang remaja untuk dijadikan pelaku. Selain mudah dipengaruhi, mereka juga mempunyai semangat yang tidak bisa diremehkan jika berada di
Tesa Mendatang: Unnes bersiap menuju Green Campus. Bagaimanakah pendapat Anda? Tulis opini Anda sepanjang 2500 - 3500 karakter, dilampiri foto dan identitas diri secara lengkap, lalu kirim ke redaksi Nuansa atau bisa lewat e-mail di nuansa.bp2m@gmail.com. Tesa diterima redaksi paling lambat sebulan setelah NuansA edisi ini terbit. Bagi yang Tesa-nya dimuat akan mendapat imbalan sepantasnya.
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Prancis 2006
4
Surat Pembaca
Tuntutan yang Menyenangkan? Suatu tuntutan terkadang menyenangkan juga. Bagaimana tidak, karena tuntutan zamanlah yang membuat Unnes mencanangkan program go international dan itu berarti Unnes sedang berusaha untuk menyejajarkan diri dengan universitas-universitas kaliber dunia. Bukankah itu hal yang menyenangkan? Kita tentu berharap akan ada perubahan yang bagus karena nanti Unnes akan dilihat oleh masyarakat dunia. Pencanangan program go International itu tentu saja harus dibarengi oleh perubahan yang realistis. Saat ini salah satu sarana untuk mengantarkan Unnes menjadi universitas adalah penguasaan bahasa yang menjadi bahasa internasional. Hal tersebut tentu saja menjadi sesuatu yang penting karena bagaimana cara kita mengatakan pada dunia bahwa kita adalah universitas yang go international jika kita tidak tahu caranya untuk mengatakannya. Itu merupakan konsekwensi yang harus diterima jika memang ingin menjadi universitas yang go international. Semoga, hal tersebut tidak menjadi suatu paksaan yang tidak menyenangkan. Sekarang ini spirit karena dipaksa maupun terpaksa menjadi sesuatu yang umum terjadi di kalangan mahasiswa dan Unnes. Bagaimana tidak, jika ti-
dak dipaksa mungkin mahasiswa tidak akan mengerjakan tugas-tugasnya. Memang, jika mahasiswa yang sadar pasti ia akan menganggap bahwa ini adalah paksaan yang menyenangkan yang akan mengantarkan kesuksesan dalam hidupnya kelak. Namun jika tidak, jangan sampai keterpaksaan ini menjadi sesuatu yang menyebalkan dan hasilnya pun akan menjadi hal yang dipaksakan adanya. Adanya penolakan yang dilakukan oleh mahasiswa terhadap program pewajiban KMD, misalnya, yang sekarang berubah menjadi ‘sunnah’ merupakan salah satu hasil dari keputusan yang dipaksakan. Harusnya diberikan suatu pengertian yang bisa merangsang mahasiswa untuk sadar bahwa hal itu baik bagi mahasiswa. Apakah memang harus jika mahasiswa Unnes sebagai salah satu tolak ukur output Unnes menjadi sebuah produk yang dipaksakan adanya? Sesuatu yang dipaksaakan matang sebelum waktunya? Semoga saja tidak. Bravo Unnes! Mochammad Khusni Ali Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris 2007
Mahasiswa Kupu-Kupu Pagi hari berangkat kuliah. Setelah usai perkuliahan, pulang ke kost. Jika ada kuliah, berangkat lagi. Kuliah selesai, lalu pulang. Begitu seterusnya. Itulah kenapa muncul julukan baru di kalangan para mahasiswa, yaitu kupukupu (kuliah-pulang, kuliah-pulang). Ya, cukup banyak fenomena seperti itu yang terjadi pada mahasiswa sekarang ini. Tidak banyak yang mereka lakukan. Di kost pun yang mereka lakukan paling hanya ngobrol atau menonton televisi. Ada juga sih yang baca-baca buku, buku-buku cerita seperti novel atau komik. Paling banter, mereka mengulang mata kuliah yang sudah diajarkan, mempersiapkan materi kuliah untuk hari berikutnya atau nyicil mengerjakan tugas-tugas. Para mahasiswa yang notabene adalah calon generasi penerus bangsa yang seharusnya bertanggung jawab atas gelar “mahasiswa” yang disandangnya, kurang bisa menafsirkan peran mahasiswa sesungguhnya. Setiap permasalahan yang dihadapi baik di kampus ataupun pemerintahan kurang bisa direspon mahasiswa dengan baik. Kebiasaankebiasaan mahasiswa yang seharusnya diisi dengan membaca, diskusi, menulis, dan aksi justru muncul sebagai kebiasaan yang tidak relevan untuk dilakukan. Jika memang model kupu-kupu ini sudah membudaya di kalangan mahasiswa, bagaimana mungkin problem negara yang sangat kompleks sekarang ini terselesaikan di tangan kaum-kaum intelektual formalis itu. Muncul kesangsian di benak saya, apakah hanya dengan mengandalkan ijazah dengan indeks prestasi yang memuaskan saja, tanpa disertai dengan keahlian dalam mengaplikasikan ilmu tersebut, kita bisa menyeleseikan berbagai macam polemik bangsa? Pernah suatu ketika saya mendapat nasehat dari seseorang bahwa sukses seseorang 80 persen ditopang dari soft skill. Sedangkan kegiatan perkuliahan kita itu hanya turut andil 20 persen saja sebagai hard skill.
Salah satu dari soft skill tersebut bisa kita peroleh dalam suatu organisasi. Dengan berkecimpung di dalam organisasi, kita bisa mendapat banyak manfaat. Di antaranya adalah menambah pengalaman, teman, motivasi, dan juga ilmu yang tidak kita dapat di dalam perkuliahan yang menghasilkan kecerdasan intelektual. Padahal kecerdasan intelektual akan kurang bermanfaat tanpa disertai dengan kecerdasan emosional. Dengan berorganisasi, kecerdasan emosional kita akan terasah secara perlahan. Tanggung jawab akan gelar “mahasiswa” yang disandang seharusnya menjadi cambuk keras bahwa tidak hanya sebatas mendapat nilai yang memuaskan, tapi lebih ke pertanggungjawaban kita setelah turun di masyarakat nanti. Apakah kecerdasan intelektual kita bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau tidak? Itu yang terpenting. Ada sebuah peribahasa yang mengatakan bahwa ilmu tanpa pengamalan bagai pohon tanpa buah. Dari peribahasa tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa segala kapasitas keilmuan yang kita dapat seharusnya bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan masyarakat. Tapi bagaimana mungkin jika kita hanya memiliki ilmu-ilmu teori tanpa disertai kemahiran dalam mengaplikasikan ilmu-ilmu tersebut. Untuk itu selain kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional juga sangat diperlukan. Usaha sadar diri akan peran kita sebagai calon pembangun bangsa dan tanggung jawab moral sebagai mahasiswa, harus sudah tertanam di dalam pikiran dan hati kita. Tapi tidak hanya berhenti di situ, kita juga dituntut untuk lebih cekatan dalam mengambil aksi untuk mengatasi masalah tersebut. Ike Purwaningsih Mahasiswa Bahasa Inggris 2007
N ua n s A 124 TH XX/2009
Menumbuhkan Sikap Kritis Suatu permasalahan muncul ke permukaan. Katakanlah suatu kebijakan baru yang dibuat oleh pemerintah. Satu pihak setuju dengan pemerintah, sedangkan pihak lainnya tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Kemudian terjadilah suatu perdebatan. Bukan sekadar debat kusir, tetapi setiap pihak mempersiapkan bukti, fakta serta data untuk memperkuat argumentasinya. Cara penyusunan dan penyampaian argumen pun harus jelas dan sistematis. Agar setiap pihak dapat mengerti bahkan menerima argumen lawan. Tak hanya penyusunan penyampian saja yang dibutuhkan, kewaspadaan akan kelemahan lawan juga sangat dibutuhkan untuk menjatuhkan argumen lawan. Ilustrasi tadi hanyalah sebagai contoh seseorang dapat mengungkapkan dan mempertahankan argumentasinya dalam sebuah perdebatan. Lebih dari itu, saya lebih senang menyorot sifatsifat kritis yang ada pada setiap debater. Sifat kritis itulah yang seharusnya dimiliki oleh setiap mahasiswa. Apalagi, mahasiswa sebagai agent of change haruslah dapat mengerti dan memahami setiap dampak baik positif dan negatif yang muncul dalam setiap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh wong dhuwur. Karena, dampak dari kebijakan tersebut tentu akan berimbas ke kita juga. Untuk menumbuhkan sikap kritis, hal yang paling mendasar tentulah kita harus mengenal segala peristiwa yang terjadi disekitar kita. Tak usah terlalu muluk untuk menkritisi masalah politik atau ekonomi dunia. Mulailah dari hal yang paling dekat dengan kita terlebih dahulu. Misalnya, kebijakan-kebijakan universitas yang dibuat dapat dijadikan objek untuk melatih sikap kritis dalam diri kita. Tentu saja, dalam mengkritisi setiap kebijakan yang ada, kita harus menilik lebih jauh ke dalam segi positif maupun negatif dari kebijakan tersebut, jangan
asal ceplos saja. Hal tersebut juga harus dibarengi dengan penyampaian yang baik agar orang lain mengerti apa yang hendak kita inginkan. Namun yang sering terjadi justru sebaliknya. Kita semua mungkin sering melihat di televisi, banyaknya mahasiswa yang melakukan demo anarkis dalam menentang kebijakan pemerintah, seperti demo untuk menolak kenaikan harga BBM. Hingga menimbulkan kericuhan dengan aparat. Saya sendiri tidak begitu paham, apakah semua mahasiswa yang melakukan demo telah menempuh jalan yang sesuai terlebih dulu, sebelum mereka memutuskan untuk berdemo. Tak dapat kita pungkiri, demo juga merupakan wujud sikap kritis. Namun, apa salahnya kalau disampaikan dengan baik dan sistematis serta dibarengi dengan kepala dingin? Kembali ke masalah sikap kritis pada mahasiswa. Di Unnes sebenarnya sudah muncul sikap kritis pada mahasiswa. Namun, jumlahnya masih sekelumit jika dibandingkan dengan puluhan ribu mahasiswa yang mendiami kampus ini. Padahal, Unnes telah menyiapkan berbagai wadah untuk menyalurkan ide-ide dan bakat kita. Seperti BEM, Hima, Himpro maupun UKM-UKM baik yang tingkatnya jurusan maupun Universitas. Media-media yang diciptakan oleh mahasiswa seperti Express, Nuansa, Kompas Mahasiswa pun turut mendukung terciptanya lingkungan kritis pada mahasiswa. Dengan begitu banyak fasilitas yang ada, seharusnya dapat membantu kita dalam menumbuhkembangkan sikap kritis dalam diri kita. Namun, semua itu harus kembali ke diri kita, untuk mau memulai dan melatih sikap kritis dalam diri kita. Rahma Juwita (Sub division rehearsal, EDS Unnes)
Bulan Stres Tahun 2009 Ada yang menarik pada April tahun 2009, khususnya di Indonesia. Selain terkenal dengan hari kelahiran R.A Kartini dan budaya april mop yang alhamdulillah tidak membudaya di masyarakat kita, pada bulan ini bangsa dan seluruh elemen Negara Indonesia memiliki hajatan yang luar biasa hebat, yang tentu memiliki tingkat kestressan tinggi. Pertama, pemilu legislatif untuk menentukan wakil rakyat di DPR, DPRD, dan DPD periode 2009-2014. Pemilu legislatif kali ini sangat unik daripada tahun-tahun sebelumnya. Banyak kasus prapemilu, pemilu, dan pascapemilu yang masih saja asyik kita ikuti perkembangannya. Mulai masalah semrawutnya proses penyelenggaraan pemilu, pelanggaran-pelanggaran pemilu, dan ditambah lagi ancaman gugatan partai politik peserta pemilu kepada KPU. Belum lagi koalisi-koalisi pragmatis dan oportunis yang masih menjadi headline berita di TV.
Kedua, Ujian Nasional SMA dan SMP. Belum lagi urusan pemilu selesai, sudah ada urusan yang menawarkan tingkat kestressan tinggi. Tidak hanya siswa yang stress. Staf pengajar, kepala sekolah, elemen-elemen pendidikan, hingga keluarga turut serta dalam berbagi kestressan Ujian Nasional ini. Dinaikkannya batas kelulusan tahun ini, sedikit banyak telah memberi tekanan psikologis dan afektif dari setiap elemen yang berurusan dengan pendidikan menengah. Dengan adanya kestressan-kestressan di atas, mari bersama-sama berdoa agar bangsa Indonesia diberi ketabahan dan kekuatan. Semoga tenaga dokterdokter dan para perawat di rumah sakit ”psikologi” tidak terforsir terlalu banyak. Amien. Muhammad Husin AL Fatah English Education IMM Hamka Unnes
SURAT PEMBACA Diketik 1,5 spasi maksimal satu folio, ditandatangani dan dilengkapi identitas diri. Isi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Redaksi tidak melayani permintaan identitas yang dirahasiakan. Redaksi berhak melakukan editing.
N ua n s A 124 TH XX/2009
5
Nuansa Utama
Mempertanyakan Kompetensi ‘Oemar Bakrie’
R
atusan guru duduk memenuhi Auditorium Unnes, Sabtu (4/4) lalu. Dari plat kendaraan yang terparkir di halaman mereka berasal dari seantero Jawa Tengah. Dari Jepara nun jauh di utara laut Jawa, sampai Cilacap di pinggiran laut selatan. Hari itu Ketua Direktorat Tenaga Kependidikan, Surya Darma, dan Ketua Direktorat Profesi Pendidik Ahmad Dasuki, dari Direktorat Jenderal PMPTK Departeman Pendidikan Nasional didapuk sebagai pembicara seminar. Keduanya duduk di depan bersama Agus Wahyudin, Dekan FE yang kebagian tugas menjadi moderator. Seminar bertajuk Arah Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan itu digelar oleh Program Pascasarjana. Bukan tidak mungkin, acara itu juga menjadi refleksi bagi para tenaga pendidik dan kependidikan mengingat ada sejumlah carut marut di sana. Kalau tidak dapat disebut sebagai kunci, posisi guru dalam menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas amatlah sentral. Mereka adalah ulin di ujung tombak pendidikan. Meskipun perannya amat sentral, kualifikasi dan kompetensi mereka masih dipertanyakan. Suara Surya Darma menggema saat dia memulai paparannya. Dia berdiri di balik mimbar jati yang mengkilat oleh vernis. Untuk membuka presentasinya Surya menjelaskan kesalahan paradigma pengajaran yang banyak terjadi di kelas. Menurutnya, banyak guru yang masih berperan hanya sebagai pengantar informasi. “Ini pendidikan tradisional,” ucapnya. Selain paradigma belajar yang ngeliru, ada puluhan masalah yang membelit guru. Surya memulai rentetan masalah itu dengan mengungkapkan rendahnya kualifikasi akademik guru. Tabel yang ia sajikan menunjukkan baru 37 persen guru yang memenuhi kualifikasi S1. Dari 2.783.321 guru di seluruh In-
donesia, 722.293 orang masih berpendidikan di bawah SMA, 96.416 orang Diploma I, 731.371 berpendidikan D II, dan 189.404 lainnya masih berijazah D-III. Sisanya, 1.032.349 orang berpendidikan S1, 11.428 berpendidikan S2, dan hanya 60 orang saja yang bergelar doktor. Kualifikasi akademik guru jelas bukan persoalan sepele. Untuk menjamin kaulifikasi itu pemerintah bahkan merasa perlu menerbitkan sejumlah aturan, seperti UU No. 14 Tahun 2005, PP Nomor 74 tahun 2008, juga Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007. Ketiga produk hukum itu mewajibkan guru setidaknya mengantongi ijazah D-IV atau S1. Nasib 1.739.484 guru yang belum S1 bisa menjadi ‘duri’ dalam upaya menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas. Bagaimana nasib mereka? Selain kualifikasi akademik, status guru juga menjadi persoalan yang tak kalah pelik. Surya Darma menyebutkan, dari 2.783.321 guru yang tercatat di departemennya, hanya 54,9 persen yang PNS. Sisanya adalah guru swasta, guru honorer, dan GTT. “Mereka semua minta diPNS-kan,” ujarnya. Memberikan status PNS ternyata tak semudah memberikan NIP. Setiap NIP yang diberikan menuntut anggaran negara yang lebih besar. Bisa dihitung berapa kocek negara yang harus dirogoh untuk menggaji 1.255.277 guru nonPNS. Menyimak angka-angka itu memang tidak terlalu menarik. Membingungkan. Peserta seminar bisa dibuat berkerut kening untuk menghitungnya. Kompetensi guru Indonesia juga berada di titik yang mengkhawatirkan. Menyimak grafik yang disajikan Surya Darma, orang bisa dibuat tercengang. Dari uji kompetensi yang pernah dilakukan Dirjen PMPTK, skor kompetensi guru masih terbilang rendah. Pada guru mata pelajaran Ekonomi, misalnya, skor tertinggi yang diraih guru hanya 33 dari 40 jumlah soal. Se-
Surya Dharma, MPA., PhD (Nuansa/Zakki)
dangkan skor terendah adalah 1. “Kalau ada guru yang hanya bisa menjawab 1 soal, bayangkan bagaimana mereka mengajar di kelas,” ungkap Surya. Skor kompetensi guru yang berkisar di ranking sepatu diakui pula oleh Mungin Eddy Wibowo, ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Dari uji kompetensi yang dilakukan BSNP dengan Dinas Pendidikan Jawa Tengah, guru yang telah disertifikasi ternyata hanya menguasai 60 persen kompetensi minimal. “Berarti kan masih ada sekian persen kompetensi yang belum dikuasai,” ujarnya, Selasa (31/3) di kantornya, Jalan Cipete Raya, Jakarta. Jimy Paat dari kelompok Studi kultural dan pedagogik mengatakan rendahnya kompetensi guru dipengaruhi oleh proses pendidikan di LPTK. Dia menyebut LPTK sebagai kunci peningkatan kualitas guru. “Kalau mau memperbaiki kualitas guru, ya perbaiki dulu perguruan tinggi-perguruan tinggi eks-IKIP yang menghasilkan calon guru,” ungkapnya ditemui Nuansa, Se-
lasa (31/3) lalu di kampus UNJ Rawamangun. Berbeda dengan rumusan Permendiknas itu, Surya Darma menetapkan 4 kemampuan dasar yang harus dimiliki guru profesional. Menurutnya, guru profesional harus memiliki kemampuan komunikasi, kolaborasi, teknologi, dan evaluasi. Selain itu, lanjut Surya, ada empat komponen penting harus dimiliki guru profesional, antara lain basic pengetahuan, pedagogik, kepemimpinan, dan personal attributes. “Guru juga harus bersikap jujur dan adil,” lanjutnya. Jimy Paat menambahkan, peningkatan kompetensi guru harus dilakukan oleh LPTK. Perguruan tinggi eks IKIP, termasuk Unnes, harus cerdas merancang perkuliahan yang efektif agar menghasilkan guru profesional. Mampukah Unnes mewujudkannya? Rahmat
Harap Maklum, yang Keliru Bukan Kurikulum Kualitas lulusan LPTK tidak hanya dipengaruhi kurikulum, input juga berpengaruh.
K
ualitas lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) tidak hanya bisa dijamin dengan kurikulum yang baik. Banyak faktor yang punya andil mempengaruhi kualitas lulusan, termasuk sistem pembelajaran, proses perkualihan, hingga lingkungan sosial mahasiswa. Boediono, kepala jurusan Kurtekdik FIP Unnes, bahkan menganggap input mahasiswa sebagai faktor yang sangat menentukan. Budiono mengakui anak-anak yang masuk Unnes, bahkan LPTK pada umumnya, bukan anak-anak terbaik di sekolahnya. Menurutnya, hal itu terjadi karena guru belum menjadi prioritas profesi bagi siswa-siswa terbaik. “Masih jadi alternatif,” ungkapnya. Hal serupa diungkapkan Achmad Munib, praktisi pendidikan dari Fakul-
tas Ilmu Pendidikan (FIP) Unnes. Menurutnya, guru masih dianggap sebagai alternatif profesi. Tentang hal itu, ia bahkan pernah bertanya kepada mahasiswanya. “Tidak ada satu pun mahasiswa kependidikan yang lulusan terbaik di sekolah asalnya,” ujarnya, Kamis (14/5). Boediono tidak menyangkal jika kualitas lulusan LPTK dipengaruhi di masa pendidikan. Namun, ia tidak sependapat jika pendidikan di LPTK menjadi faktor dominan yang mempengaruhi kualitas calon guru. “Kalau menurut saya faktor yang dominan adalah internal. Jadi si aktor itulah yang menentukan,” ucapnya. “Pendidikan, akan baik dan tidak itu tergantung pada aktor (pelaku),” ucapnya. Achmad Munib melihat fenomena berbeda di Unnes. Menurutnya, meski kurikulum sudah dikembangkan den-
gan baik, seringkali ada proses yang dilompati. “Misalnya, mahasiswa mestinya kuliah enam belas kali, tapi hanya dua belas kali. Mestinya masuk jam tujuh malah masuk jam delapan,” lanjut Achmad Munib. Sebagai kawah Candradimuka para calon guru Unnes sebenarnya telah melakukan langkah besar dengan mengembangkan kurikulum tiap tahun. Namun menurut Abdul Munib, masih kurang responsif karena mestinya dikembangkan setiap tahun. “Semakin sering semakin baik.” Selain faktor intern keberhasilan mahasiswa menguasai keterampilan pedagogis sangat ditunjang referensi. Diakui Achmad Munib kurangnya referensi belajar mahasiswa masih menjadi kelemahan mahasiswa Unnes. Sebagian mahasiswa masih mengandalkan buku MKDK sebagai satu-satunya sumber
belajar.”Ini yang keliru,” ujar Ahmad Munib. Idealnya, satu mata kuliah ditunjang oleh sembilan judul buku. Untuk menjadi sarjana pendidikan, setidaknya ada 20 mata kuliah dasar kependidikan untuk membekali keterampilan pedagogis. Di jurusan pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia misalnya, ada 20 mata kuliah kependidikan yang diajarkan. Menurut Boediono, mata kuliah komptensi pedagogis sudah cukup. “Selain mata kuliah yang diMKDK-kan, kan ada yang diajarkan prodi.” Meski mata kuliah dasar kependidikan terhitung lengkap, keterampilan mengajar mahasiswa diakui sejumlah dosen masih kurang. Masih banyak mahasiswa yang ditemukan gagap saat (Bersambung ke halaman 7 kolom 1)
6
Nuansa Utama
Sertifikasi Tingkatkan Kewibawaan Guru
N ua n s A 124 TH XX/2009
Program sertifikasi guru tidak hanya untuk peningkatan profesionalitas dan kinerja, tapi diharapkan juga dapat meningkatkan kewibawaan guru.
P
agi itu, Jumat (3/4), udara sejuk. Sinar matahari baru mulai menembus rindangnya pepohonan di sekitar Gedung Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Semarang. Jam baru menunjuk pukul 8 pagi. Di gedung itu, berbagai pelayanan bagi peningkatan mutu pendidikan tersedia, mulai dari sertifikasi hingga diklat (pendidikan dan pelatihan) bagi para tenaga pengajar. Nuansa berkesempatan menemui Drs. Slamet Trihartanto, Widya Iswara LPMP. Persoalan dehumanisasi pendidikan yang muncul akhir-akhir ini membuatnya angkat bicara. Sebagai pelaku pendidikan, tentu saja Slamet tidak setuju dengan dehumanisasi dalam dunia pendidikan. Dia tidak akan berhenti meningkatkan kualitas guru. Pendidikan dan pelatihan selama menjadi guru harus terus dilakukan selama masih mengajar. Adapun salah satu cara meningkatkan profesional guru adalah melalui sertifikasi. Menurutnya, sertifikasi yang kerap dituding bertujuan meningkatkan gaji semata, berdampak cukup signifikan bagi peningkatan profesionalisme guru. “Ketika seorang guru masih sibuk dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari, bahkan dengan gaji yang terbatas, seorang guru tidak akan terfokus dalam pengembangan pendidikan. Untuk mempunyai penguasaan di bidang teknologi dan membeli berbagai macam referensi bahan ajar, tentu saja membutuhkan dana yang besar. Apabila seorang guru masih belum sejahtera, bagaimana dia bisa berkembang?” ungkap Slamet. Sertifikasi guru merupakan syarat utama seorang pendidik atau guru memperoleh tunjangan jabatan. Seorang pendidik atau guru pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, harus memiliki kompetensi yang lebih profesional di bidangnya. Artinya seorang pendidik atau guru harus memiliki profesionalisme di bidang perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi di bidang pendidikan. Untuk mencapai itu semua perlu adanya penambahan ilmu bagi seorang pendidik atau guru tersebut. Kalau semuanya sudah tercapai maka guru atau pendidik tersebut dapat dikategorikan sebagai guru yang profesional. Lebih lanjut, selain perhatian kepada guru-guru yang telah ada, peningkatan kualitas pendidikan harus pula dibarengi peningkatan kualitas lulusan program kependidikan pada tahap awal. Pelatihan mengajar seperti Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) bagi mahasiswa kependidikan atau pengalaman magang masih jauh dari cukup. Sebagai pendidik tak cukup hanya dengan menguasai sisi kognitif, tetapi harus pula bagus dari sisi psikomotorik dan afektif terhadap siswa. Maka peningkatan profesionalitas guru tersebut ditempuh dalam dua jalur, yakni jalur portofolio dan jalur pendidikan profesi guru. “Pengalaman mereka masih sangat minim. Mungkin pengalaman mereka dalam bidang kognitif bagus, tapi dalam psikomotorik dan afektif masih sangat kurang. Memang memberikan kesempatan bagi calon guru yang baru
“Kalau zaman dulu, mungkin saja ketika seorang guru yang naik sepeda sampai di sekolah, banyak muridnya yang berebut memarkirkan sepedanya. Guru tersebut masih sangat terlihat berwibawa karena semua muridnya jalan kaki. Namun sekarang, apabila seorang guru masih menggunakan sepeda onthel, sementara muridnya memakai sepeda motor atau bahkan mobil, ia tidak akan dipandang terhormat lagi.” saja lulus merupakan pemborosan. Selain itu, mereka masih tertatih-tatih dan secara operasional masih belum bisa, namun ketika mereka diasah tentu hasilnya akan bisa lebih baik,” katanya. Dengan input tenaga pendidik yang bagus, diharapkan dapat memberikan output peserta didik atau lulusan yang bagus pula. Sebab itu, pemerintah berusaha memperbaiki sistem perekrutan guru. Dulu, tenaga honorer bisa menjadi guru, tetapi sekarang ada kuota minimal untuk menjadi guru. Seorang guru kini harus mampu mengajar selama 24 jam tatap muka selama seminggu. Namun, persoalan yang kemudian muncul adalah sekolah yang mempunyai jumlah guru lebih besar dari keperluan riil sekolah. Dalam praktiknya untuk memenuhi beban 24 (dua puluh empat) jam pelajaran minimal dalam satu minggu tentu sangat sulit. Mungkin ada guru di beberapa sekolah yang tidak dapat memenuhi beban kerja minimal disebabkan sekolah baru didirikan atau jumlah kelas paralel hanya satu atau dua. Konfigurasi persoalan ini adalah distribusi guru yang tidak merata. Menurut pasal 2 (1) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas), bagi guru yang tidak memenuhi beban kerja 24 jam tatap muka terdapat solusi yakni dengan pemberian tugas mengajar di sekolah atau madrasah lain baik negeri maupun swasta dapat juga dengan menjadi guru bina atau pamong pada pendidikan terbuka atau mengajar pada program kelompok belajar Paket A, Paket B dan Paket C sesuai bidangnya. Ayat selanjutnya disebutkan bahwa guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan beban kerja minimum 12 (duabelas) jam tatap muka perminggu pada satuan pendidikan tempat guru diangkat sebagai guru tetap. Ketika guru masih saja tidak dapat memenuhi beban kerja minimum, maka ayat selanjutnya dapat memperoleh tunjangan profesi apabila bertugas pada satuan pendidikan layanan khusus berkeahlian khusus dan dibutuhkan atas dasar pertimbangan kepentingan nasional. Namun, bagi guru yang tidak memiliki keahlian khusus solusi
Drs. Slamet Trihartanto (Nuansa/Yuli R)
terakhirnya dilakukan relokasi pada satuan pendidikan lain sesuai bidang tugasnya. “Ketika input yang masuk lebih baik dari sebelumnya tentu saja akan diperoleh guru yang benar-benar berkualitas. Ibarat tembaga, walaupun digosok terus-menerus tidak akan bisa mengkilap karena bahan dasarnya terbuat dari tembaga. Tapi jika bahan dasarnya berasal dari emas, tentu digosok sedikit akan bisa mengkilap. Jika iklim di sekolah benar-benar diberdayakan, hasilnya tentu akan menjadi sangat luar biasa,” tegas Slamet.
Investasi Jangka Panjang Salah satu upaya agar profesi guru diminati adalah dengan meningkatkan kewibawaan profesi sebagi guru. Ingatannya menerawang ke masa lalu, di mana guru diminati hanya oleh kalangan menengah ke bawah. Kini dia bisa berbangga bahwa guru sekarang mulai dilirik oleh kalangan menengah ke atas. Dia pun sangat prihatin manakala melihat seorang guru hanya bisa menunggu bus di pinggir jalan. Sementara itu, murid-muridnya menyapa dari sepeda motor atau mobil mewah. Hal ini tentu akan membuat kewibawaan seorang guru jatuh. “Kalau zaman dulu, mungkin saja ketika seorang guru yang naik sepeda sampai di sekolah, banyak muridnya yang berebut memarkirkan sepedanya. Guru tersebut masih sangat terlihat berwibawa karena semua muridnya jalan kaki. Namun sekarang, apabila seorang guru masih menggunakan sepeda onthel, sementara muridnya memakai sepeda motor atau bahkan mobil, ia tidak akan dipandang terhormat lagi.” Oleh sebab itu, dia mengidamkan guru harus menjadi profesi yang menjanjikan dengan perolehan gaji, materi, dan perlindungan hukum yang layak bagi guru. Dengan demikian, profesi guru akan menjadi profesi yang dipandang terhormat. Dengan sertifikasi, kesejahteraan guru diharapkan akan meningkat. Seorang guru akan dapat mengendarai
mobil dan menenteng laptop. Mereka juga akan memaparkan bahan ajarnya dengan kemampuan yang luar biasa yang sebelumnya sulit mereka lakukan karena keterbatasan alat-alat canggih. Pihaknya merasa gembira manakala rasio antara yang mendaftar dan yang diterima sebagai guru sudah satu berbanding banyak. Dibandingkan zaman dulu yang hanya 1:3 atau bahkan 1:1. Menurut informasi yang dia diterima, sekarang masyarakat mulai melirik keguruan dibanding jurusan Sospol yang lain. Meskipun masih kalah dengan jurusan populer seperti teknik dan kedokteran. Hal ini mungkin dikarenakan profesi guru dinilai cukup menjanjikan. “Jadi, saya tetap berpihak pada upaya peningkatan profesionalisme melalui sertifikasi,” tutur Slamet. Namun, pihaknya tidak memungkiri jika selama ini belum seperti yang diharapkan. Menurutnya pasti ada juga sebagian oknum di antara peserta sertifikasi yang tidak menggunakan kompensasi yang diberikan untuk meningkatkan profesi mereka tetapi bertujuan komersialisme. “Meskipun demikian, saya tetap berpihak pada program sertifikasi untuk peningkatan mutu guru,” tegasnya kembali. Lebih lanjut dia menambahkan, peningkatan kualitas guru sama dengan invesatasi jangka panjang untuk menciptakan suatu tatanan kehidupan yang lebih baik. Dia mengumpamakan, ketika ingin menanam dan memetik hasilnya hanya dalam 3 bulan, maka tanamlah jagung. Jika ingin lebih bersabar memetik yag lebih mahal hasilnya dalam 5 tahun, maka tanamlah mangga. Ketika ingin lebih bersabar lagi memetik hasil yang jauh lebih berharga dalam 50 tahun, maka tanamlah jati. Namun, jika ingin berinvestasi selama 100 tahun bahkan lebih, maka tanam dan kembangkanlah sumber daya manusia, lewat pendidikan yang berkualitas.Yuli Resista, M Rifan Fajrin
N ua n s A 124 TH XX/2009
Nuansa Utama
7
Jawaban Itu Bernama Pendidikan Profesi?
H
ujan di Jakarta belum benar-benar reda. Halaman kantor Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) di Cipete Raya, Jakarta masih diguyur hujan. Dalam ruang rapat di lantai dua yang seluas lapangan bola volly Mungin Eddy Wibowo, ketua BSNP, menyambut Nuansa saat break rapat. Sejak pertengahan Januari silam pemerintah melalui Depdiknas mengumumkan rencana pengadaan pendidikan profesi guru bagi calon pendidik. Program itu akan dimulai paling lambat 1 Juli 2009. Seorang sarjana pendidikan harus menempuh pendidikan profesi dulu sebelum dapat mengajar. “Calon tenaga pendidik dari sarjana kependidikan itu kan baru sarjana pendidikan. Sementara dalam aturan Permediknas, sarjana nonkependidikan bisa menjadi guru kalau mengikuti pendidikan profesi,” ungkap Mungin Eddy. Gagasan itu muncul karena kompetensi lulusan Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) di perguruan tinggi eks IKIP dirasa kurang. Idealnya seorang guru harus memenuhi empat kompetensi dasar pendidik, yakni kompetensi sosial, kepribadian, pedagogik, dan profesional. Meskipun kompetensi sosial dan kepribadian sarjana pendidikan sudah oke, kompetensi pedagogik dan profesional mereka, diakui Mungin Eddy, belum maksimal. Perihal rendahnya kompetensi guru, Jimy Paat dari Kelompok Kajian Kultural dan Pedagogik, menilai keterampilan Pedagogik di LPTK kurang digarap. “Ilmu pedagogik juga ilmu-ilmu yang sudah usang,” tambahnya. Kewajiban mengikuti pendidikan profesi sontak membuat mahasiswa pendidikan terhenyak kaget. Pasalnya untuk menjadi seorang guru mereka
mesti mengikuti pendidikan profesi selama satu sampai dua semester. Untuk guru TK harus menempuh 18 SKS, guru SD juga 18 SKS, calon guru SMP, SMA, dan SMK wajib mengkuti pendidikan selama 2 semester dengan menempuh perkulihan sebanyak 36 sampai 40 SKS. Selama mengikuti pendidikan di LPTK, mahasiswa diwajibkan tinggal di asrama. Selain membuat masa studi molor, pendidikan profesi dianggap tidak perlu. Jimmy Paat, menganggap pendidikan profesi bukan solusi yang tepat. Menurutnya, peningkatkan kompetensi calon pendidik harus dimulai dari lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). ”Mestinya itu.” Jimmy mengaggap, miskinnya keterampilan teknis didaktis pedagogis mahasiswa eks IKIP karena keterampilan pedagogik di perguruan tinggi itu kurang digarap. Ia merasa pendidikan profesi guru belum perlu. “Untuk ukuran guru yang mengajar di SMA, dengan belajar delapan semester sudah mampu, jadi tidak perlu lagi mengikuti pendidikan profesi,” ungkapnya, Selasa (31/3) di Kampus UNJ Rawamangun. Untuk menjamin standar nasional pendidikan BSNP memang tidak main-main. Selain terus mengembangkan standar pendidik dan tenaga kependidikan, pihaknya telah menetapkan standar kualifikasi akademik dan komptensi guru. Standar itulah yang menjadi cikal bakal permendiknas nomor 16 tahun 2007 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Peraturan menteri yang diteken Mendikans 4 Mei silam itu mematok kualifikasi guru dengan patokan yang cukup tinggi. Lampiran peraturan itu menyebutkan semua guru dari tingkat PAUD/TK/RA hingga SMA minimal harus menantongi ijazah D-IV atau S1. “Nanti semua guru kualifikasinya harus mengikuti Permendiknas ini,” ungkapnya, Selasa (31/3) lalu. Namun, selalu ada gap antara rancangan dengan kenyataan di lapangan. Mungin Eddy mengakui hal
Mungin Eddy W (Nuansa/Zakki)
itu. “Kenyataannya di lapangan masih banyak kualifikasi guru masih di bawah ini,” ujarnya sambil menunjukkan buku Permendiknas. Pasca ditandatangani Mendiknas pada 4 Mei 2007, Permediknas tersebut akan menjadi acuan pengembangan kurikulum pendidikan guru. “Dari situlah akan muncul mata kuliah-mata kuliah sebagai acuan seorang guru.” *** Tak tampak khawatir, Sidik, mahasiswa Fisika Unnes, mengaku tahu rencana pendidikan profesi. “Iya, katanya mulai 2015,” ungkapnya, Jumat (3/4). Meski mengaku malas kalau harus melakoninya, ia setuju saja diadakan pendidikan profesi. “Perawat dan dokter saja iya, apalagi guru?” Meski demikian, mahasiswa asal Wonosobo itu menyarankan sebaiknya pendidikan profesi diintegrasikan dengan perkuliahan sarjana. “Bekal ilmu sih sudah cukup, paling cuma perlu tambahan pengalaman mengajar,” tambahnya. Seperti aturan pemerintah lain, kewajiban mengkuti pendidikan profesi bagi calon pendidik juga tak berjalan lempeng. Wahyu Aminudin, mahasiswa Sosialogi Antropologi, berang menanggapinya. Ia menganggap itu sebagai bentuk ketidakadilan. “Masa mahasiswa pendidikan disamakan dengan mahasiswa murni?” Mungin Eddy sadar aturan itu bakal menuai protes. Maka idealnya, lanjut
Mungin Eddy, pendidikan profesi bagi sarjana kependidikan dan nonkependidikan (murni) dibuat berbeda. Sarjana pendidikan sudah memiliki keterampilan dasar-dasar kependidikan, jadi pendidikan profesi akan ditekankan pada materi keilmuan. Sebaliknya, karena mahasiswa nonkependidikan dianggap sudah cukup menguasai meteri keilmuan pendidikannya akan ditekankan pada pemahaman pedagogik, sosial, dan kepribadian. “Dan ingat, pendidikan profesi harus lebih banyak kepada praktik. Misal karena guru harus dituntut memiliki keterampilan pedagogik maka seorang guru harus bisa merencanakan kegiatan pembelajaran. Harus lebih banyak praktik; membuat silabus dan RPP, kemudian juga praktik mengajar, juga mengevaluasi. Jadi di sini lebih banyak praktik meski masih ada teori-teori,” tandas Mungin Eddy. Meski telah menempuh pendidikan profesi, lulusannya tak serta merta mendapat perlakukan istimewa ketika mengikuti seleksi guru. Sertifikat pendidik hanya menjadi prasyarat melamar, bukan tiket emas menjadi guru PNS. Mungin Eddy menjelaskan, agar bisa mengajar, lulusan pendidikan profesi harus mengikuti tes. “Artinya dia harus tetap mengikuti seleski, belum tentu diterima, karena tergantung formasi,” tandasnya.Rahmat
Jimmy Paat (Nuansa/Zakki)
Harap... (Sambungan dari halaman 5)
microteaching dan PPL. Munib menganggap kegagapan mahasiswa ketika PPL sebagai sesuatu yang alami karena harus menempuh proses. Namun, ia juga mengakui pengawasan proses yang dilakukan oleh dosen kurang optimal. “Mestinya microteaching dilakukan lebih dari sepuluh kali, sedangkan kita umumnya hanya 3 kali,” lanjut Munib. “Dosen harus konsisten melakukan latihan. Lha kita, dosennya jarang mengawasi, hanya menunggu laporan saja.” Meski tampak segan mengritik lembaga tempatnya bekerja, Boediono
mengakui ada yang kurang dengan kurikulm yang dikembangkan Unnes. Selama ini Unnes jarang melakukan evaluasi pada kurikulum yang dikembangkannya. “Kita lemahnya di sana,“ ujar Boediono. Ia menambahkan Unnes harus membuat maping user untuk mengetahui kualitas lulusan. “Bahkan jarang prodi yang merespon feedback dari user.“ Meski demikian, tidak baik jika pengembangan kurikulum terlalu fokus pada user. Menurut Munib, kurikulum yang terlalu berorientasi pada user justru akan menghasilkan guru
pekerja.”Itu tidak akan membuat guru yang berpikir,” tandas Munib. “Mestinya, sebelum dilakukan pengembangan kurikulum harus dilakuakan evaluasi. Jadi diriset apa keperluan pengguna, keinginan pengguna, komptensi apa yang diinginkan, juga bagaimana tingkat kepuasan pengguna lulusan. Setelah itu, baru dikembangkan menjadi mata kuliah,“ Menurut Boediono, mestinya Unnes membuat maping user untuk mengetahui keberterimaan lulusannya oleh stakeholder. “Tapi sekarang Unnes baru memasuki BLU dan bersiap
menuju BHP, sehingga baru concern pada sumber daya yang bisa digali untuk menghasilkan dana. Kalau BHP sudah mapan, mungkin Unnes akan ada perhatian ke sana.” Selama ini Unnes kesulitan melakukan evaluasi terhadap lulusan. Ada berbagai kendala yang dihadapi karena alumni telah tersebar di berbagai daerah dan sulit dihubungi. “Tidak semua alumni memberikan inormasi yang benar,” ucapnya. Rahmat
8
Perjalanan
N ua n s A 124 TH XX/2009
Mendidik Penuh Ketulusan Sejak tahun 1950 Taman Pendidikan Anak Kuncup Melati sudah merealisasikan sekolah gratis bagi warga kurang mampu, jauh sebelum pemerintah melakukannya.
M
enyusuri jalan sempit di belakang Pasar Johar, kami disuguhkan nuansa yang sangat berbeda. Siang itu, Selasa (24/4) hari terasa begitu terik meski jam baru menunjuk pada angka sepuluh. Asap hitam kendaraan bermotor mengepul, menyebar, memenuhi seluruh Gang Lombok, sebuah gang kecil di belakang Pasar Johar. Sebagian asap itu menempel baik di dinding, pepohonan, dan apapun yang ada di sana. Semua menjadi abu-abu dan terkesan sangat kotor. Suara bising kendaraan bermotor dan berbagai bunyi-bunyian penarik pembeli di pasar Johar masih memekakkan telinga walaupun kami sudah berada di gang kecil itu. Tumpukan botol-botol bekas dan berbagai perabot tidak terpakai membumbung dan berserakan di tepi Gang Lombok. Dengan peluh bercucuran, para buruh kasar memilah rongsokan itu di bawah terik sang raja siang. Pemandangan yang sama juga terjadi pada seorang pria berusia sekitar lima puluhan tahun yang kami temui di gang sempit itu. Dengan keringat bercucuran, ditariknya gerobak kayu penuh muatan es balok menuju Pasar Johar. Dari beberapa orang yang kami temui tersebut, kami dapat menggali informasi mengenai keberadaan sekolah Kuncup Melati. Dari informasi yang kami dapatkan, tahulah kami sekolah Kuncup Melati ada di ujung gang Lombok. Di situlah titik terang mulai muncul dan kami yakin, perjalanan ini bukanlah sekadar perjalanan biasa. Namun, akan banyak pengalaman lain yang bisa kami dapatkan di sini. Menyusuri Gang Lombok lebih dalam lagi, pemandangan terlihat semakin berbeda. Ibu-ibu mencuci piring dan pakaian, anak-anak kecil yang berlarian, dan pedagang berjualan semua dilakukan di gang kecil itu. Tidak ada lagi tempat bermain anak kecuali gang sempit di depan rumah mereka. Bahkan, tidak ada satu pun rumah yang memiliki teras. Rumah-rumah tampak begitu sempit dan menempel satu sama lain. Sebagian di antaranya menempel pada dinding-dinding yang menjulang tinggi sebagai batas bisu antara golongan saudagar dengan kaum di bawahnya. Tidak lagi terlihat kesederhanaan di sana, tetapi kemiskinan yang lebih dominan menghantui masyarakat di sekitar gang kecil itu. Sampai di ujung Gang Lombok, bau menyengat mulai menusuk hidung. Bau busuk itu rupanya berasal dari sungai di dekat Pasar Johar. Sungai itu lebih tepat disebut rawa sebab airnya bercampur lumpur, menggenang, dan berwarna hitam. Sampah-sampah pun berjubel di pintu air menyumbat alirannya. Kami menjadi ragu, apakah di daerah sekumuh ini ada sebuah sekolah gratis. Andai pun ada, mungkin saja sekolah ini hanya sebuah taman belajar di sebuah rumah kecil dengan tenaga pengajar tidak tetap dan hanya belajar di sore hari atau di waktu senggang saja. Namun, dugaan kami meleset seratus delapan puluh derajat. Tepat di ujung gang, menjulang bangunan me-
Bersama anak didik (Nuansa/ Yuli) gah berlantai tiga berwarna merah dan kuning bertuliskan “Taman Pendidikan Anak Kuncup Melati Yayasan Pendidikan Khong Kauw Hwee”. Saat itu kami benar-benar tidak percaya ada sekolah sebagus itu di wilayah seperti ini. Kami pun masih ragu apakah memang sekolah itu benar-benar gratis. Setelah tiga kali berkunjung ke sana, kami baru bisa bertemu dengan seorang pria yang cukup disegani di sana, Lie Pu Hwa, Koordinator Pendidikan Yayasan Khong Kauw Hwee. Darinya kami dapat menggali informasi lebih dalam lagi mengenai Taman Pendidikan Anak (TPA) Kuncup Melati. “Yayasan ini didirikan sebagai wujud kepedulian pada pendidikan anak-anak yang terlahir dari keluarga yang tidak mampu” tutur Li Pu Hwa membuka percakapan kami. Awal mula pendirian Tujuan awal didirikannya TPA Kuncup Melati adalah untuk memerangi buta huruf. Pada awalnya, orangorang Chinese di kawasan Pecinan ini berkumpul dan berkeinginan menjadikan warga sekitar bisa membaca dan menulis. Sehingga, pada tahun pengurus menggalang dana dengan menerbitkan buku peringatan hari lahir Nabi Khongcu tepat pada perayaan ke 2500 dengan oplah 5 ribu eksemplar dan dibagikan cuma-cuma kepada umum pada tahun 1949. Dana penerbitan berasal dari iklan dan sisanya setelah dipotong dengan biaya pembuatan, masih Rp 800. Uang itu ditambah dengan sumbangan Bp Be Sik Tjong sebanyak Rp 1000,- dan oleh pengurus, uang itu
dibelanjakan untuk membuat sejumlah meja dan bangku dari kayu suren yang harganya murah sekadar memenuhi kebutuhan waktu itu. Tanggal 1 Januari 1950 dibuka Kursus Pemberantasan Buta Huruf dengan jumlah murid 60 siswa. Tahun 1952 jumlahnya meningkat hingga 152 sehingga empat buah ruang kelas yang ada sudah tidak lagi cukup untuk menampung jumlah siswa yang membludak. Di tengah situasi sulit tersebut, muncullah Ong Kiem Tjo beserta kawan-kawan dari Pengurus Cie Lam Cai yang bersedia memimjamkan sebagian ruangan Tay Kak Sie sebagai tempat belajar.
Tokoh di balik itu Lie Ping Lien merupakan merupakan salah satu tokoh yang berjasa di balik berdirinya TPA Khong Khaw Hwee. Sejak berdiri tahun 1950 hingga beliau wafat tahun 1974 yayasan ini berada di tangannya. Satu hal yang patut diteladani bahwa beliau tidak pernah sehari pun absen baik dalam kegiatan pendidikan sekolah, keprigelan maupun dalam kegiatan pendidikan rohani. Beliau selalu menganut falsafah “Apa gunanya kepandaian, kecakapann, dan keahlian seseorang kalau tanpa dilandasi moral yang baik?” Lie Ping Lien beserta pengurus yang lain tidak segan merogoh kantong sendiri bahkan menjual harta milik pribadi berupa barang-barang kuno koleksinya yang berupa alat-alat kesenian, perkakas keprigelan, mesin-mesin pertukangan, buku-buku agama dan kesusastraan,
untuk menutupi pengeluaran Taman Pendidikannya yang terus defisit. Perjalanan TPA Kuncup Melati bukan tanpa kendala. Masa suram pernah menghantui Taman Pendidikan ini ketika Kwik Ik Hoo dan Tjoa Tjiauw sebagai pembantu Lie Ping Lien meninggal dunia. Beban itu semakin bertambah dengan meninggalnya sesepuh Khong Kauw Hwee yang lain. Lie Ping Lien harus menanggung Taman Pendidikan ini seorang diri. Sejak tahun 1969 praktis tidak menerima murid baru, bahkan bila persoalan finansial tidak kunjung terpecahkan, Taman
Lie Pu Hwa (Nuansa/Yuli)
N ua n s A 124 TH XX/2009
Perjalanan Secara bahu-membahu mereka berusaha menegakkan lagi bekas sekolahnya dari ambang keruntuhan. Maka dibentuklah Panitia Penyelamatan taman pendidikan anak-anak yang diprakarsai Lie Ing Liem. Pendidikan ini terancam dibubarkan. Kesulitan makin bertumpuk manakala kepercayaan masyarakat terhadap kelangsungan taman pendidikan ini mulai menyusut. Donator dan para dermawan sebagai tulang punggung financial mulai menghentikan bantuannya. Melihat kondisi kesehatan yang terus memburuk, pada tahun 1972 Lie Ping Lien dipaksa untuk mengundurkan diri. Kedua matanya makin rabun, namun Lie Ping Lien tetap bersikeras untuk mengurus taman pendidikannya. Sementara itu, inventaris yang masih ada sudah tidak berarti lagi untuk dijual guna menutupi kekurangan finansial. Sisa anak didik yang masih aktif belajar menjadi terkatung-katung dan masa depan mereka menjadi semakin tidak jelas. Rupanya keadaan Lie Ping Lien mengetuk sanubari beberapa pihak terutama para alumni Taman Pendidikan ini. Secara bahu-membahu mereka berusaha menegakkan lagi bekas sekolahnya dari ambang keruntuhan. Maka dibentuklah Panitia Penyelamatan Taman Pendidikan Anak-Anak yang diprakarsai Lie Ing Liem. Melihat taman pendidikannya mulai terselamatkan, Lie Ping Lien bersedia untuk men-
Halaman sekolah (Nuansa/ Yuli)
Anak didik (Nuansa/ Yuli)
9
gundurkan diri. Lie Ping Lien sangat dihormati mengingat pengorbanannya yang tidak tanggung-tanggung dengan menjual apapun miliknya guna mempertahankan sekolah gratis bagi warga tidak mampu. Tuntutan zaman tidak hanya terbatas pada membaca, menulis, dan berhitung. Siswa membutuhkan pendidikan lebih lanjut. Untuk menyesuaikan diri dengan tantangan perkembangan zaman, Kursus Pemberantasan Buta Huruf terpaksa diganti menjadi Taman Pendidikan Kanak-Kanak Khong Kauw Hwee. Tahun 2000, nama Kuncup Melati ditambahkan Wali Ksota Semarang sehingga menjadi Taman Pendidikan Kuncup Melati Yayasan Khong Kauw Hwee. Hingga sekarang, taman pendidikan ini memiliki 11 guru tetap dan 3 orang sukarelawan. Kurikulum yang diberikanpun berbeda dengan kurikulum di sekolah pada umumnya. Hal ini dikarenakan background siswanya yang berasal dari keluarga tidak mampu sehingga mereka perlu diberi latihan keterampilan untuk melatih potensi seperti kesenian dan wiraswasta. “Karena siswa di sini paling-paling lulus SD atau SMP, sehingga mereka diajari ketrampilan khusus seperti membuat keramik dan manik-manik yang bisa dijual untuk menumbuhkan jiwa wirausaha sebagai bekal mereka di kemudian hari,� tutur Lie Pu Hwa. Ia selalu menjaga hubungan dengan para donatur. Salah satu caranya dengan menerbitkan sebuah majalah yang berisi berbagai macam informasi seperti kebutuhan dana, perlatan apa saja yang dibutuhkan, kegiatan-kegiatan apa saja yang akan dilakukan, siapa saja para donatur dan besarnya sumbangan yang diberikan. Keperluan sekolah sudah didaftar sedemikian rupa sehingga bisa memberikan informasi secara detail kepada para donatur. Sehingga bantuan yang diberikan tidak menumpuk karena terlalu banyak dan tidak sampai kekurangan karena para donatur tidak mengetahui apa yang dibutuhkan taman pendidikan tersebut. Sumbangan dapat berupa uang tunai berwujud donasi tetap baik bulanan dan tahunan. Namun sumbangan dapat berupa barang keperluan sekolah seperti seragam, sepatu, kaos kaki, buku pelajaran, barang elektronik seperti tv dan vcd. Adakalanya sumbangan berupa makanan seperti telur dan susu sebagai penambah gizi siswa. Sumbangan lainnya berupa beras dan tenaga dari sukarelawan. Di akhir pembicaraan kami, Lie berharap pemerintah dan masyarakat luas dapat ikut membantu dalam hal pendanaan dan pelatihan bagi pengajar. Karena permasalahan terbesar yayasan ini adalah pendanaan. Yayasan tidak mungkin menarik sumbangan pendidikan pada orang tua murid, karena mereka sadar betul akan keadaan ekonomi warga di sekitarnya. Lie menyatakan bahwa sekarang ini baru mengandalkan peran donatur yang ada sekarang. Karena meski sekarang telah ada program BOS dari pemerintah, program tersebut belum menjangkau yayasan ini. Yayasan masih mengandalkan bantuan dari alumni yang telah berhasil. “Ketika kami bisa mengangkat mereka menjadi orang yang berhasil, berarti kami telah membantu mereka keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Lebih baik mengentaskan satu siswa hingga berhasil sehingga mereka bisa membantu sekolah di kemudian hari,� tutur Lie Pu Hwa mengakhiri percakapan kami. Yuli Resista, Ayu Purwaningrum
10
Ragam
N ua n s A 124 TH XX/2009
Terbang dengan Paralayang
O
lahraga tidak hanya menyehatkan, tetapi juga dapat menghilangkan stres. Dalam perkembangannya, olahraga dijadikan sarana menarik perhatian masyarakat melalui olahraga pariwisata (Sport Tourism). Sektor pariwisata Indonesia merupakan salah satu daya tarik pelancong baik lokal, nasional maupun mancanegara. Untuk itu, disusunlah Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional yang menguraikan bahwa olahraga rekreasi adalah olahraga yang dilakukan oleh masyarakat dengan kegemaran dan kemampuan yang tumbuh berkembang sesuai dengan kondisi dan nilai budaya masyarakat setempat untuk kesehatan, kebugaran, dan kegembiraan. Salah satu olahraga pariwisata yang banyak digandrungi yakni paralayang. Paralayang adalah olahraga ekstrim yang sebelumnya digunakan oleh para pendaki saat menuruni gunung setelah pendakian yang sangat melelahkan. Itu sebabnya, pada awal kelahirannya di Indonesia, paralayang populer dengan sebutan terjun gunung. Masyarakat Jawa Tengah, terutama di wilayah Semarang dan sekitarnya kini tidak perlu jauh-jauh ke Bandung atau Bali hanya untuk merasakan sensasi menjelajahi udara dan menantang angin. Paralayang yang ada di Gedong Songo merupakan salah satu bentuk olahraga yang menyajikan atraksi wisata. Sayangnya, wahana paralayang ini belum banyak diketahui umum. Untuk itu, pengelolaan yang berkualitas adalah salah satu faktor yang dapat menumbuhkembangkan atraksi wisata paralayang.
Pada tahun 1994, Paralayang secara resmi masuk ke dalam pembinaan PB Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) di bawah naungan Pusat Gantolle Indonesia. Lewat Musyawarah Nasasional (Munas) V PB FASI pada tahun 1996 di Lembang, Bandung, paralayang resmi menjadi bidang tersendiri yang kedudukannya sejajar dengan gantolle di bawah Pusat Layang Gantung Indonesia (PLGI). Paralayang merupakan salah satu cabang olahraga terbang bebas. Paralayang dapat diartikan sebagai sebuah parasut yang dapat diterbangkan dan dapat mengangkat badan penerbang. Parasut atau pesawat ini lepas landas dari sebuah lereng bukit atau gunung dengan memanfaatkan angin dan mendarat menggunakan kaki penerbang. Angin yang dipergunakan terdiri dari dua macam, yaitu angin naik yang menabrak lereng (dynamic lift), dan angin naik yang disebabkan karena thermal naik yang menabrak lereng (thermal lift). Dengan memanfaatkan kedua sumber itu, maka penerbang dapat terbang sangat tinggi dan mencapai jarak yang jauh tanpa bantuan tenaga mesin. Peralatan paralayang tergolong ringan. Berat seluruh perlengkapannya (parasut, harness, parasut cadangan, dan helm) sekitar 10 – 15 kg. Peralatan paralayang sangat praktis karena dapat dimasukkan ke dalam ransel. Olahraga paralayang juga sangat kecil ketergantungannya dengan wahana lain. Perlengkapan pendukung terbang yang diperlukan antara lain variometer, radio/HT, GPS, windmeter, peta lokasi terbang, dan lain-lain. Sedang perlengkapan pakaian penerbang antara lain baju terbang (flight suit), sarung tangan,
Info Pengetahuan
S
truktur dalam otak manusia yang berfungsi untuk penglihatan ternyata juga berpengaruh pada kemampuan matematika seseorang. Hal itu terungkap dalam penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan Prancis.
Tim peneliti kemudian memprediksi kapan partisipan melakukan penghitungan berdasarkan aktivitas otak. Hasilnya, ketika melakukan penambahan, mata cenderung melihat ke arah kanan. Sedangkan, ketika menyele-
saikan soal pengurangan, mata sebelah kiri cenderung lebih aktif. “Dengan adanya penemuan ini, dapat dikembangakan cara baru untuk mengajarkan matematika di sekolah,” kata kepala peneliti, Andre Knops dari French health organization INSERM di Gif-sur-Yvette, Prancis. www.vivanews.com
berumur kurang dari 18 tahun harus mendapat ijin terlebih dahulu dari orangtua atau wali. Bagi yang belum pernah mencoba paralayang, tidak pelu khawatir. Rasa lelah kita akan terbayar dengan merasakan sejuknya udara sekitar gunung Ungaran dan panorama yang indah. Pengembangan olahraga tersebut perlu dilakukan oleh pihak pemerintah maupun swasta dalam kaitannya dengan industri olahraga. Dengan cara ini, diharapkan paralayang dapat menjadi salah satu cabang olahraga yang mampu bersaing dengan industri olahraga lainnya melalui atraksi wisata. Rizky
Cadangan Minyak di Titan
B
Gerakan Mata Pengaruhi Kemampuan Berhitung
Peneliti mengungkapkan, otak mengalami semacam siklus daur ulang untuk memproses informasi ketika membaca atau melakukan penghitungan. Peneliti melibatkan beberapa partisipan untuk dilihat aktivitas otaknya saat mata mereka bergerak baik ke kanan atau ke kiri.
dan sepatu berleher tinggi (boots). Jenis parasut yang dipergunakan sangat tergantung dari tingkat kemampuan penerbang dan berat penerbang. Terdapat tiga jenis parasut paralayang, yaitu parasut untuk pemula, parasut untuk penerbang menengah, dan parasut untuk penerbang mahir. Ukuran parasut juga harus sesuai dengan berat penerbangnya. Ukuran yang tersedia antara lain XS, S, M, L, serta LL untuk terbang berdua atau tandem. Kegiatan paralayang dapat diikuti oleh siapa saja, laki-laki, perempuan, tua atau muda, yang penting sehat jasmani dan rohani, tidak mengidap penyakit jantung dan/atau epilepsi. Usia penerbang yang disarankan adalah antara 14-60 tahun. Penerbang yang
aru-baru ini para peneliti mengklaim bahwa Titan, salah satu satelit Planet Saturnus yang beratmosfer tebal, menyimpan kandungan gas alam dan cairan hidrokarbon lain ratusan kali lipat lebih banyak dari yang terkandung di Bumi. Saat ini telah ditemukan beberapa ratus danau dan laut di daerah kutub utara Titan. Untuk memproyeksikan potensi sumber daya alam di sana, para ilmuwan mengukur kedalaman perairan Titan dengan menggunakan pembanding danau-danau di Bumi, bahwa kedalaman danau seringkali kurang dari 10 meter. “Kedalaman beberapa danau diperkirakan lebih dari 10 meter, karena mereka tampak sangat gelap di radar. Kalau dangkal, kita akan dapat melihat dasarnya,” kata Ralph Lorenz dari laboratorium fisika terapan di John Hopkins University. Kesimpulan tersebut diperoleh melalui pemantauan wahana Cassini milik NASA. Cassini saat ini telah mensurvei 20 persen permukaan Titan. Hasil pantauan tersebut juga memperlihatkan bahwa kandungan sumber daya alam di beberapa wilayah di Titan sudah melebihi semua kandungan sumber daya alam di bumi (minyak bumi, gas alam, dan batu bara).
Meskipun demikian, Titan tidak dapat ditinggali manusia. Menurut para ilmuwan, permukaan Titan tidak mengandung air, melainkan hidrokarbon cair dalam bentuk methane dan ethane, sementara daratan Titan terbentuk dari tholins. Kondisi ini diduga serupa dengan Bumi sebelum ada kehidupan. ”Kami memperkirakan kodisi serupa juga terdapat di daerah kutub selatan Titan, namun kami belum tahu berapa jumlah kandungan cairan di sana,” kata Ralph. Menurutnya data ini penting karena umur hidup Titan tergantung dari berapa banyak jumlah methane yang terkandung dalam zat cair di sana. Jika kandungan methane habis, maka suhu di Titan akan semakin dingin, yang saat ini diketahui minus 179 derajat Celcius. Asumsi sementara, kandungan methane tersebut semakin berkurang melalui letusan gunung api, yang diperkirakan telah menyebabkan fluktuasi suhu yang dramatis di masa lalu. Menurut Ralph, dengan memahami kompleksitas yang terjadi di Titan dapat membantu kita memahami asalusul kehidupan di alam semesta. www.ilmu-teknologi.blogspot
Jepret 11
N ua n s A 124 TH XX/2009
Pelita Waisak Candi Borobudur merupakan candi umat Buddha terbesar di dunia. Meskipun tak lagi menjadi satu dari tujuh keajaiban dunia. Candi ini merupakan pusat semua upacara keagamaan umat Buddha. Seperti pada 9 Mei lalu bertepatan dengan hari waisak 2553 be, sebagian besar umat Buddha di Indonesia melaksanakan perayaan waisak (Puja Bhakti Tri Suci Waisak 2553) di bangunan megah itu. Bahkan, mereka datang dari berbagai negara di dunia. Puja Bhakti Tri Suci Waisak 2553 be diawali dengan melaksanakan kebaktian di altar majelis di Candi Mendut, meditasi bersama menyambut detik–detik waisak tepat pukul 11.10’01’ di Candi Mendut , kemudian prosesi dilanjutkan ke Candi Agung Borobudur melewati Candi Pawon. Malam harinya, prosesi mengelilingi Candi Agung Borobudur dengan menyalakan lilin sebagai simbol pelita hidup. (Foto-foto dan Teks: Arif Z. Nurfauzan)
Meditasi menyambut detik – detik Waisak 2553 BE
Harapan di malam Waisak
Menyalakan lilin
Prosesi mengelilingi Candi Agung Borobudur dengan menyalakan lilin
12
Budaya
N ua n s A 124 TH XX/2009
Sastra Bukan Fiktif Oleh M. Rifan Fajrin*
Isu negatif yang terlanjur berhembus dan telah berhasil mempengaruhi pola pikir dan membentuk anggapan masyarakat adalah: sastra sama sekali tidak ada gunanya untuk diajarkan!
P
ada dasarnya tujuan setiap pendidikan di Indonesia adalah untuk tiga hal: memberikan pengetahuan/ilmu yang luas, memberikan keterampilan yang memadai, dan menumbuhkan sikap yang positif/budi pekerti yang baik kepada setiap peserta didik. Demikian pula pengajaran sastra di sekolah juga bertujuan untuk ketiga hal di atas. Namun, kenyataannya di lapangan, pendidikan sastra tak kunjung memberikan hasil apa-apa. Kegelisahan yang saat ini melanda, alangkah sulitnya meyakinkan kepada masyarakat bahwa sastra itu berguna, sebagaimana sifat dasar sastra dulce et etile. Tentu bila kita runut kita akan mendapatkan jawaban, mengapa bisa terjadi demikian? Pertama, bila kita lihat kenyataan di lapangan, seorang yang benar-benar mendedikasikan dirinya berkecimpung dalam dunia sastra tidak memadai dari segi materi. Memang diantara beberapa orang yang memilih terjun di dunia sastra dapat meraih kesuksesan. Namun, berapa banyakkah mereka yang sukses bergelut di dunia sastra? Hingga muncul anggapan, ketika seorang memilih untuk terjun dalam dunia sastra berarti ia telah mengambil suatu keputusan yang berani sekaligus keputusan yang sulit. Apalagi sejak krisis moneter pada tahun 1997, yang berkembang menjadi krisis ekonomi dan berujung pada krisis multidimensi, telah menyeret pada masa-masa yang sulit. Krisis ini membuat bangsa Indonesia laksana berjalan di tempat. Kemajuan seolah menjadi sesuatu yang musykil untuk diraih di tengah keterpurukan pelbagai sendi
kehidupan. Kelesuan terjadi di manamana. Perusahaanperusahaan gulung tikar karena biaya produksi yang naik gila-gilaan. Akhirnya para sastrawan dan penerbit pun kewalahan, biaya kertas naik, royalty penulisan tidak dapat diandalkan untuk sekadar menyambung hidup. Kedua, ada semacam label (trade mark) yang beredar lewat berbagai media yang sangat merugikan dunia sastra bahwa: setiap karya fiksi adalah hanya cerita rekaan semata, kesamaan nama dan peristiwa hanyalah faktor kebetulan yang tidak disengaja. Hal ini telah mempengaruhi pola pikir masyarakat bahwa karya sastra adalah karya bohong-bohongan, yang tidak bisa dipercaya sama-sekali, dan tidak ada gunanya untuk dikonsumsi. Fiksi dianggap hanyalah kebohongan yang dibuat-buat (direka-reka) untuk menghibur dan sekadar mengisi waktu luang. (Ariadinata: 2006). Ia adalah pekerjaan para pelamun dan pemimpi. Padahal tentu tidak demikian. Memang ada segelintir pengarang kitsch
Zed
(pengarang yang setengah hati yang berhasrat mencipta karya seni tapi malangnya ia terlalu tunduk dan takluk pada selera orang banyak) yang tidak sungguh-sungguh dalam berkarya, tidak begitu memperhatikan nilai moral dan estetika, karya sastra yang mereka buat semata-mata hanya untuk memenuhi selera pasar, digarap secara
serampangan dan kejar tayang, yang nyaris tanpa ideologi yang harus diperjuangkan. Akibatnya karya sastra yang dihasilkan pun terasa kering dan monoton, ia hanya menjanjikan kesenangan, namun sesungguhnya kosong tanpa ada makna dan nilai yang dapat dipetik di dalamnya. Sedangkan karya sastra yang sesungguhnya tidak berangkat dari kekosongan dan kebohongan. Ia ditulis dengan modal pengetahuan, dan kesungguhan dalam mempertimbangkan berbagai fakta yang diteliti. Maka tidaklah mengherankan bila seorang sastrawan sejati kadang rela melakukan riset dan penelitian untuk mendapatkan data di lapangan atau melakukan studi pustaka untuk memperoleh fakta. Satu contoh adalah Seno Gumira Ajidarma yang sebelum menulis tentang Timor Timur, sebelumnya ia mempelajari tempat itu dengan serius dan cermat lewat bacaan. Dari dua hal diatas kiranya cukup untuk menjawab mengapa sastra dipandang sebelah mata. Namun bagi mereka yang mampu meraba fungsi ataupun tujuan sastra diajarkan di sekolah pasti akan merasakan pentingnya sastra, walaupun secara sederhana. Berangkat dari konsep manusia sebagai makhluk yang terdiri atas jasad dan ruhani, maka kehidupan yang ideal adalah suatu kehidupan dimana terdapat keharmonisan antara jasmani dan rohani. Manusia hidup bukan melulu untuk memikirkan masalah perut, tapi penting juga memikirkan untuk mengisi otak dan batin masing-masing. Jika kita merasa lapar ketika terlambat (Bersambung ke halaman 13 kol 2)
Band Metal (Mellow Total) Idola Baru Indonesia Oleh Rizky Amalia Ulfa*
B
ukan hal yang asing di telinga kita jika banyak yang berkomentar bahwa industri musik Indonesia tengah mengalami masa kejayaan. Hal tersebut dapat dilihat pada banyaknya grup band dan penyanyi pendatang baru – entah itu hanya numpang lewat atau benar-benar awet di blantika musik tanah air. Lagu-lagu karya anak bangsa yang sudah bisa menembus pasar Asia memang membuat sebagian besar pecinta musik Indonesia bangga. Selera musik bangsa Indonesia yang cenderung menyukai musik yang easy listening dapat dimanfaatkan dengan cermat oleh para produser rekaman. Oleh karena itu, banyak pula grup band yang memanfaatkan kesempatan ini untuk merintis karir. Tak peduli lagu-lagu mereka bagus atau tidak, bermutu atau tidak, yang penting dapat mempertebal kantong mereka. Pecinta musik populer Indonesia umumnya berasal dari kalangan remaja, khususnya pada musik yang dibawakan oleh grup band saat ini. Kelompok usia
remaja, yang banyak dibahas dalam buku-buku psikologi, artikel, dan lain sebagainya mengalami banyak perubahan fisik maupun tingkah l a k u . C o n tohnya, banyak a n a k m u d a y a n g m u l a i mengenal cinta. Hal tersebut secara tidak langsung berimbas pada selera musik mereka yang tentu saja yang menggandrungi lagu-lagu bertemakan cinta.
Image grup band yang selama ini merujuk pada sekelompok anak muda penggila musik cadas, seiring tuntutan pasar, sedikit demi sedikit mulai tergeser. Jenis musik yang mereka bawakan tidak lagi secadas apa yang diperkirakan orang karena lebih banyak dari mereka melantunkan lagu bertemakan cinta. Hal ini membuat banyak pengamat musik dan penggemar musik rock merasa bosan dan muak dengan kehadiran mereka. Tidaklah mengherankan jika hal itu terjadi. Lihat saja aksi Hijau Daun, Vagetos, Lyla, Kangen, Wali, Andra and The Backbone, dan sederet grup
band yang bersliweran di tangga-tanga lagu Indonesia. Aksi mereka cenderung lebay, over acting, dan tentu saja bikin eneg. Dandanan mereka yang sangat ‘rocker’ menjadi kontras dengan lagulagu mereka yang Metal alias mellow total. Selain itu, lirik yang mereka ciptakan juga bisa dibilang norak. Katanya rocker, tapi lagunya bertemakan pernyataan cinta yang cengeng dan pasrah. Justru kalau lagu-mereka bertemakan cinta yang memberontak, malah terdengar aneh dan tentu saja kurang bisa diterima oleh telinga orang Indonesia. Aliran Metal (Mellow Total) tidak hanya dianut oleh band-band pendatang baru. Grup band yang sudah punya nama seperti Ungu, Dewa, Peterpan, J-Rock pun tak luput dari pengaruh aliran Metal. Lagu-lagu mereka memang bisa dibilang berkelas. Namun, karena mengikuti tren, mereka sedikit kehilangan karakter. Mau bukti? Bedakan saja lagu (Bersambung ke halaman 13 kol 4)
Budaya
N ua n s A 124 TH XX/2009
Partisipasi Mahasiswa Rendah
B
eberapa indikator partisipasi mahasiswa rendah dapat dilihat dari berbagai even yang terselenggara di lingkungan kampus. Mulai Januari 2009 sampai sekarang di Unnes, telah terselenggara beberapa even besar dan penting, yaitu pelaksanaan penghijauan sebagai tindak lanjut tercapainya goal Unnes Sutera, yang salah satunya tercipta lingkungan kampus hijau dan religious, Dies Natalis Unnes, dan berbagai even lain, misalnya seminar nasional dan internasional. Pada even penghijauan kampus dan penanaman sejuta pohon di lahan milik Unnes, ternyata bila dilihat secara kuantitatif, mahasiswa yang ikut berpartisipasi persentasenya masih rendah dibandingkan dengan total mahasiswa Unnes. Padahal, kalau disadari, gerakan penghijauan tersebut senapas dengan gerakan menjadikan bumi terselamatkan dari pemanasan global yang mengancam kehidupan seluruh makhluk di bumi ini. Melihat fenomena tersebut, dapat dipertanyakan di sisi mana mahasiswa yang tidak berpartisipasi berpihak untuk menyelamatkan bumi ini? Yang memprihatinkan, banyak mahasiswa yang ke kampus membawa sepeda motor dan bahkan ada yang terkesan hilir-mudik menggunakan sepeda motor tetapi sebenarnya tidak perlu. Bukankah hal ini justru akan memperparah global warming? Yang terjadi pada serangkaian acara Dies Natalis Unnes tahun ini (Maret 2009) yang menggabungkan muatan akademis, humanis, lingkungan, budaya dan seni, juga menunjukkan, tingkat partsipasi mahasiswa bulum menggembirakan. Di buletin Express yang terbit mingguan mengungkapkan adanya polemik rendahnya keterlibatan mahasiswa. Namun bukan penyataan mengenai bagaimana keterlibatan mahasiswa. Sebab yang menjadi persoalan justeru peran aktif dan sense of someting mahasiswa. Padahal bila dilihat dari sudut ekonomik, jelas dana pembiayaan kegiatan yang menghabiskan ratusan juta rupiah itu sebagian bersumber dari mahasiswa yang tentu untuk kepentingan mahasiswa juga. Namun mengapa mahasiswa seolah sebagai orang yang tak merasa membutuhkan atas apa yang telah dibayarnya? Bila direnungkan, setidaknya ada dua hal penyebab munculnya fenomena di atas. Pertama, mahasiswa menganggap even tersebut tak aspiratif atau eklusif yang tak cocok dengan ketertarikan mahasiswa. “Nggak gaul ah…” menurut istilah sekarang. Sehingga mahasiswa memilih chating atau ngedate saja. Dan yang lebih mengkhawatirkan bila motif yang mendorong mahasiswa tidak berpartisipasi dalam acara-acara interaksi sosial dan envieronmental kerena mereka memilih menenggelamkan diri dengan gaghed alat berinteraksi sosial tanpa humanisme.* (Mur)
Sastra...
Band...
(Sambungan dari halaman 12)
(Sambungan dari halaman 12)
makan, mengapa kita tidak merasa sayang atau rugi ketika belum/tidak membaca karya sastra yang bermutu? (Perlu dimengerti bahwa ada dua hal untuk mengisi ruhani: ajaran agama dan karya seni). Seorang pengarang wanita Virginia Wolf mengatakan bahwa: “roman ialah terutama sekali sebuah eksplorasi atau satu kronik penghidupan, merenungkan, dan melukiskan dalam bentuk yang tertentu, pengaruh, ikatan, kehancuran atau tercapainya gerak-gerik hasrat-hasrat manusia”. (Lubis; 1960:30). Walaupun dalam ucapan ini Virginia Wolf khusus menunjukkan pada roman dan novel saja namun hal itu berlaku juga pada fiksi pada umumnya. Dengan perkataan lain: fiksi menceritakan atau melukiskan kehidupan, baik fisik maupun psikis, jasmani maupun rohani. Dengan membaca karya sastra pembaca akan dapat kritis dan cermat akan bagian-bagian pengalaman
13
manusia yang terpilih dan terkontrol, sehingga dia dapat menentukan ide dan perasaan yang dimiliki oleh sang penulis mengenai kehidupan pada umumnya, menentukan serta menegaskan apa yang disebut “visi” sang penulis tersebut. Akhir kata, marilah kita mencoba memaknai nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra, agar kita dapat lebih memberikan apresiasi terhadap karya sastra. Kita tentu tak akan pernah lupa betapa indahnya nilai-nilai yang disampaikan oleh Mustofa W. Hasyim lewat cerpen Wanita yang Bertadarus TerusMenerus, A.A Navis dengan cerpennya Robohnya Surau Kami, Kuntowijoyo dengan Khotbah di Atas Bukit, atau Joni Ariadinata ketika menulis Malaikat tak Datang di Malam Hari.*
J-Rock yang berjudul Ceria dengan I’m Falling in Love. Lirik lagu Ceria begitu menggambarkan J-Rock sebagai band yang Jepang banget. Sedangkan lirik lagu I’m Falling in Love terlalu menggunakan kata-kata yang lazim dan mudah ditebak kelanjutannya. Dewa, yang digawangi Ahmad Dani yang selama ini menggembar gemborkan dirinya sebagai orang yang tahu musik, juga cenderung mengikuti selera pasar. Kita bisa lihat dari judul lagu terbaru mereka yang seperti judul skripsi, Perempuan Paling Cantik di Negeriku Indonesia. Berkreasi memang hak setiap orang. Namun jika hanya mementingkan selera pasar tanpa memperhatikan kualitas, sama saja bohong. Selain itu, tidak ada salahnya jika grup band yang terpaksa meninggalkan ciri khasnya berani melawan arus dan tidak sekedar ikut-ikutan selera pasar.
*Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ’05 FBS Unnes
*Mahasiswa Sastra Inggris ’07 FBS Unnes
Berita Unnes Ada di Express
Express, terbit tiap Kamis
Jangan Takut Ketinggalan Berita!
D’BOX
Graphic Designer
Menerima jasa: Pengetikan Design Grafis Cetak offset
rga h Ha ura m Ter
(Tugas Kuliah, Skripsi dll) (Brosur, Pamflet, Buku, Undangan dll) (Brosur, nota, Buku, Undangan, Majalah, dll)
Hub: 02470719168
Z
Segera Terbit
!
us Bonengikuti
m Gratis an Pelatihlis Cerpen pai Menubelian sam 09) (Pem esember 20 31 D
Kumpulan Cerpen Nuansa Pesan sekarang, Rp. 20.000 hub Rifan, CP: 085640723095 Diana, CP: 085640236207
14
N ua n s A 124 TH XX/2009
Budaya
Bersama Mbah Kun Oleh: Putri Narita P)*
B
us yang mengantarkan kami menyeruak rintik-rintik air langit. Berkejaran dengannya. Bannya menggelinding tajam. Meliuk-liuk di antara lekuk-lekuk jurang. Di bawah payungan awan yang masih menggumpal, beberapa monyet bergelantungan di pohon-pohon di pinggir jalan. Kaca-kaca bus terasa basah, dingin, mengembun. Kami berdelapan merasa lebih hangat di antara setumpuk barang bawaan. Berbeda dengan teman kami yang mengendarai motor menuju tanah kaki Gunung Merapi. Sebuah desa tempat kami akan melakukan Kuliah Kerja Nyata selama satu setengah bulan. Jalanan berliku. Licin. Walau hujan sudah mereda. Kulap kaca jendela di dekat tempat dudukku. Sebuah pemandangan yang menyejukkan tatapan. Sangat indah. Sawah-sawah sengkedan menghijau dengan padinya. Terhampar luas. Rerumputan menghijau. Kambing-kambing mengembik, berlarian di atas padang hijau itu. Tampak gemukgemuk dan sehat. Aku terpaku oleh pesonanya. Suguhan yang sangat eksotik. Memunculkan gairah dan semangat dahsyat dalam diriku untuk menggali setiap kekayaan yang terkandung pada alam dan masyarakatnya. Dua minggu telah kulewati perjalanan menimba ilmu dari alam dan masyarakatnya desa kaki Gunung Merapi. Dengan berbagai program kegiatan kami lakukan. Membangun sanitasi, papan nama jalan, mengenalkan arti pentingnya kebersihan dan pendidikan, dan juga melakukan penghijauan di areal-areal yang mulai tak berpohon. Aku menikmati pengalaman di kampung ini. Terkadang ketika tak ada kegiatan bersama anak-anak KKN, aku mengunjungi rumah joglo Mbah Kuncoro. Aku banyak menimba ilmu dari beliau. Terkadang aku belajar menganyam bambu. Membuatnya menjadi wakul, tampah, keranjang, dan beberapa barang anyaman lain yang kulupa namanya. Kadang juga aku belajar menggesek rebab, mendengarkan suluk dan geguritan yang Mbah Kun kumandangkan. Tak jarang juga aku memintanya untuk menceritakan tokohtokoh wayang dan filosof jawa yang dikandungnya. *** “Naga, kenapa kau tak pernah segan mengisi waktu luangmu hanya untuk menemani kakek tua seperti aku? Tak kulihat teman-temanmu juga pernah ingin bermain bersamamu ke sini. Hanya untuk mendengarkan celotehku yang tak banyak anak muda mau menggubrisnya. Kenapa juga kau bersusah-susah mempelajari budaya Jawa, belajar berbahasa jawa halus, toh kamu tak mewarisi darah orang Jawa?” Tanya Mbah Kun sambil memelintir cigaret yang dalamnya telah dibubuhi irisan kering cengkeh, tembakau dan gambir. “Aku senang mempelajari budayabudaya bangsa ini. Budaya Jawa tak kalah menarik dengan budaya yang lain. Aku telah mengenal dan mengerti budaya bapak dan ibu. Aku mengerti budaya Batak, juga mengerti budaya Banda. Dan sekarang, aku ingin mengerti budaya Jawa. Karena aku tinggal di tanah Jawa. Walau begitu, bukan berarti aku harus melunturkan budaya moyangku dari dalam diri. Aku menghargai semuanya. Asal semua baik untuk dilakukan. Bermanfaat dan tidak bertentanngan dengan kepercayaan kita.” Aku mencoba menjelaskan akan
ketertarikanku untuk mempelajari budaya yang bukan milik moyangku. Mbah Kun mengangguk-angguk mendengar alasanku. Menyulut cerutu dan menghisapnya dalam-dalam. Kemudian menghembuskan asapnya lewat mulut dan lubang hidungnya. Sambil menatap langit-langit pendopo, sepertinya beliau sangat menikmati cerutunya. Juga tampaknya berbikir tentang sesua-
mengamalkannya dengan baik budaya bangsa kita,” kata Mbah Kun tiba-tiba setelah agak lama terdiam. Masih dengan menghisap cerutu dan melumat nasi ketan. Sedikit menyruput tehnya. Lalu kembali bicara. “Aku malam ini sengaja tidak menggesek rebab, tak bersuluk, tak juga mendendangkan geguritan. Karena malam ini aku hanya ingin mengajakmu ber-
tu yang entah apa aku tak tahu. Sejenak kami saling terdiam. Terkadang beliau sedikit melirikku dan kembali matanya menekuni setiap anyaman langit-langit itu. Duduk bersila di atas tikar rotan tua. Mengenakan sarung batik dan kemeja panjang coklat muda. Rambutnya beruban, panjang digelung. Sosok lelaki Jawa yang masih nguri-nguri warisan leluhurnya itu sebenarnnya sudah tua, tapi tampak masih sehat karena semangat hidupnya yang penuh pelita. Mbah Giyem istri Mbah Kun datang. Membawa sepoci teh hangat dan nasi ketan komplit dengan serondengnya. Menghidupkan kembali pembicaraan di antara kami. “Silahkan Nak Naga, mumpung masih anget-anget, pas dengan cuaca dingin seperti saat ini,” kata Mbah Giyem ketika menyuguhkan hidangan kepada kami. “Ohya Mbah, terimakasih,” ucapku sambil mengangguk. “Ya, mari dimakan,” ajak Mbah Kun kepadaku. Sambil berbincang, kami menikmati hidangan itu. Sedangkan Mbah Giyem mengambil tempat duduk tepat di bawah sinar lampu di ruang tengah. Menjahit kain batik. “Seandainya anak-anak bangsa semuanya memiliki pemikiran seperti kamu Naga, bangsa ini akan menjadi bangsa yang berbudaya luhur dan bermartabat. Seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini. Kita akan menjadi bangsa yang dihargai dunia. Bangsa besar. Bangsa yang menjadi marcusuar dunia. Itu, jika kita mau menghargai, mempelajari, mempertahankan dan
bincang. Lebih tepatnya berbagi. Sharing kalau kata orang sekarang.” “Tak apa Mbah, aku juga senang walau hanya berbincang,” jawabku. Banyak bahasan yang kami bincangkan. Termasuk mengudari makna dari falsafah yang terkandung dalam nyanyian lir-ilir yang telah lima abad silam dikumandangkan oleh Sunan Ampel. “Terkadang aku bingung memikirkan, akan jadi bangsa apa kelak bangsa ini. Jika sekarang aku melihat, budaya korupsi masih juga menggeliat, saling memancung antar saudara sendiri terus meracuni hati anak-anak bangsa ini. Falsafah Pancasila semakin luntur dari benak dan batin mereka. Aku miris sendiri membayangkannya,” ucap Mbah Kun kemudian. Sejenak, kami kembali terdiam. Mbah Kun mematikan cerutunya yang sudah mengikis habis. Aku tak berbicara. Mendengarkan dan merenungi setiap kata yang dikeluarkan dari sela-sela dua bibir rentanya. “Terkadang aku juga heran, kenapa orang-orang asing, orang-orang luar sangat senang mempelajari budaya kita. Mereka iri dengan kekayaan khasanah budaya bangsa dan alam kita yang penuh pesona. Sedangkan sebagian besar dari kita, pemilik budaya yang agung ini, melupakan dan terus melunturkannya dari sanubari. Malah mereka bangga dengan gaya kebaratbaratan. Berpakaian mini, sampai kelihatan pusarnya, punggung, pupu, dan ketiaknya. Inilah salah satu dampak dari tontonan televisi. Sekarang jarang sekali progam televisi yang mengenalkan ragam budaya anak negeri. Hah,
entahlah.” Mbah Kun menghirup nafas dalam-dalam. “Naga, kau lihat sendiri kan, temanteman seposko denganmu itu. Mereka sebagian besar keturunan Jawa, tetapi mereka kebanyakan takut kalau sudah diajak berlama-lama ngobrol menggunakan bahasa Jawa. Mereka bilang, takut salah menjawabnya. Ketika aku menyalahkan bahasanya dan kemudian kuberi tahu bagaimana yang benar, esoknya mereka enggan berbicara denganku. Mereka merasa malu. Sikap yang enggan dikritik dan tak percaya diri sseperti itu seharusnya tak boleh tumbuh dalam diri anak bangsa ini.” “Ya, begitulah. Mereka mengaku, orang tuanya tak pernah mengenalkan bahasa Jawa kepada mereka. Karena sebagian besar dari mereka tinggal di perumahan. Bahasa Indonesialah yang sehari-hari mereka gunakan,” aku mencoba menerangkan kepada Mbah Kun. “Kau lihat juga anak-anak kampung yang kemarin pulang dari Jakarta? Gaya metropolitan mereka umbar. Lu, gue, begitu ngomongnya. Mungkin itu tak apa menjadi sapaan sehari-harinya di sana. Tetapi di sini harusnya ia kembali dengan sapaan orang Jawa biasanya. Bukan sok keren dengan bahasa barunya. Anak sekarang-anak sekarang.” Mbah Kun menggelengkan kepalanya lalu melanjutkan berbicara, “Jalannya petentang-petenteng lagi. Dada dibusungkan. Kayak orang gedean saja. Padahal cuma jadi kuli bangunan atau pengangkut ikan di Priok sana. Sudah kalau dari sana pada lupa sembahyang, sayang.” Lagi-lagi Mbah Kun menggelengkan kepalanya. “Sedih memilki anak cucu seperti itu. maka kau Nak, cintailah budayamu, negerimu, bangsamu, taatlah pada Tuhanmu. Kau kelak akan jadi orang yang luhur yang akan ditiru anak cucumu. Bahagiamu tak hanya di dunia juga surga akhirat akan senantiasa menantimu.” *** Semalam, banyak nasihat kudapat dari Mbah Kun. Pagi ini masih dalam dingin, aku turun dari masjid. Usai sembahyang subuh. Di timur, langit kuning telur belum tergulung. Embun masih membasah di gurat-gurat daun. Bau tanah merah basah masih keras tercium hidung. Aku berjalan, memanjat sengkedan. Mengintai matahari dari balik bukit yang sedang sakit. Di bukit sinilah nanti aku dan teman-teman akan melakukan penghijauan. Udara sejuk. Segar. Seekor burung kecil mendekatiku, mematuk-matuk lengan kananku. Aku tersenyum, dan kuelus bulunya. Ia kembali mematuki lenganku kemudian terbang hinggap di ujung dahan. Menemaniku menyambut datangnya sinar sang mentari di pagi ini.*
Putri Narita Pangestuti, lahir di Kendal 3 Juli 1988. Kuliah di Jurusan Matematika, Universitas Negeri Semarang. Beberapa puisinya pernah dimuat di Majalah Ganesa 05 Kendal, Suara Merdeka, Majalah Matrik, Kedaulatan Rakyat, dan Tabloid Nuansa
Budaya
N ua n s A 124 TH XX/2009
15
Penyair, Koran, dan Facebook Oleh Nana Eres
B
icara tentang puisi, ingatan kita pasti tertuju pada karya sastra yang berbait, memiliki rima dan irama, padat, serta kuat pada unsur bunyi. Ingatan kita pun akan berpolarisasi dengan apa yang disebut penyair (meskipun ada beberapa anggapan bahwa istilah yang tepat adalah pemuisi), yaitu orang yang membuat puisi. Ketika berbicara tentang penyair, maka akan muncul pertanyaan-pertanyan: Bagaimana proses kreatifnya? Bagaimana dan untuk apa ia menulis puisi? Apa yang ia lakukan setelah menyelesaikan satu puisi? Jika kita perhatikan proses kreatif kepenyairan masa kini, ada tiga hal besar yang bisa digarisbawahi. Pertama, sarana untuk mengapresiasi puisi yang cukup kuat mempengaruhi perkembangan puisi Indonesia masa kini adalah koran. Betapa pun, ciri sastra Indonesia sekarang adalah sastra koran. Dalam hal ini, bisa dicermati bahwa koran memberikan ruang apresiasi untuk puisi dan cerpen di halaman sastra yang terbit tiap minggu. Penyair-penyair mengasah dan membuktikan kepenyairannya lewat koran. Tak hanya didominasi penyair senior dan kawakan seperti Sapardi Djoko Damono, Sitok Srengenge atau Goenawan Mohammad, tetapi juga muncul penyair-penyair muda berbakat lainnya. Bahkan, lebih banyak kemunculan puisi dari penyair muda karena selain memberi napas baru bagi puisi Indonesia, mereka juga cukup kuat pada tema, metafora yang digunakan pun memiliki kekhasan tersendiri. Puisi yang muncul dalam halaman sastra, apalagi di koran bertaraf nasional seperti Kompas, Tempo, Sindo, atau di koran daerah yang kadar literernya cukup tinggi seperti Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Lampung Pos, Bali Pos, Riau Pos, memiliki andil yang besar bagi perkembangan puisi di Indonesia. Lihatlah tema-tema yang diangkat, yang mungkin tak pernah terbayang oleh kita. Kecerdasan mengangkat sesuatu yang unik, kata dan metafor yang segar dan orisinil merupakan syarat agar puisi kita layak diterima media. Namun, hal itu juga tak mampu menghilangkan kesangsian kita akan
pertanyaan: Apakah di halaman koran yang sangat luas itu puisi akan dicermati dan menempati ruang tersendiri di hati pembaca? Jika kalian masih bertanya-tanya seperti itu, maka jawablah di hati kecil kalian seperti ini: Tidak semua hal orang cermati, tidak semua bidang orang perhatikan dan ikuti perkembangannya. Sastra memiliki pembaca tersendiri. Puisi yang muncul di koran itu meskipun sedikit yang membaca, tapi pembaca itu adalah orang yang peduli terhadap puisi. Menginginkan semua orang memuja-muja puisi adalah keniscayaan. Puisi yang muncul di koran tentu diperhatikan bagi penyair-penyair (terlebih yang muda) di Indonesia sebagai bahan acuan, pembelajaran, pengetahuan, wawasan estetis di hari minggu, atau sekadar menambah jaringan kepenyairan dengan mengenal nama-nama siapa saja yang muncul di koran minggu ini. Saya sendiri tiap minggu pasti mencari dan membaca puisi yang muncul di semua koran yang memiliki lembar sastra.
Berkaitan dengan hal itu, kebiasaan saya ini mempunyai relasi dengan garis besar yang kedua, yaitu Jaringan Sastra. Seperti politik, pendidikan, ekonomi dan bidang-bidang lainnya, sastra juga memiliki strategi dan improvisasi. Kita patut berterimakasih kepada Tuhan dan manusia pencipta teknologi. Sebab, sastra Indonesia masa kini adalah sastra yang berdekat-dekat dengan teknologi. Dunia cyber menjadi ruang apresiasi para penyair menayangkan puisinya, saling memberi komentar dan tahu wawasan serta tak ketinggalan agenda atau informasi di bidang sastra dan seni pada umumnya. Saya bisa mendapatkan puisi yang muncul tiap minggu lewat versi cyber. Jadi tak perlu membeli semua koran untuk membaca semua puisi di hari minggu itu. Kecuali untuk koran yang tak menayangkan puisi di versi cyber, saya beli. Tak selesai di situ, gejala budaya lain adalah gaya berdiskusi dan mengapresiasi karya dengan cara yang ngepop, yaitu melalui situs jejaring sosial fa-
cebook. Demam facebook di tengahtengah perkembangan sastra Indonesia memiliki nilai manfaat yang besar bagi iklim apresiasi dan kritik yang sehat. Lewat facebook, penyair saling bertukar catatan (puisi, esai, atau catatan acara sastra) ke teman-teman. Kemudian, berlanjut pada persahabatan dan pergaulan dengan para penyair lain. Ini sangat membantu memunculkan ideide kreatif untuk menulis, membenahi puisi, atau hadir dalam undangan acara sastra yang tak terduga. Itu tak lain karena jejaring sosial itu juga dibutuhkan dalam proses kepenyairan. Ketiga, kemunculan komunitaskomunitas sastra sebagai bagian dari akibat jejaring sosial. Tak dipungkiri bahwa komunitas sastra memegang peran penting bagi para muda yang memiliki kesukaan di bidang sastra dan berniat mengapresiasi dalam satu wadah yang bernama komunitas sastra. Di tiap kota atau kabupaten pun, banyak sekali komunitas sastra yang muncul. Ada pula komunitas yang terbentuk di kampus-kampus. Para penyair muda, biasanya muncul dan berproses dari komunitas sastra. Meskipun, menurut saya (dan semoga kalian semua setuju), proses kepenyairan itu tergantung dari penyairnya sendiri. Komunitas hanya sebagai tempat untuk ‘bersenangsenang di sastra’, atau tempat bertemu dengan orang lain yang memiliki kesenangan yang sama. Komunitas berfungsi sebagai jejaring sastra yang akan menjadi jembatan kita bertemu orangorang hebat yang tak terduga. Bisa saja dari komunitas sastra kita bisa dikenalkan atau mengenalkan seorang penyair besar seperti Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, atau Sitok Srengenge. Bukankah itu sama dengan mengembalikan sastra pada fungsinya semula? Menghibur dan mendidik – dulce et utile, kata Horace. __Nana Eres. Penyair, mahasiswa Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang.
Anekdot Tolong Tutup lagi Asal-muasal Kelahiran ”Ibu,” tanya Andi saat berada di Danau Toba bersama ibunya,”Bagaimana aku bisa lahir di dunia?” “Kau dibawa seekor bangau,” jawab ibunya. “Kalau Ibu?” “Ibu dulu juga dibawa seekor bangau.” “Kalau nenek?” “Juga dibawa bangau.” “Berarti, tiga generasi keturunan kita tidak terlahir normal ya, Bu?”
Gunanya Ayah ”Ibu,” tanya Andi lagi kepada ibunya,”Apakah polisi menjaga kita?” ”Benar,” jawab ibu. ”Pemadam kebakaran bisa kita telepon kapan saja?” ”Betul.” ”Tukang ledeng bisa kita panggil setiap saat?” ”Ya.” ”Lalu, apa gunanya Ayah?”
Bagus sedang memancing sambil membaca Kompas. Tiba-tiba ada botol mengarah padanya. Dibukanyalah botol itu. Wuush! Segumpal uap membentuk sketsa jin. ”Terima kasih, Tuan.” kata Jin. ”Akan kukabulkan tiga permintaan sebagai tanda terima kasih telah membebaskan saya.” ”Hmm, pertama aku ingin nilai rupiah distandardkan dengan dolar. Kedua, Hapuskan korupsi. Ketiga, beri aku lapangan pekerjaan.” ”Hmm,” jin tampak berfikir. Lalu perlahan masuk kembali dalam botol dan sebelum kepalanya masuk ke ujung botol, berkatalah: ”Tolong tutup botolnya Mas, terima kasih.”
16
Artikel
Sertifikasi dan Dehumanisasi Profesi Guru
J
ika Oemar Bakri, tokoh guru dalam lagu Iwan Fals, benar-benar ada dan masih mengajar, mungkin sepedanya telah berganti. Pascasertifikasi guru sekolah dasar itu mungkin lebih memilih menggunakan sepeda motor. Mes-ki tidak pernah ada jaminan kualitas mengajarnya lebih baik setelah kesejahteraannya meningkat. Profesi guru dulu digambarkan sebagai profesi yang amat mulia, hingga gelar pahlawan tanpa tanda jasa disematkan. Namun, kondisi itu berbeda karena guru menjadi pekerjaan yang menjanjikan secara materi. Akibatnya, muncullah pengajar yang bekerja layaknya guru namun bukan guru. Ada tiga jenis pengajar dalam dunia pendidikan Indonesia, yakni pengajar, pendidik, dan guru. Ketiganya memiliki tugas yang sama tetapi, tanggung jawabnya berbeda. Pertanggungjawaban itulah yang kemudian menentukan totalitas mereka dalam menjalankan tugas. Pengajar adalah pekerja di bidang pendidikan yang bertugas mengajar peserta didik. Secara sumir tugasnya diartikan sebagai tugas memenuhi kaidah pengajaran sesuai dengan silabus dan Rencana Program Pengajaran (RPP). Ketika tugas administrasi datang, seperti memasukkan nilai hasil evaluasi, seorang pengajar akan memberinya nilai sesuai prosedur evaluasi. Sedangkan peserta didik sebagai subjek pembelajaran tidak mendapatkan evaluasi yang memadai. Berbeda dengan keduanya, pendidik adalah profesi yang menuntut keterampilan, keahlian, sekaigus totalitas
dalam mendidik. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik akan menggunakan keterampilannya agar bahan ajar diserap dengan baik oleh peserta didik. Ia mengevaluasi dengan membandingkan kondisi peserta didik sebelum dan sesudah dididik. Sedangkan guru bukan profesi pendidik, melainkan sebuah bentuk pengabdian untuk mencerdaskan dan membekali peserta didik dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental. Motivasi mengajarnya pun berganti, bukan sekadar memenuhi tugas profesi agar tidak ditegur atasan apalagi memperoleh materi, melainkan bekerja sepenuh hati meningkatkan kualitas hidup anak didiknya. Sebagai bentuk pengabdian, maka tanggung jawabnya bukan berupa laporan hasil evaluasi, namun secara moril kepada Tuhan dan masyarakat. Dari tiga kategori di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tenaga kependidikan di Indonesia masih didominasi oleh para pengajar. Meski memiliki status sosial sebagai guru, sejatinya mereka hanya mentransfer ilmu kepada anak didiknya. Maka tidak nampaklah perbedaan mereka dengan mentor lembaga pelatihan keterampilan atau bimbingan belajar. Di sisi lain, banyak ‘guru’ yang tidak berprofesi sebagai pendidik di berbagai pelosok tanah air. Mereka mengajar setulus hati di sekolah terpencil meski dengan gaji dan fasilitas amat terbatas. Bahkan, ada seorang guru yang digaji dengan delapan puluh liter beras per tahun. Kondisi tersebut menggambarkan telah terjadi dehumanisasi profesi guru,
N ua n s A 124 TH XX/2009
dari sebuah profesi penuh kehormatan, pengabdian, dan kesukarelaan menjadi sebuah pekerjaan yang sumir mengejar gaji atau tunjangan.
Sertifikasi Kebijakan sertifikasi guru sebagaimana diatur Permendiknas nomor 18 tahun 2007 sejatinya memang untuk meningkatkan profesionalitas guru. Dengan begitu kualitas pembelajaran di kelas meningkat sehingga dapat menghasilkan lulusan berkualitas. Oleh karena itu, selain mengajar guru diharap aktif meningkatkan keterampilan dan pengetahuannya melalui berbagai kegiatan workshop, seminar, lokakarya, atau pelatihan lain. Koentjaraningrat (1976) menulis ada beberapa mentalitas khas bangsa Indonesia yang menjadi kendala pembangunan, antara lain, suka menerabas, percaya takhayul, dan tidak disiplin. Guru sebagai komunitas yang hidup di tengah komunitas yang lebih besar (masyarakat), tampaknya belum mampu lepas dari stereotip di atas. Perangai guru dalam melakoni peran pribadi maupun menjalankan tugasnya juga kerap tidak disiplin bahkan suka menerabas. Faktanya, untuk memperoleh bobot pada portofolio sebagai salah satu syarat lolos sertifikiasi, guru tidak belajar terlalu banyak. Seminar pendidikan, lokakarya, workshop atau pelatihan lain yang belakangan banyak diikuti guru justru untuk mengakali Permen No. 18 tahun 2007 yang mengatur sertifikasi melalui portofolio. Konskuensinya, meski guru rajin mengikuti pelatihan
di berbagai bidang, kualitas pembelajaran yang dikembangkan tidak banyak berubah. Reorientasi profesi guru menjadi sebuah pekerjaan ditandai dengan sedikitnya inovasi pendidikan dari para pekerja pendidikan. Bahkan, hanya segelintir guru yang rutin menulis atau melakukan penelitian. Akibatnya, pembelajaran mengalami kemampatan baik media pembelajaran, metode, maupun strateginya. Ironi ini dimulai saat proses seleksi menjadi guru. Mekanisme perekrutan guru amat longgar sehingga siapapun yang lolos tes bisa menjadi guru. Pada beberapa sekolah, baik negeri maupun swasta, masih banyak guru yang diterima melalui tes mandiri tanpa standar nasional profesi guru. Padahal sebagai pendidik kualifikasi guru amat kompleks tak dapat diukur hanya dengan kumpulan soal yang diujikan saat tes CPNS. Profesi guru yang memiliki wadah organisasi mestinya memiliki kualifikasi standar. Karena mendidik tidak hanya memerlukan seperangkat keterampilan tetapi juga pengabdian, persyaratan guru menjadi amat kompleks. Ini penting dilakukan karena guru menjadi soko guru keberhasilan pendidikan. Lahirnya guru profesional diharap mampu mendorong berbagai inovasi pembelajaran, bukan guru yang hanya vokal menuntut tunjangan dan mengeluhkan kesejahteraan. Surahmat Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unnes
Konservasi Hutan Sebagai Kurikulum Pendidikan
M
eskipun bencana alam akibat kerusakan lingkungan datang bertubi-tubi di beberapa kawasan, termasuk di pedalaman yang sebelumnya tidak memiliki riwayat bencana, konservasi lingkungan belum menjadi perhatian serius pemerintah. Penanganan konservasi hutan misalnya, pemerintah memilih bergerak di “hilir”, yakni menggelar operasi besar-besaran terkait penebangan liar. Di sisi lain, penanganan di bagian “hulu”, seperti peningkatan kemampuan para penjaga hutan dalam mempertahankan kawasan konservasi dan penyadaran masyarakat terhadap pentingnya hutan kurang menjadi perhatian. Berkait dengan masalah itu, Adi Susmianto, Direktur Konsevasi Kawasan Direktorat Perlindungan Hutan dan Konservasi Kawasan (PHKA) Departemen Kehutanan mengatakan, kita tergiring menangani akibat rusaknya lingkungan. Itu memang penting, tetapi ada yang tidak kalah penting, yakni mencegah munculnya semua kerusakan tersebut. Sejak duduk di kelas sekolah dasar, kita telah diberi pengertian mengenai fungsi dan manfaat hutan bagi kehidupan manusia. Dalam skala besar, hutan merupakan penyuplai udara segar terutama oksigen yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia di muka bumi ini. Hutan juga berfungsi mengendalikan pemanasan global bumi yang selalu meningkat karena industri atau efek rumah kaca. Secara lokal hutan
dapat mencegah tanah longsor (erosi) dan terjadinya banjir. Selain itu, hutan juga berfungsi menyimpan air tanah yang berasal dari hujan, sehingga dapat mengaliri sungai-sungai dan mencegah kekurangan sumber air bersih. Kita semua sadar, ketersediaan air tanah yang sangat terbatas, yaitu 0,01 persen yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga masalah kekeringan yang selalu saja terjadi pada musim kemarau selalu menimbulkan kerawanan sosial. Fungsi dan manfaat hutan yang lebih penting lagi, yakni untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Hutan adalah laboratorium dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama mengenai keanekaragaman flora dan fauna. Oleh karena itu, Menteri Urusan Luar Negeri Kerajaan Belanda, sangat berharap agar hutan Indonesia dapat dilestarikan. Sebab, hutan Indonesia merupakan salah satu kekayaan dunia, bukan hanya milik bangsa Indonesia tetapi juga menjadi milik masyarakat dunia bila dilihat dari segi ilmu pengetahuan. Hutan masih menyimpan sangat banyak misteri yang harus diungkap secara ilmiah. Di hutan Indonesia, masih sangat banyak tanaman-tanaman yang mungkin sangat bermanfaat untuk industri farmasi dan sangat bermanfaat bagi masyarakat seluruh dunia. Hutan dengan seluruh habitatnya juga berfungsi menjaga kelestarian dan keseimbangan kehidupan di dunia. Secara ekonomi hutan juga memiliki
manfaat yang sangat besar. Namun, eksploitasi hasil hutan atas fungsi dan manfaat ini sangat keterlaluan. Sebab tidak diiringi dengan usaha pelestarian (reboisasi) secara memadai. Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat mengemukakan, praktik penebangan liar (illegal logging) dan penyelundupan kayu merupakan faktor utama penyebab habisnya hutan Indonesia. Saat ini kapasitas produksi kepada industri perkayuan hanya sekitar 40-50 persen karena kekurangan bahan baku pasokan. Hal ini menunjukkan eksploitasi hutan oleh masyarakat dan pemegang HPH (hak pengelolaan hutan) ternyata tidak diimbangi kesadaran bahwa hutan yang tersedia secara alamiah memiliki keterbatasan. Suatu saat akan habis ditebang. Untuk itu, satu-satunya cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan melaksanakan program reboisasi. Dengan program reboisasi yang dilakukan, diharapkan akan terjadi siklus pertumbuhan hutan yang dapat menjaga kelestarian hutan. Meskipun harapan itu sangat sulit untuk dicapai pada pelaksanaannya. Sebab, kita dapat menghitung, pertumbuhan reboisasi yang sangat lambat dibandingkan dengan hutan-hutan yang telah ada dan mengalami pengurangan yang sangat cepat. Sementara itu, industrialisasi penebangan hutan terus mengalami kenaikan dengan percepatan yang sangat tinggi. Menyimak persoalan ini, harus segera ditemukan cara-cara strategis
agar dapat mencapai keseimbangan antara eksploitasi hutan dan reboisasi. Tugas bagi kita semua untuk sadar dan memikirkan bahaya laten atas keberadaan hutan yang terancam punah. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan bahwa untuk menjaga kelestarian hutan di wilayah Tanah Air, perlu dilakukan sejak dini, yaitu melalui program pendidikan di seluruh tingkat pendidikan formal selain tetap menjalankan usaha-usaha yang selama ini telah dilakukan. Hal ini jelas lebih dapat dilihat hasilnya, meskipun tidak serta-merta, daripada memerangi penebangan liar dan membiayai reboisasi dengan dana yang sangat besar tetapi tanpa disertai dengan pembentukan budaya sosial (social culture) yang konservasi lingkungan dan hutan. Tampaknya, alangkah baik apabila reboisasi dan perhutanan masuk menjadi materi dalam kurikulum di semua tingkat sekolah formal, mulai sekolah dasar (SD) sampai perguruan tinggi (PT). Hutan jelas menjadi salah satu sumber kehidupan bagi manusia dan kelestarian alam, sangat mungkin juga menjadi salah satu kompetensi bagi siswa. Pelajaran pelestarian lingkungan dan hutan dapat menjadi materi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di tingkat pendidikan dasar dan menengah, serta dapat menjadi mata kuliah umum di perguruan tinggi.* Cipta Prima Nugraha, Pemerhati lingkungan, tinggal di Semarang.
N ua n s A 124 TH XX/2009
17
Artikel
Peran Mahasiswa dalam Mengawal Demokrasi
G
egap gempita pesta demokrasi pada pemilu 2009 setidaknya dapat menjadi momen pencerdasan politik bagi mahasiswa. Kumpulan anak-anak muda yang sering disebut sebagai agent of change ini, akan dipertanyakan lagi idealismenya jika mereka justru menjauh dari realitas yang ada di masyarakat. Banyak peran yang semestinya dapat diambil mahasiswa dalam proses pemilu kali ini. Proses pendewasaan berpolitik yang telah digulirkan sejak tahun 1998 oleh mahasiswa, harus terus menjadi semangat perjuangan mereka untuk tetap bersikap kritis terhadap setiap kebijakan pemerintah. Sampai hari ini, proses pemilu belum dapat dikatakan berhasil. Proses pembodohan politik yang dilakukan oleh Parpol masih terlihat dengan jelas. Kampanye dengan goyangan erotis, money politics, kampanye saling menghujat, korupsi, ijazah palsu yang dilakukan oleh beberapa caleg parpol, telah mampu membuat masyarakat semakin apatis bahkan hilang kepercayaan terhadap parpol. Di sisi lain, masyarakat kita masih belum memiliki kecerdasan politik yang cukup untuk dapat men-
jadi pemilih yang cerdas. Masih banyak yang tergoda dengan money politic dan terkena rayuan partai korup. Tugas mahasiswa bukan hanya memperkenalkan bagaimana kriteria partai yang bersih dan perlunya memilih. Namun jauh lebih penting adalah penyadaran dalam jangka panjang dan pencerdasan politik yang bertujuan agar masyarakat memiliki tanggung jawab dalam menentukan masa depan bangsa dan memiliki kedewasaan dalam berpolitik. Ciri perpolitikan mahasiswa adalah politik nilai, bukan politik praktis. Fokus utama perjuangan mereka adalah pencerdasan politik bagi masyarakat, memberikan teladan sikap yang bermoral di tengah krisis moral. Peran lembaga politik intrakampus seperti BEM menjadi sangat vital ketika mereka memiliki jaringan yang kuat untuk bersama-sama menjadi garda pengawas jalannya proses demokrasi. Peran awal yang harus dimainkan mahasiswa adalah di lingkungan yang paling dekat dengan mereka sendiri yaitu di kampus. Pencerdasan politik di kampus harus digarap dengan rapi, dengan diskusi-diskusi yang digelar untuk menyikapi kebijakan politik
pemerintah. Peran mahasiswa sebagai kaum intelektual sebenarnya lebih dibutuhkan dari peran intelektual mereka. Mereka bukan hanya berperan sebagai kritikus, tetapi juga memiliki beberapa alternatif solusi yang dapat diajukan kepada pemerintah sebagai wujud kepedulian mereka terhadap nasib bangsa ini. Dalam pemilu kali ini, sikap kritis mahasiswa sayup-sayup saja terdengar. Tak senyaring waktu menggulingkan pemerintahan Suharto yang korup pada tahun 1998. Padahal kondisinya masih hampir sama. Kalau dulu, musuh utama jelas, yaitu rezim diktator Suharto. Namun sekarang musuh itu semakin samar-samar dan terkadang tidak mereka sadari. Proses pembodohan politik masih terus terjadi, tetapi mereka tak selantang ketika menjatuhkan rezim Suharto. Kadang secara tak sadar mereka juga terlibat dalam sistem yang korup tersebut. Mereka sulit berperan menjadi pengawas keika sudah memasuki wilayah politik praktis. Mahasiswa harus mampu berperan dalam perpolitikan sebagai penyegar politik agar mereka tak hanya dicibir. Selanjutnya yang paling urgen adalah action untuk memberikan teladan ber-
politik yang santun dan dewasa. Tantangan mahasiswa hari ini memang bukan lagi penyiksaan fisik seperti yang terjadi pada rezim orde baru. Namun, tantangan berat itu justru yang sering tak terasa, yakni hedonisme yang mampu menggerus idealisme dan kekritisan mereka. Pola hidup di kampus yang tergiring ke arah hedonis telah berhasil menciptakan mahasiswa yang cenderung apatis dan oportunis, semakin menciptakan jurang yang dalam antara mahasiswa dan masyarakat. Mahasiswa yang seharusnya lantang menyuarakan penderitaan rakyat, kini lebih banyak bungkam karena tak tahu apa yang sebenarnya dirasakan rakyat. Hedonisme telah menciptakan jurang yang semakin hari semakin menganga, jauh dari realitas masyarakat marginal. Akhirnya, mahasiswa terjebak dalam kepentingan politik. Secara tak sadar, mereka hanya dimanfaatkan sebagai ikon dan lambat laun menjadi antek partai korup, yang dulu ironisnya pernah mereka gulingkan di rezim sebelumnya.* Dasam Presiden Mahasiswa Unnes 2009
Melejitkan Kecerdasan Majemuk Pada Anak Sri Dewanti Handayani* Kelebihan yang ada pada anak perlu dioptimalkan sehingga anak dapat mencapai kemampuan terbaik dalam kehidupannya. Sementara kelemahan anak harus disikapi positif sebagai tantangan bagi orang tua untuk mengembangkan kecerdasan.
S
ampai saat ini, pemahaman tentang kecerdasan yang berkembang pada sebagian besar orang tua masih terbatas. Salah satu penyebabnya, kurang informasi. Orang tua belum mengetahui anak dimungkinkan juga memiliki kecerdasan lain, misalnya cerdas bahasa, gambar dan ruang, musik, gerak, bergaul, diri, alam, dan spiritual, sehingga satu anak dapat memiliki beberapa kecerdasan. Untuk mengetahui kecerdasan jamak pada anak dilakukan pengamatan dalam waktu yang cukup panjang, sehingga diketahui kecerdasan yang paling menonjol. Pengamatan ini bisa dilakukan oleh ahli yang berwenang. Namun, tidak menutup kemungkinan orang tua dapat mengamati kecenderungan kecerdasan melalui kebiasaan-kebiasaan anak. Dengan demikian, peranan penting orang tua adalah menemukan berbagai kelebihan yang dimiliki oleh seorang anak dioptimalkan. Beberapa kecerdasan jamak yang dimiliki anak, antara lain cerdas bahasa, logika-matematika, visual, musik, gerak/ kinestetik, interpersonal/people smart, intrapersonal/self smart, cerdas alam, dan cerdas spiritual. Kesembilan kecerdasan yang dimiliki masingmasing anak tidak sama. Di sinilah pentingnya peranan orang tua dalam menstimulasi kecerdasan secara tepat. Pertama, cerdas bahasa, berkaitan dengan kemampuan membaca, menulis, berdiskusi, berargumentasi, dan berdebat. Anak-anak yang memiliki kecerdasan bahasa, memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap bunyi, tata bahasa, makna, fungsi kata, dan bahasa. Anak-anak seperti ini dapat menyi-
mak, membaca, berbicara, dan menulis secara efektif, serta menunjukkan kemampuannya untuk mempelajari berbagai bahasa. Apabila kecerdasan ini distimulasi dengan tepat, anak akan mendapatkan kemampuan terbaiknya, misalnya menjadi seorang penulis, wartawan, orator, ahli politik, penyiar radio, presenter, guru, atau pengacara. Orang tua dapat melejitkan kecerdasan bahasa dengan berbagai cara, antara lain; mengajak anak bercerita, membuat buletin keluarga mingguan, dan mendongeng. Kedua, cerdas logika, berkaitan dengan kemampuan berhitung, berpikir logis serta memecahkan masalah. Anak-anak dengan kecerdasan logika dan matematika memiliki kepekaan dalam berpikir logis atau yang berkaitan dengan angka dan simbol matematika. Orangtua dapat merangsang berkembangnya kecerdasan logika dan matematika dengan berbagai cara, seperti membuat percobaan sederhana, mengajak berpikir kritis dalam memcahkan masalah, atau meminta anak mencatat barang. Ketiga, cerdas gambar berkaitan dengan kemampuan menggambar, memotret, membuat patung dan mendesain. Anak yang menonjol kecerdasan gambar dan ruangnya akan memiliki kepekaan merasakan dan membayangkan dunia gambar dan ruang secara akurat. Ada berbagai cara untuk mengoptimalkan kemampuan tersebut, antara lain mengajak anak mendesain gambar, menggelar pameran bulanan bagi hasil karya anak, atau bermain puzzle. Keempat, cerdas musik, erat kaitan-
nya dengan kemampuan untuk mencipta lagu, membentuk irama, mendengar nada dari sumber bunyi atau alat-alat musik. Anak usia dini dapat menciptakan lagu sederhana yang tergantung pada tingkat perkembangan dan kemampuan anak. Kelima, cerdas gerak berkaitan dengan kemampuan motorik dan keseimbangan. Anak yang menonjol kecerdasan geraknya memiliki kemampuan mengontrol gerak tubuh dan kemahiran merespon rangsangan gerak refleks. misalnya menari, berolah raga atau lainnya.
CERDAS interpersonal/people smart Cerdas interpersonal berkaitan dengan kemampuan bergaul dengan orang lain, memiliki jiwa kepemimpinan, kepekaan sosial yang tinggi, mampu bekerjasama dengan baik dan memiliki empati yang tinggi. Anak-anak yang menonjol kecerdasan bergaulnya memiliki kepekaan tinggi untuk memberikan respon terhadap suasana yang ada di sekelilingnya, termasuk menghargai perasaan dan keinginan orang lain. CERDAS intrapersonal/ self smart
Cerdas intrapersonal berkaitan dengan kemampuan untuk mengenali diri sendiri secara mendalam, memotivasi diri, peka terhadap nilai diri dan tujuan hidup. Anak yang menonjol kecerdasan dirinya memiliki kemampuan yang tinggi dalam memahami perasaan,
Dok. pribadi
membedakan emosi, memiliki pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri. CERDAS ALAM
Cerdas alam berkaitan dengan kemampuan anak untuk mengamati gejala-gejala alam. Anak yang menonjol kecerdasan alamnya memiliki keahlian untuk membedakan berbagai macam jenis makhluk hidup serta keterkaitannya.
CERDAS SPIRITUAL
Kecerdasan ini mencakup kepekaan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendalam tentang keberadaan manusia, seperti makna hidup, mengapa kita mati, untuk apa Tuhan menciptakan kehidupan ini. Kecerdasan ini dapat dirangsang melalui penanaman nilainilai moral dan agama. *Ketua Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini Unnes
18
Budaya
Hujan
:faisal kamandobat jika di tepi danau kita bertemu apa kau akan memberiku bunga mawar merah yang kusuka
Puisi
kita menepi ketika gerimis menegaskan bibirmu yang rimis dan aku mengerti ketika cinta membungkus dua penyair muda maka lahirlah puisi dari mantranya lalu kau bertanya tuhankah itu yang berpurapura jadi hujan biar bisa main dengan faisal kecil? aku suka hujanhujanan kalau benar Tuhan menjelma hujan pantas saja aku cinta memandang titik airnya tapi,ah,masa hujan itu Tuhan? kalau bukan Tuhan yang purapura jadi hujan kenapa faisal kecil tidak takut main sendirian di lapangan tanpa kawan?
Bangun dari Negeri Dongeng Aku Sering mematung di depan cermin lalu bertanya “apakah aku cantik?� jika dirasa ada yang kurang kuambil gincu apakah merah, pink atau ungu? Setelah itu kupoles wajah dengan kain lembut berisi serbuk ajaib revlon atau maybeline nah, kini aku sudah cantik, pikirku kulangkahkan kaki keluar dari persembunyian berharap bertemu pangeran atau raja tampan ada Edward, Philip, dan Arthur di sana mereka pasti menantiku ku berlari, tapi aku tersandung rantai besi ternyata aku mimpi tak ada Edward, Philip juga Arthur di sini
tuhan tak pernah purapura jadi hujan hujanlah yang purapura jadi Tuhan
Rizky Sastra Inggris
apa nanakecil yang purapura jadi hujan?
Gila
nanakecil selalu tengadah wajah ke langit sambil terus bertanya kenapa hujan turun ke bumi apa disana ada penghuni dan mereka menangis untuk hal-hal yang tak tergapai atau janganjangan mereka pesta pora menjamu Tuhan di meja makan lalu mengirim keriuhannya kesini lewat hujan hujan yang membuat kita berdekatan bunga gugur manusia mati langit dan bumi memang tak punya perasaan mereka jatuh cinta pada kita cinta yang aneh dari hujan Nana eres Sastra Inggris
2008
N ua n s A 124 TH XX/2009
Di sudut sana ada ibu menyiksa anaknya Gila Oh, orang itu Perut buncit, kumis tebal bermuka seram Dan berbaju loreng mengendarai kereta baja lengkap dengan mortir dan atomnya membumihanguskan desa Gila Ada lagi, pemudi jelita berbaju putih membiarkan seorang renta menjerit kesakitan karena tak punya harta Gila Alamak, si Om klimis berwajah sinis Berdasi dan rapi Tersenyum bangga menghitung uang rampasannya Gila Tapi lebih yang lebih gila adalah kita hanya bisa membelalakkan mata menyaksikan semuanya Rizky Sastra Inggris
N ua n s A 124 TH XX/2009
resensi
19
“Hidup Ini Tak Berharga untuk Dilanjutkan” Judul Buku : Khotbah di Atas Bukit Penulis
: Kuntowijoyo
Cetakan
: September 2008
Halaman
: 198 hal
Penerbit
: PT. Bentang Pustaka
Novel “Khotbah di Atas Bukit” merupakan sebuah karya masterpiece yang menceritakan tentang perburuan spiritual. Barman, laki-laki tua berumur 65 tahun dianjurkan oleh dokter untuk tinggal di suatu tempat yang sepi dan dingin yaitu gunung. Masa pensiunnya dihabiskan di sebuah rumah di atas bukit pemberian anaknya, Bobi. Barman sungguh sangat beruntung karena Boby juga menghadiahkannya wanita cantik bernama Popi. Wanita yang akan setia meladeninya, menghangatkan tubuhnya dan selalu menyuguhkan anggur di saat malam datang. Bobi mengira kehadiran perempuan itu akan menjadi baik bagi ayahnya. Namun, dugaan itu salah menurut Barman. Nyatanya Popi terla-
lu larut dengan pekerjaan dapur yang menyita seluruh waktunya. Hingga suatu hari saat Barman sedang jalan-jalan, ia dikagetkan dengan kedatangan laki-laki tua seumurannya yang berkata “Ke, apa kerjamu,” lalu langsung menghilang. Laki-laki itu ia sebut “Pak Kelinci” karena larinya secepat kilat. Rasa penasaran mengawali perkenalan antara keduanya. Orang itu bernama Humam, yang tinggal seorang diri tanpa keluarga, tanpa masa lalu, bebas tanpa aturan. Perkenalan itu membuat Barman semakin bingung, terlebih dengan perkataan Humam, “Cinta adalah belenggu kita, tinggalkanlah segala milikmu, apa saja yang menjadi milikmu, sebenarnya milikmu. Dan engkau tak lagi merdeka.” Tak lama perkenalan itu Barman meninggal. Perkenalan dengan Humam mengejutkan Barman. Laki-laki itu telah mengajarkan banyak hal. Hingga pada akhirnya pertanyaan
singkat, “Bahagiakah engkau?” Barman lontarkan ke orang-orang yang ditemuinya. Orang yang ditanya pun merasa binggung terhadap pertanyaan itu. Mereka penasaran akan sosok Barman. Apa maksud pertanyaan itu? Warga yang penasaran berbondongbondong menemui Barman. Dan dimulailah perburuan spiritual itu. Barman dan pengikutnya sekitar 30 orang lebih berjalan mendaki gunung, melewati hutan, jurang dan bukit. Akhirnya sampailah mereka di puncaknya. Barman berkhotbah “Hidup ini tak berharga untuk dilanjutkan, bunuhlah dirimu.” Orang-orang yang mendengar tercengang, menangis dan berteriakteriak. Barman seketika menghilang. Lalu, apakah maksud dari khutbah Barman? Dan ke manakah Barman? Cerita ini ditulis mengalir seperti air, alurnya runtut. Untuk pembaca pemula mungkin akan mengalami kesulitas dalam membaca awal ceritanya. Bahasanya penuh makna yang dalam. Membaca novel ini perlu konsentrasi yang tinggi, tiap katanya mengandung makna. Namanya juga sebuah karya masterpiece. Perlu meluangkan waktu untuk membacanya, apabila tergesagesa maka kita akan menyesal karena
melewatkan kalimat-kalimat yang bermakna dalam novel ini. Perburuan spiritual Barman ingin menyampaikan hal-hal penting dalam hidup, mencoba menanyakan pertanyaan yang gampang tetapi sulit untuk dijawab, “Bahagiakah engkau?” Kekurangan novel ini yaitu pada awal-awal cerita hanya menceritakan kehidupan Barman dan Popi saja secara monoton. Dan penulisan paragrafnya juga terlalu panjang, satu paragraf ada yang terdiri dari 45 kalimat sehingga membuat lelah pembacanya. Katakatanya pun menggunakan ungkapan (bukan makna sebenarnya), majas sehingga butuh waktu untuk memahaminya. Namun, itu hanya pada awal-awal saja karena semakin disimak ceritanya semakin menarik dan membuat pembaca penasaran. Sebuah karya masterpiece almarhum Kuntowijoyo memberikan makna tentang pencarian akan hakikat hidup melalui perburuan spiritual di atas bukit. Bagi penikmat karya-karya sastra berbobot, jangan sampai terlewatkan untuk membaca novel ini. Selamat membaca. Afina Lukita
Kayla (Lynn Collins) dan berprofesi sebagai penebang kayu. Kehidupan bahagia Logan makin membuat Victor naik pitam. Untuk memancing amarah Logan, Victor datang merongrong hidupnya dengan membunuh Kayla. Logan yang marah mencari Victor hingga akhirnya ia bertemu kembali dengan Mayor Stryker. Sang Mayor mengatakan bahwa setelah kepergian Logan, proyek telah dibubarkan. Namun, ia akan segera membentuk kesatuan baru bernama Weapon X. Ia meminta Logan kembali bekerja untuknya dan berjanji membantunya menemukan Victor. Logan sepakat dan dalam proyek, tubuhnya disatukan dengan adamantium sehingga ia memiliki kekuatan super. Agar proyek ini berjalan lancar, Stryker meminta tim dokter untuk menghapus ingatan Logan. Logan yang mendengar hal itu marah dan melarikan diri ke sebuah desa. Ia tinggal bersama pasangan tua yang baik hati. Tak hanya kekasih Logan, pasangan tua itu pun menjadi korban. Ketika ia menyelinap
ke markas Stryker, ia bertemu dengan Kayla yang ia anggap tewas di tangan Victor. Dari peristiwa itu, ia tahu bahwa semua adalah rencana Stryker untuk membuat Logan kembali bekerja untuknya. Kayla yang masih menyimpan rasa cinta pada Logan menjelaskan bahwa ia terpaksa ikut mengelabui Logan untuk membebaskan adiknya yang ditahan Stryker. Mendengar hal itu, hati Logan pun luluh. Itulah cinta. No matter what you’ve done, I always forgive you. Bersama Kayla, Logan membebaskan semua mutan yang ditahan oleh Stryker. Dalam sebuah aksi kejar-mengejar antara Stryker-Logan, kepala Logan berhasil ditembak Stryker. Setelah sadar, ia telah lupa siapa dirinya. Film ini menggunakan efek-efek luar biasa dan bagi para pecinta XMen tentu kehadirannya telah ditunggu-tunggu. Detail pengambilan yang memesona menjadikan film ini tetap menduduki peringkat atas film-film hollywood berkualitas. Selamat menyaksikan. Zum
Dengarkan Kata Hati han mereka di masa deJenis Film : Action Fantasy pan. Wa k t u Pemain : Hugh Jackman, Liev Schkecil, mereka reiber, Dannya Huston, Lynn Collins melarikan Sutradara : Gavin Hood diri ke hutan setelah LoPenulis : DAvid Benioff dan Stan Lee gan menusuk Produksi : 20th Century Fox seorang lakiTanggal Rilis : 1 Mei 2009 (USA) laki yang mengaku sebagai ayah X-MEN ORIGINS: WOLVERINE kandung mereka. “Saudara selalu samengisahkan masa lalu James Logan ling melindungi.” Itulah kalimat Vic(Hugh Jackman) sebelum berubah tor yang membuat Logan tidak pernah menjadi Wolverine si manusia srigala tega membunuh saudaranya itu. Medan bergabung dengan tim X-Men. Ia reka bersama-sama dalam banyak pepeadalah seorang tentara yang melarikan rangan. Semua berubah ketika mereka diri dari proyek pembuatan tentara su- menjadi tentara mutan Mayor Stryker. per yang dikepalai oleh Mayor Wiliam Mereka harus tega membantai siapa Stryker (Danny Huston). Tidak ha- pun yang mereka temui di peperangan. nya Logan yang menjadi “kelinci” dari Keadaan ini membuat Logan muak dan proyek ini. Namun, Victor Creed (Liev mengundurkan diri. Victor sangat maSchreiber) saudara Logan yang nantinya rah dengan kepergian Logan. Enam tahun berlalu, Logan telah akan dikenal sebagai Sabretooth juga turut serta. Inilah awal mula permusu- hidup bersama seorang wanita bernama Judul Film
: X-Men Origins : WOLVERINE
Teori Penerjemahan: Beberapa Metode Judul Buku
: Teori Penerjemahan
(A handbook For Translator) Pengarang : Rudi Hartono Tahun Terbit
: Maret 2009
Halaman
: 111 hal
Penerbit
: Cipta Prima
Nusantara semarang
Anda bingung memahami teks bahasa Inggris? Atau kesulitan dalam menerjemahkan? Tak perlu cemas, sekarang telah hadir buku panduan tentang seluk-beluk penerjemahan. Buku karangan Rudi Hartono ini memberikan sumbangan pengetahuan, pemahaman, dan pendeskripsian mengenai penerjemahan. Menyimak judulnya saja, buku ini cukup menarik. Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional telah menjadi alat untuk
penyebaran informasi dan komunikasi bagi semua bangsa di dunia. Namun, perbedaan bahasa bangsabangsa di dunia kadang menjadi salah satu penghambat kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, diperlukan penerjemahan sebagai jembatan yang menghubungkan keduanya. Dengan demikian, penerjemahan bahasa menduduki posisi yang vital bagi kemajuan di segala bidang baik dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Tulisan Rudi Hartono ini merupakan salah satu buku yang membicarakan mengenai teori penerjemahan. Di dalamnya dibicarakan mengenai defini-
si, jenis-jenis, metode, prosedur, teknik, dan problematika penerjemahan. Selain itu, penilaian kualitas penerjemahan juga dibicarakan dalam buku ini. Dewasa ini, banyak seorang penerjemah di dalam tugasnya, menghadapi berbagai kesulitan, misalnya kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan makna, seperti makna leksikal, makna gramatikal, makna kontekstual atau situasional, makna tekstual, dan makna sosio-kultural. Makna-makna yang sulit diterjemahkan biasanya makna sosio-kultural. Di samping kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan makna, penerjemah mungkin dihadapkan pula dengan kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan materi-materi yang berhubungan dengan teks sastra. Misalnya, kesulitan menerjemahkan lelucon, peribahasa, dan beberapa gaya bahasa (figurative language) yang berkaitan dengan sosio-kultural tertentu. Sehingga tidak jarang, nilai dan rasa keindahan dalam
teks asli hilang dalam teks terjemahan atau paling tidak muncul rasa kaku dan hambar dalam hasil terjemahan. Buku ”Teori Penerjemahan” ini dapat menjadi acuan singkat bagi para mahasiswa, penerjemah pemula, dan peneliti muda yang sedang menekuni bidang penerjemahan, khususnya penerjemahan teks dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya. Kelemahan buku ini yaitu penulis kurang detail dalam memberikan contoh, sehingga pembaca sulit untuk mendapatkan gamabaran yang jelas mengenai apa yang dia paparkan. Sri Lestari
Profil Maryamah
Widya Aryadi
Menuju Ohio University
H
arapan menjadi seorang translater dan interpreter membawanya ke Ohio University, Amerika Serikat. Dialah Mariamah mahasiswi Sastra Inggris semester 8. Satu-satunya mahasiswa Unnes yang mendapat kesempatan belajar selama dua bulan di negeri Barrack Obama itu. Dia mendapat beasiswa dari Indonesian International of Education Foundation (IIEF). Amerika memberi bantuan dana untuk mahasiswa Indonesia yang ingin mempelajari kebudayaan Amerika. Namun sayangnya, dari sekian ribu mahasiswa Unnes hanya tiga orang yang mendaftarkan diri. Dara kelahiran 19 April 1988 ini mengatakan bahwa sebenarnya banyak mahasiswa yang tidak tahu tentang beasiswa tersebut. Mantan Ketua Hima Bahasa Inggris 2008 ini mendapati informasi beasiswa tersebut dari pengumuman yang ditempel di gedung jurusannya. Dia baru mengetahui beasiswa tersebut dua minggu sebelum pendaft a ran ditutup. Namun, nasib baik berpihak padanya. O h i o University
akan menyambutnya pada 2 April 2009, tepat pada musim semi. Sebagai mahasiswa dia sangat menyayangkan sikap mahasiswa Unnes yang kurang tanggap dan kurang memiliki rasa ingin tahu. “Sebenarnya banyak sekali beasiswa yang ditawarkan. Tergantung kita yang ingin mencari atau tidak,” kata mahasiswa asal Rembang ini, Rabu (11/3). Dia menambahkan bahwa syarat untuk memperoleh beasiswa tersebut tidak terlalu sulit, yakni lulus ujian TOEFL dengan nilai minimal 450 disertai lampiran-lampiran lainnya. “Yang lama itu nunggu surat rekomendasi dari sini (Unnes-red),” ungkapnya. Dia merasa hendaknya setiap mahasiswa selalu mengambil kesempatan yang ada selagi masih muda, masih banyak kesempatan. “Masyarakat luar negeri itu beranggapan bahwa orang indonesia itu nek ora dicepakke gak bakal golek (kalau tidak disediakan tidak akan mencari),” tambahnya. Saat mendapat kabar bahwa dia lolos seleksi, orang tuanya tidak bisa banyak berkomentar. Namun, dia mendapat dukungan penuh dari kakaknya untuk mengambil kesempatan tersebut. Dia mengajak semua mahasiswa Unnes untuk tidak minder. Bahkan, dia sangat percaya diri dan menganggap Unnes tidak kalah hebat dengan universitas lain. Dia mengaku dalam pembicaraan singkat via telepon tidak ada persiapan khusus menjelang keberangkatannya, Rabu (1/4). Keluarga serta teman-temannya hanya berpesan kepadanya untuk tidak berubah setelah pulang dari luar negeri. “Mereka takut saya berubah setelah pulang nanti,” katanya.Zum
N ua n s A 124 TH XX/2009
Micro Car Unnes Dapat Bantuan 1,2M
K
ecintaan pada dunia riset ditambah keprihatinan melihat kondisi pasar mekanik dan otomotif Indonesia, memberi Widya Ariyadi ide untuk mencari terobosan baru di bidang otomotif. Dosen pembimbing Creativity and Reseach Club (CRC) Teknik Mesin Unnes ini berusaha menciptakan alat transportasi yang terjangkau masyarakat. Terciptalah microcar, sebuah mobil mungil dengan 3 buah roda yang merupakan perpaduan antara mobil dan motor. Bersama mahasiswa CRC, microcar terus disempurnakan. Usaha mereka akhirnya menghasilkan microcar empat roda dengan roda penggerak depan dan microcar empat roda dengan roda penggerak belakang. Dan kini mobil mini ini disebut Arina (Armada Indonesia). Berkat ide briliannya ini, Unnes mendapat bantuan berupa peralatan otomotif senilai 1,2 M untuk mengembangkan laboratorium Pusat Desain dan Rancang Bangun Kendaraan Mikro dari Departemen Perindustrian yang akan segera didirikan 2009 ini. “Di seluruh Indonesia, hanya Unnes dan ITS yang mendapat bantuan seperti ini dari Departemen Perindustrian. ITS mendapat bantuan serupa dalam pengembangan kapal,” kata pria kelahiran 10 September 1972 ini, Jumat (29/5). Laboratorium ini akan ini akan menjadi wadah bagi mahasiswa atau pun dosen untuk menyalurkan dan mengembangkan bakat mereka di bidang otomotif. “Outputnya ( laboratorium) berupa prototyping unit kendaraan, prototyping komponen kendaraan,
Kerumunan Kucing dan Tercabutnya Rahmat
D
isebabkan agak mengalami sedikit gangguan pada penglihatan saya, secara tak sengaja saya telah melindas kerumunan kucing yang sedang bercengkrama dengan induknya. Pada malam hari, dalam penglihatan saya kerumunan kucing yang seluruhnya berwarna hitam itu hanyalah gumpalan kain-kain kotor berwarna hitam gelap atau mirip kantong-kantong plastik yang berserakan. Beruntung, dari kurang lebih lima ekor kucing itu, satu pun tak ada yang mati atau terluka. Namun, kucing-kucing itu sempat mengerang dan pontang-panting melarikan diri. Saya tak sanggup membayangkan betapa ngerinya jika kucing-kucing itu berdarah-darah. Agak merinding juga saya waktu itu. Apalagi saya termasuk seorang yang agak phobia terhadap kucing, walau tidak sampai pada taraf yang sungguh parah. Tak lama anak-anak kucing itu telah menghampiri induknya, dan kembali mereka berkerumun. Saya sempat tersenyum saat menyadari bahwa sang induk ternyata menatap saya terus. Diiringi suara mengeongngeong, matanya yang tajam itu terlihat begitu menakutkan berkilat-kilat diterpa sinar bulan yang tak terlalu terang. Saya mengartikan tatapan mata
itu seolah-olah merupakan suatu bentuk kewaspadaan atas kemungkinan akan adanya sinyal ancaman selanjutnya. Sang induk telah berada dalam posisi siaga melakukan penjagaan dan perlindungan terhadap anak-anaknya. Yang tebersit di benak saya waktu itu, betapa hangat dan kuatnya naluri kasih sayang yang telah ditiupkan oleh Tuhan kepada makhluk hitam ini. Saya lantas teringat sebuah kalimat yang manis, “Bahwa segalak-galak induk gorila sekalipun, ia akan tetap menyayangi anaknya. Apalagi kucing, binatang yang begitu jinak dan paling dekat dengan manusia.” Melihat keadaan itu, saya tertegun. Terus terang saya agak risau, tak habis pikir, bahwa ternyata binatang bisa lebih sayang kepada anaknya dibandingkan manusia yang memiliki akal budi. Bukankah kita sering melihat dan mendengar bagaimana seorang ibu telah sanggup membuang atau membunuh bayinya yang sama sekali luput dari dosa?
Pangkal persoalannya pun beragam. Yang sering kita dapati misalnya, hanya dikarenakan bayi tersebut merupakan hasil dari hubungan yang tidak sah dan kemudian hal itu dianggap sebagai sebuah aib yang mesti cepatcepat dilenyapkan. Atau hal itu berawal dari sebuah ketakutan para orang tua tidak dapat menghidupi anaknya karena kesulitan ekonomi, yang lantas dengan picik akhirnya mengambil jalan pintas untuk menghabisi anaknya, dan sebagainya. Ada apa dengan manusia, para ibu itu? Mengenai hal ini, saya kemudian sering berbincang-bincang dengan beberapa rekan, mengapa manusia bisa separah itu? Jawab dari rekan-rekan saya bun bervariasi. Namun, ada sebuah penjelasan yang betul-betul mengena diri saya –dan ternyata diam-diam saya setujui di kemudian waktu -, bahwa hal itu lebih disebabkan telah tercabutnya rahmat dari Tuhan kepada manusia. Rahmat itu, dalam penjelasan rekan saya, sesungguhnya merupakan sebagian dari sifat Rahman Rahim Tuhan yang tak terbatas, yang kemudian di-
juga prototyping alat bantu produksi,” tambah Widya yang berdomisili di Jl. Kauman Barat V No. 2 Majapahit ini. Ia mengaku waktu senggangnya selalu dihabiskan untuk mencari ide dan gagasan baru di dunia otomotif. Kreativitasnya tak pernah membuatnya berpuas diri. Ia mulai bekerjasama dengan Industri Kecil Menengah bidang otomotif di Purbalingga, Tegal, Pati, Cepu, dan Semarang dalam hal suku cadang Arima. Ia berharap tahun 2010 nanti, Arina sudah bisa “dilempar” ke pasar dengan harga di bawah 30 juta. Ayah dari dua orang anak ini berpendapat bahwa ilmu yang bagus harus bisa dijual dan memiliki nilai komersial. “Ilmu harus memiliki manfaat bagi kesejahteraan manusia,” tuturnya mengakhiri wawancara.Yuli
Rileks tiupkan kepada manusia dan seluruh makhluk. Lebih jelas ia mencontoh kan, saat seorang ibu melahirkan, pada saat itulah di dalam hatinya tengah dibaluri cahaya rahmat sehingga ia begitu mencintai bayinya, meneteskan air mata saat memandang wajah anaknya, atau terharu dan tersenyum bahagia saat mendengar tangis anaknya. Karena rahmat itu pula, ia bahkan akan sanggup mengorbankan apa saja. Andai pun ia harus memilih, ia akan memilih bayinya selamat daripada dirinya sendiri yang tetap bertahan hidup. Kemudian yang menjadi persoalan, jika benar hal itulah yang sedang terjadi, maka patutlah kita bertanya. “Sebenarnya dosa apakah yang telah diperbuat oleh manusia? Dan telah sebegitu parahkah dosa yang telah diperbuat hingga menyebabkan tercabutnya rahmat Tuhan dalam diri manusia?” Rasa-rasanya kita perlu merenungkannya lagi dan lagi. Saya khawatir jika suatu saat nanti di muka bumi ini benar-benar akan terjadi sebuah kehidupan yang sama sekali tak ada lagi kasih-sayang di antara sesama manusia. Ya, disebabkan pandangan rahmat dari Tuhan telah nyata terhapus, lenyap tak berbekas. M. Rifan Fajrin
N ua n s A 124 TH XX/2009