Baduy dalam Geliat Kekinian

Page 1

BADUY DALAM GELIAT KEKINIAN Oleh: RMI

A. Pendahuluan Masyarakat Baduy secara imajiner dibelah pada klasifikasi Baduy Dalam dan Baduy Luar berdasarkan intensitas penerimaan unsur modernisasi di intern masyarakatnya (Senoaji:2010). Sebutan Baduy sebenarnya bukan identifikasi asli dari dalam masyarakat itu sendiri (baca: Baduy) melainkan saduran dari pengidentikasian sosial yang diberikan oleh peneliti Belanda -pada masa penjajahan- yang mempersamakan mereka dengan kelompok Badui yang hidup mengisolasi diri di pedalaman Arab. Mereka sendiri awalnya lebih suka menyebut dirinya Urang Kanekes (orang Kanekes) sesuai dengan nama wilayah mereka, namun karena pelabelan Baduy terlanjur dikenal luas oleh masyarakat umum. Akhirnya mereka terpengaruh; terbiasa dan familiar dengan menyebut diri Baduy. Nama Kanekes sendiri terabadikan menjadi nama pemerintahan desa tempat mukim seluruh warga Baduy. Pemerintahan Desa Kanekes terbagi ke dalam empat puluh lima kampung dan untuk Baduy Dalam hanya terdiri dari tiga kampung yakni Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik. Sementara yang masuk kualifikasi Baduy Luar cukup banyak antara lain kampung Kaduketug, Babakan Kaduketug, Kadujangkung, Babakan Balimbing, Babakan Marengo, Gajeboh, Cicakal Muara, Cipaler, Babakan Eurih, Cisagu Landeuh, Cibitung, Cihulu, Cijengkol, Cikadu, Ciranji, Cisagu Pasir, Cibogo, Batubeulah, Cikulingseng, Cigula, Karahkal, Cibongkok, Cisaban I, Cisaban II, Cicakal Girang, Kadukohak, Leuwihandam, Cisadane, Kanengay, Batara, Binglu Gembok, Ranca Kondang, Cipiit, Cijanar, Pamoeyan, Cicangkudu, Ciwaringin, Cicatang, Cihalang, Cikopeng, Sorogkokod, Bojongpauk, dan Kaduketer. Masing-masing kampung dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab mengorganisir masyarakat yang disebut dengan kolot . Masyarakat Baduy sebagaimana lazimnya masyarakat adat lainnya menganut dua sistem pemerintahan yaitu sistem negara dan sistem adat. Pemerintahan Desa merupakan refresentasi dari sistem negara dipimpin oleh seorang Jaro (kepala desa) kewenangan fungsinya sebatas urusan administartif pemerintahan negara karena jika suatu hal berkaitan dengan adat maka Jaro pun dituntut tunduk kepada putusan Puun (kepala adat). Sementara pemerintahan adat dipimpin oleh tiga Kepuhunan yaitu Puun Cikeusik, Puun Cikertawana dan Puun Cibeo. Pemahaman Tilu Tangtu ; prebu, rama dan resi dipegang oleh masing-masing puhun, seperti prebu dipegang oleh Puun Cibeo , rama dipegang oleh Puun Cikertawana dan resi dipegang oleh Puun Cikeusik (Elis Suryani NS: 2010). Dalam struktur pemerintahannya dibantu juga oleh Tangkesan (penasehat adat/spiritual) dan Tujuh Jaro kepala pimpinan adat dari masing-masing aliansi kampung yang membawahi 11.667 penduduk Desa Kanekes pada tahun 2016. 1


B. Mata Pencaharian Matapencaharian utama masyarakat Baduy Luar adalah bercocok tanam padi yang dikerjakan di huma. Huma ialah ladang kering tanpa proses pengairan atau saluran irigasi. Proses beladang mereka diawali dari ladang dibersihkan dari rumput atau belukar sampah organiknya dibiarkan kering di ladang kemudian dibakar. Sisa abu pembakarannya bermanfaat sebagai pupuk yang nantinya tersebar melalui hembusan angin atau mengalir bersama air hujan dan setelah itu kegiatan ngaseuk (melubangi tanah menggunakan bambu) dimulai dan selanjutnya penanaman benih. Kegiatan berladang tidak lepas dari ritual-ritual khusus setiap yang sudah berkeluarga wajib bisa melafalkan campe-campe menanam padi yang ditujukan pada Dewi Sri (mahkluk mitologi padi). Beberapa tumbuhan ditanam di sekitar ladang padi antara lain bunga pacing dan anjuan fungsinya sebagai punpuhunan atau penawar hama. Di samping bekerja sebagai petani atau pemborong hasil bumi seperti cengkeh atau buah-buahan, warga Baduy juga mengenal profesi sampingan sebagai penebang kayu. Menebang kayu dikerjakan oleh beberapa warga Baduy Luar dengan sistem upah dibagi menjadi dua yaitu sistem upah umum Rp. 50.000,- perhari dan upah rereonganuntuk satu kampung yang umumnya dipergunakan bagi kegiatan sosial di kampung masing-masing (uangnya masuk ke kas kampung).Kayu-kayu yang dihasilkan ini kemudian disetorkan kepada “bos kayu” dengan harga 1 kubik Rp. 25.000. Uniknya dalam proses pengangkutan kayu setelah kayu diseret ke pinggiran sungai kemudian dihanyutkan begitu saja mengikuti aliran sungai yang menuju Ciboleger tempat si “bos kayu” sudah menunggu. “Kayu gelondongan meunang nebang teh, disered ka pipir susukan tuluy we dipalidkeun ka cai” Artinya : “Kayu gelondongan sesudah ditebang, diseret ke pinggir sungai terus dihanyutkan ke air”

2


Ngaseuk Melubangi Huma Persiapan Penanaman (Gambar 1) Kerja sebagai penaman bibit pohon pun dilakoni sebagai profesi sampingan karena hanya dikerjakan beberapa kali dalam satu tahun sebab tidak setiap bulan mereka dapat menanam bibit pohon. Terkait pasokan bibit pohon bisanya warga Baduy Luar mengandalkan bibit pohon yang diberikan oleh pemerintah namun tidak menutup juga beberapa warga secara mandirimencari bibit pohon sendiri. Bibit pohon yang sudah dipelihara menjadi benih kemudian dijual untuk ditanam di lahan masing-masing pembeli. Wanita dari masyarakat Baduy sebagian besar melepas masa lajang di usia yang relatif belia 13-15 tahun. Setelah menikah di samping memainkan peran lazimnya pengurus urusan domestik (kerumahtanggaan), wanita Baduy juga aktif dalam membantu menggarap ladang yang dikerjakan bersama-sama dengan suaminya. Satu dasawarsa ke belakang para wanita Baduy memiliki kesibukan tambahan yakni memproduksi kain tenun. Kain tenun Baduy salah satu sandang khas yang awalnya hanya diproduksi untuk kebutuhan sendiri kemudian beranjak untuk kebutuhan wisatawan (bisnis oleh-oleh).

3


Kegiatan Menenun Semua Dikerjakan oleh Kaum Wanita (Gambar 2) Berbeda dengan wanita-wanita Baduy yang sudah menikah sedikit mendapatkan kebebasan untuk bepergian ke luar Desa Kanekes -biasanya ke Rangkasbitung- sementara gadis-gadisnya terikat oleh izin orangtua. Meskipun demikian beberapa gadis-gadis Baduy sudah pernah menjejakan kakinya ke kota-kota besar seperti Jakarta dan Bekasi diajak melancong oleh ayahnya menemui kenalan-kenalan di kota tersebut. Namun kabar ironi santer berhembus bahwa tidak sedikit kasus “perdagangan anak gadis” untuk dipekerjakan jadi buruh tukang cuci (pembantu rumah tangga) di Jakarta marak. Kampung Balimbing dan Gajebo berada di urutan atas dalam dugaan pemasok buruh tukang cuci ke Jakarta, beberapa gadis bahkan menjadikan pekerjaan tersebut sebagai impian dalam hidupnya mungkin tergiur dari beberapa temannya yang sudah bekerja di Jakarta pulang setahun sekali dan bergaya hidup perkotaan.

C. Hasil Bumi Komoditi matapencaharian lainnya ialah coklat. Pohon coklat mulai ditanam di beberapa ladang sekitar tahun 2000 dan sekarang pun masih tergolong sedikit warga Baduy yang memiliki ladang pohon coklat. Penghasilan yang diperoleh dari tanaman coklat lumayan menguntungkan karena dalam satu tahun mereka dapat memanen biji coklat sebanyak dua kali. Biji-biji coklat tersebut setelah dikeringkan oleh sinar matahari selama 4-7 hari difermentasikan dalam karung agar keluar minyaknya dan kemudian dijual pada bandar di Rangkasbitung. Pohon aren atau kawung juga banyak didapati di wilayah Baduy pohon tersebut ada yang memang sengaja ditanam dan ada juga tumbuh secara alamiah. Warga Baduy lebih suka menyadap air niranya dibandingkan mengunduh buahnya (kolangkaling), karena hasil penjualan dari pengolahan air nira lebih menguntungkan dibanding sekedar menjual buahnya. Pohon aren setelah mencapai usia sadap mampu menghasilkan ratusan liter nira yang disadap oleh penderes tiap hari selama kurun waktu tiga bulan. Per harinya penyadapan dilakukan dalam dua kali sesi pagi-sore dan rata-rata dapat menghasilkan 10 liter nira. Air nira tersebut kemudian diproses melalui pembakaran di wajan sampai menjadi mengental, dituangkan pada cetakan selongsong bambu, didinginkan beberapa hari sampai siap dijual sebagai gula aren. Selanjutnya gula aren ini dijual langsung di depan rumah mereka atau didistribusikan ke warung-warung yang berjejer di jalan masuk Desa Kanekes. Selain aren kegiatan penyadapan atau pengunduhan lainnya ialah memproduksi madu dari lebah hutan. Madu Baduy cukup tersohor di kalangan pelancong selain dijual di lingkungan wisata Baduy juga ada yang menjajakannya ke kota-kota.

4


Pengolahan Produksi Gula Aren (Gambar 3) Komoditi lainnya yang menjadi primadona ialah cengkeh pada dasarnya warga Baduy tidak boleh menanam cengkeh namun karena laba penjualan cengkeh kering di pasaran terbilang mahal maka beberapa warga Baduy berinisiatif membeli cengkeh basah kepada masyarakat yang ada di luar. Sistem beli yang dilakukan ialah dengan membeli cengkeh ketika masih berada di pohon disebut dengan ngeborong. Setelah proses pemetikan kemudian cengkeh dijemur di bawah sinar matahari. Pemandangan penjemuran cengkeh banyak didapati di Baduy Luar apabila tengah musim panen. Warga Baduy mempraktekan sistem borong ini tidak hanya pada komoditi cengkeh namun juga pada komoditi hasil bumi lainnya seperti pete, lada, kopi, dan buah-buahan; pisang, durian serta rambutan. “Meuli cengkeh tina tangkal murah ngan dua puluh tujuh rebu sakilo, baseuh, mun geus dipoe kering jadi mahal hargana kana sallapan puluh lima rebuan sakilo” Artinya : “Membeli cengkeh di pohon cuma dua puluh tujuh ribu sekilo kondisinya “basah” tapi kalau sudah dijemur jadi mahal harganya bisa sampai sembilan puluh lima ribu sekilo”

5


Penjemuran Cengkeh (Gambar 4) D. Produk Kerajinan Produksi kain tenun paling semarak dikerjakan oleh warga Kampung Balimbing, Kaduketug, dan Gajebo. Di tiga lokasi tersebut hampir setiap rumah membuat kerajinan kain tenun. Kampung Balimbing merupakan penggerak pembuat tenun bagi kampung yang ada di Baduy Luar. Sebenarnya pada tahun 1990-an produksi tenun mulai dirintis di Kampung Gajebo disusul Kampung Kadeguteg pada tahun 2005-2006 dan kemudian diikuti beberapa kampung lainnya. Kegiatan menenun dilakukan oleh wanita, namun alat-alat tenun yang digunakan dibuat oleh laki-laki. Pada awalnya proses pembuatan tenun ini dengan menggunakan benang yang dibuat sendiri oleh warga Baduydari pemintalan kapas yang kemudian diberikan pewarnaan alami (ditimpal), akan tetapi pada perjalanannya pembuatan tenun dewasa ini sudah menggunakan benang pabrikan yang dibeli dari Majalaya, Bandung. Pada permulaan usaha belanja benang paling banyak 50kg namun sekarang sudah mencapai kwintalan. Pergantian dengan menggunakan benang beli tersebut baru terjadi di tiga tahun belakang. Sementara untuk pemakaian dalam tahap belajar masih menggunakan benang buatan karena kalau membeli benang 1 kg dinilai terlalu banyak. Hitungan benang per-Kg bukan satu bendel atau satu ikatan benang dijual Rp. 4.000 dari 1kg benang tersebut dapat menjadi satu kain ukuran cukup lebar dengan alokasi waktu dua sampai tiga minggu pengerjaan. Sistem belajar menenun diwarsikan secara turun menurun, salah satu teknis menenun ialahngerangkai benang, memasukan ke sisir, ngagelar. Dari ragam kain tenun Baduy yang diproduksi hanya kain-kain tertentu saja yang masih menggunakan benang kapas asli, misalkan kain samping carang dipakai untuk hajat sunatan fungsinya menutup ruangan kamar anak yang sedang sunat juga kain yang sama digunakan juga pada saat ngadiuken induk atau mengendong padi dimasukan ke lumbung padi (leuit). Sementara ragam kain tenun Baduy lainnya ialah adu mancung dulunya dipakai dalam acara pernikahan, sunatan, penanaman padi. Kalau ada musim hajatan seperti nikahan dan sunatan banyak yang memesan untuk kebutuhan intern warga Baduy. Permintaan pasar sedikit menggeser kekhasan kain tenun Baduy selain benang juga dalam perubahan corak warna misal dalam sarung songket dulu corak warna cenderung monoton hitam putihnamun sekarang sudah mulai ada inovasi warna telur asin, kuning, merah dan ungu. Terkait perubahan warna tidak di permasalahkan oleh adat karena berubahnya warna diperuntukkan pesanan-pesanan dari konsumen sementara terkait motif tidak mengalami perubahan. 6


“Ari corak motifna mah teu robah, masih motif Baduy, ngan vareasi warna na ungkul nu robah nurutkeun kahayang pesenan” Artinya : “Kalau corak motifnya tidak berubah, masih motif Baduy Cuma dalam varian warna saja yang berubah mengikuti keinginan pemesan”

Aneka Warna Kain Tenun Baduy (Gambar 5) Permintaan pasar terhadap kain tenun Baduy merangkak meningkat pada awal tahun 2000an, namun lebih eksisnya lagi pada awal tahun 2005. Hal tersebut berdampakpada meningkatnya jumlah pengrajin, kalau sebelumnya di Kampung Balimbing hanya terdapat 15 orang yang bisa menenun sekarang hampir semuanya bisa. Tingginya permintaan kain tenun Baduy di pasaran membuat daya tarik tersendiri bagi wanita Baduy untuk memperoleh penghasilan melalui menenun. Awalnya hanya sebatas usaha sampingan dari resesbekerja di ladang namun lama kelamaan menjadi pekerjaan utama bagi wanita Baduy. Usaha kerajinan kain tenun Baduy dikelola menggunakan sistem penampung. Si pembuat diberikan modal benang oleh si penampung, ratarata cukup untuk membuat empat tenunan. Kemudian si pembuat yang berhasil menenun empat tenunan, dua menjadi hak si penampung dan dua menjadi hak pembuat. Dua tenunan hak pembuat dibayar tunai oleh penampung sedangkan si penampung mendapatkan uang menunggu laku hasil tenunnya tersebut. Meski aroma bisnis mencuat dalam kerajinan kain tenun namun tetap mengindahkan pantangan adat yang melarang menenun pada tiga hari di bulan Safar. Tas serat kayu, jorog dan koja juga beberapa produk kerajinan khas Baduy selain kain tenun. Tas serat kayuberbahan dari kulit pohon kelapa sementara tas jorog dan koja berbahan serat kayu teureup yang dijadikan benang dan kemudian dianyam. Fungsi tas ini untuk menyimpan barangbarang kecil semacam buku, handphone, dompet dll. Kerajinan tersebut 7


dibuat oleh laki-laki secara berkelompok.Pembuat kerajinan ini paling banyak ada di Kampung Cihulu Cicampaka, Baduy Luar sementara warga Baduy Dalam tidak berproduksi namun ikut membantu menjajakan. “Urang Baduy Jero mah teu aya nu ngajieunan karajinan, tapi mun ngajualan mah manehna sok iluan, nyokot barangna ti dieu” Artinya : “Orang Baduy Dalam tidak ada yang memproduksi kerajinan tapi suka ikut dalam menjualkan, mengambil barangnya dari sini (Baduy Luar)”

Aneka Kerajinan Oleh-oleh Baduy (Gambar 6) E. Keaksaraan Aturan adat lain yang mengikat -namun dilanggar secara “sengaja” oleh sebagian orang khususnya warga Baduy Luar- ialah terkait pengenalan aksara dan boikot pendidikan formal. Dengan mudah kita dapat menemui di perkampungan Baduy anak-anak usia sekolah keluyuran pada waktu yang lazimnya sedang bersekolah. Mereka memiliki pandangan bahwa pengenalan aksara itu tidak penting keterangan lisan lebih utama daripada tulisan sebab tradisi lisan muncul terlebih dahulu dalam peradaban manusia dibandingkan tradisi tulis. Oleh sebab demikian maka hanya beberapa warga Baduy saja yang mampu membaca dan menulis. Pengajaran membaca dan menulis didapat beragam; timbul dari keinginan kuat individu (otodidak) ataupun berkat kampanye pengajaran dari luar (baca: aktivis). Kegiatan belajar ini tentunya dilakukan secara sembunyisembunyi dan pada beberapa kesempatan pernah mendapatkan teguran karena kedapatan tengah melangsungkan proses belajar mengajar. Namun pada perkembangannya meski hanya segelintir anak saja yang mengenyam sekolah (PKBM Ciboleger) gairah orang-orang tua untuk dapat baca tulis sedikit terdorong oleh faktor massifnya peredaran handphone di masyarakat Baduy Luar. 8


“Nu ngahaja sakola mah euweuh. Dialajar maca nulisna ilu ka nu geus bisa maca. Jadi ayeuna mah nu karolot oge ayalah nu bisa maca-maca wae mah.” Artinya : Yang sengaja sekolah tidak ada. Belajar baca dan nulisnya ke orangorang yang sudah bisa baca. Jadi sekarang ada orang-orang tua yang bisa membaca.

Memo yang Ditulis oleh Orang Baduy (Gambar 7)

F. Kesehatan Kasus kematian bayi dalam persalinan pun mencuat sebagai kabar negatif dari wanita Baduy meski tidak ada prosentase resmi yang dikeluarkan dari pihak kesehatan desa namun berdasar beberapa kabar yang beredar di masyarakat menyatakan bahwa periode kehamilan atau persalinan cukup rentan berbuah kegagalan. Kurangnya partisipasi aktif dari bidan desa, terbatasnya kader kesehatan untuk merayah seluruh wilayah Baduy menjadi dua diantara beberapa faktor kasus kegagalan persalinan. Faktor intern juga memainkan andil besar yakni wanita Baduy masih minim kesadaran perihal mengecek kesehatan kehamilannya dan hanya mengandalkan diagnosa dari paraji atau dukun beranak. G. Perhiasan dan Busana Di samping dikenal sebagai agen penggerak ekonomi kain tenun wanita Baduy juga kesohor dengan gaya perhiasannya yang mencolok. Menjadi pemandangan yang lumrah di perkampungan-perkampungan Baduy banyak ditemui wanita-wanita yang menggunakan perhiasan gelang, kalung dan giwang baik itu yang terbuat dari logam emas mengkilap maupun perak. 9


Perhiasan-perhiasan tersebut dipakai dalam kegiatan sehari-hari tidak hanya pada perayaan hajatan atau upacara adat saja melainkan pada saat menenun dan bekerja di ladang dan perhiasan-perhiasan tersebut dianggap tabu apabila dipergunakan oleh laki-laki. “Urang Baduy mah simpenanna kana emas atau kana tanah. Mun kana emas mah sawaktu-waktu butuh bisa dijual” Artinya : “Orang Baduy simpanannya (kekayaan) pada emas atau tanah. Kalau berbentuk emas sewaktu-waktu butuh bisa dijual. Perubahan serupa dalam gaya busana intensitas pemakaian baju hitam dan putih mulai menurun diganti dengan pakaian-pakaian pabrikan dengan ragam warna dan corak gambar.

Busana Anak-anak Baduy Luar (Gambar 8)

Nuansa “Modernitas Pada Jemuran” ; Corak Pakaian dan Kasur Kapuk (Gambar 9) 10


“Barudak leutik di Baduy Luar mah rata-rata geus marake baju kota, tapi aya oge kituh mun budak awewe mah make anrok panjang motif Baduy” Artinya : “Anak-anak di Baduy Luar rata-rata sudah memakai baju kota (corak modern) tapi ada juga seperti anak perempuan yang memakai rok panjang motif Baduy” H. Sarana Transportasi Masyarakat Baduy dinilai secara luas oleh publik sebagai sub masyarakat yang masih berpegang teguh memelihara aturan adatnya, maka sebagian orang menggolongkannya pada komunitas mandiri dari rumpun Suku Sunda. Aturan adat yang dimaksud mengatur hampir seluruh lini kehidupan baik politik (kekuasaan), sosial (kemasyarakatan), religi (kepercayaan), lingkungan hidup dan hal-hal lainnya yang menyangkut aturan personal maupun komunal. Sedikit perihal aturan adat yang mungkin telah dikenal luas khalayak ialah kebiasaan orang Baduybepergian hanya dengan berjalan kaki untuk menempuh lokasi-lokasi yang jauh maupun dekat seperti pada perayaan Seba ke Rangkasbitung, Serang atau untuk keperluan lainnya ke kota-kota sekitar. Kebiasaan berjalan kaki untuk menempuh lokasi-lokasi yang relatif jauh sebenarnya sudah ditinggalkan lama oleh warga Baduy Luar yang lebih memilih menggunakan transportasi bahkan untuk menghadiri perayaan sekelasSeba pun. Masyarakat terlanjur “menduga” Seba dilakukan oleh warga Baduy dengan berjalan kaki, turun gunung meniti perjalanan jauh menuju kota untuk menghadap penguasa; bupati dan gubernur ternyata hal tersebut tidak dilakukan oleh semua warga Baduy, hanya warga Baduy Dalam saja yang masih demikian sedangkan Baduy Luar sudahmengandalkan transportasi. Hal ini disinyalir menjadi faktor yang membuat prosentase partisipasi warga Baduy Luar dalam Seba lebih banyakdibandingkan warga Baduy Dalam. Bahkan beberapa warga Baduy Luar sudah memiliki kendaraan bermotor.

Gerbang Masuk Desa Kanekes Menjadi Alternatif Lahan Parkir Motor 11


Orang Baduy Luar (Gambar 10) I. Pariwisata Setelah ditetapkan sebagai objek wisata terjadi banyak perubahan dalam dinamika kehidupan masyarakat Baduy. Beberapa rumah sudah membuka diri untuk kehadiran wisatawan yang ingin live in(menginap) dalam beberapa hari. Kampung Kaduketug, Balimbing dan Gajebo banyak menyediakan jasa live indi kawasan Baduy Luar. Maka tidak mengherankan apabila pada tiga kampung ini nampak ramai dikunjungin oleh banyak wisatawan domestik atau mancanegara. Tata ruang rumah mulai menyesuaikan untuk kenyamanan wisatawan misalnya di Kampung Balimbing pada tahun 1987 fasilitas WC kloset, kamar mandi atau toren penampungan air sudah mulai ada di hampir setiap rumah.

Fasilitas Toren di Beberapa Rumah Orang Baduy Luar (Gambar 11)

“Kampung-kampung ieu emang dikhususkeun keur tempat wisata jang nu warisata (Kaduketug) oge Balimbing, Gajebo jeung Marego” Artinya : “Kampung-kampung ini memang diperuntukkan sebagai tempat wisata bagi masyarakat luar (Kaduketug) dan Balimbing, Gajebo, dan Marego.” Seiring pesatnya perwisataan ke Baduy warga pun banyak yang merambah profesi sebagai pemandu wisata nampak di depan jalan masuk Desa Kanekes para wisatawan sudah dapat melihat para kerumunan pemandu wisata berlomba menawarkan jasa. Macam-macam keinginan dari wisatawan tersebut ada yang minta ditemani keliling-keliling Baduy, live in dan diantar menuju kediaman puun untuk keperluan sesuatu hal. 12


“Urang asing oge loba nu wisata ka Baduy Luar mah ngan teu meunang asup ka Baduy Jero”. Artinya : “Orang asing juga banyak yang wisata ke Baduy Luar tapi tidak boleh masuk ke Baduy Dalam”

Salah Satu Wisatawan Asing (bertopi) yang Live in di Kampung Balimbing (Gambar 12) Beberapa warung dibuka untuk memenuhi kebutuhan wisatawan di samping untuk penduduk lokal sendiri. Warung pangan dan sandang berjejer di area masuk Desa Kanekes menjajakan sejumlah kebutuhan pokok, masakan jadi dan tentunya barang oleh-oleh khas Baduy. Kebutuhan pokok diperoleh dari Rangkasbitung sementara untuk sandang ada yang didapat dari Pasar Tanah Abang, Jakarta. Kain tenun, gula merah dan madu khas Baduy pun dijajakan.

J. Teknologi Kabel aliran listrik hanya sampai di kantor Desa Kanekes sementara seluruhnya perkampungan Baduy dalam kondisi tidak terfasilitasi listrik karena merupakan salah satu larangan adat. Untuk keperluan penerangan warga Baduy Luar mengandalkan senter atau solar soil . Peredaran solar soil dijajakan oleh penjual yang kerap masuk ke kampung dengan harga pada Rp. 200.000-250.000 sebelum dipergunakan di malam hari pada siangnya

13


dijemur terlebih dahulu. Menjemur Solar Soil (Gambar 13) Uniknya meskipun setiap rumah tidak berfasilitas listrik namun warga Baduy Luar banyak yang memiliki handphone atau radio dan itu tidak terbatas pada kelompok usia muda saja namun juga orang-orang tua. Keberadaan sinyal seluler tidak stabil dan hal ini membuat mereka kerap mencari sinyal di tempat-tempat yang sinyal biasa dapat tertangkap. Sementara untuk keperluan men-charge mereka rela turun ke Kantor Desa untuk bergiliran mempergunakan sambungan listrik. Di samping men-charge kantor desa pun menjadi ajang nonton bareng acara televisi.

Nonton Bareng di Teras Kantor Desa Kanekes (Gambar 14) Keberadan handphone selain dapat menghubungkan tali pertemanan warga Baduy dengan non-Baduy -via phone, SMS, facebook atau whatsapp- juga sebagai alat pemasaran produk Baduy seperti kain tenun ke beberapa kolega serta menemani kehangatan pekerjaan di ladang dengan memutar lagu-lagu yang ada di handphone. Melek internet membuat mereka tahu beragam informasi yang terjadi di seantero tempat, mengerti isu-isu teraktual atau trend pergaulan kekinian. Pada awalnya pengajaran penggunaan internet diperuntukkan bagi kebutuhan pemerintahan seperti promosi wisata Baduy namun seiring intensnya para pendatang ; wartawan ataupun wisatawan memperkenalkan penggunaan internet secara personal kepada warga Baduy Luar. Penggunaan tidak terbatas pada handphone beberapa warnet dapat ditemui di Ciboleger yang notabene dekat dengan perkampungan Baduy Luar. Perubahan-perubahan ke arah modern tersebut bukan berarti tidak mendapat respon keras dari pemuka adat. Sepanjang dasawarsa tahun 2000an terjadi beberapa kali penyitaan barang-barang yang dianggap menyalahi adat tersebut. Peralatan gelas, piring, kasur dan sejenisnya peralatan teknologi modern lainnya disita oleh pemuka adat dan kemudian barang-barang tersebut dibagikan ke warga non-Baduy. Namun untuk dewasa ini gerakan-gerakan represif semacam itu sudah redup. 14


K. Kesimpulan Modernisasi tak mampu dielak oleh masyarakat mana pun jua perubahan ke arah tersebut bergerak pesat atau perlahan, disengaja maupun tidak disengaja. Baduy Luar adalah satu dari komunitas pemelihara tatanan lama yang lambat laun terbawa arus “dunia luar”. Adat budaya memang kental dengan nuansa kearifan yang “halus dan tinggi” serta menjadi pemandangan yanglangka ditemui pada masyarakat modern perkotaan. Namun tidak semua aturan adat budaya bermuatan positif, hal-hal yang mengekang pada pengembangan diri menuju tahap lebih baik secara alamiah ditanggalkan oleh desakan-desakan personal maupun tuntutan zaman. Seiring dengan perguliran transformasi informasi yang menembus batas-batas sekat wilayah Baduy Luar bergeliat dalam nuansa kekinian. Referensi NS, Elis Suryani. 2010. Ragam Pesona Budaya Sunda. Gahalia Indonesia : Bandung.

15


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.