i
Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN) melalui Program Peduli dengan dukungan dari The Asia Foundation dan Kedutaan Besar Australia di Indonesia. Pandangan yang diungkapkan dalam buku ini tidak mencerminkan pandangan pemerintah Australia.
ii
2020
iii
iv
Penulis: Odi Shalahuddin | Machrus | Bambang Y. Sundayana Rina Nurhayati | Ahriani S | Dewi Astri Sudirman Penyunting: Odi Shalahuddin Desain Cover & Tata Letak: Yadi De Wiryo Diterbitkan oleh: Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN) Jl. Perintis I, Soragan RT. 02, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55184 Telp. (0274) 5306210 - E-mail: office@yayasan-samin.org Website:http://yayasan-samin.org Penerbitan ini didukung oleh Program Peduli Cetakan Pertama, 2020
INKLUSI BUKAN ILUSI PEMBELAJARAN DI LIMA KOTA Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN 978-602-52439-4-3
v
vi
KATA PENGANTAR Tidak bisa dipungkiri meskipun konstitusi kita mengatakan bahwa semua orang memiliki hak yang sama sebagai warga negara untuk memperoleh akses dan pelayanan publik (misal layanan kesehatan dan akses pendidikan dasar), tetapi pada praktiknya masih banyak individu dan kelompok masyarakat yang tidak mendapatkannya. Mereka ini termasuk dalam kelompok marginal atau dimarginalkan baik oleh individu ataupun kelompok masyarakat bahkan oleh negara sekalipun. Marginalisasi atau eksklusi yang diterima oleh individu atau kelompok tertentu tentulah tidak bisa diterima karena menghilangkan hak-hak dasar yang semestinya bisa mereka nikmati sebagaimana dituangkan di dalam UUD 1945. Eksklusi yang dialami oleh individu atau kelompok vii
rentan, sebut misalnya Anak-anak yang Dilacurkan (AYLA), tentu bertentangan dengan konstutusi kita dan juga norma hukum baik nasional maupun internasional yang sudah disepakati. Beberapa inisitiaf program yang dilakukan untuk mengurangi situasi tersebut di atas. Salah satunya adalah Program Peduli. Program ini memperkenalkan model pembangunan yang inklusif dengan nama Inklusi Sosial. Program ini dilaksanakan dengan cara melibatkan secara aktif individu ataupun kelompok yang tereksklusi, masyarakat yang melakukan eksklusi serta layanan publik yang selama ini tidak bisa diakses oleh kelompok marjinal. Buku “Inklusi bukan Ilusi; Pembelajaran di Lima Kota” yang ada di tangan Anda saat ini merupakan catatan praktik baik yang dilakukan oleh lima lembaga di kabupaten/kota berbeda. Kelima lembaga tersebut merupakan mitra Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN) dalam menjalankan Program Peduli. Yayasan SAMIN beserta mitra bekerja pada isu Anak dan Remaja Rentan, khususnya terhadap kelompok Anak yang Dilacurkan (AYLA). Dengan situasi lembaga, mitra dampingan serta stakeholder yang berbeda, mereka bisa atau setidaknya membuka jalan agar individu atau kelompok yang selama ini tereksklusi bisa memperoleh apa yang menjadi hakhaknya. Pun demikian juga dengan para penyedia layanan publik, perlahan-lahan mereka mau membuka pintu bagi viii
yang tereksklusi, agar mulai bisa mengakses layanan yang menjadi kebutuhan mereka, sebagaimana masyarakat pada umumnya. Tentu saja, sebagai pengalaman, di samping ada keberhasilan yang dicatat, tantangan dan kekurangan juga menjadi hal penting yang disampaikan para penulis di dalam buku ini. Sebagai pembelajaran, ada banyak hal yang patut didiskusikan dalam kerangka perlindungan anak yang dilacurkan. Pengalaman lima organisasi ini dalam menjalankan Program Peduli setidaknya menjadi dokumentasi atau media pembelajaran bagi pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pemenuhan dan perlindungan anak. Selamat membaca!
ix
x
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................... vii DAFTAR ISI ............................................................................. ix Meretas Jalan Inklusi bagi Anak yang Dilacurkan Oleh: Odi Shalahuddin........................................................... 1 A. Pengertian Anak yang Dilacurkan .......................... 5 B. Situasi Umum ............................................................. 7 C. Persoalan dan Tantangan ....................................... 10 D. Program dan Capaian ............................................. 12 1. 2. 3. 4.
Desain Program ................................................. 12 Outcome ............................................................... 13 Contributory Outcome ......................................... 14 Pengembangan Perencanaan Berdasarkan Teori Perubahan ................................................ 16 xi
5. Kebijakan Perlindungan Anak dan Pengarusutamaan Gender ............................... 17 E. Pelaksanaan dan Capaian....................................... 18 1. Pemberdayaan Kapasitas Anak ...................... 20 2. Penerimaan Sosial ............................................. 22 3. Akses Layanan Sosial ....................................... 24 F. Perubahan Kebijakan .............................................. 26 G. Peningkatan Kapasitas Yayasan SAMIN dan Mitra ........................................................................... 27 H. Peningkatan Kesadaran dan Dukungan Publik . 28 I.
Penilaian atas Pencapaian ...................................... 29
Jalan Inklusi Dimulai dari Lingkungan Sekolah Oleh: Machrus ........................................................................ 33 A. Anak yang Dilacurkan Di Kota Surabaya ........... 34 B. Program dan Pencapaiannya ................................. 37 1. 2. 3. 4.
Strategi dan Pendekatan Program ................. 38 Penentuan Lokasi Kerja ................................... 39 Penentuan Penerima Manfaat Utama ............ 39 Pendekatan Awal ke Anak dan Sekolah ........ 40
C. Kegiatan-kegiatan Program ................................... 41 1. Pendampingan dan Penguatan Kapasitas Anak .................................................................... 42 2. Penguatan Kapasitas Sekolah Khususnya Guru BK .............................................................. 45 3. Fasilitasi Pengembangan Family Support Group ................................................................... 46 xii
4. Memfasilitasi dan Mendorong Terbukanya Akses Layanan ................................................... 48 5. Advokasi ............................................................. 50 6. Peningkatan Kesadaran dan Dukungan Publik .................................................................. 51 7. Koordinasi dan Kerjasama .............................. 51 D. Pembelajaran ............................................................ 51 Membuka Akses dan Layanan Kesehatan yang Inklusif Oleh: Bambang Y. Sundayana ............................................. 55 A. Situasi Anak yang Dilacurkan Di Kota Bandung .................................................................... 57 B. Program ..................................................................... 66 C. Strategi dan Pendekatan Program ........................ 68 1. Penentuan Lokasi Kerja ................................... 68 2. Penentuan Penerima Manfaat Utama ............ 69 3. Pendekatan Awal ke Anak dan Masyarakat . 70 D. Kegiatan-kegiatan Program ................................... 71 1. Pendampingan dan Penguatan Kapasitas Anak .................................................................... 71 2. Penerimaan Sosial ............................................. 74 3. Memfasilitasi dan Mendorong Terbukanya Akses Layanan ................................................... 76 4. Advokasi ............................................................. 79 5. Peningkatan Kesadaran dan Dukungan Publik .................................................................. 82 6. Koordinasi dan Kerjasama .............................. 83 E. Pembelajaran ............................................................ 85 xiii
Merangkul Anak-anak Melalui Sanggar dan Komunitas Oleh: Rina Nurhayati ............................................................ 93 A. Situasi Anak yang Dilacurkan ............................... 95 B. Program dan Pencapaian ....................................... 98 1. 2. 3. 4.
Strategi dan Pendekatan Program ................. 99 Penentuan Lokasi Kerja ................................. 100 Penentuan Penerima Manfaat Utama .......... 100 Pendekatan Awal ke Anak dan Masyarakat101
C. Kegiatan-kegiatan Program ................................. 102 1. Pendampingan dan Penguatan Kapasitas Anak .................................................................. 102 2. Penerimaan Sosial ........................................... 104 3. Memfasilitasi dan Mendorong Terbukanya Akses Layanan ................................................. 106 4. Advokasi ........................................................... 107 5. Peningkatan Kesadaran dan Dukungan Publik ................................................................ 108 6. Koordinasi dan Kerjasama ............................ 108 D. Pembelajaran .......................................................... 110 Memperkuat PATBM di Wilayah Eks Lokalisasi Oleh: Ahriani S..................................................................... 113 A. Situasi Anak yang Dilacurkan di Kota Makassar ................................................................. 114 B. Program dan Pencapaian ..................................... 116 C. Strategi dan Pendekatan Program ...................... 117 1. Penentuan Lokasi Kerja ................................. 117 xiv
2. Penentuan Penerima Manfaat Utama .......... 117 3. Pendekatan Awal ke Anak dan Masyarakat ....................................................... 118 D. Kegiatan-kegiatan Program ................................. 118 1. Pendampingan dan Penguatan Kapasitas Anak .................................................................. 118 2. Penerimaan Sosial ........................................... 119 3. Memfasilitasi dan Mendorong Terbukanya Akses Layanan .......................... 120 4. Advokasi ........................................................... 121 5. Peningkatan Kesadaran dan Dukungan Publik ................................................................ 122 6. Koordinasi dan Kerjasama ............................ 122 E. Pendidik Sebaya - AYLA ....................................... 123 F. Pembelajaran .......................................................... 124 Membangun Perubahan Melalui Pendampingan dan Advokasi Oleh: Dewi Astri Sudirman ............................................... 129 A. Situasi Anak yang Dilacurkan di Kota Bandar Lampung ................................................................. 131 B. Program dan Capaian ........................................... 139 C. Strategi dan Pendekatan Program ...................... 140 1. Penentuan Lokasi Kerja ................................. 140 2. Penentuan Penerima Manfaat Utama .......... 142 3. Pendekatan Awal ke Anak dan Masyarakat ....................................................... 142
xv
D. Kegiatan Program .................................................. 143 1. Pendampingan dan Penguatan Kapasitas Anak .................................................................. 143 2. Penerimaan sosial ........................................... 143 3. Mendorong Terbukanya Akses Layanan .... 144 4.
Advokasi .......................................................... 144
5. Peningkatan Kesadaran dan Dukungan Publik ................................................................ 146 6. Koordinasi dan Kerjasama ............................ 146 E. Pembelajaran .......................................................... 148 Endnotes ............................................................................... 153 Lampiran 1 ........................................................................... 155 Lampiran 2 ........................................................................... 156
xvi
Meretas Jalan Inklusi bagi Anak yang Dilacurkan Odi Shalahuddin
“Saya yakin langkah terpenting untuk PNPM Peduli pertama adalah: “Kembalikan dahulu martabat mereka”, “Biarkan mereka dianggap dan diperlakukan sejajar oleh sistem, masyarakat, semua orang.” (Sujana Royat, November 2012)1
I
nklusi Sosial adalah model pembangunan yang digunakan oleh Program Peduli. Program ini awalnya berhubungan dengan program pengentasan kemiskinan terbesar, yakni Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), yang kemudian diketahui masih belum mampu menjangkau kelompok-kelompok tertentu terutama kelompok masyarakat marginal. Organisasi masyarakat madani yang dinilai memiliki keunggulan komparatif dalam menjangkau dan bekerja dengan kelompok masyarakat di tingkat akar rumput, menjadi kelompok strategis untuk mengatasi kelemahan tersebut. Pada bulan Juni 2011, 1
Odi Shalahuddin
diluncurkan PNPM Peduli dengan dana hibah yang didukung oleh multi-donor, dengan program sejenis yang dilakukan oleh PNPM Mandiri, dengan penerima manfaat kelompokkelompok marjinal yang sebelumnya tidak terjangkau.2 Pada tahap berikutnya (disebut Fase II) terjadi perubahan yang didasarkan hasil evaluasi atas program sebelumnya yakni beralih dari intervensi proyek ke pendekatan program dan gerakan; lebih berfokus - pada masing-masing kelompok sasaran, dengan membahas masalah-masalah eksklusi sosial tertentu; meningkatkan kapasitas Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) agar lebih efektif menjangkau masyarakat marginal, serta melibatkan secara aktif masyarakat yang melakukan eksklusi; tekanan akses ke layanan publik, pemenuhan hak, dan perlindungan sosial; dan memperbaiki struktur dan mekanisme untuk dana hibah kepada OMS. Berdasarkan hasil evaluasi ini, model program yang digunakan adalah Inklusi Sosial dengan basis perencanaan menggunakan teori perubahan (theory of change). Pengertian Inklusi Sosial yang digunakan adalah proses membangun hubungan sosial dan menghormati individu serta komunitas, sehingga mereka yang marginal dan mengalami prasangka dapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan, kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya, serta memiliki akses dan kontrol yang sama atas sumber daya (untuk memenuhi kebutuhan dasar) dalam rangka menikmati standar kesejahteraan yang dianggap layak di dalam kelompok masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, suara mereka 2
Meretas Jalan Inklusi bagi Anak yang Dilacurkan
dalam menentukan sebuah keputusan yang menyangkut hidup mereka sendiri, akses ke pasar, layanan umum, serta hak-hak dasar mereka, dijamin. Pengertian ini menggunakan pengertian yang dipakai oleh Uni Eropa.3 Selain perubahan-perubahan mendasar yang dikemukakan di atas, perubahan juga terjadi pada organisasi pengelola program yang semula adalah PSF/Word Bank menjadi The Asia Foundation sebagai Managing Partner, dan dana hibah yang semula berasal dari multi donor kemudian hanya DFATAustralian Aid sebagai donor tunggal. Dengan diakhirinya PNPM oleh pemerintah, selanjutnya program tetap dilanjutkan dengan menggunakan nama Program Peduli. Program Peduli terdiri dari enam pilar, yakni 1) Anak dan remaja rentan, 2) Masyarakat adat dan lokal terpencil, 3) Minoritas agama yang mengalami diskriminasi, 4) Korban Pelanggaran HAM Berat, 5) Difabel, dan 6) Waria Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN), organisasi yang didirikan pada tahun 1987 dan bekerja untuk isu (hak-hak) anak adalah salah satu dari Executing Organization (EO) yang terseleksi dan ditetapkan berdasarkan Surat Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Sosial (Kemenkokesra) Nomor B.1288/D.VII/VIII/2014 tertanggal 26 Agustus 2014 dalam pelaksanaan PNPM Peduli Fase II untuk pilar “Anak dan Remaja Rentan”.4 Pada periode Januari 2015-Desember 2016, Yayasan SAMIN yang bekerja di Jawa (kecuali Jawa Timur) dan 3
Odi Shalahuddin
Indonesia bagian Barat, mengacu kepada dokumen “Eksklusi Sosial Anak Marginal” dari The Asia Foundation (TAF) yang diantaranya berisi rekomendasi kelompok-kelompok anak yang layak dipertimbangkan sebagai penerima manfaat Program Peduli, berdasarkan hasil seleksi, telah ditetapkan empat kelompok anak dan delapan civil society organization (CSO) di tujuh kota/kabupaten, yakni Anak Jalanan (Yayasan Bahtera Bandung dan Yayasan KKSP Medan), Anak yang Menjalani Pidana Penjara (Lembaga Advokasi Hak Anak LAHA Bandung), Buruh Anak di Perkebunan (Pusaka Indonesia Medan dan Gapemasda Sambas) dan Anak yang Dilacurkan (Konfederasi Anti Pemiskinan – KAP Indonesia Bandung; Solidaritas Masyarakat Anak – Semak Garut; dan Children Crisis Centre – CCC Bandar Lampung). Pada periode selanjutnya, berdasarkan serangkaian diskusi pada Pilar Anak dan Remaja Rentan bersama The Asia Foundation untuk memilih kelompok anak yang dinilai paling rentan, dan melalui keputusan bersama dalam pertemuan tanggal 18 Januari 2017, Yayasan SAMIN menetapkan fokus kepada anak yang dilacurkan. Pada pelaksanaan program, tiga CSO yang telah terlibat sejak tahun 2015 dipertahankan, yakni Konfederasi Anti Pemiskinan (KAP) Indonesia untuk wilayah Bandung, Yayasan Solidaritas Masyarakat Anak (Semak) untuk wilayah Kabupaten Garut, Children Crisis Centre (CCC) untuk wilayah Kota Bandar Lampung. Dan kerjasama dilakukan dengan dua CSO lainnya, yaitu Yayasan Pengkajian Pemberdayaan 4
Meretas Jalan Inklusi bagi Anak yang Dilacurkan
Masyarakat (YKPM) untuk wilayah Kota Makassar, dan Yayasan Hotline Surya (YHS) untuk wilayah kota Surabaya.5 Pada tulisan ini, pengalaman program hanya difokuskan tentang “Inklusi Sosial bagi Anak yang Dilacurkan”, hal mana data-data dan informasi yang ditampilkan (termasuk tulisan dari organisasi-organisasi yang menjadi mitra Yayasan SAMIN) adalah dengan rentang waktu Januari 2017 hingga Desember 2019. A. Pengertian Anak yang Dilacurkan Istilah anak yang dilacurkan atau oleh kebanyakan aktivis anak disingkat sebagai AYLA, mulai dikenal pada awal 1990-an ketika ECPAT (saat itu kepanjangannya End Child Prostitution in Asia Tourism) melakukan kampanye internasional anti pelacuran anak dalam pariwisata di Asia. Farid (2000) menjelaskan bahwa istilah anak yang dilacurkan merupakan terjemahan dari prostituted children, yang digunakan sebagai pengganti istilah pelacur anak atau child prostitutes. Istilah ini merujuk pada subjek —yakni anak-anak yang terlibat dalam prostitusi— dan sengaja dipilih untuk memberikan tekanan pada bobot yuridis dimana seorang anak, berbeda dari orang dewasa, harus dianggap tidak punya kemampuan untuk memilih prostitusi sebagai profesi. Dengan demikian, istilah ini menegaskan posisi anak sebagai korban, bukan pelaku; sekaligus menegaskan bahwa tindakan menjerumuskan anak ke dalam pelacuran merupakan suatu kejahatan. Sejauh tidak menunjuk kepada subjek, namun 5
Odi Shalahuddin
kepada situasinya, istilah pelacuran anak (child prostitution) tetap digunakan. Anak yang dilacurkan di dalam Konvensi Hak Anak dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 34, tentang jaminan negara untuk melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual. Pada point (b) dinyatakan: penggunaan anak secara eksploitatif dalam pelacuran atau praktik-praktik seksual lain yang tidak sah. Pengertian prostitusi anak yang dirumuskan oleh ECPAT adalah tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan langsung seorang anak untuk melakukan tindakan seksual demi mendapatkan uang atau bentuk imbalan lain dengan seseorang atau kepada siapapun. Sedangkan pengertian yang dirumuskan dalam Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi anak memberikan pengertian tentang prostitusi anak adalah menggunakan seorang anak untuk aktivitas seksual demi keuntungan atau dalam bentuk lain (Pasal 2 (b)). Pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, prostitusi anak termasuk dalam kelompok yang membutuhkan perlindungan khusus yaitu eksploitasi seksual (pasal 59 ayat (2) butir (d)), yang mana pada penjelasan atas pasal 66 tentang perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual dinyatakan: “Yang dimaksud dengan dieksploitasi 6
Meretas Jalan Inklusi bagi Anak yang Dilacurkan
secara seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari anak untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada kegiatan pelacuran dan pencabulan.” B. Situasi Umum Anak-anak yang berada di prostitusi di Indonesia tidak diketahui secara tepat awal keberadaannya. Merujuk pada satu pemberitaan di media tahun 1950-an tentang salah satu lokalisasi di Jakarta, orang yang masih berumur anak sudah ada di dalam lokalisasi tersebut. Saat mulai tumbuh tempattempat rehabilitasi sosial untuk para pekerja seksual komersial, yang dimulai pada tahun 1962 di Solo dan diikuti oleh kota-kota lain, secara formal tidak dijumpai adanya anak-anak. Hal ini, pada masa-masa itu hingga adanya Undang-Undang Perlindungan Anak, seseorang yang masih berada dalam batas umur anak namun sudah menikah, sudah ditempatkan sebagai orang dewasa. Jadi, besar kemungkinan seseorang yang masih berumur anak (tapi sudah menikah) berada di dalamnya. Kesadaran tentang batas umur seorang anak, sangat dipengaruhi oleh diadopsinya Konvensi Hak Anak di tahun 1989 yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1990, dan lahirnya Undang-undang Perlindungan Anak pada tahun 2002 (yang telah diamandemen menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014). Sedangkan perhatian terhadap isu prostitusi anak mulai tumbuh pada pertengahan tahun 19907
Odi Shalahuddin
an, saat delegasi Indonesia turut menghadiri Kongres Dunia Pertama Menentang Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak (ESKA) pada tahun 1996 di Stockholm, Swedia, yang ditindaklanjuti dengan adanya Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 87 tahun 2002. Pada dokumen tersebut, prostitusi anak adalah salah satu bentuk dari ESKA. Berbagai penelitian dan program aksi tampaknya sudah banyak dilakukan pada periode 1990-an dan masa-masa sebelumnya. Tapi belum ada kesadaran tentang keberadaan anak yang dilacurkan. Baru pada tahun 1999 terbit sebuah kajian tentang “Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus di Indonesia: Analisis Situasi” yang diterbitkan atas kerjasama PKPM Unika Atmajaya Jakarta, Departemen Sosial dan UNICEF, salah satu kajian dalam buku tersebut dilakukan oleh Mohammad Farid tentang “Kekerasan Seksual, Eksploitasi Seksual dan Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak”. Pada kajian tersebut, menyangkut prostitusi anak, Farid memperkirakan dalam perkiraan awal pada tingkat menengah (tidak terlalu berani maupun berhati-hati), prevalensi pelacuran anak di bawah 18 tahun di Indonesia diduga mencapai 30% dari seluruh PSK yang beroperasi di seluruh wilayah negeri ini. Ini berarti mencapai angka 40.000 - 70.000 anak jika dihitung berdasarkan perkiraan Jones, Sulistyaningsih & Hull (1995),6 atau bahkan mencapai lebih dari 150.000 anak jika didasarkan pada perkiraan yang dikutip oleh Wagner dan Yatim (1997).7 8
Meretas Jalan Inklusi bagi Anak yang Dilacurkan
Namun perlu dicatat bahwa angka-angka tersebut hanya mencakup anak yang dilacurkan di dalam negeri, karena kita tidak menggetahui jumlah anak Indonesia yang memasuki dunia pelacuran di luar negeri. Dapat dikatakan bahwa pada tahun 2000-an, perhatian terhadap persoalan prostitusi anak (dan bentuk ESKA lainnya) sangat tinggi. Berbagai kajian atau penelitian, seminar-seminar, dan program aksi dijalankan oleh berbagai pihak untuk mendalami dan mengatasi persoalan tersebut. Pemerintah, selain mengeluarkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Kekerasan Anak (RAN PESKA), menunjukkan perhatian yang tinggi kepada isu ini. Sebagai contoh adalah pada Peringatan Hari Anak Nasional 2003, Presiden Megawati mencanangkan Kampanye Pencegahan Eksploitasi Seksual Komersial di lingkungan pariwisata dengan menetapkan Batam dan Bali sebagai zona bebas ESKA. Di kalangan organisasi masyarakat sipil bahkan telah menghimpun diri ke dalam jaringan nasional dengan nama Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak (Konas PESKA), yang kemudian berafiliasi ke ECPAT Internasional, dan kemudian naik peringkat menjadi ECPAT Indonesia. Perkembangan kemudian, setidaknya sejak tahun 2010 hingga saat ini, persoalan anak yang dilacurkan tampaknya kembali terabaikan. Jikapun isu tersebut kembali mengemuka, biasanya terkait dengan peristiwa atau kasus terbongkarnya prostitusi online yang melibatkan anak-anak sebagai korban yang dikaitkan dengan isu penjualan dan atau 9
Odi Shalahuddin
perdagangan anak untuk tujuan seksual. Pada saat Program Peduli dilaksanakan sejak Januari 2015, organisasi-organisasi yang bekerja untuk isu anak yang dilacurkan masih tetap melihat keberadaan anak-anak di dunia prostitusi. Sesuai dengan mandatnya, organisasiorganisasi ini hanya menjangkau anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, yang dalam pengertian ini lebih banyak menggunakan pola lama, yaitu memiliki tempattempat mangkal. Sedangkan pola prostitusi yang berkembang dan tentunya akan sulit didata dan diungkap situasi dan kondisinya adalah prostitusi online atau relasi antara pengguna dan anak/PSK dapat terjalin langsung melalui aplikasi komunikasi yang terpasang di handphone, yang mana pada masa sekarang alat tersebut dimiliki oleh hampir semua orang. C. Persoalan dan Tantangan Anak yang dilacurkan, di dalam Undang-undang Perlindungan Anak (walau tersamar) masuk dalam kategori anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Konvensi ILO Nomor 182, memasukkannya dalam kategori Bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak yang perlu dilarang. Pengaruh dan dampak yang dialami oleh anak-anak yang dilacurkan (tidak hanya anak perempuan, tetapi juga dijumpai anak laki-laki dan transpuan) tentulah sangat buruk bagi kehidupannya. Beberapa persoalan menonjol di antaranya rentan terhadap kekerasan yang bersifat fisik, mental, sosial dan seksual; kehamilan yang tidak dikehendaki, 10
Meretas Jalan Inklusi bagi Anak yang Dilacurkan
penularan penyakit menular seksual, termasuk rentan terinveksi HIV/AIDS; keterikatan atau ketergantungan terhadap NAPZA, dan sebagainya. Stigmatisasi terhadap anak yang dilacurkan terutama atas nama moral dan agama, telah menempatkan anak pada situasi yang semakin sulit ketika berbagai pihak belum menempatkan anak sebagai korban. Hal yang biasa terjadi adalah pengucilan sehingga anak yang dilacurkan cenderung berkelompok dengan kawan senasib dan membangun nilainilai baru untuk survive. Pada sisi lain, kendati kebijakan dan program tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak banyak bermunculan, termasuk pula secara khusus mengatur tentang anak yang dilacurkan, pada kenyataannya jarang menyentuh kepentingan anak yang dilacurkan. Kebijakan terkait larangan prostitusi di Indonesia diatur dalam peraturan daerah di seluruh wilayah kota/kabupaten yang tidak membedakan antara anak dengan orang dewasa. Keberadaan anak-anak ditempatkan sebagai pelaku tindak pidana. Tentu saja, situasi-situasi tersebut membuat anak sulit untuk keluar dari situasinya yang buruk dan sulit untuk mendapatkan akses layanan dari negara. Pencegahan tentulah intervensi yang harus dilakukan agar anak-anak tidak terjerumus ke dalam prostitusi. Bagi anak yang telah berada di dalamnya, upaya menarik mereka keluar dari situasinya menjadi tantangan tersendiri untuk dilakukan mengingat anak yang sudah lama berada di dalamnya telah memiliki nilai-nilai baru yang kemungkinan besar dinilai bertentangan dengan nilai yang hidup di 11
Odi Shalahuddin
masyarakat. Perlindungan dalam artian mengkriminalisasi para pengguna yang memanfaatkan seksualitas anak harus diatur dan ditegakkan. Ini menjadi tantangan tersendiri mengingat belum didapat aturan hukum yang dapat menjerat pengguna. Tidak ada satu pihak pun yang dapat mengklaim memiliki kemampuan untuk mengatasi persoalan prostitusi anak. Berbagai elemen, baik pemerintah, organisasi masyarakat sipil seperti Non Government Organization (NGO) dan Organisasi Kemasyarakatan, organisasi-organisasi masyarakat di tingkat komunitas, termasuk kelompok atau forum anak, dapat terlibat dan saling bekerjasama untuk mengatasi persoalan ini. Pengalaman pelaksanaan Program Inklusi Sosial bagi Anak yang Dilacurkan, yang berlangsung di lima kota/ kabupaten yang telah dimulai sejak tahun 2015, kiranya dapat menjadi salah satu bahan pembelajaran untuk dikembangkan ke wilayah lain secara lebih luas. D. Program dan Capaian 1. Desain Program Tujuan akhir dari Program Peduli adalah mengakhiri kemiskinan ekstrem dan berbagi kemakmuran. Landasan dasarnya adalah gagasan tentang pembangunan berkelanjutan. Jalan yang berkelanjutan promosi kemakmuran bersama adalah mendorong terciptanya masyarakat inklusif, tidak hanya dari segi kesejahteraan ekonomi tetapi juga 12
Meretas Jalan Inklusi bagi Anak yang Dilacurkan
mensyaratkan pemberdayaan dan mengakomodasi pendapat kelompok yang dipinggirkan. Sedangkan tujuan program yang dirumuskan meningkatkan inklusi sosial bagi yang mengalami eksklusi. Guna mencapai tujuan tersebut terdapat tiga outcome dan dua contributory outcome dengan indikator-indikator utama berikut ini: 2. Outcome a. Peningkatan akses Pelayanan Publik dan Bantuan Sosial 1.1. Akses layanan livelihood 1.2. Akses pelayanan kesehatan 1.3. Akses pelayanan pendidikan 1.4. Akses pelayanan bantuan sosial, dan 1.5. Akses pelayanan identitas legal dan pelayanan hukum b. Peningkatan Pemberdayaan dan Penerimaan Sosial 2.1. Pemberdayaan dan martabat 2.2. Partisipasi sipil/publik 2.3. Perlindungan terhadap konflik, kekerasan dan eksploitasi 2.4. Rekognisi dan penerimaan sosial terhadap kaum marginal di masyarakat c. Perbaikan dalam Kebijakan Terkait Inklusi Sosial 3.1. Pengetahuan tentang eksklusi sosial dibagi ke policy 13
Odi Shalahuddin
maker 3.2. Kebijakan nasional maupun lokal responsif terhadap kebutuhan ekonomi dan sosial kaum marginal 3. Contributory Outcome a. Peningkatan Kapasitas Mitra yang Berkelanjutan b. Peningkatan Kesadaran dan Dukungan Publik Terkait Inklusi Sosial Mengacu kepada desain umum Program Peduli, Yayasan SAMIN menyesuaikan desain perencanaannya sesuai dengan mandat yang diberikan, pada anak yang dilacurkan. Deskripsi kelompok sasaran (anak yang dilacurkan termasuk juga yang menjadi korban perdagangan manusia) dilakukan secara demografi untuk menyesuaikan kerangka pendekatan yang akan digunakan, yakni: Kategori yang ditempatkan secara terkonsentrasi oleh mucikari dan/atau beroperasi dalam wilayah merah (red district) pada umumnya terkonsentrasi namun dalam jumlah terbatas. Umumnya menjadi korban perdagangan dan di bawah kendali mucikari, mereka hidup terpisah dari orangtua dan komunitas normal. Mereka yang bekerja secara independen, khususnya yang beroperasi di kota besar,umumnya hidup berbaur bersama orangtua/keluarga dan tinggal di komunitas normal 14
Meretas Jalan Inklusi bagi Anak yang Dilacurkan
walaupun orangtua, teman sebaya dan komunitas tidak mengetahui kegiatan mereka. Di antara yang beroperasi secara independen pada ‘kelas jalanan’, umumnya membentuk kelompok di antara sesamanya, menyerupai kelompok anak jalanan. Mengingat bahwa Program Peduli terkait dengan pengentasan kemiskinan, maka anak-anak yang dilacurkan yang dijangkau adalah anak yang masuk dalam kelompok miskin. Analisis eksklusi didasarkan pada relasi sosial yang diandaikan harus ada sebagai prasyarat perkembangan anak menuju kedewasaan yang sehat dan produktif. Relasi-relasi tersebut meliputi; (i) anak dengan orangtua atau wali selaku pengampu sekaligus yang bertanggung jawab memfasilitasi perkembangan anak menuju masa dewasa, (ii) relasi sosial yang meliputi teman sebaya dan komunitas, termasuk ‘dunia maya’ sebagai entitas sosial yang berpengaruh dalam cara orangtua/pengasuh mengkonstruksi perkembangan anak atau berpengaruh pada konstruksi perkembangan anak secara langsung, (iii) negara dengan dua instrumen utamanya yakni kebijakan dan layanan publik – yang berpengaruh pada survivabilitas dan perkembangan anak. (lihat lampiran 1). Dua kerangka pendekatan akan digunakan sebagai strategi mempromosikan inklusi sosial, yakni pendekatan berbasis HAM atau (child) right-based approach dan pen15
Odi Shalahuddin
dekatan berbasis sistem atau system-based approach (dikenal juga sebagai system building approach). 4. Pengembangan Perencanaan Berdasarkan Teori Perubahan Program Peduli yang diarahkan untuk terbangunnya inklusi sosial bukan semata-mata ditempatkan sebagai “proyek” namun sebagai “program atau gerakan” dengan lebih fokus pada isu eksklusi spesifik yang dialami oleh kelompok-kelompok rentan/marginal. Upaya mengatasi eksklusi sosial, dikembangkan strategi dua arah yaitu mendukung kelompok rentan/marginal (penerima manfaat) yang mengalami eksklusi dan pada saat bersamaan bekerjasama dengan masyarakat untuk mengubah sikap dan penerimaan sosial terhadap kelompok rentan/marginal tersebut. Program Peduli, berdasarkan desainnya menyatakan bahwa inklusi sosial adalah dampak dari: Terbukanya akses pelayanan; Terberdayakannya kelompok marginal; Meningkatnya penerimaan sosial atas kelompok marginal; Perubahan kebijakan. Hal itulah yang kemudian dirumuskan sebagai outcome dari Program Peduli. Teori Perubahan (Theory of Change) merupakan teori
16
Meretas Jalan Inklusi bagi Anak yang Dilacurkan
khusus yang dikembangkan bagi upaya-upaya perubahan dalam masyarakat yang digunakan sebagai metodologi dalam perencanaan dan evaluasi Program Peduli. Penyusunan dokumen Teori Perubahan dilakukan melalui workshop yang melibatkan perwakilan seluruh organisasi pelaksana yang berada di Pilar Anak dan Remaja Rentan (2728 Januari 2015) yang kemudian didukung oleh konsultan dari The Asia Foundation yang berkunjung ke masing-masing organisasi pelaksana untuk memperdalam dan melibatkan secara luas peserta dengan melibatkan seluruh personel Program Peduli, personel lembaga, masyarakat sekitar lokasi kegiatan dan perwakilan anak-anak. Dokumen inilah yang kemudian menjadi bahan bagi organisasi pelaksana untuk mengembangkan strategi, pendekatan dan kegiatan yang diarahkan untuk mencapai outcome. 5. Kebijakan Perlindungan Anak dan Pengarusutamaan Gender Kebijakan Perlindungan Anak dan Pengarusutamaan Gender menjadi syarat bagi setiap organisasi pelaksana untuk mengembangkan dan memasukkannya sebagai bagian dari desain rencana program. The Asia Foundation memberikan fasilitasi bagi pengembangan kedua dokumen tersebut. Organisasi pelaksana, walaupun tidak bekerja secara langsung dengan anak, tetap dituntut untuk memiliki Kebijakan Perlindungan Anak yang menjadi komitmen organisasi yang diterapkan sejak perekrutan personil dan selama menjadi staf untuk mentaati kebijakan yang berlaku. 17
Odi Shalahuddin
Sedangkan bagi organisasi yang bekerja langsung dengan anak, selain Kebijakan Perlindungan Anak, juga diminta untuk mengembangan kebijakan yang aman dan nyaman bagi anak sebelum, selama dan sesudah kegiatan. E. Pelaksanaan dan Capaian Program dilangsungkan di empat kota dan satu kabupaten melalui kerjasama dengan organisasi yang bekerja di wilayah tersebut. Masing-masing organisasi berdasarkan situasi dan kondisi yang ada, menetapkan lokasi program dan mengembangkan strategi dan pendekatan awal yang dinilai efektif untuk menjangkau anak-anak yang dilacurkan dan anak rentan serta menjangkau para pemangku kepentingan yang berada di sekitarnya. Di Surabaya, Yayasan Hotline Surabaya (YHS) memilih pendekatan sekolah dengan menjalin kerjasama dengan delapan sekolah tingkat pertama yang berada di seputar eks lokalisasi. Melalui satu pelatihan dengan peserta para siswa yang dinilai memiliki berbagai masalah yang didata oleh guru Bimbingan dan Konseling (BK). Pada saat pelatihan disebarkan kuesioner tentang penilaian risiko, pengamatan dan dialog dengan anak, sehingga dapat diidentifikasi anak-anak yang diduga telah dijerumuskan ke prostitusi dan anak-anak yang dinilai rentan, yang kemudian mendapatkan pendampingan/fasilitasi khusus. Di Bandung, Konfederasi Anti Pemiskinan (KAP) Indo-
18
Meretas Jalan Inklusi bagi Anak yang Dilacurkan
nesia menggunakan isu kesehatan reproduksi untuk menjangkau anak dan menjalin kerjasama dengan puskesmas-puskesmas yang ada di sekitar tempat tinggal/ mangkal anak. Penjangkauan kepada anak dilakukan melalui pendekatan outreach, dengan mendatangi tempattempat berkumpul anak, berkenalan dan membangun hubungan perkawanan. Di Garut, Solidaritas Masyarakat Anak (SEMAK) yang berkantor di Bandung, menempatkan tiga orang personelnya untuk tinggal dan hidup bersama masyarakat di tiga desa yang dipilihnya. Mereka menyewa rumah sebagai tempat tinggal sekaligus digunakan sebagai sanggar kegiatan anak dan tempat berkumpul anak dan masyarakat. Keterlibatan kehidupan sehari-hari bersama masyarakat, membuat mereka kemudian dianggap sebagai bagian masyarakat sendiri. Di Makassar, Yayasan Pengkajian Pemberdayaan Masyarakat (YKPM) menggunakan kader-kadernya yang sudah terlatih sebelumnya sebagai tenaga lapangan yang bekerja di lorong-lorong di mana mereka tinggal atau berada di sekitar tempat tinggal. Keunggulannya, para tenaga lapangan sudah sangat mengenali situasi dan kondisi masyarakat setempat dan posisinya selama ini sudah dikenal sebagai penggerak masyarakat, sehingga lebih mudah untuk menjangkau anak dan mengorganisir masyarakat. Risikonya, tidak hanya persoalan anak yang dilacurkan.
19
Odi Shalahuddin
Pada pelaksanaan, program ini menjangkau anak yang dilacurkan sebagai penerima manfaat utama, dan juga menjangkau anak-anak yang dinilai rentan. Kepada keduanya difasilitasi secara intensif. Sedangkan kepada para pemangku lain, yang tercatat adalah yang terlibat dalam pengembangan/ peningkatan kapasitas yang terdiri dari kader masyarakat, kader Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan penyedia layanan serta jurnalis. Total jumlah yang terjangkau selama perode Januari 2017-Desember 2019 sebagaimana terlihat dalam tabel berikut ini:
Secara umum pencapain dari setiap outcome adalah sebagai berikut: 1. Pemberdayaan Kapasitas Anak Selain anak di Surabaya yang merupakan pelajar di delapan sekolah, di empat kota lain, anak-anak dihimpun 20
Meretas Jalan Inklusi bagi Anak yang Dilacurkan
dalam satu wadah yang disebut kelompok/forum anak. Kegiatan-kegiatan harian menggunakan model sanggar. Khusus untuk anak yang dilacurkan, status akhir dari periode 2017-2019, dari 331 anak yang terjangkau, 129 (30 laki-laki, 97 perempuan, 2 transpuan) berhasil keluar dari dunia prostitusi, 49 anak (21 laki-laki; 24 perempuan; 4 transpuan) sudah mengurangi kegiatannya di prostitusi. Perkembangan kemudian dari anak yang berhasil keluar, enam anak perempuan diketahui kembali lagi ke prostitusi. Berdasarkan identifikasi yang dilakukan, faktor-faktor yang mempengaruhi anak dapat keluar dari situasi prostitusi adalah ketika anak memiliki kepercayaan terhadap orang lain, kembali melanjutkan sekolah, terlibat aktif dalam kegiatan kelompok/forum anak, berinteraksi dengan banyak pihak yang dinilai aman, dan karena sudah menikah. Sedangkan anak-anak yang berhasil keluar namun kembali lagi ke prostitusi, faktor yang mempengaruhi adalah lingkungan pergaulan lama yang masih dipertahankan, hubungan tidak harmonis dengan orangtua, dan tidak tahan menghadapi masalah terutama yang berhubungan dengan ekonomi. Kepada anak yang dilacurkan, seluruh lembaga menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan individual dan pendekatan kelompok. Pendekatan individual dilakukan melalui pertemuan dan dialog khusus, sedangkan pendekatan kelompok adalah melakukan dialog dan atau kegiatankegiatan kelompok. Kegiatan kelompok dibedakan, khusus untuk kelompok anak yang dilacurkan, dan kedua kegiatan 21
Odi Shalahuddin
kelompok yang melibatkan anak-anak lain yang bersifat terbuka. Pendamping tidak membuka identitas kegiatan anak yang dilacurkan. Kelompok anak yang diantaranya dikembangkan sebagai forum anak dan mendapatkan kekuatan dengan pengesahan melalui Surat Keputusan (SK) kepala desa atau kelurahan, merupakan bukti pengakuan atas kiprah anak-anak. Berbagai kegiatan dilangsungkan seperti yang berhubungan dengan minat-bakat atau keterampilan tertentu, belajar berorganisasi dalam hal ini menumbuhkan kepercayaan diri, semangat kerjasama dan kemampuan untuk menyampaikan pandangan. Ekspresi artistik banyak digunakan sebagai media pendidikan, antara lain melalui musik, gambar, tulisan. 2. Penerimaan Sosial Penerimaan sosial dari aktor-aktor di seputar anak dinilai telah berhasil yang diwujudkan dengan terorganisirnya masyarakat ke dalam satu wadah yang beranggotaan berbagai komponen masyarakat yang berfungsi mempromosikan hak anak, melakukan pencegahan dan memberikan dukungan bagi anak untuk keluar dari situasi buruknya. Organisasi yang diberi nama Komite Pendidikan Masyarakat (KPM) ini dapat dikategorikan sebagai bagian dari Gerakan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) yang diinisiasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Di Bandung, Bandar Lampung, dan Makassar, organisasi tersebut kemudian di sahkan sebagai PATBM. Di Garut, organisasi masyarakat 22
Meretas Jalan Inklusi bagi Anak yang Dilacurkan
tersebut disahkan melalui SK kepala desa. Di Surabaya, yang bekerja berbasis sekolah, mencoba membangun organisasi masyarakat di daerah asal, namun diakui kurang berhasil, sehingga mereka mengembangkan family support group. Sebagian besar proses pendirian organisasi masyarakat diawali dari pendekatan informal ke masyarakat, khususnya tokoh-tokoh yang dinilai memiliki pengaruh. Istilah pelacuran, masih dinilai sensitif, sehingga terjadi penolakan. Organisasi pelaksana dinilai sebagai organisasi yang mentolerir keberadaan anak-anak yang dilacurkan. Di salah satu desa di Garut, kepala desa mengusir halus personil SEMAK untuk pindah ke desa lain, dengan alasan di desa mereka tidak ada pelacuran anak. Desa lainnya, hanya memberikan pernyataan tidak ada anak yang dilacurkan di desa mereka. Kunjungan dan dialog intensif dengan tokoh masyarakat dan pemerintah desa, pada akhirnya menggunakan istilah perlindungan anak yang dapat diterima. Saat masyarakat dilibatkan untuk melakukan assesment tentang situasi anak, termasuk juga mendatangi tempat-tempat yang biasa dijadikan tempat mangkal anak-anak yang dilacurkan, mereka terkejut dan membuat pernyataan, “ternyata memang benar ada anak di desa kami yang jadi korban.” Di Lampung yang memusatkan kegiatannya di sekitar eks lokalisasi, CCC melibatkan Dinas Sosial Kota Bandar Lampung dan Pekerja Sosial Masyarakat ketika mengunjungi lapangan. Ini menghindari pertanyaan, penolakan atau bahkan ancaman dari para mucikari dan preman, karena dapat dianggap mengganggu kerja mereka. Sedangkan di masyarakat, penolakan yang kuat 23
Odi Shalahuddin
datang dari seorang tokoh agama, yang menganggap CCC mendukung anak dalam pelacuran. Kunjungan-kunjungan intensif dan dialog yang dilakukan akhirnya dapat mengubah pandangan, dan tokoh agama tersebut bahkan menjadi penggerak aktif yang mengampanyekan pentingnya perlindungan anak dalam pengajian-pengajian. Berbeda dengan KAP Indonesia yang menjangkau anak-anak di tempattempat mangkal mereka, masyarakat di sekitar tempat mangkal lebih cepat menerima kehadiran dan program yang dilaksanakan. Di seluruh lokasi muncul penggerak-penggerak aktif, yang sebagian besar waktunya tercurah untuk mempromosikan perlindungan anak dan memberikan dukungan bagi penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi anak. Sebagian dari mereka juga berperan aktif memperjuangan agar ada alokasi anggaran bagi kepentingan anak di dalam rencana pembangunan. Selain itu, ruang yang dibuka untuk terlibat di dalam pembahasan persoalan anak di tingkat kota/kabupaten, membuat mereka semakin yakin diri, dan kiprahnya mulai menjangkau desa/kelurahan lain. Apresiasi terhadap kiprah dari organisasi masyarakat ditandai dengan kunjungan dari pejabat-pejabat di tingkat kabupaten ataupun nasional. 3. Akses Layanan Sosial Terkait akses layanan sosial, KAP Indonesia memfokuskan pendekatan kesehatan reproduksi, sehingga sejak 24
Meretas Jalan Inklusi bagi Anak yang Dilacurkan
awal telah menjalin kerjasama dengan puskesmas di tiga kecamatan. Pendekatan ini dinilai efektif karena menjadi kebutuhan anak-anak yang dilacurkan, dan selama ini, mereka enggan atau takut untuk memeriksakan kesehatannya. Di tahap awal, personil KAP Indonesia yang melakukan pendampingan langsung ke anak saat memeriksakan diri ke puskesmas, selanjutnya melibatkan penggerak organisasi masyarakat, hingga akhirnya beberapa anak sudah berani melakukan pemeriksaan sendiri. Layanan di puskesmas dikembangkan yang ramah dan sensitif anak, melalui jalur khusus, sehingga anak tidak perlu mengantri dan tidak khawatir keberadaan di puskesmas diketahui keluarga atau tetangganya. Rintisan yang dilakukan ini kemudian diapresiasi oleh Dinas Kesehatan Kota Bandung yang pada akhirnya membuat program rintisan Puskesmas Ramah Anak di delapan lokasi. Keberhasilan di Makassar adalah mendorong terbentuknya Pokja Anak yang melibatkan 19 Organisasi Perangkat Daerah tingkat Kota Makassar. Masing-masing OPD didorong untuk memberikan perhatian dan kemudahan akses bagi anak-anak kelompok rentan. Anak dan keluarga bahkan bisa mendapatkan layanan program seperti bedah rumah. Di seluruh wilayah, memiliki kesamaan dalam mendorong akses kemudahan layanan bagi pencatatan kelahiran, yang tidak saja hanya diperuntukkan bagi anak yang dilacurkan dan anak rentan yang difasilitasi, juga untuk anakanak yang tinggal di wilayah mereka. Di Garut, misalnya, proses mendaftarkan kelahiran anak ditangani oleh KPMD 25
Odi Shalahuddin
yang berhubungan langsung dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, setelah dipertemukan oleh SEMAK. Hal serupa dilakukan oleh KPM di Bandar Lampung. Di Surabaya, akses layanan dari pemerintah kurang ditangani. Hanya ada satu upaya untuk mendorong Dinas Kesehatan memberikan bantuan kepada anak-anak yang tengah hamil. Selebihnya YHS sendiri yang memfasilitasi dukungan layanan kepada anak seperti peralatan pendidikan, kesehatan, konseling, dan sebagainya. F. Perubahan Kebijakan Kegiatan ini diarahkan di tingkat lokal dan di tingkat kota/kabupaten. Di tingkat lokal, organisasi masyarakat dan kelompok/forum anak yang diakui dan disahkan oleh kepala desa/lurah, berdampak positif dengan dilibatkannya mereka dalam perencanaan proses pembangunan. Di Garut, para penggerak di tiga desa sangat berperan aktif di dalam Musrenbangdes, dan berhasil mendorong adanya alokasi dana desa untuk program perlindungan anak yang dikelola oleh KPMD. Upaya advokasi di tingkat kota/kabupaten berlangsung di tiga wilayah. YKPM di Makassar sangat aktif mendorong perubahan kebijakan yang memasukkan isu-isu anak ke berbagai OPD. Keberhasilan besar ketika terbentuk Pokja Anak Kota Makassar yang melibatkan 19 OPD, sehingga memudahkan promosi perlindungan anak ke OPD-OPD tersebut. YKPM juga merupakan salah satu organisasi 26
Meretas Jalan Inklusi bagi Anak yang Dilacurkan
masyarakat sipil yang mendorong dan terlibat aktif dalam penyusunan Raperda Penyelenggaraan Perlindungan Anak, yang pada akhirnya berhasil disahkan pada Oktober 2018. SEMAK tidak merancang secara khusus advokasi di tingkat kabupaten. Namun apresiasi dari pemerintah Kabupaten Garut terhadap Program Peduli yang dilaksanakan oleh SEMAK menyebabkan sering dilibatkan dalam pembahasan rancangan kebijakan, seperti: Perlindungan Perempuan dan Anak dari Kekerasan disahkan pada tanggal 17 Oktober 2016 dan rancangan Perda Kabupaten Layak Anak. Sebagai catatan, dalam kebijakan-kebijakan yang berhasil didorong, isu anak yang dilacurkan tidak muncul secara eksplisit. Tampaknya ini dikarenakan di tingkat nasional, kebijakan yang ada juga tidak menempatkan anak yang dilacurkan sebagai kelompok anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang disebutkan secara eksplisit Ini merupakan tantangan yang masih harus dihadapi di masa depan. G. Peningkatan Kapasitas Yayasan SAMIN dan Mitra Peningkatan kapasitas difasilitasi oleh The Asia Foundation yang ditujukan kepada EO yang bertanggung jawab atas enam pilar program peduli, dan diantaranya juga melibatkan mitra-mitra EO yang bekerja langsung dengan anak/masyarakat rentan/marginal. Beberapa pelatihan/ workshop yang diberikan antara lain; Sistem keuangan, Teori 27
Odi Shalahuddin
Perubahan, Kebijakan Perlindungan Anak, Pengarusutamaan Gender, Stategi Komunikasi, dan Monitoring & Evaluation Learning (MEL). Sedangkan Yayasan SAMIN memfasilitasi mitra diantaranya dalam penyusunan kebijakan perlindungan anak, Sistem Keuangan, MEL, Konvensi Hak Anak, Kepenulisan, dan Strategi Komunikasi. H. Peningkatan Kesadaran dan Dukungan Publik Publikasi atas isu atau kegiatan program melalui media sosial aktif dilakukan oleh Yayasan SAMIN, KAP Indonesia, dan CCC. Program di Garut, lebih banyak dikomunikasikan lewat media sosial oleh para penggerak organisasi masyarakat (KPMD), namun SEMAK pernah menerbitkan buletin anak dalam beberapa edisi yang disebarkan ke berbagai kelompok kepentingan di Garut. KAP Indonesia, sejak awal telah mendesain untuk melibatkan jurnalis agar memiliki pemahaman atas isu KHA dan Anak yang dilacurkan dan membuat pemberitaan yang sensitif anak. Ini diwujudkan dengan menjalin kerjasama dengan Harian Pikiran Rakyat yang merupakan harian terbesar di Jawa Barat, dengan menghadirkan 20 peserta jurnalis (wartawan dan reporter) yang bertugas di berbagai kota di Jawa Barat. Liputan media atas program peduli banyak mengangkat situasi dan kegiatan KAP Indonesia di Bandung dan CCC di 28
Meretas Jalan Inklusi bagi Anak yang Dilacurkan
Bandar Lampung. Yayasan SAMIN juga kerap diminta untuk merespon masalah anak yang dilacurkan yang termuat di media online nasional. Berdasarkan promosi dari media sosial dan pemberitaan media, menarik perhatian terutama dari mahasiswa untuk ikut terlibat sebagai relawan/magang, penelitian, dan kerjasama untuk membuat acara yang memperkenalkan isu anak yang dilacurkan. Ini terjadi di Yayasan SAMIN, KAP Indonesia, dan CCC Bandar Lampung. I.
Penilaian atas Pencapaian
Goran Therborn (2007, dalam Ertanto) mengemukakan ada lima tahapan inklusi sosial yang bisa dianggap sebagai langkah untuk mempromosikan inklusi sosial. Langkahlangkah ini bersifat hierarkis dengan menghadirkan kelompok marginal yang tereksklusi sebagai langkah pertama. Apabila gagal memenuhi langkah-langkah yang lebih rendah maka kelompok marginal yang tereksklusi akan terhalang dan memiliki keterbatasan untuk mendaki ke langkah berikutnya. 1) Menghadirkan kelompok marginal yang tereksklusi; Pertama dan terutama, kelompok marginal yang tereksklusikan harus diperhatikan, diakui, dan memiliki suara mereka sendiri. Salah satu kesulitan terbesar bahkan pada tingkat lokal adalah data/sensus penduduk yang sebenarnya. Kelompok marginal yang ter29
Odi Shalahuddin
eksklusikan tetap tidak terhitung dan oleh karena itu tidak terlihat. 2) Pertimbangan dalam perencanaan pembangunan: Kebutuhan kelompok marginal yang terekslusikan diperhitungkan oleh pembuat kebijakan. Seringkali pembuat kebijakan tidak menganggap kelompok marginal yang terekslusikan adalah bagian yang perlu mendapatkan prioritas pembangunan. Oleh karena itu, dalam perencanaan pembangunan kebutuhan kelompok marginal yang terekslusikan tidak mendapat perhatian para pemangku kepentingan. 3) Akses ke Interaksi Sosial; Kelompok marginal yang tereksklusi harus terlibat dalam kegiatan masyarakat dan jaringan sosial dalam kehidupan sehari-hari mereka, termasuk kegiatan ekonomi, sosial, budaya, agama, dan politik. 4) Hak; Kelompok marginal yang tereksklusikan harus memiliki kemampuan untuk bertindak dan menuntut hak: hak untuk berbeda, hak hukum, hak untuk mengakses layanan sosial, seperti perumahan, pendidikan, transportasi, dan perawatan kesehatan. Mereka harus memiliki hak untuk bekerja dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, budaya dan politik. 5) Sumber daya untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat; Sumber daya untuk berpartisipasi penuh dalam semua aspek kegiatan kemasyarakatan adalah langkah dasar untuk menuju inklusi sosial yang sukses. Sumberdaya yang dimaksudkan, selain keuangan, adalah me30
Meretas Jalan Inklusi bagi Anak yang Dilacurkan
miliki waktu dan energi yang cukup, jarak spasial yang memadai, pengakuan dan rasa hormat dari orang lain. Berdasarkan pengalaman pelaksanaan Program Peduli, yang melibatkan seluruh pilar, ditemukan gambaran lain, yaitu langkahnya tidak harus hierarkis, meski saling mensyaratkan relasi dari isi tiap tahapan untuk mencapai keberhasilan. Pada pertemuan para pelaksana Program Peduli (Desember 2017), telah diidentifikasi lima ciri inklusi sosial. Dan berikut penilaian atas capaian Yayasan SAMIN berdasarkan lima ciri inklusi sosial yang disusun berdasarkan hasil pertemuan antara seluruh personel program Yayasan SAMIN dengan The Asia Foundation pada tanggal 16 Agustus 2018, yakni: Lahirnya kepemimpinan lokal, ini terjadi di semua lokasi program. Anggota PATBM, memiliki peranan aktif di dalam upaya perlindungan anak di komunitasnya masing-masing, dan sebagian telah dilibatkan dalam pembahasan kebijakan di tingkat kota/kabupaten (Garut, Bandar Lampung, dan Makassar). Relasi dengan kelompok-kelompok masyarakat, khususnya di tingkat komunitas dapat terjalin dengan baik, yang dibuktikan dengan terorganisirnya mereka yang berasal dari berbagai unsur, termasuk pemerintah lokal ke dalam organisasi perlindungan anak (KPM/ PATBM). Data, setidaknya terdata anak-anak yang dilacurkan yang berada di lokasi program. 31
Odi Shalahuddin
Partisipasi dalam pembangunan, ini dikaitkan dengan peran organisasi masyarakat dan kelompok anak untuk terlibat dalam pembahasan kebijakan di tingkat komunitas/desa/kecamatan ataupun di tingkat kota/kabupaten. Respon pemerintah, utamanya dalam hal kebijakan dan pemberian layanan. Mengingat istilah anak yang dilacurkan masih dinilai sensitif dan tidak didukung.
32
Jalan Inklusi Dimulai dari Lingkungan Sekolah Machrus YHS Surabaya
D
unia remaja bukanlah dunia baru bagi Yayasan Hotline Surabaya (YHS). Pada awalnya YHS bersinggungan dengan dunia remaja dalam sebuah layanan konsultasi melalui rubrik di Harian SURYA pada tahun 90-an, berlanjut dengan diskusi remaja di salah satu stasiun televisi swasta dengan tajuk KIPRAH REMAJA dan kegiatan job training bagi remaja untuk mengisi liburan sekolah. Dalam perjalanannya selain melanjutkan layanan konseling melalui telpon dan tatap muka, YHS mulai pendampingan pada pekerja seks di Surabaya. Isu HIV-AIDS, seksualitas dan kesehatan reproduksi kemudian menjadi perhatian utama YHS hingga saat ini. Visi Yayasan Hotline Surabaya adalah membangun dunia yang lebih bermartabat, adil dan setara dan visi ini diwujudkan dalam 6 misi, yaitu; 1). Mereformasi Pendidikan untuk hidup yang lebih baik; 2). Mendorong terciptanya hubungan yang 33
Machrus
egaliter antara laki-laki dan perempuan sebagai anggota komunitas, anak dengan orang tua serta antar masyarakat dan negara; 3). Membangun kesadaran akan hak-hak asasi manusia untuk terciptanya individu, kelompok maupun masyarakat yang mendapatkan penindasan; 4). Membuka akses ekonomi, pendidikan dan kesehatan individu, kelompok dan masyarakat yang terabaikan; 5). Meningkatkan kepedulian individu, kelompok dan masyarakat terhadap lingkungan hidup yang lebih sehat; 6). Menjadi fasilitator dan agen perubahan untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan, pendidikan dan sosial yang belum diatasi dalam sistem yang ada. Dunia yang lebih adil dan bermartabat diarahkan bagi kelompok marginal, seperti; pelacur, masyarakat miskin kota, anak-anak positif HIV dan anak korban kekerasan. A. Anak yang Dilacurkan Di Kota Surabaya Perjalanan panjang YHS di dalam menggeluti dunia pelacuran memberi gambaran banyaknya kasus eksploitasi seksual dan perdagangan perempuan dan anak untuk tujuan seksual. YHS menemukan anak-anak perempuan yang diperdagangkan untuk pelacuran berusia antara 1517 tahun. Modus yang digunakan kebanyakan adalah tawaran pekerjaan di luar kota dengan memalsukan dokumen identitas diri. Kota Surabaya menjadi tujuan dan juga kota transit bagi korban trafficking yang akan dibawa ke wilayah lain seperti Kalimantan, Maluku, dan Papua. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh YHS dan hasil 34
Jalan Inklusi Dimulai dari Lingkungan Sekolah
evaluasi sepuluh tahun kerja YHS di pelacuran, strategi pendekatan dipertajam tidak hanya untuk meningkatkan hak-hak pekerja seks atas layanan kesehatan dan jaminan keamanan selayaknya hak bagi setiap warga negara Indonesia, YHS juga melakukan pencegahan di daerah-daerah yang rawan menjadi “pemasok” bagi pelacuran di kota Surabaya dan Indonesia Timur khususnya. Beberapa daerah yang pernah dijajaki dengan program penanganan korban trafficking adalah Bojonegoro, Sampang, dan Banyuwangi. Pada tahun 2010 YHS mulai memperhatikan kelompok pelacur muda di lokalisasi yang masuk lokalisasi pada awalnya sebagai korban trafficking. Dari pendampingan yang dilakukan YHS ditemukan terdapat juga anak-anak yang dilacurkan korban trafficking. Melalui jaringan dan pertemanan tersebut YHS mulai menemukan banyak kasus anak yang dilacurkan di Surabaya dan sekitarnya. Kebanyakan korban yang kami temukan masih berstatus siswa di sekolah tingkat menengah atas. Berawal dari sini, YHS terdorong untuk melakukan pendampingan khusus. Penelusuran atas jaringan anak-anak yang dilacurkan, dari 100 anak yang menjadi kelompok dampingan, diketahui bahwa pengalaman pertama mereka dalam berhubungan seks terjadi pada usia 12-14 tahun dengan orang terdekat mereka seperti pacar, teman, kakak kandung bahkan ayah sendiri . Pada kasus hubungan seks dengan pacar dan teman, anak-anak menganggap hal tersebut sebagai hal yang biasa. Sedangkan hubungan yang dilakukan oleh kakak kandung, paman atau bahkan ayah merupa35
Machrus
kan tindak kekerasan seksual yang tidak terlaporkan karena dianggap sebagai aib keluarga. Berkaca pada pengalaman ini terlihat bahwa betapa anak-anak menjadi korban kekerasan seksual diawali dari ketidaktahuan mereka terhadap pengertian kekerasan seksual hingga sanksi hukum yang seharusnya bisa diterapkan pada pelaku dan tidak memiliki nilai tawar untuk menolak melakukan hubungan seks. Pada konteks usia anak, persetujuan mereka untuk melakukan hubungan seksual bisa diabaikan dan posisi mereka tetap sebagai korban. Proses pendampingan korban yang sudah aktif secara seksual dan bahkan menganggap perilakunya bukan persoalan memberi kesulitan sekaligus tantangan tersendiri. Anak-anak dengan perilaku semacam ini lebih sulit untuk ditarik dari kebiasaannya. Ketika mereka masuk dalam jaringan pelacuran anak, perilaku yang ditemui pada pekerja seks dewasa juga tampak dalam anak-anak yang dilacurkan ini. Khususnya yang berkaitan dengan gaya hidup, memanfaatkan untuk mendapatkan fasilitas dan uang yang akan mendukung gaya hidup mereka. YHS giat melakukan upaya pencegahan dengan sasaran anak-anak yang belum berumur 15 tahun. Pada proses ini dikembangkan satu metode deteksi dini untuk mengetahui tingkat risiko anak terhadap bentuk-bentuk kekerasan yang mungkin dihadapi atau dialami anak dan menyiapkan strategi intervensi ganda; pencegahan sekaligus pendampingan korban.
36
Jalan Inklusi Dimulai dari Lingkungan Sekolah
Awal ditemukan kasus di area lokalisasi Tambak Asri dan Bangunsari, yang berada di jalur Pantura yang berdekatan dengan pelabuhan memungkinkan praktik-praktik prostitusi berjalan dengan subur. Tambak Asri dan Bangunsari adalah lokalisasi yang menjadi satu dengan pemukiman padat penduduk. Masyarakat memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah sehingga mempengaruhi cara berfikirnya. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai buruh pabrik dan kuli bangunan. Masyarakat yang rata-rata merupakan pendatang memilih tinggal di rumah kos dengan ukuran 4 x 4 m2. Dengan ukuran rumah yang seperti itu maka salah satu dampak negatifnya adalah anak-anak sudah terbiasa melihat hal-hal yang tidak seharusnya. B. Program dan Pencapaiannya Keterlibatan YHS di dalam pelaksanaan Program Peduli telah dimulai Sejak tahun 2015. Hanya pada periode 20152026, YHS berada di bawah koordinasi LPKP Malang. Selanjutnya pada periode 2017 hingga 2020, program YHS di bawah koordinasi Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN). Program Peduli dipusatkan di sekolah-sekolah yang berada di seputar eks lokalisasi di Surabaya. Dari 22 sekolah yang pernah diajak bekerjasama, YHS memfokuskan bekerja di delapan sekolah tingkat pertama. Program Peduli yang diarahkan untuk mencapai tiga outcome yakni; pemberdayaan dan penerimaan sosial, pe37
Machrus
menuhan layanan dasar serta perbaikan kebijakan dengan melakukan intervensi pada pemerintah daerah, masyarakat maupun anak dan teman sebaya sebagai penerima manfaat langsung. Berdasarkan data periode 2017-2019, pendampingan dan peningkatan kapasitas telah menjangkau anak dan para pemangku kepentingan lainnya seperti tergambarkan dalam tabel berikut ini:
1. Strategi dan Pendekatan Program Strategi dan pendekatan untuk melaksanakan Program Peduli, YHS menetapkan melalui pendekatan sekolah. Sekolah-sekolah yang dipilih adalah yang dinilai rawan terhadap persoalan kenakalan remaja, dengan tingkat kehadiran di sekolah rendah, terlibat dalam narkoba dan pelacuran. 38
Jalan Inklusi Dimulai dari Lingkungan Sekolah
Dimulai dari sekolah, diidentifikasi anak-anak yang diduga berada dalam prostitusi dan anak-anak yang rentan untuk dijerumuskan ke prostitusi. Selain itu, juga diidentifikasi kampung-kampung yang menjadi wilayah terbanyak sebagai tempat tinggal dari para siswa yang direncanakan akan mengorganisir masyarakat setempat untuk turut berperan dalam perlindungan anak. Hanya saja, upaya mengorganisir masyarakat diakui gagal terlaksana. Namun keterlibatan orangtua untuk turut berperan di dalam memperhatikan anak-anaknya, guna mencegah dan menyelamatkan anak-anak yang telah menjadi korban tetap berlangsung dengan memfasilitasi “dukungan orangtua/keluarga” (family support group). 2. Penentuan Lokasi Kerja YHS memfokuskan kepada sekolah-sekolah di tingkat pertama yang berada di seputar eks lokalisasi Tambak Asri dan Bangunsari lokalisasi Tambak Asri dan Bangunsari. 3. Penentuan Penerima Manfaat Utama Di dalam menentukan penerima manfaat utama, yakni anak yang dilacurkan dan anak yang dinilai rentan, YHS mengembangkan kriteria-kriteria berikut ini: 1. Usia 12-16 tahun. Pubertas awal ini menjadi pemicu anak keluar dari rumah untuk mencari kompensasi. 2. Mulai berpacaran. 3. Mulai membolos sekolah.
39
Machrus
4. Dari keluarga dengan penghasilan rendah. 5. Orangtua berpisah dan anak ikut salah satu orangtua atau dititipkan ke keluarga besarnya. 6. Ada trauma atau luka hati karena ditolak kelahirannya, diterlantarkan, mengalami kekerasan fisik dan psikis dari keluarga/orangtua, mendapatkan pola asuh yang salah. Kriteria anak yang dipilih sesuai dengan urutan yang ada, minimal memenuhi kriteria nomor 1-3 di atas sudah menjadi target program. Ini menjadi data dasar kami untuk melakukan intervensi selanjutnya. Kriteria ini dibuat berdasarkan pengalaman YHS sebelumnya di dalam mendampingi korban ESKA, dengan mengacu kepada faktor risiko anak-anak dapat dijerumuskan ke prostitusi. Tahap identifikasi awal, YHS bekerjasama dengan tujuh sekolah melakukan pelatihan “Anak Rentan Gen Smart” yang diikuti keseluruhannya oleh 158 anak. Dari pelatihan ini, ditemukan 22 anak yang telah menjadi korban prostitusi. Selain itu, ada pula anak yang didamping berdasarkan rujukan dari pihak lain. 4. Pendekatan Awal ke Anak dan Sekolah Setelah dilakukan pemetaan terhadap sekolah-sekolah yang sesuai dengan kriteria sebagai lokasi kerja, tim YHS akan 40
Jalan Inklusi Dimulai dari Lingkungan Sekolah
datang dan bertemu langsung dengan pimpinan sekolah guna menjelaskan tentang program yang akan dilaksanakan dan membuka kemungkinan bekerjasama dalam pendampingan anak-anak. Mengingat bahwa pihak sekolah tentunya ingin menjaga nama baik dan tidak ingin ada hal-hal yang dianggap negatif oleh masyarakat, maka YHS memberikan jaminan tentang kerahasiaan. YHS pernah berkegiatan di 22 sekolah, namun mentargetkan delapan sekolah yang akan difasilitasi secara intensif, walaupun dalam pelaksanaannya yang bersikap terbuka dan berkegiatan bersama adalah tujuh sekolah. Mengingat strategi pendekatan untuk memulai program diawali dari sekolah, maka pendekatan awal ke anak adalah melalui sekolah. Ini dimulai dengan melakukan pelatihan kelas dengan identifikasi anak-anak yang dinilai rentan yang direkomendasikan oleh sekolah. YHS melakukan penilaian risiko melalui kuesioner dan mengamati serta berdialog dengan anak-anak yang diduga telah berada di prostitusi dan atau rentan untuk dijerumuskan. C. Kegiatan-kegiatan Program Penguatan kapasitas anak diarahkan agar anak memiliki keyakinan diri, memiliki sikap optimis untuk mengubah kehidupannya, dan melakukan berbagai upaya untuk keluar dari situasi buruk yang dialaminya. Dukungan kepada anak dilakukan dengan melibatkan sekolah, dalam hal ini guru Bimbingan dan Konseling (BK) dan orang tua yang men41
Machrus
dapatkan fasilitasi peningkatan kemampuan ketika memberikan perhatian terhadap anak. Desain YHS dalam pendampingan dan penguatan kapasitas anak tergambarkan dalam skema berikut ini:
1. Pendampingan dan Penguatan Kapasitas anak Tahap awal yang dilakukan adalah melakukan pelatihan bagi anak-anak yang dinilai rentan. Anak yang dilibatkan didasarkan dari rekomendasi para guru berdasarkan kriteria yang telah disusun YHS. Berdasarkan pelatihan ini diidentifikasi anak-anak yang akan menjadi penerima manfaat utama dari Program Peduli. Pelatihan “Anak Rentan Gen Smart” dilakukan selama tiga hari beturut-turut, dari mulai pukul delapan pagi 42
Jalan Inklusi Dimulai dari Lingkungan Sekolah
hingga pukul empat sore. Metode yang digunakan lebih banyak melakukan konseling untuk deteksi dini permasalahan anak hal ini ditunjang dengan pemilihan lokasi pelatihan berada di luar sekolah dengan pertimbangan: 1. Memberi suasana baru bagi anak sehingga mereka bisa lebih antusias dan memunculkan rasa ingin tahu; 2. Memberi jaminan pada anak untuk merasa lebih bebas bercerita karena tidak berada di dalam kelas sekolah dan tidak akan diawasi oleh guru; 3. Menjaga situasi pelatihan lebih kondusif dan mudah dikondisikan karena fokus anak untuk mengikuti pelatihan lebih baik, jika ini dilakukan di sekolah maka anak-anak ini akan mudah keluar masuk dari ruangan pelatihan dan yang ditakutkan mereka akan menceritakan masalah teman yang ikut di pelatihan ke temannya yang lainnya yang tidak diikutkan dalam pelatihan tersebut; 4. Menjadi pengalaman baru yang diharapkan bisa diceritakan anak-anak ke teman-teman yang tidak ikut dalam pelatihan. Pelatihan ini dibagi menjadi tiga tahap sesuai dengan jumlah hari, dimana pada hari pertama adalah tahap membangun kepercayaan anak terhadap tim YHS dan pengenalan diri. Pada hari kedua adalah tahap membangun kesadaran anak akan risiko berkaitan dengan persoalan miras, narkoba, seksualitas dalam konteks kesehatan reproduksi, dan bentuk kekerasan pada anak. Pada tahap ini anak diajak untuk melakukan pemetaan masalah yang dihadapi mereka 43
Machrus
baik dalam lingkup keluarga, sekolah, dan lingkungan dimana anak-anak tersebut tinggal. Dan pada hari terakhir merupakan tahap pengakuan dan pengembangan keterampilan personal, inter personal, serta sosial melalui metode konseling kelompok dan pelajaran self defends. YHS juga memberikan perhatian khusus terhadap anakanak yang telah menikah khususnya kepada anak perempuan yang disebut “mama muda”, minimnya pengetahuan pasangan muda dalam mengatur keluarga yang ditunjang dengan pola pikir yang belum matang, secara mental akan selalu ragu dan rancu setiap kali akan melangkah ataupun memutuskan sesuatu bahkan hal sepele sekalipun. Hal ini tentu akan berpengaruh pada pola asuh kepada anak-anak. YHS melalui serangkaian pelatihan dan pendampingan membantu anak menetapkan strategi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi, terutama dalam keterampilan pengasuhan. Ada tiga intervensi wajib dari YHS yang telah dikembangkan dalam kurun sepuluh tahun terakhir dalam melakukan pendampingan kepada anak-anak korban eksploitasi seksual, yaitu; pendidikan, kesehatan dan dukungan psikologis. Mempertahankan anak di sekolah atau mendorong agar anak dapat kembali sekolah menjadi hal penting untuk masa depan anak. Kesehatan, terutama kesehatan reproduksi menjadi perhatian dalam layanan kesehatan. Dukungan psikologis adalah bagaimana menguatkan anak agar memiliki keyakinan diri untuk menjadi subjek perubahan. 44
Jalan Inklusi Dimulai dari Lingkungan Sekolah
Berbagai bentuk layanan yang secara langsung dilakukan oleh YHS dilakukan melalui pendekatan shelter bases, sekolah dan penguatan orangtua. Bentuk-bentuk layanan seperti tergambarkan dalam bagian akses layanan pada bagian 4. 2. Penguatan Kapasitas Sekolah Khususnya Guru BK Ada perubahan pola penjangkauan YHS kepada anak, yang semula menjangkau tempat-tempat hiburan menjadi penjangkauan berbasis sekolah. Kerjasama dengan pihak sekolah, pada pelaksanaannya diwakili oleh guru Bimbingan dan Konseling (BK). Selama ini guru BK dianggap sebagai “musuh” oleh para siswa karena ditempatkan sebagai “polisi” sekolah. Kasus-kasus siswa akan ditangani oleh guru BK tersebut. Dengan kata lain, guru BK seakan menjadi “pemadam kebakaran” yang berfungsi jika ada kasus anak. Upaya yang dilakukan adalah mengubah persepsi tersebut dengan menjadikan guru BK sebagai “sahabat siswa’ yang turut memberikan perhatian dan deteksi dini, sehingga dapat mencegah kasus-kasus yang besar kemungkinan akan muncul. Peran guru di sekolah sebagai pengganti orangtua sangat penting untuk siswa di sekolah, baik untuk melakukan pencegahan dan penanganan ketika siswa melanggar aturan sekolah. Guru BK seharusnya bisa menjadi sahabat siswa agar masalah-masalah yang di hadapi oleh siswa dapat di atasi dengan cepat. 45
Machrus
Pelatihan dan peningkatan kapasitas guru BK menjadi strategi intervensi yang dilakukan. Para guru ini diberi pengetahuan dan keterampilan tentang pengertian ESKA, termasuk anak yang dilacurkan, faktor resiko dan perilaku anak-anak yang sudah menjadi korban, kiat di dalam penanganan kasus, dan pengembangan sistem rujukan. Selain itu juga beberapa pelatihan dilakukan diantaranya: “Pelatihan deteksi dini gejala tingkah pada siswa”, “Pelatihan deteksi dini tingkat kecanduan obat dan rokok”, dan “Pelatihan membuat sistem rujukan bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus berbasis sekolah”. Peningkatan kapasitas guru di dalam penanganan siswa dibarengi dengan mengubah stigmatisasi yang biasanya dilekatkan kepada anakanak yang dianggap bermasalah. Pada pelaksanaannya, guru BK akan bekerjasama dengan staf YHS untuk bersama-sama melakukan “deteksi dini” dan pendampingan terhadap anak-anak yang menjadi korban. YHS telah menjalin kerjasama dengan 22 sekolah. Dari jumlah tersebut, YHS memilih delapan sekolah sebagai prioritas dalam Program Peduli, dengan mempertimbangkan sekolah yang dinilai para siswanya memiliki banyak kasus/persoalan, dan kesediaan untuk bekerjasama. 3. Fasilitasi Pengembangan Family Support Group Keterbukaan antara orang tua dan anak merupakan hal yang sangat penting untuk membangun hubungan yang harmonis dalam keluarga. Kedekatan yang terbangun antara 46
Jalan Inklusi Dimulai dari Lingkungan Sekolah
anak dan orang tua dapat membantu anak menghadapi masalahnya. Kita bisa memberikan nasehat dan didengar oleh anak ketika kita sudah memiliki keterbukaan dengan anak. Sekarang, berapa kali anda sebagai orangtua memberikan pujian terhadap kinerja yang sudah dilakukan oleh anak? Tanpa disadari, memberikan pujian dapat menumbuhkan rasa percaya diri dalam diri anak. Dahulu, saat anak kita masih balita kita sering sekali memberikan mereka pujian, hal ini berbanding terbalik ketika anak sudah remaja. Kita lebih sering memarahi anak ketimbang memujinya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, salah satu strategi untuk menyelamatkan anak adalah dengan mengembangan family support group. Family support group adalah pertemuan di mana peran aktif seluruh anggota keluarga dalam bentuk memahami masalah, menerima kenyataan, mengakui, mengerti, dan terlibat mendorong korban untuk mengikuti program pemulihan. Family support group adalah suatu bentuk kelompok dukungan keluarga residen melalui kegiatan pertemuan sesama orang tua untuk berbagi perasaan, pengalaman, dan harapan orang tua. Melalui kegiatan tersebut para orang tua anak korban ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) berbagi pengalaman dalam menghadapi permasalahan anaknya. Pada dasarnya, ketika orangtua tidak mampu mengatasi permasalahan anak, maka bisa menimbulkan kebencian terhadap anak itu sendiri. Jadi, ketika suami maupun istri tidak 47
Machrus
dapat menuntaskan masalah yang dialami, masalah tersebut dapat melebar kemana-mana. Salah satunya berdampak ke anak. Orangtua yang kuat adalah orangtua yang bisa menyelesaikan masalahnya. Anak zaman sekarang sangat berbeda dengan anak-anak zaman dahulu. Kita memiliki tugas lebih untuk mendidik anak-anak kita. Dalam kegiatan family support group, orangtua anak dampingan diajak untuk berfikir dan menyadari adanya masalah serta berpikir bagaimana menyelesaikannya. Kemudian, orangtua diajak untuk berpikir menghadapi masa depan dengan menyusun rencana aksi perubahan serta membuat penyesuaian sebelum memulai perubahan perilakunya. Tahap terakhir, ketika mereka sudah mulai berubah perilakunya, maka kita bantu mereka untuk konsisten dengan perilakunya. Fasilitasi dilakukan dengan menekankan pada pembahasan studi kasus yang dihadapi oleh orangtua. 4. Memfasilitasi dan Mendorong Terbukanya Akses Layanan YHS juga memberikan dukungan atau layanan terhadap anak yang dilacurkan ataupun anak-anak rentan. Khusus untuk anak yang dinilai memerlukan pendampingan dan layanan khusus, YHS menyediakan shelter atau rumah aman bagi mereka. Pengertian shelter adalah berlindung yang bisa diartikan sebagai suatu tempat untuk berlindung dari segala bentuk perbuatan terhadap anak yang berakibat 48
Jalan Inklusi Dimulai dari Lingkungan Sekolah
menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis,seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbutan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Hal ini diatur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT dan Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang PTTPO, serta Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Shelter berada diperkampungan masyarakat yang diresmikan oleh Kepala Dinas Sosial Kota Surabaya pada tahun 2012 dengan diberi nama Omah Sahabat Arek. Harapannya, shelter bisa digunakan sebagai tempat berlindung sekaligus tempat pemulihan trauma,tempat agar anak- anak yang rentan dan korban agar bisa bersosialisasi dengan masyarakat dan menjadi tempat untuk menambah ilmu bagi anak- anak yang tinggal diperkampungan tersebut. Shelter yang dikelola YHS menampung anak-anak korban kekerasan seksual baik yang dijumpai saat out-reach dan dari rujukan pihak lain. Adapun kriteria anak yang dapat menikmati layanan shelter adalah salah satu dari hal berikut ini: 1). Sumber masalah ada di dalam keluarga; 2). Lingkungan tempat tinggal anak tidak kondusif (tidak aman, terjadi stigmatisasi dan diskriminasi dan rentan kekerasan), serta 3). Anak yang membutuhkan pendampingan khusus dan intensif (anak yang hamil, mengalami trauma psikologis, kecanduan narkoba dan seks). Jika tidak ada satu kriteria yang terpenuhi, namun dinilai perlu bagi anak untuk tinggal di shelter, ada persyaratan bahwa 49
Machrus
keberadaan anak di shelter harus sepengetahuan orang tua atau keluarga dan bersedia memenuhi aturan yang sudah ditetapkan oleh lembaga. Alternatif lain, adalah melakukan pendampingan di luar shelter atas perasetujuan dari anak dan orangtua atau keluarga. Bentuk-bentuk layanan yang diberikan berupa: konseling, dukungan pendidikan (formal ataupun non formal), kesehatan, dukungan sosial dan bantuan hukum dengan merujukkan ke lembaga lain jika anak masuk dalam kategori anak yang berhadapan dengan hukum (terutama untuk korban dan saksi), dan dukungan sosial. Terkait dukungan sosial ini dilakukan melalui pertemuan-pertemuan dengan sesama anak yang menjadi survival, dan juga mempersiapkan dan memonitoring secara berkala ketika anak dapat dikembalikan ke rumah orang tua/keluarga dan lingkungannya, yang terlebih dahulu dipersiapkan agar tidak memunculkan stigmatisasi terhadap anak. 5. Advokasi YHS tidak merancang kegiatan advokasi secara khusus. Namun YHS terlibat bersama jaringan NGO anak di Surabaya dan Jawa Timur yang terhimpun dalam Gerakan Menyelamatkan Masa Depan Anak berupa penyusunan policy brief yang diserahkan kepada dinas terkait di level Kota Surabaya dan Provinsi Jawa Timur. Selain itu, YHS berhasil mendorong Bidang Kesehatan Keluarga dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya pada tahun 2019 untuk mendukung biaya 50
Jalan Inklusi Dimulai dari Lingkungan Sekolah
“perempuan hamil” yang tinggal di shelter sebesar Rp. 1.950.000/bulan dan Rp. 2.150.000/bulan untuk “perempuan hamil dalam masa nifas. Penggunaan kata “perempuan” bukan “anak” sebagai siasat agar alokasi dana dapat disalurkan. Sedangkan jika menggunakan kata “anak” akan dialihkan prosesnya ke DP5A Kota Surabaya, yang tidak memiliki alokasi dana untuk itu. Ada lima anak yang menikmati layanan dari Dinas Kesehatan tersebut. 6. Peningkatan Kesadaran dan Dukungan Publik Kami melakukan publikasi kegiatan dan juga edukasi tentang pubertas, parenting dan lainnya melalui Instagram dan Facebook. Selain itu kami juga menyebarkan brosur tentang ESKA, pencegahan dan penanganannya melalui brosur yang kami bagikan di setiap kegiatan serta pembagian di komunitas dan sekolah. 7. Koordinasi dan Kerjasama Koordinasi dan kerjasama yang dibangun dalam pelaksanaan Program Peduli adalah dengan sekolah (SMP swasta), Dinas Kesehatan dan DP5A Kota Surabaya, konselor dari puskesmas, Perguruan Tinggi (PPDS Psikiatri UNAIR) dan masyarakat di wilayah program. D. Pembelajaran Masih banyak tantangan yang dihadapi terutama jika kita berbicara tentang inklusi sosial. Ada banyak penolakan
51
Machrus
akan keberadaan anak yang dilacurkan. Di satu sisi mereka tetap dilayani untuk akses kesehatan di puskesmas, di sisi lain secara kebijakan AYLA belum diakui keberadaannya. Saat berkomunikasi dengan pemerintah akan terjadi perdebatan mengingat mereka mengakui korban kekerasan seksual atau eksploitasi seksual. Intervensi korban kekerasan seksual dengan AYLA tentu sangat berbeda treatmentnya. Kendala yang lain adalah pada penerimaan sosial di dalam keluarga dan masyarakat yang dinilai teramat sulit. Penguatan ekonomi keluarga diperlukan agar dapat menjalankan fungsi sebagai sebuah keluarga, sehingga anak tidak mencari kebutuhan tersebut di luar. Sedangkan pada anak, dibutuhkan adanya pelatihan vokasional yang sesuai dengan minat dan bakatnya sehingga anak bisa keluar dari situasi yang dihadapi. Keterlibatan para relawan yang menyediakan waktu khusus berkegiatan dengan sekolah yang masih berlangsung baik, meski tidak terlalu intensif, dapat mempertahankan keberlangsungan pendampingan terhadap anak. Komunikasi melalui grup dalam aplikasi yang melibatkan para kader masyarakat, dan guru BK untuk berbagi informasi atau saling diskusi ketika ada masalah atau hal-hal yang dianggap penting juga dinilai efektif. Sedangkan upaya mengintegrasikan program di sekolah dengan layanan kesehatan di puskesmas dan sinergi dengan kelompok masyarakat lokal yang sudah diinisiasi, perlu dipertahankan dan dikembangan. 52
Jalan Inklusi Dimulai dari Lingkungan Sekolah
Berdasarkan pengalaman pelaksanaan Program Peduli, promosi dan publikasi untuk menumbuhkan kesadaran publik dan mengurangi atau menghapus stigmatisasi agar terjadi penerimaan sosial sangat dibutuhkan. Pada anak penerima manfaat selain dari anak yang dilacurkan adalah anak-anak rentan yang juga harus diintervensi secara intensif mengingat kerentanan mereka untuk dijerumuskan ke dalam pelacuran sangat tinggi.
53
Machrus
54
Membuka Akses dan Layanan Kesehatan yang Inklusif Bambang Y. Sundayana KAP Indonesia
“… Mas, ternyata banyak anak-anak yang jadi peserta pelatihan… seharusnya mereka dipisahkan dari orang dewasa…”.
K
alimat itu disampaikan oleh salah seorang aktivis Hak Azasi Manusia (HAM) yang diundang oleh KAP Indonesia menjadi Fasilitator Pelatihan HAM. Saat itu Pelatihan HAM diberikan untuk sejumlah Wanita Pekerja Seksual (WPS) di Pangandaran pada tahun 2009. Pelatihan merupakan bagian dari kemitraan KAP Indonesia dengan UNDP dalam Proyek Penurunan Angka Infeksi HIV pada Populasi Kunci WPS di Empat Kota/ Kabupaten di Jawa Barat. Mulai saat itulah KAP Indonesia memahami bahwa siapapun individu yang berusia di bawah 18 tahun, terlepas dari latar belakang apapun, harus dianggap sebagai anak yang ‘perlakuannya’ dibedakan dengan orang dewasa. 55
Bambang Y. Sundayana
Melalui proyek yang bermitra dengan UNDP di atas, akhirnya diidentifikasi terdapat hampir 25% dari 300 WPS yang didampingi berusia di bawah 18 tahun atau termasuk usia anak. Mereka menyebar di kafe yang ada di sepanjang garis pantai Pangandaran. Sebagai daerah tujuan wisata, Pangandaran memiliki fasilitas yang mendukung besarnya praktik pelacuran. Mulai dari tempat hiburan yang menjual minuman keras serta banyaknya hotel dari yang mulai kelas penginapan sampai hotel berbintang. Fakta lapangan tersebut ‘menjerumuskan’ KAP Indonesia untuk melihat dan memahami fenomena Anak yang Dilacurkan (AYLA) secara lebih dalam. Sampai saat ini KAP Indonesia konsisten untuk mendampingi AYLA melalui berbagai kemitraan program dengan berbagai pihak. Bukan saja hanya berjejaring dengan mitra NGO tetapi juga dengan pemerintah, universitas, media, maupun organisasi komunitas. Menetapkan isu AYLA sebagai salah satu fokus kerja KAP Indonesia tentunya sangat terkait dengan visi dan misi KAP Indonesia. Sejak didirikan pada tahun 2006, visi KAP Indonesia adalah membuka akses, partisipasi dan kontrol kelompok masyarakat marginal atas politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum. Anak yang dilacurkan bukan saja kelompok anak marginal, namun lebih jauh mereka adalah korban yang berada dalam situasi pekerjaan terburuk anak. Satu pekerjaan yang seharusnya tidak boleh ada dalam peradaban manusia karena menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan. 56
Membuka Akses dan Layanan Kesehatan yang Inklusif
Seringkali mereka kehilangan haknya sebagai anak, bahkan stigma dan diskriminasi kerapkali mereka terima seperti sebuah kewajaran. KAP Indonesia memahami bahwa AYLA bukanlah sumber persoalan seperti yang sering di-labelkan oleh banyak pihak. Persoalan yang melatarbelakanginya ada di luar mereka. Disintegrasi keluarga, kemiskinan, kekerasan seksual, pengalaman seksual terlalu dini, adalah sebagian dari situasi yang menyebabkan anak menjadi AYLA. A. Situasi Anak yang Dilacurkan Di Kota Bandung Secara historis Kota Bandung memiliki sebutan sebagai tempat untuk tujuan wisata. Sejak masa kolonial, Bandung menjadi tempat ‘pelesiran’ bagi para pemilik dan pengelola perkebunan (planters) yang ada di sekeliling wilayah Bandung. Setiap akhir minggu mereka turun dari perkebunannya untuk menikmati hiburan di Kota Bandung. Hotel, restoran, dan pusat hiburan pun dibangun untuk memfasilitasi mereka. Sangat menarik untuk dicermati bagaimana Jalan Braga menjadi ikon pusat hiburan dan berlanjut sampai saat ini. Daya tarik kota dengan beragam fasilitas hiburannya, menjadikan Kota Bandung dijuluki sebagai Paris van Java oleh para planters. Selain itu orang mengenal Bandung sebagai salah satu kota tempat untuk melanjutkan pendidikan jenjang universitas, tempat rujukan perkembangan fashion, dan kota yang memiliki beragam kuliner. Daya tariknya menjadikan Kota Bandung menjadi salah satu kota yang banyak di57
Bambang Y. Sundayana
kunjungi orang luar, baik hanya sebagai tujuan wisata maupun tujuan melanjutkan pendidikan setelah selesai SMA. Pasca krisis ekonomi pada akhir tahun 90-an, Bandung menjadi kota yang berkembang sangat cepat pada berbagai aspek. Perkembangannya dipicu oleh pembangunan infrastruktur yang mendorong beragam aktivitas perekonomian. Salah satu yang paling menonjol adalah produksi dan perdagangan pakaian. Industri clothing tumbuh pesat mulai dari industri rumahan yang bersifat mikro sampai skala industri menengah. Dalam dua puluh tahun terakhir, jumlah pusat perbelanjaan meningkat pesat. Pemerintah kota pun menetapkan Bandung sebagai tempat destinasi wisata belanja. Naiknya jumlah pengunjung ke Kota Bandung didukung oleh kemudahan akses, baik melalui jalan tol maupun jalur penerbangan. Sebagai ilustrasi, selain bertambahnya jalur penerbangan domestik, jalur penerbangan dari Malaysia dan Singapura pun bisa tiga kali dalam sehari. Indikator meningkatnya jumlah pendatang dapat dilihat dari kemacetan jalanan Kota Bandung pada saat akhir minggu dan hari libur. Kota Bandung pun menjadi kota yang sangat terbuka. Orang Bandung sudah sangat terbiasa menerima pendatang dari luar Bandung dengan perilakunya yang ramah. Someah hade ka semah merupakan ungkapan dalam Bahasa Sunda yang menunjukan sikap penghargaan pada tamu atau pendatang. Penerimaanya bukan saja secara fisik namun juga sikap, perilaku, dan bahkan gaya hidup dengan mudah diserap orang Bandung. 58
Membuka Akses dan Layanan Kesehatan yang Inklusif
Mau tidak mau gaya hidup orang Bandung juga dipengaruhi oleh situasi di atas. Perilaku yang cenderung untuk menjadi konsumtif bisa jadi dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan maraknya keberadaan pusat perbelanjaan di Kota Bandung. Beragam produk yang ditawarkan tentu meningkatkan keinginan untuk memilikinya. Mulai dari busana sampai ke perangkat gadget sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah untuk dimiliki. Tidak ada yang salah dengan pertumbuhan ekonomi kota dan teknologi yang semakin moderen. Hanya saja akan menjadi persoalan jika sikap mental tidak berubah. Saat ini sering sulit membedakan mana yang menjadi kebutuhan dan mana yang menjadi keinginan. Perilaku konsumtif tentunya lebih banyak didasari oleh keinginan, bukan didasari oleh kebutuhan. Pada awalnya ada tiga wilayah yang menjadi area kerja Program Peduli yaitu Kecamatan Cidadap, Kecamatan Sukajadi dan Kecamatan Coblong. Pada periode berikutnya ada penambahan di Kecamatan Cibeunying Kaler. Secara umum karakter wilayah dampingan ini sama saja satu dengan yang lainnya. Kecamatan-kecamatan tersebut ada di wilayah sebelah utara Kota Bandung. Wilayah utara Kota Bandung merupakan lokasi dengan banyak sekali tempat-tempat nongkrong dan menjadi perlintasan orang-orang yang akan berwisata ke arah Lembang. Lokasinya yang berada di dataran tinggi menjadi tempat favorit bagi anak-anak muda untuk menikmati pe59
Bambang Y. Sundayana
mandangan Kota Bandung di malam hari. Misalnya di Kecamatan Cidadap ada Punclut dan Ciumbuleuit. Di Kecamatan Coblong ada Dago Atas dan di Cibeunying Kaler sangat dekat dengan area Dago Pakar. Sementara di Kecamatan Sukajadi banyak terdapat hiburan malam dan mall terbesar di Kota Bandung yaitu PVJ. Di Kecamatan Coblong dan Cidadap banyak sekali tempat hiburan malam seperti diskotik dan pub serta kafe yang menjual minuman keras. Pada empat wilayah dampingan selalu ditemukan daerah kantong kemiskinan. Secara fisik tidak terlalu terlihat karena lokasi kantong kemiskinan ada di belakang rumah-rumah mewah serta bangunan pusat bisnis dan perkantoran. Kantong kemiskinan di wilayah Sukajadi terletak di belakang Mall PVJ sampai ke selatan dengan pemukiman padat yang berujung di sebelah utara jalan terusan Pasteur. Sementara di wilayah Kecamatan Coblong, pemukiman padat ada di sepanjang bantaran Sungai Cikapundung. Pemukiman padat di kecamatan Cidadap banyak terdapat di sebelah utara Universitas Parahyangan, di belakang terminal Ledeng, dan sebelah utara Cidadap. Terakhir, pemukiman kantong kemiskinan di kecamatan Cibeunying Kaler ada di pemukiman padat seberang PUSDAI. Menjelang berakhirnya Program Peduli pada pertengahan tahun 2019, wilayah kerja dampingan bergeser ke tiga wilayah baru yaitu Kecamatan Andir, Kecamatan Cipamokolan, dan Kecamatan Batununggal. Ketiga wilayah baru tersebut merupakan rekomendari dari Dinas Kesehatan 60
Membuka Akses dan Layanan Kesehatan yang Inklusif
Kota Bandung. Dinkes kota Bandung berkeinginan untuk meningkatkan peran puskesmas di ketiga wilayah tersebut agar bisa memberikan layanan kesehatan reproduksi bagi remaja. Rekomendasi diberikan pada KAP Indonesia, setelah melihat keberhasilan intervensi Program Peduli yang membuka akses remaja rentan dan AYLA untuk pemeriksaan kesehatan reproduksi ke puskesmas yang ada di wilayah Sukajadi dan Cibeunying Kaler. Ketiga kecamatan baru tersebut dikenal juga memiliki wilayah-wilayah padat penduduk. Misalnya wilayah Kelurahan Cibangkong yang memiliki jumlah penduduk miskin cukup besar, terutama pemukiman padat yang persis berada di belakang Mall Trans Studio. Sedangkan Kecamatan Andir sangat berdekatan dengan Saritem, satu lokalisasi yang telah ditutup. Walaupun telah ditutup beberapa tahun lalu, namun praktek prostitusi masih tetap berjalan. Berdasarkan pengalaman kerja mendampingi AYLA dan rentan AYLA, penyebab anak-anak berada pada situasi itu sangatlah kompleks. Beberapa faktor pendorong yang seringkali ditemukan adalah; 1). Pengalaman berhubungan seksual yang sangat dini, biasanya dilakukan dengan pacarnya. Biasanya kelas satu atau dua SMP sudah melakukan hubungan seksual; 2). Latarbelakang keluarga yang tidak utuh atau ada kekerasan di keluarga. Mayoritas anak dibesarkan oleh orang tua tunggal atau bahkan oleh nenek atau 61
Bambang Y. Sundayana
kakeknya; 3). Kemiskinan yang membuat anak merasa lebih nyaman di luar rumah karena rumahnya sangat sempit dan dihuni banyak jiwa atau bahkan lebih dari satu rumah tangga; 4). Pernikahan yang terlalu dini akibat Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD). KTD banyak terjadi ketika anak ada di bangku sekolah sehingga berujung pada dikeluarkannya anak dari bangku sekolah; 5). Rendahnya pengetahuan terkait kesehatan kelamin dan reproduksi karena tidak ada akses pada informasi dan pendidikan seksual yang memadai. Adapun faktor penariknya adalah: 1). Anak mendapat penghargaan/apresiasi dari lingkungan bermainnya, sementara di rumah anak tidak mendapat apresiasi bahkan cenderung diabaikan; 2). Tuntutan gaya hidup ingin memiliki barang-barang bagus atau main ke tempat-tempat tertentu. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan kota yang sangat cepat dipadu dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat sehingga menciptakan kecenderungan pola hidup konsumtif; 3). Tidak ada tindakan hukum bagi pembeli jasa seks anak sehingga permintaan akan AYLA selalu ada dan cenderung semakin tinggi; 4). Kemudahan menawarkan diri melalui online yang semakin marak, tidak bisa diawasi, dan semakin tersebunyi Anak yang menjadi dampingan umumnya berada pada lapisan ekonomi bawah. Terdapat 30% dari sekitar tigaratusan anak yang dijangkau dan didampingi sudah tidak bersekolah. Rata-rata putus di pertengahan SMA dan sebagian kecil hanya menyelesaikan SMP. Alasan putus sekolah 62
Membuka Akses dan Layanan Kesehatan yang Inklusif
sebagian karena ekonomi, tidak mampu membayar karena kebanyakan bersekolah di sekolah swasta. Alasan yang lain dikeluarkan karena dinilai melakukan kenakalan. Ada juga yang beralasan karena sudah tidak merasa nyaman berada di sekolah dengan berbagai alasan. Catatan yang menarik adalah hampir semua anak dampingan pernah dan sebagian besar masih menjadi anggota geng motor. Mereka menjadi anggota XTC, Brigez, dan Moonraker. Penting untuk dicatat bahwa ada kebiasaan yang mentradisi dari geng motor yaitu ketika ada anggota baru perempuan harus mau melakukan hubungan seksual dengan seniornya. Sedangkan untuk laki-laki harus berani berkelahi dengan anggota geng motor yang lain. Saat ini banyak pihak yang menyatakan bahwa tradisi tersebut sudah tidak ada. Namun dari beberapa cerita anak dampingan sebenarnya masih terjadi. Ada kebanggaan bagi mereka untuk bergabung dengan komunitas geng motor. Di situlah mereka menemukan kebebasan untuk berekspresi dan menunjukan eksistensinya. Komunitas geng motor menjadi satu hal yang diminati oleh anak-anak tersebut manakala pengakuan atas eksistensinya tidak diperoleh di rumah, lingkungan masyarakat, maupun sekolah. Begitu pun ketika ruang untuk berekspresi yang sesuai dengan jalan pikirannya tidak menemukan tempat. Anak yang didampingi memang tidak seluruhnya AYLA. Beberapa diantaranya rentan menjadi AYLA. Anak yang 63
Bambang Y. Sundayana
rentan ini biasanya hanya ikut nongkrong dan main-main dengan anak yang sudah menjadi AYLA. Sebenarnya latar belakang dan situasi yang dihadapi anak rentan sama saja dengan anak yang sudah menjadi AYLA. Hampir semua memiliki kecenderungan untuk menjadi AYLA. Banyak pihak yang mengasumsikan bahwa AYLA didominasi oleh anak perempuan. Namun di Bandung cukup banyak anak laki-laki dan transpuan yang dijangkau. Pembeli jasa seks anak laki-laki adalah perempuan dewasa, diantaranya adalah para pemandu lagu di karaoke, ibu rumahtangga, dan mahasiswi. Untuk transpuan sudah cukup jelas pembelinya adalah kelompok laki-laki suka laki-laki, diantaranya adalah para preman lokal di area mereka tinggal. Praktik prostitusi dilakukan di hotel-hotel kecil, apartemen dan tempat kost, memang mereka tidak banyak yang bisa terlihat secara terbuka. Namun apabila mengunjungi pusatpusat hiburan malam, mereka dengan mudah dapat ditemui. Saat ini, praktek prostitusi melalui penggunaan handphone/ gadget menjadi biasa dilakukan oleh anak-anak. Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perlindungan anak di kota Bandung yang berhubungan dengan isu anak yang dilacurkan adalah Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. Pada perda ini cukup jelas disebutkan tentang perlindungan anak, yaitu:
64
Pasal 20, ada batasan usia pengunjung;
Membuka Akses dan Layanan Kesehatan yang Inklusif
Pasal 28, pelarangan menerima pengunjung di bawah usia 18 Tahun dan harus ada pengumuman yang jelas pada Jenis usaha hiburan malam;
Pasal 73, menerangkan larangan pengunjung anak dan mempekerjakan anak.
Sedangan pada Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak, tidak dijelaskan spesifik mengenai Perlindungan Khusus, di dalam konsideran hanya menjelaskan mengenai kekerasan dan seksual. Di dalam konsideran Perda PA Kota Bandung ini tidak secara spesifik berbicara mengenai Anak yang Dilacurkan, hanya dijelaskan anak korban eksploitasi seksual. Namun dalam Penyelenggaraan Perlindungan anak: Pencegahan, Pengurangan Resiko, dan Penanganan disebutkan:
Pasal 20 - Penanganan-Sasaran penanganan kepada anak korban eksploitasi seksual komersial;
Pasal 27 - Penanganan-Layanan pemulihan sosial dan psikologis, konseling, terapi psikososial, bimbingan mental dan spiritual;
Pasal 31 - Sistem Informasi dan Data-Penyelenggaraan system informasi guna kepentingan evaluasi penyelenggaraan perlindungan anak;
Pasal 44-Sanksi-Merujuk pada UUPA 23 Tahun 2002 (kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran).
Di dalam RPJMD Kota Bandung Tahun 2014-2018, Anak yang Dilacurkan tidak disebutkan. Perlindungan anak di 65
Bambang Y. Sundayana
dalam RPJMD Kota Bandung masuk dalam aspek pelayanan umum yang lebih menitikberatkan pada Anak Jalanan. RPJMD mengacu pada PMKS (Penyandang masalah Kesejahteraan Sosial) yaitu anak jalanan, anak nakal, dan lain-lain. Pada tataran implementasi, walaupun secara eksplisit disebutkan dalam Perda Kota Bandung tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan, namun penegakan aturan tersebut tidak dilakukan. Khususnya terkait batasan usia pengunjung dan tenaga kerja di usaha hiburan malam. Tulisan yang seharusnya mengumumkan pembatasan umur sering kali tidak ada. Kalaupun ada, anak dapat masuk ke tempat hiburan malam asal sudah ada orang dewasa di dalam. Orang dewasa yang ada di dalam cukup menunjukan KTP miliknya dan anak pun bisa masuk. Kendala terhadap perlindungan anak, khususnya tentang AYLA pada aspek kebijakan lebih didasari pada belum diakuinya isu AYLA sebagai persoalan penting. Di samping itu, pemahaman aparat negara terkait isu AYLA sangat terbatas, mulai di tingkat nasional sampai ke tingkat lokal. Berdasarkan situasi ini, penerapan pasal-pasal yang sudah ada pun kurang diperhatikan oleh para aparat penegak hukum. B. Program Di dalam mencapai outcome dan contributory outcome yang telah ditetapkan, KAP Indonesia telah bekerja bersama anak-anak, masyarakat yang diorganisir ke dalam wadah 66
Membuka Akses dan Layanan Kesehatan yang Inklusif
Forum Warga di tujuh kecamatan, tujuh puskesmas, OPDOPD yang berhubungan dengan pemenuhan hak dan perlindungan anak, para jurnalis, perguruan tinggi, dan berbagai organisasi masyarakat sipil. KAP Indonesia juga mengembangkan pertemuan-pertemuan berkala dalam Kelompok Kerja (Working Group) yang menghadirkan perwakilan berbagai OPD, puskesmas, Forum Warga, dan organisasi masyarakat sipil lainnya, yang dikoordinir oleh Bappeda Kota Bandung. Walaupun KAP Indonesia telah bekerja sejak tahun 2015, upaya peningkatan kapasitas secara intensif kepada penerima manfaat dan pemangku kepentingan lainnya yang tergambarkan dalam tabel berikut, adalah data pada periode Januari 2017-Desember 2019.
*)
Total anak yang terjangkau jika dihitung dalam periode Januari 2015Desember 2019 sebanyak 303 anak dengan rincian 142 anak laki-lai, 154 anak perempuan dan 7 anak transpuan.
67
Bambang Y. Sundayana
C. Strategi dan Pendekatan Program 1. Penentuan Lokasi Kerja Kota Bandung terdiri dari 30 kecamatan dan 151 kelurahan. KAP Indonesia tidak bisa menjangkau seluruh kecamatan, namun memilih area-area yang dinilai realistis untuk bekerja. Indikator realistis salah satunya adalah sudah mengenal wilayah yang akan dijadikan area kerja serta memiliki jejaring di wilayah-wilayah tersebut. Tiga lokasi yang pertama di awal program, yaitu Kecamatan Coblong, Kecamatan Sukajadi, dan Kecamatan Cidadap Kaler; dipilih karena ada beberapa pertimbangan. Pertama, KAP Indonesia sudah bermitra dengan kader di tiga wilayah tersebut dalam program AYLA pada saat EXCEED Project tahun 2009-2013. Kedua, pada wilayah tersebut banyak ditemukan komunitas geng motor. Geng motor adalah salah satu aktivitas yang banyak diminati oleh remaja marginal dan memiliki kecenderungan melakukan perilaku seks bebas. Alasan lain adalah cukup banyak ditemukan kasus Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD). Pada pertengahan Program Peduli, wilayah kerja bertambah yaitu: Kecamatan Cibeunying Kaler, Kecamatan Garuda, Kecamatan Cipamokolan, dan Kecamatan Andir. Ada dua hal yang menjadi alasan penambahan area kerja baru, pertama karena pertemenan anak dampingan yang juga banyak beraktifitas di Kecamatan Cibeunying Kaler. Kedua, ada rekomendasi dari Dinas Kesehatan Kota Bandung untuk 68
Membuka Akses dan Layanan Kesehatan yang Inklusif
bermitra dengan Puskesmas Cipamokolan, Puskesmas Ibrahim Aji, dan Puskesmas Garuda. Dinas Kesehatan menilai bahwa Program Peduli cukup berhasil meningkatkan peran dan fungsi Puskesmas di Sukajadi, Coblong, dan Cidadap. Khususnya berperan strategis dalam persoalan kesehatan reproduksi dan seksual remaja serta adanya inovasi /terobosan program konseling yang dikembangkan petugas layanan kesehatan di puskesmas Sukajadi. Hasil analisa Dinas Kesehatan Kota Bandung, persoalan terkait kesehatan reproduksi remaja cukup menonjol di area kerja puskesmas Cipamokolan, Ibrahim Aji, dan Garuda. Oleh karena itu, Program Peduli yang dilaksanakan KAP Indonesia mulai menjangkau tiga wilayah baru tersebut. 2. Penentuan Penerima Manfaat Utama KAP Indonesia, mengacu kepada Program Peduli sebagai bagian dari upaya pengentasan kemiskinan, maka anak yang dilacurkan yang disasar adalah anak-anak yang berasal dari keluarga miskin. Pada situasi saat ini, di mana berkembang prostitusi online, namun tetap saja ada praktik prostitusi yang mengandalkan tempat mangkal, termasuk di jalanan. Biasanya ini dilakukan oleh kelompok kelas bawah. Dengan asumsi tersebut, maka penentuan penerima manfaat utama adalah menjangkau anak-anak yang mangkal terutama di jalanan. Sedangkan anak-anak rentan yang dijangkau adalah yang berada di seputar tempat mangkal atau di perkampungan yang dekat di area tersebut. Mengingat keterbatasan, 69
Bambang Y. Sundayana
jangkauan dimulai dari tiga kecamatan yang berada di Kota Bandung. 3. Pendekatan Awal ke Anak dan Masyarakat Pada awalnya, para pendamping bekerja untuk mengidentifikasi melalui outreach di area-area yang diduga menjadi lokasi-lokasi nongkrong AYLA. Penjangkauan dilakukan untuk memetakan dan mengidentifikasi anak yang terindikasi melakukan praktik prostitusi. Sekaligus mengidentifikasi orang-orang kunci yang biasanya memiliki kedekatan dengan anak-anak tersebut. Mereka bisa jadi preman, pemilik warung tempat tongkrongan, dan lain-lain. Semua informasi ini dapat menggambarkan kebiasaan keseharian anak, di mana mereka tinggal, dengan siapa anak tinggal, dimana biasanya mereka bermain/nongkrong, dan banyak informasi penting lainnya. Tentu saja informasi-informasi di atas hanya bisa didapat dengan proses kerja lapangan yang intens dengan sesering mungkin berada di lapangan dan mengajak ngobrol anakanak. Ini tidak mudah karena pekerja lapangan harus membangun rasa percaya dari anak-anak tersebut. Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan terlibat bermain bersama anak-anak tersebut. Ketika pendamping lapangan sudah dianggap bukan orang lain oleh anak-anak maka semua informasi pun akan didapatkan. Semua informasi yang terkumpul menjadi acuan strategi intervensi program, baik terhadap anak maupun orang dewasa yang berpengaruh pada anak tersebut. 70
Membuka Akses dan Layanan Kesehatan yang Inklusif
Bersamaan dengan proses outreach, pendamping pun mulai melakukan pertemuan-pertemuan rutin dengan warga masyarakat, terutama para kader, di area-area lokasi proyek. Pertemuan diarahkan selain ‘memperkenalkan’ fenomena AYLA, kehamilan remaja, geng motor, narkoba dan lain-lain; juga untuk menemukan kader yang memang memiliki komitmen mau beraktifitas untuk persoalan-persoalan tersebut. Setelah proses diskusi yang biasanya dilakukan sampai belasan kali, barulah teridentifikasi kader-kader atau warga masyarakat yang cukup rutin mengikuti diskusi dan pertemuan. Biasanya tidak lebih dari delapan orang di setiap wilayah. Bahkan biasanya cenderung untuk semakin berkurang jumlahnya. Pada titik inilah mereka diajak untuk memetakan wilayahnya berdasarkan persoalan-persoalan anak/remaja di wilayah tersebut. Sampai kemudian para kader memiliki kesepakatan untuk membangun kelembagaan untuk memayungi aktifitas mereka selanjutnya. Kelembagaan yang dibangun kemudian dikenal sebagai ‘wadah’ bagi masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap anak. D. Kegiatan-kegiatan Program 1. Pendampingan dan Penguatan Kapasitas Anak KAP Indonesia melakukan pendampingan di tiap kecamatan area kerja. Satu orang pendamping melakukan pendampingan di satu sampai dua wilayah kerja. Pendampinglah yang menjadi fasilitator bagi aktivitas-aktivitas 71
Bambang Y. Sundayana
bersama anak. Pendampingan dilakukan melalui kegiatan bersama dengan anak dan juga kader di wilayah tersebut. Berbagai kegiatan dilakukan untuk lebih mendekatkan anak yang menjadi penerima manfaat dengan para kader di komunitas serta pendamping lapang dari KAP Indonesia sendiri. Kegiatan yang dilakukan biasanya dimulai dari kegiatan yang diminati oleh anak-anak yang didampingi. Bisa berupa kegiatan jalan-jalan, main musik, membuat makanan, membuat video dan lain-lain kegiatan yang sederhana dan tidak memerlukan biaya yang besar. Memulai kegiatan dengan mengakomodir keinginan anak dampingan menjadikan anak lebih terbuka kepada pendamping KAP Indonesia maupun kader-kader di komunitas. Setelah adanya kedekatan maka diskusi-diskusi dan pemberian materi untuk meningkatkan kapasitas anak diberikan. Itupun melalui metode bermain sehingga tidak membosankan. Adapun materi-materi untuk meningkatkan kapasitas anak adalah: pengetahuan dasar kesehatan reproduksi, pengenalan hak hak anak, bahaya dan risiko mengkonsumsi narkotika, kecakapan soft skills untuk lebih memahami potensi diri dan mampu membuat perencanaan tujuan hidup kedepannya, dan lain-lain. Peningkatan kapasitas ini melibatkan pihak-pihak yang dinilai memiliki kompetensi dalam bidangnya. Misalnya untuk urusan kesehatan reproduksi maka akan diundang dokter atau bidan untuk menjadi 72
Membuka Akses dan Layanan Kesehatan yang Inklusif
narasumber dalam diskusi anak-anak. Begitu juga untuk bahaya narkotika maka akan diundang petugas dari BNN (Badan Narkotika Nasional) Kota Bandung untuk memberikan penjelasan. Metodologi kegiatan penguatan kapasitas anak dilakukan tidak hanya melalui ceramah tetapi juga dengan dialog interaktif. Bahan beberapa kegiatan dilakukan sambil melakukan simulasi melalui permainan-permainan yang tidak membuat bosan. Tidak jarang kegiatan dilakukan di luar ruangan atau sambil jalan-jalan ke alam. Beberapa kegiatan berkesenian seperti teater, musik, puisi dilakukan bekerjasama dengan penggiat seni di Kota Bandung. Misalnya pentas teater dilakukan bekerjasama dengan Selasar Sunario. Untuk puisi dilakukan dengan mengajak komunitas seni Celah Celang Langit. Begitu juga untuk kegiatan musik dilakukan dengan mengajak Ferry Curtis sebagai seorang penyanyi balada yang cukup dikenal di Bandung sebagai mentor bagi anak-anak yang berminat dalam musik. Semua kegiatan bertujuan agar menjadi daya tarik anakanak dampingan untuk lebih dekat dengan pendamping KAP Indonesia dan para kader sebagai pendamping komunitas. Kedekatan yang dibangun memudahkan proses penguatan kapasitas anak. Anak tidak merasa terpaksa untuk mengikuti kegiatan yang direncanakan oleh Program Peduli. Anak pun merasa diapresiasi kemampuannya sehingga rasa percaya diri 73
Bambang Y. Sundayana
nya meningkat. Sehingga kegiatan konseling yang dilakukan di puskesmas tidak terlalu sulit dilakukan karena ada proses awal yang mendekatkan anak dengan kader komunitas, petugas layanan dan para pendamping di KAP Indonesia. 2. Penerimaan Sosial Pada aspek penerimaan, tujuan kegiatan diarahkan agar para kader di wilayah dampingan mengenal akrab Anak yang Dilacurkan. Melalui beberapa kegiatan bersama, sedikit demi sedikit stigma terhadap anak mulai berkurang. Demikian juga dari sisi anak, mereka menjadi lebih terbuka kepada para kader. Seringkali keterbukaan dari anak muncul saat kegiatan yang informal, misalnya masak bersama, membuat rujak, membuat seblak atau melakukan kegiatan jalan-jalan bersama saat hari libur ke tempat wisata alam. Keakraban antara anak dampingan dengan para kader PATBM menjadi modal untuk mendorong anak terlibat pada kegiatan publik. Misalnya saat perayaan hari kemerdekaan, anak diajak terlibat saat Musrenbang, melakukan kegiatan bersama menyediakan takjil buka puasa dan lain-lain. Melalui model pendekatan yang seperti ini, anak bisa leluasa menceritakan keluhannya seputar keluarga atau yang lebih sering terkait hubungan anak dengan pacarnya. Pada titik inilah para kader mulai mengajak anak untuk melakukan konseling di puskesmas dan melakukan pemeriksaan kesehatan seksual dan reproduksi. Anak pun secara sukarela mengakses layanan kesehatan. 74
Membuka Akses dan Layanan Kesehatan yang Inklusif
Dalam mendukung upaya tersebut, maka para kader PATBM mendapat pelatihan untuk menjadi ‘konselor’ dalam kerangka mewujudkan Konseling Berbasis Masyarakat. Penguatan para kader dilakukan oleh para petugas layanan kesehatan maupun akademisi yang memang memiliki kapasitas sebagai konselor atau menyelenggarakan konseling. Tidak jarang para mahasiswa psikologi terlibat dalam proses penguatan para kader dalam hal konseling remaja. Adanya wadah kelembagaan maka penguatan kapasitas kader menjadi lebih terfokus pada isu-isu terkait perlindungan dan pemenuhan hak anak. Dimulai dengan memperkenalkan metode analisa wilayah dan persoalan anak dengan mengadopsi metode PRA (Participatory Rural Appraisal). Analisa wilayah dibuat berdasarkan pemetaan persoalan anak yang sudah dilakukan saat diskusi-diskusi reguler sebelumnya. Proses ini menghasilkan Rencana Aksi Masyarakat atau sederhananya susunan rencana kegiatan yang akan dilakukan oleh kader. Sebuah rencana kegiatan yang mengacu pada kebutuhan di masing-masing wilayah yang diselaraskan dengan mandat Program Peduli Inklusi Sosial. Penguatan kapasitas juga diberikan dengan materi KHA, kesehatan reproduksi, teknik menulis, teknik konseling, dan lain-lain. Tentu saja proses diatas tidak sederhana dan sangat sulit untuk digambarkan melalui tulisan. Apa yang disampaikan di atas hanya gambaran besarnya saja agar dipahami sebagai ‘prasyarat’ untuk masuk pada inti implementasi rencana kerja 75
Bambang Y. Sundayana
Program Peduli yang meliputi: peningkatan akses pelayanan publik dan bantuan sosial, peningkatan pemberdayaan dan penerimaan sosial, dan perbaikan dalam kebijakan terkait inklusi sosial. Menjadi catatan penting bahwa pemenuhan mandat program tidak akan bisa dicapai apabila proses pendekatan dan penguatan pada kader dan anak (AYLA), seperti digambarkan di atas, tidak dilakukan terlebih dahulu. 3. Memfasilitasi dan Mendorong Terbukanya Akses Layanan Pada aspek layanan, fokus intervensi KAP Indonesia ditujukan pada layanan pendidikan, akte lahir dan kesehatan reproduksi. Membuka akses layanan AYLA adalah wujud implementasi dari inklusi sosial yang menunjukan bahwa layanan dasar merupakan hak bagi setiap anak tanpa kecuali (inklusif). Pada dasarnya karena fenomena AYLA ini belum dipahami oleh publik maupun aparat penyedia layanan, seringkali pemenuhan hak anak terabaikan. Di tataran akar rumput seringkali ditemukan situasi bahwa anak maupun publik secara umum, bahkan juga aparat, tidak semua mengetahui bahwa ada hak-hak dasar yang harus dipenuhi negara kepada warganya/anak. Misalnya ketika anak tidak memiliki akte lahir, maka situasi itu dianggap biasa saja hanya karena ‘sulit’ menghadapi birokrasi dalam pengurusannya. Lebih fatal lagi ketika anak mengalami putus sekolah, kehamilan/ KTD, kekerasan seksual dan lain-lain, seringkali kesalahan ditimpakan kepada anak itu sendiri dengan kecenderungan anak mendapat stigma ‘nakal’. 76
Membuka Akses dan Layanan Kesehatan yang Inklusif
Implementasi pemenuhan hak anak seringkali menjadi persoalan. Persoalan yang umum dan mendasar adalah tingkat pemahaman tentang hak anak sangat minim dimiliki oleh semua pihak. Pertanyaan krusial adalah bagaimana hak anak bisa diakui, dipenuhi, dan dilindungi sesuai dengan mandat KHA dan UU Perlindungan Anak, ketika pengetahuan tentang hal tersebut tidak dimiliki. Pada akhirnya, kelompok-kelompok miskin dan rentan secara tidak langsung maupun langsung semakin dimarginalkan. Berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh para kader dan juga anak, mulailah melakukan diskusi-diskusi dengan stakeholder pemerintah di tingkat kelurahan dan kecamatan, pemerintah di tingkat kota, unit-unit teknis layanan publik, sekolah, perguruan tinggi, pelaku usaha yang memiliki kepedulian, dan lain-lain. Di dalam proses diskusi, anak dan kader selalu dilibatkan bahkan seringkali menjadi narasumber untuk memberikan informasi fakta lapangan. Serangkaian diskusi tersebut dilakukan, selain memperkenalkan adanya forum anak, kader/PATBM, juga menyamakan persepsi terkait fenomena AYLA dan merumuskan solusi untuk pemenuhan hak dasar mereka. Beberapa kali diskusi menjadikan fenomena AYLA dan persoalannya menjadi ‘sedikit terurai’. Data lapangan disampaikan oleh kader kepada aparat penyedia layanan seperti dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bandung untuk pemenuhan akte lahir anak dampingan yang belum memilikinya. Begitu juga terkait anak drop out dari sekolah 77
Bambang Y. Sundayana
disampaikan pada Dinas Pendidikan Kota Bandung, sehingga direkomendasikan untuk mengikuti kesetaraan di PKBM yang ada di wilayah anak dampingan. Begitu juga layanan kesehatan di puskesmas, mulai bisa diakses dengan melakukan diskusi beberapa kali dengan Dinas Kesehatan Kota Bandung dan beberapa puskesmas di wilayah kerja pendampingan. Proses membuka akses layanan tersebut tidak selalu mulus sehingga membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Butuh 2-3 tahun program untuk bisa membangun jejaring dan kesiapan semua pihak. Misalnya, persoalan regulasi belum secara eksplisit berbicara pada perlindungan dan pemenuhan hak AYLA, sehingga tidak ada anggaran di pemerintah. Persoalan lain adalah kesiapan tenaga layanan kesehatan dan sarana pemeriksaan di puskesmas. Pelayanan kesehatan reproduksi untuk AYLA harus menjamin kerahasiaan dan kemampuan petugas kesehatan melakukan pendekatan dan konseling dengan anak. Semua ini perlu waktu, penguatan kapasitas, dan komitmen dari semua pihak, terutama petugas/ aparat layanan dan kader PATBM. Catatan penting yang menarik adalah mulai terbukanya layanan kesehatan reproduksi di tingkat puskesmas bagi remaja dan khususnya anak dampingan KAP Indonesia. Melalui pendekatan yang intensif kepada dinas kesehatan dan puskesmas di wilayah dampingan, layanan pemeriksaan dan konseling remaja bisa dilakukan. Dinas kesehatan pun secara berkala melakukan pelatihan konseling pada petugas 78
Membuka Akses dan Layanan Kesehatan yang Inklusif
layanan di tingkat puskesmas dengan dukungan dari Fakultas Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Dapat dikatakan ini menjadi satu model keberhasilan pelaksanaan Program Peduli yang mendorong adanya kemitraan antara perguruan tinggi dan pemerintah untuk layanan dasar kesehatan yang inklusif. 4. Advokasi Pada tataran perbaikan kebijakan, belum secara umum berhasil mengingat keterbatasan akses KAP Indonesia pada pembuat kebijakan dan keterbatasan sumberdaya. Namun demikian ada keberhasilan kecil yang dicapai, yaitu bagaimana layanan kesehatan reproduksi remaja bisa diwujudkan di tingkat puskesmas (di wilayah dampingan). Kebijakan terkait ini sebenarnya tercantum dalam pasal 71 Undangundang RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Namun pada tataran implementasi belum banyak dilaksanakan. Program Peduli yang dilaksanakan KAP Indonesia berusaha agar mandat undang-undang ini dapat dilaksanakan dengan baik. Adanya Program Peduli telah mendorong Dinas Kesehatan Kota Bandung untuk membuat surat keputusan agar layanan ramah anak dan remaja bisa dilakukan di sebelas puskesmas di wilayah Kota Bandung. Keputusan yang menjadi titik masuk agar layanan kesehatan seksual dan reproduksi remaja dapat diakses oleh anak-anak dampingan. KAP Indonesia belum pernah melakukan advokasi kebijakan secara khusus, dalam arti memiliki agenda advo79
Bambang Y. Sundayana
kasi sendiri. Beberapa kali advokasi dilakukan sebagai bagian dari agenda bersama dengan CSO lain. Misalnya memberikan masukan pada Raperda Propinsi Jawa Barat terkait kebijakan Perlindungan Anak. Dalam prosesnya, KAP Indonesia menjadi salah satu lembaga yang diundang oleh pemerintah dan DPRD dalam beberapa kali workshop Raperda. Advokasi yang diupayakan dalam kerangka Program Peduli adalah membuka akses layanan kesehatan seksual dan reproduksi di puskesmas lokasi dampingan. Prosesnya dimulai dengan melakukan rangkaian workshop bersama Dinas Kesehatan Kota Bandung yang diikuti juga oleh puskesmas dan para kader PATBM. Dalam proses workshop tersebut disampaikan data lapangan terkait angka AYLA, angka KTD, keluhan reproduksi yang disampaikan oleh anak dampingan, dan lain-lain. Data lapangan kemudian dibuktikan oleh para Kader PATBM beserta staf lapangan KAP Indonesia dengan membawa anak untuk diperiksa di puskesmas. Pada proses pemeriksaan terhadap anak yang secara berkala dilakukan maka diketahui bagaimana mekanisme layanan kesehatan yang ‘nyaman’ bagi anak/remaja. Misalnya bagaimana Kader PATBM melakukan ‘konseling’ sederhana dan sangat informal terhadap anak/remaja yang membutuhkan layanan kesehatan; mempersiapkan anak agar dengan kemauan sendiri mendatangi puskesmas; petugas layanan kesehatan melakukan proses lanjutan konseling di puskesmas; bagaimana anak dan petugas layanan membangun komunikasi lanjutan; 80
Membuka Akses dan Layanan Kesehatan yang Inklusif
bagaimana anak merasa yakin atas kerahasiaan masalah yang dihadapinya; dan lain-lain. Melalui proses pemeriksaan, ditemukan juga persoalan di tingkat puskesmas. Beberapa hal yang menjadi tantangan puskesmas adalah tidak memiliki ruangan khusus untuk konseling anak/remaja; jam pelayanan yang tidak bisa disamakan dengan jam pelayanan umum karena anak/remaja tidak ingin bertemu dengan tetangga atau saudaranya ketika datang ke puskesmas; petugas layanan yang tidak ramah dan kurang bisa ‘membujuk’ anak/remaja sehingga mereka tidak bisa terbuka; perlunya membangun komunikasi lanjutan antara anak dengan petugas layanan di puskesmas; dan lainlain. Semua data dan informasi lapangan kemudian dibawa dan dibahas dalam workshop dengan Dinas Kesehatan, puskesmas, dan kader PATBM. Semua proses tersebut dilakukan terus menerus selama kurang lebih dua tahun. Sampai pada akhirnya puskesmas dan petugas layanannya terbiasa melakukan konseling dan pemeriksaan. Pihak Dinas Kesehatan pun akhirnya melakukan pelatihan konseling secara berkala kepada para petugas layanan di puskesmas agar lebih memahami bagaiman memberikan layanan yang baik terhadap anak/remaja. Anak terbiasa menghubungi petugas kesehatan (melalui WA) ketika merasa dirinya perlu konseling atau pemeriksaan kesehatan. Ruangan KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) di puskesmas untuk sementara bisa digunakan 81
Bambang Y. Sundayana
proses konseling. Terakhir adalah dikeluarkannya surat keputusan dari Dinkes Kota Bandung yang menetapkan adanya sejumlah puskesmas ramah anak di Kota Bandung. 5. Peningkatan Kesadaran dan Dukungan Publik Peningkatan kesadaran publik dilakukan melalui publikasi secara aktif di media sosial yang dikelola oleh KAP Indonesia. Selain itu, bekerjasama dengan Harian Pikiran Rakyat membuat workshop tentang “Etika Pemberitaan Anak yang Dilacurkan” yang menghadirkan 20 orang jurnalis (wartawan dan responden) yang bekerja di Jawa Barat. KAP Indonesia juga bekerjasama dengan bandungkiwari.com yang merupakan jaringan dari Kumparan memberkan pelatihan kepenulisan dan mengembangan media online untuk para kader komunitas (PATBM) dan juga memberkan pelatihan menulis bagi seluruh staf KAP Indonesia. Hasil tulisan dimuat di bandungkiwari.com. Selain Harian Pikiran Rakyat dan media online bandungkiwari.com yang aktif membuat pemberitaan tentang anak yang dilacurkan, berbagai isu anak yang dilacurkan dan kegiatan KAP Indonesia terpublikasikan di banyak media seperti BBC (peliputan dua AYLA yang didampingi KAP Indonesia), CNN, Kumparan, mediakita.id, m.ayobandung.com, dan jabarekspres.com. Cara lain untuk memperkenalkan isu anak yang dilacurkan dan menarik perhatian dan empati masyarakat adalah membangun komunikasi dengan berbagai organisasi 82
Membuka Akses dan Layanan Kesehatan yang Inklusif
masyarakat yang dapat dikembangkan dalam kegiatan bersama, atau menyelenggarakan acara yang menampilkan ekspresi anak (baik dalam bentuk paduan suara, pementasan teater, pameran gambar dan foto, dan sebagainya) yang dapat diakses ke publik secara luas. Anak-anak yang difasilitasi juga kerap diundang untuk mengisi acara yang diselenggarakan oleh organisasi lain. 6. Koordinasi dan Kerjasama Dalam pelaksanaan Program Peduli terdapat beberapa pemangku kepentingan yang selalu dilibatkan. Pertama adalah Ombudsman Jawa Barat yang banyak memberikan peran dalam mengkordinasikan dan membuka akses layanan publik, dalam hal ini anak, sebagaimana kewajiban yang harus dilakukan oleh dinas-dinas di pemerintahan Kota Bandung. Akses layanan dasar menajdi terbuka dan dapat diselenggarakan ‘relative’ lebih baik. Kedua adalah stakeholder Pemerintah Kota Bandung yang meliputi:
Bapelitbang yang berperan dalam mengkordinasikan kerja program dengan dinas-dinas yang langsung terkait dengan pemenuhan hak anak.
Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat (DP3APM) berperan dalam mendorong tumbuhnya PATBM serta Forum Anak.
83
Bambang Y. Sundayana
Dinas Kesehatan serta puskesmas berperan dalam memberikan penguatan petugas layanan kesehatan, membuka akses layanan kesehatan seksual dan reproduksi remaja, konseling remaja, dan memberikan penguatan kepada para kader PATBM.
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berperan dalam pemenuhan hak anak terkait Akte Lahir.
Dinas Pendidikan yang berperan dalam memberikan penguatan para kader PATBM untuk mengakses pendidikan kesetaraan bagi anak yang tidak dapat menyelesaikan pendidikan formalnya.
Kecamatan dan kelurahan yang berperan dalam mengkordinasikan dan memberikan dukungan pada kegiatankegiatan penguatan anak maupun para kader PATBM. Ketiga adalah stakeholder perguruan tinggi yang meliputi:·
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), melalui Fakultas Psikologi berperan dalam memberikan penguatan petugas layanan kesehatan dan kader PATBM dalam pelaksanaan konseling.
Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) berperan dalam memberikan penguatan kewirausahaan bagi para kader masyarakat dan anak dampingan. Keempat adalah stakeholder media yang meliputi:
84
Harian Pikiran Rakyat yang berperan dalam mendorong jurnalis memiliki kepekaan pada isu pemenuhan dan
Membuka Akses dan Layanan Kesehatan yang Inklusif
perlindungan hak anak, mengkampanyekan perlindungan anak, dan memberikan pelatihan kepada para jurnalis untuk memahami kode etik pemberitaan tentang anak.
Bandungkiwari.com yang berperan dalam pemberitaan serta kampanye perlindungan anak serta memberikan pelatihan menulis bagi kader PATBM sehingga bisa menjadi citizen journalism.
Kelima adalah para pelaku kewirausahaan yang berperan dalam menyediakan tempat bagi anak-anak dampingan melakukan magang kewirausahaan. E. Pembelajaran Keberhasilan utama dari Program Peduli adalah memperkenalkan isu Anak yang Dilacurkan kepada pemerintah dan warga sehingga mereka mengetahui keberadaan dan persoalan yang dihadapi oleh anak. Hanya saja, pemerintah di tingkat kota maupun kecamatan dan kelurahan, belum memasukkan persoalan AYLA secara khusus di dalam program kerjanya. Tampaknya hal ini disebabkan tidak satupun kebijakan perlindungan anak baik di tingkat nasional, regional, maupun lokal yang secara tegas menyebutkan AYLA sebagai satu persoalan yang harus ditangani. Model penyelenggaran layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang diintegrasikan dengan konseling anak/ remaja, bisa dikatakan sebagai sebuah keberhasilan Program Peduli. Minimal pemerintah menjadi mengerti bagaimana 85
Bambang Y. Sundayana
akses remaja pada layanan kesehatan menjadi terbuka. Penyedia layanan dasar kesehatan pun menjadi memahami bahwa layanan yang inklusif terkait kesehatan seksual dan reproduksi remaja bisa dilakukan. Secara umum, model penguatan masyarakat dan pendampingan AYLA yang telah dilakukan selama Program Peduli seharusnya bisa diadopsi oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lain. Namun karena gaung isunya belum bisa mengubah konten kebijakan perlindungan anak, maka sulit adopsi program tersebut bisa terjadi. Berdasarkan pengalaman, bekerja pada isu AYLA harus siap bekerja sendiri. Awalnya hampir semua pihak tidak mengakui bahwa AYLA ada di wilayahnya. Terlebih lagi pihak pemerintahan, baik tingkat kelurahan, kecamatan, maupun pemerintahan kota. Masyarakat pun cenderung menyatakan bahwa ‘anak-anak nakal’ itu berasal dari luar wilayahnya. Setelah hampir satu tahun berkegiatan dengan melibatkan masyarakat/kader dan pemerintah, mulai ada pengakuan terkait keberadaan AYLA tersebut. Bahkan seringkali ditemukan bahwa anak yang didampingi masih tetangga dekat para kader atau masih ada ikatan keluarga. Sempat ada satu kasus di Kecamatan Coblong bagaimana seorang kader yang sering dilibatkan dalam kegiatan program melakukan testimoni bahwa anaknya yang telah menjanda juga diduga melakukan praktek pelacuran. Sebenarnya masyarakat tahu bahwa ada orang-orang yang beraktifitas menjadi pelacur. Namun mereka belum 86
Membuka Akses dan Layanan Kesehatan yang Inklusif
memahami bahwa sebelum usianya 18 tahun maka masih dikategorikan sebagai anak. Mereka menganggap bahwa bila seseorang sudah menikah atau bahkan punya anak, dianggap sebagai orang dewasa walaupun usianya masih di bawah 18 tahun. Apabila ada anak seusia siswa SMP atau SMA yang diindikasikan sebagai AYLA biasanya hanya disebut sebagai ‘anak nakal’ saja. Walaupun pada akhirnya banyak pihak yang sudah memahami apa itu AYLA tetapi ada kecenderungan mengabaikan persoalan ini. Alasannya bisa jadi karena gengsi atas status wilayahnya yang menjadi ‘kotor’ atau karena merekapun tidak tahu harus berbuat apa untuk mengatasinya. Sepertinya masih dianggap sebagai kewajaran apabila pemikiran ini dimiliki masyarakat. Akan tetapi aparat pemerintah setingkat dinas pun masih kebingungan untuk memahami dan mencari solusi atas persoalan AYLA. Sebagai gambaran, ketika melakukan komunikasi dengan dinas sosial mereka menyatakan AYLA tidak eksplisit disebut dalam PMKS. Dampaknya apapun yang digagas tidak bisa dijalankan karena tidak ada anggaran. Bagaimanapun AYLA tidak ada dalam nomenklatur APBN maupun APBD. DP3APM (Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat) Kota Bandung adalah lembaga yang seharusnya menjadi mitra utama dalam isu hak anak. Namun karena baru berdiri di awal 2017 dengan latar belakang aparat yang beragam belum bisa secara maksimal mendukung, baik dalam tataran teknis maupun gagasan. 87
Bambang Y. Sundayana
Fokus DP3APM masih seputar isu penilaian KLA (Kota Layak Anak) sehingga kegiatan yang menjadi prioritas lebih kepada ‘memenuhi statistik’ indikator KLA. Tentunya ini menjadi tantangan bagi KAP Indonesia karena untuk berbicara substansi perlindungan anak masih terlalu jauh. Tantangan lain yang dihadapi KAP Indonesia terkait dengan stigma yang melekat pada anak-anak marjinal ini. Anggapan umum bahwa AYLA dipandang sebagai penyebab masalah sosial sehingga siapapun yang bekerja untuk mereka dipandang sebagai pembela. Seringkali secara implisit ada ungkapan kenapa mereka harus diurus kenapa tidak ‘anakanak baik’ saja yang diurus. Memberikan penjelasan kepada khalayak terkait hal ini menjadi pekerjaan berat tersendiri. Apalagi jika banyak pihak yang mengaitkan AYLA dengan isu moral. Namun ini tetap menjadi resiko yang harus dihadapi untuk mewujudkan komitmen mewujudkan kepentingan terbaik bagi anak. Tantangan utama dalam menjalankan Program Peduli sangat terkait dengan isu Anak yang Dilacurkan. Semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah belum memahami benar persoalan AYLA. Dijumpai kecenderungan semua pihak yang ‘menolak’ bahwa fenomena AYLA terjadi di wilayahnya. Padahal tidak bisa dipungkiri bahwa mereka pun mengetahui adanya indikasi tersebut. Pada isu ini, ada kecenderungan semua pihak menyalahkan anak ketika ada dalam situasi eksploitasi tersebut. Alasannya banyak sekali dihubungkan dengan perspektif moralitas. 88
Membuka Akses dan Layanan Kesehatan yang Inklusif
Situasi tersebut berdampak pada rendahnya partisipasi warga untuk terlibat di dalam kegiatan. Banyak warga yang ikut dalam setiap pertemuan tetapi sangat sedikit yang benarbenar berperan sebagai kader yang memahami dan menyambungkan kebutuhan layanan dasar anak. Kecenderungan warga masyarakat maupun pemerintah di tingkat kecamatan maupun kelurahan yang melakukan stigma terhadap AYLA masih sangat tinggi. Upaya yang dilakukan adalah dengan terus menerus memberikan edukasi kepada warga bahwa AYLA harus dipandang sebagai korban ketika dia berada dalam situasi eksploitasi tersebut. Para kader sesering mungkin diajak berkegiatan dengan anak dampingan. Tujuannya selain untuk saling memahami, juga agar bisa mengembangkan aktifitas yang positif dari kedua belah pihak. Saling mengenal melalui aktifitas bersama memudahkan penerimaan dari kedua belah pihak. Tantangan yang lain adalah persoalan birokrasi di tingkat pemerintahan. Selain karena isunya (AYLA) yang menyebabkan mereka ada dalam posisi yang ‘rumit’, juga masih memandang lembaga-lembaga non pemerintah seperti KAP Indonesia bukan sebagai mitra strategis. Pemerintah cenderung memposisikan dirinya superior dengan menganggap semua yang dikerjakannya sudah sangat baik. Seringkali informasi lapangan yang disampaikan KAP Indonesia dianggap perlu tetapi tidak pernah ada juga pemanfaatan dari data informasi lapangan tersebut dalam perbaikan kebijakan maupun program kerja perlindungan anak. 89
Bambang Y. Sundayana
Dalam konteks tersebut, upaya yang dilakukan adalah dengan terus menerus melibatkan pemerintah, sesuai dengan Tupoksi dinasnya masing-masing. Beberapa cukup responsif, misalnya Dinas Kesehatan, namun yang lain masih belum bisa berubah. Bahkan DP3APM pun yang seharusnya menjadi leading dalam urusan perlindungan anak, tidak ada perubahan signifikan. Apa yang dilakukan hanya sebagai rutinitas yang belum secara jelas menjadikan anak-anak marjinal sebagai penerima manfaat utama dari program kerja mereka. Sebagai ilustrasi, Forum Anak yang mereka dukung adalah anak-anak yang berada dan relatif berprestasi di sekolah. Anak di luar sekolah belum mendapat tempat di Forum Anak Kota. PATBM yang didukung adalah PATBM yang DP3APM bentuk. Sementara inisiatif warga mengembangkan model ‘PATBM’ tidak didorong untuk tumbuh dan diberi dukungan penuh. Melakukan pendampingan anak dan pemberdayaan masyarakat sudah bisa dilaksanakan dengan baik. Namun persoalan menarik anak dari situasi AYLA belum bisa secara signifikan dilakukan. Ternyata mengeluarkan anak dari situasinya tidak cukup hanya dengan meningkatkan kesadaran anak dan penguatan warga melalui para kader. Ada faktor penegakan hukum untuk mengkriminalisasi pembeli jasa seksual anak yang harus diperjuangkan. Kriminalisasi pembeli akan menurunkan tingkat permintaan jasa sesksual anak.
90
Membuka Akses dan Layanan Kesehatan yang Inklusif
Program Peduli belum bisa memberikan jaminan bahwa model pemenuhan layanan dasar secara inklusi untuk AYLA dapat dilakukan secara berkelanjutan. Layanan dasar pemenuhan hak anak meliputi berbagai aspek, apabila merujuk kepada KHA dan UU Perlindungan Anak. Bukan saja hanya pada pendidikan, kesehatan seksual dan reproduksi, atau layanan pemenuhan akte lahir saja. Tetapi pemenuhan pada aspek-aspek lain yang sangat luas. Semua ini perlu diperjuangkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, perlu sumberdaya besar untuk melakukan proses penguatan masyarakat agar bisa mewujudkan inklusi sosial sebagai sebuah gerakan yang diperjuangkan oleh masyarakat. Selama ini fokus program lebih kepada anak, sementara komunitas belum secara signifikan dilakukan. Sebagai sebuah program pasti memiliki keterbatasan, tetapi kalau hanya berfokus pada anak dan penerimaan masyarakat akan sulit terjadi sebuah perubahan signifikan untuk situasi AYLA di Indonesia. Saat ini belum ada kebijakan terkait perlindungan khusus untuk AYLA. Padahal mandat untuk melakukan perlindungan khusus sudah ada di dalam KHA (Konvensi Hak Anak). Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi kesepakatan global tersebut terikat untuk menjalankannya protokol perlindungan khusus. Semestinya ada kerja advokasi di tingkat nasional untuk mendorong lahirnya kebijakan yang sangat spesifik mencantumkan pencegahan dan penanganan AYLA. Kebijakan 91
Bambang Y. Sundayana
tersebut dapat menjadi menjadi payung hukum untuk advokasi kebijakan di tingkat regional dan lokal. Kebijakan yang jelas di berbagai level dapat menjamin adanya program kerja dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan AYLA secara berkelanjutan. Ketika kebijakannya belum ada maka akan sulit pemerintah mengalokasikan anggaran untuk mengembangkan program kegiatan penanganan baik di tingkat nasional maupun di daerah. Kebijakan di tingkat nasional juga bisa mendorong adanya produk hukum lain yang menyatakan bahwa pembeli jasa seksual anak adalah kriminal, sehingga harus dipidana berat. Saat ini aturan yang ada, hanya bisa memberikan sanksi hukum jika ada pelaporan dari anak, orangtua, atau tertangkap basah. Artinya kriminalisasi terhadap orang yang membeli seks pada anak-anak belum dianut dalam hukum Indonesia. Membeli seks adalah bagian dari transaksi yang ‘halal’ sehingga polisi tidak bisa mengkriminalisasi pelaku atas tuduhan membeli seks. Polisi baru bertindak jika pembeli dan anak yang menjadi obyek seks tertangkap basah di dalam kamar dan bisa dibuktikan sudah melakukan hubungan seks. Advokasi kebijakan di tingkat nasional menjadi rekomendasi penting karena berpengaruh pada berbagai upaya penanganan AYLA. Harus diketahui bahwa situasi hukum di Indonesia ternyata belum sesuai dengan hukum internasional yang mengatur masalah ini.
92
Merangkul Anak-anak Melalui Sanggar dan Komunitas Rina Nurhayati SEMAK
S
olidaritas Masyarakat Anak (SEMAK) adalah suatu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang didirikan sebagai konsekuensi dari keresahan para pendirinya terhadap kondisi anak-anak di Indonesia, khususnya anakanak yang berada di perkampungan padat di kota Bandung. Lembaga ini bersifat terbuka, independen, nondiskriminatif dan non-partisan. Didirikan sejak tanggal 11 Februari 2001 di Bandung. SEMAK berpandangan bahwa melalui peningkatan keberdayaan masyarakat dan pembentukan organisasi ber-basis masyarakat yang mandiri, akan memperbesar kesempatan anak-anak yang hidup dalam situasi sulit dan keluarganya untuk berpartisipasi secara aktif di bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik. Oleh karena itu, pandangan (visi) tersebut dijabarkan ke dalam misi guna memperkuat keberdayaan anak-anak yang 93
Rina Nurhayati
hidup dalam situasi sulit dan keluarganya, serta mendorong mereka untuk mencari cara-cara baru untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Hal tersebut akan dicapai dengan mendorong dan memperkuat keberdayaan anak-anak tersebut dan keluarganya untuk menciptakan bentuk dan membangun mekanisme untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Selain itu, melalui usaha-usaha advokasi untuk mendapatkan akses yang lebih luas terhadap layanan-layanan publik atau dengan menciptakan sendiri layanan-layanan yang mereka butuhkan, maka mereka akan mempunyai kendali penuh terhadap masa depan yang lebih cerah. SEMAK meyakini bahwa anak-anak yang hidup di kampung padat di perkotaan jika tidak mempunyai akses untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan dan masa depannya maka besar kemungkinan mereka akan berusaha mendapatkan kebutuhan dasar itu dengan bekerja di jalanan, menjadi pekerja anak dan cara-cara lainnya yang membuat mereka semakin dipinggirkan dan rentan terhadap berbagai tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi dari berbagai pihak. SEMAK juga percaya bahwa untuk memecahkan masalah di atas, tidak bisa bekerja sendiri, karena ini adalah masalah sosial. Untuk itu SEMAK bersama dengan keluarga anak dan masyarakat akan mencari jawaban bagi permasalahan untuk 94
Merangkul Anak-anak Melalui Sanggar dan Komunitas
memenuhi kebutuhan dasar bagi anak-anak dan masyarakat di lingkungannya. Di awal pendiriannya, SEMAK bekerja untuk anak-anak dan masyarakat marginal yang berada di kampung-kampung padat perkotaan dan komunitas anak jalanan yang ada di kota Bandung. Pada perkembangannya Yayasan SEMAK mengembangkan kegiatannya ke desa-desa lain di luar kota Bandung khususnya terkait tentang perlindungan anak.. A. Situasi Anak yang Dilacurkan Wilayah Kabupaten Garut di bagian utara terbelah oleh jalan Nasional III yang menghubungkan Jakarta dan Bandung dengan Jawa Tengah sampai Jawa Timur melalui jalur selatan. Daerah ini terkenal dengan wilayah yang agamis terlihat dari adanya dua pesantren besar dan puluhan pesantren kecil, serta organisasi Islam besar yang cukup aktif di wilayah ini. Wilayah ini terkenal juga dengan penghasil juara MTQ. Kegiatan harian masyarakat pun sangat kental dengan keagamaan, sangat mudah menemukan gerombolan santri dengan pakaian khas sarung dan kopiah hitam nongkrong di warung-warung pada saat mereka beristirahat. Pengajian rutin ibu-ibu nyaris tidak pernah putus siklusnya, setiap hari dapat dipastikan ada pengajian rutin ibu-ibu dengan tempat dan pemberi materi yang berbeda dari RW ke RW lain atau antar desa.
95
Rina Nurhayati
Sebagian besar warga bermata pencaharian sebagai petani, buruh tani, pedagang, pengrajin, sebagian lainnya banyak yang mengembara di kota sebagai buruh, pemangkas rambut atau pedagang keliling. Kondisi yang nyaman dan kondusif ini seperti di kebanyakan daerah pasti beriringan dengan kondisi lain yang bertolak belakang. Penghasilan dari menjadi buruh tani tidak bisa diandalkan menjadi satu-satunya sumber mata pencaharian. Di musim paceklik banyak petani yang pergi ke kota untuk menjadi buruh bangunan dan berdagang keliling. Tidak jarang suami istri pergi ke kota dan rumah hanya ditinggali oleh anak-anaknya saja, meskipun diantaranya sudah ada yang berusia dewasa. Jalan Nasional III yang melintas di Garut bagian utara memberikan banyak dampak bagi kehidupan sosial, budaya dan ekonomi. Hal yang paling terlihat adalah menjamurnya tempat usaha di pinggir jalan menjadi tanda berkembangnya perekonomian di wilayah ini mulai dari rumah makan, warung kopi, bengkel, bank, toko elektronik, mini market serta warung remang-remang (warem). Beberapa titik sepanjang jalan mulai Cijolang sampai Malangbong menjadi tempat yang tidak pernah tidur terutama di akhir minggu sejak Jumat sore sampai Minggu malam. Tatanan sosial budaya dengan sendirinya mengalami perubahan, Warem sebagai jenis usaha “rest area” tradisional berusaha mencoba bersaing dengan rest area modern. Ketika 96
Merangkul Anak-anak Melalui Sanggar dan Komunitas
menjamur rest area modern dengan menawarkan berbagai jenis oleh-oleh, toilet dan parkir luas dan fasilitas lain, warem masih bertahan dengan soft drink, bir, musik dangdut yang diputar dengan suara yang keras dan pelayan yang berdandan tebal dan berpakaian ketat. Keberadaan warem di sepanjang jalan Raya Nasional III menjadi peluang untuk anak rentan yang bekerja sebagai penunggu atau pelayan. Sebagian anak perempuan berasal dari desa-desa sekitar atau wilayah Garut bagian utara lainnya yang memiliki akses ke warem-warem. Mereka bekerja dengan jam kerja dan kondisi yang tidak layak untuk anak. Mereka mulai bekerja selepas magrib sampai selepas subuh. Para pelanggan biasanya adalah laki-laki yang sering dalam kondisi mabuk dan, tidak jarang meminta untuk melayani hasrat seksual mereka. Anak yang tidak memiliki akses ke warem mencoba mencari cara lain untuk mendapatkan uang, biasanya bukan kebutuhan yang tidak bersifat dasar, hanya kebutuhan yang berisfat sosial yaitu seperti telepon genggam dengan merek terkini, perlengkapan make-up dan jajan mereka. Namun ada juga sebagian dari mereka yang memang untuk memenuhi ekonomi keluarga, ada anak yang memang dengan sengaja dijual oleh orangtua mereka kepada bos lokal ketika anak sedang liburan sekolah, biasanya dibawa oleh bos tersebut selama beberapa hari dan kemudian bos tersebut akan membayar kepada orangtua anak tersebut.
97
Rina Nurhayati
Seiring berkembangnya teknologi, anak-anak AYLA (Anak yang di Lacurkan) di warem mulai berkurang namun bukan berarti hilang sama sekali, mereka menggunakan jejaring media sosial untuk membuat janji bertemu dengan pelanggannya. Warem hanya dijadikan pekerjaan sampingan atau dijadikan tempat janjian dengan pelanggan. AYLA yang tidak bekerja di warem sudah sejak lama menggunakan media sosial dan aplikasi berbagi pesan dan aplikasi mencari jodoh untuk mendapatkan pelanggan. Mobilitas mereka bisa mencapai Cipanas Garut bahkan Bandung dan Bandung Barat. Keberadaan anak rentan dan AYLA di wilayah Garut bagian utara nyaris tidak terlihat, keseharian mereka di masyarakat sangat biasa sepeti warga masyarakat lainnya, kecuali beberapa anak yang terang-terangan menampakkan diri. Namun bukan berarti tidak ada stigma yang tersemat, sebutan “anak nakal” dan “ublag”, sering didapatkan oleh anak-anak ini, tidak dilibatkan dalam kegiatan kemasyarakatan apalagi pembangunan menjadikan anak-anak ini dengan sendirinya memisahkan diri dan membentuk komunitasnya sendiri dampaknya mereka semakin jauh dari struktur sosial, terabaikan dan menjadi lebih rentan menjadi AYLA. B. Program dan Pencapaian Berdasarkan data periode 2017-2019, pendampingan dan peningkatan kapasitas telah menjangkau anak dan para 98
Merangkul Anak-anak Melalui Sanggar dan Komunitas
pemangku kepentingan lainnya seperti tergambarkan dalam tabel berikut ini:
1. Strategi dan Pendekatan Program Strategi dan pendekatan program yang dilakukan oleh SEMAK adalah berbasis komunitas. SEMAK menempatkan personelnya untuk tinggal dan menetap di tiga desa yang menjadi lokasi program. Dengan demikian, relasi SEMAK dengan masyarakat menjadi sangat intens. Pengamatan atas situasi dan kondisi sehari-hari, dialog-dialog informal dengan masyarakat dan anak-anak, memperkaya pengetahuan SEMAK sehingga dapat menentukan strategi dan pendekatan yang lebih tepat.
99
Rina Nurhayati
2. Penentuan Lokasi Kerja Sejak tahun 2013, Yayasan Solidaritas Masyarakat Anak (SEMAK) bekerja bersama anak dengan disabilitas (AdD) di Kabupaten Garut terutama di Kecamaan Pakenjeng, Singajaya, Tarogong Kaler, Cibatu dan Cilawu. Keberadaan pendamping SEMAK di Kabupaten Garut dengan sendirinya mensinyalir adanya permasalahan lain bagi anak selain permasalahan bagi AdD. Salah satu yang mejadi perhatian para pendamping adalah di Garut kota mereka sering menemukan anak yang dilacurkan (AYLA) dan pekerja anak termasuk anak jalanan. Pada saat mendapatan kesempatan bekerja bersama AYLA, SEMAK langsung memutuskan memilih Kabupaten Garut berdasarkan pada temuan-temuan sebelumnya. Serangkaian diskusi dengan Dinas Sosial Kabupaten Garut, beberapa organisasi non pemerintah dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) kerja menjadi ruang untuk menggali informasi sebanyak mungkin mengenai AYLA. Penentuan lokasi kerja di Kabupaten Garut bagian utara terutama Limbangan dan Selaawi, merupakan rekomendasi yang dihasilkan dari diskusi-diskusi tersebut. Ada tiga desa yang ditetapkan sebagai pusat kegiatan. 3. Penentuan Penerima Manfaat Utama SEMAK menempatkan tiga orang personil untuk tinggal di tiga desa. Masing-masing menyewa rumah yang selain dijadikan sebagai tempat tinggal, juga dijadikan sebagai pusat 100
Merangkul Anak-anak Melalui Sanggar dan Komunitas
kegiatan anak-anak dan masyarakat sekaligus sebagai pusat informasi. Pengamatan dan pengenalan dengan anak-anak memudahkan identifikasi anak-anak yang diduga telah dijerumuskan ke prostitusi dan juga anak-anak yang dinilai rentan. Kedua kelompok ini yang menjadi prioritas dalam penjangkauan program. Mengingat basis yang digunakan adalah masyarakat, SEMAK juga melibatkan anak-anak yang lain untuk terlibat dalam kegiatan anak dengan mengembangkan Sanggar Inklusif. 4. Pendekatan Awal ke Anak dan Masyarakat Semakin jauhnya kelompok anak yang dilacurkan dengan pergaulan masyarakat sekitar membuat semakin sulitnya anak-anak ini dijangkau, bahkan sulit terdeteksi keberadaannya. Tidak heran jika kemudian keberadaannya disangkal oleh perangkat dan tokoh masyarakat, mereka hanya diakui sebagai anak-anak nakal yang sering berkumpul sambil bermain gitar atau mabuk, tanpa tahu lebih jauh apa yang terjadi dengan anak-anak rentan ini. Ketika SEMAK mulai menemukan kelompok ini dan mulai begaul dengan mereka, tuduhan-tuduhan negatif pun melekat pada SEMAK sebagai lembaga yang melegalkan dan melindungi prostitusi. Di tahap awal, hal ini menjadi tantangan tersendiri karena dukungan dari tokoh masyarakat dan pemerintah setempat dan masyarakat secara umum sangat minim. Untuk mengatasi hal tersebut, personil SEMAK intens mengadakan kunjungan dari rumah ke rumah, dialogdialog informal di berbagai ruang, sehingga secara perlahan 101
Rina Nurhayati
ada perubahan cara pandang kepada SEMAK dan mulai tumbuh kegelisahan dan perhatian terhadap berbagai persoalan anak di desa mereka sendiri. Untuk anak-anak, SEMAK menyediakan rumah yang disewa sebagai tempat berkumpul dan berkegiatan bagi anakanak dan juga masyarakat. Untuk anak kemudian dikembangkan ke dalam sanggar dan forum anak, sedangkan untuk masyarakat diorganisir ke dalam wadah yang dinamakan Komite Pendidikan Masyarakat Desa (KPMD). C. Kegiatan-kegiatan Program 1. Pendampingan dan Penguatan Kapasitas Anak Pendampingan dan penguatan kapasitas anak dilakukan melalui berbagai kegiatan yang dipusatkan di sanggar di setiap desa wilayah program. Sanggar ini bersifat inklusif, semua anak diperkenankan untuk berkegiatan, baik anak rentan, AYLA, anak sekolah, anak putus sekolah, kaya-misin, anak pesantren ataupun bukan, juga termasuk anak-anak disabilitas. Di awal pendirian sanggar SEMAK masih dominan mengelola kegiatan anak, di tahun-tahun selanjutnya KPMD dan anak-anaklah yang lebih berperan menentukan kegiatan di sanggar. Seminggu sekali tiga sanggar ini membuat kegiatan bersama atau hanya saling mengunjungi agar anakanak saling mengenal dan berkomunikasi.
102
Merangkul Anak-anak Melalui Sanggar dan Komunitas
Dalam satu hari kegiatan resmi sanggar hanya berlangsung tidak lebih dari dua jam, selebihnya anak-anak di masing-masing sanggar hanya bermain dan bercerita, sesekali ada anak yang saling mencurahkan isi hati baik sesama anak maupun kepada pendamping, dalam hal ini pendamping SEMAK atau KPMD yang mereka percaya. Kegiatan resmi sanggar yang bersifat vocational merupakan hasil diskusi penggalian minat dan bakat anak bersama KPMD dan anak. Kegiatan tersebut di antaranya belajar tata boga, tata rias, tata busana dan penggunaan komputer, semua kegiatan ini dibimbing oleh tutor lokal warga setempat. Sedangkan kegiatan resmi lain berdasarkan pada hasil penggalian masalah sebelumnya, kegiatan tersebut di antaranya peningkatan kecakapan hidup melalui kegiatan 3R (Right, Responsibility and Representative), pengenalan Hak Anak untuk anak dan KPMD, pengenalan prinsip kesetaraan gender untuk anak dan KPMD, pengenalan kesehatan reproduksi untuk anak dan KPMD dan diskusi pengasuhan yang baik untuk KPMD. KPMD selalu dilibatkan dalam kegiatan peningkatan kapasitas agar KPMD mampu menyebarkan kemampuannya kepada masyarakat ditempat mereka tinggal. Kegiatan lain yang dilaksanakan di sanggar adalah kegiatan yang menghasilkan karya-karya anak seperti pembuatan buletin “ILALANG”, pembuatan film pendek, atau menulis cerita sambil mempraktikkan hasil belajar komputer.
103
Rina Nurhayati
Proses saling mengenal dan saling mendekat antar anak justru terjadi setelah kegiatan selesai atau sebelum kegiatan resmi dimulai, anak dari berbagai latar belakang dan kondisi yang berbeda lambat laun bisa saling menerima saling mengunjungi dan saling berbagi cerita. Untuk mempercepat proses pengenalan anak, SEMAK dan KPMD sering mengadakan acara rekreasional di luar ruangan atau permainan kelompok bersama anak dari tiga desa. Di periode awal pembentukan sanggar, peranan SEMAK masih tinggi, namun kemudian secara perlahan dapat diambil alih oleh masyarakat sendiri yang terorganisir dalam wadah KPMD. Kegiatan anak juga mendapat perhatian dari istri Bupati, yang sering berkunjung dan terlibat dalam kegiatan, memberkan bantuan berupa komputer, mesin jahit dan alatalat lain untuk kegiatan di sanggar. Pernah pula anak-anak diundang untuk berbuka puasa di pendopo rumah dinas Bupati. 2. Penerimaan Sosial SEMAK menyadari bahwa istilah anak yang dilacurkan (ESKA) masih dianggap sensitif oleh masyarakat umum, termasuk pula oleh aparat pemerintah. Masyarakat dan pemerintah setempat menolak anggapan bahwa di wilayah mereka ada kelompok anak yang dilacurkan. Ketika mulai berinteraksi dengan anak-anak yang dilacurkan, reaksi masyarakat dan tokoh masyarakat masih negatif. Mereka bahkan menganggap bahwa SEMAK mentolerir atau mendukung keber104
Merangkul Anak-anak Melalui Sanggar dan Komunitas
adaan mereka. Bahkan di salah satu desa, ada yang berniat untuk mengusir personil SEMAK dari desa mereka. Keuntungan dari model live-in yang dilakukan SEMAK, memungkinkan untuk berinteraksi secara mendalam dengan masyarakat. Ruang-ruang pertemuan informal di warungwarung, kunjungan dari rumah ke rumah, termasuk ke para tokoh masyarakat, secara perlahan membuka ruang kesadaran baru tentang pentingnya perlindungan anak. Pertemuanpertemuan kecil mulai diselenggarakan untuk membahas persoalan-persoalan anak dan desa mereka dapat dilakukan secara mendalam. Hingga akhirnya disepakati perlu adanya wadah untuk memperjuangkan kepentingan anak. Melalui proses ini, akhirnya dibentuk wadah dengan nama Komite Pendidikan Masyarakat Desa (KPMD) Setelah KPMD terbentuk, SEMAK mendorong untuk dilakukan pemetaan terhadap persoalan anak-anak. Sebagian di antara mereka melakukan pengamatan terhadap kehidupan di warung remang-remang, sehingga pada suatu pertemuan terlontar pernyataan “iya, ternyata ada anak yang dilacurkan di sini.” Penguatan kapasitas KPDM dilakukan melalui serangkaian pelatihan, diskusi, studi banding, dan pelibatan dalam kegiatan-kegiatan di luar desa mereka. Pelatihan dan diskusi di antaranya terkait dengan Konvensi Hak Anak, gender, kesehatan reproduksi, pengasuhan, perencanaan pembangunan dan sebagainya. Sedangkan pelibatan dalam kegiatan yang diselenggarakan pihak lain terutama dalam Program Peduli 105
Rina Nurhayati
yang diselenggarakan oleh Yayasan SAMIN ataupun oleh The Asia Foundation. Interaksi dengan orang-orang di luar komunitas mereka, semakin menambah keyakinan tentang pentingnya untuk melakukan sesuatu bagi anak-anak mereka. Hal ini melahirkan keyakinan diri dan keberanian untuk memperjuangkan kepentingan anak saat mereka dilibatkan dalam Musrenbangdes ataupun saat terlibat dalam pertemuan-pertemuan dengan OPD Kabupaten Garut. Pada proses ini tumbuh kader-kader yang sangat aktif dan meluangkan sebagian besar waktunya untuk kepentingan anak. 3. Memfasilitasi dan Mendorong Terbukanya Akses Layanan Fokus dalam membuka akses layanan, di tingkat kabupaten SEMAK melalui pertemuan working group mendorong OPD-OPD untuk memberikan kemudahan layanan dasar bagi anak-anak kelompok marginal, termasuk anak yang dilacurkan. Sedangkan upaya untuk mendapatkan layanan, SEMAK mendorong peran kader KPMD. Sebagai contoh adalah KPMD mendata dan mengurus pencatatan kelahiran dari anak-anak yang belum memiliki yang berada di desa mereka sendiri. Dari tiga desa, sejak tahun 2017, para kader telah mencatatkan kelahiran anak-anak dan telah menerima 300 lembar salinan akta kelahiran. Kerjasama KPMD dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Garut masih berlangsung hingga saat ini.
106
Merangkul Anak-anak Melalui Sanggar dan Komunitas
4. Advokasi SEMAK terlibat dalam advokasi untuk pemenuhan hakhak anak dan perlindungan anak baik di tingkat desa ataupun di tingkat kabupaten. Di tingkat desa, kader-kader KPMD selain dilatih tentang KHA dan isu perlindungan anak, juga dilatih tentang perencanaan dan penganggaran desa. Hal ini membuat mereka siap untuk berperan aktif dalam proses penyusunan RPJMDes. Di sisi lain, kepala desa dan camat yang dilibatkan dalam working group di tingkat kabupaten dalam pembahasan isu perlindungan anak, ketika ada usulan-usulan terkait dengan program anak, mendapat dukungan dari mereka sehingga penganggaran dana desa untuk perlindungan anak dapat mendukung kegiatan-kegiatan KPMD. Pemerintah desa dan kecamatan juga sering memberikan kontribusi untuk pelaksanaan Program Peduli termasuk pula penyediaan fasilitas untuk dipergunakan. Sedangkan di tingkat kota, SEMAK turut mendorong percepatan disahkannya Perda tentang penyelenggaraan perlindungan anak, melalui penyelenggaraan seminar dan lokakarya tentang Peraturan Daerah untuk Perlindungan anak di Kabupaten Garut yang diselenggarakan pada akhir 2015. Seminar dan lokakarya ini menghadirkan pembicara Diah Kuriasari (Ketua P2TP2A dan istri Bupati Kabupaten Garut), dr. Hani Firdiani (istri Wakil Bupati Kabupaten Garut) dan Distia Aviandari, SH sebagai fasilitator lokakarya.
107
Rina Nurhayati
Pada akhir 2016 Kabupaten Garut mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2016 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan yang ditindaklanjuti dengan surat keputusan Bupati mengenai pembentukan Gugus Tugas KDRT di tingkat kecamatan dan Satuan Tugas KDRT di tingkat desa. Untuk tingkat desa seluruh sekdes diharuskan menjadi ketua Satgas KDRT karena sekdes mempunyai peran penting dalam penyusunan anggaran untuk isu perlindungan anak. Berdasarkan kajian SEMAK bersama beberapa NGO di Garut, Perda tersebut belum mengakomodir isu perlindungan AYLA atau ESKA secara khusus padahal dalam beberapa pasal, isu AYLA atau ESKA memungkinkan untuk dimasukkan dalam Perda tersebut. 5. Peningkatan Kesadaran dan Dukungan Publik SEMAK tidak secara khusus mendesain kegiatan ini. Peningkatan kesadaran dan dukungan publik lebih diutamakan untuk masyarakat di wilayah program dengan meningkatkan peran para kader KPMD untuk aktif mensosialisasikan tentang KHA, perlindungan anak, dan isu kelompok anak marginal. 6. Koordinasi dan Kerjasama Koordinasi dan kerjasama yang dirintis oleh SEMAK dilakukan melalui audiensi dengan pihak-pihak terkait, dan juga membuat pertemuan berkala yang melibatkan pe108
Merangkul Anak-anak Melalui Sanggar dan Komunitas
merintah yang diwakili oleh OPD-OPD, pemerintah tingkat kecamatan dan desa serta organisasi masyarakat sipil. Pada pertemuan pertama, dihadiri oleh Bupati Garut, yang menyambut baik adanya Program Peduli di Kabupaten Garut. Pernyataan dukungan Bupati berpengaruh mengurangi kecurigaan atau penolakan di desa-desa yang menjadi lokasi program. Pada awal program, intensitas kerjasama lebih banyak dilakukan dengan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Garuts yang juga mengorganisir pertemuan berkala (working group) yang membahas masalah perlindungan anak dan upaya mencapai Kabupaten Layak Anak di Garut. Setiap pertemuan menghasilkan keputusan atau rekomendasi yang kemudian akan ditindalanjuti, seperti mendorong percepatan lahirnya Perda Penyelenggaraan Perlindungan Anak. Perkembangan kemudian seiring dengan perubahan Tugas Pokok dan Fungsi OPD, kerjasama SEMAK diarahkan ke Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBPPPA) Kabuoaten Garut. Di luar pertemuan berkala, SEMAK menjalin kerjasama dengan DPPKBPPPA menyelenggarakan kampanye “Inklusi Sosial dan Perlindungan Anak” yang dikemas dalam acara seremonial seperti Peringatan Hari Anak Nasional, Hari Keluarga Nasional, Pelatihan atau kegiatan lain seperti P2WKSS yang diisi dengan materi perlindungan anak dan PATBM. 109
Rina Nurhayati
Selain merespon kasus-kasus anak yang muncul, pertemuan berkala dari working group ini juga mempercepat lahirnya kebijakan dan juga kemudahan akses layanan dari lembaga-lembaga layanan untuk anak-anak kelompok marginal, seperti pencatatan kelahiran. D. Pembelajaran Adanya dukungan yang besar dari Pemerintah Kabupaten Garut, dalam hal ini pasangan Bupati H. Rudi Gunawan, SH., MH., MP dan Wakil Bupati dr. Helmi Budiman, dengan menyerukan anjuran kepada SKPD agar mendukung Program Peduli dengan program dari masingmasing SKPD, tentu saja sangat berpengaruh besar terhadap kelancaran pelaksanaan program. Faktor ini pula yang mempermudah SEMAK untuk berkoordinasi dan bekerja sama dengan Ketua P2TP2A, DPPKBPPPA, BAPPEDA, Disdukcapil, kecamatan dan desa. Situasi ini merupakan pengalaman pertama SEMAK, yang melampaui harapan. Selama ini, biasanya SEMAK mengalami kegagalan dalam menjalin komunikasi dan kerjasama dengan pemerintah di kabupaten-kabupaten yang lain. Keterbukaan pemerintah, terutama dalam isu yang oleh banyak pihak dinilai sensitif dan cenderung disembunyikan, patut mendapat penghargaan, dan akan memberikan kontribusi besar bagi tercapaianya inklusi sosial bagi anak/masyarakat kelompok marginal menuju perubahan yang lebih baik bagi semua.
110
Merangkul Anak-anak Melalui Sanggar dan Komunitas
Kepercayaan dan apresiasi dari pemerintah kabupaten Garut terwujud pula dalam bentuk permintaan keterlibatan SEMAK dalam Program terpadu Peningkatan Peranan Wanita menuju Keluarga Sehat Sejahtera (P2WKSS) di Desa Dano Kecamatan Leles Kabupaten Garut, yang merupakan salah satu desa paling tertinggal. SEMAK juga dilibatkan dalam program “Garut Menuju Kabupaten Layak Anak”, kader perlindungan anak dan perempuan di setiap desa, dan penanganan kasus anak. Garut akhirnya untuk pertama kalinya dapat masuk menjadi Kabupaten Layak Anak tingkat Pratama pada tahun 2018. Pada peringatan Hari Keluarga Nasional 2019 pemerintah Kabupaten Garut memberikan penghargaan kepada SEMAK, PATBM Limbangan Timur dan Pemerintah Desa Limbangan Timur sebagai “Lembaga Penyelenggara Perlindungan Anak”. Apresiasi didapatkan juga oleh PATBM Cirapuhan, yang merupakan daerah replikasi Program Peduli, dengan diundangnya dua kader penggerak untuk terlibat dalam Jambore Aktivis PATBM Se-Jawa Barat Para kader masyarakat di tingkat desa sudah banyak berperan, dan sebagian sudah dimasukkan ke dalam lembaga BPD, sehingga isu perlindungan anak, termasuk AYLA diharapkan dapat menjadi perhatian serius dalam program pembangunan di tingkat desa. Permasalahan atau hambatan di dalam pelaksanaan program adalah isu AYLA atau ESKA masih dianggap sebagai isu yang sensitif, dan dapat menimbulkan penolakan jika suatu 111
Rina Nurhayati
wilayah dikatakan memiliki persoalan tersebut. Sedangkan model Inklusi Sosial, dapat diterima. Di dalam pengembangan di tingkat desa, SEMAK dapat bekerja secara optimal, namun untuk kepentingan di tingkat kabupaten, ada hambatan jarak yang terlalu jauh. Komunikasi melalui telepon belum tentu sepenuhnya efektif. SEMAK mengharapkan ke depan ada program yang lebih serius memberikan dukungan dengan waktu yang panjang sehingga target-target dapat dicapai dengan baik. SEMAK pun berharap dapat tetap melanjutkan programprogram dengan dukungan dari pemerintah Kabupaten Garut.
112
Memperkuat PATBM di Wilayah Eks Lokalisasi Ahriani S YKPM
Y
ayasan Pengkajian Pemberdayaan Masyarakat (YKPM) adalah salah satu organisasi NonPemerintah di Kota Makassar yang memiliki visi mewujudkan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan, berdasarkan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang secara alamiah di masyarakat. Guna mencapai visi tersebut, telah dirumuskan misi sebagai berikut: 1. Mendorong terwujudnya kesejahteraan kehidupan masyarakat marginal khususnya sektor miskin perkotaan dan pesisir. 2. Mendorong masyarakat untuk berperan dan mengambil bagian dalam proses pembangunan secara partisipatif dan demokratis. 3. Mendorong upaya kesetaraan gender dalam proses pengambilan keputusan.
113
Ahriani S
4. Membangun dan memfasilitasi kemampuan masyarakat dalam menguatkan kapasitas pengetahuan dan keterampilan dalam kerangka menuju kemandirian melalui Pendidikan Demokrasi. Isu anak, merupakan salah satu yang menjadi perhatian YKPM dalam pengembangan programnya, yang dinilai sesuai dengan visi dan misi. Bentuk keseriusan YKPM dalam memperhatikan isu anak adalah dengan mengembangkan kebijakan perlindungan anak, SOP yang memuat tentang perlindungan anak seperti dalam perekrutan staf memasukkan persyaratan tertulis pernyataan tidak memiliki riwayat berhubungan dengan hukum sebagai pelaku kekerasan, eksploitasi dan penelantaran dan perlakuan salah terhadap anak, yang ditindaklanjuti dengan penelusuran riwayat kriminal calon staf. A. Situasi Anak yang Dilacurkan di Kota Makassar Di Kota Makassar terdapat kurang lebih 150 tempat hiburan malam, yang hampir seluruhnya memiliki pekerja seks, termasuk yang masih berumur anak (AYLA). Beberapa titik atau hotspot yang menjadi lokasi tempat mangkal di jalanan ada di titik-titik strategis di kota, di antaranya berada di Jalan Veteran Utara hingga ke Jalan Bandang, lorong 42 dan lorong 45, Jalan Abubakar Lambogo, di sini juga terdapat AYLA yang mangkal di pinggir jalan raya. Tarif para AYLA/RAYLA ini beragam, mulai Rp.150.000,bahkan dapat menjadi lebih rendah. 114
Memperkuat PATBM di Wilayah Eks Lokalisasi
Berbeda dengan kecenderungan di kota-kota lain, tempat mangkal atau ruang pertemuan anak yang dilacurkan dengan pengguna justru tidak terjadi di tempat hiburan malam seperti kafe, bar, atau diskotik. Meskipun tempat ‘mangkal’ di pinggir jalan berada di daerah pusat hiburan, anak tidak lantas masuk dan berkumpul di bar atau diskotik tersebut. Menurut beberapa pengakuan anak dan salah satu dari lembaga penanganan HIV/AIDS Kota Makassar, di luar jalanan, mereka seringkali melakukan kumpul-kumpul di ruang yang lebih privat misalnya kost, atau apartemen. Anak dapat terjerumus ke prostitusi karena dijual oleh temannya sendiri baik laki-laki maupun perempuan. Mereka biasanya berasal dari perkampungan-perkampungan miskin, dengan kondisi tidak mendapatkan pendidikan yang baik, terbatas akses layanan sosial, kesehatan, dan kurangnya perlakuan yang adil. Anak-anak dari perkampungan miskin ini sering mendapat stigma dari masyarakat umum. Kondisi keluarga dan situasi yang dialami, dan stigma yang dilekatkan membuat anak cenderung mengalami depresi, sehingga mencoba keluar dari situasinya. Sayangnya, lingkaran pergaulan di luar, justru semakin menambah persoalan dengan kebiasaan menggunakan Elagke sejenis obat yang diminum sehingga anak cenderung melukai dirinya sendiri dan kejang-kejang, mengkonsumsi lem, dan masuk ke dalam hubungan seks bebas. Selanjutnya, untuk menjaga kesenangan tersebut, anak mudah dijerumuskan ke prostitusi oleh kawan-kawannya sendiri. Merasa mendapat uang dengan mudah, untuk menutupi 115
Ahriani S
dari keluarga dan lingkungan masyarakatnya, anak cenderung menutup diri. B. Program dan Pencapaian Keterlibatan YKPM di dalam pelaksanaan Program Peduli telah dimulai sejak tahun 2015. Hanya pada periode 2015-2016, YKPM berada di bawah koordinasi LPKP Malang. Selanjutnya pada periode 2017 hingga 2020, pelaksanaan program di bawah koordinasi Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN). Program Peduli dipusatkan di lorong-lorong yang diidentifikasi memiliki persoalan anak yang sangat kompleks. Pencapaian tiga outcome yang ditetapkan dalam Program Peduli yakni pemberdayaan dan penerimaan sosial, pemenuhan layanan dasar serta perbaikan kebijakan, dilakukan dengan menjangkau anak-anak yang dilacurkan sebagai penerima manfaat utama, anak-anak sebaya yang dinilai rentan, masyarakat di seputar wilayah program, dan OPDOPD terkait. Guna peningkatan kesadaran dan dukungan publik, pendekatan juga dilakukan kepada jurnalis agar memiliki perhatian terhadap isu anak dan membuat pemberitaan yang sensitif terhadap kepentingan anak. Berdasarkan data periode 2017-2019, pendampingan dan peningkatan kapasitas telah menjangkau anak dan para pemangku kepentingan lainnya seperti tergambarkan dalam tabel berikut ini:
116
Memperkuat PATBM di Wilayah Eks Lokalisasi
C. Strategi dan Pendekatan Program 1. Penentuan Lokasi Kerja YKPM memusatkan kegiatannya di tujuh lorong di perkampungan miskin dengan kriteria dikenal sebagai daerah tempat tinggal bagi anak-anak yang memiliki berbagai persoalan, termasuk eksploitasi seksual dalam hal ini adalah anak yang dilacurkan. 2. Penentuan Penerima Manfaat Utama Penerima manfaat utama adalah anak-anak yang diidentifikasi atau diduga menjadi korban prostitusi yang tinggal di lorong-lorong yang menjadi pusat kegiatan. Selain itu, anak-anak yang memiliki berbagai persoalan yang dinilai rentan dapat dijerumuskan ke prostitusi juga menjadi sasaran penerima manfaat. 117
Ahriani S
3. Pendekatan Awal ke Anak dan Masyarakat YKPM merekrut para kader yang telah lama berinteraksi dan dinilai memiliki kemampuan memadai untuk menjalankan program yang tinggal di lorong atau sekitar lorong yang menjadi wilayah kerja. Dengan demikian, tenagatenaga lapangan dari YKPM adalah kader setempat yang tentunya mengenal secara mendalam situasi dan kondisi kehidupan masyarakat termasuk anak-anak di wilayahnya. D. Kegiatan-kegiatan Program 1. Pendampingan dan Penguatan Kapasitas Anak Pendamping lapangan YKPM direkrut dari orang-orang setempat yang dinilai memiliki kapasitas memadai untuk menjalankan program. Keuntungannya, para pendamping ini sangat mengenali situasi dan kondisi anak-anak dan masyarakat setempat. Proses perkenalan tidak perlu lagi dilakukan, yang sering membutuhkan waktu yang panjang. Pendamping membuka rumah mereka sebagai pusat kegiatan anak-anak yang ada di wilayah tersebut. Selain mengikuti kegiatan yang terjadwal, pendamping membuka rumah mereka bagi anak-anak yang datang di luar jadwal kegiatan walau sekedar untuk berbincang, yang kerap berlanjut pada “curhat” tentang persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Pendamping juga memanfaatkan pertemuan dengan anak untuk mengetahui informasi-informasi tentang situasi yang berkembang di antara anak-anak. Dengan 118
Memperkuat PATBM di Wilayah Eks Lokalisasi
demikian, respon dapat cepat dilakukan jika diketahui adanya anak-anak yang tengah memiliki masalah. Anak-anak kemudian diorganisir ke dalam Forum Anak. Peningkatan kapasitas yang dilakukan adalah pelatihan tentang perencanaan pembangunan dan ruang partisipasi yang dapat dimanfaatkan untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Selanjutnya YKPM memfasilitasi agar anak-anak dapat hadir dan terlibat dalam pertemuan-pertemuan perencanaan di tingkat Kota Makassar. 2. Penerimaan Sosial Tugas yang diberikan kepada pendamping adalah memastikan lingkungan permukiman memberikan dukungan kepada anak-anak yang ada di lingkungan permukiman. Pada kelompok anak yang dinilai memiliki “perilaku menyimpang”, yang biasanya dilekatkan stigma terhadap kelompok anak tersebut, diupayakan mengalami perubahan menjadi perhatian dan kepedulian sebagai bentuk tanggung jawab masyarakat. Pendamping bersama forum peduli anak dan pemerintah lokal (RT/RW) mengembangkan aturanaturan perlindungan anak berbasis lorong. Keterlibatan berbagai pihak dalam menyusun aturan guna menghindari pelanggaran, mengingat dalam tradisi budaya masyarakat Makassar, Bugis, Mandar dan Toraja ada yang disebut “siri” yang artinya malu. Jika membuat aturan sendiri dan melanggarnya, maka ada timbul perasaan malu. 119
Ahriani S
Forum Peduli Anak berhasil dibentuk di setiap lorong. Mereka berperan untuk memfasilitasi kegiatan anak-anak, memfasilitasi sekolah Kejar Paket A, B, dan C melalui PKBM, membuka ruang pengaduan anak, dan merespon dengan cepat jika terjadi kasus-kasus yang menimpa anak. Peningkatan kapasitas kader untuk pengetahuan dan keterampilan agar dapat berperan dalam mempromosikan hakhak anak dilakukan melalui pelatihan tentang gerakan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat, Pelatihan KHA, rangkaian diskusi di lorong-lorong tentang berbagai masalah anak, penguatan kelembagaan organisasi yang dibangun, dan YKPM juga memfasilitasi penyusunan Kebijakan Perlindungan Anak di tingkat lorong. 3. Memfasilitasi dan Mendorong Terbukanya Akses Layanan Mengingat bahwa Kota Makassar adalah satu kota yang mendapat penghargaan Kota Layak Anak, untuk menjaga dan meningkatkan peringkat, maka diperlukan langkahlangkah yang menunjukkan perhatian dan kemajuan dalam perlindungan anak. Peluang ini dimanfaatkan oleh YKPM untuk mendorong OPD-OPD yang terkait untuk membuka kemudahan akses layanan. POKJA Anak yang berhasil dibentuk yang melibatkan 19 OPD, dapat menjadi tempat untuk mendorong OPD-OPD tersebut mempertimbangkan kepentingan anak atau membuat program dan anggaran untuk kepentingan anak, termasuk dalam pemberian layanan. 120
Memperkuat PATBM di Wilayah Eks Lokalisasi
4. Advokasi Hubungan baik yang telah terjalin antara personel YKPM dengan pemerintah Kota Makassar terutama terkait dengan program-program pembangunan selama ini, hal tersebut memudahkan upaya untuk mempromosikan perlindungan anak di dalam setiap perencanaan pembangunan kota. YKPM merupakan salah satu organisasi yang aktif terlibat dalam mendorong lahirnya kebijakan peraturan daerah tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak (Nomor 5 tahun 2018) dan juga terbitnya Peraturan Walikota tentang Perlindungan Anak. Melalui serial diskusi guna meningkatkan pemahaman ASN di dalam penyusunan perencanaan program pembangunan yang sesuai dengan Renja dan Renstra OPD serta mengarah pada kebijakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs) secara nasional khususnya untuk mencapai tujuan 1.5. dan 10, isu-isu pemenuhan hak dan perlindungan anak dimasukkan dalam rencana OPD tersebut. YKPM juga berhasil mendorong terbentuknya Kelompok Kerja untuk Anak, yang melibatkan 19 OPD yang memasukkan atau mempertimbangan kepentingan anak-ana di saat mengembangkan perencanaan dan penganggaran di masingmasing OPD.
121
Ahriani S
Berbagai proses pembelajaran ini membuat integrasi pembangunan terkait denggan perlindungan anak semakin membaik dan mencerminkan terbangunnya integrasi antara, pemerintah, NGO, pihak swasta dan multi-stakeholders lainnya. Ini juga mendukung pergerakan pembangunan kerangka strategis melalui pendekatan perencanaan yang tersusun denggan baik yaitu: Adanya Rencana Aksi Daerah Penanggulangan Kemiskinan, Rencana Aksi Daerah Perlindungan Anak, Rencana Aksi Daerah SDGs, Rencana Aksi Daerah Pengurangan Resiko Bencana, yang kesemuanya terintegrasi dalam satu pendekatan pembangunan. 5. Peningkatan Kesadaran dan Dukungan Publik Peningkatan kesadaran dan dukungan publik yang dilakukan oleh YKPM adalah membangun komunikasi dengan jurnalis agar dapat membuat pemberitaan tentang situasi dan respon yang dilakukan dengan berita yang sensitif terhadap kepentingan anak. 6. Koordinasi dan Kerjasama YKPM telah mengembangkan bagan untuk mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat di dalam pelaksanaan Program Peduli.
122
Memperkuat PATBM di Wilayah Eks Lokalisasi
E. Pendidik Sebaya - AYLA Tugas dan masing masing peran dalam program ini sudah dikelompokkan, sehingga peran lembaga hanya sebagai katalisator, hal ini dilakukan agar terjadi gerakan yang berkesinambungan di tingkat warga dan wilayah, gambaran gerakan dapat dilihat di atas dan peran masing masing kelompok kunci sebagai berikut:
NGO, lembaga anak, pers, akademisi berperan membangun gerakan melalui diskusi-diskusi dan menjadi gerakan masyarakat sipil dalam konteks gerakan bersama dengan tujuan yang sama dan saling memberikan support pada hal-hal tertentu baik pengetahuan, informasi dan pencegahan.
Pendidik sebaya/anak yang dilacurkan juga memberikan peran penting selain mengetahui keterlibatan teman123
Ahriani S
temannya juga untuk membantu menghentikan jaringan kerja dari para mucikari yang dikenal sangat tertutup dan tersembunyi. Melalui informasi anak itu sendiri maka diketahuilah jaringan mucikari tersebut, selain itu anak yang sudah mendapatkan pendampingan dan terbangun kemampuannya berani melakukan pencegahan bagi kawan sebayanya agar tidak terjebak dalam jaringan anak yang dilacurkan (menjadi korban).
Task force atau forum multi-pihak yang terdiri dari Walikota, OPD/SKPD, Kelompok Masyarakat (organisasi kemasyarakatan seperti LPM, Organisasi Pemuda, RT/ RW, FKPM dll) aktif melakukan koordinasi pencegahan pelacuran anak di wilayah yang lebih luas, lintas kabupaten/kota dan juga melakukan pencegahan.
Kelompok masyarakat peduli anak yang dilacurkan merupakan ujung tombak gerakan ini karena berada di lingkungan di mana anak berada. Perannya adalah membangun koordinasi di wilayah mereka pada tingkat lorong dan membangun kesadaran kolekif serta melakukan pencegahan dini dan pelaporan.
F. Pembelajaran YKPM menilai tidak ada hambatan mendasar yang dirasakan karena strategi yang dikembamgkan sejak awal adalah melibatkan multi-pihak dalam penerapan program dan kader warga yang terlibat terlihat antusias dengan terus melakukan penyadaran di kampung/wilayahnya masingmasing. 124
Memperkuat PATBM di Wilayah Eks Lokalisasi
Sedangkan tantangan yang dihadapi dalam bekerja bersama untuk anak yang dilacurkan:
Beberapa kasus sangat sulit memastikan status seorang anak apakah dia AYLA atau bukan, namun dengan pendekatan yang dilakukan melalui champion, hal ini dapat diidentifikasi.
Area hotspot yang menjadi sasaran program adalah daerah yang sangat rawan kriminalitas dan jadi wilayah peredaran narkoba.
Salah satu area yang menjadi hostspot sasaran program, selama ini tidak pernah tersentuh oleh pemerintah maupun LSM, sehingga kecurigaan masyarakat terhadap orang asing yang masuk masih tinggi.
Kebanyakan AYLA dilindungi oleh pihak yang mempekerjakan mereka.
Keberhasilan yang dicapai yang dapat menjadi bahan pembelajaran adalah:
Penjangkauan terhadap AYLA mesti melibatkan remaja di lingkungan sasaran program, dengan pelibatan AYLA menjadi mudah mengenali dan menjangkau korban.
Keberadaan tokoh yang dapat menggantikan posisi orang tua di lingkungan program harus diidentifikasi terus menerus, mengingat tokoh tersebut dapat dijadikan pintu masuk untuk menjangkau AYLA.
SKPD cepat memahami kebutuhan anak.
125
Ahriani S
Kebijakan responsif dengan masuknya permasalahan AYLA di dalam kebijakan.
Sedangan hal yang belum dicapai adalah mengembangkan strategi yang dapat mempengaruhi kebijakan yang berkelanjutan di tingkat masyarakat guna membangun gerakan bersama dan kepedulian Aparatur Sipil Negara (ASN) yang jumlahnya mencapai kurang lebih 15.000 orang terhadap persoalan hak-hak anak. Strategi-strategi yang dapat dikembangkan antara lain: a. Penguatan kapasitas lembaga dalam pendampingan dan penjangkauan AYLA/RAYLA oleh OPD di Kota Makassar. b. Membangun komunikasi dan kerja sama dengan legislatif dan pemerintah di Kota Makassar untuk sharing pembelajaran ke pihak yang berminat (kabupaten/kota lainnya di Indonesia). c. Membangun komunikasi intensif dengan para pihak di masyarakat untuk membuka ruang agar AYLA dan keluarga dapat diterima oleh masyarakat dan tidak mendapat stigma negatif. d. Melakukan penjangkauan dan pendampingan AYLA/ RAYLA. e. Membangun kerjasama dengan para pihak lain sepeti media dan akademisi/perguruan tinggi, swasta, stakeholder kunci di masyarakat. f.
126
Kampanye pencegahan terjadinya AYLA/RAYLA melalui media sosial, poster dan leafleat.
Memperkuat PATBM di Wilayah Eks Lokalisasi
g. Membangun jaringan pengaduan memanfaatkan aplikasi. h. Promosi dan publikasi inovatif melalui pameran pembanguan inklusi sosial. Di tingkat nasional hal yang perlu ditindalanjuti adalah: 1. Menindak lanjuti gerakan yang dilakukan tiap NGO dalam program peduli menjadi gerakan nasional. 2. Mereplikasi model model keberhasilan di setiap NGO menjadi gerakan bersama. 3. Melakukan sharing session dengan pihak lainnya pada wilayah yang belum di jangkau dengan melibatkan multi-pihak.
127
Ahriani S
128
Membangun Perubahan Melalui Pendampingan dan Advokasi Dewi Astri Sudirman Children Crisis Centre
C
hildren Crisis Centre (CCC) adalah sebuah organisasi sosial yang dideklarasikan tanggal 13 Maret 2007. Ini didasari oleh kenyataan maraknya kasus-kasus kekerasan terhadap anak, dan meningkatnya anak yang berkonflik dengan hukum. Pada tanggal 6 Desember 2007, CCC resmi berdiri secara legal sebagai jawaban atas kebutuhan adanya organisasi yang peduli terhadap permasalahan anak di Provinsi Lampung. Keberadaan CCC dinilai mendapat apresiasi yang positif bukan hanya dari pemerintah daerah namun juga masyarakat yang terlihat dari dukungan dukungan yang mereka berikan sampai pada hari ini. Visi CCC adalah adanya penegakan hak dan perlindungan terhadap hak-hak anak. Hal ini tidak hanya ditujukan kepada penyelenggara negara sebagai pemangku kewajiban, melainkan juga 129
Dewi Astri Sudirman
berbagai elemen seperti keluarga, masyarakat, private sektor dan berbagai organisasi masyarakat sipil lainnya selaku pihak yang bertanggung jawab, juga kepada anak-anak yang menjadi subyek hak. Pemahaman dan kesadaran akan pemenuhan hak anak dan perlindungan anak diharapkan penegakan hak dapat terwujud dan kehidupan anak-anak menjadi lebih baik. Untuk mencapai visi tersebut, CCC memiliki beberapa misi yang saling berkaitan dan saling melengkapi satu sama lain yaitu: 1. Adanya sistem negara yang memberikan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak anak. Negara sebagai pemegang kewajiban terhadap upaya perlindungan, pemenuhan maupun penghormatan hak anak memiliki program kerja, peraturan perundang undangan/kebijakan maupun anggaran yang ramah terhadap anak sampai pada tingkat organisasi perangkat daerah yang paling bawah. 2. Terwujudnya kesadaran dan peran serta masyarakat dalam memberikan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak anak. 3. Terbangunnya jaringan yang efektif untuk advokasi hak anak. Jaringan yang dibangun bukan hanya di tingkatan lokal namun juga nasional dengan berjejaring melibatkan CSO, ormas, masyarakat, private sektor, media serta pihak pihak lain yang memiliki misi yang sama untuk mencapai tujuan. 130
Membangun Perubahan Melalui Pendampingan dan Advokasi
4. Menguatnya kapasitas kelembagaan CCC untuk mencapai tujuan. Kapapasitas lembaga yang kuat, secara efektif dapat mempercepat tujuan yang ingin dicapai. Menguatnya kapasitas kelembagaan ini meliputi sumberdaya manusia, sumber dana, sarana dan prasarana penunjang maupun jaringan. A. Situasi Anak yang Dilacurkan di Kota Bandar Lampung Kota Bandar Lampung merupakan Ibukota Provinsi Lampung yang menjadi pusat kegiatan pemerintahan, sosial, politik, pendidikan dan kebudayaan, juga sebagai pusat perdagangan dan jasa terbesar di propinsi ini. Kota ini terletak di wilayah strategis karena merupakan daerah transit kegiatan perekonomian antar Pulau Sumatera dan Pulau Jawa, sehingga menguntungkan bagi pertumbuhan dan pengembangan kota. Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak pada 5’20’ sampai dengan 5’30’ lintang selatan dan 105’28 sampai dengan 105’37 bujur timur dengan batas batas wilayah meliputi: 1. Di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Natar Kabupaten Pesawaran. 2. Di sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Lampung. 3. Di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Gedung Tataan dan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran.
131
Dewi Astri Sudirman
4. Di sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan. Ibukota Provinsi Lampung ini berada di Teluk Lampung yang terletak di ujung selatan Pulau Sumatera. Sedangkan, luas wilayah mencapai 197,22 km yang terdiri dari 13 kecamatan dan 98 kelurahan yang dihuni 812.133 jiwa yaitu 409.433 laki-laki dan 402.700 perempuan. Sebagai kota transit yang berada di ujung pulau Sumatera yang menghubungkan Pulau Jawa melalui Pelabuhan Bakauheni, posisi Bandar Lampung menjadi strategis dan keberadaan pelabuhan barang yang berskala internasional, dinamika kehidupan di sekitar pelabuhan tidak pernah sepi dalam 24 jam. Tidak didapat data atau informasi tentang awal mula keberadaan anak-anak di prostitusi. Pada saat ini, keberadaan anak-anak tersebut tampaknya semakin marak, bahkan usianya sudah semakin muda, yakni adanya anak-anak yang masih aktif bersekolah di tingkat pertama (SMP). Secara historis, ibu kota Propinsi Lampung adalah Teluk Betung. Setelah itu diganti dengan Kota Bandar Lampung, dan pusat kota berpindah ke Tanjungkarang. Pada sekitar tahun 1960 Kecamatan Teluk Betung menjadi pusat pelabuhan kapal barang dan kapal penumpang. Ramainya mobilitas di pelabuhan menjadi pemicu bermunculnya tempat-tempat hiburan yang disertai dengan tumbuhnya perempuan-perempuan yang disebut Pekerja Seks Komersial (PSK). 132
Membangun Perubahan Melalui Pendampingan dan Advokasi
Namun, keberadaan pelabuhan Teluk Betung tidak berlangsung lama. Meningkatnya volume bongkar muat dan mobilitas penumpang, dinilai pelabuhan ini tidak layak lagi. Kemudian, pelabuhan kapal barang bergeser ke Kecamatan Panjang yang kini dikelola oleh PT Pelindo II Panjang. Sedangkan pelabuhan penumpang dan kargo pindah ke Kabupaten Lampung Selatan, Bakauheni. Meskipun Pelabuhan Teluk Betung sudah ditutup tetapi kawasan tersebut terlanjut memiliki julukan ‘Jalan Berlubang’ yakni Jalan Yos Sudarso. Sepanjang jalan ini banyak dijumpai warung remang-remang, diskotik, tempat karaoke dan panti pijat. Tidak jauh dari kawasan itu, terdapat prostitusi ‘Jalan Baru’ yang letaknya persis didepan pintu Pelabuhan Pelindo II Panjang serta lokalisasi ‘Pantai Harapan’ letaknya bersebelahan dengan pelabuhan. Kedua lokalisasi tersebut mulai ramai dan terkenal di masyarakat pada tahun 80-an hingga akhirnya kemudian atas desakan masyarakat mendorong Pemerintah Kota Bandar Lampung menerbitkan sebuah perda untuk menutup tempat tersebut melalui Perda No. 15 tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila dalam Wilayah Kota Bandar Lampung. Sebagaimana halnya dengan kebanyakan kota lain, walau secara formal ditutup, namun ekslokalisasi tersebut tetap menjalankan aktivitasnya sebagai tempat praktik prostitusi. Di luar itu, diketahui pula tempat-tempat lain yang dijadikan sebagai tempat praktik prostitusi yakni di Kecamatan Tanjungkarang Pusat dan Tanjungkarang Timur, tepatnya di Pasar Seni Enggal yang masuk Kelurahan Enggal. Dari tahun ke tahun 133
Dewi Astri Sudirman
lokasi jumlah PSK tak pernah surut, tercermin dari data razia yang dilakukan oleh Dinas Sosial dan Pol PP. Selain PSK, di antaranya diketahui masih dalam batas umur anak-anak. Penyebaran tempat-tempat mangkal tidak hanya terkonsentrasi di lokasi-lokasi tersebut melainkan mulai merambah ke hotel-hotel, karaoke, mall-mall, terminal, di jalan-jalan protokol, kafe-kafe dipusat kota. Anak Yang Dilacurkan (AYLA) di Kota Bandar Lampung diketahui sebagian berasal dari luar kota. Umumnya dilatarbelakangi kondisi ekonomi keluarga terbatas, putus sekolah dan kondisi keluarga kurang harmonis dan kebanyakan anak kurang mendapat perhatian oleh keluarga bahkan ada yang cendung membiarkan aktivitas anak karena dianggap kegiatannya dapat membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Ada berbagai faktor risiko yang mendorong anak dapat dijerumuskan ke dunia prostitusi. Hal ini patut dicermati sebagai dasar untuk menentukan strategi-strategi pencegahan, identifikasi anak, dan juga upaya pemulihan psiko-sosial dan re-integrasi sosialnya. Faktor-faktor pendorong: a. Kondisi ekonomi khususnya kemiskinan baik di wilayah perkotaan dan pedesaan. b. Disintegrasi keluarga karena perceraian, pembiaran dan budaya kekerasan dalam pola pengasuhan anak. c. Budaya konsumtif.
134
Membangun Perubahan Melalui Pendampingan dan Advokasi
d. Ketidaksetaraan gender dan perilaku diksriminatif bagi anak perempuan miskin. e. Anak perempuan dianggap menjadi beban dan terpaksa berhenti sekolah karena menikah muda atau hamil. f.
Anak perempuan dibebankan untuk membantu ekonomi keluarga sehingga anak bekerja sebagai PRT, sales, karyawan salon, panti pijat, anjal dan lain sebagainya.
g. Putus sekolah atau tidak adanya kesempatan pendidikan. h. Pengaruh lingkungan antara lain tempat tinggal anak dekat dengan wilayah prostitusi, orangtua yang bekerja sebagai PSK, pergaulan bebas (seks bebas), pengaruh teman sebaya. i.
Anak terlantar yang ditinggalkan orangtua karena kasus perceraian, anak PSK yang ditelantarkan, orangtua meninggal dunia, orangtua menjadi pecandu narkoba, orangtua menjadi buruh migran hingga orang tua yang bermigrasi menjadi pekerja seks keluar daerah hingga keluar negeri kemudian meninggalkan anaknya dengan keluarga dan pengasuhan seadanya.
j.
Jeratan hutang juga menjadi salah satu faktor pendorong anak terpaksa terjerumus dalam dunia prostitusi dan pengantin muda. Seperti dipaksa menikah bahkan dijual ke rumah bordil oleh orangtua bahkan orang terdekat anak.
135
Dewi Astri Sudirman
Sedangkan faktor-faktor penariknya, antara lain: a. Jaringan prostitusi yang mengorganisir industri seks yang melakukan perekrutan anak-anak ke dunia prostitusi. b. Pengaruh teman sebaya, hal ini bisa terjadi bila adanya bisnis prostitusi atau jaringan prostitusi yang melibatkan anak (teman sebaya), dimana anak tersebut terlibat dalam dalam proses rekruitmen anak-anak yang lain untuk dijadikan pekerja seks. c. Adanya ketakutan terhadap penyakit menular seksual hingga HIV/AIDS membuat tingginya permintaan pelanggan terhadap pekerja seks usia muda. Perkembangan yang terjadi di Bandar Lampung, sebagaimana terjadi pula di kota-kota lain adalah pola kegiatan anak yang dilacurkan yang tidak selalu harus memiliki tempat mangkal. Perkembangan teknologi dengan fasilitas alat komunikasi yang semakin murah dan beragam aplikasi yang dapat digunakan, maka komunikasi antara anak yang dilacurkan dan para PSK dapat terjadi secara langsung tanpa perantara. Ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan keberadaan anak-anak yang dilacurkan semakin tersembunyi, sehingga menyebabkan kesulitan untuk mendata besarannya. Sehubungan dengan hal tersebut CCC memfokuskan wilayah ekslokalisasi menjadi pusat kegiatan terlaksananya Program Peduli, yaitu yang berada di kelurahan Panjang Selatan dan Kelurahan Way Lunik. Terkait dengan kebijakan-kebijakan yang dinilai berhubungan dengan isu anak dalam hal ini adalah anak yang 136
Membangun Perubahan Melalui Pendampingan dan Advokasi
dilacurkan, RPJMD Kota Bandar Lampung 2016 – 2021 yang memuat tentang isu strategis pembangunan di mana salah satu poinnya adalah pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, tidak terumuskan adanya anak yang dilacurkan sebagai isu yang perlu ditangani. Sesungguhnya ini dapat dimasukkan ke dalam rencana strategis sebagai upaya menjadikan Kota Bandar Lampung sebagai kota layak anak. Perda Kota Bandar Lampung Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak, terkandung pasal yang menyebutkan tentang kekerasan dan eksploitasi (beberapa pasal menyebut tentang eksploitasi seksual). Pasal yang dapat dikaitkan dengan anak yang dilacurkan adalah pada pasal 11 ayat 91), hurug (h), (j) dan (l) sebagai berikut: (h) menyebutkan anak korban eksploitasi seksual; (j) menyebutkan anak yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPPO), dan; (l) menyebutkan anak yang berada dalam situasi atau terlibat dalam pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak. Sedangkan ruang lingkup penyelenggaraan perlindungan anak terdapat dalam pasal 4 yang meliputi: a. pencegahan; b. pengurangan resiko;
137
Dewi Astri Sudirman
c. penanganan (pendampingan hukum, psikologi, konseling, dan layanan kespro); d. pemulangan dan reintegrasi sosial. Ada peluang bagi AYLA/ESKA untuk mendapatkan pelayanan yang diatur di dalam semua pasal terkait pencegahan, pengurangan resiko, penanganan dan pemulangan dan reintegrasi sosial. Terlebih apabila isu AYLA/ESKA dimasukkan ke dalam kategori eksploitasi seksual dan atau kekerasan seksual. Kebijakan lain yang dapat berhubungan dengan AYLA adalah Perda Kota Bandar lampung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandar Lampung. Perda tersebut belum secara spesifik menjabarkan tentang upaya perlindungan maupun pencegahan terhadap anak khususnya anak yang dilacurkan termasuk penjabaran tentang pembatasan usia anak. Namun demikian dalam Perda tersebut terdapat pasal yang mengatur tentang anak secara tekstual. Pada pasal 61 angka 3 huruf R yang menyatakan bahwa “khusus untuk pengusaha tempat hiburan malam wajib melakukan pencegahan terhadap pengunjung di bawah umur masuk ke tempat usahanya. Selain itu pasal 61 angka 3 huruf S yang menyatakan bahwa “mencegah pengunjung di bawah umur 21 (dua puluh satu) tahun membeli dan mengkonsumsi minuman beralkohol di lingkungan tempat usaha. Namun dalam perda ini tidak mengatur tentang larangan anak untuk menyewakan kamar tanpa dampingan orang tua. Hal itu 138
Membangun Perubahan Melalui Pendampingan dan Advokasi
justru diatur dalam Perda Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak. B. Program dan Capaian Sejak tahun 2015, melalui Program Peduli, CCC telah melakukan pendampingan bagi AYLA melalui kegiatan inklusi sosial anak yang dilacurkan di Kota Bandar Lampung, khususnya di dua ekslokalisasi yang pada kenyataannya masih beroperasi sebagai tempat praktik prostitusi. Program ini menyasar kepada tiga capaian yaitu penerimaan sosial, pemenuhan layanan dasar serta perbaikan kebijakan dengan melakukan intervensi pada pemerintah daerah, masyarakat maupun anak dan teman sebaya sebagai penerima manfaat langsung. Intervensi program yang diimplementasikan oleh CCC menjadi suatu capaian keberhasilan yang tidak terlepas dari pekerjaan pendampingan yang komprehensif sejak dari penjangkauan hingga ke berbagai bentuk intervensi yang dilakukan. Selain itu dukungan masyarakat bagi AYLA berupa penerimaan sosial, advokasi pemenuhan hak anak serta pendampingan kasus serta pembangunan fasilitas ruang bermain anak juga upaya pencegahan lainya menjadi faktor pendukung bagi AYLA keluar dari situasi AYLA. Tentunya keberhasilan program tersebut membutuhkan energi, biaya cukup besar serta keterlibatan banyak pihak hingga anak dapat keluar dari situasi tersebut. 139
Dewi Astri Sudirman
Berdasarkan data periode 2017-2019, pendampingan dan peningkatan kapasitas telah menjangkau anak dan para pemangku kepentingan lainnya seperti tergambarkan dalam tabel berikut ini:
Sebagai catatan, anak-anak yang difasilitasi adalah kelompok umur 12-17 tahun. Dan di dalam perjalanan program, dari sejumlah anak yang dinilai rentan, diketahui ada delapan anak yang dijerumuskan ke prostitusi dan empat anak laki-laki terjebak menjadi kurir dan pencandu narkoba. C. Strategi dan Pendekatan Program 1. Penentuan Lokasi Kerja CCC memfokuskan wilayah kerjanya di Kelurahan Panjang Selatan dan Kelurahan Way Lunik, yang keduanya 140
Membangun Perubahan Melalui Pendampingan dan Advokasi
berada di Kecamatan Sepanjang. Pilihan atas kedua lokasi ini didasarkan keberadaan ekslokalisasi, yang pada kenyataannya tetap hidup sebagai tempat praktik prostitusi. Diduga anak-anak yang tinggal di seputar lokalisasi rentan terpapar dan dijerumuskan ke prostitusi. Walaupun secara resmi tidak ada data tentang keberadaan anak-anak yang melakukan kegiatan di dalam ekslokalisasi, tapi tempat tersebut menjadi ruang transaksi pengguna dan perantara/mucikari, jika ada yang meminta anak, dan hubungan seksual harus dilakukan di tempat lain. Diasumsikan, di wilayah ini, CCC akan lebih mudah untuk menemukan anak yang diidentifikasikan berada di dalam prostitusi dibandingan yang melakukan kegiatan melalui media sosial atau aplikasi komunikasi yang dapat berhubungan langsung antara anak dengan pengguna. Sebagai tempat praktik prostitusi, ada persoalan diskriminasi dan stigma terhadap masyarakat dan anak-anak yang tinggal di seputaran lokalisasi. Masalah lain yang dihadapi oleh anakanak, adalah kekerasan, penelataran, pelecehan seksual, perdagangan anak hingga bisnis narkoba yang melibatkan anak sebagai kurir narkoba yang menjadi mata rantai kehidupan di seputar ekslokalisasi yang harus diputus untuk mencegah timbulnya korban-korban baru. Atas pertimbangan tersebut CCC melakukan pendampingan di wilayah tersebut untuk menarik AYLA dari situasi yang tereksklusi.
141
Dewi Astri Sudirman
2. Penentuan Penerima Manfaat Utama CCC berdasarkan hasil identifikasi memfokuskan penerima manfaat utama, dalam hal ini adalah anak-anak yang dilacurkan yang tinggal di seputar wilayah ekslokalisasi, dan melibatkan anak-anak rentan yang juga berada di wilayah tersebut. 3. Pendekatan Awal ke Anak dan Masyarakat Setiap lembaga tentunya memiliki strategi dan pendekatan tersendiri yang bahkan bisa berbeda ketika akan memasuki suatu wilayah tertentu dan dengan wilayah lainnya. Apalagi jika memasuki suatu wilayah yang dinilai dapat mengancam keselamatan personil/staf lembaga, dalam hal ini tempat yang dijadikan sebagai praktik prostitusi. Di tempat semacam ini, beragam karakter orang hadir dengan berbagai kegiatannya untuk mendapatkan penghasilan baik untuk dirinya atau untuk kelompok tertentu. Prostitusi adalah bisnis dengan perputaran uang yang besar, melibatkan berbagai kepentingan ekonomi lain yang menyertainya seperti warung-warung, jasa laundry, jasa parkir, persewaan kamar, dan sebagainya. Untuk itu, CCC harus berhati-hati untuk masuk ke dalamnya. Strategi yang digunakan adalah bekerjasama dengan Dinas Sosial Kota Bandar Lampung bersama Kader Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) yang berada di dua wilayah ekslokalisasi tersebut. Dengan strategi ini, setidaknya meminimalisir kemungkinan penolakan ataupun ancaman dari para preman ataupun 142
Membangun Perubahan Melalui Pendampingan dan Advokasi
mucikari. Pemetaan situasi, identifikasi tokoh-tokoh yang berpengaruh, situasi anak-anak, dapat dilakukan lebih aman. CCC dapat melakukan kunjungan dari rumah ke rumah tokoh-tokoh setempat, melakukan pengamatan, dan berdialog dengan anak-anak secara lebih bebas. D. Kegiatan Program 1. Pendampingan dan Penguatan Kapasitas Anak Penguatan kapasitas anak yang dilacurkan dilakukan melalui dua pendekatan, yakni pendekatan personal dan pendekatan kelompok. Peningkatan kapasitas anak dilakukan melalui berbagai bentuk kegiatan seperti edukasi, konseling anak dan keluarga, reintegrasi dan pemulangan, vocational training, life skill, hingga mendorong minat kewirausahaan bagi AYLA. 2. Penerimaan sosial Pendekatan yang dilakukan kepada masyarakat adalah dengan mempromosikan isu hak anak dan perlindungan anak di dalam dialog-dialog informal maupun dalam pertemuan-pertemuan warga. Kunjungan ke rumah para tokoh masyarakat guna mendapatkan dukungan, tidak berjalan dengan lancar dan memerlukan waktu yang cukup panjang. Ada pandangan saat mendiskusikan tentang anak yang dilacurkan, CCC ditempatkan sebagai lembaga yang mendukung adanya anak yang dilacurkan. Saat kemudian berhasil mengorganisir masyarakat yang (akan) memberi143
Dewi Astri Sudirman
kan keperdulian terhadap persoalan anak ke dalam wadah yang diberi nama Komite Pendidikan Masyarakat (KPM), masih dijumpai adanya tokoh yang memberikan label negatif kepada CCC, walaupun perkembangannya justru menjadi penggerak aktif di dalam mempromosikan perlindungan anak dan upaya untuk mencegah serta menarik anak-anak yang sudah dijerumuskan ke prostitusi. 3. Mendorong Terbukanya Akses Layanan Upaya yang dilakukan adalah mendorong dan menjalin kerjasama dengan Puskesmas Panjang agar anak-anak mendapatkan kemudahan dalam layanan kesehatan dan juga melibatkan mereka untuk turut aktif memberikan pendidikan kesehatan reproduksi anak dan remaja rentan, hingga memfasilitasi terbentuknya konselor kesehatan reproduksi teman sebaya. Layanan lain terutama ditujukan kepada anak yang tengah menghadapi kasus adalah bekerjasama dengan Rumah Perlindungan Trauma Centre (RPTC) yang berfungsi memberikan dukungan penanganan psikologi dan rumah aman bagi AYLA. Di tempat ini, ada tim psikolog yang memberikan konseling individu dan kelompok bagi AYLA untuk penguatan anak dalam menghadapai kasus yang sedang yang dihadapi. 4. Advokasi Perubahan kebijakan diarahkan di tingkat lokal dan di tingkat kota. Pada tingkat lokal (kelurahan di wilayah 144
Membangun Perubahan Melalui Pendampingan dan Advokasi
program), CCC berhasil mendorong tercapainya komitmen yang melibatkan masyarakat, para mucikari di dua ekslokalisasi, perwakilan kelurahan, kecamatan, dan juga aparat keamanan, dengan membuat pernyataan bersama yang berisi: a. Membatasi aktivitas anak di lokalisasi dengan membuat jam malam anak di atas pukul 21.00. b. Pemilik kafé dan karaoke dilarang melibatkan/mempekerjakan anak-anak pada bisnis atau usaha tersebut. c. Orangtua dan masyarakat didorong dan berkewajiban mengontrol aktivitas anak-anak di wilayah lokalisasi di atas pukul 21.00. Dalam upaya pencegahan atau proteksi mengurangi aktifitas anak di wilayah lokalisasi, KPM bersama pemerintah tingkat kecamatan dan stakeholder lainya membuat kesepakatan bersama tersebut di atas karena lebih mudah dan efektif dilakukan sebab hanya melibatkan tokoh lokal. Disadari bahwa di tingkat implementasi kesepakatan ini tidak memiliki kekuatan hukum. Di tingkat kota, CCC berperan aktif mendorong adanya perubahan kebijakan ataupun memunculkan program yang terkait dengan perlindungan anak. Hal ini seperti keterlibatan di dalam berbagai upaya untuk mendorong pengesahan kebijakan terkait dengan perlindungan anak, seperti audiensi/ hearing kunjungan dan lobby ke legislatif maupun pemerintah. Kebijakan yang muncul seperti: Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 02 Tahun 2016 Tentang 145
Dewi Astri Sudirman
Penyelenggaraan Hak Anak dan Perwali Kota Bandar Lampung Tentang Kota Layak Anak. Selain itu masih didorong segera disahkannya Perda tentang Kota Layak Anak ataupun Perwali tentang Perlindungan Anak. 5. Peningkatan Kesadaran dan Dukungan Publik Publikasi atas kegiatan dari CCC dilakukan melalui media sosial. Hubungan dekat dengan beberapa jurnalis juga dimanfaatkan agar mereka membuat pemberitaan yang sensitif terhadap anak atas situasi dan kegiatan CCC bersama anak, masyarakat dan pemerintah. 6. Koordinasi dan Kerjasama Koordinasi dan kerjasama antara kelompok masyarakat sipil (CCC dan Ornop lainnya), para OPD dan organisasi masyarakat termasuk forum anak, terhimpun dalam suatu forum komunikasi sebagai wadah koordinasi reguler. Pertemuan yang berlangsung setiap tiga bulan sekali dimaksudkan untuk mensinergikan upaya-upaya yang telah dilakukan berbagai pihak dalam perlindungan anak, khususnya dalam hal ini adalah anak yang dilacurkan. Pertemuan ini juga untuk menyambungan komunikasi organisasi masyarakat/forum anak dengan lembaga-lembaga penyedia layanan. Pada pelaksanaan program peduli, di tahun 2015, CCC bekerjasama dengan Dinas Sosial Kota Bandar Lampung melakukan sosialisasi tentang perlindungan anak dan AYLA di wilayah eks-lokalisasi Pantai Harapan dan Pemandangan. 146
Membangun Perubahan Melalui Pendampingan dan Advokasi
Kegiatan ini juga melibatkan PSM. Kerjasama dalam kegiatan ini mengurangi sikap penolakan oleh mucikari dan masyarakat yang merasa terancam dengan kegiatan CCC di wilayah tersebut. Dinas Sosial sebagai leading sector pembentukan working group mampu mengkordinasikan antar dinas dengan masyarakat (KPM) dalam pencegahan dan penanganan AYLA di komunitas serta menyatukan pandangan serta kerjasama antar stakeholder dalam penanganan kasus-kasus AYLA dan hak-haknya. Setelah berdirinya Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandar Lampung pada tahun 2016, kerjasama dilakukan dengan DP3A. Kerjasama ini disahkan melalui penandatanganan MoU terkait dengan pengembangan gerakan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), sehingga penguatan KPM yang telah ditempatkan sebagai PATBM, kegiatan sanggar anak, Forum Anak, mendapatkan dukungan dari DP3A. Termasuk pula pemberian akses bagi kader masyarakat dan forum anak untuk terlibat di dalam musrenbang tingkat kelurahan hingga tingkat kota, serta kesertaan atau keterlibatan sebagai panitia dalam acara-acara yang digelar oleh DP3A. Selain dengan OPD di tingat kabupaten, koordinasi dan kerjasama juga dilakukan di tingkat lokal, seperti dengan puskesmas Panjang guna mendapatkan akses layananan pemeriksaan kesehatan reproduksi anak hingga melakukan sosialisasi tentang Kesehatan Reproduksi Anak dan Remaja rentan hingga membentuk konselor kespro teman sebaya. 147
Dewi Astri Sudirman
Rumah Perlindungan Trauma Centre (RPTC) yang berfungsi memberikan dukungan penanganan psikologi dan rumah aman bagi AYLA yang sedang menghadapi kasus. AYLA selain rumah aman tim psikolog juga memberikan konseling individu dan Kelompok bagi AYLA untuk penguatan anak dalam menghadapai kasus yang sedang yang menghadapi. Kecamatan, kelurahan, Babinsa dan BhabinKamtibmas, RT dan tokoh-tokoh masyarakat setempat yang memberikan dukungan bagi pelaksanaan Program Peduli. E. Pembelajaran Keberhasilan-keberhasilan dalam pelaksanaan Program Peduli antara lain:
Penerimaan sosial dari masyarakat ekslokalisasi yang ditunjukkan dengan adanya komitmen bersama secara tertulis untuk mencegah agar anak tidak berada dalam posisi rentan. Masyarakat juga dapat terorganisir dengan berdirinya Komite Pendidikan Anak (KPM) yang kemudian diakui sebagai bagian dari Gerakan PATBM. Organisasi masyarakat ini berperan aktif memfasilitasi kegiatan anak-anak, turut mempromosikan perlindungan anak, dan mensosialisasikan pentingnya melakukan pencegahan dan menyelamatkan anak-anak yang telah menjadi korban.
Anak-anak terbuka ruang untuk berekspresi dan juga dapat berpartisipasi dalam pembangunan dengan dilibat-
148
Membangun Perubahan Melalui Pendampingan dan Advokasi
kannya wakil-wakil mereka di dalam musrenbang di tingkat kelurahan, kecamatan dan kota. Anak-anak juga dilibatkan sebagai panitia dalam acara yang diselenggarakan oleh DP3A seperti Peringatan Hari Anak Nasional.
Akses layanan, dengan adanya pertemuan working group secara reguler, maka kebutuhan-kebutuhan layanan anak dapat terkomunikasikan dan jika ada permasalahan dapat segera dibahas upaya pemecahannya. Akses layanan yang penting misalnya kemudahan untuk mengurus pendaftaran kelahiran anak-anak dari dua kelurahan yang menjadi wilayah program dan layanan kesehatan.
Kebijakan perlindungan anak dan upaya pelaksanaannya yang terlihat lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Sebagai ukuran adalah Kota Bandar Lampung.
Keberhasilan dalam program ini juga dapat dilihat semakin bertambahnya partisipasi masyarakat dan jaringan NGO dan komunitas lainya terhadap persoalan anak di komunitas. Serta munculnya kader-kader baru PATBM di komunitas. Kader PATBM dan forum anak di komunitas juga terlibat pada kegiatan musrenbang kelurahan hingga kecamatan. Terlibatnya AYLA dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan pada forum anak Kota Bandar Lampung maupun kecamatan. Hal ini terlihat banyaknya anak-anak dari komunitas terlibat pada perayaan peringatan Hari Anak Nasional di Kota Bandar Lampung. Selain itu peran DP3A sangat membantu dalam memutus birokrasi layanan identitas 149
Dewi Astri Sudirman
anak luar nikah untuk mendapatkan hak identitas berupa akte kelahiran. Intervensi Program Peduli dengan membentuk kaderkader perlindungan anak seperti KPM atau PATBM menjadi metode yang efektif dalam melakukan upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak di komunitas secara cepat dan efisien. Sehingga peran lembaga terhadap pendampingan kasus anak menjadi lebih kecil. KPM dan PATBM juga menjadi metode efektif untuk membangun kembali kebudayaan kepedulian masyarakat bahwa tugas perlindungan anak serta pemenuhan hak anak adalah menjadi tanggungjawab bersama di tengah masifnya budaya konsumtif dan hedonisme hingga membuat orang menjadi individual. Peran KPM/PATBM diperkuat dengan adanya program kerja tahunan yang dibuat berbasiskan data lewat investigasi/ penggalian persoalan anak di komunitas lewat kelompok masyarakat yang mengorganisasikan diri dengan membentuk organisasi seperti KPM yang berafiliasi menjadi PATBM. Tentu saja dalam pelaksanaan dan sustainable program ini tidak terlepas dari peran pemerintah lokal dalam mengkonsolidasikan dan mengembangkan kader-kader PATBM di setiap kelurahan. Adapun hal yang belum tercapai dan menjadi rekomendasi dalam Program Peduli ke depan adalah dukungan pendidikan formal dan non formal bagi AYLA putus sekolah karena hamil atau tersandung kasus yang membuat AYLA 150
Membangun Perubahan Melalui Pendampingan dan Advokasi
tidak mau melanjutkan pendidikan formal serta keberlangsungan sanggar anak di komunitas sebagai pusat kegiatan anak di komunitas. Selain itu belum terbangunnya kemandirian ekonomi KPM/PATBM untuk membiayai keberlangsungan program-program tahunan KPM/PATBM. Masih minimnya fasilitas rumah aman, layanan rehabilitasi serta reintegrasi sosial bagi anak korban kekerasan maupun AYLA agar anak tidak kembali menjadi korban AYLA. Aturan hukum yang tegas terhadap pelaku pengguna jasa AYLA juga menjadi PR advokasi bersama secara nasional untuk memberi efek jera bagi pengguna untuk mengurangi angka korban AYLA di Indonesia. Hambatan yang masih menjadi kendala dalam penanganan AYLA adalah isu AYLA masih dianggap sensitif untuk dipublikasikan karena dianggap dapat mencemarkan nama baik kepala pemerintahan atau nama baik suatu wilayah terutama pada momentum pemilihan kepala daerah. Sehingga untuk menyatukan paradigma AYLA adalah korban serta kerjasama antar stakeholder menjadi sulit. Sehingga perlu pendekatan yang sangat intensif dengan lembaga-lembaga terkait untuk mendapatkan dukungan terhadap pelaksanaan Program Peduli. Selanjutnya masifnya transaksi melalui media online membuat lembaga kesulitan melakukan penjangkauan untuk mendapatkan data pasti terkait persebaran AYLA di Kota Bandar Lampung. Selain itu aturan hukum pidana bagi 151
Dewi Astri Sudirman
pengguna jasa seks AYLA juga menjadi peluang tersendiri bagi user untuk terus mengunakan jasa seks perempuan muda.
152
(Endnotes) 1
Kutipan dari bahan presentasi Hilary Silver “Inklusi Sosial dan CiriCirinya”.
2
Informasi Mengenai PNPM Peduli dapat dilihat di https://www.pnpmmandiri.org/PNPMPeduli.html.
3
Lihat presentasi Hilary Silver.
4
EO lain pada Pilar Anak dan Remaja Rentan adalah LPKP yang pada awalnya bekerja di Jawa Timur dan Indonesia bagian Timur, yang selanjutnya terfokus kepada Anak dari para Pekerja Migran, dan PKBI yang bekerja pada kelompok Anak yang Menjalani Pidana Penjara.
5
YKPM dan YHS sebelumnya telah terlibat dalam Program Peduli dibawah koordinasi LPKP Malang.
6
Memperkirakan bahwa jumlah seluruh PSK di Indonesia mencapai 140.000 sampai 230.000.
7
Memperkirakan jumlah PSK tak terdaftar di Indonesia adalah sekitar 500 ribu sementara yang terdaftar sekitar 65.000.
153
154
Lampiran 1 Analisis Situasi Ekslusi Anak yang Dilacurkan (Yayasan Samin)2
155
Lampiran 2 Hasil Kuisioner Penilaian Risiko Anak-anak Rentan (Yayasan Hotline Surabaya)
156