Halaman belakang cover
Kulek Terakhir Sebuah Pengantar Sejarah Suku Sawang Gatong
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak isi buku ini Tanpa izin tertulis dari penerbit.
Kulek Terarkhir Sebuah Pengantar Sejarah Suku Sawang Gatong
Sambutan LPMP Air Mata Air
Kata Pengantar Allah Maha Besar. Segala puji bagi Allah karena berkat izin-Nya buku ini bisa terselesaikan. Salawat dan salam bagi Nabi Muhammad SAW yang menjadi penuntun ke jalan yang lurus. Buku ini kami susun dengan segala upaya agar bisa membawa kebaikan bagi kalangan luas. Kulek Terakhir, Sebuah Pengantar Sejarah Suku Sawang Gantong adalah sebuah buku yang membuka jalan bagi banyak pihak yang tertarik pada komunitas Suku Laut di Pulau Belitung, khususnya di Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur. Penulisannya menggunakan pendekatan jurnalistik. Pernyataan orang-orang terdahulu tentang Suku Sawang sebisa mungkin dikonfirmasi pada generasi yang masih ada saat ini. Tentu terdapat sejumlah kekurangan dalam penulisan buku ini. Salah satunya adalah sumber-sumber berbahasa Belanda kuno yang masih diterjemahkan secara bebas. Kedalaman dari setiap konteks masalah dalam penulisan buku ini juga masih perlu ditingkatkan pada masa-masa mendatang. Namun terlepas dari itu semua, apresiasi patut ditujukan pada LPMP Air Mata Air yang begitu antusias mendukung penerbitan buku ini. Terima kasih juga ditujukan bagi istri ku Firtasari Haliza yang begitu sabar mendampingi proses penulisan buku ini. Semoga segala yang dilakukan demi terbitnya buku ini menjadi inspirasi bagi siapa saja yang peduli. Wahyu Kurniawan, Agustus 2016
Daftar Isi Bab I Para Penguasa Lautan Bab 2 Komplemen Kejayaan Timah Bab 3 Pergulatan Hidup di Darat (Kulek Terakhir) Bab 4 Kembali ke Pusaran Zaman Bab 5 Glosarium
Persembahan Untuk Belitong Bangka dan masyarakat Suku Sawang Gantong yang terus berjuang mempertahankan eksistensinya di tengah pusaran zaman.
Bab I Para Penguasa Lautan
Testimoni tentang ketangguhan Orang Laut di Pulau Belitung tidak usah disanksikan lagi. Sejumlah catatan dalam buku-buku kuno buatan Belanda menunjukkan bahwa Orang Laut dikenal sebagai pelaut pemberani dan nelayan yang ulung. Buku Ensiklopedia Hindia Belanda terbitan tahun 1896 secara terang-terangan memaparkan ciri-ciri fisik dan karakter Orang Laut di Pulau Belitung. Paparan itu pula yang membuat citra Orang Laut semakin dikenal luas di kawasan nusantara maupun kalangan Eropa. ”Mereka memiliki fisik yang kuat, pelaut pemberani, nelayan yang unggul, dan pekerja yang kuat,” Ensiklopedia Hindia-Belanda, (1896) hlm 204.
Kekuatan fisik Orang Laut juga tak sekadar berlaku di lautan, tapi juga di daratan. Insinyur tambang timah di Belitung Cornelis de Groot memastikan Orang Laut layak menyandang predikat pekerja yang hebat. Hanya saja
predikat tersebut baru berlaku bila Orang Laut diberikan kesempatan untuk mengadopsi cara kerjanya sendiri. Cara kerja itu yakni dengan sistim borongan atau kerja lembur yang menuntut pekerjaan berlangsung hingga malam. Penilaian De Groot patut jadi perhatian mengingat dirinya adalah salah satu pionir perusahaan timah Belitung yang berhubungan langsung dengan Orang Laut. Ia bahkan adalah orang Belanda pertama yang menggunakan nama Blitong
sebagai
judul
buku.
Hal
ini
setidaknya
menggambarkan bahwa De Groot adalah sosok yang memperhatikan sisi keaslian dalam menulis tentang kebudayaan Belitung. ”Mereka adalah pelaut yang berani, nelayan yang sangat baik dan pekerja yang kuat. Mereka juga pantas disebut sebagai pekerja hebat,” De Groot, (1883) hlm 331 Gambar 1.1. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927.
Orang Laut yang begitu populer dalam sejarah juga menarik perhatian penulis Indonesia Sutedjo Sujitno. Ia bahkan membuat paparan yang cukup panjang tentang Orang Laut di Indonesia secara umum. Paparan itu ditulis dalam bukunya yang berjudul Sejarah Timah Indonesia, terbitan tahun 1996. Asal usul Orang Laut berkaitan erat dengan sejarah rumpun Melayu di Semenanjung Malaya dan Nusantara. Dalam sejarah diketahui kedatangan ras rumpun Melayu ke wilayah tersebut berlangsung selama dua gelombang. Kedatangan gelombang pertama terjadi sekitar 25001500 tahun sebelum masehi (SM). Kala itu orang-orang dari Benua Asia datang dan menyebar ke wilayah selatan seperti Semenanjung Malaya dan Nusantara bagian barat termasuk Sumatera dan Kepulauan Riau. Mereka ini yang kemudian dikenal sebagai bangsa Proto Melayu. Bangsa ini merupakan pendukung budaya Neolithicum (Zaman Batu Baru). Menurut Sutedjo, jejak bangsa Proto Melayu masa kini yakni Suku Talang Mamak dan Suku Laut. Kedatangan ras rumpun Melayu gelombang kedua berlangsung dalam periode sekitar 300 SM. Rombongan
gelombang kedua ini dikenal dengan sebutan Deutro Melayu. Sekarang mereka menjadi mayoritas penduduk Riau dan dikenal dengan sebutan Melayu Riau. Di antara rombongan gelombang kedua itu, terdapat kelompok
yang
dinamakan
Orang-Orang
Perahu.
Kedatangan mereka berlangsung dalam rentang abad ke-10 sampai abad ke-19 yang dalam publikasi Barat sering disebut lewat nama Sea Nomads, Nomadic Boat People, atau Boat People. Secara harfiah sebutan-sebutan itu bisa diartikan Orang Perahu Pengelana. Berdasarkan cara hidupnya, mereka juga kadang disebut dengan istilah Sea Gippsies. Para pedagang Portugis menyebut Orang-Orang Perahu ini dengan sebutan Celates. Dalam buku Sejarah Timah Indonesia, Orang-orang Perahu itu ditulis dengan istilah nama Orang Laut. Penyebutan Orang Laut ini merujuk pada penamaan yang berlaku dalam masyarakat lokal. Terdapat pandangan umum tentang asal muasal kedatangan Orang Laut. Pandangan itu menyebutkan bangsa-bangsa Austronesia turun melalui sungai-sungai besar ke pantai. Pandangan ini kemudian mengarahkan dugaan bahwa Orang Laut pada
awalnya adalah orang-orang sungai. Hal ini merujuk pada catatan sejarah yang menyatakan bangsa-bangsa yang hidup di sekitar Laut Cina Selatan menamakan dirinya ’Putra-putra Sungai’. Maka dapat dilihat bahwa Orang Laut adalah sebuah komunitas yang mampu hidup dalam tiga lingkungan yang berbeda, yakni laut, sungai, dan daratan. Fisik yang kuat juga membuat Orang Laut begitu andal ketika masuk ke dalam dunia bawah laut. Kemampuan hidup di tiga lingkungan sekaligus membuat Orang Laut tampak secara alamai memiliki kemampuan atletis. Sebab pada umumnya mereka adalah para perenang yang mahir dan unggul sebagai penyelam. Mereka membuat perahunya dengan tangan sendiri, kemudian melengkapi diri dengan peralatan tangkap ikan dan senjata untuk berburu binatang. Dengan segala kemampuan yang dimilikinya, Orang Laut tak diragukan lagi adalah ’penguasa lautan’ yang sesungguhnya. Namun dengan kekuatan yang dimilikinya itu tak lantas membuat Orang Laut jadi kaum yang agresif dan menjadi kelompok penakluk bagi suku lain di sekitarnya. Sebab sudah menjadi pendapat umum para
peneliti dan penulis di seluruh dunia bahwa Orang Laut pada hakikatnya adalah orang yang cinta damai. Secara umum Orang Laut di Indonesia tersebar di berbagai daerah seperti di perairan sekitar Pulau Sumatera bagian timur, Kalimantan, Sulawesi, Flores. Catatan tentang sebaran Orang Laut ini dimuat dalam buku Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z karya M. Junus Melalatoa yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1995. Di berbagai kawasan perairan tersebut terdapat pula subkelompok Orang Laut yang disebut Orang Bajau atau Bajo, orang Muara, dan Orang Ameng Sewang. Nama terakhir yakni Orang Ameng Sewang dalam buku itu disebut sebagai nama lain dari Orang Laut di Pulau Belitung. Menurut Junus, kelompok orang Ameng Sewang bisa dijadikan salah satu contoh untuk mengenali pola kehidupan sosial
budaya Orang Laut
secara
keseluruhan. Sebab Orang Laut Pulau Belitung dianggap sudah menghuni laut dan pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Bangka dan Belitung sejak berabad-abad lamanya. Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa Orang Laut di Pulau Belitung adalah representasi dari komunitas Orang Laut di
Indonesia.Orang Laut juga disebut-sebut oleh para ahli sebagai sisa turunan nenek moyang bangsa Indonesia. Sebab mereka dinilai masuk dalam kategori Melayu Tua (proto melayu) dan bahasanya juga masih berdialek melayu. ”Dilihat dari latar belakang asal usul mereka, para ahli mengkategorikan Orang Laut sebagai sisa turunan nenek moyang Bangsa Indonesia yang datang bermigrasi dari daratan
Benua
Asia
sekitar
2500-1500
Sebelum
Masehi,” M.Junus, (1995) hlm 459.
Penggunaan
istilah
‘Orang
Ameng
Sewang’
sepertinya perlu dikaji lagi. Sebab, sejauh ini penulis tidak menemukan keterangan mengenai penggunaan nama tersebut dalam komunitas Orang Laut di Pulau Belitung. Satu refrensi yang bisa digunakan yakni lewat diktat terbitan Dinas Pariwisata Kabupaten Belitung tahun 1987 yang berjudul ’Mengenal Kehidupan Adat Istiadat Suku Laut (Sawang) di Pulau Belitung’. Diktat tersebut ditulis oleh Asin Bahari sesepuh Suku Laut di Pulau Belitung
yang ternama karena berhasil menduduki posisi staf di Kantor Pusat perusahaan timah di Tanjungpandan. Tampak jelas Asin Bahari di dalam paparannya tak sekalipun
menggunakan
menggunakan
kata
Ameng
Sewang. Nama yang digunakannya yakni, kalau tidak Suku Laut, Orang Laut, atau Sawang. Sesepuh
Suku
Sawang
Gatong
Udin
(76)
mengatakan, kata Ameng dalam Bahasa Laut memiliki arti ’Orang’ dan Sawang artinya Laut. Jadi Orang Laut bisa pula disebut Ameng Sawang. Sedangkan kata ’Sewang’ dalam Bahasa Laut memiliki arti ’uang 10 sen’. Dalam sejumlah literatur berbahasa Belanda juga tak pernah muncul kata ’Sewang’ sebagai nama dari komunitas Orang Laut di Pulau Belitung. Setidaknya hal itu berlaku pada literatur terbitan abad ke-19 maupun awal abad ke-20 masehi. Secara umum, asal usul Orang Laut di Pulau Belitung belum diketahui secara pasti. Generasi tua seperti Asin Bahari bahkan hanya bisa membuat dugaan berdasarkan tradisi yang tampak pada Orang Laut di Pulau Belitung.
”Sepanjang sejarah yang telah berjalan selama ini, belum ada yang dapat memastikan, dari mana sebenarnya asal usul orang-orang Suku Laut ini namun berdasarkan kenyataan yang melekat pada mereka mungkin sekali dahulunya berasal dari Kepulauan Sulu di Mindanau Filipina Selatan. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan dan adat istiadat serta tata cara hidup bentuk rupa yang mirip dengan suku bangka yang mendiami pulau-pulau di lautan teduh tersebut,” Asin Bahari, 1987.
Dugaan Asin, Orang Laut keluar dari Kepulauan Sulu karena mengikuti instingnya sebagai suku pengembara di lautan. Jalur perpindahan mereka menelusuri teluk dan tanjung dari Brunei ke Kalimantan Utara kemudian terus menyebrang ke Semenanjung Malaysia. Dari semenanjung Malaysia kemudian menyebar lagi ke pulau-pulau di Kepulauan Riau terus ke Selatan sampai menuju Bangka dan Belitung. Dugaan Asin ini juga merujuk pada cerita yang mengatakan bahwa nenek moyang Orang Laut Belitung datang dari Johor Malaysia.
Cerita dibalut dengan kisah perjuangan melawan bangsa Eropa. ”Pada waktu Bangsa Portugis menyerang tanah Melayu, orang-orang laut turut berperang sebagai angkatan laut kerajaan Melayu pada saat itu. Mereka dipimpin oleh seorang Panglima kerajaan, melawan angkatan laut Portugis di perairan Malaya,” Asin Bahari, 1987.
Namun
mereka
menderita
kekalahan
sehingga
terpisah dari para pimpinannya. Akibatnya orang-orang laut tercerai berai di lautan luas dan akhirnya menetap di pulau-pulau sekitar Malaya dan Riau. Oleh Orang Laut Belitung, mereka disebut dengan istilah Orang Lingga. Pada sisi lain, terdapat pula cerita dengan versi yang berbeda. Namun kisahnya sama-sama berlatar kerajaan Melayu. Dikisahkan pada suatu ketika seorang Panglima Tanah Melayu telah membunuh
rajanya. Panglima
tersebut dendam lantaran istrinya dipenggal oleh sang raja. Setelah
membunuh
raja,
sang
Panglima
kemudian
membawa orang-orang laut menyingkir dari daratan.
Panglima tersebut menjadikan Orang Laut sebagai laskarnya dan menyebrang ke arah selatan.
Gambar 1.2. Keterangan foto ini hanya ditulis ’Mendayung dengan kaki’. Namun ada kemungkinan 2 nelayan dalam foto ini adalah Orang Laut karena perahu yang digunakan mereka mirip Kulek, perahu khas Suku Sawang yang biasa juga disebut Prauwok. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927.
Dalam pelariannya itu, sang Panglima dan Orang Laut terpisah karena dihantam angin ribut. Sebagian mereka terdampar di sekitar Kepulauan Riau, Pulau Bangka, dan Belitung. Sejak itu Pulau Belitung dihuni oleh dua komunitas sosial yakni Orang Laut dan Orang Darat.
Orang Laut bertahan hidup sebagai nelayan, sedang Orang Darat memenuhi kebutuhan hidup secara berladang.
Gambar1.3. Keterangan asli foto ini hanya ditulis ’Para Nelayan’. Lokasi foto ini diketahui berada di daerah Tanjung Binga. Karena itu kemungkinan nelayan yang dimaksud berasal dari para nelayan Melayu Belitong. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927.
Cap Bajak Laut Lewat paparan sebelumnya, Orang Laut masih dikenal sebagai kelompok yang baik dan unggul secara fisik maupun kemampuan melaut. Namun kita juga tidak bisa menutupi sejumlah catatan lain yang mencap Orang Laut dengan citra negatif.
Dalam buku Sejarah Timah Indonesia disebutkan bahwa banyak dari Orang Laut yang menjadi perampok karena pengaruh dari orang-orang daratan yang tinggal di desa-desa. Pengaruh itu kemudian menjadikan Orang Laut mampu membuat perahu perang yang lebih besar untuk menyerang kapal-kapal barang. Secara ekonomi Orang Laut akhirnya beradaptasi dan sangat bergantung pada kelompok-kelompok penguasa yang lebih kuat. Orang Laut seperti masuk perangkap dan diperalat untuk menjadi bajak laut. Pemanfaatan itu tak lepas karena Orang Laut adalah para pendayung yang kuat dan dianggap sebagai prajurit perang yang tangguh. Sifatsifat Orang Laut itu telah menarik perhatian para penguasapenguasa untuk mempekerjakan mereka sebagai orang upahan guna melakukan pembajakan di laut. Pada waktu itu perairan Riau dikuasai oleh penguasa-penguasa Johor, Bintan, serta Lingga. Para penguasa ini kemudian mengorganisir
Orang
Laut
dalam
berbagai
aksi
perompakan di laut. Hubungan antara penguasa Melayu dan Orang Laut kemudian disebut sebagai penyebab munculnya bajak laut
di perairan pantai timur Sumatera, perairan Kepulauan Riau, Lingga, Bangka, dan Belitung. Perampokan kala itu sudah berkembang seperti corak kehidupan. Pionir perusahaan timah Belanda John Francis Loudon dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1883 juga memberikan sesi khusus untuk Orang Laut di Belitung. Salah satu perhatiannya yakni latar masa lalu Orang Laut sebagai bagian dari berbagai aksi perompakan di perairan Pulau Belitung dan sekitarnya. Loudon mengaku mendengar sendiri penuturan Orang Laut Belitung tentang aksi perompakan yang sudah mereka dilakukan. Penuturan itu ia peroleh sewaktu dalam perjalanan laut menyusuri bagian selatan Pulau Belitung. Cerita ini memberikan pandangan lain bahwa ternyata yang menjadi sasaran bukan hanya kapal-kapal Eropa, tapi juga Cina. ”Sepanjang perjalanan ini para Sekah menceritakan berbagai cerita mengenai pembajakan laut pada masa lalu. Mereka menunjuk arah tidak jauh dari Pulau Embasar, selatan dari Pulau Belitung, ada tempat dalam dan penuh penuh pasir di mana sebuah Wangkang Cina
terdampar beberapa tahun yang lalu yang oleh mereka dengan Sekah-sekah lain dirampok dan lalu satu per satu awaknya dibunuh. Menurut mereka air laut sekitar kapalnya merah karena darah,” J.F Loudon1
Reputasi buruk Orang Laut sebagai bajak laut sudah dikenal oleh Belanda sejak lama, jauh sebelum Loudon tiba di Pulau Belitung, 28 Juni 1851. Hal ini tergambar dalam buku karya seorang dosen sejarah kolonial dari Universitas Amsterdam, Belanda DR. F.W. Stapel yang diterbitkan tahun 1938. Dalam buku Stapel disebutkan seiring munculnya pemberontakan di Palembang dan Bangka kurun tahun 1818-1820, perhatian Belanda terhadap Belitung bisa dikatakan hilang. Yang Belanda ketahui pada masa itu Belitung
adalah
’sarang
Lanun’
karena
kelompok
perompak Lanun berkerjasama dengan Orang Laut untuk melakukan aksi teror. 1
John Francis Loudon. Tahun-Tahun Pertama dari Perusahaan Belitung, terj. Yayasan Budaya Mukti (Tanjungpandan, 2015), hlm. 54.
Aksi tersebut bahkan sudah dianggap nekad karena berani mendarat hingga ke Pulau Bangka pada tahun 1820 untuk
merampas
timah-timah
simpanan
Pemerintah
Belanda di Batu Rusa. Melihat kejadian tersebut, Pemerintah Belanda mau tidak mau harus kembali memberikan perhatian pada Belitung. Tugas pendudukan Pulau Belitung diserahkan kepada Mayor De Kock dan dilaksanakan pada tahun 1821. Dalam Resolusi Gubernur Jenderal Hindia Belanda 24 Juli 1820 No 1 pemerintah memandang penting untuk tidak lagi menggunakan cara kekerasan dalam menduduki Pulau Belitung. Karena cara itu tidak memberikan hasil. ”Maka sebaiknya dilakukan dengan cara yang lain ialah mendekati mereka (penduduk Belitung) dengan cara yang halus dan supaya juga diminta bantuan kerjasama dengan orang-orang Siekapas (orang2 Sekah) yang tinggal di pantai2, supaya mereka meninggalkan
pekerjaan2
dengan
cara
merampas
dan
merompak,” Stapel2 2
Frederik Willem Stapel (1938) hlm. 46-49, terjemahan Abu Hasan (1983) hlm. 12-14.
Namun cara halus yang dimaksud tidak diterapkan dengan baik sehingga Belanda gagal mengambil hati Orang Laut. Kondisi ini membuat Belanda akhirnya melakukan pendekatan militer dengan mengirim prajurit sebanyak satu batalion pada tahun 1822. Menurut J.F Loudon, pada tahun 1822 ini, hubungan Orang Laut dan Lanun terputus, yang semula berteman kemudian jadi bermusuhan. Meski begitu, Pemerintah Belanda tetap menyakini bahwa Orang Laut masih terlibat dalam sejumlah aksi perompakan hingga ke laut Jawa, baik secara mandiri maupun di bawah pengaruh penguasa pribumi. Pada tahap ini perlu kembali kita melihat modus perompakan yang dilakukan dari masa ke masa di perairan Sumatera hingga Belitung. Karena secara umum, aksi ikut menyeret nama Orang Laut sebagai garda terdepan. Bagi penulis, hal ini juga menyangkut soal sudut pandang. Berbagai sumber yang tersedia hingga saat ini sebagian besar adalah warisan era kolonial dan ditulis oleh para penulis-penulis Belanda.
Pada era kolonial, pemerintahan Belanda sangat mungkin mengangap semua pergerakan yang mengganggu aktivitas mereka sebagai sebuah aksi kriminal. Namun bagaimana bila aksi tersebut dilihat dari sudut pandang bangsa-bangsa di Nusantara, termasuk pula oleh para punggawa Orang Laut. Apa yang menjadi buah pikiran Sutedjo Sujitno dalam catatan akhir di bukunya Sejarah Timah Indonesia bisa menjadi bahan rujukan. Palembang, Bangka, dan Belitung sejak berabad-abad dikenal sebagai sarang Bajak Laut yang menguasai perairan Sumatera hingga Laut Cina Selatan. Tumbuhnya kelompok-kelompok Bajak Laut disebabkan
karena
faktor
alam
yang
memang
memungkinkan. Ribuan pulau kecil dan perairan dangkal membuat kawasan-kawasan pantai menjadi rentan terhadap kejahatan. Namun pada perkembangan selanjutnya pada awal abad ke-17, terdapat perubahan motif dari aksi para kelompok bajak laut tersebut. Ketika itu para pedagang Eropa datang ke Nusantara dengan semangat kolonialisme dan sistim monopoli dalam perdagangannya.
Kedatangan
pedagang
Eropa
menjadi
pemicu
munculnya semangat anti-kolonialisme di seputaran pantai Sumatera hingga Laut Cina Selatan. Orang Laut yang berada dalam pengaruh kerajaan-kerajaan Nusantara ikut ambil bagian dalam semangat pergerakan anti-kolonialisme tersebut. Jadi bisa dikatakan, pembajakan yang dilakukan tidak sepenuhnya bermotif kriminal, tapi lebih kepada sebuah pergerakan perjuangan untuk mengusir pedagang Eropa dari bumi Nusantara. Dalam buku Sejarah Timah Indonesia,
Sutedjo
menyodorkan
gagasan
bawah
pergerakan itu sangat mungkin menjadi bentuk perlawanan peratama bangsa Nusantara melawan penjajahan asing. Gagasan ini setidaknya memberikan kita peluang untuk menduga bahwa aksi Orang Laut dalam peristiwa pembajakan itu mungkin saja sebagai bentuk perjuangan. Asumsi sederhana mengenai dugaan itu yakni belum adanya catatan yang menyebutkan Orang Laut dipaksa untuk mengikuti aksi pembajakan kapal-kapal pedagang Eropa. Orang
Laut
disebut
hanya
terpengaruh
oleh
masyarakat yang lebih maju, yang merujuk pada komunitas
kerajaan-kerjaan di Nusantara. Tidak ada kalimat yang menyatakan masyarakat yang lebih maju memaksa Orang Laut untuk melakukan pembajakan. Terpengaruhnya Orang Laut masih bisa kita artikan secara luas. Bisa saja mereka terpengaruh karena kurangnya wawasan. Namun bukan tidak mungkin pula mereka terpengaruh karena dorongan secara mandiri dari dalam hati. Dorongan itu mungkin juga muncul karena Orang Laut merasa ikut terancam oleh dominasi pedagang Eropa dan bisa pula karena solidaritas antar masyarakat Nusantara. ”Ada cerita yang mengatakan, bahwa sebelum menyebar di perairan Kepulauan Riau, Bangka, dan Belitung, orang laut itu adalah penduduk pantai sepanjang Semenanjung Tanah Melayu, terutama menurut cerita nenek mereka datang dari Johor Malaysia3,”
Asin Bahari 3
Lihat juga headline Pos Belitung, Aku Cakap Laut Dia Cakap Melayu. Minggu 12 Januari 2014. Orang Juru yang hidup berdampingan dengan Orang Laut di Desa Juru Seberang juga mengaku nenek moyang mereka dari Johor. Bahasa mereka berbeda dari Orang Laut tapi sepintas terdengar mirip. Karena itu Orang Juru seringkali dianggap sama seperti Orang Laut.
Sekilas Tentang Lanun J.F.Loudon mengatakan, sebelum tahun 1822 Orang Laut di Belitung memiliki hubungan erat dengan Bangsa Lanun. Dalam sejarah, Bangsa Lanun dicitrakan sebagai kelompok Bajak Laut yang ganas dan menguasai perairan timur Sumatera hingga barat Pulau Kalimantan. Seperti halnya Orang Laut, kita juga harus memberi ruang pada sudut pandang lain berkenaan dengan aksi bangsa Lanun. Sebab terdapat sejumlah catatan lain yang menunjukkan bahwa aksi Bangsa Lanun merupakan sebuah aksi heroik melawan kolonialisme pedagangpedagang Eropa. Dampier berkesempatan tinggal bersama bajak laut Lanun pada kurun tahun 1686-16874. Ia menulis secara rinci mengenai kehidupan para bajak laut itu. Menurutnya, dalam
kehidupan
sehari-hari,
bangsa
Lanun
tidak
menunjukkan kecendrungan watak bajak laut. Bangsa Lanun malahan dinilai sebagai komunitas yang cinta damai dan hidup tentram. 4
Sutedjo Sujitno, Sejarah Timah Indonesia (Jakarta,1996), hlm. 116.
Lalu apa yang menyebabkan mereka berubah menjadi kelompok bajak laut yang ganas? Jawabannya ternyata adalah rasa anti-pati mereka terhadap sikap ketamakan orang Eropa yang datang berdagang ke Asia Tenggara. Sebelum pedagang Eropa datang, bangsa di kawasan Asia Tenggara berdagang dengan Cina dalam suasana tentram
dan
saling
menghargai
serta
saling
menguntungkan. Demikian juga yang terjadi ketika perdagangan berlangsung dengan orang-orang dari India. Kemudian datang kelompok pedagang asal Portugis dan disusul Belanda dengan pola mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Pola itu dilaksanakan lewat cara memaksakan hak monopoli dan menekan para penguasa di semenanjung Malaya untuk menerima harga yang mereka tentukan sendiri. Melihat keadaan itu, bangsa Lanun mencari jalan keluar dari tekanan dan kesewenang-wenangan pedagang Eropa. Sebab, bangsa Lanun pada dasarnya adalah bangsa yang memiliki harga diri yang tinggi. Mereka mengenal benar apa arti kemerdekaan dan kedaulatan.
Bangsa Lanun yang dicap sebagai bajak laut itu berasal dari Filipina, tepatnya dari teluk Lano di Pulau Mindanau. Sampai tahun 2015, masyarakat Belitung setidaknya hanya mengenal istilah Lanun. Demikian juga halnya dalam buku Sejarah Timah Indonesia. Literatur barat menyebut mereka Illanun. Padahal, semua istilah itu sejatinya adalah Iranun. Datu Jamaluddin Datu Moksan, MA dari Bidang Sejarah Maritim Universitas Malaysia, Sabah membuat tulisan singkat mengenai asal muasal penamaan Lanun dan cap bajak laut terhadap bangsa Ilanun. Menurutnya, nama Lanun muncul seiring isu bajak laut dan perdagangan budak yang tulis oleh para sarjana dan pegawai Eropa. Isu itu ditulis berdasarkan sudut pandang dek kapal perang Barat, bukan dari sudut pandang orang Timur. Latar tulisannya tentu juga diambil dari perseteruan bangsa Spanyol dengan Iranun di Fillipina maupun hasil ekspedisi bangsa Belanda dan Inggris. Isu berat sebelah dan cendrung memihak bangsa Eropa itu kemudian dimanfaatkan oleh Sir Stamford Raffles dan James Brooke untuk mempengaruhi bangsa
Melayu.
Keduanya
melancarkan
propaganda
yang
menyebutkan bahwa aksi perlawanan Lanun sebagai tindakan keji dan pemenuhan tenaga buruh bagi bangsa Lanun sebagai perdagangan budak. Anne Reber (1966) mendapati tulisan Sir Stamford Raffles sebagian besar harus bertanggungjawab karena telah menghasilkan ’decay theory’ yang menghasilkan gambaran sangat buruk tehadap terhadap orang Iranun. ”Tindakan ini telah menyebabkan Iranun dipanggil Lanun atau Pirate dalam sejarah Asia Tenggara pada abad ke 18. Propaganda Raffles dan Brooke telah berjaya menggambarkan dunia alam Melayu bahawa Iranun sebagai musuh nombor satu di laut Nusantara,” Datu Jamaluddin
Namun pada 2015, tiga orang keturunan Lanun itu berkunjung ke Belitung dan menjelaskan nama mereka yang sebenarnya. Tiga orang asal Sabah Malaysia itu mengatakan bahwa Lanun yang dimaksud dalam sejumlah literatur dan cerita turun-temurun di Belitung sebenarnya adalah Iranun. Sedangkan bangsa barat mengenal mereka dengan nama Illanun.
Gambr 1.4 Keturunan Iranun dari Sabah dan Filipina berfoto bersama Bupati Belitung Sahani Saleh, 25 April 2016 di Hotel Grand Hatika Tanjungpandan. Sumber: Dokumentasi Wahyu Kurniawan, 2016.
Pada tahun 2016, tiga orang keturunan Lanun itu kembali ke Belitung dalam jumlahnya yang lebih banyak yakni sekitar 33 orang, termasuk tiga orang perwakilan dari Fillipina. Mereka datang untuk menjalin silaturahmi dengan
keturunan
Lanun
yang
tersisa
sekaligus
mengklarifikasi sejarah mereka yang sebenarnya. Jumlah warga keturunan Iranun di Pulau Belitung pada tahun 2016 diperkirakan sebanyak 2000 jiwa. Bahkan
akhirnya terungkap Bupati Belitung Sahani Saleh (Sanem) dan istri Wakil Bupati Belitung Gunawati Erwandi A. Rani adalah bagian dari keturunan mereka. Pengakuan Sanem dan Erwandi itu dimuat di belitung.tribunnews.com pada 25 April 2016 dan 13 Juli 2016. Profesor Ali P.Laguindab, Ph.d dari Universitas Negeri Mindanao, Fillipina juga hadir dalam kunjungan silaturahmi
di
Belitung.
Dalam
presentasinya
ia
mengatakan, bangsa Iranun setidaknya sudah sudah memeluk Islam sejak abad ke-14. Hal ini dibuktikan dengan adanya pendirian madrasah dan masjid di Simunul, Tawitawi, Sulu pada tahun 1380.
Profesor Ali P. Laguindab, Ph.d Chairman of Graduate Education Department, Mindanao State University, Philippines.
“Since the coming of the Spaniards in the 1600 to the present the Iranun in the Philippines has sustained five long centuries of continuous wars against the enemies of Islam, against colonialism, against oppression and for selfdetermination in preservation of our homeland for Islam and our posterity,”
Gambar 1.5 Sumber: Dok.Wahyu K, 2016
Gambar 1.6. Kapal Iranun. Sumber: Presentasi Profesor Ali P. Laguindab, Ph.d 2016.
Gambar 1.7. Kelinangan, kesenian bang Iranun yang ditampilkan di Hotel Grand Hatika Tanjungpandan. Sumber: Dokumentasi Wahyu Kurniawan, 2016.
Gambar 1.8. Kesatria Iranun. Sumber: Presentasi Profesor Ali P. Laguindab, Ph.d, 2016.
Bab II Komplemen Kejayaan Timah Pada tahun 1853, JF Loudon membuat tulisan tentang Orang Laut Belitung. Tulisan tersebut dibuat sebagai bagian dari laporan untuk menyambut kedatangan para komisaris. Menurut Loudon, Orang Laut atau Orang Sekah dibagi menjadi lima bagian utama yang disebut; 1. Orang Ketappang 2. Orang Parrak 3. Orang Belantoe (baca: Belantu) 4. Orang Olim 5. Orang Djoeroe (baca: Juru) Kelima bagian utama ini dibagi lagi menjadi suku besar dan suku kecil yang mempunyai kepala atau ketuanya sendiri. Contohnya Orang Ketapang yang terbagi menjadi 6 suku besar dan 4 suku kecil. Nama suku mereka disesuaikan dengan nama para pemimpinnya. Loudon kemudian merinci nama-nama suku besar dan suku kecil dari setiap kelompok Orang Laut tersebut.
Enam suku besar Orang Ketappang yakni: 1. Lantan 2. Ma Lis 3. Ma Riegnoe 4. Ma Lada 5. Ma Rentjeh 6. Batin Anim Setiap suku ini memiliki kekuatan 20 sampai 30 aloean. Kata aloean yang dimaksud memiliki arti perahu. Jadi singkat kata, 20 aloean berarti 20 perahu. Empat suku kecil Orang Ketappang yakni; 1. Oenas 2. Djawa 3. Ma Tjentoe 4. Ma Medar Masing-masing memiliki kekuatan 4-5 aloen. Orang Parrak terbagi menjadi 4 suku besar dan 2 suku kecil, yang nama sukunya juga diambil dari nama pemimpin mereka masin-masing.
Empat suku besar Orang Parrak yakni; 1. Ma Deman 2. Ma Minga 3. Awal 4. Entas Kekuataan mereka berkisar 12-20 aloen. Dua suku kecil Orang Parrak yakni ; 1. Lotang 2. Ma Sagie Kekuatannya 4-5 aloen. Orang Belantoe terbagi menjadi 7 suku besar dan 1 suku kecil yang nama sukunya juga sama seperti nama pemimpin mereka. Tujuh suku besar Orang Belantoe yakni; 1. Ma Minah 2. Ma Rantjang 3. Ma Selat 4. Ma Bali 5. Ma Lanang
6. Ma Intan 7. Ma Kotjeh Kekuatan mereka terdiri dari 14-30 aloean Sedangkan satu suku kecil Orang Belantoe yakni Ma Petak, yang memiliki kekuaran 7 aloean. Orang Olim terbagi menjadi empat suku yakni; 1. Batin Adjar 2. Ma Sarina 3. Ma Cherbon 4. Ma Latjoet Total seluruhnya memiliki kekuatan 47 aloean. Terakhir adalah Orang Djoeroe yang terbagi menjadi dua suku yakni 1. Djoeroe Krah 2. Pa Sariena Total seluruh kekuatan suku Orang Djoeroe ini sebanyak 30 aloean.
Loudon juga mencantumkan daftar jumlah penduduk Belitung tahun 1851 berdasarkan pemberitahuan resmi Depati. Tabel 2.1 Data Penduduk Belitung Berdasarkan Laporan Resmi Depati tahun 1851 Nama
Orang
Orang
Orang
Orang
Distrik
Darat
Asing
Cina
Laut
atau
Timur
atau
Orang
dan
Sekah’s
Beltung
Melayu
Tanjungpan 2.022 dan
218
28
1.067
dan
Jmlh
3.335 jiwa
Lenggang Sijuk
770
72
-
123
965
Buding
246
34
-
-
280
Badau
43
-
-
-
43
Belantu
450
27
-
464
941
3.531
351
28
1.654
5.564
Sumber : J.F Loudon
Gambar 2.1. Ma Demang bersama tujuh kepala dari Orang Laut Parak tahu 1860. Sumber: Hedemann, 1868.
Pada kemudian hari Loudon menilai laporan jumlah penduduk tersebut seperti kurang sempurna. Sebab menurutnya jumlah Orang Belitung dan Orang Laut seharusnya lebih banyak dibandingkan jumlah yang dicantumkan
dalam
laporan
tersebut.
Berdasarkan
pengamatan Loudon, jumlah Orang Laut saat itu berkisar 2.000 jiwa. Loudon mengaku mendapat penjelasan langsung dari Depati prihal laporan jumlah penduduk yang kurang sempurna tersebut. Menurut Depati, hal itu dilakukan untuk menghindarkan masyarakatnya dari kerja paksa. Kehidupan sosial Orang Laut di Belitung pada umumnya berlangsung rukun dan tenang. Menurut Loudon, Orang Laut belum mengenal ketuhanan secara khusus baik lahir maupun batin. Namun,
Orang
Laut
memiliki
kebiasaan
dan
prasangka yang membuat mereka menjadi sosok yang perasa untuk berhubungan dengan agama. Hal ini terlihat dari pandangan mereka terhadap sesuatu seperti penyebab musibah. Mereka tidak berani mengusir burung-burung di beberapa tempat tertentu yang terdapat batu-batuan atau
gumpalan-gumpalan karang. Mereka juga punya prosesi penguburan yang hampir serupa seperti agama Islam, tapi agak
berlainan.
Orang
yang
meninggal
dikubur
menggunakan kain putih beserta segala yang dia miliki seperti priuk, serampang, dan lain-lain. Anggota keluarga kemudian mengelilingi kuburan sambil memanggil roh-roh dan berkata: ”Di sini berbaring bapak/ibu/anak/suami (kami), jangan mengganggu dia, atau saya akan menusuk mu dengan serampang,” Gedenkboek Billiton, 1927.
Pada saat yang sama, seorang anggota keluarga berbaring di batang pohon yang mati sambil menjawab ; poeik, poeik (tidak-tidak). Loudon memprediksi, roh-roh yang dipanggil mungkin malaikat-malaikat Tuhan yang menurut ajaran Muhammad (Islam) sedang mengunjungi yang meninggal. Sedangkan upacara pernikahan disebutkan hanya terdiri dari prosesi memukul gendang. Setelah itu kedua mempelai pergi berdua naik perahu ke laut dan beberapa
waktu kemudian kembali lagi. Pernikahan antar anggota suku tidak diperbolehkan. Sedangkan dalam perceraian dilakukan dengan membayar 60 real kepada pihak yang menginginkan. Sewaktu tahun 1823, komunitas Orang Laut tersebar di lima distrik di Pulau Belitung. Kelima distrik tersebut yakni Cerucuk, Blantu, Buding, Sijuk, dan Badau. Hal ini diungkapkan dalam laporan Komisaris Hindia Belanda untuk Palembang J.I. Van Sevenhoven ketika berkunjung ke Belitung pada tahun 1823. Orang Laut di Belitung tinggal di perahu dan bermukim di wilayah perairan dan di sepanjang tepian sungai. Sevenhoven juga memastikan bahwa Orang Laut adalah bagian dari kawanan Bajak Laut. Menurutnya, Orang
Laut
kala
itu
memperbolehkan laki-laki
tidak
mengenal
tidak disunat
agama,
dan bebas
memakan babi. Namun pada sisi lain, Orang Laut juga memiliki peran penting dalam sejarah awal pendirian perusahaan timah Belitung yang dirintis oleh Loudon pada pertengahan tahun 1851. Orang Laut membantu Loudon untuk berbagai
keperluan seperti menyediakan kayu untuk membuat gudang dan rumah, membongkar muatan beras di pelabuhan, dan
menjadi
seoarang pengawal
dalam
perjalanan di darat maupun di laut. Orang Laut juga menjadi navigator Loudon ketika melakukan perjalanan keliling Pulau Belitung. Kisah perjalanan ini dicatat cukup rinci oleh Loudon dalam buku hariannya. Peristiwa tersebut terjadi pada 4 Oktober 1851. Rombongan ekspedisi berangkat dari Tanjungpandan ke sisi utara Pulau Belitung menggunakan dua perahu Orang Laut Belantu. Tiap perahu terdiri dari 14 pendayung, seorang juru mudi, dan seorang yang bertugas mengamati karang. Di antara para awak tersebut sebagian adalah Orang Laut Tanjungpandan yang sama sekali tidak berbaur dengan Orang Laut Belantu. Satu perahu lainnya khusus digunakan untuk mengurus makanan, koki, dan dapur. Selama perjalanan, mereka menyinggahi sejumlah tempat yakni Tanjung Binga, Sijuk, Kampong Bayan, Sungai Padang, Kampong Buding, Sungai Pring, Telok Oentoong, Sungai Air Mas,
Burong Mandi, Sungai Lolo, dan kembali lagi ke Tanjungpandan. ”Perjalanan pendek selama kira-kira 14 hari bagi kami sangat penting karena tanah yang kami teliti, dan meskipun penelitian ini dangkal ditemukan biji timah di lapisan atas sehingga dapat simpulkan bahwa bagian pulau ini sama kayanya mengandung biji timah seperti saat penggarapan
pertama
meskipun
dilakukan
sebagai
percobaan,” kata Loudon. Tak hanya ikut membantu menyukseskan penelitian timah
pertama
Loudon,
Orang
Laut
juga
telah
menyelamatkan nyawa Van Tuyll, keluarga Pengeran Hendrik dari Belanda yang juga sekaligus pemegang konsesi penambangan timah Belitung. Peritiwa itu terjadi pada 15 Oktober 1851 di Telok Oentoong pada penghujung perjalanan eksplorasi sisi utara Pulau Belitung. Van Tuyll yang sedang asyik berenang di laut tak sadar berada tidak jauh dari kawanan ikan hiu. Beruntung sejumlah Orang Laut segera berteriak untuk memperingatinya. Van Tuyll akhirnya tak sampai diserang oleh kawanan hiu tersebut. Kegiatan eksplorasi Loudon di
Pulau Belitung berlanjut ke sisi bagian selatan pada tanggal 21 Oktober 1851. Kali ini Loudon menggunakan tiga perahu Orang Laut, satu perahu di antaranya digunakan oleh Van Tuyll untuk berangkat ke Bangka dari Pulau Seliu. Rute perjalanan di sisi selatan menyinggahi sejumlah tempat. Dimulai dari Tanjungpandan hingga ke Pulau Seliu, dan berlanjut ke Sungai Lenggang sampai Pangkalan Kedang, dan kembali ke Tanjungpandan. Perjalanan itu menghasilkan kesimpulan bahwa di sisi bagian selatan pulau Belitung juga menyimpan kadungan timah yang cukup kaya. Kesimpulan ini khususnya
setelah
ditemukan
kandungan
timah
di
Pangkalan Kedang. Kepastian soal kandungan timah dinilai sangat penting bagi masa depan perusahaan dan sejak itu pula Orang Laut menjadi bagian dari perjalanan sejarah perusahaan. Sewaktu penambangan timah Belitung berada dalam naungan NV Billiton Maatschappij tahun 1860, Orang Laut berperan sebagai pelaut di kapal pengakut, dan sebagai kuli bongkar muat beras maupun timah.
Hal ini diungkapkan Kepala Administrasi NV Billiton Maatschappij F.W.H. Von Hedemann dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1868. Di samping bekerja di perusahaan, Orang Laut juga disebutkan masih hidup dari hasil sebagai penyelam tripang dan nelayan perncari ikan. Salah satu pionir NV Billiton Maatschappij De Groot dalam bukunya tahun 1887 mengatakan, Orang Laut adalah bagian dari populasi Pulau Belitung yang sangat berguna, khususnya untuk perusahaan. Sebab, Orang Laut dianggap mampu membuat pekerjaan pengakutan yang berat jadi teratasi. Karena itu kata De Groot, Orang Laut begitu melekat pada Billiton Maatschappij. ”Pada penampilannya, Orang-orang Sekah itu hampir tidak serupa dengan pribumi, mereka itu perawakannya besar dan kekar, dan sangat berotot, kesehariannya mereka
mengangkat
beras
dua
karung sekaligus
berbobot 125 kilogram,”
Gedenkboek Billiton, 1927.
Gambar 2.2. Pekerja bongkar muat perusahaan timah Belanda di Tanjungpandan. Sumber: Collectie Tropenmuseum.
Sayang,
sekalipun
berada
dalam
lingkungan
perusahaan, Orang Laut disebut hanya memiliki sedikit pemahaman tentang pertambangan timah. Mereka lebih tertarik pada pekerjaan bebas dengan upah tetap yang dibayar per hari. Mungkin saja keputusan ini diambil agar Orang Laut tetap bisa menjalani aktivitasnya di laut. Para pegawai perusahaan merasa senang ketika melaksanakan perjalanan dinas menggunakan perahuperahu Orang Laut. Pasalnya Orang Laut suka mengobrol secara bebas sehingga para pegawai sangat menikmati perjalanan tugasnya.
Gambar 2.3. Para pekerja perusahaan timah yang diduga sebagiannya adalah Suku Sawang tahun 1936. Mereka sedang membawa kabel di daerah antara Manggar-Kampit. Sumber: Collectie Tropenmuseum.
Tak hanya kaum pria, ternyata para perempuan Orang Laut juga terlibat dalam rantai usaha tambang timah. Banyak kaum perempuan Orang Laut yang bekerja sebagai penjahit karung timah sebelum diekspor ke Singapura. Partisipasi kaum perempuan Orang Laut sebagai penjahit karung timah setidaknya sudah berlangsung sejak tahun 1927. Hasil pekerjaan mereka bisa diandalkan. Karena itu pihak perusahaan memastikan pekerjaan bongkar muat dan menjahit karung timah sudah menjadi hak prerogatif Orang Laut.
Eksistensi
Orang
Laut
terus
berlanjut
ketika
penambangan timah Belanda di Belitung diambil alih oleh Indonesia pada tahun 1958. Bahkan peran mereka bertambah luas, tidak hanya menjadi kuli bongkar muat, tapi juga dipercaya menjadi sopir dan penimbang timah di gudang-gudang penampungan. Hal ini diungkap oleh tokoh paling tua Orang Laut Gantong yang bernama Daud. Pada tahun 2016 usianya sudah menginjak 90 tahun dan masih ingat beragam pekerjaan yang pernah diembannya di perusahaan timah. Daud menjadi generasi Orang Laut yang sempat merasakan zaman peralihan antara tambang timah Belanda dan Indonesia. Ia sudah bertugas sejak zaman NV. Gemeenschappelijke Maatschappij Billiton (GMB) dan sekarang berstatus sebagai pensiunan PT Timah. Bahkan orang tuanya dulu juga sudah bekerja pada perusahaan timah Belanda. Lingkungan kerja Orang Laut diperusahaan timah juga mengalami perluasan dari generasi ke generasi. Mereka yang pada awalnya lebih banyak bekerja pada sektor pelabuhan dan gudang, kemudian meluas hingga ke
unit kapal keruk, kolong-kolong tambang timah, dan proyek bangunan gedung. Anugrah kekuatan fisik adalah faktor utama yang telah mengantarkan Orang Laut dalam menjalankan semua peran tersebut. ”Orang Sekka berani, kuat, berotot, dan tidak mengenal lelah dalam melaksanakan pekerjaannya,” Pieter Hendrik Kemp, 1886, hlm.3.
Gambar 2.4. Potongan peta dari Peta Pulau Belitung karya De Groot terbitan tahun 1887. Potongan ini menunjukkan Dendang sebagai pusat dari Distrik tambang timah Dendang dan sekaligus sebagai daerah pelabuhan di kawasan teluk Balok. Sumber:website perpustakaan Universitas Leiden.
Gambar 2.5. Orang Laut di Pulau Belitung. Tidak disebutkan di mana lokasi detil dari foto ini. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927.
Gambar 2.6. Para perempuan Orang Laut bekerja sebagai penjahit karung timah. Tidak ada keterangan mengenai lokasi detil dari foto ini. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927.
Gambar 2.7. Para pekerja PN Tambang Timah dari warga Suku Sawang Gantong sedang berfoto bersama, diperkirakan tahun 1960. Sumber: Dokumentasi Jana, tahun 60-an.
Gambar 2.8. Para pekerja PN Tambang Timah dari warga Suku Sawang Gantong sedang berfoto bersama di gudang timah. Sumber: Dokumentasi Jana, tahun 60-an.
Gamar 2.9. Generasi terakhir Suku Sawang Gantong yang berstatus karyawan PT Timah. Sumber: Dokumentasi Jana, tahun 80-an.
Jadi tak bisa disanksikan lagi bahwa Orang Laut menjadi salah satu bagian penting dalam rantai pengelolaan tambang timah di Belitung, baik pada masa kolonial Belanda maupun era kemerdekaan Indonesia. Hal ini juga secara tidak langsung menunjukkan bahwa Orang Laut telah ikut memberikan kontribusi pada negara. Perlu diketahui, timah pada awal orde baru adalah salah satu penghasil utama devisa Indonesia di samping ekspor minyak bumi, karet, dan kopi. Sekalipun berada pada level yang paling bawah, peran Orang Laut tetap patut diapresiasi. Karena itu pula hampir semua buku yang menceritakan sejarah perjalanan tambang timah selalu mencantumkan nama Orang Laut di dalamnya. Tanpa adanya Orang Laut, mungkin saja dulu Loudon butuh waktu lebih lama untuk menjelajahi Pulau Belitung.
Atau,
mungkin
pihak
perusahaan
harus
mengeluarkan biaya lebih besar untuk mendatangkan pekerja bongkar muat dari luar daerah, karena penduduk Melayu di Belitung tak bisa diandalkan untuk pekerjaan berat seperti itu.
Bab III Pergulatan Hidup di Darat (Kulek Terakhir)
Dokumentasi tertulis tentang Orang Laut di Belitung disebut-sebut sudah muncul pada tahun 1668. Hal ini ditulis dalam buku Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia yang merujuk pada sumber kepustakaan lama ”Ketika pada tahun 1668 kapal Belanda mendarat di Pulau Belitung, para awak kapal mendapat serangan orang Ameng Sewang. Ini menunjukkan di masa lalu mereka pernah mempunyai kekuatan yang cukup berarti,”
M Junus Melalatoa, 1995. Hal tersebut kata Junus, menunjukkan bahwa Orang Laut telah berabad-abad lamanya menghuni laut dan pulaupulau kecil di sekitar Pulau Bangka dan Belitung. Namun tulisan Junus ini tampak tidak menggunakan rujukan langsung dari sumber kepustakaan lama.
Sebab di akhir tulisan tersebut, Junus mencantukan daftar rujukan yang digunakannya. Rujukan itu yakni dari tulisan Ishak H di media Kompas terbitan 14 Februari 1980, Sarwoko di media Intisari edisi Februari 1981, dan Setyobudi di Seri Profil Masyarakat Terasing di Indonesia yang diterbitkan Direktorat Bina Masyarakat Terasing Departemen Sosial R.I tahun 1987. Bila melihat tahun yang dimaksud yakni 1668, kemungkinan besar kapal Belanda yang mendarat itu adalah kapal De Zantlopper yang dinahkodai oleh Jan De Harde. Dalam buku Stapel memang disebutkan bahwa pada 12 Juli 1668, De Harde berangkat dari Batavia menuju Pulau Belitung dalam rangka mengawal seorang petinggi Palembang bernama Sampoera. Buku Stapel juga melampiran laporan De Harde ketika berkunjung ke Pulau Belitung. Namun dalam laporan tersebut tidak terdapat satu kata pun yang mendeskripsikan Orang Laut, apalagi mengisahkan tentang serangan dari Orang Laut terhadap kapal De Harde. Penyerangan terhadap De Harde baru terjadi pada saat kunjungan keduanya ke Pulau Belitung pada 14 Juni 1672.
Ia tiba di muara sungai Kubu dan esok harinya tanpa disadari kapalnya sudah dikepung oleh 12 perahu yang berpura-pura mencari ikan. Kapal De Harde diserang menggunakan tombak dan kapak. Akibatnya satu awak meninggal, 10 orang luka-luka dan De Harde sendiri mengalami luka yang parah. Kisah inilah yang kemungkinan ditafsirkan sebagai serangan
Orang
Laut.
Namun
sekali
lagi
perlu
dipertimbangkan bahwa De Harde sama sekali tak menulis secara detil tentang siapa suku yang menyerangnya tersebut. Sejauh yang penulis ketahui, catatan mengenai Orang Laut tercantum dalam Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1821. Dalam surat keputusan tersebut Orang Laut ditulis dengan tulisan Siekapas yang kemudian diterjemahkan oleh Stapel (1938) sebagai Orang-orang Sekah. Komisaris Hindia Belanda untuk Pelembang yakni J.I. Sevenhoven berkunjung ke Belitung pada Juli 1823. Dalam laporan kunjungannya, Sevenhoven menulis Orang Laut dengan tulisan Orang-Sekah atau Orang-Laut.
Dari generasi ke generasi Orang Belanda yang berkunjung ke Belitung tampak tidak konsisten dalam menuliskan nama Orang Laut. Insinyur tambang Dr. J.H. Croockewit yang berkunjung ke Belitung pada 1850 menuliskan nama Orang Laut dengan tulisan Orang Sicca. John F. Loudon (1851) menulis Orang-laut atau Orang-sekah dan Cornelis De Groot hanya menulis Orang Sekah. Sedangkan Hedemann (1861) menulis lebih singkat yakni Sekkahs. Tampak sekali adanya perbedaan dalam penulisan Orang Laut. Padahal mereka sama-sama bertemu dan berhubungan langsung dengan Orang Laut di Belitung. Perbedaan penulisan tersebut berlanjut hingga zaman kemerdekaan Indonesia. Sebagai contoh Ishak dalam tulisannya di Komas 14 Februari 1980 menulis Orang Laut dengan tulisan Suku Laut. Sarwoko dalam majalah Intisari edisi Februari 1981 menulis Orang Laut dengan tulisan Suku Ameng Sewang. Dan Setyobudi dalam Seri Profil Masyarakat
Terasing
di
Indonesia
tahun
1987
mendeskripsikan Orang Laut dengan tulisan Suku Laut (Ameng Sawang).
Sementara Mary F.Somers Heidhues dalam karyanya Company Island: A Note on The History of Belitung, Mary F.Somers Heidhues April 1991 menulis Orang Sekak. Kemudian dalam Sejarah Timah Indonesia, Sutedjo menulis Orang Laut dengan tulisan Orang Sekak. Menurut Sutedjo, Orang Sekak juga menamai dirinya Manih Bajau yang artinya turunan bajak laut. Tabel 3.1 Bentuk Penulisan nama Orang Laut Pulau Belitung dalam Berbagai Literatur dari Masa ke Masa* Era 1800-1899
Bentuk Penulisan Siekapas, Orang Sicca, Orang Sikka, Orang-Sekah,
Orang-Laut,
Orang
Sekah, Orang Laut, Sekkahs, Sekka 1900-1999
Suku Laut, Suku Ameng Sewang, Suku Ameng Sawang, Orang Sekak, Manih Bajau
2000-2016
Suku Laut, Orang Sawang, Suku Sawang
*Dari berbagai sumber. Wahyu Kurniawan, 2016.
Orang Laut di Pulau Belitung sekarang menamai dirinya dengan sebutan Suku Sawang. Selebihnya Suku Sawang Gantong menambahkan kata yang merujuk pada wilayah domisili. Contohnya seperti Suku Sawang Gantong, Suku Sawang Manggar, Suku Sawang Jalan Baru, dan Suku Sawang Seberang. Suku Sawang Gantong berpusat di RT 4 Dusun Seberang,
Desa
Selingsing,
Kecamatan
Gantung,
Kabupaten Belitung Timur. Suku Sawang Manggar di Desa Baru, Kecamatan Manggar, Kabupaten Belitung Timur. Suku Sawang Seberang di Desa Juru Seberang, Kecamatan Tanjungpandan, Kabupaten Belitung, dan Suku Sawang Jalan Baru di Jalan Gatot Subroto, Kelurahan Paal Satu, Kecamatan Tanjungpandan, Kabupaten Belitung. Selebihnya sebagian warga Suku Sawang berbaur di dalam lingkungan masyarakat umum di berbagai desa di Pulau Belitung. Pada era kolonial, kata ’Suku Sawang’ tampaknya tidak pernah digunakan untuk menyebutkan identitas Orang Laut di Belitung. Hingga kini belum jelas sejak
kapan nama Suku Sawang pertama kali digunakan dalam bentuk tulisan ataupun lisan. Laporan survei Direktorat Pembinaan Masyarakat Terasing pada tahun 1977 sudah menggunakan kata ’Sawang’. Hanya saja kata tersebut menjadi sebuah kesatuan yang ditulis lengkap; Ameng Sawang. Para sesepuh Suku Sawang Gantong mengatakan, penggunaan nama Sawang sebetulnya sudah ada sebelum tahun 1977. Setidaknya menurut mereka, Orang Laut di Kecamatan Gantung sudah mendeklarasikan penggunaan nama Sawang pada awal tahun 60-an. Hal ini merujuk pada pembentukan klub sepakbola SSG yang merupakan singkatan dari Suku Sawang Gantung. Sayang generasi yang tersisa sekarang kurang begitu ingat kapan pertama kali klub tersebut dibentuk. Seingat mereka, klub tersebut sudah eksis sejak awal tahun 1960 dan masih bertahan hingga sekarang. Penggunaan kata Suku Sawang menjadi semacam sebuah perlawanan Orang Laut terhadap kesalahpahaman orang dalam mengidentifikasi Orang Laut di Pulau Belitung. Sebab Orang Laut di Belitung mengklaim tak
pernah menamai diri mereka sebagai Orang Sekah, atau Orang Sekak. Hal ini juga berlaku bagi komunitas Suku Sawang Gantong. Mereka
lebih
senang
dipanggil
Orang
Laut
dibandingkan Orang Sekak atau Orang Sekah. Sebab para leluhur mereka dulu memang memperkenalkan diri dengan nama Urang Laut, yang secara harfiah juga sama seperti Orang Laut. Setelah itu baru mereka menggunakan nama Suku Sawang. Kata ’Sawang’ sendiri sebenarnya memiliki arti yang sama yakni laut, jadi Orang Sawang sama artinya seperti Orang Laut, begitu juga Suku Sawang yang artinya adalah Suku Laut. Nama Sekak atau Sekah tak lain hanyalah nama yang digunakan masyarakat Melayu di Pulau Belitung untuk mengidentifikasi Orang Laut. Hingga kini tak jelas siapa yang pertama kali menggunakan nama Sekak. Namun Suku Sawang mengetahui makna dari kata Sekak dan menilai hal tersebut sebagai sebuah ejekan dan penghinaan. Mereka sama sekali tidak menyukai panggilan tersebut, dari sejak dulu sampai sekarang.
”Di kampung kami Belitung ada sebuah suku, kami namai Sekak, istilah umumnya Suku-laut. Sekak selalu berdiam di tepi laut, di sekitar pantai, sungai dan muara. Bertempat tinggal dalam perahu. Ataupun kalau punya rumah, biasanya rumah panggung yang tinggi di atas air, dengan perhitungan kalaupun air laut pasang-naik tidak akan sampai ke lantai rumah. Mereka hidup beramairamai bergerombolan. Suku-laut ini menyebar di sepanjang pantai pulau Belitung, Bangka dan kepulaun yang ada di Riau-Tanjungpinang sampai di pesisir pantai Kalimantan sebelah barat,” Sobron Aidit (2001), Kisah Serba Serbi edisi 281
Kutipan yang diambil dari tulisan Sobron Aidit adik kandung DN Aidit itu setidaknya memberikan gambaran. Seorang Melayu seperti Sobron mengakui bahwa Sekak adalah nama yang mereka gunakan untuk memanggil Orang Laut. Nama Sekak diambil dari kata Nyekak. Menurut para sesepuh Suku Sawang Gantong, kata tersebut merupakan sebuah istilah untuk menyebutkan kebiasaan Orang Laut yang suka mengupas kerang (nyekak) dan memakan isinya
mentah-mentah. Kebiasaan ini dipandang primitif karena memakan hewan laut tanpa dimasak terlebih dulu. Sampai kemudian sempat muncul istilah ’Urang Sekak makan barang mantak’ yang artinya ’Orang Laut makan barang mentah’. Munculnya diskriminasi semacam ini semakin memperlebar jurang perbedaan antara Orang Laut dan masyarakat umum di Pulau Belitung. Akibatnya, pada era sebelum tahun 60-an Suku Sawang Gantong bertahan menjadi sebuah komunitas yang mengisolasi diri dari pergaulan luas. Namun pada dasarnya Suku Awang adalah komunitas yang cinta damai. Hal ini terbukti dari prinsip yang dipegang oleh Suku Sawang Gantong. Mereka berpegang teguh menahan diri dari perselisihan selama orang lain tak menggunakan kata Sekak di hadapan mereka. Karena itu pula mereka sebisa mungkin membatasi diri dalam pergaulan supaya mereka tak mendengar kata Sekak di telinga mereka. Kalaupun ada yang jelas-jelas mengejek lewat sebutan Sekak, maka serombongan Suku Sawang Gantong akan mencari orang tersebut sampai dapat.
Gambar 3.1. Rumah Orang Laut. Suku Sawang Gantong menyakini foto ini mirip seperti kondisi rumah mereka sebelum pindah ke Kampong Laut. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927.
Namun entah siapa yang pertama kali memulainya, Suku Sawang Gantong kemudian berangsur-angsur berbaur dengan masyarakat di sekitarnya. Kuat dugaan bahwa klub sepakbola SSG adalah salah satu media bagi Suku Sawang di Kecamatan Gantung untuk mendekatkan diri pada masyarakat luas di Pulau Belitung. Kekuatan fisik lelaki Suku Sawang menjadikan mereka sebagai pemain sepakbola yang disegani sekaligus disenangi. Secara bertahap, pesepakbola Suku Sawang juga mulai diajak untuk bermain bersama di klub dari luar komunitas mereka. Bahkan generasi Suku Sawang sekarang sudah ikut memperkuat kesebelasan PS Beltim Kabupaten Belitung Timur di berbagai ajang sepakbola di tingkat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung maupun wilayah Sumatera. Nama Suku Sawang tampaknya semakin menguat pada abad ke-21 ketika nama tersebut dimasukkan oleh Andrea Hirata dalam novel Laskar Pelangi yang diterbitkan perdana tahun 2005. Bahkan Andrea memuat satu bab khusus di bab 14 yang diberi judul Laskar Pelangi dan Orang-Orang Sawang.
Gambar 3.2. Para pemain klub sepakbola Suku Sawang Gantong (SSG) sedang berparade. Sumber: Dokumentasi Jana, tahun 60-an.
Sosok Suku Sawang juga masih dimasukkan Andrea Hirata dalam novelnya yang berjudul Sang Pemimpi terbitan tahun 2006. Kemudian pada 2012, bab 14 novel Laskar Pelangi kembali dikutip dalam buku Andrea Hirata dan kawan-kawan yang diberi judul Laskar Pelangi Song Book, Kisah dan Lagu dari Negeri Laskar Pelangi. Dalam novel Laskar Pelangi tersirat bahwa hubungan antara komunitas Melayu dan Suku Sawang di Pulau Belitung sudah berlangsung sejak lama. Hubungan itu dalam bentuk barter di mana orang Melayu menukar hasil buruan dan komoditi hutan dengan garam buatan para perempuan Suku Sawang. Transaksi kedua belah pihak disebut berlangsung di teluk Balok yakni sebuah teluk yang sekarang berada di perairan Kecamatan Dendang, dan Kecamatan Simpang Pesak, Kabupaten Belitung Timur. Tidak disebut mengenai asal usul Suku Sawang dalam novel Laskar Pelangi. Namun sempat disinggung soal tingkat kelahiran di komunitas Suku Sawang yang dinilai rendah. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran tentang kemungkinan punahnya bahasa Suku Sawang.
Telepas Laskar Pelangi hanyalah sebuah novel. Tapi jelas nama Suku Sawang setidaknya telah dibaca banyak orang di Indonesia. Sebab novel tersebut dinyatakan laris hingga jutaan eksemplar dan mampu mendorong banyak wisatawan berbondong-bondong datang ke Pulau Belitung. Menelisik Asal Muasal Suku Sawang Gantong Sebelum pindah ke Sungai Lenggang Kecamatan Gantung, komunitas Suku Sawang Gantong lebih dulu tinggal di teluk Balok, Kecamatan Dendang, Kabupaten Belitung Timur. Hal ini dibuktikan lewat penuturan sesepuh Suku Sawang Gantong yakni (90) Daud yang mengatakan bahwa asal muasal keluarganya dari Dendang. Bahkan Daud sendiri mengaku dilahirkan di dalam perahu di wilayah tersebut. Pernyataan ini selaras dengan catatan Loudon tentang Orang Laut pada tahun 1853. Dalam catatan tersebut, Loudon tak menyebutkan adanya sebuah komunitas Orang Laut di Sungai Lenggang, atau wilayah Gantung. Catatan Loudon perlu jadi acuan mengingat dirinya memang
pernah menyusuri sungai Lenggang bersama sejumlah Orang Laut Belantu dan Tanjungpandan. Menurut Loudon, pada masa itu Orang Laut dibagi menjadi lima kelompok utama yakni Orang Ketappang, Orang Parrak, Orang Belantoe (baca: Belantu), Orang Olim, dan Orang Djoeroe (baca: Juru). Sayang Loudon tidak merinci secara detil lokasi domisili dari kelima kelompok tersebut. Hanya disebutkan Orang Ketapang dan Orang Parrak tinggal di sebuah teluk di Pulau Belitung. Orang Belantu tinggal di wilayah Distrik Belantu, dan Orang Olim di sebuah sungai kecil. Sedangkan Orang Juru sudah jelas berada di muara Sungai Cerucuk Tanjungpandan dan masih bertahan hingga saat ini. Pada tahun 1868, Hedemann dalam bukunya mengatakan Orang Laut di Belitung terbagi menjadi tiga suku yakni Suku Parak, Suku Ketapang, dan Suku Belantu. Setiap suku memiliki kepalanya masing-masing. Pada tahun 1870, de Groot membuat pendataan baru tentang keberadaan Orang Laut di Pulau Belitung. Hasil pendataan
itu dipublikasikan dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1887. Menurut De Groot, di Tanjungpandan terdapat Suku Parak yang dikepalai oleh Ma Demang, di muara sungai Sijuk terdapat Suku Ketapang yang dikepalai oleh Kanten, di sungai Buding juga terdapat Orang Laut dikepalai oleh Ma Tidja. Sementara di sungai Manggar dekat ibukota Distrik Manggar terdapat Suku Bakau yang dikepalai oleh Poenei. Selanjutnya di Ibukota Distrik Dendang terdapat perahu-perahu Orang Laut dari Suku Belantu, yang diperintah oleh kepala yang lebih rendah yakni Ma Senin dan Ma Kanon. Sedangkan sisa dari Suku Belantu lainnya dikepalai oleh Ma Mina yang menempati Pulau Seliu dan Sungai Membalong. Jadi bila merujuk pada catatan De Groot, patut diduga kuat bahwa Suku Sawang Gantong adalah bagian dari Orang Laut Belantu. Hal ini juga menunjukkan bahwa sampai pada tahun 1870 belum terdapat komunitas Suku Sawang yang secara tetap mendiami wilayah Gantung dan perairan Sungai Lenggang.
Dugaan bahwa Suku Sawang Gantong adalah bagian dari Orang Laut Belantu diperkuat oleh catatan Loudon. Disebutkan bahwaa pada tanggal 30 September 1851 di Benteng Tanjong Gunong, Loudon menerima permohonan maaf salah seorang kepala bajak laut bernama Ma Kotjek yang datang bersama para anggotanya yang terdiri dari 10 aloean. Menurut Loudon, Ma Kotjek adalah orang yang pernah dicatat dalam laporan insinyur tambang Croockewit pada 13 Desember 1850. Kala itu Croockewit bertemu dengan Ma Kotjek di muara Sungai Lenggang. Dalam laporannya tersebut, Croockewit menulis nama Ma Kotjek dengan sebutan Ma Koti. Pernyataan Loudon ternyata benar setelah penulis mengecek lebih lanjut laporan Croockewit yang diterbitkan ke dalam sebuah buku berjudul Banka, Malakka En Billiton, tahun 1852. Pada tanggal 13 Desember 1850, Croockewit didatangi oleh tiga perahu Orang Laut yang berisikan delapan orang bertubuh besar. Mereka datang bersama lima pemimpin mereka. Kesalahan Croockewit dalam penulisan nama Ma Kotjek menjadi tampak wajar karena ternyata ia mendapatkan nama kelima pemimpin
Orang Laut itu dari salah seorang muridnya. Pada sisi lain, Croockewit juga sedang dalam kondisi demam saat menyambut kedatangan lima pemimpin tersebut. Lima nama pemimpin Orang Laut itu oleh Croockewit kemudian di tulis; Ma Koti, Ma Mina, Ma Rantjan, Pa Moeda, dan Ma Selat.
Tabel 3.2 Kelompok Orang Laut Belantu Croockewit 1850 Ma Koti
Loudon 1853 Ma Mina
De Groot 1870 Ma Mina
Ma Mina
Ma Rantjang
Ma Senin
Ma Rantjan
Ma Selat
Ma Kanon
Pa Moeda
Ma Bali
Ma Selat
Ma Lanang Ma Intan Ma Kotjeh
Sumber: Croockewit, Loudon, De Groot.
Bila kita merujuk lagi pada catatan Loudon dan De Groot, tampak jelas Ma Kotjek yang dijumpai Croockewit di sungai Lenggang adalah bagian dari Orang Laut
Belantu. Hanya saja mungkin karena pola hidup berpindahpindah membuat Orang Laut hanya menetap di Sungai Lenggang khusus pada waktu tertentu saja. Jadi bisa disimpulkan secara sederhana, Suku Sawang Gantong pada awalnya adalah bagian dari kelompok Orang Laut Belantu yang bermukim di perairan Dendang. Suku Sawang Gantong kemungkinan adalah keturunan dari Ma Kotjeh. Ma Senin, atau Ma Kanon. Pasalnya Ma Kotjeh tercatat pernah berada di muara Sungai Lenggang, sedangkan Ma Senin dan Ma Kanon adalah dua pemimpin Orang Laut Belantu yang secara khusus mendiami perairan Dendang. Kesimpulan ini semakin diperkuat lewat catatan dalam diktat Asin Bahari tahun 1987. Ia mengatakan, umumnya Orang Laut di Pulau Belitung berdiam atau berumah di atas perahu atau rumah-rumah yang didirikan di atas air. Bentuk rumah Orang Laut itu berupa gubukgubuk berukuran sedang dan kecil. Mereka terbagi dalam kelompok-kelompok yang setiap kelompoknya terdiri dari puluhan perahu. Setiap kelompok memiliki pemimpinnya sendiri yang disebut Batin. Penggunaan istilah Batin ini
sudah dikenal setidaknya sejak abad ke-19.Kemudian secara lebih rinci Asin memaparkan kelompok-kelompok tersebut. Paparannya itu membuat penuturan Loudon dan De Groot semakin jelas. ”Di Pulau Belitung bagian barat, yang meliputi Kota Tanjungpandan dan pulau-pulau di sekitarnya terdapat di Pulau Baguk, Suku Ulim, Suku Parak, Suku Ketapang, sedangkan di Pulau Belitung bagian timur dan selatan terdapat Suku Bakau dan Suku Belantu. Suku-suku tersebut disebut berdasarkan tempat bermukimnya atau pangkalan pulang dari,” Asin Bahari, 1987.
Jelas di sini bahwa Suku Bakau adalah komunitas Orang Laut yang mendiami wilayah Manggar dan hal ini sama seperti yang disampaikan oleh De Groot. Sedangkan Suku Belantu adalah komunitas yang menghuni wilayah Kecamatan
Membalong
dan
Dendang.
Berdasarkan
keterangan-keterangan tersebut ditemui benang merah yang menghubungkan Orang Laut di masa lalu dan generasi yang tersisa sekarang.
Gambar 3.3. Jembatan Gantong di Ibukota Dsitrik Lenggang sebelum diuruk menjadi daratan yang menyatu dengan areal pasar. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927.
Gambar 3.4. Jembatan Sungai Lenggang. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927.
Sesepuh
Suku
Sawang
Gantong
Udin
(76)
mengatakan, dirinya di lahirkan di Manggar, tapi orangtuanya berasal dari Dendang. Menurut Udin, hampir semua warga Suku Sawang Gantong adalah keturunan dari Orang Laut Dendang. Loudon mengatakan, Orang Laut Belantu memilih tinggal
di
Pulau
Mengkokong
pasca
mendapatkan
ampunan. Sedangkan Udin mengatakan, Suku Sawang Gantong memiliki pantun yang diturunkan secara turun temurun yang di dalamnya terdapat nama pulau tersebut. Mengkukong banyak rengit Rengit menebok buku kayu Puncak gunung pasang dinamit Idang menimbak burung geruda lalu Kemungkinan
perpindahan
Suku
Sawang
dari
Dendang ke Gantung dipicu oleh perubahan tata kelola timah. Pada awalnya Dendang lebih dulu menjadi sebuah distrik tambang. Dendang menjadi distrik tambang timah milik perusahaan Belanda pada tahun 1867, sedangkan distrik Lenggang dengan ibukotanya Gantong baru dibuka
pada tahun 1868. Pada tahun 1912, distrik Dendang ditutup.
Sebagian
wilayahnya
seperti
Membalong
dimasukkan ke distrik Tanjungpandan, sementara daerah Dendang dan sekitarnya dimasukkan ke wilayah distrik Lenggang. Penutupan distrik Dendang ini kemungkinan menjadi pemicu Suku Sawang pindah ke Gantung. Dugaan ini merujuk pada catatan De Groot yang menyebutkan bahwa Orang Laut sangat bergantung pada perusahaan timah. Setidaknya begitulah kondisi Orang Laut pada tahun 1887. Orang Laut menyenangi pekerjaan lepas dengan upah tetap per hari yang kala itu hanya bisa mereka peroleh dari pihak perusahaan. Pada sisi lain, pihak perusahaan juga sangat terbantu dengan kehadiran Orang Laut. Karena itu tampaknya penting untuk membujuk mereka agar tinggal secara permanen di daratan. Komunitas Orang Laut asal Dendang itu akhirnya menetap di ibukota Gantung. Mereka secara bertahap meninggalkan perahu dan membuat rumah panggung di tepian Sungai Lenggang. Komunitas inilah
yang kemudian pada masa sekarang menjadi Suku Sawang Gantong. Menurut penuturan generasi yang tersisa saat ini, perpindahan
Suku
Sawang
dari
perahu
ke
darat
berlangsung tanpa paksaan dan terjadi karena permintaan perusahaan timah Belanda. Permintaan itu bertujuan agar Suku Sawang mudah ditemukan saat pihak perusahaan membutuhkan tenaga mereka. Jika dibiarkan terus berada di perahu, Suku Sawang kemungkinan akan mengikuti naluri mereka, berpergian ke laut dan pulau-pulau di sekitar Pulau Belitung untuk mencari ikan dan tripang. Prilaku
Suku
Sawang
tersebut
tentu
akan
menghambat urusan perusahan. Karena saking besarnya kepentingan perusahaan pada Suku Sawang, maka sebuah komplek perumahan akhirnya dibangun khusus untuk Orang Laut di Lenggang. Komplek perumahan itu sekarang dikenal dengan nama Kampong Laut, yang terletak di Desa Selingsing, Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur. Warga Suku Sawang setempat menyakini komplek tersebut pada awalnya berbentuk rumah panggung.
Gambar 3.5. Pangkalan Suku Sawang di Pulau Belitung. Tidak disebutkan detil nama lokasi dari foto ini. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927.
Minimnya tingkat pendidikan para warga Suku Sawang membuat mereka tidak memiliki arsip sejarah yang baik. Penuturan dari para orang tua mereka juga tidak pernah tersimpan sehingga Suku Sawang Gantong tak mengetahui detil waktu perpindahan mereka ke komplek Kampong Laut. Udin mengaku dirinya masih sempat tinggal di rumah panggung di tepian sungai Lenggang, tak jauh dari jembatan Lenggang. Pada saat usianya kurang lebih tujuh tahun, orangtuanya pindah ke komplek Kampong Laut yang dibangun oleh perusahaan timah Belanda. Bila merujuk pada cerita ini, kemungkinan komplek perumahan Kampong Laut dibangun pada tahun 1947 pada masa NV. Gemeenschappelijke Maatschappij Billiton (GMB). Meski Indonesia sudah merdeka, perusahaan GMB masih eksis di Pulau Belitung hingga tahun 1958. Universitas
Leiden
dalam
sebuah
buku
yang
dipublikasikan tahun 1900 setidaknya bisa memberikan gambaran tentang keberadaan Suku Sawang di Sungai Lenggang.
Buku
yang
berjudul
’De
tinmijnbouw-
onderneming op Billiton in algemeene trekken geschetst’
tersebut sudah menyebutkan Sungai Lenggang adalah salah satu tempat tinggal Orang Laut di Belitung, disamping Sungai Cerucuk, Sijuk, Buding, Manggar, dan Dendang. Catatan ini setidaknya memberikan gambaran bahwa Suku Sawang Gantong sudah menghuni sungai Lenggang secara tetap dalam kurun waktu antara tahun 1887 sampai 1900. Jadi, besar kemungkinan puncak perpindahan Suku Sawang ke wilayah Gantung berlangsung pada tahun 1912 yakni ketika distrik Dendang ditutup. Dengan kata lain Suku Sawang sudah menetap di wilayah Kecamatan Gantung selama lebih dari 129 tahun.
Gambar 3.6. Foto berjudul ikan duyung ini terlampir dalam buku De Groot tahun 1887. Kemungkinan pria yang ada dalam foto ini adalah sosok seorang Suku Sawang.
Gambar 3.7. Sekelompok Orang Laut. Tidak disebutkan lokasi dan tahun pengambilan foto ini. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927.
Belum jelas bagi warga Suku Sawang Gantong ketika ditanya mengenai asal usul mereka sebelum tiba di Pulau Belitung. Hasil wawancara penulis dengan komunitas ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan antara satu dan yang lain. Sebagian mereka ada yang mengatakan Suku Sawang Gantong berasal dari Kepuluan Riau dan sebagian lagi mengatakan nenek moyangnya berangkat dari Johor, Malaysia. Karena itu, kepastian mengenai asal usul Suku Sawang Gantong tampaknya masih butuh kajian lebih jauh. Hubungan antara Orang Laut di setiap tempat di Pulau Belitung juga perlu dikaji kembali mengingat Suku Sawang Gantong merasa nenek moyangnya berbeda dari Suku Sawang Seberang. Bahkan Orang Juru di tepian muara sungai Cerucuk yang sempat dikira bagian dari Orang Laut ternyata memiliki bahasa yang berbeda. Orang Laut dan Tuan Loudon Sampai pada tahun 1850, Orang Laut di Pulau Belitung dikenal oleh kalangan Eropa sebagai bagian dari komplotan bajak laut yang sangat berbahaya. Namun
Sevenhoven menyakini Orang Laut tak bergerak secara mandiri dalam melancarkan aksi tersebut. Sebab ia menyakini Orang Laut tidak cukup mampu menyediakan beragam peralatan yang diperlukan sekaligus merancang strategi untuk melakukan pembajakan kapal-kapal Eropa. Hal itu hanya bisa diperoleh berkat dukungan para petinggi di Belitung dan pengaruh dari para pimpinan mereka sendiri. ”Banyak dari mereka adalah bajak laut, tetapi merupakan kebohongan bahwa hanya mereka yang mengambil alih pembajakan,” kata Sevenhoven. Adalah John Francis Loudon yang dalam sejarah Hindia Belanda diakui sebagai orang yang berjasa mengatasi masalah Orang Laut di Belitung. Ia menyudahi keterlibatan Orang laut dalam aksi pembajakan tanpa sedikit pun menimbulkan korban. Riwayat hubungan dengan Orang Laut itu diabadikan oleh Loudon dalam bukunya yang diterbitan tahun 1883. Buku itu disusun berdasarkan pengalamannya selama berada di Belitung kurun tahun 1851 sampai 1857. Sewaktu tiba di Belitung, Loudon menilai Orang Laut
seolah-olah
terbagi
menjadi
dua
kelompok
yakni
Tanjungpandan dan Belantu. Kelompok yang pertama adalah orang-orang yang tenang dan patuh pada Depati. Sedangkan kelompok dari Belantu tampil sebaliknya, hidup secara liar dan tidak mengakui pemerintah. Kelompok Belantu ini tinggal di pantai selatan dan timur Pulau Belitung. Mereka tidak berhubungan dengan kelompok Orang Laut lainnya. Menurut Loudon perbedaan itu terjadi karena kelompok Belantu bermukim jauh dari ibukota sehingga kontrol pemerintah terhadap mereka menjadi sangat minim. Namun Loudon menyakini bahwa kelompok Tanjungpandan pada awanya juga bagian dari komplotan bajak laut. ”Orang Laut atau Orang Sekah’s semua tinggal di dalam perahu dan bekerja sebagai pencari ikan, dan tripang, agar-agar, kura-kura, dan lain-lainnya dari laut,” J.F Loudon, 1883
Minimnya kontrol pemerintah dinilai telah membuat Orang Laut dari kelompok Belantu mudah terjerumus dalam aksi perompakan. Namun aksi mereka tampaknya
tidak murni atas obsesi pribadi. Hal itu dibuktikan dengan munculnya inisiatif untuk mengajukan ampunan kepada Pemerintah Hindia-Belanda lewat perantara Loudon. Kabar tentang usulan permohonan maaf Orang Laut Belantu diperoleh Loudon dari seorang pedagang di Tanjungpandan
asal
Muntok
bernama
Haji
Idries.
Disebutkan bahwa 21 panglima atau kepala dari Orang Laut yang melakukan pembajakan di Pantai Jawa mau berbicara dengan Loudon di Pulau Kalimuak tanpa diketahui oleh Depati. Orang Laut ingin pertemuan itu tidak diketahui Depati bukannya tanpa alasan. Mereka sadar aksi mereka sebelumnya berada dalam naungan Ngabehi Belantu yang berasal dari keluarga Depati. ”Saya dengar bahwa Ngabehi dari Belantu sendiri mempunyai
perahu-perahu
yang
digunakan
untuk
pembajakan di laut. Lima perahu di antaranya berawakan sejumlah Orang Laut dan sedang bersembunyi di salah satu sungai di bagian barat,” kata Loudon. Orang Laut lari dan menyembunyikan perahunya lantaran takut melihat kedatangan dua kapal perang pemerintah
yakni
Aruba
dan
Etna
di
Pelabuhan
Tanjungpandan. Sejumlah orang juga mengatakan pada Loudon bahwa Orang Laut tersebut telah merampok sebuah kapal di selatan Pulau Jawa. Bahkan Depati dikabarkan mengetahui aksi perompakan tersebut. ”Kapal mereka cukup kuat, tempat-tempat di mana mereka membajak adalah laut Jawa, di sekitar sini mereka tidak berani karena mereka telah dikenal betul. Dikatakan bahwa Depati tahu mengenai ini dan tidak melarang oleh karena mulutnya ditutup dengan hadiahhadiah dan ponakannya juga dapat andil dari hasil bajakan tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang saya dengar di Sungai Selan,” J.F Loudon, 18 Juli 1851.
Pasca
menerima
informasi
tersebut,
Loudon
menghadapi sebuah dilema yang cukup berat. Satu sisi ia ingin membantu Pemerintah mengatasi masalah Orang Laut yang sering terlibat dalam aksi perompakan. Namun pada sisi lain dirinya juga tidak ingin menyakiti Orang Laut dan Depati karena hal itu bisa menggangu usahanya dalam merintis pertambangan timah di Belitung.
Langkah pertama yang ia lakukan adalah meminta jajarannya untuk tidak menyebarkan informasi tersebut pada awak kapal perang dan Depati. Ia kemudian juga menolak bertemu Orang Laut secara sembunyi-sembunyi di Pulau Kalimuak. Loudon pun memutuskan untuk menunggu sambil terus menjalankan kegiatan eksplorasi timah di berbagai tempat. Ia sadar, setiap orang yang datang dan berbicara padanya pasti diketahui Depati lewat informasi para matamata. Pilihan agar tetap diam akhirnya membuahkan hasil. Depati kemudian buka suara dengan menyebut ada sejumlah saudagar pribumi yang tidak menyenangi dirinya. Menurut Depati, para saudagar yang tidak senang padanya lantaran mereka berteman baik dengan Mas Agus dari Lepar. Sosok Mas Agus disebut-sebut sejak lama ingin mengambil posisi Depati di Pulau Belitung. Mendengar penuturan Depati tersebut maka Loudon menjawab segala informasi yang diterimanya hanya masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Loudon juga tetap menahan diri sekalipun Orang Laut terus mendesak ingin bertemu.
Pilihan itu diambil dengan harapan Depati secara sadar mau mengaku tentang perkara pembajakan yang dilakukan oleh Orang Laut. Sebab Loudon juga mendengar bahwa Ngabehi
Belantu
memiliki
banyak
senjata
yang
disembunyikan di dalam tanah dan biasa digunakan untuk kebutuhan perahu saat melakukan pembajakan. Butuh waktu hampir dua bulan Loudon menunggu sampai akhirnya Depati buka suara soal pembajakan yang dilakukan oleh Orang Laut dari Belantu. Peristiwa itu berlangsung pada 13 September 1851. ”Dia membenarkan semua yang telah saya dengar tetapi tidak bahwa dia tahu mengenai pembajakan laut dan keponakannya lah yang memimpin itu,” kata Loudon. Depati memberikan pembelaan atas apa yang telah dilakukan oleh keponakannya dan Orang Laut dari Belantu. Mereka takut dihukum dan tak berani datang serta berjanji akan berubah menjadi baik setelah dimaafkan. ”Saya katakan untuk memberitahukan kepada para kepala, bila mereka mau datang ke sini (Benteng Tanjong Gunong, red) dan berjanji menjadi baik maka mereka dimaafkan.,” kata Loudon.
Berselang sembilan hari kemudian atau tepatnya 22 September 1851, Orang Laut dari Belantu tiba di rumah Depati. Loudon mendapat pesan dari Depati bahwa Orang Laut tersebut tidak berani datang ke Benteng. Mendapat
pesan
tersebut,
Loudon
kemudian
memutuskan untuk datang langsung ke rumah Depati. Rekan Loudon yakni Van Tuyll sempat menawarkan agar kunjungan ke rumah Depati dikawal oleh para serdadu. Kalau pun tidak, para serdadu bisa diminta berjaga dari jauh sambil menunggu kode bila terjadi sesuatu yang buruk pada Loudon dan Van Tuyll. Namun Loudon menolak dan yakin bahwa ide tersebut sama sekali tidak perlu. Mereka berdua akhirnya berangkat ke rumah Depati tanpa pengawalan. ”Bertemu mereka di halaman rumah Depati, kira-kira ada 50 orang yang berkumpul, tiga pemimpinnya yaitu Ma Rantjang (paling penting dan paling tua), Ma Minah dan Ma Selat. Mereka berjanji akan berkelakukan baik dikemudian hari, perahu-perahu besar yang mereka gunakan untuk membajak akan dilepas, dan senjatasenjata akan mereka serahkan dan selanjutnya akan
tinggal menetap di Belitung dan akan menurut pada Depati,” J.F Loudon, 22 September 1851.
Sebagai balasannya, Loudon berjanji agar Gubernur Jenderal Hindia Belanda memaafkan mereka dan pihak Loudon selanjutnya juga akan menjamin para Orang Laut tesebut. Loudon meminta agar Orang Laut dari Belantu menyerahkan perahu-perahu dan senjata-senjata yang digunakan untuk pembajakan. Semua yang diserahkan itu akan dibayar sebagai ganti rugi, walau menurut Loudon perahu-perahu tersebut sebetulnya harus dibakar. ”Dan kalau mereka berkelakuan baik, mereka akan selalu dapat
beras
dari kami
bila mereka lapar.
Kelihatannya mereka merasa puas,” kata Loudon. Tanggal 23 September, Depati mengatakan Orang Laut mau bersumpah di bawah Alquran di masjid. Sumpahnya yakni akan setia kepada Pemerintah dan Depati. Loudon dan van Tuyll diminta menyaksikan. Namun Loudon menilai sumpah tersebut tidak perlu karena sebelumnya Orang Laut sudah melakukannya. Orang Laut
diminta pulang ke Belantu untuk membawa seluruh anggotanya ke Benteng, Tanjong Gunong. Berselang tiga hari kemudian, atau tepatnya pada tanggal 26 September pukul empat sore, Orang Laut Belantu tiba di muara sungai Cerucuk Tanjungpandan menggunakan tiga perahu besar dan beberapa perahu kecil sambil membawa istri dan anak-anak mereka. Loudon sempat khawatir kedatangan Orang Laut Belantu diketahui dan diserang kapal perang Aruba. Namun nyatanya kekhawatiran itu tak terjadi. Menurut Loudon, Orang Laut mengaku sangat senang atas pengampunan yang telah diberikan kepada mereka. Tanggal 27 September di Benteng Tanjong Gunong kembali terjadi percakapan antara Loudon dan Orang Laut. Orang Laut Belantu mengaku memiliki tiga buah meriam kecil yang dalam Bahasa Melayu disebut lela. Menurut mereka, satu dari tiga meriam itu dipinjam dari Ngabehi Belantu dan sudah dikembalikan. Bukti keterlibatan Ngabehi Belantu dalam aksi pembajakan di laut semakin kuat. Apalagi kemudian Ngabehi Belantu menulis surat ke Depati yang isinya tidak
bisa datang ke Tanjungpandan memenuhi undangan Depati. Loudon lalu menganjurkan Depati agar mengirim surat untuk Ngabehi Belantu. ”Bahwa kalau Ngabehi tidak datang, dia nanti bisa disalahkan karena telah meminjamkan senjata kepada Sekah-Sekah untuk dipakai membajak,” kata Loudon. Siang hari, tiga pemimpin Orang Laut diminta datang ke Benteng untuk menerima uang atas penyerahan senjata mereka. Kemudian muncul kabar dari Depati yang meminta Loudon jangan takut karena ketiga pemimpin Orang Laut tersebut akan datang bersama para anggota kelompoknya.
Menanggapi
kabar
tersebut
Loudon
mengatakan pihaknya tidak akan takut sekalipun yang datang itu 1000 orang. Akhirnya datang tiga pemimpin Orang Laut bersama anggotanya yang berjumlah 94 orang. Uang yang dijanjikan diambil oleh tiga pemimpin tersebut. Loudon kembali menegaskan bahwa uang tersebut adalah kebaikan pihaknya dan selanjutnya perahu-perahu Orang Laut akan ditaksir dan dibayarkan kepada mereka.
Gambar 3.8. Perahu Orang Laut. Atap pada bagian perahu Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927.
Loudon punya kedekatan emosional yang cukup baik dengan komunitas Orang Laut. Dalam bukunya ia juga mengisahkan saat-saat yang menyenangkan ketika bermain baris-berbaris seperti serdadu bersama anak-anak Orang Laut Tanjungpandan. Ketakutan Orang Laut pun semakin mencair, yang semula masih bertahan, akhirnya bersedia menemui Loudon. Ia adalah Ma Kotjek, salah satu kepala bajak laut dari kelompok Orang Laut Belantu. Ma Kotjek datang meminta ampunan dan akhirnya berkumpul bersama kelompok lain yang sudah lebih dulu tiba. Momen
ini
adalah
tonggak
bersejarah
dalam
perjalanan hidup komunitas Orang Laut di Pulau Belitung. Mereka seperti mendapat harapan hidup yang lebih baik berkat pengampunan. Orang Laut di Sungai Padang yang dipimpin oleh Ma Moeda juga datang meminta ampunan saat Loudon dalam perjalanan ekspedisi di kawasan antara Sungai Padang dan Telok Buding. Pada masa lalu, kelompok
Ma
Moeda
mengaku
pernah
merampok
wangkang Cina dan membunuh awak-awaknya, dan sejak itu mereka berkeliaran di laut. Loudon kemudian
memberikan ampunan dan menitipkan sebuah surat kepada Ma Moeda untuk diantar kepada Depati. Selanjutnya meminta
Loudon
Pemerintah
menepati
Hindia
janjinya
Belanda
untuk
mengampuni
kesalahan-kesalahan Orang Laut di masa lalu. Pada tanggal 7 Desemeber 1851 ia tiba di Jakarta untuk menanyakan langsung jawaban atas surat resminya kepada kepada Gubernur Jenderal Mr. A.J. Daymaer van Twist. Ia
mengaku
agak kecewa lantaran keputusan
Pemerintah yakni membiarkan apa yang telah dilakukan oleh Loudon terhadap Orang Laut Belantu. Bagi Loudon, kata ’membiarkan’ membuat Pemerintah Hindia Belanda terkesan mencela dan menghina tindakan yang telah dilakukan Loudon pada Orang Laut. ”Saya membacanya sebagai pencelaan bukannya setuju dan itu membuat saya sedih,” kata Loudon. Selanjutnya dalam keputusan tersebut, Orang Laut dijamin tidak akan dipersulit karena kelakuan mereka asalkan mereka bertingkah laku sebagai penduduk yang berguna. Pada kemudian hari, kekecewaan Loudon terobati. Pasalnya ia menerima penghargaan dari Kerajaan
Belanda berupa pengangkatan sebagai kesatria penjaga ketentraman
simbol
kerajaan
Belanda.
Alasan
pengangatakannya itu karena Loudon dianggap telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Baik dalam hal mengubah Orang Laut Belitung dari seorang bajak laut menjadi pekerja biasa dan bertempat tinggal secara tetap, juga karena membuat kekayaan mineral Hindia Belanda semakin dikenal dan meningkatkan penggarapannya. Sepulangnya
ke
Belitung,
Loudon
langsung
mendapat kunjungan Orang Laut yang siap menerima tugas selanjutnya. Permintaan ini menjadi pemikiran Loudon sehingga dirinya membicarakan urusan itu kepada Depati. Hasil
pembicaraan
keduanya
menyimpulkan
bahwa
keberadaan Orang Laut Belantu harus terus mendapat kontrol. Karena itu perlu menempatkan mereka dalam satu tempat agar mudah dihubungi dan diawasi. Orang Laut Belantu kemudian diberikan kesempatan untuk memilih tempatnya sendiri. ”Yang dipilih adalah Pulau Mengkokong, terletak di tepi barat pulau dan tidak jauh dari muara sungai Brang. Kemudian atas permintaan mereka, Ma Rantjang yang
sudah tua diganti oleh Mak Mina, yang sebagai tanda kedudukannya diberi baju baru dari laken warna biru dengan leher baju keemas-emasan dan juga bendera Negeri Belanda. Dia diberi tugas membangun rumah dan memasang bendera di pulau itu. Kalau kapal-kapal dagang tampak di perairan, dia harus mengangkat benderanya,” kata Loudon. Pulau Mengkokong yang dimaksud sekarang ini masuk dalam wilayah Desa Lasar, Kecamatan Membalong, Kabupaten Belitung. Namun pada era tahun 50-an, komunitas Orang Laut berangsur-angsur meninggalkan pulau tersebut. Loudon juga ikut andil dalam pembuatan kebijakan daerah dalam mengatur kehidupan Orang Laut di Belitung. Ia meminta agar Orang Laut dibebaskan menjual hasil tangkapan laut kepada siapa pun. Namun Orang Laut harus melaksanakan
perdagangannya
di
Tanjungpandan.
Kebijakan ini muncul karena perahu-perahu asing sering merayu Orang Laut agar menukar hasil tangkapan mereka dengan beras di tengah laut. Sering pula Orang Laut diajak untuk menangkap ikan bersama mereka.
Gambar 3.9. Perahu Orang Laut berkumpul di sekitar dermaga Pelabuhan GMB di Tanjungpandan. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927.
Perdagangan di tengah laut dianggap merugikan daerah dan Orang Laut sering kali menghilang tanpa diketahui ke mana perginya. Kebijakan ini juga untuk mencegah perbuatan tidak jujur para pemimpin Orang Laut yang sering membeli hasil penangkapan ikan para anggotanya dengan harga murah. Loudon juga mencegah Orang Laut Olim dari Pulau Lepar yang ingin tinggal di Belitung. Hal ini dilakukan karena kepala dari Pulau Lepar mengklaim Orang Laut tersebut sudah menjadi penduduk mereka. Orang Laut
Olim bersikeras dan memilih tinggal di perairan Tanjung Kubu. Akibatnya Loudon terpaksa mempersenjatai dua perahu dengan meriam kecil untuk menakut-nakuti mereka. Cara ini hanya memberikan dampak sesaat karena Orang Olim kembali lagi. Kali ini Orang Olim sampai merendahkan diri dengan mengatakan rela digantung asal anak istri mereka diperbolehkan tinggal di Belitung. Hal ini dilakukan karena mereka mengaku kelaparan dan tidak mau tinggal di Lepar. ”Depati dan semua penduduk pribumi menaruh belas kasih pada Orang Laut yang kelaparan itu dan Depati segera memberi mereka makan nasi,” kata Loudon. Perbuatan Loudon terhadap Orang Laut Olim membuat Residen Bangka menuduhnya terlalu banyak campur tangan dalam urusan masyarakat Bangka. Namun Loudon menjawab bahwa semua dilakukan atas prosedur yang benar dan Orang Laut Olim merasa puas karena diperbolehkan menetap di Belitung. Jawab Loudon membuat Residen Bangka sampai menilai Belitung tak akan pernah sejahtera tanpa merugikan Bangka.
Gambar 3.10. Perahu Orang Laut berkumpul di Tanjungpandan. Sumber: Website Perpustakaan Universitas Leiden.
Pola hubungan antara Loudon dan Orang Laut adalah saling tolong menolong. Artinya, pada sisi lain Orang Laut juga tak sekadar menjadi pihak yang senantiasa menerima bantuan, tapi juga memberi bantuan. Pernah pada Desember 1853 Loudon dan rekannya Worbert menderita demam yang cukup parah sehingga harus di bawa ke Toboali. Namun pada saat diperlukan, satu perahu miliknya sedang dalam perbaikan dan satunya lagi sedang mengambil surat di kapal pos. Akhirnya Orang Laut yang membawa Loudon menggunakan perahu dengan enam orang pendayung. Ketika sadar, Loudon diberitahu bahwa perjalanan dari Tanjungpandan ke Toboali tersebut berlangsung selama tiga hari. Setelah dua hari dirawat oleh dokter di Toboali, demam Loudon akhirnya sembuh. Sayang seorang rekan yang ikut bersamanya tak tertolong akibat demam yang begitu parah. Mungkin jika bukan Orang Laut yang mengantar, Loudon juga akan mengalami nasib yang serupa seperti rekannya tersebut. Pada 11 Desember 1855 Loudon kembali ke Eropa. Setelah itu sebagian waktunya tidak lagi sepenuhnya terfokus di Belitung. Namun dalam setiap kunjungannya ke
Belitung, Loudon selalu menyempatkan diri untuk memastikan kondisi Orang Laut. ”Pada salah satu kunjungan di Belitung, masih ada kesempatan bagi saya untuk mencegah para pengurus di Belitung
membuat
peraturan
yang
mengakibatkan
kesedihan bagi teman-teman lama saya Orang Sekah dari Belantu,” kata Loudon. Tindakan
Loudon
bukannya
tanpa
dasar.
Ia
menyakini Orang Laut mungkin akan mendapat perlakuan yang berbeda ketika dirinya tidak berada di Belitung. Keyakinan itu pun terbukti ketika ia berkunjung ke Belitung pada April 1857. Setibanya di Belitung ia menemukan adanya perselisihan yang cukup keras antara pengurus tambang timah Belitung dengan Orang Laut dari Belantu.
Perselisihan itu membuat Orang Laut
menolak untuk menuruti perintah pengurus dan para pemimpin Orang Laut tersebut juga enggan menemui Asisten Residen berulang-ulang. Akibatnya, Orang Laut tidak menampakkan diri dan tinggal di selatan Belitung. Tindakan tersebut membuat Asisten Residen marah dan
langsung menulis surat permohonan kepada Pemerintah agar mengirim kapal perang. Loudon
mendapat
kabar
tentang
penyebab
perselisihan antara pengurus dan Orang Laut. Ternyata ada kapal pribumi bermuatan beras yang terdampar di laut selatan Belitung. Kapal itu ditinggal oleh nahkoda dan para awaknya dan kemudian Orang Laut menjarah muatan kapal tersebut. Cemas akan nasib Orang Laut, Loudon pun berusaha mencegah dan memohon kepada Asisten Residen agar menahan surat tersebut untuk beberapa hari saja. Loudon berjanji akan mengatasi masalah tersebut. Menurutnya tak mudah menyakinkan Asisten Residen yang merasa terhina akibat perlakuan Orang Laut tersebut. Asisten Residen bersedia menangguhkan laporan dan Loudon langsung bergerak. Pertama yang ia lakukan adalah menyuruh orang membawa sebuh ’tanda’ darinya untuk Orang Laut Belantu. Tanda itu berupa baju jas merah flanel yang setiap hari dipakai Loudon. Selain itu Loudon juga meminta agar para pemimpin Orang Laut Belantu secepatnya datang ke Tanjungpandan.
Gambar 3.11. John Francis Loudon mengenakan jas merah. Sumber: KIVI Billiton Manders
”Dua hari kemudian saya menemukan mereka pagipagi duduk di atas tanah di halaman rumah saya, jumlahnya kira-kira 30 orang, seperti anak-anak nakal dengan mata ke bawah. Atas pertanyaan saya mengapa mereka melanggar janjinya kepada saya, jawaban mereka, ’lapar!’,” kata Loudon.
Loudon kemudian memberi teguran dan menyuruh mereka pergi ke Depati dan selanjutnya menemui Asisten Residen.
Namun
setengah
jam
kemudian
Loudon
menerima laporan Depati bahwa dalam perjalanan menuju Asisten Residen, Orang Laut menolak menemui Asisten Residen dan kemudian langsung pergi naik perahu. Loudon kemudian mengirim perintah kedua yang isinya sama seperti sebelumnya. Kali ini Orang Laut dari Belantu datang dengan jumlah yang lebih banyak, yakni sekitar 70-80 orang. Pada kesempatan itu Loudon meminta Depati untuk datang dan ia berbicara dengan nada keras bahwa Orang Laut harus mengikuti Depati menemui Asisten Residen. Meski terlihat enggan, Orang Laut pun akhirnya menuruti perintah Loudon. Namun setengah jam kemudian mereka kembali dengan
gembira. Mereka menjelaskan kesalahannya
kepada Loudon dan sebagai hukumannya mereka disuruh membongkar muatan sebuah perahu layar bermuatan beras dan membawanya ke gudang. Sore hari saat sedang berjalan melalui kampung Loudon mendapati Orang Laut
memanggilnya dari kejauhan sambil berteriak ’sudah kosong tuan’. ”Saya memerintahkan memberikan mereka beras dengan mengemukakan kalau mereka lapar lagi, mereka harus datang menemui pengurus untuk meminta beras dan jangan merampok perahu-perahu lagi. Saya yakin setelah ini mereka tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan lagi dengan perampokan,” kata Loudon. Demikian rangkuman kisah Orang Laut yang dimuat dalam buku Loudon. Kemudian dalam sejumlah buku-buku Belanda seperti tulisan de Groot, Hedemann, dan Gedenkboek Billiton diakui bahwa Loudon adalah sosok yang menginspirasi Orang Laut meninggalkan dunia bajak laut sekaligus memberi pandangan baru mengenai pola kehidupan mereka. Pesan terakhir Loudon tersebut mengisyaratkan bahwa Orang Laut bisa mengandalkan perusahaan bila mereka ingin makan. Mungkin karena pesan itu pula yang membuat
Orang
Laut
secara
sadar
meninggalkan
lingkungan asal mereka di laut dan memilih bekerja di daratan bersama perusahaan timah tanpa paksaan.
”Orang Laut tidak membutuhkan banyak, meski pun tenaga mereka kuat, mereka lebih baik tidak bekerja, dan baru bekerja kalau kelaparan. Orang Laut dari Belantu khususnya sangat berterima kasih karena pemberian maaf dan selalu siap kalau dibutuhkan,” kata Loudon.
Gambar 3.12. John Francis Loudon. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927
Mempertahankan Kulek Terakhir Jumlah warga Suku Sawang di Pulau Belitung terus mengalamai penyusutan dari masa ke masa. Pada tahun 1851, jumlah mereka tercatat 1.654 jiwa berdasarkan laporan resmi pemerintahan setempat. Namun Loudon memperkirakan jumlah mereka lebih dari 2.000 jiwa. Peta Kabupaten Belitung tahun 1856 karya Baron Melvill juga mencantumkan catatan jumlah penduduk Pulau Belitung per 1 Januari 1856. Dalam peta tersebut dinyatakan jumlah Suku Sawang di Pulau Belitung sebanyak 2.047 jiwa. Kemudian pada tahun 1870, hasil pendataan De Groot menunjukkan jumlah Suku Sawang mencapai 2.769 jiwa. Ensiklopedia Hindia Belanda terbitan tahun 1896 menyebut jumlah Suku Sawang pada tahun 1893 sebanyak 2.993 jiwa. Sedangkan dalam buku ’De Tinmijnbouw-Onderneming Op Billiton, in algemeene trekken geschetst’ pada tahun 1900 jumlah mereka diperkirakan mencapai 3000 jiwa. Puncak populasi Suku Sawang kemungkinan terjadi pada era tahun 50-an. M. Junus mengatakan jumlah seluruh warga Suku Sawang di Pulau Belitung mencapai 1.000
kepala keluarga. Namun jumlahnya kemudian merosot drastis pada tahun 1980 menjadi 150 kepala keluarga atau hanya sekitar 500 jiwa. Direktorat Bina Masyarakat Terasing Departemen Sosial pada 1987 menyatakan jumlah warga Suku Sawang di Pulau Belitung hanya 115 kepala keluarga.
Gambar 3.13. Perempuan Orang Laut. Sumber: Gedenkboek Billiton, 1927.
Belum tampak jelas faktor penyebab menyusutnya jumlah warga Suku Sawang di Pulau Belitung. M Junus memduga
penyusutan
itu
terjadi
lantaran
sistim
pengetahuan Suku Sawang yang masih sederhana. Kondisi itu
membuat
Suku
Sawang
dinilai
tidak
mampu
menghadapi tantangan alam keras di sekitar lingkungan hidup mereka. Dugaan M Junus ini merujuk pada hasil penelitian Universitas
Riau
tahun
1977.
Hasil
penelitian
menunjukkan angka kamatian Orang Laut di Provinsi Riau terbilang tinggi yakni mencapai 11 persen. Penyebabnya antara lain penyakit seperti malaria dan muntah berak. Pada tahun 2016, jumlah warga Suku Sawang Gantong di Kampong Laut berjumlah 66 kepala keluarga. Mereka tinggal komplek perumahan berbentuk leter U yang terdiri dari 52 pintu. Sebagian kecil tinggal membaur di perkampungan. Menurut para sesepuh Suku Sawang Gantong, para istri mereka rata-rata melahirkan dua orang anak dan hanya sedikit yang melahirkan lebih dari empat anak. Kasus kematian akibat penyakit sering ditemui pada keluarga yang memiliki banyak anak.
Sekitar 80 persen warga Suku Sawang Gantong sekarang ini bekerja sebagai buruh bongkar muat di pertambangan timah.
Sebagian lagi jadi buruh di
pertokoan dan sisanya menjadi nelayan. Kemampuan mereka sebagai nelayan juga sudah jauh menurun bila dibandingkan cerita yang dituturkan dalam buku-buku kuno terbitan Belanda. Sekarang mereka sudah bukan penyelam tripang yang andal, setidaknya tak seandal seperti
saudara-saudara
mereka
di
Juru
Seberang,
Tanjungpandan. Bahkan mereka boleh dikatakan tidak mampu untuk membangun perahu sendiri. Sekalipun sudah pernah diberikan bantuan perahu dari pemerintah, Suku Sawang Gantong masih sangat kesulitan untuk mengembangkan usahanya. Akibatnya, penghasilan dari melaut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan mereka sehari-hari. Aktivitas mereka juga sangat jauh dari laut. Mereka yang bertahan sebagai nelayan harus menempuh jarak belasan kilometer untuk sampai ke pangkalan perahu di Gusong Cine. Perahu khas mereka disebut Prauwok, biasa juga disebut Kulek. Jumlahnya kini memprihatinkan, yakni hanya tertinggal
satu unit saja.
Adalah Kati (70) satu-satunya Nelayan
Suku Sawang Gantong yang masih memiliki Kulek. Namun ternyata perahu miliknya itu adalah perahu produksi Tanjung Kubu, Desa Batu Itam, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung. Perahu itu dulu diperoleh Kati berkat bantuan pemerintah pada tahun 2002. Terdapat tiga orang Suku Sawang Gantong yang memperoleh bantuan tersebut. Tapi yang tersisa sekarang hanyalah Kulek yang dimiliki oleh Kati, sedangkan dua Kulek lainnya sudah hancur. Hancurnya Kulek terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya para nelayan Suku Sawang Gantong sudah beralih menggunakan perahu bermotor penggerak. Perahu ini biasa disebut perahu ketingting. Selain itu kemampuan Suku Sawang Gantong dalam hal memperbaiki kapal juga sudah tak seandal dulu lagi. Kati mengatakan, Kulek yang dimilikinya masih bertahan berkat kemampuannya dalam memperbaiki perahu. Di samping itu, Kati juga merasa lebih nyaman melaut
menggunakan
Kulek
yang
digerakkan
menggunakan dayung kaki, ketimbang pakai mesin.
Gambar 3.14. Kulek Terakhir yang dimiliki oleh Suku Sawang Gantong yang sekarang masih digunakan oleh Kati. Foto ini diambil di Gusong Cine oleh keponakan Kati sebagai kenangkenangan. Tampak pada foto ini Kati berdiri di tengah dan yang di depan adalah cucunya. Sumber: Arsip Kati, 2016.
Kati adalah generasi Suku Sawang Gantong yang mempertahankan pola hidup seperti nenek moyangnya. Ia dilahirkan di dalam perahu di Pulau Baguk 70 tahun silam. Sepanjang hidupnya, Kati tak sekalipun berganti profesi selain
menjadi
nelayan.
Ia
tak
peduli
walaupun
penghasilannya hanya cukup buat makan. Baginya, laut sudah menjadi bagian dari hidup. Ia bahkan akan merasa lebih sehat ketika berada di laut ketimbang berlama-lama tinggal di darat. ”Sampai kapan pun (Kulek
itu)
sebisa
mungkin akan terus aku pertahankan, kalau rusak
aku
perbaiki
lagi, kalau badan ini dak kuat lagi baru berhenti,”
Kati Gambar 3.15. Sumber: Wahyu Kurniawan, 2016.
Dokumentasi
Bab IV Kembali ke Pusaran Zaman Bukan Suku Bajak Laut Para sesepuh Suku Sawang Gantong berkumpul dan mendengar secara seksama ketika penulis membacakan kisah Orang Laut dalam buku Loudon. Kisah pertama yakni tentang Orang Laut yang dicap sebagai bajak laut. Ketua Suku Sawang Gantong bernama Nado tak lantas gusar mendengar kisah tersebut. Ia juga tak memungkiri bahwa Suku Sawang Gantong mungkin saja pernah terlibat dalam aksi pembajakan di laut pada masa sebelum Loudon tiba di Pulau Belitung. Satu hal yang pasti, Suku Sawang Gantong tak pernah diajarkan oleh para orangtua mereka untuk mengklarifikasi kisah tersebut. Mereka hanya terfokus pada upaya menegakkan nama Suku Sawang dan menghilangkan panggilan Sekak. Bagi mereka, yang disebut bajak laut itu adalah Lanun, dan Orang Laut tidak sama dengan Lanun. Bahkan Suku Sawang Gantong memiliki sebuah permainan tradisional yang secara khusus menggambarkan pertempuran antara Orang Laut dan
Lanun. Permainan itu biasa ditampilkan pada pelaksanaan tradisi Buang Jong setiap tahun. Nado menduga, sebagian dari warga Suku Sawang pada masa lalu mungkin telah dimanfaatkan oleh Lanun untuk melancarkan aksi perompakan. Alasannya tak lain karena Suku Sawang sejak dulu terkenal memiliki fisik yang kuat dan postur yang besar, serta sangat andal di lautan.
Suku
Sawang
yang
berpendidikan
rendah
menjadikannya mudah diperdaya dan mau ikut terlibat dalam aksi Lanun. Tapi pada akhirnya Orang Laut kena getahnya dan terus dipandang sebagai bajak laut dalam berbagai literatur sejarah. Pada dasarnya Suku Sawang Gantong masa kini tidak mengetahui kisah para nenek moyang mereka di masa lalu. Karena itu mereka tidak berani mengatakan bahwa Orang Laut pada zaman dulu benar-benar tak pernah melakukan aksi pembajakan. Pada sisi lain, Nado sendiri sempat mendengar cerita yang mengatakan bahwa Orang Laut pada masa lalu pernah menyerang kapal Inggris. Namun Nado yakin Orang Laut, khususnya Suku Sawang Gantong bukan tipikal orang yang punya inisiatif
untuk melakukan aksi perompakan seperti itu. Ia semakin yakin setelah mendengar cerita dalam buku Loudon bahwa hubungan Orang Laut dan Lanun terputus pada tahun 1822. Menurut Nado, mungkin saja hubungan tersebut terputus lantaran Orang Laut sadar telah diperdaya. Mungkin pula Orang Laut memusuhi Lanun karena pembagian hasil jarahan yang tidak seimbang. ”Kami memang tidak menampikkan cerita itu, tapi kemungkinan, istilah kasarnya, pembagiannya mungkin tidak seimbang, lebih baik kita tidak usah ikut, misal dapatnya 10 juta, masa kita cuma 500 ribu, mereka dapat 9,5 juta, sedangkan yang akan mati kita, mungkin seperti itu, karena terus terang bukan saya membicarakan kekurangan kami, tapi secara garis besar memang tidak ada yang sekolah, jadi mudah ditipu,” kata Nado. Di sisi lain, Orang Laut seperti halnya Suku Sawang Gantong adalah komunitas yang memiliki solidaritas yang tinggi. Mereka akan bersatu membela mati-matian siapa saja yang mereka anggap teman. Mungkin hal ini pula yang dimanfaatkan oleh Lanun atau pihak tertentu di masa lalu untuk memperdaya Orang Laut.
Nado membuat perbandingan serupa di masa kini yang mungkin bisa menjelaskan masalah yang dihadapi Orang Laut di masa lalu. Menurutnya, generasi Suku Sawang Gantong masa kini sering direkrut dalam sebuah klub sepakbola dengan bendera tertentu yang didanai oleh orang lain. Sebagai contoh, mereka pernah membela klub APMS milik juragan minyak di wilayah Desa Selingsing. Karena jumlah mereka yang banyak, masyarakat sering menilai bahwa klub tersebut adalah klubnya Orang Laut.
”Satu tim kan 11 orang, tapi karena sembilan pemainnya adalah Orang Laut, maka mayarakat bilang ini klub Orang Laut, padahal bukan,”
Nado Ketua Suku Sawang Gantong
Berdasarkan analogi tersebut Nado menduga Orang Laut akhirnya terlanjur disangka suku bajak laut. Padahal
mungkin saja Orang Laut pada zaman dahulu hanya bagian dari aksi perompakan yang diorganisir dan didanai oleh kelompok lain. Masyarakat Beragama Sampai sebelum tahun 1860, sebagian besar warga Orang Laut di Pulau Belitung disebut tidak memeluk satu agama tertentu. Bahkan hal serupa masih disebutkan dalam buku Gedenkboek Billiton Jilid 2 terbitan tahun 1927. Namun terdapat tradisi mereka yang diduga mirip dengan keyakinan agama Islam. Satu contoh dalam prosesi penguburan
yang
jenazahnya
juga
dibungkus
menggunakan kain putih. Tapi selanjutnya, rangkaian prosesi di dalamnya sangat berbeda dengan Islam. Seperti adanya barang-barang peninggalan almarhum berupa priuk dan serampang yang ikut dimasukkan ke dalam kubur. Sesepuh Suku Sawang Gantong Daud (90) tak menampik bahwa Orang Laut pada masa itu belum memeluk agama tertentu. Kondisi itu terjadi karena syiar agama Islam belum begitu gencar masuk ke dalam komunitas mereka. Selanjutnya, seiring pergaulan dengan
masyarakat dan masuknya syiar agama Islam, Orang Laut kemudian secara sadar ikut memeluk agama Islam tanpa paksaan sedikit pun. Sekalipun sudah memeluk Islam, sebagian besar Orang Laut pada awalnya masih tetap menggunakan adat istiadat mereka. Satu contoh dalam hal pernikahan yang dilakukan tanpa menggunakan ijab kabul secara Islam. Suku Sawang Gantong menawai prosesi pernikahan mereka dengan istilah ’Kawin Adat’. Prosesi Kawin Adat di dalam komunitas Suku Sawang Gantong setidaknya masih berlangsung hingga era tahun 50-an. Generasi tua yang sempat menjalani Kawin Adat itu masih bisa dijumpai hingga sekarang di Kampong Laut. Mereka mengatakan, dulu Kawin Adat diakui oleh pihak perusahaan
timah.
Sebab
setelah
melaporkan
perkawinannya, seorang pekerja langsung akan mendapat tambahan tunjangan beras untuk istri mereka. Nado sebagai Ketua Suku Sawang Gantong saat ini juga tak menampik soal kepercayaan orang-orang Suku Sawang di masa lalu. Ia mengaku dirinya harus bersikap objektif
mengingat
segala
keterangan
yang
disampaikannya akan dibaca oleh banyak orang. Ia tak
ingin dianggap menutup-nutupi sesuatu yang sebenarnya tidak mereka ketahui secara pasti. Namun yang jelas, saat ini warga Suku Sawang Gantong sepenuhnya sudah memeluk Islam. Mereka juga sudah
melangsungkan
perkawinan
secara
Islam.
Sedangkan soal ketaatan tentu hal itu dikembalikan kepada sikap priadi setiap orang. Satu contoh adalah Kati (70), warga Suku Sawang Gantong dari generasi tua yang dulu dilahirkan di atas perahu dan sekarang masih menjalani kehidupan sebagai seorang nelayan. Saban subuh Kati sudah meninggalkan rumah di Kampong Laut menuju pangkalan nelayan di Gusong Cine yang jaraknya harus ditempuh selama dua jam bersepeda. Rutinitas itu ternyata diawali Kati dengan terlebih dulu melaksanakan Salat Subuh di rumahnya. Menjaga Budaya Bahari Sekalipun bukan lagi masyarakat nelayan, tapi Suku Sawang Gantong masih menyimpan jejak kebudayaan bahari. Jejak itu tampak pada pelaksanaan tradisi yang dikenal dengan nama Buang Jong. Menurut Adiguna dalam
Majalah Visit Beltim edisi 2 tahun 2013, tradisi yang dilaksanakan setiap tahun ini bertujuan untuk menghormati leluhur dan keluarga yang telah mendahului mereka. Selain itu
Buang
Jong
juga
digunakan
sebagai
media
penghormatan pada penguasa laut agar memberikan keselamatan bagi para nelayan di lautan. Nama Buang Jong adalah nama yang umum digunakan di wilayah Belitung Timur. Sedangkan di wilayah Belitung, upacara adat ini disebut dengan nama Muang Jong. Bagi Suku Sawang Gantong, penamaan tersebut bisa dimaklumi meski tak sesuai seperti aslinya. Para sesepuh Suku Sawang Gantong mengatakan, dalam Bahasa Laut tidak dikenal istilah Buang Jong. Istilah nama Buang Jong digunakan oleh pemerintah daerah ketika upacara tersebut dinilai menjadi salah satu daya tarik pariwisata. Bila merujuk pada nama aslinya dalam Bahasa Laut, upacara adat tersebut dikenal dengan nama Mueng Patong. Kata
’Mueng’
secara
harfiah
berarti
’membuang’,
sedangkan ’Patong’ adalah nama dari replika perahu yang digunakan sebagai salah satu properti utama dalam
pelaksanaan upacara adat tersebut. Penamaan Jong disebabkan replika perahu tersebut mirip perahu Jong dan lebih mudah dilafalkan. Menurut Asin Bahari, sewaktu Suku Sawang masih menghuni lautan, upacara adat tersebut dilaksanakan secara terpadu di Pulau Garongara. Bahkan upacara adat itu juga dihadiri oleh Suku Sawang dari Pulau Bangka. Belum jelas bagi penulis mengenai letak Pulau Garongara. Sebab pulau tersebut tidak tercantum dalam peta-peta kuno yang menggambarkan perairan Pulau Belitung pada abad ke-18 sampai abad ke-20. Namun sesepuh Suku Sawang Gantong memastikan bahwa Buang Jong di masa lalu selalu dihadiri oleh seluruh komunitas Suku Sawang di seantero Pulau Belitung. Seperti contoh pada masa kini, ketika Suku Sawang Gantong menggelar Buang Jong, maka Suku Sawang dari Tanjungpandan dan Manggar juga ikut hadir bersama-sama. Buang Jong diadakan selama tiga hari tiga malam. Pada masa lalu, pelaksanaannya dibiayai secara swadaya. Bagi Suku Sawang Gantong kondisi itu setidaknya berlangsung hingga tahun 2007. Bantuan pemerintah
daerah mulai masuk pada pelaksanaan Buang Jong tahun 2008. Fasilitasi Pemda tak sekadar dipandang sebagai sebuah bantuan materil bagi para sesepuh Suku Sawang Gantong. Pada sisi lain, mereka menganggap fasilitasi tersebut sebagai sebuah pengakuan Pemda terhadap keberadaan Suku Sawang di tengah komunitas sosial masyarakat. Mereka juga menganggap fasilitasi itu semakin memperkokoh nama Suku Sawang sebagai nama resmi yang diakui Pemerintah untuk komunitas Orang Laut di Pulau Belitung.
Gambar 4.1. Patong yakni replika perahu yang sering disebut Jong dalam upacara adat Buang Jong. Sumber: Dokumentasi Amair, 2016.
Memimpikan Suasana Lautan Setidaknya sudah lebih dari 100 tahun Suku Sawang Gantong terlibat dalam rantai kelola pertambangan timah di Pulau Belitung. Sebuah perjalanan panjang yang membuat mereka terjauhkan dari lingkungan asalnya di lautan. Namun perlu diperhatikan bahwa mereka tak sekalipun menyesali kondisi tersebut. Bekerja di darat menjadi buruh ternyata adalah sebuah kebanggaan bagi para generasi Suku Sawang Gantong yang pernah hidup di era kolonial dan kemerdekaan. Bahkan kebanggaan itu masih berbekas pada generasi sekarang, sekalipun mereka hanya sebatas mendengar cerita. Sesepuh paling tua di komunitas Suku Sawang Gantong, Daud (90) bahkan tak sungkan mengatakan dirinya pernah memijat tangan seorang Belanda di masanya. Ia tampak bersemangat ketika mengatakan pernah bekerja di banyak sektor mulai dari gudang, kolong, sampai
kapal
keruk.
Semangat
yang
sama
juga
ditunjukkannya ketika menuturkan pengalaman sebagai pekerja di bawah perusahan timah era kemerdekaan.
Pasalnya pada era kemerdekaan, fasilitas yang mereka peroleh dari perusahaan timah Belanda masih terus dilanjutkan. Rumah disediakan, bahan makanan berlimpah, listrik dan air gratis sehingga tidak ada cerita Suku Sawang yang menderita kelaparan apalagi terlantar. Sesepuh
Suku
Sawang
Gantong
Udin
(76)
mengatakan, mereka merasa bangga bisa bekerja di perusahaan timah, baik pada masa Belanda maupun di era kemerdekaan. Bahkan menurutnya, pada masa Belanda Suku Sawang boleh dibilang menjadi anak kesayangan karena mau bekerja keras dan tidak pernah membuat masalah. ”Dulu kami lebih banyak diam
di
perahu,
tidak
banyak diam di darat, tapi Belanda menyuruh kerja, jadi perahu merapat, tapi jadi
susah
turun
perahu,
naik
makanya
dibuatkan mereka rumah,” Gambar 4.2. Sumber: Dokumentasi Wahyu Kurniawan, 2016.
Daud
Dalam konteks ini, Belanda yang dimaksud adalah perusahaan timah NV. Gemeenschappelijke Maatschappij Billiton (GMB). Perusahaan ini adalah gabungan dari saham Pemerintah Hindia Belanda dan NV. Billiton Maatschappij (BM). GMB beroperasi sejak tahun 1924 sedangkan pengelolaan timah sebelumnya dilaksanakan langsung oleh BM sejak 1860. Jauh ke belakang, pada 23 Maret 1852 usaha tersebut dikelola oleh konsesi atas nama J.F. Loudon sebagai pemegang kuasa Pangeran Williem Frederik Hendrik dan Vincent Gildemeester Baron Van Tuyll yang bertindak atas nama sendiri. Pada tahun 1958, izin GMB tidak diperpanjang dan Pemerintah Indonesia mengambil
alih
pengelolaan
timah
Belitung
lewat
Perusahaan Tambang Timah Belitung (PTTB). Pada 1960, PTTB disatukan ke dalam PN Tambang Timah yang sekarang menjadi PT Timah (persero) Tbk. Sewaktu era restrukturisasi 1990-1995, PT Timah secara bertahap mengurangi jumlah karyawannya. Udin yang telah mengabdi selama 33 tahun menerima pesangon Rp 13 juta. Sedangkan Daud yang memang sudah lebih
dulu purna tugas masih merasakan uang pensiun hingga sekarang. Pasca restrukturisasi, PT Timah tetap membutuhkan tenaga Suku Sawang untuk kegiatan bongkar muat. Mantan L.O PT Timah di Belitung Timur Mahmuddin mengatakan waktu itu pihak perusahaan menggunakan sistim perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Suku Sawang dipekerjakan dibawah naungan Koperasi Karyawan Timah (Kokartim) untuk melaksanakan pekerjaan tertentu yang dibutuhkan perusahaan seperti kegiatan bongkar muat di gudang wilayah operasi Gantung. Walau sepertinya Suku Sawang tampak kurang mendapat posisi yang baik di akhir pengabdiannya, tapi mereka
tetap
bersemangat
ketika
bercerita
tentang
kejayaan di masa lalu. Sewaktu
masih
bekerja
sebagai
karyawan
perusahaan, mereka mendapatkan ransum setiap tanggal 25 atau tanggal 29 bersamaan pembagian gaji. Komponennya yakni kacang tanah, kacang hijau, gula, kopi, teh, garam, cornet, susu, ikan kaleng, ikan asin, sabun, rokok, dan buah-buahan seperti pisang dan kurma. Mereka masuk
kerja pukul 07.00-11.00, istirahat dan masuk kembali 13.00-16.00 dan Sabtu pulang pukul 13.00 WIB. Sebagian mereka mengisi waktu luang dengan melaut, dan sebagian lagi sibuk pada minatnya masing-masing. ”Dulu gaji memang murah, tapi makanannya mewah, setiap bulan dapat jatah ransum, beras tiap hari dapat 9 ons, akhir bulan dapat lagi, kalau punya istri dan anak, jatah berasnya ditambah lagi, rumah dapat, air listrik gratis, bola lampu putus pun
Udin Gambar 4.3. Sumber: Dokumentasi Wahyu Kurniawan, 2016.
tinggal minta ganti ke perusahaan, gimana tidak bangga kerja di perusahaan,”
Setelah masa kejayaan timah berlalu, mereka sadar bahwa Suku Sawang Gantong seharusnya kembali ke lingkungan asalnya. Terlebih rumah yang mereka tempati sekarang di Kampong Laut bukan milik sendiri. Wacana pemindahan Kampong Laut membuka peluang mereka
untuk memimpikan suasana laut di tepi pantai sebagai tempat tinggal. Sejarah sepertinya terulang. Ingat 165 tahun lalu, para nenek moyang mereka diberi kesempatan untuk memilih tempat tinggal pasca mendapat pengampunan dan mereka memilih Pulau Mengkokong. Pada masa kini, mereka juga kembali mendapat pilihan, tapi pilihannya tetap mengarahkan mereka jauh dari laut. Sebetulnya mereka bermimpi bisa tinggal di tepian pantai Gusong Cine, tapi lokasi itu berada di luar wilayah administrasi desa mereka saat ini. Pilihan lainnya Pantai Mudong, tapi lokasinya masuk dalam kawasan hutan lindung. Walau belum tentu terwujud, tapi setidaknya mimpi ini menjadi indikasi bahwa generasi Suku Sawang Gantong masa kini masih menyimpan jiwa asli mereka sebagai Orang Laut. Sekalipun sudah lama tinggal di daratan, mereka tetaplah Orang Laut yang senantiasa merindukan lautan. ”Sedih memang rasanya,” kata Udin. Zaman telah membuktikan bahwa Suku Sawang dapat diandalkan untuk menyukseskan berbagai agenda besar. Mereka mampu menjadi angkatan laut dalam
perlawanan terhadap aksi kolonialisme barat di masa kerajaan. Mereka menjadikan roda pengelolaan timah di Pulau Belitung menjadi sempurna di masa Belanda hingga orde baru sehingga negara punya devisa yang bisa diandalkan. Karena itu, seyogyanya Suku Sawang juga bisa berada di posisi yang strategis untuk mendukung agenda besar Pulau Belitung pada masa kini di sektor pariwisata. Tentu hal ini membutuhkan pemahaman para pemangku kepentingan tentang jiwa, karakter dan sejarah Suku Sawang dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Gambar 4.4. Penulis berfoto bersama warga Suku Sawang Gantong di komplek perumahan Kampong Laut. Sumber: Dokumentasi Wahyu Kurniawan,, 2016.
Kembali ke Pusaran Zaman Sadar pada kelemahan sendiri adalah bekal penting bagi Suku Sawang Gantong untuk kembali ke pusaran zaman. Mereka menyadari selama ini telah tertinggal jauh dalam hal pendidikan. Bak gayung bersambut, kesadaran itu akhirnya mempertemukan mereka pada Program Peduli yang berada di bawah naungan Kementerian Koordinator Bidang
Pembangunan
Manusia
dan
Kebudayaan
(Kemenko Bidang PMK) Republik Indonesia. Melalui program tersebut, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat dan Penelitian – Air Mata Air (LPMP Amair) selaku Civil Social Organization (CSO) akhirnya dipercaya serta ditunjuk oleh The Asia Foundation (TAF) dan Kemitraan (Partnership) Indonesia untuk mendampingi masyarakat adat Suku Sawang Gantong. CSO yang berisikan kalangan akademisi muda Belitung Timur ini lantas melaksanakan salah satu program kerjanya bertema Penyetaraan Pendidikan Formal Bagi Masyarakat Adat Sawang. Mengenai tujuan dari program ini dapat dilihat dari rilis media yang disampaikan Amair pada, Rabu 19 Mei 2016.
”Kegiatan ini diharapkan menjadi salah satu upaya dan cara untuk bisa meningkatkan motivasi dan kapasitas Masyarakat
Adat
Sawang
Gantong.
Dengan
meningkatnya motivasi dan kapasitas Masyarakat Adat Sawang Gantong maka secara perlahan stigma negatif terkait ’Urang Sekak atau Urang Laut’ akan berangsur hilang dan terjadi proses inklusi sosial di Masyarakat Adat Sawang Gantong dan masyarakat non-Suku Sawang di sekitarnya mengalami pembauran yang setara, positif, dan produktif,” Amair, 2016
Sebanyak 13 warga Suku Sawang yang belum tamat sekolah
dasar
berhasil
diikutkan
dalam
program
penyetaraan pendidikan formal tersebut. Mereka mengikuti kegiatan belajar setiap minggu pada Senin malam selama lima bulan terhitung dari tanggal 7 Desember 2015 sampai 2 Mei 2016. Selanjutnya mereka mengikuti Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN) Sekolah Dasar (SD) Paket A di bawah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Kecamatan Gantung. Ujian tersebut berlangsung di SD Negeri 09 Gantung Dusun Seberang Desa Selising
Kecamatan Gantung Senin (16/05/2016) sampai dengan Rabu (18/05/2016) mulai pukul 13.30 - 18.00 WIB. LPMP
Amair
sempat
memotret
bagaimana
antusiasnya warga Suku Sawang mengikuti ujian Paket A tersebut. Mereka tampil rapi mengenakan kemeja dan celana panjang. Walau sebagian hanya mengenakan sandal jepit, mereka tetap bersemangat berjalan kaki menuju tempat ujian yang berjarak sekitar 1 kilometer dari komplek perumahan Kampong Laut. Dua
bulan
kemudian
hasil
Ujian
Paket
A
diumumkan. Hasilnya 13 warga Suku Sawang Gantong tersebut dinyatakan lulus! Kelulusan itu membuat mereka berhak memperoleh ijazah setara SD. Salah satu warga Suku Sawang Gantong yang mengikuti ujian tersebut adalah Ronny Zukriyan (17). Remaja yang juga terdaftar sebagai Kader Peduli ini mengatakan, kelulusan tersebut membuktikan bahwa mereka mampu mengenyam pendidikan dan memiliki ijazah. Hal itu juga membuka peluang bagi mereka untuk mengubah stigma negatif masyarakat terhadap tingkat pendidikan warga Suku Sawang.
"Usia bukan halangan untuk meraih gelar pendidikan pada lembar ijazah, yang penting kemauan dan tekad", ujar Ronny Ketua Pelaksana USBN SD Paket A PKBM Taruna Maju Yusman menyampaikan pesan kepada Pendamping Lapangan LPMP Amair Edo Yulanda. Ia berpesan agar Amair
terus
memberikan
motivasi,
fasilitasi
serta
dukungan untuk warga Suku Sawang Gantong. Sebab, setelah lulus Ujian Paket A, mereka bisa melanjutkan ke jenjang Paket B dan Paket C. Hal ini berarti membuka peluang bagi Suku Sawang Gantong untuk memperoleh ijazah setara SMP dan SLTA.
Gambar 4.5. Warga Suku Sawang Gantong berjalan kaki menuju lokasi ujian Paket A. Sumber: Dokumentasi LPMP Air Mata Air, 2016.
Gambar 4.6. Warga Suku Sawang sedang mengikuti Ujian Paket A mata pelajaran IPA di hari ke-3, Rabu, 18 Mei 2016. Sumber: Dokumentasi LPMP Air Mata Air, 2016.
Pendampingan yang dilakukan oleh LPMP Amair pada Suku Sawang Gantong tak sebatas hanya pada penyetaraan pendidikan formal. Berbagai kegiatan lain juga telah dilaksanakan sepanjang kurun 2015-2016. Kegiataan itu tergambar dari pelaksanaan program kerja fase 1 dan 2 pada rentang dua tahun terakhir. Sebagai contoh di bidang kebudayaan terdapat kegiatan untuk menghidupkan kembali sanggar seni Ketimang
Burong
dalam
komunitas
Suku
Sawang
Gantong. Mereka kemudian difasilitasi untuk membentuk Lembaga Adat Suku Sawang Gantong secara formal. Pendampingan juga mereka peroleh dalam pelaksaan upacara adat Buang Jong. Di
bidang
merevitalisasi
olahraga,
klub
Suku
sepakbola
Sawang
legendaris
Gantong Persatuan
Sepakbola SSG. Hal serupa juga dilakukan pada klub bola voli yang mereka miliki. Suku
Sawang
Gantong
pun
mengikuti
berbagai
pelatihan
yang
tampak berguna
antusias untuk
meningkatkan kapasitas mereka. Contohnya, pelatihan peningkatan pola hidup sehat, pelatihan kader, pelatihan pengorganisasian, pelatihan keahlian membuat replika perahu untuk cinderamata, pelatihan parenting skill, dan pelatihan urban farming dalam bentuk hidroponik dan aquaponik. Pendekatan pada mekanisme birokrasi juga dilakukan lewat kegiatan audiensi, lobi, maupun sosialisasi. Aplikasi dari kegiatan tersebut yakni dengan melaksanakan audiensi dan lobi bersama Bupati dan Ketua DPRD Belitung Timur di kantornya masing-masing. Mereka juga mengikuti
musyawarah rencana pembangunan
di tingkat Desa
Selingsing dan menyuarakan aspirasi lewat focus group discussion
(FGD)
multipihak
untuk
mendapatkan
dukungan program terhadap Suku Sawang. Kegiatan ini pada akhirnya telah membawa Suku Sawang Gantong menjadi bagian penting dalam pembentukan Kelompok Kerja Forum Peduli Belitung Timur. Kelompok kerja ini nantinya dicita-citakan sebagai wadah yang menghasilkan solusi produktif dan konstruksi terhadap persoalan sosial kemasyarakatan yang ada di Kabupaten Belitung Timur. Selama berada dalam pendampingan LPMP Amair, Suku Sawang Gantong juga mendapat layanan dan fasilitasi yang berkaitan dengan program layanan dari Pemerintah. Contohnya, Layanan Keluarga Berencana (KB)
Komunikasi,
Informasi
dan
Edukasi
(KIE),
sosialisasi dan fasilitasi kartu BPJS Kesehatan, serta sosialisasi
dan
fasilitasi
dokumen
administrasi
kependudukan berupa akta kelahiran (AK), kartu keluarga (KK) dan kartu tanda penduduk (KTP). Suku Sawang Gantong tampak telah menyadari bahwa penguatan generasi muda adalah modal penting
untuk menjaga eksistensi mereka dalam menghadapi perubahan
zaman.
Kesadaran
itu
tergambar
lewat
kehadiran para generasi muda Suku Sawang Gantong dalam
kegiatan
pelatihan
komputer
praktis
dan
pengembangan media komunitas melalui media sosial (medsos) Kulek Terakhir. Pendekatan Suku Sawang Gantong pada komputer dan media sosial adalah salah satu komponen penting yang akan membawa mereka kembali ke pusaran zaman, terlepas dari eksklusi sosial, dan menyetarakan diri dalam pembangunan. Terlepas dari semua asa yang ada, sejarah Suku Sawang Gantong tampaknya kembali terulang. Kata kuncinya terletak pada ’pendampingan’. Ingat 165 tahun lalu, ketika Suku Sawang mampu melepaskan stigma negatifnya sebagai bajak laut lewat pendampingan J.F Loudon. Kemudian pada masa kini mereka kembali berangsur
meninggalkan
keterbelakangan
dalam
hal
wawasan dan pendidikan lewat pendampingan intensif oleh LPMP Amair. Karena itu penting menjaga kualitas pendampingan yang baik sebagai sebuah nilai dalam
membawa Suku Sawang ke dalam pusaran zaman sekarang. Satu langkah strategis yang diambil oleh LPMP Amair dalam proses pendampingan adalah penyusunan dan penerbitan buku sejarah Suku Sawang Gantong. Buku ini akan membuat Program Peduli tampak semakin bermakna dan berpeluang menimbulkan dampak berkelanjutan. Sebab, rasanya begitu banyak sisi lain dari kehidupan Suku Sawang Gantong
yang menarik untuk dieksplorasi
berdasarkan sejarahnya. Bukan tidak mungkin buku ini juga akan menginspirasi banyak institusi atau orang per orang untuk menghasilkan karya yang lebih brilian, baik itu terkait langsung dengan komunitas Suku Sawang Gantong
atau
pada
aspek
lain
dalam
bermasyarakat dan bernegera di Pulau Belitung.
*** Selesai ***
kehidupan
Bab V Glosarium
A.
Bal : bola
Aek : air
Begenong : bernyanyi
Aek Peneu : sungai kecil
Bereneng : berenang
Akuk’ : aku
Berempak : menangkap ikan
Ameng : orang
karang
Anak : anak
Bejuk : baju
Apak’ : apa
Beras : beras
Ayam : ayam
Bibir : bibir Bengkuk : bangku
B.
Belengak : kuali
Bewa: bawah
Bekayuk : singkong
Bujeng : bujang
Bebik : babi
Burit: belakang
Betang : batang
Belejer : belajar
Burung : burung
Binik : istri
Buk : bau
Berat: barat
Bedegeng : berdagang
Belekang : belakang
Bering : baring
Beneng : benang
D.
Benek : benda
Duda: duda
Belenek : belanda
Desa’: desa
Begin : minta
Denau: danau
Bejelan : jalan-jalan
Detok : datuk
Biru : biru
Detok Moyang : datuk
Binik : wanita
moyang
Betis : betis
Duduk : duduk
Bedaek : melagukan pantun
Deging : daging
Berang : barang
Diem : diam
Beleng : warna
Demem : demam
Bepantun : berpantun
Detang : datang Depor : dapur
C. Cian : sini Ciun : sana Cucu : cucu
Deyang : dayang Dari : dari Detas: atas Delam: dalam
Congon : lihat Cekot : haus
E.
Cikar : cantik/ganteng
Eto : itu
Cubit : sedikit
Eto yek la bejelan : itu dia
Entuek : mertua
Jelan : jalan Jerik : jari
G.
Jubur : pantat
Guruk : guru
Jerung : hiu
Gunung : gunung/bukit Gigik : gigi
K.
Gulek : gula
Ke : ke
Geleng : gelang
Kota’: kota
Gimel : gendang
Kampung : kampung
Geles : gelas
Kolong : kolong Kedei: warung
I.
Kepala : kepala
Ikou : kamu
Kantong : kantong
Iti : ini
Kuning : kuning
Ikan : ikan
Kapak : kapak
Idup : hidup
Kosak : suka
Ijeu : hijau
Krusik : kursi
Idung : hidung
Kuncik : kunci Koyok : anjing
J. Jenek: janda
Kayuk : pohon Kakik : kaki
Kukuk : kuku
Loyang : cincin
Kulit : kulit
Laok : lauk
Kerje’ : kerja
Layang : layar
Kakek : kakek Kawin : menikah
M.
Kaming : kambing
Mena: mana
Kiri : kiri
Mak : ayah
Kanan : kanan
Mak Sederak : paman Menentuk : menantu
L
Mansak : mantan suami/istri
La : sudah
Menom : minum
Laguk : lagu
Makan : makan
Laut : laut
Manik : mandi
Lolok Kecik : anak kecil
Mesak : masak
Langet: langit
Mancing : mancing
Laki : suami/laki-laki
Mueng : membuang
Lapar : lapar
Meleter : militer
Lide : lidah
Mulut : mulut
Luer: luar
Matak : mata
Luen: depan
Matik : mati
Lagak : cantik/ganteng
Mata : mentah
Mera : merah
P.
Mude’ : muda
Pelisi : polisi
Menyit : jarum
Pi Nek : nggak mau!
Melas : membalas
Pingen : piring Priuk : priuk
N. Namak : nama Nek : Mau Nek Puik? : mau nggak? Nuk : ibu Nek : nenek Nuk Sederak : bibi Nyawak : badan Nyongon : melihat Nyelam : menyelam Nenger : mendengar Nasik : nasi Nimpun : baskom Numpang Laluk : permisi Nikam : menombak Negrik: negeri
Parang : parang Pesok : pisau Padeng bal: lapangan bola Pelangek : pelangi Puik : tidak Pulau : pulau Pantai : pantai Padeng: Padang Pipik : pipi Perut : perut Priuk : Priuk Panci : panci Pesok : pisau Plak : gerah Pi Kosak : tidak suka Pesik : dingin
Puti : putih
Saing : kawan/teman
Pakai : pakai
Sawang : laut
Panyeng : panjang
Situk : situ
Penek : pendek
Selatan: selatan
Pak : paha
Siak: sebelah
Pulang : pulang
Simpang : simpang
Prauwok : perahu
Simpang: sungai
Prauwok pakai kajeng : Sekola : sekolah perahu pakau atap
Sederak : saudara Sepupu : sepupu
R.
Sepatuk : sepatu
Ruma : rumah
Sental : sendal
Ruma Pangung : rumah Seluar : celana panggung Sugun : sisir Rinuk : rindu
Subeng : anting
Rempa : bumbu
Sin : uang
Rampang : tombak
Semelak : tripang
Ramut: rambut
Sapik : sapi Selamat : selamat
S. Sapa’: siapa
Selamat Detang : selamat datang
Susa : susah
Tuan : tuan
Sudu’ : sendok
Telage’ : sumur Tentara : tentara
T.
Tingik: tinggi
Tunyuk: tunjuk
Tupik : topi
Tepik: samping
Tana : tanah
Timur: timur Tarak: utara
U.
Tengerak: tenggara
Ujen : hujan
Teluk : teluk
Uto : mobil
Tanyung: tanjung
Utan : darat/hutan
Tuku : toko
Umur : umur
Telingak : telinga
Urang : orang
Tidur : tidur Tero : taruh/meletakkan Tadik: tadi Tidak : puik Tinuk : Ngantuk Tingik : tinggi Tagem : besar Tuak : tua
Y. Yek : dia
Bilangan Sotek : satu Duek : dua Tigek : tiga Empat : empat Limak : lima Enam : enam Tuju’ : tujuh Lepan : depalan Semilen : sembilan Sepulu : sepuluh Nol : kosong Sebeles : sebelas Duek Pulu : dua puluh Seratus : seratus Seribuk : seribu Sepulu Ribuk : sepuluh ribu
Refrensi Adiguna. ”Buang Jong Tradisi Unik Nan Magis,” Visit Beltim, II (2013), hlm 41-43. Aidit, Sobron.”Suku-laut = Sekak”. Kisah Serba Serbi edisi 281, 24 Mei 2001. Bahari, Asin. Mengenal Kehidupan Adat Istiadat Suku Laut (Sawang) di Pulau Belitung.Tanjungpandan: Dinas Pariwisata Kabupaten Dati II Belitung, Agustus 1987. Buku Kenangan Billiton 1852-1927. Jld 1, terj. Yayasan Budaya Mukti Bandung, Tanjungpandan: Kantor Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Belitung, 2015. ______________________________. Jld 2, terj. Yayasan Budaya Mukti Bandung, Tanjungpandan: Kantor Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Belitung, 2014. Carnbe´e, Pieter Baron Melvill van. "Kaart van de afdeeling Billiton (of Blitong) 1856". Algemeene atlas van Nederlandsch Indie. Batavia: Van Haren Noman & Kolff, 1862. Croockewit, Johan Hendrik. Banka, Malakka En Billiton: Verslagen Aan Het Bestuur Van Neêr Landsch Indië In Den Jaren 1849 En 1850. Den Haag: K. Fuhri, 1852.
Gedenkboek Billiton 1852-1927. 1 vols. Den Haag: Martinus Nijhoff, 1927. _______________. 2 vols. Den Haag: Martinus Nijhoff, 1927. Groot, Cornelis de. Herinneringen aan Blitong: historisch, lithologisch, mineralogisch, geographisch, geologisch en mijnbouwkundig. Den Haag: H. L. Smits, 1887. Hedemaan, F.W.H. Von. Schets van de Bewerking ed de Huishoudelijke Inrichting der Tinmijnen op Billiton. Joh Noman En Zoon, 1868. Heidhues, Mary F.Somers. Company Island: A Note on The History of Belitung. Indonesia 51, April 1991. Hirata, Andrea. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang, 2005. ____________. Sang Pemimpi. Yogyakarta: Bentang, 2006. Kemp, Pieter Hendrik. Billiton-opstellen. Batavia: Ogilvie, 1886. Ken, ”Panggil Saja Kami Orang Sawang”. Kompas, Jumat, 22 Januari 2010. KK1,”Aku Cakap Laut Dia Cakap Melayu,” Pos Belitung, 12 Januari, 2014, hlm. 1.
Laguindab, Ali P. The Iranuns in Philippines: A Profile, The Land and the People Iranun Madrasa-Centered Education Proposed simplified curriculum for special purposes Glimpses of the Past in Pictures. Tanjungpandan: 24 April, 2016. Lith, P. A. van der., A. J. Spaan., and F. Fokknes. Encyclopedie van Nederlandsch-Indie Met Medewerking van Verschillende Ambtenaren, Geleerden en Officieren. Den Haag: M Nijhoff-E.J. Brill, 1896. Loudon, John Francis. De Eerste Jaren Der BillitonOnderneming. Amsterdam: J.H.de Bussy, 1883. Loudon, John Francis. Tahun-Tahun Pertama dari Perusahaan Belitung, terj. Yayasan Budaya Mukti Bandung, Tanjungpandan: Kantor Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Belitung, 2015. Melalatoa, M Junus. Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1995. Moksan, Datu Jamaluddin Datu. Apa itu Iranun? Sabah: 2016. Mollema, Jarig Cornelis. De ontwikkeling van het eiland Billiton en van de Billiton-maatschappij. Den Haag: M Nijhoff, 1918.
Mollema, Jarig Cornelis. Pertumbuhan Pulau Belitung dan Billiton-Maatschappy 1851-1958, terj. H Abu Hassan, Manggar: April 1995. Schepern, L. ”Aanteekeningen omtrent de bevolking van Billiton (1860)”. Tijdschrift voor Indische Taal Land en Volkenkunde, hlm 56-66. 3 vols. Batavia: 1860. Sevenhoven , J.I. ”Rapport Over Het Eiland Billiton”. Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie. 14 vols. Leiden: Brill, 1 Januari 1867. Stapel, Frederik Willem. Aanvullende gegevens omtrent de geschiedenis van het eiland Billiton en het voorkomen van tin aldaar. Den Haag: NV Gemeenschappelijke Mijnbouwmaatschappij Billiton, 1938. Stapel, Frederik Willem. Tambahan KeteranganKeterangan Mengenai Sejarah Pulau Belitung dari Tahun 1746-1823, terj. H.Abu Hassan, Manggar: 14 April 1983. Sudjitno, Sutedjo. Sejarah Timah Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996. Suhendar, Dede.”Mengejutkan!Bupati Belitung Mengaku Keturunan Perompak,” belitung.tribunnews.com, 25 April 2016.
_____________.”Keturunan Lanun Beramai-ramai Sambangi Rumah Dinas Wabup Belitung Erwandi,” belitung.tribunnews.com, 13 Juli 2016. Term of Reference (ToR) Fasilitasi Pembentukan Working Group Peduli Belitung Timur “Forum Multipihak Peduli Belitung Timur”. Manggar: LPMP Amair, 2016. Tinmijnbouw-Onderneming op Billiton in algemeene trekken geschetst, Buitenzorg: Universiteit Leiden, Juli 1900. Yulanda, Edo. Press Release Program Penyetaraan Pendidikan Paket A Bagi Masyarakat Adat Sawang Gantong (Kegiatan Ujian Kelompok Belajar Paket A), Program Peduli LPMP Air Mata Air 2016. Manggar: Rabu 19 Mei 2016.
Tentang Penulis Wahyu Kurniawan dilahirkan 16 Maret 1986 di Tanjungpandan, Kabupaten Belitung. Putra pertama pasangan Ardi Kusuma dan Wisusiyarsih ini menyelesaikan pendidikan sarjananya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Oktober 2009. Januari 2010 ia bergabung di media massa Bangka Pos Grup, Tribun. Setelah enam tahun menjadi wartawan lapangan, Wahyu kini menduduki posisi sebagai Penanggungjawab Online Harian Pagi Pos Belitung. Sepanjang karirnya, suami dari Firtasari Haliza ini bergelut pada bidang sejarah, budaya, pendidikan, olahraga, dan pariwisata. Ayah dari Kalisya Fadhila Kurniawan ini secara rutin menjadi narasumber dalam kegiatan pemustaka di Perpustakaan Daerah Kabupaten Belitung. Pada tahun 2016, ia masuk dalam daftar anggota Tim Perumus Hari Jadi Kota Manggar di Kabupaten Belitung Timur. Buku berjudul Kulek Terakhir Sebuah Pengantar Sejarah Suku Sawang Gantong adalah buku pertama yang ditulis Wahyu berkat kerjasama dengan LPMP Air Mata Air di Belitung Timur. Bagi Wahyu, buku ini sangat penting karena akan menjadi pembuka jalan bagi bukubuku selanjutnya.(*)
Testimoni Sudah banyak riwayat Suku Sawang ditulis dan tercecer. Kini yang tercecer sudah dibukukan dan yang menarik prakarsa dan penulisnya orang muda yang tak pernah puas dengan sejarah. Buku ini menjadi menarik karena kelengkapan bukti sejarah dan disajikan lugas dan menarik. Fithrorozi, Penulis buku Ngenjungak Republik Kelekak. Mengisahkan kembali serpihan sejarah tidaklah mudah, apalagi “patahan sejarah” yang terlupakan. Dari perspektif jurnalis, Wahyu mampu mengungkap dan mengangkat secara rinci tentang ”Urang Laut” di Belitung. Ian Sancin: Penulis Novel Sejarah Trilogi Yin Galema.