Peta Kuasa Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Page 1

Penulis: M. Subhi Azhari & Moh. Hafidz Ghozali Pengantar: Dr. Ahmad Suaedy


PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018 Penulis: M. Subhi Azhari Moh. Hafidz Ghozali Pengantar: Dr. Ahmad Suaedy


Peta Kuasa Intoleransi dan Radikalisme Di Indonesia Laporan Studi Literatur 2008-2018

Penulis: M. Subhi Azhari Moh. Hafidz Ghozali Pengantar: Dr. Ahmad Suaedy Tim Peneliti: Nur Laeliyatul Masruroh Y. Mauritz O. Pangkerego Latifah Penerbit: INKLUSIF Jl. Garuda II No. 7, Pasir Gunung Selatan, Cimanggis, Depok Didukung oleh Program Peduli The Asia Foundation Cetakan 1, Februari 2019

ii


DAFTAR SINGKATAN

ANNAS AWC-UI Bakorpakem BNPT BUMN CSIS CSRC CSW CRCS DIY DKI Jakarta DNA GP Ansor FJI FPI FKAM HAM HRW HTI ILRC ISIS ITE JAT JI KBB KP KUHP LBH LGBT LIPI

Aliansi Nasional Anti Syiah Abdurrahman Wahid Center-Universitas Indonesia Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Badan Usaha Milik Negara Center for Strategic and International Studies Center For The Study Of Religion And Culture Christian Solidarity Worldwide Center for Religious and Cross-Cultural Studies Daerah Istimewa Yogyakarta Daerah Khusus Ibukota Jakarta Discourse Network Analyzer Gerakan Pemuda Ansor Front Jihad Islam Front Pembela Islam Forum Komunikasi Aktivis Masjid Hak Asasi Manusia Human Rigghts Watch Hizbut Tahrir Indonesia Indonesian Legal Resource Center Islamic State in Iraq and Suriah Informasi dan Transaksi Elektronik Jamaah Anshorut Tauhid Jamaah Islamiyah Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas Perempuan KItab Undang Undang Hukum Pidana Lembaga Bantuan Hukum Lesbian Gay Biseksual dan Trangender Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

iii


Laskar Umat Islam Surakarta Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Aliyah Majelis Mujahidin Indonesia Moderat Muslim Society Madrasah Tsanawiyah Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik-Universitas Gajah Mada Majelis Ulama Indonesia MUI Non-Government Organization NGO Nahdlatul Ulama NU Nusa Tenggara Barat NTB Nusa Tenggara Timur NTT Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI Organisasi Masyarakat Sipil OMS Perserikatan Bangsa Bangsa PBB Pengurus Besar Nahdlatul Ulama PBNU Pemilihan Kepala Daerah Pilkada Pegawai Negeri Sipil PNS Pusat Studi HAM-Universitas Islam Indonesia Pusham-UII Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat PPIM PP Muhammadiyah Pengurus Pusat Muhammadiyah PUSAD Paramadina Pusad Studi Agama dan Demokrasi Paramadina Raudlatul Athfal RA Rohani Islam Rohis Susilo Bambang Yudhoyono SBY Sekolah Dasar SD Sekolah Menengah Atas SMA Sekolah Menengah Pertama SMP Sekolah Menengah Umum SMU Saiful Muzani Research and Consulting SMRC Social Network Anlysis SNA Taman Kanak Kanak TK LUIS MI MA MMI MMS MTs MPRK-UGM

iv


UIN UNESCO WF WI YLBHI

Universitas Islam Negeri United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization Wahid Foundation The Wahid Institute Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia

v


PENGANTAR INKLUSIF

Peran organisasi masyarakat sipil (OMS) dalam mendorong masyarakat Indonesia yang lebih terbuka dan toleran terus mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari iklim kebebasan berpendapat dan berekspresi yang semakin kuat. Salah satu aktualisasi peran tersebut dengan melakukan berbagai kajian terhadap problem-problem kemasyarakatan, salah satunya terkait kehidupan keagamaan masyarakat. Dengan berbagai kajian tersebut, OMS menyampaikan pandangan tentang masalah intoleransi dan radikalisme yang dinilai semakin mengancam keberagaman. Melalui berbagai kajian, OMS berharap berbagai pihak terkait semakin menyadari ancaman tersebut sehingga melahirkan upayaupaya serius untuk mengatasinya. Yayasan Inklusif adalah salah satu OMS yang juga memandang kedua masalah tersebut sebagai tantangan yang harus diatasi tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh berbagai elemen masyarakat. Intoleransi dan radikalisme adalah ancaman nyata bagi demokrasi dan keragaman. Dalam beberapa tahun terakhir, keduanya telah menunjukkan penyebaran yang semakin pesat. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari adanya upaya yang semakin terorganisir dan terencana termasuk keterlibatan aktor yang semakin luas. Paparan paham intoleransi dan radikalisme bahkan telah menjalar ke institusi pemerintah mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Produksi diskursus yang semakin massif yang disebarkan melalui ujaran-ujaran kebencian juga secara masif mempercepat penyebaran intoleransi dan radikalisme. Sejak pertengahan Oktober 2018, Yayasan Inklusif melakukan studi literatur tentang intoleransi dan radikalisme di Indonesia. Studi ini bertujuan memetakan berbagai kajian dan penelitian yang dilakukan berbagai lembaga baik pemerintah maupun OMS. Pemetaan tersebut kami anggap penting selain sebagai bahan untuk melihat sejauh dan sedalam apa kajian-kajian tentang kedua tema tersebut dilakukan, juga untuk melihat apa saja yang masih harus diperbaiki dan apa saja tantangannya. Proses studi dilakukan dengan mengumpulkan berbagai hasil kajian baik dalam bentuk riset mendalam, survei opini publik, kajian pemantauan dan pengukuran maupun indexing. Selain itu, dilakukan wawancara mendalam kepada beberapa peneliti untuk pendalaman tema tertentu. Kaji

vi


an ini juga mencoba memetakan diskursus apa saja yang menonjol terkait intoleransi dan radikalisme, siapa saja yang memainkan diskursus tersebut dan bagaimana dampaknya terhadap pembangunan opini publik. Guna mempermudah membaca tren diskurus dan aktor, kami menggunakan pendekatan Discourse Network Analysis (DNA) sebagai alat menganalisa diskursus dan aktor yang muncul. Kami sengaja memilih menggunakan DNA ini karena dalam beberapa isu pendekatan ini cukup efektif membaca peta sosial dan politik di tengah masyarakat. Dalam isu keagamaan, sistem ini belum banyak digunakan. Selama ini, sistem ini banyak dipakai untuk membaca peta diskursus tematema umum seperti perubahan iklim atau isu-isu lingkungan. Untuk isu intoleransi dan radikalisme, sejauh penelusuran kami baru kali ini DNA digunakan. Ini juga berarti studi ini ingin melihat sejauhmana sistem ini mampu membaca peta intoleransi dan radikalisme di Indonesia. Kelebihan dan kekurangan yang ditemui dalam proses akan sangat bermanfaat untuk studi lanjutan ke depan. Buku ini adalah laporan dari studi literatur tersebut. Ini adalah buku kedua yang diterbitkan Yayasan Inklusif. Kami berharap dapat memperkaya sumber bagi para pengkaji dua tema ini. Studi ini sendiri dilakukan oleh sebuah tim beranggotakan 7 orang. Tim yang melibatkan peneliti Inklusif dan dari luar ini telah bekerja keras selama tiga minggu untuk menuntaskan kajian ini. Studi ini juga didukung oleh Program Peduli-The Asia Foundation, sebuah program untuk mendorong perhatian yang lebih serius terhadap berbagai permasalahan keagamaan sekaligus mendorong masyarakat yang lebih terbuka dan Inklusif. Lazimnya sebuah kajian, tentu tidak dapat dikatakan sempurna. Namun, berbagai kekurangan akan semakin memperkaya pengetahuan kami untuk melakukan studi yang lebih baik ke depan. Melalui pengantar ini kami ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang terlibat dalam studi ini. Kami ingin menyampaikan terima kasih kepada para narasumber yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk wawancara dengan para peneliti kami. Juga atas sambutan dari berbagai lembaga yang telah menyediakan data dan dokumen yang melimpah dan dapat diakses dengan mudah. Juga kepada para peneliti yang tidak kenal lelah menuntaskan studi ini. Juga kepada para konsultan ahli yang telah memberi arahan dan pemikiran yang

vii


konstuktif. Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada Program Peduli atas dukungan dan kerjasamanya. Sekali lagi kami berharap studi literatur ini bermanfaat baik khusus untuk dunia kajian toleransi dan radikalisme di Indonesia, maupun secara lebih umum menjadi sumbangan positif bagi penguatan demokrasi dan toleransi di Indonesia. Depok, 15 November 2018

M. Subhi Azhari Direktur Eksekutif

viii


DAFTAR ISI Pengantar Inklusif .................................................................v Daftar Isi .............................................................................ix Kata Pengantar Menggagas Mitigasi Radikalisme dan Intoleransi di Atas Karpet Putih: Sebuah Perspektif Ahmad Suaedy ......................................................................................x Bagian 1 Pendahuluan ......................................................... 1 Latar Belakang .............................................................................................. 1 Tujuan dan Manfaat ...................................................................................... 5 Kerangka Konseptual ................................................................................... 5 Metodologi dan Pendekatan ...................................................................... 11 Batasan Penelitian ....................................................................................... 15 Bagian 2 Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur ............................................................................ 16 Mengkaji Intoleransi ................................................................................... 18 Kajian Radikalisme ...................................................................................... 33 Bagian 3 Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia .......................................................................... 48 Data Sumber ................................................................................................ 48 Jumlah Data ................................................................................................. 50 Analisa Jaringan Diskursus dan Aktor ...................................................... 52 Upaya Membangun Deteksi Dini ............................................................... 79 Bagian 4 Kesimpulan dan Rekomendasi .............................. 83 Daftar Pustaka .................................................................. 87 Lampiran ........................................................................... 89

ix


KATA PENGANTAR

Menggagas Mitigasi Radikalisme dan Intoleransi di Atas Karpet Putih: Sebuah Perspektif Ahmad Suaedy, anggota pendiri INKLUSIF

Ketika Bung Hatta, salah seorang proklamator kemerdekaan RI, menyatakan kekhawatirannya bahwa korupsi akan membudaya di Indonesia, maka banyak orang masygul dan reaktif. Padahal statemen Bung Hatta tersebut sesungguhnya bukan sedang melegitimasi kenyataan, melainkan mengkhawatirkan hal itu akan terjadi. Kemasygulan dan sikap reaktif yang sama terjadi terhadap analisis dan pernyataan budayawan legendaris Mochtar Lubis tentang ciri-ciri manusia Indonesia yang memperlihatkan pesimisme: munafik, malas, tidak bertanggungjawab, feodal, takhayul dan artistik. Dari luar negeri, misalnya, Bilveer Singh, penulis berkebangsaan India yang bekerja untuk Singapura. Bilveer (2007) mensinyalir atau lebih tepatnya mengkhawatirkan terjadinya Talibanisasi --atau ada juga yang menyebut Pakistansiasi-- Indonesia dan Asia Tenggara. Taliban atau Pakistan adalah representasi dari radikalisme akut, intoleransi dan bahkan terorisme yang nyaris sustain dan laten. Karena itu, timbul anggapan bahwa julukan-julukan itu bisa jadi atau setidaknya mendekati, telah membudaya atau meminjam terma dari Helder Camara (1971) sebagai mentradisinya “spiral kekerasan.” Itulah yang paling dikhawatirkan oleh sebuah bangsa. Selama ini negara dan bangsa Indonesia diimajinasikan dengan suatu yang ideal: jujur, sopan, plural, toleran, dialogis dan gotong royong. Bagaimana mungkin negara dan bangsa Indonesia digambarkan sebagai bangsa yang korup, lemah, munafik, radikal, intoleran dan suka kekerasan. Pernyataan-pernyataan pesimisme tentang suatu perasaan bangsa yang

x


dibanggakan –apalagi itu menyangkut karakter mendasar sebuah bangsa— yang digambarkan sebaliknya dengan suatu yang negatif memang menjengkelkan dan bahkan menyembulkan rasa emosi negatif yang kuat. Situasinya bagaikan dipojokkan dan kemudian digebukin ramai-ramai. Tidak ada pilihan untuk keluar dari situasi itu. Kata “membudaya” atau menyerupai suatu situasi yang disimbolkan dengan “sasi”, talibanisasi atau pakistanisasi, sesungguhnya, alias kekerasan, konflik dan terorisme. Tetapi, di lain pihak, kepanikan dan rasa emosional itu –barangkali diamdiam-- justru menunjukkan bahwa sesungguhnya kita sedang mengalami, menghadapi dan merasakan situasi tersebut. Penyebutan pejoratif itu seolah sedang mengungkap kedok yang sejak lama disimpan dalamdalam. Pernyataan Bung Hatta, Mochtar, dan Singh di atas, meskipun sambil “menutup muka”, diam-diam, diakui ada benarnya --lepas dari hal itu dilebih-lebihkan. Tidak bisa ditutup-tutupi bahwa situasi itu memang bisa dirasakan namun, mestinya, tidak sejauh itu: membudaya atau telah menjadi budaya. Itulah sebabnya, di samping diperlukan daya tahan mental juga dirasa urgensinya untuk mengantisipasi, kalau perlu menangkalnya, akan terjadinya atau agar situasi seperti itu, tidak terjadi. Antisipasi dan penangkalan suatu situasi tertentu itu salah satunya bisa dilakukan dengan cara deteksi dini atau istilah kerennya early warning system (EWS). Dengan deketsi dini dimungkinkan adanya mitigasi atas terjadinya hal itu. Buku ini sesungguhnya persis ada pada posisi itu. Buku ini secara khusus menyajikan –dengan metodologi dan batasan cakupan tertentu-- fakta dan, karena itu, bisa dibangun di atasnya strategi untuk mengurangi atau menangkalnya. Yaitu, deteksi dini tentang intoleransi dan radikalisme dengan cara tertentu. Untuk melakukan EWS dalam rangka antisipasi dan menangkalnya, maka diperlukan pengakuan bahwa situasinya memang, setidak-tidaknya menggambarkan, kegawatan tertentu. Sudah banyak indekisasi, penelitian, survei dan lain-lain sebagaimana direviu dalam buku ini, yang menggambarkan dan memberi bukti situasi tersebut, meskipun seringkali dilebih-lebihkan sebagai suatu yang seolaholah telah membudaya. *** Temuan riset pemetaan oleh Abdurrahman Wahid Centre – Universitas Indonesia (AWC-UI) tahun 2014 dimana saya menjadi bagian yang mengerjakannya, juga dikutip dalam laporan ini, menunjukkan tiga

xi


kecenderungan tentang intoleransi dan radikalisme tersebut. Tiga temuan pentingnya adalah: Pertama, intoleransi dan radikalisme agama sudah merupakan gejala epidemik; kedua, gerakan kelompok radikal kini mulai berfokus dan mengambil komando di level lokal, juga fund raising-nya, serta; ketiga telah terjadi transformasi gerakan yang berjejaring dengan gerakan radikal internasional menuju gerakan teror pada sejumlah organisasi. Masalahnya, sejauh mana itu semua sudah membudaya? Penelitian buku ini menunjukkan, sepertinya diskursus semacam itu masih relatif terbatas dan berkutat di kalangan elit dan kelompok tertentu. Temuan itu, bisa dirumuskan secara agak singkat: bahwa, pertama, peta diskursus intoleransi selama sepuluh tahun terakhir masih fokus pada dua isu utama, intoleransi terhadap Ahmadiyah dan Syiah. Isu-isu lain cenderung pinggiran. Sedangkan (2) peta diskursus radikal atau radikalisme cenderung terpusat pada gagasan khilafah dengan ragam varian gerakan dan sub gagasan, seperti jihad, penegakan syariat Islam dan penegakan negara Islam. Kelompok-kelompok yang mengusung gagasan tersebut juga relatif tidak ada perubahan, di seputar HTI, MMI, JI, FPI, dan belakangan, berkiblat pada ISIS yang semula JI. Bisa dikatakan diskursus, aktor dan jaringannya cenderung tidak melebar ke kelompok lain, meskipun ide itu mungkin juga merembes ke mereka. (3) dari sini juga bisa diidentifikasi aktor dan jaringan yang memproduksi diskursus tersebut. Terbukti bahwa diskursus maupun produsernya juga sangat terbatas. Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa dikursus maupun aktor dan jaringannya belum berhasil merasuk ke dalam kelompok-kelompok, organisasi dan kelembagaan utama dan mayoritas masyarakat umumnya. Namun, yang membuat masygul adalah terlibatnya elemen-elemen negara dan semi negara –seperti Kementrian Agama dan Majelis Ulama Indonesia di suatu masa-- seringkali ikut memperkuat dan menunggangi diskursusdiskursus tersebut. Dengan segala kekuasaan dan logistik yang dimiliki mereka bisa mengakselerasi gagasan dan gerakan ke dalam suatu sistem negara. Namun sebaliknya organisasi terbesar dan tertua NU dan Muhammadiyah, misalnya, justru menjadi lawan tangguh dan semacam mekanisme filterisasi dan resistensi. Hal itu tanpa menutup mata adanya kenyataan bahwa diskursus maupun jaringan mereka cukup meluas dan sampai ke daerah-daerah.

xii


Dalam persepktif post truth, misalnya, teknologi informasi khususnya media sosial bukan hanya sangat sulit dikendalikan melainkan ia telah meruntuhkan nyaris seluruh otoritas tradisional dan modern sekaligus, baik budaya, agama dan ilmu pengetahuan dan bahkan negara-bangsa atau apa yang oleh Nichols (2017) disebut sebagai the death of expertise dan Dasgupta (2018) menyebutnya demise of the nation-state. Sesungguhnya seluruh masyarakat dan bahkan pemerintah sedang mengalami ini. *** Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana membaca fenomenan temuan tersebut dalam sekala yang lebih luas Indonesia dengan segala perkembangannya, terutama dikaitkan dengan klaim umum bahwa karakter bangsa Indonesia yang jujur, sopan, harmonis dan dialogis. Menurut Shekhar (2011), misalnya, memang benar image Indonesia menonjol dengan karakter positif tersebut. Namun hal itu tidak dengan sendirinya bersifat given dan imun atas perubahan. Karakter yang meskipun menyejarah dan membudaya itu bisa saja berubah karena berbagai faktor perubahan zaman, misalnya disebabkan karena migrasi, kebijakan pemerintah dan perubahan-perubahan umum lainnya termasuk perubahan global. Semua itu bisa mengubah karakter Indonesia. Kasus seperti kekerasan antar agama di Ambon atau Maluku, antar etnis di Kalimantan Barat dan kekerasan separatis di Aceh dan Papua (Bertrand, 2004) di masa lalu telah menggugat secara keras klaim karakter dan image tersebut yang bisa dikatakan belum pernah terjadi sebelumnya dalam pola dan skala. Semua itu menunjukkan bahwa perubahan-perubahan karena waktu, memengaruhi perubahan karakter tersebut. Di sisi lain, tidak bisa diabaikan adalah kebijakan pemerintah Orde Baru tentang penyeragaman, sentralistik dan militeristik telah memberikan wajah kekerasan dalam penyelesaian berbagai masalah dalam masyarakat. Dengan demikian, perubahan berbagai faktor sosial politik budaya dan kebijakan pemerintah memengaruhi pola hubungan masyarakat dan karakter. Sudah pasti disebabkan karena pergeseran-pergeseran tersebut menuntut adanya analisis atas fakta-fakta baru dengan relevan jika hendak mendapatkan jawaban atas obat yang juga relevan. Perubahan-perubahan itu bahkan bukan hanya di atas permukaan, melainkan sebagaimana dikonstatir

xiii


oleh Hefner (2018), telah mengubah “warna karpet” yang mendasari dinamika di atasnya. Hefner memperlihatkan adanya pergeseran kenyataan pluralitas baru Muslim Indonesia, dari pra ke pasca reformasi. Analisis Hefner ini di satu pihak menampung adanya pergeseran, termasuk temuan di dalam penelitian buku ini dan juga penelitian lain dalam sorotan yang sama, namun dalam waktu yang sama, Hefner juga menunjukkan adanya dinamika dialog dan keseimbangan yang baru. Kedua-duanya bukan lah sesuatu yang alamiah dan given melainkan disebabkan karena faktor-faktor yang disebut di atas. Salah satu kenyataan pergeseran tersebut adalah apa yang oleh Hefner disebut sebagai lahirnya suatu peta baru keberagaman dan sekaligus pluralitasnya –di kalangan Muslim Indonesia. Mengacu pada kategorisasi masyarakat Indonesia atau Jawa yang dikenal umum putihan dan merah/abangan –setidaknya bagi dan MC Ricklefs, Hefner mengajukan pengamatan telah dan sedang terjadinya penebalan lapisan putihan (whiter religious field) (hlm. 220-222) –dengan sendirinya menipisnya varian “merah” dan lainnya. Namun, dalam waktu yang sama menebalnya lapisan baru itu menunjukkan menebal pula apresiasi terhadap keberbedaan dan toleransi. Maka fakta berbagai penelitian, termasuk buku ini, tidak bisa lepas dari konteks melainkan harus diletakkan pada fakta pergeseran “karpet keagamaan yang makin memutih” tersebut. Beberapa bukti dari penebalan lapisan keberagaman dan toleransi itu adalah, yang disebut Hefner, kegandrungan sementara lapisan menengah Muslim atas sufi (Islamic spirituality) baru atau “neo-sufi”. Pandangan seperti ini ikut mendorong keislaman yang terbuka. Fakta kedua adalah keterlibatan perempuan dalam hampir semua lapisan kehidupan, politik, pendidikan, sosial dan sebagainya yang berarti menebalnya kesetaraan dan peran perempuan. Fakta bahwa pelajar madrasah hingga perguruan tinggi Islam jumlah laki-laki dan perempuan setara atau bahkan dominan perempuan tidak bisa dibantah akan adanya pergeseran tersebut. Bersamaan dengan itu juga muncul diskursus-diskursus baru sebagai bagian dari pergulatan tersebut. Kini juga tidak kurang peremuan Muslim dan sehari-hari memakai “aksesoris Islam” menjadi aktivis feminis. Tentu muncul juga lapisan baru sebaliknya, yaitu gerakan dan kelompok Muslim yang anti perbedaan dengan segala diskursus-diskursusnya, tetapi dalam realitansya tidak signifikan dibanding dengan lapisan yang disebut

xiv


di atas. Dengan kata lain, Hefner memberikan optimisme yang tinggi atas menebalnya lapisan putih atau bahkan “tergelarnya karpet putih,” tetapi dalam waktu yang sama menebal pula lapisan yang menghargai perbedaan dan toleransi. Dengan kata lain, menebalnya lapisan putih tidak identik atau bahkan, bisa dikatakan, berlawanan dengan intoleransi dan radikalisme. *** Uraian di atas tidak sedang meremehkan berbagai temuan penelitian tentang kuatnya raising intoleransi dan radikalisme tetapi hanya hendak mengatakan fakta itu harus diletakkan dalam pergeseran tersebut. Saya kira, yang perlu dipikirkan dalam upaya deteksi dini atas radikalismae dan intoleransi adalah munculnya diskursus-diskursus yang tidak terolah dengan baik, misal basis metodologi dan historis yang bahkan datang bukan hanya dari mereka yang menggunakan dan membelanya melainkan dari mereka yang mengkonternya. Saya pernah terlibat perdebatan dengan penulis Barat tentang menggunakan terma “jihadi” sebagaimana umum para peneliti Barat. Mereka menggunakannya untuk menyebut para pelaku kekerasan dan teroris Muslim yang mengklaim sebagai jihad. Namun, bagi saya, di Indonesia kata “jihad” digunakan untuk mempertahankan negara yang plural dan Pancasila seperti Resolusi Jihad. Pemberantasan kemiskinan dan korupsi di Indonesia juga diklaim sebagai jihad. Mengapa mereka tidak disebut kelompok “jihadi” nasionalis, jihadi anti kemiskinan dan jihadi anti korupsi? Begitu juga penggunaan kata “khilafah” yang meresahkan banyak kalangan sekarang ini. Karena kata itu, oleh HTI misalnya, diperhadapkan dengan bentuk negara RI dan Pancasila, suatu fondasi yang menyangkut nasib seluruh bangsa Indonesia. Padahal kata khilafah sebenarnya di samping kata yang bersifat generik bagi suatu bentuk kekuasaan, juga penggunaannya berubah dari waktu ke waktu dan dari daerah ke daerah sesuai dengan konteksnya. Arti kata itu tidak bisa dimonopoli oleh kelompok tertentu. Karena itu kita bisa mengatakan: Khilafah Republik Indonesia berdasar Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang dipimpin oleh seorang presiden dalam suatu sistem trias politika. Kata khilafah yang dipakai oleh HTI diberi pengertian suatu sistem kekuasaan di masyarakat primitif yang bersifat, dalam sosiologi, disebut masyarakat paguyuban (gemeinschaft). Di samping dalam suatu masyarakat yang tertutup dan sentralistik dalam kesukuan primitif juga selalu waspada

xv


dari serangan kelompok adat atau “kafilah” lain di padang pasir yang panas dan keras. Kata kafilah sekarang bahkan dipakai untuk memberi nama rombongan atau kelompok haji atau kelompok dalam suatu musabaqoh tilawatil qur’an, tidak ada di dalamnya konotasi permusuhan melainkan jsuteru bersifat sitemtik Dalam pengertian kafilah primitif seprrtti itu maka siapa pun yang berbeda dan keluar dari barisan akan disebut sebagai pengkhianat atau musuh. Dari sinilah kata dan pengertian “murtad” itu muncul. Sedangkan kini kita hidup di masyarakat patembayan (gesellschaft) yang mustahil untuk kembali ke kehidupan penguyuban primitif seperti itu. Dengan demikian, kata murtad yang harus dihukum mati dalam sejarah Islam adalah dalam konteks masyarakat atau komunitas primitif tersebut. Demikian halnya hukuman mati. Berbeda dengan di era masyarakat primitif maka dalam konteks negara-bangsa dan konstitusional semua hukuman harus didasarkan pada keputusan pengadilan. Sebaliknya dalam konteks agama di dalam masyarakat patembayan, orang yang keluar dari agama adalah menjadi obyek dakwah yang dalam al-Quran disebut sebagai “atas petunjuk Allah (hudan).” Dengan kata lain, deteksi dini perlu dilakukan dengan pertama-tama kehatihatian penggunakan kata, istilah atau term, dengan clear bagi kita sendiri. Masih dalam penggunaan kata, bisa dilakukan dengan mendekonstruksi arti kata tersebut dengan klarifikasi arti asli dan penggunannya dalam sejarah. Artinya kontra narasi menjadi sangat penting untuk merebut kata dan makna kata itu, tidak justru menghindari atau bahkan mengukuhkannya. *** Selanjutnya, dalam temuan penelitian ini, penyebaran paham dan aksi redikalisme dan intoleransi tampak tidak melalui organisasi-organisasi besar melainkan tampaknya melalui organisasi kecil atau perorangan, serta aparat pemerintah dan semi pemerintah tertentu. Pengaruh organisasi kecil menjadi besar di antaranya karen ada peran aparat pemerintah dan semi pemerintah. Pemerintah adalah penanggungjawab negara sehingga tidak bisa mengelak dari tanggungjawab ketika aparatnya terlibat langsung atau tidak langsung dalam perilaku intoleransi dan radikalisme karena hal itu bertentangan dengan hukum dan konstitusi. Penggunaan dasar hukum yang inkonstitusional seperti Fatwa Majelis Ulama Indonesia untuk penegakkan

xvi


hukum secara langsung juga pelanggaran terhadap konstitusi dan sistem hukum Indonesia. Karena itu pemerintah harus dimintai pertanggungjawaban akan elemen dan aparatnya yang terlibat tersebut. Pertanggungjawaban itu harus diinformasikan kepada masyarakat, bahwa ada oknum atau elemen mereka yang terlibat. Dengan demikian bisa segera dilakukan pencegahan yang serius dan transparan. Pemerintah juga harus terbuka dan akuntabel tentang metode dan strategi pencegahan sehingga membuka partisipasi masyarakat seluas-luasnya. *** Aktivasi dan penguatan jaringan civil society yang kontra radikalisme dan intoleransi –tidak hanya Islam-- juga tidak kalah penting untuk melakukan pencegahan penyebaran cara pandang dan aksi tersebut ke dalam masyarakat yang paling bawah. Hal ini bukan hanya melibatkan ormas-ormas besar melainkan juga ormas kecil atau bahkan individu yang berpengaruh. Revitalisasi tradisi dalam masyarakat dalam berbagai bentuknya yang selama ini tergerus oleh gerakan puritan juga penting untuk dihidupkan kembali dan didukung secara serius dan terencana oleh pemerintah. Arena ini penting untuk mempertemukan berbagai elemen masyarakat yang saling berbeda dalam suatu forum kegembiraan bersama. Berbagai tradisi dalam masyarakat seperti yasinan, tahlilan, arisan, perayaan panen, HUT desa dan kota, wayang, ketoprak penting untuk memberikan kesadaran tentang pencegahan ini. Dalam era post truth terpenting justru sesungguhnya kerjasama antar lini untuk menegakkan kembali oroitas masing-masing di hadapan masyarakat dan social media land yang sulit dijangkau dengan cara biasa. Penguasaan dan penggunaan atas elemenelemen dalam teknologi informasi menjadi sangat urgen. Selebihnya, pendekatan penegakan hukum dan pencegahan aksi kekerasan menjadi tugas pemerintah dan aparat penegak hukum. Selamat membaca Rumbut Bawah, 27 Januari 2019

xvii


DAFTAR BACAAN: Bertrand, Jacques. Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia, Cambridge: Cambridge University Press, 2004.

Camara, Helder. Spiral of Violence. London: Sheed and Ward Ltd., 1971. Dasgupta, Rana, “The Demise of the Nation State,” The Guardian, 5 April 2018. Hefner, Robert W., “The Religious Field: Plural Legacies and Contemporary Contestations,” dalam Hefner, ed., Routledge Handbook of Contemporary Indonesia, London & NY: Routledge, 2018, hlm. 211225. Nichols, Tom, The Death of Expertise: The Campaign against Established Knowledge and Why it Matters, N.Y.: Oxford University Press, 2017. Shekhar, Vibhanshu, The Politics of Islam, Nation Building and Development: Ethnic Volence and Terrorism in Indonesia, New Dehli: Dinamica Publishers, 2011. Singh, Bilveer, The Talibanization of Southeast Asia: Losing the War on Terror to Islamist Extremists, London: Praeger Security International, 2007.

xviii


BAGIAN 1 Pendahuluan 1. Latar Belakang Heterogenitas masyarakat dalam hal etnis, bahasa maupun agama merupakan fakta kehidupan yang tidak bisa dihindari. Masa depan toleransi beragama terpaut erat dengan persoalan bagaimana kita mengelola salah satu perbedaan itu. Pembicaraan tentang prospek toleransi beragama di Indonesia membutuhkan pemahaman akan pola dan dinamika intoleransi dan radikalisme itu sendiri. Sejumlah lembaga telah melakukan kajian atas fenomena intoleransi dan radikalisme tersebut. Beragam metodologi dan perspektif telah ditawarkan untuk menganalisa fenomena intoleransi dan radikalisme. Meski demikian, sebuah penelitian yang mencoba menganalisa pola dan dinamika intoleransi dan radikalisme keagamaan nampaknya masih sangat jarang. Bisa disebutkan diantaranya adalah riset yang dilakukan oleh Yayasan Wakaf Paramadina dan MPRK-UGM pada tahun 2009. Riset ini pada dasarnya ingin membangun basis data terkait pola-pola konflik keagamaan dari tahun 1990-2008. Dengan bersumber pada publikasi Kompas dan Antara, Rentang waktu yang ditentukan tersebut diharapkan mampu memotret bukan hanya konflik keagamaan yang terjadi di bawah Orde Baru (1990-1998), rezim transisi menuju demokrasi awal (1998-2004), tapi juga rezim demokrasi baru (2004-2008).1 Temuan penting studi tersebut adalah bahwa dua pertiga dari konflik keagamaan yang terjadi di Indonesia mengambil bentuk aksi damai, dan hanya sepertiganya yang terwujud dalam bentuk berbagai aksi kekerasan. Sebagian besar konflik keagamaan ini terkait dengan isu komunal keagamaan, Muslim-Kristen atau penodaan agama misalnya. Dilihat dari persebaranya, konflik komunal itu mendominasi wilayah yang memang sudah dikenal sebagai daerah yang memiliki rekam jejak konflik komunal 1

Ihsan Ali-Fauzi et all, Laporan Penelitian: Pola-pola Konflik Keagamaan di Indonesia (1990-2008), (Yayasan Wakaf Paramadina, Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada dan The Asia Foundation, 2009)

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

1


seperti Maluku, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah. Sedangkan di wilayahwilayah seperti Jawa Barat dan Banten, konflik keagamaan yang terjadi lebih banyak melibatkan isu-isu moral dan sektarian. Sementara di DKI Jakarta kekerasan bernuansa agama lebih melibatkan isu-isu terorisme dan moral. Sedangkan dari segi pembabakan waktunya, isu konflik keagamaan yang dihadapi masing-masing rezim pemerintahan berbeda. Isu komunal merupakan isu konflik keagamaan yang terutama dihadapi oleh rezim pemerintahan transisi maupun rezim demokrasi baru. Namun, pada masa rezim demokrasi baru kekerasan lebih berbentuk serangan teror dan isu sektarian. Intensitas konflik menyangkut isu sektarian menunjukkan kecenderungan meningkat pada masa rezim terakhir ini. Meski diakui oleh Yayasan Wakaf Paramadina dan MPRK-UGM bahwa studi ini nampak kurang memadai untuk kebutuhan merespon insiden konflik keagamaan kontemporer karena didasarkan atas liputan media massa, namun studi awal ini menjadi sangat penting ketika ditempatkan pada fokus yang dikaji. Alih-alih memberikan perhatian pada kajian mendalam atas konflik bernuansa agama di daerah tertentu yang sudah banyak dilakukan oleh kajian lain, titik penting studi ini adalah pada inisiatifnya dalam melihat pola dan dinamika konflik keagamaan, dari mulai konflik agama bernuansa komunal sampai pada model konflik sektarian dan teror yang menjadi ciri konflik keagamaan kontemporer. Riset sejenis dilakukan oleh Abdurrahman Wahid Center-Universitas Indonesia (AWC-UI) dan Wahid Foundation tahun 2015. Riset berjudul “Revisiting the problems of Religious Intolerance, Radicalism and Terrorism in Indonesia: a Snapshot” ini pada dasarnya ingin melihat pola perkembangan kontemporer gerakan kelompok radikal, yang sebagian di antaranya telah bertransformasi menjadi gerakan teroris.2 Berbeda dengan riset yang dilakukan oleh Yayasan Wakaf Paramadina dan MPRK-UGM yang lebih melihat aktor konflik secara sekilas, studi terakhir ini secara detil lebih melihat pola dan jaringan aktor, sejauhmana ia bertransformasi dari gerakan yang murni radikal menjadi gerakan teroris. Ini artinya, letak kontribusi penting studi terakhir ini pada studi yang pertama

2

Abdurrahman Wahid Center dan Wahid Foundation, Revisiting the problems of Religious Intolerance, Radicalism and Terrorism in Indonesia: a Snapshot, (Tidak Dipublikasikan)

2

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


adalah pada penekanan terkait dengan pola dan dinamika aktornya. Dengan kata lain, jika studi Yayasan Wakaf Paramadina dan MPRK-UGM secara detil memetakan pola konflik keagamaan, dengan melihat aktor sebagai elemennya, maka sebaliknya studi Abdurrahman Wahid Center-Universitas Indonesia (AWC-UI) dan Wahid Foundation melihat pola konflik keagamaan tersebut, sebagai latar belakang tranformasi yang terjadi pada para aktor. Riset literatur yang mencakup periode 2008-2014 ini bisa dikatakan cukup komprehensif dalam memberikan gambaran terkait dengan perkembangan intoleransi, radikalisme dan terorisme di Indonesia. Tiga temuan pentingnya: Pertama, intoleransi dan radikalisme agama merupakan gejala epidemik; kedua, gerakan kelompok radikal kini mulai berfokus di level lokal dan; ketiga telah terjadi transformasi gerakan radikal menuju gerakan teror pada sejumlah organisasi. Intoleransi, radikalisme dan terorisme disebut epidemik karena telah menyebar hampir diseluruh Indonesia. Gerakan intoleran sendiri di terfokus di Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi Tengah. Sedangkan gerakan radikal dan teror terdistribusi di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Tengah. Dari segi kategorinya, 64% merupakan gerakan intoleran, 21% gerakan radikal dan 15% merupakan gerakan teror. Di antara agenda yang diperjuangkan gerakan ini meliputi penegakan syariat Islam dan moralitas (40%), puritansime keagamaan ( 31%) dan pendirian negara Islam (13%). Selain itu, pola gerakan ini disebut mulai tersentral di lokal. Ini diukur dari 3 aspek, yaitu pusat kordinasi gerakan di level kabupaten atau provinsi yang mencapai 58% dari keselurhan gerakan, sumber pendanaan yang tidak lagi bergantung pada sumber donasi internasional yang prosentase organisasinya mencapai 55% dan terakhir adalah bahwa 63% gerakan tersebut hanya berlokus di tingkat provinsi dalam arti tidak memiliki cabang di daerah lain. Temuan lainya adalah bahwa transformasi gerakan radikal menuju gerakan teroris itu terjadi, antara adanya kesamaan agenda perjuangan dan pelibatan tokoh-tokoh Jemaah Islamiyah dan Jamaah Ansharut Tauhid dalam kederisasi. Sejumlah organisasi yang telah melakukan transformasi itu antara lain adalah Laskar Hisbah Solo, FPI Lamongan, FPI Makassar dan GARIS Ciamis. Salah satu poin yang perlu digaris bawahi dari transformasi gerakan ini adalah meski pusat kordinat di level lokal, namun jaringan kelompok ini bersambung dari Syiria, Filipina, Malaysia. Di saat yang sama,

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

3


karena sifat lokalitasnya kelompok-kelompok ini relatif independen dalam menjalankan aksinya. Tanpa melakukan kordinasi dengan organisasi radikal sejenis di daerah lain. Alih-alih mengkontraskan atau membandingkan kedua studi tersebut, keduanya nampak memliki benang merah. Meski dengan penekanan studi yang berbeda, kedua studi tersebut pada dasarnya ingin melihat pola-pola konflik keagamaan di Indonesia. Dengan berdasar pada pemahaman akan pola tersebut, masing-masing studi berharap bisa melahirkan pola penanganan intoleransi, radikalisme dan terorisme secara efektif. Benang merah dari kedua tersebut nampak nyata ketika melihat agenda atau isu yang diperjuangkan kelompok intoleran dan radikal. Dalam riset Yayasan Wakaf Paramadina dan MPRK-UGM dijelaskan bahwa intensitas konflik isu sektarian menunjukkan kecenderungan meningkat pada masa tahun-tahun akhir 2008. Pada tahun setelahnya, sebagaimana terungkap dalam riset AWC-UI dan Wahid Foundation, intensitasnya semakin meningkat dengan beragam variasinya, dari mulai penegakan syariat Islam hingga pendirian negara Islam. Selain itu, sejumlah gerakan radikal ini pun telah mengalami transformasi menjadi bersifat lokal dan sebagian menjadi gerakan teroris. Meski demikian, apa yang perlu mendapat catatan adalah bahwa kedua riset diatas nampak melihat konflik keagamaan secara general. Maksudnya,riset-riset tersebut tidak secara spesifik memberikan perhatian pada dinamika intoleransi dan radikalisme, apakah itu intra keagamaan atau menyasar kelompok keagamaan lain dan pemerintah. Studi Literatur atas Diskursus Paham Keagamaan di Indonesia ini pada dasaranya mencoba melengkapi riset-riset tersebut dengan fokus khusus pada dinamika jaringan aktor dan diskursus intoleransi dan radikalisme di internal Islam. Tujuan akhir dari studi ini sebenarnya memiliki kemiripan dengan dua studi sebelumnya, yaitu ingin melihat pola dan dinamika konflik keagamaan di internal umat Islam sebagai bagian dari upaya untuk menyusun strategi penanganan yang efektif. Secara spesifik, studi ini ingin menjawab 3 pertanyaan pokok, Apa saja diskursus intoleransi dan radikalisme keagamaan yang menonjol dalam 10 tahun terakhir? Bagaimana hubungan antara satu diskursus dengan diskursus lain terkait intoleransi dan radikalisme paham keagamaan di Indonesia? Siapa aktor-aktor utama yang menjadi pendorong diskursus?

4

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


2. Tujuan dan Manfaat Penelitian atas literatur ini bertujuan untuk mengidentifikasi peta diskursus berikut peta aktor intoleransi dan radikalisme paham keagamaan di Indonesia dan bagaimana keterhubungan antar berbagai kajian tersebut. paham keagamaan yang dimaksud disini adalah paham atau aliran keagamaan yang ada dalam Islam, sehingga tidak memasukkan konflik antar agama. Dengan melakukan kajian ini diharapkan akan diperoleh informasi yang dapat diandalkan terkait pola diskursus berikut aktor intoleransi dan radikalisme paham keagamaan di Indonesia dalam rangka membangun deteksi dini konflik paham keagamaan di Indonesia. 3. Kerangka Konseptual a) Intoleransi Intoleransi sering dianggap sebagai salah satu bentuk pelanggaran kebebasan beragama, “Intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan” sendiri berarti setiap pembedaan, pengabaian, larangan atau pengutamaan yang didasarkan pada agama atau kepercayaan dan yang tujuannya atau akibatnya meniadakan atau mengurangi pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan mendasar atas dasar yang setara. Sebaliknya, toleransi agama mengacu pada kesediaan untuk mempersilahkan pemeluk agama lain mengekspresikan ide/ kepentingan yang berbeda.3 Definisi intoleransi tersebut mengacu pada Deklarasi Pengurangan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama yang dikeluarkan Sidang Umum PBB tahun 1981. Intoleransi beragama juga dapat berupa proyeksi negatif terhadap penganut agama tertentu.4 Kejahatan intoleransi dan kebencian adalah tindakan-tindakan yang dimotivasi oleh kebencian atau bias terhadap seseorang atau sekelompok 3 Kebalikan dari definisi intoleransi Sullivan yang dikutip dalam “Pelita Yang Meredup Potret Keberagamaan Gurun Indonesia”, survei PPIM 208. 4 Resolusi 16/18 Dewan HAM PBB, “Combating intolerance, negative stereotyping and stigmatization of, and discrimination, incitement to violence and violence against, persons based on religion or belief”, 24 Maret 2011.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

5


orang berdasarkan jender, ras, warna kulit, agama, asal negara, dan/atau orientasi seksualnya.5 Terdapat beragam bentuk tindakan intoleransi. Tindakan intoleransi dapat merupakan kejahatan berat, seperti penyerangan atau berkelahi. Dapat juga berupa tindakan-tindakan yang lebih ringan, seperti ejekan terhadap ras/ agama seseorang. Komunikasi tertulis, termasuk grafiti yang menunjukkan prasangka atau intoleransi terhadap seseorang atau sekelompok orang berdasar pada kebencian. Termasuk vandalisme (perusakan) dan percakapan berdasarkan intoleransi maupun apa yang dianggap beberapa orang sebagai lelucon.6 Kategori yang dibuat Bruce A. Robinson mengenai bentuk-bentuk tindakan “Religious intolerance” agaknya menunjukkan luasnya cakupan intoleransi tersebut. Tulisan yang dipublikasi Ontario Consultants on Religious Tolerance, lembaga konsultan yang berkedudukan di Ontario Kanada, itu menyebut tujuh kategori tindakan intoleransi beragama: 1. Penyebaran informasi yang salah tentang kelompok kepercayaan atau praktik, meski ketakakuratan informasi tersebut bisa dengan mudah dicek dan diperbaiki; 2. Penyebaran kebencian mengenai seluruh kelompok; misalnya menyatakan atau menyiratkan bahwa semua anggota kelompok tertentu itu jahat, berperilaku imoral, melakukan tindak pidana, dan sebagainya; 3. Mengejek dan meremehkan kelompok iman tertentu untuk kepercayaan dan praktik yang mereka anut; 4. Mencoba untuk memaksa keyakinan dan praktik keagamaan kepada orang lain agar mengikuti kemauan mereka; 5. Pembatasan hak asasi manusia anggota kelompok agama yang bisa diidentifikasi; 6. Mendevaluasi agama lain sebagai tidak berharga atau jahat. 7. Menghambat kebebasan seseorang untuk mengubah agama mereka.7

5

Halili & Bonar Tigor Naipospos, Dari Stagnasi Menjemput Harapan Baru Kondisi Kebebasan Beragama/Berkayakinan di Indonesia 2014, (Jakarta: Setara Institute, 2015), 20.

6

Halili & Bonar Tigor Naipospos, Dari Stagnasi..., 20.

7

Tim Penyusun, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 200, (Jakarta: The Wahid Institute, 2010), 23-24.

6

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


UNESCO juga mencatat beberapa gejala intoleransi dan indikator perilakunya: 1. Bahasa: pencemaran dan bahasa yang pejoratif atau eksklusif yang menghilangkan nilai, merendahkan dan tidak memanusiakan kelompok budaya, ras, bangsa atau seksual. Penyangkalan hak bahasa. 2. Membuat stereotipe: mendeskripsikan semua anggota suatu kelompok dengan dikarakteristikkan oleh atribut yang sama – biasanya negatif. 3. Menyindir: menarik perhatian pada perilaku, atribut dan karakteristik tertentu dengan tujuan mengejek atau menghina 4. Prasangka: penilaian atas dasar generalisasi negatif dan stereotipe atas dasar fakta aktual dari sebuah kasus atau perilaku spesifik individu atau kelompok. 5. Pengkambinghitaman: menyalahkan kejadian traumatis atau permasalahan sosial pada orang atau kelompok tertentu. 6. Diskriminasi: pengecualian dari jaminan sosial dan kegiatan dengan hanya berlandaskan pada alasan yang merugikan. 7. Pengasingan (ostracism): berperilaku seolah yang lainnya tidak hadir atau tidak ada. Penolakan untuk berbicara kepada atau mengakui pihak lain, atau kebudayaannya. 8. Pelecehan: perilaku yang disengaja untuk mengintimidasi dan merendahkan pihak lain, kerap dimaksudkan sebagai cara mengeluarkan mereka dengan paksa dari komunitas, organisasi atau kelompok. 9. Penajisan dan penghapusan: bentuk-bentuk penodaan simbol atau struktur keagamaan atau kebudayaan yang ditujukan untuk menghilangkan nilai dan mengejek kepercayaan dan identitas mereka yang kepadanya struktur dan simbol ini berarti. 10. Gertakan (bullying): penggunaan kapasitas fisik yang superior atau sejumlah besar (orang – ed.) untuk menghina orang lain atau menghilangkan kepemilikan atau status mereka. 11. Pengusiran: pengeluaran secara resmi atau paksa atau penyangkalan hak untuk masuk atau hadir di sebuah tempat, dalam kelompok sosial, profesi atau tempat lain dimana ada kegiatan kelompok, termasuk dimana keberlangsungan hidup tergantung, seperti tempat kerja atau tempat perlindungan (shelter), dan sebagainya. 12. Pengeluaran: penyangkalan kemungkinan-kemungkinan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar dan/atau berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat, khususnya dalam kegiatan bersama. LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

7


Menurut Laura F. Shulman, intoleransi muncul karena ketidaktahuan akan persamaan yang dimiliki antar kelompok yang berbeda. Ketidaktahuan inilah yang kemudian disebarluaskan atau ditularkan kepada orang lain melalui otoritas (seperti orang tua, guru, dan lain-lain). Ketidaktahuan mendorong rasa takut, ketakutan menyebabkan kebencian dan kebencian mendorong kekerasan. Bagi Shulman, pengetahuan adalah salah satu kunci mengatasi kekerasan.8 Dengan melihat beragam definisi intoleransi di atas, kajian ini akan menggunakan terminologi intoleransi dalam empat ranah: politik, sosial, budaya dan agama. Dalam ranah politik, intoleransi adalah ketidaksediaan untuk menghargai hak-hak politik dari kelompok yang tidak disukai. Begitupula dalam konteks sosial, intoleransi berarti orientasi umum yang negatif terhadap kelompok di luarnya. Semenrara intoleransi budaya berarti penolakan, pengabaian dari penghargaan atas keragaman budaya. Selain itu Sullivan (1982) menyebut bahwa intoleransi agama adalah ketidaksediaan untuk mempersilakan pemeluk agama lain mengekspresikan ide/ kepentingan yang berbeda. b) Radikalisme Pengertian radikalisme akhir-akhir ini telah mengalami pergeseran, semacam penalaran yang keliru yakni pencampuradukan dua konsep atau lebih yang sama sekali berbeda, dalam hal ini konsep radikal dengan ‘kekerasan’ atau ‘teror.’ Padahal radikal sama sekali tidak sama atau tidak berkaitan dengan kedua kosa kata tersebut. Radikal (akar kata: root, radix artinya akar) berarti menghubungkan sifat atau bentuk dasar dari sesuatu, mirip dengan kosa kata fundamental. Orang atau kelompok radikal adalah orang atau kelompok yang ingin membuat perubahan besar di dalam sistem politik. Sikap radikal dapat melahirkan radikalisme yaitu ideologi (seringkali lebih kiri daripada kanan) non konformis yang berpusat pada inovasi, perubahan dan konsep kemajuan, daripada sebuah ideologi yang didasarkan pada nilai masa lalu; atau yang lebih lunak radikalisme adalah pendekatan yang bersifat non konformis pada masalah sosial dan politik yang ditandai

8

Laura F. Shulman, “Religious Intolerance: Causes and Solutions. Some Observation”, esay di http://www.religioustolerance.org/religious-intolerancecauses-solutions-observations.htm, diakses 15 November 2018.

8

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


oleh ketidakpuasan yang tinggi pada status quo, dan oleh karenanya juga merupakan panggilan kepada perubahan masyarakat secepat mungkin dengan alat yang memiliki daya paksa.9 Dalam kajiannya, CSRC mendefinisikan radikalisme sebagai fenomena sosial politik keagamaan yang memiliki ciri-ciri: 1) meskipun tidak selalu melakukan aksi-aksi kekerasan, pendukung radikalisme berpotensi terjebak dalam aksi-aksi kekerasan, mengingat adanya kecenderungan tersebut pada gerakan ini, sebagaimana dikatakan Della Porta dan LaFree: 2) mendesak dilakukannya perubahan politik secara revolusioner dan menentang keras status quo.(3) resistensi terhadap pemerintah yang sah, karena merasa teralienasi dan diskriminasi, seperti disebut Bartlett dan Miller (Schmid, 2013). 4) Radikalisme merupakan spektrum/varian independen yang berada hanya satu level di bawah ekstremisme dan terorisme (Schmid, 2013). Artinya, radikalisme merupakan gejala praekstremisme dan terorisme.10 Menurut Center for The Study of Democracy, radikalisme dan radikalisasi dapat dikenali minimal melalui tiga indikator. Indikator Pertama, yang disebut sebagai pembukaan kognitif, yaitu ketika seseorang mau dan terbuka menerima gagasan ekstrimisme termasuk menyetujui penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Ini terdiri dari dua level: 1. Level suggestif. Level ini dapat dikenali dari beberapa sikap: Misalnya mulai secara terbuka menyuarakan ketidakpuasan terhadap berbagai permasalahan sosial; Dlanjutkan dengan mulai menyuarakan pertentangan di dunia (kami dengan mereka); Kemudian menunjukkan penolakan untuk melegitimasi otoritas yang mereka nilai sekuler. Biasanya diikuti oleh keyakinan dan seruan untuk perubahan sosial politik. Dalam konteks radikalisme Islam, seruan untuk mengubah sistem sosial demokrasi menjadi sistem dan nilai-nilai Islam pada masa awal. 2. Level Bendera Merah. Level ini dimulai ketika sudah ada propaganda untuk perjuangan perubahan secara radikal dan tidak legitimate. Dilanjutkan dengan secara terbuka menyuarakan dukungan 9

Tim Pusham UII, Bersama Bergerak Riset Aktivis Islam di Dua Kota (Yogyakarta: Pusham UII, 2009), xiii. 10

Chaider S. Bamualim dkk., Kaum Muda Muslim Milenial Konservatisme, Hibridasi Identitas, dan Tantangan Radikalisme (Jakarta: CSRC, 2018), 9-10

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

9


terhadap organisasi teroris. Ciri lainnya, dengan secara terbuka menunjukkan sikap yang mendukung kekerasan terhadap target tertentu. Indikator Kedua, yang disebut sebagai indikator perilaku. Ini juga terdiri dari dua level. 1. Level suggestif. Mulai memutus hubungan dengan keluarga dan teman termasuk menarik diri dari lingkungan sosial. Diikuti perubahan nyata dalam cara beragama dan rutinitas keseharian. Biasanya mereka juga sudah mulai membangun hubungan erat dengan pimpinan ideologis atau mereka yang bertugas melakukan rekrutment. Ciri lainnya adalah membuat kelompok terbatas dan tertutup. 2. Level Bendera Merah. Jika mereka sudah mulai terlibat nyata dalam penyebaran bahan material propaganda kelompok ekstrimis. Kemudian melakukan pengorganisasian, memimpin atau terlibat dalam aksi kelompok ekstrimis. Memiliki hubungan atau menjadi anggota organisasi kelompok ekstrimis. Terlibat dalam aksi kriminal. Indikator Ketiga, yang disebut sinyal resiko tinggi. Ciri-ciri yang dapat dikenali: 1. Melakukan perjalanan ke negara atau wilayah konflik. 2. Menjadi bagian dari pelatihan militer. 3. Membeli/memiliki senjata, bahan peledak atau bahan-bahan yang terkait.11 Terminologi radikalisme yang akan digunakan dalam studi ini merujuk pada fenomena gerakan keagamaan yang resisten terhadap sistem pemerintah yang sah seperti gerakan penegakan syariat Islam atau Khilafah untuk mengganti ideologi Pancasila. Kerangka konseptual ini nantinya akan digunakan dalam dalam mereview atau pun melakukan analisis atas literatur yang ada.

11 Center for the Study of Democracy, “Monitoring Radicalisation and Extremism”, Policy Brief No. 68, February 2017, 6-8.

10

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


4. Metodologi dan Pendekatan Studi literatur ini adalah penelitian kualitatif yang mengkombinasikan analisis isi suatu teks dan jaringan aktor yang memproduksi teks tersebut. Pada bagian analisis teks, kajian ini akan memulai dengan memetakan kajian-kajian terkait intoleransi dan radikalisme dalam 10 tahun terakhir. Pada bagian ini akan dilihat apa saja pendekatan kajian terhadap dua isu ini dan apa saja temuannya secara umum. Bagian ini juga akan mencoba menganalisis apa saja yang perlu diperkuat dalam kajian yang ada. Pada bagian berikutnya, kajian ini akan melakukan analisis terhadap isi dari beragam kajian tersebut, terutama untuk memetakan diskursus apa saja yang muncul dalam isu intoleransi dan radikalisme di Indonesia. Setelah memetakan diskursus, akan dilanjutkan dengan memetakan aktoraktor yang bermain (bertarung) dalam diskursus-diskursus tersebut. Untuk memudahkan dalam melakukan pemetaan, alat bantu yang digunakan adalah software, Discourse Network Analysis (DNA). Analisis isi suatu teks dan jaringan aktor dalam DNA digunakan untuk mengungkap dan menjawab pertanyaan bagaimana peta diskursus dan peta aktor intoleransi dan radikalisme di Indonesia. DNA sendiri pada dasarnya mengkombinasikan analisis isi yang berbasis kualitatif yaitu analisis wacana dengan analisis jaringan sosial untuk mengetahui gagasan-gagasan aktor secara relasional dan sistematis. Pada ujungya DNA memungkinkan analisa rangkaian jaringan diskursus yang terhubung antara satu dengan lainnya dan juga jaringan aktor-aktor yang memproduksi diskursus tersebut.12 Pendekatan DNA ini pada mulanya digunakan dalam kajian Kebijakan Publik, khususnya untuk melihat Diskursus Politik. DNA mengansumsikan bahwa wacana politik, maupun wacana lain pada dasarnya merupakan suatu jaringan. Wacana yang dikeluarkan oleh aktor tertentu akan memberi kontribusi pada pembentukan wacana lain baik secara temporal dan lintas waktu. Tujuan utama para aktor memproduksi wacana di satu sisi adalah

12 Philip Leifeld, “Discourse Network Analysis: Policy Debates as Dynamic Networks” dalam Jennifer N. Victor, Mark N. Lubell and Alexander H. Montgomery (editors): The Oxford Handbook of Political Networks. Chapter 25. Oxford: Oxford University Press. 2017

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

11


untuk mempengaruhi para pendukung atau untuk menimbang kepentingan aktor lainya. Diskursus aktor ini merupakan tindakan relasional. Dalam arti itulah, DNA digunakan dalam studi ini tidak lain adalah untuk melihat aktor dan diskursus wacana intoleransi dan radikalisme paham kegamaan di Indonesia. Sinonim dengan diskursus politik, Diskursus keagamaan di Indonesia bersifat relasional dan memiliki dampak sosial maupun kebijakan. Diskursus Aksi Jihad yang digunakan Front Pembela Islam dan ormas radikal lain dalam kasus Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok misalnya, tidak hanya bertujuan untuk menarik massa Islam agar terlibat dalam gerakan tersebut, tapi juga mendorong pemerintah atau penegak hukum agar agar memenjarakan Ahok. Sebagai bagian dari analisisi wacana, DNA ini pada dasarnya ingin melengkapi pendekatan Criticial Discourse Analysis-nya Michel Foucault yang mencoba menghubungkan bahasa dengan konsep kekuasaan. Namun demikian, Criticial Discourse Analysis dinilai tidak mampu memberikan gambaran bagaimana mekanisme proses jaringan diskursus satu dengan lain secara sistematis, faktual, dan bisa direplika. DNA memberikan semacam pendekatan sistematis untuk menganalisis jaringan diskursus sebelum seorang peneliti berkesimpulan bahwa terdapat hubungan inheren antara diskursus dan kekuasaan. Dengan kata lain, DNA digunakan dalam penelitian ini untuk melengkapi kajian literatur selama ini di mana proses identifikasi diskursus yang terkandung pada suatu teks cenderung mengabaikan unsur keterkaitan atau keterhubungan antara wacana satu dengan wacana lainnya secara stabil. Padahal, keterhubungan antar diskursus secara stabil ini dapat menghasilkan suatu interpretasi tersendiri terkait suatu fenomena tertentu, entah itu ideologi, kepentingan atau bahkan dinamika perebutan pengaruh aktor atas suatu kebijakan. Interpretasi ini dapat dicapai melalui keterhubungan antar diskursus yang membentuk jaringan serta menjelaskan relasi diskursus di dalamnya. Relasi ini dapat memberikan penjelasan mengenai aktor-aktor yang terlibat dalam suatu peristiwa serta masing-masing perannya. Selain itu, keterhubungan antar wacana ini juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi pentingnya suatu topik, posisi serta argumen dalam sebuah diskursus. Dalam DNA setiap teks yang terkandung dalam literatur akan dianalisis mengikuti empat variable utama, yaitu: Aktor adalah orang atau organisasi yang mengluarkan wacana. Terkait

12

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


dengan studi ini aktor yang memproduksi suatu diskursus dikelompokkan menjadi; pemerintah pusat, pemerintah daerah, institusi pendidikan, media, partai politik, masyarakat sipil aparat keamanan dan ormas keagamaan. Derajat pengaruh aktor di sini juga menjadi perhatian dalam analisa. Jika yang mengeluarkan statemen adalah staf biasa dan stetemen yang dikeluarkan tidak mempunyai pengaruh publik maka penulisan nama lembaga akan dipakai, daripada jabatan yang diemban. Diskursus di sini dimaknai sebagai ide pokok yang dibicarakan atau diperdebatkan. Setiap literatur yang menjadi bahan penelitian ini dilihat sejauhmana kontenya memuat indikator intoleransi dan radikalisme dalam Islam. Sentimen atas diskursus. Sentimen disini maksudnya adalah persetujuan atau penolakan atau suatu diskursus. Pembedaan statemen aktor berdasarkan persetujuan atau penolakanya atas ide pokok menjadi relevan ketika diturunkan dalam jaringan aktor pendukung dan penolak diskursus. Di satu sisi, dalam analisis akan terlihat peta aktor pendukung atau penolak diskursus tertentu, dan akan terlihat pula pada diskursus mana mereka bersepakat atau bertolak belakang. Periode Waktu. Setiap diskursus pasti sangat terkait dengan kapan waktu diskursus dimunculkan. Proses analisa atas diskursus dengan memasukkan unsur waktu ini akan terlihat relevansinya ketika menginginkan suatu analisis peta aktor dan diskursus pada periode tertentu atau dalam proses jangka panjang. Dalam studi ini, DNA akan digunakan untuk melihat jaringan aktor dan diskursus intoleransi dan radikalisme keagaman pada saat bersamaan. Hasil akhirnya adalah untuk melihat dinamika koalisi, pertarungan antar aktor dalam diskursus tertentu atau dinamikanya dalam waktu tertentu. DNA di sini juga akan dipakai untuk melihat kehadiran aktor spesifik dalam diskursus yang berkembang dalam tempo tertentu. Pada studi ini misalnya, akan dilihat secara spesifik kehadiran aktor negara dalam diskursus intoleransi dan radikalisme keagamaan dengan membandingkan antara Rezim Pemerintahan. Selain itu, sesuai maksud studi ini, DNA juga akan dipakai untuk melihat pola pergerakan suatu diskursus dari pinggiran hingga dia menjadi diskursus dominan. Ketika dinamika diskursus dan aktor ini bisa teridentifikasi, maka rekomendasi upaya perencanaan pencegahan sebagaimana maksud studi ini bisa dilakukan.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

13


Penggalian Data Penggalian data dalam penelitian ini utamanya akan menggunakan studi kepustakaan dan kemudian melalui wawancara mendalam. Data kepustakaan yang dimaksud berupa data penelitian tentang intoleransi dan radikalisme paham keagamaan di Indonesia baik yang diterbitkan oleh lembaga negara maupun masyarakat sipil. Sedangkan wawancara dilakukan selain untuk memperdalam temuan-temuan pada literatur, juga untuk memperjelas beberapa konsep penting dalam kajian ini terutama“intoleransi” dan “radikalisme” dalam Islam. Secara operasional, hasil-hasil riset yang ditelusuri pertama-tama diseleksi yang sesuai dengan topik intoleransi dan radikalisme. Rentang waktunya sepuluh tahun terakhir, yaitu 2008-2018. Batasan berikutnya yang dipilih adalah memetakan diskursus kasus-kasus intoleransi dan radikalisme yang terjadi di dalam kalangan Islam sendiri, baik kasus-kasus yang dilakukan oleh kelompok Islam dominan kepada kelompok yang dianggap aliran Islam yang tidak sesuai ajaran Islam, kasus-kasus diskursus antar aliran utama ajaran Islam seperti Sunni-Syiah, maupun kasus-kasus yang dilakukan oleh kelompok atau individu yang dianggap menodai ajaran Islam mainstream. Setelah diperoleh literatur-literatur yang sesuai maka dilakukan pemilihan tulisan yang khusus membahas intoleransi dan/atau radikalisme Islam to Islam. Pada tahap selanjutnya, literatur-literatur tersebut akan dianalisis menggunakan software Discourse Network Analyzer (DNA). P a d a proses analisa, data-data akan dianalisa berdasarkan diskursus yang muncul, aktor yang memproduksi, sentimen aktor terhadap diskursus tertentu dan waktu kemunculanya. Peneliti mendeteksi diskursus yang ada di dalam literatur, aktornya sekaligus mewakili organisasi apa, statementnya atas diskursus, mengkategorikan sentiment diskursus tersebut, dan memasukkan indikator waktu kemunculanya . Pasca diperoleh peta diskursus hasil analisa DNA, peta diskursus di-export ke alat analisa berikutnya yaitu Visone. Dengan tampilan Visone, peta diskursus akan menampilkan jejaring keterkaitan antar diskursus, antar aktor, dan antar lembaga. Pasca hasil analisis muncul, untuk memperkuat temuan pada literatur, kami juga melakukan wawacara mendalam. Wawancara ini utamanya dilakukan kepada peneliti untuk mengkonfirmasi hasil kajiannya dengan

14

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


situasi kontemporer dan hasil kajian menggunakan DNA. Secara spesifik, wawancara mendalam ini diarahkan pada dua pertanyaan pokok, yaitu: relevansi studi mereka untuk untuk memotret tren intoleransi dan radikalisme paham keagamaan saat ini? Faktor maupun aktor yang berperan dalam mendorong intoleransi dan radikalisme? 5. Batasan Penelitian Sebagai sebuah kajian literatur, penelitian ini telah menetapkan beberapa batasan antara lain menyangkut data, cakupan studi dan verifikasi data. Sumber data yang dianalisis terbatas pada dokumen berupa buku, laporan atau review yang diunggah di website lembaga, tidak termasuk dokumendokumen resmi negara yang tidak dipublikasikan. Ini mengindikasikan ada kemungkinan terdapat beberapa literatur relevan yang tidak terkover dalam riset ini, baik itu berupa dekomen resmi negara atau laporan lembaga yang tidak dipublikasikan untuk umum. Sebagai penelitian pustaka, penelitian tidak melakukan turun lapangan sehingga bias sangat mungkin terjadi dalam kajian ini. Selain itu, dalam proses penggalian data melalui wawancara mendalam untuk verifikasi hasil temuan, tidak dilakukan pada aktor, tapi hanya pada para peneliti atau pakar terkait hasil penelitian. Dengan demikian, tidak bisa tergambarkan pandangan terkini dari aktor terkait dengan diskursus yang telah mereka wacanakan. Keterbatasan lainya adalah bahwa kajian ini tidak melihat diskursus intoleransi dan radikalisme dari kasus perkasus, tapi lebih dinamika perebutan diskursus dan pertarungan aktor dan polanya. Kalaupun muncul analisa terkait kasus sifatnya hanyalah ilustrasi untuk menggambarkan pola perkembangan suatu dikursus berikut aktornya. Terakhir, Kajian ini hanya memotret diskursus intoleransi dan radikalisme paham keagamaan dalam Islam, tidak termasuk antar agama dengan beragam variannya. sehingga, pola intoleransi dan radikalisme yang tergambar tidak bisa menggambarkan potret keberagamaan di Indonesia sepenuhnya.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

15


BAGIAN 2 Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

Berbagai perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat Indonesia paska reformasi telah mendorong kajian-kajian empiris tentang berbagai problem sosial, ekonomi dan politik semakin dinamis, tidak terkecuali di dalamnya kajian-kajian tentang problem keagamaan masyarakat. Selama hampir 20 tahun setelah rezim Orde Baru jatuh, terjadi lonjakan kajian agama dalam berbagai pendekatan dan perspektif. Hal ini dapat dilihat dari semakin menjamurnya penerbit dan buku-buku dengan tema keagamaan, khususnya Islam. Salah satu tema yang paling menonjol dalam kajian-kajian tersebut adalah membaca pluralisme keagamaan masyarakat dan implikasinya dalam melahirkan paham, aliran dan gerakan baik dalam rangka memperkuat maupun mempertanyakan pluralisme dan keragaman tersebut. Tulisan ini mencoba memetakan ragam kajian yang dilakukan berbagai organisasi masyarakat sipil yang menyorot, mengevaluasi dan menilai pertumbuhan dan perkembangan paham, aliran dan gerakan keislaman intoleran dan radikal di Indonesia khususnya yang merespon perbedaan paham dalam Islam selama 10 tahun terakhir. Dari tulisan ini, diharapkan akan tergambar secara lebih jelas apa saja pendekatan yang digunakan, bagaimana mereka memandang dan merespon kedua gerakan tersebut, bagaimana keterkaitan masing-masing kajian serta apa saja kekuatan dan kelemahan dari masing-masing kajian. Pembatasan 10 tahun sengaja dilakukan untuk melihat pertumbuhan kajian-kajian intoleransi dan radikalisme pada satu dasawarsa terakhir. Sementara pemilihan khusus kajian-kajian yang dilakukan lembaga juga sengaja dilakukan agar tergambar pandangan kolektif kelembagaan dan bukan pandangan individu. Kajian-kajian individu akan dimasukkan sebagai objek studi apabila terkait langsung dengan lembaga yang bersangkutan sehingga mencerminkan pandangan kelembagaan. Tulisan ini juga akan secara khusus melihat kajiankajian intoleransi dan radikalisme terhadap paham-paham di internal Islam. Tulisan ini tentu tidak akan membahas seluruh kajian yang ada mengingat banyaknya kajian yang ditemukan. Tulisan ini hanya akan membahas sebagian kecil dari kajian-kajian tersebut untuk melihat tren baik terkait pendekatan maupun temuan.

16


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

Studi sejenis sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh Abdurrahman Wahid Center (AWC) dan Pusad Paramadina. AWC pada 2014 sudah melakukan kajian literatur terutama untuk memetakan problem intoleransi, radikalisme dan terorisme sejak masa Soekarno hingga SBY. Kajian ini mengkaji dokumen-dokumen monitoring dan riset yang dikeluarkan the Wahid Institute (WI), Setara Institute, ILRC, BNPT, AI dan HRW. Kajian ini ingin menjawab sejumlah pertanyaan kunci yakni: Bagaimana status tiga gerakan (intoleran, radikal dan teroris) di Indonesia? Bagaimana persebarannya di Indonesia? Bagaimana mereka bertumbuh dan bertransformasi? Bagaimana jejaring mereka dengan luar negeri? Siapa saja korban? Apa saja alasan mereka melakukan tiga gerakan tersebut? Di daerah mana saja mereka muncul? Dan apa respon negara dan masyarakat sipil? Kajian ini menghitung data kuantitatif dan menganalisis temuan kualitaif lembaga-lembaga tersebut.13 Pusad Paramadina dalam buku Kebebasan, Toleransi dan Radikalisme Riset dan Kebijakan Agama di Indonesia (Pusad Paramadina, 2017) juga mengkaji studi, pengukuran dan riset toleransi dan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia. Ada tiga tulisan dalam buku ini yang secara spesifik membahas kajian-kajian tentang toleransi dan KBB di Indonesia.14 Ketiganya secara umum menyorot siapa saja yang melakukan kajian, tematema apa saja yang dibahas, bagaimana pendekatan dan metodologinya serta apa keterkaitan kajian-kajian tersebut dengan kebijakan agama di Indonesia. Tulisan ini akan mencoba melengkapi temuan-temuan empat kajian tersebut dalam konteks yang lebih baru, apa dampak kajian-kajian tersebut terhadap isu intoleransi dan radikalisme serta mengulas apa saja yang belum dibahas. Tulisan ini akan dibagi ke dalam dua tema pokok: Pertama, pemetaan kajian intoleransi; Dan kedua, pemetaan kajian radikalisme.

13 Ahmad Suaedy, “Revisiting the problems of Religious Intolerance, Radicalism and Terrorism in Indonesia: a Snapshot” PP presentasi pada FGD Inklusif, 16 Oktober 2018. 14 Ketiga tulisan tersebut adalah: “Kajian tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dan Implikasinya untuk Kebijakan” oleh Zainal Abidin Bagir; “Catatan Satu Dasawarsa Pengukuran dan Pemantauan Kebebasan Beragama di Indonesia” oleh Irsyad Rafsadi; dan “Penelitian Empiris Mengenai Toleransi di Indonesia: Menuju Praktik Terbaik” oleh Nathanael G. Sumaktoyo.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

17


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

1. Mengkaji Intoleransi Toleransi telah menjadi satu objek kajian yang cukup populer di Indonesia dalam 15 tahun terakhir. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya lembaga dan akademisi yang mengkaji isu ini baik yang mengaitkannya dengan kajian ilmu sosial, studi-studi agama hingga terkait kajian bidang hukum dan hak asasi manusia. Dalam pemetaan Sumaktoyo (2017) sejauh ini ada tiga kategori studi tentang toleransi di Indonesia: 1) studi deskriptif menggunakan survei opini publik; 2) studi eksplanatif yeng lebih ilmiah dan mendalam; 3) studi mendokumentasikan dan mengukur tingkat toleransi menggunakan perspektif kebebasan beragama. Kategori yang diajukan Sumaktoyo di atas masih relevan untuk digunakan untuk membaca kajiankajian saat ini. Namun perlu ditambahkan kategori keempat yang juga mulai muncul adalah studi indexing toleransi. 1.1. Kajian Survei Opini Publik Kajian dalam bentuk survei opini publik tentang toleransi antara lain dilakukan oleh Setara Institute, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Jakarta, Wahid Foundation/WF, Alvara dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Setara Institute termasuk yang paling awal melakukan pengukuran toleransi menggunakan metode survei yakni pada Maret 2015. Survei ini mencoba mengungkap persepsi siswa SMU negeri di Jakarta dan Bandung tentang toleransi. Setara mengambil 682 responden siswa yang tersebar di 114 dari 171 SMU di Jakarta dan Bandung. Melalui survei ini Setara bermaksud mengetahui persepsi siswa SMU tentang toleransi dan isu-isu yang terkait dengannya. Survei ini menemukan bahwa sebenarnya sebagian besar siswa (75%) mengetahui apa makna toleransi yakni penghormatan terhadap perbedaan. Mayoritas siswa (90,8%) juga setuju dengan pandangan bahwa semua orang bebas memeluk agama dan kepercayaan sesuai dengan keyakinannya. Mereka juga (79,5%) menyatakan tidak mempertimbangkan faktor agama dalam memilih teman. Dan jika teman mengalami musibah, maka harus ditolong. Pada isu yang lain, ada pandangan yang berimbang terkait pewajiban memakai jilbab di sekolah, dimana 44% menyatakan tidak setuju dan 38%

18

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

yang menyatakan setuju. Hal ini menunjukkan bahwa aturan terkait wajib jilbab di sekolah baik yang dibuat oleh pemerintah maupun pihak sekolah cukup mendapat sambutan. Namun demikian, mayoritas siswa menunjukkan sikap yang toleran terhadap pemeluk agama lain. Hal ini terlihat dari persetujuan yang besar jika ada kebijakan menyediakan tempat ibadah bagi semua agama di sekolah (setuju 74%) dan perayaan kegiatan keagamaan bagi siswa yang berbeda agama (setuju 70%). Namun sikap toleran siswa menurun terhadap orang yang seagama tetapi berbeda aliran terutama Ahmadiyah dan Syiah. Mereka umumnya (43,8%) setuju jika kedua aliran ini dibatasi perkembangannya.15 Setara Institute pada 2016 kembali melakukan survei untuk mengetahui situasi mutakhir tentang toleransi di lingkungan pelajar SMA di Jakarta dan Bandung Raya. Setara mengambil sampel sebanyak 760 siswa dari 171 sekolah di Jakarta dan Bandung Raya. Dalam survei ini Setara menemukan para siswa memiliki pandangan yang cenderung tidak toleran terhadap berbagai isu keagamaan kontemporer. Terhadap orang yang melakukan ibadah dengan cara berbeda misalnya, 69,6% responden menganggap mereka tidak benar atau menyimpang. Demikian juga terkait isu nikah beda agama, umumnya responden tidak setuju, dimana 50,9% menyatakan menolak nikah beda agama. Adapun terkait isu pindah agama, mayoritas responden (71%) menyatakan tidak setuju, dan mayoritas dari mereka (94,3%) akan menghalangi jika ada anggota keluarga yang akan pindah agama.16 PPIM UIN Jakarta juga mencoba mengukur sikap dan tren intoleransi di lingkungan dunia pendidikan. Bahkan kali ini dengan segmen dan area yang lebih luas yakni sekolah dan perguruan tinggi di 34 provinsi. Survei dirilis pada 2017 dengan judul “Api Dalam Sekam: Keber-agama-an Gen Z”. Responden survei berjumlah 2,187 orang yang terdiri dari 1.522 siswa, 337 mahasiswa, serta 264 guru, dan 58 dosen pendidikan agama di 34 provinsi. Dalam survei ini PPIM menemukan kebencian terhadap Ahmadiyah dan Syiah di kalangan sekolah dan perguruan tinggi cukup tinggi. Bahkan ketidaksukaan guru dan dosen terhadap Ahmadiyah dan Syiah jauh lebih

15 “Laporan Survei Tentang Perspsi Siswa SMU Negeri di Jakarta dan Bandung Terhadap Toleransi”, Setara Institute, 30 Maret 2015. 16 Laporan Survei Toleransi Siswa SMA Negeri di Jakarta & Bandung Raya, (Jakarta: Setara Institute, 2016), 15-16.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

19


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

tinggi bila dibandingkan siswa dan mahasiswa. 30,99 persen (siswa dan mahasiswa) menyebut Syi’ah sebagai kelompok yang tidak disukai di urutan pertama sedangkan 19,72 persen (siswa dan mahasiswa) menyebut Ahmadiyah di urutan kedua. Sementara 64,66 persen (guru dan dosen) menyebut Ahmadiyah di urutan pertama dan 55,60 persen (guru dan dosen) menyebut Syiah di urutan kedua sebagai kelompok yang tidak disukai. PPIM juga menemukan 44,72 persen (guru dan dosen) dan 49,00 persen (siswa dan mahasiswa) tidak setuju jika pemerintah harus melindungi penganut Syiah dan Ahmadiyah. Bahkan jika Pemerintah mengeluarkan kebijakan melarang kedua aliran tersebut, 87,89 persen (guru dan dosen) dan 86,55 persen (siswa dan mahasiswa) menyatakan setuju dan mendukung. Pada 2018, PPIM kembali merilis hasil survei tren intoleransi di lingkungan dunia Pendidikan. Laporan survei dengan judul “Pelita yang Meredup: Potret Keberagamaan Guru Indonesia”. Responden survei berjumlah 2,237 orang guru muslim (TK/RA, SD/MI, SMP/MTs dan SMA/ MA) di 34 provinsi. Survei selain melanjutkan survei sebelumnya, juga untuk mengukur adakah pengaruh guru terhadap sikap intoleran siswa. Pada survei ini, PPIM menemukan ternyata opini intoleran di kalangan guru muslim di Indonesia tinggi yakni sekitar 57%. Bahkan 10% masuk kategori sangat intoleran. Beberapa opini intoleran yang ditanyakan misalnya, 21% guru muslim menyatakan tidak setuju tetangga yang berbeda agama mengadakan acara keagamaan di kediaman mereka. Berikutnya jika ada umat agama lain ingin mendirikan sekolah berbasis agama di sekitar mereka, 57% guru menyatakan tidak setuju. Selanjutnya berkaitan dengan aksi intoleran, PPIM menemukan prosentase aksi radikal di kalangan guru muslim juga tinggi yakni 50, 87%, dan ada 6,03% termasuk sangat intoleran. Termasuk dalam aksi intoleran misalnya, 29% guru muslim menyatakan siap menandatangani petisi penolakan kepala dinas pendidikan yang berbeda agama. 34% guru muslim juga menyatakan siap menandatangani petisi penolakan pendirian sekolah berbasis agama non-muslim di sekitar tempat tinggal mereka. Pada 2016 WF melakukan survei nasional menyasar sekitar 1,520 kuisioner di 34 provinsi untuk menggali seberapa besar potensi intoleransi di kalangan muslim, apa faktor yang berkontribusi terhadap sikap intoleran, siapa muslim Indonesia yang masuk kelompok intoleran dan bagaimana mengatasinya. Dalam survei ini WF menemukan, 56,0% muslim indonesia menyatakan intoleran terhadap kelmpok yang tidak disukai. Namun sebagian

20

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

besar mereka yang dimaksud kelompok yang tidak disukai justru LGBT (26,1%) dan komunis (16,7%). Sementara ketidaksukaan terhadap kelompok seagama justru sangat kecil. Ketidaksukaan terhadap Syiah misalnya hanya 1,3% dan Wahabi 0,3%. Angka ini masih lebih kecil dari dari ketidaksukaan terhadap non muslim seperti Yahudi, Kristen dan Budhis yang mencapai 13,2%. Ketika survei tersebut dilakukan kembali terhadap 1,500 responden di 34 provinsi pada 2017, WF menemukan 79 % responden menyatakan mendukung hak kebebasan setiap warga negara untuk menjalankan ajaran agama. Hanya 6% yang menolak hak tersebut. Namun, ketika diajukan pertanyaan, bagaimana sikap responden terhadap kelompok yang tidak disukai, 57% menyatakan tidak toleran, Jumlah ini meningkat dari temuan survei 2016 di atas. Alvara Research Center pada Oktober 2017 juga melakukan survei tentang radikalisme. Survei ini dilakukan untuk memetakan potensi radikalisme di kalangan terdidik. Ada 3 kelompok terdidik yang dimaksud yakni professional, pelajar dan mahasiswa. Kelompok professional yang dimaksud adalah PNS, pegawai BUMN dan pegawai swasta. Survei dilakukan di 6 kota yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan dan Makassar dengan jumlah responden 1.200 orang. Responden mahasiswa berjumlah 1.800 orang yang berasal dari 25 perguruan tinggi favorit di Indonesia. Adapun sampel kelompok pelajar berjumlah 2.400 responden pelajar SMA favorit di Jawa dan luar Jawa. Meski survei ini mengukur potensi radikalisme, namun ada pertanyaan survei yang terkait dengan pandangan intoleran para responden. Pada survei ini, Alvara misalnya menemukan dukungan terhadap pemimpon non muslim di kalangan profesional rendah. Jika ada pemimpin non muslim yang terpilih secara demokratis, profesional, mahasiswa dan pelajar yang tidak mendukung hampir mencapai 30%. Dalam analisis Alvara, rendahnya dukungan pemimpin non muslim ini bisa jadi merupakan imbas dari menguatnya politik identitas dan masuknya agama dalam politik. Pada November 2018 LIPI mempresentasikan hasil survei dengan judul “Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia”. Survei ini menghimpun 1,800 responden di 9 provinsi yakni DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, DIY, dan Aceh. Survei ini berupaya mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

21


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

berkembangnya intoleransi berbasis isu agama dan etnisitas yang terjadi di dunia nyata dan dunia maya serta sejauhmana faktor tersebut berpengaruh terhadap perkembangan intoleransi dan radikalisme. Dalam survei ini, LIPI menemukan ketidakpercayaan terhadap pemeluk agama lain di 9 provinsi yang disurvei masih tinggi. Misalnya, 50,5% responden menyatakan akan berhati-hati jika berurusan dengan orang yang berbeda agama, 63,5% responden menyatakan lebih percaya dengan tokoh yang seagama dan 58,4% responden menyatakan lebih percaya pemimpin yang seagama. Survei ini juga menemukan 51% responden menyatakan merasa terancam dengan kehadiran aliran-aliran yang dianggap sesat, dan 55% menyatakan tidak bias menerima aliran-aliran tersebut. Survei LIPI juga menemukan terkait dengan pendirian rumah ibadah agama lain di lingkungan sekitar, 34,4 % responden menyatakan penolakannya. Adapun terkait dengan pembubaran kegiatan agama lain, ada 10% responden menyatakan setuju. Terkait dengan faktor yang mempengaruhi tingkat intoleransi siswa, PPIM (Survei 2017) menemukan ada 3 fator dominan: 1) Guru dan model pembelajaran PAI. Survei ini menemukan ada 48,95% siswa dan mahasiswa merasa bahwa pendidikan agama memiliki peran besar dalam mempengaruhi mereka agar tidak bergaul dengan pemeluk agama lain; 2) akses internet sebagai sumber pengetahuan agama. Survei ini menemukan siswa dan mahasiswa yang memiliki akses lebih terhadap internet jauh lebih intoleran dibanding mereka yang kurang akses internet; 3) ustadz/ustadzah yang menjadi panutan. Dalam survei ini, PPIM menemukan beberapa ustadz/ ustadzah yang menjadi rujukan para siswa dan mahasiswa yaitu: Mamah Dedeh, Yusuf Mansyur, Abdullah Gymnastiar, Zakir Naik, Hanan Attaki, Arifin Ilham dan Khalid Basalamah. Terkait dengan faktor yang mempengaruhi opini dan aksi intoleran di kalangan guru muslim (Survei 2018), PPIM menemukan ada 3 faktor: pandangan islamis; faktor demografis; faktor ormas dan sumber pengetahuan keislaman. Pandangan islamis yang dimaksud antara lain pandangan tentang al Quran. 40,36% guru muslim menyatakan bahwa seluruh ilmu pengetahuan sudah ada dalam al Quran sehingga muslim tidak perlu mempelajari ilmu pengetahuan dari Barat. Pandangan islamis lain, 82,77% guru muslim menyatakan Islam adalah satu-satunya solusi mengatasi berbagai persoalan masyarakat. Terkait faktor demografis, PPIM menemukan guru perempuan

22

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

memiliki opini intoleran yang lebih tinggi pada pemeluk agama lain dibanding guru laki-laki. Begitujuga guru madrasah swasta ternyata lebih intoleran dibandingkan guru madrasah negeri. Dan semakin muda usia guru, maka opini dan intensi intoleran juga semakin tinggi. Berikutnya semakin rendah penghasilan guru, maka kecendrungan sikap intoleran mereka semakin tinggi. Survei ini juga menemukan guru TK/RA memiliki opini intoleran yang lebih tinggi terhadap pemeluk agama lain bila dibanding guru SD/MI, SMP/Mts dan SMA/MA. PPIM menemukan, sedikitnya ada 4 guru mata pelajaran yang cenderung lebih intoleran bila dibanding guru mata pelajaran lain yaitu: Guru Bahasa (Arab, Indonesia, Inggris, Bahasa Daerah), Olahraga, Kesenian & Kterampilan dan Guru Kelas. Terkait faktor sumber pengetahuan, PPIM menemukan ada pengaruh kedekatan dengan Ormas Keagamaan serta ustadz/ustadzah tertentu yang menjadi panutan terhadap opini dan aksi intoleran. Adapun factor yang mempengaruhi sikap dan resiko intoleransi umat muslim Indonesia, WF menemukan sedikitnya ada 4 faktor yakni: perasaan teralienasi/deprivasi dan terancam; pemahaman literal terhadap masalah jinayah (hukum pidana islam) dan muamalah (ekonomi Islam); frekuensi mengikuti berita keagamaan; dan intoleransi umum. WF juga menemukan, dukungan responden terhadap sistem demokrasi tidak mengurangi resiko intoleransi karena intoleransi justru dilakukan mereka yang mendukung sistem demokrasi. Hal ini berbeda jika yang didukung adalah nilai demokrasi (bukan hanya sistem), maka potensi intoleransi akan jauh lebih rendah. Ini berarti dukungan terhadap demokrasi harus sampai pada internalisasi nilainilai demokrasi, bukan hanya prosedural. Pada survei yang dilakukan LIPI, ditemukan 6 faktor yang mempengaruhi intoleransi yakni: (1) Perasaan Terancam terhadap Agama Lain, (2) Ketidakpercayaan terhadap agama lain, (3) Ketidakpercayaan terhadap suku/Etnis lain, (4) Fanatisme agama, (5) Sekularisme, serta (6) Penggunaan Media Sosial.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

23


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

Tabel 1. Peta Temuan Survei Opini dan Sikap Intoleran di Indonesia

Segmen Masyarakat

Indikator Intoleran

Siswa dan mahasiswa muslim

Opini

Sikap

Guru dan Dosen muslim

Opini

Sikap

Profesional

Sikap

Umat Muslim

Sikap

Masyarakat umum

Opini

Setara Institute

PPIM

2015

2016

2017

43,8% setuju pelarangan Ahmadiyah

71% menolak isu pindah agama

30,99% setuju Syiah adlh klp yg paling tdk disukai

2018

94,3% menghalangi kel. Pindah agama 87,89 % setuju Ahmadiyah dilarang

57% tidak setuju pendirian sekolah berbasis agama lain di sekitar 34% siap tandatangan penolakan sekolah berbasis agama lain didirikan di sekitar

Sikap

24

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

Segmen Masyarakat

Indikator Intoleran

Siswa dan mahasiswa muslim

Opini

Wahid Foundation

Alvara

LIPI

2016

2017 29,5% (mahasiswa) 29,7% (siswa SMA) tidak setuju pemimpin on muslim

2018

2018

Sikap

Guru dan Dosen muslim

Opini

Profesional

Sikap

Umat Muslim

Sikap

Masyarakat umum

Opini

51% merasa terancam dg aliran sesat

Sikap

50,5% tdk percaya org yg berbeda agama

Sikap 29,7% tidak setuju pemimpoin non muslim 56 % menolak klp. yg tidak disukai

57% menolak klp. yg tidak disukai

Dari sejumlah survei di atas, ditemukan faktor-faktor yang sangat beragam yang mempengaruhi opini, sikap maupun aksi intoleran, tergantung siapa kelompok yang disurvei. Namun dari berbagai segmen masyarakat yang disurvei, faktor yang banyak muncul adalah terkait sumber pengetahuan agama dan perasaan terancam oleh kelompok yang berbeda. Sumber pengetahuan agama ini bisa dari ormas agama, tokoh-tokoh agama ataupun media online.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

25


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

Tabel 2. Faktor-faktor intoleransi

Lembaga Survei PPIM

Segmen yang Disurvei

Faktor-faktor Intoleransi

Siswa dan mahasiswa

1. Guru /Model pembelajaran PAI 2. Akses internet sebagai sumber pengetahuan agama. 3. Tokoh/ustadz/ustadzah yang menjadi panutan

Guru Muslim

1. Pandangan islamis 2. Demografi (gender, usia, tingkat penghasilan, dll) 3. Ormas dan sumber pengetahuan agama

Wahid Foundation

Umat Muslim

1. Perasaan teralienasi/terdeprivasi dan terancam 2. Pemahaman literal teks agama 3. Frekuensi mengikuti berita keagamaan 4. Intoleransi umum

Alvara

Profesional, mahasiswa dan siswa SMA

Politik identitas

LIPI

Masyarakat umum

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Perasaan terancam oleh agama lain Ketidakpercayaan terhadap agama lain Ketidakpercayaan terhadap suku lain Fanatisme agama Sekularisme Penggunaan media sosial

1.2. Studi Mendalam Beberapa lembaga yang melakukan studi mendalam terkait intoleransi antara lain Christian Solidarity Worldwide (CSW), CRCS UGM, Pusad Paramadina, Litbang Kementrian Agama RI dan Komnas Perempuan. Pada 2014, Christian Solidarity Worldwide (CSW) melakukan kajian tentang intoleransi di Indonesia. Menurut CSW, ada empat kategori

26

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

kekuatan kelompok intoleran di Indonesia: organisasi teroris, kelompokkelompok kekerasan yang kerap main hakim sendiri, organisasi ideologis nonkekerasan dan partai politik. Ketika pemerintah berhasil melemahkan dan menurunkan kekuatan organisasi teroris, tiga kekuatan lain justru menjadi jauh lebih berpengaruh dan lebih berbahaya.17 CRCS UGM menerbitkan hasil penelitian berjudul Politik Lokal dan Konflik Keagamaan, Buku yang dirilis 2015 ini mengkaji berbagai kasus intoleransi berdasar agama di Indonesia dan keterlibatan kepentingankepentingan politik di dalamnya. Salah satu yang menjadi lokus kajian kekerasan terhadap Syiah di Sampang. Riset ini dilatarbelakangi oleh dugaan bahwa pragmatisme politik dan marjinalisasi kelompok masyarakat telah mendorong menguatnya politik identitas. Politik identitas sering digunakan secara negatif dimana mobilisasi elektoral sering mengafirmasi kontestasi antarkelompok identitas (etnis maupun agama).18 Dan faktor inilah yang dalam dugaan CRCS memperkuat intensi kekerasan terhadap Syiah di Sampang. Dan memang demikian adanya, bagi CRCS konflik Sunni-Syiah di Sampang menjadi semakin kompleks ketika terjadi politisasi atau keterlibatan aktor politik dalam masalah ini. Tradisi Madura yang menghormati para kyai menjadi modal politik mereka untuk melakukan tawar menawar politik dengan para politisi. Dalam kasus Sunni-Syiah di Sampang, terjadi mutual simbiosis antara para kyai dan para politisi. Para kyai mempunyai hajat untuk mengusir Tajul Muluk dan membubarkan ajarannya di Madura. Sedang para politisi mempunyai kepentingan terhadap para kyai yang memiliki massa militan yang bermanfaat bagi mobilisasi elektoral mereka.19 Berikutnya Pusad Paramadina menerbitkan buku berjudul Pelintiran Kebencian karangan Cherian George (2016). Buku ini mengkaji fenoma intoleransi di berbagai negara termasuk Indonesia yang diakibatkan oleh ujaran kebencian oleh mereka yang merasa dilukai perasaannya oleh ekspresi orang lain. George menyebut fenomena ini sebagai “pelintiran

17

Indonesia: Pluralism in Peril The Rise of Religious Intolerance Across the Archipelago (United Kingdom: Christian Solidarity Worldwide, 2014), 44. 18

Mohammad Iqbal Ahnaf, dkk., Politik Lokal dan Konflik Keagamaan, (Yogyakarta: CRCS, 2015), 8.

19

Mohammad Iqbal Ahnaf, dkk., Politik...33.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

27


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

kebencian” yakni penghinaan dan ketersinggungan yang sengaja diciptakan dan digunakan sebagai strategi politik yang mengeksploitasi identitas kelompok guna memobilisasi pendukung dan menekan lawan. Salah satu chapter berjudul “Indonesia: Demokrasi yang Diuji di Tengah Intoleransi” menyebut Pemerintah Indonesia kurang memberi perhatian pada naiknya budaya kebencian dan kekerasan. Sembari mengutip Sidney Jones, ia menyebut masalah terbesar Indonesia bukan terorisme melainkan intoleransi yang menjalar dari kelompok radikal yang pinggiran ke arus utama. Pemerintah juga tidak mampu melindungi kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah. George menyebut intoleransi kelompok mayoritas di Indonesia tidak didorong oleh gerakan terpadu dengan doktrin yang jelas. Yang ada adalah sekian banyak organisasi dan kelompok kepentingan yang tindakannya meskipun tidak terkoordinasi, telah menciptakan lingkungan yang menyuburkan kebencian.20 Terkait dengan kontestasi kelompok-kelompok aktor, George melihat adanya persaingan di ruang publik Islam Indonesia antara kelompokkelompok islam garis keras dengan kelompok “islam sosial” atau “civil Islam”. Persaingan ini melahirkan jalan tengah dalam bentuk agama publik yang mengemuka melalui asosiasi publik yang bebas, dialog yang bernas serta kedewasaan para pemeluknya.21 George mengidentifikasi beberapa kekuatan muslim intoleran di Indonesia antara lain FPI yang disebutnya sebagai lembaga yang menciptakan ketegangan sosial dan kepanikan moral; HTI yang disebutnya sebagai lembaga yang menyebarluaskan pandangan intoleran, mendorong kaum ekstrimis dan membenarkan diskriminasi; MUI yang disebutnya menyuburkan intoleransi melalui fatwa-fatwa yang dikeluarkannya.22 George juga menyebut Bakorpakem sebagai pelembagaan intoleransi di tingkat bawah. Lembaga ini bekerjasama dengan politisi oportunis, FPI, MUI dan kelompok penyebar kebencian lain menjadikan pelintiran kebencian sebagai bagian dari demokrasi.23 Dari kelompok civil Islam, George melihat NU dan Muhammadiyah adalah pilar utama menghalau ekstrimisme. NU dengan keluwesan 20

Cherian George, Pelintiran Kebencian (Jakarta: Pusad Paramadina, 2016), 147148.

28

21

Cherian George, Pelintiran..., 150.

22

Cherian George, Pelintiran..., 153

23

Cherian George, Pelintiran..., 154

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

tradisionalis dan keterbukaan terhadap budaya telah menjadi kekuatannya. Sementara Muhammadiyah menjadi salah satu pilar civil Islam yang terbuka karena penekanan organisasi ini pada kajian dan penafsiran pribadi yang diperlawankan pada ketundukan buta pada ajaran ulama.24 George juga menyebut faktor regulasi negara telah semakin memberi dasar bagi sikap intoleran dari kelompok pelintiran kebencian. Regulasi yang dimaksud antara lain UU Pornografi dan Pornoaksi, UU Penistaan Agama, Pasal 156A KUHP dan Pasal 28 UU ITE. Keempat regulasi ini mendapat kekuatan konstitusi dengan adanya pasal 28J UUD 1945 yang menyatakan dapat membatasi ekspresi kelompok tertentu jika bertentangan dengan nilai agama. Inilah yang menjadikan keempat UU tersebut terus bisa bertahan.25 Balitbang Kementrian Agama RI pada 2016 menerbitkan kumpulan riset berjudul Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik. Buku ini berisi tujuh penelitian yang mencoba memetakan pandangan dan sikap warga terkait beberapa isu yang dianggap sensitif di tujuh wilayah yang dianggap sebagai daerah rawan konflik di Indonesia yakni Padang (Sumatra Barat), Jakarta Timur, Kota Bekasi dan Kota Bogor (Jawa Barat, Temanggung (Jawa Tengah), Kota Mataram (NTB), Kabupaten Poso (Sulawesi Tengah), dan Kota Kupang (NTT).26 Kajian ini menemukan level toleransi di wilayah rawan konflik tidak sama, sangat tergantung pada sejumlah faktor yang mempengaruhi, seperti migrasi dan perubahan komposisi penduduk, pengalaman konflik, budaya setempat serta pengalaman bertemu atau bersinggungan dengan orang yang berbeda agama/keyakinan. Contoh kasus perkawinan beda agama, ternyata level penerimaan setiap wilayah berbeda-beda dimana Kupang dan Temanggung merupakan dua wilayah yang paling terbuka menerima praktik tersebut, hingga ada istilah “keluarga pelangi”. Temuan lain yang menarik adalah bahwa dengan semakin berkurangnya ruang publik sebagai lokus bertemunya warga ternyata turut mempengaruhi turunnya tingkat toleransi di satu wilayah. Karena itu, menurut kajian ini pengelolaan tata ruang yang inklusif sangat penting dalam memperkuat toleransi.27 24

Cherian George, Pelintiran..., 153

25

Cherian George, Pelintiran..., 157

26

Ahsanul Kholikin & Fathuri, Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik (Jakarta: Balitbang Kemenag RI, 2016), 10.

27

Ahsanul Kholikin & Fathuri, Toleransi Beragama..., 128-130.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

29


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

Komnas Perempuan (KP) juga adalah lembaga negara yang mengeluarkan satu kajian penting tentang toleransi di Indonesia. Pada 2014, KP menerbitkan buku berjudul Pengalaman dan Perjuangan Perempuan Minoritas Agama Menghadapi Kekerasan dan Diskriminasi Atas Nama Agama. Buku ini berusaha mengelaborasi secara mendalam bagaimana kondisi perempuan minoritas agama sekaligus korban intoleransi dan apa dampak yang dirasakan perempuan akibat intoleransi tersebut. Kajian ini menemukan bahwa kerentanan atas kekerasan dan diskriminasi bagi perempuan semakin meningkat ketika ia menjadi bagian dari komunitas minoritas agama dalam situasi intoleransi. Ketika kekerasan atas nama terjadi, perempuan tidak pernah tinggal diam, mereka akan melakukan perlawanan untuk melindungi anak dan harta mereka. Penderitaan yang dialami perempuan tidak hanya pada saat terjadi kekerasan tetapi juga berlanjut setelah peristiwa terjadi. Mereka kerap harus menjalani tugas berlipatganda: menjadi pelindung anak dari keterbatasan ekonomi, menjadi pembimbing anak agar mereka tidak trauma. Beban ini akan makin berat ketika mereka harus berada di pengungsian.28 Kajian yang dilakukan LIPI dan dirilis pada November 2018 ini juga penting dicatat. Kajian ini mengkaji 9 provinsi di Indonesia (Aceh, Sumatra Utara, DKI, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan) untuk menemukan bagaimana perkembangan intoleransi di wilayah-wilayah tersebut. Pada kajian ini LIPI menemukan setiap provinsi memiliki karakteristiknya sendiri terkait intoleransi, baik terkait dengan faktor maupun aktornya. Kajian ini misalnya menemukan di Aceh otoritas agama menjadi agen vital dan sangat menentukan konstelasi politik. Sumatra Utara mengalami pergeseran dimana politik identitas (agama dan etnis) menguat dipengaruhi Pilkada DKI. Temuan lain, toleransi dan intolransi di Banten masih dipengaruhi sikap curiga kepada umat Kristen terutama isu Kristenisasi.29 Dari berbagai temuan riset mendalam beberapa lembaga di atas, dapat ditarik benang merah bahwa intoleransi justru lebih banyak muncul bukan

28

Tim Komnas Perempuan, Pengalaman dan Perjuangan Perempuan Minoritas Agama Menghadapi Kekerasan dan Diskriminasi Atas Nama Agama (Jakarta: Komnas Perempuan, 2014), 17-18.

29

“Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia Kajian Kualitatif”, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 15 November 2018.

30

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

karena faktor ideologis atau perbedaan dogma agama, melainkan faktor-faktor eksternal seperti dorongan kepentingan politik, migrasi, pengalaman konflik dan budaya setempat. Daerah di mana budaya perjumpaan antar agama dan ideologi yang berbeda biasa terjadi, perbedaan-perbedaan ideologis dan agama tidak banyak dipermasalahkan. Namun, di daerah dimana masyarakatnya cenderung homogen, jarang bertemu kelompok berbeda, sangat mudah disulut sentimen agama oleh para aktor politik. Sedemikian kuatnya faktor politik mendorong intoleransi, daerah seperti Jakarta dan Sumatra Utara yang dikenal sangat heterogen dan terbiasa berjumpa perbedaan pun dapat dilanda gelombang intoleransi yang disebabkan oleh adanya “pelintiran kebencian” juga untuk meraih dukungan politik. 1.3. Studi Pemantauan dan Pengukuran Tidak kurang dari 10 tahun, sejumlah lembaga telah melakukan studi berkala tentang toleransi dalam bentuk pemantauan, pengumpulan, pengukuran dan pelaporan situasi toleransi di Indonesia. Pemantauan dan pengukuran ini dilakukan oleh The Wahid Institute/Wahid Foundation, Setara Institute, CRCS UGM dan Moderat Muslim Society (MMS). Namun dari empat lembaga ini, hanya The Wahid Institute/Wahid Foundation dan Setara Institute yang paling konsisten dimana sejak 2007 hingga 2018 terus menerbitkan laporan setiap tahun. Sementara CRCS lebih menekankan mengulas tema-tema tertentu yang dianggap aktual, dan tidak fokus pada pembuatan laporan reguler. Adapun MMS hanya 2 kali mengeluarkan laporan tahunan yakni edisi 2008 dan 2009. Pada tahun 2017 ini, Wahid Foundation mengeluarkan laporannya yang ke 11. Salah satu temuan penting mereka bahwa sejak pertama kali menerbitkan laporan ini, tren intoleransi selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Hanya pada 2013 dan 2014 ada penurunan jumlah, tetapi setelah itu tren intoleransi kembali naik. Wahid juga menemukan selama 11 tahun pelaporan, Jawa Barat selalu menjadi daerah dengan tingkat intoleransi tertinggi di Indonesia. Hanya pada 2017 posisi Jawa Barat digeser Jakarta akibat maraknya ujaran kebencian pada Pilkada lalu. Temuan Wahid lainnya, sejak laporan 2014, ada perubahan tren pelaku intoleransi/pelanggaran justru lebih banyak dilakukan aparat negara. Ada dugaan kuat bahwa para pelaku nonnegara tidak lagi melakukan tindakan intoleransi secara langsung,

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

31


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

namun menggunakan perpanjangan tangan negara. Dugaan lainnya, telah terjadi situasi mainstreaming intoleransi sudah menjalar ke institusi-institusi negara. Temuan-temuan Wahid hampir selalu sejalan dengan temuan Setara Institute baik dari aspek peningkatan dan penurunan angka peristiwa intoleransi, tren pelaku terbanyak, sebaran wilayah dan aspek lainnya. Memang satu dua kali terjadi perbedaan temuan karena beberapa peristiwa luput tercatat oleh salah satu lembaga seperti temuan pada 2017 lalu, namun perbedaan tersebut tidak mempengaruhi kepercayaan dan kredibilitas kedua laporan lembaga ini untuk menjadi rujukan berbagai pihak termasuk institusi pemerintah dan lembaga internasional. Temuan kedua lembaga ini secara tidak langsung juga telah mendorong pemerintah pusat melakukan pemantauan dan pelaporan situasi kerukunan sebagai respon sekaligus menampilkan sudut pandang yang lain dari kritik yang selalu menyertai laporan Wahid dan Setara kepada Pemerintah. Model pelaporan reguler yang dikeluarkan CRCS dapat menjadi model alternatif dalam melihat problem intoleransi yang melengkapi laporan Wahid dan Setara. CRCS sendiri memulai tradisi laporan tahunan ini sejak 2008. Laporan-laporan tersebut mengkaji beberapa masalah utama atau peristiwaperistiwa penting dalam kehidupan beragama di Indonesia, khususnya dalam pengelolaan keragaman agama oleh negara maupun masyarakat. Beberapa tema yang pernah diangkat CRCS antara lain agama dan kebijakan publik, hubungan antar maupun intra agama, isu rumah ibadah, isu penodaan agama, konflik terkait masalah agama, agama dan Pemilu dan lain-lain.30 1.4. Studi Indeks Studi Indexing kota toleran dapat disebut model studi baru di Indonesia. Baru Setara Institute yang melakukan pendekatan ini untuk mengukur sejauhmana kota-kota di Indonesia melakukan pemajuan toleransi di daerahnya. Studi indexing ini sudah dilakukan Setara sejak 2015. Studi ini mengutamakan praktik-praktik toleransi terbaik kota-kota di Indonesia, dengan memeriksa seberapa besar kebebasan beragama/berkeyakinan 30 Zainal Abidin Bagir, dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012, (Yogyakarta: CRCS, 2012), 1.

32

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

dijamin dan dilindungi melalui regulasi dan tindakan—di satu sisi—serta menyandingkannya dengan realitas perilaku sosial kemasyarakatan dalam tata kelola keberagaman kota, khususnya dalam isu agama/keyakinan. Setara menggunakan skala Likert dalam memberi skooring dimana skor 1 untuk situasi paling buruk dan 7 untuk paling baik. Pada 2017, Setara mengeluarkan 10 kota paling toleran dari 94 kota yang diindex. Manado, Pematangsiantar, Salatiga, Singkawang dan Tual menjadi lima kota paling toleran dengan skor 5,90. Berikutnya Kota Binjai, Kotamobagu, Palu dan Tebingtinggi juga mendapat skor sama 5,80. Peringkat kesepuluh ditempati Surakarta dengan skor 5,72. Dibandingkan dengan data Indeks Kota Toleran Tahun 2015, tidak terjadi perubahan yang signifikan pada kelompok kota dengan skor tertinggi. Sepuluh kota sebagaimana disebutkan di atas sesungguhnya merupakan kota-kota yang pada tahun sebelumnya berada pada kluster 1 kota-kota dengan skor toleransi tinggi. Pada Index 2017 ini, Setara juga mengeluarkan 10 kota dengan skor toleransi terendah. DKI Jakarta menjadi kota paling tidak toleran dengan skor 2,30, diikuti Banda Aceh 2,90. Bogor menempat posisi ketiga dengan skor 3,05 diikuti Cilegon 3,20 dan Depok 3,30. 2. Kajian Radikalisme Kajian radikalisme agama mulai massif di Indonesia sejak 2009 dan 2010. Meskipun kajian terkait tema ini sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya, namun perbedaan mencolok dari kajian-kajian setelah 2009 adalah tema-tema kajiannya lebih banyak mengulas gerakan dan profiling jaringan kelompok radikal. Dapat dipetakan ada dua model kajian radikalisme di Indonesia yang dilakukan lembaga baik pemerintah maupun masyarakat dalam 10 tahun terakhir: Pertama, survei opini publik berkala terhadap sejumlah isu aktual; Kedua, kajian eksploratif, mendalam yang fokus menelaah isu-isu spesifik. 2.1. Survei Opini Publik Meski banyak lembaga yang melakukan survei opini publik terkait pandangan keagamaan masyarakat, dapat dikatakan survei yang secara khusus mengungkap radikalisme tidak terlalu banyak, sebagian dari survei tersebut mencoba mengungkap opini publik terkait pemahaman terorisme

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

33


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

dan sebagian lagi membahas permasalahan intoleransi. Beberapa lembaga yang khusus melakukan survei radikalisme yang akan dibahas pada bagian ini adalah: Wahid Foundation, PPIM, SMRC, LIPI dan Alvara Research Center. Wahid Foundation melakukan tiga kali survei tentang radikalisme yakni dua kali pada 2016 dan sekali pada 2017, dua survei dilakukan berbarengan dengan survei intoleransi yang sudah dibahas pada bagian sebelumnya. Survei pertama dilakukan pada April 2016 dengan menjaring 1,520 responden di 34 provinsi. Hasil survei ini dipresentasikan dengan judul “Potensi Intoleransi dan Radikalisme Sosial Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia”. Survei ini berusaha mengungkap sikap dan perilaku kalangan muslim terkait radikalisme, siapa saja kelompok radikal, faktor-faktor yang mempengaruhi sikap radikal. Survei ini menemukan bahwa dukungan terhadap tindakan radikal di kalangan muslim sebenarnya kecil yakni sekitar 7% dan ada 4% yang sudah pernah melakukan kekerasan. Namun jika dikonversi menjadi jumlah, maka potensi kekerasan kalangan muslim sekitar 11 juta. Begitu pula temuan terkait dukungan terhadap sistem demokrasi masih cukup besar yakni 67%, sementara yang anti demokrasi hanya 1%. Namun menjadi pertanyaan, ternyata yang netral juga cukup besar yakni 40%. Apa arti sikap netral ini, tidak dijelaskan lebih jauh. Selain itu, dukungan terhadap Pancasila juga masih sangat tinggi yakni 82,3% dan yang menolak Pancasila hanya 1%. Survei juga menemukan sejumlah faktor yang mempengaruhi sikap dan pandangan radikalisme antara lain: Pemahaman literalis terkait masalah muamalah dan jihad kekerasan, dukungan terhadap organisasi radikal, intoleransi terhadap kelompok yang tidak disukai dan materi ceramah yang berisi permusuhan dan kecurigaan. Survei ini juga menemukan lima karakteristik kelompok radikal di Indonesia yaitu: usia muda dan laki-laki, cenderung memahami ajaran agama secara literal, banyak terpapar informasi keagamaan yang berisi kecurigaan dan kebencian, cenderung mengingkari atau menentang pemenuhan hak-hak kewarganegaraan kelompok yang tidak disukai dan cenderung membenarkan dan mendukung tindakan dan gerakan radikal.31 31 Wahid Foundation, “Paparan Hasil Survei Nasional Potensi Intoleransi dan Radikalisme Sosial Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia”, Wahid

34

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

Suevei kedua dilakukan pada Mei 2016 dengan menyebar angket kepada peserta Perkemahan Rohis Islam di Cibubur. Angket yang dikumpulkan sebanyak 1,626. Survei ini mencoba melakukan profiling Rohis terkait sumber pengetahuan, materi yang diajarkan. Survei juga berusaha mengungkap pandangan para aktivis Rohis tentang masalah-masalah keislaman seperti tentang pidana islam, politik islam, pandangan dan dukungan terhadap aksi terorisme. Survei ini menemukan hasil yang cukup mengejutkan karena infiltrasi pemahaman radikal dan teroris sudah sedemikian kuat menjalar ke organisasi Rohis yang notabene organ intra sekolah negeri. Survei ini misalnya menemukan ada 8% aktivis Rohis yang mendukung ISIS, 10% mendukung bom Sarinah dan 33% percaya bahwa jihad adalah berperang melawan orang kafir. Survei juga menemukan 78% responden mendukung sistem khilafah, 68% mendukung hukum rajam bagi pelaku zina dan 68% mendukung hukum potong tangan.32 Adapun survei ketiga dilakukan pada Oktober 2017, dilakukan untuk mengukur potensi radikalisme di kalangan perempuan muslim Indonesia, untuk mengetahui sejauhmana perempuan muslim menerima ide kesetaraan gender dan faktor apa saja yang berkontribusi terhadap penguatan radikalisme. Responden berjumlah 1500 orang (laki-laki dan perempuan) dari 34 provinsi. Sebagaimana hasil survei yang dilakukan Wahid pada bulan April, survei kali ini juga menemukan dukungan terhadap Pancasila masih sangat tinggi yakni 82,1%. Begitupula dukungan terhadap demokrasi, meski ada penurunan dari survei bulan April, namun masih tetap tinggi yakni 69%. Terkait empat tema otonomi perempuan, survei menemukan perempuan paling tidak otonom dalam hal pandangan keagamaan (37,6%), diikuti isu bekerja (62,6%), pilihan politik (68,0%) dan tertinggi dalam hal memilih suami/istri (79,5%). Adapun temuan terkait potensi radikalisme di kalangan perempuan ternyata cukup tinggi. Potensi radikalisme paling tinggi adalah menyumbang dalam bentuk materi (27,6%) dan meyakinkan orang lain memperjuangkan

Foundation-LSI, 2016. 32

Wahid Foundation, “Laporan Riset Potensi Radikalisme di Kalangan Aktivis Rohani Islam Sekolah-Sekolah Negeri”, Lokakarya Penguatan Toleransi dan Kebhinekaan di Kalangan Muda Indonesia, Hotel Akmani 18 Januari 2017.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

35


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

syariat Islam (17,6%). Survei juga menemukan, perempuan yang pernah atau bersedia terlibat dalam tindakan radikal seperti demonstrasi, sweeping dan penyerangan tempat ibadah jauh lebih kecil jika dibanding laki-laki.33 Pada bulan Mei 2017, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) melakukan survei untuk mengungkap opini publik tentang beberapa isu yang terkait erat dengan paham radikalisme seperti gagasan tentang khilafah, negara Islam, demokrasi dan pembelaan terhadap NKRI. Temuan-temuan SMRC dalam survei ini secara umum semakin memperkuat hasil survei Wahid Foundation pada April dan Oktober di atas. Pada survei ini, SMRC misalnya menemukan bahwa hampir semua warga negara bangga menjadi warga negara RI (sekitar 96%), bahkan sekitar 8 dari 10 warga bersedia membela dan menjaga keutuhan NKRI. Bagi mereka yang merasa NKRI dalam ancaman, sebab utamanya adalah faham agama tertentu (39,4%). Survei juga menemukan secara umum rasa nasionalisme dan patriotisme warga sangat tinggi. Mayoritas responden (79,3%) menyatakan bahwa Pancasila dan UUD 1945 adalah yang terbaik bagi rakyat Indonesia. Terkait dengan ISIS dan cita-citanya menegakkan khilafah, mayoritas warga (sekitar 89%) menyatakan tidak setuju dengan perjuangan ISIS. Warga juga menilai ISIS adalah ancaman bagi NKRI, karenanya setuju untuk dilarang. Begitupula dengan HTI, mayoritas warga setuju dengan pandangan pemerintah membubarkan organisasi ini, dengan alasan HTI ingin mendirikan khilafah.34 Survei tentang radikalisme juga dilakukan dua kali oleh PPIM. Survei pertama dilakukan pada 1 September – 7 Oktober 2017 dengan menarget siswa dan guru SMA, mahasiswa dan dosen perguruan tinggi di 34 provinsi, dengan jumlah sampel 2,181 orang. Survei dilakukan untuk melihat pandangan serta sikap keberagamaan siswa/mahasiswa dan guru/dosen di sekolah maupun di perguruan tinggi. Pada suevei ini, PPIM menemukan opini radikal siswa/ mahasiswa cukup tinggi dengan angka 58,5%, namun pada level aksi radikal angkanya jauh menurun menjadi hanya 7,0%. Sementara opini radikal pada guru/dosen jauh lebih rendah dengan angka 23,0%. Namun, pada aspek aksi

33

“Laporan Survei Nasional Tren Toleransi Sosial Keagamaan di Kalangan Perempuan Muslim Indonesia”, Wahid Foundation-LSI, 2018.

34

“NKRI dan ISIS Penilaian Massa Publik Nasional Temuan Survei Mei 2017”, SMRC, 2017.

36

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

radikal guru/dosen justru lebih tinggi dibanding siswa/mahasiswa dengan angka 8%.35 Survei kedua dilakukan dari 6 Agustus – 6 September 2018, PPIM menjaring 2,237 guru muslim mulai dari TK sampai SMA se Indonesia guna memetakan seberapa besar radikalisme guru sekolah/madrasah se Indonesia. Dan faktor apa saja yang berkontribusi terhadap radikalisme guru. Survei ini menemukan bahwa guru di Indonesia mulai dari TK sampai SMA memiliki opini radikal yang tinggi. Misalnya ada 33% guru yang setuju menganjurkan orang lain ikut berperang mewujudkan negara Islam, ada 29% guru setuju untuk ikut berjihad di Filipina Selatan, Suriah atau Irak untuk memperjuangkan berdirinya negara Islam. Temuan lainnya, pada level aksi radikal ada 27,59% guru berkeinginan untuk menganjurkan orang lain ikut berperang menegakkan negara Islam, dan yang paling mengejutkan ada 13,30% guru berkeinginan untuk menyerang polisi yang menangkap orangorang yang sedang berjuang mendirikan negara Islam. Terkait dengan faktor yang berkontribusi terhadap pandangan dan sikap radikal, PPIM menemukan ada tiga faktor: Pertama, Pandangan Islamis. Ada 82,77% guru setuju bahwa Islam adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi segala persoalan masyarakat; Kedua, faktor demografis. PPIM menemukan ternyata guru perempuan memiliki opini dan intensi aksi radikal yang lebih tinggi dibandingkan guru laki-laki. Guru sekolah/madrasah swasta juga cenderung lebih radikal dibanding guru sekolah/madrasah negeri. Temuan berikutnya, semakin rendah penghasilan, maka semakin tinggi opini dan intensi aksi radikal guru; Ketiga, kedekatan dengan Ormas dan sumber pengetahuan. Misalnya guru yang dekat dengan Muhammadiyah dan FPI cenderung lebih intoleran dibanding guru-guru yang dekat dengan NU dan NW.36 Alvara Research Center pada Oktober 2017 juga melakukan survei tentang radikalisme. Survei ini dilakukan untuk memetakan potensi radikalisme

35

“Api Dalam Sekam: Keberagamaan Gen Z Survei Nasional tentang Sikap Keberagamaan di Sekolah dan Universitas di Indonesia”, PPIM UIN JakartaConvey Indonesia, 2017. 36 “Pelita Yang Meredup: Potret Keberagamaan Guru Indonesia”, hasil survei PPIM 2018.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

37


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

di kalangan terdidik. Ada 3 kelompok terdidik yang dimaksud yakni professional, pelajar dan mahasiswa. Kelompok professional yang dimaksud adalah PNS, pegawai BUMN dan pegawai swasta. Survei dilakukan di 6 kota yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan dan Makassar dengan jumlah responden 1.200 orang. Responden mahasiswa berjumlah 1.800 orang yang berasal dari 25 perguruan tinggi favorit di Indonesia. Adapun sampel kelompok pelajar berjumlah 2.400 responden pelajar SMA favorit di Jawa dan luar Jawa. Pada survei ini, Alvara menemukan dukungan dari kalangan terdidik terhadap Perda Syariah cukup besar. Kalangan profesional yang mendukung sebesar 27.6%, Mahasiswa sebesar 19.6% dan kalangan Pelajar 21.9%. Temuan lainnya, dukungan kalangan terdidik terhadap Pancasila masih tinggi, Kalangan terdidik memilih ideologi Pancasila merupakan ideologi yang cocok dengan Indonesia. Profesional yang setuju dengan ideologi Pancasila sebesar 84.4%, Mahasiswa 83.2%, dan Pelajar sebesar 81.3%. Adapun dukungan terhadap sistem khilafah tergolong rendah. Profesional yang setuju dengan khilafah sebagai bentuk pemerintahan ideal untuk Indonesia sebesar 16.%, Mahasiswa sebesar 17.8% dan pelajar 18.4%. LIPI melakukan survei pada November 2018 dengan judul “Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia”. Pada survei dengan 1,800 responden di 9 provinsi ini, LIPI berupaya mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap berkembangnya radikalisme berbasis isu agama dan etnisitas yang terjadi di dunia nyata dan dunia maya serta sejauhmana faktor tersebut berpengaruh terhadap perkembangan radikalisme. Pada survei ini, LIPI menemukan setidaknya ada 5 faktor yang mempengaruhi radikalisme yakni: (1) Perasaan Terancam terhadap Etnik Lain, (2) Ketidakpercayaan terhadap agama lain, (3) Religiusitas, (4) Fanatisme agama, serta (5) Sekularisme. Pada survei ini, LIPI menemukan dukungan terhadap Pancasila masih tinggi yakni 96%. Namun demikian opini responden terhadap penerapan syariat Islam justru menunjukkan hal sebaliknya dimana ada sekitar 49% responden menyatakan mendukung.37 37

“Hasil Survei Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia di 9 Provinsi”, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 15 November 2018.

38

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

Dari berbagai survei tersebut dapat dipetakan opini dan sikap radikal dari berbagai kelompok masyarakat, sebagaimana tergambar pada tabel di bawah ini. Tabel 3. Peta Temuan Survei Opini dan Sikap Intoleran di Indonesis Segmen Masyarakat

Muslim Indonesia

Wahid Foundation 2016 (April) 67% dukung sistem demokrasi

2016 (Mei)

SMRC 2017

2017

PPIM 2017

2018

Alvara 2018

2018

69% dukung sistem demokrasi

87,3% dukung Pancasila

82,1% dukung Pancasila 58,5% opini radikal

81,3% dukung Pancasila

Mahasiswa

58,5% opini radikal

83,2% dukung Pancasila

Guru/Dosen

23% opini radikal

Pelajar/ siswa

LIPI

78% pengurus Rohis dukung sistem khilafah 68% pengurus Rohis dukung hukum rajam dan potong tangan

Masyarakat umum

79,3% dukung Pancasila

33% setuju negara Islam 29% bersedia berjihad di Filipina

96% dukung Pancasila

89% menolak ISIS Profesional

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

49% dukung Syariat Islam 84,4% dukung Pancasila

39


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

Tidak semua survei mengkaji faktor-faktor pendorong sikap radikal responden. Namun, dari beberapa survei tersebut dapat dilihat beberapa faktor dominan, antara lain: Tabel 4. Faktor-faktor intoleransi Lembaga Survei PPIM

Segmen yang Disurvei Guru Muslim

Faktor-faktor Intoleransi

Wahid Foundation

Umat Muslim

1. Pemahaman literalis terkait masalah muamalah dan jihad kekerasan, 2. dukungan terhadap organisasi radikal,

LIPI

Masyarakat umum

1. Perasaan Terancam terhadap Etnik Lain, 2. Ketidakpercayaan terhadap agama lain, 3. Religiusitas, 4. Fanatisme agama, serta 5. Sekularisme.

1. Pandangan islamis 2. Demografi (gender, usia, tingkat penghasilan, dll) 3. Ormas dan sumber pengetahuan agama

2.2. Kajian Eksploratif Mendalam Model kajian eksploratif mendalam ini cukup banyak dilakukan beberapa lembaga. Pada bagian ini akan diulas minimal 6 buku hasil kajian Pusham UII; Setara Institute; Wahid Foundation; CSRC UIN Jakarta; dan LIPI. Buku yang diterbitkan Pusham UII berjudul Bersama Bergerak Riset Aktivis Islam di Dua Kota diterbitkan tahun 2009. Kajian ini mencoba menelusiri bagaimana konteks kelahiran gerakan Islam radikal di dua kota yakni Solo dan Yogyakarta dan bagaimana mereka memandang, memahami, mengartikulasikan dan mengadvokasi wacana HAM. Kajian ini menarik karena mencoba melihat wacana HAM yang sering dipertentangkan dengan wacana gerakan Islam radikal. Kajian ini menemukan bahwa di kalangan gerakan Islam radikal di dua kota tersebut terkonfirmasi dugaan bahwa mereka dapat saja menerima konsep HAM asalkan bersesuaian dan dianggap bermanfaat bagi tujuan gerakan mereka. Meskipun gagasan HAM berasal dari Amerika dan Barat, mereka menerima penggunaan instrumen-instrumen HAM sebagai alat mengadvokasi kelompok mereka sendiri dari represi aparatus negara.38 38

40

Tim Pusham UII, Bersama Bergerak..., 100.

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

Setara Institute pada Desember 2010 menerbitkan studi berjudul Wajah Para Pembela Islam. Studi ini mencoba memetakan bagaimana profil kelompok radikal di Jabodetaben dan Jawa Barat mulai dari peta aktor, basis massa, perekrutan agama, pendanaan, aliran dan doktrin ajaran, agenda dan strategi aksi hingga dinamika perpecahan. Buku ini membahas satu persatu organisasi massa atau gerakan Islam radikal di Jabodetabek dan Jawa Barat. Pada kajian ini, Setara menemukan bahwa faktor-faktor yang melahirkan kekerasan atas nama agama di Jabudetabek tidak muncul karena pengaruh organisasi-organisasi radikal, terbukti dari dukungan terhadap organisasi Islam radikal tidak signifikan. Yang utama justru karena frustrasi sosial dan alienasi akibat ketidakpuasan terhadap pemerataan pembangunan dan ekonomi. Kehadiran organisasi radikal menjadi salah satu faktor yang meradikalisasi masyarakat. Buku kedua berjudul Dari Radikalisme Menuju Terorisme terbitan 2012. Melalui buku ini, Setara mencoba melakukan pelacakan bagaimana relasi organisasi radikal dengan organisasi/aktor teroris dan mempelajari bagaimana transformasi dari radikalisme menuju terorisme bisa terjadi. Studi yang mengambil kasus Yogyakarta dan Jawa Tengah ini juga mencoba mengkaji bagaimana deradikalisasi harus dilakukan untuk menekan laju radikalisme dan menghapus terorisme di Indonesia.39 Secara khusus kajian ini mengulas tiga organisasi Islam yang dinilai baik secara langsung maupun tidak memiliki persinggungan dengan kelompok organisasi radikal yakni Front Jihad Islam (FJI) Yogyakarta, Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS), dan Forum Komunikasi Aktivis Masjid (FKAM)/ Laskar Jundullah.40 Dalam kajian ini, Setara hanya menemukan satu kasus transformasi institusi Islam radikal menjadi organisasi teroris. Yang lebih banyak ditemukan adalah relasi keduanya yang terlihat dari beberapa indikasi: adanya kesamaan agenda perjuangan, meski berbeda metode; mentoring kader, sumber rekruitmen dan pelibatan ustadz-ustadz yang teridentifikasi tokoh Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT); persinggungan individu dengan organisasi JI dan JAT; transformasi individual; dan simpati dan afirmasi tindakan dari kelompok jihadis. 39

Tim Setara Institute, Dari Radikalisme Menuju Terorisme (Jakarta: Setara Institute, 2012), 3-4.

40

Tim Setara Institute, Dari Radikalisme..., 190.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

41


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

Dalam aspek bagaimana deradikalisasi seharusnya dilakukan, Setara melihat perlunya penanganan organisasi-organisasi radikal ini yakni mereka yang berupaya mengancam segi fundamental kebangsaan Indonesia. Kerja deradikalisasi tidak cukup hanya menyasar kelompok eks teroris, deradikalisasi harus juga diarahkan pada organisasi radikal, karena organisasi-organisasi tersebut dapat menjadi tempat inkubasi aktor teroris.41 Wahid Foundation bekerjasama dengan CSIS juga melakukan kajian mendalam tentang radikalisme. Kedua lembaga ini menerbitkan buku berjudul Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Perempuan yang merupakan kompilasi penelitian mendalam di lima wilayah yakni Bogor, Depok, Solo Raya, Malang dan Sumenep. Sebagaimana judulnya, riset ini berusaha mengungkap potensi intoleransi dan radikalisme di kalangan perempuan di lima wilayah tersebut, termasuk memetakan jejaring aktor, faktor yang mendorong perempuan terlibat dalam intoleransi dan radikalisme termasuk bagaimana upaya mengatasi permasalahan tersebut. Dalam riset ini, Wahid menemukan bahwa perempuan adalah kelompok yang rentan terhadap paparan radikalisme. Banyak ditemukan aktor-aktor perempuan yang terafiliasi ke jaringan kelompok radikal bahkan teroris. Menurut Wahid, ada dua faktor yang mempengaruhi yakni faktor pendorong (push) dan faktor penarik (pull). “titik jenuh” merupakan faktor pendorong radikalisme. Titik jenuh muncul ketika mereka merasa gagal memaknai hidup dan kemudian beralih mendalami agama. proses radikalisasi terjadi ketika mereka memperoleh interpretasi ajaran dengan pemahaman radikal. Ketika pemikiran sudah mengarah radikalisme, mereka memperoleh dukungan normalisasi kekerasan dari tokoh berpengaruh dalam organisasi radikal. Selain faktor pendorong, juga ada faktor penarik yang kuat. Khususnya bagi perempuan, faktor relasi sosial personal, melalui hubungan kekeluargaan atau pertemanan yang menjadi alasan mereka mendukung kelompok radikal. Faktor penarik lain adalah narasi yang mudah dipahami, praktis dan menjawab masalah sehari-hari, memiliki detail interpretasi yang rinci dan jelas tentang Islam yang benar versi mereka. Faktor penarik lain adalah janji atau iming-iming bahwa khilafah akan memperbaiki ekonomi, ini

41

42

Tim Setara Institute, Dari Radikalisme..., 190-192.

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

terutama menyasar perempuan dari ekonomi lemah.42 Satu lagi penelitian mendalam tentang radikalisme dilakukan Center for The Study of Religion and Culture (CSRC UIN Jakarta. Hasil penelitian tersebut diterbitkan dalam buku berjudul Kaum Muda Muslim Milenial Konservatisme, Hibridasi Identitas, dan Tantangan Radikalisme (2018). Buku ini diangkat dari laporan penelitian kualitatif CSRC di 18 kota/kabupaten di Indonesia, melibatkan 935 narasumber dari kaum muda muslim, umumnya pelajar SMA dari September 2017-Januari 2018 yang lalu.43 Penelitian ini berusaha menjawab 3 pertanyaan: Bagaimana sikap (attitute) dan perilaku (behavior) kaum muda muslim tentang radikalisme dan ekstrimisme? Bagaimana proses dan konteks pembelajaran dapat mempengaruhi sikap dan prilaku kaum muda muslim? Bagaimana pengetahuan, pemahaman dan pengalaman keagamaan kaum muda muslim membuat mereka bersimpati atau aktif mendukung radikalisme dan ekstrimisme atau sebaliknya?44 Dalam riset ini, CSRC menemukan bahwa sikap dan perilaku kaum muda muslim terhadap radikalisme tidak menunjukkan adanya kecendrungan yang ajeg. Tetapi dapat dibuat klaim bahwa generasi muda muslim milenial terpelajar cenderung mengalami penguatan sikap dan perilaku beragama yang konservatif dengan coraknya yang komunal, skriptural dan puritan. Meskipun demikian, sikap dasar mereka sebenarnya adalah terbuka pada nilai-nilai serta prinsip keberagamaan yang moderat. Kemungkinan corak dan identitas keberagamaan seperti itu adalah cerminan dari proses pembelajaran, pemahaman dan pengalaman keberagamaan yang dipengaruhi konteks agama, budaya dan sosial politik yang kompleks. Luas dan kompleksnya berbagai persoalan yang dihadapi kaum muda muslim milenial membuat mereka memiliki kecendrungan konservatif dalam beragama. Jangkauan pengetahuan yang masih terbatas serta proses pencarian yang terus menerus membuat mereka cenderung mengikuti pandangan normatif terkait isu-isu aktual seperti toleransi, HAM, kebebasan maupun prihal radikalisme dan ekstrimisme.45 42

Tim Penyusun Ringkasan Laporan, Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Perempuan (Jakarta: Wahid Foundation, 2017), 8-9.

43

Chaider S. Bamualim dkk., Kaum Muda Muslim ..., xiii.

44

Chaider S. Bamualim dkk., Kaum Muda Muslim..., 13.

45

Chaider S. Bamualim dkk., Kaum Muda Muslim..., 247-249.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

43


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

Pada November 2018 ini LIPI merilis hasil kajian kualitatif di 9 provinsi di Indonesia yakni DKI, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Aceh, Sumatra Utara dan Sulawesi Selatan. Dalam kajian ini LIPI menemukan setiap wilayah ternyata memiliki karakteristik masing-masing terkait dengan pasang surut radikalisme. Salah satu yang menarik, Jawa Timur yang dikenal sebagai basis Islam moderat dan toleran, memperlihatkan perkembangan radikalisme di wilayah tapal kuda. Salah satu faktornya adalah keberhasilan kampanye “NKRI bersyariah”. Gagasan ini lebih diterima oleh beberapa kalangan NU sehingga jika ada kelompok NU yang tidak mendukungnya dianggap tidak Islami.46 3. Diskusi Dalam 10 tahun ini kami menemukan perkembangan yang luar biasa dalam kajian intoleransi dan radikalisme di Indonesia. Dua tema ini telah menjadi tema utama baik dalam studi agama, hukum dan HAM khususnya hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan. Selama 10 tahun sedikitnya terdapat Catatan penting dari fakta tersebut, bahwa antar kajian tidak selalu terhubung. Misalnya ada beberapa isu yang sudah dibahas satu kajian, dibahas lagi oleh kajian yang lain. Ada tren tumpang tindih antar kajian. Satu kajian tidak selalu merujuk kajian yang lain untuk melihat apa saja aspek yang sudah dikaji dan apa yang belum. Berbagai kajian tersebut telah sangat membantu kita memahami intoleransi dan radikalisme di Indonesia. Beberapa kajian telah menyediakan kerangka konseptual terkait kedua isu tersebut sehingga kita dapat membedakan keduanya secara lebih jelas. Sebagian kejian fokus pada memetakan dan mendalami aktor. Sebagian yang lain menyediakan data mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya intoleransi dan radikalisme. Catatan pentingnya bahwa masih ada beberapa kajian yang tidak menyediakan kerangka konseptual sehingga memungkinkan melahirkan kesalahpahaman dalam membedakan kedua isu tersebut. Konsep 46 “Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia Kajian Kualitatif”, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 15 November 2018.

44

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

radikalisme misalnya masih sering disamakan dengan tindakan radikal/ kekerasan, padahal radikalisme juga mencakup pemikiran dan paham yang tidak selalu diaktualisasikan dalam bentuk tindak kekerasan pisik. Terkait dengan pemantauan dan pengukuran intoleransi dan radikalisme, kajian ini menemukan adanya kesimpulan yang sama dari semua kajian bahwa intoleransi dan radikalisme adalah salah satu tantangan utama bagi pemerintah dan masyarakat. Dukungan terhadap kedua gerakan ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Meskipun secara umum, dukungan publik terhadap sistem dan nilai demokrasi, NKRI, dukungan terhadap Pancasila, UUD 1945 dan toleransi terhadap kelompok yang berbeda agama serta penghormatan terhadap kesetaraan hak tetap tinggi, namun dukungan tersebut belum sepenuhnya bisa diterjemahkan menjadi tindakan ketika menyangkut praktik-praktik konkret seperti penerimaan terhadap kelompok/aliran yang dianggap menyimpang/sesat, kebebasan untuk memilih keyakinan dalam bentuk berpindah agama, menerima pemimpin yang berbeda agama, bahkan cita-cita untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia. Kajian tentang toleransi menemukan bahwa pandangan warga terhadap gagasan toleransi umumnya masih baik, namun ketika warga dihadapkan pada perbedaan yang lebih empirik atau terkait kehidupan sehari-hari seperti terhadap orang seagama yang beribadah dengan cara berbeda warga justru melakukan penolakan. Terlihat ada kesenjangan antara gagasan dengan praktik toleransi di masyarakat. Bahkan, dukungan warga terhadap demokrasi tidak mengurangi sikap intoleran mereka terhadap kelompok yang tidak disukai. Kajian ini juga menemukan perbedaan tingkat toleransi eksternal dan internal agama. Toleransi warga terhadap orang yang berbeda agama atau toleransi eksternal agama masih tinggi. Tingkat toleransi warga menurun drastis jika menyangkut orang yang berbeda aliran di dalam agama seperti terhadap penganut Ahmadiyah dan Syiah. Satu entitas yang menunjukkan gejala intoleransi dan radikalisme yang cukup mengkhawatirkan dari berbagai kajian yang ada adalah sekolah dan perguruan tinggi, kedua institusi ini disebut terus mengalami penurunan level toleransi dan radikalisme agama yang diakibatkan oleh paparan materimateri intoleransi, baik dari sumber internal seperti guru, dosen, maupun eksternal. Jangkauan pengetahuan yang masih terbatas serta masa pencarian

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

45


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

yang belum tuntas membuat entitas ini cenderung mengikuti pandangan normatif terkait isu-isu yang ada di sekeliling mereka. Lalu apa faktor utama yang melahairkan sikap intoleran tersebut? Kajian ini menemukan cukup banyak factor yang mempengaruhi. Namun, bila dikelompokkan setidaknya ada lima faktor yang mempengaruhi yakni: 1) Faktor psikologis, misalnya perasaan teralienasi/deprivasi, frustrasi social, merasa terancam, tidak percaya terhadap pihak lain dan rasa tidak puas terhadap kebijakan negara; 2) Faktor cara pandang dan sikap keagamaan seperti pemahaman literal terhadap teks agama, pandangan kesempurnaan kitab suci, fanatisme terhadap keyakinan; 3) Faktor asupan pengetahuan dan informasi. Ini misalnya terkait frekuensi mengikuti berita keagamaan intoleran, sumber-sumber yang keliru dan afiliasi terhadap tokoh-tokoh intoleran; 4) Faktor demografi seperti jenis kelamin dan usia. Anak muda misalnya cenderung lebih intoleran ketimbang mereka yang sudah lebih dewasa; 5) Faktor politik yakni penyebaran kebencian berbasis identitas pada momen-momen politik. Terkait dengan aktor atau pelaku intoleran, kajian ini menemukan sedikitnya da tiga kelompok pelaku intoleran: 1) organisasi-organisasi teroris; 2) kelompok-kelompok kekerasan nonorganisasi; 3) organisasi ideologis non kekerasan. Dan ketika pemerintah berhasil melemahkan organisasi teroris, kedua kelompok yang terakhir justru menjadi lebih berpengaruh dan lebih berbahaya. Mereka bergerak dari pinggiran ke arus utama. Terdapat pandangan yang tidak konsisten di kalangan kelompok radikal terkait gagasan demokrasi dan HAM. Di satu sisi mereka menolak gagasan tersebut sebagai prinsip dalam pengelolaan negara dengan dalih produk manusia, mereka menawarkan perubahan mendasar dalam sistem kenegaraan yang didasarkan pada demokrasi dengan sistem yang mereka klaim bersumber dari agama. Namun, disisi lain mereka justru menerima gagadan HAM karena bermanfaat bagi kepentingan mereka. Meskipun gagasan HAM berasal dari Amerika dan Barat, mereka menerima penggunaan instrumen-instrumen HAM sebagai alat mengadvokasi kelompok mereka sendiri dari represi aparatus negara. Kajian ini juga menemukan sejumlah faktor pendorong radikalisme yang dapat dikelompokkan menjadi dua yakni faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor). 1) Faktor pendorong antara lain rasa jenuh. Ini muncul ketika mereka merasa gagal memaknai hidup dan kemudian

46

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Mengkaji Intoleransi dan Radikalisme: Pemetaan Literatur

beralih mendalami agama dan bertemu dengan interpretasi radikal. Faktor pendorong lain adalah pandangan literalis terhadap teks yang dianggap suci, lalu dukungan terhadap organisasi radikal dan intoleran terhadap kelompok yang tidak disukai; 2) Faktor penarik antara lain relasi sosial personal melalui hubungan kekeluargaan maupun pertemanan. Faktor penarik lain juga adalah narasi yang mudah dipahami dan praktis tentang Islam yang benar menurut versi mereka. Faktor lainnya adalah iming-iming bahwa sistem khilafah akan memperbaiki kondisi yang saat ini ada termasuk perbaikan ekonomi.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

47


Bagian 3 Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia 1. Data Sumber Dalam melakukan pemetaan atas literatur, riset ini didasarkan pada data berupa terbitan atau publikasi baik oleh lembaga pemerintah seperti LIPI, Komnas HAM, Kementerian Agama dan Komnas Perempuan, selain itu, sejumlah lembaga non-negara seperti CRCS-UGM, Wahid Foundation, Setara Institute, PUSAD-Paramadina dan lembaga lainya selama sepuluh tahun terakhir (2008-2018). Adapun kategori literatur yang menjadi bahan penelitian ini dibagi menjadi laporan indeks, laporan penelitian mendalam, laporan pemantauan secara berkala ataupun laporan survei. Jumlah total literatur yang dikaji adalah 92 literatur (Gambar 1). Dari jumlah ini, jumlah terbanyak adalah penelitian mendalam (54 literatur), kemudian disusul dengan pemantauan berkala atas kondisi toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan yang berjumlah 29 literatur, survei sendiri berjumlah 8 literatur dan terakhir adalah indeks yang berjumlah 4.

Gambar 1. Sumber Kajian Berdasarkan Bentuk Kajian

48

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Berbeda dengan pemantauan yang fokus secara spesifik pada situasi kondisi kebebasan beragama ataupun pembahasan khusus pada kasus tertentu, fokus dari survei ataupun indeks umumnya lebih melihat persepsi publik terkait kondisi intoleransi dan radikalisme secara umum. Sedangkan periode publikasi literature ini bersifat dinamis tiap tahunya. Jika dilihat dari kategorinya, pada masa-masa tahun 2008-2010 model literatur yang menonjol lebih pada pemantauan berkala dan penelitian mendalam. Pada tahun ini Setara Institute,Wahid Foundation dan CRCS-UGM mempublikasikan laporan berkala atas situasi keagamaan di Indonesia tiap tahunya. Pada 2009, melalui laporan yang berjudul Melaporkan Kebebasan Beragama di Indonesia 2008, Yayasan Wakaf Paramadina dan MPRKUGM mencoba mereview atas laporan ketiga lembaga tersebut secara metodologi. Diantara penelitian mendalam pada periode ini dilakukan oleh ILRC melalui publikasi yang berjudul, MENGGUGAT BAKOR PAKEM: Kajian Hukum Terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di Indonesia dan Komnas HAM melalui laporan yang berjudul Pemetaan Hak Atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang terbit pada tahun 2009. Menyusul periode 2012-2014, sejumlah lembaga negara seperti Kementerian Agama mulai mengarahkan perhatian pada tema intoleransi dan radikalisme. Dalam periode ini sejumlah lembaga HAM seperti KontraS juga mulai mempublikasikan pemantauan mendalam terkait kasus intoleransi dan radikalisme dari perspektif hukum. Melalui publikasi yang berjudul Indeks Kinerja Penegakan HAM, Setara Institute misalnya mulai memperkenalkan pendekatan Indeks dalam tema Intoleransi. Meski memasukkan Kebebasan Beragama bagian dari HAM bukan tema khusus, namun apa yang dilakukan Setara Intitute ini merupakan terobosan penting bagi kampanye lebih lanjut kebebasan beragama di Indonesia. Sedangkan pada periode 2015 sampai 2018, kategori literatur sendiri mulai beragam. PPIM UIN Syarif Hidayatullah dan SMRC mulai mempublikasi survei publik terkait intoleransi dan radikalisme keagamaan. Pelita Yang Meredup: Potret keberagamaan Guru Indonesia yang dipublikasi oleh PPIM tahun 2018 dan Terorisme Dan ISIS Di Indonesia Pandangan Dan Sikap Publik Nasional yang dipublikasi oleh SMRC merupakan contohnya. Jika merujuk pada jumlah terbitan, tahun 2012 dan 2017 merupakan tahun terproduktif dalam publikasi literatur sebagaimana terlihat Gambar 2. Jika pada tahun 2012 tema utama yang menjadi bahan kajian literatur adalah

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

49


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

terkait kasus Ahmadiyah, Syiah, dan Perda Syariat, maka di tahun 2017 selain membahas perkembangan kasus tersebut, juga membahas tentang kasus-kasus penodaan agama dan terorisme. 16 14

Jumlah Ligeratur

12 10 8 6 4 2 0 2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

2017

2018

Tahun Publikasi

Gambar 2. Periode Publikasi

Apa yang perlu mendapat perhatian di sini adalah bahwa, periode publikasi sebuah literatur tidak langsung terkait erat dengan kondisi aktual intoleransi dan radikalisme keagamaan di Indonesia. Bisa jadi, literatur yang dipublikasikan pada tahun 2016 membahas kasus atau situasi pada tahun 2014, namun dengan pendekatan atau sudut pandang tahun 2016. Situasi ini khususnya terjadi pada literatur yang berbentuk penelitian mendalam. 2. Jumlah Data Berdasarkan analisa atas literatur yang diterbitkan dari tahun 20082018 melalui DNA, terindeks 124 artikel, 624 statemen atau pernyataan atas suatu isu terkait intoleransi dan radikalisme dan 57 kategori. Sementara jumlah aktor yang memproduksi statemen tersebut berjumlah 429 dari 302 organisasi baik dari Pemerintah, Ormas, NGO maupun masyarakat.

50

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

700 600 500 400 300 200 100 0

Jumlah

Artikel

Statemen

Kategori State men

Person

Organisasi

124

624

57

429

302

Gambar 3. Jumlah Diskursus dan Aktor yang Dianalisis

Adapun periode kemunculan jaringan diskursus dan aktor tersebut bervariasi pertahunya. Jika dibandingkan pada jumlah publikasi yang dikemukakan pada Gambar 2, maka perlu diperhatikan bahwa jumlah dari statetemen yang muncul pada periode tertentu tidak mesti berkaitan langsung dengan kondisi atau situasi aktual intoleransi dan radikalisme keagamaan. Namun demikian, banyak diskursus dan aktor yang muncul pada tahun 2012 seperti pada Gambar 4 sangat terkait erat dengan dua hal. Pertama terkait dengan kategori literatur yang diterbitkan pada tahun tersebut dimana umumnya lebih berbentuk laporan pemantauan atau penelitian mendalam atas kondisi aktual tertentu. Kedua, terkait dengan tema atau fokus kajian literatur, yakni terkait dengan kasus Ahmadiyah tahun 2011 dan kasus Syiah 2012 yang banyak memunculkan diskursus maupun aktor. Sebagaimana terlihat dalam penjelasan selanjutnya, tema terkait Syiah dan Ahmadiyah ini menjadi muara dari diskursus intoleransi dan radikalisme paham keagamaan di Indonesia. Fakta ini berbeda dengan yang terjadi di tahun 2016. Mayoritas literatur yang dpublikasikan pada tahun 2016 ini lebih menyoroti tema intoleransi dan radikalisme keagamaan dalam perspektif opini publik, sehingga sedikit memunculkan jaringan diskursus dan aktor.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

51


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

107

84 65 58

52

49 41 24

2008

2009

2010

19

2011

2012

2013

2014

2015

2016

19

2017

21

2018

Gambar 4. Periode Kemunculan Diskursus dan Aktor

3. Analisa Jaringan Diskursus dan Aktor Dengan menggunakan DNA Kajian ini menemukan bahwa pertarungan aktor dalam diskursus tertentu pada dasarnya dinamis dan tidak konsisten sebagaimana terlihat dalam Gambar 5. Jaringan koalisi antar aktor sangat ditentukan oleh diskursus yang sedang diperebutkan.

52

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Gambar 5. Jaringan Aktor dan Narasi Intoleransi dan Radikalisme Paham Keagamaan Selama 2008-2018. Sentimen atau pandangan aktor terhadap diskursus sangat ditentukan oleh diskursus yang sedang diperebutkan. Jika diskursus bersifat umum seperti larangan pemaksaan keyakinan, baik aktor toleran dan intoleran sama-sama mendukung. Sebaliknya, jika diskursus menyasar kelompok secara khusus seperti Ahmadiyah, Syiah, Syariat Islam, maka antara aktor toleran dan intoleran terlihat sikap aslinya, baik itu mendukung (garis biru) maupun menolak (garis merah).

Gambar di atas memperlihatkan bahwa diskursus bersifat umum seperti larangan pemaksaan keyakinan atau larangan untuk mendiskriminasi, hampir semua aktor menunjukkan persetujuan dan dukungan. Sebaliknya,

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

53


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

jika diskursus sudah terkait dengan kelompok seperti Ahmadiyah, Syiah, Syariat Islam, maka antara aktor toleran dan intoleran terlihat mulai ada perbedaan dukungan. Dengan kata lain, ketika yang diangkat adalah isu dominan seperti Ahmadiyah dan Syiah, sejumlah aktor nampak watak aslinya. Ada yang menolak, ada pula yang mendukung penyesatan maupun pelarangan Ahmadiyah dan Syiah. Dengan demikian, inkonsitensi dalam satu aktor tidak bisa dihindari. Terkait dengan itu, menarik untuk melihat secara detail FPI sebagai aktor utama dalam pertarungan diskursus intoleransi dan radikalisme keagamaan selama satu decade. Meski ia mejadi aktor yang paling banyak menyepakati intoleransi dan radikalisme, namun dalam diskursus yang umum dan dapat menabrak kepentingan mereka seperti diskriminasi atas dasar agama atau diskursus pendirian negara Islam, FPI menolaknya. Masih terkait Gambar 5, MUI memperlihatkan sikap yang menarik dalam konteks Ahmadiyah. Meskipun MUI menyetujui adanya kesesatan Ahmadiyah, pembatasan dan pelarangan oleh pemerintah, maupun kriminalisasi atas Ahmadiyah, namun menolak adanya intimidasi dan kekerasan terhadap Ahmadiyah yang dilakukan oleh massa. Sikap berbeda nampak terlihat ketika bermain dalam diskursus Syiah. Karena MUI (Pusat) tidak pernah menyatakn kesesatan Syiah, maka ketika diskursus lain tentang Syiah muncul seperti intimidasi dan kekerasan, pelarangan dan kegiatan Syiah sampai pada kriminalisasi maka yang banyak berperan adalah MUI daerah. Sikap ini berbeda dengan apa yang ditunjukkan oleh PBNU. Dalam hampir semua diskursus intoleransi dan radikalisme, PBNU tidak sepakat. Penolakan PBNU dimulai dari isu intoleransi yang sifatnya umum seperti diskriminasi keyakinan atau pemaksaan ajaran agama, sampai pada isu radikalisme seperti penerapan syariat Islam maupun pendirian khilafah Islamiyah. Sikap yang sangat berbeda tampak dari PP Muhammadiyah. PP Muhammadiyah nampak mendukung diskursus yang cenderung normatif seperti menolak pemaksaan keyakinan, infiltrasi aliran Islam garis keras atau pemaksaan keyakinan kepada kelompok lain secara umum. Namun, sikap

54

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

menjadi berbeda ketika menyangkut diskursus Syiah. Baik itu kesesatan Syiah, intimidasi dan kekerasan atau bahkan kriminalisasi keyakinan, PP Muhammadiyah, cenderung setuju dan mendukung. Namun demikian, PP Muhammadiyah tidak menunjukkan sikap apapun jika menyangkut Ahmadiyah. Terkait dengan aktor negara, dalam hal ini peran Bakorpakem tampak begitu besar dalam pertarungan diskursus intoleransi dan radikalisme paham keagamaan. Pada prinsipnya, Bakorpakem setuju dengan pembatasan terhadap aliran atau kelompok kegamaan yang dinilai menyimpang, termasuk dalam hal pembatasan dan pelarangan kepada Ahmadiyah dan Syiah. Sikap yang bertolak belakang diperlihatkan oleh Kepolisian Republik Indonesia. Terkait dengan penyesatan, pelarangan dan pembatasan maupun dengan kriminalisasi keyakinan Polri dengan tegas menolaknya. Demikian pula dengan diskursus pendirian Negara Islam. Aktor negara lain yang menarik untuk diamati adalah Kementerian Agama, baik yang dilakukan oleh Menteri Agama pribadi maupun sebagai sebuah lembaga kementerian. Menteri Agama 2009-2014 menolak adanya pemaksaan keyakinan dalam beragama, tetapi di saat yang sama dia bersepakat tentang kesesatan Syiah, pemaksaan keyakinan Syiah, bahkan pelarangan dan pembatasan terhadap Syiah. Sementara dari perspektif lembaga, Kementerian Agama dengan yakin menyepakati adanya kesesatan Syiah maupun pelarangan dan pembatasan terhadap Ahmadiyah.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

55


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Diskursus Dominan

Gambar 6. Diskursus Dominan selama 2008-2018. Selama satu dasawarsa, diskursus intoleransi di Indonesia hanya di dominasi oleh 2 diskursus utama, yaitu Ahmadiyah dan Syiah. Sedangkan terkait dengan radikalisme paham keagamaan didominasi oleh Syariat Islam. Dari ketiga diskursus dominan inilah, ragam diskursus dengan tema sejenis muncul seperti penerapan syariat Islam, diskriminasi terhadap Ahmadiyah, atau penyesatan terhadap Syiah.

Pada gambar di atas terlihat bahwa sebenarnya diskursus intoleransi dan radikalisme paham keagamaan di Indonesia hanya didominasi oleh 3 diskursus besar, yaitu Syariat Islam, Ahmadiyah, dan Syiah. Ketiga isu ini mendominasi dan menjadi poros pertarungan para aktor. Selain dirkusus dominan. Diskursus lain sifatnya pinggiran, tidak memiliki keterkaitan

56

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

dengan diskursus lain. Diantara diskursus pinggiran ini antara lain seperti Gafatar, Alexander Minang , tuduhan sesat pada Samaniyah dan lain-lain.

Gambar 7. Terkait nilai jaringan dan pengaruh yang dimunculkan oleh suatu diskursus tertentu. Jika dibandingkan dengan diskursus Ahmadiyah dan Syiah, diskursus penegakan syariat Islam merupakan diskursus yang paling dominan karena pengaruhnya terhadap diskursus lainya. Diskursus ini tidak hanya memberi pengaruh terhadap diskursus Ahmadiyah dan Syiah, tetapi juga kerap bersinggungan dengan diskursus pendirian negara Islam.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

57


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Dalam peta jaringan diskursus (Gambar 7), diskursus penegakan syariat Islam menduduki peringkat tertinggi dalam jaringan diskursus dibanding diskursus lainya. Maksudnya, diskursus penegakan syariat Islam ini terkoneksi serta mempengaruhi 71 diskursus dan aktor lain. Sementara itu, pelarangan dan pembatasan Ahmadiyah memiliki koneksi dengan 51 diskursus dan aktor, demikian pula tuduhan sesat Ahmadiyah (44 jaringan diskursus), pendirian Negara Islam (42 jaringan diskursus), pemberlakukan syariat Islam (38 jaringan diskursus), pelarangan dan pembatasan Syiah (32 jaringan diskursus) dan tuduhan sesat pada Syiah (28 jaringan diskursus). Jaringan yang terbentuk dari diskursus penegakan syariat adalah penerapan syariat Islam, pemberlakuan perda syariat dan secara lebih luas dengan pendirian negara Islam. Diskursus penegakan syariat Islam ini sering digunakan oleh kelompok Islam radikal untuk melakukan tindakan intoleransi dan radikalisme kepada kelompok Syiah dan Ahmadiyah. Di saat yang sama diskursus ini juga memiliki keterkaitan erat dengan perdebatan pendirian negara Islam. Karena itu, wajar jika diskursus ini memiliki jaringan paling kuat dibanding diskursus lainya. Tidak hanya itu, penegakan syariat Islam ini juga memiliki pengaruh pada level regulasi, khususnya terkait dengan perdebatan tentang permberlakukan perda bernuansa syariat Islam. Adapun diskursus Ahmadiyah dan Syiah pada dasarnya memiliki varian yang sama. Kedua diskursus ini berkembang dan berjejaring mulai diskursus penyesatan, pelarangan, hingga pada kriminalisasi. Apa yang tidak ada pada diskursus Syiah adalah terkait dengan pelayanan publik, seperti diskriminasi dalam pengurusan Kartu Identitas, Akta Kelahiran dan Kartu Keluarga. Aktor Dominan Studi ini juga menemukan bahwa selama 2008-2018, terdapat 429 aktor dari 302 organisasi yang terlibat dalam jaringan diskursus intoleransi dan radikalisme paham keagamaan. Adapun jaringan aktor ini dihubungan oleh diskursus, baik dalam konteks persetujuan ataupun penolakan.

58

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Gambar 8. Jaringan Aktor dan Narasi Intoleransi dan Radikalisme Paham Keagamaan Selama 2008-2018. terdapat 429 aktor dari 302 organisasi yang terlibat dalam jaringan diskursus intoleransi dan radikalisme paham keagamaan. Ada aktor yang dominan dalam arti memiliki pengaruh kuat ke dikursus dan aktor lain, ada juga aktor pinggiran yang hanya fokus pada diskursus tertentu.

Aktor yang berada di tengah memiliki pengaruh kuat ke aktor-aktor lainya. Di luar itu terdapat aktor pinggiran. Maksud dari aktor pinggiran ini adalah aktor yang tidak memiliki keterkaitan dengan aktor lain dalam

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

59


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

satu diskursus. Aktor pinggiran ini berada di posisi bawah. Aktor-aktor ini muncul hanya dalam statemen atau diskursus tertentu dan tidak terlibat dalam percaturan diskursus besar. Pengaruh dominan dari aktor ini bisa dilihat dari jumlah diskursus yang diproduksi berikutnya pengaruhnya kepada aktor lainya. Sebagaimana terlihat dalam Gambar 9, pada dasarnya aktor utama yang terlibat dan memainkan peran utama dalam diskursus intoleransi dan radikalisme paham keagamaan adalah organisasi keagaman, baik yang di level nasional maupun lokal.

60

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Gambar 9. Aktor Dominan berdasarkan frekuensi yang ditimbulkan, baik itu dalam mempengaruhi kemunculan suatu diskursus tertentu maupun dalam mempengaruhi respon balik dari aktor lain. Gambar ini juga menunjukkan bahwa pertarungan diskursus intoleransi dan radikalisme keagaman didominasi oleh ormas (warna ungu). Front Pembela Islam (FPI) merupakan aktor dengan pengaruh yang paling kuat dengan 37 frekuensi, disusul kemudian oleh MUI dengan 20 frekuensi, dan oleh PBNU dengan 15 frekuensi.

Selama kurun 10 tahun terakhir, terlihat bahwa Front Pembela Islam (FPI) merupakan aktor dengan pengaruh yang paling kuat dalam diskursus paham keagamaan di Indonesia, dengan 37 frekuensi diskursus. Maksud dari frekuensi di sini adalah dinamika aktor baik itu persetujuan maupun penolakan atas diskursus yang diproduksi oleh aktor tertentu. Dengan kata lain, FPI selama satu dasawarsa mampu menjadi pusat gravitasi intoleransi dan radikalisme paham keagamaan melalui diskursus yang diproduksi dan kemudian mendapat umpan balik dari aktor lainya. Meski tidak sedetil Social Network Anlisis (SNA), DNA sendiri juga bisa melihat peta jaringan yang dibentuk oleh berbagai aktor secara umum. Jaringan diskursus yang diproduksi oleh FPI misalnya, tidak hanya mendapat respon dari MUI, tapi juga dengan PBNU, PP Muhammadyah, IJABI atau bahkan pemerintah baik dari pusat maupun daerah. Respon ini bisa bisa berbentuk persetujuan ataupun penolakan. Aktor dominan lain adalah MUI (20 frekuensi). Frekuensi ini belum termasuk ketua Komisi Fatwa MUI secara pribadi (7 frekuensi) yang kerap memproduksi diskursus penyesatan kepada kelompok Islam lainya. Pada dasarnya, jaringan yang dibangun MUI di sini relatif memiliki kesamaan dengan jaringan yang dibangun FPI. Setidaknya hanya ada satu diskursus dominan yang memecah keterkaitan FPI dan MUI, yaitu terkait dengan Syiah. Jika pada isu penerapan Syriat Islam dan Ahmadiyah kedua ormas ini bersepakat, untuk diskursus Syiah, hanya MUI Sampang yang secara tegas mendukung kesesatan maupun kriminalisasi atas Syiah. MUI Sampang sendiri memiliki nilai frekuensi yang tinggi dibanding MUI daerah lain, yaitu dengan 3 frekuensi. Bertolak dengan dua ormas tersebut, terdapat PBNU (15 frekuensi) dan PP Muhammadiyah (5 frekuensi). Sebagaimana dijelaskan dimuka, frekuensi yang dibangun oleh PBNU ini meliputi hampir semua diskursus intoleransi dan radikalisme paham kegamaan di Indonesia. Apa yang membedakan dengan FPI misalnya, posisi PBNU di sini tampak lebih

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

61


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

sebagai respon terhadap diskursus yang dimunculkan oleh kelompok intoleran. Sedangkan PP Muhammadiyah sendiri cenderung bermain dalam diskursus yang sifatnya umum, tidak menyasar kelompok tertentu seperti Syiah dan Ahmadiyah. Selain itu, PP Muhammadiyah tampak lebih fokus pada diskursus-diskursus radikalisme, seperti pendirian khilafah dan penegakan syariat. Adapun dari aktor negara, pengaruh paling kuat dalam jaringan diskursus dimiliki oleh Bakorpakem (9 frekuensi), disusun kemudian oleh Kementerian Agama (6 frekuensi) dan Komnas HAM (5 frekuensi). Sebagaimana PBNU dan PP Muhammadiyah, dalam pertarungan diskursus intoleransi dan radikalisme, diskursus yang muncul dari aktor negara ini tampak lebih sebagai respon dari diskursus yang dimunculkan oleh FPI atau MUI daripada produsen diskursus itu sendiri. Sementara posisi pemerintah daerah relatif bervariasi tergantung dari diskursus yang berkembang di daerah tersebut. Misalnya untuk Pemkab Tasikmalaya, keberadaan di pusat diskursus karena terkait erat dengan segala diskursus menyangkut Ahmadiyah baik itu terkait diskursus penyesatan, pelarangan dan pembatasan maupun dengan layanan publik pada Ahmadiyah. Situasi yang sama juga bisa dilihat dari Pemkab Sampang dan Pemkot Bogor dalam diskursus Syiah. Aktor lain yang bisa terlihat di sini adalah NGO. Posisi yang ditempati antar NGO relatif bervariasi antara satu NGO dengan lainya. Meski bukan merupakan aktor sentral, tetapi keberadaanya cukup terlihat dalam jaringan aktor dan diskursus intoleransi dan radikalisme, seperti LBH Jakarta (5 frekuensi), CRCS-UGM (4 frekuensi), Setara Institute (3 frekuensi) dan Wahid Foundation dan YLBHI masing-masing (2 frekuensi). Jika diamati secara detail, keberadaan NGO yang hanya berada di posisi tengah dalam pertaruangan diskursus ini setidaknya ditentukan oleh dua faktor utama. Disatu sisi, diskursus yang dimunculkan oleh NGO, sebagaimana aktor toleran lain, nampak lebih sebagai respon daripada diskursus yang diproduksi oleh FPI dan MUI. Sedangkan kedua ormas ini sangat jarang merespon balik diskursus yang dimunculkan oleh NGO. Fokus FPI dan MUI lebih pada upaya mempengaruhi diskursus aktor negara, baik di nasional maupun lokal. Selain itu, diskursus yang dimunculkan NGO tampak lebih bernunsa normatif dan umum seperti pelarangan pemaksaan keyakinan, tidak langsung menyasar kelompok tertentu seperti Syiah, Ahmadiyah, atau Gafatar. Penggunaan dikursus yang bersifat umum ini pada dasarnya merupakan kelemahan dalam mempengaruhi opini publik maupun kebijakan. 62

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Dinamika Aktor dalam Diskursus Dominan DNA memungkinkan adanya pemilahan terhadap dinamika diskursus dan aktor tertentu. Dengan metode ini akan terlihat misalnya ketertarikan aktor terhadap diskursus tertentu dibanding diskursus lainya. Di saat yang sama, akan terlihat pula bagaimana suatu diskursus bisa membentuk sinergi maupun friksi antar aktor.

Gambar 10. Cluster diskursus Penegakan Syariat Islam dan jaringan aktornya. Diskursus penegakan syariat Islam dibagi menjadi 3 diskursus besar, yaitu penegakan syariat Islam, pemberlakukan perda syariat dan penegakan negara Islam. Pendukung utamanya adalah FPI, PC Muhammadiyah, MMI, Laskar Mujahidin Indonesia dan sejumlah MUI daerah. Sedangkan penolak terdiri dari PBNU, Polri, Kementerian Dalam Negeri dan sejumlah organisasi masyarakat sipil.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

63


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Dalam konteks diskursus penegakan syariat Islam sebagaimana terlihat dalam Gambar 10, diskursus ini dibagi menjadi 3 diskursus besar, yaitu penegakan syariat Islam, pemberlakukan perda syariat dan penegakan negara Islam. Penegakan syariat Islam di sini memiliki maksud bahwa diskursus itu masih sebatas pada tataran pembentukan opini publik, sedangkan maksud dari diskursus pemberlakukan perda syariat lebih mengarah pada bagaimana opini publik itu kemudian diimplementasikan dalam regulasi. Sementara diskursus penegakan negara Islam lebih mengarah pada upaya untuk mengganti sistem politik kenegaraan Indonesia. Terkait dengan penegakan syariat Islam dan pemberlakukan perda syariat ini pada dasarnya memiliki kesamaan aktor pendukung, tidak hanya dari ormas tapi juga pemerintah daerah. Meski demikian, peran pemerintah daerah tampak terlihat besar daripada ormas seperti PC Muhammadiyah, MMI, Laskar Mujahidin Indonesia dan sejumlah MUI daerah. Dalam konteks ini, FPI menjadi aktor perantara yang mampu menyambungkan kedua diskursus, baik dalam level pembentukan opini publik maupun regulasi. Pada saat yang sama, aktor penolak diskursus tersebut tidak hanya didominasi oleh aktor negara, tetapi juga ormas. Perbedaanya adalah, jika pendukung diskursus penegakan syariat Islam dan pemberlakukan perda syariat, didominasi oleh pemerintah daerah, kelompok penolak ini didominasi oleh ormas seperti PBNU. Namun, PBNU tidak menjadi aktor perantara kedua diskursus tersebut. PBNU di sini hanya menolak diskursus pemberlakukan syariat Islam tapi tidak memberikan sikap terkait dengan diskursus penegakan syariat Islam. Adapun terkait dengan diskursus Penegakan negara Islam, pembagian koalisi dan sinergi antar aktor tampak terlihat semakin jelas. Kelompok pendukung utama diskursus ini MMI dan HTI. Apa yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa selain berasal dari kelompok yang memang telah dikenal mendukung negara Islam, aktor pendukung yang cukup besar berasal dari lembaga dakwah kampus di sejumlah perguruan tinggi. Apa yang menarik disini adalah bahwa FPI pusat justru dalam posisi yang sama dengan PBNU dalam menolak diskursus penegakan negara Islam berikut dengan diskursus turunanya seperti penegakan khilafah dan penegakan daulah islamiyah. Ini artinya, FPI sendiri tampak tidak begitu tertarik dengan diskursus yang mengarah pada upaya untuk mengganti sistem politik kenegaraan Indonesia.

64

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Diskursus dominan lainnya adalah terkait dengan Ahmadiyah. Dalam diskursus Ahmadiyah terdapat 3 bagian utama yaitu terkait dengan tuduhan sesat, intimidasi serta pelarangan dan pembatasan kepada ahmadiyah. Adapun diskursus layanan publik, syiar kebencian dan kriminalisasi melebur dalam ketiga bagian tersebut. Di antara diskursus yang paling mendapat perhatian dari para aktor adalah terkait tuduhan sesat, intimidasi dan kekerasan serta pelarangan dan pembatasan kepada komunitas Ahmadiyah. Ketiga diskursus ini sebenarnya memiliki keterkaitan satu dengan lainya. Tuduhan sesat kepada Ahmadiyah oleh ormas tertentu, biasanya diikuti dengan intimidasi dan kekerasan. Sebagai respon atas tindakan ormas tersebut, pemerintah daerah kemudian mengambil tindakan dengan melakukan pelarangan dan pembatasan terhadap Ahmadiyah di daerahnya.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

65


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Gambar 11. Cluster diskursus Ahmadiyah dan jaringan aktornya. Diskursus Ahmadiyah memiliki turunan diskursus utama seperti tuduhan sesat, intimidasi serta pelarangan dan pembatasan kepada Ahmadiyah. Jumlah pendukung diskursus Ahmadiyah bervariasi mulai dari ormas keagamaan seperti FPI dan MUI, baik di level nasional mapun daerah, aparat pemerintah daerah bahkan anggota DPR RI. Adapaun aktor penolaknya sendiri relatif terbatas Komnas HAM, PBNU dan sejumlah organisasi masyarakat sipil.

66

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Dalam diskursus tentang Ahmadiyah sebagaimana terlihat dalam Gambar 11 tampak lebih mudah menemukan aktor pendukung intoleransi, daripada penolaknya. Jumlah pendukung ini bervariasi mulai dari ormas keagamaan seperti FPI dan MUI baik di level nasional mapun daerah, aparat pemerintah daerah bahkan anggota DPR RI. Sementara, aktor penolak terdiri Komnas HAM, PBNU dan sejumlah organisasi masyarakat sipil. Dalam peta pertarungan aktor tersebut, menarik kiranya untuk melihat posisi MUI dan FPI dalam diskursus Ahmadiyah. Meski MUI menyetujui adanya penyesatan dan pelarangan terhadap Ahmadiyah, namun MUI menolak adanya intimidasi dan kekerasan kepada komunitas ini. Ini tentu berbeda dengan FPI yang hampir menyetujui semua bentuk tindak intoleran kepada Ahmadiyah. Selain itu, terkait dengan peran pemerintah, pemerintah daerah sendiri tampak lebih dominan dalam diskursus Ahmadiyah ini daripada pemerintah pusat. Peran aktif pemerintah daerah ini terlihat mulai dari diskursus tuduhan sesat, diskriminasi layanan publik, penyegelan masjid hingga pada pelarangan dan pembatasan ahmadiyah. Sementara terkait dengan diskursus Syiah, diskursus yang paling dominan terkait dengan pelarangan dan pembatasan, tuduhan sesat dan dan kemudian diskursus intimidasi dan kekerasan pada Syiah.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

67


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Gambar 12. Cluster diskursus Syiah dan jaringan aktornya. Diskursus Syiah memiliki diskursus turunan seperti pelarangan dan pembatasan Syiah, tuduhan sesat terhadap Syiah serta pelarangan dan pembatasan Syiah oleh pemerintah. Aktor penolak diskursus Syiah ini adalah adalah PBNU dan GP Ansor. Sedangkan aktor pendukung utamanya adalah Annas dan sejumlah Pemerintah Daerah

68

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Di antara ketiga diskursus utama tersebut, diskursus terkait dengan pembatasan dan pelarangan yang paling mendapat respon dari para aktor, utamanya pemerintah daerah. Sejumlah pemerintah daerah seperti Pemprov Jawa Timur, Pemkab Sampang, Pemkab Tasikmalaya, Pemkot Bogor, Pemkab Sleman hingga Pemkot Ternate menyetujui adanya pelarangan dan pembatasan kepada komunitas Syiah. Adapun aktor penolak hanya terdiri dari Komnas HAM, PBNU dan GP Ansor. Terkait dengan diskursus Syiah ini terdapat inkonsitensi aktor yang bisa dilihat. MUI sendiri nampak mendua. MUI Jawa Timur dan MU Sampang mendukung kesesatan dan pelarangan Syiah, tetapi MUI pusat menolaknya. Situasi ini terlihat pula dari sikap NU. Meski PBNU menolak adanya pelarangan dan pembatasan terhadap Syiah, tetapi PC NU Sampang dengan tegas mendukung kesesatan maupun pelarangan Syiah. Selain itu, fenomena lain yang bisa dicatat adalah ketidakhadiran FPI dalam diskursus Syiah. Meski tidak sebesar peran yang dimainkan oleh FPI dalam diskursus Syariat Islam dan Ahmadiyah, tetapi ANNAS mampu menjadi aktor perantara yang mendukung diskursus kesesatan dan Intimidasi pada Syiah. Dinamika Koalisi Antar Aktor Selain memungkinkan adanya pemisahan tiap diskursus berikut pertarungan aktor di dalamnya, DNA memungkinkan adanya pemilahan antara aktor pendukung dan penolak atas suatu dikursus tertentu. Dari model pemilahan ini dimungkinkan adanya analisis terkait dengan koalisi antar aktor. Koalisi antar aktor pada bagian ini dikategorikan menjadi dua, yaitu koalisi antar kelompok pendukung intoleransi dan radikalisme, serta koalisi antar kelompok penentang. Di antara koalisi aktor ini terdapat aktor simpul yang memiliki pengaruh sekaligus menggerakkan aktor-aktor lain untuk bersatu.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

69


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Gambar 13. Aktor simpul pendukung intoleransi dan radialisme paham keagagamaan. Aktor utama pendukung intoleransi adalah MUI, FPI dan Bakorpakem. Sedangkan terkait radikalisme, aktor simpulnya adalah Majelis Mujahidin Indonesia.

70

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Aktor simpul pendukung intoleransi diantaranya adalah MUI, FPI dan Bakorpakem. Sedangkan aktor simpul pendukung radikalisme adalah Majelis Mujahidin Indonesia. Sebagaimana terlihat dalam Gambar 13, sejumlah aktor pendukung intoleransi cenderung mengikuti keempat aktor simpul yang dikenal mengusung diskursus tertentu, dan menjadikan aktor simpul tersebut sebagai rujukan. Simpul aktor ini menjadi penggerak bagi aktor lainya dalam diskursus tersebut. Untuk diskursus tentang Ahmadiyah dan penegakan pemberlakukan perda Syariat misalnya, terlihat bahwa FPI berperan sebagai aktor simpul yang mampu menyambungkan kepentingan aktor-aktor lain. Tapi peran FPI ini berhenti dan digantikan oleh Majelis Mujahiddin Indonesia, ketika diskursus yang dibawa bermetamorfosa menjadi penegakan syariat Islam, Penegakan Negara Islam atau Khilafah atau yang menyangkut perubahan ideologi negara. Sementara MUI sendiri terlihat peranya sebagai aktor simpul ketika terlibat dalam diskursus seperti penyesatan dan pemaksaan keyakinan. Dalam konteks ini MUI menjadi simpul gerak dari aktor-aktor lain. Aktor lain yang terlihat besar peranya adalah Bakorpakem. Bakorpakem mampu menjadi simpul gerak dari aktor-aktor lain ketika berbicara tentang Ahmadiyah dan Syiah dan aliran-aliran yang dianggap sesat di masyarakat.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

71


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Gambar 14. Aktor simpul penolak intoleransi dan radialisme paham keagagamaan. PBNU menjadi satu-satunya aktor simpul penolak diskursus intoleransi dan radikalisme keagamaan.Relatif tidak ada aktor lain yang mampu menjadi penjaring aktor-aktor lainya dalam beragam diskursus seperti yang diperankan oleh PBNU.

72

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Situasi yang berbeda ditunjukkan oleh aktor-aktor penolak intoleransi dan radikalisme keagamaan sebagaimana terlihat dalam Gambar 14. Relatif hanya PBNU yang mampu menjadi aktor simpul dalam sebagian besar diskursus PBNU tidak hanya menjadi aktor simpul dalam diskursus Syiah, Ahmadiyah, tapi juga ikut mewarnai koalisi dalam diskursus pemberlakuan syariat dan pendirian negara Islam. Aktor lain seperti GP Ansor, PP Muhammadiyah dan CRCS memang bisa dikategorikan sebagai aktor simpul, tetapi perananya terbatas pada diskursus tertentu. GP Ansor misalnya, terbatas pada dua diskursus utama yaitu Syiah dan Ahmadiyah. Sementara PP Muhammadiyah relatif hanya menjadi aktor simpul dalam diskursus infiltrasi Islam garis keras dan pendirian negara Islam. Sementara, CRCS menjadi aktor simpul koalisi jaringan masyarakat sipil lain seperti Setara Institute, Wahid Foudantion, LBH Jakarta, YLBHI, Pusad Paramadina dan Maarif Institute dalam diskursus penolakan pemaksaan keyakinan atau diskriminasi atas dasar agama. Analisis atas koalisi antar aktor ini lebih jauh bisa menjelaskan pola jaringan berikut diskursus yang menjadi perhatian utama antar koalisi. Pola jaringan yang terbentuk dari aktor pendukung intoleransi dan radikalisme keagamaan nampak lebih terkordinasi. Selain mampu menggerakan aktor-aktor lain, di antara aktor simpul sendiri terlihat adanya keterkaitan satu dengan lainnya. Situasi berbeda tampak terlihat dari aktor penolak intoleransi. Masing-masing aktor simpul memiliki pola jaringan masingmasing, dan di antara aktor simpul ini nampak tidak memilki keterkaitan yang kuat antar satu dengan lainya. Selain itu, diskursus yang banyak disikapi oleh aktor pendukung relatif mengarah pada diskursus nomatif seperti infiltrasi Islam garis keras, pemaksaan keyakinan, diskriminasi atas dasar agama, intimidasi kepada kelompok agama tertentu. Dengan kata lain, diskursus yang diusung aktor toleran ini cenderung mengarah pada diskursus yang bukan diskursus dominan seperti terkait Ahmadiyah dan Syiah sebagaimana menjadi perhatian aktor pendukung intoleransi. Diskursus dominan seperti pelarangan dan pembatasan Ahmadiyah dan Syiah ini menjadi mengecil ketika diletakkan dalam koalisi aktor toleran. Ini mengindikasikan bahwa diskursus dominan pelarangan dan pembatasan Ahmadiyah dan Syiah tidak menjadi konsen utama mayoritas aktor toleran.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

73


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Perbandingan Antar Rezim Pemerintah Bagian ini secara spesifik ingin melihat secara spesifik dinamika aktor dan diskursus yang dominan pada dua rezim pemerintahan selama 10 tahun. Disatu sisi, perbandingan ini ingin melihat dinamika diskursus dan aktor utama yang terlibat dalam periode tertentu. Disisi lain, perbandingan ini ingin melihat secara khusus kehadiran aktor-aktor negara baik pusat maupun daerah dalam diskursus intoleransi dan radikalisme keagamaan baik pada rezim SBY maupun Jokowi.

Gambar 15. Dinamika diskursus intoleransi dan radikalisme keagamaan pada rezim pemerintahan SBY 2008-2014. Hampir semua diskursus dominan seperti Syiah, Ahmadiyah dan Syariat Islam muncul pada periode ini. Diskursus pinggiran seperti kasus MTA, Irshad Mandji dan kekerasan terhadap kelompok Tijaniyah juga muncul. Dalam periode ini muncul tiga aktor utama dalam pertarungan diskursus yaitu FPI, MUI dan PBNU.

74

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Studi ini menemukan bahwa pada rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2008-2014), tampak terlihat bahwa hampir semua diskursus dominan muncul (Gambar 15). Diskursus dominan ini tidak hanya menyangkut kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah, dan kelompok aliran kegamaan tertentu, tapi juga diskursus dominan yang terkait dengan penegakan, penerapan maupun pemberlakukan perda Syariat di beberapa daerah.

Gambar 16. Peran aktor pemerintah dalam pertarungan diskursus intoleransi dan radikalisme pada masa pemerintahan SBY. Pada masa rezim pemerintahan SBY, pemerintah daerah sangat aktif terlibat dalam pertarungan, tidak hanya menyangkut tentang pemberlakukan perda syariat, namun juga pembatasan dan pelarangan terhadap Syiah dan Ahmadiyah.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

75


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Dalam konteks aktor, sebagaimana terlihat dalam Gambar 16, aktor pemerintah pusat yang banyak terlibat dalam diskursus utama adalah Bakorpakem dan Menteri Agama. Bakorpakem sendiri banyak terlibat dalam diskursus pelarangan dan pembatasan kegiatan keagamaan dan tuduhan sesat, pelarangan hingga kriminalisasi pada Ahmadiyah. Terkait dengan Menteri Agama sendiri menarik untuk melihat posisinya dalam diskursus. Dalam diskursus umum seperti pemaksaan keyakinan, Menteri Agama menjadi aktor penolak, sedangkan terkait dengan tuduhan sesat dan pemaksaan keyakinan dan pelarangan pada kelompok tertentu seperti Syiah dan Ahmadiyah seketika menjadi aktor pendukung. Ini mengindikasikan sikap ambigu Menteri Agama dalam pertarungan diskursus.

76

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Gambar 17. Dinamika diskursus intoleransi dan radikalisme keagamaan pada rezim pemerintahan Jokowi 2014-2018. Meski diskursus seperti Ahmadiyah, Syiah dan pemberlakukan Syariat Islam masih menjadi diskursus dominan, namun kuantitas aktor yang terlibat semakin berkurang. Sebut saja misalnya peran yang dimainkan FUI dan MUI tidak lagi menonjol sebagaimana pada periode sebelumnya.

Meski diskursus dominan seperti Ahmadiyah, Syiah dan pemberlakukan Syariat Islam masih menjadi diskursus dominan pada masa Jokowi (Gambar 17), tetapi kuantitas aktor yang terlibat semakin berkurang. Sebut saja misalnya peran yang dimainkan FUI dan MUI tidak lagi menonjol sebagaimana pada periode sebelumnya. Pada periode Jokowi, muncul aktor yang pada periode sebelumnya tidak begitu kentara, yaitu GP Ansor dan HTI. GP Ansor sendiri terlihat konsisten menolak segala bentuk intoleransi dan radikalisme pada Syiah, sedangkan kepada Ahmadiyah tampak ambigu. Sedangkan HTI fokus pada isu Khilafah dan terkait dengan diskursus negara Islam. Posisi HTI di sini harus berhadapan dengan tiga aktor utama dalam diskursus intoleransi dan radikalisme keagamaan seperti PBNU, PP Muhammadiyah, dan bahkan FPI.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

77


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Gambar 18. Peran aktor negara dalam pertarungan diskursus intoleransi dan radikalisme dalam pemerintahan Jokowi. Peran Aktor negara, khususnya pemerintah pusat sangat berkurang signifikan dalam pertarungan diskursus. Namun tidak demikian dengan peran yang dimainkan pemerintah daerah, khususnya dalam diskursus pemberlakukan perda Syariat serta pelarangan dan pembatasan terhadap Syiah dan Ahmadiyah.

78

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Perbedaan paling mencolok lain pada rezim Jokowi adalah kehadiran aktor negara (Gambar 18). Di tingkat pemerintah pusat, relatif hanya Bakorpakem yang banyak terlibat dalam diskursus intoleransi dan radikalisme keagamaan, melalui penyesatan maupun pelarangan. Sedangkan aktor lain dari pemerintah pusat yang banyak terlibat dalam diskursus Kejaksaan Agung dan Komnas HAM. Sedangkan aktor lain banyak didominasi oleh pemerintah daerah. 4. Upaya Membangun Deteksi Dini Dalam upaya membangun respon dini terhadap konflik paham keagaman dalam Islam, maka framework resolusi konflik akan digunakan untuk menganalisis perkebangan diskursus DNA ini. Untuk keperluan penerapan framework dalam DNA, studi ini akan mengidentifikasi salah satu diskursus dominan, yaitu diskursus Syiah. Dalam upaya pembagunan deteksi dini, hal pertama yang dilakukan adalah mendeteksi sebuah konflik yang telah, sedang, dan mungkin terjadi. DNA sendiri berguna untuk mengidentifikasi isu atau diskursus (grievances issues) berikut aktor-aktor yang terlibat dalam konflik. Ketika pola perkembangan suatu diskursus berhasil diidentifikasi maka akan diketahui pula di level mana upaya pencegahan arus segera dilakukan.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

79


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Gambar 19. Pola Pergerakan Suatu Diskursus. Dengan menggunakan DNA terlihat bahwa kemunculan jaringan diskursus intoleransi dimulai dari pertarungan para aktor terkait penyebaran kebencian pada kelompok yang tidak disukai oleh sebagian masyarakat, kemudian diskursus berlanjut pada penyesatan. Penyesatan inilah yang kemudian melegitimasi lahirnya kekerasan atau melegitimasi pemerintah untuk melakukan pelarangan dan pembatasan terhadap kelompok tertentu.

80

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Dengan berbasis DNA, terlihat jelas bahwa kemunculan diskursus intoleran dimulai dari penyebaran kebencian pada kelompok yang tidak disukai oleh sebagian masyarakat, dalam kasus Syiah Sampang misalnya penyebaran kebencian dilakukan tokoh masyarakat di Madura dan Jember (Gambar 19). Dari situ kemudian muncul diskursus pemaksaan keyakinan pada kelompok Syiah. Aktor yang terlibat tidak hanya tokoh agama local dan MUI, tetapi juga Menteri Agama sendiri. Dari pemaksaan keyakinan ini, kemudian diskursus dengan melibatkan banyak aktor mulai berkembang. Diskursus itu meliputi penyesatan, kekerasan oleh massa hingga pada pembatasan. Tidak hanya dilevel Jawa Timur ketiga diskursus ini berkembang dan diperebutkan tapi menyebar di daerah lain. Sementara di Sampang diskursus berhenti pada kriminasi keyakinan Syiah. Dalam teori resolusi konflik, proses konflik dimulai dari tahap-tahap fase laten, eskalasi, manifest sampai kemudian pada fase de-eskalasi atau upaya pebangunan perdamaian. Dengan melihat dinamika diskursus dan aktor berdasar teori resolusi konflik akan teridentifikasi bahwa konflik ini mulai terjadi ketika penyebaran kebencian terhadap kelompok yang tidak disukai (Syiah) mulai dilakukan. Ketika tidak ada upaya pencegahan pada upaya penyebaran kebencian, yang terjadi malah sebaliknya, yaitu eskalasi konflik melalui upaya pemaksaan keyakinan oleh aktor-aktor, baik pemerintah maupun masyarakat sipil. Maka yang terjadi adalah munculnya konflik berskala besar. Konflik inipun termanifestasi dalam bentuk intimadasi dan kekerasan terhadap komunitas Syiah dan pada saat yang sama upaya pembatasan dan pelarangan oleh pemerintah. Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh pemerintah ini bukanlah upaya de-esklasi konflik Syiah, namun yang terjadi sebaliknya. Upaya pelarangan pemerintah yang terjadi di Sampang, Sleman dan Bogor malah menjadi legitimasi bagi kelompok intoleran di daerah lain untuk melakukan penyesatan terhadap Syiah.

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

81


Peta Diskursus dan Aktor Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Jumlah Diskursus dan Aktor

70 60 50 40 30 20 10 0

Laten

Eskalasi

Manifest

Aktor Damai

0

0

10

De-Eskalasi 0

Diskursus

1

1

4

1

Aktor Konflik

3

5

44

3

Gambar 19. Dinamika Konflik Syiah

Apa yang perlu mendapat perhatian di sini adalah bahwa sesungguhnya tidak upaya de-eskalasi secara serius dalam konflik Syiah, tapi yang terjadi adalah penghentian konflik dan kebencian terhadap Syiah dengan upaya kriminalisasi terhadap penganut Syiah. Ke depan, ketika proses de-ekalasi ini tidak dilakukan maka kemungkinan besar konflik terkait dengan Syiah akan kembali terulang.

82

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Kesimpulan dan Rekomendasi

Bagian 4 Kesimpulan dan Rekomendasi A. Kesimpulan 1. Munculnya kajian dan pemantauan terkait tema toleransi dan kebebasan beragama oleh sejumlah lembaga masyarakat sipil sejak 2007 tidak lepas dari situasi keberagamaan di berbagai daerah yang mengkhawatirkan, direfleksikan dari munculnya berbagai peristiwa intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama. Berbagai kajiaan pemantauan tersebut diniatkan agar dapat mendorong perhatian dari berbagai pihak atas situasi tersebut terutama pemerintah. Dengan begitu akan lahir kebijakan yang lebih mendukung toleransi dan perlindungan hak-hak beragama. 2. Peta diskursus intoleransi selama 10 tahun terakhir tidak banyak bergeser dari dua isu utama yakni intoleransi terhadap Ahmadiyah dan Syiah, meskipun ada banyak isu lain yang muncul silih berganti, keduanya terlihat paling dominan dan konsisten dalam pusaran objek kelompok-kelompok intoleran mulai dari tuduhan sesat, intimidasi hingga pelarangan kegiatan. Ini menandakan kedua isu ini merupakan permasalahan yang paling serius dan belum terselesaikan hingga kini. Jika ada dugaan dari sebagian pihak bahwa kedua isu ini sengaja dipelihara, maka temuan kajian ini dapat menjadi indikator. 3. Sementara peta diskurus radikalisme berpusat pada gerakan penyebaran gagasan khilafah dengan beragam variannya seperti penegakan syariat Islam dan penegakan negara Islam. Pengusung gagasan ini dari kelompok yang memang telah dikenal seperti HTI, MMI, JI, tetapi penting juga dicatat bahwa kelompok yang jarang terekspose tetapi punya agenda serupa adalah lembaga dakwah kampus. Keberadaan mereka hampir ada di semua kampus negeri dan swasta di Indonesia. 4. Kajian ini juga menyimpulkan bahwa terdapat aktor dominan terkait intoleransi dan radikalisme paham keagamaan. Di antara aktor-aktor dominan tersebut adalah FPI, HTI, MUI dan PBNU. Keempatnya menunjukkan tren peran yang berbeda-beda bila dilihat sikap ketiganya terhadap berbagai isu keagamaan. Jika FPI cenderung memainkan peran sebagai aktor utama intoleransi, maka HTI cenderung memainkan peran

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

83


Kesimpulan dan Rekomendasi

5.

6.

7.

8.

84

dominan dalam isu radikalisme. Sementara peran MUI cukup menarik dilihat karena ada tren penurunan peran dari rezim pemerintahan SBY ke Jokowi. Adapun PBNU, dapat disebut sebagai satu-satunya pihak yang paling konsisten memainkan peran melawan intoleransi dan radikalisme. Hubungan aktor dan diskursus tertentu pada dasarnya bersifat dinamis. Tidak selalu aktor diskursus intoleransi akan setuju dengan diskursus radikalisme. PBNU dan FPI bersepakat menolak diskursus radikalisme yakni khilfah dan negara Islam. Namun, keduanya bertolak belakang dalam hampir semua diskursus intoleransi dan radikalisme paham keagamaan, dimana FPI menjadi pendukung dan PBNU menjadi penolak utama. Terlihat dari kajian ini dua pemerintahan yang menunjukkan respon yang berbeda terhadap isu-isu intoleransi di Indonesia. Jika pada masa SBY, institusi pemerintah seperti Bakorpakem dan Kementrian Agama Nampak berada dalam pusaran aktor intoleran, maka pada era Jokowi hanya Bakorpakem yang masih menunjukkan peran yang menonjol. Begitupula dari aktor masyarakat sipil, jika pada era SBY kuantitas aktor begitu merata, maka pada era Jokowi, peran FUI dan MUI jauh berkurang. Mengapa perbedaan ini bias terjadi? Tentu masih harus dilakukan kajian lanjutan. Satu kesimpulan lain yang perlu dicermati adalah menguatnya gerakan radikalisme di era Pemerintahan Jokowi. Hal ini terlihat dari membesarnya peran ormas seperti HTI sebagai poros gerakan penegakan khilafah. Fenomena ini juga ditandai membesarnya peran GP Ansor sebagai perlawanan atas semakin menggeliatnya HTI. Hal ini tampaknya juga tidak lepas dari respon yang makin serius dari Pemerintahan Jokowi mengikis gerakan radikalisme ini, termasuk dengan membubarkan HTI. Kajian ini menyimpulkan bahwa konflik-konflik paham kegamaan di Indonesia memliki pola hampir sama, dimulai dari penyebaran kebencian dilanjutkan tindakan penyesatan, selanjutnya diikuti kekerasan oleh massa atau kriminalisasi pada korban oleh apparatus penegak hukum. Dalam upaya pencegahan, diskursus dan aktor yang berada pada level hulu, yaitu pada tahap penyebaran kebencian inilah yang harus mendapat perhatian agar konflik tidak ter-eskalasi atau malah termanifestasi dalam konflik yang besar.

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


Kesimpulan dan Rekomendasi

B. Rekomendasi Dari berbagai temuan yang ada, kajian ini merekomendasikan: Kepada OMS pelaku kajian intoleransi dan radikalisme. 1.

2.

3.

Perlu memperkuat dialog dan sosialisasi hasil kajian satu sama lain, Hal ini karena keberadaan berbagai kajian tentang intoleransi dan radikalisme cenderung tumpang tindih dan terjadi pengulangan. Dialog yang dimaksudkan adalah menjadikan antar kajian terhubung satu sama lain untuk menghindari berulang dan tumpeng tindih antar kajian yang sudah dilakukan. Hal ini sangat penting karena dari pemetaan literature terlihat tema yang dikaji oleh banyak literature sebagian besar masih bersifat umum dan hanya sedikit yang menyentuh akar-akar intoleransi dan radikalisme. Perlu melanjutkan kajian ini dengan mencoba menjawab mengapa kajian yang sangat banyak tentang intoleransi tidak terlalu berdampak pada perubahan kebijakan pemerintah. Padahal sudah banyak kajian yang membuktikan dan diakui juga oleh Pemerintah bahwa salah satu problem utama pemerintah dan masyarakat adalah intoleransi. Kondisi ini berbeda jauh dengan kajian-kajian radikalisme seperti gagasan dan gerakan penegakan khilafah dan penegakan negara Islam yang langsung terlihat respon dari pemerintah. Sangat penting juga untuk melanjutkan kajian ini dengan mendalami beberapa pertanyaan yang tidak bias dijawab oleh studi literature ini seperti: bagaimana memetakan mereka yang tidak bermain di diskursus tertentu namun langsung bergerak melakukan aksi? Mengapa isu Ahmadiyah dan Syiah terus menjadi isu dominan kelompok intoleran? Apa peran negara pada level yang paling bawah? Termasuk bagaimana kelompok-kelompok intoleran membiayai gerakan mereka?

LAPORAN STUDI LITERATUR 2008-2018

85


Kesimpulan dan Rekomendasi

Kepada BNPT 4.

Dalam aspek bagaimana deradikalisasi seharusnya dilakukan, sangat penting melihat penanganan organisasi-organisasi radikal ini yakni mereka yang berupaya mengancam segi fundamental kebangsaan Indonesia. Kerja deradikalisasi tidak cukup hanya menyasar kelompok eks teroris, deradikalisasi harus juga diarahkan pada organisasi radikal, karena organisasi-organisasi tersebut dapat menjadi tempat inkubasi aktor teroris.

Kepada Kementrian Agama 5.

6.

7.

8.

86

Dalam aspek pencegahan konflik, sangat penting menyasar actor maupun kelompok penyebar kebencian di tengah masyarakat yakni mereka yang mempelintir perbedaan menjadi kebencian dan kemudian penolakan satu kelompok terhadap kelompok lain. Dengan mengetahui bahwa pola konflik paham keagamaan relatif sama dari satu kasus ke kasus yang lain, maka sangat penting membangun sistem pencegahan dan respon Pemerintah terhadap konflik keagamaan yang menyasar embrio konflik dalam hal ini ujaran kebencian di masyarakat. Dan karena pemerintah memiliki sumberdaya baik berupa pendanaan, aparatus hingga institusi hingga ke level yang paling bawah, maka sistem pencegahan dan respon dini konflik tersebut menjadi sangat relevan apabila penanggungjawab utama pemerintah. Dan oleh karena regulasi dalam bentuk Undang-undang dan Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Menteri sudah cukup jelas memberikan mandat pentingnya pencegahan konflik, maka menjadi relevan mengimplementasikan mandat tersebut salah satunya dengan membuat standar operasional prosedur (SOP) deteksi dan respon dini konflik di masyarakat.

PETA KUASA INTOLERANSI DAN RADIKALISME DI INDONESIA


DAFTAR PUSTAKA Ahnaf, Mohammad Iqbal, dkk., Politik Lokal dan Konflik Keagamaan, (Yogyakarta: CRCS, 2015) Bagir, Zainal Abidin, dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012, (Yogyakarta: CRCS, 2012) Bamualim, Chaider S. dkk., Kaum Muda Muslim Milenial Konservatisme, Hibridasi Identitas, dan Tantangan Radikalisme (Jakarta: CSRC, 2018). Center for the Study of Democracy, “Monitoring Radicalisation and Extremism”, Policy Brief No. 68, February 2017. George, Cherian, Pelintiran Kebencian (Jakarta: Pusad Paramadina, 2016) Halili & Bonar Tigor Naipospos, Dari Stagnasi Menjemput Harapan Baru Kondisi Kebebasan Beragama/Berkayakinan di Indonesia 2014, (Jakarta: Setara Institute, 2015). Kholikin, Ahsanul & Fathuri, Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik (Jakarta: Balitbang Sumaktoyo, Nathanael Gratias, “Penelitian Empiris Mengenai Toleransi di Indonesia: Menuju Praktik Terbaik”, dalam Ihsan Ali-Fauzi dkk., Kebebasan Toleransi dan Terorisme Riset dan Kebijakan Agama di Indonesia, (Jakarta: Pusad Paramadina, 2017). Resolusi 16/18 Dewan HAM PBB, “Combating intolerance, negative stereotyping and stigmatization of, and discrimination, incitement to violence and violence against, persons based on religion or belief”, 24 Maret 2011. Shulman, Laura F., “Religious Intolerance: Causes and Solutions. Some Observation”, esay di http://www.religioustolerance.org/religious-intolerance-causes-solutions-observations.htm. Suaedy, Ahmad, “Revisiting the problems of Religious Intolerance, Radicalism and Terrorism in Indonesia: a Snapshot” PP presentasi pada FGD Inklusif, 16 Oktober 2018. Tim Penyusun, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 200, (Jakarta: The Wahid Institute, 2010). Tim Pusham UII, Bersama Bergerak Riset Aktivis Islam di Dua Kota (Yogyakarta: Pusham UII, 2009) Tim CSW, Indonesia: Pluralism in Peril The Rise of Religious Intolerance Across the Archipelago (United Kingdom: Christian Solidarity Worldwide, 2014).

87


Tim Komnas Perempuan, Pengalaman dan Perjuangan Perempuan Minoritas Agama Menghadapi Kekerasan dan Diskriminasi Atas Nama Agama (Jakarta: Komnas Perempuan, 2014) Tim Setara Institute, “Laporan Survei Tentang Perspsi Siswa SMU Negeri di Jakarta dan Bandung Terhadap Toleransi”, Setara Institute, 30 Maret 2015. Tim Setara Institute, “Laporan Survei Toleransi Siswa SMA Negeri di Jakarta & Bandung Raya, (Jakarta: Setara Institute, 2016) Tim LIPI, “Hasil Survei Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia di 9 Provinsi”, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 15 November 2018. Tim Setara Institute, Dari Radikalisme Menuju Terorisme (Jakarta: Setara Institute, 2012), 3-4. Tim Penyusun Ringkasan Laporan, Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Perempuan (Jakarta: Wahid Foundation, 2017) Tim LIPI, “Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia Kajian Kualitatif”, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 15 November 2018. Tim Wahid Foundation, “Paparan Hasil Survei Nasional Potensi Intoleransi dan Radikalisme Sosial Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia”, Wahid Foundation-LSI, 2016. Tim Wahid Foundation, “Laporan Riset Potensi Radikalisme di Kalangan Aktivis Rohani Islam Sekolah-Sekolah Negeri”, Lokakarya Penguatan Toleransi dan Kebhinekaan di Kalangan Muda Indonesia, Hotel Akmani 18 Januari 2017. Tim Wahid Foundation,“Laporan Survei Nasional Tren Toleransi Sosial Keagamaan di Kalangan Perempuan Muslim Indonesia”, Wahid Foundation-LSI, 2018. Tim SMRC, “NKRI dan ISIS Penilaian Massa Publik Nasional Temuan Survei Mei 2017”, SMRC, 2017. Tim PPIM UIN Jakarta, “Api Dalam Sekam: Keberagamaan Gen Z Survei Nasional tentang Sikap Keberagamaan di Sekolah dan Universitas di Indonesia”, PPIM UIN Jakarta-Convey Indonesia, 2017. Tim PPIM UIN Jakarta, “Pelita Yang Meredup: Potret Keberagamaan Guru Indonesia”, hasil survei PPIM 2018. Tim LIPI, “Hasil Survei Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia di 9 Provinsi”, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 15 November 2018 UNESCO, “Declaration of Principles on Tolerance”, http://portal.unesco. org/en/ev.php-URL_ID=13175&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=201.html, diakses 12 November 2018.

88


Lampiran Tabel 1 Peta Literatur Toleransi, Radikalisme dan Terorisme 2008-2011 Topik

Survei Opini Publik

Pemantauan dan Pengukuran

Penelitian Mendalam

Toleransi

SETARA InstituteWajah Para ‘Pembela’ Islam, Desember 2010

CRCS - Laporan Tahunan Kehidupan Beragama Di Indonesia Tahun 2008; Desember 2008

Komnas HAM PEMETAAN HAK ATAS KEBEBASAN BERAGAMA DAN KEPERCAYAAN DI ENAM DAERAH; 10 Februari 2009

Indexing

The Wahid Institute Laporan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan dan Toleransi the Wahid Institute Tahun 2008 Setara Institute Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia 2008 Berpihak dan Bertindak Intoleran The Wahid Institute Laporan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan dan Toleransi the Wahid Institute Tahun 2009 Setara Institute Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia 2010 CRCS - ANNUAL REPORT ON RELIGIOUS LIFE IN INDONESIA 2009; February 2010

CRCS - Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia; Maret 2011

89


Radikalisme

SETARA InstituteWajah Para ‘Pembela’ Islam, Desember 2010

CRCS - Laporan Tahunan Kehidupan Beragama Di Indonesia Tahun 2010; Januari 2011

PARAMADINA MELAPORKAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA 2008: EVALUASI ATAS LAPORAN THE WAHID INSTITUTE, SETARA INSTITUTE, DAN CRCSUGM; Juli 2009

CRCS - Laporan Tahunan Kehidupan Beragama Di Indonesia Tahun 2011; Januari 2012

Komnas HAM - PEMAKSAAN TERSELUBUNG HAK ATAS KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN; 2009

Setara Institute Politik Diskriminasi Rezim Susilo Bambang Yudhoyono, Kondisi Kebebasan beragama/ Berkayakinan di Indonesia 2011

WAHID INSTITUTE - ILUSI NEGARA ISLAM: EKSPANSI GERAKAN ISLAM TRANSNASIONAL DI INDONESIA; 2009

The Wahid Institute Laporan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan dan Toleransi the Wahid Institute Tahun 2011

SETARA - Dokumen Kebijakan Penghapusan Diskriminasi Agama/ Keyakinan; Desember 2011

CRCS - Laporan Tahunan Kehidupan Beragama Di Indonesia Tahun 2008; Desember 2008

CRCS - Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia; Maret 2011

PARAMADINA MELAPORKAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA 2008: EVALUASI ATAS LAPORAN THE WAHID INSTITUTE, SETARA INSTITUTE, DAN CRCSUGM; Juli 2009

90


WAHID INSTITUTE - ILUSI NEGARA ISLAM: EKSPANSI GERAKAN ISLAM TRANSNASIONAL DI INDONESIA; 2009 SETARA Institute Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan; Desember 2011 Terorisme

SETARA Institute Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan; Desember 2011

91


Tabel 2 Peta Literatur Toleransi, Radikalisme dan Terorisme 2012-2014 Topik

Intoleransi

Survei Opini Publik

Laporan Tahunan

Penelitian Mendalam

Indexing

Azhari, Subhi dkk. Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan dan Intoleransi 2012. Jakarta: The Wahid Institute, 2012

Andries, Falovius F., Mas’oed, M., dan Bagir, Z. A. 2013. Dialog yang Represif: Studi Kasus Dialog MUI dan JAI di Kuningan. Jurnal Harmoni No. 1 2013. Jakarta: Kemenag, 2013.

Anonim. Indeks Kinerja Penegakan HAM 2012. Jakarta: SETARA Institute, 2012.

Azhari, Subhi dkk. Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan dan Intoleransi 2013. Jakarta: The Wahid Institute, 2013.

Asnawati. 2012. Alexander Aan “Atheis Minang” di Provinsi Sumatera Barat. Jurnal Harmoni 02. Kemenag. Jakarta: Kemenag, 2012.

Anonim. Ringkasan Eksekutif Indeks Kinerja Hak Asasi manusia 2013. Jakarta: SETARA institute, 2013.

Azhari, Subhi dkk. Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan dan Intoleransi 2014: Utang Warsaw Pemerintah Baru. Jakarta: The Wahid Institute, 2014.

Ali-Fauzi, Ihsan dkk. 2012. Mengelola Keragaman: Pemolisian Kebebasan Beragama di Indonesia. Jakarta: PUSAD, 2012.

Hasani, Ismail, K. Fahmi, A. R. Fanni. Indeks Penegakan HAM. Jakarta: SETARA Institute, 2014.

Bagir, Zainal Abidin dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012. Yogyakarta: CRCS, 2012.

Chrisbiantoro & Umar, Risma. 2014. Pelanggaran HAM & Pelanggaran HAM Berat: Dalam Kasus-Kasus Kebebasan Beragama, Berkeyakinan, dan Beribadah di Indonesia. Jakarta: Kontras, 2014. Hefner, Robert W. & Ali-Fauzi, Ihsan. Mengelola Keragaman dan Kebebasan Beragama di Indonesia: Sejarah, Teori dan Advokasi. Yogyakarta: CRCS, 2014.

92


Humaedi, M. Alie. Kerusuhan Sampang: Kontestasi Aliran Keagamaan dalam Wajah Kebudayaan Madura. Jurnal Harmoni 02. Jakarta: Kemenag, 2014.

Ismail, Arifuddin. Pemikiran dan Gerakan Keagamaan Mahasiswa: Memahami Merebaknya Radikalisme Islam di Kampus. Jurnal Harmoni No. 02 2012. Jakarta: Kemenag, 2012. Ismail, Arifuddin. Pemikiran dan Gerakan Keagamaan Mahasiswa: Memahami Merebaknya Radikalisme Islam di Kampus. Jurnal Harmoni No. 02 2012. Jakarta: Kemenag, 2012. Ismail, Nawari. Negara, Masyarakat Sipil dan Agensi dalam Relasi Antarkomunal Islam. Jurnal Harmoni No.01. 2014. Jakarta: Kemenag, 2014. Kustini. Agama Baha’i Problematika Pelayanan HakHak Sipil. Jurnal Harmoni 03. 2014. Jakarta: Kemenag, 2014. Koeswinarno dan Fakhrudin (peneliti Puslitbang Kehidupan Beragama Kemenag). Persepsi Penyuluh Agama tentang Konflik Berbasis Agama (Kasus Ahmadiyah dan Tijani di Kabupaten Sukabumi). Jurnal Harmoni No. 2 2013. Jakarta: Kemenag, 2013.

93


Magassing, Abdul Maasba dkk. Kompilasi Hasil Penelitian Putusan Pengadilan Terkait KBB. Cetakan Pertama. Jakarta: ILRC, 2014. Mu’allim, Amir. 2012. Ajaranajaran Purifikasi Islam menurut Majelis Tafsir AlQur’an (MTA) Berpotensi Menimbulkan Konflik. Jurnal Harmoni 03 2012. Jakarta: Kemenag, 2012. Nuh, M. Nuhrison. Eksistensi Jemaat Ahmadiyah di Kelurahan Kenanga Kecamatan Cipondoh Kota Tangerang. Jurnal Harmoni 03 2014. Jakarta: Kemenag, 2014. Panggabean, Rizal & AliFauzi, Ihsan. Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia. Pusad. Edisi Ringkas Maret 2014. Jakarta: PUSAD, 2014. Rosyid, Moh. 2013. Resolusi Konflik Berlatar Agama: Studi Kasus Ahmadiyah di Kudus. Jurnal Harmoni No.3. 24 Mare 2013. Kemenag. Jakarta. Ruhana, Akmal Salim. 2014. Memadamkan Api, Mengikat Aspirasi: Penanganan Konflik Keagamaan di Kota Mataram. Jurnal Harmoni No. 02. Kemenag. Jakarta. Sihombing, Uli Parulian dkk. Ketidakadilan Dalam Beriman: Hasil Monitoring Kasus-Kasus Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian atas Dasar Agama di Indonesia. Jakarta: ILRC, 2012.

94


Sofanudin, Aji. Studi Tahapan Penangan Kasus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Jurnal Harmoni 02. 2012. Jakarta: Kemenag, 2012. Suhanah. Potensi Kerukunan dan Konflik Umat Beragama di Kota Madiun Jawa Timur. Jurnal Harmoni No.01 2012. Jakarta: Kemenag, 2012. Tim Kontras. Laporan Pemantauan Pemolisian & Hak Atas Berkeyakinan, Beragama, dan Beribadah. Jakarta: Kontras, 2012.

Indonesia: Pluralism in Peril The Rise of Religious Intolerance Across the Archipelago, Christian Solidarity Worldwide, 2014

95


Tabel 3 Peta Literatur Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme 2015-2018 Tema

Penelitian Mendalam

Laporan Pemantauan

Indeks

Survei Opini Publik

Intoleransi

1.Crcs Politik Lokal DanKonflik Keagamaan Pilkada DanStruktur Kesempatan Politik Dalam Konflik Keagamaan Di Sampang, Bekasi, DanKupang Februari 2015

1.Hbibi Center, Indeks Intensitas Kekerasan 2015

1.Setara Institute, Laporan Survei Tentang Persepsi Siswa Smu Negeri Di Jakarta & Bandung Terhadap Toleransi 30 Maret 2015

1.Persepsi DanAspirasi Generasi Muda Terhadap Pengelolaan Masjid Survei Terhadap Generasi Muda Muslim Di 12 Kota Besar Laporan Survei DanDiskusi Jakarta, 24 Juli 2018

2. Crcs Praktik Pengelolaan Keragaman Di Indonesia Kontestasi Dan Koeksistensi, Mei 2018

2.Komnas HamLaporan Akhir Tahun Pelapor Khusus Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan, 2015.

2.Setara Institute, Laporan Survei,Toleransi Siswa Sma Negeri Di Jakarta&Bandung Raya, 24 Mei 2016

2. Ppim Uin Jakarta, Pelita Yang Meredup: Potret keberagamaan Guru Indonesia

3. Wahid Institut Ringkasan Kebijakan Kemerdekaan Beragama Atau Berkeyakinan & Perlindungan Negara Di Indonesia, November 2016

3.Komnas Perempuan, Kekerasan Terhadap Perempuan: Negara Segera Putus Impunitas Pelaku, 6 Maret 2015

4.Mengelola Keragaman Di Sekolah Gagasan DanPengalaman Guru, Februari 2016

4. Aid To The Church In Need Religious Fredoom Report 2016 In Indonesia Maret 2016

5.Cambridge Book Online Islam And Democracy In Indonesia Tolerance Without Libralism 2016,

5.Kementerian Agama Ri BadanLitbang DanDiklat, Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan Di Indonesia, 2016

96

3. LIPI Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia November 2018


6.Crcs, Dari Masjid Ke Panggung Politik Melacak Akar-Akar Kekerasan Agama Antara Komunitas Sunni DanSyiah Di Sampang, Jawa Timur, 2016

6.Wahid Foundation, Ringkasan Eksekutif, Kemerdekaan Beragama, Berkeyakinan Di Indonesia, 2016

7.Komnas HamRingkasan Eksekutif Penelitian Pelaksanaan Kewajiban Pemerintah Daerah Dalam Perlindungan Hak Atas Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan Di Jawa Barat

7.Komnas Ham,Pemenuhan Hak Kelompok Minoritas DanRentan Di Indonesia, 2017

7. Pusat Studi Agama DanDemokrasi Yayasan Paramadina ,Kebebasan, Toleransi DanTerorisme Riset DanKebijakan Agama Di Indonesia 2017 8.Crcs, Menyelami Keragaman Membangun Perdamaian: Refleksi Live-In Papua, 2017

97


98

9.Crcs, Kerukunan DanPenodaan Agama: Alternatif Penanganan Masalah, Desember 2017

9.Komnas Perempuan, Catatan Tahunan, Kekerasan Terhadap Perempuan meluas:Negara Urgen Hadir Hentikn Kekerasan Terhadap Perempuan Di Ranah Domestik, Komunitas DanNegara. 2016

10.Pusad Pramadina, Pelintiran Kebencian Rekayasa Ketersinggungan Agama Dan Ancamannya Bagi Demokrasi, 2017

10.Ringkasan Eksekutif Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan 2016

11.Komnas Ham, Ringkasan Eksekutif Penelitian Pelaksanaan Kewajiban Pemerintah Daerah Dalam Perlindungan Hak Atas Kebebasan Beragama DanBerkeyakinan Di Jawa Barat DanAceh Singkil, 2017

11. Center For Strategic And International Studies (Csis) Bersama Dengan Wahid Foundation Laporan Penelitian Mendalam Tentang Intoleransi DanRadikalisme Kelompok Islam Di Kalangan Perempuan Di Lima Daerah (Bogor, Depok, Solo Raya, Malang DanSumenep)


12.Crcs, Praktik Pengelolaan Keragaman Di Indonesia Konstruksi Identitas DanEksklusi Sosial, April 2018.

12.Wahid Foundation, Mengikis Politik Kebencian, Agustus 2018

13.Wahid Foundation, Menghalau Ekstremisme Konsep & Strategi Mengatasi Ekstremisme Kekerasan di Indonesia, Agustus 2018 14.Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Toleransi Beragama di Daerah Rawan Konflik, Jakarta, 2016 15. Wahid Foundation dan CSIS, Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Perempuan, 2017 Radikalisme

1.Crcs Politik Lokal DanKonflik Keagamaan Pilkada DanStruktur Kesempatan Politik Dalam Konflik Keagamaan Di Sampang, Bekasi, DanKupang Februari 2015

1.SMRC, Terorisme DanIsis Di Indonesia Pandangan DanSikap Publik Nasional, 10-20 Desember 2015

99


100

2.Crcs Praktik Pengelolaan Keragaman Di Indonesia Kontestasi DanKoeksistensi, Mei 2018

2.Komnas HamLaporan Akhir Tahun Pelapor Khusus Kebebasan Beragama DanBerkeyakinan, 2015.

2.PPIM UIN Jakarta Pelita Yang Meredup: Potretkeberagamaan Guru Indonesia

3. Pusat Studi Agama DanDemokrasi Yayasan Paramadina “Kebebasan, Toleransi DanTerorisme Riset DanKebijakan Agama Di Indonesia” 2017

3. Aid To The Church In Need Religious Fredoom Report 2016 In Indonesia Maret 2016

3. LIPI Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia November 2018

4.Alvara Research Center Membedah 3 Tipologi Umat Islam Indonesia Relasi Agama DanNegara Hasanuddin Ali, September 2018

4.Wahid Foundation, Ringkasan Eksekutif, Kemerdekaan Beragama, Berkeyakinan Di Indonesia, 2016

5. Wahid Foundation dan CSIS, Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Perempuan, 2017

5. Center For Strategic And International Studies (Csis) Bersama Dengan Wahid Foundation Laporan Penelitian Mendalam Tentang Intoleransi DanRadikalisme Kelompok Islam Di Kalangan Perempuan Di Lima Daerah (Bogor, Depok, Solo Raya, Malang DanSumenep)


6. CSRC Kaum Muda Muslim Milenial: Konservatisme, Hibridasi Identitas, dan Tantangan Radikalisme 2018 Terorisme

Pusat Studi Agama Dan Demokrasi Yayasan Paramadina ,Kebebasan, Toleransi DanTerorisme Riset DanKebijakan Agama Di Indonesia 2017

6.Wahid Foundation, Mengikis Politik Kebencian, Agustus 2018

1.SMRC, Terorisme DanIsis Di Indonesia Pandangan DanSikap Publik Nasional, 10-20 Desember 2015

101


Tentang Penulis

M Subhi Azhari. Lahir di Pulau Lombok, NTB pada 30 Maret 1978. Pendidikan dasar (Madrasah Ibtidaiyah) hingga sekolah menengah atas (Madrasah Aliyah) dia selesaikan di pulau tersebut. Pada 1996, penulis mendapat beasiswa dari Kementrian Agama untuk melanjutkan pendidikan di Institute Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta hingga selesai pada 2002. Sejak saat itu, ia mulai aktif di dunia organisasi masyarakat sipil dengan bergabung di IRD hingga 2004. Pada tahun yang sama The Wahid Institute berdiri dan penulis menjadi salah satu staf awal dan aktif menjadi wartawan www.gusdur.net di lembaga tersebut hingga 2006. Pada 2007, penulis masih di WI sebagai Kepala Program hingga tahun 2014. Di posisi tersebut, penulis terlibat dalam berbagai kegiatan penelitian dan advokasi terutama terhadap kelompok masyarakat minoritas agama yang mengalami tindakan-tindakan intoleransi dan diskriminasi. Pada 2015, penulis bergabung dalam Desk KBB, satu unit advokasi hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dibentuk Komnas HAM. Pada 2018, penulis dipercaya menjadi Direktur Eksekutif Yayasan Inklusif hingga sekarang. Selain aktif dalam dunia penelitian dan advokasi, penulis juga aktif menulis di berbagai media termasuk beberapa tulisan di Jurnal.

Muh Hafidz Ghozali, lahir di Blitar, 13 Februari 1985. Setelah menamatkan pendidikan di Jurusan Aqidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga tahun 2008, ia sempat bekerja sebagai Analis Media dan tercatat sebagai pegiat Jaringan Intelektual Muda Muda Muhammadiyah (JIMM) hingga sekarang. Pada tahun 2011 ia bergabung Divisi Kampanye dan Advokasi di The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia. Pada momen yang sama, ia juga menjadi community organizer untuk kaum miskin kota di Jakarta bersama Urban Poor Concortium. Sebelum bergabung dengan Yayasan Inklusif pada 2018, ia tercatat sebagai staf khusus di Desk KBB Komnas HAM sejak pertengahan 2014.

102



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.