RISET AKSI
Dampak Tertundanya Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 Terhadap Pemenuhan Hak Pelayanan Publik Bagi Komunitas Penghayat Kepercayaan di Indonesia
Yayasan Satunama 2018
Ringkasaan Eksekutif
Laporan Riset Aksi Inklusif adalah laporan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Satunama terkait dengan dampak tertundanya implementasi putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 terhadap pemenuhan Hak Pelayanan Publik Bagi Komunitas Penghayat Kepercayaan di Indonesia. Laporan ini menggambarkan dampak bagi penghayat di tiga ranah, yaitu pelayanan hak dasar kepada penghayat kepercayaan, penerimaan sosial dan pengorganisasian kelompok penghayat kepercayaan, dan kebijakan lokal dan nasional yang berpihak kepada penghayat kepercayaan. Dalam penelusurannya, penelitian ini menggunakan strategi pengumpulan data untuk menggali perspektif penghayat terkait dengan paska putusan MK, serta wawancara dan Focus Group Disscussion dengan sejumlah pihak, baik dari pemerintah desa, lintas iman, serta dinas terkait. Kajian ini dilakukan sebagai pelaksanaan mandat Yayasan Satunama dalam upaya untuk mencapai keadilan dan inklusi sosial bagi kelompok marginal. Laporan ini juga dimaksudkan sebagai bahan advokasi dalam upaya mendorong pemerintah untuk segera mengimplementasikan putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam laporan penelitian ini, Yayasan Satunama menemukan bahwa Secara umum dapat dikatakan bahwa Putusan MK mendapatkan respon positif dan bahkan pro-aktif dari berbagai kalangan di daerah dampingan/penelitian: pihak penghayat kepercayaan, pihak pemerintah khususnya yang menangani langsung urusan-urusan yang berkaitan dengan kehidupan warga negara penghayat kepercayaan, organisasi masyarakat sipil, dan tokoh-tokoh yang mewakili masyarakat umum. Mayoritas pemangku kepentingan sepakat bahwa Putusan MK patut diapresiasi karena ia menegaskan pengakuan negara akan eksistensi penghayat, menuntut kesetaraan penghayat dengan warga negara lainnya, dan mendorong terciptanya sikap inklusif oleh semua pihak. Putusan MK diyakini sebagai landasan hukum yang menjamin pengelolaan warga negara khususnya penghayat oleh negara secara demokratis dan bermartabat, dan menjamin terciptanya inklusi yang mencakup tiga (3) ranah: kebijakan, pelayanan dan penerimaan sosial. Meskipun demikian repson positif ini diiringi dengan segera harapan untuk segera diimplementasikan. Putusan MK yang belum diikuti oleh aturan teknis tetap saja membuat pemda belum dapat berbuat lebih. Dengan Putusan MK tersebut, hingga saat ini mereka hanya mampu meyakinkan warga penghayat bahwa mereka segera diakui dan dilayani secara otpimal. Terkait itu, pihak OPD, khususnya Dispendukcapil, berharap, bahkan sebagiannya mendesak, kepada Kementrian Dalam Negeri untuk tidak menunda lagi aturan imlementasi Putusan MK. Mereka khawatir, ketertundaan tersebut dapat berdampak pada menurunnya tingkat kepercayaan warga terhadap pemerintah yang mulai terbangun dengan Putusan MK tersebut.
BAB I LATAR BELAKANG PENELITIAN I.
Pendahuluan Inklusi sosial merupakan bagian penting dalam tujuannya untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Yayasan SATUNAMA Yogyakarta melalui Program Peduli tengah memasuki fase kedua dalam melaksanakan program inklusi sosial bagi komunitas penghayat kepercayaan. Project Keadilan dan Inklusi Sosial bagi Masyarakat Marginal (KISKM) ini berada di bawah payung Program Peduli koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) yang diimplementasikan di delapan wilayah kabupaten di Indonesia, meliputi Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Sumba Tengah, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Brebes, Kabupaten Deli Serdang, dan Kotamadya Medan. Project KISKM dilaksanakan sejak 2015 melalui kemitraan dengan sejumlah lembaga mitra pelaksana , yaitu LPPLSH (Jawa Tengah), ASB (Sumatra Utara), LKIS (Yogyakarta), Donders (Sumba Barat Daya-NTT), Yasalti (Sumba Timur-NTT). Di fase kedua ini, Program KISKM lebih memfokuskan pada strategi kerja melalui literasi inklusi, advokasi inklusi, komunikasi inklusi, jaringan inklusi, serta pengarusutamaan Gender dan Hak Anak. Program Peduli memiliki tiga aspek utama untuk melihat tingkat inklusifitas sebuah wilayah. Ketiga aspek tersebut adalah; (1) Kebijakan Publik, (2) Pelayanan Publik dan (3) Penerimaan Sosial. Aspek Kebijakan Publik dimaksudkan untuk mendorong adanya perbaikan kebijakan yang inklusif di aras nasional dan lokal dengan memperkuat dan memperluas aliansi advokasi lintas aktor dan kepentingan (DPR/DPRD, Pemerintah, NGOs, komunitas, Media, Perguruan Tinggi, Ormas dan keagamaan, dll). Aspek Pelayanan Publik digunakan untuk memperkuat pemahaman aparatur sipil Negara tentang Inklusi sosial yang berkaitan dengan fungsi abdi Negara seperti menjaga, melindung dan melayani warga (kelompok marginal) yang terefleksi pada produksi kebijakan inklusif di semua tingkatan pemerintahan, layanan dasar dan bantuan pemerintah (termasuk identitas legal), serta upaya-upaya terencana dari pemerintah yang berkaitan dengan pemulihan relasi antar warga.
Sementara Aspek Penerimaan Sosial menekankan pada pentingnya mendorong dan memperkuat komunitas serta kolaborasi organisasi masyarakat sipil untuk membangun aliansi sinergis-strategis-kritis dengan pemerintah lokal agar inklusi sosial menjadi arus utama dalam rencana pembangunan nasional dan lokal. Upaya memasukan nomenklatur inklusi sosial dalam perencanaan pembangunan di tingkat lokal dan nasional harus menjadi ikhtiar bersama. Salah satu proses intervensi dan capaian dalam implementasi program dalam ranah advokasi adalah Judicial Review atas pasal 61 ayat (1) dan (2) serta pasal 64 ayat (1) dan (5) UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto UU 24/2013 tentang Perubahan atas UU 23/2006 yang akhirnya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pada Selasa, 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang keberadaan kelompok penghayat kepercayaan di Indonesia. Putusan ini memberi harapan baru bagi masyarakat penghayat kepercayaan untuk bisa mencantumkan keyakinannya pada kolom agama di Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). MK dalam amar putusannya mengabulkan seluruh permohonan dari para pemohon. 1 Meski demikian, setelah Putusan MK tersebut dikukuhkan, belum tampak adanya inisiatif dari pemerintah untuk menindaklanjuti putusan tersebut. Pemerintah sebagai pihak yang memegang peran utama untuk melakukan tindak lanjut terhadap Putusan MK tersebut belum mengeluarkan kebijakan yang dapat dijadikan rujukan bagi implementasi putusan MK hingga ke tingkat daerah. Sementara, kerja-kerja inklusi sosial melalui literasi inklusi, advokasi inklusi, komunikasi inklusi, jaringan inklusi harus terus berlangsung. Melihat pentingnya
tindak lanjut oleh pemerintah terkait putusan MK agar bisa
diterapkan hingga di tingkat daerah dalam mewujudkan pelayanan publik terhadap kelompok penghayat kepercayaan di Indonesia, serta perwujudan masyarakat yang inklusif, maka Yayasan SATUNAMA melalui Unit Riset & Pengembangan Sektor Pengetahuan & Media (KSDM) memandang perlu dilakukan Riset Aksi Inklusif tentang Dampak Tertundanya Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU1
Dalam sidang putusan yang dibacakan pada Selasa, 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa administrasi kependudukan merupakan bagian dari pelayanan publik yang menjadi hak yang melekat bagi setiap warga negara tanpa terkecuali dan wajib untuk dilayani secara sama sebagaimana telah diatur melalui UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
XIV/2016 Terhadap Pemenuhan Hak Pelayanan Publik Bagi Komunitas Penghayat Kepercayaan di Indonesia. Riset ini akan dilaksanakan untuk melihat secara lebih akurat dampak utama yang dirasakan oleh kelompok penghayat kepercayaan di 8 (delapan) wilayah kerja program ketika tidak/belum ada praktik-praktik dan respon-respon inklusi sosial dalam aspek kebijakan publik, pelayanan publik dan penerimaan sosial setelah munculnya Putusan MK No 97/PUU-XIV/2016. Riset dilakukan untuk mendapatkan basis pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara metodis sekaligus hasil akhir, sehingga dapat digunakan sebagai dukungan pengetahuan dan data untuk kebutuhan advokasi mendorong terimplementasikannya Putusan MK tersebut dalam bentuk kebijakan inklusi yang substansial dan teknis di indonesia. II.
Tujuan Penelitian Riset ini bertujuan untuk memberikan dukungan pengetahuan teoritis serta analisis datadata dan praktik-praktik lapangan untuk melihat kondisi yang dirasakan oleh kelompok penghayat kepercayaan di 8 (delapan) wilayah kerja program dalam aspek kebijakan publik, pelayanan publik dan penerimaan sosial setelah munculnya Putusan MK No 97/PUU-XIV/2016. Secara spesifik, tujuan utama dari kegiatan Riset ini dapat dijabarkan sebagai berikut: A. Mengetahui realitas yang dirasakan oleh kelompok penghayat kepercayaan di 8 (delapan) wilayah kerja program dalam aspek kebijakan publik setelah munculnya Putusan MK No 97/PUU-XIV/2016. B. Mengetahui realitas yang dirasakan oleh kelompok penghayat kepercayaan di 8 (delapan) wilayah kerja program dalam aspek pelayanan publik setelah munculnya Putusan MK No 97/PUU-XIV/2016. C. Mengetahui realitas yang dirasakan oleh kelompok penghayat kepercayaan di 8 (delapan) wilayah kerja program dalam aspek penerimaan sosial setelah munculnya Putusan MK No 97/PUU-XIV/2016. D. Memberikan pengetahuan transformatif berbasis metodologi riset yang akuntabel untuk melakukan advokasi dalam mendorong implementasi putusan MK No. 97/PUUXIV/2016.
III.
Ruang Lingkup Penelitian
Untuk memperjelas masalah yang akan dibahas dan agar tidak terjadi pembahasan yang meluas dan menyimpang dari tema dalam penelitian ini, maka lingkup dan aktivitas penelitian ini mencakup beberapa hal berikut : A. Identifikasi praktik-praktik inklusi sosial di level kebijakan publik, pelayanan publik dan penerimaan sosial di 8 (delapan) wilayah kerja program pasca munculnya Putusan MK No 97/PUU-XIV/2016. Kedelapan wilayah tersebut adalah Kotamadya Medan dan Kabupaten Deli Serdang (Sumatera Utara), Kabupaten Brebes (Jawa Tengah), Kabupaten Kulonprogo (Daerah Istimewa Yogyakarta), Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba tengah dan Kabupaten Sumba Timur (Nusa Tenggara Timur). B. Pemetaan dan analisis data terkait dampak yang dirasakan oleh kelompok penghayat kepercayaan di 8 (delapan) wilayah kerja program ketika tidak/belum ada praktikpraktik dan respon-respon inklusi sosial dalam aspek kebijakan publik, pelayanan publik dan penerimaan sosial setelah munculnya Putusan MK No 97/PUU-XIV/2016. C. Penulisan hasil kajian penelitian. IV.
Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian/riset aksi, yaitu riset yang bertujuan untuk menemukan solusi atas permasalahan tertentu dan memproduksi panduan praktis yang efektif (Denscombe, 2010). Jika merujuk pada tema penelitian ini, secara umum dapat dijabarkan bahwa tujuan riset ini adalah untuk membuka dan memberikan peluang bagi munculnya akses terhadap hakhak sipil warga negara yang selama ini terbelenggu atau terdiskriminasi. Oleh karenanya, pendekatan penelitian yang menyeluruh baik dalam kerangka pemikiran maupun dalam pelaksanaan penelitian menjadi bagian tak terpisahkan dalam penelitian ini. Karena tujuannya tidak hanya akan mengetahui realitas yang ada, namun juga memberikan pengetahuan yang bersifat transformatif untuk mengubah keadaan dengan melibatkan semua pihak dalam ranah advokasi maupun pengorganisasian masyarakat (komunitas) sesuai dengan basis kerja dan strategi Program Peduli.2 Dengan demikian, sejak awal penelitian ini didesain untuk menggali data sebanyakbanyaknya,
2
melakukan
triangulasi
data,
melakukan
analisis
data
sebelum
Strategi riset aksi dipilih dalam penelitian ini karena sejalan dengan implementasi Program Peduli yang memiliki roh Theory of Change (Teori Perubahan).
merumuskannya dalam bentuk pengetahuan transformatif yang bisa digunakan seluruh pihak terkait untuk menuju tujuan besar bersama, yaitu terbukanya akses hak-hak sipil warga negara bagi kelompok marjinal. A. Desain Penelitian Desain penelitian ini menggunakan dua metode yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif.
Hasil kualitatif dan hasil kuantitatif bersifat saling menguatkan untuk
menghasilkan kajian dan rekomendasi yang menjadi tujuan penelitian. 1. Desain Kualitatif Desain kualitatif memberikan paparan deskriptif dan naratif terkait tema dan subyek penelitian. Penelitian kualitatif bertolak dari data, memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelas, dan berakhir dengan suatu teori atau kesimpulan interpretatif. 2. Desain Kuantitatif Tujuan
penelitian
kuantitatif
menggunakan model-model
adalah
mengembangkan
dan
matematis, teori-teori dan/atau hipotesis yang
berkaitan dengan tema dan subyek penelitian. B. Populasi dan Sampel Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap penganut penghayat kepercayaan di 7 (tujuh) kabupaten dan 1 (satu) kotamadya di Indonesia dengan jumlah populasi sebesar 1.543 penghayat dengan perincian 115 penghayat di Sumatera Utara, 92 penghayat di Jawa Tengah, 77 penghayat di Daerah Istimewa Yogyakarta dan 1.259 penghayat di Nusa Tenggara Timur. Populasi ini merupakan jumlah total dari seluruh penerima manfaat Project KISKM – Program Peduli.3 Penarikan sampel dilakukan dengan sampel acak berdasarkan area (cluster random sampling) yang merupakan tehnik pengambilan sampel secara berkelompok. Tehnik penetapan sampling dilakukan dengan taraf kesalahan sebesar 5% dari keseluruhan populasi. Dari perhitungan tersebut diperoleh sampel sebesar 331 responden untuk penelitian ini. C. Lokasi dan Waktu Penelitian
3
Jumlah ini disampaikan oleh Tim KISKM - Peduli dalam Workshop Metodologi Penelitian, Rabu, 28 Februari 2018.
1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di 8 (delapan) wilayah administratif, meliputi 1 (satu) kotamadya dan 7 (tujuh) kabupaten yang berada di 4 (empat) provinsi di Indonesia. Lokasi penelitian ini merupakan wilayah yang menjadi fokus dari intervensi Project KISKM dalam Program Peduli untuk pilar Korban Diskriminasi Intoleransi dan Kekerasan Berbasis Agama, di mana kelompok penghayat kepercayaan berada di dalamnya. Kedelapan lokasi penelitian ini adalah : 1.1.
Kotamadya Medan (Sumatera Utara).
1.2.
Kabupaten Deli Serdang (Sumatera Utara).
1.3.
Kabupaten Brebes (Jawa Tengah).
1.4.
Kabupaten Kulonprogo (Daerah Istimewa Yogyakarta).
1.5.
Kabupaten Sumba Barat Daya (Nusa Tenggara Timur).
1.6.
Kabupaten Sumba Barat (Nusa Tenggara Timur).
1.7.
Kabupaten Sumba Tengah (Nusa Tenggara Timur).
1.8.
Kabupaten Sumba Timur (Nusa Tenggara Timur).
2. Waktu Penelitian Secara keseluruhan, penelitian ini dilaksanakan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan pada Maret – April 2018 terhitung dari sejak diadakannya Workshop Metodologi dan Instrumen Penelitian hingga Workshop Laporan Penelitian dengan alokasi waktu sebagai berikut : No
Waktu Pelaksanaan
Kegiatan
Tempat
1
28 Februari 2018
Workshop Metodologi Penelitian
Yogyakarta
2
1-6 Maret 2018
Persiapan/koordinasi penelitian
Yogyakarta
3
7-21 Maret 2018
Pengambilan data kuantitatif
Sumatera Utara, Jawa Tengah, Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur.
4
12-18 Maret 2018
Pengambilan data kualitatif
Sumatera Utara, Jawa Tengah, Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur.
5
19 Maret – 19 April Data entry dan analisis
Yogyakarta
2018 6
11-25 April 2018
Penulisan draft laporan penelitian
Yogyakarta
7
26 April 2018
Workshop Laporan Penelitian
Yogyakarta
8
27-30 April 2018
Finalisasi Laporan Penelitian
Yogyakarta
D. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian menjadi salah satu bagian penting dalam penelitian ini yang digunakan oleh peneliti untuk mengambil dan mengumpulkan data dari lokasi penelitian. Dengan menggunakan desain penelitian kualitatif dan kuantitatif, penelitian ini menggunakan instrumen penelitian sebagai berikut : 1. Desain Kualitatif Desain kualitatif menggunakan 3 (tiga) macam instrumen penelitian yaitu Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion), Wawancara Mendalam (In Depth Interview) dan Telaah Dokumen (Document Review). 1.1.
Diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion) Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion) adalah salah satu bentuk wawancara mendalam- in depth nterview- yang dilakukan secara berkelompok. Fokus dari metode ini adalah interaksi di dalam kelompok diskusi. Di dalam FGD, para interviewee dimungkinkan untuk saling mempengaruhi melalui kontribusi jawaban dan ide selama diskusi berlangsung. Peran stimulasi melalui pertanyaan, komentar atau pengajuan topik pembahasan akan dilakukan oleh seorang moderator.
1.2.
Wawancara Mendalam (In Depth Interview) Metode ini dilakukan melalui tanya jawab tatap muka untuk mendapatkan gambaran utuh tentang informasi, pandangan, pendapat, komentar dan refleksi interviewee terkait permasalahan yang didalami dalam penelitian. Wawancara mendalam juga memungkinkan penemuan isu-isu baru yang penting untuk didalami lebih lanjut.
1.3.
Telaah Dokumen (Document Review) Penggalian data dalam penelitian ini juga akan dilakukan melalui telaah dokumen atau data tertulis yang terkait dengan informasi tentang objek penelitian ini, termasuk dokumen-dokumen kebijakan di level nasional
dan lokal yang mendorong atau tidak mendorong terwujudnya implementasi kebijakan publik dan pelayanan publik yang inklusif. 2. Desain Kuantitatif. Desain Kuantitatif menggunakan 1 (satu) macam instrumen penelitian yaitu penyebaran angket/kuesioner. 2.1.
Angket/Kuesioner Instrumen ini digunakan untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kondisi yang ada. Survey/kuesioner merupakan metode pengumpulan data primer dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada responden, serta merupakan metode untuk mengumpulkan informasi dari sebuah populasi.
E. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dengan menggunakan instrumen penelitian kualitatif dilakukan oleh Tim Peneliti dari Yayasan SATUNAMA. Sementara Metode pengumpulan data penelitian kuantitatif dilakukan bekerjasama dengan lembagalembaga Community Service Organization (CSO) mitra Project KISKM di 4 provinsi di Indonesia. Pengumpulan data kualitatif dan kuantitatif dilakukan dalam waktu yang bersamaan untuk mencari sinkronisasi data di kedua desain penelitian. 1. Pengumpulan Data Kualitatif Pengumpulan data kualitatif dilakukan oleh 6 (enam) orang anggota Tim Paneliti SATUNAMA yang turun ke lokasi penelitian di 1 (satu) kotamadya dan 7 (tujuh) kabupaten di 4 (empat) provinsi. Tim dibagi dalam 4 (empat) kelompok, masing-masing beranggotakan 1-2 orang dengan rincian sebagai berikut : No
Wilayah Penelitian
Provinsi
Jumlah & Nama Peneliti
1
Kotamadya Medan dan Kabupaten Deli Serdang
Sumatera Utara
2 (dua) orang : Valerianus Beatae Jehanu & Bima Sakti
2
Kabupaten Brebes
Jawa Tengah
1 (satu) orang : Banu Badrika
3 4
Kabupaten Kulonprogo
Daerah Istimewa
1 (satu) orang : Shinta
Yogyakarta
Istiana
Kabupaten Sumba Barat Daya,
Nusa Tenggara
2 (dua) orang : Asep
Kabupaten Sumba Barat,
Timur
Nanda Paramayana &
Kabupaten Sumba Tengah,
Adiyadh Riyadh ML.
Kabupaten Sumba Timur Para peneliti melakukan pengambilan data kualitatif dengan instrumen Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion), Wawancara Mendalam (In Depth Interview) dan Koleksi Dokumen terkait untuk ditelaah. Diskusi Kelompok Terfokus dilaksanakan sebanyak 5 kali di seluruh provinsi lokasi penelitian dengan rincian sebagai berikut ; Sumatera Utara (1 kali), Jawa Tengah (1 kali), Daerah Istimewa Yogyakarta (1 kali), Nusa Tenggara Timur (2 kali). No
Provinsi
FGD
Tempat
1
Sumatera Utara
1 kali
Saka Premiere Hotel, Medan.
2
Jawa Tengah
1 kali
D’Angklo Resto, Brebes.
3
Daerah Istimewa Yogyakarta
1 kali
Dapur Semar Resto, Kulonprogo.
4
Nusa Tenggara Timur
2 kali
1. Aula Pertemuan Yayasan DSOS,
Waitabula,
Sumba
Barat Daya. 2. Mister
Café,
Waingapu,
Sumba Timur. Diskusi Kelompok Terfokus dilaksanakan dengan melibatkan 4 (empat) pemangku kepentingan terkait yaitu penghayat kepercayaan, unsur pemerintah daerah setempat termasuk kepala desa, tokoh agama atau tokoh masyarakat dan perwakilan mitra CSO di masing-masing wilayah. Untuk Wawancara Mendalam, pemangku kepentingan yang dilibatkan adalah komunitas penghayat kepercayaan, unsur pemerintah daerah setempat yang terkait dan tokoh agama atau tokoh masyarakat. Selama penelitian, para peneliti
di keempat provinsi melakukan wawancara total sebanyak 34 kali dengan rincian sebagai berikut : No
Wilayah Penelitian
Jumlah Wawancara Mendalam
1
Kotamadya Medan dan Kabupaten Deli Serdang
5
(Sumatera Utara) 2
Kabupaten Brebes (Jawa Tengah)
3
Kabupaten
Kulonprogo
3
(Daerah
Istimewa
3
Kabupaten Sumba Barat Daya, Sumba Barat dan
11
Yogyakarta) 4
Sumba Tengah (Nusa Tenggara Timur) 5
Kabupaten Sumba Timur (Nusa Tenggara Timur)
12
Total
34
2. Pengumpulan Data Kuantitatif Pengumpulan data kuantitatif dilakukan oleh mitra CSO SATUNAMA di masingmasing wilayah penelitian. Masing-masing mitra CSO berkontribusi dalam menyebarkan angket/ kuesioner di wilayah masing-masing kepada para responden, yaitu komunitas penghayat kepercayaan..4 Secara keseluruhan, setelah dilakukan pengumpulan data kuantitatif di seluruh wilayah penelitian, terkumpul sebanyak 331 kuesioner yang telah diisi oleh para responden dengan rincian sebagai berikut : No
Wilayah Penelitian
Kuesioner
Mitra CSO (Enumerator)
Terkumpul 1
Kotamadya Medan &
21
Aliansi Sumut Bersatu (ASB)
Kabupaten Deli Serdang (Sumatera Utara)
4
Bekerjasama dengan mitra CSO merupakan salah satu strategi yang diterapkan dalam penelitian ini, karena mitra CSO merupakan pihak yang bekerja langsung di level komunitas dan memiliki informasi detil tentang komunitas penghayat kepercayaan yang merupakan penerima manfaat dari Project KISKM – Program Peduli.
2
Kabupaten
Brebes
(Jawa
24
Tengah)
Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH)
3
Kabupaten
Kulonprogo
(Daerah
8
Istimewa
Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS)
Yogyakarta) 4
Kabupaten
Sumba
Barat
49
Yayasan Sosial Donders
229
Yayasan Waliati
Daya, Sumba Barat dan Sumba
Tengah
(Nusa
Tenggara Timur) 5
Kabupaten Sumba Timur (Nusa Tenggara Timur) Total
331
BAB ll Profil Penghayat
Yayasan SATUNAMA telah melaksanakan implementasi project Keadilan dan Inklusi Sosial Bagi Komunitas Marjinal (KISKM) di bawah payung Program Peduli sejak tahun 2015 dalam dua fase implementasi. Bekerja sama dengan 6 Community Service Organization (CSO), 5 komunitas penghayat kepercayaan dan 1 komunitas masyarakat adat yang berada di 5 provinsi di Indonesia, KISKM – Program Peduli merupakan kontribusi SATUNAMA dan mitra-mitranya dalam usaha mewujudkan pola relasi yang inklusif untuk mengangkat derajat kehidupan bersama di Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat dan berpayung hukum. KISKM-Program Peduli dilaksanakan di Sumatera Utara bersama mitra CSO Aliansi Sumut Bersatu (ASB), komunitas Parmalim (Ugamo Malim) dan komunitas Ugamo Bangso Batak (UBB) di Kotamadya Medan dan Kabupaten Deli Serdang. Untuk Provinsi Jawa Tengah, KISKM-Program Peduli bekerja sama dengan mitra CSO Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) pada pelaksanaan fase pertama project (2015-2016), mitra CSO Lembaga Penelitian & Pengembangan Sumber Daya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH) pada fase kedua project (2017-2018) dan komunitas Sapta Darma di Kabupaten Brebes. Untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, bekerja sama dengan mitra CSO Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) dan komunitas Majelis Eklasing Budi Murka (MEBM) di Kabupaten Kulon Progo. a. Komunitas Majelis Eklasing Budi Murka (MEBM) di Daerah Istimewa Yogyakarta.5 Organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa banyak terdapat di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tersebar di kota maupun kabupaten. Ada organisasi yang berpusat di DIY dan ada pula sebagai cabang organisasi. Salah satu organisasi yang pusatnya di DIY adalah Paguyuban Eklasing Budi Murko (PEBM) yang sejak April 2018 dikenal sebagai Majelis Eklasing Budi Murka (MEBM).6 MEBM merupakan salah satu organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berpusat di Yogyakarta. Organisasi tersebut berdiri pada 12 Juli 1926 atau pada 1 Suro 1857 di Jalan Cokrodiningratan 113, Yogyakarta. Penggunaan nama organisasi berupa Persatuan Eklasing Budi Murko mempunyai makna tersendiri. Persatuan berarti paguyuban, perkumpulan atau kekadangan, Eklas berarti rela, dengan akhiran ing mengandung makna rela atau ikhlas dengan kesadaran tinggi. Budi berarti watak, sikap, sifat, pakarti. Murko 5
Bagian ini diolah dari Laporan Praktik Baik Fase I Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) Yogyakarta, 2016, tidak dipublikasikan. 6
Menurut penuturan sesepuh MEBM, Mangun Wiharjo, perubahan nama ini dilakukan untuk memudahkan organisasi Eklasing Budi Murka agar dapat terdaftar sebagai badan hukum. Sejak April 2018, secara resmi Paguyuban Eklasing Budi Murka berubah nama Menjadi Majelis Eklasing Budi Murka melalui Surat Notaris No………
berarti rakus, serakah, sewenang-wenang atau adigang, adigung, adiguna. Dengan demikian, Majelis Eklasing Budi Murko mengandung pengertian sebagai kelompok persaudaraan dengan kesadaran tinggi untuk selalu menghindari perbuatan yang jahat serta perilaku lainnya yang kurang baik. Majelis Eklasing Budi Murka memiliki Struktur Pengurus Nasional hingga tingkat Kabupaten. Ketua Umum Nasional Paguyuban Eklasing Budi Murka adalah Ibu Endang Sujonoworo yang berdomisili di Jalan Kabupaten Godean Yogyakarta. Sementara Ketua Paguyuban Eklasing Budi Murka Kabupaten Kulon Progo adalah Bapak Daryono. Selain ketua, Paguyuban Eklasing Budi Murka juga memiliki tokoh spiritual, tokoh sepiritual ini adalah sesepuh yang tidak saja memiliki tingkat spiritual yang tinggi, namun juga memiliki pemahaman ajaran MEBM yang mendalam, tokoh spiritual MEBM nasional yang juga berdomisili di Kabupaten Kulon Progo, tepatnya di Desa Salamrejo Kecamatan Sentolo Kulon Progo adalah Bapak Mangun Wiharjo atau yang sering dipanggil Mbah Mangun. Saat ini, struktur pengurus MEBM Kabupaten Kulon Progo terdiri dari 5 personil, yaitu Mangun Wiharjo (sesepuh), Daryono (Ketua), Harsodiyono (Bendahara), Saimin (Humas), dan Selip (Bagian Sosial).7 Warga (penganut) MEBM tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Berdasarkan pengakuan Ketua Paguyuban Eklasing Budi Murka, yang paling banyak adalah di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah dan Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sementara di Kulon Progo jumlah warga MEBM berkisar sekitar 300 orang. Hanya beberapa orang saja yang bersedia untuk dicatatkan namanya sebagai anggota, sementara sisanya hanya aktif dalam berbagai kegiatan, baik ibadah maupun kegiatan keorganisasian. Secara ekonomi, Warga Paguyuban Eklasing Budi Murka Kulon Progo berada di bawah garis kemiskinan. Mayoritas pekerjaan yang digeluti oleh warga MEBM adalah buruh tani, buruh toko, buruh kerajinan, dan petani, hanya sebagian kecil yang berprofesi sebagai pedagang.8
b. Komunitas Ugamo Malim (Parmalim) di Sumatera Utara. Kemajemukan masyarakat Indonesia baik suku, agama, budaya, bahasa, dan adat istiadat merupakan kekayaan bangsa yang menjadi ciri khas Indonesia di mata dunia. Pada masa kolonial hingga menjelang kemerdekaan, setiap wilayah dari penjuru negeri memiliki pahlawan yang turut berjuang memperjuangkan negara dari tangan penjajah. Kebaikan kecil tersebut menjadi kekuatan bangsa yang diwariskan kepada generasi penerus bangsa hingga saat ini. Setidaknya itu cukup mencerminkan keragaman yang dimiliki oleh Indonesia yang bergerak dalam satu 7 8
Dokumen MEBM, tidak dipublikasikan.
Pada awal pelaksanaan KISKM-Program peduli, tim assesmen LKiS mengungkapkan bahwa tidak ada data tertulis tentang kondisi ekonomi dan profesi warga MEBM di Kulon Progo. Data ini merupakan hasil pengamatan dan FGD yang pernah dilakukan oleh Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial.
tujuan yang sama, yaitu kehidupan bernegara yang adil bagi seluruh warga negara. Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu wilayah yang juga tak luput dari faktor keragaman tersebut. Namun, saat ini ancaman terhadap keragaman tersebut semakin menyebar ke beberapa kabupaten kota di provinsi ini. Dampaknya pun mengimbas kepada terancamnya eksistensi kelompok minoritas komunitas agama/keyakinan, seperti minimnya ruang yang memberikan rasa aman dan nyaman baik di pemerintahan dan relasi sosial di masyarakat. Munculnya sterotipe dan stigma negatif menjadikan kelompok minoritas terkungkung dan relatif “diam”, hal tersebut sering dijadikan sebagai strategi dalam menguatkan komunitas dan menjaga eksistensi. Di Sumatera Utara, jumlah komunitas penghayat kepercayaan tidaklah sedikit. Menyebut beberapa di antaranya adalah Parmalim, Ugamo Bangso Batak, Si Raja Batak, Pemena, Pambhi, Galih Puji Rahayu, Persatuan Warga Rahayu Selamat, dan Parbaringin. 9 Penganut agama leluhur tersebar hampir di seluruh Kabupaten/kota. Jika di telisik satu persatu setiap kelompok agama leluhur memiliki kesamaan, baik kehidupan sosial bermasyarakat yang cenderung terekslusi, pemenuhan hak dan layanan publik baik dari pemerintah ataupun swasta yang masih diskriminatif, ataupun kebijakan yang tidak mengakomodasi persoalan – persoalan penganut agama leluhur. Parmalim dan Ugamo Bangso Batak (UBB) adalah dua di antara sekian komunitas penghayat di Sumatera Utara yang kemudian menjadi mitra komunitas dalam Projek Keadilan dan Inklusi Sosial Bagi Kelompok Marjinal (KISKM) –Program Peduli SATUNAMA bersama mita CSO Aliansi Sumut Bersatu. Struktur kepemimpinan Parmalim hanya terdiri dari pimpinan pusat dan cabang. Pimpinan pusat adalah pimpinan tertinggi yang diketuai oleh seorang Ihutan yang dalam bahasa batak bermakna “yang diikuti” atau ikutan. Selain dari Ihutan ada juga pengurus lain yang terlibat di dalamnya seperti sekretaris dan bendahara yang keduanya bertugas sebagai pembantu dalam menjalankan administrasi organisasi Agama Malim. Ihutan sebagai pimpinan pusat mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pembinaan anggota secara keseluruhan. Ia juga sebagai “ulama” atau seseorang yang mengetahui seluk beluk agama malim sejak dahulu hingga sekarang. Pusat agama malim berkedudukan di Hutatinggi Laguboti kabupaten Toba Samosir. Selain pimpinan pusat, di setiap cabang juga terdapat pimpinan cabang yang berkedudukan di tiap-tiap cabang yang keberadaannya tersebar di seluruh Indonesia (terutama Sumatera dan Jawa). Pimpinan cabang diketuai oleh seorang 9
Data ini diperoleh saat mitra CSO SATUNAMA di Sumatera Utara yaitu Aliansi Sumut bersatu mengadakan Temu Akbar Penghayat bekerja sama dengan Universitas Negeri Medan pada 25 November 2015.
ketua yang disebut dengan Ulupunguan. Tugas Ulupunguan adalah memberikan pembinaan terhadap anggota di peringkat cabang sekaligus sebagai pemimpin upacara dalam setiap upacara agama di Parsantian (tempat peribadatan di tingkat cabang) misalnya memimpin upacara Mararisabti, Mangan Na Paet, dan Maranggir.
c. Komunitas Sapta Darma di Jawa Tengah
Komunitas penghayat kepercayaan sangat banyak jumlahnya di Indonesia. Menurut data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, hingga tahun 2017 terdapat 187 organisasi penghayat tingkat pusat dengan 160 organisasi aktif dan 27 organisasi tidak aktif. Hingga tahun 2017, organisasiorganisasi ini tersebar di 12 provinsi. Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu wilayah yang memiliki paling banyak kelompok penghayat kepercayaan. Di Jawa Tengah terdapat 53 organisasi, di mana 48 di antaranya aktif.10 Salah satu di antara kelompok-kelompok penghayat kepercayaan yang hidup di bumi Jawa adalah Sapta Darma. Sapta Darma merupakan salah satu kelompok penghayat kepercayaan yang penganutnya pernah mencapai ratusan ribu di Indonesia, terutama di Jawa. Namun sejak 1965, karena tekanan politik kala itu jumlah penganut kepercayaan ini merosot cepat dan kemudian hanya dipraktikkan secara diam-diam. Demikian juga saat era Orde Baru di mana seperti komunitas penghayat kepercayaan lainnya di Indonesia, Sapta Darma ikut merasakan diskriminasi dan eksklusi baik di ranah kebijakan, pelayanan dan penerimaan di tengah masyarakat. ‘Sejak Reformasi, para penganut aliran kepercayaan ini mulai menampakkan dirinya. Salah satunya adalah di wilayah Kabupaten Brebes. Jumlah mereka sangat kecil dan kerap mendapat tekanan, termasuk dari kalangan penduduk sekitar yang menganggap mereka sebagai ‘sesat’. Di wilayah Brebes, jumlah penganutnya sekitar 300 orang tersebar di berbagai desa di Kabupaten Brebes dan tidak berkumpul dalam satu tempat (ngampung). Kebanyakan mereka adalah buruh tani, tukang bangunan, pedagang mainan keliling, nelayan, dan profesi “wong cilik” lainnya. Mereka berdiam secara terpisah-pisah di wilayah Kecamatan Brebes, Wanasari, Larangan, Kersana, Losari, Bulakamba, dan lainnya. Perkembangan dan keberlangsungan kehidupan mereka sebagai komunitas hanya bertahan pada jaringan keluarga, yang juga terus kian melemah akibat berbagai tekanan politik dan sosial. Kebanyakan mereka bisa dikatakan dari kelas menengah ke bawah, bahkan sebagian miskin dan proses pemiskinan terus berlangsung karena kebanyakan 10
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi (2017).
mereka hanya bersekolah sampai tingkat menengah.11 Selain faktor ekonomi, salah satu alasan mereka enggan meneruskan sekolah adalah adanya tuntutan, secara halus maupun kasar, agar mereka mengikuti pelajaran agama yang diakui pemerintah. Saat wahyu Sapta Darma diterima pada 1952, belum ada penentuan tentang pendirian organisasi Sapta Darma. Pengembangan dan pembinaan Sapta Darma langsung dilakukan oleh Hardjosapoero dan sahabat–sahabatnya di sekitar Pare– Kediri. Pada tahun 1954 istilah sanggar dan nama Tuntunan Sanggar mulai digunakan, Sejak itulah pengembangan ajaran Sapta Darma dilakukan oleh tuntunan sesuai dengan tingkatan nya, mulai Tuntunan Sanggar sampai ke Provinsi. Setiap tuntunan mempunyai tugas sendiri–sendiri sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Ada yang membidangi kerohanian, ke pemerintahan, dan mencari pendanaan. Pembentukan PERSADA sebagai organisasi Sapta Darma dilakukan untuk memenuhi Pasal 1 UU No. 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, di mana dalam Pasal 1 UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Pada 27 Desember 1986, melalui SK. No. 01/Kep/Sat/1986 dibentuklah wadah organisasi yang dinamakan PERSADA. PERSADA mempunyai tujuan untuk mewadahi warga Sapta Darma dalam bermasyarakat dan bernegara sesuai Pancasila dan UUD 1945. Dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga disebutkan bahwa PERSADA bertujuan untuk melindungi dan menunjang kegiatan warga dalam melaksanakan penghayatan ajaran kerohanian Sapta Darma, PERSADA berfungsi sebagai pelindung dan penunjang kegiatan warga dalam hal peningkatan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran kerohanian Sapta Darma, peningkatan penghayatan dan pengamalan Pancasila dan UUD 1945 serta penyampaian usul dan saran kepada pemerintah tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan warga. Pada tahun 1961, Sapta Darma telah mempunyai cabang di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan. Pada tahun 2014, penganut aliran kerohanian ini di Jawa Tengah tersebar di sejumlah wilayah seperti Pati dengan jumlah penganut sebanyak 5.000 orang, Klaten sebanyak
11
Dalam Riset Aksi Inklusi yang diadakan SATUNAMA, terungkap bahwa 58,4% responden Sapta Darma berpenghasilan di bawah Rp. 500.00 hingga Rp. 2.000.000 per bulan. (Laporan Riset Aksi Inklusi Dampak Tertundanya Implementasi Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 Terhadap Pemenuhan Hak Pelayanan Publik Bagi Komunitas Penghayat kepercayan di Indonesia, Satunama, 2018)
2.611 orang, dan Purworejo sebanyak 1.027 orang. Di Brebes sendiri jumlah mereka berkisar sekitar 300 orang. d. Komunitas Marapu di Sumba
Pulau Sumba di Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki potensi alam yang baik dan menarik. Selain itu, Sumba juga banyak memiliki potensi nilai budaya dan kearifan lokal yang bersumber dari adat dan kepercayaan masyarakat Sumba. Dalam konteks penghayat kepercayaan, pulau ini dikenal dengan keberadaan kepercayaan Marapu yang sudah ada di sana sejak lama. Kepercayaan ini sangat mempengaruhi berbagai bentuk budaya yang ada di Sumba. Bentuk rumah adat mereka misalnya, banyak mengambil sumber referensi dari kepercayaan Marapu. Selain itu, Marapu juga dikenal dengan upacara adatnya yang bernama Pasola yang selalu mengundang banyak orang dari berbagai penjuru untuk menyaksikan. Budaya Sumba memang tidak bisa dipisahkan dari Marapu. Marapu merupakan falsafah hidup mendasar yang sejak lama dipegang oleh orang-orang Sumba. Hampir seluruh aspek kehidupan orang Sumba memiliki keterikatan dan bersumber dari aliran kepercayaan ini. Sebagai pedoman hidup, Marapu memiliki aturan-aturan dan hukum-hukumnya. Secara umum, aturan dan hukum tersebut digunakan sebagai pedoman bagi orang-orang di sana untuk menjalani hidup dengan baik dalam segala aspek. Aturan dan hukum ini tidak hanya berurusan dengan akal budi, namun juga dengan seluruh aspek kehidupannya. Marapu juga memiliki peran sebagai pemberi kesejahteraan. Ketika penganutnya mampu menjalani segala aturan yang ada , maka orang tersebut akan berada dalam keselamatan. Selamat atau keselamatan dimaknai sebagai keberhasilan dalam setiap usahanya dan akan dilindungi dari malapetaka yang mungkin menimpa. Sementara ketika meninggal, rohnya akan masuk ke Praing Marapu atau surga.12 Meski saat ini keberadaan mereka semakin tergerus oleh berbagai faktor seperti globalisasi dan desakan agama-agama besar yang diakui negara, namun masih cukup banyak tata nilai dan budaya Marapu yang mengendap dalam diri dan dipraktikkan oleh masyarakat Sumba. Secara demografis, berdasarkan statistik tahun 2005, penganut Marapu di Kabupaten Sumba Barat berjumlah 78.901 jiwa (20,05%) dari total penduduk 393.475 jiwa.13 Data ini merupakan sampel yang mengindikasi masih banyak penganut kepercayaan Marapu di pulau Sumba. Secara umum, kepercayaan ini menyebar di empat kabupaten di Sumba secara merata yang meliputi Kabupaten Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, dan Sumba Timur.
12
Ramone, P, Robert, Revitalisasi Desa Adat dan Dampak Sosial Budaya Pulau Sumba, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, 2015. 13
Yendri H. A. Yetty Leyloh dalam https://repository.usd.ac.id/1783/2/026322014_Full.pdf
Komunitas Marapu di Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur inilah yang menjadi salah satu mitra komunitas SATUNAMA dalam project Keadilan dan Inklusi Sosial bagi Kelompok Marjinal (KISKM) bersama Program Peduli. Bekerja sama dengan dua mitra community service organization (CSO) di sana, yaitu Yayasan Sosial Donders dan Yayasan Wali Ati, SATUNAMA membangun konstruksi inklusi sosial di salah satu pulau terindah di bagian timur Indonesia itu. Sebagai sebuah entitas aliran kepercayaan atau agama leluhur yang sudah cukup lama berada di Indonesia, Marapu baru memiliki organisasi Marapu pada 2015 ketika mereka mendapatkan dokumen akta pendirian Organisasi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (MARAPU) No. 66 tertanggal 24 Juli 2015 dari Notaris Pau Djara Liwe, S.H. dan terdaftar di Pengalilan Negeri Waingapu Pada Hari Rabu tanggal 29 Juli 2015, dengan Nomor: 02/ BH/Lembaga/PN. WNP/2015. Juga sudah dikeluarkan Surat Tanda Inventarisasi Organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Marapu) oleh Kemendikbud Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maya Esa dan Tradisi dengan Nomor: TI. 313/F. 8/N.1.1/2015 dengan Nomor Surat Penyampaian Tanda Inventarisasi (TI) Nomor: 48/F4/PKT/2015. Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Pemda Sumba Timur melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Sumba Timur dengan Nomor: BKBP.220/365/B.3/VIII/2015 juga sudah didapatkan. Dokumen-dokumen ini kemudian diikuti dengan terbentuknya Badan Pengurus Penghayat Marapu di tingkat kabupaten dan di 19 Kecamatan, serta terbentuknya Pemuka Penghayat Marapu Di 4 Kecamatan, yaitu Haharu, Kanatang, Umalulu, dan Lewa. Pembentukan organisasi Marapu memang diinisiasi dalam program ini oleh mitra CSO Yayasan Wali Ati karena keberadaan organisasi dianggap penting sebagai lembaga yang akan mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan komunitas Marapu. Melalui organisasi Marapu, komunitas akan bisa melakukan berbagai advokasi dan penguatan diri di berbagai sektor yang berpengaruh dalam kehidupan mereka sebagai warga negara.
BAB III Paparan Data dan Analisis Hasil Penelitian Riset Aksi Dampak Tertundanya Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 Terhadap Pemenuhan Hak Pelayanan Publik Bagi Komunitas Penghayat Kepercayaan di Indonesia dilaksanakan oleh SATUNAMA di 4 provinsi penelitian dan meliputi 1 kotamadya dan 7 kabupaten. Kedelapan lokasi penelitian tersebut adalah Kotamadya Medan (Sumatera Utara), Kabupaten Deli Serdang (Sumatera Utara), Kabupaten Brebes (Jawa Tengah), Kabupaten Kulonprogo (Daerah Istimewa Yogyakarta), Kabupaten Sumba Barat Daya (Nusa Tenggara Timur), Kabupaten Sumba Barat (Nusa Tenggara Timur), Kabupaten Sumba Tengah (Nusa Tenggara Timur), Kabupaten Sumba Timur (Nusa Tenggara Timur). Pada Bab I telah dipaparkan tentang metodologi penelitian, proses pengambilan serta analisis data penelitian. Bab III ini akan menuturkan tentang paparan dan analisis data hasil penelitian. Paparan akan dibagi ke dalam porsi wilayah penelitian, karena meski akar permasalahan yang ada sebenarnya sama, yaitu belum terwujudnya implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 di level daerah, namun temuan di masing-masing wilayah memunculkan hal-hal yang lebih spesifik yang patut menjadi perhatian para stakeholder terkait. Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Menanggapi Putusan MK, komunitas Majelis Eklasing Budi Murko pihak penghayat kepercayaan di Kulonprogo secara umum merasa senang dan semakin percaya diri untuk menyandang identitas kepercayaan. Hal tersebut tampak dari hasil survey. Dari 8 (100%) responden, 5 (62,5%) mengaku makin percaya diri sejak ada Putusan MK. 1 (12,5%) mengaku makin terbuka dan ekspresif. Sementara 2 (25%) tidak menjawab pertanyaan. BAGAIMANA DAMPAK PUTUSAN MK TERHADAP PRIBADI ANDA?
62,5% 12,5%
25,0% 0,0%
0,0%
0,0%
Pihak pemerintah Desa Salam Rejo, sekalipun menyadari bahwa regulasinya belum pasti karena belum ada aturan tindak-lanjut, menegaskan bahwa status kependudukan bagi penghayat kepercayaan lebih jelas. Status hukum mereka sudah memiliki payung hukum. Mereka telah diakui sebagai warga negara berdasarkan identitasnya. Namun, kepala desa juga jujur menyampaikan bahwa Putusan MK yang menuntut adanya perubahan identitas nantinya akan berdampak pada keluarga dan anak-anaknya. Yang dipikirkan misalnya adalah jika anak atau anggota keluarganya pindah kepercayaan dan di dalam keluarga terdapat perbedaan (agama/kepercayaan), atau anaknya yang pindah kepercayaan mengikuti orang tua, lalu anaknya misalnya di sekolah menjadi minoritas. Bagi Kepala Desa, yang demikian itu adalah potensi masalah/konflik dan perlu diantisipasi. Kekhawatiran lain juga disampaikan oleh seorang kyai, tokoh agama Islam. Tetapi sebelumnya penting disampaikan bahwa pak Kyai tersebut merespon positif Putusan MK. Ditegaskan bahwa beliau tidak pernah mempermasalahkan aktivitas ibadah penghayat. Menurutnya, ketika penganut kepercayaan sudah memiliki payung hukum, maka tantangan selanjutnya terkait penanganan pernikahan, prosesi pengurusan mayat bagi penghayat yang meninggal, pembagian hak waris, dan sebagainya. Beliau menyangsikan jika penghayat sudah menyiapkan semua hal terkait hal-hal yang disebutkan. Secara khusus pak Kyai memberi contoh ketika ditanyakan kepadanya terkait seorang penghayat yang meninggal dan bagaimana proses pengurusannya. Sebagai seorang kyai, beliau tentu menggunakan cara Islam, misalnya dengan membacakan surat Yasin dari al-Qur’an. Tetapi penghayatnya diam saja (karena tidak sesuai dengan kepercayaannya). Kasus seperti ini yang sering terjadi di Kidulan, Karang Wetan, termasuk di Desa Salam Rejo, menurut kyai, akan menjadi kebingungan bagi orang islam. Contoh lainnya adalah terkait dengan perwalian dalam pernikahan dan kaitannya dengan aturan keanggotaan penghayat (yang membedakan dan memisahkan mereka misalnya dari Islam). Menurutnya, di antara masalah yang dikhawatirkan adalah seorang anak, misalnya beragama Islam, akan menikah, tetapi bapaknya adalah penghayat. Bapak tersebut tidak dapat menjadi wali bagi anaknya (karena beda agama). Terlepas dari kekhawatiran di atas, Pemerintah Desa Salamrejo menyampaikan bahwa pihaknya selalu terbuka untuk pelayanan kependudukan terhadap penghayat kepercayaan, dan diharapkan kepada Dinas terkait untuk segera memperjelas petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis) pelayananan sebagaimana ditegaskan oleh Putusan MK. Hal serupa disampaikan oleh pihak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Kabupaten Kulonprogo bahwa pihaknya selama ini telah memberikan pelayanan terhadap penghayat tanpa diskriminasi sebelum adanya Putusan MK. Dicontohkan bahwa selama ini pihak Dispendukcapil telah memberikan pelayanan sebagaimana diatur dalam UU No 23/2006 tentang Adminduk dan PP 37/2007 tentang pelaksanaan UU Adminduk. Terkait dengan Putusan MK, pihaknya pun siap
melaksanakannya, karena pihaknya memang terikat oleh peraturan perundang-undangan. Pihak Dispendukcapil hanya menunggu instruksi dari pusat yang bentuknya dapat berupa Juklak dan Juknis. Hal senada ditegaskan oleh pihak Kesbangpol. Menurutnya, untuk menjaga kesatuan NKRI pihaknya akan berusaha untuk selalu memback-up hak-hak dan melayani kebutuhan para penghayat kepercayaan. Wakil Kesbangpol pun juga mencontohkan bahwa selama ini walaupun penghayat merupakan kelompok minoritas, mereka tetap melaporkan setiap kegiatan yang dilakukan kepada pihak Kesbangpol. Artinya bagi Kesbangpol, penghayat kepercayaan punya hak untuk
eksis
dan
mendapat
jaminan
untuk
melakukan
berbagai
kegiatan-kegiatan
kepercayaannya. Sektor Kebijakan Ditambahkan oleh pihak Dispendukcapil bahwa mereka telah menerima permohonan dokumen kependudukan untuk penganut kepercayaan. Pihaknya bahkan telah membentuk Pembantu Pegawai Pencatatan Perkawinan (P4) yang akan dilantik bukan Juli 2018 dan memilih pemuka penghayat sebagai salah satu pelaksana P4 periode 2018 -2023. Kebijakan Dispendukcapil menunjukkan respon positif mereka terhadap Putusan MK. PIhaknya menegaskan bentuk penerimaannya terhadap penghayat melaui kebijakan. Selain itu, Dispendukcapil dan OPD lainnya di Kulonprogo belum mengeluarkan kebijakan terkait penghayat kepercayaan. Hal tersebut dijelaskan bahwa pihak pemerintah daerah merupakan pelaksana, dan hanya menunggu keputusan pusat, khususnya Kementrian Dalam Negeri. Terkait dengan kebijakan, narasumber dari penghayat (MEBM) dan menjelaskan bahwa pasca Putusan MK sikap penghayat kepercayaan masih fifty-fifty karena (implementasi) UU selama ini tidak konsisten dan stigma negatif masih saja diterimanya. Hal serupa disadari oleh Dinas Sosial Kab. Kulonprogo bahwa hingga saat ini sebagian penghayat belum/tidak ingin mecantumkan keterangan penganut kepercayaan di KTP mereka. Mereka belum percaya bahwa Putusan MK dapat melindungi hak-haknya. Narasumber dari Dinas Sosial (Dinsos) bahkan mencoba mengantisipasi bahwa berdasarkan Putusan MK tersebut penghayat dapat dijadikan objek untuk kepentingan politik. Konflik horizontal antara pihak yang pro dan kontra terhadap Putusan MK dikhawatirkan akan muncul. Lebih jauh, kebijakan pencantuman kepercayaan di KTP dapat memicu persoalan terkait aturan pernikahan yang hanya membolehkan pernikahan satu agama (Islam dengan Islam, misalnya). Selama ini, pernikahan antara Islam dan (Islam) penghayat tidak ada masalah. Alasannya, penghayat selama ini adalah juga penganut agama (Islam). Apabila agama dan kepercayaan dipisahkan dan dibedakan, dimungkinkan akan muncul masalah jika pernikahan akan dilakukan antara penganut agama dan penghayat kepercayaan. Untuk kasus seperti ini, akan
diperlukan aturan atau kebijakan khusus. Masalah serupa juga mungkin terjadi terhadap anakanak penghayat. Mereka misalnya akan mengikuti orang tuanya memilih kepercayaan sebagai identitas di KTP-elnya, sementara di sekolah tempat mereka belajar belum kondusif. Pihak Dinsos kemudian menegaskan bahwa ketidaknyamanan yang akan dialami oleh penghayat adalah wajar, dalam artian mereka tentu akan resah dengan semua kemungkinan masalah pasca-Putusan MK, termasuk aturan-aturan tindak-lanjutnya. Adalah tugas semua pihak, termasuk pihaknya, untuk membuat situasi nyaman bagi penghayat kepercayaan. Lebih lanjut, pihak Dinsos berpikir bahwa untuk kasus penghayat kepercayaan diperlukan “kebijakan inklusif”, khususnya dari dinasnya. Peluang yang ada dalam nomenklatur Dinas Sosial adalah perhatian terhadap kelompok minoritas. Hingga saat ini, kelompok penghayat belum dikategorikan sebagai kelompok minoritas, dan karenanya program Dinsos belum menyentuh kelompok penghayat. Terkait dengan kebijakan inklusif di atas, Kepala Dinas Sosial PPA Kulonprogo mencoba secara jujur mensituasikan peluang dan tantangan bagi penghayat untuk dimasukkan dalam kerangka program dinasnya. Peluangnya adalah pihaknya (Pemda) telah mencanangkan Kulonprogo sebagai kabupaten inklusif yang mengakomodasi semua kalangan. Tetapi tantangannya terletak pada sistem pendataan yang terpadu. Kepala Dinsos tidak yakin jika penghayat (di Kulonprogo) telah masuk dalam sistem pendataan. Tetapi jika tidak, pihaknya akan mengusulkannya di tingkat provinsi. Selain itu, Dinsos PPA tahun ini fokus pada dua komponen: program pemberdayaan perempuan dan program bagi penyandang disabilitas. Alasannya, mitra Dinos hingga saat ini mendorong pada dua program tersebut, dan pihaknya belum mengetahui isu penghayat hingga adanya pertemuan terkait program peduli yang berlangsung pada bulan November 2017. Tantangan lainnya menurut Kepala Dinsos adalah mengenalkan penghayat pada masyatrakat. Menurutnya, isu penghayat perlu dikomunikasikan utamanya di tingkat desa karena data sebenarnya ada di tingkat desa. Program inklusi dengan demikian perlu diwujudkan pertama kali di tingkat desa. Wawasan inklusif perlu ditanamkan di tingkat desa misalnya melalui musyrawarah desa dimana pihak mayoritas tidak boleh otoriter agar yang minoritas tidak terabaikan atau terdiskriminasi. Sebagai upaya membuka wawasan inklusif, Kepala Dinsos berpendapat bahwa programnya dapat dilakukan melalui usaha ekonomi produktif dan usaha bersama. Bantuan program pemberdayaan masyarakat (yang melibatkan penghayat dan warga masyarakat lainnya) dipandang dapat lebih efektif untuk program inklusi dibanding dengan bantuan fisik. Sektor Pelayanan Seperti diuraikan pada bagian sebelumnya, Putusan MK seakan merupakan awal penegasan status hukum bagi penghayat kepercayaan sebagai warga negara yang sah. Kebijakan-
kebijakan sebagai landasan hukum pemenuhan hak-hak penghayat MEBM oleh negara pun baru dipikirkan. Kecuali dengan pembentuk P4 seperti dijelaskan di atas, pihak pemerintah daerah belum melakukan sesuatu sebagai tindak lanjut dari Putusan MK. Fakta tersebut ditegaskan oleh hasil survey. Dari 8 (100%) responden, 4 (50%) mengaku tidak ada yang dilakukan pemerintah daerah dalam pelayanan pasca Putusan MK. 1 (12,5%) mengaku ada, dan 3 (37,5%) tidak menjawab pertanyaan. Hasil survey tersebut, sekalipun hanya 12,5 % (1 orang) yang menjawab “ada pelayanan”, telah menegaskan pihak Pemerintah Kabupaten Kulonprogo telah menyediakan pelayanan. Seperti juga telah diuraikan, sebelum Putusan MK, pihak Dispendukcapil telah memberi pelayanan misalnya dalam pencatatan identitas kepercayaan pada Kartu Keluarga (KK), dan tanda strip (-) di Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) penghayat MEBM. Bahwa tidak semua penghayat MEBM mencatatkan identitas kepercayaan pada KK atau KTP-el mereka adalah hal lain. Alasannya akan dijelaskan.
SEPENGETAHUAN ANDA SETELAH PUTUSAN MK, ADAKAH HAL YANG DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAYANAN?
50,0% 37,5%
12,5%
Tidak ada
ada
tidak menjawab
Seorang penghayat dan dua perwakilan Dispendukcapil menjelaskan bahwa sebagian besar penghayat MEBM belum mencantumkan kepercayaan dalam Sistem Informasi Administrai Kependudukan (SIAK), dan kolom agama KTP-el mereka masih diisi dengan salah satu dari 6 agama yang diakui negara. Penjelasan tersebut menarik dibandingkan dengan hasil survey berikut ini, di mana Dari 8 (100%) responden, 7 (87,5%) mengaku dokumen KKnya sudah tercantum status kepercayaan. Sementara 1 (12,5%) tidak memberikan jawaban. Sementara untuk KTP, dari 8 (100%) responden, 6 (75%) mengaku di KTPnya tidak tercantum status kepercayaan. Sementara 2 (25%) mengaku sudah tercantum status kepercayaan di KTP. Dalam soal pencantuman agama di KTP, dari 8 (100%) responden, 6 (75%) mengaku KTPnya bertuliskan agama Islam. Sementara 2 (25%) mengaku KTPnya memilik tanda (-).
Apakah dalam dokumen KK anda, sudah dicantumkan Status Kepercayaan anda ? 100%
87,5%
80% 60% 40%
12,5%
0,0%
20% 0% Ya
80%
tidak
Tidak Memberikan Jawaban
Apakah dalam dokumen KTP anda, sudah dicantumkan Status Kepercayaan anda ? 75,0%
70% 60% 50% 40% 30%
25,0%
20% 10%
0,0%
0% Ya
Tidak
tidak memberikan jawaban
AGAMA YANG TERCANTUM DALAM KTP RESPONDEN 75,0% 25,0% 0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
Penjelasan inkonsistensi pencatatan kepercayaan antara KK dan KTP-el di atas adalah juga hasil survey di bawah ini. Dari 8 (100%) responden, 7 (87,5%) mengaku saat mengurus dokumen KK terkait pengisian kolom agama, pemerintah menyarankan memilih salah satu agama yang diakui. 1 (12,5%) tidak memberikan jawaban.
BAGIMANA PENGALAMAN ANDA MENGURUS DOKUMEN KK TERKAIT PENGISIAN KOLOM AGAMA/KEPERCAYAAN?
87,5%
0,0% Pemerintah melayani pencantuman kolom kepercayaan
0,0% Pemerintah menyarankan memilih salah satu Agama yang diakui
Pemerintah menyarankan mengosongkan ( - ) kolom Agama
12,5% tidak memberi jawaban
Selain hasil survey, alasan lainnya menurut ketiga narasumber di atas adalah sebagian besar penghayat belum yakin dengan Putusan MK. Sebagian besar penghayat merasa senang dengan Putusan MK, tetapi karena masih terdapatnya implementasi undang-undang yang tidak konsisten, mereka ragu. Selain itu, para penghayat belum melihat adanya sikap pemerintah daerah terkait Putusan MK. Penjelasan ini terkonfirmasi dengan hasil survey sebagai berikut bahwa dari 8 (100%) responden, 4 (50%) mengaku tidak ada yang dilakukan peerintah daerah dalam pelayanan pasca Putusan MK. 1 (12,5%) mengaku ada dan 3 (37,5%) tidak menjawab pertanyaan.
SEPENGETAHUAN ANDA SETELAH PUTUSAN MK, ADAKAH HAL YANG DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAYANAN?
50,0% 37,5% 12,5% Tidak ada
ada
tidak menjawab
Apakah ada perubahan layanan oleh Pemerintah Daerah sebelum dan sesudah Putusan MK?
12,5%
25,0%
62,5% Ya
Tidak
Tidak Memberikan Jawaban
Mengenai perubahan layanan dari pemerintah, dari 8 (100%) responden, 5 (62,5%) tidak melihat ada perubahan layanan dari pemerintah daerah pasca Putusan MK. 1 (12,5%) responden mengaku ada perubahan layanan. Dan 2 (25%) tidak menjawab pertanyaan. Bahwa pemerintah daerah belum melakukan perubahan pelayanan tampaknya dapat dipahami karena seperti juga telah diuraikan di atas, pihak Pemda masih menunggu Juklak dan Juknis Amar Putusan MK dari Kemendagri. Pihak Dispendukcapil Kab. Kulonprogo menegaskan bahwa pada dasarnya Pemkab Kulonprogo memiliki perhatian terhadap penghayat, tetapi mereka harus taat aturan (menunggu tindak lanjut dari Putusan MK). Tetapi terlepas dari itu, pihak penghayat sangat berharap kepada pemerintah untuk segera mensosialisasikan putusan MK kepada kelompok penghyat dan masyarakat pada umumnya. Pihak Dispendukcapil menambahkan bahwa sosialisasi tindak lanjut Putusan MK perlu disosialisasikan oleh semua OPD termasuk BAKORPAKEM, yang tentu saja harus sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Terkait sosialisasi, Dinas Sosial, Sekdes, pihak MEBM, dan Dinas Kebudayaan menambahkan bahwa hal tersebut memang diperlukan karena pengetahuan masyarakat belum memadai. Belum ada pemahaman yang sama mengenai kebijakan terkait penghayat, khususnya terkait Putusan MK. Untuk efektifitas sosialisasi, para narasumber di atas sepakat bahwa sosialisasi tidak cukup dilakukan oleh warga penghayat dan masyarakat, tetapi diperlukan leading sektor yang akan melakukannya secara sistematis. Targetnya semua pihak, selain OPD yang telah disebutkan, termasuk Dinas Pendidikan dan sekolah-sekolah. Pihak Pemerintah Desa secara khusus menyampaikan bahwa pihaknya belum bisa menganggarkan untuk sosialisasi atau kegiatan pendukung penghayat karena belum ada kebijakan yang lebih tinggi. Untuk
isu
khusus,
pelayanan,
misalnya
pernikahan,
pihak
menyampaikan
terkait
pencatatan Dipendukcapil
bahwa
secara
administrasi warga penghayat belum ada
100% 80% 60%
yang melaporkan pencatatan perkawinan.
40%
Informasi tersebut dikonfirmasi dengan
20%
hasil survey bahwa dari 8 (100%) responden,
7
(87,5%)
Apakah Pernikahan anda tercatat? 87,5%
0,0%
12,5%
0% Tercatat
Tidak Tercatat
mengaku
Tidak memberi jawaban
pernikahannya tercatat. Sementara 1 (12,5%) mengaku tidak tercatat (belum menikah) dan dari 8 (100%) responden, 4 (50%) menikah sipil. 3 (37,5%) menikah agama dan 1 (12,5%) belum menikah.
STATUS PERNIKAHAN RESPONDEN 50,0% 37,5% 12,5% 0,0%
0,0%
0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0%
Sektor Penerimaan Sosial Dalam hal penerimaan, sebagaimana umumnya yang dialami oleh penghayat kepercayaan, stigma negatif telah menjadi kendala utama. Berbagai kegiatan ritual kepercayaan
dipahami negatif oleh masyarakat luar. Tiga narasumber terkait membenarkan adanya stigma negatif yang masih terus dilekatkan kepada penghayat MEBM di Kulonprogo. Seorang penghayat MEBM,seorang Pendeta, dan perwakilan Kesbangpol memberi contoh stigma negatif yang sering diterima oleh penghayat MEBM. Membakar kembang dan kemenyan misalnya seringkali diklaim sebagai praktik memberi makan setan. Praktik semedi yang sering dilaksanakan oleh penghayat sebagai bentuk upaya membangun hubungan dengan Tuhan selalu dituduhkan sebagai praktik syirik. Terkait dengan stigma negatif di atas, Kiai Nurudin, pimpinan pesantren Assalafiyah menyarankan kepada pihak penghayat untuk menyediakan semacam buku petunjuk dan penjelasan terkait berbagai aktifitas kepercayaan. Di buku tersebut mencakup penjelasan terkait dasar dan makna ajaran dan pengetahuan. Buku tersebut akan bermanfaat baik kepada penghayat dan juga kepada masyarakat umum. Jadi, jika misalnya ada kelompok masyarakat yang menuduh suatu simbol atau kegiatan penghayat sebagai bid’ah atau musryik, mereka tinggal diberikan bukan. Untuk mengatisipasi stigma negatif, narasumber dari pihak penghayat mengharap adanya pemahaman bersama di antara warga masyarakat, khususnya kalangan penganut agama, untuk menerima perbedaan dan memahami ekspresi orang lain (yang berbeda), dan tidak harus dipertentangkan. Secara khusus, pihak penghayat menjelaskan bahwa apabila agama dan kepercayaan belum dipisahkan, kepercayaan akan selamanya dianggap musrik. Dia berharap untuk segera dipisahkan, dan segera setelah itu, sosialisasi diintensifkan agar masyarkat dapat memahami dan menerimanya. Lebih jauh, seorang tokoh agama Kristen (pendeta) menyarankan bahwa negara harus bersikap netral. Agama dan kepercayaan berbeda, tetapi keduanya wajib diperlakukan setara oleh negara. Dia bahkan berpendapat bahwa kepercayaan sebaiknya masuk dalam Kementrian Agama (Kemenag). Kemenag tidak harus menuntut kepercayaan untuk menjadi seperti agama yang harus harus memiliki doktrin yang sistematis. Kita harus memperkuat bangsa ini dengan sikap toleransi. Jika perlu, agama diarahkan sebagai urusan privat dalam artian biarlah penganutnya yang mengaturnya. Pendeta tersebut kemudian menyampaikan bahwa dari sisi pengetahuan dan kapasitas para penghayat pada dasarnya dapat menjadi mediator konflik karena ajaran mereka kental dengan ajaran perdamaian. Lebih lanjut, dalam rangka membangun sikap toleransi dan mendorong penerimaan masyarakat, narasumber dari penghayat MEBM, Pendeta, dan perwakilan Kesbangpol sepakat bahwa kegiatan gotong-royong di tingkat desa yang melibatkan semua komponen desa, termasuk penghayat, penting digalakkan. Pihak pemerintah, paling tidak pemerintah desa, perlu memberi pendampingan pada kegiatan gotong-royong agar pemahaman bahwa perbedaan itu indah dapat ditanamkan. Dengan demikian perbedaan dapat menjadi aset penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangas. Pihak Kesbangpol dan pendeta mengingatkan bahwa budaya orang Jawa
pada hakekat menekankan keterbukaan, toleransi dan penerimaan terhadap perbedaan, dan karenanya penting untuk dihidupkan. Ide di atas sejalan komitmen Kepala Desa Salam Rejo. Kepala Desa misalnya menyampaikan: “...Mereka semua (penghayat) saya ikutkan dalam setiap kegiatan. Nanti malam, misalnya, akan ada kegiatan budaya desa yang melibatkan penghayat, dan secara khusus menugaskan Mbah Mangun sebagai Kamituo. (Saya tidak pilih kasih, karena jika demikian) Mbah Mangun tidak saya libatkan. Budaya itu kan produk akal pikiran manusia yang mewujud dalam tindakan dalam bentuk sebuah kegiatan. Mereka yang terlibat ini kebanyakan adalah ketuanya. Tujuannya adalah agar para ketua bisa mengajak semua anggotanya untuk terlibat”. Lebih lanjut, Kepala Desa menjelaskan bahwa Desa Salam Rejo memiliki sebuah kitab bernama kitab Kalimosodo, kitab kuno yang ditulis di atas daun lontar. Kepala Desa mengajak Mbah Mangun yang merupakan tokoh MEBM dengan maksud beliau mengajak seluruh pengikutnya untuk terlibat aktif dalam hajatan desa. Untuk menegaskan komitmennya, Kepala Desa menyampaikan prinsipnya, lakum dinukum waliyadin (bagimu agamamu, dan bagiku agamaku). Beliau menyindir sebagian orang yang merasa tahu banyak padahal pengetahuannya dangkal. Selain itu, katanya, dari semua yang kita lakukan belum tentu benar menurut agama, sehingga kita harus terus belajar. Bagi dia, agama itu melarang penganutnya untuk suudzan (berburuk sangka). Ketiga narasumber juga sepakat bahwa usaha bersama di bidang ekonomi dipandang akan efektif untuk menanamkan semangat kebersamaan dan penerimaan. Terkait dengan itu, snarasumber penghayat menambahkan bahwa pada dasarnya saat ini sedang terbangun hubungan baik, saling membantu, dan saling menutupi kekurangan antar warga penghayat dan lainnya di Desa Salamrejo. Sebabnya adalah ibu-ibu MEBM mengajak ibu-ibu non MEBM untuk aktif dalam program di bidang kuliner seperti produksi aneka olahan lidah buaya, pengobatan gratis medis dan non medis di Ngestiharjo, dan selain itu, upaca-upara kejawen yang dilaksanakan oleh penghayat selalu didukung oleh masyarakat non MEBM. Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Kelompok penghayat Sapta Darma di Kab. Brebes, seperti halnya sebagian besar penghayat di seluruh Indonesia, termasuk kelompok warga yang tingkat perekonomiannya menengah ke bawah. Data berikut memberi ilustrasi tingkat perekonomian mereka. Dari 24 (100%) responden, 10 (41,7%) berpenghasilan Rp. 1.000.000 – Rp.2.000.000. 5 (20,8%)
berpenghasilan Rp.3.000.000 – Rp. 4.000.000. Masing-masing 3 (12,5%) berpenghasilan Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000 dan Rp. 2.000.000 – Rp. 3.000.000. 1 (4,2%) memiliki penghasilan di bawah Rp. 500.000. 1 (4,2%) berpenghasilan Rp. 5.000.000 – Rp. 10.000.000. dan 1 (4,2%) tidak menjawab pertanyaan.
PENGHASILAN RESPONDEN 41,7% 20,8% 12,5%
12,5%
4,2%
0,0%
4,2%
0,0%
4,2%
Sebagai penghayat kepercayaan, Rata-rata penghayat Sapta Darma mengaku telahmengikuti ajaran kepercayaannya cukup lama. Dari 24 (100%) responden, 14 (58%) telah menjadi penghayat selama lebih dari 20 tahun. 6 (25%) menjadi penghayat kurang dari 10 tahun, 2 (8%) menjadi penghayat antara 11-20 tahun dan 2 (8%) tidak menjawab pertanyaan.
Lama menjadi penghayat 8% 25% 8% 58%
0-10 Tahun
11-20 Tahun
Lebih dari 20 Tahun
Tidak Menjawab
Respon terhadap Putusan MK Hasil FGD di Brebes menunjukkan bahwa respon terhadap Putusan MK cukup beragam, sekalipun secara umum positif. Salah satu perwakilan OPD setempat, Pak Agus, mengatakan bahwa Putusan MK adalah kemunduran. Menurutnya, masyarakat Brebes sebenarnya tidak
butuh Putusan MK tersebut, karena faktanya mereka sudah bisa hidup berdampingan di Kab. Brebes. Yang seharusnya dilawan, lanjutnya, adalah UU. PNPS No. 1 tahun 1965 tentang Penodaan Agama, yang hanya mengakui enam (6) agama. Seorang perwakilan penghayat menyampaikan hal senada bahwa publik tetap terlayani dengan baik, ada atau tidaknya putusan MK. Perwakilan Dinas Pendidikan menegaskan bahwa Putusan tersebut sangat baik karena dengan Putusan tersebut menjadi landasan bagi terciptanya inklusifitas dan kesetaraan di kalangan masyarakat, terutama terhadap penghayat kepercayaan. Selain itu, ada pula yang menyampaikan bahwa dia tidak memahami maksud dari Putusan MK. Dia sebelumnya belum mendengarnya. Lebih lanjut, ada yang menjelaskan Putusan MK tersebut membutuhkan proses panjang dan biaya tinggi untuk sampai pada tahap implementasi dan juga implikasinya. Dipahami bahwa berdasarkan Putusan MK, status penghayat kepercayaan harus selevel dengan penganut agama. Amar Putusan tersebut tentu akan butuh proses panjang dan biaya tinggi karena misalnya pengertian agama dan kepercayaan dari awal perlu diperjelas dan dipertegas. Respon yang lebih tegas disampaikan oleh peserta FGD dari penghayat. Menurutnya, Putusan MK menegaskan hak konstitusi bagi penghayat kepercayaan sebagai warga negara. Ia juga menegaskan karakter kebhinekaan Indonesia. Dia pun menyambut baik dan senang dengan adanya Putusan MK. Sikap dia mewakili sebagian besar warga penghayat Sapta Darma di Brebes, sebagaimana tampak dalam survey, di mana Dari 21 (100%) responden yang telah mengetahui tentang putusan MK, 20 (95,2%) menyatakan senang dengan Putusan itu. Sementara 1 (4,8%) merasa biasa saja.
BAGAIMANA REAKSI AWAL ANDA TERHADAP PUTUSAN MK?
95,2%
4,8% Senang
Biasa saja
0,0% Sedih
0,0% Khawatir
0,0% tidak menjawab
Diceritakan oleh narasumber dari penghayat di atas, setelah mengetahui Putusan MK, narasumber datang ke Dispendukcapil setempat untuk mengurus pergantian KTP-el dengan KTP-el baru yang mencantumkan kepercayaan. Dilayani tetapi KTPnya belum dicetak. Penjelasan
yang diterima olehnya adalah karena petunjuk teknis pergantian tersebut, sebagaimana yang menjadi amar Putusan MK belum ada. Fakta itu membuat narasumber kebingungan, dan mendesak agar kemendagri segera mengeluarkan aturan atau Juklak/juknis. Kemendagri diminta agar tidak bertele-tele karena hal tersebut jelas mengombang-ambingkan status kewargaan penghayat. Sang narasumber mengingatkan bahwa selama ini situasi penghayat seakan hidup dengan hukum rimba. Mereka sebagai minoritas senantiasa didiskriminasi. Pancasila dispelekan, dan slogan Bhinneka Tunggal Ika hanya untuk kelompok mayoritas semata. Sektor Kebijakan Uraian di atas juga mengimplikasikan bahwa di Brebes belum ada kebijakan baru terkait Putusan MK. Semuanya masih menunggu Juklak/Juknis atau apapun namanya dari Kemendagri. Pihak OPD memberi penjelasan bahwa proses hukum semacam itu tentu butuh waktu. Diperlukan rapat – rapat koordinasi dan public hearing. Pihaknya pun berharap dengan Putusan MK tersebut, payung hukum untuk hak-hak penghayat dapat semakin jelas. Narasumber juga menyampaikan kesannya bahwa pihak penghayat maunya cepat-cepat, padahal semua butuh proses. Tapi sekali lagi, ketertundaan implementasi tersebut dikhawatirkan kelompok penghayat akan memunculkan ekses negatif. Pihak penghayat kemudian menuntut agar dilakukan sosialisasi kesemua pihak: penghayat sendiri, masyarakat umum dan bahkan kepada jajaran pemerintah. Menurut penghayat, hingga saat ini kepala desa pun belum paham soal putusan MK ini. Menanggapi tuntutan penghayat, pihak OPD berharap kedepan akan sering diadakan pertemuan-pertemuan sehingga sosialisasi dapat dilakukan. Perwakilan Kemenag yang sekaligus anggota FKUB ikut memberi pendapat. Menurutnya, masyarakat Brebes sudah terbiasa dengan keragaman, dan khususnya dengan kelompok minoritas. Dia mencontohkan kasus Konghucu yang menurutnya tidak pernah ada masalah dengan umat Islam. Dia menjamin bahwa bahwa umat Islam tidak akan pernah mempermasalah kelompok minoritas, termasuk penghayat, kecuali jika ada yang mengkompori. Dia juga sampaikan, sosialisasi yang baik adalah dengan menjadi orang baik dan berkarya nyata di masyarakat. Menurutnya, sekalipun ada Putusan MK tetapi jika orangnya tidak pernah bersosialisasi, akan sama saja: dijauhi oleh masyarakat. Berbeda dengan narasumber Kemenag, narasumber Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) justru menekankan bahwa perlu adanya dorongan kepada Pemda (eksekutif dan legislatif) untuk membuat dan menerbitkan regulasi yang mengakomodir hak-hak penghayat kepercayaan. Menurutnya, di Brebes, kerja-kerja inklusi yang fokus pada hak-hak penghayat kepercayaan masih berada di ranah “pinggir atau tengah” dan belum menyentuh level elit seperti bupati (eksekutif) dan legislatif. Untuk isu minoritas seperti penghayat, diperlukan komitmen
politik semua pihak dan terutama pihak elit, khususnya Bupati/DPRD. Narasumber secara khusus menggaris-bawahi pentingnya regulasi khusus karena mengingat sejarah “eksklusifitas” di Brebes. Tahun 1963 misalnya, ada kerusuhan Tionghoa, tahun 1999 terjadi kerusuhan Losari. Dua contoh itu mestinya sudah cukup menjadi pertimbangan pengambil kebijakan. Puing-puing sejarah tersebut masih berserakan, dan karenanya perlu diantisipasi. Narasumber Disbudpar menambahkan bahwa program inklusi harus menjadi fokus penting dalam bidang sosial politik di wilayah Brebes. Perencanaan dan pelaksanaan program pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya harus mulai merumuskan strategi dan solusi bagi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh komunitas penghayat kepercayaan. Program inklusi terkait isu penghayat kepercayaan pada dasarnya sudah masuk ke dalam programprogram Pemerintah Daerah. Narasumber misalnya menyebutkan contoh Peraturan Gubernur, Pergub No. 32/2016 tentang Pedoman Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial Budaya di Provinsi Jawa Tengah, yang kemudian ditindak-lanjuti dengan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Adat dan Tradisi, termasuk di Brebes. Kebijakan ini penting dioptimalkan untuk mengakomodasi isu atau kepentingan penghayat kepercayaan. Terkait dengan itu, disampaikan bahwa pihak Disbudpar sudah melakukan Inventarisasi Nilai-Nilai Tradisi dan beberapa kegiatan gelar seni dan tradisi serta sosialisasi yang berkaitan dengan adat dan tradisi. “Jadi, yang dibutuhkan tinggal kreativitas dan progresivitas dari setiap pemangku kepentingan. Di Dinbudpar sendiri, kami sering berkomunikasi dengan komunitas penghayat dan juga karena ini merupakan kewajiban kami, kami sudah welcome dengan penghayat,” terang narasumber Disbudpar Kabupaten Brebes. Terakhir terkait kebijakan, narasumber menambahkan bahwa sekalipun misalnya kebijakan pendidikan kepercayaan belum ada di Kabupaten Brebes, yang dapat dioptimalkan oleh Dinas Pendidikan adalah program Sekolah Ramah Anak dan Sekolah Inklusif. Program tersebut sudah berjalan. “Cara optimaslisasinya adalah dengan memasukkan pendidikan bagi anak-anak penghayat kepercayaan sesuai dengan kepercayaan mereka”, jelas Narasumber. Sektor Pelayanan Dalam hal palayanan, pihak OPD terkait menyampaikan, dan diiyakan oleh seorang narasumber penghayat, bahwa selama ini pengurusan Surat Keterangant Terdaftar (SKT), KK dan lain-lainnya cukup mudah dilakukan. Data survey menunjukkan bahwa 21 (100%) responden mengaku dalam dokumen KK mereka telah tercantum status kepercayaan. Meski demikian pelayanan pencatatan adminduk, pemerintah juga masih sering mempengaruhi warga untuk memilih agama. Dari 21 (100%) responden, 21 (71,4%) mengaku pemerintah menyarankan untuk memilih salah satu agama yang diakui. Sementara 6 (28,6%) menyatakan pemerintah telah
melayani pencantuman kolom kepercayaan. Setelah Putusan MK. Hasil survey juga menunjukkan bahwa pemerintah tetap memberi pelayanan:
Apakah dalam dokumen KK anda, sudah dicantumkan Status Kepercayaan anda ? 120%
100,0%
100% 80% 60% 40% 20%
0,0%
0% Ya
tidak
0,0% Tidak Memberikan Jawaban
Series1
BAGAIMANA PENGALAMAN ANDA MENGURUS DOKUMEN KK TERKAIT PENGISIAN KOLOM AGAMA/KEPERCAYAAN?
71,4% 28,6% 0,0% Pemerintah melayani pencantuman kolom kepercayaan
Pemerintah menyarankan memilih salah satu Agama yang diakui
Pemerintah menyarankan mengosongkan ( - ) kolom Agama
0,0% tidak memberi jawaban
SEPENGETAHUAN ANDA SETELAH PUTUSAN MK, ADAKAH HAL YANG DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAYANAN?
66,7%
23,8% 9,5% Tidak ada
`
ada
tidak menjawab
Tetapi terkait dengan pencantuman kepercayaan di KTP-el, pihak Dispendukcapil
menyampaikan tentang aturan yang belum mendukung. Sampai sekarang pihaknya masih memberi pelayanan (pencatatan kolom agama di KTP-el) hanya kepada enam (6) agama: masih menggunakan cara lama (sebelum Putusan MK). Karena itu, penghayat kepercayaan belum menuliskan kepercayaan di KTP-el mereka, dan umumnya mereka menulis Islam, atau dikosongkan. Senada dengan informasi tersebut, hasil survey menunjukkan bahwa dari 21 (100%) responden, 17 (81%) responden mengaku KTPnya belum mencantumkan status kepercayaan. 3 (14,3%) mengaku KTPnya sudah mencantumkan status kepercayaan. Dan 1 (4,8%) tidak menjawab pertanyaan. Sementara terkait pencantuman agama di KTP, Dari 24 (100%) responden, 17 (71%) mengaku KTP bertuliskan Islam. 4 (17%) mengaku KTPnya bertanda (-). Sementara 3 (13%) tidak menjawab pertanyaan.
Apakah dalam dokumen KTP anda, sudah dicantumkan Status Kepercayaan anda ? 14,3%
4,8%
81,0%
Ya
Tidak
tidak memberikan jawaban
Agama yang tercantum dalam KTP Responden 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
71%
17%
Islam
0%
0%
0%
0%
0%
Katolik
Kristen
Hindu
Budha
Konghucu
13% 0%
(-)
Lain-lain
tidak memberi jawaban
Series1
Terkait dengan pencatatan kepercayaan di KTP, seorang tokoh penghayat berbagi pendapat. Menurutnya, Putusan MK belum sesuai jika amar putusannya memerintahkan pencatatannya hanya kepercayaan, dan bukan nama-nama kelompok penghayat yang ratusan. Dia mengkhawatirkan jika seorang dari penghayat melanggar UU, semua penghayat akan terkena dampaknya. Putusan MK mengasumsikan bahwa hanya satu kepercayaan, padahal banyak sekali, dan masing-masing berbeda satu sama lain. Idealnya, menurut tokoh penghayat tersebut, dalam kolom agama dituliskan misalnya “Kepercayaan Sapta Darma”, atau yang lebih ideal lagi: (tanpa kepercayaan, tapi hanya) Sapta Darma. Sang tokoh menyakini, wahyu yang mereka (atau pendirinya) terima adalah wahyu agama. Dijelaskan, semua warganya ingin Sapta Darma sebagai agama, tetapi dia pun sadar bahwa jika dilihat keadaan sekarang, keinginan mereka tampaknya belum memungkinkan. Dia pun memahami dan tetap melihat Putusan MK secara positif. Sebagian besar warga penghayat di Brebes juga demikian. Mereka (sebagian besar) menganggap Putusan MK sesuai harapannya. Dari 21 (100%) responden yang mengetahui tentang Putusan MK, 18 (85,7%) mengaku Putusan tersebut sudah sesuai harapannya. Sementara 3 (14,3%) mengaku Putusan itu belum sesuai harapannya.
APAKAH PUTUSAN MK SUDAH SESUAI DENGAN HARAPAN ANDA? 85,7% 14,3% Ya
Tidak
0,0% tidak Menjawab
Merespon harapan penghayat di atas (mencatatkan Sapta Darma, bukan hanya kepercayaan), narasumber dari Kemenag/FKUB menyatakan bahwa jika misalnya nanti kepercayaan itu men(di)jadi(kan) agama, penghayat kepercayaan bisa dimasukkan sebagai anggota Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB). Jika aturan resminya demikian, pihaknya tentunya akan ikuti aturan main. Selain SKT, KK, minus KTP-el, bentuk pelayanan lain yang diberikan kepada penghayat adalah oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar). Perwakilan dinas tersebut menguraikan bahwa pihaknya telah melakukan beberapa hal terkait pelayanan terhadap masyarakat Brebes, khususnya kepada penghayat kepercayaan. Misalnya, pihaknya terlibat melakukan koordinasi pembentukan Majelis Luhur Indonesia (MLKI) di Brebes. Kedua, melakukan koordinasi dengan Kementerian Pendidikan yang kemudian menjadikan Brebes sebagai fokus sosialisasi program penghayat dengan melibatkan seluruh eksponen dari tingkat RT hingga camat dan juga OPD-OPD yang difasilitasi oleh Kementerian Pendidikan melalui Direktorat Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga, Disbudpar Provinsi Jateng melakukan inisiasi program dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Brebes yang melibatkan penghayat kepercayaan. Ditegaskan bahwa pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Brebes siap sesuai dengan tupoksi mereka dalam hal pelestarian tradisi dimana tradisi penghayat kepercayaan adalah subyeknya. Apa yang telah dilakukan oleh OPD-OPD terhadap isu kepercayaan, khususnya setelah Putusan MK, seperti disampaikan, dikonfirmasi oleh warga penghayat sebagaimana data berikut di mana dari 21 (100%) responden, 17 (81%) mengaku ada perubahan layanan oleh Pemda pasca Putusan MK. Sementara 4 (19%) mengaku tidak ada.. Tidak ada (0%) yang menjawab tidak ada perubahan oleh Pemda pasca Putusan MK.
Apakah ada perubahan layanan oleh Pemerintah Daerah sebelum dan sesudah Putusan MK? 90%
81,0%
80% 70% 60% 50% 40%
19,0%
30% 20%
0,0%
10% 0% Ya
Tidak
Tidak Memberikan Jawaban
Isu pemakaman bagi penghayat adalah yang paling menonjol di Brebes. Isu tersebut bahkan sempat ramai di media, menjadi isu nasional. Warga penghayat terpaksa menguburkan warganya yang meninggal di pekarangan rumahnya sendiri karena jenazah ditolak untuk dikuburkan di pemakaman umum. Warga Persada di Brebes memiliki banyak cerita terkait isu tersebut. Di antaranya, pada tahun 2007 terjadi penutupan Sanggar Larangan, sebab awalnya dari penolakan pemakaman. Sebelumnya tahun 2006, ada pembongkaran makam di Desa Cikancil yang diduga makam warga Persada, padahal orang Islam, tetapi pasien warga Persada. Setelahnya di Desa Cikandang, Cigentong, Siandong juga seperti itu. LPPSLH sudah melakukan advokasi terkait isu pemakaman, tetapi urusannya belum rampung secara total. Isu pemakaman bahkan masih dianggap sensitif di beberapa tempat di Brebes. Perlakuan terhadap penghayat tidak merata di desa-desa. Ada yang diterima, tetapi ada juga yang ditolak, terkait masalah pemakaman. Beberapa desa yang menerima (pemakaman) warga Persada misalnya adalah Desa Sigentong (terdapat makam Persada dan TPU), Desa Sigentong Kecamatan Wanasari, dan Desa Pamulihan - Kecamatan Larangan (terdapat pemakaman warga Persada). Desa Kaliwlingi dan Pagejukan juga sudah bisa menerima pemakaman warga Persada. Hanya saja, di antara desa-desa yang menerima (pemakaman) warga Persada belum ada yang didasarkan pada aturan atau regulasi tertulis. Semuanya masih merupakan kebijakan lurah/desa, sehingga dikhawatirkan jika lurah/desa berganti, kebijakannya bisa berubah. Yang menyedihkan, sebelum putusan MK, warga Desa Sengon Kecamatan Tanjung menerima warga Persada dengan baik. Tetapi setelah Putusan MK, warga desa tersebut malah menolak Persada. Kasus penolakannya terkait pemakaman. Karena alasan di atas, seorang perwakilan OPD berpendapat bahwa saat ini isu pelayanan pemakaman bagi penghayat, sebagaimana telah dikerjakan oleh LPPSLH, perlu dilanjutkan, difokuskan dan diprioritaskan. Menurut narasumber dari pihak Disbudpar, advokasi selanjutnya
adalah regulasi (Perda) sebagai rujukan atau dasar legalitas penerimaan sosial, termasuk khususnya isu pemakaman, terhadap komunitas penghayat kepercayaan. Pemkab tampaknya perlu diberi tekanan melalui surat edaran dari Kemendagri untuk Perda yang dimaksud. Pemerintah berkewajiban memberi pelayanan pemakaman kepada warga penghayat (dan warga lainnya). Menurut narasumber Disbudpar, Perda RT/RW saat ini sedang digodog di Brebes, dan belum final. Di dalamnya ada pembahasan terkait zonasi yang seharusnya zona pemakaman sebagai bagian dari tata ruang wilayah. Terkait pendidikan, dari 24 (100%) responden, 18 (75%) merupakan lulusan SD. 3 (12,5%) lulusan SMP, 2 (8,3%) lulusan SMA/SMK dan 1 (4,2%) orang lulusan Diploma. Minimal ada dua hal yang penting diperhatikan terkait pendidikan (kepercayaan) di Kab. Brebes. Pertama, tingkat pendidikan kelompok penghayat di Brebes tergolong renda (lihat hasil survey di atas). Kedua, pendidikan kepercayaan belum diimplementasikan atau belum disediakan di sekolahsekolah di Brebes. Dari 21 (100%) responden, 16 (76,2%) mengaku tidak menerima pendidikan penghayat di sekolah. 5 (23,8%) tidak menjawab pertanyaan. Tidak ada (0%) yang mengaku sudah mendapat pendidikan penghayat di sekolah. Penghayat juga mengaku tidak dapat mengakses pendidikan formal dengan identitas penghayat. Dari 21 (100%) responden, 18 (85,7%) mengaku tidak bisa mengakses pendidikan formal dengan identitas penghayat. 3 (14,3%) tidak menjawab pertanyaan. Tidak ada (05) yang mengaku bisa mengakses pendidikan formal dengan identitas penghayat. Dan dari 16 (100%) responden yang mengaku tidak mendapat pendidikan penghayat di sekolah, 16 (100%) atau seluruhnya mendapat pelajaran agama Islam di sekolahnya. Pihak Dinas Pendidikan setempat bahkan belum memiliki data siswa penghayat di sekolah-sekolah. Siswa-siswa dari Persada dengan demikian menerima pendidikan agama mayoritas. Dilaporkan juga oleh narasumber dari penghayat bahwa pernah ada suraat edaran dari Dinas Pendidikan kepada para kepala sekolah akan adanya pendidikan “agama” bagi murid – murid penghayat. Terkait dengan itu, disampaikan bahwa pihak Dinas Pendidikan akan mengakomodir hak pendidikan warga penghayat, ada atau tidak adanya Putusan MK. Menurutnya, persoalannya hanya butus proses. Narasumber perwakilan Dinas Pendidikan juga menyampaikan bahwa pihaknya memerlukan kepastian regulasi sebagai dasar pijakan bagi pihaknya untuk segera laksanakan sesuai tupoksinya. Apa yang disampaikan oleh narasumber tersebut menunjukkan kalau dia belum tahu terkait Permedikbud 2016 tentang pendidikan kepercayaan. Narasumber lain dari Kemenag yang sekaligus anggota FKUB ikut memberi penjelasan. Dikatakannya bahwa dia pernah pernah bertanya ke kepala sekolah tempat dia mengajar terkait keberadaan siswa penghayat. Di sekolah tersebut, katanya, ternyata terdapat siswa dari penghayat kepercayaan, tetapi dia sendiri yang memilih agama Islam, tanpa paksaan. Dia menambahkan bahwa di sekolah tersebut memberi
kebebasan kepada siswa (penghayat), bahkan jika ingin keluar dia tidak akan dipersoalkan. Siswa dipersilahkan untuk memilih pendidikan agama/kepercayaan sesuai keyakinannya, tetapi untuk penghayat, kendalanya adalah pada ketersediaan gurunya. Tidak guru penghayat yang bisa mengajarkan pendidikan kepercayaan.
Pendidikan Terakhir Responden 80,0% 70,0% 60,0% 50,0%
75,0%
40,0% 30,0% 20,0% 10,0% 0,0%
0,0%
12,5%
8,3%
4,2%
0,0%
0,0%
0,0%
APAKAH ANDA DAN/ATAU ANAK ANDA DAPAT MENGAKSES JALUR PENDIDIKAN FORMAL DENGAN IDENTITAS PENGHAYAT?
85,7%
14,3%
0,0% Ya
Tidak
Tidak memberi jawaban
0,0% Lainnya
0,0%
Apakah anda/anak anda menerima pendidikan penghayat di sekolah? 80,0% 60,0%
76,2%
40,0%
23,8%
20,0% 0,0%
0,0% Ya
Tidak
Tidak memberi jawaban
JIKA TIDAK, PELAJARAN APA YANG ANDA DAPAT DI SEKOLAH? 100,0%
Islam
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
Katolik
Kristen
Hindu
Budha
Konghucu
Tidak memberi jawaban
Sebagaimana halnya dengan pendidikan, pencatatan pernikahan penghayat pun belum dilayani berdasarkan kepercayaannya. Fakta dikonfirmasi oleh hasil survey bahwa dari 24 (100%) responden, 17 (70,8%) menikah agama. 3 (12,5%) cerai hidup, 2 (8,3%) cerai mati, 1 (4,2%) menikah sipil, 1 (4,2%) belum menikah. Tak satupun dari responden penghayat yang mencatatkan pernikahannya berdasarkan kepercayaannya.
STATUS PERNIKAHAN RESPONDEN 70,8%
4,2%
0,0%
4,2%
0,0%
8,3%
12,5% 0,0%
0,0%
0,0%
Sektor Penerimaan Sosial Ragam stigma negatif hingga hari ini masih terus diterima oleh penghayat kepercayaan Persada. Mereka sering dilabeli Islam abangan, tukang santet, dan sesat. Warga desa, tetangga penghayat, enggan bermain dengan penghayat karena tuduhan aliran sesat. Seorang penghayat menceritakan: “Saya ini kan guru senam, nah murid saya banyak, ada 120an orang. Waktu itu, setelah Putusan MK dibacakan, saya segera ke kelurahan untuk mengurus pergantian KTP-el dengan yang baru yang mencantumkan kepercayaan. Dari situ berkembang cerita dari mulut ke mulut. Murid-murid saya ikut tahu kalau saya seorang penghayat. Akibatnya, tibatiba jumlah murid saya berkurang, hingga tinggal 20 orang saja. “Jangan mau sama kafir”, kata orang-orang. Tapi setelah beberap waktu setelah itu, murid-murid saya kembali, dan saat ini jumlah murid saya malah bertambah banyak hingga 150 siswa”. Cerita senada disampaikan oleh narasumber penghayat lain. Dahulu, dia adalah seorang Muslim tulen yang ikut dan berpartisipasi di pengajian dan aktif di Masjid. Tetapi sejak jadi penghayat (hingga sekarang), dia tidak lagi diberi kesempatan untuk menyediakan snack untuk peserta pengajian. Rumahnya dilewati, dan dia tidak lagi dilibatkan. Padahal, dia tetap ingin ikut dan berpartisipasi. Narasumber melanjutkan ceritanya terkait keanggotaannya dalam komunitas penghayat. Awalnya da sakit selama sekitar 1,5 tahun, dan tidak kunjung sembuh. Banyak cara dia coba lakukan, tetapi tetap saja tidak sembuh. Dia kemudian ketemu dengan seorang tokoh pengayat. Dengan “sabda waras” (petunjuk) dari tokoh penghayat tersebut, sang narasumber
disarankan sujud (sesuai kepercayaan). Narasumber mengikuti saran tersebut. Dia beli kain mori di pasar sebagai alat sujud, dan kemudian coba-coba sujud. Dia merasa cocok, dan akhirnya juga sembuh dari penyakitnya. Sejak itu, narasumber menjadi dan percaya diri sebagai seorang penghayat, anggota Persada. Tetapi narasumber menambahkan bahwa kedua anaknya tetap Islam. Serupa dengan narasumber tersebut, mayoritas penghayat di Brebes juga semakin percaya diri setelah Putusan MK. Dari 21 (100%) responden yang telah mengetahui tentang Putusan MK, 18 (85,7%) mengaku makin percaya diri. 2 (9,5%) mengaku makin terbuka dan ekspresif sebagai penghayat. Sementara 1 (4,8%) tidak menjawab pertanyaan.
BAGAIMANA DAMPAK PUTUSAN MK TERHADAP PRIBADI ANDA? 85,7% 9,5%
0,0%
0,0%
0,0%
4,8%
Kembali ke isu stigma. Stigma sosial yang negatif seperti diuraikan di atas bahkan pernah berwujud fisik. Sanggar, tempat aktifitas kepercayaan dibakar dan diobrak-abrik. Seorang tokoh penghayat mencoba menjelaskan kasusnya. Cukup lama penghayat hidup berdampingan dengan warga masyarakat lainnya, dan tidak pernah ada masalah. Mereka tidak pernah ditolak. Penolakan terhadap penghayat mulai muncul sejak tahun 2006-2007 ketika Undang-Undang Adminduk disahkan. UU tersebut memberi jaminan kepada warga penghayat untuk mencantumkan identitas kepercayaan mereka di sistem pencatatan administrasi penduduk. Tentu saja warga penghayat menyambut baik UU tersebut. Tetapi respon masyarakat adalah sebaliknya. Warga penghayat mulai ditolak. Berbagai penolakan diterima penghayat, karena mereka dianggap bukan lagi orang Islam. Narasumber membenarkan anggapan publik bahwa penghayat bukan orang Islam, tetapi tidak memahami mengapa Sanggar mereka dirusak, dan mereka ditolak misalnya untuk menggunakan pemakaman umum, seperti yang sebelumnya telah digunakan bersama. Terkait pembakaran sanggar, pihak penghayat sudah melaporkannya ke kepolisian (saat kejadian, atau setelahnya), tetapi oleh pihak kepolisian dan pemerintah, dikatakan, “Lebih baik jangan dilakukan kegiatan sujud itu, sebab nanti kalau ada kericuhan, kita tidak akan tanggung
jawab”. Sang pelapor dari penghayat tentu saja merasa aneh. Harapannya setelah kepolisian sudah mengetahui kasusnya, mereka seharusnya melindungi pihak korban (penghayat), tetapi penghayat yang justru yang dilarang atau diminta menghentikan aktifitas kepercayaan. Peristiwa tersebut juga dilaporkan ke Ombudsman, dan bahkan disampaikan di Mahkamah Konstitusi bahwa kaum minoritas, penghayat kepercayaan, telah mendapat stigma negatif dan perlakuan diskriminatif. Cerita tersebut adalah kenangan bagi narasumber dan diharapkan tidak terulang lagi. Narasumber menyampaikan bahwa saat ini di daerahnya keadaannya sudah aman kondusif. Diakui oleh narasumber dari Disbudpar bahwa tantangan di Brebes adalah masih belum optimalnya jejaring komunikasi di antara para pihak. Dalam diri penghayat misalnya. Ada semacam inferior complex (selalu merasa inferior, minoritas). Penyebabnya antara lain karena faktor perlakuan yang eksklusif atau diskriminatif kepada mereka hingga saat ini. Hal senada disampaikan oleh narasumber dari Kemenag. Dia terkesan bahwa penghayat seolah-olah mengasingkan diri dari lingkungan. Penampilan penghayat harus diubah/diupgrade agar lebih fresh. Narasumber Kemenag juga menyarankan para penghayat untuk percaya diri dan terus mengembangkan diri, aktif dan berperan aktif di masyarakat. Menurutnya, penghayat tidak perlu berkecil hati bahkan jika dituduh kafir. Alasannya, dengan rujukan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits, segala yang di luar Islam itu kafir. Merespon ungkapan tersebut, narasumber penghayat menimpali, “Para orang dinas di pemerintahan, diluar bilang sepertinya menerima, tetapi di dalam (di internal mereka) bilang berbeda (menolak)”. Narasumber penghayat mencurigai bahwa pemangku kepentingan dari dinas-dinas tampaknya sering diintervensi oleh warga (yang menolak penghayat). Narasumber Disbudpar melanjutkan, komunikasi yang terjalin belum sepenuhnya merangkul seluruh pihak. Pihak MUI dan FKUB misalnya, belum ditindaklanjuti komunikasi secara formal dan intensif dengan mereka, meskipun sudah pernah diadakan forum bersama mereka. Terkait itu, narasumber penghayat menambahkan bahwa Persada pernah ikut musrembang yang difasilitasi oleh Elsa (CSO, sebelum LPPSLH). Di musrembang tersebut muncul ide pengadaan pemakaman umum yang dapat mengakomodasi penghayat, tetapi tidak ada implementasi. Ada juga Piagam Brebes Inklusi, tetapi tidak ditanda tangani oleh MUI. Disampaikan pula, penghayat tidak dilibatkan dalam musrembangdes, padahal Pemerintah Desa terkait tahu kalau warganya ada yang penghayat. Keluhan selanjutnya disampaikan penghayat bahwa pihaknya sering dilibatkan di berbagai kegiatan, bahkan sebagai ketua, tetapi setelah kegiatan selesai, mereka seakan diusir lagi. Bangunan jejaring komunikasi berbagai pihak, terutama dengan yang telah disebutkan, sangat diperlukan, menurut narasumber Disbudpar, karena pasca Putusan MK No. 97/PUUXIV/2016, ada kekhawatiran dari kelompok agama-agama besar bahwa aliran kepercayaan nantinya akan disejajarkan dengan agama. Oleh karena itu, jejaring komunikasi antar pemangku
kepentingan melalui forum-forum pertemuan, penguatan kapasitas, kajian-kajian dan media komunikasi perlu dioptimalkan. Perlu penguatan jejaring komunikasi antara para pemangku kepentingan lewat berbagai pertemuan, audiensi, diskusi-diskusi, kajian-kajian yang mendukung kerjasama antar pihak dan pemanfaatan media komunikasi. Melalui jejaring komunikasi tersebut, semua pihak terkait dapat membangun bangun perspektif bersama dan saling mendukung dalam kerja-kerja inklusif. Di tingkat penghayat kepercayaan, program jejaring komunikasi akan berdampak pada penguatan kapasitas komunikasi dan identitas mereka. Di tingkat pemerintah, akan menguatkan pemahaman aparat sipil negara (ASN) melalui bukti-bukti faktual tentang situasi dan kondisi yang dialami oleh penghayat kepercayaan dan dapat menjadi pertimbangan bagi munculnya regulasi-regulasi yang bertujuan untuk memberikan pelayanan-pelayanan melalui OPD-OPD bagi komunitas penghayat kepercayaan sebagai bagian dari masyarakat. Penguatan pemahaman dan kapasitas jurnalisme yang seimbang terkait pemberitaan tentang komunitas penghayat kepercayaan perlu dilakukan. “Selama ini pemahaman jurnalisme masih cenderung stereotyping terkait isu penghayat. Ini yang perlu diupayakan agar para jurnalis juga memahami isu kelokalan dan isu minoritas,” terang narasumber Disbudpar. Interaksi sosial secara khusus ditekankan oleh narasumber Kemenag/FKUB. Pihaknya, dikatakannya, sering mengajak penghayat untuk berkoodinasi terkait masalah inklusi, khususnya jika merasa termarjinalkan. Dia bahkan menyatakan, “Kalau merasa terdiskriminasi, silakan ke Kemenag. Nanti bisa ketemu saya”. Menurutnya, inti masalahnya adalah hidup bermasyarakat. Indonesia, ditegaskannya, sangat terbiasa dengan perbedaan. Dia menceritakan pengalaman pribadinya yang pernah diundang pengajian di daerah Limbangan. Yang mengundang adalah orang Katolik, seorang Romo, dan dia penuhi undangan tersebut tanpa ada masalah. Lebih lanjut, baik buruknya seseorang ditentukan oleh hubungannya dengan warga masyarakat, bukan pada serajin apa mereka beribadah. Banya orang Islam yang tidak solat. Selain itu, dalam Islam tidak ada paksaan. Warga penghayat disarankan supaya tidak perlu sungkan apalagi takut. Tetapi jika memang sungkan atau takut, “Ayo kita bareng bermasyarakat dengan baik. Buktikan kalau anda orang baik”, kata narasumber Kemenag. Komunikasi dengan pemerintah juga harus diperbaiki. Diceritakan oleh narasumber, dari pertemuan lintas sektor yang terakhir sudah ada perubahan di kalangan penghayat, tampak tidak minder lagi. Dibanding dengan sebelum-sebelumnya, raut muka para penghayat ketika dalam pertemuan tampak tegang sekali. Dengan adanya Putusan MK, warga penghayat mestinya lebih rileks dan memiliki kepercayaan diri. Narasumber tersebut juga berharap kepada CSO pendamping untuk terus mendampingi dan memberi kekuatan bagi penghayat, termasuk masalah kesejahteraan mereka. Terkait kesejahteraan, atau aktifitas ekonomi, seorang narasumber penghayat menambahkan, pihaknya sudah mendirikan koperasi Persada (khusus untuk warga Persada) tetapi tidak bisa berkembang, karena kekuarangan dana. Sebagian besar warga Persada berasal dari kelompok ekonomi menengah kebawah.
Peran CSO, LPPSLH, diakui penting dalam advokasi penghayat atau secara umum terkait program inklusi. Kemenag, dikatakan oleh perwakilannya, memahami dan mengapresiasi program inklusi yang diimplementasikan oleh LPPSLH karena perwakilannya selalu mengikuti pertemuan terkait dengannya. Perwakilan OPD lain juga menyampaikan hal yang serupa. Keterlibatan pihaknya terkait penanganan pelayanan pemakaman bagi penghayat sebelum Putusan MK adalah melalui program inklusi yang dilaksanakan oleh LPPSLH. Seperti dikatakan sebelumnya, program inklusi tersebut lebih penting dilanjutkan dan diprioritaskan, tanpa harus menunggu atau risau dengan aturan tindak-lanjut dari Putusan MK. Kotamadya Medan dan Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara Sebagian besar penghayat kepercayaan Parmalim dan Ugamo Bangso Batak di wilayah Sumatera Utara telah menganut kepercayan mereka selama lebih dari 20 tahun. Dari 21 (100%) responden, 14 (66,7%) telah menjadi penghayat selama lebih dari 20 tahun. 4 (19%) menjadi oenghayat kurang dari 10 tahun. 3 (14,3%) mennjadi penghayat antara 11-20 tahun.
Lama menjadi penghayat 66,7%
70% 60% 50% 40% 30% 20%
19,0%
14,3%
10%
0,0%
0% 0-10 Tahun
11-20 Tahun
Lebih dari 20 Tahun
Tidak Menjawab
Dalam sektor penghasilan, Dari 21 (100%) responden, masing-masing 4 (9,5%) mengaku berpenghasilan di bawah Rp. 500.000 dan antara Rp. 1.000-Rp. 2.000.000. Ada masing-masing 2 (19%) responden yang mengaku berpenghasilan antara Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000 dan antara Rp. 2.000.000 – Rp. 3.000.000. Terdapat 1 (4,8%) responden yang berpenghasilan antara Rp. 5.000.000 – Rp. 10.000.000. Sementara 8 (38,1%) tidak menjawab pertanyaan. Sementara dari soal pernikahan, dari 21 (100%) responden, 11 (52,4%) belum terikat status pernikahan. 6 (28,6%) telah menikah secara agama. 2 (9,5%) menikah adat, Masing-masing 1 (4,8%) cerai mati dan menikah sipil.
PENGHASILAN RESPONDEN 38,1% 19,0%
19,0% 9,5%
9,5% 0,0%
4,8%
0,0%
0,0%
STATUS PERNIKAHAN RESPONDEN 52,4% 28,6% 0,0%
4,8%
9,5%
4,8%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
Respon terhadap Putusan MK
BAGAIMANA REAKSI AWAL ANDA TERHADAP APAKAH PUTUSAN MK SUDAH PUTUSAN MK? SESUAI DENGAN HARAPAN ANDA?
Data
survey
responden
warga
penghayat di Kota Medan (Parmalim
dan
Ugamo
Bangso Batai) menunjukkan
57,9% 63,2%
bahwa
42,1%
0,0% Biasa saja Tidak
dari
responden
31,6%
Senang Ya
dari
dengan
5,3% 0,0%
Sedih tidak Menjawab Khawatir
19
(100%)
yang
sudah
mengetahui tentang Putusan 0,0% tidak menjawab
MK, 12 (63,2%) merasa senang dengan Putusan itu. 6 (31,6%) merasa biasa saja. Sementara 1 (5,3%) merasa
khawatir. Secara umum mereka senang, tetapi juga terdapat yang khawatir, yang tentu saja layak mendapat perhatian. Terkait dengan itu, menarik diperhatikan terkait harapan penghayat di Kota Medan. Dari 19 (100%) responden yang mengetahui tentang Putusan MK, 11 (57,9%) merasa
Putusan itu sesuai harapan mereka. Sementara 8 (42,1%) merasa Putusan belum sesuai harapan mereka. Para penghayat juga tergolong responsive dengan adanya Putusan MK. Dari 19 (100%) responden, 7 (36,8%) mengaku mendorong pemerintah untuk implementasi kebijakan. 6 (31,6%) berusaha mencerna dan memahami isi Putusan. 3 (15,8%) melakukan sosialisasi kepada sesame penghayat. 2 (10,5%) bersikap biasa saja. Dan 1 (5,3%) melakukan konsolidasi untuk memperoleh hak warga negara.
YANG DILAKUKAN RESPONDEN SETELAH MENGETAHUI PUTUSAN MK 36,8%
31,6% 15,8%
10,5%
Bersikap dan berlaku berlaku seperti biasa
5,3%
Mencerna dan memahami secara sungguhsungguh isi putusan
Melakukan Melakukan sosialisasi kepada konsolidasi untuk sesama peghayat memperoleh hak sebagai warganegara
0,0% Mendorong pemerintah derah untuk implementasi kebijakan
Tidak memberikan jawaban
Sektor Kebijakan Berdasarkan hasil FGD, respon perwakilan OPD, khususnya Dispendukcapil, terkait Putusan MK adalah bahwa pihaknya belum melakukan apapun terkait Putusan MK. Pihak Dispendukcapil juga belum memiliki rencana untuk merumuskan kebijakan baru dan tidak ada upaya khusus untuk mengusulkan aktivitas yang mendorong perubahan aturan, karena fokus Dispendukcapil Kota Medan dalam perencanaan adalah pelayanan kependudukan, pencatatan perkawinan dan sosialisasi. Pihaknya hanya menunggu aturan atau Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) dari Kemendagri. Dikatakannya bahwa Dispendukcapil Kota Medan hanya melaksanakan kebijakan pusat. Karena Putusan MK belum diikuti Surat Edaran Mendagri dan instruksi internal lainnya, advokasinya perlu diarahkan ke Kemendagri.
Kemendagri perlu didesak agar kekosongan hukum tidak berkepanjangan. Terkait dengan lanjutan Putusan MK, aturan atau kebijakan haru mencakup perubahan (penyesuaian) sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK), dan selain itu kejelasan pencatatan kolom agama/kepercayaan. Pernyataan di atas dikonfirmasi oleh dua narasumber penghayat Ugamo Bangso Batak (UBB). Disampaikannya, belum ada perubahan pasca Putusan MK. Layanan dasar terhadap penghayat sebagai warga negara tetap diberikan seperti sebelumnya. Untuk perubahan identitas di KTP dan KK belum dilakukan karena dua alasan. Pertama, sistem informasi dan administrasi kependudukan yang ada di Dispendukcapil belum menyediakan kolom agama penghayat. Kedua, sia-sia perubahan identitas (kepercayaan) jika tanpa kepastian untuk memperoleh akses yang sama dalam memperoleh pekerjaan. Hal lain terkait respon terhadap Putusan MK, menurut kedua narasumber tersebut, anak-anak penghayat sudah mulai berani mengekspresikan diri dengan menyatakan bahwa dirinya adalah penganut agama leluhur (UBB). Keduanya merasa bahwa dengan adanya Putusan MK ada tambahan kepercayaan diri dan merasa adanya prinsip pengakuan dari negara terhadap eksistensi dan hak-hak penganut agama leluhur. Sektor Pelayanan
SEPENGETAHUAN ANDA SETELAH PUTUSAN MK, ADAKAH HAL YANG DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAYANAN?
19
(100%)
responden, setelah Putusan MK, 17 (89,5%) mengaku tidak ada hal yang dilakukan oleh
89,5% 10,5% Tidak ada
Dari
ada
0,0% tidak menjawab
pemda
pasca
keluarnya
Putusan MK. Sementara 2 (10,5%) mengaku ada yang dilakukan
oleh
Pemda.
Terungkap juga bahwa dari 19 (100%) responden, 14 (73,7%) menyatakan tidak ada perubahan layanan oleh pemerintah daerah sebelum dan sesudah Putusan MK. Sementara 5 (26,3) mengaku tidak ada perubahan.
Apakah ada perubahan layanan oleh Pemerintah Daerah sebelum dan sesudah Putusan MK?
73,7%
80% 70% 60% 50% 40%
26,3%
30% 20%
0,0%
10% 0% Ya
Tidak
Tidak Memberikan Jawaban
Agama yang tercantum dalam KTP Responden 28,6%
30%
28,6%
23,8%
25% 20%
14,3%
15% 10% 5%
4,8% 0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
Hindu
Budha
Konghucu
0% Islam
Katolik
Kristen
(-)
Lain-lain
tidak memberi jawaban
Meski demikian, diakui bahwa kelompok penghayat Parmalim dan UBB di Medan sudah mendapatkan pelayanan, kecuali untuk kolom agama/kepercayaan di KTP. Dari 21 (100%) responden, 6 (28,6%) mengaku KTPnya bertanda (-). 5 (23,8%) mengaku KTPnya bercantumkan agama Kristen. 3 (14,3%) menjawab lain-lain dan 6 (28,6%) tidak memberi jawaban. Hasil temuan juga menunjukkan bahwa dari 19 (100%) responden, 14 (73,7%) mengaku saat mengurus dokumen KK, pemerintah menyarankan untuk memilih salah satu agama yang diakui. Semantara 5 (26,3%) menyatakan pemerintah pemalayani pencantuman kolom kepercayaan dalam KK. Dari 19 (100%) responden, 15 (78,9%) mengaku KTPnya belum mencantumkan status kepercayaan. 3 (15,8%) mengaku KTPnya sudah mencantumkan status kepercayaan. Sementara 1 (5,3%) tidak menjawab pertanyaan. Kolom agama di KTP mereka masih “kosong” (-). Terkait dengan itu, sekali lagi, Kemendagri perlu didesak untuk segera mengeluarkan surat edaran, juklak dan Juknis, sebagai
tindak lanjut dari Putusan MK, agar kelompok penghayat kepercayaan Parmalim dan UBB mendapatkan pelayanan berdasarkan aturan. Tanpa itu, disepakati oleh forum FGD, pelayanan terhadap penghayat tidak akan berubah.
BAGIMANA PENGALAMAN ANDA MENGURUS DOKUMEN KK TERKAIT PENGISIAN KOLOM AGAMA/KEPERCAYAAN? 73,7% 26,3% 0,0% Pemerintah melayani pencantuman kolom kepercayaan
Pemerintah menyarankan memilih salah satu Agama yang diakui
Pemerintah menyarankan mengosongkan ( - ) kolom Agama
0,0% tidak memberi jawaban
Apakah dalam dokumen KTP anda, sudah dicantumkan Status Kepercayaan anda ? 15,8%
5,3% 78,9%
Ya
Tidak
tidak memberikan jawaban
APAKAH PERNIKAHAN ANDA TERCATAT?
pernikahan, (100%)
dari
9
Responden
yang telah menikah,
100,0% 0,0% Tercatat
Terkait
0,0%
Tidak Tercatat Tidak memberi jawaban
seluruhnya
mengaku
pernikahannya tercatat
baik
baik
secara sipil, agama maupun adat. Namun dari 9 (100%) responden yang telah menikah, 4 (44,4%) responden yang telah menikah, mengaku akta lahir anaknya tercantum nama bapak ibu. 4 (44,4%) responden lainnya mengaku akta lahir anaknya hanya tercantum nama bu. 1 (11,1 %) responden tidak memberi jawaban.
BAGAIMANA PROSES PENCATATAN AKTA LAHIR ANAK ANDA ? 44,4%
44,4%
11,1% 0,0% Tercantum nama bapak dan ibu
Tercantum hanya nama ibu
Tidak ada akta lahir
0,0% Lainnya
Tidak memberi jawaban
Bergerak ke sektor pendidikan, Dari 21 responden di Sumut, 9 (42,9%) merupakan lulusan SMA/SMK. 5 (23,8%) merupakan lulusan S1. 3 (14,3%) merupakan lulusan diploma. Masing-masing 2 (9,5%) orang merupakan lulusan SD dan SMP. Dari 19 Responden, 8 (42,1%) responden mengaku tidak bisa mengakses pendidikan formal dengan identitas penghayat. 8 (42,1%) responden lainnya mengaku bisa. 3 (15,8%) tidak memberi jawaban. Dari 8 (100%) yang mengaku dapat mengakses pendidikan formal dengan identitas penghayat menjawab sekolahnya belum menerapkan kurikulum penghayat. Dari 19 responden, 17 (89,5%) responden mengaku tidak menerima pendidikan penghayat. 2 (10,5%) responden tidak menjawab. Dari 17 yang menjawab tidak, 15 (88,2%) menjawab mencapat pelajaran Kristen. 1 (5,9%) mengaku mendapat pelajaran Islam dan 1 (5,9%) mengaku mendapat pelajaran Katolik.
Pendidikan Terakhir Responden 45,0% 40,0% 35,0% 30,0% 25,0% 20,0% 15,0% 10,0% 5,0% 0,0%
42,9% 23,8% 9,5%
9,5%
14,3%
0,0%
0,0%
0,0%
APAKAH ANDA DAN/ATAU ANAK ANDA DAPAT MENGAKSES JALUR PENDIDIKAN FORMAL DENGAN IDENTITAS PENGHAYAT?
42,1%
42,1%
15,8% 0,0% Ya
Tidak
Tidak memberi jawaban
Lainnya
APAKAH SEKOLAH ANDA DAN/ATAU ANAK ANDA MENERAPKAN KURIKULUM PENDIDIKAN PENGHAYAT? 100,0%
0,0% Sudah
Belum
0,0%
Apakah anda/anak anda menerima pendidikan penghayat di sekolah? 100,0% 80,0% 60,0%
89,5%
40,0% 20,0% 0,0%
10,5%
0,0% Ya
Tidak
Tidak memberi jawaban
JIKA TIDAK, PELAJARAN APA YANG ANDA DAPAT DI SEKOLAH? 88,2%
5,9%
5,9%
Islam
Katolik
Kristen
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
Hindu
Budha
Konghucu
Tidak memberi jawaban
Kepala Sub Bagian (Kasubag) Tugas Pembantuan, Dinas Pendidikan yang bertanggung jawab menjalankan tupoksi yang berkaitan dengan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menyampaikan bahwa pihaknya belum mengetahui adanya Putusan MK terkait kepercayaan. Namun dari sisi pelayanan pendidikan, pihaknya telah melangkah cukup jauh. Pendidikan kepercayaan sudah dilaksanakan di dua sekolah dasar, dan bahkan sudah disediakan penyuluh yang bertugas menjadi guru penghayat. Narasumber menginformasikan secara detil bahwa layanan pendidikan bagi anak penghayat atau agama leluhur telah dilaksanakan di SD 104212 Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang setiap hari Jumat Pk. 12.00-14.00 WIB. Pihaknya telah menerbitkan surat penugasan kepada Tenaga Penyuluh yang bertugas menjadi guru pendidikan kepercayaan/agama leluhur di Kab. Deli Serdang Dalam hal pelayanan pendidikan kepercayaan, Dinas Pendidikan Kab. Deli Serdang tampak progresif. Tetapi seperti disampaikan oleh narasumber penghayat dan dikonfirmasi oleh pihak Dinas Pendidikan, di antara faktor determinan adalah guru di sekolah tersebut di atas. Guru
perempuan tersebut ikut mendorong adanya kebijakan untuk mengadakan pendidikan keperecayaan bagi penghayat. Selain guru tersebut, warga penghayat juga pro-aktif. Seorang warga penghayat perempuan misalnya dicontohkan sangat aktif, responsif dan kooperatif dalam mengadvokasi pendidikan kepercayaan di sekolah. Namun demikian, di samping kemajuan dalam pelayanan pendidikan kepercayaan, juga diakui bahwa pengetahuan dan pemahaman terkait isu penghayat belum merata, termasuk di kalangan Aparatur Dinas Pendidikan. Seperti telah disampaikan, pihak OPD yang bahkan tupoksinya berkaitan dengan lembaga kepercayaan tidak updated dengan Putusan MK. Sektor Penerimaan Sosial Secara umum, Putusan MK membawa dampak positif dalam diri penghayat di Sumatera Utara. Dari 19 (100%) responden, 14 (73,7%) mengaku dirinya makin percaya diri pasca Putusan MK. Sementara 5 (26,3%) mengaku makin terbuka dan ekspresif.
BAGAIMANA DAMPAK PUTUSAN MK TERHADAP PRIBADI ANDA? 73,7% 26,3% 0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
Pihak Dispendukcapil Kota Medan menyatakan bahwa dari sisi penerimaan penghayat di level pemerintah tidak ada masalah, atau semakin berkembang. Pihaknya bahkan proaktif mensosialisasikan Putusan MK Nomor 97 dalam setiap pertemuan-pertemuan dengan kelurahan. Namun, narasumber masih menyayangkan karena apa yang dilakukan merupakan inisiatif dia sendiri. Belum ada forum khusus untuk mensosialisasikan Putusan MK, misalnya kepada seluruh aparatur kelurahan. Problem lainnya, disampaikan oleh narasumber, adalah di forum-forum yang dibuat jarang dihadiri langsung oleh Kepala Kelurahan. Yang sering terjadi di forum-forum tersebut hanya dihadiri oleh staf biasa, dan berganti-ganti. Menurut narasumber yang merupakan Kabid PIAK, dorongan akan adanya konsistensi partisipasi dari aktor-aktor aparatur sipil negara di setiap level akan lebih baik dan efektif dalam advokasi, khususnya terkait inklusi penerimaan terhadap penghayat. Narasumber dari Dispendukcapil menambahkan bahwa intensifikasi
sosialisasi Putusan MK keseluruh jajaran pemerintah hingga lurah/desa perlu terus dilakukan. Setiap OPD, minimal yang terkait dengan urusan pelayanan hak kewargaan penghayat perlu terus ditingkatkan, agar penerimaan di setiap level pelayanan merata dan serentak. Gambaran pelayanan di Sumatera Utara nampak dalam survey-survey di bawah ini. Dari 19 responden, 14 (73,7%) mengaku menjadi peserta jaminan sosial. 3 (15,8%) mengaku tidak mengikuti Jaminan Sosial dan 2 (10,5%) tidak memberi jawaban. Terkait layanan modal, dari 19 (100%) responden, 10 (52,6%) mengaku bisa mendapat akses ke layanan modal. 4 (21,1%) mengaku tidak dapat mengakses layanan modal. 5 (26,3%) tidak memberi Jawaban. Terkait tempat ibadah, Dari 19 responden, 19 (100%) responden mengaku ada tempat khusus untuk melakukan ritual kepercayaannya.
Apakah anda memiliki kartu jaminan sosial (KIS, KIP, BPJS)? 10,5% 15,8% 73,7%
Punya
Tidak Punya
Tidak memberikan jawaban
APAKAH ANDA DAPAT MENGAKSES LAYANAN MODAL/KREDIT DI BANK/KOPERASI/CU? 52,6%
21,1%
Ya
Tidak
26,3%
Tidak Memberi jawaban
Apakah ada tempat khusus untuk melakukan ritual kepercayaan anda di sekitar anda tinggal? 120%
100%
100% 80% 60% 40% 20%
0%
0%
Tidak
Tidak memberi jawaban
0% Ya
Series1
Seperti telah disampaikan di awal bahwa dampak dari Putusan MK bagi penghayat adalah peningkatan kepercayaan diri untuk menyatakan dan mengekspresikan diri sebagai penghayat. Rasa kepercayaan diri tersebut tersebut tentu berpengaruh dalam sosialisasi dan interaksi sosial, yang pada gilirannya berdampak pada sikap penerimaan masyarakat luas, non penghayat. Penerimaan positif dari masyarakat sekitar telah dirasakan oleh penghayat di Medan. Narasumber dari penghayat menjelaskan bahwa di antara faktor yang meningkatkan pengerimaan masyarakat adalah melalui pendekatan budaya. Dicontohkan bahwa seorang warga UBB menyediakan rumahnya sendiri sebagai Sanggar Aksara Batak Toba dan Sanggar Tari bagi anak-anak, baik penghayat maupun warga sekitar non-penghayat. Selain itu, warga penghayat juga aktif melibatkan diri dan mengikuti kegiatan yang dikelola oleh kelompok non-penghayat, terutama yang di sekitar mereka berdomisili. Dicontohkan juga seorang warga penghayat yang ikut terlibat dalam Serikat Tolong Menolong (STM) Kristen. Karena keterlibatan semacam itu dianggap penting dan efektif dalam membangun sikap penerimaan masyarakat, warga penghayat yang dimaksud terus bertahan sekalipun misalnya di awal-awal dituduh sesat. Dia terus bertahan, membangun pertemanan dan sambil mensosialisasikan identitas diri dan kepercayaannya. Hasilnya, identitas diri dan kepercayaan akhirnya diterima baik. Faktor lain yang penting dicatat adalah kelompok penghayat di Medan sudah terorganisir dengan baik sehingga mereka lebih matang dalam hal konsolidasi internal. Informasi positif terkait penerimaan seperti baru saja diuraikan tentu saja tidak berarti bahwa isu penerimaan penghayat di Medan sudah selesai. Nada kritis yang disampaikan oleh seorang guru besar Antropolog Unimed patut dipertimbangkan. Menurutnya, Putusan MK yang belum diikuti oleh perubahan kebijakan belum merubah apa-apa, termasuk dalam pelayanan. Narasumber mencontohkan bahwa Putusan MK tersebut bahkan tidak berdampak sama sekali di universitas tempat dia mengajar. Lebih lanjut, menurutnya, untuk sebuah penerimaan sejati,
seharusnya sudah dibentuk Dirjen Agama Leluhur di Kementrian Agama. Narasumber bahkan mengusulkan agar yang menjadi dirjen (agama leluhur) adalah dari kalangan penganut Agama Leluhur. Selain itu, narasumber memberi motivasi kepada penghayat bahwa mereka harus didorong untuk lebih trampil menuntuk haknya, berperan aktif secara politis, misalnya menjadi kepala lingkungan. Pendekatan budaya yang mendorong kemandirian penghayat perlu dibarengkan dengan pendekatan politis yang akan mengagregasi kepentingan menjadi sebuah kebijakan yang pro penghayat agama leluhur. Demikian yang dibutuhkan untuk penguatan kelompok penghayat kepercayaan. Kabupaten Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur Sebelum respon dan persepsi pemangku kepentingan terkait Putusan MK diuraikan,
BAGAIMANA REAKSI AWAL ANDA TERHADAP PUTUSAN MK?
berikut adalah respon warga penghayat Marapu di Sumba. Sebagian besar warga penghayat
Marapu
sudah
97,1% 2,3%
mengetahui
0,0%
0,0%
0,6%
Putusan MK, sekalipun jumlah mereka yang BAGAIMANA DAMPAK PUTUSAN MK TERHADAP PRIBADI ANDA? 82,2%
10,3%
0,0%
0,0%
3,4%
4,0%
tidak mengetahui saat penelitian ini dilakukan cukup signifikan. Perbandingannya 37 persen (104 dari 278 responden) yang tidak mengetahui Putusan MK sebelumnya. Mereka yang telah mengetahui Putusan MK (174 responden) umumnya merasa senang dan sesuai dengan yang mereka harapkan: mereka mendapatkan pengakuan dan perlindungan agar bebas mengekspresikan diri sesuai identitasnya, dan juga jaminan akan pelayanan hak-hak dasar mereka sebagai warga negara dari negara. Sebagian kecil (2,3 persen, atau 6 dari 174 responden) menganggap biasa-biasa saja, atau bahkan menganggap tidak sesuai harapan (10 dari 174 responden, atau 5,7 persen. Mereka, yang senang, pun mengaku menjadi lebih percaya diri (143 responeden, atau 82,2%), dan semakin terbuka dan ekspresif (18 responden, atau 10,3%).
Sektor Kebijakan Setelah Putusan MK, pihak pemerintah setempat (pemkab) belum mengeluarkan kebijakan apapun terkait kelompok pengahyat kepercayaan atau sebagai tindak lanjut dari Putusan MK. Pihak pemerintah lokal, sebagaimana di tempat lain, berharap segera dikeluarkan semacam Surat edaran, Petunjuk Pelaksanaan (Juklak), dan Petunjuk Teknis (Juknis) oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kementrian Dalam Negeri sebagai landasan hukum dalam pelayanan. Tanpa itu, pihak pemkab tidak dapat berbuat banyak. Pendeta Yulius Djara (Ketua BPMJ Jemaat GKS Waingapu / Sekretaris FKUB Kabupaten Sumba Timur) menanggapi Putusan MK dengan mengatakan bahwa Putusan MK menghebohkan di kalangan masyarakat, tetapi tidak bagi dirinya. Dia mengapresiasi Putusan MK karena dengan putusan tersebut identitas Marapu telah diakui secara hukum, dan karenanya macam-macam pelayanan mestinya sudah dapat mereka peroleh. Pengakuan negara terhadap eksistensi dan hak-hak Marapu melalui putusan tersebut harus dijaga bersama. Itu adalah kebijakan negara dalam bingkai dasar Pancasila yang tidak bisa ditolak oleh dirinya dan Lembaga Gereja yang dipimpinnya. Sang pendeta mempersilah pencatatan Marapu di KK dan KTP sebagai bentuk pengakuan bahwa Marapu ada, dan mereka adalah warga Sumba. Bahkan, Marapu identik dengan Sumba. Marapu adalah Sumba dan Sumba adalah Merapu, kata pendeta. Hanya saja, menurut narasumber, kebijakan itu tampaknya akan berdampak pada orang pindah agama/kepercayaan (misalnya, orang Marapu yang tadinya Kristen, lalu Putusan MK mengakui kepercayaan, lalu orang Marapu tersebut pindah kepercayaan Marapu dan meninggalkan Kristen). Narasumber mengingatkan agar dalam memilih agama/kepercayaan harus tulus. Narasumber menambahkan terkait pencatatan Marapu di (kolom agama) KK/KTP bahwa tampaknya tidak bisa langsung dicatatkan. Alasannya, menurutnya, adalah Marapu adalah kepercayaan, bukan agama. Tetapi dia pun dapat memahami jika pemerintah menghendakinya, karena pada dasarnya semuanya (terkait pencatatan adminduk) adalah masalah politik saja. Lebih jauh, narasumber menasehati bahwa semua perdebatan yang ada perlu dikembalikan pada konsep-konsep kebaikan dan kerukunan hidup bersama. Karena keselamatan manusia di akhirat tergantung pada perbuatan manusia di dunia, dan keimanannya terhadap siapa juru selamat dalam konsep ketuhanannya. Narasumber menambahkan, perdebatan juga perlu dikembalikan pada kesatuan umat dalam NKRI, dan semua hal itu masuk dalam konsep keagamaan dalam semua agama. Narasumber lain dari pihak gereja adalah Pendeta Herlina Ratu Kenya (Anggota Peruati –Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia- Mitra Gereja PGI. Tokoh Agama PGI tersebut menyampaikan pandangan keagamaan yang progresif. Menurutnya, warga gereja
menyikapi Putusan MK masih terperangkap dengan teologi lama yang tidak kontekstual. Lembaga gereja belum memberi kesempatan kepada Marapu untuk mengekspresikan keyakinannya. Gereja masih melihat Marapu sebagai objek pengabaran injil dengan teologi lama (tidak kontekstual). Gereja harusnya menyesuaikan diri dengan hukum negara (teologi kontekstual): keadilan dan kesejahteraan sesama warga negara. Prinsip kemanusiaan harus masuk dalam pengabaran Injil. Pengabaran Injil yang dialogis yang menekankan pada kesadaran, bukan manipulasi dan menstigma objek penginjilan. Perkabaran Injil yang hanya mau mengagamakan orang harus ditolak. Narasumber menceritakan pengalaman pribadi terkait pengabaran Injil terhadap warga Marapu dimana orang Marapu harus memilih agama (Kristen). Orang Marapu dianggap sesat dan karenanya harus dibawa ke jalur terang dengan dalih hukum dan filsafat. Orang Marapu terjajah. Hingga saat ini, Gereja masih menganggap komunitas penghayat seperti Marapu sebagai objek penginjilan, dan menurut narasumber, hal ini sudah terjadi sejak tahun 1881 ketika masa Van Den En. Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kristen Sumba harus menjadi dapur teologi, mengembangkan perihal media-media dan metode-metode apa yang bisa menjadi jembatan kemanusiaan. Itu tantangan gereja dalam merespon putusan MK. Narasumber menyampaikan bahwa di antara tokoh agama (pendeta, anggota FKUB) masih ada yang menolak Putusan MK. Keputusan MK harus dilihat sebagai wujud jaminan negara terhadap perlindungan HAM, kebebasan memilih kepercayaan sesuai konstitusi. Peserta FGD sepakat bahwa pencatatan Penghayat kepercayaan Marapu di kolom agama di KTP-el sangat penting untuk pengakuan identitas. Namun pencatatan tersebut belum bisa dilakukan karena belum ada aturan lanjutan dari Putusan MK, seperti surat edaran, Petunjuk Pelaksanaan (Juklak), dan Petunjuk Teknis (Juknis). Semua pihak menunggu Kemendagri untuk segera mengeluarkan aturan terkait impelementasi amar Putusan MK. Beberapa hal penting diperhatikan terkait pencatatan kepercayaan di KTP-el. Untuk efektiftias implementasi Putusan MK, singkronisasi aturan atau regulasi harus dilakukan untuk mengatasi berbagai aturan yang hingga hari ini masih terdapat saling tumpang tindih. Hal tersebut mencakup kejelasan pencatatan kolom agama/kepercayaan dan berbagai implikasinya. Peserta FGD bahkan memandang bahwa untuk mengatasi kompleksitas masalah yang dialami penghayat, diperlukan adanya UU khusus: Ada kebutuhan UU untuk Penghayat Kepercayaan sendiri di luar peraturan perundang-undangan yang sudah ada tentang agama. Hanya dengan UU khusus penghayat tersebut masalah penghayat dapat teratasi secara cepat dan tuntas secara total. Saat ditanya terkait Putusan MK, Toda Lero, seorang rato dari Komunitas Marapu Rumat Desa Bodomoroto, Sumba Barat berharap agar penyebar-luasan (sosialisasi) Putusan MK segera dilakukan ke semua kalangan. Narasumber menyarankan agar para Rato dan LSM Donders langsung berkordinasi dengan para kepala desa yang berada di wilayah Loli Atas, untuk kemudian disosialisasikan ke masyarakat di desa masing-masing. Atau, lanjut narasumber, Rato
dan para tetua adat dapat langsung mengadakan sosialisasi di kampungnya masing-masing. Biasanya, untuk meminta pandangan para leluhur terkait dengan apa yang harus dilakukan pada masa yang akan datang, dilakukan ritual tertentu. Untuk kasus ini, cara adat seperti itu juga dapat dilakukan. Narasumber lain dari tokoh agama Katolik, Romo Oris dari Keuskupan Weetabula, Kabupaten Sumba Barat Daya menyampaikan bahwa Putusan MK tersebut belum didiskusikan di keuskupan. Oleh karena itu, gereja belum memiliki program apapun terkait penghayat kepercayaan, termasuk khususnya orang Marapu. “Jangankan orang Marapu, umat Katolik sendiri saja masih ada yang belum terlayani”, unkap Romo. Akan tetapi, selama ini, lanjut Romo Oris, orang Marapu adalah bagian dari agenda kerasulan keuskupan: ajaran Katolik disampaikan kepada orang Marapu, dan mereka bebas memilih apakah menerima ajaran atau bertahan pada ajaran Marapu. Kebanyakan sudah menerima dan menjadi jamaat. Mereka (orang tua Marapu) yang bertahan dengan keyakinannya kebanyakan tinggal di kampung-kampung. Di antaranya menjadi Rato. Sebagiannya adalah simpatisan Katolik. Mereka membebaskan anaknya dibaptis, sekalipun mereka tetap Marapu. Menanggapi isu di atas, Yeremias Ndapar Doda, Kepala Dispendukcapil Kabupaten Sumba Barat menjelaskan bahwa pemerintah selama ini cukup dalam mensosialisasikan eksistensi Marapu sebagai komunitas penghayat kepercayaan. Dia menjelaskan bahwa di setiap awal dan akhir acara, pihaknya selalu menambah satu “salam”, yaitu “salam budaya” untuk menghormati dan mengakui keberadaan Penghayat. Selain itu, salam nasional, seperti “salam pancasila” juga ditambahkan. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga eksistensi dan kelestarian Marapu. Pihaknya, lanjut narasumber, bahkan selalu memberikan penyadaran kepada warga Marapu bahwa mereka pada dasarnya memiliki kontribusi penting terhadap pendapatan asli daerah, misalnya melalui program pariwisata. Narasumber menunjukkan festival Pasola dan Podu di Lamboya Induk dan Lamboya Barat misalnya sebagai contoh kontribusi orang Marapu. Sektor Pelayanan Sebagai sebuah kebijakan, Putusan MK diharapkan untuk diimplementasikan dalam
SEPENGETAHUAN ANDA SETELAH PUTUSAN MK, ADAKAH HAL YANG DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAYANAN?
bentuk pelayanan pemerintah terhadap warga penghayat kepercayaan. terkait dengan itu, respon warga Marapu dapat dilihat melaui
66,7% 29,3% 4,0%
data survey seperti berikut: Tidak ada
ada
tidak menjawab
Dari 174 responden warga Marapu yang mengetahui adanya Putusan MK, 116 (66,7%) mengakui bahwa pemerintah telah melakukan beberapa hal terkait pelayanan, tetapi
51
Apakah ada perubahan layanan oleh Pemerintah Daerah sebelum dan sesudah Putusan MK?
responden (29,3%) menyatakan tidak ada.
2,9%
Selalin itu terdapat 7 (4%) responden yang tidak menjawab pertanyaan. Respon serupa juga
didapatkan
terkait
30,5%
perbandingan
66,7%
pelayanan pemerintah pra dan pasca Putusan MK.
Dari
174
(100%)
responden
yang
mengetahui Putusan MK, 116 (66,7%) mengaku
Ya Tidak
melihat adanya perubahan layanan oleh
pemerintah daerah sebelum dan sesudah Putusan MK. 53 responden (30,5%) mengaku tidak melihat adanya perubahan dan 5 responden (2,9%) tidak menjawab pertanyaan. Terkait
dengan
pelayanan
pemerintah, berikut adalah isu yang muncul di Sumba Timur. Pertama masalah
KTP.
responden,
Dari
155
174
(89,1%)
(100%) mengaku
KTPnya belum mencantumkan status kepercayaan.
14
responden
(8%)
Agama yang tercantum dalam KTP Responden
70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
57,6%
23,7% 0,0%
5,8%
11,9% 1,1%
0,0% 0,0% 0,0%
mengaku bahwa di KTPnya sudah mencantumkan kepercayaan, dan 5 (2,9%) tidak menjawab pertanyaan. Dari 278 (100%) responden
Apakah dalam dokumen KTP anda, sudah dicantumkan Status Kepercayaan anda ?
2,9%
warga Marapu di Sumba, 160 responden
8,0%
(57,6%) mengaku KTPnya tercantum (-)
89,1%
di kolom agama. 33 responden (11,9%) mengaku bahwa KTPnya tercatat dengan Kristen. 16 responden (5,8%) mengaku KTPnya tercantum Katolik, dan 3 (1,1%) menjawab
lain-lain.
Sementara
66
Ya
Tidak
tidak memberikan jawaban
Apakah dalam dokumen KK anda, sudah dicantumkan Status Kepercayaan anda ?
21,3%
responden (23,7%) tidak menjawab
1,1%
pertanyaan. 77,6%
Ya
tidak
Tidak Memberikan Jawaban
Kedua, masalah Kartu Keluarga. Dari 174 (100%) responden, 135 (77,6%) responden mengaku dokumen KK mereka telah mencantumkan status kepercayaan. 37 (21,3%) responden mengaku KK mereka belum mencantumkan status kepercayaan. 2 responden (1,1%) tidak memberi jawaban. Terkait dengan pengurusan KK, warga Marapu dimintai keterangannya. Dari 174 (100%) responden, 115 responden (66,1%) mengaku saat mengurus KK, pemerintah
menyarankan
mereka
untuk memilih salah satu agama yang diakui. 56 responden (32,2%) mengaku pemerintah melayani mereka untuk pencantuman
kolom
BAGAIMANA PENGALAMAN ANDA MENGURUS DOKUMEN KK TERKAIT PENGISIAN KOLOM AGAMA/KEPERCAYAAN?
kepercayaan.
66,1%
32,2% 0,0% Pemerintah melayani pencantuman kolom kepercayaan
Pemerintah menyarankan memilih salah satu Agama yang diakui
1,7%
Pemerintah tidak memberi menyarankan jawaban mengosongkan ( - ) kolom Agama
Sementara 3 responden (1,7%) tidak memberi jawaban. Ketiga adalah terkait pencatatan
Apakah pernikahan anda tercatat?
pernikahan, warga Marapu memberi keterangan sebagaimana ditunjukkan
9,2%
7,5% 83,3%
oleh data survey bahwa dari 174 (100%) responden, 145 responden (83,3%) mengaku pernikahannya tercatat. 16 responden
(9,2%)
mengaku
tidak Tercatat
tercatat dan 13 responden (7,5%) tidak
Tidak Tercatat
Tidak memberi jawaban
menjawab pertanyaan (belum menikah). Bagaimana proses pencatatan akta lahir anak anda ?
Terkait dengan pencatatan pernikahan adalah
pencatatan
akta
lahir.
Berdasarkan data survey, dari 145 (100%) responden yang telah menikah, 98 responden (67,6%) mengaku akta lahir anaknya hanya mencantumkan nama
ibu.
mengaku
44
responden
(30,3%)
akta
lahir
anaknya
80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
67,6%
30,3%
Tercantum Tercantum nama bapak hanya nama dan ibu ibu
0,0%
2,1%
Tidak ada akta lahir
Tidak memberi jawaban
mencantumkan nama ayah dan ibu. Sementara 3 responden (2,1%) tidak menjawab pertanyaan. Paparan data survey di atas menunjukkan kompoleksitas isu pencatatan sipil yang dialami oleh penghayat Marapu. Merespon fakta tersebut, Dispendukcapil menerangkan bahwa memang selama ini terdapat berbagai kendala yang dihadapi dalam pelayanan terhadap penghayat. Di antara kendala utamanya adalah regulasi itu sendiri. Tetapi terlepas dari itu, pihak Dispendukcapil telah melakukan beberapa hal, dan salah satunya adalah sistem pelayanan yang
dapat disebut “inovatif”. Sistem pelayanan yang “inovatif” dipraktikkan oleh Dispendukcapil untuk warga penghayat Merapu. Diceritakan bahwa pihaknya telah melakukan pelayanan terhadap warga penghayat Marapu yang tidak hanya memudahkan, tetapi juga inovatif. Misalnya, seorang warga Marapu mengajukan satu (1) permohonan dokumen, seperti pengurusan akta lahir, pihak Dispendukcapil sekaligus memproses dan menerbitkan KK, kartu nikah, dan seterusnya. Narasumber menyebutkan adanya inovasi pelayanan adminduk seperti 3 in 1, 5 in 1, dan 7 in 1: 1 permohonan dokumen, 7 dokumen diterbitkan. Sistem pelayanan yang inovatif ini didasarkan pada Peraturan Daerah (Perda) tentang Pelayanan Publik. Jadi, Dispendukcapil sudah terhubung dengan dengan BPJS dan Dinas Pendidikan dalam hal data adminduk. Hanya saja diakui oleh narasumber Dispendukcapil OPD-OPD lain di Kabupaten Sumba Timur belum ada meminta data kepada pihaknya. Sekali lagi, pihak Dispendukcapil menegaskan bahwa inovasi tersebut dilakukan untuk memudahkan pelayanan. Selama tidak melanggar aturan, pihaknya akan lakukan untuk memudahkan pelayanan. Terlepas
dari
sistem
pelayanan
yang
inovatif,
pihak
Dispendukcapil
juga
menginformasikan bahwa sebagian penghayat Marapu di Sumba Timur belum mengurus dokumen adminduknya. Penyebabnya adalah jarak atau kondisi geografis. Pihaknya telah melakukan sistem jemput bola, tetapi saja belum semuanya terjangkau. Terkait dengan pencatatan sipil, Dispendukcapil menyampaikan akan pentingnya integrasi data. Pihaknya saat ini sedang mempersiapkan pengintegrasian data baru, “satu data”. Diinternal Dispendukcapil sendiri sedang diupayakan bangunan mindset para staf petugas terkait basis data dan penggunaan teknologi informasi. Tokoh agama (pendeta) menyampaikan bahwa di Sumba Timur, warga masih mengkhawatirkan akan adanya paksaan terhadap warga Marapu untuk memilih agama atau kepercayaan dengan pertimbangan akses pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Warga penghayat, pemerintah daerah dan masyarakat umum perlu memahami kebijkana baru (putuasn MK). Terkait hal di atas, Yasalti, CSO yang selama ini mendampingi warga penghayat Merapu, bersama Dispendukcapil diminta untuk mensosialisasikan Putusan MK agar pemahaman atas kebijakan merata kesemua lapisan, dan sosialisasi tersebut harus menekankan adanya jaminan kebebasan memilih kepercayaan bagi warga Merapu. Permintaan narasumber terhadap Yasalti patut dicatat karena yang demikian itu merupakan kredit khusus atas peran yang telah dimainkan selama ini dalam melakukan pendampingan terhadap warga Merapu. Kredit yang sama juga diberikan oleh Dispendukcapil setempat. Pihak Dispendukcapil secara khusus menyampaikan bahwa kerjasama dengan Yasalti selama ini sangat membantu Dispendukcapil dalam pelayanan. Yasalti mendorong terbentuknya organisasi Marapu, dan setelah terbentuk, penerbitan dokumen kependudukan dan catatan sipil semakin mudah dilakukan oleh Dispendukcapil. Belajar dari kerjasama dengan Yasalti, pihak Dispendukcapil berkomitmen
untuk menggunakan semua jaringan mitra untuk meningkatkan pelayanan secara kuantitas dan kualitas, termasuk dalam hal menjangkau warga yang sulti terjangkau. Pihaknya yakin akan dapat mengoptimalkan anggaran untuk pelayanan dengan adanya kerjasama tersebut. Lebih jauh, Pihak Dispendukcapil menegaskan bahwa kerjasama dengan LSM seperti Yasalti perlu lebih dipererat, agar lebih strategis melalui “perjanjian kerjasama” atau MoU dan diterjemahkan dalam program kegiatan, pembagian peran, saling memberikan informasi untuk pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Sementara di Sumba Barat, Pihak Dispendukcapil Kab. Sumba Barat menjelaskan bahwa pelayanan terhadap Hak-Hak Sipil bagi Penghayat Kepercayaan sudah berjalan, dan tetap akan berjalan, termasuk dalam hal pencatatan identitas mereka dalam pencatatan sipil, sekalipun hanya di KK, tetapi tidak di KTP-el. Alasannya sekali lagi karena aturan yang ada saat ini. Di KK, pencatatan kepercayaan dapat dilakukan karena karena dalam formulir KK terdapat pilihan tentang agama dan kepercayaan. sementara di KTP belum ada. Sistem Informasi Administrasi Kependudkan (SIAK) tersebut harus segera diperbaiki dan dibenahi, tegasnya. Pihaknya kemudian menyampaikan bahwa aturan turunan (SE, Juklak, dan Juknis) mestinya segera dibuatkan menindak-lanjuti Putusan MK. Narasumber menegaskan bahwa pihaknya siap melaksanakan jika ada juklak/juknis untuk e-KTP. Selain itu, untuk efektifitas pelayanan, singkronisasi aturan perlu dilakukan. Narasumber misalnya menyebutkan pentingnya revisi revisi UU adminduk, kejelasan pencatatan kolom agama/kepercayaan, dan kejelasan penyebutan kepercayaan pada Formulir F101 untuk kolom agama. Pernyataan yang persis sama disampaikan oleh Kepala Dispendukcapil Kab. Sumba Barat Daya. Menurutnya, sebagai ujung tombak (pelaksana pelayanan di tingkat daerah), pihaknya hanya melaksanakan sesuai aturan, dan terkait dengan Putusan MK, pihaknya juga hanya menunggu bagaimana aturan turunannya. Jika aturannya jelas, Dinas siap melaksanakannya. Terlepas dari itu, Yeremias Ndapar Doda, Kepala Dispendukcapil Kabupaten Sumba Barat menyampaikan bahwa pihaknya telah berusaha secara aktif memberi pelayanan kepada warga Marapu, komunitas penghayat kepercayaan. Dia mencontohkan, sejak tahun 2018, Dipendukcapil telah mempraktikkan sistem jemput bola dalam perekaman KTP, dan telah menjangkau 20 desa. Dari hasil perekamannya, dijelaskan bahwa berdasarkan data terakhir dalam SIAK, jumlah Marapu di Kabupaten Sumba Barat Daya adalah 11.337 jiwa atau 9% dari total penduduk. Ditambahkan bahwa dalam pengurusan dokumen Kartu Keluarga, persyaratan yang harus dipenuhi oleh warga Marapu pada dasarnya sama dengan yang harus dipenuhi oleh penganut agama. Hanya saja, untuk kemudahan atau sebagai bentuk pembelaan terhadap warga Marapu, mereka tidak dimintai bukti perkawinan oleh Dinas. Alasannya, di Kabupaten Sumba Barat belum ada kelembagaan Marapu yang dapat menjalankan fungsi imam menikahkan pasangan Marapu dan menerbitkan berita acara penikahan pasangan Marapu. Jika persyaratan tersebut
diterapkan kepada warga Marapu, tentu warga Marapu akan kesulitan mendapatkan KK. Terkait pengurusan KK, pihak Dispendukcapil menambahkan bahwa pihaknya terus berusaha meyakinkan warga Marapu untuk tidak ragu, tetapi yakin mengisi kolom (agama) sesuai keyakinan mereka, yang dalam praktiknya hingga saat ini dikosongkan. Pihkanya bahkan sering meminta pihak pendeta, pastor dan ustadz untuk tidak mempengaruhi penghayat. Menanggapi penjelasan pihak Dispendukcapil, Toda Lero, seorang rato Komunitas Marapu Rumat Desa Bodomoroto, Sumba Barat, melaporkan bahwa sebagian warga Marapu memang sudah menulis aliran kepercayaan dengan disingkat AK (aliran kepercayaan) di KK, tetapi oleh petugas justru dituliskan agama Kristen. Dia menambahkan, pernah juga petugas pendataan dari pemerintah datang untuk survey lalu menakut-nakuti warga kampung dan rato agar menuliskan agama Kristen. Jika tidak, katanya, dokter di rumah sakit tidak akan menerima atau melayaninya. Warga Marapu pun merasa terpaksa menuliskan agama Kristen dalam berbagai formulir pelayanan dari pemerintah. “Mau tidak mau, kita terima jadi Kristen, karena kita takut tidak diterima sama dokter di rumah sakit kalau sakit”, jelas narasumber. Pengalaman yang berbeda dialami oleh warga Marapu di Sumba Barat Daya. Di daerah tersebut, kebanyakan, jika tidak semua, warga Marapu mengisi kolom agama di KTP dengan Kristen atau Katolik, kecuali mereka yang sudah tua. Menurut Dispendukcapil, pihaknya hanya mengikuti kemauan warga, dan hingga saat ini, diklaimnya, tidak ada keluhan dari warga terkait pelayanan adminduk, kesehatan, dan pendidikan. Dalam pengisian formulir F1.01 kolom dan baris ke -7 tentang agama dan/atau kepercayaan misalnya, selama ini tidak ada yang kosong atau strip (-), tetapi yang diisi dan dipilih adalah “lain-lain”. Belum pernah ditemukan dokumen yang menyatakan seseorang penghayat kepercayaan. Yang ada adalah Kristen atau Katolik. Terkait fakta tersebut, Kepala Dispendukcapil Kab. Sumba Barat Daya menyampaikan bahwa sekalipun jumlah warga Marapu di Sumba Barat Daya mencapai lebih 7000an atau belasan ribu jiwa, tetapi Marapu pada dasarnya sudah mendekati kepunahan, karena sekarang tinggal yang tua-tua, sedangkan anak-anaknya sudah menjadi Kristen semua. Di antara mereka adalah penjaga rumah adat, pelaksana ritual adat, tetapi mereka juga ke gereja pada hari Minggu. Hal senada disampaikan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kab. Sumba Barat. Diceritakan bahwa banyak orang Marapu yang menjadi pejabat di pemerintah, polisi, dan tentara, tetapi mereka sudah dibaptis, sekalipun tetap Marapu dan tidak ke gereja. Terkait akta kelahiran, di Sumba Barat Daya, disampaikan oleh Asterius Ngongo Dairo, Kepala Dispendukcapil setempat, semua warga, baik yang beragama maupun warga Marapu, diberi pelayanan sesuai aturan yang ada. Hanya saja, rata-rata anak Marapu sudah Kristen saat pengurusan akta kelahiran, sekalipun mereka yang tinggal di rumah adat di Kampung Situs, atau orang tuanya Marapu.
Sementara tentang pernikahan, di tiga kebupaten (Sumba Barat, Sumba Barat Daya, dan Sumba Tengah), pencatatan pernikahan (adat) orang Marapu belum dilakukan. Alasannya secara umum ada dua. Pertama adalah regulasi yang ada tidak jelas, tidak tegas dan tumpang tindih. Yeremias Ndapar Doda, Kepala Dispendukcapil Kabupaten Sumba Barat, misalnya mencontohkan UU No.1/74 tentang Perkawinan yang kontradiktif dengan Perpres 25/2008 pasal 51 dan 52 dimana diwajibkan untuk melampirkan bukti nikah sebagai bukti perkawinan. Terkait itu, Permendagri No.9/2016 yang mengatur tentang SPTJM harus disingkronkan dengan UU No.24/2013 dan tentu saja putusan MK. Kedua adalah kelembagaan Marapu. Hingga saat ini, organisasi Marapu belum terbentuk dan tentu saja belum teregistrasi. Pihak pemerintah pada dasarnya sudah menfasilitasi pembentukan organisasi Marapu, tetapi hingga saat ini masih dalam proses. Pihak pemerintah menyarankan bahwa warga Marapu perlu membentuk organisasi dan mendaftarkannya ke Direktorat
Penghayat Kepercayaan TYE dan Tradisi,
termasuk memenuhi persyaratan pernikahan (adat) Marapu. Untuk hal tersebut, LSM memiliki peran penting untuk membantu dan mengadvokasi warga Marapu. Atau, warga Marapu di tiga kabupaten tersebut membangun komunikasi dengan warga Marapu yang ada di Sumba Timur yang sudah berorganisasi. Jika warga Marapu di tiga kabupaten tersebut dapat “bernaung” dalam organisasi Marapu di Sumba Timur, pernikahan (adat) mereka secara administrasi mestinya dapat terlayani. Kemudian di sektor pendidikan, Romo Oris, seorang tokoh agama dari Keuskupan Weetabula, Kabupaten Sumba Barat Daya, menginformasikan bahwa semua anak Marapu yang sekolah pasti memilih agama, Katolik atau Protestan. Dinas Pendidikan Kab. Sumba Barat menambahkan bahwa ketika anak Marapu masuk atau lanjut sekolah, mereka dibaptis. Toda Lero, seorang rato Komunitas Marapu Rumat Desa Bodomoroto, Sumba Barat, menjelaskan bahwa anak-anak di Bodomoroto yang sekolah disarankan oleh guru mereka mengisi (atau memilih) salah satu agama, bukan Marapu, untuk pendidikan agama (bukan pendidikan kepercayaan). Akibatnya, anak-anak sebenarnya masih Marapu, tetapi mereka sudah sangat sulit menerima ajaran Marapu. Rato Toda Lero kemudian menyampaikan keprihatinannya terhadap persoalan regenerasi Marapu: Bagaimana caranya anak-anak mereka bisa tahu dan mau tetap menjadi Marapu. Adat turun bibit dan turun sawah sudah banyak dilupakan. Dia pun berharap, boleh saja anak-anak sekolah tinggi, agama apapun mau dipeluk ok saja, yang penting budaya dan agama Marapu jangan dilupakan, tetapi terus dilestarikan. Dahulu kala, Rato mengenang, swadaya masyarakat di Desa Loli Atas sangat tinggi untuk membangun fasilitas publik, seperti kantor desa, sekolah, rumah sakit, dan lain-lainnya. Saat masih kecil, fasilitas publik itu masih semuanya terbuat dari rumah alang dan bambu. Sangat sedikit yang jadi Kristen, dan sebagian besarnya adalah Marapu asli. Dia melanjutkan bahwa kondisi rumah pamali sudah buruk semua, dan hutan-hutan sudah jadi kawasan lindung. Hasil hutan sudah tidak bisa lagi mereka
manfaatkan. Kayu lapale yang jadi tiang induk, kayu masela, ulukataka, manera, dan juga mapokdu, serta kayu-kayu keras lainnya, semuanya tidak lagi dapat mereka ambil untuk memenuhi kebutuhan mereka. Alasannya karena hutan sudah jadi kawasan konservasi. Orang Marapu makin tersisih. terdapat warga Marapu yang menjadi pegawai perangkat desa di Desa Loli Atas. Namun, Rato menyatakan, sebagian besar dari mereka tidak lagi Marapu 100%. Mereka sudah menjadi Kristen. Menanggapi keresahan Rato, Sairo Umbu Awang, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sumba Barat, menegaskan, pemerintah berkewajiban memberi palayanan pendidikan secara setara kepada semua warga negara, tak terkecuali kepada warga penghayat kepercayaan. Hingga saat ini, memang belum ada kurikulum pendidikan penghayat bagi Marapu. Ada yang berpendapat bahwa muatan lokal (mulok) dapat menfasilitasi pengajaran tentang Marapu, tetapi faktanya hingga saat ini muatan lokal hanya terkait keterampilan budaya lokal, dan belum ada terkait pendidikan kepercayaan. Tenaga pendidik untuk mulok selama ini hanya ditunjuk dari salah satu guru dianggap memahami budaya lokal Marapu. Pernah diwacanakan untuk pembuatan kamus Marapu, tetapi sampai sekarang pun belum ada penganggarannya. Kepala Dinas selanjutnya mengusulkan pembentukan dan pengembangan “sekolah Marapu” (semacam lembaga/rumah adat) yang nantinya membuat program dokumentasi warga penghayat dan sejarah dan ajaran kepercayaan atau ilmu Marapu. Lembaga ini juga nantinya mempersiapkan dan menyediakan materi pendidikan kepercayaan/Marapu. Senada denga itu, pendeta Oktavianus Umbuwatju, tokoh agama Sumba Tengah, menegaskan bahwa akan sangat fatal jika kurikulum untuk Pendidikan Kepercayaan diterjemahkan dan diterapkan untuk warga Marapu tanpa pendokumentasian historisitas peradaban dan Ilmu Marapu terlebih dahulu. Dia melanjutkan, penulisan sejarah Marapu yang merangkum geneologi Marapu, bahasa, ilmu pertanian dan perbintangan, ritual, kesusasteraan, serta struktur masyarakatnya sangat diperlukan, yang tujuannya bukan hanya sekedar untuk memahami bahwa Marapu eksis, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa Marapu adalah sebuah peradaban. Dengan dokumentasi sejarah dan ilmu Marapu tersebut, siapapun diharapkan tidak lagi secara sembarangan menggunakan istilah akulturasi atau inkulturasi dengan sekedar menyebut Marapu tanpa bukti riil terkait keMarapu-an. Kembali ke masalah sosialisasi Putusan MK, menanggapi permintaan tokoh agama di atas, C.W. Ivoni Supusepa (Kepala Bidang Administrasi Kependudukan, Dispendukcapil Kabupaten Sumba Timur) menyampaikan bahwa kendala sosialisasi hingga saat ini adalah sumber daya manusia dari masyarakat. Mereka, dikatakannya, sulit memahami dan menyadari pentingnya penerbitan dokumen-dokumen adminduk-capil. Selain SDM, sarana-prasarana juga dikeluhkan pihak Dipendukcapil. Dukungan pemerintah pusat dalam bentuk anggaran masih sangat dibutuhkan untuk meningkatkan pelayanan, khususnya sarana dan prasarana layanan seperti
mobil keliling, karena anggaran daerah kurang dan terbatas untuk menjangkau desa-desa yang jauh dari kabupaten. Disampaikan pihak Dispendukcapil bahwa hingga saat ini, sembilan (9) kecamatan yang dipastikan sudah mendapatkan sosialisasi Putusan MK/97, dan selainnya belum. Alasannya, menurut narasumber, adalah kondisi geografis yang jauh dan ketersediaan sarana prasaran yang tidak memadai. Narasumber menyampaikan, pihaknya dalam melakukan sosialisasi Putusan MK sangat terbantu oleh keberadaan organisasi Marapu di Sumba Timur yang pembentukannya difasilitasi oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sumba Timur. Sembilan (9) Kecamatan dimaksud sebelumnya masing-masing memiliki cabang organisasi Marapu. Dengan keberadaan cabang organisasi Merapu, Dispendukcapil sekali lagi terbantu mengadakan pembekalan kepada para tokoh Marapu. Narasumber penghayat menimpali bahwa kapasitas organisasi Marapu tetap perlu ditingkatkan. Pengadaan kantor sekretariat pengurus Marapu di tingkat kabupaten saat ini diperlukan karena kebutuhannya sudah kongkrit misalnya perlunya menfasilitasi kordinasi antara cabang yang tersebar di 9 kecamatan, dan juga sebagai pusat inforamsi penghayat, khusus terkait kebijakan baru yang ada di kabupaten atau level di atasnya. Selain sekretariat di level kabupaten, dan di kecamatan yang belum ada cabang organisasi Merapu, penguatan tata kelola organisasi Marapu pelru ditingkatkan, dan lebih khusus lagi perlu disesuaikan dengan budaya marapu. Keberadaan organisasi Marapu tersebut juga diharapkan dapat mendorong pelayanan dari Pemkab untuk pemenuhan kebutuhan dasar (sandang, pangan, dan papan, kesehatan dan pendidikan, dll.) yang belum dirasakan oleh penghayat Marapu secara merata. Poin ini penting mengingat taraf ekonomi penghayat pada umumnya menengah ke bawah, sebagaimana tampak dalam data survey. Dalam konteks itu pula, sosialisasi UU No. 6/2016 tentang Desa dapat diintensifkan agar organisasi Marapu di tingkat desa dapat mengakses pendanaan untuk penguatan kelembagaan.
PENGHASILAN RESPONDEN 52,9% 38,8%
2,2%
0,0%
0,0%
0,0%
0,4%
0,0%
5,8%
Dalam konteks pernikahan, situasi pencatatan pernikahan warga Marapu menunjukkan bahwa sebagian sudah mencatatkannya berdasarkan kepercayaannya, tetapi sebagian besar belum, sebagai diilustrasikan dalam data survey. Dari 278 (100%) responden, 176 (63,3%) menikah sipil. 71 (25,5%) menikah adat. 13 (4,7%) belum menikah. 8 (2,9%) menikah agama. 3 (1,1%) tidak menikah. 1 (0,4%) cerai mati dan 4 (2,2%) tidak menjawab pertanyaan. STATUS PERNIKAHAN RESPONDEN 63,3% 25,5% 4,7%
2,9%
1,1%
0,4%
0,0%
0,0%
0,0%
2,2%
Terkait pencatatan pernikahan tersebut, warga Marapu di 22 Kecamatan di Sumba Timur telah mendapatkan sosialisasi, tegas Dispendkcapil. Namun, baru di 9 Kecamatan yang sudah menjalankan nikah massal secara adat dengan difasilitasi oleh organisasi Cabang Marapu. Dicontohkan juga bahwa di Kecamatan Ahar pada tahun 2017 terdapat 200 pasangan Marapu yang dinikahkan secara adat dan sudah dicatatkan di Kknya. Dalam isu pernikahan, pihak Dispendukcapil melaporkan bahwa terdapat masalah dalam hubungan kepercayaan (Merapu) dengan agama (Kristen). Terdapat warga Marapu yang di catatan adminduknya adalah Kristen, tetapi mempraktikkan kepercayaan Merapu, termasuk dalam pernikahan. Isu yang lebih rumit adalah warga Marapu yang Kristen tetapi memiliki dua atau bahkan tiga istri. Kasus semacam ini tentu saja merepotkan pencatatan, terang narasumber pihak Dispendukcapil. Pihaknya pun menyarankan agar organisasi Marapu, lembaga agama (gereja), dan pihak pemerintah menfasilitas dan melakukan dialog untuk memecahkan persoalan pencatatan pernikahan. Menanggapi
isu
di
atas,
Pendeta
Yulius
Djara,
Ketua
BPMJ
Jemaat
GKS
Waingapu/Sekretaris FKUB Kabupaten Sumba Timur, menegaskan bahwa perlu ada regulasi terkait pernikahan antara
orang Kristen dan orang Merapu. Narasumber lebih jauh
mempersoalkan perbedaan status kepercayaan dan agama. menurutnya, antara Marapu dengan 6 agama lainnya tidak bisa disamakan. Marapu tidak memiliki kita, dan ajarannya tidak tertulis. Walaupun Marapu melaksanakan ritual-ritual, seperti ritual kematian, ritual untuk mencari penyebab-penyebab kematian, dikatakan punya konsep hubungan dengan Tuhan, tetapi semua itu tidak ada yang tertulis. Oleh sebab itu, Marapu tidak dapat disamakan dengan agama-agama
lainnya yang diakui negara. Tetapi di sisi lain, narasumber menyampaikan bahwa praktik kawinmawin sangat biasa dan bebas di Sumba Timur. Keluarga Kristen misalnya biasa menerima keputusan anggota keluarganya yang masuk Islam karena menikah dengan orang yang beragama Islam. Hubungan antara agama di Sumba Timur, melihat fakta tersebut, tergolong aman dan damai. Tidak ada stigma dan labelisasi negatif terhadap yang berbeda karena masyarakat Sumba Timur adalah masyarakat yang terbuka dan saling menerima. Dalam sektor pendidikan, warga Marapu di Sumba perlu mendapatkan perhatian khusus dalam hal pendidikan. Data survey menunjukkan bahwa tingkat pendidikan mereka relatif rendah. Pendidikan Terakhir Responden 72,3% 80,0% 70,0% 60,0% 50,0% 40,0% 30,0% 20,0% 10,0% 0,0%
14,0%
7,2%
0,0% 1,4%
4,3% 0,4% 0,4% 0,0%
Dari 278 (100%) responden, 201 (72,3%) merupakan lulusan SD. 39 (14%)
APAKAH ANDA DAN/ATAU ANAK ANDA DAPAT MENGAKSES JALUR PENDIDIKAN FORMAL DENGAN IDENTITAS PENGHAYAT?
tidak pernah mengenyam sekolah. 20 (7,2%) lulusan SMP. 12 (4,3%) lulusan SMA/SMK. Masing-masing 1 (0,4%) adalah lulusan diploma dan S1. Sementara 4 (1,4%) tidak
74,1% 19,0% Ya
Tidak
menjawab pertanyaan. Di antara sebabnya
2,3%
4,6%
Tidak memberi jawaban
Lainnya
adalah warga Marapu yang hingga saat ini umumnya terkendala dalam mengakses
Apakah anda/anak anda menerima pendidikan penghayat di sekolah?
pendidikan formal akibat kepercayaan yang
88,5%
diyakininya. Tidak semua, tetapi mayoritas
100,0%
dari warga Marapu, sebagaimana tampak
50,0%
dalam data survey. Dari 174 (100%)
0,0%
responden,
129
responden
(74,1%)
mengaku tidak dapat mengakses pendidikan
10,9%
0,6% Ya
Tidak
Tidak memberi jawaban
formal dengan menggunakan identitas penghayat. 33 responden (19%) mengaku bisa. 8 (4,6%)
responden menjawab lain-lain. Dan 4 responden (2,3%) tidak menjawab pertanyaan. Jika identitas kepercayaan telah menjadi kendala dalam mengakses pendidikan formal, bagaimana bisa diharapkan adanya pendidikan penghayat? Dari data survey terkait pendidikan kepercayaan ditunjukkan: Dari 174 (100%) responden, 154 (88,5%) mengaku tidak mendapat pendidikan penghayat di sekolahnya/sekolah anaknya. 1 responden (0,6%) mengaku mendapat pendidikan penghayat. Sementara 19 responden (10,9%) tidak memberikan jawaban. lebih jauh, seluruh responden seluruhnya
mengaku
sekolahnya/sekolah menerapkan
bahwa
anaknya
kurikulum
APAKAH SEKOLAH ANDA DAN/ATAU ANAK ANDA MENERAPKAN KURIKULUM PENDIDIKAN PENGHAYAT?
belum
100,0%
penghayat.
Terkait dengan itu, karena pendidikan agama/kepercayaan adalah wajib, maka warga Marapu yang tidak mendapatkan
0,0%
pendidikan kepercayaan wajib mengikuti
Sudah
Belum
pendidikan agama dari salah satu agama yang diakui oleh negara. Data survey menunjukkan bahwa dari 154 (100%)
JIKA TIDAK, PELAJARAN APA YANG ANDA DAPAT DI SEKOLAH?
responden yang mengaku tidak mendapat
82,5%
pelajaran kepercayaan, 127 responden (82,5%) mengaku mendapat pelajaran
0,0%
14,3%
0,0%
0,0%
0,0%
3,2%
agama Kristen. 22 responden (14,3%) mendapat pelajaran Katolik. 5 responden (3,2%) tidak menjawab pertanyaan. Hasil data survey terkonfirmasi melalui observasi bahwa di Sumba Timur, belum ada sekolah yang menyediakan pendidikan kepercayaan. Pendidikan kepercayaan untuk warga Marapu tampaknya memang belum menjadi perhatian pemangku kepentingan, sekalipun sudah disadari oleh berbagai kalangan bahwa hal tersebut penting. “Kita butuh pusat pembelajaran Merapu”, kata seorang tokoh agama Kristen. Perwakilan Dinas Pendidikan, di sisi lain, menyampaikan bahwa pihaknya belum memiliki kebijakan khusus terkait pendidikan kepercayaan. Pihaknya bahkan belum memiliki rancangan untuk terselenggaranya layanan pendidikan kepercayaan pada satuan penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten Sumba Timur. Pihaknya, sebenarnya sudah mengetahui adanya Permendikbud No. 27/2016 tentang pendidikan kepercayaan, tetapi belum ditindak-lanjuti. Dinas Pendidikan baru akan melakukan pendataan peserta didik ke sekolah-sekolah. Salah satu tujuan pendataan tersebut, dikatakannya, adalah untuk mengetahui jumlah dan persebaran peserta didik dari warga Marapu. Setelah pendataan, akan dilihat kebutuhan seperti peserta
didik, tenaga pendidik, kurikulum terkait Marapu yang memiliki tradisi oral/tutur, kemudian dipersiapkan langkah-langkah menuju terselenggaranya pendidikan Kepercayaan di Kabupaten Sumba Timur. Persiapan pendidikan kepercayaan, disadari semua kalangan, sangat menantang. Sebagian besar, jika tidak semuanya, peserta didik dari warga Marapu sudah menjadi Kristen. Terkait hal itu, Pendeta Yulius Djara (Ketua BPMJ Jemaat GKS Waingapu/Sekretaris FKUB Kabupaten Sumba Timur) menyatakan bahwa anak-anak sekolah selama ini memang tidak diberi pilihan kecuali memilih salah satu agama yang diakui negara. Untuk itu, menurut perwakilan OPD, perlu dilakukan pendataan Marapu “asli” (yang belum menjadi Kristen). Menimpali isu tersebut, Pendeta Herlina Ratu Kenya (Anggota Peruati –Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia- Mitra Gereja PGI) menegaskan, “Semua pihak harus mendengar secara langsung dari komunitas Marapu, memberikan ruang dan waktu seluas-luasnya kepada komunitas Marapu untuk mengekspresikan dan mengungkap dirinya”. Kerumitan semacam ini tidak hanya dialami oleh warga Merapu, tetapi mayoritas penghayat. Kerumitan lainnya adalah terkait
kurikulum.
Ke-Merapu-an
adalah
tradisi
oral/tutur,
dan
karenanya
penulisan/pendokumentasian ke-Merapu-an, sejarah Merapu, dan berbagai hal terkait keMerapu-an diperlukan lebih awal. Penulisan tersebut nantinya yang akan jadi sumber utama penyusunan kurikulum pendidikan kepercayaan Merapu. Untuk semua yang diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan kepercayaan, harus dibentuk tim yang melibatkan Rato/penutur Merapu, pemerintah dan komunitas Merapu, serta pemangku kepentingan lainnya. Sektor Penerimaan Sosial Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa secara umum warga Marapu pada dasarnya sudah mendapatkan penerimaan baik di tingkat pemerintah, tokoh agama dan masyarakat, dan masyarakat secara umum. Eksistensi dan isu terkait dengan mereka diakui dan dipahami berbagai kalangan. Bahwa masih terdapat berbagai hak mereka yang belum terlayani, semoga lebih karena waktu dan proses. Respon pihak-pihak OPD tampak positif. Yang diperlukan kemudian adalah peningkatan penerimaan. Sosialisasi kebijakan baru terkait penghayat, hak-hak dasar warga penghayat (Merapu) perlu terus ditingkatkan melalui kerjasama lintas sektor. Penghayat sendiri diminta untuk lebih aktif mengikuti agenda bersama dengan stakeholder terkait. Di antara yang dianggap penting dalam hal peningkatan penerimaan adalah agenda bersama antar pemeluk agama dan penghayat kepercayaan di Sumba Timur. Di wilayah Sumba Barat, Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah, peserta FGD dari pihak OPD menyampaikan bahwa pihaknya tidak menemukan tantangan, seperti pengucilan, dalam relasi sosial antara warga Marapu dan kelompok masyarakat lain. Tetapi peserta FGD lainnya
menginformasikan bahwa sebagian warga Marapu masih merasakan penerimaan yang sarat stigma negatif dari sebagian masyarakat terutama dari kelompok penganut agama. Mereka masih sering distigma sesat, feodal, dan hidup dalam sistem kasta. Berkaitan dengan stigma tersebut, Pendeta Oktavianus Umbuwatju, tokoh agama dari Sumba Tengah, memberi refleksi terkait lembaga-lembaga agama yang memiliki kecenderungan “berjalan sendiri” dengan agenda-agenda kerasulan dan penginjilan (Kristen) dan dakwah (Islam) yang tanpa menempatkan manusia dan komunitasnya (Marapu, misalnya) sebagai entitas yang memiliki kesadaran dan kesejarahan. Ketika seorang agamawan yang membawa misi kerasulan dan penginjilan atau dakwah lalu hanya berpikir dan bertindak satu arah saja, secara subyektif dan tidak dialogis, terhadap Marapu, maka sudah sejak awal, pada tahap niat dan pikiran sang agamawan telah melakukan kesalahan fatal. Mereka sama saja menganggap manusia (misalnya warga Marapu) tidak memiliki peradaban dalam kesejarahannya. Dari situ, stigma negatif terhadap warga Marapu misalnya muncul dan berkembang. Sang tokoh agama tersebut secara khusus memberi penilaian bahwa sejarah masuknya Kristen dan Katolik di Sumba adalah sejarah panjang tentang penjajahan Marapu. Saatnya, lembaga gereja mengedukasi umatnya untuk memiliki pandangan yang tidak dangkal tentang Marapu. Lembaga gereja saat ini dituntut untuk menjadi jembatan informasi bagi masyarakat luas dalam menyebarkan pengetahuan tentang nilai-nilai baik yang dimiliki Marapu. Seperti telah diuraikan sebelumnya, beberapa pihak pada dasarnya menunjukkan sikap penerimaan yang positif. Stigma negatif memang masih melanggeng, tetapi hal tersebut tentu tidak mengagetkan jika kita melihat sejarah pertemuan penganut agama (utamanya Kristen dan Islam) dengan penghayat, masyarakat adat, atau penganut agama leluhur. Kaitan dengan itu, refleksi tokoh agama di atas patut diapresiasi. Dalam hal penerimaan penghayat, peran tokoh agama seperti narasumber di atas sangat krusial. Pikiran dan sikapnya adalah modal besar bagi pemajuan penerimaan, atau inklusi sosial bagi penghayat kepercayaan. Selain tokoh agama, uraian di bagian-bagian sebelumnya juga menampakkan fakta positif terkait respon pihak pemerintah dari berbagai dinas terkait. Mereka tidak hanya menunjukkan penerimaan terhadap eksistens warga Marapu, tetapi tampak memiliki komitmen besar dalam memberi palayanan terhadap warga Marapu. Dalam hal penerimaan, pihak pemerintah bahkan mengusulkan beberapa gagasan progresif. Yeremias Ndapar Doda, Kepala Dispendukcapil Kabupaten Sumba Barat, misalnya menyampaikan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri perlu melakukan kordinasi dengan kementerian terkait khususnya seperti Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kordinasi tersebut diperlukan agar pengelolaan agama dan kepercayaan yang sekalipun dibedakan tidak berdampak pada pelayanan diskriminatif. Narasumber juga mengadvokasi pentingnya kordinasi lintas sektor (antar OPD-OPD) untuk monitoring dan evaluasi terkait keterhubungan antara pemenuhan layanan adminduk-capil
misalnya dengan semua layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, kebudayaan, pertanahan, dan waris. Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Dinas pendidikan Sumba Barat. Menurutnya, pihaknya perlu segera berkoordinasi dengan dinas kebudayaan (yang sebelumnya satu dinas dengan dinas pendidikan), bahkan dengan dinas pariwisata yang saat ini banyak mengampu urusan-urusan Marapu, seperti penjagaan kampong situs, pemugaran rumah budaya, pembinaan organisasi Marapu, dan seterusnya. Peserta FGD tampak sepakat dan mendesak adanya dialog intensif antara berbagai pemangku kepentingan seperit OPD-OPD terkait, tokoh agama dan tokoh masyarakat, dan seterusnya untuk menyusun kerja kolaboratif dalam rangka perumusan cara, strategi dan program penerimaan terhadap penghayat kepercayaan (Marapu) secara komprehensif.
BAB IV Rekapitulasi Hasil Penelitian I.
Respon terhadap Putusan MK. Putusan MK, yang telah ramai didiskusikan di media dan di forum-forum seminar sejak
dibacakan pada tanggal 7 November 2017, mendapatkan respon positif, sekalipun sebagian kecil pemangku kepentingan di daerah-daerah belum mengetahuinya saat penelitian ini dilakukan. Mereka yang belum mengetahui menyatakan bahwa belum ada sosialisasi. Beberapa pihak OPD sebenarnya telah melakukan sosialisasi, tetapi memang belum menjangkau seluruhnya, termasuk kepada OPD-OPD terkait lainnya. Demikian halnya warga penghayat dan masyarakat umum lainnya. Sebagian telah mengetahuinya melalui sosialisasi oleh pihak pemerintah, CSO pendamping dan sesama penghayat, tetapi sebagian lainnya mengetahui tentang Putusan MK pertama kali saat penelitian ini dilakukan. Penelitian ini dengan demikian sekaligus merupakan bentuk sosialisasi Putusan MK dan kebijakan-kebijakan lain terkait dengannya. Sekali lagi, secara umum dapat dikatakan bahwa Putusan MK mendapatkan respon positif dan bahkan pro-aktif dari berbagai kalangan di daerah dampingan/penelitian: pihak penghayat kepercayaan, pihak pemerintah khususnya yang menangani langsung urusan-urusan yang berkaitan dengan kehidupan warga negara penghayat kepercayaan, organisasi masyarakat sipil, dan tokoh-tokoh yang mewakili masyarakat umum. Mayoritas pemangku kepentingan sepakat bahwa Putusan MK patut diapresiasi karena ia menegaskan pengakuan negara akan eksistensi penghayat, menuntut kesetaraan penghayat dengan warga negara lainnya, dan mendorong terciptanya sikap inklusif oleh semua pihak. Putusan MK diyakini sebagai landasan hukum yang menjamin pengelolaan warga negara khususnya penghayat oleh negara secara demokratis dan bertabat, dan menjamin terciptanya inklusi yang mencakup tiga (3) ranah: kebijakan, pelayanan dan penerimaan sosial. Pihak pemerintah daerah di empat lokasi bahkan menegaskan bahwa Putusan MK perlu segera ditindak-lanjuti oleh pemerintah pusat, dan pihaknya siap melaksanakan sebagaimana diamanatkan oleh Putusan MK. Bagi penghayat kepercayaan, Putusan MK telah menambah kepercayaan diri untuk mengekspresikan diri berdasarkan identitas kepercayaannya. Bagi masyarakat sipil, khususnya pemerhati isu penghayat kepercayaan, Putusan MK merupakan landasan hukum untuk memperjuangkan hak-hak penghayat yang selama ini lalai dipenuhi oleh negara. Hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa terdapat tokoh agama yang cenderung mempersoalkan Putusan MK. Baginya, Putusan MK harus dipahami secara hati-hati karena jangan sampai agama dan kepercayaan disalah-pahami, misalnya agama dan kepercayaan dianggap sama. Kesalah-pahaman tersebut sangat mungkin menyebabkan konflik di masyarakat.
Namun demikian, tokoh agama yang dimaksud tetap menegaskan bahwa apapun aturannya (terkait aturan tindak-lanjut Putusan MK), setiap warga negara harus mematuhinya. Dia kemudian berharap bahwa aturan tindak-lanjutnya harus jelas dan tegas. II.
Sektor Kebijakan Setelah Putusan MK dibacakan hingga saat ini, memang belum ada kebijakan (UU dan
aturan) baru atau tindak-lanjut dari Putusan MK. Akan tetapi, beberapa catatan penting seperti diuraikan secara rinci di bagian sebelumnya dapat kembali ditegaskan di sini. A. Pencatatan kepercayaan di KTP-elektronik dan KK. Sistem pencatatan sipil di KK dan KTP-elektronik memang belum berubah hingga sekarang. Namun di tingkat daerah, khususnya di daerah dampingan program Peduli, pihak Dispendukcapil menyatakan antusiasmenya untuk menindak-lanjuti Putusan MK. Mereka bahkan menegaskan bahwa mereka siap bekerja secara proaktif karena telah menyadari pentingnya peran mereka dalam memberi pelayanan terhadap warga negara penghayat kepercayaan yang selama ini terdiskriminasi. Hanya saja, mereka masih terkendala oleh aturan dan sistem yang belum menfasilitasi pelayanan pencatatan KTP-el bagi penghayat kepercayaan. Oleh karena itu, para pegawai Dispendukcapil daerah menuntut, sebagai bentuk tindak-lanjut Putusan MK, Kementrian Dalam Negeri untuk segera menerbitkan semacam surat edaran (SE), petunjuk pelaksanaan (Juklak), dan petunjuk teknis (Juknis), termasuk penyesuaian Perubahan sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK). Diharapkan dari SE, Juklak, dan Juknis, mereka memiliki landasan hukum dan kejelasan aturan dan tata cara dalam pelayanan pencatatan KTPel/KK bagi penghayat kepercayaan. Karena Dispendukcapil daerah hanya melaksanakan sesuai aturan atau instruksi dari pusat, mereka bahkan menuntut adanya advokasi lanjutan dan mendesak Kementrian Dalam Negeri untuk segera mengeluarkan hal tersebut di atas. Mereka menambahkan, mereka telah melakukan sosialisasi Putusan MK untuk meyakinkan penghayat kepercayaan bahwa mereka adalah warga negara yang diakui dan dijamin oleh negara yang berdasarkan pancasila, dan karenanya mereka harus percaya diri dan tegas menyatakan dan mengekspresikan diri sesuai identitas kepercayaannya. Dalam sosialisasi, mereka seringkali terpaksa harus meminta maaf, dan meminta warga penghayat bersabar karena persoalan di atas: belum adanya semacam SE, Juklak, dan Juknis. Kasus yang menonjol terkait sosialisasi tersebut adalah yang dilakukan oleh pihak pemda Sumba. Sikap aktif dan progresif dari pihak OPD tersebut tentu saja patut diapresiasi. Mereka telah berusaha melakukan sesuai kapasitas yang dibebankan. Tampak jelas adanya antusiasme
dari mereka untuk segera memenuhi memenuhi hak-hak penghayat, tetapi mereka terbatasi oleh aturan dan kebijakan. B. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan Disadari oleh pemangku kepentingan di daerah bahwa peraturan perundang-undangan terkait penghayat kepercayaan hingga saat ini masih banyak yang tumpang tindih atau bahkan saling bertentangan, sosialisasi Putusan MK dan kebijakan-kebijakan baru lainnya perlu diintensifkan agar pemahaman atas kebijakan baru tersebut merata kesemua lapisan. Warga penghayat, pemerintah daerah dan masyarakat umum perlu memahami kebijkana baru (putuasn MK). Baik pihak OPD terkait, tokoh agama, CSO dan warga penghayat pada umumnya menyadari bahwa Putusan MK merupakan “terobosan” yang bertentangan dengan beberapa peraturan perundang-undangan sebelumnya. Peraturan perundang-undangan tersebut di antaranya UU Adminduk 2013, UU PNPS 1/1965, UU terkait BAKORPAKEM, Peraturan Bersama Menteri tentang rumah ibadah, dan lain-lainnya. Demi kepastian, keterpaduan hukum dalam pelayanan, dan mengakhiri sistem peraturan yang saling tumpang tindih, pemangku kepentingan daerah menuntut adanya singkronisasi atau penyesuaian peraturan perundang-undangan yang menyangkut isu-isu penghayat kepercayaan. C. Pelembagaan, Registrasi dan Pendataan Kelompok Penghayat yang Terpadu dan Valid. Secara administratif, saat ini terdapat 187 kelompok penghayat yang teregistrasi di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Jumlah tersebut memang tampak banyak, tetapi jumlah riil kelompok penghayat kepercayaan masih lebih banyak dari yang teregistrasi. Masih terdapat beberapa kelompok yang belum terdata dan teregistrasi, sekalipun eksistensinya diketahui oleh pihak pemerintah dan masyarakat umum. Warga Marapu di Sumba Barat, Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah misalnya adalah kelompok penghayat yang belum terdata dan teregistrasi. Bagi OPD setempat, kendala atau kesulitan dalam pelayanan oleh negara terhadap warga Marapu, misalnya terkait pernikahan, sangat terkait dengan fakta bahwa warga Marapu tidak terdata, tidak terorganisir dan teregistrasi. Pelayanan pemerintah kepada warga penghayat secara administratif mensyaratkan data dan registrasi kelompok. Selain itu, validitas dan keterpaduan data penghayat di semua lembaga negara terkait mendesak dilakukan. Putusan MK penting dipahami sebagai tuntutan untuk membangun data yang valid, dan juga terpadu untuk maksimalisasi pelayanan. Data warga negara penghayat perlu tercatat secara terpadu di semua lembaga negara. Semua lembaga negara terkait sudah saatnya mensingkronisasi sistem pendataannya dengan memasukkan kelompok kepercayaan pada setiap
isian identitas, seperti halnya identitas agama. Singkronisasi dan keterpaduan data adalah untuk mengatasi diskriminasi negara terhadap penghayat sebagaimana dialami oleh beberapa penghayat kepercayaan yang harus tertolak menjadi pegawai negeri sipil (PNS) karena di instansi tempat mendaftar belum memasukkan kepercayaan dalam isian identitas pendaftar. Demikian yang dialami oleh penghayat Sapta Darmo di Brebes, dan cerita yang didapatkan di Medan oleh warga Permalim dan Ugamo Banso Batak. . D. Pembentukan Badan Khusus Beberapa poin yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa masalah kewargaan yang dihadapi dan dialami oleh penghayat kepercayaan sangat kompleks. Beberapa pemangku kepentingan sebagaimana ditemukan di lapangan menyadari kompleksitas tersebut, dan menyatakan bahwa untuk efektifitas Amar Putusan MK dibutuhkan penanganan khusus melalui lembaga khusus yang berfungsi mengatasi kompleksitas kewargaan penghayat. Pemangku kepentingan di Sumba Timur dalam FGD bahkan memandang diperlukannya undang-undang kepercayaan. Tugas lembaga ini misalnya mencakup penyusunan UU kepercayaan, implementasi UU misalnya dalam bentuk program inklusi, sosialisasi kebijakan-kebijakan baru seperti Putusan MK yang tidak hanya kepada kelompok penghayat tetapi juga aparat sipil negara (ASN), dan termasuk penganggarannya. Idealnya bahkan, menurut seorang tokoh masyarakat di Medan, penyelesaian dan pelayanan penghayat dilakukan oleh lembaga negara setingkat direktorat jenderal (dirjen), misalnya dirjen kepercayaan, atau agama leluhur. III.
Sektor Pelayanan Seperti halnya dalam hal kebijakan, pelayanan negara terhadap warga negara penghayat
kepercayaan hampir tidak ada perubahan setelah Putusan MK. Putusan MK belum berdampak langsung pada pelayanan negara terhadap (sebagian) kelompok penghayat, terutama yang belum mendapatkan pelayanan dari pemerintah sebelum Putusan MK. Mereka yang telah mendapatkan pelayanan tetap saja berlanjut, tanpa perubahan yang berarti. Tetapi penting dicatat bahwa respon positif seperti diuraikan di atas, dan lebih rinci pada bagian sebelumnya, sekaligus merupakan bentuk dampak Putusan MK. Dampak tersebut mencakup kepercayaan diri penghayat untuk terus menuntut palayanan, kesadaran aparat sipil negara (ASN) yang meningkat akan pentingnya memberi pelayanan yang optimal, dan pengakuan serta penerimaan masyarakat umum melalui tokoh-tokohnya terhadap eksistensi dan hak-hak kewarga-negaraan penghayat. Berikut adalah kasus-kasus dan isu-isu terkait dengan pelayanan. A. KTP-el untuk Kepercayaan
Sejak diberlakukannya UU Adminduk 2006, kolom agama di KTP bagi warga penghayat dikosongkan, dan pengosongan tersebut masih dipertahankan sampai saat ini, setelah Putusan MK. Dengan kata lain, Putusan MK sama sekali belum ditindak-lanjuti oleh pemerintah. Sebagaimana diketahui publik, Kemendagri masih harus “bernegosiasi” dengan kelompokkelompok yang keberatan dengan Amar Putusan MK, dan terpaksa harus menunda kewajibannya hingga waktu yang tidak diketahui. Di level daerah, terutama yang telah bersentuhan langsung dengan kompleksitas kewargaan penghayat, mayoritas pemangku kepentingan, termasuk Dispendukcapil, menuntut agar tindak-lanjut Putusan MK segera dilakukan agar pelayanan terhadap penghayat dapat dioptimalkan. Tindak lanjut yang diharapkan adalah seperti petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis), atau bahkan semacam surat edaran (SE). Pentingnya aturan tindak-lanjut agar segera dikeluarkan tidak hanya untuk optimalisasi pelayanan, tetapi bahkan dapat menghindarkan munculnya konflik akibat “kekosongan hukum”. Pemangku kepentingan di daerah memandang bahwa Putusan MK yang tidak diikuti oleh aturan tindak-lanjut pada level tertentu justru menciptakan kekosongan hukum. Alih-alih terus meningkatkan kepercayaan warga negara terhadap negara/pemerintah setelah Putusan MK, Kekosongan hukum tersebut justru dapat memicu munculnya konflik. Fenomena potensi konflik tersebut tampak jelas di Kab. Brebes, Jawa Tengah. B. Pendataan Kelompok Penghayat Kepercayaan Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, ketidak tersediaan data penghayat kepercayaan yang valid dan terpadu telah menyebabkan pelayanan terhadap warga penghayat menjadi terhambat. Di Sumba dan Kulonprogo, kelompok penghayat belum mendapatkan pelayanan negara sebagai penghayat karena mereka belum terdata dan teregistrasi. Untuk kasus seperti ini, pelayanan pemerintah perlu diawali dengan pendataan dan kemudian registrasi. Harus diakui bahwa sebagian kelompok penghayat memerlukan pro-aktif pemerintah dan bahkan pendampingan dari CSO untuk proses pendataan, registrasi dan selanjutnya penguatan dan pemberdayaan. Pemerintah memahami kebutuhan kelompok tersebut sebagai komunitas penghayat, tetapi pelayanan negara, dikatakannya, tentu saja harus tertib administratif (berdasarkan data dan terdaftar). Hal yang penting diperhatikan dalam pendataan adalah sebagian penghayat kepercayaan telah berafiliasi atau memilih salah satu agama yang diakui negara sebagai identitas warga. Di Sumba (selain Sumba Timur), sebagian besar warga Marapu mencantumkan Kristen atau Katolik di KTP-el dan KK mereka. Banyak di antara mereka yang merupakan pejabat di pemerintahan, polisi dan tentara, tetapi mereka sudah dibaptis. Di Sumba Timur, ada tuntutan bahwa anak-anak Merapu yang sudah dibaptis tidak dibolehkan kembali menjadi Marapu, sekalipun orang tua anak-anak tersebut masih Marapu, atau belum memeluk dan mempraktikkan agama yang dipilih
anaknya. Pendataan diperlukan, menurut tuntutan tersebut, untuk Marapu asli yang belum dibaptis atau pindah agama. Untuk fenomena semacam itu diperlukan program inklusi untuk mengantisipasi gesekan yang dimungkinkan oleh pendataan, pembedaan dan pemisahan identitas tersebut. Program inklusi perlu menjadi agenda bersama dan untuk semua, pihak penghayat dan penganut agama dapat saling memahami, dan lebih penting, kebebasan memilih diapresiasi dan dijamin baik secara hukum dan sosial. Orang Marapu diharapkan diberi kebebasan dalam memilih identitasnya: kepercayaan atau agama, dan apapun pilihannya harus dihargai dan diapesiasi. Untuk beberapa kasus tertentu, pemilihan (atau berafiliasi pada) satu identitas tidak harus dimaknai memisahkan diri (disasosiasi dari) kelompok identitas lain. Mereka yang terkait dengan kasus tersebut telah membangun pengalaman panjang yang tidak melihat kedua identitas (agama dan kepercayaan) secara bertentangan. Dalam hal pendataan dan registrasi, kasus-kasus di atas dapat dibandingkan dengan kelompok penghayat Permalim dan Ugamo Bangsa Batak di Sumatra. Dua Kelompok terakhir telah terdata dan terdaftar. Pelayanan seperti pendidikan kepercayaan dan pencatatan pernikahan dari pemerintah pun sudah mereka dapatkan, sekalipun masih perlu terus ditingkatkan. Dispendukcapil Medan saat ini fokus pada peningkatan pelayanan pendidikan, pencatatan pernikahan, dan sosialisasi kebijakan-kebijakan baru, khususnya Putusan MK. Dengan data kelompok yang teregistrasi, pihak pemerintah dapat terus mengembangkan pelayanannya. Kelompok Marapu di Sumba Timur juga demikian. Mereka sudah terdata dan terdaftar, dan pencatatan pernikahan berdasarkan kepercayaan mereka sudah dapat dilakukan. Untuk kasus penghayat yang sudah terdaftar, selain peningkatan pelayanan pada hal yang disebutkan di atas, keterpaduan data di semua lembaga negara terkait perlu diagendakan dalam konteks pelayanan. Pelayanan warga penghayat tentu tidak terbatas pada pencatatan nikah dan pendidikan kepercayaan. seperti warga negara lainnya, penghayat berhak mendapatkan pelayanan prima di semua sektor pelayanan kewargaan, termasuk dalam penerimaan pegawai negeri sipil. Kasus tertolaknya warga Parmalim yang mendaftar di kepolisian karena identitas kepercayaan masih terus menjadi trauma bagi kelompok penghayat sebagai kelompok warga negara yang dibedakan dan didiskriminasi. Fungsi keterpaduan data di semua lembaga negara adalah menfasilitasi pelayanan negara yang berkeadilan untuk setiap warga negara tanpa pengecualian. Keterpaduan data juga sekaligus menjadi media sosialisasi terkait eksistensi dan hak kewargaan penghayat kepada seluruh OPD dan ASN. Pertanyaan-pertanyaan terkait eksistensi penghayat oleh ASN di berbagai instansi negara kepada penghayat yang berusaha mengakses hak pelayanan seringkali dirasa melecehkan dan menyakitkan, bahkan berdampak pada keputus-asaan penghayat untuk berjuang mengakses haknya. Soialisasi terkait eksistensi dan hak kewargaan penghayat tentu bukan hanya tanggung-jawab pemerintah, tetapi
pemerintah memiliki otoritas dan karenanya berkewajiban untuk memastikan bahwa setiap ASN dan OPD terkait tertib dalam memberi pelayanan tanpa diskriminasi terhadap penghayat. C. Pencatatan Pernikahan berdasarkan Kepercayaan Kelompok Marapu di Sumba Barat, Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah seperti telah disinggung di bagian sebelumnya hingga saat ini belum dapat mencatatkan pernikahannya di pemerintah. Pernikahan mereka, yang berdasarkan kepercayaan, belum dapat dicatatkan. Alasan utamanya adalah karena mereka belum memiliki data valid dan kelompoknya belum teregistrasi. Syarat-syarat pencatatan pernikahan berdasarkan kepercayaan karenanya belum terpenuhi. Pihak pemerintah, sebagaimana ditegaskan dalam wawancara dan FGD, menunjukkan respon positif untuk berkomitmen dalam memberi pelayanan (mencatatkan pernikahan kepercayaan), tetapi buat mereka sekali lagi harus memenuhi syarat administrasi yang telah ada, diatur peraturan pencatatan pernikahan. Argumen pihak pemerintah tersebut memiliki preseden dari kasus Permalim di Sumatra. Dengan kelompok yang terdata dan terdaftar, pernikahan Parmalim dapat dicatatkan oleh pemerintah. Pendataan dan registrasi kelompok penghayat kepercayaan sebagai syarat pencatatan pernikahan oleh pemerintah tentu dapat dipersoalkan karena di antara kelompok penghayat terdapat yang tidak mendaftarkan diri dengan alasan prinsipil dan teknis. Secara prinsipil, registrasi kelompok dapat berfungsi sebagai alat kontrol negara. Alih-alih memberi pelayanan yang merupakan kewajibannya, negara dapat mengontrolnya dan bahkan membubarkannya jika dianggap tidak sesuai kepentingan negara (tepatnya penguasa). Argumen semacam ini sering didengarkan dari mereka yang dalam sejarah perjalanan kelompoknya telah mengalami intimidasi, pemaksaan konversi, dan pembubaran. Dalam memori sejarah mereka, tersimpan trauma mendalam yang dikhawatirkan akan berulang jika harus registrasi. Secara teknis, terdapat kelompok pengahyat yang kesulitan (atau bahkan tidak mungkin) memenuhi persyaratan organisasi. Harus diakui, sebagian kelompok penghayat tidak terbiasa dengan sistem organisasi sebagaimana dikehendaki oleh negara. Ada sebagai penghayat kepercayaan yang (ekstrim) menganut sistem adat dengan karakter oral/lisan, bukan tulisan. Fakta tersebut harus menjadi perhatian pemerintah. Kompleksitas penghayat harus dipertimbangkan dalam pengaturan dan implementasi aturan. Negara harus tegas bahwa aturan terkait penghayat semata untuk menfasilitasi pelayanan. Tertib administrasi harus dipahami semata untuk memudahkan pelayanan. Syarat administrasi, untuk registrasi misalnya, dengan demikian mestinya sesimpel mungkin, sehingga kelompok penghayat yang secara teknis belum mampu mendaftarkan diri dapat didampingi. Pemerintah seyogyanya pro-aktif menfasilitasi kemudahan registrasi dan pelayanan.
D. Pendidikan kepercayaan Serupa dengan masalah pencatatan pernikahan, hak pendidikan kepercayaan pun belum diperoleh oleh sebagian besar kelompok penghayat. Dari keempat provinsi yang diteliti, hanya penghayat kelompok Parmalim dan Ugamo Bangso Batak di Medan yang telah mendapatkan pelayanan pendidikan kepercayaan, tepatnya pendidikan budi pekerti. Di Medan, penyuluh atau orang yang mengajarkan pendidikan kepercayaan sudah tersedia. Pendidikan kepercayaan sudah dilaksanakan di dua sekolah untuk kelompok penghayat Parmalim dan UBB. Hal yang penting dicatat dari pelaksanaan pendidikan kepercayaan di Medan adalah Dinas Pendidikan setempat cukup progresif dalam menfasilitasi kebutuhan penghayat, khususnya dalam pendidikan kepercayaan, sekalipun bahkan sebelum Putusan MK. Sikap progresif tersebut, perlu juga dicatat, di antaranya disebabkan oleh sikap pro-aktif warga penghayat (UBB, Rosni Sialagan) dan guru sekolah yang progresif. Kedua yang terakhir sangat pro-aktif dalam mendorong adanya kebijakan pendidikan kepercayaan. Demikian bentuk kerjasama yang efektif lintas pihak. Pelaksanaan pendidikan kepercayaan, sebagai sesuatu yang baru, tentu saja masih memerlukan peningkatan baik kualitas maupun persebaran pelaksanaan di sekolah-sekolah lain. Ditemukan di lapangan bahwa beberapa warga, peserta didik, Permalim dan UBB yang tersebar di sekolah-sekolah lain juga belum menerima pendidikan kepercayaan. Putusan MK, dalam konteks tersebut, memberi keyakinan berbagai pihak bahwa pendidikan kepercayaan adalah hak bagi seluruh warga penghayat. Selain yang di Medan, kelompok penghayat di daerah penelitian memilih pendidikan agama di sekolah. Kasus pemilihan pendidikan agama beragam. Ada yang terpaksa karena tidak memiliki pilihan lain, ada anak yang sebelum masuk sekolah dibaptis lebih dahulu, ada yang merasa dipaksa oleh pihak sekolah, tetapi ada pula yang memilih secara sukarela atau tidak mempersoalkan pendidikan agama yang mereka ikuti. Keragaman pemilihan mereka tentu disebabkan oleh keragaman konteks dan pengalaman interaksi mereka. Di Sumba misalnya, sebagian yang telah berinteraksi secara positif bersama penganut agama mengaggap positif pendidikan agama. Mereka yang oleh kalangan gereja dianggap sebagai simpatisan. Sekalipun mereka tidak memeluk (atau mempraktikkan) agama (Kristen/Katolik), mereka tidak mempersoalkan atau melarang anak-anak mereka mengikuti pendidikan agama. Kasus Marapu di Sumba (selain Sumba Timur) penting dicatat. Terlepas dari fakta bahwa anak-anak Marapu telah memilih pendidikan agama, para pemangku kepentingan, termasuk kalangan gereja, mengetahui dan mengakui eksistensi Marapu sebagai kelompok penghayat. Mereka memiliki nilai-nilai kearifan lokal dan identitas ke-Merapu-an yang patut dihargai dan diapresiasi. Ke depan, pendidikan kepercayaan (ke-Merapu-an) perlu diadakan, selain untuk memenuhi hak mereka, juga sebagai upaya untuk mempertahankan identitas Sumba. Yang mendesak dilakukan adalah pembentukan “sekolah Merapu”, lembaga untuk mengawali
dokumentasi dan pengembangan ilmu ke-Merapu-an (kepercayaan). Dinas pendidikan memiliki peran penting dalam pelayanan untuk pembentukan sekolah Merapu. Dinas diharapkan tidak hanya menunggu pendataan dan registrasi kelompok penghayat Merapu, atau menunggu adanya kurikulum pendidikan kepercayaan dari pusat seperti telah dirumuskan dan diimplementasikan di beberapa tempat di Jawa, yang mungkin tidak aplikatif, terutama dari sisi konten. Dalam memberi palayanan, dinas pendidikan tentu saja memerlukan kerjasama lintas pemangku kepentingan baik kelompok penghayat sendiri maupun dari CSO pendamping. Konteks di atas dapat dibandingkan dengan yang di Sumba Timur dan Brebes. Kelompok penghayat di dua daerah tersebut juga menerima pendidikan agama, bukan pendidikan kepercayaan, sekalipun keduanya sudah terdaftar sebagai kelompok penghayat kepercayaan. Namun, perwakilan Dinas Pendidikan di kedua tempat tersebut menyampaikan bahwa setelah Putusan MK, pihaknya telah merencanakan untuk melakukan pendataan peserta didik di sekolahsekolah. Tujuannya adalah untuk mengetahui persebaran peserta didik warga penghayat (Merapu dan Sapta Darma, menentukan kebutuhan, dan selanjutnya melakukan persiapan pelaksanaan pendidikan kepercayaan. Harus diakui bahwa pendidikan kepercayaan yang baru diundangkan pada akhir tahun 2016 bukan hal mudah. Banyak aspek yang menunjukkan kompleksitasnya. Di samping sebagai sesuatu yang tentu saja baru bagi penghayat (karena harus sesuai dengan sistem pendidikan nasional), kelompok penghayat di Indonesia sangat beragam. Rumusan kurikulum dari pusat, betapapun peluang akomodatif terhadap keragaman kepercayaan yang diberikan, tentu saja memiliki tantangan baik dalam rumusan konten maupun dalam aplikasi. Kasus warga Marapu di Sumba Timur merefleksikan hal tersebut. Mereka sudah terdata dan terdaftar, tetapi mereka belum menerima pelayanan pendidikan kepercayaan. Alasannya, selain karena sosialisasi dan infrastruktur pendidikan kepercayaan yang misalnya mencakup tenaga pengajar yang belum tersedia, penyesuaian konten pendidikan kepercayaan dari rumusan kurikulum pusat dianggap penting dilakukan. Sama seperti warga Marapu di Sumba lainnya, warga Marapu di Sumba Timur pun membutuhkan program penulisan budaya dan nilai-nilai kearifan lokal Marapu sebagai materi penyusunan kurikulum pendidikan kepercayaan yang kontekstual. Untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, atau dalam rangka pelayanan pendidikan kepercayaan yang optimal, Insfrastruktur dan tata kelola kelembangan organisasi Merapu di Sumba Timur yang sudah ada, perlu ditingkatkan. E. Pelayanan Pemakaman Pelayanan terhadap pemakaman bagi penghayat merupakan kasus khusus yang dialami oleh warga Sapta Darma (Persada) di Brebes. Kasus pemakaman penghayat di Brebes pernah ramai di media. Kasusnya adalah seorang warga penghayat yang meninggal dunia ditolak dimakamkan di pemakaman umum yang diklaim sebagai pemakaman khusus untuk orang Islam.
Setelah proses negosiasi yang panjang, warga tersebut akhirnya harus dimakamkan di pekarangan rumahnya sendiri. Di beberapa Desa di Brebes, pemakaman untuk warga Sapta Darma sudah disediakan. Hanya saja, penerimaan terhadap pemakaman bagi penghayat Sapta Darma masih berbasis kebijakan desa/kelurahan, dan tidak berdasarkan aturan, misalnya aturan Bupati. Sehingga masih dikawatirkan jika kepala desa/lurah diganti situasinya bisa juga berubah. Faktanya, di salah satu desa, sebelum Putusan MK kelompok Persada (Sapta Darma) diterima oleh warga lain, pemakamannya sudah disediakan, tetapi setelah Putusan MK, mereka justru ditolak. Fakta ini, seperti disinggung sebelumnya, menunjukkan dampak dari “kekosongan hukum”: Putusan MK yang tidak diikuti oleh aturan lanjutan. Terkait hal itu, sebagian besar pemangku kepentingann memang mengkhawatirkan trauma-trauma masa lalu bisa kembali terulang jika aturan tegas terkait jaminan hak-hak kepercayaan tidak segera diterbitkan. Warga Sapta Darma misalnya masih khawatir jika sanggar (dapat disebut sebagai tempat ibadah) mereka kembali dirusak seperti pernah terjadi sebelumnya. F. Pelayanan Kebutuhan Dasar. Di Sumba, Warga Merapu, kelompok penghayat kepercayaan, secara umum termasuk kelompok warga negara yang tidak hanya membutuhkan pelayanan terkait identitas mereka sebagai penghayat. Mereka bahkan membutuhkan pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan, kesehatan dan pendidikan. Sebagian di antara mereka masih belum mengakses kebutuhan dasar yang layak. Pemerintah Kabupaten diminta lebih serius untuk memberi pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar. UU No. 6/2016 tentang Desa penting disosialisasikan dan diimplementasikan, di antaranya agar organisasi Marapu di tingkat desa dapat mengakses pendanaan untuk penguatan kelembagaan. Selain itu, musrembang desa juga penting dimanfaatkan untuk menfasilitasi penyerapan aspirasi penghayat. Demikian juga yang diharapkan oleh warga Sapta Darma di Brebes. Kelompok penghayat Sapta Darma di Brebes mengeluhkan bahwa mereka tidak pernah dilibatkan dalam musrembang desa, sekalipun aparat desa memahami akan keberadaannya. Hal serupa disampaikan dalam FGD di Kulonprogo bahwa kelompok penghayat MEBM adalah termasuk kelompok minoritas, dan karenanya sepatutnya memperoleh bantuan sosial, tetapi Dinas Sosial Kulonprogro belum menyentuh kepada kelompok penghayat.
IV.
Sektor Penerimaan Sosial
A. Penerimaan di tingkat masayarakat Setelah Putusan MK, komunitas Ugamo Bangsa Batak (UBB), termasuk anak-anaknya sudah semakin percaya diri mengekspresikan diri sebagai penganut agama leluhur. Mereka semakin memahami bahwa negara telah mengakui secara prinsip akan eksistensi dan hak-hak mereka. Dibanding dengan beberapa kelompok penghayat lainnya, warga UBB di Medan dapat dianggap lebih maju dalam hal penerimaan masyarakat. Catatan penting akan penerimaan tersebut adalah warga UBB cukup aktif melakukan pendekatan dengan kelompok masyarakat lain. Dengan pendekatan budaya, mereka menyediakan rumah (warga UBB) sebagai Sanggar Aksara Batak Toba dan Sanggar Tari bagi anak-anak warga sekitar. Mereka dikenal oleh masyarakat luar karena keaktifan dan keterbukaan mereka dalam aktifitas budaya. Mereka memainkan peran dalam membangun pengetahuan Batak Toba (identitas suku yang tidak eksklusif untuk kalangan penghayat, tetapi inklusif untuk semua dari suku Batak Toba) dan meningkatkan kreatifitas budaya melalui tari. Selain itu, warga UBB tidak canggung ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial budaya yang dilakukan misalnya oleh kelompok warga Kristen, seperti terlibat dalam Serikat Tolong Menolong (STM) Kristen di mana mereka tinggal. Apa yang dilakukan oleh warga UBB (menfasilitasi dan terlibat dalam interaksi antar kelompok) efektif dalam mendorong dialog kehidupan yang berdampak pada penerimaan. Mereka, antar kelompok, saling menerima dan saling menghargai akan eksistensi, beserta hak-hak yang melekat pada masing-masing. Penting dicatat bahwa tingkat penerimaan warga luar terhadap warga UBB adalah hasil perjuangan yang relatif panjang. Seorang warga UBB, Rosni, menceritakan pengalamannya yang terus berusaha bertahan, bukan hanya bertahan untuk tetap sebagai warga penghayat UBB tetapi juga bertahan membangun komunikasi dan relasi dengan warga luar penghayat, sekalipun identitasnya dicela dan dihina. Ketika misalnya di awal keterlibatannya dalam STM, yang bersangkutan sering dituduh sesat. Dia yakin bahwa hal itu harus dihadapi dan akan dilalui, dan hasilnya seperti adanya sekarang. Dia dan sesama warga UBB telah diterima baik dengan identitas UBBnya yang melekat padanya. Warga UBB memberi contoh tentang model strategi efektif membangun komunikasi dan relasi untuk penerimaan. Mereka perlu terus meningkatkan upaya semacam itu agar tingkat penerimaan dari berbagai kalangan masyarakat dapat semakin meningkat dan menyebar. B. Penerimaan di tingkat pemerintah. Pelayanan yang sudah diterima oleh warga Permalim dan UBB di Medan menunjukkan bahwa penerimaan pihak pemerintah terhadap eksistensi penghayat juga cukup positif. Namun demikian, seperti diakui oleh pihak Disdukcapil Medan, sekalipun sudah proaktif
mensosialisasikan eksistensi penghayat, termasuk pentingnya diberi pelayanan secara berkeadilan, di berbagai pertemuan, pihaknya belum menjangkau seluruh OPD hingga tingkat kelurahan/desa. Intensifikasi sosialisasi seperti Putusan MK ke seluruh jajaran pemerintah hingga kelurahan/desa sebagai pelayan warga negara perlu terus dilakukan. Setiap OPD terkait perlu memahami eksistensi penghayat dan kebijakan-kebijakan baru terkait penghayat seperti Putusan MK dengan tujuan agar penerimaan terhadap penghayat dapat berlangsung secara serentak. Pertanyaan-pertanyaan yang kadang dirasa menghina kemudian dapat dihindarkan. Sebagaimana di tingkat masyarakat, warga penghayat juga perlu proaktif secara politis. Seorang Professor pemerhati penghayat dari Medan menyarankan bahwa kelompok penghayat harus didorong untuk lebih mandiri, lebih trampil menuntut haknya dan berperan aktif secara politis, misalnya menjadi kepala lingkungan. Dengan kapasitas tersebut, kelompok penghayat, bekerjasama dengan berbagai pihak, dapat mendorong berbagai kebijakan yang pro-penghayat. Untuk hal tersebut, peran CSO dan pemerintah sendiri cukup penting. Kelompok penghayat, sebagaimana adanya sekarang, perlu terus didampingi. Agak serupa dengan situasi UBB dan Permalim di Medan, warga Marapu di Sumba Timur juga telah diterima, sekalipun tingkat penerimaannya belum sebaik yang dialami oleh UBB dan Parmalim di Medan. Warga Merapu dengan demikian perlu didorong untuk lebih aktif mengikuti agenda-agenda bersama dengan pemangku kepentingan terkait dalam rangka peningkatan penerimaan baik di tingkat masyarakat maupun di pemerintahan. Peran OPD terkait juga dianggap menentukan, terutama dalam hal sosialisasi penerimaan eksistensi dan hak-hak warga Marapu. C. Melawan stigma negatif Sepanjang sejarahnya, penghayat kepercayaan telah dipenuhi dengan berbagai stigma negatif. Berbagai aturan dan kebijakan negara menegaskan representasi penghayat sebagai kelompok yang negatif, yang harus berubah dan bahkan meninggalkan kepercayaannya. Pasal pengosongan kolom agama bagi penghayat kepercayaan dalam UU Adminduk yang telah dibatalkan oleh Putusan MK adalah salah satu contoh kongkrit dari aturan negara yang menstigma kelompok penghayat sebagai warga negara yang tidak beragama. Putusan MK yang baru ditetapkan di akhir 2017 tentu saja masih terlalu singkat untuk mengatasi semua bentuk stigma negatif yang telah lama dilekatkan pada penghayat. Penganut agama adalah di antara kelompok warga negara yang sering melabelkan stigma negatif terhadap penghayat kepercayaan. Ukuran label negatif didasarkan pada narasi agama. Karena dianggap berbeda dari ajaran dan praktik agama, kepercayaan diklaim sesat. Selain sesat, penghayat kepercayaan juga sering dituduh feodal dan memiliki sistem kasta yang bertentangan
dengan budaya modern. Mereka diklaim kolot dan primitif. Stigma negatif seperti itu masih terus dialami oleh warga Marapu di Sumba. Pengalaman serupa dialami oleh warga Sapta Darmo (Persada) di Brebes. Mereka masih sering diklaim sebagai penganut Islam abangan, disesatkan, dan dituduh kafir. Merespon stigma negatif tersebut, warga Sapta Darmo hanya diam, atau menyimpannya dalam hati. Mereka baru akan melapor ke aparat hukum jika stigma berubah bentuk menjadi kekerasan fisik. Menanggapi stigma negatif terhadap penghayat, seorang pegawai Kementrian Agama menasehati (dalam FGD). Menurutnya, para penghayat perlu tetap percaya diri dan terus mengembangkan diri, aktif dan berperan aktif di masyarakat. Dianjurkan agar tidak berkecil hati jika dituduh kafir. Dia menjelaskan bahwa segala yang diluar Islam itu memang dianggap kafir. Demikianlah sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadis, terangnya. Warga MEBM di Kulonprogo juga tidak luput dari stigma negatif. Praktik kepercayaan mereka seperti bakar kembang dan kemenyan seringkali diklaim sebagai praktik memberi makan setan. Semedi yang merupakan praktik kepercayaan sebagai bentuk hubungan vertikal dengan Tuhan dituduh musyrik. Seperti penghayat lainnya, mereka pun dianggap asing dan sesat. Bagi MEBM, di antara sebab menyebarnya stigma seperti yang disebutkan adalah tumpang tindihnya peraturan dan implementasi peraturan yang tidak konsisten. Warga MEBM karenanya masih belum yakin akan dampak Putusan MK. Selama belum dipisahkan antara penghayat dari agama, ungkap seorang penghayat MEBM, warga MEBM akan terus dituduh musyrik. Dia pun berharap, setelah ada aturan jelas yang benar-benar memisahkan kepercayaan dan agama, intensifikasi sosialisasi terkait aturan tersebut perlu dilakukan segera dan menyeluruh agar masyarakat luar dapat menerimanya. Ragam stigma negatif di atas tentu merupakan penghalang dalam peneriamaan. Pelabelan stigma negatif adalah bentuk penolakan. Untuk mengatasi stigma negatif tersebut, Putusan MK perlu segera ditindak-lanjuti, seperti disinggung sebelumnya. Berbagai aturan yang dianggap tumpang tindih saatnya disinkornisasi. Aturan tindak-lanjut Putusan MK dan sinkronisasi aturan perlu dibarengi dengan program pengelolaan keragaman. Pelayanan inklusi, misalnya pengenalan (penggunaan) bahasa Marapu di setiap unit layanan pemerintah untuk konteks di Sumba disarankan oleh pemangku kepentingan, dialog multipihak perlu ditingkatkan, dan usaha ekonomi desa berbasis gotong royong yang inklusif (melibatkan semua komponen desa dari berbagai kelompok) penting dilakukan, seperti yang dilakukan oleh UBB di Medan.
Bab V Rekomendasi Berdasarkan paparan data dan rakapitulasi isu penghayat yang telah diuraikan, rekomendasi dapat dirumuskan sebagai berikut: I.
Tindak-Lanjut Putusan MK: Pencatatan kepercayaan di KTP-el perlu segera dilakukan.
a. Respon positif, menuntut implementasi Seperti diuraikan pada bagian sebelumnya, respon pemanku kepentingan: pemda, khususnya OPD-OPD terkait, tokoh masyarakat/agama, dan penghayat terhadap Putusan MK sangat positif. Sebagian besar OPD telah berusaha memberi pelayanan optimal terhadap warganya yang penghayat sebelum Putusan MK. Tetapi aturan-aturan selama ini masih membatasi mereka. Pengosongan kolom agama di KTP-el selama ini telah menjadi penghalang bagi Dispendukcapil daerah untuk memberi pelayanan atau memenuhi hak-hak dasar penghayat. Bagi OPD-OPD, khususnya Dispendukcapil, Putusan MK adalah landasan hukum baru bagi pengakuan dan pelayanan negara terhadap penghayat kepercayaan. Ia bahkan telah efektif meningkatkan kepercayaan warga terhadap pemerintah. Hanya saja, Putusan MK yang belum diikuti oleh aturan teknis tetap saja membuat pemda belum dapat berbuat lebih. Dengan Putusan MK tersebut, hingga saat ini mereka hanya mampu meyakinkan warga penghayat bahwa mereka segera diakui dan dilayani secara otpimal. Terkait itu, pihak OPD, khususnya Dispendukcapil, berharap, bahkan sebagiannya mendesak, kepada Kementrian Dalam Negeri untuk tidak menunda lagi aturan imlementasi Putusan MK. Mereka khawatir, ketertundaan tersebut dapat berdampak pada menurunnya tingkat kepercayaan warga terhadap pemerintah yang mulai terbangun dengan Putusan MK tersebut. Uforia penghayat tentu masuk akal. Dengan Putusan MK, pemerintah sungguh diharapkan dapat mengakhiri perlakuan diskriminasi yang selama ini mereka alami. Segera setelah Putusan MK dibacakan, sebagian mereka telah mencoba menuntut pelayanan sesuai amar Putusan MK ke pihak OPD terkait. Akan tetapi, mereka terpaksa kecewa karena Putusan MK ternyata tidak memiliki arti secara administratif jika tidak ada aturan implementasinya. Mereka pun kembali cemas jika Putusan MK sebatas berita gembira yang dapat membangkitkan uforia, tetapi pemerintah tetap saja tidak berubah, atau tidak akan mengakui dan melayani mereka secara optimal. B. Ketertundaan telah memicu konflik.
Putusan MK yang tidak diikuti oleh aturan implementasi telah berdampak pada perubahan sikap kelompok warga terhadap penghayat. Salah satu desa di Brebes, Jawa Tengah adalah kasus kongkritnya (lihat paparan data Kab. Brebes). Sebelum Putusan MK, warga penghayat di beberapa desa di Brebes telah diberi jaminan pemakaman oleh pemerintah desa setempat, setelah upaya advokasi dilakukan, termasuk desa yang diceritakan. Kasus pemakaman penghayat di Brebes pernah menjadi isu nasional yang ramai diberitakan media. Tetapi setelah Putusan MK, jaminan pemakaman di desa yang dimaksud dicabut. Warga penghayat di Brebes sangat mengkhawatirkan jika kasus tersebut kembali menjalar ke berbagai desa. Pertimbangannya adalah pertama jaminan pemakaman tersebut hanya berupa kebijakan desa yang rentan diinfilatrasi. Alasan kedua adalah Putusan MK yang tanpa aturan implementasi justru seakan membangkitkan ketegangan yang memang belum sepenuhnya pulih. Kelompok yang selama ini bersitegang dengan penghayat merasa ‘tertantang’ dengan Putusan MK. Sementara, penghayat kepercayaan menyadari bahwa Putusan MK sebagaimana adanya sekarang tidak ada manfaatnya: tidak bisa diimplementasikan. Putusan MK tanpa aturan implementasi sama seperti “kekosongan hukum”.
Tidak
signifikan, tetapi terdapat kelompok warga yang seakan mengisi kekosongan hukum tersebut dengan memperumit perdebatan relasi agama dan kepercayaan. Perdebatan tersebut bagaimanapun adalah potensi konflik. Semakin lama ditunda, potensi tersebut semakin mungkin menyata. Selain itu, stigma negatif terhadap penghayat cenderung direproduksi dalam konteks kekosongan hukum tersebut. Berbagai pemangku kepentingan pun tampak kurang berdaya merespon stigma tersebut, dan di antara alasan utamanya adalah karena tidak ada aturan implimentasi yang menegaskan relasi agama dan kepercayaan. Beberapa tokoh agama yang harus menghadapi komunitasnya masing-masing pun merasa lemah, dan hanya dapat menyabarkan dan menguatkan jiwa penghayat dalam menghadapi stigma-stigma tersebut. C. Agama dan Kepercayaan di KTP-el 1. “Agama” adalah pilihan paling ideal dan konstitusional. Harus diakui, sejarah perkembangan penghayat kepercayaan yang telah mengalami pasang surut rekognisi oleh negara telah menciptakan kompleksitas masalah bagi penghayat dan pengelolaannya. Di antara kompleksitas tersebut adalah di kalangan penghayat telah terpolarisasi ke dalam tiga kategori: 1) penghayat murni (tidak berafiliasi dengan agama yang diakui oleh negara, atau kolom agama di KTP-el mereka adalah kosong/strip), 2) penghayat beragama (mereka yang berafiliasi dengan agama. Sebagian yang berafiliasi ke agama karena terpaksa—tuntutan sejarah politik, tetapi sebagiannya menjadikan agama sebagai identitas yang melekat,
betapapun sejarah politik yang dilaluinya), dan 3) penghayat campuran (penghayat ....). Kompleksitas tersebut harus dipertimbangkan dalam sistem (aturan) pengelolaan oleh negara. Jika tidak, alih-alih mengatasi persoalan diskriminasi yang selama ini dialami oleh penghayat, diskriminasi baru justru yang dapat muncul. Terkait dengan itu, pilihan kolom agama (tanpa kepercayaan) sebagaimana adanya saat ini di KTP-el adalah paling ideal. Model ini dianggap dapat mengatasi potensi konflik akibat dari kompleksitas di atas. Pertimbangannya adalah bahwa polaraisasi penghayat di atas merupakan fakta sosiologis, antara yang satu dengan yang lainnya tidak harus diperbandingkan, apalagi untuk tujuan menentukan mana yang labih representatif. Dengan pilihan model “agama: ...” di KTP-el, warga negara, termasuk penghayat mencatatkan “kepercayaan”, atau lebih ideal lagi nama kepercayaannya, seperti Marapu, Parmalim, Sapto Darma, dan seterusnya, sebagaimana orang Islam mencatatkan “Islam”, orang Kristen mencatatkan “Kristen”, dan seterusnya. Tentu saja pilihan model di atas semata dimaksudkan untuk secara administratif memperlakukan warga negara dengan identitas apapun secara setara. Pencatatan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Kepercayaan, atau bahkan misalnya Sunda Wiwitan, Ugamo Bangso Batak, Maneges, dan seterusnya, menunjukkan perbedaan yang sangat jelas. Akan tetapi, semua itu di mata negara, khusus untuk kepentingan pencatatan/administrasi negara, adalah setara. Mereka setara dalam pemenuhan hak kewarga-negaraan. 2. Agama/kepercayaan atau yang lainnya. Diketahui publik bahwa ketertundaan aturan implementasi Putusan MK, tepatnya juklak/juknis pencatatan kepercayaan di KTP-el adalah karena “negosiasi politik.” Publik memahami bahwa terdapat empat (4) model pencatatan kepercayaan yang saat ini ada di tangan Kemendagri. Dimensi politik terkait isu penghayat ini tentu saja layak dipertimbangkan. Berdasarkan temuan lapangan, tanpa mengurangi posisi paling ideal untuk model “agama: ...”, pilihan “agama/kepercayaan: ...” atau yang lainnya yang memisahkan agama dan kepercayaan, dapat dengan terpaksa diaplikasikan hanya jika pilihan pertama mengharuskan negosiasi politik, dan konsekuensinya adalah ketertundaan. Kemendagri harus lebih memprioritaskan penanganan potensi konflik akibat
ketertundaan, seperti diuraikan di atas, dibanding mengupayakan negosiasi politik yang tidak akan berkesudahan. Hanya saja, perlu dipahami bahwa pilihan model “agama/kepercayaan: ...” atau model lainnya, selain model pertama, cepat atau lambat akan dipersoalkan karena pada hakikatnya ia mengandung “cacat”: pembedaan warga negara. Secara sosiologis dan politis, pembedaan agama/kepercayaan senantiasa menonjolkan relasi hirarkis antar keduanya: Agama lebih “benar” dari kepercayaan. Konsekuensinya, potensi diskriminasi terhadap penghayat laten. Selain itu, kaitannya dengan polarisasi penghayat seperti dijelaskan di atas, model “agama/kepercayaan” akan mensimplikasi kompleksitas fenomena penghayat, yang akan berdampak pada kemestian pengakuan satu kelompok yang representatif dan penegasian terhadap kelompok lainnya. Model ini dengan demikian bukannya mengatasi, tetapi akan tetap melanggengkan sistem pengelolaan negara yang diskriminatif terhadap warganya. Yang mungkin berbeda adalah subyeknya (kelompok penghayat tertentu), tetapi sistem pengelolaannya tidak berubah secara signifikan karena kelompok penghayat lain akan tetap terdiskriminasi. 3. Penguatan dan Pemberdayaan kelompok Penghayat Aturan perundang-undangan terkait kepercayaan selama ini telah menempatkan kelompok penghayat kepercayaan sebagai warga negara yang marginal. Tidak tersedianya pelayanan negara terhadap warga negara berdasarkan kepercayaan telah menjadi sebab utama ketertinggalan kelompok penghayat dalam berbagai hal dibanding dengan warga negara lain. Tingkat pendidikan dan kesejahteraan mereka rendah, secara sosial terisolasi, dan secara politik termarginalkan. Putusan MK harus dipahami bukan sebatas pencatatan kepercayaan di KTP-el, tetapi lebih jauh harus menjangkau pada pemulihan, penguatan dan pemberdayaan kelompok penghayat. Negara, berdasarkan Putusan MK, berkewajiban mengekselerasi posisi kelompok kepercayaan untuk bisa segera setara dengan warga lainnya. Kelompok penghayat perlu segera dipulihkan dari keterpinggiran akibat marginalisasi yang sistematis selama ini, perlu diperkuat dengan jaminan kesetaraan, dan perlu diberdayakan agar dapat menjadi kelompok warga negara yang tangguh. Di antara yang mendesak untuk dilakukan terkait dengan penguatan dan pemberdayaan adalah sebagai berikut:
1. Pendataan, pengorganisasian, dan registrasi Banyak kelompok penghayat yang sampai sekarang belum terdata secara valid dan terorganisir secara solid, sehingga sulit untuk meregistrasi kelompoknya sebagaimana disyaratkan pemerintah untuk administrasi pelayanan. Contoh paling menonjol dari temuan lapangan adalah warga Marapu di Sumba Barat, Sumba Barat Daya, dan Sumba Tengah. Faktor penyebab utamanya adalah (secara eksternal) sejarah intimidasi dalam ragam bentuk dari pemerintah melalui peraturan perundang-undangan dan dari masyarakat umum melalui stigma negatif. Ragam intimidasi tersebut telah berdampak (secara internal) kepada sikap inferior dari warga penghayat, khususnya para generasi mudanya, dan bahkan antipati terhadap ajaran kepercayaan mereka sendiri. Selain itu, banyak penghayat telah berafiliasi ke salah satu agama yang diakui negara, sekalipun tetap teguh dengan kepercayaan mereka. Sikap ambivalensi dari sebagian penghayat masih ditemukan hingga sekarang. Fakta-fakta tersebut adalah di antara tantangan serius bagi pendataan dan pengorganisasian penghayat. Oleh karena itu, penghayat dengan situasi seperti itu memerlukan pendampingan (dari berbagai pihak) dan pro-aktif pemerintah. Mereka adalah kelompok rentan. Membiarkan mereka, karena dengan anggapan bahwa mereka sendiri yang harus aktif, pada dasarnya dapat berarti bahwa melanggengkan peminggiran. 2. Dialog dengan komponen masyarakat Seperti telah disinggung, peminggiran kelompok penghayat selama ini adalah oleh negara masyarakat umum, termasuk (jika bukan yang utama) kelompok agama. Stigma negatif oleh masyarakat seperti bahwa kepercayaan adalah kolot dan sesat telah berdampak langsung peminggiran kelompok penghayat. Dengan stigma tersebut, kelompok penghayat dieksklusi, dan interaksi antara penghayat dan masyarakat umum seakan terhalangi oleh tembok besar. Fakta ini harus dimasukkan dalam kerangka konsep penguatan dan pemberdayaan kelompok penghayat. Interaksi dan dialog dengan komponen masyarakat umum, terutama yang bersentuhan langsung kelompok penghayat terutama kelompok agama penting dilihat sebagai strategi sekaligus tujuan penguatan dan pemberdayaan penghayat. Pengalaman warga Ugamo Bangso Batak di Medan dengan kegiatan-kegiatan sosial dan MEPM di Kulonprogo dengan kegiatan ekonomi adalah contoh penguatan dan
pengembangan penghayat yang efektif. Pengalaman tersebut patut diduplikasi di tempat lain, dan pemerintah dan lembaga lain perlu menfasilitasinya. 3. Kerjasama Kelompok Penghayat (khususnya MLKI), CSO dan Pemda dalam penguatan dan pemberdayaan. Isu kepercayaan bukanlah isu kelompok penghayat semata. Ia adalah isu kebangsaan, dan karenanya penting diposisikan dalam konteks pengelolaan kebangsaan. Pilarpilar kebangsaan dengan demikian penting dilibatkan. Terkait dengan poin sebelumnya, penguatan dan pemberdayaan penghayat (hanya) akan efektif jika melalui kerjasama lintas lembaga, atau tepatnya lintas pemangku kepentingan. Berbagai cerita sukses (misalnya respon positif terhadap Putusan MK dari berbagai pemangku kepentingan), tentu dengan ragam level, dari lapangan adalah hasil dari kerjasama lintas pemangku kepentingan. Sebagaimana diuraikan dalam bagian rekapitulasi isu penghayat, berbagai isu kepercayaan panting dibahas dan diatasi kerangka kerjasama lintas pemangku kepentingan. Di bawah ini adalah di antara yang perlu diprioritaskan dalam kerja bersama: 1. Pembentukan Badan Khusus Badan khusus, atau minimal satuan tugas (Satgas) diperlukan untuk mengatasi kompleksitas isu kepercayaan. Kompleksitas tersebut mencakup sebagian regulasi yang tumpang tindih (perlu singkronisasi) termasuk Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) untuk efektifitas pelayanan secara optimal di semua lembaga negara dan OPD terkait, penguatan dan pemberdayaan kelompok penghayat, dan penerimaan sosial. 2. Pendidikan Kepercayaan Pendidikan kepercayaan perlu mendapatkan perhatian khusus dan serius. Dari sisi kebijakan, Peraturan Menteri terkait pendidikan kepercayaan sudah ada. Kurikulumnya sudah ada berkat kerjasama direktorat terkait dan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), dan bahkan sudah diimplementasikan di beberapa tempat, termasuk di dua sekolah di Medan, tempat warga Parmalim dan Ugamo Bangso Batak menempuh pendidikan. Perhatian khusus dan serius yang diperlukan adalah agar pendidikan kepercayaan segera diimplementasikan di semua sekolah dimana peserta didik dari penghayat kepercayaan belajar.
Dinas Pendidikan di daerah adalah yang paling otoritatif dan bertanggung-jawab untuk implementasi pendidikan kepercayaan. Dinas Pendidikan perlu segera berkoordinasi dengan sekolah-sekolah di bawah naungannya untuk kepentingan tersebut. Tentu saja tanggung-jawab tersebut tidak dilimpahkan sepenuhnya kepada Dinas
Pendidikan
dan
sekolah-sekolah.
Pendidikan
kepercayaan
memiliki
kompleksitasnya sendiri. Perangkat pengajar/penyuluh dan kurikulum atau konten pendidikan kepercayaan yang kontekstual adalah di antara yang dikeluhkan sebagai penyebab tidak terlaksananya pendidikan kepercayaan. Sekali lagi, kerjasama lintas pemangku kepentingan adalah syarat implementasi pendidikan kepercayaan yang efektif.