KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEMBANGUNAN MANUSIA DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA
Berjuang Bersama
Pengalaman PATTIRO dalam Pendampingan dan Advokasi Kebijakan Menuju Pelayanan Publik Ramah Disabilitas
Berjuang Bersama Pengalaman PATTIRO dalam Pendampingan dan Advokasi Kebijakan Menuju Pelayanan Publik Ramah Disabilitas
Penulis: Didik Purwondanu Rokhmad Munawir Riska Hasan Nurjanah Kontributor: Teguh Sugiarto Sukri Penyunting: Mimin Rukmini Layout: Agus Wiyono Penerbit: PATTIRO Pusat Telaah dan Informasi Regional Jl. Mawar Komplek Kejaksaan Agung Blok G35 Pasar Minggu Jakarta Selatan Telp: 021-780 1314 | Fax: 021 782 3800 Email: info@pattiro.org Website: www.pattiro.org
ii
Pengantar
Direktur Pattiro
P
rogram Peduli Pilar Difabel telah mendorong perubahan positif bagi warga penyandang disabilitas, baik sebagai individu maupun kelompok. Sebagai individu, warga penyandang disabilitas telah memperoleh manfaat naiknya kapasitas dan penerimaan sosial terhadap mereka. Sebagai kelompok, mereka membentuk komunitas pegiat penyandang disabilitas dan giat aktif mengadvokasi kebijakan pemerintah daerah. PATTIRO sebagai pelaksana program memandang pengalaman baik tersebut kiranya perlu didokumentasikan dalam sebuah buku. Pendokumentasian pengalaman baik kerja-kerja advokasi dari-oleh-untuk warga difabel diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi pemangku kepentingan untuk memajukan warga difabel agar hidup layak dan terpenuhi hak-hak dasarnya. Program Peduli Pilar Difabel dilaksanakan PATTIRO selama periode Mei 2015 hingga November 2016. Program yang didukung oleh The Asia Foundation ini, mengambil lokasi di Kabupaten Sorong dan Kabupaten Lombok Barat. PATTIRO berharap pembaca buku dapat menikmati kisah sahabatsahabat difabel yang berhasil mengatasi keterkucilan dirinya dari masyarakat dengan mampu berkelompok dan mengadvokasi kepentingan mereka sebagai warga negara. Terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan berkontribusi terhadap penerbitan buku ini. Terutama kepada tim pelaksana program di Jakarta, Sorong, dan Lombok Barat. Juga yang pasti terima kasih kepada tim penulis. Jakarta, November 2016 Direktur PATTIRO Maya Rostanty iii
Pengantar
The Asia Foundation
P
eraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia merupakan dokumen resmi pemerintah yang memuat komitmen pemerintah Indonesia dalam upaya penghormatan, pemenuhan, perlindungan dan pemajuan hak-hak warga negara Indonesia, khususnya mereka yang selama ini miskin dan terpinggirkan. Arah kebijakan nasional ini kemudian dilanjutkan dengan hadirnya Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Lahirnya UU No. 8 / 2016 merupakan pemenuhan dari Undang-Undang No. 19 / 2011 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-hak Orang dengan Disabilitas dan koreksi atas Undang-Undang No. 4 / 1997 tentang Penyandang Cacat, dalam cara pandang dan pendekatan yang digunakan dalam penanganan permasalahan disabilitas. Program Peduli, sebagai program pemerintah di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, mendorong pendekatan inklusi sosial sebagai upaya memberdayakan masyarakat, termasuk orang dengan disabilitas, untuk meningkatkan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan. Program Peduli bekerja untuk 3 target capaian, yaitu penerimaan sosial bagi kelompok masyarakat yang terpinggirkan, layanan dasar yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat marjinal dan kebijakan yang inklusif. Sebagai salah satu mitra kerja Program Peduli, dalam pilar orang dengan disabilitas (difabel), PATTIRO bekerja di 2 wilayah program, yaitu Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat dan Kabupaten Sorong, Papua Barat sejak Mei 2015. PATTIRO secara khusus bekerja dalam ranah perbaikan penyedia layanan publik di sektor kesehatan, khususnya puskesmas, yang merupakan garda terdepan dalam pemenuhan layanan kesehatan bagi masyarakat.
iv
Berjuang Bersama Program Peduli Pilar Difabel yang dilaksanakan oleh PATTIRO mengedepankan beberapa prinsip utama dalam perspektif disabilitas, yaitu perubahan sikap non-diskriminasi, partisipasi penuh, kesetaraan, aksesibilitas, dan pengembangan kapasitas. Prinsip tersebut sejalan dengan prinsip dasar advokasi gerakan disabilitas, yaitu Nothing About Us Without Us. Tiada tentang kami, tanpa kami. Suatu prinsip yang mengharuskan keterlibatan orang dengan disabilitas (difabel) dalam suatu penyusunan kebijakan publik terkait dengan pemenuhan dan pemajuan hak-hak orang dengan disabilitas (difabel). Dari sisi penerima manfaat, PATTIRO berfokus untuk mengubah stigma penyandang disabilitas dan keluarganya tentang konsep disabilitas itu sendiri, kemudian membangun kepercayaan diri mereka untuk keluar dari “kerangka� yang selama ini membelenggu, dan bersosialisasi dengan masyarakat. Serta, mengembangkan kapasitas untuk berkelompok dan mengadvokasi perubahan yang diinginkan. Sedangkan dari sisi penyedia layanan kesehatan, PATTIRO memfasilitasi terjadinya perubahan layanan kesehatan yang ramah disabilitas, baik dari akses sarana prasarana maupun jaminan kesehatan. PATTIRO juga mendorong Pemerintah Daerah untuk memudahkan terjadinya semua proses tersebut melalui penyusunan kebijakan yang berpihak pada penyandang disabilitas. Buku “Berjuang Bersama� ini merupakan pendokumentasian upaya pemenuhan dan pemajuan hak dasar bagi orang dengan disabilitas, khususnya dalam sektor layanan kesehatan. Buku ini diharapkan menjadi sumber informasi dan inspirasi bagi upaya-upaya lanjutan dalam kerangka menghadirkan kebijakan dan layanan publik yang inklusif. The Asia Foundation memberikan penghargaan dan apresiasi kepada PATTIRO sebagai salah satu mitra kerja yang memiliki komitmen tinggi dalam mewujudkan Indonesia yang inklusif, yang setara dan semartabat. Kita bisa, karena kita Peduli!
The Asia Foundation v
Daftar Isi Pengantar Direktur Pattiro......................................................... Pengantar The Asia Foundation..................................................... Daftar Istilah dan Singkatan........................................................... Bab 1 PATTIRO dan Advokasi Hak Dasar Warga Disabilitas.......... 1.1 Indonesia dan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas................................................................ 1.2 1.3 1.4
Bab 2
Pendekatan Partisipatif Program: Dari-Oleh-Untuk Warga Disabilitas......................................................................... 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5
Bab 3
Melibatkan Penerima Manfaat dalam Baseline Survey..................................................................... Uji Akses Pelayanan Kesehatan : Cek Puskesmasku!.. User Based Survey (UBS) – Survei Pengguna Layanan................................................................... Pendataan Partisipatif – Advokasi Berbasis Data dan Fakta....................................................................... Pembelajaran...........................................................
Strategi Menguatkan Warga Disabilitas di Kabupaten Sorong.............................................................................. 3.1 3.2
vi
Isu Kesehatan sebagai Pintu Masuk.......................... Iuran BPJS Kesehatan Penyandang Disabilitas dari APBD Lombok Barat................................................. Perbaikan Pelayanan Puskesmas Bagi Penyandang Disabilitas di Sorong.................................................
Strategi Pengorganisasian Warga Disabilitas.............. Perubahan Kelompok Disabilitas Kabupaten Sorong.
iii iv viii 1 1 3 5 7
9 9 12 16 17 20
23 23 25
Bab 4
Mendorong Kebijakan Inklusi Bagi Penyandang Disabilitas......................................................................... 4.1 Perda Kabupaten Sorong No. 13 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Difabel......... 4.2
32
Raperbup Kabupaten Sorong Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Kebutuhan Penyandang Disabilitas di Bidang Kesehatan ............
37
Raperbup Kabupaten Lombok Barat Tahun 2016 tentang Pendidikan dan Kesehatan Inklusi................
40
Pembelajaran...........................................................
46
Sukses Komunitas Warga Difabel Lombok Barat...............
51
4.3 4.4 Bab 5
31
5.1 5.2 5.3
Menginisiasi P3D dan KDLB di Kabupaten Lombok Barat...........................................................................
51
Memperkuat Komunitas P3D dan KDLB di Delapan Simpul.........................................................................
57
Mengembangkan Relasi Komunitas dengan Puskesmas.................................................................. Cerita Pegiat Disabilitas Memetik Manfaat Program...
60 61
Profil PATTIRO...............................................................................
71
Profil Penulis.................................................................................
73
5.4
vii
Daftar Istilah dan Singkatan Adminduk APBD APBN AS BBRVBD BPJS CPNS CRPD DED DFAT Dikpora Dinkes Dinsos Disosnakertrans DPRD FKKADK FKOAD
Administrasi Kependudukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Amerika Serikat Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Calon Pegawai Negeri Sipil Convention on the Rights of Persons with Disabilities Detail Engineering Design Department of Foreign Affairs and Trade Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Dinas Kesehatan Dinas Sosial Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Forum Komunikasi Keluarga dan Anak Dengan Kecacatan : Forum Komunikasi Orangtua dengan Anak Disabilitas
HDI HWDI Jamkesda JKN Kabag KDLB Kemenko PMK
: : : : : : :
KIS KK KTP viii
: : : : : : : : : : : : : : : :
Hari Disabilitas Internasional Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia Jaminan Kesehatan Daerah Jaminan Kesehatan Nasional Kepala Bagian Komunitas Difabel Lingsar Bergerak Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan : Kartu Indonesia Sehat : Kartu Keluarga : Kartu Tanda Penduduk
NTB ODKS Ortala P3D PATTIRO PBI Pemda Perbup Perda Pertuni PMK PP PPDI PU Puskesmas Raperda RPRD RRI
: : : : : : : : : : : : : : : : : :
Nusa Tenggara Barat Organisasi Disabilitas Kabupaten Sorong Organisasi dan Tata Laksana Pusat Pengembangan Potensi Disabilitas Pusat Telaah dan Informasi Regional Penerima Bantuan Iuaran Pemerintah Daerah Peraturan Bupati Peraturan Daerah Perkumpulan Tuna Netra Indonesia Peraturan Menteri Keuangan Peraturan Pemerintah Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia Pekerjaan Umum Pusat Kesehatan Masyarakat Rancangan Peraturan Daerah Rintisan Puskesmas Ramah Difabel Radio Republik Indonesia
RS RSUD SAPDA SDN Setda SK SKPD SLB SMP TAF TKSK TV UBS UU
: : : : : : : : : : : : : :
Rumah Sakit Rumah Sakit Umum Daerah Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak Sekolah Dasar Negeri Sekretariat Daerah Surat Keputusan Satuan Kerja Perangkat Daerah Sekolah Luar Biasa Sekolah Menengah Pertama The Asia Foundation Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan Televisi User Based Survey Undang-Undang ix
Stereotip dan stigma terhadap penyandang disabilitas selama ini telah mengakibatkan pemiskinan, marjinalisasi, dan kekerasan yang dilakukan keluarga, masyarakat, dan negara. Panyandang disabilitas pun mengalami berbagai perlakuan diskriminatif, seperti disembunyikan, dipisahkan, dianggap gila, dan bahkan dirudapaksa. x
Bab I
PATTIRO dan Advokasi Hak Dasar Warga Disabilitas 1.1 Indonesia dan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas Franklin Delano Roosevelt dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan dua sosok penyandang disabilitas yang pernah memimpin dua negara besar. Franklin adalah Presiden AS ke-32 dan Gus Dur adalah Presiden Indonesia ke-4. Franklin mengalami lumpuh kaki dan harus memakai kursi roda jauh sebelum menjadi presiden. Gus Dur mengalami gangguan penglihatan sebelum menjadi presiden. Lantas untuk konteks Indonesia, apakah fakta ini sudah mendorong negara memperlakukan dan melayani penyandang disabilitas setara dengan warga lainnya untuk menjalani hidup sehari-hari dan mengembangkan diri di berbagai bidang kehidupan? Secara umum, sejarah gerakan sosial yang menuntut hak setara bagi penyandang disabilitas dimulai di AS pada tahun 1944. Saat itu para veteran perang di AS menuntut hak diperlakukan sama dan mendapatkan akses di berbagai bidang. Beberapa puluh tahun kemudian tepatnya 13 Desember 2006, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Resolusi Nomor A/61/106 mengenai Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) atau Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Resolusi tersebut memuat hak-hak penyandang disabilitas dan menyatakan akan diambil langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan konvensi ini. Pemerintah Indonesia kemudian menandatangani Konvensi tersebut pada 30 Maret 2007 di New York. Dengan menandatangani Konvensi ini, Indonesia berkomitmen untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas, yang pada akhirnya diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan para penyandang disabilitas. 1
Dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, Pemerintah Indonesia telah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur pelindungan terhadap penyandang disabilitas. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut antara lain: 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat; 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; 6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional; 9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian; 10. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran; 11. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; 12. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; 13. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; 14. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; 15. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; 16. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin; dan Kemudian Indonesia mengesahkan CRPD melalui UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Lima tahun kemudian tepatnya April 2016, Indonesia mengesahkan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Bagi penyandang disabilitas dan pemangku kepentingan di berbagai daerah, UU ini semakin menjamin keberpihakan Pemerintah. Sebelum lahir UU tentang Penyandang Disabilitas, gerakan penyandang 2
Berjuang Bersama disabilitas mendorong inklusi sosial di Indonesia relatif belum meluas dan mendapat dukungan berbagai pihak. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan pengalaman India dan AS yang sangat solid dan sudah terbiasa menggunakan strategi gerakan masyarakat sipil dalam memperjuangkan hak penyandang disabilitas melalui protes dan long march. Gerakan mereka telah mengundang perhatian masyarakat luas. Bahkan, AS telah memiliki UU yang mengatur penyandang disabilitas sejak tahun 1990. Di India, gerakan penyandang disabilitas menghadapi tantangan yang berbeda, di mana pengaturan kasta yang menjadi bagian ajaran agama Hindu sebagai agama yang dipeluk mayoritas penduduk India, menjadi salah satu isu penting dalam gerakan masyarakat sipil sejak 1970-an. Wacana hak disabilitas baru muncul di tahun 1990-an bersamaan dengan perkembangan yang terjadi di AS. Namun, paradigma kecacatan sebagai kerusakan dan akibat dari karma masih mendominasi pandangan umum di India. Fakta yang ada saat ini, umumnya penyandang disabilitas di dunia, belum mampu hidup mandiri serta mendefinisikan diri mereka sesuai gagasan, harapan, dan impian. Penyandang disabilitas masih harus memperjuangkan hak mereka untuk mendapatkan perlakuan dan pelayanan yang setara dari negara. Penyandang disabilitas masih akan melawan stereotip dan stigmatisasi umum atas keterbatasan mereka dengan menjadi manusia yang bisa melampaui keterbatasan itu sendiri. Stereotip dan stigma terhadap penyandang disabilitas selama ini telah mengakibatkan pemiskinan, marjinalisasi, dan kekerasan yang dilakukan keluarga, masyarakat, dan negara. Penyandang disabilitas pun mengalami berbagai perlakuan diskriminatif, seperti disembunyikan, dipisahkan, dianggap gila, dan bahkan dirudapaksa.
1.2 Isu Kesehatan sebagai Pintu Masuk PATTIRO sebagai organisasi masyarakat sipil, sejak didirikan pada tahun 1999 telah bergerak mendorong perbaikan pelayanan publik dengan mengembangkan akuntabilitas sosial. Kerangka akuntabilitas sosial ini menjadi model PATTIRO mengembangkan berbagai inisiatif untuk mendorong keterlibatan warga dalam perbaikan pelayanan publik. Di sisi 3
lain, PATTIRO terus berkomitmen untuk lebih terlibat dalam memperkuat kelompok rentan, seperti perempuan, anak, masyarakat miskin, dan penyandang disabilitas. Dalam mengembangkan akuntabilitas sosial dan membuktikan keberpihakannya kepada kelompok rentan, PATTIRO bersama jaringan PATTIRO Raya di seluruh Indonesia telah melakukan berbagai advokasi kelompok rentan, dalam hal ini penyandang disabilitas. Jaringan PATTIRO Raya, yakni PATTIRO Surakarta pada periode tahun 2006-2008 melakukan pendampingan penyandang disabilitas di Kota Surakarta dan berhasil memfasilitasi mereka melakukan advokasi anggaran. Selain itu, PATTIRO juga berhasil mendorong terbitnya Perda Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel. Jaringan PATTIRO Raya lainnya di Kota Malang, PATTIRO Malang, mengembangkan advokasi kebijakan untuk mendorong pelayanan kependudukan yang non-diskriminatif pada periode tahun 2010-2011. Selanjutnya, PATTIRO terlibat dalam Program Peduli Pilar Difabel fase pertama yang didukung oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), The Asia Foundation, dan DFAT Australia untuk periode tahun 2015-2016. Secara umum, strategi yang digunakan PATTIRO untuk pintu masuk pelaksanaan program di dua wilayah kerja Kabupaten Sorong dan Kabupaten Lombok Barat, adalah isu pelayanan kesehatan. PATTIRO memandang bahwa kesehatan merupakan kebutuhan dasar yang lebih mendesak bagi penyandang disabilitas dibandingkan pendidikan dan administrasi kependudukan. Sebagai langkah awal, diharapkan ada capaian signifikan sehingga muncul kepercayaan dari multi-pihak, terutama Puskesmas, Dinas Kesehatan, dan penyandang disabilitas sebagai penerima manfaat. Setelahnya inisiatif dapat berkembang ke isu lain sesuai kebutuhan, misalnya pendidikan inklusi, atau advokasi terhadap korban kekerasan. Hasil penjajakan cepat di awal program memang menunjukkan penyandang disabilitas sangat jarang mengakses pelayanan kesehatan puskesmas maupun rumah sakit (RS). Alasan mereka rata-rata mengaku belum pernah sakit parah dan merasa cukup dengan membeli obat bebas yang dijual di warung ketika sakit. Setelah PATTIRO menggali, ternyata 4
Berjuang Bersama penyebab utama mereka sangat jarang mengakses puskesmas maupun RS, yaitu tidak ada uang untuk membayar retribusi puskesmas hingga tidak punya biaya transportasi untuk pulang pergi ke puskesmas. Menindaklanjuti temuan tersebut, tim program merasa perlu untuk mendorong penyandang disabilitas mau mengadvokasi dukungan pemerintah kabupaten agar memasukkan mereka menjadi peserta BPJS Kesehatan yang iurannya ditanggung oleh pemerintah kabupaten atau menjadi penerima bantuan iuran (PBI). Advokasi dilakukan komunitas aktivis penyandang disabilitas yang sebelumnya mendapatkan pengembangan kapasitas dari PATTIRO. Mereka berperan sejak survei data awal (baseline) sampai mampu mengidentifikasi berbagai persoalan terkait akses kesehatan penyandang disabilitas. Upaya yang ditempuh PATTIRO tersebut merupakan praktik pendekatan partisipatif yang selama ini dilakukan PATTIRO dalam menjalankan programnya. PATTIRO melibatkan penerima manfaat langsung program, yaitu penyandang disabilitas dan penerima manfaat program tidak langsung, yaitu kader kesehatan, keluarga penyandang disabilitas, dan pekerja sosial. PATTIRO berharap berbagai temuan Program Peduli Pilar Difabel, akan mampu membangkitkan kesadaran penyandang disabilitas untuk bersedia bergerak menghapuskan berbagai perlakuan diskriminasi terhadap mereka.
1.3 Iuran BPJS Kesehatan Penyandang Disabilitas dari APBD Lombok Barat Bicara soal diskriminasi, umumnya perlakuan diskriminatif yang dialami penyandang disabilitas di Sorong dan Lombok Barat relatif sama dengan wilayah lainnya di Indonesia. Mereka mendapat stigma sebagai pihak yang tidak berdaya yang kemudian berdampak memunculkan beragam perlakuan diskriminasi terhadap mereka. Penyandang disabilitas mengalami pemiskinan atau marjinalisasi oleh masyarakat dan negara. Ini dibuktikan dengan sedikitnya akses mereka terhadap bantuan dan pelayanan kebutuhan atau hak dasar mereka. Penyandang disabilitas perempuan mengalami beban ganda. Penyandang disabilitas mengalami subordinasi atau dianggap sebagai warga kelas bawah sehingga tidak 5
dilibatkan dalam pengambilan keputusan keluarga dan masyarakat. Penyandang disabilitas pun mengalami berbagai kekerasan, seperti pemasungan, perisakan, dan rudapaksa. Merespons berbagai masalah yang dihadapi penyandang disabilitas ini, maka pendekatan isu pelayanan kesehatan dasar sebagai pintu masuk. Sejauh ini berhasil menjadi pengungkit kesadaran dan kebersamaan mereka. Di Lombok Barat, sudah ada dua komunitas pegiat disabilitas, yaitu Pusat Pengembangan Potensi Disabilitas (P3D) di Kecamatan Labuapi dan Komunitas Difabel Lingsar Bergerak (KDLB) di Kecamatan Lingsar. Dua komunitas tersebut sudah mengembangkan delapan simpul komunitas di delapan desa dan sejauh ini sudah melakukan beberapa kali pemantauan berbagai pelayanan publik hingga advokasi. Salah satu keberhasilan advokasi komunitas penyandang disabilitas ialah melobi berbagai SKPD untuk menganggarkan bantuan iuran premi BPJS Kesehatan untuk penyandang disabilitas dalam APBD Kabupaten Lombok Barat. Pada April 2016, sebanyak 160 penyandang disabilitas dan keluarganya berhasil mendapat bantuan iuran. Lalu setelah lima bulan kemudian, jumlah penerima bantuan iuran mencapai sekitar 800 orang. Kebijakan Pemkab Lombok Barat ini, sangat mempengaruhi kepercayaan diri penyandang disabilitas yang mepara aktivis dari KDLB Kecamatan Lingsar dan P3D mang terlibat dalam program seKecamatan Labuapi yang mengadvokasi bantuan iuran premi BPJS Kesehatan untuk penyandang jak awal. Lantas, pada saat pertedisabilitas muan September 2016, mereka ingin menguatkan gerakannya untuk masuk ke isu lain terkait hukum dan ekonomi. Antara lain meminta bantuan hukum bagi penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual dan membentuk kelompok usaha ekonomi produktif yang mandiri. 6
Berjuang Bersama
1.4 Perbaikan Pelayanan Puskesmas Bagi Penyandang Disabilitas di Sorong Perjalanan program di Sorong sangat berbeda dibandingkan di Lombok Barat. Fasilitator masih harus terlibat intensif untuk mendorong keterlibatan penerima manfaat program, yaitu penyandang disabilitas. Fasilitator – yang juga penyandang disabilitas – mengunjungi satu per satu rumah penyandang disabilitas dengan total sebanyak 80 keluarga. Fasilitator sempat ditolak berkali-kali oleh komunitas adat orang asli Papua maupun pendatang yang bermukim di daerah transmigran. Namun dengan pendekatan yang telaten dari fasilitator, kini di sana sudah ada dua komunitas yang terbentuk, yaitu Forum Komunikasi Orangtua Anak Disabilitas (FKOAD) dan Organisasi Disabilitas Kabupaten Sorong (ODKS). Ini menjadi capaian penting yang juga didukung Pemkab Sorong yang di akhir tahun menerbitkan Perda Nomor 3 Tahun 2015 tentang Perlindungan Terhadap Disabilitas. Pada awalnya, PATTIRO merancang fokus pada penyandang disabilitas perempuan di Sorong. Alasan utama, karena mereka mengalami diskriminasi ganda, dan sebagian mengalami kasus kekerasan seksual. Namun setelah mengidentifikasi kebutuhan dan situasi, ternyata tidak mudah untuk mendukung mereka. Melalui evaluasi pertengahan program, strategi terkait penerima manfaat program diperluas, bukan lagi perempuan penyandang disabilitas. Pendampingan program telah berhasil memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan puskesmas untuk penyandang disabilitas. Kapasitas petugas pelayanan di puskesmas semakin meningkat setelah mengikuti berbagai diskusi dan pelatihan berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Juga sudah ada perbaikan fasilitas puskesmas untuk penyandang disabilitas. Antara lain jalur kursi roda dibuat lebih landai, ada standar pelayanan dan petugas khusus bagi penyandang disabilitas, hingga pegangan atau alat bantu jalan yang terpasang di tembok bagi penyandang disabilitas netra dan lansia.
7
Orangtua penyandang disabilitas tidak mengizinkan anaknya terlibat dalam kegiatan awal program karena khawatir anaknya akan mendapatkan tekanan dari lingkungan.
8
Bab II
Pendekatan Partisipatif Program: Dari-Oleh-Untuk Warga Disabilitas
P
endekatan pelaksanaan Program Peduli Pilar Difabel adalah melibatkan penyandang disabilitas sebagai penerima manfaat program secara aktif. Keterlibatan aktif penyandang disabilitas dilakukan sejak perumusan rencana bersama di awal program, yakni dalam agenda baseline survey. Hasil temuan baseline survey ini akan menjadi dasar PATTIRO untuk menentukan intervensi program yang tepat, sehingga program pun diharapkan akan memiliki dua kelebihan. Pertama, program ini menjadi milik bersama PATTIRO dan penyandang disabilitas sebagai penerima manfaat. Kedua, dapat merancang agenda advokasi di luar desain program yang sesuai kebutuhan atas kesepakatan bersama pelaksana dan penerima manfaat program. Pelibatan langsung penerima manfaat program bertujuan untuk memberdayakan atau mereka melakukan learning by doing. Hal ini menjadi penting karena pendekatan partisipatif dalam program akan secara cukup cepat mentransfer pengetahuan dan pemahaman kepada para penerima manfaat. Mereka tidak hanya sekedar mendapatkan informasi dan pengetahuan, namun juga melaksanakan program bersama PATTIRO, dari proses awal hingga akhir kegiatan.
2.1 Melibatkan Penerima Manfaat dalam Baseline Survey Kegiatan baseline survey direncanakan dan dilaksanakan dengan melibatkan kelompok penyandang disabilitas dan/atau orangtua mereka. PATTIRO melihat kebutuhan awal program adalah adanya kelompok penyandang disabilitas maupun individu terorganisir yang bersedia dan mampu melaksanakan kegiatan ini secara bersama-sama. 9
Pada tahap awal program, PATTIRO melakukan pendekatan melalui diskusi yang sangat intensif dengan para orangtua dengan anak penyandang disabilitas serta penyandang disabilitas. Pendekatan ini bertujuan untuk meyakinkan mereka bahwa mereka mampu melakukan baseline survey untuk pertama kalinya. Sebelumnya, mereka hanya memiliki pengalaman menjadi peserta sosialisasi dan pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah maupun oleh organisasi pemberdaya. Bahkan di Kabupaten Sorong, kegiatan terkait penyandang disabilitas sangat sedikit. Demikian pula dengan pegiat penyandang disabilitas, relatif belum ada. Situasi ini kemudian mendorong PATTIRO melibatkan pihak-pihak penerima manfaat program, yakni pegiat penyandang disabilitas, orangtua dengan anak penyandang disabilitas, kader kesehatan posyandu, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), dan tokoh masyarakat tingkat desa dan kabupaten. Tantangan pendekatan partisipatif pertama adalah menyamakan pemahaman para pihak penerima manfaat program mengenai inklusi sosial bagi penyandang disabilitas. Mereka berdebat sangat sengit karena sebagian besar merasa tidak sabar mengikuti diskusi yang makan waktu lama. Para kader kesehatan maupun TKSK yang sudah biasa melakukan survei merasa bahwa jalannya diskusi sangat panjang dan melelahkan. Di sisi lain, diskusi berlangsung lama karena pembahasan suatu topik harus pelan-pelan dan cenderung diulang-ulang. Namun situasi ini berubah setelah lima kali diskusi informal, di mana peserta telah mampu melakukan sebuah upaya pembacaan situasi dan analisa sebuah masalah dengan lebih cepat atau efektif. Proses diskusi tersebut merupakan potret kecil bagaimana inklusi sosial dipraktikkan dan menuai tantangan, bahkan dari kelompok terkecil masyarakat. Tantangan dari keluarga penyandang disabilitas juga cukup kuat. Banyak orangtua yang tidak mengizinkan anaknya terlibat dalam kegiatan awal program karena khawatir anaknya akan mendapatkan tekanan dari lingkungan. Solusinya adalah dengan menyediakan pendamping bagi penyandang disabilitas ketika mengikuti kegiatan. Saat pelaksanaan survei, para enumerator mengunjungi penyandang 10
Berjuang Bersama disabilitas di wilayah kerja program. Di Kabupaten Lombok Barat, terdapat tempat wilayah kerja puskesmas, yakni Puskesmas Lingsar dan Puskesmas Sigerongan di Kecamatan Lingsar, Puskesmas Labuapi dan Puskesmas Parampuan di Kecamatan Labuapi. Sementara di Kabupaten Sorong terdapat tiga wilayah puskesmas, yakni Puskemas Mayamuk di Distrik (Kecamatan) Mayamuk, Puskesmas Mariai di Distrik Mariat, dan Puskesmas Aimas di Distrik Aimas. Ketika para enumerator akan melakukan kunjungan ke lapangan, tantangan kedua muncul terkait ketersediaan data dari Dinas Sosial di kedua kabupaten bersifat agregat atau lokasi rumah tinggal penyandang disabilitas tidak jelas. Solusinya, para enumerator memanfaatkan informasi keberadaaan penyandang disabilitas berikutnya dari penyandang disabilitas yang mereka kunjungi pertama kali atau memakai strategi snowball. Jadi, apabila data awal penyandang disabilitas sebuah desa tidak diketahui, maka enumerator mendatangi pihak desa dan menanyakan siapa saja penyandang disabilitas dan dimana mereka tinggal di desa tersebut. Tantangan ketiga muncul saat pelaksanaan survei, yakni teknik komunikasi saat seorang enumerator penyandang disabilitas dan bukan mewawancarai penyandang disabilitas. Solusinya adalah wawancara dengan ditemani pendamping. Enumerator penyandang disabilitas dan responden penyandang disabilitas, masing-masing didampingi keluarganya. Pembelajaran yang bisa diambil dari kegiatan baseline survey, bahwa komunikasi dengan penyandang disabilitas adalah penting. Inklusi sosial tidak akan sukses terlaksana jika faktor ini tidak diselesaikan. Komunikasi penyandang disabilitas dengan lingkungannya selama ini menjadi permasalahan. Para pihak yang bukan penyandang disabilitas merasa tidak sabar ketika harus berkomunikasi dengan penyandang disabilitas. Komunikasi verbal yang dianggap hal biasa oleh yang bukan penyandang disabilitas akan menjadi hal yang sangat luar biasa bagi penyandang disabilitas, sehingga teknik komunikasi dan interaksi inilah yang harus disiapkan terlebih dahulu. Idealnya, pelaksana program yang bukan penyandang disabilitas harus dibekali ilmu dan teknik bahasa penyandang disabilitas seperti bahasa isyarat atau didampingi orang yang 11
mengerti tentang itu. Dengan pembelajaran ini, maka tujuan program tidak hanya mencapai kesuksesan baseline survey, tapi juga menentukan intervensi program yang mengarahkan banyak pihak agar dapat menerima dan mampu berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Dalam praktiknya, modeling intervensi kegiatan program mengacu pada hasil baseline survey, yang mengarah pada penguatan informasi yang dibutuhkan penerima manfaat program. Sedangkan intervensi program untuk pemerintah daerah adalah mengarahkan perbaikan kebijakan agar tepat sasaran untuk penyandang disabilitas.
2.2 Uji Akses Pelayanan Kesehatan: Cek Puskesmasku! Penggunaan istilah uji akses dalam konteks program bertujuan untuk mengetahui apakah pelayanan publik terutama kesehatan di puskesmas telah cukup baik dan ramah bagi penyandang disabilitas. Uji akses pelayanan kesehatan di puskesmas dipopulerkan dalam ungkapan: Cek Puskesmasku! Kegiatan uji akses pelayanan kesehatan merupakan usulan inisiatif dari para pegiat penyandang disabilitas di Kabupaten Lombok Barat yang bertujuan untuk melakukan pengecekan pelayanan puskesmas. Kegiatan ini dilatarbelakangi adanya kegelisahan para pegiat penyandang disabilitas dan orangtua dengan anak penyandang disabilitas, karena mengalami kesulitan saat mereka menggunakan pelayanan kesehatan puskesmas. Seperti yang tercermin pada hasil baseline survey yang menunjukkan bahwa 91% responden di Lombok Barat menyatakan tidak melakukan pemeriksaan kesehatan. Mereka menyatakan kerap enggan mendatangi puskesmas ketika sakit karena pelayanan di puskesmas masih belum ramah bagi penyandang disabilitas. Semua konsep kegiatan dan instrumen yang digunakan dalam “Cek Puskesmasku!� disusun bersama dengan pegiat penyandang disabilitas. Tim pelaksana program PATTIRO hanya memberikan masukan dan menfasilitasi diskusi serial pembahasan. Kegiatan ini dilaksanakan setelah para pegiat penyandang disabilitas di Kecamatan Labuapi dan Kecamatan Lingsar di Kabupaten Lombok Barat sepakat 12
Berjuang Bersama membentuk komunitas atau paguyuban penyandang disabilitas. Di Kecamatan Lingsar dinamai Komunitas Difabel Lingsar Bergerak (KDLB) dan di Kecamatan Labuapi bernama Pusat Pengembangan Potensi Disabilitas (P3D). Uji akses pelayanan kesehatan adalah program kerja mereka yang pertama dan dilaksanakan oleh para anggotanya yang telah tersebar sampai ke desa. Ketika melaksanakan program ini, mereka tidak membuat pemberitahuan dan mobilisasi khusus ke puskesmas. Namun mereka mendokumentasikan temuan mereka saat melakukan pemeriksaan ke puskesmas. Mereka mencatat dalam instrumen check-list mengenai apa yang mereka rasakan, apa yang mereka lihat, dan apa yang mereka dengar untuk kemudian dibahas bersama di tingkat kelompok. Hasil dari “Cek Puskesmasku!� memang cukup ampuh mendorong perubahan pelayanan dan perbaikan infrastruktur di puskesmas. Pihak puskesmas dan SKPD merasa tertohok dengan hasil temuan, sehingga puskesmas segera memberikan atau memperbaiki akses sarana yang lebih ramah penyandang disabilitas, seperti loket yang cukup representatif, akses jalur kursi roda yang landai, dan beberapa ruang periksa mulai dilebarkan pintu masuknya. Kegiatan “Cek Puskesmasku!� adalah kegiatan yang menjadi inisiatif kelompok penyandang disabilitas di Lombok Barat. Tujuannya adalah untuk mengetahui kualitas pelayanan, terutama dalam hal aksesibilitas pelayanan puskesmas terhadap masyarakat berkebutuhan khusus (disabilitas). Selain itu, juga sebagai upaya mendorong keterlibatan penyandang disabilitas dalam meningkatkan pelayanan kesehatan di puskesmas. Kegiatan ini dilaksanakan oleh penyandang disabilitas dengan melakukan kunjungan secara langsung ke puskesmas. Mereka mengunjungi puskesmas dalam rangka mengakses pelayanan (pemeriksaaan kesehatan dan konsultasi). Artinya dengan sengaja mengunjungi puskesmas kemudian melakukan pengamatan terhadap fasilitas, sarana prasarana yang ramah bagi penyandang disabilitas. Sehingga, tidak ada wawancara atau diskusi dengan petugas puskesmas dalam pelaksanaannya. Penyandang disabilitas yang mengikuti kegiatan ini sebanyak 10 orang dari Kecamatan Labuapi 13
dan 10 orang dari Kecamatan Lingsar. Kegiatan ini murni berupa pengamatan dan merasakan pelayanan yang diberikan oleh puskesmas. Dalam bahasa lain adalah observasi dengan panduan instrumen sederhana. Hasil “Cek Puskesmasku!� adalah berupa catatan dari para penyandang disabilitas diantaranya adalah: 1. Loket tidak ramah pengguna kursi roda. 2. Tidak ada petugas khusus (baik medis dan non medis) yang mampu berkomunikasi dan melayani disabilitas. 3. Lebar pintu ruang periksa kurang lebar untuk dilalui kursi roda. 4. Tidak ada petunjuk atau tanda khusus yang dapat menjadi petunjuk bagi disabilitas. Berdasarkan hasil tersebut, mereka juga Uji akses pelayanan kesehatan meminta perubahan loket di puskesmas agar lebih untuk penyandang disabilitas, ramah bagi penyandang disabilitas, dan meminta “Cek Puskesmasku!� perubahan pada lebar pintu ruang periksa. Hal ini pun langsung ditindaklanjuti oleh Puskesmas Lingsar dengan mengubah loket layanan menjadi lebih terbuka, sehingga lebih ramah dan terjangkau bagi penyandang disabilitas. Tuntutan lainnya, mereka meminta puskesmas menyediakan petugas khusus yang melayani pasien penyandang disabilitas, sehingga tidak harus dipingpong ketika mendatangi puskesmas. PATTIRO sebagai pelaksana program, kemudian merespons kebutuhan mereka dengan melaksanakan lokalatih interaksi dan komunikasi petugas pelayanan dengan penyandang disabilitas. Pembelajaran dari uji akses pelayanan ini, bahwa ketika penyandang disabilitas dan orangtua dengan penyandang disabilitas telah berkumpul lalu difasilitasi untuk mengidentifikasi kebutuhan serta menyusun rencana aksi, terbukti mereka mampu mendorong perubahan. Praktik baik uji akses pelayanan kesehatan di Lombok Barat kemudian dijadikan model untuk diimplementasikan di Kabupaten Sorong. Para 14
Berjuang Bersama pegiat penyandang disabilitas melakukan uji akses pelayanan di tiga puskesmas yakni Puskesmas Mariat, Mayamuk dan Aimas. Hasilnya menunjukkan bahwa ketiga puskesmas ini tidak aksesibel bagi penyandang disabilitas. Pra sarana puskesmas masih sangat minim dan harus dilakukan perbaikan dengan cukup menyeluruh dan memerlukan alokasi anggaran yang cukup besar yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh pihak puskesmas. Sehingga kemudian para aktivis difabel membawa hasil uji akses ini menjadi materi dialog langsung dengan Dinas Kesehatan. Dinas Kesehatan mengapresiasi hasil tersebut dan berjanji akan membawa aspirasi ini ke dalam koordinasi lintas SKPD dan Musrenbang Kabupaten Sorong. Namun demikian, ada hasil positif yang didapatkan, yakni pihak puskesmas mulai mengundang para pegiat dan orangtua dengan anak penyandang disabilitas untuk terlibat dalam mini lokakarya puskesmas. Para pegiat membahas dan menyampaikan usulan mereka yaitu berupa perbaikan jalur untuk kursi roda. Sedangkan perbaikan sarana lain tidak bisa dilaksanakan karena harus dianggarkan dalam APBD dan diusulkan terlebih dahulu melalui perencanaan daerah. Box 1: Contoh Instrumen “Cek Puskesmasku!” Instrumen Observasi Cek Puskesmasku! Silakan diisi dengan (v) pada kolom Ya atau Tidak No Uraian PETUGAS 1 Apakah ada petugas medis yang khusus melayani pasien difabel? 2 Apakah ada petugas khusus yang bertugas memberikan informasi atau mengarahkan ketika ada pasien difabel datang? 3 Apakah petugas memahami cara berinteraksi dengan pasien atau pengunjung difabel? 4 Apakah ada petugas yang memahami dan mampu menggunakan bahasa isyarat? Jika ada, berapa jumlahnya? ………….. PELAYANAN 1 Apakah ada papan informasi atau penunjuk arah atau alur pelayanan dalam yang diperuntukan bagi difabel netra, misalnya dalam huruf braile?
Ya
Tidak
15
2
Apakah ada informasi atau penunjuk arah atau yang jelas dan mudah dipahami oleh difabel rungu dan wicara? 3 Apakah ada papan informasi jenis pelayanan dan maklumat pelayanan? FASILITAS 1 Apakah tata ruang Puskesmas mudah bagi pengguna kursi roda? 2 Apakah tata ruang Puskesmas mudah bagi difabel netra? 3 Apakah ada tanda atau perangkat yang memudahkan difabel, misalnya lampu penanda nomor antrian? 4 Apakah toilet di Puskemas memudahkan bagi tuna netra atau pengguna kursi roda? 5 Apakah ada loket khusus yang diperuntukan bagi antrian khusus pasien difabel? 6 Apakah ada peralatan medis khusus untuk pemeriksaan difabel? Misalnya alat terapi, tensi meter, dll.
2.3 User Based Survey – Survei Pengguna Layanan User Based Survey (UBS) atau disebut juga dengan Survei Pengguna Layanan adalah instrumen yang telah banyak digunakan oleh para pihak untuk mengetahui kualitas pelayanan dan memberikan rekomendasi yang terstruktur berdasarkan data dan fakta. Jika uji akses dalam “Cek Puskesmasku!� akan mendapatkan data yang masih cukup subjektif, maka dengan UBS ini akan diperoleh data yang lebih objektif. Hal ini karena yang memberikan opini, data, dan fakta bukan saja dari kalangan penyandang disabilitas, namun juga dari masyarakat umum. Dalam melaksanakan UBS, PATTIRO bekerjasama dengan komunitas penyandang disabilitas. Instrumen dan metode yang telah disusun kemudian dibahas bersama. Ini merupakan hal baru bagi para pegiat penyandang disabilitas di Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Sorong, sehingga perlu pendampingan pelaksana program. Para pegiat penyandang disabilitas dan orangtua dengan anak penyandang disabilitas tidak hanya menjadi enumerator, namun mereka mulai melakukan analisis hasil temuan lapangan bersama pelaksana program. Kapasitas mereka pun dinaikkan, dari mampu mencari dan 16
Berjuang Bersama mendapatkan data lapangan, menjadi mampu melakukan analisis hasil data yang diperoleh. Komunitas penyandang disabilitas di kedua kabupaten tersebut kemudian memadukan hasil UBS dengan hasil uji akses layanan kesehatan puskesmas dan data baseline survey sebagai bahan advokasi perbaikan pelayanan puskesmas. Komunitas penyandang disabilitas meminta pihak puskesmas memperbaiki atau menambahkan beberapa hal yang kurang ramah bagi mereka, yakni mengenai sarana prasarana, petugas pelayanan medis dan non medis agar dapat melakukan interaksi dan komunikasi dengan disabilitas, mengusulkan program yang menyasar penyandang disabilitas seperti pelayanan jemput bola bagi disabilitas berat yang akan memeriksakan ke puskesmas atau mendekatkan pelayanan ke wilayah tinggal para penyandang disabilitas. Pada saat dialog dengan Dinas Kesehatan dan SKPD terkait, berbagai hasil temuan tadi menjadi bagian argumentasi untuk mendorong Rintisan Puskesmas Ramah Difabel (RPRD) di Kabupaten Lombok Barat. Hasilnya, Dinas Kesehatan menyetujui lima rintisan puskesmas ramah penyandang disabilitas, empat puskesmas merupakan mitra intervensi program dan satu sisanya merupakan usulan dari Pemkab Lombok Barat. Puskesmas Ramah Difabel ini adalah Puskesmas Labuapi, Puskesmas Sigerongan, Puskesmas Lingsar dan Puskesmas Parampuan. Keempat puskesmas tersebut telah menempatkan petugas khusus untuk pelayanan disabilitas, serta telah mengubah loket yang mudah dijangkau oleh pengguna kursi roda serta menyasar disabilitas dalam program Pos Bimbingan Terpadu (Posbindu)1.
2.4 Pendataan Partisipatif – Advokasi Berbasis Data dan Fakta Temuan baseline survey terhadap responden penyandang disabilitas menunjukkan 61% di wilayah Sorong dan 55% responden di wilayah Posbindu adalah Pos Bimbingan Terpadu guna mengendalikan penyakit tidak menular. Perbedaannya dengan Posyandu adalah pada target sasarannya. Posbindu menyasar pada masyarakat sehat, berisiko, penyandang penyakit tidak menular, dan orang berumur 15 tahun ke atas. Sementara Posyandu mencakup bayi, balita, ibu hamil, ibu menyusui, ibu nifas, serta wanita usia subur (Kemenkes RI) 1
17
Lombok Barat belum memiliki kartu identitas diri atau terdaftar dalam administrasi kependudukan (adminduk), serta belum masuk dalam jaminan kesehatan nasional atau menjadi peserta BPJS Kesehatan. Hal ini menjadi perhatian serius komunitas penyandang disabilitas di Kabupaten Sorong dan Kabupaten Lombok Barat. Upaya mengadvokasi penyandang disabilitas agar dapat memperoleh bantuan pemerintah terkait jaminan kesehatan mereka, memerlukan argumentasi pendukung berupa data konkret dan cukup valid. Pelaksana program pun berupaya melakukan pendataan ulang untuk melengkapi data baseline survey. Hasil pendataaan ulang sangat mencengangkan. Jumlah penyandang disabilitas di lima kecamatan di Kabupaten Sorong yang menjadi sasaran pendataan ternyata lebih banyak daripada jumlah penyandang disabilitas berdasarkan data Dinas Sosial. Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Lombok Barat. Pendataan ulang dilakukan para pegiat penyandang disabilitas berkolaborasi dengan para pihak, diantaranya kader kesehatan, TKSK, dan orangtua dengan anak penyandang disabilitas. Model kolaborasi ini makin menguatkan pembagian peran diantara mereka yang telah terjalin sebelumnya dan semakin membantu proses percepatan inklusi sosial dalam masyarakat. Pendataan ulang yang sama juga menemukan data penyandang disabilitas yang memiliki kemampuan atau potensi ekonomi yang dapat dikembangkan. Beberapa penyandang disabilitas memiliki potensi dalam hal pengembangan ekonomi mandiri secara mikro dan beberapa lainnya memiliki potensi membangun usaha bersama. PATTIRO menemukan bahwa masih banyak anak penyandang disabilitas yang tidak dapat sekolah karena persoalan ekonomi dan tidak dapat diterima di sekolah umum. Ini berarti di kedua kabupaten tersebut, belum banyak dan tersedia sekolah inklusi. Pada sisi lain, Sekolah Luar Biasa (SLB) yang ada tidak dapat memberikan pelayanan yang optimal karena tidak ada perhatian dari pemerintah daerah di Kabupaten Sorong, yakni ketiadaan anggaran yang mencukupi untuk operasional dan hanya tiga orang guru Di Kabupaten Sorong, lokasi SLB pun jauh dari kawasan pemukiman dengan akses jalan yang tidak bagus, serta tidak ada angkutan umum yang 18
Berjuang Bersama mampu menjangkaunya. Biaya transportasi juga terlalu mahal. Biaya ojek saja sekali jalan mencapai Rp. 25.000,-. Hal ini menjadi alasan warga tidak memanfaatkannya secara optimal. Di Kabupaten Lombok Barat, SLB memang telah memberikan pelayanan yang optimal. Namun permasalahan muncul ketika lulusan SLB ingin melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi, mereka tidak tertampung di sekolah inklusi karena daya tampungnya sangat terbatas. Temuan lainnya, motivasi orangtua penyandang disabilitas untuk mendorong anak-anak mereka berkembang potensinya, sangat rendah. Mereka cenderung membiarkan anak-anak mereka tidak bersekolah dan tidak mencatatkan mereka dalam administrasi kependudukan karena merasa tidak akan bermanfaat bagi mereka. Ada hal yang cukup ironis di Kabupaten Sorong, bahwa ketika mereka memiliki anak atau anggota keluarga penyandang disabilitas, maka akan dikucilkan karena dianggap sebagai kutukan. Di sisi lain, justru ada beberapa keluarga yang menikmati bantuan pemerintah dan pihak lain karena anaknya penyandang disabilitas. PATTIRO mendampingi kelompok penyandang disabilitas mengadvokasi bantuan kartu JKN dari pemerintah; mendapatkan akta kelahiran, KTP, dan KK; serta mendorong pemerintah menyediakan sekolah inklusi sesuai data kebutuhan penyandang disabilitas. PATTIRO melihat semangat yang sangat luar biasa muncul dari para orangtua dengan anak penyandang disabilitas di Kabupaten Sorong. Semangat yang sama juga muncul dari penyandang disabilitas yang didukung para orangtua di Kabupaten Lombok Barat. Advokasi berbasis data dan fakta ini telah membuahkan hasil berupa bantuan kartu JKN bagi 280 orang penyandang disabilitas dan keluarganya di Kabupatan Lombok Barat dan 163 orang di Kabupaten Sorong. Di Kabupaten Lombok Barat, bantuan dialokasikan melalui penerima bantuan iuran (PBI) dari APBD, sementara di Kabupaten Sorong, advokasi PBI untuk penyandang disabilitas mendapat dukungan dari BPJS Kesehatan melalui kuota PBI dalam APBD dan APBN. Para orangtua dengan anak penyandang disabilitas di Kabupaten Sorong menggunakan data hasil pendataan tidak hanya untuk kepentingan advokasi. Namun juga menggunakannya untuk mengajak peran serta pihak lain, yakni perusahaan dan dokter praktik swasta seperti di Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) Sorong agar peduli pada penyandang disabilitas. Kegiatan pemeriksaan 19
kesehatan gratis bagi penyandang disabilitas dan konsultasi (berbagi) pengetahuan bagaimana merawat anak penyandang disabilitas menjadi agenda penting yang dilaksanakan oleh orangtua dengan anak penyandang disabilitas ini. Forum komunikasi penyandang disabilitas telah menjadi perekat sekaligus memberikan manfaat bagi sesama. Semuanya berbekal data, informasi, dan interaksi yang dirancang PATTIRO di awal Program Peduli Pilar Difabel.
2.5 Pembelajaran Pendekatan partisipatif dalam pelaksanaan program ini telah memberikan dampak yang nyata bagi penerima manfaat penyandang disabilitas, seperti di bawah ini: Pertama, pegiat penyandang disabilitas dan orangtua dengan anak penyandang disabilitas menjadi lebih percaya diri ketika berinteraksi di lingkungannya. Pemahaman yang mereka terima dan pembelajaran mereka terlibat secara langsung dalam berbagai agenda kegiatan program menjadi modal membangun kepercayaan diri dan mampu melakukan interaksi dengan baik di lingkungannya. Kedua, para pegiat penyandang disabilitas dan orangtua dengan anak penyandang disabilitas lebih mampu mendorong tumbuhnya lingkungan yang inklusif. Setidaknya dimulai dari lingkungan kecil, yakni keluarga dan lingkungan tempat tinggal. Penerimaan sosial terhadap penyandang disabilitas yang semula dikucilkan menjadi merasa “diorangkan� tidak lain karena kemampuan dan kapasitas mereka meningkat seiring dengan keaktifan mereka mengikuti berbagai agenda kegiatan program. Ketiga, unit penyedia layanan, terutama puskesmas, menjadi terbuka dalam menerima kritik dari masyarakat berkenaan dengan cara dan model interaksi mereka dengan penyandang disabilitas. Sebelum adanya upaya pendekatan dan pengawasan serta dialog langsung dengan penyandang disabilitas, mereka cenderung tertutup dan menganggap bahwa urusan penyandang disabilitas merupakan urusan Dinas Sosial dan penyandang disabilitas sebagai penerima bantuan semata. Pada saat mereka berdialog langsung dengan penyandang disabilitas dan orangtua dengan anak penyandang disabilitas, puskesmas telah membuka diri. Berbagai masukan dari komunitas penyandang disabilitas bukan 20
lagi dianggap sebagai cacian, namun sebagai kritik yang membangun. Hal ini terjadi karena ketika penyandang disabilitas memberikan kritik pun tidak sekedar mengkritik, namun juga menawarkan solusi yang baik. Berbeda dengan jika yang melakukan pendataan maupun UBS adalah PATTIRO dan yang melakukan dialog juga PATTIRO, maka unit layanan tidak akan seterbuka ini. Keempat, pemerintah daerah juga mulai merespons berbagai masukan dan usulan. Di Kabupaten Lombok Barat, Bagian Organisasi dan Tata Laksana (Ortala) Setda Kabupaten Lombok Barat mengajak diskusi para pegiat penyandang disabilitas dan mendorong mereka untuk bersama-sama mengusulkan peraturan daerah atau peraturan bupati mengenai pendidikan dan kesehatan yang inklusif. Usulan ini tentunya disambut baik oleh para pegiat penyandang disabilitas. Dengan berbekal pengetahuannya, mereka mulai melakukan diskusi di tingkat simpul dan komunitas mengenai hal-hal yang perlu dimasukkan dalam peraturan tersebut. Tim Program Peduli melakukan fasilitasi dan memberikan arahan. Lebih banyak masukan berasal dari komunitas dan simpul komunitas penyandang disabilitas. Artinya jika tidak ada pengetahuan atau pengalaman sebelumnya, maka tidak mungkin mereka akan berani memberi masukan. Sebab bukanlah hal mudah bagi kelompok penyandang disabilitas untuk mendiskusikan sebuah masukan bagi regulasi. Dan hal ini diakui oleh ketua kelompok penyandang disabilitas P3D Labuapi. Kelima, upaya pendekatan partisipatif yang menghasilkan kemampuan yang terasah bagi penyandang disabilitas membuat pihak lain tertarik untuk ikut berpartisipasi. Sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Sorong dengan pemeriksaan (deteksi dini) anak penyandang disabilitas yang dilakukan oleh Forum Komunikasi Orangtua dengan Anak Disabilitas (FKOAD) yang mampu meyakinkan dokter praktik swasta dan BPJS Kesehatan untuk berpartisipasi. Keenam, ada konsekuensi lain, bahwa PATTIRO perlu membuka seluasluasnya informasi mengenai program, baik dari sisi substansi maupun administrasi. Ada banyak hal yang masih harus dikerjakan bersama oleh kelompok sasaran program. Pendekatan partisipatif akan semakin berhasil hanya jika kedua belah pihak saling terbuka dan percaya untuk bersama-sama mengelola sebuah agenda. Selama interaksi dengan penerima manfaat program, muncul ide-ide atau cerita-cerita maupun strategi cerdas yang dapat digunakan untuk memenuhi dan mempercepat pencapaian program. 21
Perubahan signifikan pelaksanaan program di Kabupaten Sorong terjadi juga untuk advokasi jaminan kesehatan warga disabilitas yang dilakukan oleh organisasi orangtua dengan anak disabilitas. Mereka berhasil mengusulkan 163 warga penyandang disabilitas untuk memperoleh kartu BPJS/KIS khusus warga disabilitas yang dikeluarkan oleh BPJS.
22
Berjuang Bersama
Bab III
Strategi Menguatkan Warga Disabilitas di Kabupaten Sorong 3.1 Strategi Pengorganisasian Warga Disabilitas Pengorganisasian penyandang disabilitas di Kabupaten Sorong berbeda dibandingkan dengan yang dilakukan PATTIRO di Kabupaten Lombok Barat. Di daerah yang disebut terakhir, sudah banyak organisasi penyandang disabilitas baik yang dibentuk pemerintah maupun inisiatif masyarakat. Sehingga pengorganisasian PATTIRO juga memanfaatkan jejaring yang sudah terbangun organisasi lain. Sementara di Kabupaten Sorong praktis tidak ada sama sekali organisasi penyandang disabilitas. Satu-satunya organisasi terdekat ialah Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Papua Barat yang berlokasi di Kota Sorong dan pengurusnya relatif tidak aktif melakukan ekspansi keanggotaan. PATTIRO memulai pelaksanaan program di Kabupaten Sorong dengan merekrut tim program, termasuk fasilitator. PATTIRO memprioritaskan memilih kandidat yang berdomisili di lokasi program karena pertimbangan kemampuan kandidat menyesuaikan diri dengan kebiasaan setempat. Dari hasil rekrutmen tersebut terpilihlah Sri Katon menjadi fasilitator lapangan. Dia perempuan dengan disabilitas yang tidak memiliki kedua tangan, bahkan, tanpa pengalaman fasilitasi. Namun di sisi lain PATTIRO menilai Sri memiliki semangat sebagai warga lokal dan menjadi investasi sumber daya lokal di Papua Barat. Langkah pertama yang dilakukan Sri sebagai tim program adalah melakukan kunjungan informal (impromtu) ke Distrik Aimas, Distrik Mariat, dan Distrik Mayamuk secara acak hanya berbekal petunjuk terbatas dari tokoh masyarakat. Kunjungan ini bertujuan untuk mendata warga penyandang disabilitas warga asli Papua maupun pendatang. Saat berkunjung 23
menemui warga penyandang disabilitas, Sri menghadapi kendala seperti penolakan dari keluarga karena mereka merasa malu untuk terbuka bahwa mereka memiliki anggota keluarga dengan disabilitas. Ada kisah salah satu disabilitas netra bernama Wader yang pernah sempat ingin bunuh diri karena dikucilkan keluarga dan masyarakat. Strategi impromptu melalui kunjungan informal kepada keluarga dengan anggota keluarga disabilitas kemudian dikuatkan Sri dengan strategi peer-assist. Strategi yang menempatkan Sri sebagai pihak yang berbagi pengetahuan secara informal dalam kelompok kecil, terutama pada penyandang disabilitas dan keluarganya. Hingga mulailah satu persatu warga disabilitas bersedia bergabung. Hingga akhir 2015 ada 10 disabilitas menjadi pegiat aktif. Mereka merupakan bagian Sri Katon, aktivis penyandang disabilitas dari Sorong, dari 60 keluarga dengan anggota Papua Barat mempresentasikan pengalamannya bersama Program Peduli yang dijalankan bersama keluarga disabilitas yang PATTIRO dikunjungi oleh Sri. Strategi ketiga adalah kampanye publik menggunakan media massa lokal yang bertujuan untuk mengkampanyekan isu keberadaan warga disabilitas di Kabupaten Sorong. Media massa lokal yang dilibatkan adalah Radar Sorong, Radio Republik Indonesia, dan televisi lokal CWM. Liputan tentang aktivitas Sri di Radar Sorong dan Wanita Indonesia pada November 2015 memberikan informasi kepada publik terutama keluarga disabilitas yang awalnya menolak ditemui. Setelah itu, dukungan kampanye publik datang pula dari Metro TV yang ikut meliput kegiatan Sri, setelah dialog talkshow yang dilakukan di RRI dan CWM TV.Â
24
Berjuang Bersama
Box 2: Sri Pun Mampu Menjadi Fasilitator Ketika tim penjajakan awal (rapid assessment) PATTIRO bertemu pertama kali pada Mei 2015, Sri baru saja melahirkan putrinya. Kegiatan sehari-harinya lebih banyak di dalam dan sekitar rumah. Ketika kemudian terlibat menjadi penggerak di Kabupaten Sorong, dia sempat diundang ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan pembekalan dari Program Peduli Perempuan Disabilitas oleh PATTIRO. Selain itu, dia juga mendapatkan pembekalan orientasi lapangan dari Sentra Advokasi Perempuan Difabel, dan Anak (SAPDA) Yogyakarta pada Juli 2015. Awalnya rasa minder dan ketidakpercayaan Sri pada dirinya sangat besar. Adakalanya Sri merasa sungkan untuk mengeluarkan pendapat di forum. Jika berpendapat pun, sifatnya masih bertutur cerita pribadi yang bahkan tidak terkait dengan tema diskusi. Belakangan Sri sudah mampu menjadi co-fasilitator dalam beberapa diskusi. Bertugas membantu menjelaskan setiap poin atau tugas yang diberikan fasilitator kepada para peserta. Pada salah satu sesi, Sri juga mampu memfasilitasi para peserta memetakan kondisi warga disabilitas pada diri mereka sendiri, di lingkungan keluarga, masyarakat, dan pemerintahan/pembuat kebijakan.
3.2 Perubahan Kelompok Disabilitas Kabupaten Sorong Selama enam bulan melaksanakan program di Kabupaten Sorong, PATTIRO menggunakan tiga pendekatan. Pertama, pendekatan individu melalui kegiatan audiensi, kunjungan, dan pendampingan. Kedua, pendekatan kolektif melalui pertemuan-pertemuan. Ketiga, pendekatan kampanye publik melalui media elektronik dan dialog publik terbuka. Gambaran perubahan inklusi sosial warga disabilitas di tingkat kelompok yang terjadi di Kabupaten Sorong adalah sebagai berikut:
25
Proses inisiasi tumbuhnya kelompok disabilitas Kabupaten Sorong melalui serial diskusi
26
Berjuang Bersama
Box 3: Kemajuan Inklusi Sosial di Kabupaten Sorong Peningkatan Partisipasi Warga Disabilitas dalam Program Jumlah warga penyandang disabilitas yang mulai dan mau terlibat aktif dalam kegiatan program mulai meningkat. Di awal program tidak ada pertemuan warga disabilitas dan mereka masih enggan untuk berkumpul dengan sesama mereka. Bahkan ada beberapa penyangkalan tentang keberadaan penyandang disabilitas di keluarga. Warga disabilitas yang aktif mulai dari hanya dua penyandang disabilitas berkumpul, lalu menjadi empat dan mereka pun cukup aktif. Saat ini sudah ada sepuluh pegiat disabilitas yang cukup aktif untuk mengikuti kegiatan formal dan informal. Selain itu mereka juga sudah dapat berbicara atas nama warga disabilitas dan mulai didukung oleh keluarga. Sejauh ini juga sudah ada 83 keluarga dengan anggota keluarga disabilitas di Distrik Mariat dan Distrik Mayamuk terlibat dalam pertemuan keluarga dengan anggota keluarga disabilitas untuk memperjuangkan kesejahteraan anggota keluarganya yang mengalami disabilitas. Peningkatan Partisipasi Penerima Manfaat Program Tidak Langsung Di lingkaran penerima manfaat tidak langsung juga menunjukkan peningkatan partisipasi mereka terlibat dalam program. Jumlah kader kesehatan yang terlibat dalam berbagai kegiatan diskusi progam meningkat. Kader yang terlibat di Distrik Mariat bertambah dari dua orang menjadi tiga orang. Kader yang terlibat di Distrik Mayamuk juga meningkat dari tiga kader menjadi lima orang. Kader juga bersedia membantu aktivitas yang tidak dirancang dan dibiayai program seperti pendataan peserta pelatihan dan pendataan warga disabilitas berat untuk diadvokasi agar mendapatkan santunan dari Kementerian Sosial. Di sisi lain, sudah ada juga pengorganisasian para orang tua dengan anak disabilitas. Hal ini untuk membantu pergerakan kegiatan pegiat disabilitas ke lokasi kegiatan yang lebih jauh secara fisik. Inisiatif pengorganisasian dilakukan oleh para orang tua melalui beberapa kali
27
diskusi serial keluarga. Saat ini, paguyuban (organisasi) orangtua dengan anak disabilitas Kabupaten Sorong telah berperan aktif dalam setiap pelaksanaan Program Peduli Pilar Difabel, termasuk berperan dalam kegiatan pendataan warga disabilitas yang memakan waktu cukup panjang selama tiga bulan di paruh awal tahun 2016. Tim lokal PATTIRO di Kabupaten Sorong merasakan betapa pentingnya peran aktif paguyuban keluarga dengan anggota keluarga disabilitas dalam proses pendataan. Sebelumnya banyak keluarga menolak untuk didata. Baik karena faktor penyangkalan maupun rasa malu. Oleh karena itu, ketika sesama orang tua dengan anak disabilitas turut mendata, muncul keterbukaan karena adanya perasaan senasib. Pada awalnya, paguyuban orang tua dengan anak disabilitas ini diinisiasi oleh tiga orang tua dari Distrik Mariat, yaitu Ningrum, Nurhayati, dan Rukanah. Kemudian mereka pun mengundang orang tua lainnya sehingga terkumpullah 22 orang tua yang hadir pada Februari 2016. Di akhir pertemuan mereka sepakat membentuk paguyuban orang tua dengan anak disabilitas yang dikoordinir empat orang pengurus, tiga inisiator, dan satu orang asli Papua. Selain rutin mengambil bagian dalam diskusi serial disabilitas dan keluarga di masing-masing distrik, paguyuban tersebut terlibat juga dalam pendataan warga disabilitas di lima distrik bersama Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), pegiat disabilitas, dan kader kesehatan mulai Maret 2016. Paguyuban ini juga mengadakan konsultasi keluarga dengan dokter di puskesmas pada akhir April 2016.
Sampai pertengahan 2016, perubahan signifikan banyak bermunculan baik dari individu disabilitas, kelompok disabilitas tak terkecuali dari organisasi orangtua dengan anak disabilitas. Ditandai dengan disabilitas yang mampu menampilkan dirinya dari keterpurukan sebelumnya. Kelompok disabilitas yang terbentuk dan mampu berdialog dengan pemangku kepentingan. Kemudian organisasi orangtua juga menginisiasi pemeriksaan kesehatan gratis bagi disabilitas.
28
Perubahan signifikan pelaksanaan program di Kabupaten Sorong terjadi juga untuk advokasi jaminan kesehatan warga disabilitas yang dilakukan oleh organisasi orangtua dengan anak disabilitas. Mereka berhasil mengusulkan 163 warga penyandang disabilitas untuk memperoleh kartu BPJS/KIS khusus warga disabilitas yang dikeluarkan oleh BPJS.
29
Salah satu hasil temuan dari penjajakan awal tim PATTIRO Sorong ialah temuan bahwa dari kuota 20 siswa SLB di Kabupaten Sorong, hanya 4 siswa yang masih bersekolah. Selain karena faktor ekonomi keluarga dan jarak menuju sekolah yang terlalu jauh, hal ini juga disebabkan SLB yang ada tidak memiliki tenaga pengajar yang cukup. 30
Berjuang Bersama
Bab IV
Mendorong Kebijakan Inklusi Bagi Penyandang Disabilitas
S
ejak penjajakan awal di dua lokasi sasaran Program Peduli Pilar Difabel, yaitu Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Sorong, PATTIRO telah menyadari akan banyak tantangan. Sebut saja dari belum adanya data penyandang disabilitas yang terpilah perempuan dan laki-laki; belum adanya organisasi penyandang disabilitas di tingkat kabupaten di Kabupaten Sorong; dan soal ekonomi, kesehatan, dan pendidikan masyarakat penyandang disabilitas yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya program ini sejak bulan Juni 2016, relasi yang baik dengan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan setempat terus terbangun dan program pun mendapatkan respons yang positif. Hingga akhirnya lahir inisiatif penyusunan peraturan di masing-masing lokasi program yang mempertimbangkan kebutuhan warga disabilitas demi mencapai kehidupan yang inklusif. Selama program berlangsung, beberapa organisasi penyandang disabilitas dan para pegiat penyandang disabilitas yang terlibat di kedua daerah program, terus mengawal lahirnya peraturan-peraturan ini bersama dengan tim lokal PATTIRO. Mereka berperan aktif dalam penyusunan dan memberikan masukan sesuai dengan kebutuhan mereka sebagai penyandang disabilitas yang selama ini belum difasilitasi oleh pemerintah. Dalam waktu yang bersamaan, para pegiat juga membangun relasi dengan dinas-dinas terkait. Mereka berharap dapat mengawal terus peraturanperaturan ini hingga ke pelaksanaannya melalui jaringan yang telah terbangun sebelumnya. Advokasi kebijakan Program Peduli Pilar Difabel yang dijalankan oleh 31
PATTIRO, muncul pertama kali di Kabupaten Sorong. Tim program mengenalkan program ini serta beberapa regulasi tentang inklusi sosial kepada instansi dan unit layanan terkait, seperti ke kantor distrik, kelurahan, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan puskesmas. Pengenalan program bertujuan untuk membangun wacana dan pemahaman tentang inklusi sosial itu sendiri. Akan tetapi, respons yang didapatkan tidak sebaik seperti yang diharapkan. Hanya Dinas Sosial yang memberikan respons dan memberikan sinyal kerjasama yang baik terkait pembuatan regulasi tentang inklusi sosial di Kabupaten Sorong. Dinas Sosial menyambut antusias ide tersebut dan menganggapnya sebagai angin segar, karena selama ini mereka hanya mengelola program yang berbasis anggaran dari pusat maupun provinsi.
4.1 Perda Kabupaten Sorong No. 13 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Difabel Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Difabel diinisiasi pada akhir Agustus 2015 melalui kegiatan diskusi layanan yang melibatkan SKPD dan penyedia layanan kesehatan puskesmas. Pada kegiatan tersebut, para peserta yang hadir sepakat mengenai pentingnya Perda yang dapat mengatur hak-hak penyandang disabilitas memperoleh kehidupan yang layak setara dengan warga lainnya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Bertepatan Diskusi dengan Kabag Hukum Setda Kab Sorong dengan diskusi layanan dalam rangka advokasi Raperda Disabilitas
32
Berjuang Bersama tersebut, terbit instruksi bupati kepada Dinas Sosial tentang penyusunan regulasi. Jadi, proses penyusunan Raperda ini langsung mendapat lampu hijau dari bupati. Raperda ini menjadi komitmen Bupati Sorong untuk mengembangkan kesetaraan hak penyandang disabilitas. Berdasarkan hasil diskusi layanan, Dinas Sosial bersama Bagian Hukum Kabupaten Sorong bertanggung jawab dalam penggarapan draf Raperda ini, dimana tim PATTIRO Sorong juga turut berkontribusi. Penyusunan materi draf banyak mengacu pada Perda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Difabel. Draf Raperda kemudian disebarkan dan didiskusikan dalam tim kecil yang terdiri atas SKPD terkait, seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, puskesmas, pemerintah distrik, dan kelurahan. Untuk menjaring lebih banyak masukan, Pemerintah Kabupaten Sorong yang dimotori oleh Dinas Sosial menyelenggarakan sebuah forum dialog yang khusus membahas rancangan peraturan tersebut pada 22 September 2015. Forum ini menjadi media konsultasi publik draf Raperda oleh Dinas Sosial kepada komunitas penyandang disabilitas. Hadir di dalam forum ini, Kepala Bagian Hukum Kabupaten Sorong dan berbagai perwakilan Pemerintah Kabupaten Sorong lainnya seperti Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Tenaga Kerja, serta perwakilan dari Balai Latihan Kerja, dan kepala kelurahan se-Kabupaten Sorong. Selain itu, para pegiat penyandang disabilitas, pendeta, akademisi, organisasi masyarakat sipil yang menaruh perhatian pada isu penyandang disabilitas seperti Perkumpulan Tunanetra Indonesia (Pertuni) juga turut berpartisipasi. Namun sayangnya, perwakilan SKPD yang hadir tidak memberikan masukan atau kritik terhadap draf Raperda. Masukan lebih banyak datang dari pihak puskesmas yang mengomentari pasal-pasal terkait jaminan kesehatan bagi penyandang disabilitas. Sosialisasi Raperda berikutnya dilakukan melalui acara dialog di televisi lokal dengan menghadirkan narasumber Kepala Bidang Penyantunan Dinas Sosial, Kepala Bagian Hukum Kabupaten Sorong, dan pegiat penyandang disabilitas perempuan. Dalam acara yang merupakan bagian dari kegiatan
33
peringatan Hari Disabilitas Internasional 2016 ini, dibahas mengenai upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan layanan dan pemenuhan kebutuhan penyandang disabiltas. Pemda berharap, keyakinan publik terutama penyandang disabilitas dan warga peduli penyandang disabilitas meningkat, bahwa perhatian pemerintah pada penyandang disabilitas meningkat. Salah satu indikatornya, dukungan Pemda untuk menetapkan Raperda disabilitas menjadi Perda disabilitas. Bagian Hukum bersama Dinas Sosial terus mengawal draf Raperda, termasuk ketika berdiskusi dengan DPRD di Manokwari. Hasil akhir, Raperda kemudian ditetapkan menjadi Perda No. 13 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Difabel pada Desember 2016. Perda ini sendiri mencakup beberapa sektor pelayanan publik dasar, yaitu pelayanan pendidikan khusus dan inklusi; pelayanan kesehatan khusus dan jaminan khusus; ketenagakerjaan, termasuk pasal-pasal yang mengatur tentang penempatan kerja bagi penyandang disabilitas; penanganan bencana dan pasca bencana dengan prioritas dan layanan bagi penyandang disabilitas baru; dan perlindungan hukum. Salah satu hasil temuan dari penjajakan awal tim PATTIRO Sorong ialah temuan bahwa dari kuota 20 siswa SLB di Kabupaten Sorong, hanya 4 siswa yang masih bersekolah. Sisanya harus mengalami putus sekolah. Selain karena faktor ekonomi keluarga dan jarak menuju sekolah yang terlalu jauh, hal ini juga disebabkan SLB yang ada tidak memiliki jumlah tenaga pengajar yang cukup. Akhirnya ditutup, meskipun fasilitas sekolah masih 34
Berjuang Bersama ada. Oleh karena itu, Perda ini juga menjawab permasalahan tersebut. Pemda berkewajiban menyediakan fasilitas penyelenggaraan sekolah inklusi, termasuk terkait informasi, konsultasi, dan guru pembimbing khusus. Sekolah inklusi yang dimaksud di sini adalah sekolah umum yang diberikan kesempatan menerima siswa penyandang disabilitas dengan menempatkan guru khusus dan/atau melatih guru untuk dapat memberikan pembelajaran bagi siswa penyandang disabilitas. Sekolah inklusi inilah yang dapat menjadi pilihan bagi penyandang disabilitas mendapat hak pendidikan setara dengan warga lainnya. Di sektor kesehatan, pelayanan khusus kesehatan diupayakan memberikan prioritas pelayanan bagi penyandang disabilitas ketika berobat ke puskesmas dan RSUD. Jaminan khusus penyandang disabilitas akan diberikan sebagai pendamping JKN. Sebagai perlindungan hukum, Pemda juga akan bekerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum dan Perlindungan Anak untuk memberikan pendampingan ketika ada penyandang disabilitas yang harus berhadapan dengan hukum. Kesempatan kerja penyandang disabilitas merupakan salah satu materi yang sudah dimasukkan dalam Raperda. Dalam Perda No. 13 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Difabel, pasal 30 menyatakan bahwa dalam seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) Pemerintah Kabupaten Sorong wajib memberi kuota sekurangkurangnya satu persen kepada penyandang disabilitas. Pasal ini menjadi sangat penting, karena penyandang disabilitas memiliki landasan hukum untuk mendapatkan hak atas pekerjaan yang layak. Pada kenyataannya, Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disosnakertrans) sudah paham tentang aturan ini, tapi belum dilaksanakan karena Disosnakertrans belum memiliki tenaga fungsional pengawas tenaga kerja. Kini, Perda tersebut telah berusia hampir satu tahun, namun sayangnya hingga saat ini Pemerintah Kabupaten Sorong belum menetapkan alokasi anggaran untuk mendukung pelaksanaannya. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Sorong juga belum memandatkan secara pasti SKPD yang akan menjadi leading sector implementasi peraturan ini. Di sisi lain, organisasi penyandang disabilitas di Kabupaten Sorong baru saja terbentuk dan masih 35
perlu waktu untuk bergerak lebih aktif. Tentu ini mengurangi kekuatan masyarakat sipil untuk mendorong dan mengawasi implementasi Perda tersebut. Pelaksana program menindaklanjuti hal ini dengan memprioritaskan penguatan kapasitas kepada organisasi penyandang disabilitas, agar mereka dapat terus mendorong dan mengawasi implementasi Perda. Menyusul terbitnya Perda No. 13 Tahun 2015, muncul inisiatif menyusun Peraturan Bupati (Perbup) tentang Perlindungan dan Pemenuhan Kebutuhan Penyandang Disabilitas di Bidang Kesehatan sebagai kebijakan turunan dari Perda agar lebih implementatif. Akan tetapi, ketika diskusi penyusunan Perbup semakin berkembang, Bagian Hukum yang mengkaji kembali Perda tersebut, menyatakan bahwa tim penyusun Perbup perlu merevisi Perda terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan beberapa pasal dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengatur hal yang berbeda dengan Perda yang telah lebih dulu disahkan. Seperti mengenai kuota ketenagakerjaan penyandang disabilitas, UU menetapkan pemisahan kuota antara sektor sipil dan sektor swasta, yaitu dua persen dan satu persen. Sementara, Perda tidak mengatur pemisahan ini. Oleh karena itu, Perda perlu direvisi sesuai UU. Setelah proses penyusunan revisi Perda oleh Bagian Hukum selesai, dilanjutkan dengan diskusi khusus yang membahas draf revisi Perda pada 20 September 2016. Diskusi khusus diikuti oleh staf Bagian Hukum Kabupaten Sorong dan tim PATTIRO Sorong. Proses diskusi berjalan cukup panjang dengan membahas keseluruhan draf Perda yang telah direvisi. Beberapa poin yang direvisi antara lain tentang dasar penyusunan Perda; pengertian penyandang disabilitas yang menyesuaikan dengan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas; penyatuan istilah “pemerintah daerah� dan “pemerintah kabupaten�; penambahan beberapa pasal di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, dan ketenagakerjaan serta dilengkapi oleh peraturan bupati yang sedang disusun; dan perubahan persentase tenaga kerja penyandang disabilitas dari satu persen menjadi dua persen di bidang pemerintahan dan badan usaha, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hasil diskusi tersebut kemudian akan dikaji lagi oleh Bagian Hukum dan didistribusikan ke SKPD dan pemangku kepentingan untuk mendapatkan masukan. 36
Berjuang Bersama
4.2 Raperbup Kabupaten Sorong Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Kebutuhan Penyandang Disabilitas di Bidang Kesehatan Penyusunan Perbup tentang Perlindungan dan Pemenuhan Kebutuhan Penyandang Disabilitas di Bidang Kesehatan digagas para pegiat penyandang disabilitas dan tim PATTIRO Sorong untuk mengadvokasi akses layanan kesehatan yang lebih baik bagi masyarakat penyandang disabilitas di Kabupaten Sorong. Para pegiat yang tergabung dalam Forum Komunikasi Orangtua dengan Anak Difabel (FKOAD) dan Organisasi Difabel Kabupaten Sorong (ODKS) sebelumnya telah berhasil mengupayakan adanya bantuan Pemkab berupa kartu peserta BPJS Kesehatan kepada 163 penyandang disabilitas di lima distrik. Oleh karena itu, kebutuhan untuk menyusun Perbup ini menjadi penting agar penyandang disabilitas mendapat jaminan atas hak kesehatan mereka.
Box 4: Agenda Penyusunan Raperbup Kabupaten Sorong 19 Agustus 2016 Proses penyusunan Perbup diawali dengan diskusi persiapan pada 19 Agustus 2016. Diskusi ini bertujuan menyamakan persepsi tentang bentuk Perbup serta agenda penyusunannya. Peserta diskusi yang hadir adalah organisasi penyandang disabilitas yang baru terbentuk: ODKS dan FKOAD; perwakilan ketiga puskesmas kawalan Program Peduli Pilar Difabel di wilayah Sorong: Puskesmas Aimas, Puskesmas Mariat, dan Puskesmas Mayamuk; Bappeda; Dinas Sosial; Dinas Pemberdayaan Perempuan dan KB; Dinas Kesehatan; dan Bagian Hukum Kabupaten Sorong. Materi substansi yang menjadi perhatian para peserta diskusi untuk draf Perbup adalah tentang upaya pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif seperti yang diatur dalam pasal 44 Perda Nomor 13 Tahun 2015. Para peserta ingin mendorong peran puskesmas melakukan empat peran tersebut. Selama ini mereka melihat puskesmas masih kurang bisa dijangkau warga bukan penyandang disabilitas, apalagi oleh mereka yang penyandang disabilitas. Padahal pelayanan kesehatan puskesmas adalah untuk pemenuhan hak dasar 37
kesehatan semua warga. Termasuk juga kelompok rentan lain seperti lansia, bayi/balita, dan ibu hamil. Mereka memerlukan pelayanan kesehatan yang baik. Puskesmas juga didorong untuk melengkapi sarana dan prasarana pelayananannya. Apalagi setelah diluncurkannya program Rintisan Puskesmas Ramah Difabel (RPRD) di Puskesmas Aimas, Puskesmas Mayamuk, dan Puskesmas Mariat. Terkait bentuk Perbup, para peserta menyepakati Perbup ini berupa Perbup Kesehatan Inklusi. Para peserta sepakat akan bertemu lagi seminggu kemudian untuk memberikan masukan substansi Perbup.Hasil pembahasan substansi Perbup tersebut akan diteruskan ke Bagian Hukum untuk dibuatkan draf Perbup dan akan dibahas pada pertemuan selanjutnya pada 1 September 2016. 1 September 2016 Pada 1 September 2016, proses penyusunan Perbup dijadwalkan akan membahas draf Perbup setelah mendapat masukan yang dikompilasikan oleh Bagian Hukum Kabupaten Sorong. Akan tetapi, Bagian Hukum belum bisa menyampaikan hasil kompilasi substansi draf Perbup, melainkan menyampaikan hasil kajian draf Perbup dan Perda Nomor 13 Tahun 2015 mengacu pada peraturan di atasnya, yakni UU Nomor 8 Tahun 2016. Beberapa poin hasil kajian meliputi: • Perda perlu direvisi dengan mengacu UU Nomor 8 Tahun 2016, karena dasar pijakan Perda masih mengacu pada undang-undang yang lama. • Dalam Perda Nomor 13 Tahun 2015, hanya ada satu pasal yang dapat dijadikan acuan menyusun peraturan bupati terkait kesehatan dan itu hanya mengatur tentang jaminan kesehatan khusus, sehingga belum ada cantolan pasal dalam Perda terkait dengan akses dan layanan. Dengan mempertimbangkan kedua poin hasil kajian Bagian Hukum tersebut, maka peserta menyepakati untuk merevisi Perda. Perda akan direvisi dengan menghapus beberapa pasal, khususnya terkait jaminan kesehatan khusus. Pembahasan tentang jaminan kesehatan (Jamkesda dan JKN) telah diatur dalam tiga pasal sekaligus, yaitu pasal 55 ayat 4, pasal 56, dan pasal 57. Selain itu, cantolan pasal terkait kesehatan yang 38
Berjuang Bersama
diusulkan diatur dalam pasal 43 ayat 2. Persentase alokasi tenaga kerja untuk penyandang disabilitas di bidang pemerintahan disesuaikan dengan UU Nomor 8 Tahun 2016, dari satu persen menjadi dua persen. 16 September 2016 Pada 16 September 2016, diskusi penyusunan Perbup kembali dilaksanakan dan diikuti oleh staf Bagian Hukum dan tim PATTIRO Sorong. Dalam diskusi ini, kedua belah pihak membahas kendala penyusunan Perbup yang tidak memiliki acuan substansi di Perda yang sudah ada. Perda yang ada belum memiliki pasal yang mengatur tentang kesehatan, khususnya terkait Rintisan Puskesmas Ramah Difabel (RPRD). Sehingga, di sini perlu revisi Perda untuk menambah substansi tentang RPRD yang akan menjadi acuan Perbup dan Perda juga perlu direvisi mengacu pada UU tentang Penyandang Disabilitas. Bagian Hukum akan kembali membuat kajian untuk revisi Perda. 20 September 2016 Pada 20 September 2016 kembali dilakukan pertemuan untuk membahas masukan substansi Perbup dari pemangku kepentingan. Pada pertemuan tersebut, revisi draf Perda juga berhasil dirampungkan dengan mengacu UU Nomor 8 Tahun 2016. Draf Perda yang direvisi akan dibawa ke Bagian Hukum untuk difinalisasi. Sementara, pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan adalah draf Peraturan Bupati tentang Kesehatan Inklusi. Diskusi-diskusi informal terus dilakukan tim PATTIRO Sorong dengan Bagian Hukum untuk mendapatkan masukan dari beberapa pemangku kepentingan, seperti puskesmas, Dinas Sosial, dan Dinas Kesehatan. Pertemuan selanjutnya direncanakan apabila draf Perbup telah tersedia. Beruntung, pemerintah daerah melalui Bagian Hukum, Dinas Sosial, dan Bappeda memiliki antusiasme untuk terus mengawal Perbup ini hingga dapat disahkan.
Berkaca pada pengalaman pelaksana program memfasilitasi penyusunan Perda dan draf Perbup, ternyata tidak semua SPKD menganggap dua regulasi tersebut penting. Hal ini terjadi karena pemahaman tentang inklusi sosial di masing-masing dinas masih kurang 39
dan belum sampai ke staf. Ke depan, perlu dirancang program sosialisasi untuk memberikan pemahaman yang luas tentang inklusi sosial dan perlunya berbagai regulasi untuk menjamin pelaksanaannya. PATTIRO berharap draf revisi Perda tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Difabel dan Rancangan Perbup tentang Perlindungan dan Pemenuhan Kebutuhan Penyandang Disabilitas di Bidang Kesehatan dapat segera disahkan. Dengan demikian, penyandang disabilitas di Kabupaten Sorong dapat memperoleh hak-hak dasarnya seperti hak pendidikan dan hak kesehatan serta dapat hidup yang layak dengan mengembangkan potensinya.
4.3 Raperbup Kabupaten Lombok Barat Tahun 2016 tentang Pendidikan dan Kesehatan Inklusi Advokasi kebijakan Perbup Kabupaten Lombok Barat tentang Pendidikan dan Kesehatan Inklusi tercetus ketika penyandang disabilitas yang didampingi PATTIRO mengeluhkan kurangnya program pengembangan dan kemandirian dari Dinas Sosial. Kepala Dinas Sosial mengungkapkan latar permasalahan keluhan penyandang disabilitas, karena pihaknya tidak memiliki anggaran untuk mengupayakan program bagi penyandang disabilitas. Program yang ada selama ini menurutnya, merupakan program yang dibiayai APBN dan APBD Provinsi.
Box 5: Agenda Penyusunan Raperbup Kabupaten Lombok Barat 3 Desember 2015 Organisasi penyandang disabilitas Lombok Barat bersama tim PATTIRO lokal beraudiensi dengan Bupati Lombok Barat saat perayaan Hari Disabilitas Internasional 3 Desember 2015. Pada momentum tersebut, organisasi penyandang disabilitas menyampaikan agar pemerintah kabupaten memfasilitasi pemenuhan kebutuhan hak-hak dasar mereka agar hidup layak sebagai warga. Mereka juga menyampaikan perlunya payung hukum yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas yang tentu saja disediakan juga anggarannya. Beruntung desakan mereka ditanggapi positif oleh bupati. 40
Berjuang Bersama Awalnya regulasi yang diusulkan kepada bupati berbentuk Perda. Namun dengan mempertimbangkan konsekuensi pengesahan suatu Perda memerlukan anggaran yang besar hingga Rp 400 juta dan memakan waktu lama karena harus dibahas bersama DPRD, maka bentuk regulasi yang dipilih adalah Perbup. Pemilihan regulasi Perbup karena penyusunan dan penetapannya hanya di tingkat eksekutif Pemkab. Bupati Lombok Barat mendukung Perbup ini. Sambil menunggu pengesahan Rancangan UU Penyandang Disabilitas waktu itu, bupati meminta Bagian Organisasi dan Tata Laksana Sekretaris Daerah (Ortala Setda) Kabupaten Lombok Barat bersama beberapa organisasi penyandang disabilitas di Lombok Barat dan tim PATTIRO lokal untuk segera menyusun draf Perbup tersebut. 22 April 2016 Penyusunan draf Perbup tentang Pendidikan dan Kesehatan Inklusi di Kabupaten Lombok Barat dimulai pada 22 April 2016 dalam sebuah acara forum dialog yang dihadiri penerima manfaat program dan pemangku kepentingan. Mereka bertemu untuk memetakan masalah aksesibilitas dan pemenuhan hak pendidikan dan kesehatan penyandang disabilitas dan bagaimana solusinya. Hasil dialog kemudian akan menjadi bahan penyusunan Perbup. Penerima manfaat program yang hadir dalam dialog adalah P3D (Pusat Pengembangan dan Pelatihan Difabel) Kecamatan Labuapi, KDLB (Kelompok Difabel Lingsar Bergerak) Kecamatan Lingsar, organisasi olahraga untuk penyandang disabilitas (NFC) Lombok Barat, Forum Komunikasi Keluarga dan Anak Dengan Kecacatan (FKKADK), Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) wilayah Lombok Barat. Sedangkan dari pemangku kepentingan hadir Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) Labuapi dan Lingsar; Puskesmas Labuapi dan Puskesmas Lingsar; Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Dikpora); Dinas Pekerjaan Umum (Dinas PU), Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disosnakertrans); dan Bagian Ortala Setda Lombok Barat yang paling aktif dalam penyusunan Perbup. Forum dialog dibuka dengan presentasi Kepala Bagian (Kabag) Ortala Setda Lombok Barat. Beliau membahas kondisi pelayanan publik sektor pendidikan dan kesehatan, serta regulasi yang terkait dengan pendidikan dan kesehatan inklusi di Kabupaten Lombok Barat. Dia menekankan pentingnya peran lintas sektor seperti Dinas PU, Dinas Sosial, dan SKPD 41
lainnya dalam mewujudkan pendidikan dan kesehatan inklusi. Secara hierarki, Perbup ini dirancang sebagai turunan dari Perda Kabupaten Lombok Barat No. 7 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang sudah ditetapkan oleh DPRD Kabupaten Lombok Barat. Presentasi lainnya dari Dinas PU yang memaparkan langkah-langkah mereka melakukan intervensi terhadap bangunan gedung fasilitas publik di Kabupaten Lombok Barat. Dinas PU memiliki peran penting dalam melakukan verifikasi dan persetujuan desain gambar bangunan gedung yang diajukan oleh pihak ketiga dalam bentuk dokumen Detail Engineering Design (DED). Kemudian Kepala Puskesmas Labuapi dan Kepala Puskesmas Lingsar berbicara mengenai puskesmas yang masih mengalami kendala biaya dalam memenuhi kebutuhan pengobatan penyandang disabilitas di puskesmas. Sementara menyangkut aspek fisik bangunan puskesmas yang harus ramah penyandang disabilitas, keduanya menilai sebagai urusan Dinas Kesehatan yang membawahi puskesmas dan Dinas PU yang berwenang mengintervensi spesifikasi bangunan puskesmas dan fasilitasnya. Pemaparan berikutnya dilakukan oleh Dinas Pendidikan. Mereka menghadapi kendala yang hampir sama dengan sektor kesehatan, yaitu infrastruktur dan tenaga pengajar yang belum ramah penyandang disabilitas. Berdasarkan pemetaan masalah pendidikan yang dihadapi penyandang disabilitas, peserta forum dialog pun sepakat untuk memilih model pendidikan inklusi. Mereka akan mengintegrasikan sekolah inklusi dengan SLB untuk mengatasi keterbatasan sumber daya guru yang kompeten untuk mengajar siswa penyandang disabilitas di sekolah inklusi. Perwakilan kelompok penyandang disabilitas yang hadir saat itu mengakui kebutuhan mereka akan adanya petugas dan/atau tenaga pengajar yang kompeten untuk mengajar siswa penyandang disabilitas, serta aksesibilitas bangunan dan pelayanan pendidkan dan kesehatan yang ramah penyandang disabilitas. Semua pihak yang hadir dalam forum dialog, di akhir acara menyepakati rumusan hasil pemetaan masalah tentang pelayanan sekolah dan puskesmas inklusi. Ada tiga isu utama yang akan menjadi substansi Perbup, yaitu fasilitas dan infrastruktur, ketersediaan dan kualitas petugas 42
Berjuang Bersama
pelayanan dan/atau tenaga pengajar bagi penyandang disabilitas, dan program dan pelayanan bagi penyandang disabilitas di puskesmas dan sekolah. Para peserta kemudian merencanakan penyusunan sistematika Perbup berdasarkan rumusan hasil forum dialog ini dan merencanakan pula perumusan draf Perbup. Tim penyusun Perbup melibatkan beberapa pihak, yaitu Bagian Ortala Setda, tim PATTIRO Lombok Barat, dan beberapa orang perwakilan dari organisasi penyandang disabilitas P3D Kecamatan Labuapi dan KDLB Kecamatan Lingsar. 2 Mei 2016 Forum dialog penyusunan Perbup Pendidikan dan Kesehatan Inklusi untuk kedua kalinya dilakukan pada 2 Mei 2016. Peserta yang hadir berasal dari perwakilan P3D Kecamatan Labuapi dan KDLB Kecamatan Lingsar, perwakilan Dinas Sosial, Dinas Keagamaan, Bagian Ortala Setda, dan Bagian Hukum. Para peserta membahas draf awal Perbup hasil forum dialog pertama dan materi yang belum masuk saat itu. Materi yang dibahas panjang lebar adalah penyediaan moda transportasi bagi penyandang disabilitas yang bersekolah di SLB atau sekolah inklusi. Kelompok penyandang disabilitas yang hadir menegaskan bahwa permasalahan transportasi selama ini selalu menjadi alasan banyaknya anak penyandang disabilitas putus sekolah karena jarak antara sekolah dan rumah yang terlalu jauh. Pemda atau SKPD sendiri tidak bisa memberikan komitmen apapun dan akan menunggu sikap bupati ketika menerima dan mempelajari draf Perbup. Dalam forum ini dibahas juga sistematika Perbup dan disepakati berdasarkan sektor. 9 Juni 2016 Selanjutnya, forum dialog ketiga penyusunan Perbup Pendidikan dan Kesehatan Inklusi ini dilaksanakan pada 9 Juni 2016 di Ruang Umar Madi Aula Wakil Bupati Lombok Barat dan dihadiri oleh sekitar 25 orang peserta. Mereka merupakan perwakilan dari Bagian Hukum, Bagian Ortala Setda Lombok Barat, Dinas Kesehatan, Dikpora, Dinas PU, Disosnakertrans, perwakilan organisasi penyandang disabilitas, dan tim PATTIRO Lombok Barat. Pada kesempatan tersebut, tim penyusun berhasil memasukkan tambahan substansi Perbup dari pemangku kepentingan lainnya. Kemudian tim penyusun melakukan finalisasi draf Perbup ini berdasarkan 43
aspek legal drafting. Hasil akhir forum ini adalah rancangan Perbup tentang Pendidikan dan Kesehatan Inklusi yang siap untuk diajukan sebagai Perbup. Meskipun draf Perbup sudah siap, peserta menilai adanya tantangan terkait momentum penerbitannya karena belum keluarnya peraturan pemerintah (PP) sebagai turunan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Sebagian peserta memandang penetapan Perbup ini harus menunggu PP terlebih dahulu, sebagian lainnya memandang tidak harus menunggu PP. Yang penting kata mereka, draf Perbup yang telah disusun tidak bertentangan dengan UU Nomor 8 Tahun 2016. Peserta forum juga meminta SKPD terkait seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan dan Olahraga, serta Dinas Sosial untuk mengkaji secara teknis peluang dan hambatan untuk mengimplementasikan Perbup ini berdasarkan kondisi SKPD masing-masing. Termasuk seperti apa mekanisme koordinasi lintas instansi untuk proses sinkronisasi anggaran dan program dalam pembuatan kartu disabilitas seperti yang dipraktikkan di DI Yogyakarta berdasarkan Perda Nomor 4 Tahun 2012. Kartu disabilitas ini akan menjadi semacam “kartu sakti� bagi masyarakat penyandang disabilitas yang ingin mengakses pelayanan publik apapun. Termasuk bantuan-bantuan sosial dari pemerintah, seperti alat bantu penyandang disabilitas. Pemkab sangat mendukung pengadaan kartu disabilitas. Mereka berencana melakukan studi banding ke Provinsi DI Yogyakarta untuk memahami secara tepat implementasi kartu disabilitas.
Tidak semua tuntutan kelompok penyandang disabilitas dapat masuk dalam Perbup. Seperti yang telah dibahas pada forum dialog kedua, hambatan transportasi menjadi momok para siswa penyandang disabilitas yang bersekolah. Faktor jarak antara sekolah dengan rumah mereka yang jauh tidak diimbangi ketersediaan moda transportasi yang ramah penyandang disabilitas. Hingga akhirnya berdampak pada tingginya kasus putus sekolah di kalangan mereka. Namun Pemda menyatakan tidak bisa mencari anggaran untuk pos ini, sehingga kebutuhan akan ketersediaan transportasi ramah penyandang disabilitas tidak dapat diatur dalam rancangan Perbup. 44
Berjuang Bersama
Rintisan Puskesmas Ramah Difabel (RPRD) juga tidak diatur dalam Perbup ini, karena desain fisik puskesmas yang ramah penyandang disabilitas harus masuk ke dalam peraturan ini. Di sisi lain, arahan yang diberikan Dinas PU terlampau teknis (penjelasan detil item per item) dan banyak menggunakan istilah kontruksi bangunan, sehingga tidak mudah dipahami oleh peserta dan tim penyusun. Program RPRD sebenarnya telah diinisiasi di dua puskesmas yang didampingi PATTIRO di Lombok Barat, yaitu Puskesmas Labuapi dan Diskusi dengan Kabid Pelayanan Kesehatan Dinas Puskesmas Lingsar. Sejauh ini, Kesehatan Kab Lombok Barat membahas Draft perubahan yang telah berhaRaperbup Pendidikan dan Kesehatan Inklusi sil dilakukan oleh pihak puskesmas adalah pemasangan ram (pegangan bagi penyandang disabilitas netra) di dinding, jalur landai untuk kursi roda, ruangan poli yang lebih luas untuk memfasilitasi penyandang disabilitas daksa dengan kursi roda, dan kamar mandi yang ramah penyandang disabilitas. Kesemuanya merupakan inisiatif kebijakan dari masing-masing kepala puskesmas. Tuntutan lainnya yang tidak diatur dalam draf Perbup adalah kebutuhan membangun SLB di setiap kecamatan. Namun, Pemkab Lombok Barat memberikan jalan keluar berupa aturan bahwa di setiap kecamatan wajib memiliki minimal satu sekolah inklusi. Secara umum, organisasi-organisasi penyandang disabilitas yang sudah terlibat dalam penyusunan Perbup, menyambut baik respons positif Pemkab Lombok Barat, terutama Bagian Ortala Setda Lombok Barat. Ketika terjadi pergantian Kabag Ortala Setda, pejabat yang lama membantu menjelaskan seluruh proses penyusunan Perbup kepada penggantinya. 45
Dukungan pejabat lama Ortala membantu kelancaran finalisasi draf. Saat ini, draf Perbup telah masuk ke Bagian Hukum Pemkab Lombok Barat untuk ditindaklanjuti. Organisasi penyandang disabilitas yang terlibat berharap agar Perbup disahkan dalam waktu dekat. Mereka juga meminta Pemkab menjamin pelaksanaan Perbup tentang Pendidikan dan Kesehatan Inklusi setelah disahkan.
4.4 Pembelajaran Pada Bab II, beberapa poin pembelajaran terkait capaian program ini telah disampaikan. Akan tetapi, bagaimana dengan strategi advokasi kebijakan seperti yang dibahas pada bab IV ini? Apakah ada hal yang berbeda yang dilakukan? Berdasarkan pengalaman pelaksanaan program dari kedua wilayah ini, beberapa strategi penting yang dilakukan dalam usaha untuk mendorong kebijakan bagi penyandang disabilitas, antara lain: Pertama, membangun relasi dengan aktor kunci (champion) di dinasdinas yang menjadi mitra kerja. Kabupaten Sorong telah membuktikannya dengan membangun kerjasama dengan Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial dan Kepala Bagian Hukum Sekretaris Daerah (Setda). Begitu pula dengan Kabupaten Lombok Barat yang membangun kerjasama dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan dan Kepala Bagian Ortala Setda. Bentuk kerjasama yang dimaksud di sini dimulai bahkan sejak inisiasi program. Setelah mendapatkan dukungan, kemudian tim lapangan melibatkan para aktor kunci ini secara intensif dan terus-menerus. Semakin mereka terpapar dengan permasalahan inklusi sosial dan mereka pun akan semakin paham dengan isu yang sedang diusung. Ketika sudah paham, mereka akan semakin cepat dan semakin terbuka dalam merespons kebutuhan penyelesaiannya, sehingga mengarahkan sumber daya yang dikelola berpihak terhadap kaum penyandang disabilitas melalui penyusunan regulasi daerah. Keterlibatan champion-champion ini pun telah memudahkan komunikasi untuk menjaring dukungan yang lebih kuat dari stakeholder lainnya yang terkait dan pemegang kewenangan yang lebih tinggi 46
Berjuang Bersama (eksekutif). Dari pengalaman Kabupaten Sorong, semangat perubahan untuk inklusi yang begitu besar dari pejabat publik juga telah terbukti mempercepat disahkannya Perda No. 13 tahun 2015, karena upaya keras mereka mengawal peraturan ini hingga ke DPRD di Manokwari. Sedangkan pengalaman Kabupaten Lombok Barat, aktor kunci di Bagian Ortala Setda, yaitu kepala bagian sempat mengalami pergantian posisi, sehingga sempat menghambat proses finalisasi Perbup. Apalagi ketika harus membangun hubungan dengan kepala bagian yang baru. Namun penundaan tersebut tidak berlangsung lama, karena Kepala Bagian Ortala Setda yang sebelumnya tidak kemudian lepas tangan. Beliau terus membantu mengawal dan memastikan kepala bagian yang baru melanjutkan proses yang sudah berjalan. Inilah mengapa penting untuk membangun relasi dengan sang aktor kunci. Kedua, menjaring dukungan dari pihak eksekutif di wilayah target. Seperti yang diceritakan sebelumnya, advokasi kebijakan di masing-masing daerah mendapat lampu hijau ketika telah mengantongi dukungan dari pimpinan setempat. Hal ini penting, karena menunjukkan komitmen Pemda terhadap perbaikan di isu inklusi sosial. Pada tahap finalisasi, proses pengesahan pun akan lebih mudah, karena dukungan penuh dari bupati sudah dipegang. Cara mendapatkan dukungan ini pun bisa bermacam-macam. Bisa dengan komunikasi melalui champion dari dinas yang menjadi rekan kerja, seperti yang terjadi di Sorong. Bisa pula dengan menggunakan momentum hari penting, seperti perayaan HDI di Lombok Barat. Khusus pada contoh yang terakhir, cara ini dirasa paling efektif. Mengapa? Karena momentum HDI di Lombok Barat dirayakan dengan pawai bersama yang menggerakkan berbagai elemen masyarakat. Baik yang penyandang disabilitas maupun yang bukan. Sehingga merupakan kegiatan yang cukup besar di Lombok Barat, dan gaung kegiatan inilah yang telah berhasil menarik perhatian Pemda. Ketiga, pendekatan partisipatif dengan mengikutsertakan kelompok penerima manfaat dan penyedia layanan kesehatan dalam setiap diskusi pembahasan. Sebagaimana pembahasan pada Bab II tentang pendekatan 47
partisipatif, keterlibatan aktif penerima manfaat dalam setiap pelaksanaan program berkontribusi pada capaian-capaian yang lebih signifikan. Tidak terkecuali pada proses advokasi penyusunan peraturan daerah di sini. Keterwakilan penerima manfaat melalui para pegiat penyandang disabilitas dirasa sangat membantu diskusi dengan memberikan masukan berdasarkan pengalaman masyarakat penyandang disabilitas ketika bersentuhan dengan sektor pelayanan publik. Mereka menyampaikan hak-hak dasar mereka sebagai warga yang selama ini belum terpenuhi karena pelayanan publik yang mengeksklusi penyandang disabilitas, seperti pada fasilitas kesehatan dan pendidikan. Semuanya agar terakomodir dalam peraturan yang disusun. Banyak hal positif yang didapat kemudian. Keterlibatan kelompok penyandang disabilitas dalam setiap proses penyusunan menjadi ajang peningkatan kapasitas dan kepercayaan diri mereka dalam berinteraksi dengan pemerintah daerah dan menyampaikan pendapat mereka. Selain itu, komunikasi langsung yang terjadi antara penyandang disabilitas dan Pemda memberikan sense of urgency kepada SKPD terkait sebagai pemegang kekuasaan, bahwa perubahan menuju inklusi sosial harus disegerakan. Apalagi mengingat masih banyaknya pembenahan yang harus dilakukan. Hubungan ini juga telah membuka ruang relasi untuk kerjasama langsung di masa yang akan datang, tanpa melalui perantara program. Di sisi lain, penyedia layanan kesehatan sebagai salah satu rekan kerja Program Peduli Pilar Difabel juga turut dilibatkan dalam proses ini. Keterlibatan ini penting mengingat puskesmas akan menjadi salah satu aktor penting dalam pelaksanaan peraturan daerah ini di sektor kesehatan. Oleh karena itu, para kepala puskesmas yang dikawal oleh tim lapangan PATTIRO di kedua wilayah kerap menghadiri diskusi penyusunan. Sama halnya seperti kelompok penyandang disabilitas, mereka juga banyak memberikan masukan berdasarkan kebutuhan dan benturan yang dihadapi dalam mengelola masing-masing puskesmas untuk mengarahkan kepada layanan kesehatan yang ramah penyandang disabilitas, terutama dalam hal anggaran.
48
Keempat, mengumpulkan contoh peraturan-peraturan daerah lainnya yang berkaitan sebagai bahan referensi penyusunan. Bahan referensi ini penting, apalagi pemahaman inklusi sosial memang masih tergolong kurang di masingmasing wilayah program, terutama Kabupaten Sorong. Kabupaten Lombok Barat sendiri sebenarnya sudah cukup terpapar terhadap advokasi kebijakan pro penyandang disabilitas, karena kabupaten tetangga, yaitu Kabupaten Lombok Tengah telah mendeklarasikan diri sebagai kabupaten inklusi. Dalam proses penyusunan Perda Kabupaten Sorong No. 13 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Difabel, tim penyusun mengambil contoh pada Perda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Difabel. Semangat inklusi sosial memang telah lama berkembang di Provinsi DI Yogyakarta, baik dari sisi masyarakat maupun dari sisi pemerintahnya, sehingga menjadi pembelajaran bagi banyak wilayah di Indonesia. Sementara dalam penyusunan rancangan Perbup Kabupaten Sorong Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Kebutuhan Penyandang Disabilitas di Bidang Kesehatan, tim penyusun banyak menggunakan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Perda No. 13 Tahun 2015 sebagai bahan referensi. Perbup ini merupakan turunan dari Perda itu sendiri. Tidak jauh berbeda dengan Kabupaten Sorong, Rancangan Perbup Kabupaten Lombok Barat Tahun 2016 tentang Pendidikan dan Kesehatan Inklusi juga mengacu pada Perda yang berkaitan yang telah disusun sebelumnya, dalam hal ini adalah UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Perda No. 7 Tahun 2015 tentang Penyelenggaran Pelayanan Publik. Mengenai implementasi lintas sektor, Perbup ini juga banyak mengacu pada Perda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Difabel. Suatu pencapaian akan menjadi kesuksesan yang lebih berarti ketika dapat dicontoh oleh lebih banyak orang. Sama halnya dengan capaian regulasi yang telah diperjuangkan selama perjalanan Program Peduli Pilar Difabel ini. Sepatutnya pembelajaran ini dapat dipraktikkan di seluruh wilayah di Indonesia guna mewujudkan pelayanan publik yang inklusif bagi kelompok penyandang disabilitas. 49
Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan komunitas tentang isu penyandang disabilitas, termasuk hak-hak yang harus mereka peroleh, maka mereka pun mampu membuat rangkaian kegiatan yang disusun berdasarkan kesepakatan dan dilaksanakan secara maksimal.
50
Berjuang Bersama
Bab V
Sukses Komunitas Warga Difabel Lombok Barat
S
alah satu keberhasilan pelaksanaan Program Peduli Pilar Difabel PATTIRO di Kabupaten Lombok Barat adalah tampilnya penyandang disabilitas menjadi pegiat yang memprakarsai kelahiran komunitas mereka. Padahal mereka baru aktif melibatkan diri dalam kegiatan di luar rumah/keluarga ketika PATTIRO melaksanakan program di sana. Komunitas penyandang disabilitas yang mereka dirikan adalah P3D di Kecamatan Labuapi dan KDLB di Kecamatan Lingsar. Adalah sebuah pembelajaran bahwa ketika program didesain untuk memberi peluang bagi penerima manfaat dalam hal ini warga penyandang disabilitas untuk terlibat aktif, maka hal tersebut dapat mendorong mereka untuk memperjuangkan hak hidupnya sesuai konstitusi. Bahkan, mereka pun dapat berkontribusi bagi komunitas dan lingkungannya dengan cara mengadvokasi kebijakan Pemda Kabupaten Lombok Barat agar memihak mereka.
5.1 Menginisiasi P3D dan KDLB di Kabupaten Lombok Barat Pendirian P3D dan KDLB dimulai dari penjajakan awal (rapid assessment) program yang dilakukan pada Mei 2015. Penjajakan yang dilakukan PATTIRO bertujuan untuk mengetahui keberadaan warga penyandang disabilitas. Teknik penjajakan meliputi mewawancarai warga penyandang disabilitas mengonfirmasi data yang ada, mendatangi rumah warga dan bertanya kepada pengurus RT serta berkoordinasi dengan Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan puskesmas. Penjajakan tersebut menghasilkan beberapa temuan penting: Dinas Sosial belum memiliki data terpilah warga penyandang disabilitas; 51
puskesmas juga belum memiliki data terpilah pasien penyandang disabilitas karena tidak ada arahan dan instrumen dari Dinas Kesehatan; dan banyak warga penyandang disabilitas yang belum mendapatkan hak JKN karena mereka tidak memperoleh informasi yang jelas dari lembaga terkait dan mereka tidak memiliki kelengkapan adminduk. Tidak tersedianya data warga penyandang disabilitas yang memadai telah menghambat peluang mereka memperoleh hak hidup layak sesuai kemanusiaan. Padahal Pemerintah Pusat dan Pemda memerlukan data yang akurat penyandang disabilitas untuk membuat kebijakan yang tepat sasaran. Temuan dari penjajakan lainnya terkait banyaknya penyandang disabilitas yang telah mengikuti pelatihan pengembangan ketrampilan, tapi tidak mampu berusaha sendiri. Hal ini tidak terlepas dari pemahaman penyandang disabilitas, keluarga mereka, dan masyarakat mengenai stigma ekslusi warga penyandang disabilitas. Mereka umumnya dibiarkan terkungkung di lingkungan sempit rumah/keluarga (eksklusi) karena keterbatasan mereka. Mereka tidak dibimbing dan diperlakukan keluarganya untuk mengembangkan potensi dirinya di luar rumahnya terutama dalam kemampuan sosial dan ekonomi. PATTIRO datang mendorong partisipasi warga penyandang disabilitas untuk aktif bergerak memperjuangkan pemenuhan hak hidup layak mereka. PATTIRO juga mendorong agar mereka bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan di Kabupaten Lombok Barat dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Melalui diskusi serial pengembangan kapasitas dan pengetahuan mengenai isu penyandang disabilitas, PATTIRO ingin mendorong mereka agar mampu berdialog dengan Pemda dan merancang kegiatan sesuai kebutuhan yang tentu saja harus disepakati forum diskusi tersebut. Setelah beberapa kali diskusi, tim program menemukan siapa saja warga penyandang disabilitas yang aktif mengikuti kegiatan dan sekaligus menyumbang gagasan untuk mengembangkan warga penyandang disabilitas di Kecamatan Labuapi dan Kecamatan Lingsar. Sementara untuk hasil diskusi, forum merekomendasikan pembentukan sebuah komunitas warga penyandang disabilitas sebagai wadah untuk melakukan kegiatan, 52
Berjuang Bersama sumbang ide, curah pendapat, dan mengadvokasi pemerintah. Dari sinilah lahir P3D dan KDLB. Komunitas warga penyandang disabilitas berkembang pesat dan kompak. Mereka berhasil melakukan banyak kegiatan. Salah satunya adalah mendata warga penyandang disabilitas yang ada di Kecamatan Labuapi dan Kecamatan Lingsar. Kegiatan lainnya, mereka mengelola sendiri setiap kegiatan diskusi serial dan acara besar seperti Hari Disabilitas Internasional (HDI). Mereka juga sudah mampu berdialog dengan unit layanan dan dinas setempat dalam rangka menyampaikan apa saja kebutuhan mereka, hak apa saja yang belum mereka terima, dan masalah apa saja yang selama ini mereka hadapi. Mereka berdialog dengan membawa data hasil baseline survey. Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan komunitas tentang isu penyandang disabilitas, termasuk hak-hak yang harus mereka peroleh, maka mereka pun mampu membuat rangkaian kegiatan yang disusun berdasarkan kesepakatan dan dilaksanakan secara maksimal. Mereka melakukan baseline survey secara partisipatif dengan melibatkan para pegiat penyandang disabilitas di setiap prosesnya. Pegiat penyandang disabilitas menjadi pelaksana survei, di mana melalui kegiatan ini mereka
Kepemilikan Identitas di Kab. Lombok Barat Akte Kelahiran Surat Nikah KK
2% N=120
7% 34%
KTP Sumber: Laporan Baseline Survey Program Peduli oleh PATTIRO, 2015
53
belajar bersama mengenai situasi, kondisi, permasalahan, dan potensi yang mereka miliki. Dari 120 responden baseline survey yang dilakukan pada September 2015 tersebut, memperlihatkan bahwa hanya 63 responden atau 53 persen penyandang disabilitas memiliki KTP dan 58 responden atau 36 persen penyandang disabilitas memiliki KK. Selain itu, hanya 7 responden atau 4 persen penyandang disabilitas memiliki BPJS kesehatan.
Box 6: Sukses Komunitas Advokasi BPJS PBI-Jaminan Kesehatan Warga Difabel Kegiatan awal survei berupa pembekalan bagi surveyor sebelum mereka turun lapangan mengumpulkan data dari 120 responden dari dua puskesmas di Kecamatan Labuapi dan Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat. Sebelumnya, pelaksana program merekrut 10 surveyor, sebanyak lima orang dari aktivis penyandang disabilitas sebagai penerima manfaat langsung program, sedangkan lima lagi dari kader kesehatan dan pekerja sosial sebagai penerima manfaat tidak langsung program. Salah satu hasil survei yang mencengangkan adalah dari 120 responden hanya tujuh orang yang memiliki jaminan kesehatan. Sisanya 113 orang tidak memiliki jaminan kesehatan karena tidak punya identitas diri berupa KTP dan KK. Kondisi masyarakat yang menstigma penyandang disabilitas sebagai warga yang hidup dengan keterbatasan membuat mereka tereksklusi sosial alias hidup terkucil dari lingkungan masyarakatnya. Walhasil banyak penyandang disabilitas yang tidak memiliki dokumen identitas. Ini merupakan sebuah pelanggaran hak asasi dan rintangan mendasar bagi mereka untuk berpartiÂsipasi dalam masyarakat. Menindaklanjuti temuan survei mengenai kecilnya akses warga penyandang disabilitas terhadap BPJS Kesehatan, tim program dan komunitas beraudiensi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat pada Oktober 2015. Namun Dinkes menyatakan tidak bisa mengurus bantuan JKN/BPJS Kesehatan penyandang disabilitas dan mengarahkan tim untuk mengurus ke Disosnakertrans. Dalam pertemuan lintas sektor dan audiensi dengan Disosnakertrans pada bulan yang sama dibahas lagi usulan tersebut. Namun Disosnakertrans belum bisa mengusulkan warga penyandang disabilitas memperoleh JKN secara khusus. Pasalnya 54
Berjuang Bersama
masyarakat yang bisa diusulkan adalah masyarakat miskin yang masuk data kemiskinan BPS tahun 2011 sebagaimana yang diatur dalam PP No. 101 Tahun 2012. Melihat peluang JKN yang sangat kecil untuk diakomodir di Disosnakertrans, pada 6 Januari 2016 tim melakukan audiensi lagi dengan Dinas Kesehatan. Tim mempertanyakan kemungkinan alokasi APBD Kabupaten Lombok untuk PBI BPJS Kesehatan/JKN bagi warga penyandang disabilitas. Dinas Kesehatan merespons dengan menyatakan komitmennya untuk memberikan prioritas JKN kepada warga penyandang disabilitas, terutama warga dengan disabilitas cacat berat yang belum memiliki BPJS. Tim dan Dinas Kesehatan sepakat mengikuti prosedur yang berlaku yang salah satunya menyertakan rekomendasi dari Dinas Sosial. Tim merasa proses lobi, audiensi, dan forum dialog belum membuahkan hasil maksimal. Langkah penguatan selanjutnya adalah menggelar diskusi serial selama dua hari 13-14 Januari 2016 bertema “pemenuhan hak penyandang disabilitas atas BPJS PBI Jaminan Kesehatan�. Tindak lanjut diskusi ini, peserta sepakat agar komunitas memfasilitasi aksi kolektif dan membentuk tim advokasi di masing-masing kecamatan. Tim P3D Labuapi diketuai oleh Fauzan Nasri dan dibantu Khalid, Marjanah, Budi Santoso, dan Jailani. Sedangkan tim KDLB diketuai Nurjiah dan dibantu Amirah, Jakranah, dan Gondrong. Berikut rencana aksi kedua komunitas: 1) sosialisasi dan pengumpulan dokumen adminduk bagi keluarga penyandang disabilitas, 2) pengurusan dokumen adminduk bagi penyandang disabilitas yang belum memiliki, 3) koordinasi dengan pemerintah desa terkait data dan keterangan tidak mampu serta sekaligus mengecek data penyandang disabilitas yang sudah atau belum diusulkan oleh pemerintah desanya, 4) koordinasi dengan puskesmas terkait bagaimana memperoleh surat keterangan pengusulan BPJS, dan 5) permohonan rekomendasi ke Disosnakertrans dan koordinasi dengan Dinkes untuk permohonan pengajuan PBI BPJS Kesehatan. Dari pertengahan hingga akhir Januari 2016, tim advokasi masingmasing komunitas melakukan sosialisasi “pembuatan BPJS dan pengumpulan dokumen adminduk bagi penyandang disabilitas dan keluarganya�. Target awal adalah mengumpulkan sebanyak 20-30 kepala keluarga penyandang disabilitas. Namun karena keterbatasan waktu yang dimiliki komunitas, target belum tercapai. Di sisi lain, keluarga penyandang 55
disabilitas antusias ingin membuat BPJS. Waktu pengumpulan dokumen pun diperpanjang sampai 28 Februari 2016. Akhirnya terkumpul sebanyak 50 kartu keluarga dan 165 anggota keluarga penyandang disabilitas yang memiliki persyaratan lengkap untuk diajukan sebagai peserta BPJS-PBI Jaminan Kesehatan. Pada Februari 2016, tim program melakukan audiensi dengan Dinkes yang dihadiri oleh Kabid Yankes, Kabid BPJK/BPJS, dan perwakilan komunitas. Dalam kesempatan tersebut, tim menyampaikan proses pengumpulan adminduk oleh komunitas penyandang disabilitas dan meminta kepastian kuotaBPJS-PBI Jaminan Kesehatan bagi disabilitas. Kabid BPJK/BPJS merespons dengan membuka informasi tentang ketersediaan ribuan kuota BPJS dari dana sharing APBD yang tidak dibuka ke publik. Berdasarkan informasi tersebut, komunitas kemudian mendaftarkan tidak saja warga disabilitas, namun juga warga miskin yang membutuhkan. Kali ini hanya dua persyaratan yang wajib disertakan, yakni fotokopi KTP dan kartu keluarga. Pada 3 Maret 2016, tim program bersama perwakilan komunitas dari Kecamatan Labuapi dan Kecamatan Lingsar, menyerahkan langsung semua dokumen yang telah dikumpulkan kepada Kabid BPJK/BPJS Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat. Total dokumen warga penyandang disabilitas dan keluarganya yang diserahkan: 50 kepala keluarga ditambah 165 anggota keluarga atau jumlah keseluruhan 215 orang. Kecamatan Labuapi terdiri dari 23 KK ditambah 75 anggota keluarga atau jumlah keseluruhan 98 orang. Kecamatan Lingsar terdiri dari 27 KK ditambah 90 anggota keluarga atau jumlah keseluruhan 117 orang. Semua dokumen langsung diverifiikasi pada hari itu juga. Pada 20 Maret 2016, semua dokumen sudah diajukan Dinkes ke Kantor BPJS Lombok Barat untuk dimasukkan sebagai peserta BPJS-PBI Jaminan Kesehatan dan diterbitkan kartunya. Pada 1 April 2016, BPJS menyerahkan kartu peserta PBI-Jaminan Kesehatan kepada Dinkes. Kemudian Dinkes menyebarkan langsung kepada sahabat-sahabat penyandang disabilitas. Tak kenal lelah dan menyerah, saat ini P3D dan KDLB terus mengorganisir warga penyandang disabilitas melalui serial diskusi komunitas. Mereka mendata warga penyandang disabilitas yang belum memperoleh BPJS-PBI. Selanjutnya mengumpulkan dokumen adminduk mereka untuk persyaratan memperoleh BPJS-PBI Jaminan Kesehatan Tahap II. 56
Berjuang Bersama
5.2 Memperkuat Komunitas P3D dan KDLB di Delapan Simpul Selama pelaksanaan program di Kabupaten Lombok Barat, upaya memperkuat kemampuan advokasi komunitas warga penyandang disabilitas adalah strategi program agar mereka mampu mengadvokasi hak-hak hidup mereka sebagai warga. Salah satu upaya memperkuat kemampuan advokasi mereka adalah dengan membuat jejaring simpul di komunitas P3D Kecamatan Labuapi dan KDLB di Kecamatan Lingsar. Ada delapan titik simpul yang telah dibentuk. Setiap simpul menaungi tiga sampai empat desa yang berdekatan dan wilayah kerja puskesmas. Masingmasing simpul memiliki koordinator yang membawahi kontak-kontak simpul di masing-masing desa. Masing-masing titik simpul diikuti 10-15 warga penyandang disabilitas dan keluarganya. Ada tiga fasilitator di P3D, yaitu Budi, Khalid, dan Jailani. Demikian juga di KDLB, tiga fasilitatornya adalah Siti Jakranah, Amirah, dan Nurjiah.
Empat Simpul Kecamatan Labuapi
Simpul I: Desa Kuranji, Desa Kuranji Dalang, dan Desa Parampuan
Simpul IV:
Simpul II:
Desa Bagek Polak, Desa Bengkel, dan Desa Merembu
Desa Karang Bongkot, Desa Bajur, dan Desa Terong Tawah
Simpul III: Desa Telagawaru, Desa Labuapi, dan Desa Bagek Polar Barat
57
Empat Simpul Kecamatan Lingsar • • • •
• • • •
Desa Sigerongan, Desa Duman, Desa Langko, dan Desa Karang bayan
• • • •
Desa Bug Bug, Desa Peteluan Indah, Desa Lingsar, dan Desa Batu Kumbung
Simpul 1
Simpul 2
Simpul 3
Simpul 4
Desa Gontoran, Desa Batu Mekar, Desa Sari Baya, dan Desa Gegelang
• Desa Gegerung, • Desa Dasan Griya, dan • Desa Giri Madya
Dalam mengorganisir simpul, program mengembangkan model diskusi simpul. Sebuah diskusi komunitas yang diselenggarakan oleh komunitas penyandang disabilitas secara mandiri. Mereka mengorganisir peserta, mempersiapkan kegiatan, memfasilitasi pertemuan, dan mengawal hasil diskusi dalam bentuk aksi kolektif komunitas. Model diskusi tersebut dikembangkan untuk mendorong kesadaran kolektif dan pengetahuan kelompok penyandang disabilitas dalam memperjuangkan hak-haknya secara mandiri. Dan juga untuk meningkatkan kapasitas kelompok penyandang disabilitas dalam melakukan kerja-kerja pengorganisasian, memfasilitasi pertemuan warga, dan mengadvokasi hak-hak warga penyandang disabilitas atas kesehatan dalam bentuk aksi kolektif. Diskusi simpul sudah dua kali dilaksanakan komunitas di delapan titik simpul pada Maret 2016 dan Mei 2016. 58
Berjuang Bersama
Box 7: Strategi yang Dikembangkan dalam Simpul Strategi yang dikembangkan dalam simpul adalah: 1. Serial diskusi komunitas penyandang disabilitas yang difasilitasi langsung oleh anggota komunitas. Komunitas memiliki fasilitator sedikitnya tiga orang, baik di P3D maupun di KDLB. Kegiatan ini menjadi ruang latih bagi anggota kelompok untuk memfasilitasi dan mengorganisir warga. 2. Membuat panduan sederhana secara tematik oleh tim fasilitator komunitas dan PATTIRO. Fasilitator menyediakan bahan fasilitasi secara bersama-sama. 3. Serial diskusi dilakukan di delapan titik simpul komunitas di dua kecamatan. 4. Jumlah partisipan yang terlibat dalam serial diskusi sekitar 80-120 orang peserta. Masing-masing titik simpul diikuti 10-15 penyandang disabilitas dan keluarganya. 5. Mengumpulkan adminduk sebagai persyaratan untuk pembuatan BPJS dan pendataan bagi mereka yang belum memiliki adminduk yang lengkap. Hasil yang dicapai dari diskusi simpul komunitas adalah: 1. Terlaksananya aksi kolektif pembuatan BPJS Kesehatan tahap II. 2. Terlaksananya uji akses layanan kesehatan bagi warga penyandang disabilitas “Cek Puskesmasku� 3. Terlaksananya uji akses kartu BPJS dalam pemenuhan alat bantu kesehatan bagi pasien penyandang disabilitas, seperti tangan dan kaki palsu, kacamata, operasi katarak, alat bantu dengar, dan kruk.
59
P3D Kecamatan Labuapi mengembangkan simpul-simpul desa untuk advokasi pelayanan publik inklusif yang lebih meluas
5.3 Mengembangkan Relasi Komunitas dengan Puskesmas Seiring dengan aktifnya komunitas warga penyandang disabilitas mengundang pemerintah dan unit layanan mereka hadir dalam kegiatan komunitas, maka terjadi peningkatan pengetahuan dan kepekaan kebijakan pemerintah terhadap warga penyandang disabilitas. Tentu saja, hal ini dapat mengurangi peningkatan risiko warga penyandang disabilitas menjadi warga yang terkucilkan. Salah satunya dengan inisiatif perlindungan sosial seperti program pemberian kartu BPJS yang telah terÂbukti bermanfaat bagi disabilitas. Hubungan baik yang terjalin antara Puskesmas Kecamatan Labuapi dan Puskesmas Kecamatan Lingsar dengan komunitas P3D dan KDLB, memainkan peranan penting untuk membentuk pelayanan yang baik bagi warga penyandang disabilitas. Di antaranya dengan menyediakan kebutuhan mereka dalam hal sarana dan prasarana yang layak. Di samping itu, partisipasi warga penyandang disabilitas dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh puskesmas telah membantu mempromosikan pan dangan yang positif tentang warga penyandang disabilitas dan sekaligus mengatasi banyak prasangka sosial yang membatasi mereka untuk berpartisipasi.
60
Berjuang Bersama
Box 8: Perubahan Puskesmas Merespons Tuntutan Komunitas P3D dan KDLB Berikut hasil perubahan puskesmas setelah diadvokasi komunitas: 1. Inisiasi puskesmas ramah difabel di Kabupaten Lombok Barat. Dinas Kesehatan menunjuk lima Rintisan Puskesmas Ramah Difabel (RPRD). Dua puskesmas hasil intervensi langsung program, dua puskesmas merupakan dampak intervensi (tidak langsung), dan satu puskesmas adalah hasil komitmen dari pemerintah daerah. Dinas Kesehatan Lombok Barat telah diberikan kelonggaran bagi puskesmas untuk membiayai kebutuhannya sendiri untuk menyediakan fasilitas puskesmas yang ramah bagi penyandang disabilitas. Seperti perbaikan loket, pembuatan ram, jalur netra, dan lain-lain. 2. Puskesmas yang mendapat intervensi langsung telah memberikan perubahan cukup penting, yaitu: 1) mengubah loket layanan yang lebih ramah penyandang disabilitas; 2) adanya SK Kepala Puskesmas Labuapi dengan nomor 027/Amd./PKM-LA/I/2016 untuk menunjuk petugas khusus yang melayani pasien dan program responsif penyandang disabilitas; dan 3) pelaksanaan Pos Bimbingan Terpadu (Posbindu) di desa yang menyasar warga penyandang disabilitas dan melibatkan kelompok penyandang disabilitas secara aktif.
5.4 Cerita Pegiat Disabilitas Memetik Manfaat Program Berikut ini kisah beberapa aktivis penyandang disabilitas Kabupaten Lombok Barat yang merasakan manfaat terlibat dalam Program Peduli Pilar Difabel:
61
Box 9. Siti Jakranah: Semangat Hidup Lebih Bermanfaat Kegembiraan telah datang dalam hidup Siti Jakranah. Wanita dengan disabilitas daksa ini, memaksa dirinya keluar dari keterkucilan hidupnya dalam keluarga dan masyarakat. Dia berjuang bersama dengan komunitas warga penyandang disabilitas mengadvokasi jaminan kesehatan bagi warga seperti dirinya dari Pemda Kabupaten Lombok Barat. Sebelumnya perempuan ini merasa bukanlah siapa-siapa entah dalam keluarga maupun masyarakat. Dia merasa menjadi orang yang tidak bermanfaat dan hanya menjadi beban keluarga. Karena alasan dirinya menyandang disabilitas, keluarga enggan peduli. “Untuk apa sekolah, kamu kan cacat, paling-paling hanya mengabiskan uang saya saja,� inilah stigma negatif yang membuatnya putus asa. Meskipun dalam keterpurukan, dirinya sadar bahwa “saya� tidak boleh seperti ini. Walau daksa, saya masih bisa jalan dan belajar. Dengan dorongan dari neneknya, saat ini dia berhasil lulus S1 Pendidikan. Pada April 2015, PATTIRO datang dengan Program Peduli Pilar Difabel. Jakranah terlibat dalam setiap kegiatan yang dilakukan PATTIRO. Inisiasi pembentukan komunitas yang dilakukannya bersama dengan warga penyandang disabilitas lainnya, melahirkan Kelompok Disabilitas Lingsar Bergerak (KDLB). Hal ini makin menambah semangatnya untuk melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat untuk masyarakat. Tantangannya adalah apa yang dilakukan KDLB tidak selalu berjalan mulus karena kegiatan mereka bersinggungan dengan banyak pihak, baik keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Dari sisi pemerintah, kebijakan untuk disabilitas cenderung sedikit, bahkan belum ada.
62
Berjuang Bersama
Box 10. Kholid: Inisiator P3D yang Membela Hak-hak Penyandang Disabilitas Kholid begitu orang memanggil. Dia adalah pria penyandang daksa. Saat ini menjadi ketua P3D Kecamatan Labuapi. Dia tinggal di Desa Bagek Polak Barat. Terlahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Dia bersyukur memiliki ibu yang kuat dan sabar karena sejak dirinya berusia lima bulan telah menjadi yatim, ditinggal pergi sang ayah selamanya. Menurut cerita ibunya, ketika berusia satu tahun, dia mulai bisa berjalan. Namun selang berapa bulan dia terserang sakit panas. Sejak saat itu dia sulit dan bahkan takut berjalan. Bila ibunya minta berjalan, Kholid pasti menangis dan selalu minta untuk digendong. Ibunya pun belum tahu apa yang terjadi dan dianggapnya saya masih kecil. Jadi hanya mau digendong saja. Ibu mulai curiga karena usia yang seharusnya sudah bisa berjalan, saya belum bisa berjalan. Kemudian ibu baru mengetahui ada kelainan di kaki kirinya setelah diperiksa ke Puskesmas. Kekurangan fisik yang dia miliki membuatnya menjadi pendiam dan pemalu. Entah di rumah, lingkungan, dan sekolah dirinya kerap tidak bisa bergaul seperti anak seusianya. Perlakuan diskriminasi kerap dia dapatkan di sekolah. Ketika upacara, dia selalu harus berdiri di belakang dengan alasan tidak memakai sepatu. Waktu itu sampai kelas lima SD, kakinya belum bisa memakai sandal dan sepatu. Namun itu tidak menurunkan semangat belajarnya. Terbukti dengan segala kekurangannya, dia mampu masuk tiga besar sampai SMA. Dia mengaku tidak punya kesempatan untuk melanjutkan ke bangku kuliah karena tidak ada biaya. Dia pun mengikuti
63
pelatihan menjahit selama dua bulan yang diadakan Dinas Sosial. Pada 2000, dirinya dikirim untuk mengikuti pelatihan di Panti Sosial Bina Daksa (PSBD) Suryatama Pasuruan Jatim. Kemudian pada 2001 lulus seleksi untuk mengikuti pelatihan mesin selama satu tahun di Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD) di Cibinong Bogor. Selama sembilan tahun bekerja di perusahaan swasta, pada tahun ketujuh, Kholid dipercaya menjadi salah satu pimpinannya. Namun sangat disayangkan perusahaan tersebut mulai tidak stabil dan dia diminta ibunya kembali ke Lombok untuk berwiraswasta. Tahun 2015, dia bertemu tim PATTIRO. Setelah mendapat penjelasan mengenai program yang akan mereka laksanakan, dia tertarik bergabung dan kemudian aktif membentuk komunitas penyandang disabilitas. Keinginan dan jiwa sosialnya untuk memperjuangkan hakhak penyandang disabilitas mulai bangkit. Dia sadar banyak penyandang disabilitas yang masih belum mendapatkan haknya dan sering mendapatkan perlakuan diskriminasi seperti yang dia terima dulu. Akhirnya dia bersama teman-temannya sepakat membentuk komunitas warga penyandang disabilitas yang diberi nama Pusat Pengembangan Potensi Difabel (P3D).
Box 11. Sri Sukarni: Kunci Keberhasilanku adalah Dukungan Keluarga Aku terlahir dari seorang ibu yang sangat luar biasa. Ibu yang selalu tersenyum. Ibu yang selalu marah ketika aku diolok-olok oleh teman-temanku. Ibu yang selalu berusaha untuk mengobati kakiku dengan harapan aku bisa berjalan seperti anak-anak yang lain. Ibu yang tidak pernah mengeluh dan tidak pernah merasa lelah untuk selalu memberikan semangat. Sebelum usiaku empat tahun aku tumbuh normal dan sudah bisa berjalan. Bahkan diantara saudara64
Berjuang Bersama saudaraku, akulah yang paling cepat bisa berjalan. Namun takdir berkata lain pada saat usiaku empat tahun. Aku menderita sakit panas dan kejang- kejang. Aku dibawa ke dokter dan saat aku panas dokter menyuntikku. Orangtuaku berharap aku bisa sembuh, tapi panasku tidak bisa turun, bahkan kakiku lemas tidak bisa berjalan. Bisa dibayangkan betapa sedihnya kedua orangtuaku melihat aku kini hanya bisa digendong. Waktu terus berlalu, hari-hariku dilalui dengan merangkak karena aku belum bisa memakai tongkat. Pada waktu teman-teman sebayaku pergi sekolah, akupun ingin masuk sekolah. Bapakku walaupun seorang tukang, tapi bisa berpikir ke depan. Bapakku bilang aku harus sekolah karena dengan sekolah kelak aku bisa hidupi diri sendiri. Aku pun didaftarkan ke SDN 2 Tengari Praya, tapi kepala sekolah meminta kakakku untuk mendaftarkan aku ke SLB. Kakakku menolak dan berkeras hati sehingga kepala sekolah mengalah dan aku diterima di sekolah tersebut. Sampai kelas empat, aku pergi sekolah diantar keluargaku. Kadang ibu, kakak, dan bapak. Mereka bergantian menggendongku karena aku belum bisa memakai tongkat. Mereka tidak pernah merasa lelah untuk mengantar aku sekolah. Setelah kelas empat SD, bapakku membuatkan aku tongkat dari kayu. Aku pun belajar jalan memakai tongkat ditemani bapak setiap hari. Pertama kali aku masuk sekolah memakai tongkat semua teman di sekolah itu mengolok- olok. Aku menangis dan tidak mau masuk sekolah lagi. Orang tuaku membujukku, tapi aku tetap tidak mau. Sampai akhirnya kepala sekolah datang kerumahku dan beliau berkata,“ Bapak ingin kamu masuk sekolah. Tunjukkan pada teman-temanmu walaupun kamu seperti ini, kamu harus jadi anak pinter. Kamu sekolah ya. Nanti kalau ada yang mengolok akan bapak hukum.� Aku mengangguk dan keesokan harinya berangkat sekolah. Aku pun lulus dari SDN tersebut. Aku terkenang ketika sekolah SD. Ketika teman-temanku bermain lompat tali, lari-lari, main petak umpet, dan gerak jalan. Dalam hati aku menggugat. Mengapa aku dilahirkan cacat? Mengapa hanya aku yang seperti ini? Mengapa orang lain tidak? Aku ingin seperti mereka. Suatu hari teman-temanku pergi bermain ke tempat yang jauh, aku ditinggal 65
sendiri. Aku sedih sekali. Melihat hal tersebut, ibuku punya inisiatif membelikan aku mainan: boneka dan masak-masakan. Ibuku memanggil teman-temanku untuk bermain di rumah. Ketika melihat mainanku yang banyak, teman-temanku belajar dan bermain di rumahku setiap hari. Waktu itu aku bahagia sekali. Aku sayang ibuku. Aku masuk SMP dan daftar di SMPN 2 Praya. Ini adalah masa yang paling sulit yang aku rasakan. Masa remaja ketika teman-teman sudah mulai cerita tentang lawan jenis dan punya pacar. Aku bertanya dalam hatiku, apa ada laki-laki yang mau denganku? Satu waktu ada kakak kelasku yang mengungkapkan perasaannya padaku. Pada waktu aku tidak tahu perasaanku seperti apa. Ternyata masih ada yang suka dengan gadis cacat seperti aku. Ketika di SMP, aku tidak pernah keluar kelas karena malu dan minder. Bahkan ketika ada siswa dengan disabilitas seperti aku, aku tambah malu untuk keluar kelas. Kalau aku melihat temanku yang disabilitas itu, aku bersembunyi. Aku merasa kalau aku berjalan dengannya atau berpapasan, semua orang akan melihat diriku dan itu akan membuat aku semakin tidak percaya diri. Aku bisa mengikuti semua pelajaran, kecuali olahraga. Sampai suatu hari guru olahragaku meminta aku untuk ikut olahraga, aku hanya bilang iya. Tapi setiap pelajaran olahraga aku tidak pernah masuk, sehingga membuat kakak sulungku heran. Akhirnya aku memberi tahu kakakku dan kakakku langsung ke sekolah menemui kepala sekolah dan guru olahragaku meminta penjelasan mengapa aku disuruh olahraga. Guruku mengatakan merasa bingung berapa nilai yang harus diberikan kepadaku. Kakakku menyarankan agar nilaiku dari teori saja, enam juga tidak apa-apa daripada tidak masuk sekolah dan mengikuti pelajaran yang lain karena diharuskan praktik olahraga. Akhirnya kepala sekolah, guru, dan kakakku sepakat aku memperoleh nilai 6 dari teori. Sampai lulus SMP, aku masih merasa minder. Di rumah aku juga tidak pernah keluar. Kakakku menganjurkan aku untuk masuk SMA, tapi waktu itu Dinas Sosial datang ke rumah meminta aku untuk ikut ke Solo untuk Pelatihan Elektronika Keluarga menanyakan dan aku mau, tapi kakakku yang sulung menyuruh aku sekolah. Aku jawab kakakku, untuk apa sekolah. Aku ini cacat, orang normal saja sekolah tapi banyak yang menganggur. Apalagi seperti aku. Percuma aku sekolah tinggi. Kakakku 66
Berjuang Bersama langsung menjawab, “Orang normal saja sekolah banyak yang menganggur, apalagi kamu. Kalau tidak sekolah mau jadi apa. Kakak ingin kamu sekolah tinggi. Kalau bisa kamu harus jadi sarjana.� Tapi aku tetap ingin pergi ke Solo dan bapakku menerima permintaanku. Aku pun berangkat ke Solo. Di sana aku baru sadar begitu banyak penyandang cacat dan beragam jenisnya. Aku sadar selama ini mengeluh dan mengira bahwa aku sendiri seperti ini. Selama satu tahun setengah aku di Solo, aku ambil keterampilan elektronika dan menjadi satu-satunya perempuan yang mengambil keterampilan elektronika. Setamat dari Solo aku pulang ke rumah, aku pun diminta mengajar anak-anak mengaji. Aku mengajar anak-anak mengaji dan les sambil berjualan. Waktu terus berlalu, pada tahun 2006 aku kembali mengikuti pelatihan rehabilitasi di Makassar. Disinilah aku berjumpa dengan jodohku. Aku pulang dan menikah. Waktu mau menikah semua keluarga menentang kecuali bapakku. Mereka menentang karena kami samasama penyandang disabilitas dan juga calon suamiku orang jauh. Ada juga yang mengatakan kalau suami istri sama-sama penyandang disabilitas nanti anaknya juga akan sama. Aku pun meyakinkan keluarga untuk tetap menikah dan bapak setuju. Aku menikah dengan Abdus Syukur dari Tolitoli, Sulawesi Tengah. Setahun setelah menikah, kami dikaruniai anak bernama Muhamad Septian Ramadhani. Kami bersyukur anak kami lahir normal. Hal ini membantah mitos bahwa kalau suami istri sama-sama penyandang disabilitas, maka keturunannya akan begitu juga.
Aktif Berorganisasi dan Bekerja Akhir 2010, saya diajak oleh teman untuk ikut sebuah organisasi 67
penyandang disabilitas, yaitu Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Provinsi NTB. Setelah tiga bulan terlibat di provinsi akhirnya kami membentuk HWDI cabang Lombok Tengah dan saya terpilih menjadi ketua HWDI cabang Lombok Tengah. Setelah hampir satu tahun di HWDI, saya ikut pelatihan peer support yang dilaksanakan oleh Handicap Internasional. Ini adalah awal karierku mengenal berbagai lembaga dan untuk pertama kalinya menjadi fasilitator di Handicap Internasional. Semula saya ragu untuk menjadi fasilitator, tapi atas dukungan dari suami dan keluarga, aku pun berubah menjadi yakin bahwa aku bisa. Aku belajar pada orang yang terbiasa menjadi fasilitator, bagaimana supaya bisa berbicara di depan banyak orang. Dari sini aku berhasil menjadi fasilitator dan sering ikut pelatihan di luar daerah. Pengalaman semakin membuat aku tambah percaya diri. Kemudian aku menjadi staf PATTIRO dan semakin banyak belajar. Dulu walaupun aku sudah aktif di organisasi, aku tidak tahu tentang laptop. Tapi di PATTIRO aku belajar mengoperasikan laptop. Aku belajar membuat ToR, membuat laporan, mengelola keuangan, menjadi lebih tahu dan memahami tentang penyandang disabilitas, karakter teman-teman penyandang disabilitas, serta cara koordinasi dan komunikasi yang baik dengan Pemda. Semua aku dapatkan di PATTIRO. Menjadi staf PATTIRO membuatku yang harus pulang pergi Lombok Barat dan Lombok Tengah. Ini membuat aku memodifikasi motor suspen (motor roda tiga) agar aku bisa pergi ke Sekretariat PATTIRO sendiri. Setelah bekerja dengan PATTIRO, keluarga dan masyarakat di lingkunganku sekarang tidak lagi memandang sebelah mata. Mereka tidak lagi meremehkan aku dan tidak lagi menganggap penyandang disabilitas tidak mampu menghidupi diri sendiri. Bahkan sekarang aku menjadi inspirasi bagi pemuda-pemuda di kampungku. Pertama saya mengubah pola pikir mereka tentang disabilitas dan memotivasi mereka untuk membuat remaja masjid. Sekarang di kampungku sudah ada remaja masjid dan saya menjadi salah satu pengurus remaja. “Mereka selalu bilang Kak Sri bisa, kita juga harus bisa. Kak Sri tidak pernah mengeluh, kita juga jangan mengeluh. Kalau ada orang luar datang ke tempatku dan bilang kasihan. Orangorang langsung bilang eeee jangan salah walaupun dia pakai tongkat 68
Berjuang Bersama
dia sudah kerja, keliling Indonesia, dan bisa menafkahi anaknya.� Perubahan cara pandang orang-orang di sekelilingku membuat aku bersyukur. Aku pun memberikan motivasi kepada penyandang disabilitas dan keluarganya di tempat lain. Aku berkunjung ke rumah mereka dan memberikan pandangan agar keluarga memberikan dukungan kepada anggota keluarga dengan disabilitas untuk ikut kegiatan sosial. Beberapa keluarga pun sudah mengizinkan anaknya untuk ikut di HWDI dan P3D Labuapi. Itulah sedikit kisahku. Inti keberhasilan yang sebenarnya untuk penyandang disabilitas adalah dukungan keluarga yang selalu memberikan motivasi, penuh kasih sayang. Ya, seperti keluargaku selalu memberikan dukungan dan selalu mencari cara agar teman-temanku juga mau menerima aku. Terimakasih Bapak, Ibu, dan Kakak sulungku. Semoga ada keluarga yang juga seperti keluargaku.
Box 12. Juhairiyah: Senangnya Ketika Keluarga Melepasku Menjadi Mandiri
Juhairiyah. Ia adalah seorang penyandang disabilitas netra. Rasa kasihan keluarganya mengungkung ia untuk berkembang. Karena rasa kasihan itu pula, keluarga membatasi ruang geraknya. Rasa khawatir berlebihan akan keterbatasan Juhairiyah dan kurangnya pengetahuan keluarga semakin mempersempit kesempatannya untuk maju. Sejak kecil hingga remaja, setiap hari Juhairiyah hanya bisa bermain di rumah dengan orangtua dan adiknya. Dia sudah mencoba mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak dan membersihkan rumah tetapi selalu dilarang oleh orangtuanya. Itu semakin membuat dia merasa hidupnya tidak bisa bermanfaat bagi orang lain. Pelaksanaan program PATTIRO di Kecamatan Labuapi hingga terbentuk dan berjalannya Pusat Pengembangan Potensi Difabel (P3D) 69
telah berdampak besar pada masing-masing anggotanya. Salah satunya Juhairiyah yang sebelumnya tidak diberikan izin oleh keluarganya untuk beraktivitas di luar rumah. Kini telah berinteraksi dengan masyarakat luar. Selain itu dia mulai berbicara dalam forum-forum diskusi, bahkan sudah mulai terlibat di Persatuan Tunanetra Indonesia Provinsi NTB. Dia berkisah, awalnya pada 20 Juni 2015 ada salah satu teman penyandang disabilitas mengajak hadir di pertemuan warga penyandang disabilitas di desa. Dia minta izin untuk mengikuti kegiatan itu, namun ayahnya melarang. Setelah terus berusaha meyakinkan, akhirnya orangtuanya mengizinkan dengan syarat didampingi adiknya. Pada forum itu, PATTIRO menyelenggarakan diskusi penguatan kapasitas dan kesadaran penyandang disabilitas dan keluarganya. Di situ dia tahu banyak teman dengan kondisi yang sama dan bisa belajar dari temanteman penyandang disabilitas yang lain bagaimana mereka bisa percaya diri dan membuang rasa malu. Pada kegiatan selanjutnya, dia mulai ikut pertemuan lain yaitu lokakarya teori perubahan, berbagai pertemuan rutin informal, diskusi lintas Labuapi dan Lingsar, hingga dialog dengan pihak puskesmas dan baseline survey. Salah satu gagasannya yang diterima aktivis penyandang disabilitas lain ialah tentang keberlanjutan komunitas P3D. Mengikuti kegiatan berikutnya, keluarga mulai membolehkan pergi sendiri. Seperti ketika dia ikut sosialisasi Puskesmas Labuapi sebagai puskesmas inklusi dan pengobatan gratis bagi anggota P3D pada 28 November 2015 di Kantor Desa Labuapi. Dia dijemput oleh aktivis lain untuk ikut kegiatan. Ini jadi awal keluarganya memberikan kepercayaan untuk pergi menghadiri kegiatan sendirian. Termasuk mengikut diskusi difabel dan keluarga pada 30 November 2015 di Lesehan Dini Grimax, pertemuan rutin kelompok, hingga aksi simpatik di Bundaran Girimenang Square untuk merayakan Hari Disabilitas Internasional (HDI) pada 3 Desember 2015.
70
Berjuang Bersama
Profil PATTIRO PATTIRO adalah sebuah organisasi riset dan advokasi yang resmi berdiri pada 17 April 1999. Selama ini, PATTIRO memusatkan perhatiannya pada isu tata kelola pemerintahan daerah, terutama isu desentralisasi. Melalui kerja-kerjanya, PATTIRO aktif mendorong terciptanya tata kelola pemerintah daerah yang baik, transparan, dan adil demi mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Selain aktif melakukan penelitian, PATTIRO kerap memberikan pendampingan teknis kepada pemerintah. Di samping itu, PATTIRO juga membantu masyarakat dalam melakukan advokasi dengan pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk mereformasi kebijakan, memperbaiki pelayanan publik dan pengelolaan anggaran publik. PATTIRO mendedikasikan kerjanya pada upaya peningkatan kualitas desentralisasi demokrasi di Indonesia dan kawasan Asia. Kami memilih fokus perhatian pada Akuntabilitas Pelayanan Publik, Reformasi Pengelolaan Keuangan Publik, dan Transparansi. Fokus perhatian ini diperlukan untuk menilai pencapaian hasil perubahan program-program strategis. Sejak berdiri pada tahun 1999, PATTIRO telah melakukan berbagai penelitian, meningkatkan kapasitas, melakukan asistensi teknis, reformasi kebijakan daerah, mengembangkan model/inovasi pelayanan publik dan partisipasi masyarakat, serta membangun kemitraan di ranah internasional. Bersama dengan jaringan PATTIRO Raya yang tersebar di 17 daerah, PATTIRO bekerja di 17 propinsi dan lebih dari 70 kabupaten/kota di Indonesia. Kerja-kerja yang dilakukan PATTIRO adalah melakukan pengembangan evaluasi program bantuan sosial pemerintah, membantu advokasi pemerintah untuk mendukung perencanaan dan penganggaran yang responsif gender, mendukung pengarusutamaan gender dalam program Kesehatan Ibu dan Anak, mempromosikan transparansi dan
71
akuntabilitas penerimaan migas, membantu penguatan masyarakat untuk kebebasan informasi bagi kelompok miskin, penanggulangan kemiskinan daerah, meningkatkan kapasitas CSO dalam perencanaan, penganggaran dan pengawasan penggunaan anggaran publik. Atas berbagai upaya riset dan advokasi kebijakan selama ini, sejak tahun 2011 hingga 2015, PATTIRO meraih penghargaan dari Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat sebagai salah satu lembaga think tank terbaik. PATTIRO juga telah melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga, baik itu lembaga donor, organisasi non-profit tingkat internasional, maupun pemerintah indonesia di tingkat pusat dan daerah. Bersama lembagalembaga tersebut, PATTIRO mengembangkan bermacam model untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik, mewujudkan reformasi kebijakan, dan menciptakan pengelolaan anggaran yang lebih berpihak kepada kepentingan publik.
72
Profil Penulis Didik Purwondanu Pria kelahiran Surakarta ini aktif bergiat di PATTIRO sejak tahun 2013. Selain memiliki kapasitas dalam melakukan pengawasan dan evaluasi, serta mengelola program, Didik juga memiliki keahlian dalam melakukan pemantauan sosial dan menggunakan, instrumen penilaian partisipatif. Selama menjalankan Program Peduli ini, Didik dipercaya sebagai Program Manager. Rokhmad Munawir Pria kelahiran Klaten tahun 1980 ini memiliki kemampuan dalam membuat desain penelitian dan advokasi serta memiliki kapasitas dalam mengelola program dan jaringan. Selama tiga tahun terakhir mulai mengasah kemampuannya dalam melakukan evaluasi program dan pengembangan organisasi. Dalam Program Peduli Pilar Difabel ini dipercaya sebagai Spesialis Pelayanan Publik. Riska Hasan Riska bergabung dengan PATTIRO pada tahun 2014 sebagai Communication Assistant and Press Officer. Sejak tahun 2015, ia terlibat dalam program pengembangan dan implementasi model intervensi transparansi/akuntabililitas sosial di desa untuk meningkatkan kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir. Ia juga menggeluti program pengembangan kapasitas difabel dalam rangka peningkatan akses ke pelayanan kesehatan. Pada program ini, ia dipercaya sebagai MIS Officer. Nurjanah Sebelum aktif bergiat di PATTIRO Jakarta pada tahun 2013 sebagai staf administrasi pendukung program, Nurjanah yang akrab disapa Nana, sempat menjabat sebagai Manager Keuangan di PATTIRO Banten. Nana memiliki kapasitas yang cukup baik dalam berjejaring dan mengorganisir kelompok masyarakat. Sejak bulan April 2015, Nana mendapat tugas untuk terlibat dalam Program Peduli Difabel sebagai Program Officer.
73