INKLUSI SOSIAL SEBAGAI PENDEKATAN PENGENTASAN KEMISKINAN: SEBUAH PEMIKIRAN AWAL Bambang Ertanto dan Elsa Marliana The Asia Foundation, Jakarta-Indonesia Tulisan ini fokus pada pendekatan inklusi sosial untuk pengentasan kemiskinan. Pada bulan September 2018, BPS untuk pertama kali menampilkan jumlah penduduk miskin nasional dibawah angka 10%, tepatnya sebesar 9,66% atau sebesar 26,58 juta jiwa. Walaupun upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia telah berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dibawah angka 10%, namun belum semua penyebab kemiskinan dapat diatasi. Ada tiga tantangan yang dihadapi: ketimpangan antar wilayah, kelompok miskin transient, dan kelompok marjinal yang dieksklusikan. Pada Tahun 2014, Pemerintah Indonesia menginisiasi program yang mengusung pendekatan inklusi sosial yaitu Program Peduli. Program ini fokus menyasar kelompok marjinal yang diekslusikan secara sosial. Secara khusus, tulisan ini akan menjawab pertanyaan: Apa yang dilakukan oleh Program Peduli untuk menginklusikan kelompok marjinal sehingga bisa menikmati hasil pembangunan? Metode yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian adalah kualitatif. Selain kajian dokumen, pengumpulan data dilakukan melalui wawancara terhadap informan kunci dan diskusi kelompok terbatas. Wawancara silang juga dilakukan dengan beberapa informan untuk mewakili berbagai posisi (Kepala Desa, Aparat Sipil Negara, akademisi) untuk kepentingan verifikasi informasi. Temuan utama dalam Program Peduli adalah: pertama, munculnya kader lokal yang melakukan mobilisasi pergerakan sosial setempat untuk menciptakan inklusi sosial. Kedua, kelompok marjinal yang sebelumnya disingkirkan dan menjadi populasi tersembunyi mendapat pengakuan (rekognisi) dengan cara dicatat dalam data pemerintah. Ketiga, kelompok marjinal berhasil membangun relasi sosial dengan kelompok sosial lain. Keempat, pemerintah daerah meningkatkan layanan publik sebagai hasil dari pengakuan terhadap kelompok marjinal. Terakhir, kelompok marjinal berpartisipasi secara penuh dalam proses pengambilan keputusan. Kata kunci: pengentasan kemiskinan, eksklusi sosial, inklusi sosial, akses dan kontrol sumberdaya, dan peran organisasi masyarakat sipil.
SOCIAL INCLUSION AS POVERTY ALLEVIATION APPROACH: AN INITIAL THOUGHT Bambang Ertanto and Elsa Marliana The Asia Foundation, Jakarta-Indonesia This paper focus on social inclusion approach to poverty reduction. Central Statistics Agency (BPS) for the first time showed that the total number of national population below poverty is 10%, or to be accurate 9.66% or 26.58 million people. Although poverty reduction efforts in Indonesia have succeeded in reducing the poverty level below 10% of population, but not all causes of poverty can be solved. There are three challenges faced: inequality between regions, transient poor groups, and excluded marginalized groups. In 2014, the Government of Indonesia initiated a program that promotes the social inclusion approach, Peduli Program. This program focuses on targeting marginalized groups that socially excluded. Specifically, this paper will answer the question: What does the Peduli Program do to include the marginalized groups so they can enjoy the result of development? The method that used to answer the research questions is qualitative method. In addition to document review, data collection is done through interviews with key informants and limited group discussions. Cross-interviews were also conducted with several informants to represent various positions (Village Head, State Civil Authority, Academics) in the interests information verification. The main findings in Peduli Program are: first, the emergence local cadres who mobilized local social movement to create social inclusion. Second, marginalized groups that were previously excluded and become the hidden population are recognized in government data. Third, marginalized groups have succeeded in building social relation with other social groups. Fourth, local government improved public services as a result of recognition of marginalized groups. Lastly, marginalized groups fully participated in policy-making process. Key words: poverty alleviation, social exclusion, social inclusion, recognition, access and resource control, and role of civil society organization.
LATAR BELAKANG
Gambar 1: Persentase Kemiskinan Indonesia 1999-2018
Grafik di atas memberikan gambaran bahwa dalam dua dekade terakhir jumlah penduduk miskin Indonesia menurun. Pada bulan Maret 2018, untuk pertama kalinya jumlah penduduk miskin berada di bawah 10% atau sebesar 25,95 juta jiwa. Keberhasilan menurunkan persentase jumlah penduduk miskin Indonesia di bawah 10% bukan diraih pada masa satu pemerintahan, akan tetapi melalui proses evaluasi dan perbaikan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan. Walaupun upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia telah berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin di bawah satu digit, namun belum semua penyebab kemiskinan dapat diatasi. Di dalam grafik tergambar setelah mencapai angka 11%, sulit sekali untuk turun kembali. Ada 3 tantangan yang dihadap yaitu: (1) ketimpangan antar wilayah yang mempengaruhi aksesibilitas masyarakat, (2) penduduk miskin transient, dan (3) kelompok marjinal yang tidak dapat mengakses layanan dasar karena dikucilkan dalam proses pembangunan ataupun juga dalam interaksi sosial kemasyarakatan. Sadar dengan situasi kemiskinan yang multi dimensi, Pemerintah Indonesia membuat inisiatif membuat program untuk mendorong inklusi sosial sebagai salah satu cara untuk keluar dari kemiskinan bagi kelompok marjinal. Dari pemikiran tersebut lahirlah Program Peduli. Pada bulan April 2014, Program Peduli fase II mulai dilaksanakan di bawah arahan Kementerian Koordinasi bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) dengan dukungan dari Departemen Luar Negeri dan Pemerintah Australia (DFAT) dengan pengelolaan oleh The Asia Foundation (TAF). Tulisan ini akan fokus pada Program Peduli yang bekerja dengan menggunakan pendekatan inklusi sosial untuk kelompok marjinal yang terabaikan. Secara khusus, tulisan ini akan menjawab pertanyaan: apa yang dilakukan oleh Program Peduli sehingga kelompok marjinal dilibatkan dalam proses pembangunan dan mampu menikmati hasil pembangunan? Analisis struktur sosial ekonomi dan politik digunakan untuk memahami mengapa kelompok marjinal bisa terlibat dan menikmati hasil pembangunan. METODE
Untuk menjawab pertanyaan penelitian, Penulis melakukan kajian dokumen, pengumpulan data melalui wawancara dengan informan kunci, dan diskusi kelompok terbatas. Untuk kepentingan verifikasi, Penulis melakukan wawancara silang, terutama (tetapi tidak terbatas pada) dengan informan-informan yang mewakili berbagai posisi, berbagai latar belakang sosial-ekonomi, dan (diasumsikan) mewakili kepentingan. Dalam melakukan analisa, Penulis mengkerangkakan cara mengentaskan kemiskinan dengan teori lima langkah inklusi sebagai berikut: 1. Menghadirkan/pengakuan kelompok marjinal; 2. Mendorong pemangku kebijakan mempertimbangkan kelompok marjinal dalam perumusan kebijakan; 3. Mendorong interaksi sosial antara kelompok marjinal dengan masyarakat; 4. Pemenuhan hak dasar kelompok marjinal; dan 5. Keberdayaan kelompok marjinal untuk berpatisipasi secara penuh (Goran Therborn dalam DESA, 2007).
HASIL DAN TEMUAN “Tingkat kerentanan dipengaruhi oleh kepemilikan atas harta, akses terhadap sumber daya, dan dikucilkan dari mekanisme redistribusi jaminan sosial" (Kutanegara dan G. Nooteboom, 2000, h. 30-31). “Untuk memperoleh akses ke sumber daya tidak hanya ditentukan oleh kekuatan fisik, tetapi juga oleh relasi sosial, dan networking. Mereka yang memiliki relasi sosial terbatas akan mengalami hambatan untuk memperoleh akses ke sumber daya� (Kutanegara, 2000, h. 314). Program Peduli menyasar enam kelompok marjinal yang terpinggirkan yang mengalami hambatan untuk mendapat akses sumber daya karena identitasnya. Keenam kelompok tersebut adalah: 1. Anak-anak dan pemuda remaja yang rentan: anak yang dilacurkan, anak buruh migran, dan anak yang menjalani pidana penjara. 2. Masyarakat adat dan pinggir hutan yang bergantung pada sumber daya alam. 3. Kelompok agama minoritas yang mengalami diskriminasi: Jemaah Ahmadiyah, Jamaah Syiah, dan pemeluk agama tradisional/penghayat kepercayaan. 4. Masyarakat penyandang disabilitas: termasuk mental and fisik. 5. Korban pelanggaran berat hak azasi manusia: korban transisi politik tahun 1965, korban Tanjung Priok dan Talangsari, operasi militer Aceh, dan peristiwa 98. 6. Transpuan. Untuk mengatasi hambatan terhadap akses sumber daya, Program Peduli menggunakan pendekatan inklusi sosial yang terdiri atas tiga ranah yang saling terkait satu sama lain:
Gambar 2: Tiga Cara Mencapai Inklusi Sosial oleh Program Peduli
Akes terhadap layanan
Memfasilitasi penerimaan sosial
Perbaikan Kebijakan
Sumber: Dona L. Holden dan Wahyu W. Basjir, 2016, h. 7 Program Peduli dirancang untuk meningkatkan hubungan sosial dan memperkuat inklusi sosial dari kelompok marjinal. Kelompok marjinal ini akan diinklusikan dalam tiga domain yaitu pasar (tanah, perumahan, pekerjaan, kredit), layanan (misalnya kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial, dan ransportasi), dan ruang (untuk partisipasi sosial, politik, dan kebudayaan) sebagai peluang terjadinya inklusi. Untuk menciptakan inklusi, intervensi dalam satu domain harus mempertimbangan domain lain. Dalam praktiknya, Program Peduli dibangun melalui kemitraan antara The Asia Foundation (TAF) dengan tujuh organisasi masyarakat sipil tingkat nasional yang bertindak sebagai Executing Organization (EO) yang memberikan hibah kepada 67 organisasi masyarakat sipil tingkat lokal yang bekerja di 73 kabupaten/kota. Setiap mitra bekerja untuk mencapai target yang sama, yaitu meningkatkan akses layanan, penerimaan sosial, dan kebijakan. Namun demikian masing-masing mitra Program Peduli akan bekerja sesuai teori perubahan mereka sendiri. Maka jalur perubahan sosial yang diterapkan oleh mitra Program Peduli menjadi beragam dan sangat fleksibel. Dapat dimulai dari penerimaan sosial kemudian mempengaruhi pelayanan dan kebijakan. Atau sebaliknya memulai dari pelayanan yang mempengaruhi penerimaan sosial dan kebijakan sosial. Dari cara kerja yang sangat fleksibel dan mengikuti konteks eksklusi masing-masing komunitas dan wilayah, perubahan yang terjadi di komunitas adalah sebagai berikut: 1. Menghadirkan kelompok marjinal agar mendapatkan perhatian dari masyarakat/pemerintah. Program Peduli mendorong mitra pelaksana untuk membentuk sekolah kader dimana sekolah tersebut meningkatkan kapasitas individu untuk mengklaim hak, bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk komunitas. 2. Mendorong pemangku kebijakan mempertimbangkan kelompok marjinal dalam perumusan kebijakan. Selama ini kelompok marjinal terkesklusi, dan bahkan tidak memiliki identitas legal, sehingga mereka tidak tercatat secara resmi sebagai penduduk Indonesia. Melalui proses pendataan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil tingkat lokal, kader, dan menggandeng pemerintah setempat; Program Peduli berhasil memunculkan hidden population tersebut dalam data kependudukan. 3. Mendorong interaksi sosial antara kelompok marjinal dengan masyarakat.
Program Peduli melalui organisasi masyarakat sipil tingkat lokal mendorong terbentuknya forum lintas identitas dan forum dengan pemangku kepentingan dimana kelompok marjinal dilibatkan dalam pembentukan dan pelakasanaanya. Dari forum-forum tersebut, interaksi terjadi antar berbagai pihak sehingga partisipasi kelompok marjinal semakin meningkat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. 4. Pemenuhan hak dasar kelompok marjinal. Masyarakat adat Kajang yang selama ini terisolir dan menjadi hidden population, pada tahun 2017 mendapatkan KTP elektronik. Hal ini merupakan kerjasama dan advokasi antara organisasi masyarakat sipil setempat dengan Dukcapil yang sangat responsif. Hasilnya lebih dari 2.393 masyarakat adat Kajang memiliki identitas legal, terutama KTP. 5. Keberdayaan kelompok marjinal untuk berpartisipasi secara penuh. Hal ini terlihat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 mengenai pencantuman kolom “Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME� di dalam KTP elektronik dan Kartu Keluarga. Pemohon pengujian kepada Mahkamah Konstitusi ini dilakukan oleh penghayat kepercayaan dari wilayah Program Peduli yang sudah didamping oleh organisasi masyarakat sipil setempat. Putusan Mahkamah Konstitusi ini berimbas pada seluruh penghayat kepercayaan di Indonesia. KESIMPULAN Ada beberapa hal yang bisa dipetik dari perubahan-perubahan yang dikontribusikan oleh Program Peduli. Pertama adalah peran CSO yang memiliki legitimasi untuk memfasilitasi dialog para pihak dan memperkuat relasi kelompok marjinal dengan kelompok sosial lain. Kedua, adanya koalisi besar yang berisikan kelompok marjinal, tokoh lokal, relawan, dan aparat pemerintah. Semakin besar jumlah kelompok terlibat maka ekslusi kelompok marjinal semakin berkurang. Ketiga, adalah inklusi sosial menjadi isu bagi pemerintah. Kemiskinan memiliki dimensi yang majemuk dan akar yang berbeda. Pendekatan inklusi sosial bisa dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan bagi kelompok marjinal terkslusikan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dona Holden dan Wahyu Basjir, inklusi sosial bisa dijabarkan sebagai nilai yaitu menempatkan asas persamaan, pemberdayaan, dan hak-hak sebagai inti dari semua kegiatannya. Sebagai proses, mampu memastikan adanya ruang dan kesempatan (termasuk affirmative action) bagi semua warga negara untuk berpartisipasi dalam komunitasnya. Sebagai hasil, fokus pada peningkatan kapasitas kelompok marjinal melakukan klaim atas hak-haknya, penyedia layanan melakukan tanggung jawabnya dan berpartisipasi dalam komunitasnya. Ketiganya adalah prasayarat untuk mengatasi hambatan kelompok marjinal terhadap akses dan kontrol sumberdaya.
REFERENSI Holden, D. L. dan Basjir, W. W. (2016). PNPM Peduli Program Snapshot. Jakarta: The Asia Foundation. Kutanegara, P. M. (2000). Akses terhdap Sumber Daya dan Kemiskinan di Pedesaan Jawa: Kasus Desa Sriraharjo, Yogyakarta. Humaniora XII. No. 3/2000. 313-323. Kutaznegara, P. M. dan Nooteboom, G. (2000). Forgotten Villages: The Effect and The Role of The Governmentin Rural Java. Populasi 11. 2. 23-60.
United Nations Department of Economic and Social Affairs (DESA). (2009). Creating an inclusive Society: Practical strategies to promote social integration. Diambil dari https://www.un.org/esa/socdev/egms/docs/2009/Ghana/inclusive-society.pdf