Masyarakat Adat dalam Pusaran Perubahan

Page 1

KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas diterbitkannya buku yang mengulas kondisi dan pemberdayaan masyarakat adat yang dilakukan oleh Kemitraan melalui pilar masyarakat adat dalam Program Peduli. Program Peduli merupakan salah satu inisiatif yang dilakukan oleh Kemenko Bidang Pembangunan Manusia & Kebudayaan bersama-sama dengan organisasi masyarakat sipil ditingkat nasional maupun daerah. Salah satu tujuan dari Program Peduli adalah mendorong integrasi dan partisipasi sosial pada kelompok-kelompok masyarakat yang mengalami ekslusi atau marjinalisasi dalam kehidupan sehari-hari, baik akibat penolakan, diskriminasi, stigma, ataupun sulit dijangkau secara geografis. Pendampingan yang dilakukan oleh Kemitraan melalui pilar masyarakat adat telah memberikan perubahanperubahan yang dapat dirasakan oleh masyarakat adat dalam mendapatkan layanan dasar maupun kesempatan untuk berpartisipasi secara lebih luas dalam berbagai kehidupan masyarakat. Walaupun demikian, tantangan yang dihadapi oleh masyarakat adat membutuhkan perhatian dan dukungan dari berbagai pihak, khusunya oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Akses masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya hutan atau wilayah adatnya merupakan salah satu persoalan utama dalam pemberdayaan masyarakat adat. Hutan dan sumberdaya alam bagi masyarakat adat tidak hanya terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari hari, akan tetapi juga terkait dengan tradisi, nilai, budaya, serta pandangan hidupnya.

I


Temuan dan informasi yang dikumpulkan oleh Kemitraan dalam Program Peduli merupakan salah satu aset penting yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas kebijakan, regulasi, serta program pemerintah. Program pemberdayaan masyarakat adat cukup banyak dilakukan oleh pemerintah ditingkat nasional maupun daerah, namun umumnya masih berorientasi pada penyediaan bantuan, ketimbang melakukan upaya-upaya yang mendorong pengakuan dan pemberdayaan masyarakat adat. Oleh sebab itu, dimasa yang akan datang perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kualitas program sesuai dengan permasalahan, kebutuhan, dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat adat. Semoga buku ini dapat menginspirasi kita untuk terlibat dan memikirkan pendekatan baru yang lebih inovatif dalam memberdayakan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat adat secara berkeadilan.

Nyoman Shuida Deputi Bidang Koordinasi Pemberdayaan Masyarakat, Desa & Kawasan Kemenko Bidang Pembangunan Manusia & Kebudayaan

II


BAB I DINAMIKA MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA Berdasarkan data yang dimiliki oleh PBB, populasi indigenous people (masyarakat adat) diseluruh dunia berjumlah 370 juta jiwa. Populasi masyarakat adat tersebut tersebar di sekitar 90 juta jiwa. Sebagian besar masyarakat adat tersebut hidup dalam kondisi yang memprihatinkan karena berada pada lokasi geografis yang sulit dijangkau, bahasa dan budayanya terancam punah karena penurunan jumlah populasi secara drastis, serta kualitas hidupnya berada kondisi yang termiskin diantara penduduk miskin. Berdasarkan data diatas, diperkirakan sebanyak 80 % masyarakat adat hidup di Asia, Amerika Latin, dan Afrika1. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki tingkat keragaman suku bangsa. Menurut data sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2010, menyebutkan bahwa jumlah suku bangsa di Indonesia mencapai 1.340 etnik. Berdasarkan jumlah tersebut, hanya 15 etnik yang memiliki jumlah penduduk lebih dari 1 juta jiwa. Komposisi etnik di Indonesia menurut sensus tahun 2010 adalah sebagai berikut2 : Tabel 1. Komposisi Etnis di Indonesia Berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 2010 No 1 2

Nama Etnik Jawa Sunda

Jumlah Populasi (Juta Jiwa) 83.86 30.97

1 The Department of Economic & Social Affairs. 2009. State of The Worlds Indigenous People. United Nations. Hal 66 2 Badan Pusat Statistik. Sensus Penduduk Indonesia 2010. BPS. Jakarta.

1


3 4 5

Melayu Madura Batak

6.94 6.77 6.07

6

Minangkabau

7

Betawi

8

Bugis

9

Banten

10

Banjar

11

Bali

12

Sasak

13

Makassar

5.47 5.04 5.01 4.1 3.49 3.24 2.61 1.98 1.89 1.73

14

Cirebon

15

Tionghoa/ Huldanalo

Sumber : Data Sensus Penduduk BPS Pemerintah sendiri belum memiliki data dan informasi yang cukup lengkap mengenai masyarakat adat di Indonesia. Hal ini disebabkan definisi dan konsep tentang masyarakat adat yang digunakan cukup beragam, baik pada tataran internasional maupun nasional. Pada tingkat internasional, indigenous people merupakan istilah yang digunakan untuk merangkum kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan karakteristik seperti kesamaan asal usul, tanah, wilayah, maupun identitas budaya. Istilah indigenous people sendiri sebenarnya muncul dari pengalaman invasi kolonialisme yang terjadi diberbagai belahan dunia pada masa lampau yang menyebabkan penduduk asli terpinggirkan. Proses dominasi terhadap penduduk asli terus terjadi hingga hari ini oleh kelompok lainnya walaupun kolonialisme telah berakhir3. Salah satu konsep yang cukup banyak digunakan mengenai 3The

2

Department of Economic & Social Affairs of United Nations. 2009. State of The Worlds Indigenous People. United Nations. Hal 55


indigenous people adalah konsep yang dikembangkan oleh Martinez Cobo sebagai berikut4 : a.

Kelanjutan sejarah dari masa masyarakat pra invasi atau pra kolonial yang hadir diwilayah mereka;

b.

Memiliki kekhasan bila dibandingkan dengan kelompok lain di dalam masyarakat;

c.

Buka merupakan kelompok dominan di dalam masyarakat;

d.

Memiliki kecenderungan untuk menjaga, mengembangkan, dan melanjutkan wilayah adatnya kepada generasi berikutnya sebagai identitas mereka yang memiliki pola kebudayaan , institusi sosial, dan sistem hukum yang dimiliki;

Konsep ini kemudian diperkaya oleh UNPFII dengan melengkapi beberapa ciri sebagai berikut : e.

Memiliki hubungan yang kuat dengan wilayah dan sumberdaya alam di sekitarnya;

f.

Memiliki sistem sosial, ekonomi, dan politik yang berbeda dengan komunitas masyarakat lain;

g.

Memiliki bahasa, budaya, dan kepercayaan yang berbeda. Di Indonesia istilah masyarakat adat yang digunakan juga cukup beragam, baik yang digunakan oleh

pemerintah, akademisi, maupun oleh penggiat organisasi masyarakat sipil yang mendampingi masyarakat adat. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendefinisikan masyarakat adat sebagai suatu komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun temurun di wilayah geografis tertentu, serta memiliki nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, dan sistem sosial yang khas5. 4Arizona Yance. Mendefinisikan Indigenous People di Indonesia. Diakses melalui situs yance arizona.net pada tanggal 28 Juli 2016. 5International

Centre for Research on Agroforestry. 2001. Kajian Kebijakan Hak-Hak Masyarakat Adat di Indonesia : Suatu Refleksi

Pengaturan Kebijakan dalam Era Otonomi Daerah.

3


Pada konteks program di Indonesia dikenal istilah Komunitas Adat Terpencil (KAT) atau Suku Terasing, yang digunakan oleh Kementerian Sosial. Sedangkan pada kontek regulasi sering digunakan istilah masyarakat hukum adat. Dasar hukum penggunaan Istilah KAT yang digunakan oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden No 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil. Istilah KAT sendiri juga mengalami perkembangan dalam selama beberapa dasawarsa. Berikut ini adalah beberapa istilah yang digunakan oleh pemerintah terhadap masyarakat adat di Indonesia6 : Tabel 2. Istilah & Definisi Masyarakat Adat yg Digunakan oleh Pemerintah selama 1970-1999 Tahun

Istilah yg Digunakan

Definisi

1976

Suku Terasing

Sekelompok masyarakat dan atau suku-suku tertentu yang dikategorikan masih terasing secara sosial budaya sehingga belum bisa membaur dengan masyarakat sekitarnya

1987

Masyarakat Terasing

Sekelompok masyarakat yang mendiami suatu lokasi daerah terpencil, terisolasi, maupun mereka yang hidup mengembara di kawasan laut, yang tingkat kesejahteraan sosial mereka masih sangat sederhana dan terbelakang ditandai dengan sangat sederhananya sistem sosial, sistem ideologi, serta sistem teknologi mereka belum sepenuhnya terjangkau oleh proses pelayanan pembangunan.

6Kementerian

Perencanaan Pembangunan Nasional. 2013. Masyarakat Adat di Indonesia : Menuju Perlindungan Sosial yang Inklusif.

Diterbitkan oleh Direktorat Perlindungan & Kesejahteraan Masyarakat. Jakarta. Hal 18.

4


1992

Masyarakat Terasing

Kelompok masyarakat yang mendiami suatu lokasi tertentu, baik yang orbitasinya terpencil, terpencar dan berpindah-pindah maupun yang telah hidup mengembara di kawasan laut yang taraf kesejahteraannya masih mengalami ketertinggalan ditandai oleh adanya kesenjangan sistem sosial, sistem ideologi, dan sistem teknologi yang digunakan belum atau sedikit sekali terintegrasi dalam proses pembangunan nasional

1994

Masyarakat Terasing

Kelompok-kelompok masyarakat yang bertempat tinggal atau berkelana di tempat-tempat yang secara geografik terpencil, terisolasi dan secara sosial budaya terasing dan atau masih terbelakang dibandingkan dengan masyarakat bangsa Indonesia pada umumnya.

1998

Masyarakat Terasing

Kelompok orang yang hidup dalam kesatuan kesatuan sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang/belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik nasional.

1999

Komunitas Adat Terpencil

Kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik

Sumber Data : Kementerian Sosial Berdasarkan daftar istilah yang digunakan terhadap masyarakat adat diatas, setidaknya ada beberapa karakteristik yang selalu melekat pada masyarakat adat yaitu, secara geografis terpencil dan terisolasi, seringkali hidup berpindah-pindah, memiliki sistem ekonomi yang subsisten, serta kehidupannya belum terintegrasi dengan masyarakat pada umumnya. Berdasarkan Keppres No 111 tahun 1999, karakteristik KAT adalah sebagai berikut :

5


1. Bentuk komunitas kecil, tertutup, dan homogen 2. Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekebaratan 3. Pada umumnya terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau 4. Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten 5. Peralatan & teknologi yang digunakan masih sederhana 6. Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumberdaya alam setempat relatif lebih tinggi. 7. Terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi, dan politik. Selain mengacu pada karakteristik masyarakat adat yang ditetapkan dalam Keppres diatas, Kementerian Sosial juga membagi KAT dalam beberapa klasifikasi sebagai berikut7: KAT Kategori I KAT yang masih hidup dalam kondisi yang sangat sederhana, belum mengenal teknologi dengan penggunaan alat kerja yang terbatas di lingkungan mereka semata yang diperoleh secara turun temurun hidupnya masih berpencar dan berpindah dalam jumlah yang masih sangat kecil, belum ada interaksi dengan dunia luar dari komunitas mereka, komunikasi yang hanya dapat diketahui oleh kelompok/etnis mereka sendiri. KAT Kategori II KAT yang masih hidup berpindah menetap dalam kondisi yang sangat sederhana dengan menggunakan teknologi yang masih sangat sederhana yang diperoleh dari luar komunitas, hidup masih berpencar dan berpindah 7ibid. Hal 20

6


dalam jumlah kecil dalam orbit tertentu, mulai memiliki interaksi dengan komunitas lain, serta mulai mengenal sistem bercocok tanam. KAT Kategori III KAT yang mulai menetap di tempat tertentu dan untuk kehidupan keseharian sudah memiliki interaksi dengan warga lainnya diluar komunitas, berkelompok dalam jumlah yang lebih besar, sudah mengenal teknologi sederhana yang diperoleh dari komunitas lain, mulai mengenal sistem bercocok tanam dengan bibit yang didapat sendiri dari lingkungan, serta mulai melemahnya peran tokoh adat dalam kehidupan masyarakat. Kementerian Sosial juga melakukan pemetaan terhadap KAT berdasarkan wilayah persebaran wilayah tempat pemukiman maupun lokasi masyarakat adat yang menjadi sasaran dari pelaksanaan program sebagai berikut8 :

8ibid. Hal 21

7


Grafik 1. Sebaran KAT Berdasarkan Lokasi Tempat Tinggal Pada Tahun 2012

4% 1% 22% 25%

DAS Dataran Rendah Dataran Tinggi NA

11%

Pendalaman Pesisir Pantai/Laut Perbatasan Antar Negara

37%

Sumber Data : Kementerian Sosial

8


Tabel 3. Jumlah Lokasi & Status Pemberdayaan KAT RPJMN I2004-2009

RPJMN II 2009-2014

RPJMN III 2015-2016

229.479 KK

213.080 KK

231.268 KK

Sudah Diberdayakan

64.900 KK

90.935 KK

99.726 KK

Sedang Diberdayakan

11.692 KK

6.120 KK

3.610 KK

152.887 KK

116.025 KK

127.932

30

24

21

Kabupaten

246

263

54

Kecamatan

852

1.044

64

Desa

2.307

2.304

66

Lokasi Permukiman

2.650

2.971

77

No 1

Indikator Pemberdayaan

Belum Diberdayakan 2

Sebaran Lokasi Provinsi

Sumber Data : Kementerian Sosial Berdasarkan data diatas, lokasi pemukiman masyarakat adat yang terbanyak di Indonesia berada di pedalaman dan dataran tinggi. Umumnya lokasi-lokasi yang didiami oleh masyarakat adat tidak memiliki akses perhubungan yang cukup baik untuk dijangkau, sehingga seringkali tidak memiliki akses dalam mendapatkan program-program pembangunan yang diberikan oleh pemerintah. Walaupun demikian, secara bertahap pemerintah melalui Kementerian Sosial terus melakukan upaya pemberdayaan dan perbaikan kualitas hidup pada masyarakat adat. Walaupun demikian, jumlah masyarakat adat yang menjadi sasaran dalam program-program pembangunan yang

9


dikoordinasikan oleh Kementerian Sosial menunjukkan kecenderungan dalam beberapa tahun terakhir. Menurunnya jumlah masyarakat adat yang menjadi sasaran dalam program pemerintah dapat disbebakan oleh beberapa aspek. Misalnya kualitas masyarakat adat yang menjadi sasaran program telah meningkat kualitas hidupnya atau dianggap telah berdaya, serta keterbatasan pendanaan yang dimiliki oleh pemerintah dalam menjangkau masyarakat adat. Aspek kritis yang perlu diperhatikan dalam upaya pemberdayaan ini adalah mengenai kondisi masyarakat adat pasca pelaksanaan program yang dilakukan oleh pemerintah. Kritik yang seringkali dialamatkan kepada pemerintah dalam program-program pemberdayaan masyarakat adat adalah model pendekatan program yang digunakan seringkali kental dengan mekanisme proyek dan bantuan sosial yang seringkali menyebabkan masyarakat adat menjadi tergantung kepada bantuan pemerintah. Aspek lain yang juga perlu diperhatikan adalah belum adanya upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan pendataan secara khusus terhadap masyarakat adat di Indonesia, walaupun keberadaan masyarakat adat tersebut telah menjadi sasaran dalam perencanaan program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Data yang dimiliki Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebutkan bahwa populasi masyarakat adat di Indonesia pada tahun 2012 berkisar antara 40-50 juta jiwa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu kendala dalam melakukan pendataan dan klasifikasi kelompok masyarakat yang dimasukkan sebagai masyarakat adat adalah penggunaan istilah atau definisi yang berbeda. Pada paragraf sebelumnya telah dijelaskan mengenai penyebutan masyarakat adat yang umumnya digunakan oleh pemerintah dalam pelaksanaan program pembangunan. Pada kontek regulasi, ditemukan pula penggunaan istilah atau penyebutan yang berbeda tentang masyarakat adat sebagai berikut9 : 9Arizona Yance, op cit.

10


Tabel 4 Istilah, Definisi, & Kriteria Masyarakat Adat dalam Peraturan Perundang-Undangan No

UU / Peraturan

Istilah yang Digunakan

1

Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

Kesatuan masyarakat hukum adat diakui : (1) sepanjang masih hidup; (2) sesuai dengan perkembangan masyarakat; serta (3) sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2

Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945

Masyarakat Tradisional

Identitas budaya & hak tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban

3

UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Masyarakat Hukum Adat

Tidak mengatur definisi & kriteria masyarakat hukum adat, tetapi mengatur hak uluayat masyarakat hukum adat.

4

UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM

Masyarakat Hukum Adat

Tidak menyebut definisi masyarakat adat, namun mengatur perlindungan terhadap identitas budaya masyarakat hukum adat termasuk hak atas tanah uluayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

5

UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat memenuhi kriteria : (1) Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban; (2) Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat adat; (3) Memiliki wilayah hukum adat yang jelas; (4)

Definisi & Kriteria

Pelaksanaan hak uluayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat dengan kriteria : (1) sepanjang menurut kenyataannya masih ada ; (2) Harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara; (3) Berdasarkan atas persatuan bangsa; (4) Tidak boleh bertentangan dengan undangundang dan peraturan peraturan yang lebih tinggi.

11


Memiliki pranata hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; serta (5) Masih mengadakan pemungutan hasil hutan diwilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari hari. 6

UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua

Masyarakat Adat, Masyarakat Hukum Adat, & Orang Asli Papua

Masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya Masyarakat hukum adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya. Orang Asli Papuaadalah orang yang berasal dari rumpunras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli papua oleh Masyarakat Adat Papua.

7

UU No 30 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Masyarakat Adat yang Terpencil

Tidak menyebutkan definisi, namun didalamnya mengatur warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta hak masyarakat adat yang terpencil untuk memperoleh layanan khusus dalam pendidikan.

8

UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air

Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau dasar keturunan

12


9

UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat Hukum Adat adalh yang memenuhi kriteria: (1) Masyarakat yang masih hidup dalam paguyuban; (2) Memiliki kelembagaan dalam bentuk perangkat adat; (3) Memiliki wilayah hukum adat yang jelas; (4) Memiliki pranata hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; (5) Adanya pengukuhan dengan peraturan daerah

10

UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

Kesatuan masyarakat hukum adat memenuh unsur : (1) Sepanjang masih hidup; (2) Sesuai dengan perkembangan masyarakat; (3) Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

11

UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir & Pulau-Pulau Kecil

Masyarakat Adat, M a s y a r a k a t Tr a d i s i o n a l , Masyarakat Lokal

Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat pesisir yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat sumberdaya pesisir & pulau-pulau kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata Masyarakat Lokal adalah kelompok masyarakat yang menjalankan kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada sumberdaya pesisir & pulau-pulau kecil Masyarakat Tradisional adalah masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepualuan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional

13


12

UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup

Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

13

UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa

Masyarakat Hukum Adat, Adat Istiadat Desa, Desa Adat

Masyarakat Hukum Adat memiliki wilayah hukum adat, hak atas harta kekayaan didalam wilayah hukum adat tersebut, berhak & berwenang untuk mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan masyarakat desa yang berkaitan dengan adat istiadat dan hukum adat yang berlaku Adat Istiadat Desa adalah hak yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa berdasarkan hak asal usul.

14

UU No 23 Tahun 2014 t e n t a n g Pemerintahan Daerah

Masyarakat Hukum Adat

UU ini tidak memberikan definisi yang khusus hanya melakukan penegasan peran pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota terkait pengakuan masyarakat hukum adat.

15

Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No 5 Tahun 1999 tentang Pedoman

Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

14


Penyelesaian Masalah Hak Uluayat Masyarakat Hukum Adat 16

Keputusan Presiden No 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil

Komunitas Adat Terpencil

Komunitas adat terpencil atau yang selama ini dikenal dengan sebutan masyarakat terasing adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlihat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik. Ciri-ciri Komunitas Adat Terpencil antara lain : (1) Berbentuk komunitas kecil, tertutup, dan homogen; (2) Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan; (3) Pada umumnya terpencil secara geografi dan relatif sulit untuk dijangkau; (4) Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten; (5) Peralatan dan teknologi yang digunakan masoh sederhana; (6) Ketergantungan pada lingkungan hidup & sumberdaya alam setempat masih relatif tinggi; (7) Terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi, dan politik

Sumber Data : Yance Arizona & diolah dari berbagai sumber Berdasarkan pendefinisian yang digunakan tentang masyarakat hukum adat yang digunakan oleh berbagai regulasi di Indonesia, dapat disimpulkan secara umum bahwa definisi yang digunakan tidak bersifat tunggal, serta cenderung ditafsirkan sesuai dengan kepentingan dari masing-masing sektor. Walaupun demikian, jika ditelaah berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan oleh berbagai regulasi memiliki beberapa kesamaan dalam pengakuan masyarakat adat yaitu, memiliki hukum adat yang ditaati, memiliki perangkat adat, memiliki wilayah adat, serta

15


bergantung pada sumberdaya alam yang dimilikinya. Masyarakat hukum adat di Indonesia sebenarnya memiliki beberapa kesamaan yaitu kesamaan teritorial (wilayah), genealogis (keturunan), serta teritorial-genealogis (wilayah & keturunan). Sedangkan obyek hak masyarakat adat atas wilayahnya (hak uluayat) adalah tanah, air, tumbuhtumbuhan, dan binatang10. Tentu saja dimasa depan, pemerintah perlu menyepakati konsep yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat adat di Indonesia, agar masyarakat adat mendapatkan hak-haknya, dan bukan menjadi korban dari kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh negara Tidak berbeda jauh dengan kondisi masyarakat adat yang hidup diberbagai belahan dunia, masyarakat adat di Indonesia juga menghadapi berbagai persoalan yang mengancam hidup dan kehidupannya. Meskipun, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat telah dicantumkan pada pasal 18 B ayat (2) konstitusi UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-keasatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Jika ditelaah secara mendalam, masyarakat adat tidak mendapatkan pengakuan secara otomatis. Terdapat tiga syarat agar suatu masyarakat adat mendapatkan pengakuan dari pemerintah yaitu, (1) Masyarakat adatnya masih ada; (2) Sesuai dengan perkembangan masyarakat; serta (3) Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan republik Indonesia. Pengakuan bersayarat tersebut seringkali menjadi hambatan bagi penerapan asas self determination yang merupakan salah satu hak yang terus diperjuangkan oleh berbagai kelompok masyarakat adat di dunia. Hal ini 10ICRAF. op cit. Hal

16


juga berarti bahwa keberadaan masyarakat adat tidak ditentukan melalui mekanisme self determination atau self identification, melainkan keberadaannya ditentukan oleh negara11. Pada pasal 33 United Nations Declaration on The Rights of Indigenous People yang ditetapkan pada tahun 1997, menyepakati hak dari masyarakat adat untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai berikut: 1. Indigenous people have right to determine their own identity or membership in accordance with their customs and traditions. This does not impair the right of indigenous individuals to obtain citizenship of the states in which they like. 2. Indigenous people have the right to determine the structures and to select the membership of their institutions in accordance with their own procedures. Jalan panjang yang harus ditempuh oleh masyarakat adat untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari negara untuk mendapatkan hak-haknya memang tidak mudah, dan membutuhkan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan. Dalam kontek perlindungan terhadap wilayah adatnya, konflik antara masyarakat adat, negara, bahkan masyarakat tak terhindarkan. Sebaran dan intensitas konfliknya juga meningkat dari tahun ke tahun, yang berujung pada kekalahan masyarakat adat untuk mempertahankan wilayah adatnya. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh ICRAF terdapat 3 model konflik yang seringkali dijumpai dalam pemanfaatan sumberdaya alam atau hutan oleh masyarakat adat yaitu12 : 11Arizona Yance. 2015. Mendefinisikan Indigenous People Di Indonesia. Diakses melalui situs yancearizona.net pada tanggal 28 Juli 2016. 12ICRAF.2001.

Kajian kebijakan Hak-Hak Masyarakat Adat di Indonesia: Suatu Refleksi Pengaturan Kebijakan dalam Era Otonomi

Daerah. Hal 44.

17


a. Konflik kewenangan atas ruang Konflik kewenangan atas ruang merupakan jenis konflik yang seringkali terjadi

pada masyarakat adat.

Bentuknya berupa perampasan terhadap kawasan yang dimiliki oleh masyarakat adat yang dilakukan atas nama undang-undang, peraturan, ataupun kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perampasan terhadap kawasan seringkali menyebabkan masyarakat adat terusir dari tanahnya. b. Konflik atas keberadaan masyarakat adat, kelembagaan dan kewenangannya Umumnya masyarakat adat memiliki aturan hukum ataupun nilai-nilai yang dijunjungan dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini menyebabkan masyarakat adat seringkali dikatakan memiliki sifat yang otonom dalam menegakkan hukum dan nilai tersebut diwilayah adatnya. Walaupun demikian, masyarakat adat juga dikatakan bersifat otohton, dimana masyarakat adat memiliki sistem pengaturan yang tumbuh dan berkembang dan disepakati oleh masyarakatnya. Model konflik ini dapat terjadi jika pemerintah atau pihak luar memaksakan pengaturan yang dapat merusak tatanan dalam kelembagaan masyarakat tersebut. Misalnya dengan memaksakan model kelembagaan masyarakat adat. c. Konflik atas pola pengelolaan sumberdaya alam Model konflik ini terjadi ketika pihak lain ingin memisahkan pola pengelolaan sumberdaya alam dengan sistem nilai yang dimiliki oleh masyarakat adat. Misalnya ketika keinginan pemerintah untuk melakukan ekploitasi terhadap sumberdaya hutan tanpa memperhatikan pola pemanfaatan hutan yang telah dijalankan oleh masyarakat secara turun temurun.

18


Masyarakat adat memiliki cara dan metode yang berbeda dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pengetahuan mengenai cara pengelolaan sumberdaya alam tersebut diperoleh secara turun temurun dari para leluhurnya. Hampir sebagian besar praktek tersebut telah diakui dan diteliti oleh berbagai pakar yang menyimpulkan bahwa praktek-praktek yang dilakukan oleh masyarakat adat selaras dengan prinsip pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan. Misalnya praktek sasi yang masih dipertahankan oleh sebagian besar masyarakat adat di Maluku. Walaupun demikian, mulai ditemukan juga proses adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat adat dalam memanfaatkan sumberdaya alam berdasarkan interaksinya dengan komunitas lain. Misalnya penggunaan senjata api rakitan oleh Suku Anak Dalam. Aspek lain yang masih cukup banyak dipegang oleh masyarakat adat adalah penegakan aturan dan sanksi adat yang tegas bagi anggota masyarakat adat yang melakukan pelanggaran. Hukum yang ditaati oleh masyarakat adat hampir sebagian besar tidak tertulis, serta kebanyakan disosialisasikan melalui budaya tutur yang diberikan secara langsung pada generasi berikutnya atau termanifestasi dalam ritual adat maupun dalam syair-syair yang dilantunkan dalam kegiatan budaya. Proses pengambilalihan wilayah adat yang berada pada kawasan hutan di Indonesia dapat ditelaah melalui cara-cara yang dilakukan oleh pemerintah melakukan klaim dan kontrol atas wilayah adat yang kemudian disebut sebagai kawasan hutan negara. Tahapan negara dalam melakukan klaim terhadap tanah adat dapat disederhanakan dalam tiga tahap. Pertama, negara mengklaim semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya sebagai tanah yang dikuasai oleh negara. Kedua, penetapan batas-batas tanah yang dinyatakan sebagai tanah/dan atau hutan negara untuk menekankan kontrol wilayah oleh pemerintah terhadap sumberdaya alam tanpa memperhatikan apalagi menyelesaikan klaim pemegang hak atas tanah adat tersebut. Ketiga, setelah batas-batas sebuah wilayah ditetapkan, pemerintah menerbitkan izin pemanfaatan dan melarang siapa pun untuk mengakses

19


wilayah tersebut beserta pemanfaatan sumberdaya alam yang dikandungnya, kecuali jika diberikan izin oleh pemerintah. Periodisasi pengambilalihan atas tanah dan sumberdaya alam yang dimiliki oleh masyarakat adat dapat dibagi dalam 5 periode sebagai berikut13 : Grafik 2. Periodisasi Pengambilalihan Tanah & SDA Masyarakat Adat

1870-1942

1945-1965

Era Kolonial Belanda

1999-2015

Awal Kemerdekaan

Era Jepang

1942-1945

Era Reformasi

Era Orde Baru

1965-1998

Sumber Data : Laporan Inkuiri Nasional Komnas HAM 13Komisi Nasional Hak Asassi Manusia. 2016. Laporan Inkuiri Nasional tentang Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan

Hutan. Komnas HAM. Hal 75.

20


Era Kolonial Belanda Pada masa penjajahan Belanda setidaknya terdapat 3 perubahan penting dalam penguasaan tanah dan sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat adat. Pertama, pemerintah kolonial Belanda memberlakukan Ordonansi Kehutanan pada tahun 1865 yang berlaku di Pulau Jawa dan Madura yang menekankan kontrol terhadap tanah hutan dan sumberdaya alam. Pada tahun 1870, pemerintah kolonial Belanda menerbitkan undang-undang agraria yang memberlakukan prinsip domeinverklaring (menetapkan tanah tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya menjadi tanah negara). Masyarakat adat saat itu tidak memiliki bukti kepemilikan atas tanah, sehingga sebagian besar tanah tersebut dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1930, Agrarische Commissie mengeluarkan rekomendasi untuk mengembalikan tanah kepada masyarakat pribumi termasuk masyarakat adat akibat klaim sepihak yang dilakukan atas wilayah adat oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun rekomendasi tersebut tidak dilaksanakan hingga pendudukan oleh tentara Jepang. Era Kolonial Jepang Pemerintah militer Jepang melakukan pengambilalihan atas tanah-tanah yang dikuasai sebelumnya oleh pemerintah Kolonial Belanda. Bahkan, pemerintahan militer Jepang mendorong masyarakat memanfaatkan tanahtanah negara untuk menanam padi, kapas, dan jarak yang hasilnya diserahkan untuk memenuhi kebutuhan Jepang dalam perang pasifik. Pada era ini, proses reclaiming terhadap anah tanah negara oleh masyarakat pribumi ataupun masyarakat adat.

21


Era Awal Kemerdekaan Terdapat 2 momen penting yang terkait dengan pengelolaan tanah dan sumberdaya pada awal kemerdekaan, yaitu upaya pemerintah untuk menasionalisasi usaha-usaha skala besar dan swata asing yang memiliki hak hak khusus, serta menetapkan UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Penetapan UUPA sekaligus juga mengakhiri dualisme hukum pertanahan yang berdasarkan Agrarische Wet tahun 1870 dan hukum adat. Proses unifikasi hukum pertanahan pasca penetapan UUPA belum sempat dilakukan secara menyeluruh karena terjadi pergantian pemerintahanan dan UUPA dibatasi pemberlakuannya. Era Orde Baru Pada masa pemerintahan Orde Baru, pemerintah banyak mengeluarkan regulasi yang memberikan kemudahan kepada dunia usaha maupun pemerintah untuk menguasai tanah dan sumberdaya alam yang dimiliki oleh masyarakat adat. Misalnya UU No 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, UU Penanaman Modal, serta UU Pertambangan. Pada masa itu, pemerintah menetapkan tanah dan sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat adat menjadi didalam kawasan hutan menjadi hutan milik negara. Pada kontek itu, pemerintah Orde Baru sebenarnya meneruskan kebijakan yang ditetapkan pada era pemerintahan Kolonial Belanda yang melakukan klaim sepihak dalam penguasaan lahan yang dimiliki oleh masyarakat adat. Era Reformasi Era reformasi merupakan sebuah fase penting dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, dimana negara mulai memberikan ruang yang lebih besar dalam aspek kebebasan berekspresi, pengembangan demokrasi, serta

22


penghormatan kepada hak asasi manusia. Tonggak penting terkait dengan penghormatan kepada masyarakat adat adalah dengan ditetapkan sejumlah kebijakan dan regulasi penting yang memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat. Misalnya Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998/ tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 41 Lampiran II Ketetapan MPR tersebut menyebutkan bahwa identitas masyarakat tradisional termasuk hak atas tanah uluayat, dilindungi selaras dengan perkembangan zaman. Regulasi lain yang kemudian dijabarkan dari ketetapan MPR tersebut adalah UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Walaupun demikian, dalam era reformasi juga ditetapkan beberapa regulasi sektoral seperti kehutanan, pertambangan, minyak dan gas, perkebunan, serta penanaman modal yang kurang berpihak pada kepentingan masyarakat adat. Selain terjadi perubahan pada regulasi dan kebijakan, era reformasi juga menciptakan lembaga baru dalam ketatanegaraan di Indonesia. Misalnya Mahkamah Konstitusi yang salah satu fungsinya adalah menyelesaikan sengketa regulasi yang merugikan hak warg yang dijamin oleh konstitusi. Salah satu putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan pengakuan hak masyarakat adat adalah dengan memutuskan untuk mengeluarkan hutan adat dari hutan negara pada UU No 41 tahun 1999. Sehingga bunyi pasal tersebut menjadi Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Walaupun perkembangan kebijakan dan regulasi yang mulai memberikan ruang pada penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia mulai membaik pada era reformasi. Namun hal ini tidak selalu bersifat linear dalam kehidupan masyarakat adat. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendokumentasikan selama tahun 2012-2014, isu konflik agraria merupakan salah satu dari tiga isu terbanyak yang

23


sering dilaporkan oleh masyarakat selain isu tentang kepolisian dan ketenagakerjaan. Berikut ini adalah data jumlah pelaporan mengenai konflik agraria selama kurun waktu 2012-201414. Grafik 3. Jumlah Laporan Konflik Agraria di Indonesia Selama Tahun 2012-2014

1220

1213

1200 1180 1160 1134

1140 1123 1120 1100 1080 1060 2012

2013

2014

Sumber Data : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

14Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 2016. Hak Masyarakat Hukum

24

Adat atas Wilayahnya Di Kawasan Hutan. Jakarta. Hal 77


Walaupun data tersebut cenderung menurun, namun jika dilihat berdasarkan jumlah akumulasi kasus setiap tahunnya cukup tinggi. Kondisi inilah yang mendorong Komnas HAM melakukan inkuiri nasional yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat adat di wilayah Indonesia untuk merumuskan langkah-langkah penyelesaian yang lebih adil bagi masyarakat adat. Meningkatnya konflik agraria dan kehutanan di Indonesia tidak terlepas dari agresivitas dari dunia usaha yang didukung oleh negara untuk mengekploitasi sumberdaya alam dan hutan yang didiami oleh masyarakat adat. Data yang dimiliki oleh Forest Watch Indonesia menunjukkan laju deforestasi di Indonesia sebesar 1.13 juta hektar setiap tahunnya15. Tabel 5. Deforestasi Di Indonesia Periode 2009-2013 DEFORESTASI 2009-2013 (HA)

% DEFORESTASI TERHADAP LUAS TUTUPAN HUTAN ALAM 2013 (HA)

KALIMANTAN

1.541.639,36

5.48

SUMATERA

1.530.156,03

12.12

PAPUA

592.976,57

1.98

JAWA

326.953,09

32.64

MALUKU

242.567,90

5.30

SULAWESI

191.087,23

2.10

BALI & NUSA TENGGARA

161.875,07

11.99

PULAU

Sumber Data : Forest Watch Indonesia 15Forest Watch Indonesia. 2014. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009-2013. Penerbit Forest Watch Indonesia. Bogor. Hal 45

25


Grafik 4. Pelepasan Kawasan Hutan Periode 2010-2013 Pada Setiap Pulau Utama untuk Perkebunan (%)

Sumatra 24%

32%

Kalimantan Sulawesi

2%

Maluku

9%

Papua 33%

Sumber Data : Forest Watch Indonesia

26


Data diatas menunjukkan bahwa meningkatnya intensitas konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat dan negara selaras dengan meningkatnya okupasi terhadap hutan. Okupasi terhadap hutan oleh perusahaan perkebunan dan pertambangan dalam skala besar tidak hanya dilakukan dengan memanfaatkan regulasi yang didukung oleh negara, akan tetapi juga dengan melakukan penyuapan, korupsi. Bahkan tidak jarang, perusahaan juga menempuh cara-cara kekerasan dalam menguasai lahan yang ditempati masyarakat adat. Terkadang pemberian ijin dalam pemanfaatan hutan tidak memperhatikan kondisi masyarakat yang berada di dalam kawasan tersebut. Umumnya kawasan hutan yang ditempati oleh masyarakat adat merupakan kawasan yang ditempati secara turun temurun, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Pendataan yang dilakukan oleh BPS dan Kementerian Kehutanan pada tahun 2008 menyebutkan sekitar 1.500 desa berada di dalam kawasan hutan16. Tabel 6. Jumlah Desa di dalam & Tepi Kawasan Hutan Pada Tahun 2008 Jumlah No

Nama Provinsi Desa Di Dalam Hutan

Desa Di Tepi Kawasan Hutan

1

Aceh

146

1.245

2

Jambi

12

223

3

Bengkulu

4

228

4

Lampung

6

316

5

Kepulauan Riau

3

126

6

Jawa Barat

28

957

16Badan Pusat Statistik. 2009.

Identifikasi Desa di dalam & di Sekitar Kawasan Hutan. Penerbit BPS. Jakarta. Hal 40

27


7

Yogyakarta

0

58

8

Jawa Timur

132

1.508

9

Banten

18

144

10

Sulawesi Utara

19

280

11

Sulawesi Tengah

58

666

12

Sulawesi Selatan

52

485

13

Gorontalo

12

168

14

Sulawesi Barat

12

183

15

Maluku Utara

51

330

16

Papua Barat

226

492

17

Papua

721

1.253

1.500

8.662

JUMLAH TOTAL

Sumber Data : Badan Pusat Statistik Eksploitasi sumberdaya hutan, tentu saja aja memiliki dampak secara langsung ataupun tidak langsung pada masyarakat adat. Masyarakat adat memiliki keterikatan secara langsung dengan tanah dan sumberdaya alam. Keterkaitan ini tidak hanya terkait dengan penghidupannya, akan tetapi juga dengan nilai-nilai budaya dan spiritualitasnya. Saat tanah dan sumberdaya alam tersebut menjadi target dalam pembangunan, apakah untuk perkebunan, pertambangan, pembangunan bendungan, pertanian, pariwisata, ataupun perumahan seringkali menyebabkan mereka terusir dan berada dalam kondisi yang rentan. Hutan selama ini tidak hanya menjadi sumber

28


utama dalam pemenuhan kebutuhan hidup berupa makanan, akan tetapi juga obat-obatan, maupun kegiatan yang terkait dengan budaya yang dipelihara secara turun temurun. Masyarakat adat diseluruh dunia umumnya tidak memiliki kekuatan secara ekonomi dan politik untuk menolak kegiatan pembangunan yang tidak diinginkan ataupun membahayakan kehidupan mereka. Negara atas nama pembangunan dan dalih untuk meningkatkan kesejahteraan seringkali menjustifikasi peminggiran masyarakat adat. Dampaknya, tidak hanya terjadi pada penghidupan masyarakat adat, akan tetapi juga pada budaya, ikatan sosial, maupun keberlangsungan masyarakat adat itu sendiri17. Selain itu, kegiatan eksploitasi sumberdaya alam yang dilakukan oleh dunia usaha juga seringkali memberikan dampak yang berbeda kepada masyarakat adat. Misalnya dengan adanya pemisahan pada generasi muda dan tua dalam masyarakat adat. Generasi masyarakat adat yang berusia lebih muda umumnya diberikan kesempatan untuk terlibat atau bekerja, sedangkan generasi yang lebih tua tidak diberikan peluang untuk terlibat dalam kegiatan proyek. Generasi yang lebih muda biasanya akan mendapatkan uang dalam bentuk gaji yang menyebabkannya lebih independen, sedangkan generasi yang lebih tua akan kehilangan peran dan pengaruh dalam mempertahankan tradisi. Keterlibatan dunia usaha dalam eksplotasi sumberdaya alam

seringkali membawa

pengaruh dan budaya yang baru dalam kehidupan masyarakat adat yang secara langsung atau tidak langsung dapat melunturkan nilai-nilai budaya masyarakat adat. Misalnya kegiatan prostitusi, minuman beralkohol, serta penyalahgunaan obat-obatan terlarang18. 17Vital

Bambanze. 2012. Development With Identity in State of The Worlds Minorities & Indigenous People Report. Minority Right Group

International. Hal 90 18Corrine

Lewis. 2012. Corporate Responsibility to Respect The Rights of Minorities & Indigenous People in State State of The Worlds

Minorities & Indigenous People Report. Minority Right Group. Hal. 12

29


Dampak lain yang terjadi dari eksploitasi hutan dan sumberdaya alam adalah pada kehidupan perempuan. Posisi perempuan dalam masyarakat adat biasanya berada dalam kondisi yang rentan. Terutama akses pada tanah dan sumberdaya alam. Perempuan dan anak biasanya pergi ke hutan untuk mengambil buah-buah yang jatuh dari pohon, ataupun tanaman yang tumbuh di lahan hutan sebagai bahan kebutuhan makanan keluarga. Hal ini dapat dilakukan pada pagi hari, sehingga masih memiliki waktu untuk pulang ke rumah untuk memasak dan menyiapkan makanan. Namun, ketika luasan hutan semakin berkurang, mereka semakin susah untuk mendapatkan bahan pangan. Perempuan terpaksa menempuh waktu yang lebih lama untuk mencari makanan. Perempuan juga mengalami beban ganda ketika terjadi konflik atas sumberdaya alam. Disamping harus berperan ekstra untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan pangan keluarga, terkadang juga mengalami ketiadaan rasa aman akibat ancaman, pelecehan, stigma, pengusiran, serta penganiyayaan dan kriminalisasi19. Komnas HAM menyimpulkan ada 5 akar masalah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat adat. Kelima akar masalah tersebut adalah sebagai berikut20 : 1.

Tidak atau belum adanya pengakuan sebagai masyarakat hukum adat. Kondisi ini berimplikasi pada tidak jelas atau tidak pastinya status mereka menurut hukum. Selain itu juga memiliki dampak pada ketiadaan batas-batas wilayah adat dan kepastian mereka dalam mengelola atau memanfaatkan tanah dan sumberdaya alam lainnya.

19Komisi

Nasional Hak Asasi Manusia. 2016. Laporan Inkuiri Nasional tentang Pelanggaran Hak Perempuan Adat dalam Pengelolaan

Kehutanan. Komnas HAM. Hal. 20Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Op cit. Hal 58

30


2.

Pemerintah cenderung menyederhanakan permsalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat menjadi persoalan administrasi dan legalitas semata.

3.

Kebijakan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi telah mendorong lahirnya kebijakan dan regulasi yang memberikan prioritas kepada usaha ekonomi yang memiliki skala dan modal besar untuk meningkatkan pendapatan negara. Dukungan negara terhadap kelompok pemodal besar diberikan dengan mengeluarkan ijin-ijin eksploitasi diwilayah adat, serta dukungan dari aparat keamanan untuk melindungi kepentingan perusahaan.

4.

Perempuan adat mengalami beban ganda dalam patriarki negara dan adat. Perempuan adat tidak hanya berhadapan dengan belum atau tidak adanya pengakuan sebagai masyarakat hukum adat, akan tetapi juga permasalahan adat yang terkait dengan perannya sebagai perempuan.

5.

Kekosongan lembaga penyelesaian konflik agraria yang memiliki otoritas dalam penyelesaian konflik agraria secara adil.

31



BAB II POTRET MASYARAKAT ADAT : EKSKLUSI SOSIAL & SUMBERDAYA ALAM Program Peduli merupakan salah satu inisiatif pemerintah untuk mendorong integrasi sosial pada kelompok masyarakat yang mengalami eksklusi sosial. Kelompok masyarakat yang mengalami eksklusi sosial tidak hanya disebabkan karena mereka miskin, akan tetapi juga mengalami stigma, diskriminasi, serta terisolasi dari pergaulan sosial yang menyebabkan individu atau kelompok masyarakat tersebut tidak dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosialnya. Masyarakat adat merupakan salah satu kelompok yang mengalami eksklusi sosial di Indonesia. Penyebab eksklusi sosial pada masyarakat adat cukup beragam. Misalnya disebabkan oleh stigma bahwa masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang susah diatur, tidak beragama, bodoh, malas, bahkan juga dianggap tidak berbudaya. Sejak tahun 2013, Kemitraan bersama mitra lokal telah mendampingi beberapa kelompok masyarakat adat di Indonesia. Umumnya masyarakat adat yang didampingi oleh kemitraan memiliki karakteristik yang tergantung pada hutan dan sumberdaya alam, hidup secara berkelompok dalam wilayah adatnya, serta sulit dijangkau secara geografis. Berikut ini adalah sebaran masyarakat adat di Indonesia yang didampingi oleh Kemitraan dalam Program Peduli.

32


Gambar 1. Peta Sebaran Pendampingan Masyarakat Adat dalam Program Peduli

DAYAK KENYAH LEPOQ JALAN

SUKU TALANG MAMAK

DAYAK BENUAQ SUKU ANAK DALAM

SUKU TOPO UMA MASYARAKAT KAHAYYA

SUKU NUAULU

MASYARAKAT BULO BULO SUKU SAWANG

SUKU MENTAWAI SUKU KOKODA SUKU BADUY MASYARAKAT ADAT SUMBA TIMUR

KASEPUHAN KARANG & CIROMPANGI

SUKU BOTI CHINA BENTENG

Sumber : Profil Program Peduli Kemitraan

33

MASYARAKAT DESA MEKARSARI

SUKU BAJO


Jumlah populasi masyarakat adat yang didampingi dalam Program Peduli sebanyak 8.329 jiwa. Beberapa kelompok masyarakat adat memiliki jumlah populasi yang cukup besar, akan tetapi tidak sedikit juga yang jumlah populasinya cenderung berkurang. Misalnya populasi Masyarakat Adat Sawang di Kabupaten Belitung Timur. Berikut ini adalah kondisi demografi masyarakat adat yang didampingi Program peduli : Grafik 5. Demografi Masyarakat Adat dalam Program Peduli

Sumber : Profil Program Peduli Kemitraan

34


Data demografi masyarakat adat diatas menunjukkan bahwa jumlah populasi laki-laki dan perempuan yang menjadi penerima manfaat dalam Program Peduli cukup berimbang, walaupun jumlah populasi laki-laki sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Jika dilihat dari struktur umurnya, usia 1-20 tahun memiliki jumlah populasi yang terbanyak. Sedangkan jumlah populasi pada usia 61-80 tahun cenderung lebih sedikit. Ciri tersebut menunjukkan bahwa pola perkembangan populasi masyarakat adat cenderung mengarah pada model yang ekspansif. Model perkembangan populasi penduduk yang ekspansif biasanya ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut : 1. Jumlah populasi usia muda (0-19) sangat besar, sedangkan populasi usia tua jumlahnya sangat sedikit. 2. Angka kelahiran jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian. 3. Pertumbuhan penduduknya cenderung lebih tinggi. Kondisi ini juga didukung oleh jumlah populasi dalam masyarakat adat yang telah menikah sekitar 42,38 %. Rata-rata usia pernikahan dalam masyarakat adat terjadi pada usia yang sangat muda. Kondisi ini seringkali menyebabkan tingginya angka kelahiran. Walaupun demikian, pernikahan pada usia muda dapat menyebabkan perempuan dan laki-laki tidak memiliki peluang untuk meningkatkan kapasitas dirinya. Misalnya menyelesaikan pendidikan pada tingkat dasar ataupun menengah. Walaupun menikah dalam usia muda, tingkat perceraian yang terjadi pada masyarakat adat terbilang sangat kecil dibandingkan dengan cerai yang disebabkan oleh meninggalnya salah satu pasangan. Kondisi ini menunjukkan bahwa nilai-nilai sosial pada masyarakat adat masih dijunjung tinggi. Perselisihan yang terjadi dalam keluarga seringkali juga diselesaikan oleh perangkat adat ataupun orang yang dituakan dalam kelompok tersebut. Persoalan selingkuh ataupun kegiatan amoral yang seringkali ditemui dalam kehidupan modern, hampir tidak pernah terjadi atau bahkan sama sekali tidak terjadi dalam

35


kehidupan masyarakat adat. Selain disebabkan oleh seluruh anggota masyarakat adat mematuhi hukum hukum yang berlaku, juga adanya sanksi yang cukup berat bagi para pelanggar. Upaya preventif dalam mengatur interaksi antara kehidupan masyarakat dapat dilihat pada Masyarakat Adat Nuaulu yang menerapkan “ipar pemali” ketika seorang laki-laki atau perempuan telah menikah. Proses pernikahan yang terjadi pada masyarakat adat penuh dengan nilai, perlambang, serta untuk mempertahankan keberlangsungan masyarakat adat di masa yang akan datang. Pernikahan dalam masyarakat adat bukan hanya mempersatukan dua individu, akan tetapi juga mempersatukan 2 keluarga. Kondisi ini menyebabkan hampir semua orang dalam populasi masyarakat adat tersebut bersaudara atau berkerabat, karena pernikahan yang dilakukan antar marga atau klan. Pernikahan dengan sesama anggota masyarakat adat tersebut, tidak berarti bahwa masyarakat adat menerapkan eksklusivitas atau tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat luar, akan tetapi lebih didasarkan pada keberterimaan atas kondisi, nilai, maupun budaya yang dimiliki oleh masyarakat adat tersebut. Misalnya Masyarakat Adat Nuaulu yang memiliki kepercayaan atau agama adat yang berbeda. Walaupun mereka diijinkan untuk dapat menikah dengan siapa saja, namun calon pasangan yang berasal dari luar komunitas adat seringkali ditanyai tentang kesiapannya dalam menerima agama adat. Bagi Masyarakat Adat Nuaulu, pernikahan merupakan instrumen untuk mempertahankan juga keberlanjutan tradisi dan adat bagi generasi yang akan datang. Hal yang berbeda, terjadi pada Masyarakat Adat Sawang yang telah berinteraksi cukup lama dengan berbagai komunitas. Cukup banyak anggota Masyarakat Adat Sawang yang menikah dengan penduduk yang berasal dari suku ataupun etnis yang berbeda. Misalnya dari etnis jawa ataupun dengan etnis melayu. Dampak dari pernikahan antara anggota masyarakat adat dengan komunitas lainnya, disatu sisi memberikan gambaran mengenai tingkat penerimaan terhadap masyarakat adat. Walaupun demikian, pada aspek lainnya

36


dikuatirkan juga akan terjadi erosi pada nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat adat. Pada Masyarakat Adat Sawang, kondisi ini termanifestasi dengan mulai lunturnya penguasaan bahasa asli sebagai sarana komunikasi. Generasi Masyarakat Adat Sawang yang dilahirkan di darat sebagian besar tidak dapat lagi berkomunikasi dengan menggunakan bahasa asli. Bahkan penutur asli bahasa Sawang dapat dihitung dengan jari dan umumnya sudah berusia tua. Padahal bahasa Sawang tidak hanya digunakan sebagai sarana berkomunikasi antar sesama, akan tetapi juga digunakan dalam ritual-ritual adat yang hingga saat ini masih dijalankan. Grafik 6. Struktur Usia & Mata Pencaharian Masyarakat Adat (%)

Sumber : Data Profil Program Peduli

37


Jika dilihat dari struktur usia, populasi terbesar masyarakat adat yang didampingi dalam Program Peduli berada pada kelompok usia produktif. Menggunakan definisi yang dikeluarkan oleh BPS, penduduk usia produktif adalah penduduk yang memiliki usia 15-65 tahun. Sedangkan apabila usia penduduk berada dibawah 15 tahun, maka digolongkan sebagai penduduk yang belum produktif. Penduduk yang dikategorikan sebagai penduduk yang tidak produktif bersuai diatas 65 tahun. Mata pencaharian yang kebanyakan dimiliki oleh populasi masyarakat adat usia produktif umumnya sebagai petani, pekebun, ataupun peternak. Lahan yang digunakan untuk berkebun sebagian besar masih berada pada kawasan hutan. Walaupun sebagian besar masyarakat adat waktunya dihabiskan untuk berkebun, namun mereka juga tetap melakukan berbagai pekerjaan yang lain untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Misalnya dengan mengumpulkan hasil hutan yang bernilai ekonomi pada musim-musim terentu. Hutan menyediakan berbagai hasil hutan non kayu yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat adat. Misalnya rotan, damar, maupun hewan buruan. Hampir sebagian besar mata pencaharian masyarakat adat yang bergantung pada mengumpulkan hasil hutan ataupun berburu mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan hewan buruan ataupun luasan hutan yang menjadi wilayah jelajahnya semakin berkurang. Kondisi ini menyebabkan, beberapa kelompok masyarakat adat mulai terdesak kehidupannya. Suku Anak Dalam di yang hidup disekitar Provinsi Jambi merupakan salah satu korban dari kebijakan perluasan perkebunan kelapa sawit dan karet yang banyak menghabiskan lahan hutan. Perusakan hutan yang terjadi atas nama pembangunan dan percepatan pertumbuhan ekonomi, menyebabkan masyarakat adat yang memiliki mata pencaharian utama yang bergantung pada hasil hutan ataupun sumberdaya alam lainnya terancam kehilangan mata pencahariannya. Misalnya masyarakat adat yang memiliki profesi sebagai

38


pengumpul hasil hutan dan berburu, pengrajin kerajinan tangan, serta pekebun. Jika dibiarkan, maka masyarakat adat yang terbiasa mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya akan berada pada kondisi yang termiskin diantara penduduk miskin. Grafik 7. Status Kepemilikan & Penguasaan Lahan Pertanian / Kebun Pada Masyarakat Adat (%)

Sumber : Data Profil Program Peduli

39


Penguasaan lahan atau tanah merupakan salah satu aspek penting untuk memastikan keberlanjutan kehidupan dan eksistensi masyarakat adat. Permasalahan utamanya adalah ketika lahan yang dimiliki oleh masyarakat adat sebagian besar berada dalam kawasan hutan. Melalui UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sekitar 70 % wilayah Indonesia dikategorikan sebagai kawasan hutan yang merupakan hutan negara. Kondisi ini tentu saja menjadi bumerang bagi masyarakat adat yang bermukim didalam kawasan hutan, karena setiap saat mereka dapat saja terusir dari hutan tersebut. Selain itu, masyarakat adat juga seringkali berhadapan dengan tuntutan hukum ketika memanfaatkan sumberdaya hutan ataupun melakukan perlawanan terhadap upaya eksplorasi hutan yang dilakukan oleh dunia usaha. Putusan Mahkamah Konsitusi (MK) merupakan salah satu oase ditengah regulasi dan kebijakan pengelolaan hutan yang tidak berpihak pada masyarakat adat. Setidaknya ada 2 putusan MK yang sangat strategis, yaitu putusan No 35/PUU-X/2012 yang mengeluarkan status hutan adat sebagai hutan negara, serta putusan No 95/PUUXII/2014 yang memastikan bahwa masyarakat adat tidak dikriminalkan ketika memanfaatkan hasil hutan. Implikasi dari putusan MK tentang status hutan adat adalah pemerintah harus mengembalikan dan mengakui keberadaan hutan adat yang selama ini telah dikuasai dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan. Sedangkan putusan untuk tidak mengkriminalkan masyarakat adat untuk memanfaatkan hasil hutan untuk kepentingan sendiri dan bukan untuk kepentingan komersial sebenarnya merupakan salah satu terobosan, akan tetapi dalam implementasinya masyarakat adat harus mengajukan izin pemanfaatan kepada pihak terkait. Hal ini tentu saja tidak konsisten dengan pengakuan akan keberadaan masyarakat adat yang tinggal selama turun temurun didalam hutan

40


tetapi masih memerlukan izin dari pemerintah. Kondisi ini menyebabkan masyarakat adat rentan untuk dikriminalisasi1. Berdasarkan pendataan yang dilakukan pada masyarakat adat yang didampingi oleh Program Peduli, status kepemilikan lahan yang dimiliki oleh masyarakat adat cukup bervariasi. Sekitar 48 % lahan pertanian/kebun merupakan milik milik masyarakat adat, sedangkan 28 % milik negara, 6 % milik desa, 2 % milik perusahaan, 5 % status tanahnya adalah status quo, serta 9 % tidak memiliki tanah. Walaupun 48 % masyarakat adat menyatakan bahwa tanah yang dikuasainya merupakan milik sendiri, namun mereka tidka memiliki bukti-bukti hukum yang dapat dijadikan sebagai pijakan dalam mempertahankan tanahnya. Jika dilihat dari luas penguasaan lahan pertanian/ kebun juga cukup bervariasi. Sebanyak 23,75 % memiliki luas lahan sebesar 1-1,5 hektar. Sedangkan sebanyak 21,8 % memiliki luas lahan kebun sebesar 2-3 Ha. Jika melihat penguasaan lahan yang cukup besar, seharusnya hal ini dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat adat. Namun dalam realitasnya penguasaan lahan yang besar belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat. Salah satu persoalan yang dihadapi oleh masyaralat adat adalah akses jalan untuk membawa hasil kebun atau hasil hutannya ke pasar. Tidak adanya infrastruktur jalan membuat hasil kebun yang melimpah dibeli dengan harga murah oleh tengkulak atau pengumpul. Bahkan seringkali masyarakat adat tidak dapat menjualnya atau hanya dibuang jika tidak ada pengumpul yang datang untuk membeli. Misalnya masyarakat adat yang hidup dikawasan hutan Desa Meorumba, Kabupaten Sumba Timur yang harus berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer untuk menjual hasil kebunnya ke pasar terdekat. 1

Yance Arizona., Erasmus Cahyadi., Malik. 2015. Mengakhiri Rezim Kriminalisasi Kehutanan : Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi No 95/PUU-XII/2014 Mengenai Pengujian UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan & Pemberantasan Perusakan Hutan dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Epistema Institue. Jakarta. Hal 5

41


Masyarakat adat yang berprofesi sebagai nelayan juga dihadapkan pada persoalan yang sama dengan masyarakat adat yang bergantung pada sumberdaya hutan. Masyarakat Adat Bajo dikenal sebagai suku penakluk lautan. Walaupun mereka tidak memiliki pendidikan yang tinggi, namun mereka sangat paham dan mengetahui seluk beluk lautan. Saat ini, kebanyakan populasi Masyarakat Adat Bajo tidak lagi tinggal di perahu sebagaimana terjadi di masa lampau. Kebanyakan dari populasinya sudah mulai tinggal di sepanjang pesisir pantai ataupun pulau-pulau kecil yang berdekatan dengan laut. Walaupun demikian, hanya sedikit sekali populasi Masyarakat Adat Bajo yang memiliki perahu. Sebagian besar dari masyarakat Masyarakat Adat Bajo saat ini bekerja sebagai buruh yang mengoperasikan kapal yang dimiliki oleh orang lain. Salah satu sebab mereka tidak memiliki perahu juga disebabkan oleh sulitnya mengakses kayu yang biasanya didapatkan dari hutan untuk membuat perahu. Kesulitan mendapatkan kayu tidak hanya disebabkan oleh rusaknya hutan, akan tetapi juga pembatasan dan pelarangan oleh pemerintah dalam memanfaatkan kayu pada hutan-hutan tertentu. Akibatnya untuk mendapatkan perahu, mereka harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit kepada pihak lain untuk pembuatan perahu. Selain itu, proses perusakan ini akan mendorong masyarakat adat untuk bekerja sebagai buruh dilahannya sendiri. Saat ini populasi masyarakat adat yang berprofesi sebagai buruh atau pekerja serabutan cukup banyak, sekitar 6.27 %. Aspek lain yang perlu juga diperhatikan dalam melihat kondisi penghidupan masyarakat adat saat ini adalah tingginya persentase penduduk yang tidak bekerja yaitu sebesar 12.94 %. Makin tingginya populasi masyarakat adat yang tidak bekerja selain disebabkan oleh perusakan hutan, juga disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki. Umumnya masyarakat adat hanya bersekolah pada tingkat SD, bahkan banyak juga yang putus sekolah atau tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena kendala biaya maupun secara geografis sulit dijangkau.

42


Grafik 8. Status Partisipasi Sekolah & Ijazah Terakhir Pada Masyarakat Adat (%)

Sumber : Data Profil Program Peduli Walaupun populasi masyarakat adat umumnya tidak memiliki pendidikan yang tinggi, namun mereka memiliki keinginan untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Jika melihat pada status partisipasi sekolah, sebanyak 39,36 % dari populasi masyarakat adat pernah bersekolah. Sedangkan 22,88 % populasi masyarakat adat masih bersekolah atau sedang menempuh pendidikan. Hal ini menunjukkan kesadaran masyarakat adat untuk menyekolahkan anaknya

43


terbilang sudah mulai membaik. Kondisi ini juga sejalan dengan proses adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat adat agar generasi berikutnya mampu memiliki pendidikan yang tinggi sehingga dapat memiliki daya tawar dalam meneruskan tradisi leluhurnya. Misalnya anak-anak Suku Nuaulu saat ini banyak yang mulai menempuh pendidikan menengah bahkan ada juga yang sudah melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Walaupun demikian, mereka tetap mempertahankan tradisi dan identitasnya sebagai Masyarakat Adat Nuaulu, yaitu memakai ikat kepala merah. Kondisi yang sama juga mulai terjadi pada anak-anak di Suku Anak Dalam. Beberapa anak yang berusia sekolah telah menempuh pendidikan pada sekolah-sekolah umum yang dibangun oleh pemerintah. Meskipun demikian, beberapa masyarakat adat masih juga mempertahankan tradisi untuk tidak menyekolahkan anaknya. Masyarakat Adat Baduy merupakan salah satu contoh yang hingga hari ini belum memperbolehkan anak-anak mereka untuk bersekolah. Salah satu alasannya adalah untuk melindungi tradisi dan budaya mereka. Sekolah masih dipandang sebagai institusi yang dapat mempengaruhi atau menimbulkan erosi pada nilai dan budaya yang dimiliki. Selain pada Masyarakat Adat Baduy, Masyarakat Adat Boti juga masih enggan untuk menyekolahkan anaknya pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Kebanyakan anak-anak Masyarakat Adat Boti hanya bersekolah sampai pada tingkat SD. Penyebabnya adalah mereka takut anak-anak mereka akan memeluk agama yang berbeda dengan agama adat. Angka putus sekolah dan tidak sekolah juga cukup tinggi pada populasi masyarakat adat yaitu sekitar 25 %. Kondisi ini dapat disbebakan oleh berbagai faktor, baik persoalan keterjangkauan pada sarana pendidikan, maupun disebabkan oleh faktor budaya. Lokasi pemukiman masyarakat adat yang cukup sulit biasanya menjadi faktor utama yang menyebabkan anak-anak tidak dapat bersekolah ataupun putus sekolah karena lokasi sekolahnya sulit dijangkau. Selain itu, ada juga faktor budaya dalam masyarakat yang masih belum dapat menerima sekolah sebagai

44


institusi yang dapat bersinergi dengan adat. Pada beberapa masyarakat adat, pola pengasuhan dan pekerjaan yang dimiliki oleh orang tuanya dapat juga berpengaruh terhadap status partisipasi sekolahnya. Misalnya Masyarakat Adat Kokoda ataupun Dayak Kenyah Lepoq Jalan yang terbiasa membawa anaknya ketika berkebun ataupun memungut hasil hutan. Terkadang masyarakat adat tersebut lebih lama berada di wilayah kebunnya dibandingkan dengan pemukimannya. Kondisi ini menyebabkan anak-anaknya akhirnya tidak bersekolah, bahkan ada yang tidak dapat membaca dan menulis hingga dewasa. Kondisi ini terjadi pada kebanyakan Masyarakat Adat Topo Uma yang hidup di dataran tinggi Pipikoro, Kabupaten Sigi. Rendahnya kualitas pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat adat, dapat dilihat dari status ijazah terakahir yang dimiliki. Berdasarkan data diatas, umumnya pendidikan terakhir yang ditamatkan oleh kebanyakan populasi masyarakat adat adalah SD. Hal ini juga dapat ditafsirkan bahwa akses pendidikan terdekat yang dapat dijangkau adalah SD. Alasan lainnya adalah pada saat itu pendidikan belum menjadi suatu kebutuhan masyarakat adat, sehingga masih banyak yang berfikiran pendidikan SD saja sudah cukup untuk dapat membaca dan menulis. Namun ketika sumberdaya hutannya mulai terkena imbas dari program pembangunan pemerintah, banyak masyarakat adat yang mendorong agar anaknya dapat menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu, masyarakat adat yang tidak memiliki ijazah pendidikan masih cukup besar yaitu 26,32 %. Kondisi ini menyebabkan mereka tidak mudah untuk mengakses pekerjaan lain yang biasanya membutuhkan keterampilan tertentu serta persyaratan pendidikan yang ditamatkan. Hal ini menyebabkan masyarakat adat hanya dapat mengisi posisi terbawah dalam piramida pekerjaan yaitu sebagai tenaga kerja ataupun buruh kasar.

45


Grafik 9. Tingkat Kemudahan Akses Masyarakat Adat Pada Sarana Pendidikan (%)

Sumber : Data Profil Program Peduli Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa Setiap Warga Negara Berhak Mendapatkan Pendidikan. Sedangkan pada ayat 2 menyatakan bahwa Setiap warga Negara Wajib Mengikuti Pendidikan Dasar dan Pemerintah Wajib Membiayainya. Kebijakan pendidikan dasar yang ditetapkan oleh pemerintah saat ini adalah 12 tahun. Hal ini berarti pemerintah wakib menjamin kepastian anak-ana di Indonesia untuk dapat menempuh pendidikan sampai pada tingkat SMA, termasuk anak-anak yang berasal dari masyarakat adat. Data tingkat kemudahan akses masyarakat adat pada sarana pendidikan semakin menguatkan argumentasi tentang rendahnya kualitas

46


sumberdaya manusia pada masyarakat adat. Masyarakat adat lebih mudah menjangkau sekolah dasar, disebabkan pembangunan sekolah dasar relatif lebih merata, dibandingkan dengan sarana pendidikan menengah ataupun tinggi. Semakin tinggi jenjang pendidikan yang akan ditempuh, maka semakin besar pula tingkat kesulitan untuk mengakses sarana pendidikan tersebut Grafik 10. Akses & Kesempatan Pendidikan oleh Laki-Laki & Perempuan dalam Masyarakat Adat (%)

Sumber : Data Profil Program Peduli

47


Perempuan seringkali dipersepsikan sebagai kelompok yang kurang beruntung dalam struktur sosial masyarakat adat yang mengutamakan laki-laki dalam berbagai hal. Kondisi ini mungkin ada benarnya, mengingat posisi laki-laki dalam kebanyakan masyarakat adat memangku berbagai posisi yang strategis. Walaupun demikian, dalam perjalanan masyarakat adat di era modern ini, berbagai hal telah mempengaruhi persepsi dan posisi perempuan pada masyarakat adat. Salah satunya adalah meningkatnya kesempatan yang diberikan kepada perempuan untuk bersekolah, tidak hanya hanya pada tingkat dasar saja, akan tetapi juga pada pendidikan menengah dan tinggi.

Data diatas menunjukkan bahwa hampir pada setiap jenjang pendidikan, tingkat

kesenjangan akses pendidikan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat adat mulai mengecil. Menipisnya tingkat kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam aspek pendidikan, tidak terlepas dari mulai membaiknya pemahaman pada para pemangku adat yang mendorong warganya memberikan kesempatan yang sama bagi setiap perempuan.

48


Grafik 11. Kepemilikan Dokumen Kependudukan Pada Laki-Laki & Perempuan Masyarakat Adat (%)

Sumber : Data Profil Program Peduli Aspek lain yang juga penting dilihat dalam kehidupan masyarakat adat adalah kepemilikan terhadap dokumen kependudukan, yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akta Kelahiran, serta Akta Nikah/Cerai. Pasal 2 UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menyebutkan bahwa setiap penduduk mempunyai hak untuk mendapatkan dokumen kependudukan. Walaupun demikian, masih banyak ditemukan masyarakat adat tidak

49


memiliki dokumen-dokumen kependudukan tersebut. Dokumen kependudukan bukan hanya berfungsi sebagai alat bukti otentik sebagai warga negara, akan tetapi juga digunakan untuk mengakses berbagai layanan pembangunan maupun program perlindungan sosial yang diberikan oleh pemerintah. Tidak dimilikinya KTP menyebabkan masyarakat adat seringkali dituding sebagai kelompok liar atau pendatang, sehingga sewaktu-waktu dapat disingkirkan. Hal ini terjadi pada Masyarakat Adat Bajo yang telah hidup selama berpuluh–puluh tahun di sepanjang perairan Kabupaten Kupang dan sekitarnya namun tidak memiliki KTP. Mereka pernah mencoba untuk mengurus KTP, namun seringkali ditolak oleh pemerintah karena dianggap bukan warga Kabupaten Kupang. Kondisi ini menyebabkan Masyarakat Adat Bajo dianggap sebagai pendatang liar atau ilegal. Ketidakmauan pemerintah daerah untuk memberikan identitas hukum kepada masyarakat adat ditengarai juga sebagai strategi untuk memperlemah masyarakat adat dalam mempertahankan wilayahnya. Berdasarkan data diatas, urutan persentase terkecil sampai terbesar dalam kepemilikan dokumen kependudukan adalah sebagai berikut, akta kelahiran sebesar 15,38 %, akta nikah/cerai sebesar 25,66 %, serta KTP sebesar 45,27%. Penyebab lain dari minimnya kepemilikan dokumen kependudukan oleh masyarakat adat adalah keterbatasan akses mereka pada desa untuk atau institusi yang ditunjuk dalam penyediaan dokumen kependudukan. Selain itu, kendala lainnya adalah penyediaan dokumen kependudukan memerlukan persayaratan administrasi seperti alamat, agama, dan lain-lain. Beberapa persoalan tersebut diakui seringkali menjadi hambatan dalam pengurusan dokumen kependudukan. Misalnya bagi Suku Anak Dalam yang memiliki kebiasaan hidup berpindah-pindah atau bagi Masyarakat Adat Boti yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan yang diakui oleh negara. Pemerintah telah melakukan sejumlah revisi regulasi untuk mengakomodasi hal tersebut, misalnya dengan adanya kebijakan untuk meberikan tanda strip (-)atau dikosongkan pada kolom agama bagi penduduk yang memiliki keyakinan yang berbeda dari yang ditetapkan oleh negara.

50


Grafik 12. Tingkat Kemudahan Akses Masyarakat Adat dalam Pengurusan Dokumen Kependudukan (%)

Sumber : Data Profil Program Peduli Tingkat kemudahan akses masyarakat adat dalam pengurusan dokumen kependudukan, merupakan salah satu aspek penting yang perlu dilihat dalam pengambilan kebijakan. Dari 3 dokumen kependudukan yang ditampilkan pada data diatas, pengurusan dokumen akta kelahiran dianggap cukup sulit. Kesulitan dalam pengurusan dokumena kata kelahiran tidak hanya disebabkan oleh kesulitan akses untuk mencapai kantor desa ataupun catatan sipil, namun juga terkait dengan persyaratan yang diperlukan. Misalnya surat keterangan lahir dari bidan ataupun tempat layanan kesehatan (puskesmas dan lain-lain). Hampir sebagian besar anak-anak yang

51


dilahirkan pada masyarakat adat dibantu oleh dukun beranak. Pengurusan akta kelahiran juga wajib melampirkan KTP dan akta kelahiran dari kedua orang tuanya. Kondisi ini tentu saja menjadi hambatan bagi masyarakat adat dalam pengurusan dokumen. Berbeda dengan masyarakat adat, komunitas China Benteng (Chiben) yang tinggal di Kota Tangerang juga kesulitan dalam pengurusan KTP dan dokumen kependudukan lainnya karena mengalami perlakuan yang diskriminatif. Komunitas Chiben seringkali dipersulit dalam pengurusan dokumen, bahkan juga menjadi korban pemerasan dari aparatur negara. Sulitnya mendapatkan dokumen kependudukan dari negara menyebabkan masyarakat adat tidak memiliki akses terhadap program-program perlindungan sosial yang dimiliki oleh pemerintah.

52


Grafik 13. Akses Masyarakat Adat Terhadap Program Perlindungan Sosial & Program Pemerintah Daerah

Sumber : Data Profil Program Peduli

53 01


Kondisi kehidupan masyarakat adat yang pada umumnya berada pada daerah yang terisolir, menyebabkan mereka seringkali membayar lebih mahal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika dimasa lampau, masyarakat adat tidak memiliki beragam kebutuhan hidup karena semuanya telah disediakan oleh hutan atau alam, maka saat ini masyarakat dihadapkan dengan upaya untuk memenuhi beragam kebutuhan hidup. Misalnya jika dimasa lampau mereka dapat berladang untuk menanam padi untuk kebutuhan selama 1 tahun, namun saat ini mereka tidak dapat lagi menanam padi karena berbagai faktor. Misalnya karena tidak lagi memiliki lahan akibat diambil oleh perusahaan, gagal panen karena serangan hama, hingga biaya dan produksi yang dihasilkan dalam penanaman tidak dapat mencukupi untuk anggota keluarga. Pada aspek kesehatan, jika sebelumnya masyarakat sangat bergantung pada obat-obatan yang disediakan oleh alam, namun ketika hutannya telah rusak, tanaman-tanaman obat tersebut mulai sulit ditemukan. Kondisi ini memaksa masyarakat adat untuk membayar pada pihak lain untuk mendapatkan kebutuhan yang diperlukannya. Terkadang hasil hutan yang digunakan sebagai alat pembayaran tidak mencukupi untuk membayar barang/jasa layanan yang dibutuhkan. Hal ini menyebabkan kehidupan masyarakat adat berada pada kondisi yang rentan dan mudah jatuh pada perangkap kemiskinan. Selama hampir satu dekade, pemerintah secara konsisten mengembangkan program perlindungan sosial bagi masyarakat yang diidentifikasi sebagai kelompok miskin. Persyaratan yang digunakan untuk menentukan individu atau kelompok yang mendapatkan bantuan program perlindungan sosial umumnya menggunakan persyaratan yang terkait dengan kebutuhan minimum yang harus dipenuhi oleh seorang manusia. Misalnya ketersediaan tempat tinggal, kemampuan untuk membeli sandang dan pangan, atau memiliki tabungan. Berdasarkan pada persyaratan tersebut, maka sebenarnya masyarakat adat layak untuk dimasukkan seabagai penerima bantuan program perlindungan sosial tanpa kecuali. Namun data menunjukkan bahwa tidak semua masyarakat adat

54


memiliki akses terhadap program-program perlindungan sosial yang dimiliki oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Data diatas juga menunjukkan bahwa akses masyarakat adat untuk setiap program perlindungan sosial juga berbeda-beda. Misalnya Program Beras Miskin (Raskin) yang cukup banyak diakses oleh masyarakat adat sebesar 56,06 % dibandingkan dengan Program BSM/KIP yang hanya sebesar 6,99 %. Disisi lain, walaupun mendapatkan kartu yang dapat digunakan untuk mengakses layanan dasar yang disediakan, namun tidak semua masyarakat adat harus mengeluarkan biaya untuk mengakses layanan tersebut. Misalnya layanan kesehatan gratis melalui Program Indonesia Sehat. Layanan untuk pemegang Kartu Indonesia Sehat (KIS), hanya dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama yaitu puskesmas pembantu (pustu) ataupun puskesmas. Pustu ataupun puskesmas seringkali berada di ibu kota kecamatan atau berada pada desa yang memiliki akses transportasi yang baik. Kondisi ini menyebabkan masyarakat adat tidak dapat menggunakan layanan ataupun jika ingin mengakses layanan tersebut membutuhkan biaya yang juga cukup besar. Kondisi ini terjadi pada Masyarakat Adat Bajo yang hidup di pulau kecil tanpa sarana pendidikan dan kesehatan ataupun pada Masyarakat Adat Topo Uma di dataran tinggi Pipikoro. Tidak meratanya distribusi penyaluran kartu perlindungan sosial juga disebabkan oleh tidak terdatanya masyarakat adat oleh petugas pendata. Kondisi ini menyebabkan ada individu masyarakat adat yang memperoleh kartu layanan, sedangkan yang lainnya tidak memperoleh kartu layanan. Kondisi geografis dan pola kehidupan beberapa kelompok masyarakat adat yang kerap berpindah dituding sebagai penyebab data yang dihasilkan belum akurat. Oleh sebab itu, metode pendataan yang dilakukan dimasa yang akan datang perlu juga melibatkan para pemangku adat dalam mengidentifikasi populasi yang berada dalam suatu masyarakat adat. Perbaikan metode pendataan pada masyarakat adat perlu dilakukan, karena selama ini pemerintah belum secara serisu melakukan

55


pendataan seacara khusus pada masyarakat adat yang meliputi karakteristik, budaya, jumlah populasi, serta wilayah dimana mereka hidup. Jika tidak dilakukan, maka tanpa disadari pemerintah telah melakukan eksklusi pada masyarakat adat untuk mendapatkan hak-haknya sebagi warga negara. Grafik 14. Eksklusi Sosial Pada Masyarakat Adat

Sumber : Data Profil Program Peduli

56


Eksklusi sosial memiliki banyak wajah dalam kehidupan sehari-hari. Selama berabad-abad para filosof dan para ahli berdebat tentang apa yang paling esensial dalam kehidupan sosial seorang manusia. Perdebatan ini akhirnya mengerucut pada apa yang pernah disampaikan oleh Filsuf Aristoteles dalam Politika sekitar 325 BC. Aristoteles berpendapat bahwa hal yang terpenting dalam kehidupan seorang manusia adalah dorongan intrinsik dalam dirinya untuk membentuk dan memelihara hubungan sosial. Tidak mengejutkan jika dalam beberapa ciri yang terkait dengan eksklusi sosial terkait dengan penolakan untuk berhubungan dengan seseorang atau kelompok tertentu2. Walaupun eksklusi sosial dapat didefinisikan secara luas seperti penolakan, ostrakisme , diskriminasi, dehumanisasi, dan isolasi sosial, namun secara umum dapat dibagi kedalam dua bagian besar yaitu penolakan dan ostracism. Penolakan secara umum diartikan bahwa seorang individu atau kelompok tidak diinginkan, sedangkan ostracism lebih didefinisikan bahwa seorang individu atau kelompok diabaikan dalam relasi sosial. Berdasarkan kedua aspek tersebut, tipe dari eksklusi sosial yang dapt muncul pada seorang individu atau kelompok dapat berupa diskriminasi, isolasi sosial, serta proses dehumanisasi3. Eksklusi sosial dapat terjadi pada siapa saja, muda ataupun dewasa, orang tua ataupun anak-anak, serta berbagai kelompok sosial lainnya. Masyarakat adat merupakan salah satu kelompok yang mengalami eksklusi sosial. Bahkan boleh dikatakan masyarakat adat mengalami eksklusi ganda baik secara individu ataupun kelompok, serta peminggirannya dari tanah dan sumberdaya hutan yang selama ini terikat dalam sistem kehidupannya. Jika 2

Paolo Riva & Jeniffer Eck. 2016. Social Exclusion : Psychological Approaches to Understanding & Reducing Its Impacts. Springer International Publishing. Switzerland. Hal 4-5

3 Paolo Riva & Jeniffer Eck. Ibid. Hal 6-7

57


menggunakan pembagian diatas tentang eksklusi sosial, maka masyarakat adat tidak hanya mengalami penolakan ketika berinteraksi dengan kelompok masyarakat lainnya akan tetapi juga diabaikan hak-haknya sebagai warga negara oleh pemerintah. Berdasarkan pendataan program peduli diatas, walaupun selama proses pendampingan telah dihasilkan berbagai perubahan untuk mendorong inklusi sosial antara masyarakat adat dan masyarakat disekitarnya maupun dengan pemerintah, namun 25,13 % masih merasa mengalami penolakan jika melakukan interaksi sosial. Penolakan yang seringkali dialami oleh masyarakat adat seringkali terkait dengan apa yang menjadi kebiasaan hidup yang dianggap berbeda dan tidak sesuai menurut nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat diluarnya. Akar dari proses penolakan tersebut dapat berasal dari stigma yang diberikan oleh masyarakat kepada individu ataupun kelompok masyarakat adat. Misalnya stigma pada Masyarakat Adat Kokoda sebagai suku yang suka mencuri, berbuat onar, atau malas. Stigma kepada Masyarakat Adat Sawang sebagai suku yang malas, boros, jorok, dan bodoh. Data diatas juga menunjukkan bahwa masyarakat adat masih mendapatkan stigma dari komunitas diluar masyarakat adat sebesar 22,81 %. Buah dari proses penolakan dan pengabaian terhadap masyarakat adat melahirkan diskriminasi terhadap masyarakat adat. Sekalipun persentasenya hanya sebesar 29,35 %, akan tetapi kerap dijumpai pada seluruh masyarakat adat. Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan diskriminasi sebagai setiap pembatasan, pelecehan, pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun

58


kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Waluapun upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menyediakan layanan dasar dan bantuan sosial telah banyak dilakukan, namun hal itu dirasakan belum cukup dalam menyelesaikan persoalan dasar yang dihadapi oleh masyarakat adat yaitu pengakuan akan hak-haknya. Hingga hari ini, masih dijumpai masyarakat adat yang tidak memiliki akses terhadap layanan dasar, bahkan terancam tergusur dari tanah yang didiaminya selama turun temurun. Beberapa tokoh masyarakat adat bahkan mengeluhkan sejak Indonesia merdeka hingga saat ini mereka belum merasakan layanan dasar yang memadai bagi kehidupannya. Disamping itu, mereka seringkali merasa belum dianggap sebagai warga negara Indonesia yang berhak juga menikmati hidup dan dilindungi oleh negara diatas tanah leluhur mereka. Kondisi ini menyebabkan masyarakat adat menjadi warga kelas dua di negerinya sendiri.

59


BAB III BELAJAR MENGHARGAI PERBEDAAN DARI KAMPUNG WARMON KOKODA Provinsi Papua & Papua Barat dikenal sebagai salah satu daerah di Indonesia yang memiliki beragam suku. Keragaman tersebut terlihat dari perbedaan bahasa, budaya, dan tradisi yang dimiliki oleh masing-masing suku. Khusus di Provinsi Papua Barat terdapat sekitar 67 suku, diantaranya adalah Suku Maybrat, Biga, Seget, Duriankere, Ma'ya, Maden, Biak, Kawe, Wauyai, Legenyem, Waigeo, Moi, As, Moraid, Abun, Karon Dori, Mpur, Meyah, Hatam, Manikion, Wandamen, Arandai, Moskona, Kaburi, Kais, Mai Brat, Tehit, Kalabra, Konda, Yahadian, Suabo, Puragi, Kemberano, Tanahmerah, Erokwanas, Bedoanas, Arguni, Sekar, Onin, Iha, Baham, Karas, Uruangnirin, Mor, Irarutu, Kuru, Mairasi, Buruai, Kamberau, Kowiai, Semimi, Mer, Kamoro, Ekari, Tunggare, Iresim, Yaur, Yeretuar, Tandia, Roon, Dusner, Meoswar, Ansus, Woi, Pom, Mapia, serta Kokoda.

Sedangkan suku yang dominan di wilayah Kota &

Kabupaten Sorong adalah Suku Moi, Maybrat, Tehit dan IMEKO (Inanwatan, Metemani, Kais, dan Kokoda). Masyarakat Adat Kokoda (MAK) merupakan salah satu masyarakat adat yang didampingi oleh Program Peduli di Kabupaten Sorong. Sebenarnya suku ini banyak berdiam di wilayah Kabupaten Sorong Selatan, yang telah dimekarkan dari Kabupaten Sorong. Keberadaan komunitas

MAK di Kota & Kabupaten Sorong tidak dapat

dilepaskan dari upaya untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Upaya migrasi ini didorong oleh dua hal yaitu meningkatkan kualitas pendidikan, mencari pekerjaan, serta sumber-sumber makanan baru. Sebagaimana diketahui kampung asal MAK berada di Kabupaten Sorong Selatan yaitu Distrik Kokoda umumnya dikelilingi oleh air dan rawa. Tidak heran jika sebagian besar mata pencaharian utama MAK di kampung induknya adalah menjadi nelayan. Diperkirakan populasi MAK di Kota & Kabupaten Sorong mencapai 10.000 jiwa.

60


Migrasi awal MAK ke wilayah Kota Sorong dan sekitarnya telah dilakukan pada masa penjajahan Belanda. Menurut beberapa pemuka adat MAK, migrasi ke Kota Sorong pada saat itu lebih didorong untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dengan bekerja pada perusahaan yang didirikan oleh Belanda. Perusahaan yang didirikan oleh Bangsa Belanda di Kota Sorong bernama Nederlands Niew Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) untuk melakukan pengeboran minyak bumi pada tahun 19351. Karena memiliki keahlian sebagai nelayan, maka MAK banyak mendiami wilayah pesisir di Kota Sorong yang berupa hutan bakau, bahkan beberapa kepala keluarga pada masa itu masih bermukim diatas perahu-perahu yang ditambatkan disepanjang hutan bakau. Jejak pemukiman awal MAK ini sampai saat ini masih terlihat di Kota Sorong seperti di wilayah Rufei yang berdekatan dengan pantai. Walaupun komunitas Kokoda saat ini telah tinggal di daratan dan memiliki rumah, namun tanah yang ditempati kebanyakan bukan dimiliki secara pribadi. Komunitas Kokoda dapat dikatakan menumpang atau diberikan izin tinggal oleh suku lain yang memiliki hak atas tanah tersebut. Umumnya suku yang memiliki hak penguasaan tanah di Kota & Kabupaten Sorong adalah Suku Moi. Sewaktu-waktu apabila tanah tersebut akan dipergunakan oleh suku tersebut atau oleh pemerintah daerah, maka MAK harus mencari lahan pemukiman lain. Kondisi ini menunjukkan bahwa walaupun keberadaan MAK di Kota dan Kabupaten Sorong telah ada sejak lama, namun komunitas ini hidup dalam kondisi ketidakpastian. Pemukiman MAK di Kota Sorong tersebar di beberapa lokasi, yaitu di wilayah Rufei, Kilo 8, Kilo 9.5, maupun tempat pemakaman umum. Persebaran pemukiman tersebut mengikuti tempat domisili di kampung asal MAK. Misalnya wilayah pemukiman MAK di Rufei didomunasi oleh MAK yang bermukim di Desa Siwatori. Sedangkan

1 Wikipedia Indonesia Kota Sorong diakses melalui http://id.wikipedia.org/wiki/kota_sorong pada tanggal 25 juni 2016 pukul 14.00

61


pemukiman MAK di Kilo 9 lebih didominasi oleh masyarakat MAK yang berasal dari Kampung Nebes (Negeri Besar) dan Kasuweri. Asal pembentukan pemukiman ini juga tidak terlepas dari pola migrasi yang dilakukan oleh MAK secara berkelompok sesuai dengan kampung asalnya. Oleh sebab itu, migrasi yang dilakukan oleh MAK akan selalu menyesuaikan atau mencari pemukiman yang menjadi lokasi bermukim dari keluarga besar di wilayah asalnya. Salah satu komunitas Kokoda yang banyak diberitakan oleh media nasional dan lokal, adalah Komunitas Kokoda yang tinggal di landasan pacu Bandara Domine Edwar Osok. Umumnya pemukiman yang dihuni oleh Komunitas Kokoda di Kota Sorong sangat jauh dari konsep pemukiman yang layak untuk dihuni. Biasanya mereka tinggal diatas rumah-rumah panggung yang reyot dan dikelilingi oleh rawa, sulit mengakses air bersih, dan biasanya satu rumah dihuni oleh beberapa kepala keluarga. Selain itu, komunitas Kokoda juga sulit mengakses layanan pendidikan disekitarnya, akibatnya sebagian besar generasi MAK memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Kondisi tersebut menyebabkan komunitas Kokoda lebih banyak bekerja pada sektor informal seperti, penggali batu karang, buruh, pekerja serabutan, bahkan banyak yang hidup dalam kondisi menganggur2. Disebabkan oleh kondisi tersebut, MAK seringkali dilekati dengan stigma dan prasangka buruk dari komunitas lain. Misalnya sebagai suku yang seringkali berbuat onar dan mabuk-mabukan, malas, susah diatur, suka mencuri, jorok, dan berbagai julukan lainnya. Bahkan dulunya ada warga Kokoda yang bermukim disekitar area kilometer 26 dekat Aimas dijuluki sebagai “Kampung Malas Tahu”. Kondisi ini seringkali juga menyulitkan Komunitas Kokoda untuk berbaur dengan komunitas lainnya.

2 Sirin Yuniarsih. 2015. Beratnya Hidup Perantau Kokoda di Aimas. Website Aksi Cepat Tanggap. Diakses pada Pukul 13.00,

Hari Senin, 20 Juni

2016

62


Komunitas Kokoda yang tinggal di Kota Sorong beberapa kali melakukan dialog dengan pemerintah daerah mengenai status dari pemukiman yang ditempatinya. Mengingat beberapa lokasi pemukiman yang ditempati sebelumnya telah ditempati dalam waktu yang cukup lama. Namun pemerintah daerah belum memberikan solusi atas permasalahan tersebut. Jalil Namugur salah seorang Guru yang berasal dari MAK mengibaratkatkan MAK seperti “sapi atau kambing” yang selalu dipindahkan ke lapangan rumput yang baru jika lapangan rumput yang satunya telah habis3.

Kampung Baru & Tradisi Baru Upaya untuk mencari lokasi pemukiman baru bagi komunitas MAK dimulai ketika pemerintah daerah menginformasikan bahwa lokasi pemukiman yang ditempati di wilayah Rufei akan dijadikan sebagi lokasi pasar bertaraf internasional. Saat ini, pembangunan pasar internasional seluas 10 hektar telah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo dan menjadi salah satu program strategis nasional untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah Sorong. Komunitas MAK yang bermukim diwilayah Rufei diperkirakan lebih dari 200 kepala keluarga. Namun pada tahun 2002, rumah yang dibangun untuk menampung kepala keluarga hanya berjumlah 14 buah rumah, sehingga banyak kepala keluarga yang tidak mendapatkan tempat tinggal. Pemerintah Kota Sorong beralasan bahwa pembangunan 14 rumah tersebut hanya diperuntukkan kepada kepala keluarga yang membayar pajak bumi dan bangunan. Bagi kepala keluarga yang tidak membayar pajak bumi dan bangunan, pemerintah Kota Sorong hanya memberikan santunan sebesar Rp. 10.000.000 / kepala keluarga atas bangunan rumah yang digusur. 3 Wawancara dengan Jalil Namugur, salah satu tokoh di Kampung Warmon Kokoda.

63


Kondisi ini menyebabkan banyak warga MAK yang hidupnya menumpang atau tinggal pada lokasi-lokasi yang tidak layak dijadikan sebagai pemukiman. Misalnya di tempat pemakaman umum. Beberapa warga berupaya untuk mencari lokasi pemukiman baru. Salah satunya adalah Namugur yang menemukan lokasi di areal kawasan transmigrasi di Kabupaten Sorong. Lokasi inilah yang menjadi cikal bakal Kampung Warmon Kokoda. Kampung Warmon Kokoda pada awalnya merupakan lokasi yang diperuntukkan pada transmigran untuk berkebun. Namun tidak semua keluarga transmigran dapat mengolah tanahnya untuk dijadikan sebagai lahan berkebun. Selain masih ditumbuhi oleh pepohonan, lokasi tersebut juga memiliki karakteristik rawa dengan ketebalan lumpur sedalam 1-1,5 meter. Selain itu lokasi Kampung warmon Kokoda dikenal sebagai tempat “pemali4” bagi masyarakat sekitarnya.

Sejak tahun 1997, warga MAK yang tinggal di perkotaan seringkali

berkunjung secara teratur untuk memanen sagu yang berada di areal transmigrasi tersebut. Pada tahun 2000, beberapa kepala keluarga MAK yang tergusur di wilayah Rufei secara bertahap mulai pindah dan tinggal di lokasi transmigrasi tersebut. Walaupun telah mendapat ijin dari warga transmigran, dan dalam aspek adminsitrasi pemerintahan mengikuti yang dilekatkan pada warga transmigrasi, namun seringkali terjadi gesekangesekan kecil dalam dinamika dan interaksi sosialnya. Salah satunya terkait dengan kejadian pencurian buah ataupun tanaman yang ditanami oleh warga transmigran, dan yang menjadi objek dari tuduhan adalah masyarakat MAK yang selama ini dilekati dengan stigma yang buruk. Namun stigma ini perlahan mulai memudar, seiring dengan munculnya kesadaran dari warga MAK untuk mengolah lahan agar dapat ditanami dengan tanaman yang

4

Istilah pemali bagi masyarakat sekitarnya disebabkan karena dilokasi tersebut dipercaya masih dihuni oleh kekuatan supra natural bahkan beberapa sumber menyebutkan bahwa kerap terjadi penemuan mayat korban pembunuhan dilokasi Kampung Warmon Kokoda.

64


memiliki nilai jual secara ekonomi. Misalnya tanaman singkong dan nenas. Kondisi ini memang tidak mudah karena pada hakikatnya masyarakat MAK tinggal didaerah rawa dan memiliki keterampilan untuk menangkap ikan. Pada tahun 2015, Pemerintah Kabupaten Sorong akhirnya memberikan status baru pada pemukiman MAK tersebut sebagai Kampung Warmon Kokoda. Syamsuddin Namugur warga MAK yang juga sebagai pendamping dalam Program Peduli ditetapkan sebagai kepala desa/ kepala kampung. Penetapan status sebagai kampung memberikan harapan baru bagi warga MAK terhadap kepastian lahan pemukiman. Hal ini juga memunculkan harapan untuk meningkatkan status, kualitas hidup, serta menjaga warisan budaya bagi generasi MAK dimasa yang akan datang. Di Kampung Warmon Kokoda saat ini telah berdiri rumah-rumah panggung yang dibangun secara sederhana. Rumah panggung merupakan salah satu karakteristik arsitektur tradisional yang dimiliki oleh MAK. Bahan-bahan dan cara pembuatan rumah tersebut masih dipertahankan oleh MAK. Jika diamati secara khusus bahan yang digunakan untuk membuat rumah semuanya berasal dari pokok pohon sagu. Atap rumah diambil dari daun pohon sagu, sedangkan tiang dan alasnya menggunakan batang pohon sagu dan bambu yang banyak terdapat diwilayah Papua. Sambungan antara tiang juga tidak menggunakan paku sebagaimana konstruksi pada rumah modern, melainkan menggunakan rotan ataupun sejenis tali dari tumbuhan merambat. MAK juga memiliki rumah adat yang berfungsi sebagai tempat pertemuan dalam menyelenggarakan acara-acara penting seperti syukuran, ritual adat, maupun mendiskusikan berbagai hal yang terkait dengan kehidupan masyarakatnya. Saat ini, hanya Kampung Warmon Kokoda saja yang memiliki rumah adat. Sedangkan pada pemukiman MAK lainnya di Kota & Kabupaten Sorong tidak memiliki rumah adat.

65


Bangunan lain yang juga mencolok dibangun dengan melibatkan institusi lain adalah sarana pendidikan anak usia dini serta sekolah dasar dengan dua ruang kelas. Hal ini menunjukkan komitmen dari warga MAK untuk mengejar ketertinggalannya dalam aspek pendidikan dengan komunitas lainnya. Diakui juga bahwa masih banyak orang tua dari MAK, bahkan mungkin juga dari suku suku asli di Papua yang belum mengutamakan atau mendorong pendidikan bagi anak-anaknya. Seringkali dijumpai anak-anak diikutkan atau membantu orang tua ketika sedang bekerja. Bahkan Syamsudin Namugur sebagai kepala kampung tidak jarang mengunjungi rumah masing-masing keluarga Kokoda untuk memastikan anak-anaknya hadir di sekolah5. Selain menata dan membangun pemukiman, warga Kampung Warmon Kokoda juga menghidupkan pranata kelembagaan adat yang selama ini menjadi aspek penting dalam menjaga tradisi MAK. Struktur kelembagaan adat pada masyarakat Kokoda masih cukup kuat. Hal ini dibuktikan dengan masih diakuinya keturunan dari raja-raja yang pernah memerintah di MAK. Keberadaan dan fungsi raja memang tidak lagi sepenting pada masa lampau, akan tetapi mereka kerap didengar dalam memutuskan hal-hal penting dalam kehidupan masyarakat. Semenjak otonomi khusus di terapkan di tanah Papua, salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah diakomodasinya wakil-wakil adat di dalam pemerintahan. Kondisi ini menyebabkan banyak suku di Provinsi Papua & Papua Barat memiliki Lembaga Masyarakat Adat. Tidak terkecuali MAK.

5 Wawancara dengan Syamsudin Namugur, Kepala Kampung Warmon Kokoda pada tanggal

2016

66


Merawat Keberagaman & Tradisi MAK merupakan Suku Asli di Papua Barat yang hampir seluruh penduduknya memeluk agama islam. Sejarah masuknya penyebaran agama islam diperkirakan dimulai pada sekitar abad 15 oleh Kesultanan Tidore di Maluku. Walaupun demikian, penyebaran agama islam di bumi Papua tidak dibarengi dengan pendampingan para mubaligh atau orang yang mempunyai pemahaman terhadap agama islam. Idris salah satu tokoh masyarakat adat MAK menuturkan bahwa nenek moyang MAK walaupun telah mengucapkan syahadat sebagai tanda masuk islam namun masih tetap berburu atau memakan babi atau mengenakan songkok/kopiah tetapi masih bercawat. Walaupun mayoritas penduduk MAK memeluk agama islam, namun jamak ditemui dalam setiap keluarga menganut beberapa agama. Misalnya dalam satu keluarga ada yang menganut agama islam, kristen protestan, ataupun kristen katolik. Masing-masing anggota keluarga saling menghargai perbedaan keyakinan yang dianut, bahkan sikap saling menghargai ini diturunkan menjadi tradisi yang dilakukan oleh MAK dalam merayakan setiap hari-hari besar keagamaan. Pada bulan Ramadhan dimana pemeluk agam islam berpuasa, para pemeluk agama kristen juga terlibat dalam menyediakan makanan untuk berbuka puasa. Senaliknya, pada saat perayaan natal pemeluk agama islam juga membantu menghias gereja. Bahkan kepanitiaan dalam perayaan hari besar masingmasing agama tersebut dibentuk dengan melibatkan masing-masing pemeluk agama. Penghargaan terhadap perbedaan tidak hanya terjadi pada agama dan kepercayaan, akan tetapi juga ketika membangun interaksi dengan suku lainnya. MAK tercatat sebagai salah satu suku yang cukup banyak melakukan pernikahan dengan suku suku lainnya. Meskipun demikian, interaksi inipun mendatangkan pengaruh positif dan

67


negatif dalam kehidupan masyarakat Kokoda. Interaksi positifnya adalah meningkatnya tingkat penerimaan suku suku lain terhadap masyarakat Kokoda. Sedangkan interaksi negatifnya adalah mulai muncul gejala lunturnya beberapa nilai tradisi. Salah satunya adalah tradisi pernikahan yang selama ini dijalankan oleh masyarakat Kokoda. Mas kawin yang biasanya digunakan oleh MAK berupa piring batu, guci, bahkan pada masa lampau masa kawinnya dapat berupa tombak atau parang panjang. Pada masa lampau barang-barang tersebut merupakan perkakas utama yang digunakan oleh masyarakat untuk berburu ataupun untuk mempertahankan diri dari serangan suku-suku lainnya. Pada era modern, mulai ditemukan mas kawin yang diberikan dalam pernikahan diganti dengan uang yang nilainya ditetapkan oleh masing-masing keluarga. Penggunaan uang memang sangat praktis dan mengganti seluruh kerepotan yang ditimbulkan dengan mengumpulkan mas kawin tersebut, akan tetapi hal itu akan menghilangkan tradisi masyarakat Kokoda. Menyikapi kondisi tersebut, para pemuka adat yang seringkali memimpin prosesi nikah adat berupaya untuk menjaga prosesi dan persyaratan nikah sesuai dengan adat MAK. Ancaman lain yang juga dihadapi oleh masyarakat Kokoda adalah pengaruh minum minuman beralkohol yang menjangkiti para pemuda MAK. Meningkatnya insiden perkelahian antar suku maupun aksi kriminalitas lainnya antara MAK dengan suku lainnya seringkali dipicu oleh tingginya konsumsi minuman beralkohol. Untuk menyelematkan pemuda MAK dari pengaruh minum minuman beralkohol, sejumlah pemuka adat telah mendesak pemerintah daerah untuk melarang bahkan menutup toko-toko yang diindikasikan menjual atau mendistribusikan minuman beralkohol. Namun sampai saat ini, belum ada respon yang memadai dari pemerintah daerah untuk menindaklanjuti hal tersebut.

68


Keluar dari Stigma & Diskriminasi Tantangan utama yang dihadapi oleh masyarakat MAK di Kota & Kabupaten Sorong tidak hanya sekedar penyelesaian masalah pemukiman akan tetapi juga meningkatkan kualitas hidupnya. Berdasarkan data yang dikumpulkan dalam pendataan Program Peduli di Kampung Warmon Kokoda, menunjukkan masih banyak warga yang memiliki permasalahan dalam mengakses maupun mendapatkan layanan dasar dalam bidang pendidikan, kesehatan, maupun administrasi kependudukan. Dimasa lampau, pendidikan merupakan salah satu alasan migrasi MAK ke Kota Sorong. Namun dalam realitasnya, masih banyak warga MAK yang tidak bersekolah ataupun jika bersekolah hanya menamatkan pada tingkat SD. Grafik 15. Profil Masyarakat Adat Kokoda di Kampung Warmon Kokoda Berdasarkan Status Partisipasi Sekolah & Ijazah Pendidikan Partisipasi Sekolah

Ijazah Pendidikan D3 & S1

Tidak Sekolah

SMA Tidak Bersekolah Lagi

SMP SD

Masih Sekolah

Belum Memiliki Ijazah Belum Sekolah

Tidak Memiliki Ijazah 0

20

40 Perempuan

60

80

100

120

0

Laki-laki

Sumber : Data Profil Penerima Manfaat Program Peduli Kemitraan Tahun 2016

69

20

40 Perempuan

60 Laki-laki

80

100

120

140


Data diatas menunjukkan, bahwa partisipasi sekolah dari warga MAK cukup tinggi. Walaupun demikian, masih banyak juga warga MAK yang tidak bersekolah. Data diatas menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang tidak bersekolah cukup besar dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi warga MAK untuk memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan dalam mendapatkan pendidikan. Kualitas pendidikan yang rendah seringkali menjadi perangkap bagi warga MAK, terutama bagi generasi muda untuk terlibat dalam sejumlah aktivitas yang merugikan kepentingan umum seperti judi ataupun minum minuman keras. Oleh sebab itu, pemerintah daerah maupun forum MAK perlu memikirkan aktivitas yang lebih sesuai dengan kondisi pendidikan yang dimiliki oleh warga Kokoda saat ini. Sarana pendidikan dasar di Kampung Warmon Kokoda masih terbatas, hanya ada 1 bangunan yang digunakan untuk PAUD (pendidikan anak usia dini) serta untuk SD kelas 1 dan 2. Tenaga pengajar yang sehari-hari mendampingi proses belajar pun masih menggunakan relawan masyarakat. Untuk melanjutkan pendidikan, anakanak MAK harus berjalan kaki menuju desa tetangga yang jaraknya sekitar 3,5 kilometer. Akses jalan menuju desa tetangga masih berupa jalan tanah yang dikerjakan oleh masyarakat, dan pada musim hujan seringkali tergenang dan tidak dapat dilewati oleh kendaraan bermotor. Walaupun demikian, minat anak-anak MAK untuk bersekolah cukup tinggi. Tidak jarang kepala desa melakukan pembicaraan dengan para orang tua atau keluarga MAK untuk tidak membawa anaknya ketika bekerja di kebun ataupun mencari sagu. Hal ini disinyalir sebagai salah satu persoalan mengapa anak-anak MAK tidak dapat mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Terbentuknya Kampung Warmon Kokoda juga memberikan harapan baru, bagi warga MAK untuk mendapatkan identitas hukum. Selama ini warga MAK seringkali dianggap sebagai warga pendatang yang berpindah pindah karena tidak memiliki sttaus penguasaan tanah yang jelas. Hal ini berdampak pada pengurusan

70


dokumen seperti KTP, akta kelahiran, maupun akta pernikahan. Tidak dimilikinya dokumen kependudukan tersebut menyebabkan warga MAK rentan digusur baik oleh pemilik lahan maupun oleh pemerintah setempat. Grafik 16. Profil Masyarakat Adat Kokoda Berdasarkan Kepemilikan Dokumen Kependudukan.

Tidak Memiliki

Memiliki

Belum Memiliki

Tidak Memiliki

Memiliki

Sumber : Data Profil Penerima Manfaat Program Peduli Kemitraan Tahun 2016 Berdasarkan data diatas terlihat bahwa setelah terbentuknya Kampung Warmon Kokoda, warga MAK yang memiliki KTP cukup tinggi dibandingkan dengan yang tidak memiliki KTP. Sedangkan warga yang belum memiliki KTP adalah warga yang belum memenuhi usia yang disyaratkan dalam undang-undang kependudukan untuk mendapatkan KTP. Berbeda dengan kepemilikan KTP, masih banyak warga MAK yang tidak memiliki akta kelahiran. Hal ini disebabkan ketidaktahuan warga dalam melakukan pengurusan dokumen. Oleh sebab itu, hal ini menjadi

71


salah satu persoalan yang akan ditangani oleh pemerintahan Kampung Warmon Kokoda untuk memfasilitasi warganya dalam mendapatkan dokumen tersebut. Diharapkan dengan dimilikinya dokumen tersebut akan memudahkan warga MAK dalam mengakses program maupun bantuan sosial yang disediakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan menghapus stigma MAK sebagai komunitas yang tidak mau diatur, suka melakukan keonaran, bodoh, dan terbelakang.

72


73


BAB IV MERAWAT TRADISI LELUHUR : MASYARAKAT ADAT SUMBA TIMUR DALAM PUSARAN PERUBAHAN Selamat Datang di “Tanah Prai Marapu”, sebagaimana tertulis dalam salah satu poster sambutan selamat datang ketika kami menginjakkan kaki di bumi Sumba Timur. Kabupaten Sumba Timur tidak hanya dikenal dengan alamnya yang indah, akan tetapi juga dengan adat istiadat dan budaya yang masih dipelihara hingga saat ini. Perjalanan dari Kota Waingapu menuju Desa Meorumba ditempuh selama kurang lebih 3-4 jam dengan menggunakan kendaraan roda empat. Kondisi jalan menuju ke Desa Meorumba cukup buruk dan belum diaspal. Walaupun demikian, sepanjang perjalanan mata kami dimanjakan dengan keindahan bentang alam berupa lembah dan perbukitan, serta aktivitas penduduk setempat yang menunggang kuda. Desa Meorumba terdiri dari 3 dusun yaitu Dusun Jangga Meha, Tana Tuku, dan Wangga Muduk. Jumlah penduduk yang berada di Desa Meorumba sekitar 1200 orang. Walaupun memiliki adat yang sama, Suku Sumba yang berada di Desa Meorumba terdiri dari berbagai klan yang memiliki keunikan tertentu. Misalnya Klan Paradita, Wilimaya, Lamburu, Anamburu, Anawaru, Malamditi, Kadumbul, Malari, serta Matalu. Klan Kadumbul merupakan klan yang terbesar di Desa Meorumba. Masing-masing klan memiliki ciri ataupun keunikan tradisi. Klan Kadumbul dikenal juga sebagai klan yang tidak makan nasi. Jika ada anggota klan yang melanggar pantangan ini, maka akan mendapatkan musibah. Misalnya sekujur tubuhnya akan mengalami gatal yang hanya dapat disembuhkan apabila mengakui kesalahannya pada pemuka agama tradisional.

74


Memasuki Desa Meorumba, pemandangan terhadap pemukiman yang kental dengan budaya masyarakat setempat semakin terasa. Penduduk setempat masih mempertahankan desain rumah adat berupa rumah panggung yang memiliki atap yang lancip, serupa dengan menara, serta atapnya menggunakan sejenis tumbuhan alang-alang yang telah dikeringkan. Salah satu hal yang cukup unik dari rumah adat yang dimiliki oleh masyarakat Sumba Timur adalah tidak menggunakan paku yang biasanya digunakan dalam menyambung struktur bangunan. Desain struktur rumah adat juga sarat dengan perlambang yang mencerminkan budaya dan kepercayaan masyarakat setempat. Tiap rumah adat memiliki 3 bagian yaitu bagian bawah, bagian tengah, serta bagian atas. Dalam pandangan masyarakat Sumba bagian bawah diyakini sebagai tempat alam arwah, bagian tengah merupakan tempat manusia, serta bagian atas yang diyakini sebagai tempat para dewa. Oleh sebab itu, rumah bukan hanya sekedar tempat untuk tinggal dan berlindung, akan tetapi juga dijadikan sebagai tempat untuk menyelenggarakan aktivitas yang terkait dengan budaya dan kepercayaan masyarakat setempat. Menurut Umbu Nailili, setidaknya ada empat jenis rumah adat yang harus ada dalam setiap pemukiman masyarakat Sumba. Keempat rumah tersebut adalah rumah sosial, rumah pangan, rumah umum, serta rumah aman atau keamanan. Keempat rumah tersebut memiliki peran yang berbeda dalam siklus kehidupan sehari-hari masyarakat. Misalnya rumah pangan yang bertanggungj-awab dalam menyediakan bibit tanaman, mengkoodinasi waktu tanam, serta sebagai lumbung pangan. Rumah Sosial berperan dalam menjaga keseimbangan ditingkat masyarakat. Misalnya dalam mengidentifikasi warga masyarakat yang tidak memiliki pangan yang cukup, maka rumah sosial bertugas untuk mendistribusikan pangan dalam skala kecil pada keluarga yang membutuhkan. Saat ini, masyarakat Desa Meorumba hanya memiliki 2 rumah adat yaitu rumah umum dan keamanan yang digunakan untuk membicarakan urusan urusan adat1. 1 Wawancara dengan Kepala Desa Meorumba, Umbu Nailili pada tanggal

75

23 April 2016


Aspek lain yang juga cukup unik dari pemukiman masyarakat adat di Sumba Timur, adalah letak makam yang berdekatan dengan rumah. Kabupaten Sumba Timur dikenal dengan kuburan megalitik yang menggunakan batubatu besar. Umumnya kuburan megalitik tersebut digunakan untuk menguburkan individu yang memiliki strata sosial yang lebih tinggi di masyarakatnya. Misalnya raja atau kelompok bangsawan. Upacara penguburan membutuhkan biaya yang cukup besar, terutama dalam menyediakan makanan dan minuman selama proses ritual penguburan. Rumah & batu kubur yang dibangun secara berdekatan melambangkan simbol kehidupan dan kematian. Kehidupan dan kematian bagaikan dua sisi mata uang dalam kehidupan yang tidak terpisahkan. Apabila orang telah membangun rumah adat di kampungnya, maka dihadapannya atau disampingnya adalah batu kubur. Dalam bait adat disebutkan “gobana kalita toro tana, papana kaniki watu lele” yang artinya rumah tempat berlindung pada waktu hidup, kubur tempat berlindung pada waktu mati. Dalam kosmologi masyarakat Sumba, baik hidup ataupun mati keduanya adalah hidup bersama dengan para Marapu (para leluhur yang hidup abadi)2. Menurut Umbu Frans, pada jaman dahulu dibutuhkan ribuan orang untuk mencari, memahat batu, serta mengangkut batu dari gunung ke pemukiman. Batu yang digunakan untuk penguburan juga memiliki kriteria tertentu yang biasanya ditetapkan oleh imam Marapu. Selama proses ritual penguburan tersebut, keluarga yang berduka menyiapkan banyak hewan ternak seperti babi, kuda, ataupun sapi untuk memberi makan masyarakat yang membantu proses penguburan. Jika keluarga tersebut belum memiliki kemampuan dalam menyelenggarakan prosesi tersebut, biasanya jenazah tidak dikubur tetapi diawetkan dengan cara tertentu dan disimpan didalam rumah sampai dengan saat penguburan yang dianggap layak sesuai dengan adat yang ditentukan. Oleh sebab itu,

2 Ngongu, Norbert Ama.2014 Konsep Kehidupan & Kematian Menurut Agama Marapu. Artikel lepas pada Kompasiana.

76


tidak jarang kita akan menemukan beberapa keluarga masih menyimpan jenazah anggota keluarganya didalam rumah3. Pada tradisi penguburan dalam adat Sumba Timur tidak hanya mengorbankan hewan ternak selama prosesi penguburan, namun juga menguburkan hamba untuk mendampingi salah satu anggota keluarga bangsawan yang meninggal. Namun tradisi penguburan seorang hamba untuk mendampingi tuannya, mulai dilarang semenjak masa kepemimpinan Umbu Mehang Kunda menjabat sebagai Bupati pada tahun 2000 di Sumba Timur. Pelarangan ini lebih didorong untuk menghormati penerapan hak asasi manusia. Kondisi ini menunjukkan bahwa tradisi dalam adat tidak bersifat kaku namun dapat berkembang serta disesuaikan dengan perkembangan jaman. Struktur sosial masyarakat Sumba Timur mengenal 3 strata sosial yaitu Kelompok Maramba, Kabihu, serta Ata. Kelompok Maramba adalah orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai ningrat atau bangsawan. Kelompok ini menempati posisi tertnggi dalam lapisan sosial masyarakat dan biasanya memegang tampuk pemerintahan diwilayahnya masing-masing. Kelompok Maramba juga dikenal dalam masyarakat dengan menggunakan gelar/sebutan umbu didepan namanya. Biasanya kelompok bangsawan tidak menggunakan nama aslinya, tetapi menggunakan nama hambanya. Misalnya Umbu Nailili yang berarti tuannya dari hamba Nailili. Kabihu merupakan orang merdeka atau biasa yang tidak terikat pada kelompok Maramba. Mereka bebas melakukan apa saja yang diinginkan tanpa ada tekanan dari kelompok bangsawan. Sedangkan Ata atau hamba menempati posisi sosial yang terendah dan terikat dengan kelompok Maramba. Ata atau hamba yang dimiliki oleh para bangsawan umumnya diperoleh sebagai tawanan perang pada masa lalu ataupun diperoleh karena pembelian atau pemberian dari proses

3 Wawancara dengan tokoh masyarakat adat Desa Meorumba, Umbu Frans pada Tanggal 23 April 2016.

77


kawin-mawin sesama bangsawan. Ata yang dimiliki oleh seorang bangsawan umumnya dijadikan sebagai pekerja dirumah bangsawan tersebut. Bahkan keturunan dari Ata tersebut juga akan tetap mengabdi pada keluarga bangsawan. Sebutan untuk Ata juga cukup beragam ketika melakukan pembicaraan di masyarakat, mereka seringkali disebut dengan berbagai nama. Misalnya “anak-anak dalam rumah” atau “anak-anak yang disuruhsuruh”. Persoalan yang dihadapi dalam pendampingan Program Peduli di Kabupaten Sumba Timur tidak hanya terkait dengan relasi sosial yang tidak setara dan menyebabkan eksklusi pada kelompok sosial lainnya, akan tetapi juga terkait dengan eksklusi pada masyarakat adat karena tradisi atau agama yang dianutnya belum dapat diakomodasi oleh pemerintah sehingga menyebabkan mereka belum mendapatkan hak haknya sebagai warga negara, serta persoalan pengelolaan sumberdaya alam.

Tradisi & Eksklusi Sosial Struktur sosial yang timpang seringkali menyebabkan ketimpangan dalam relasi sosial ditingkat masyarakat. Ketimpangan sosial merupakan keadaan dimana terdapat ketidakseimbangan didalam masyarakat karena adanya perbedaan dan ketidakadilan. Misalnya dalam mengakses dan memanfaatkan sumberdaya ataupun mendapatkan perlakuan yang berbeda dan membatasi hak-haknya ditingkat masyarakat. Mengutip Mely G Tan & Selo Sumardjan (1980), ada dua faktor utama yang menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal barasal dari diri seseorang. Misalnya rendahnya kualitas sumberdaya manusia dalam bidang

78


pendidikan. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang berada diluar dirinya ataupun lingkungan dimana individu tersebut berada4. Pada konteks relasi sosial antara Kelompok Maramba & Ata, sebenarnya terdapat pola relasi yang tidak seimbang. Bahkan dapat dikatakan yang terjadi adalah pola dominasi kelompok Maramba terhadap Ata. Peningkatan kapasitas dari kelompok Ata sangat bergantung dengan kerelaan dan kemauan dari Maramba. Saat ini, beberapa dari kelompok Maramba sudah menginjinkan bahkan membiayai anak-anak dari Kelompok Ata untuk bersekolah. Namun pendidikan yang ditempuh oleh anak-anak dari kalangan Ata hanya sampai pendidikan dasar. Umbu Nailili mengatakan bahwa salah satu keengganan kelompok Maramba untuk menyekolahkan anak-anak kelompok Ata pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi adalah kekuatiran bahwa anak-anak tersebut kelak akan dapat memegang posisi yang lebih tinggi dan bahkan mengambil alih kepemimpinan yang selama ini dipegang oleh kelompok Maramba. Hal ini seperti membalik sejarah dimana hanya kelompok Maramba yang boleh memegang tampuk pemerintahan. Relasi yang tidak seimbang juga ditemukan dalam perkawinan atau perselingkuhan antara Kelompok Maramba dan Kelompok Ata. Dimana anak yang dihasilkan dari perkawinan atau perselingkuhan tersebut tetap menyandang status sebagai hamba. Bahkan dalam beberapa kasus, anak tersebut tidak diakui sebagai anak kandungnya. Namun dalam realitasnya, terdapat juga beberapa kisah dari kelompok Ata yang berhasil melakukan mobilitas sosial vertikal. Sebagaimana dituturkan oleh Stev Paranggi, ada 4 aspek yang dapat meningkatkan mobilitas sosial vertikal dari kelompok Ata yaitu kesadaran dari kelompok Maramba, adanya pernikahan dengan

4 Mely G Tan & Selo Sumardjan. 1980. Kemiskinan Struktural Suatu Bunga Rampai. Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta

79


masyarakat luar Suku Sumba, melarikan diri dari tuannya, serta berdaya dalam aspek pendidikan dan ekonomi. Salah satu kisah kelompok Ata yang berhasil meningkatkan status sosialnya di Desa Mauramba adalah seorang pemuda bernama Yanto. Kedua orang tuanya merupakan hamba dari Umbu Naing Gaba. Namun kedua orang tuanya berhasil memanfaatkan lahan pertanian yang diberikan oleh tuannya dan memperluas usahanya dengan membuka kios yang menjual barang-barang kebutuhan pokok. Selepas menamatkan SMA, Yanto melanjutkan pendidikan secara diam-diam di Kota Waingapu tanpa sepengetahuan tuannya. Akhirnya dia mendaftar sebagai tentara dan diterima pada satuan pasukan elit nasional yaitu Komando Pasukan Khusus (Kopasus). Keberhasilan Yanto menjadi Kopasus memang tidak merubah status hamba pada orang tuanya, akan tetapi paling tidak dia telah memerdekakan dirinya sendiri dan dapat memutus lingkaran setan keturunannya dari dominasi kelompok Maramba terhadap kelompok Ata5. Upaya lain yang dapat meningkatkan mobilitas vertikal kelompok Ata adalah dengan adanya pernikahan dengan suku yang berasal dari luar Suku Sumba Timur. Walaupun proses pernikahan antara kelompok Ata sangat bergantung dengan persetujuan dari tuannya. Umumnya pernikahan yang dilakukan dalam adat Sumba Timur mensyaratkan mas kawin atau belis yang cukup tinggi. Misalnya jika seorang pria akan melamar seorang wanita maka belisnya dapat berupa logam emas dan perak dalam bentuk mamuli6 & kanatar7, serta hewan besar seperti kuda dan kerbau. Sedangkan pihak perempuan akan memberikan balasan berupa kain, sarung, muti salak dan gading8. Oleh sebab itu, pihak luar seringkali cukup berat dalam memenuhi persyaratan yang ditetapkan. 5 Wawancara dengan Stev Landu Paranggi, Aktivis Lembaga

pada Tanggal 25 April 2016

6 Mamuli merupakan perhiasan emas khas dari Sumba Timur yang berbentuk anting-anting telinga dengan ukuran yang cukup besar. 7 Kanatar merupakan perhiasan emas yang berbentuk kalung 8 Sylvia A Anggraeni. 2003. Perempuan Sumba & Belis. Bappeda Kabupaten Sumba Timur.

80


Selain persoalan relasi antara lapisan sosial masyarakat, persoalan eksklusi lain yang terjadi pada masyarakat adat Sumba adalah pada agama/kepercayaan yang dianut. Sebagaimana telah disebutkan diatas, walaupun pemerintah daerah memiliki slogan sebagai tanah Prai Marapu, namun dalam kesehariannya masih banyak anggota masyarakat yang sulit memiliki legalitas dokumen seperti KTP karena dianggap memiliki agama dan kepercayaan yang berbeda dengan yang ditetapkan oleh pemerintah. Hampir sebagian besar masyarakat di desa Meorumba masih menganut marapu atau agama leluhur.

Marapu Agama Kehidupan Ritual Marapu sebenarnya bukanlah hanya ritual keagamaan yang bersifat khusus, melainkan merupakan manifestasi dari setiap praktik kehidupan serta penghormatan terhadap alam. Berbeda dengan agama yang umumnya dikenal memiliki kitab suci, Marapu tidak memiliki kitab suci atau buku panduan. Ajaran Marapu diturunkan secara lisan oleh para leluhur melalui berbagai tradisi yang dikenal hingga saat ini. Dalam kepercayaan masyarakat Sumba Timur, Marapu adalah arwah dari paraleluhur yang bertindak sebagai “Dikita- No'neka” (perantara antara manusia dengan yang ilahi atau yang disebut Magholo-Marawi). Peranan Magholo-Marawi adalah menciptakan, memelihara, melimpahkan rezeki, keturunan, kesehatan, serta menetapkan umur manusia dan semua mahluk ciptaan lainnya9.

9 Ngongu, Norbert Ama.2014 Konsep Kehidupan & Kematian Menurut Agama Marapu. Artikel lepas pada Kompasiana.

81


Proses dalam ritual Marapu disebut dengan hamayang yang dipimpin oleh seoarang rato atau disebut imam Marapu. Ritual yang seringkali dilakukan oleh Imam Marapu adalah prosesi pengakuan dosa, upacara persembahan kepada para Marapu, maupun dalam aktivitas yang terkait dengan kehidupan masyarakat seperti membuka lahan pertanian, penanaman, hingga panen. Dalam setiap prosesi tersebut, imam Marapu akan menggunakan hewan atau telur ayam sebagai perantara untuk membaca tanda-tanda yang disampaikan oleh para Marapu untuk menentukan keberhasilan atau perkenaan dari para Marapu terhadap proses tersebut. Hewan yang biasanya digunakan dalam proses tersebut adalah ayam yang disembelih dan kemudian usus atau hatinya digunakan sebagai medium pembacaan. Jika usus atau hati tersebut bersih maka menunjukkan Para Marapu berkenan atau menerima proses tersebut, sebaliknya jika terdapat titik hitam ataupun tanda tanda lainnya maka prosesi tersebut harus diulang hingga para Marapu berkenan10. Salah satu praktik ritual Marapu dalam kehidupan adalah dalam bidang pertanian. Umumnya prosesi hamayang yang dilakukan meliputi pembukaan lahan, penanaman, pemanenan, serta prosesi syukuran atas hasil panen yang diberikan. Setiap keluarga yang bekerja sebagai petani akan melakukan prosesi ini, jika tidak dilakukan biasanya akan ada musibah berupa gagal panen ataupun tanamannya diserang oleh hama penyakit. Masyarakat Sumba Timur pada awalnya juga menerapkan pola perladangan berpindah, namun seiring dengan perkembangan populasi dan meningkatnya keasadaran untuk menjaga lingkungan terutama hutan, maka praktik perladangan berpindah tersebut sudah mulai ditinggalkan. Pada prosesi pembukaan lahan, prosesi hamayang yang dilakukan imam Marapu biasanya untuk meminta agar hewan atau makhluk hidup yang akan terkena dampak dari pembukaan lahan tersebut untuk menyingkir pada 10 Wawancara dengan Tunggu Jamak seorang Imam Marapu di Dusun Wangga Muduk, Desa Meorumba pada tanggal 24 April 2016.

82


saat pembukaan lahan. Pada prosesi ketika hujan sudah turun atau akan dilakukan penanaman, imam marapu kembali memimpin hamayang untuk meminta hewan ataupun mahluk hidup yang sebelumnya diminta untuk menyingkir pada proses pembukaan lahan untuk kembali lagi ke lahan tersebut. Selain itu imam Marapu juga meminta agar hewan atau mahluk hidup tersebut tidak menyebarkan penyakit dan membantu menyuburkan lahan. Pada saat panen, imam Marapu kembali memimpin hamayang agar para Marapu memberikan hasil panen yang melimpah dan setiap tanaman memberikan hasil terbaik. Hasil panen tidak semuanya dkonsumsi atau dijual akan tetapi ada yang disisihkan untuk bibit serta untuk upacara persembahan yang waktunya telah ditentukan oleh imam Marapu. Biasanya upacara persembahan dilakukan pada bulan desember sebagai tanda rasa syukur atas hasil panen yang diberikan oleh para Marapu11.

Hutan Lestari Rakyat Sejahtera ? Isu lain yang terkait dengan masyarakat adat adalah masalah pengelolaan sumberdaya alam. Salah satunya adalah pengelolaan hutan. Sebagaimana diketahui, kehidupan masyarakat adat sangat bergantung terhadap hutan. Hasil hutan tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan akan tetapi juga menjamin ekosistem kehidupannya. Meminggirkan masyarakat adat dari pengelolaan hutan dapat diibaratkan mencabut nyawa dari kehidupan masyarakat adat tersebut.

11 Wawancara dengan Tunggu Jamak seorang Imam Marapu di Dusun Wangga Muduk, Desa Meorumba pada tanggal 24 April 2016.

83


Sejak tahun 1999, pemerintah telah menetapkan status hutan yang berada di wilayah Desa Meorumba sebagai Hutan Kemasyarakatan (HKm). Hutan kemasyarakatan merupakan salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan (KLHK) untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan melibatkan masyarakat. Selain itu, kebijakan ini juga dimasudkan untuk meningkatkan hak kelola masyarakat dan mengurangi konflik pengelolaan hutan. Izin usaha pemanfaatan pengelolaan hutan kemasyarakatan diberikan selama jangka waktu 35 tahun dan dilakukan evaluasi setiap 5 tahun. Dalam peraturan Menteri Kehutanan No 37 Tahun 2007, masyarakat yang mengelola hutan kemasyarakatan berhak mendapatkan fasilitasi, memanfaatkan hasil hutan non kayu, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan kawasan, serta memungut hasil hutan kayu, atau menebang hasil hutan kayu yang merupakan hasil penanamannya dalam jangka waktu 1 tahun. Namun dalam realitasnya, penerapan HKm selama kurang lebih 16 tahun di wilayah Desa Meorumba dan sekitarnya masih menyisakan berbagai persoalan menyangkut pemanfaatan hasil hutan. Masyarakat yang dulunya dapat memanfaatkan kayu dari hutan untuk membangun rumah tidak dapat lagi leluasa untuk menebang pohon. Bahkan untuk pohon yang ditanamnya juga dlarang ditebang oleh petugas. Kondisi ini berdampak pada rumahrumah adat yang dibangun oleh masyarakat Sumba yang semua bahannya berasal dari hutan. Masyarakat hanya diijinkan untuk bercocok tanam secara tumpang sari pada lahan yang berada dalam kawasan hutan. Tanaman yang umumnya ditanam oleh masyarakat adalah kemiri, pinang, bawang, kacang tanah, serta wortel. Tanaman-tanaman ini sebenarnya memiliki nilai ekonomis yang tinggi dipasaran, namun karena tidak memiliki akses jalan yang memadai serta sarana transportasi yang memadai, menyebabkan mereka tidak berdaya ketika berhadapan dengan tengkulak atau pengumpul yang mendikte harga sesuai dengan keinginannya.

84


Dusun Labuggur yang merupakan salah satu dusun yang menghasilkan kemiri dan kacang tanah bahkan tidak dapat diakses oleh kendaraan roda empat. Penduduk setempat memikul hasil kebunnya dengan berjalan kaki sepanjang 14 kilometer (pulang-pergi) menuju Desa Mauramba yang biasanya dijadikan sebagai tempat untuk menjual ataupun mengangkut hasil pertanannya ke Waingapu. Hari pasaran biasanya dilakukan 1 kali dalam seminggu yang seringkali juga disesuaikan dengan jadwal kendaraan. Ketiadaan sarana transportasi secara reguler seringkali menyebabkan hasil panen masyarakat jatuh pada titik terendah, bahkan tidak jarang hasil panen dibiarkan membusuk. Kondisi ini tentu saja berdampak pada kondisi kesejahteraan masyarakat. Padahal dalam regulasi yang diterbitkan oleh KLHK, salah satu aspek penting dalam pengembangan HKm adalah fasilitasi dan pemberdayaan masyarakat yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah setempat. Realitasnya masyarakat justru lebih banyak didampingi oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) ditingkat lokal. Dukungan oleh LSM juga seringkali terbatas, sehingga tidak dapat mendampingi seluruh masyarakat, serta skema proyek yang digunakan dibatasi oleh waktu dan kesediaan donor untuk mendukung upaya pemberdayaan. Terdapat 20 kelompok dalam pengelolaan hutan yang telah dibentuk oleh LSM lokal, namun hanya beberapa kelompok saja yang masih aktif. Salah satu kelompok yang cukup berhasil adalah koperasi simpan pinjam yang dikelola oleh perempuan di Dusun Labuggur. Koperasi ini ini bernama Ndaku Mbota Monung (NMM) yang artinya tidak putus asa. Kelompok ini lahir sebagai antitesa dari kelompok-kelompok HKm yang didominasi oleh laki-laki sebagai anggotanya. Salah satu tujuan dari didirikannya koperasi NMM adalah untuk membantu keluarga yang mengalami kesulitan dalam menyekolahkan anak ataupun mengobati anggota keluarga yang sakit. Dimasa lampau, banyak keluarga yang akhirnya menjual aset ternak ataupun aset lainnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Disamping

85


itu, koperasi ini juga mulai membuka usaha untuk menyediakan bahan-bahan kebutuhan pokok yang biasanya sulit didapatkan di daerah tersebut. Slah satu mimpi yang ingin diwujudkan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat adalah dengan mengolah hasil pertanian yang melimpah agar tidak busuk atau memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Sayangnya keinginan tersebut belum dapat diwujudkan, mengingat peralatan yang dibutuhkan memerlukan biaya yang tidak sedikit12. Kekuatiran lain dari pengelolaan hutan adalah status masyarakat yang tinggal atau menempati kawasan hutan tersebut. Kondisi ini menyebabkan masyarakat juga enggan untuk melakukan upaya pelestarian karena tidak ada jaminan bahwa tanaman (kayu) yang ditanam dapat dimanfaatkan. Perubahan-perubahan regulasi yang seringkali terjadi juga menambah kondisi ketidakpastian dalam proses-proses pendampingan dalam menjaga hutan dan memanfaatkannya untuk keberlanjutan kehidupan masyarakat. Moto hutan kemasyarakatan yaitu “masyarakat sejahtera hutan terjaga” seringkali diplesetkan “hutan lestari masyarakat miskin”. Kondisi ini tentu saja perlu menjadi perhatian kita agar masyarakat adat tidak diasingkan dari habitatnya, karena sebenarnya mereka telah menjaga sumberdayanya jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan.

12 Wawancara dengan anggota Koperasi Ndaku Mbota Monung di Dusun Labuggur Tanggal

23 April 2016

86



BAB V MASYARAKAT ADAT NUAULU: MERAWAT HUTAN MENJAGA TRADISI Rumah-rumah tampak sepi, jarang ditemui kendaraan ataupun orang yang berlalu lalang dijalan. Suasana Desa Nuanea pada siang hari itu dicekam kesunyian, seolah-olah seperti desa yang tidak berpenghuni. Aktivas penduduk Desa Nuanea mulai terlihat ketika sore hari, ketika mereka kembali dari kebun atau hutan, dan kemudian kembali sunyi pada saat malam hari. Berbeda dengan suasana desa yang tampak sepi sepanjang hari, suasana didalam hutan justru ramai dengan aktivitas penduduk yang berburu ataupun memungut hasil hutan. Saat itu sedang musim durian, ketika kami mengunjungi Desa Nuanea. Banyak penduduk desa yang membangun pondokpondok didalam hutan untuk bermalam, sambil menunggu buah durian jatuh dari pohonnya. Penduduk di Desa Nuanea adalah Suku Nuaulu yang dikenal sebagai salah satu suku di Kabupaten Maluku Tengah. Suku Nuaulu dikenal sebagai suku yang sangat tergantung pada hutan dan memiliki tradisi dalam merawat hutan. Tidak heran jika hampir sepanjang hari aktivitas penduduknya berada di dalam hutan. Bahkan ada celutukan bahwa lebih mudah menemui orang dihutan dibandingkan dengan dirumahnya. Bagi Suku Nuaulu, hutan tidak hanya berfungsi untuk menyediakan kebutuhan hidup seperti makanan yang dapat dikonsumsi ataupun dijual untuk memenuhi kebutuhan pokok lainnya, akan tetapi juga kebutuhan utama dalam penyelenggaraan ritual adat yang sampai saat ini masih dilaksanakan. Kebutuhan ritual adat yang disediakan oleh hutan berupa tanaman dan hewan tertentu. Misalnya Kuskus, Rusa, Burung Kasuari dan Nuri. Bahkan Suku Nuaulu juga meyakini bahwa

87


“Upu Anahatana1” juga merupakan pelindung hutan yang memberikan perlindungan dan mencukupkan segala kebutuhan dari Suku Nuaulu2. Nuaulu terdiri dari dua suku kata dalam bahasa lokal yaitu Nua yang artinya nama sungai di Mauku Tengah dan Ulu yang berarti manusia. Dengan demikian, Nuaulu berarti manusia dari sungai Nua. Salah satu ciri khas yang membedakan Suku Nuaulu dengan suku lainnya di Kabupaten Maluku Tengah adalah penduduk laki-lakinya mengenakkan ikat kepala merah / cidaku. Cidaku hanya dikenakan oleh laki-laki dewasa yang telah menjalani prosesi ritual adat yang dikenal dengan nama maku-maku atau matahene untuk mengokohkan bahwa sang pria telah dewasa. Biasanya ritual ini akan dilakukan dalam waktu yang cukup lama dan membutuhkan ketangguhan fisik dan mental bagi anak laki-laki yang mengikutinya. Biasanya usia anak laki laki yang mengikuti maku-maku sekitar 15 tahun keatas. Aktivitas yang dilakukan dalam maku-maku terdiri dari berburu hewan yang disyaratkan oleh pimpinan adat, merapalkan kapita (syair-syair tentang hukum adat ataupun perjalanan Suku Nuaulu di masa lampau) yang dibarengi dengan tarian dalam waktu tertentu, serta pengukuhan yang ditandai dengan pemasangan cidaku oleh pimpinan adat. Ritual maku-maku adalah pintu bagi seorang laki-laki Nuaulu untuk dapat menjalankan aktivitas adat lainnya. Seorang laki-laki yang belum mengikuti ritual maku-maku dilarang untuk mengunjungi kuburan keramat ataupun melakukan prosesi pemakaman jenazah di hutan. Bahkan bila belum mengikuti ritual ini, maka seorang lelaki belum dapat menikah. Konon dimasa lampau setiap ritual adat yang dilakukan oleh Suku Nuaulu membutuhkan kepala manusia sebagai syarat sahnya suatu ritual. Tidak heran dimasa lampau, Suku Nuaulu sangat ditakuti oleh suku-suku lainnya karena ketangguhannya dalam berperang. Saat ini, ritual adat yang

1 Upu Anahatana dipercaya sebagai pelindung dalam keyakinan atau kepercayaan Suku Nuaulu. 2 Wawancara dengan Sahune Matoke, Kepala Suku Nuaulu pada tanggal 12 Maret 2016.

88


dilakukan oleh Suku Nuaulu tidak lagi menggunakan kepala manusia. Pergeseran ini diyakini telah dilakukan semenjak penjajahan Belanda di Maluku3. Aktivitas yang dilakukan selama ritual maku-maku dapat juga dipandang sebagai proses inisiasi untuk mengokohkan keterampilan dalam berburu. Biasanya pimpinan adat akan memberikan waktu tertentu untuk menyerahkan hewan buruannya. Anak-anak Suku Nuaulu umumnya telah berburu bersama dengan orang tuanya semasa kecil. Bahkan tidak jarang mereka sudah mahir menggunakan busur dan panah. Salah satu proses dalam ritual maku-maku yang membutuhkan ketahanan fisik dan mental yang cukup kuat adalah merapalkan kapita yang biasanya dilakukan sepanjang hari selama waktu tertentu di rumah adat. Peserta biasanya akan menari dan menyanyikan syair-syair yang menceritakan tentang hukum adat dan kisah-kisah yang dapat dijadikan sebagai pelajaran hidup oleh Suku Nualu dalam bahasa lokal secara bergantian.

3 Wawancara dengan Patti pada tanggal 11 Maret 2016

89


Gambar 2. Persiapan Prosesi Maku-Maku atau Matahene

Keterangan Gambar : Sejumlah remaja pria sedang bersiap-siap untuk melaksanakan ritual maku-maku, dengan mengenakan pakaian tradisional Suku Nuaulu

90


Ritual adat juga dilakukan pada perempuan yang beranjak dewasa, biasanya ketika pertama kali mendapatkan menstruasi. Selama proses tersebut, seluruh tubuh perempuan ditutupi dengan arang dan tinggal terpisah dari rumah induk orang tuanya sampai masa menstruasinya berakhir. Jamak dijumpai rumah-rumah yang dimiliki oleh Suku Nuaulu memiliki rumah pondok disamping atau dibelakang rumah induknya yang disebut sebagai posune4. Posune tidak hanya berfungsi sebagai tempat wanita yang sedang dalam proses menstruasi, akan tetapi juga berfungsi sebagai tempat persalinan dan merawat bayi selama kurun waktur tertentu (biasanya sekitar 20 hari) sebelum menjalani ritual adat untuk memindahkan anak dan ibunya ke rumah adat atau ke rumah induk. Suku Nuaulu percaya bahwa dengan menempatkan wanita yang hamil di posune dapat menghindarkan ibu dan bayinya dari gangguan roh-roh jahat. Sedangkan kepercayaan mengapa seorang wanita yang sedang menjalani proses menstruasi harus diinapkan di posune adalah karena dapat menghilangkan kekuatan laki-laki yang diyakini telah mendapatkan pada saat upacara adat.

4 Posune merupakan rumah pondok yang dibuat dari bambu dan atap rumbia yang berfungsi sebagai tempat bagi perempuan dalam menjalani

proses menstruasi.

91


Gambar3. Proses Pembangunan Posune

Keterangan Gambar : Sejumlah warga Suku Nuaulu sedang menyelesaikan pembangunan posune

92


Merawat Hutan Merawat Kehidupan Sebagaimana telah disebutkan pada paragraf pendahuluan, kehidupan Suku Nuaulu tidak dapat dipisahkan dengan hutan. Petuanan (wilayah adat) Suku Nuaulu memang cukup besar di Kabupaten Maluku Tengah. Hampir sebagian besar hutan yang diklaim sebagai milik Suku Nuaulu juga belum dikelola atau termasuk sebagai hutan larangan yang ditetapkan oleh pemuka adat. Hutan yang dilarang untuk dimasuki oleh masyarakat umum bahkan hanya boleh dimasuki pada saat-saat tertentu oleh Suku Nuaulu meliputi hutan yang dulunya merupakan tempat permukiman awal Suku Nuaulu yang dikenal sebagai Negeri Lama, hutan yang difungsikan sebagai tempat pemakaman, serta hutan yang dipergunakan untuk penyediaan kebutuhan ritual adat Suku Nuaulu. Dengan demikian, Suku Nuaulu sebenarnya telah memiliki konsep tentang zonasi pemanfaatan hutan baik untuk kepentingan adat maupun untuk kehidupan sehari-hari. Pemanfaatan sumberdaya hutan juga tidak boleh dilakukan secara eksploitatif dan merusak yang mengakibatkan terganggunya kebutuhan generasi mendatang. Hukum dan denda adat yang diberlakukan oleh Suku Nuaulu cukup berat bagi seseorang yang terbukti secara sengaja melakukan perusakan pada hutan. Misalnya melakukan pembakaran atau memungut hasil hutan sebelum waktu yang telah ditetapkan. Biasanya denda adat yang ditetapkan meliputi kain merah sepanjang 5 meter dan piring batu dengan ukuran tertentu sebanyak 5 buah. Piring batu yang digunakan oleh Suku Nuaulu memiliki corak khusus dan umumnya berusia tua. Jika dirupiahkan, piring batu tersebut memiliki harga yang cukup mahal. Kain merah dan piring batu tidak hanya digunakan sebagai denda adat, akan tetapi juga dalam ritual lain. Misalnya dalam ritual peminangan saat akan melakukan pernikahan.

93


Oleh sebab itu, banyak keluarga Suku Nuaulu terutama yang memiliki anak laki-laki biasanya menyimpan beberapa piring batu. Wilayah hutan yang dikuasai oleh Suku Nuaulu memiliki sejarah panjang yang bahkan dimulai sebelum penjajahan Belanda di bumi Maluku. Menurut penuturan beberapa pemuka adat, luasnya kepemilikan wilayah adat yang dimiliki oleh Suku Nuaulu dimulai dengan penaklukan terhadap suku-suku lain. Kapitan (panglima perang) Suku Nuaulu dikenal memiliki keahlian dalam berperang. Pada saat itu yang berlaku adalah hukum siapa yang kuat dialah yang menang. Ketangguhan Suku Nuaulu dalam berperang menyebabkan Raja Sepa mengundang mereka untuk menjaga keamanan wilayah Sepa yang terletak di pesisir pantai dengan perjanjian bahwa sejauh 3 kilometer dari bibir pantai adalah wilayah adat masyarakat Sepa, sedangkan diatas 3 kilometer menuju ke arah gunung menjadi milik Suku Nuaulu. Secara geografis, wilayah adat Suku Nuaulu mengelilingi Negeri Sepa. Hal ini dapat juga dilihat dari permukiman-permukiman Suku Nuaulu yang tersebar mengelilingi Negeri Sepa. Batas-batas kepemilikan dari Suku Nuaulu ditandai oleh batas-batas alam berupa gunung, sungai, ataupun pohon-pohon tertentu. Saat ini masyarakat Suku Nuaulu berada di wilayah Seram Selatan dan pemukimannya tersebar pada beberapa kampung yaitu : 1. Negeri5 Nuanea 2. Kampung Rohua, Negeri Sepa 3. Kampung Bonara, Negeri Sepa 5 Negeri memiliki arti yang sama dengan desa.

94


4. Kampung Hawalan / Latan, Negeri Sepa 5. Kampung Simalouw, Negeri Sepa 6. Kampung Rohua Waimanese, Negeri Sepa 7. Kampung Tawanewane, Negeri Sepa 8. Negeri Hatuhenu yang beberapa marganya memiliki hubungan genealogis melalui perkawinan dengan leluhur Suku Nuaulu6. Penetapan Negeri Nuanea memiliki implikasi dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan. Terlebih lagi dengan pelaksanaan UU No 6 Tahun 2014, yang mana menjamin desa dapat mengatur otonominya berdasarkan hak asal usul. Kondisi ini berbeda dengan pemukiman Suku Nuaulu yang masih berada dibawah Negeri Sepa, dimana posisi dan daya tawar dalam pengelolaan sumberdaya hutan sangat lemah. Apalagi lokasi hutan yang akan dijadikan sebagai wilayah kelola oleh P.T Bintang Lima Makmur berada di wilayah Negeri Sepa. Hak pengelolaan hutan yang dijalankan oleh Suku Nuaulu umumnya diberikan pada marga/ klan. Pengelolaan hutan dengan sistem ini dipercaya dapat menjaga keberlanjutan dari pengelolaan hutan dibandingkan dengan sistem pengelolaan secara individual yang rentan dalam penjualan/pelepasan hak atas tanah. Walaupun terdapat pembagian pengelolaan wilayah hutan berdasarkan marga, akan tetapi tidak berarti bahwa sumberdaya tersebut mutlak dikuasai oleh marga tersebut. Marga lainnya dapat juga memungut hasil hutan asalkan diberitahukan pada marga yang menguasai wilayah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya pengelolaan sumberdaya hutan masih dilakukan secara komunal. Bahkan pelepasan lahan yang dikuasai oleh marga kepada pihak lainnya juga

6 Wawancara

dengan Yohanes Balubun, Ketua AMAN Maluku pada tanggal 13 Maret 2016

95


membutuhkan kesepakatan dari seluruh marga. Walaupun demikian, beberapa marga juga sudah mulai menerapkan pengelolaan lahan secara individual. Namun proses pelepasannya tetap membutuhkan kesepakatan dari seluruh anggota marga yang bersangkutan. Suku Nuaulu juga mengenal sistem sasi dalam menjaga kelestarian sumberdaya hutan. Sistem sasi merupakan instrumen dalam mengontrol eksploitasi sumberdaya alam yang diterapkan oleh banyak masyarakat adat di Maluku. Secara ilmiah, sasi memberikan jeda atau kesempatan bagi alam untuk memulihkan dirinya sebelum dimanfaatkan oleh manusia. Pembelakuan sasi biasanya dilakukan berdasarkan kesepakatan oleh semua unsur didalam masyarakat dan ditetapkan oleh pemuka adat. Pada Suku Nualu pemberlakuan sasi ditetapkan oleh kepala suku dan disepakati oleh semua marga. Sumberdaya hutan yang biasanya dikenakan sasi oleh Suku Nuaulu meliputi komoditas pala hutan, cengkeh hutan, cokelat, rotan, damar, serta kelapa. Sistem sasi terbukti memberikan keuntungan kepada Suku Nuaulu tidak hanya untuk menjaga kelestarian hutan, akan tetapi juga meningkatkan nilai jual produknya dipasaran. Karena produk yang dijual memiliki kecukupan usia atau tingkat kematangan yang optimal. Misalnya ketika musim panen pala hutan (biji pala & bunga pala), hampir setiap keluarga Suku Nuaulu yang berada di Desa Nuanea mendapatkan keuntungan yang cukup besar sehingga mampu membeli kendaraan bermotor roda dua. Namun kelestarian hutan yang dimiliki oleh Suku Nuaulu mulai terusik dengan diberikannya izin pengelolaan oleh pemerintah daerah kepada P.T Bintang Lima Makmur seluas 24.550 hektar. Bahkan wilayah hutan yang akan digarap oleh pihak swasta berada pada kawasan hutan larangan yang ditetapkan oleh Suku Nuaulu. Hal ini tentu saja tidak hanya berdampak pada keberlangsungan hidup dan penghidupan, akan tetapi juga ancaman bagi keberlangsungan tradisi adat yang dijalankan oleh Suku Nuaulu. Misalnya ada beberapa jenis pohon dalam bahasa

96


lokal dikenal sebagai pohon waruway, warunone, suppa, tatane, dan mune yang kulit kayunya digunakan oleh Suku Nuaulu untuk membuat pakaian adat, rumah adat, maupun alat musik yang digunakan untuk mengiringi prosesi adat. Eksploitasi pada hutan dikuatirkan akan menghancurkan pohon dan hewan yang biasanya digunakan dalam berbagai ritual adat Suku Nuaulu. Bukan hal yang mustahil jika ekosistem hutan dihancurkan, dan Suku Nuaulu tidak mendapatkan lagi hewan buruannya untuk memenuhi ritual adat, maka mereka bisa saja kembali pada tradisi sebelumnya yang menggunakan kepala manusia untuk memenuhi persyaratan ritual adat7. Berbagai upaya untuk mempertahankan hutan dari praktek eksploitatif yang dilakukan oleh swasta telah dilakukan oleh Suku Nuaulu. Mulai dari melakukan dialog dengan pemerintah daerah hingga menggalang dukungan dari majelis Lattu Patti (majelis raja-raja di Maluku). Namun pemerintah daerah dan pemerintah pusat tidak bergeming atas kebijakannya. Indikator-indikator pembangunan seperti pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, serta peningkatan pendapatan daerah lebih menarik bagi pemerintah ketimbang melihat hutan lestari dan menjadi penanda dari sebuah identitas adat yang telah dibangun sejak berabad-abad.

DITENGAH PUSARAN PERUBAHAN Walaupun dikenal sebagai suku yang keras kepala oleh berbagai komunitas di Maluku, namun bukan berarti Suku Nuaulu anti terhadap perubahan dan tidak melakukan adaptasi terhadap tantangan tersebut. Beberapa

7 Wawancara dengan Yohanes Balubun, Ketua AMAN Maluku pada tanggal 13 Maret 2016.

97


perubahan sudah mulai terjadi dalam kehidupan sosial Suku Nuaulu, baik dalam aspek pengelolaan sumberdaya hutan maupun dalam meningkatkan kapasitasnya untuk setara dengan masyarakat lainnya. Dimasa lampau, Suku Nuaulu umumnya hanya memanfaatkan hasil yang disediakan oleh hutan untuk kepentingan dirinya. Namun saat ini, kebutuhan hidup tidak hanya berupa pakaian dan makanan, namun juga mencakup kebutuhan lainnya seperti pendidikan dan kesehatan. Kondisi ini tentu saja mendorong setiap keluarga di Suku Nuaulu untuk tidak hanya bergantung dari apa yang disediakan oleh alam, akan tetapi juga berupaya untuk membudidayakan tanaman yang bersifat ekonomis untuk menunjang kebutuhan hidup dimasa yang akan datang. Upaya ini terus didorong oleh kepala Suku Nuaulu yang mulai berfikiran terbuka dalam meningkatkan kehidupan warganya tetapi dilakukan dengan cara-cara yang tidak merusak alam. Penambahan populasi Suku Nuaulu tentu saja memiliki dampak dan menjadi tantangan pada model-model pengelolaan sumberdaya hutan yang dijalankan berdasarkan praktek leluhur. Saat ini, banyak keluarga Suku Nuaulu sudah memiliki kebun yang dikelola oleh masing-masing keluarga yang ditanami dengan bermacam-macam varietas tanaman yang bernilai ekonomis. Walaupun dalam kesehariannya mereka masih menjadikan hutan sebagai tempat untuk memungut hasil hutan lainnya. Suku Nuaulu juga dikenal menjunjung tradisi dan hukum adat dalam kehidupan sosialnya. Jarang atau bahkan tidak pernah terdengar kasus-kasus kriminalitas yang terkait dengan kemerosotan moral sebagaimana yang dialami oleh masyarakat modern dewasa ini. Misalnya kasus pelecehan seksual, perzinahan, ataupun perkosaan. Dalam kehidupan Suku Nuaulu penghormatan terhadap perempuan sangat tinggi, bahkan tanpa disadari mereka mulai menerapkan prinsip –prinsip kesetaraan jender dalam relasi perempuan dan laki-laki. Misalnya dalam suatu keluarga, jika istrinya sedang dalam masa menstruasi dan berada didalam posune, terkadang suami melakukan

98


tugas pengasuhan pada anak-anak ataupun memasak makanan. Bahkan didalam relasi keluarga Suku Nuaulu dikenal sebutan “ipar pemali”, yaitu sebutan bagi perempuan atau laki-laki yang menikah dalam suatu keluarga. Anggota keluarga tidak diperbolehkan duduk disamping iparnya ataupun memasuki rumah secara sembarangan bila terdapat iparnya didalam rumah. Hal inilah yang menyebabkan hampir tidak pernah ditemukan kasus perselingkuhan ataupun asusila pada rumah tangga Suku Nuaulu. Jika seseorang terbukti berselingkuh maka dendanya sangat berat dan mustahil untuk dapat dipenuhi. Pembayaran denda tidak hanya dilakukan pada keluarga yang dirugikan akan tetapi juga pada kerabat dari keluarga lainnya. Denda yang harus dibayarkan tidak hanya berupa kain merah, akan tetapi juga piring batu yang besarnya hampir sama dengan ukuran pintu rumah, dan mustahil untuk ditemukan saat ini. Perubahan lainnya yang cukup signifikan adalah meningkatnya keinginan setiap keluarga Suku Nuaulu untuk menyekolahkan anaknya pada sekolah umum merupakan salah satu perubahan yang signifikan dalam kehidupan masyarakatnya. Pada masa lampau para pemuka adat maupun keluarga Suku Nuaulu sangat takut untuk menyekolahkan anaknya karena dapat menyebabkan mereka kehilangan identitas bahkan tradisi adat. Pada masa lampau ketika anak-anak Suku Nuaulu diminta untuk bersekolah, keluarganya banyak yang melarikan diri ke hutan untuk menghindari anaknya bersekolah. Hal ini menyebabkan banyak keluarga Suku Nuaulu tidak berpendidikan ataupun putus sekolah. Namun sejak tahun 1995, sudah banyak keluarga yang menyekolahkan anaknya. Bahkan ada yang sudah menjadi sarjana. Walaupun telah melakukan interaksi dengan komunitas lainnya, maupun mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, namun identitas sebagai Suku Nuaulu tetap dijalankan. Misalnya mengenakan ikat kepala merah bagi lakilaki dewasa. Tidak ada perasaan malu sebagai seorang Suku Nuaulu ketika mengenakan ikat kepala merah pada saat

99


berinteraksi dengan komunitas lainnya. Walaupun masih ada juga komunitas atau masyarakat yang memiliki pandangan lain ketika bertemu dengan Suku Nuaulu. Misalnya bagi anak-anak Suku Nuaulu yang bersekolah seringkali menerima ejekan bahwa mereka anak-anak yang tidak beragama dan suka menyembah batu. Hal ini tidak lantas mematahkan semangat mereka untuk tetap bersekolah. Kepala Suku Nuaulu bahkan mengajarkan bahwa semua agama selalu mengajarkan kebaikan, walaupun kami menyebut nama tuhan kami berbeda dengan agama lainnya namun dalam berdoa kami tidak pernah menyebut batu atau pohon sebagai tuhan kami. Upaya untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap Suku Nuaulu karena perbedaan keyakinan atau agama telah mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Salah satunya adalah sekolah. Saat ini pemberian nilai agama pada siswa Suku Nuaulu dikoordinasikan oleh pihak sekolah dan pemuka adat, dimana pemuka adat memberikan nilai agama pada siswa tersebut. Walaupun belum ada pengakuan secara resmi dari pemerintah terhadap agama suku atau agama asli, namun pendekatan dan perubahan kebijakan yang mengakomodasi dan tidak mendiskriminasi Suku Nuaulu menjadi sebuah oase untuk melestarikan adat di bumi Maluku. Selain persoalan pengeloaan sumberdaya hutan, tantangan lain yang dihadapi oleh Suku Naulu juga terkait dengan penyediaan dan akses terhadap layanan dasar yang sharusnya disediakan oleh pemerintah daerah. Pada lokakarya yang diselenggarakan oleh AMAN Maluku pada bulan juni tahun 2015 dengan melibatkan seluruh kampung Suku Nuaulu, diperoleh informasi bahwa masih banyak warga Suku Nuaulu yang belum tersentuh dengan program-program pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah daerah saat ini. Terutama warga Suku Nuaulu yang tersebar di Negeri Sepa. Misalnya program-program pemerintah yang terkait dengan penyediaan layanan pendidikan dan kesehatan. Beberapa kampung memiliki fasilitas pos pelayanan kesehatan, namun tidak memiliki tenaga kesehatan yang melayani kebutuhan warga. Dalam bidang pendidikan, masih banyak warga Suku Nuaulu

100


yang hidup diawah garis kemiskinan tidak memiliki akses untuk mendapatkan bantuan pendidikan. Kondisi ini tentu saja menjadi tantangan bagi pemerintah daerah dalam mengangkat harkat dan martabat Suku Nuaulu untuk sejajar dengan masyarakat lainnya8.

UU Desa & Peluang Melestarikan Tradisi Negeri Nuanea telah terbentuk sebelum penetapan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pembentukan Negeri Nuanea pada tahun 2008 menandai babak baru dalam perjuangan Suku Nuaulu untuk mengamankan hak kelola atas sumberdaya hutan dari serbuan pihak lain yang berusaha untuk melakukan eksplorasi. Sebagaimana telah diuraikan diatas, bagi Suku Nuaulu hutan bukan sekedar wahana untuk sumber makanan dan penghidupan, akan tetapi juga terkait dengan spiritualitas dan tradisi yang diwariskan oleh para leluhurnya. Dalam peraturan daerah tentang pembentukan Negeri Nuanea disebutkan bahwa dengan terbentuknya Negeri Nuanea maka secara otomatis petuanan atau wilayah adat yang dikelola oleh Negeri Sepa berkurang. Pembentukan Negeri Nuanea ini pada hakikatnya adalah menyatukan seluruh komunitas Suku Nuaulu yang masih tersebar di beberapa kampung yang berada di wilayah Negeri Sepa. Namun hingga hari ini, beberapa kampung Suku Nuaulu seperti Kampung Rohuna, Bonara, Latan, Hawalan, Tawanewane masih berada pada wilayah Negeri Sepa. Perkampungan Suku Nuaulu yang berada di Negeri Sepa seringkali kurang diperhatikan dalam perencanaan pembangunan yang dilakukan ditingkat negeri. Salah satunya adalah rencana pemberian konsesi pengelolaan 8 AMAN Maluku. 2016. Kertas Kebijakan Advokasi Masyarakat Adat Suku Nuaulu.

101


hutan yang selama ini dimanfaatkan oleh Suku Nuaulu kepada pihak swasta. Kondisi ini semakin diperburuk dengan tidak adanya warga Suku Nuaulu yang berada dalam birokrasi pemerintahan ditingkat negeri. Walaupun pemukiman Suku Nuaulu tersebar diantara Negeri Nuanea & Negeri Sepa, namun hal itu tidak memutus interaksi antara warga Suku Nuaulu. Terutama untuk melaksanakan tradisi ataupun ritual adat. Warga Suku Nuaulu yang berada di Negeri Sepa seringkali mengikuti kegiatan atau ritual adat yang dilakukan oleh warga Suku Nuaulu di Negeri Nuanea, demikian pula sebaliknya. Kondisi ini, mendorong para pemuka adat Suku Nuaulu untuk memperjuangkan kembali penyatuan wilayah adat Suku Nuaulu. Pasal 6 ayat 1 UU Desa secara tegas membagi desa atas desa dan desa adat. Selain itu, UU Desa juga mengakui kewenangan desa berdasarkan kewenangan asal usul yang selama ini telah dilaksanakan oleh Suku Nuaulu. Dalam bagian penjelasan, yang dimaksud dengan hak asal usul adalah hak yang merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa desa atau prakarsa masyarakat desa sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat antara lain sistem organisasi masyarakat adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat, tanah kas desa, serta kesepakatan dalam kehidupan masyarakat desa. Tradisi menjaga hutan dan melaksanakan adat merupakan kesepakatan yang dibangun oleh Suku Nuaulu diwilayah uluayatnya. Meskipun hukum adatnya tidak tertulis, namun terus dilaksanakan secara turun temurun dan diakui oleh masyarakat adat lainnya di wilayah Maluku. Hingga saat ini, Suku Nuaulu masih terus berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah daerah atas hak kelola sesuai dengan jaminan yang diberikan oleh undang undang. Jika pemerintah daerah tidak mengakui dan melindungi hak Suku Nuaulu, jangan salahkan mereka jika terpaksa mengambil kepala manusia untuk memenuhi prosesi adatnya9.

9 Wawancara dengan Yohanes Balubun, Ketua AMAN Maluku pada tanggal 13 Maret 2016

102


BAB VI MASYARAKAT ADAT SAWANG : DIAMBANG LEGENDA Masyarakat Adat Sawang (MAS) merupakan salah satu komunitas yang berada di wilayah Provinsi Bangka Belitung, selain Suku Lingge, Suku Juru, dan Suku Parak. MAS dahulu disebut sebagai Suku Laut (SL) oleh masyarakat setempat, karena kehidupan sehari-harinya lebih banyak dihabiskan diatas laut, bahkan suku ini dahulunya hidup dan beranak pinak diatas perahu (kulek). Dalam beberapa literatur yang secara khusus membahas suku laut atau yang dikenal dengan nama Orang Perahu Pengelana (Nomadic Boat People atau Sea Gypsie) disebutkan bahwa keberadaan mereka telah ada di semenanjung Riau sejak abad 10 masehi. Orang laut yang asli digambarkan hidup di atas perahu dalam kumpulan keluarga yang terdiri dari istri dan anak yang berjumlah 5- 6 orang. Mereka dikenal sebagai perenang yang mahir, penyelam yang unggul dan pelaut yang sangat handal. Mereka bahkan memiliki kemampuan untuk membuat perahu dan melengkapi dirinya dengan peralatan penangkap ikan senjata untuk memburu binatang di hutan yang berada pada pulau-pulau kecil disekitarnya. Biasanya hasil tangkapan dilaut dipertukarkan dengan kebutuhan lainnya seperti gula jawa, sagu dan biji bijian1. Para peneliti mengenai Orang Laut umumnya berpendapat bahwa pada hakikatnya mereka adalah orang yang cinta damai. Mereka jarang ke darat karena pada dasarnya mereka takut terhadap kehidupan di darat, baik pada rampok maupun penyakit. Walaupun pada akhirnya ada sebagian orang laut yang kemudian menetap di daratan, namun umumnya mereka terikat pada kebiasan dan cara hidup di laut. Orang Laut asli memiliki kebiasaan untuk 1 Sujitno Sutedjo. 1996. Sejarah Timah Indonesia. Penerbit Gramedia.

103


membatasi perjalanan di darat, apalagi jika daratan yang akan dilalui sangat jauh dari laut. Kalaupun terpaksa melewati daratan, mereka akan berjalan secara bergerombol dan sengaja berbicara dengan keras sepanjang perjalanan dengan maksud untuk mengusir setan. Penamaan masyarakat setempat terhadap orang laut juga cukup beragam. Misalnya ada yang menyebutnya sebagai Suku Laut atau "Suku Sekak". Penamaan atau penyebutan sebagai Sekak seringkali menimbulkan ketidaksenangan atau kemarahan pada MAS karena memiliki konotasi yang merendahkan sebagai masyarakat yang dianggap masih primitif atau terbelakang. Bahkan dalam beberapa penuturan, ucapan Sekak seringkali juga dikonotasikan dengan sesuatu yang buruk atau jelek yang melekat pada keseharian kehidupan MAS. Misalnya kebiasaan mereka yang kurang menjaga kebersihan, hidup konsumtif atau boros, berbicara dengan suara yang keras, mabuk-mabukan, dan lain-lain. Ungkapan seperti "Sekaklah Kau" semakin mengukuhkan stigma terhadap MAS. Bahkan tidak jarang mereka juga disebut sebagai keturunan lamun atau bajak laut2. Sebab dan siapa yang memulai penyebutan MAS sebagai Sekak juga tidak diketahui dengan pasti. Namun menurut dialog dengan seorang warga keturunan MAS di Tanjung Pandan, penyebutan Sekak dilakukan oleh orangorang Belanda yang bekerja di perusahaan timah yang artinya gagah atau tegap3. Beberapa orang juga menuturkan bahwa penyebutan Sekak sebenarnya merujuk pada kebiasaan MAS yang suka menyelam dalam mengambil hasil laut tanpa mengunakan alat pelindung, hal ini menyebabkan banyak warga MAS yang menderita pekak atau tuli. Warga MAS sendiri lebih menyukai mereka disebut sebagai Sawang ketimbang sebagai Suku Laut atau Sekak. Arti

2 Panggil Saja Kami Orang Sawang, Kompas Tanggal 22 Januari 2010. 3 Wawancara dengan Bapak Imansyah tanggal 12 Agustus 2015 di Tanjung Pandan.

104


sawang sendiri juga tidak bersifat tunggal, ada yang mendefinisikannya sebagai laut atau orang yang hidup di laut, perasaan mual ketika sedang diayun oleh ombak, bahkan perasaan takut / kengerian terhadap keganasan lautan4. Andrea Hirata dalam novelnya yang populer, Laskar Pelangi, melukiskan MAS sebagai berikut : Kita telah lama bersekutu dengan orang-orang Sawang. Mereka adalah pelaut ulung yang hidup di perahu. Suku itu berkelana dari pulau-ke pulau. Di teluk Balok leluhur kita menukar pelanduk, rotan, buah pinang, dan damar dengan garam buatan wanita-wanita Sawang5. Selain kontroversi dalam penamaan MAS yang

beragam di masyarakat, aspek lain yang memicu

keingintahuan adalah dari mana sebenarnya MAS berasal ? Dalam berbagai literatur dan penelitian yang dilakukan oleh beberapa antropolog, setidaknya berhasil diidentifikasi beberapa kelompok masyarakat yang memiliki ciri hidup dan kehidupan seperti MAS yang hidup disepanjang perairan Provinsi Riau & Bangka Belitung. Misalnya Suku Bajo yang hidup di perairan Sulawesi & Philippina, serta Suku Moken yang hidup di perairan sebelah barat Myanmar sampai ke Malaysia. Antorpolog maritim Universitas Tokyo, Akifumi Iwabuchi berpendapat bahwa Suku Moken & MAS memiliki kedekatan, terutama ditinjau dari kebiasaan dan tradisi yang sampai saat ini masih dilakukan. Misalnya dalam tradisi sedekah laut, membuat replika kapal yang diisi dengan aneka makanan yang dilarung ke laut pada waktu tertentu. Selain itu, secara geografis pesisir barat Myanmar sampai ke Belitung merupakan jalur pelayaran internasional di masa lampau. Jalur pelayaran ini dipercaya digunakan sebagai jalur 4 Wawancara dengan warga MAS di Belitung Timur ( Bpk Daud Punyok & Bpk Effendi alias Jipen) dan Tanjung Pandan (Bpk Imansyah). 5 Herson Kadir. 2013. Ekpresi Pandangan Dunia Kelompok Sosial Pengarang dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Jurnal Litera vol 12

No 1.

105


migrasi Suku Moken6. Pendapat berbeda dikemukakan oleh beberapa warga MAS yang menyebutkan bahwa asal usul mereka berasal dari Kepulauan Riau, karena dialek bahasa dan seni budaya yang memiliki kemiripan dengan beberapa seni budaya di Riau7. Sementara itu, ada juga yang mengatakan dari penuturan orang tuanya, MAS berasal dari Kepulauan Zulu di Philippina yang karena kematian kepala suku dalam proses migrasi menyebabkan mereka terpencar ke berbagai wilayah di Indonesia. Misalnya di Provinsi Riau & Bangka Belitung8. Klasifikasi MAS saat ini dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang pernah dilahirkan dan hidup diperahu dan kelompok yang lahir dan besar di darat. Masyarakat Adat Sawang yang pernah hidup dilaut sebagian besar memiliki pasangan dari MAS, sedangkan yang dilahirkan dan dibesarkan didarat banyak yang menikah dengan suku lain. Kondisi ini, seringkali juga digunakan untuk mengklasifikasi MAS yang masih asli (menikah sesama MAS dan pernah hidup diperahu) dan MAS yang sudah tidak asli lagi (menikah dengan suku lain, tidak hidup dan dibesarkan diperahu)9.

6

Djulianto Susantio. Suku Sekak yang Terancam Punah. diakses melalui situs https://hurahura.wordpress.com/2012/07/15/suku-sekak-yangterancam-punah/ pada tanggal 13 Agustus 2015.

7 Wawancara dengan Bapak Daud Punyok di Desa Selingsing, Kecamatan Gantong, Tanggal 11 Agustus 2015. 8 Wawancara dengan Bapak Ismansyah di Tanjung Pandan Tanggal 12 Agustus 2015. 9 Wawancara dengan Bapak Samsuri, warga MAS di Jurusan Sebrang, Tanjung Pandan pada tanggal 12 Agustus 2015.

106


Adaptasi Sosial Sebagaimana telah diulas pada paragraf awal, kehidupan MAS lebih banyak dihabiskan dilaut, terutama untuk mencari hasil laut yang bernilai ekonomi sebagai bahan pangan atupun untuk ditukar dengan kebutuhan hidup lain didaratan. Selain ikan, hasil laut yang cukup bernilai untuk ditangkap adalah teripang yang cukup banyak di perairan Kepulauan Bangka & Belitung. Proses pertukaran atau menjual hasil laut inilah yang menjadi aktivitas dalam interkasi antara MAS dengan masyarakat lain. Berikut ini adalah penuturan bapak Samsuri seorang warga MAS yang pernah menghabiskan sebagian besar hidupnya diatas perahu. Saya lahir dan besar di laut. bahkan jika perahu merapat didarat, setelah selesai berurusan di darat, kembali lagi di perahu. Makan, tidur, mandi di perahu. Saat kecil bukan ibu bapak saya yang mengayun, ombak yang selalu menidurkan saya diperahu10. Ukuran perahu yang digunakan oleh MAS sebagai rumah di atas laut cukup besar. Panjang perahu dapat mencapai 6-7 meter dengan lebar sekitar 1,5-2 meter. Perahu ini dapat ditinggali oleh 5-10 orang. Saat ini, MAS sudah tidak lagi hidup dan tinggal di perahu, dan telah tinggal didarat. Beberapa warga MAS masih menekuni mata pencaharian sebagai nelayan, akan tetapi sebagian besar warga MAS telah beralih profesi pada pekerjaan lain. Alih profesi ini selain disebabkan karena tidak dimiliknya alat produksi, juga disebabkan masuknya pertambangan timah di Kepulauan Bangka & Belitung.

10 Wawancara dengan bapak Samsuri warga MAS Jurusan Sebrang, Tanjung Pandan pada tanggal 12 Agustus 2015.

107


Menurut penuturan beberapa sumber, perusahaan penambangan timah yang dikelola oleh Belanda pada saat itu membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar, terutama untuk proses pembongkaran, pengemasan, serta pengangkutan timah. Salah satu alasan perusahaan mempekerjakan MAS adalah karena memiliki fisik yang tangguh, berbadan tegap, menurut pada atasan, serta tidak pernah mengeluh dalam bekerja. Walaupun jam kerjanya dari pagi sampai malam hari. MAS juga dipekerjakan dalam membangun beberapa infrastruktur yang mendukung operasionalisasi penambangan timah. Misalnya dalam pembangunan bendungan PICE yang berfungsi untuk memudahkan operasi kapal keruk dalam penambangan timah. Bendungan ini sampai sekarang masih berfungsi dan direvitalisasi penggunaannya untuk mendukung sektor pertanian oleh pemerintah daerah. Perusahaan timah bahkan memberikan tempat tinggal, pangan, sandang, serta gaji kepada MAS yang bekerja. Jumlah gaji yang diberikan tidak diketahui dengan pasti, namun disebutkan hanya sekitar beberapa sen setiap bulannya11. Sejarah pertambangan timah di Kepulauan Bangka & Belitung telah berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Setidaknya ada beberapa perusahaan yang dimiliki oleh Belanda yang melakukan penambangan di Pulau Bangka, Singkep, Belitung, Karimun dan Kundur. Penambangan timah yang dikelola oleh badan usaha pemerintah kolonial Belanda dilakukan di Pulau Bangka oleh Banka Tin Winning Bedrift (BTW). Penambangan timah di Pulau Belitung dilakukan oleh perusahaan swasta Belanda, Gemeenschappelijke Mijnbouw Maatschappic Billiton (GMB). Sedangkan penambangan timah di Pulau Singkep dikelola oleh perusahaan swasta Belanda lainnya, NV Singkep Tin Exploitatie Maatschappic (NV SITEM). Ketiga perusahaan tersebut dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia pada

11 Wawancara dengan Bapak Daud Punyok di Desa Selingsing, Kecamatan Gantong, Tanggal 11 Agustus 2015.

108


tahun 1953-1958 menjadi perusahaan negara. Pada tahun 1968 seluruh unit dari ketiga perusahaan tersebut dikonsolidasikan menjadi Perusahaan Negara Tambang Timah12. Berdasarkan penuturan warga MAS yang masih hidup, keterlibatan MAS dalam pertambangan timah telah dimulai semenjak dimulai penambangan dalam skala yang besar. Perusahaan swasta Belanda GMB mulai beroperasi dalam penambangan timah di Belitung pada tanggal 15 November

1860. Pengoperasian perusahaan yang

membutuhkan banyak tenaga kerja menyebabkan GMB mendatangkan pekerja dari negeri Tiongkok (dikenal dengan nama Cina Kuncit) hingga tahun 1866. Dikatakan Cina Kuncit oleh masyarakat setempat merujuk pada penampilan mereka yang memiliki rambut dikepang dibagian belakang, sedangkan sebagian kepala dibagian depan dicukur plontos. Catatan sejarah menyebutkan, jumlah pekerja dari Tiongkok yang bekerja di Belitung sebanyak 2.724 orang. Sampai saat ini keturunan dari Cina Kuncit banyak kita temukan diwilayah Kepulauan Bangka & Belitung. Sekitar awal abad ke 20, kapal keruk (emmer bagger) mulai dioperasikan dalam penambangan timah. Untuk mengefektifkan penggunaan kapal keruk dalam penambangan timah, maka dibangun bendungan PICE pada tahun 1928-1936. Bendungan PICE diresmikan oleh pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 193713. Keterlibatan MAS dalam pertambangan timah, kebanyakan dipekerjakan sebagai buruh atau kuli angkut bagi laki-laki, sedangkan untuk perempuan dipekerjakan untuk menjahit karung yang digunakan untuk mengemas timah. Masing-masing karung, beratnya dapat mencapai 50 Kg14. Walaupun MAS banyak yang telah bekerja di daratan, namun mereka tetap tinggal pada perahu-perahu yang ditambatkan di sekitar sungai. 12 Profil P.T Timah diakses melalui situshttp://www.timah.com/v2/ina/tentang-kami/ pada tanggal 13 Agustus 2015 13 Balai Pelestarian Nilai Budaya Tanjung Pinang. 14 Wawancara dengan Ibu Tatung, seorang warga MAS yang pernah bekerja di Perusahaan Timah.

109


Keterlibatan MAS dalam penambangan timah tidak hanya terjadi pada era kolonial Belanda, akan tetapi juga berlanjut ketika perusahaan tersebut dinasionalisasi menjadi PN Tambang Timah. Salah satu bukti yang dapat dilihat adalah adanya pemberian lahan pemukiman khusus (berupa bedeng) oleh PN Tambang Timah kepada warga MAS. Penempatan warga MAS sebagai buruh atau kuli angkut tidak hanya disebabkan oleh fisik mereka yang kuat dibandingkan etnis lainnya, akan tetapi juga karena kapasitas pengetahuan mereka yang tidak memadai atau rendah.

Hingga saat ini, masih banyak warga MAS yang belum lancar membaca dan menulis, serta tidak

menamatkan pendidikan dasar setingkat SD. Kondisi ini menyebabkan mobilitas vertikal MAS dalam strata sosial cenderung tidak membaik, dan berada pada posisi yang marjinal dalam struktur sosial.

110


Grafik 17. Tingkat Partisipasi Sekolah Masyarakat Adat Sawang

45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Belum Sekolah

Masi Sekolah

Tidak Bersekolah Lagi Laki-Laki

Putus Sekolah

Tidak Sekolah

Perempuan

Sumber : Profil Penerima Manfaat Program Peduli

111


Anak-anak MAS yang menamatkan pendidikan sampai pada tingkat SMP dan SMU dapat dihitung dengan jari. Pun setelah menamatkan pendidikan setingkat SMU, mereka masih kesulitan dalam menemukan pekerjaan. Berdasarkan penuturan beberapa anak yang ditemui di pemukiman MAS, mereka sering menyebut perasaan rendah diri (minder) atau inferior dengan warga masyarakat lainnya dalam pergaulan. Rata-rata pada usia sekolah setingkat SD-SMP, mereka telah putus sekolah dan terjun ke dunia kerja15. Masa-masa kejayaan dalam penambangan timah hingga tahun 1992 diduga menjadi penyebab anak-anak MAS rela meninggalkan bangku sekolah dan terlibat dalam penambangan timah tradisional atau bekerja sebagai kuli angkut di P.T Timah. Walaupun dimasa lampau juga ditemukan banyak warga MAS yang tidak mau atau enggan bersekolah, karena lebih banyak menghabiskan hidupnya untuk mengikuti orang tuanya di laut. Pada saat kejayaan timah, harga 1 Kg timah dapat mencapai Rp.100.000. Apalagi dalam sehari mereka rata-rata dapat mendapatkan 2-3 Kg timah. Pendapatan yang cukup tinggi dimasa kejayaan timah, menyebakan anak-anak MAS enggan bersekolah. Selain itu, pendapatan yang cukup tinggi dalam usaha penambangan timah menyebabkan pola konsumsi MAS juga mengalami perubahan. Misalnya mulai muncul kebiasaan mengkonsumsi minuman keras, berjudi, membeli kendaraan ataupun perangkat mewah yang sebenarnya kurang dibutuhkan. Tidak jarang mereka juga berhutang untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga masyarakat suka menganggap MAS sebagai masyarakat yang boros atau konsumtif. Bahkan warga MAS jarang atau tidak memiliki kemampuan dalam pengelolaan uang. Misalnya tidak ada pengaturan uang yang ditabung atau dibelanjakan. Sebagian besar pendapatan yang didapatkan dalam 1 hari, seketika juga habis dibelanjakan. Kebiasaan ini diduga memiliki kaitan dengan kebiasaan MAS yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Dalam pemikiran mereka hasil laut selalu tersedia, sehingga 15 Wawancara dengan Bapak Effendi atau Jipen, warga MAS di Desa Selingsing, Kecamatan Gantong pada tanggal 10 Agustus 2015.

112


dapat diambil sewaktu-waktu dan langsung dijual untuk mendapatkan uang. Proses ini juga menyebabkan pekerjaan yang diminati oleh MAS adalah pekerjaan yang hari itu juga harus dibayar16. Saat ini, pekerjaan yang masih ditekuni oleh lelaki MAS adalah sebagai kuli angkut atau bongkar muat timah, bongkar muat pasir, menjadi nelayan dan nelayan musiman, penambang timah ilegal, serta pekerjaan harian lainnya yang mengandalkan tenaga. Sedangkan pekerjaan yang ditekuni oleh wanita MAS adalah mencari jambu mete, menjadi pemulung barang bekas, buruh cuci piring pada penyelenggaraan pesta, serta mencari siput atau kerang. Upah yang didapatkan memang tidak cukup besar dari pekerjaan harian tersebut, karena proses pengolahannya masih sederhana dan biasanya dikerjakan secara berkelompok17.

Menuju Integrasi Sosial Sebagaimana telah diulas pada bagian sebelumnya, interaksi MAS secara intensif dengan masyarakat lainnya lebih banyak terjadi ketika mereka terlibat sebagai tenaga kerja di penambangan timah. Bahkan disinyalir jumlah MAS pada saat itu cukup besar. Menurut Salim Yah seorang guru dan penulis sejarah Belitung, populasi penduduk Belitung menurut Staat van de bevolking op Billiton yang dikeluarkan pada tahun 1851 adalah sebesar 5.564 jiwa. Komposisi penduduknya terdiri dari 3531 jiwa orang Belitung, 1654 jiwa MAS, 351 jiwa orang melayu, dan 28 orang

16 Wawancara dengan Bapak Samsuri, warga MAS di Desa Juru Sebrang, Tanjung Pandan pada tanggal 12 Agustus 2015. 17

Wawancara dengan Fikri & Riska, Pendamping Lapangan Program Peduli di Desa Selingsing, Kecamatan Gantong pada tanggal 11 Agustus

2015.

113


Tionghoa. Saat ini populasi MAS yang tersebar di Tanjung Pandan & Belitung Timur sangat kecil. Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh pemerintah Desa Selingsing, MAS di Belitung Timur berjumlah 171 jiwa, sedangkan di Tanjung Pandan hanya sekitar 30-40 kepala keluarga. Tidak diketahui dengan pasti, sebab penurunan populasi MAS di Kepulauan Bangka & Belitung. Menurut beberapa sumber, maraknya pernikahan antara MAS dengan suku lainnya sebagai salah satu sebab memudarnya tradisi atau hilangnya identitas MAS. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa tingkat kematian bayi dan ibu melahirkan yang cukup tinggi dimasa lampau sebagai sebab menurunnya populasi MAS. Hal ini dikuatkan dengan penuturan beberapa warga MAS bahwa sebagian besar proses persalinan dilakukan diatas perahu dan hanya dibantu oleh dukun yang berasal dari kalangan mereka18. Fungsi dukun dalam MAS hampir serupa pada masyarakat adat lainnya, yaitu sebagai tabib dalam pengobatan dan memimpin ritual adat. Beberapa peristiwa interaksi sosial antara MAS dengan masyarakat lainnya, juga dipengaruhi oleh intervensi pemerintah. Sebagaimana masyarakat adat lainnya, MAS menganut kepercayaan pada hal-hal gaib dan leluhur yang memiliki pengaruh pada kehidupan mereka. Mereka tidak memeluk agama seperti yang dianut oleh penduduk kebanyakan. Pada sekitar tahun 1970an pemerintah Kabupaten Belitung mengislamkan dan memukimkan MAS di suatu pemukiman khusus di Tanjung Pandan. Pemukiman tersebut dikenal sebagai Kampung Laut. Namun saat ini, warga MAS yang masih tinggal di Kampung Laut tinggal sedikit, sebagian besar mereka pindah ke Kampung Jurusan Sebrang yang cukup jauh dari Tanjung Pandan. Pembentukan pemukiman khusus ini karena MAS terbiasa tinggal secara berkelompok. Bahkan sampai saat ini, di Kabupaten Belitung Timur, MAS tinggal dalam satu lokasi yang

18 Wawancara dengan Bapak Imansyah, warga MAS di Tanjung Pandan, pada tanggal 12 Agustus 2015.

114


diberikan oleh P.T Timah. Proses islamisasi terhadap MAS dilakukan pada masa Bupati Belitung dijabat oleh H.A.S Hanandjoeddin yang merupakan bupati pertama Kabupaten Belitung. Proses islamisasi ini ditandai dengan sunatan masal pada laki-laki MAS19 . Walaupun sebagian besar warga MAS telah memeluk islam, namun dalam kesehariannya mereka masih mempertahankan tradisi leluhur. Hal ini tampak dari masih dipertahankannya tradisi atau ritual adat seperti pemberian sesajen, pemanggilan roh untuk meminta rezeki, ataupun untuk mendapatkan hasil laut yang melimpah. Salah satu ritual adat yang masih dilakukan sampai saat ini adalah tradisi Buang Jong (melarung perahu yang berisi sesajen ke laut). Tradisi ini dipercaya telah dilakukan oleh MAS sejak lama. Saat ini ritual Buang Jong telah menjadi kalender tahunan pariwisata yang didukung oleh pemerintah Kabupaten Belitung Timur. Tradisi ini merupakan salah satu aspek yang menunjukkan pengakuan pemerintah dan masyarakat terhadap budaya dan nilai-nilai yang masih dipegang oleh MAS. Walaupun demikian, dalam aspek lainnya MAS masih berada dalam kondisi yang subordinat dan marjinal dari proses pembangunan. Hal ini dideskripsikan juga oleh Andrea Hirata dalam novel Laskar Pelangi sebagai berikut : Orang Sawang senang sekali memarjinalkan diri sendiri. Itulah sifat alamiah mereka. Bagi mereka hidup ini hanya terdiri dari mandor yang membayar mereka setiap minggu dan pekerjaan kasar yang tank sanggup dikerjakan suku lain. Mereka tak memahami konsep aristokrasi, karena kultur mereka tak mengenal power distance. Orang yang tak memaklumi hal ini akan menganggap mereka tak tahu tata krama. satu satunya manusia terhormat diantara mereka adalah sang kepala suku, seorang shaman sekaligus dukun, dan jabatan itu sama sekali bukan hereditas20. 19 Wawancara dengan Bapak Samsuri, warga MAS di Tanjung Pandan, pada tanggal 12 Agustus 2015. 20 Herson Kadir. 2013. Ekpresi Pandangan Dunia Kelompok Sosial Pengarang dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Jurnal Litera vol 12 No 1.

115


Walaupun seringkali mendapatkan pandangan dari masyarakat tentang kondisi kehidupan mereka yang marjinal, MAS dikenal sebagai pekerja keras dan setia kawan. Pernah suatu ketika ada seorang warga MAS yang ditahan oleh polisi karena diduga terlibat perkelahian. Seketika seluruh warga MAS berbondong-bondong menuju ke kantor polisi untuk meminta membebaskan warganya tersebut, jika tidak dilakukan maka mereka juga minta untuk ditahan. Selain itu, dimasa lampau seringkali ada prasangka masyarakat terhadap MAS yang membuatnya rentan dalam hubungan sosial. Misalnya jika terjadi kehilangan di suatu lingkungan dan kebetulan pada saat yang sama terdapat MAS, maka warga MAS tersebut seringkali mendapat tuduhan sebagai pelaku kejahatan.21 Dalam novel Laskar Pelangi dilukiskan bahwa MAS bukanlah orang yang suka melibatkan diri dengan urusan orang lain dan tidak pernah memiliki masalah dengan hukum sebagai berikut : Tak ada kepelitan mengalir dalam pembuluh darah orang Sawang. Sejarah menunjukkan bahwa orang-orang Sawang memiliki integritas, mereka hidup eksklusif dalam komunitasnya sendiri, tak usil dengan urusan orang lain, memiliki etos kerja yang tinggi, jujur, dan tak pernah berurusan dengan hukum. Lebih dari itu mereka tak pernah lari dari utang-utangnya.22 Dimasa lampau, dalam interaksi sosial dengan masyarakat setempat ada beberapa aspek yang menyebabkan kerenggangan dalam proses interaksi antara MAS dengan masyarakat setempat. Misalnya kebiasaan MAS yang jarang mandi, agak jorok dalam hal kebersihan, serta seringkali mengkonsumsi beberapa hasil laut dalam kondisi

21 Wawancara dengan Eko. Staff LPMP AMAIR 22 Herson Kadir. 2013. Ekpresi Pandangan Dunia Kelompok Sosial Pengarang dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Jurnal Litera vol 12

No 1.

116


mentah. Hal ini menyebabkan MAS seringkali mendapatkan prasangka yang negatif.23 Salah satu proses integrasi sosial yang cukup menarik antara MAS dengan suku lainnya adalah pernikahan. Dimasa lampau, MAS hanya menikah dengan sesama MAS yang diresmikan oleh ketua adat/ kepala suku. Semenjak proses islamisasi, pernikahan secara adat yang disaksikan oleh kepala adat tidak lagi dilakukan, dan seluruh pernikahan harus dilakukan dihadapan penghulu dari KUA. Pernikahan adat MAS sebenarnya merupakan proses yang sederhana, dimana jika ada laki-laki yang tertarik pada calon mempelai perempuan, maka calon pengantin laki-laki bersama orang tuanya tinggal mendatangi perahu calon mempelai perempuan disaksikan oleh ketua adat. Sebelum mengesahkan pernikahan, ketua adat / kepala suku menanyakan kepada kedua mempelai apakah keinginan menikah berasal dari diri mereka sendiri? apakah sanggup memberikan nafkah dan sanggup mengganti biaya pernikahan 2 kali lipat jika salah satu dari calon mempelai ingin bercerai. Jika prosesnya berjalan dengan lancar, maka pemuka adat mengesahkan dan mengumumkan pada warga MAS lainnya bahwa kedua mempelai telah sah sebagai suami-isteri. Kesanggupan dalam mengganti biaya pernikahan (kain, uang, dll) sebanyak 2 kali lipat, jika ingin bercerai menyebabkan tingkat perceraian dapat dikatakan sangat kecil.24 Di lokasi pemukiman MAS di Desa Selingsing, tercatat warga MAS telah menikah dengan beberapa etnis lain seperti melayu, palembang, bahkan ada yang berasal dari jawa. MAS dianugerahi fisik yang kuat dan tangguh. Keunggulan ini tidak hanya bemanfaat untuk mencari pekerjaan, akan tetapi juga dimanfaatkan untuk olah raga. Banyak anak-anak MAS yang menjadi atlet yang mewakili daerah pada berbagai bidang olah raga. Misalnya dalam bidang sepak bola. Klub sepak bola yang didominasi oleh 23 Wawancara dengan bapak Daud Punyok di Desa Selingsing, Gantong pada tanggal 11 Agustus 2015. 24 Wawancara dengan Ibu Tatung di Desa Jurusan Sebrang, Tanjung Pandan, pada tanggal 12 Agustus 2015.

117


warga MAS sering menjuarai turnamen baik ditingkat kabupaten maupun provinsi. Klub sepak bola yang dinamakan MAS Gantong (SSG) merupakan salah satu tanda bahwa mereka cukup percaya diri dalam berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Selain itu, masyarakat dari etnis lainnya juga terlibat dalam klub SSG. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya penerimaan masyarakat cukup tinggi terhadap MAS. Salah satu aspek yang mengancam keberadaan MAS adalah kemampuan mereka dalam melestarikan bahasa asli. MAS yang bermukim di Desa Selingsing, Kecamatan Gantong hanya menyisakan sekitar 4 orang yang dapat berbahasa MAS. Sedangkan MAS yang bermukim di Tanjung Pandan juga hanya menyisakan beberapa orang tua yang mampu berbahasa asli. Menurut penuturan Bapak Samsuri, pada masa lampau, bahasa asli MAS tidak hanya digunakan oleh MAS, akan tetapi juga etnis / suku lain dalam berkomunikasi dengan MAS. Etnis Tionghoa tercatat sebagai salah satu etnis yang cukup banyak menguasai bahasa asli MAS pada saat itu. Anak-anak MAS saat ini, sudah tidak dapat berbahasa asli. Hal ini karena merasa malu jika berbahasa asli di depan umum akan terungkap identitasnya sebagai MAS atau orang laut. Dalam beberapa wawancara juga terungkap bahwa pada masa lampau seringkali ada ejekan kepada anak-anak MAS di sekolah ketika berbicara dalam bahasa asli, bahkan ada guru yang melarang percakapan dalam bahasa asli. Kondisi ini menyebabkan anakanak MAS akhirnya hanya menggunakan bahasa melayu dalam percakapan sehari-hari. Persoalannya adalah bahasa asli ini mempunyai kaitan dengan sejumlah tradisi / ritual adat yang harus dilakukan dalam bahasa asli. Misalnya dalam ritual Buang Jong, upacara kematian, maupun tradisi budaya bernyanyi sambil berpantun. Tradisi Buang Jong merupakan ritual tahunan yang dilakukan oleh MAS setiap tahunnya. Tradisi Buang Jong bagi masyarakat MAS memiliki arti tidak hanya sebagai rasa syukur agar diberikan kemudahan dan keselamatan

118


saat melaut, akan tetapi juga untuk menghormati para leluhur yang telah meninggal dunia. Oleh sebab itu, dalam prosesi Buang Jong ada prosesi memanggil dan mengantarkan roh leluhur. Ibu Baidah salah satu penutur asli MAS mengucapkan mantra untuk memanggil leluhur dalam bahasa asli sebagai berikut : Dituntun jengan.. palakon-lakon...dituntun jengan... palako deko..., baliko sadeko tus....(artinya supaya para leluhur tenang di alam sana dan memberikan perlindungan bagi anak cucu yang masih hidup didunia). Terkadang dalam proses pemanggilan ini sering terjadi proses kerasukan (masuknya roh).25 Bagi MAS, tradisi Buang Jong juga merupakan kesempatan untuk menunjukkan identitas kekayaan budayanya. Misalnya sajian tari-tarian seperti campak laut, kuda dareng, sampan geleng, prosesi jitun, serta tradisi Meloncong (menyanyi sambil berbalas pantun) yang dapat dilakukan semalam suntuk. Tradisi Meloncong merupakan salah satu tradisi penting dalam kebudayaan MAS yang tidak hanya digunakan dalam Buang Jong, akan tetapi juga dalam proses kematian yang melantunkan syair pantun tentang kebaikan seseorang semasa hidup, maupun dalam pergaulan sehari hari.

25 Wawancara dengan Ibu Badariah warga MAS di Desa Selingsing, Gantong pada tanggal 10 Agustus 2015.

119


Gambar 4. Prosesi Buang Jong oleh Masyarakat Adat Sawang

120


Pelaksanaan Buang Jong biasanya dilakukan setiap bulan februari. Persiapan kegiatan hingga pelaksanaan Buang Jong dapat memakan waktu sampai 3 minggu. Prosesi ini diawali dengan pencarian kayu yang secara khusus digunakan untuk membuat replika perahu, pembuatan replika perahu, penyiapan sesajen, prosesi larung, hingga melarung perahu ke laut. Seluruh ritual ini dipimpin oleh dukun yang menggunakan bahasa asli MAS. Saat ini, satu satunya dukun MAS yang masih hidup berada di Tanjung Pandan dan telah berusia sekitar 75 tahun. Jika tidak ada yang dapat mewarisi atau menguasai bahasa asli MAS, maka dikuatirkan tradisi ini nantinya hanya dapat diceritakan kepada generasi berikutnya dan identitas budaya yang tersisa dari MAS hanya tinggal legenda. Kekuatiran lain terhadap identitas MAS adalah memudarnya tradisi sebagai pelaut atau nelayan. Hingga saat ini, MAS yang bermukim di Desa Selingsing, Kecamatan Gantong sudah tidak lagi bergantung pada laut, dan hanya pada musim-musim tertentu saja mereka melaut. Sedangkan, MAS yang berada di Jurusan Sebrang, Tanjung Pandan, sebagian besar masih menggantungkan hidupnya sebagai nelayan. Walaupun demikian, tidak semua keluarga MAS memiliki perahu sebagaimana di masa lampau. Banyak keluarga MAS menyewa perahu untuk melaut, sementara hasil dilaut tidak menentu. Kondisi ini menyebabkan mereka banyak yang hidup dalam kemiskinan atau terjebak dalam perangkap kemiskinan. Ketidakmampuan MAS dalam menegosiasikan kepentingannya seringkali menyebabkan mereka selalu tersisih dalam mengakses program pembangunan. Misalnya ketika ada program pemerintah untuk pembagian perahu, mereka justru tidak mendapatkan bantuan tersebut. Bahkan seringkali mereka dimanfaatkan untuk kepentingan proyek pembangunan yang manfaatnya kurang dirasakan oleh MAS. Memudarnya identitas MAS sebagai pelaut dikuatirkan oleh bapak Daud Punyok sebagai berikut : Jangan ada laut, orang laut nggak ada. Sebab benua atau pulau dikelilingi oleh laut. Orang laut harus tetap ada.26 26 Wawancara dengan bapak Daud Punyok di Desa Selingsing, Gantong pada tanggal 11 Agustus 2015.

121



BAB VII PENUTUP

Walaupun konstitusi telah memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat, namun dalam kesehariannya masih ditemui marginalisasi yang dilakukan oleh negara maupun masyarakat terhadap masyarakat adat. Marjinalisasi terhadap masyarakat adat tidak hanya dilakukan dengan melakukan pengingkaran terhadap hak hidup dan hak kelola terhadap sumberdaya alam, akan tetapi juga dalam bentuk diskriminasi dan belum dipenuhinya hak hak-hak dasar sebagai warga negara. Program Peduli sebagai salah satu inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat sipil untuk mendorong gerakan inklusi di Indonesia, masih menemukan berbagai praktek yang dilakukan oleh negara maupun masyarakat yang mengekslusi keberadaan masyarakat adat. Misalnya dalam pengakuan terhadap budaya dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat adat ataupun pemberian dokumen kependudukan yang memudahkannya mengakses program atau layanan dasar yang disediakan oleh pemerintah. Tidak jarang negara justru gagal dalam melindungi kepentingan masyarakat adat, terutama dalam menjamin keberlangsungan masyarakat adat yang selama ini memanfaatkan sumberdaya alam sebagai ruang hidup dan ekosistem penting dalam kehidupannya. Misalnya Masyarakat Adat Nuaulu di Maluku Tengah dan Orang Rimba yang berjuang mempertahankan hutan dari serbuan perusahaan-perusahaan perkebunan besar. Dalam konteks ini, patut diduga bahwa negara telah melakukan pelanggaran terhadap hak hidup pada msayarakat adat yang seharusnya dijamin oleh konstitusi dan undang-undang yang terkait dengan hak asasi

122


manusia. Pemerintah memang memberikan berbagai program untuk meningkatkan penghidupan masyarakat adat, hanya saja bentuk bantuan dan program yang diberikan lebih bersifat karitatif. Pendekatan pemberdayaan dalam meningkatkan kapasitas masyarakat adat, seringkali belum disesuaikan dengan potensi dan kapasitas yang dimiliki. Sehingga, kegiatan atau program yang dilakukan masih berorientasi pada pendekatan proyek dibandingkan dengan melakukan pendekatan pemberdayaan seutuhnya pada masyarakat adat. Misalnya dalam penyediaan layanan pendidikan ataupun kesehatan. Pendekatan layanan pendidikan yang selama ini ditempuh oleh pemerintah adalah dengan mengintegrasikan anak-anak masyarakat adat pada sekolah sekolah publik. Dalam kontek integrasi sosial, hal ini tentu saja patut diapresiasi untuk menjamin akses masyarakat adat terhadap layanan dasar. Namun aspek lain yang seringkali dilupakan oleh pemerintah adalah sekolah tidak dipersiapkan juga untuk memahami budaya, cara pandang, serta nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat adat tersebut. Sehingga yang terjadi adalah upaya sekolah untuk melakukan penyeragaman terhadap cara pikir, nilai, maupun terhadap keyakinan yang dimiliki oleh masyarakat adat. Kondisi ini terjadi pada berbagai anak-anak masyarakat adat diberbagai wilayah di Indonesia. Tidak jarang, masyarakat adat akhirnya memilih untuk tidak menyekolahkan anak-anaknya untuk melindungi nilai dan budaya yang dianutnya. Kegagalan lainnya adalah anak-anak masyarakat adat atau bahkan masyarakat adat seringkali mendapatkan stigma ketika berinteraksi dengan masyarakat saat memanfaatkan layanan dasar yang disediakan oleh negara. Berbagai stigma seringkali ditemukan pada masayarakat adat. Misalnya stigma bodoh, tidak dapat diatur, tidak memiliki kepercayaan, bahkan dianggap juga primitif. Dalam pandangan masyarakat adat, stigma yang seringkali dilekatkan pada mereka boleh jadi tidak sesuai ataupun keliru karena masyarakat ataupun negara tidak memiliki pemahaman yang utuh terhadap nilai dan budaya

123


masyarakat adat. Indonesia diakui oleh dunia sebagai salah satu negara yang memiliki beragam suku bangsa yang memiliki nilai dna budaya yang berbeda-beda. Nilai dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat adat tersebut, bukan hanya menunjukkan keberagaman sebagai sebuah bangsa, akan tetapi juga menjadi aset bagi bangsa. Nilai dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat adat tidak hanya menjadi pengetahuan yang diwariskan antar generasi, akan tetapi juga dipraktekkan dalam setiap aspek kehidupan. Misalnya hampir di semua masyarakat adat ditemukan nilai-nilai penghormatan terhadap alam dalam pemanfaatan maupun upaya untuk melestarikan sumberdaya alam. Pendampingan Program Peduli pada masyarakat adat menemukan bahwa nilai dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat adat dapat mengajari kita untuk tidak hanya belajar menghargai perbedaan, akan tetapi juga menyelesaikan permasalahan-permasalahan kekinian. Misalnya permasalahan yang terkait dengan perubahan iklim ataupun pembangunan yang berkelanjutan. Disamping nilai-nilai yang terkait dengan penghormatan terhadap alam, masyarakat adat juga memiliki nilai dan budaya yang mengatur kehidupan sosial masyarakat. Hukuman dan sanksi yang dimiliki oleh masyarakat adat merupakan salah satu instrumen untuk menjaga kehidupan sosial masyarakat, akan tetapi hukuman dan sanksi tersebut jarang sekali digunakan dalam kehidupan sosial masyarakat sebagaimana terjadi dalam kehidupan masyarakat modern. Bahkan seringkali kita temui adagium dalam masyarakat

yang mengatakan hukum dibuat untuk dilanggar. Dalam masyarakat adat hukum justru

dijadikan sebagai panduan dalam hidup yang tidak hanya dihormati, akan tetapi juga ditegakan untuk menjaga tertib sosial. Oleh sebab itu, jarang sekali ditemukan kejahatan ataupun tindakan yang bersifat amoral dalam masyarakat adat. Masyarakat adat Kokoda yang hidup di wilayah Sorong dikenal sebagai salah satu suku yang menghargai perbedaan keyakinan dalam kehidupan sosialnya. Masyarakat adat Nuaulu dikenal sebagai komunitas yang

124


menjaga hutan dan melestarikan tradisi leluhur. Masyarakat adat Sawang dikenal sebagai salah satu suku pekerja keras. Dalam dinamika kehidupan kekinian, masyarakat adat bukanlah suatu komunitas yang tidak dapat beradaptasi dengan kehidupan masyarakat kekinian. Jika kita mengunjungi pemukiman masyarakat adat saat ini, kita dapat menemukan bahwa mereka juga mulai memanfaatkan kemajuan teknologi untuk kepentingan hidupnya. Anak anak usia sekolah, baik laki-laki dan perempuan mulai diberikan kesempatan yang sama untuk bersekolah, serta melakukan interaksi dengan masyarakat lain dalam bidang ekonomi. Walaupun demikian, nilai-nilai dan tradisi budaya masih tetap dijunjung tinggi oleh masyarakat adat. Sebagian dari nilai dan budaya yang dipedomani oleh masyarakat adat tersebut memang mulai mengalami erosi akibat dinamika perubahan zaman, serta sebagian lagi mungkin tidak sesuai lagi dengan tuntutan perubahan zaman. Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan-pendekatan baru untuk menempatkan nilai dan tradisi budaya masyarakat adat tetap terpelihara dan relevan dalam menjawab tuntutan perubahan zaman. Beberapa kisah pendek dari komunitas masyarakat adat Nuaulu, Sawang, Kokoda, dan Sumba Timur yang diangkat dalam buku ini, menunjukkan pergulatan masyarakat adat dalam pusaran perubahan zaman. Tantangan mereka tidak hanya menjaga kelestarian sumberdaya alam untuk generasi selanjutnya, akan tetapi juga menjaga nilai dan budaya yang merupakan spirit dalam kehidupan. Beberapa kehidupan komunitas adat bahkan telah berada dititik nadir kehidupan, dimana mereka tidak hanya kehilangan sumberdaya alam akan tetapi juga mulai mengalami krisis terhadap identitas mereka sebagai masyarakat adat. Masyarakat adat Sawang merupakan salah satu contoh dari masyarakat adat yang tidak lagi berdaulat dalam mengelola sumberdaya alamnya dan mengalami krisis identitas. Generasi muda dari masyarakat adat Sawang tidak lagi menjadi penguasa di lautan sebagaimana para leluhurnya, karena tidak memiliki perahu. Bahkan mereka tidak dapat lagi menguasai bahasa asli sebagai salah satu penanda identitasnya sebagai orang Sawang.

125


Berkaca pada kondisi diatas, maka upaya perlindungan dan pemajuan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat perlu diletakkan sesuai dengan potensi dan keragaman nilai yang dimiliki oleh masyarakat adat. Pendekatan perlindungan sosial yang dilakukan oleh pemeirntah tidak cukup hanya dengan memberikan layanan dasar, akan tetapi memberikan kepastian terhadap ruang hidup dan kehidupannya. Hampir seluruh masyarakat adat memiliki keterkaitan nilai dan budaya yang dianut dengan alam. Melakukan perusakan terhadap alam tidak hanya mengakibatkan mereka kehilangan hidup dan penghidupannya, akan tetapi juga nilai dan budaya yang selama ini mendapatkan inspirasi dari alam. Bagaimana mungkin mereka akan melestarikan tradisi adat dan budayanya, jika alam yang selama ini menyediakan berbagai kebutuhannya mengalami perusakan. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan perubahan pada paradigma penanganan masyarakat adat, dari pendekatan yang berbasis karitatif kepada pendekatan partisipasi dan pemberdayaan. Dari pendekatan pemukiman terpusat menuju pendekatan yang lebih bersinergi dengan alam dan berintegrasi dengan masyarakat disekitarnya. Program Peduli merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan oleh pemerintah dalam memulai pendekatan baru kepada masyarakat adat. Pendampingan yang dilakukan bersama organisasi masyarakat sipil dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat adat dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pengetahuan untuk memperkaya pendekatan pemberdayaan maupun untuk melakukan reformasi terhadap kebijakan pembangunan yang belum berpihak pada kepentingan masyarakat adat. Mereka tidak mempunyai banyak keinginan selain dianggap sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang diakui dan diperlakukan secara setara. Semoga buku ini dapat menjadi inpirasi bagi para pihak, khususnya pemerintah dalam memulai perubahan kebijakan, regulasi, maupun program yang berpihak pada masyarakat adat.

126


DAFTAR PUSTAKA

AMAN Maluku. 2016. Kertas Kebijakan Advokasi Masyarakat Adat Suku Nuaulu. Aman Maluku. Maluku Anggraeni Sylvia. 2003. Perempuan Sumba & Belis. Bappeda Kabupaten Sumba Timur. Sumba Timur. Arizona Yance. 2014. Mendefinisikan Indigenous People di Indonesia. Diakses melalui situs yancearizona.net pada tanggal 28 Mei 2016. Arizona Yance., Erasmus Cahyadi., Malik. 2015. Mengakhiri Rezim Kriminalisasi Kehutanan : Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi No 95/PUU-XII/2014 Mengenai Pengujian UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan & Pemberantasan Perusakan Hutan dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Epistema Institue. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2009. Identifikasi Desa di dalam & di Sekitar Kawasan Hutan. Penerbit BPS. Jakarta. Corrine Lewis. 2012. Corporate Responsibility to Respect The Rights of Minorities & Indigenous People in State State of The Worlds Minorities & Indigenous People Report. Minority Right Group. United Kingdom. Forest Watch Indonesia. 2014. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009-2013. Penerbit Forest Watch Indonesia. Bogor.

127


Harian Kompas. Panggil Saja Kami Orang Sawang. Harian Kompas Tanggal 22 Januari 2010. International Centre for Research on Agroforestry. 2001. Kajian Kebijakan Hak-Hak Masyarakat Adat di Indonesia : Suatu Refleksi Pengaturan Kebijakan dalam Era Otonomi Daerah. ICRAF. Jakarta. Kadir Herson. 2013. Ekpresi Pandangan Dunia Kelompok Sosial Pengarang dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Jurnal Litera vol 12 No 1. Penerbit Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. 2013. Masyarakat Adat di Indonesia : Menuju Perlindungan Sosial yang Inklusif. Diterbitkan oleh Direktorat Perlindungan & Kesejahteraan Masyarakat. Jakarta. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 2016. Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya Di Kawasan Hutan. Komnas HAM. Jakarta. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 2016. Laporan Inkuiri Nasional tentang Pelanggaran Hak Perempuan Adat dalam Pengelolaan Kehutanan. Komnas HAM. Jakarta Ngongu, Norbert Ama.2014. Konsep Kehidupan & Kematian Menurut Agama Marapu. Artikel lepas pada Kompasiana. Harian Kompas 3 Desember Tahun 2014. Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No 39 Tentang Hak Asasi Manusia. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No 41 Tentang Kehutanan. Sekretariat Negara. Jakarta.

128


Republik Indonesia. 2006. Undang-Undang No 23 Tentang Administrasi Kependudukan. Sekretariat Negara. Jakarta. Riva Paolo., & Jeniffer Eck. 2016. Social Exclusion : Psychological Approaches to Understanding & Reducing Its Impacts. Springer International Publishing. Switzerland. Sumardjan Selo., & Mely G Tan. 1980. Kemiskinan Struktural Suatu Bunga Rampai. Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta Sutedjo Sujitno. 1996. Sejarah Timah Indonesia. Penerbit Gramedia. Jakarta Sirin Yusnirsyah. 2015. Beratnya Hidup Perantau Kokoda di Aimas. Website Aksi Cepat Tanggap. Diakses pada Pukul 13.00, Hari Senin, 20 Juni 2016. S u s a n t i o D j u l i a n t o . 2 0 1 5 . S u k u S e ka k y a n g Te r a n c a m P u n a h . d i a k s e s m e l a l u i s i t u s https://hurahura.wordpress.com/2012/07/15/suku-sekak-yang-terancam-punah/ pada tanggal 13 Agustus 2015. The Department of Economic & Social Affairs of United Nations. 2009. State of The Worlds Indigenous People. United Nations. New York. Vital Bambanze. 2012. Development With Identity in State of The Worlds Minorities & Indigenous People Report. Minority Right Group International. United Kingdom. Wikipedia Indonesia Kota Sorong diakses melaluihttp://id.wikipedia.org/wiki/kota_sorong pada tanggal 25 juni 2016 pukul 14.00 WIB

129


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.