Peran dan Posisi Warga Baduy atas Lahan, SDA, dan Kepercayaan

Page 1

PERAN DAN POSISI WARGA BADUY ATAS LAHAN, SDA DAN KEPERCAYAAN Oleh: RMI Lahan Berdasarkan Perda Kabupaten Lebak No. 32 tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy seluas 5.101 ha; 2.492 ha berfungsi sebagai hutan titipan (pelindung alam) yang tidak boleh dirambah sama sekali dan sisanya berupa ladang dan pemukiman. Tabel 1. Tata Guna Lahan Wilayah Adat Baduy

Peruntukkan Lahan Pertanian Hutan tetap Pemukiman Jumlah

Luas (ha) 2.585,29 2.492,06 24,50 5.101,85

Persentase (%) 50,67 48,85 0,48 100

Warga Baduy menganggap tanah atau lahan sebagai ambu atau ibu; tanah adalah ambu rarang, bagian atas dari tanah (langit) adalah ambu luhur, dan dunia tempat manusia hidup adalah ambu tengah. Rasa hormat terhadap lahan seperti layaknya hubungan antara anak dengan ibunya.

Gambar 1. Peta Wilayah Baduy (Adimiharja, 2000)

Warga Baduy, khususnya Baduy Dalam, tidak memiliki kepemilikan tanah, semua lahan adalah milik komunal yang digunakan secara bersama-sama. Lahan adalah milik adat, sedangkan tanaman milik warga yang menanamnya. Sedangkan Baduy Luar mengenal sistem sewa menyewa lahan dengan sistem bagi hasil maupun beli lahan dengan warga di luar Baduy sehingga lahan garapan Baduy Luar banyak didapati di sepuluh kecamatan Kabupaten Lebak, di antaranya Kecamatan Sobang dan Muncang. Keluarga yang menyewa lahan membayar dengan hasil panen pada pemilik lahan dengan besaran sesuai perjanjian ketika awal menanam. Pesatnya laju pertumbuhan penduduk Baduy menjadi pokok permasalahan pada ketersediaan lahan untuk bercocok tanam. Sebelum tahun 2000-an warga Baduy terlingkup dalam 40 RT, 1


sedangkan sekarang menurut data Desa Kanekes tahun 2016 membengkak mencapai 60 RT1 mencakup 3.300 KK atau 11.667 jiwa. Maka jika dihitung antara ketersediaan lahan dengan jumlah KK, maka tiap KK hanya menguasai sekitar 0,25 ha (RMI, 2016). Penyempitan lahan untuk berladang dirasakan urgensinya oleh warga Baduy Dalam (Kp. Cikeusik, Cibeo, Cikertawana) sebab berimplikasi pada ancaman ketahanan pangan lokal mereka. Berbeda dengan kelonggaran adat yang dipraktekkan oleh warga Baduy Luar yang sudah cukup banyak memiliki lahan di luar wilayah adat Baduy; warga Baduy Dalam terikat oleh aturan adat yang tidak memperbolehkan warganya berlama-lama berada di luar wilayah adat termasuk memiliki lahan di luar wilayah Baduy. Ayah Mursyid, salah satu tokoh adat Baduy, menanggapi keresahan petani ladang Baduy Dalam dan kemudian mendiskusikannya di forum lembaga adat dan hasil diskusinya muncul opsi pengajuan penambahan lahan untuk keperluan berladang. Usulan penambahan lahan yang diminta sebanyak 10 ha yang tersebar di enam desa yang berbatasan dengan Desa Kanekes. Nantinya lahan 10 ha tersebut berstatus milik lembaga adat namun menjadi bagian terpisah dari wilayah ulayat, sehingga tidak memperluas wilayah ulayat Baduy, dan segala aturan administrasinya tunduk pada pemerintahan desa pada masing-masing lokasi lahan. Pengelolaan lahannya juga hanya melibatkan orang-orang tertentu yang diutus khusus oleh adat untuk membuka ladang dan bercocok tanam tetapi segala hasil produksi pangannya diperuntukkan untuk kepentingan ketahanan pangan warga Baduy. Dengan asumsi harga tanah Rp 10.000-15.000 per meter maka alokasi dana yang dibutuhkan sekitar Rp 1,5 miliar. Warga Baduy mengakui bahwa mereka sudah memetakan lahan di lokasi mana saja yang akan dibeli (sudah terjadi pembicaraan dengan para pemilik lahan), hanya terkendala dalam ketersediaan dana dan diharapkan pemerintah dapat membantu (RMI, 2016). Sumber Daya Alam Warga Baduy menganggap bahwa wilayah mereka sebagai inti jagad yang harus dipelihara dan dijaga dari segala macam gangguan yang dapat membuat ketidakseimbangan alam. Warga Baduy memandang alam sebagai “satangkarak ning langit, satungkab ning lemah”, sehingga harus dipelihara sebaik mungkin sesuai pesan karuhun (nenek moyang). Sistem Pertanian Mata pencaharian warga Baduy adalah berladang / ngahuma (bercocok tanam padi di lahan kering). Hal ini sejalan dengan kepercayaan warga Baduy terhadap padi sebagai perlambang Nyi Pohaci Sanghyang Asri. Pada umumnya tiap rumah tangga memiliki Huma. Padi dipanen setahun sekali dan tidak boleh dijual. Namun hasil huma lain seperti buah-buahan boleh dijual untuk membeli lauk pauk maupun rokok/tembakau. Warga Baduy mengikuti pola pertanian jaman Kerajaan Sunda sejak lebih dari 600 tahun yang lalu. Huma ditanami padi selama 1 sampai 2 tahun kemudian berpindah untuk membuka huma baru dan huma yang ditinggalkan akan diolah kembali pada suatu saat, dengan masa bera sekitar 7-10 tahun. Namun kini masa bera2 makin pendek sekitar 3-5 tahun karena terjadi penyempitan lahan pertanian (Halwany, 2009). Warga Baduy membedakan enam jenis huma berdasarkan fungsi, pemilikan dan proses pengerjaannya yaitu (1) huma serang-ladang yang dianggap suci berada di wilayah Baduy Dalam digunakan untuk kepentingan upacara adat, (2) huma puun-ladang khusus milik puun di Baduy Dalam, (3) huma tangtu-ladang yang digarap warga Baduy Dalam, (4) huma tuladan-ladang komunal di Baduy Luar digunakan untuk keperluan desa, (5) huma panamping-ladang warga Baduy Luar, dan (6) huma urang Baduy1 2

Ada 54 kampung yang mencakup Baduy Dalam dan Luar Istilah bera menurut Baduy memiliki makna sebidang tanah yang telantar atau tanaman yang tidak menghasilkan buah

2


ladang di luar wilayah Baduy yang dikerjakan warga Baduy Luar yang hasilnya untuk kepentingan keluarga masing-masing (RMI, 2016). Kepemilikan lahan pertanian bagi warga Baduy Dalam adalah komunal, setiap warga dapat menggarap di wilayah ladang manapun sesuai dengan kekuatan tenaga masing-masing. Sedangkan bagi warga Baduy Luar, selain huma panamping, mereka juga dapat menyewa lahan pertanian milik warga non Baduy yang akan digarap sesuai adat Baduy. Ketika lahan tersebut dibeli maka akan menjadi huma urang Baduy. Ketika akan ngahuma, warga Baduy memiliki acuan yang didasarkan pada posisi bintang. Patokan yang digunakan yakni bintang kidang (waluku atau rasi Orion) dan bintang kartika atau bintang gumarang. Pada prakteknya, bintang kidang lebih banyak digunakan karena lebih jelas terlihat. Kemunculan bintang kidang menandai dimulainya proses berladang. “Mun matapoe geus dengek ngaler, lantaran jagad urang geus mimiti tiis, tah dimimitian ti wayah eta kakara urang nanggalkeun kidang, tanggal kidang mah laju turun kujang”, yang artinya jika matahari telah condong ke Utara, ketika bumi telah mulai dingin, mulai saat itu baru kita mengamati penanggalan dengan munculnya bintang kidang, waktu muncul bintang kidang kita mulai menggunakan kujang/alat pertanian (Permana, 2001). Penanda waktu warga Baduy berpatokan pada perputaran bulan (komariah), satu tahun ada 12 bulan. Urutan bulan mengikuti tahapan dalam proses berladang yaitu Kapat, Kalima, Kanem, Katujuh, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapit Lemah, Hapit Kayu, Kasa, Karo, Katiga. Bulan Kasa, Karo dan Katiga merupakan bulan akhir masa berladang (masa panen), disebut pula masa Kawalu yang banyak dilakukan upacara adat dan pengunjung dari luar (tamu) biasanya tidak diijinkan masuk wilayah Baduy. Proses ngahuma merupakan bagian sakral dari kehidupan warga Baduy sehingga tiap tahapan dilakukan dengan upacara adat. Menurut Permana (2001), tahapan pengolahan ladang tersebut meliputi: (1) Narawas yaitu merintis, memilih lahan untuk huma biasanya berupa reuma (bekas huma yang sudah diberakan lama) ataupun hutan sekunder. Lahan yang dipilih oleh tiap keluarga ditandai dengan meletakkan batu, batu asahan ataupun menanam koneng/kunyit. Selama proses memilih lahan mereka pantang untuk berbicara kasar, kentut, harus memakai baju yang bersih dan ikat kepala. (2) Nyacar yaitu menebas rumput, semak belukar, dan pepohonan kecil yang tumbuh tanpa ditanam serta memotong dahan pohon besar agar lahan mendapat sinar matahari yang cukup. Kegiatan dilakukan oleh seluruh anggota keluarga dan biasanya dilakukan pada bulan Kalima. (3) Nukuh yaitu mengeringkan rerumputan atau dedaunan hasil tebangan pada proses sebelumnya. Hasil tebangan dikeringkan secara alami dengan sinar matahari, setelah kering dikumpulkan menjadi onggokan yang lalu dibakar. Jika pada lahan yang dijadikan huma terdapat pohon besar (tua usianya), penebangan tidak boleh dilakukan sembarangan, biasanya penebangan tidak dilakukan ketika nyacar, melainkan menunggu sampai proses nukuh. Penebangan diawali dengan upacara adat yang dilakukan puun dengan maksud agar makhluk penghuni pohon tidak marah karena tempatnya diganggu manusia. (4) Ngaduruk atau ngahuru yaitu proses membakar sisa daun dan ranting pepohonan yang dibersihkan pada saat nyacar dan dikumpulkan pada saat nukuh. Saat ngaduruk berpatokan dengan bintang kidang, “Kidang ngarangsang kudu ngahuru” (Bintang kidang bercahaya terang waktu subuh, umumnya pada tanggal 18 bulan Katujuh, waktu yang tepat untuk membakar). Selama pembakaran, api dijaga agar tak merambat dan menimbulkan kebakaran hutan. Usai membakar, mereka selalu memastikan bahwa api telah benar-benar mati sebelum meninggalkan huma. Abu bekas pembakaran dibiarkan di ladang sebagai pupuk sambil menunggu hujan tiba. (5) Nyoo Binih yaitu tahap penanaman dan pemeliharaan huma meliputi nyoo binih, ngaseuk, ngirab sawan, dan ngored. Awal penanaman sesuai dengan datangnya musim hujan dan berpatokan pada posisi bintang kidang. Penanda awal mulai penanaman ketika bintang 3


kidang mencapai titik zenith atau puncak pada waktu subuh, dinamakan kidang muhunan. Nyoo binih adalah kegiatan mempersiapkan benih, dilakukan 1 hari sebelum penanaman atau ngaseuk. Kegiatan diawali dengan menurunkan benih padi dari lumbung, dilakukan oleh perempuan. Perempuan yang melakukan kegiatan harus memakai selendang putih, sabuk putih, dan rambutnya disanggul. Kegiatan dilakukan dalam suasana hening dan khidmat, tanpa bercakap-cakap dan dengan mengucapkan mantra tertentu. Menurunkan benih dari lumbung dipimpin oleh istri girang seurat, dimaknai untuk membangunkan Nyi Pohaci dari tidurnya. Padi diturunkan, diletakkan di tempat yang lapang untuk diinjak-injak dengan telapak kaki agar butir padinya terlepas kemudian benih tersebut disimpan dalam bakul. Pada malam hari, secara simbolis satu bakul dibawa ke tengah lapangan untuk diberi mantra oleh tetua kampung (baris kolot) diiringi serombongan pemain angklung yang semuanya laki-laki dan disaksikan oleh seluruh warga. Benih pada bakul kemudian ditanam di huma serang yang menjadi huma komunal warga Baduy. (6) Ngaseuk berarti menugal atau menanam dengan tugal, dengan cara membuat lubang kecil dengan sepotong kayu atau bambu yang diruncingkan ujungnya lalu menanam benih ke dalamnya. Kegiatan menugal dilakukan oleh laki-laki dewasa dan penanamannya oleh anggota keluarga lainnya. (7) Ngirab Sawan artinya membuang sampah atau penyakit. Kegiatan dilakukan dengan membersihkan ranting atau tanaman lain (gulma) yang mengganggu pertumbuhan padi. Kegiatan lainnya yakni ‘pengobatan padi’ yang dilakukan dengan cara berpantun (membacakan pantun) dan menebarkan ramuan ‘obat padi’, terdiri dari campuran daun mengkudu, jeruk nipis, beuti lajo, karuhang, gembol, areuy beureum, hanjuang dan kelapa muda. Semua bahan ditumbuk halus dicampur dengan abu dapur dan disebarkan ke seluruh lahan. Tindakan pemupukan tanaman dilakukan sebanyak 10 kali selama pertumbuhan padi. (8) Ngored dan Meuting. Ngored adalah membersihkan atau menyiangi rumput dan gulma yang tumbuh di antara tanaman padi, sebanyak 2 – 4 kali tiap bulan selama pertumbuhan padi. Sedangkan meuting adalah menginap di saung huma (gubug) yang dibangun di huma dalam jangka waktu tertentu untuk mengurus dan memelihara tanaman. (9) Mipit adalah kegiatan panen padi yang pertama kali dalam suatu musim, dilakukan di huma serang. Pemetikan padi yang pertama dilakukan oleh istri dari girang seurat. Padi diikat dengan tali kulit pohon teureup pada bagian tangkainya menjadi satu ikatan. Ikatan padi dikumpulkan di saung huma serang, setelah kering dibawa ke kampung untuk disimpan di lumbung padi huma serang. Setelah panen di huma serang selesai, dilanjutkan dengan panen di huma puun lalu huma tangtu dan akhirnya di huma tuladan dan huma panamping. (10) Dibuat adalah memotong dan memanen padi dengan menggunakan etem atau ani-ani, biasanya dilakukan oleh perempuan. Kegiatan dilakukan setelah upacara mipit dan harus dilakukan segera karena jika terlambat maka hama kungkang atau walang sangit akan muncul. Selama kegiatan hingga padi menjadi kering dijemur, dilakukan oleh seluruh anggota keluarga dengan cara menginap di huma. (11) Ngunjal adalah mengangkut hasil panen padi dari huma ke kampung untuk disimpan dalam leuit (lumbung). Padi yang telah beberapa hari dikeringkan (dilantay) lalu disimpan dengan cara menumpuk secara teratur (dielep). Sebelum diangkut ke kampung, tali pengikat padi diganti dengan tali baru. Laki-laki mengangkutnya dengan cara mengikat padi menjadi dua ikatan besar dan dipikul dengan bambu. Sedangkan perempuan membawa padi dengan cara menggendong memakai kain. (12) Nganyaran adalah kegiatan upacara memakan atau mencicipi nasi baru atau nasi pertama kali hasil panen di huma serang. Upacara dimulai dengan mengambil 5 ikat padi dari leuit huma serang. Padi dibawa ke saung lisung untuk ditumbuk oleh 5 orang perempuan, para istri puun, girang seurat, jaro tangtu, baresan, dan bekas puun. Alu penumbuk padi sebelumnya diusap dengan ludah masing-masing penumbuknya. Beras hasil tumbukan disimpan dalam bakul tempat nasi dan ditutup dengan kain putih yang diberi wewangian, dibawa ke rumah girang seurat untuk dibuat nasi tumpeng. Keesokan harinya nasi 4


tumpeng yang telah siap dibawa ke rumah puun untuk diberi mantra dan doa, kemudian di alun-alun nasi tumpeng dibagikan pada seluruh warga yang hadir. Sebelum pulang ke rumah masing-masing, warga mengambil beberapa bulir padi hasil panen dari huma serang yang disediakan di depan golodog bale. Jika padi masih banyak tersisa akan diambil para warga dah hal tersebut merupakan pertanda bahwa hasil panen di seluruh wilayah Baduy akan berlimpah. Prinsip pengolahan lahan pertanian warga Baduy adalah meminimalkan penggunaan alat yang dapat mengganggu tanah. Mereka membuka huma dengan bedog atau parang panjang dan kujang. Menanam benih dengan menugal atau melubangi tanah dengan sepotong kayu. Menurut adat Baduy, ada beberapa larangan dalam sistem pertanian yang harus ditaati warga Baduy yakni: (1) Dilarang menggunakan cangkul ketika mengolah tanah (2) Dilarang menanam singkong (3) Dilarang menggunakan bahan kimia untuk memberantas hama (4) Dilarang pergi ke ladang pada hari Senin, Kamis dan Sabtu (5) Dilarang membuka ladang di leuweung atau hutan tutupan dan di hutan kampung Pengelolaan Hutan Sistem pertanian ladang berpindah (ngahuma) yang dilakukan warga Baduy sangat tergantung pada keberadaan dan kelestarian hutan yang ada di wilayah Baduy. Adimiharja (2000) menyatakan bahwa menurut kepercayaan warga Baduy, keberadaan mereka dalam rangka menjaga hutan dan mata air Sungai Ciujung yang menjadi sungai utama pada jaman Kerajaan Sunda/Pajajaran. Warga Baduy diperintahkan untuk mengelola DAS Ciujung yang berperan penting untuk transportasi dan pertanian, beserta hutan yang melindungi mata airnya, disebut sirah cai. Tidak ada campur tangan negara dalam pengurusan hutan di Baduy; hutan terbebas dari status Hutan Negara. Negara bahkan memberikan perlindungan sesuai dengan Perda Lebak No.32 / 2001 dan menjadikan hutan milik desa dinilai sebagai aset desa3. Garna (1993) menjelaskan bahwa menurut adat Baduy, hutan dibedakan berdasarkan peran dan fungsinya yaitu sebagai leuweung kolot (hutan tua), leuweung ngora (hutan muda), leuweung reuma (semak belukar lebat bekas huma), dan jami (semak belukar). Leuweung kolot berada di wilayah Baduy Dalam dan jauh dari pemukiman sedangkan ketiga jenis hutan lainnya ada di sekitar perkampungan. Leuweung kolot secara adat dianggap suci dan tabu untuk dieksploitasi oleh manusia sehingga pengawasannya ditangani puun. Iskandar (1992) dalam Adimiharja (2000) menggambarkan zonasi hutan ala warga Baduy menjadi tiga bagian; zona pertama terletak di kaki bukit yang diperuntukkan bagi daerah pemukiman (dukuh lembur), zona kedua yang mengarah ke lereng diperuntukkan bagi pertanian (huma), sedangkan zona ketiga terletak di puncak bukit merupakan leuweung kolot.

3

Aset desa yaitu barang milik desa yang berasal dari kekayaan asli desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah (pasal 76 UU Desa No. 6/2014)

5


Gambar 2. Zonasi hutan Baduy (Iskandar, 1992 dalam Adimiharja, 2000)

Menurut Suparmini dkk (2013), hutan Baduy dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu hutan larangan (hutan yang tidak boleh dimasuki sembarang orang), hutan dudungusan (hutan yang dilestarikan karena berada di hulu sungai atau di dalamnya terdapat tempat keramat/leluhur Baduy), dan hutan garapan (hutan yang dapat dimanfaatkan sebagai huma/ladang). Hutan larangan berada di sebelah Selatan pemukiman Baduy tangtu, berada pada lokasi yang paling dalam dan tinggi dari kawasan hutan Baduy. Hutan larangan ini merupakan sumber bagi mata air Ciujung dan Cisimeut yang mengalir ke wilayah di bawahnya. Hutan dudungusan, pada dasarnya juga seperti hutan larangan namun warga boleh memanfaatkan hasil hutan secara terbatas. Sedangkan pada hutan garapan yang difungsikan sebagai ladang/huma, terdapat tanaman padi dan komoditas kebun seperti gula aren, coklat, pala, pete dan jenis buah-buahan. Hasil kebun seperti gula aren juga madu hutan, bagi sebagian besar warga Baduy Luar umumnya dijual ke luar Desa Kanekes. Menurut penjelasan warga Baduy Luar bahwa coklat mulai ditanam sekitar tahun 2000 dan tidak semua warga menanam (RMI, 2016). Dalam satu tahun mereka dapat memanen biji coklat sebanyak dua kali, dengan sistem 3 bulan tanam lalu panen, 4 bulan pembaruan tanah kemudian 3 bulan lagi panen kembali. Strategi konservasi hutan tradisional warga Baduy tercermin juga dalam pembagian tata ruang pemukiman. Pemukiman (perkampungan) warga Baduy dibagi menjadi kampung tangtu (Baduy Dalam), panamping (Baduy Luar), dan dangka yang terletak di luar wilayah Kanekes. Berdasarkan diskusi dengan warga Baduy, dangka yang berada di luar ulayat Baduy yaitu Padawaras, Cibengkung (Desa Bojongmenteng), Sindangnyair, Nungkulan, Karangcombong (Desa Sinarjaya), Sobang, Garukgak, Kompol (Desa Sangkanwangi), Garehong (Desa Nayagati), Sanghyang Asuh (Desa Sobang). Dangka juga ada yang merangkap sebagai bagian dari lembaga adat jaro tujuh seperti dangka Juragan dan Sirahdayeuh (RMI, 2016). Adimiharja (2000) menyatakan bahwa dangka adalah kampung kecil yang merupakan kantong penyangga, semacam buffer zone pada lapisan terluar, berfungsi sebagai kampung penangkal bagi masuknya pengaruh luar ke wilayah Baduy. Warga kampung dangka bertugas menjaga dan memelihara hutan larangan yang terletak di luar wilayah Baduy, sebagai hutan cadangan untuk kepentingan perluasan perladangan warga Baduy. Namun hutan larangan di wilayah dangka semakin lama semakin sempit karena adanya penjarahan dan penggundulan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Bahkan sejak jaman Belanda, banyak bagian hutan larangan di wilayah dangka yang diubah menjadi perkebunan karet. Menurunnya fungsi dan peranan kampung dangka tercermin pula pada penurunan jumlah kampung yang ada. Halwany (2009) menyatakan bahwa pada mulanya jumlah dangka ada 9 kampung, lalu pada tahun 1929 menyusut menjadi 7 kampung. Hingga tahun 2000 hanya tinggal 3 kampung dangka dan pada 6


tahun 2003 hanya tersisa 2 kampung. Dengan menyusutnya jumlah dangka maka warga Baduy yang tinggal di kampung dangka kemudian ditarik ke wilayah Kanekes. Tanaman Obat Warga Baduy sejatinya memiliki pengetahuan mengenai penyakit dan pengobatannya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Sejak kecil sebagian warga Baduy telah diajarkan oleh orang tua mereka untuk memanfaatkan tanaman tertentu dalam mengobati penyakit. Tanaman tersebut banyak didapat dari hutan, sekitar ladang, atau di sepanjang jalan menuju hutan atau ladang. Menurut Permana (2009), seiring dengan perjalanan waktu dan dinamika kehidupan warga Baduy, hanya sekitar 60 jenis tanaman yang masih dikenal dan masih digunakan sebagai obat. Yang paling sering digunakan yakni daun aceh (rambutan, Nephelium lappaceum L.), cecendet (ciplukan, Physalis peruviana L.), mengkudu (Morinda citrifolia L.), cikur (kencur, Kaempferia galanga L.), harendong (senggani, Melastoma malabathicum L.), jahe (Zingiber officinale Rosc.), jukut eurih (alang-alang, Imperata cylindrica L.), jukut wisa (jarong, Achyranthes aspera L.), kadaka (sisik naga, Drymoglossum piloselloides L.), laja goah (lengkuas gajah, Alpinia galanga (L.) Willd.), lame putih (pulai, Alstonia scholaris L.), lempuyang emprit (Zingiber amaricans), panglay (bangle, Zingiber pupureum), sirsak (Annona muricata L.), dan singugu (senggugu, Clerodendron serrature). Jenis-jenis tanaman ini banyak digunakan untuk mengobati penyakit seperti panas/demam/meriang, batuk, sakit perut/diare, sakit gigi, pusing, pegal linu/encok/nyeri otot, dan luka/borok. Pada pengobatan tradisional warga Baduy, dikenal adanya paraji (dukun beranak), panghulu (dukun yang khusus mengurus orang meninggal), bengkong jalu (dukun sunat untuk laki-laki), bengkong bikang atau juru aes (dukun sunat untuk perempuan). Perayaan sunat/khitan untuk anak laki-laki disebut sunatan atau laran dan untuk anak perempuan disebut peperan, sebagai ritual pengesahan. Paraji tidak hanya membantu proses persalinan namun juga membantu sejak sebelum sampai setelah melahirkan. Paraji membantu mengurut perut ibu hamil agar posisi janin baik, dan memberikan ramuan agar proses persalinan berjalan lancar. Sesudah melahirkan paraji membantu penyembuhan ibu selama masa nifas dan membantu perawatan bayi hingga lepas tali pusar. Paraji juga biasanya diminta bantuannya untuk menyembuhkan penyakit karena gangguan makhluk halus. Selain menggunakan ramuan tanaman, pengobatan oleh paraji juga menggunakan mantra-mantra tertentu. Masih kuatnya kepercayaan pada pengobatan tradisional maka warga Baduy jarang berobat ke Puskesmas. Puskesmas sudah ada sejak tahun 1980-an di perbatasan kampung Baduy. Jasa dokter atau Puskesmas digunakan hanya ketika warga menderita penyakit berat yang tak kunjung sembuh. Keyakinan warga Baduy bahwa penyakit dapat disembuhkan dengan cai, daun, dan menyan namun jika tidak sembuh dapat dicari sarana ikhtiar lainnya seperti dokter di Puskesmas maupun Rumah Sakit (RS). Namun bagi warga Baduy Dalam jika akan dibawa ke RS, harus berganti baju dengan warna hitam seperti baju warga Baduy Luar dan didahului dengan ritual adat. Kepercayaan Sunda Wiwitan : Konsep dan Praktek Secara etimologis Sunda Wiwitan mengandung arti Sunda Awalan. Wiwitan berakar kata pada Awit atau Ngawitan yang dalam bahasa Sunda berarti awalan atau memulai. Pemahamannya menegaskan bahwa sebelum orang Sunda mengenal kepercayaan atau agama-agama dari luar yang notabene asing dari budaya Sunda asli, leluhur orang Sunda sejak ribuan tahun yang lalu sudah mengawali konsep kepercayaan dalam kebudayaannya. Namun Adimiharja (2000) menyatakan bahwa kata wiwitan bagi warga Baduy berasal dari kata wit-wit-an yang berarti pepohonan. Mereka beranggapan bahwa unsur-unsur tubuh manusia berasal dari pepohonan atau tanaman. Tulang sumsum manusia berasal dari unsur-unsur kayu. Ketika manusia mati 7


akan kembali ke tanah dan di sekitar kuburan akan tumbuh pepohonan. Sehingga pada makam Baduy tidak ada batu nisan karena pandangan Baduy terhadap mati tidak terkait dengan materi atau hal-hal yang bersifat fisik. Mitologi yang beredar bahwa kekuasaan tertinggi berada pada genggaman Sang Hyang Kersa (Yang Maha Kuasa) sebagai pribadi yang tunggal mencipta, mengatur dan melenyapkan alam semesta. Dia bersemayam di Buana Nyungcung, alam tempat yang tinggi dan mulia dibandingkan alam tempat yang lain, seperti Buana Panca Tengah yang menjadi tempat berdiam manusia dan lainnya dan Buana Larang alam tempat paling bawah yang digambarkan sebagai tempat siksa neraka. Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat delapan belas lapisan alam yang tersusun secara vertikal. Lapisan teratas bernama Alam Kahyangan dan lapisan kedua teratas merupakan tempat bersemayam Nyi Pohaci atau lebih dikenal umumnya Dewi Sri yang melegenda sebagai dewi padi. Suryani (2010) berhasil menafsirkan beberapa naskah Sunda kuno yang di dalamnya mengulas seputar kepercayaan Sunda Wiwitan diantaranya naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, Carita Parahyangan dan Sanghyang Raga Dewata. Dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian yang ditulis pada 1518 M menyebutkan ada tiga tuntunan moral yaitu (1) manusia harus memahami dharmanya masing-masing, (2) jika tuntunan dharma dipenuhi maka terjadilah kesejahteraan, (3) keberhasilan dharma membuka diri untuk moksa atau ngahyang bagi siapapun tanpa harus menjadi resi terlebih dahulu. Moksa di sini dianalogikan sebagai ketiadaan diri atau “menghilang” menyatu dengan sang pencipta. Beberapa dharma yang dimaksud antara lain mengembangkan sikap guna (bijaksana), hook (sayang), asih (cinta), karunya (iba), ngulas (memuji), nyecep (membesarkan hati), ngala angen (mengambil hati) dan lainnya. Dhrama tersebut menjadi tuntunan moral tidak hanya dalam lingkup antar personal melainkan dalam ranah kebijakan bernegara. Sementara dalam naskah Carita Parahyangan yang diperkirakan ditulis pada paruh akhir abad 16 M, salah satunya menerangkan konsep pembagian kekuasaan yang disebut dengan tangtu di buana yang bermakna tiga unsur penentu kehidupan di dunia yang terdiri dari prebu, rama dan resi. Konsep prebu mengandung sifat ngagurat batu (berwatak teguh) dipersamakan dengan ciri eksekutif, rama mengandung sifat ngagurat lemah (berwatak mengakomodir aspirasi dari bawah) dipersamakan dengan ciri legislatif, sementara resi mengandung sifat ngagurat cai(memberdayakan keadilan). Sistem pemerintahan yang merujuk pada konsep Carita Parahyangan ini masih dipertahankan dalam pemerintahan adat Baduy yang dipimpin oleh tiga Kepuhunan yaitu Puun Cikeusik, Puun Cikertawana dan Puun Cibeo. Pemahaman Tilu Tangtu ; prebu, rama dan resi dipegang oleh masing-masing puun, seperti prebu dipegang oleh Puun Cibeo , rama dipegang oleh Puun Cikertawanadan resi dipegang oleh Puun Cikeusik. Dalam struktur pemerintahannya dibantu juga oleh Tangkesan (penasehat adat/spiritual) dan Tujuh Jaro kepala pimpinan adat dari masing-masing aliansi kampung. Dalam naskah Sanghyang Raga Dewata lebih mengungkapkan pada konsep manusia sebagai mikrokosmosnya jagad raya yang seluruh kehidupannya harus selalu menjalankan segala siksaatau ajaran Sanghyang Kersa yang kelak dapat mencapai surga. Pada kenyataannya warga Baduy memang menolak aksara, namun seluruh ajaran Sunda Wiwitan yang termaktub dalam tiga naskah Sunda kuno di atas tersebut diajarkan diwariskan melalui tradisi lisan. Mereka berpendirian bahwa lisan lebih utama daripada tulisan, sebab tradisi lisan muncul terlebih dahulu dalam peradaban dibandingkan tradisi tulis. Tentu saja hal ini mengandung resiko bahwa tradisi lisan lebih rentan terkena pemudaran makna dibandingkan “diabadikan” dalam bentuk tulisan, kekuatan ingatan sifatnya terbatas karena faktor memori usia dan penuturan tiap orang dapat berbeda-beda terpengaruh bumbu subjektivitas. Hal tersebut diakui oleh masyarakat Baduy sendiri, mereka mengemukakan bahwa kerap orang yang meneliti tentang Baduy mendapatkan narasumber yang memberikan keterangan yang berbeda-beda. 8


Pada perjalanannya beberapa konsep Islam diakomodir oleh penganut Sunda Wiwitan Baduy. Salah satunya penggunaan kalimat syahadat dalam prosesi pernikahan orang Baduy yang menjadi syarat wajib disamping mantra adat buhun (jangjawokan), hukum sunat bagi kaum laki-laki yang beranjak dari masa balita dan pelarangan konsumsi daging babi dan minuman keras, tata cara pengurusan jenazah serta ritual pensucian besar bagi orang yang terkena gigitan anjing yang hanya boleh dipimpin oleh seorang Tangkesan dengan, pembersihan di aliran sungai dan selametan nasi tumpeng. Pengakomodiran nilai-nilai Islami bisa dihubungkan dengan riwayat sejarah dari makna tersirat upacara sebayang menjadi agenda tahunan masyarakat Baduy kepada Kesultanan Banten yang berpusat di Serang. Seba atau penghadapan diri pada penguasa Banten mengandung makna penyampaian ucapan terima kasih kepada Kesultanan yang telah menghormati dan melindungi kekhasan Baduy sebagai suatu komunitas adat di wilayah kekuasaannya. Namun penghormatan dan perlindungan Kesultanan Banten pada warga Baduy bukan berarti tidak mengandung unsur penetration culture terhadap warga Baduy itu sendiri, mungkin saja unsur-unsur Islami dimasukkan sebagai deal dari kesepakatan damai antara hegemoni invasi budaya baru (Islam) dengan budaya lama (Sunda Pajajaran). Meski unsur-unsur Islami diterima oleh warga Baduy namun bukan berarti mereka kemudian bertransformasi menjadi muslim yang tulen (mengerjakan semua syariat agama Islam seperti shalat). Berikut adalah satu petikan do`a hasil perpaduan antara budaya lama dan baru yang menjadi do`a peneda (mantera wajib pembuka) bagi warga Baduy ketika hendak memulai sesuatu hajat : Allohumma do`a peneda Datulah ku sifatullah Neda sih kersa Gusti Neda sah kersa Allah Niat ingsun.............. Masyarakat Baduy menolak stereotip yang menyebutkan mereka penganut animisme atau dinamisme, kepercayaan mereka terhadap keberadaan arwah leluhur bukanlah sebagai bentuk pemujaan melainkan sebatas penghormatan kepada mereka yang menjadi cukang lantaran (perantara) dari keberadaan (lahir) mereka di marcapada ini. Sunda Wiwitan seperti lazimnya agama-agama lain juga memili ritual puasa dalam setahun mereka mengambil beberapa hari dalam periode tiga bulan untuk menjalankan puasa, tradisi ini disebut Kawalu. Periode Kawalu meliputi bulan Kasa, Karo, Katiga atau triwulan pertama dari kalender dua belas bulan (Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapit Lemah, Hapit Kayu). Puasa biasanya dilakukan pada tanggal sembilan belas menurut perhitungan kalender mereka, dua hari sebelum mereka berpuasa mengadakan prosesi nyaangan atau bersih-bersih lingkungan tidak terkecuali orang yang tengah merantau pun diwajibkan pulang untuk mengikuti prosesi tersebut. Kemudian sore hari sebelum berpuasa mereka mandi besar berkeramas menggunakan merang yang dibakar, barulah sore harinya saat matahari mulai tenggelam mereka berpuasa sampai tiba matahari tenggelam di keesokan harinya (puasa 24 jam). Puasa tersebut rutin diselenggarakan pada tanggal sembilan belas pada periode bulan Kawalu. Ritual puasa juga dilakukan ketika hendak menyadap air nira dari pohon aren, tiga hari sebelum penyadapan si penyadap melakukan puasa. Pohon aren dihormati keberadaannya karena dianggap sebagai tempat bersemayam para sanghyang, mengandung berkah karena sebatang pohon aren dapat menghasilkan ratusan liter air nira yang umumnya baru habis disadap selama tiga bulan. Begitupula ketika menghadapi prosesi pernikahan si mempelai pria diwajibkan 9


berpuasa selama sembilan hari namun dengan syarat berbuka dengan tiga suap dan satu gelas air saja. Alisjahbana (1977) mengungkapkan bahwa makna puasa bagi penganut kepercayaan lokal ialah sebagai sarana berhubungan dengan tenaga-tenaga gaib atau sejenis pusaka batiniah diri yang diperoleh dari nenek moyangnya untuk meminta bantuan atau restu dari roh-roh yang hidup bersama-sama di dalam masyarakat dalam hubungan proses dan ketertiban kosmosnya dapat mempengaruhi kepentingan manusia. Seperti lazimnya petani tradisional lainnya, warga Baduy menyadari bahwa keberhasilan bercocok tanam dipengaruhi oleh unsur gaib di samping faktor-faktor lingkungan; kualitas tanah juga variasi iklim. Karena itu untuk memulai kegiatan penanaman, dilakukan upacara penghormatan terhadap Dewi Sri sebagai dewi padi, salah satunya ialah melalui pembacaan mantera sebagai berikut: Pun ampun ka luhur ka sang rumuhun Ka handap ka sang batara Ka para dewa dewi Ka siluman ka sileman Ka dewa balabay salembar Anu nyicingan ieu bumi Ema, Bapa Abdi neda widi nitip Nyi Sri Ulah aya nu ngaganggu ngagunasika Berkah do`a salametna Kalawan rahayu sadayana Artinya : Mohon ampun ke atas kepada Yang Maha Kuasa Ke bawah kepada sang batara Ka para dewa dewi Ka mahkluk yang jahat dan yang baik Ka dewa salembar daun yang gugur Yang mendiami bumi ini Ibu, Bapak Ijinkanlah saya titip Nyi Sri Jangan ada yang mengganggu dan merusak Berkah do`a selametnya Serta rahayu semuanya Sumber Referensi Adimiharja, K. 2000. Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai. Jurnal Antropologi Indonesia 61:2000. Jakarta: Universitas Indonesia. Alisjahbana, S. T. 1977. Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat Dari Jurusan Nilainilai. Jakarta: Idayu Press. Garna, Y. 1993. Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia. Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama. 10


Halwany, D.N. 2009. Bertani Adat Leluhur Baduy. /perpushalwany.blogspot.com/2009/07/. Diakses pada 27 Juli 2016. Suryani, E. 2010. Ragam Pesona Budaya Sunda. Bandung: Gahalia Indonesia. Pemkab Lebak, 2001. Perda Lebak No.32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Permana, R.C.E. 2001. Kesetaraan Gender Dalam Adat Inti Jagat Baduy. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Permana, R.C.E. 2009. Masyarakat Baduy dan Pengobatan Berbasis Tanaman. Jurnal Wacana Vol.11 No.1 (April 2009): 81-94. Jakarta. RMI, 2016. Catatan Lapang di Baduy: Kunjungan Kemenko PMK ke Baduy 28-29 Juli 2016. Tidak dipublikasikan. RMI, 2016. Catatan Lapang di Baduy: Penggalian Data Kajian Baduy. Tidak dipublikasikan. Suparmini, Sriadi Setyawati dan Dyah Respati Suryo Sumunar. 2013. Pelestarian Lingkungan Masyarakat Baduy Berbasis Kearifan Lokal. Jurnal Penelitian Humaniora Vol.18 No.1 April 2013: 8-22. Yogyakarta.

11


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.