Cerita Inklusi Pendamping Adat

Page 1

kapasitas. Yang lebih penting adalah pengalaman, pelayanan walau saya tetap mendapat penghargaan melalui honor yang saya dapatkan. Menjadi fasilitator ada suka dukanya. Tantangannya paling berat, terutama bagi saya sebagai perempuan yang sudah berkeluarga adalah kurangnya waktu bersama keluarga. Rutinitas kegiatan di desa, kegiatan pembuatan laporan dan evaluasi menjadi kegiatan rutin tiap bulan. Dengan lokasi yang sangat jauh dari rumah, desa Mauramba dan Meorumba, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur jaraknya sekitar 80 km dari kota Waingapu – Sumba Timur yang ditempuh selama kurang lebih 8 jam dengan kendaraan roda dua membutuhkan tenaga yang ekstra dan kesabaran tinggi. Jadi waktu untuk bersama dengan keluarga hanya pada hari Sabtu, hari Minggu atau libur umum. Walaupun demikian saya tetap belajar untuk bersyukur karena saya masih ada waktu untuk mereka. Disini saya diajar untuk bias membagikan waktu sehingga semuanya tetap berjalan dengan baik dan tidakada yang dikesampingkan. Tantangan berikutnya yaitu pada saat berada di desa, harus berjalan kaki dari rumah kerumah, naik turun gunung, panas, kedinginan diterpa angin dan kehujanan. Tetapi saya menganggap bahwa semuanya itu adalah suatu perjuangan hidup. Tidak terasa sudah tujuh bulan saya bersama masyarakat di desa dampingan, saya tinggal di rumah

4

dari rumah ke rumah masyarakat walau sesekali harus di rumah aparat atau Kepala Desa. Saya tidak memandang rumah orang kaya atau orang miskin, rumah maramba (tuan) atau atta (hamba) atau biasa disebut anak rumahan, menurut saya itulah sebuah pengabdian seorang fasilitator. Berhadapan dengan masyarakat, perlu kesabaran dan kepekaan karena masyarakat Meorumba dan Mauramba terdiri dari berbagai latar belakang dan karakter yang berbeda. Terkadang kita disanjung, terkadang dihina dan difitnah yaitu ketika ada kepentingankepentingan mereka yang tidak tercapai atau merasa terganggu dengan adanya fasilitatotor LSM yang mengatas namakan aturan. Suatu kebahagiaan yang luar biasa ketika kami ketika kami saling berbagi pengalaman bersama petani. Bercerita dimana saja, bisa di rumah, di pondok kebun dan di pinggir sawah. Cerita tentang kisah kepemimpinan aparat desa atau kisah kesuksesan maupun penderitaan para petani. Kisahkisah tentang perempuan kampung yang terpaksa harus mengaminkan keinginan suami untuk beristri dua. “Kenapa ibu belum punya suami?� tanyaku pada seorang wanita strata bawah. “Eeeee, ibu, ndaningu a, mambuhang tau atta� (eeeeh ibu, tidak ada yang mau dengan kami orang hamba katanya polos). “Umbu dan rambu yang kasih nafkah termasuk pakaian dan lain-

lain�. “Ada, saya punya 3 ekor babi, dan 8 ekor ayam, empat bulan lalu saya jual babi harganya Rp.2.800.000. Rambu (tuan perempuannya) belikan baju dan sarung selebihnya umbu masih pinjam uangnya.� “Uang pinjaman itu tidak ditagih, nanti kalau saya tua atau meninggal. Mereka juga yang urus saya� jawabnya. Masih kuatnya budaya di kedua desa tersebut adalah tantangan yang dihadapi dalam program Peduli. Walau seringkali bertentangan dengan hati nurani sebagai perempuan, namun saya melihat inilah kenyataan yang ada di desa. Namun, saya yakin perempuan-perempuan itu mampu mandiri dan dapat membentuk generasi penerus yang lebih baik. Bicara perubahan memang tidak mudah terutama perubahan menuju inklusi sosial, secara ekonomi dan kesehatan mungkin masih bisa terukur tetapi memberi pemahaman dalam kebiasaan dan adat istiadat butuh waktu dan strategi yang matang. Namun demikian kehadiran Program Peduli di Desa Mauramba dan Meorumba paling tidak akan membawa perubahan pola pikir masyarakat setempat sehingga kedepannya akan menularkan kebangkitan pada perempuanperempuan dan anak-anak yang berada di desa-desa lainnya. Sebagai fasilitator saya tetap berjuang sedapat mungkin, mendengar setiap keluhan maupun dalam memberikan pemahaman bagi mereka. Hal terpenting yang harus diketahui, sebelum mengajak orang lain menerima mereka yang terekslusi latihlah diri kita sendiri untuk menerima mereka. Sebelum masyarakat terekslusi mampu memperjuangkan nasib mereka, bantulah mereka berjuang dan ketika mereka belum berani bersuara lantang suarakanlah apa yang menjadi harapan mereka. Sebagai seorang perempuan Sumba ini adalah awal kebangkitan kaum perempuan, jika tidak mereka tetap terbelenggu seperti seekor gajah yang terikat rantai besi dibatang leher. (*)

www.samanta.id

Edisi 5/Agustus 2016

Luta Ndaku Nau

Kabihu Mengusirku, Mereka pun tetap Saudaraku Fasilitator adalah Panggilan Jiwa Menjadi seorang pendamping masyarakat tidak hanya membutuhkan kemampuan akademik semata, namun juga dibutuhkan kemampuan untuk berinteraksi, saling menghargai, serta mampu memberikan alternative solusi bagi berbagai permasalahan yang ada tempat dampingan. Apa sih pendampingan itu? Pendampingan merupakan sebuah kegiatan berkelanjutan dalam memfasilitasi individu/kelompok/komunitas untuk mengembangkan diri mereka. Dalam Program Peduli, Samanta dengan didukung Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, The Asia Foundation, Kemitraaan mengambil kegiatan Peningkatan Akses Masyarakat Mauamba, Meuramba, dan Tumpangsari atas Pelayanan Kesehatan, Pendidikan dan Ekonomi di Sumba Timur dan Lombok Timur. Berikut ini cerita para pendamping selama mengerjakan Program Peduli yang dilakukan oleh Samanta di 3 desa dampingan yaitu di Desa Mekarsari Kabupaten Lombok Timur-NTB, desa Mauramba dan Meorumba di Kabupaten Sumba Timur- NTT selama lebih dari dua tahun. Seperti yang ditulis Stepanus Landu Paranggi, menjadi pendamping tidak seperti bayangan orang yang diikira banyak uang dan santai. Ataupun cerita dari Selsilia Yowa Mbali yang rela meninggalkan rumah untuk turun kelapangan. Selamat menikmati tulisan teman-teman pendamping Program Peduli.

“Minggu lalu saya pernah lihat Bapak cek-in di Bandara Ngurah Rai, eh.. sekarang malah satu kursi dengan anda, pasti anda sangat sibuk yah?� Laporan Stepanus Landu Paranggi (Pendamping Program Peduli)

S

eorang wanita cantik seusia 30an yang duduk sebangku denganku yang tak bisa menahan terlalu lama pertanyaan itu di kepalanya. Barangkali ia sudah ingin bertanya saat masih di ruang tunggu bandara, namun keberanian itu baru muncul saat sudah di pesawat route Mataram-Denpasar, kebetulan saya hendak kembali ke Waingapu, Sumba Timur-NTT setelah mengikuti pertemuan pendamping di Mataram NTB September lalu. “Yah, aku sibuk seperti anda,â€? jawabku agak bercanda. Wanita yang mengaku bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan swasta, bak seorang jurnalis terus mencecar berbagai pertanyaan terkait profesiku saat ini selama penerbangan sekitar 1,5 jam. Entah karena saya menghormati dia atau butuh teman berbincang atau mungkin karena kecantikan wanita ini ah entahlah‌, saya pun meladeninya. Layaknya seorang pengacara yang membela kliennya, dengan semangat yang berapi-api saya berbagi pengalaman tentang profesiku sebagai seorang aktifis NGO/LSM. Kegiatankegiatan yang sudah dilakukan, lembaga mana saja yang pernah kuikuti, daerah mana yang kujelajahi maupun pengalaman suka

1


duka dalam menjalankan program. “Berapa gaji bapak dalam sebulan? Dunia NGO khan berduit” tanya dia. Sebuah pertanyaan yang membikinku kaget, terkejut dan kebingungan, Hanya cukup untuk makan, jawabku agak malu-malu dan berdiplomasi. Pertanyaan dan pernyataan seperti ini bukan baru terdengar, dan hampir dimana-mana mendiskripsikan bahwa orang LSM itu kencang, tebal atau makmur. Entah dari sudut pandang atau indikator apa mereka melihat orang yang bekerja di LSM itu berduit?. Padahal kebanyakan orang-orang LSM tuh masih banyak yang tinggal di kamar kost selama bertahun tahun termasuk saya. Kalaupun saat ini aku sudah punya rumah sendiri mungkin termasuk tipe RSS atau rumah sangat sederhana. Malahan masih ada yang naik angkot karena tidak mampu beli sepeda motor apa lagi mobil. Terus, kantong tebal bagaimana?. Bekerja di LSM apa lagi di tingkat lokal bukanlah ajang mencari duit, bekerja sebagai fasilitator adalah panggilan jiwa. Kalau sekadar cari duit, cukup berbisnis. Asalkan ulet, cekatan pasti sukses. Di desa asal saya desa Wangga Meti, ada anak abang saya sendiri terbilang sukses. Namanya Gerson, tidak tamat SMP. Dia adalah saudagar hewan yang membeli kuda, kerbau dan sapi dari kampung-kampung dan dibawa ke saudagar besar dari Sulawesi atau Surabaya. Jika rata-rata setiap minggu dia muat 8 ekor hewan untuk satu truck dan setiap ekor dia untung bersih Rp.500.000/ ekor. Jumlah sedemikian sudah bisa membayar gaji satu orang fasilitator lapangan selama 2 bulan atau lebih. Lain lagi dengan Peka Rihi, keponakan saya, seorang petani wortel dan cabe. Selain itu ia termasuk pedagang pengumpul komoditi sirih, pinang, kemiri dll. Dalam kurun waktu yang tidak lama dia berhasil membangun rumah, membiayai adat pernikahan, bahkan saat ini dia punya 1 unit mobil HILUX. Jelaslah bahwa bekerja di LSM hanya karena panggilan jiwa bukan tempat mencari duit. Jujur, sampai saat ini banyak keluarga saya kecewa karena memilih pekerjaan ini. Alasannya memang masuk akal menurut mereka, kalau kerja di LSM itu urus orang banyak tetapi penghasilan sedikit, kalau kerja bebas boleh usaha apa saja pelihara kuda, kambing babi dan bisnis lainnya. Bagi saya, bekerja di LSM ada 3 hal keresahan yang harus ditaklukan, Pertama; mental, komitmen dan prinsip. Dua belas tahun bekerja di LSM sudah cukup mengasah mental dan prinsip saya untuk belajar agar tidak menjadi

2

manusia resah. Dukungan keluarga terutama anak dan istri sangat penting. Kedua, pada masa mendekati akhir program. pengalaman membuktikan bahwa pada saat-saat seperti ini harus berfikir ekstra apakah lembaga donor memperpanjang kontrak atau tidak. Jika kontrak proyek diperpanjang 2-1 tahun itu berarti asap dapur tetap mengepul, namun jika tidak harus pandai-pandai mencari batu loncatan agar bisa menghidupi keluarga. Ketiga; fasilitator belum tentu punya masa depan yang jelas. Bagaimana mungkin harus menabung dengan gaji yang pas-pasan. Kalau kita sudah mampu menaklukan 3 sumber keresahan yang saya sebutkan diatas mungkin tidak berlebihan kalau menyebutnya ”Luar biasa”. Sangat jarang fasilitator yang bertahan pada kondisi tersebut. Mengapa? banyak orang yang tergiur untuk bekerja di LSM hanya karena ingin berkantong tebal, sering naik turun pesawat, keluar masuk kantor pejabat tidur di hotel mewah tetapi penghasilannya pas-pasan, akhirnya belum selesai kontrak ada yang mengundurkan diri dengan berbagai alasan. Kalau orang kaya jadi dermawan itu sangat wajar dan sungguh mulia, tetapi kalau orang miskin bantu orang miskin terkadang tidak masuk akal. Sekali lagi saya hanya bilang itu panggilan jiwa. Terus bagaimana dengan masa depan? Apa yang saya harus kerjakan kalau putus kontrak? bagaimana dengan pendidikan anak-anak?, … itu urusan nanti. Pada saat ini saya kembali melihat potensi diri sendiri sejak berkecimpung sebagai fasilitator, pelatihan-pelatihan apa saja yang pernah saya ikuti. Selain pelatihan saya bongkar kembali berkas-berkas lama yang tersimpan digudang untuk mencari materi-materi yang pernah ssaya dapatkan dari berbagai fasilitator. Terakhir saya membuka satu persatu Sertifikat dan Piagam yang pernah saya peroleh dari berbagai lembaga. Tujuannya paling tidak diantara sekian ilmu yang saya peroleh akan saya gunakan untuk mempersiapkan masa depan tanpa harus meninggalkan panggilan jiwa. Beberapa ilmu yang saya peroleh selama di LSM khususnya program PEDULI dan kini mulai saya tekuni adalah menulis. Berkat pelatihan Purwokerto dengan teknik-teknik dasar penulisan atau 5 W+ 1H dengan rumus yang lebih sederhana “ADISIKAMBA” dari Alexsander Mering saya sudah mulai menulis. Tulisan-tulisan saya walau masih tergolong awam dan ringan secara ilmiah namun merupakan kebangaan tersendiri kalau sudah terakomodir di koran-koran lokal tetapi belum nasional loh? Selain menulis ada pengalaman lain yang diperoleh dari Program peduli. Selain memfasilitasi di desa dampingan Program peduli ada desa-desa lain yang minta untuk difasilitasi, sebagai fasilitator sangat wajar kalau kita mendapat honor dari apa yang kita lakukan, belum lagi kalau jadi narasumber, yah lumayankan? Sekilas kisah diatas hanyalah motivasi untuk temanteman fasilitator pemula seperti saya agar tidak mudah kecewa dan putus asa. Jangan menjadi fasilitator yang resah, jadilah fasilitator yang yakin akan diri sendiri sebelum meyakinkan orang lain. (*)

Perempuan Sumba

Tak Ingin SeperƟ Gajah Terikat Rantai “ Sely sudah berapa lama kerja di LSM?” “Yah.. kurang lebih sudah tujuh bulan bekerja di LSM. ” “Wah, kalau begitu. Kencang dong (berduit)”. Laporan Selsilia Yowa Mbali (Pendamping Program Peduli)

B

eberapa temanku menanyakan kesibukanku selama ini, walau mungkin itu pertanyaan candaan, namun bagiku ini sebuah penyimpulan terhadap pekerjaan di NGO/LSM. Sebagian orang berpikir bekerja di NGO banyak uang, orangnya cerdas bahkan terkadang terlalu idealis. Sesungguhnya bekerja di LSM tergantung orientasi masing- masing individu. Ada yang hanya bekerja karena memang harus mengejar uang, ada yang lebih kepada pengabdian atau pelayanan tanpa mengabaikan uang. Bahkan ada juga yang mencari pengalaman sambil mencari uang, bahkan ada yang ke tiga-tiganya. Apapun tujuan masing-masing adalah hak pribadi dan hanya nurani yang bisa berkata jujur dan anda ada dikatagori yang mana. Semuanya itu adalah cita-cita dan impian masingmasing dalam mencari kepuasan atau hidup atau tujuan dari sebuah karier. Saya teringat ketika pertama kali saya bergabung di program Peduli untuk proyek Sumba, dan inilah pertama kali saya mengenal dunia LSM. Sebelum diterima sebagai staf program, saya melalui beberapa proses salah satunya wawancara. Saat itu ada beberapa senior di LSM Lokal selain Pak Allo Tao sebagai tim wawancara. Saat itu yang paling gencar mencecer

dengan berbagai pertanyaan adalah pak Stepanus Landu Paranggi. “Apa yang membuat anda tertarik untuk bekerja di LSM?”. “Kenapa memilih SAMANTA?”. “Apa yang kamu tahu tentang orang miskin?”. “ Menurut anda, kenapa mereka miskin’. “Siapa dan yang bagaimana yang disebut marginal”. “Apa tergetmu ketika bekerja di LSM?”, dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang membuatku basah kuyup bermandi keringat. Satu kata-kata menarik yang disampaikan oleh pak Stef ketika saya telah diterima sebagai staf SAMANTA untuk program PEDULI adalah Fasilitator sejati tidak berusaha untuk menjadi terkenal dan mendapatkan penghargaan, biarlah masyarakat yang anda dampingi mengenalmu karena membawa perubahan, dengan sendirinya engkau dihargai karena karyamu. Berbicara soal pengabdian, sangat tergantung dari kapasitas yang kita miliki dan juga sumberdaya, persoalannya bagaimana kita bisa melayani orang lain jika kita sendiri masih butuh dilayani. Bagi saya pribadi, bekerja pada program Peduli belum bisa dikatagorikan pengabdian tetapi masih dalam tahap belajar membentuk identitas dan karakter diri sendiri sebelum melakukan pengabdian. Masalah kencang (berduit) seperti seloroh temanku masih belum merupakan tujuan. Saya yakin kencang atau berduit akan terwujud jika sudah memiliki

3


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.