Kumpulan Kajian Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan Keadilan Restoratif di LPKA

Page 1

Kumpulan Kajian Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan Keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak

Ditulis oleh: Distia Aviandari Hesti Septianita Editor: Melani Praya Ari Indrayana Kontributor substansi: Ade Mulyadi Andi Akbar Ida Farida Khoeriyah

i


ii

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Kata Pengantar

Y

ayasan SAMIN bekerjasama dengan The Asia Foundation dan Kemenko PMK menjalankan program PEDULI, dengan fokus utama pada Pilar Anak dan Remaja Rentan. Isu yang ditangani adalah kelompok anak buruh perkebunan, anak jalanan, ESKA, dan anak yang berada dalam LAPAS. Sejak tahun 2014, Yayasan Samin melaksanakan program Peduli ini melalui kerjasama dengan Mitra Pelaksana (CSO) di enam kota/ kabupaten, yakni isu yaitu anak buruh perkebunan (Gapemasda Sambas & Pusaka - Langkat), anak jalanan (KKSP - Medan dan Bahtera - Bandung), ESKA (CCC - Lampung, Semak - Garut dan KAP - Bandung) dan Anak dalam LAPAS (Laha - Bandung). Khusus mengenai anak di Lapas, atau yang sekarang disebut dengan LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak), merupakan kontribusi dari Program peduli terhadap program rintisan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) yang dikembangkan oleh Bappenas, terutama pada upaya pemulihan dan re-integrasi sosial bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Hal ini terkait dengan diundangkannya Undang-undang tentang Sistem Peradilan Pidana Kata Pengantar

iii


Anak Nomor 11 tahun 2012 yang merupakan amandement dari Undang-undang No. 3 tahun 1997. UU ini dinilai membawa banyak perubahan yang lebih berperspektif hak anak. Mitra Pelaksana adalah Lembaga Advokasi hak Anak (LAHA) yang bekerja di LPKA Sukamiskin, Bandung. Tujuan dari tulisan ini adalah mencoba memberikan pemahaman dan analisis kebijakan mengenai Undang-undang SPPA. Diharapkan dengan kajian ini maka dapat terpetakan peraturan-peraturan yang mendukung, bertentangan, bersifat pengulangan, atau pengabaian terhadap UU SPPA tersebut. Selain itu diharapkan tulisan ini dapat memberikan inspirasi mengenai rumusan model upaya pemulihan dan re-integrasi sosial bagi anak yang berkonflik dengan hokum, berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan baik oleh program Peduli maupun program lainnya Ide dari Tim Peduli Samin adalah bahwa tulisan ini merupakan “tulisan yang bertumbuh”. Dengan demikian diharapkan akan muncul tulisan-tulisan baru yang dapat memperkaya kajian dan juga pengalaman yang telah dilakukan oleh berbagai pihak. Selamat membaca dan semoga menginspirasi. Salam Peduli Tim Peduli Yayasan Samin

DDD

iv

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Daftar Isi

1 Kajian Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak........................................1 D Pendekatan Keadilan Restoratif..............................................3 D Ruang Lingkup Anak yang Berhadapan dengan Hukum........................................................................6 D Kewajiban Mengupayakan Diversi........................................9 D Pembatasan Penahanan dan Pemidanaan ............................14 D Proses Peradilan Pidana........................................................16 D Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.................19 D Pembatasan Pemberitaan......................................................22 D Peran Serta Masyarakat........................................................23 D Ragam Putusan Pengadilan..................................................25 D Amanat yang Belum Tertunaikan.........................................28 2 Kajian Standar Internasional Penangnanan Anak yang Berkonflik dengan Hukum................................................31 1. Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak-hak Anak atau KHA)..................................34 2. Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (Riyadh Guidelines)........................................36 Daftar Isi

v


3. Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules)................................37 4. Rules for The Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty (JDL Rules/Havana Rules)......................................40 3 Kajian Konsep Pemasyarakatan bagi Anak Berkonflik dengan Hukum.........................................................45 D Kerangka Hukum Sistem Pemasyarakatan Anak di Indonesia.................................................................55 D Keadilan Restoratif di Penjara..............................................70 4 Kajian Praktik-praktik Terbaik Sistem Pemasyarakatan di Berbagai Negara....................................................................83 D Redemption Through Reading di Brazil...............................85 D Inside Out Trust di Inggris....................................................87 D Releasing Circles di Canada.................................................90 D Inside Prison Project di Amerika Serikat.............................92 D Program Dana Ganti Rugi di Penjara Belgia........................93 D Active Citizenship Together for Swale di Inggris................94 D Praktik Restoratif untuk Reintegrasi Sosial Pelaku Tindak Pidana di Inggris...........................................95 D Peacemaking Encounter di Filpina.......................................98 5 Ke Arah Perubahan Perilaku Anak..........................................103 D Konteks Lokasi dan Situasi Pendampingan........................103 D Konsep Pendampingan.......................................................105 D Karakter Materi Pendampingan..........................................107 D Kerangka Materi Pendampingan........................................108 D Abstraksi Materi Pendampingan........................................112

vi

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


6 Model Pendampingan Pemulihan Anak yang Tengah Menjalani Pidana Penjara...........................................127 A Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Kerangka Program Peduli......................................127 B Sejarah Pengembangan Model ..........................................132 C Konstruksi Model Pendampingan Pemulihan Anak...........135 D Kajian Standar Pelayanan .............................................136 D Kajian Teoritik dan Model Rehabilitasi dan Reintegrasi .............................................................138 D Asesmen........................................................................139 D Penguatan Perilaku Anak..............................................139 D Penguatan Kapasitas Anak............................................142 D Penguatan Kesadaran Hukum Anak..............................143 D Penguatan Relasi dengan Keluarga...............................145 D Penguatan Dukungan Komunitas..................................148 D Rekreasi dan Pemanfaatan Waktu Luang......................149 D Penggalangan Dukungan Lembaga Penyedia Layanan..........................................................149 Penutup.........................................................................................152 Daftar Pustaka ..............................................................................165

DDD

Daftar Isi

vii


viii

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


1

Kajian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak: Beberapa Kemajuan Penting dan Amanat yang Belum Tertunaikan

L

ahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menjadi tonggak penting dalam sejarah kebijakan perlindungan anak di Indonesia. Undang-Undang yang efektif berlaku sejak tanggal 31 Juli 2014, dua tahun setelah diundangkan, bertujuan untuk dapat mewujudkan peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik bagi anak serta memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebabkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang mengatur tentang penyelenggaraan pengadilan khusus bagi anak menjadi tidak berlaku. Salah satu konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Kajian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak: Beberapa Kemajuan Penting dan Amanat yang belum Tertunaikan

1


Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dinilai belum cukup memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Pertama, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menganut pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman (retributive) dan belum sepenuhnya menganut pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dan diversi. Kedua, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 secara substantif bertentangan dengan spirit perlindungan terhadap anak sebagaimana diatur dalam Konvensi Hakhak Anak (KHA). Ketentuan yang bertentangan antara lain: (i) usia minimum pertanggungjawaban pidana terlalu rendah; (ii)penggunaan terminologi hukum (legal term) anak nakal. Ketiga, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tidak mengatur mekanisme pembinaan anak, yang ada adalah sistem penghukuman anak.1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 memuat berbagai perubahan penting dalam penyelesaian perkara anak. Melalui tulisan ini, penulis hendak mengelaborasi perubahan-perubahan yang dinilai sebagai kemajuan bagi perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu: pendekatan keadilan restoratif, ruang lingkup anak yang berhadapan dengan hukum, kewajiban mengupayakan diversi, pembatasan penahanan dan pemenjaraan, proses peradilan pidana, pekerjaan sosial dalam sistem peradilan pidana anak, pembatasan pemberitaan, peran serta masyarakat, dan ragam putusan pengadilan. Sebagai penutup, penulis akan menguraikan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yang belum ditunaikan oleh Pemerintah Indonesia. 1

2

Yayasan Pemantau Hak Anak, Situasi Umum Anak yang Berhadapan dengan Hukum di Indonesia, sebagaimana dikutip oleh Yutirsa Yunus, Analisis Konsep Restorative Justice Melalui Sistem Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Jurnal Rechts Vinding, Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013 Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Pendekatan Keadilan Restoratif Substansi penting yang dicapai melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 adalah diterapkannya pendekatan keadilan restoratif dan diversi dalam sistem paradilan pidana anak. Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 menyebutkan: “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersamasama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan”. Undang-undang ini mengatur bahwa keseluruhan sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif dalam setiap tingkatan peradilan, mulai dari tahap penyidikan dan penuntutan, persidangan anak, hingga proses pembinaan, pembimbingan, pengawasan dan pendampingan saat anak menjalani pelaksanaan pidana/tindakan. Tidak hanya itu, pendekatan keadilan restoratif juga menjadi acuan pembinaan anak setelah menjalani masa pidana/tindakan. Pendekatan keadilan restoratif mengandung makna bahwa suatu kejahatan dipandang sebagai pelanggaran terhadap perseorangan sehingga dikategorikan sebagai konflik antarindividu. Karena itu, berdasarkan pendekatan ini para pihak yang berkonflik memiliki ruang untuk menyelesaikan dan memutuskan permasalahanmereka oleh mereka sendiri. Hal ini berbeda dengan pendekatan keadilan retributif. Setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak, dalam pendekatan keadilan retributif, dipandang sebagai pelanggaran terhadap hukum negara sehingga kewenangan penyelesaian kasus Kajian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak: Beberapa Kemajuan Penting dan Amanat yang belum Tertunaikan

3


tersebut mutlak menjadi otoritas penuh negara melalui aparat penegak hukum. Tujuan utama dari pendekatan keadilan restoratif adalah tercapainya pemulihan kembali, baik korban, pelaku maupun tatatan sosial yang sempat terganggu karena tindakan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. Karena itu penyelesaian kasus difokuskan pada bagaimana memulihkan penderitaan, kerusakan atau kerugian yang timbul, bukan membalas atau menggantikan penderitaan, kerusakan atau kerugian dari korban dengan penderitaan (pemidanaan) pelaku. Dalam hal ini restitusi sebagai suatu sarana untuk memperbaiki kondisi (korban) menjadi relevan diterapkan, walau tidak menjadi tujuan utama. Melalui pendekatan keadilan restoratif, pelaku dipulihkan dengan diberi ruang untuk menyadari kesalahannya, mempertanggungjawabkan perbuatannya, serta memulihkan kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan tanpa harus diwujudkan dalam bentuk pemidanaan. Berbagai kajian menunjukkan bahwa pendekatan keadilan restoratif memberi manfaat bagi korban dan keluarga korban. D Pertama, korban akan terhindar dari tekanan psikologis selama proses pemeriksaan polisi, jaksa hingga pengadilan. Proses peradilan pidana, disukai atau tidak, mengharuskan korban untuk menceritakan berulang kali kejadian tidak menyenangkan yang dialaminya. Proses pemeriksaan berpotensi besar memperburuk tekanan psikologis yang dialami korban, terutama korban-korban kejahatan seksual. D Kedua, korban dan keluarga korban terhindar dari proses peradilan yang cenderung menyita energi, waktu dan perhatian. D Ketiga, korban dan keluarga diberi ruang untuk mengemukakan pendapatnya tentang cara penyelesaian masalah terbaik termasuk 4

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


D D

pertanggung-jawaban pelaku. Dalam sistem peradilan pidana konvensional, otoritas memutus hukuman bagi pelaku hanya ada pada hakim. Keempat, korban dan keluarga diberi ruang untuk meminta ganti kerugian secara langsung, baik materiil maupun immateriil. Kelima, korban dan keluarga terhindar dari pemberitaan yang dapat mengganggu psikologis anak.2

Bagi pelaku, yang masih dalam tahap perkembangan menjadi dewasa, pendekatan keadilan restoratif bermanfaat menghindarkan pelaku dari dampak buruk pemenjaraan. Selain itu, pelaku juga akan terhindar dari tekanan psikologis prosespemeriksaan polisi, jaksa hingga pengadilan. Terkait aspek pemulihan, melalui pendekatan keadilan restoratif pelaku dan keluarga mendapatkan manfaat: 1) memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri; 2) tetap dalam pengasuhan dan bimbingan orang tua; 3) memiliki kesempatan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan secara langsung kepada korban atau keluarga korban; 4) memiliki kesempatan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kepada lingkungan masyarakat; dan 5) terhindar dari pemberitaan yang dapat mengganggu psikologis anak/keluarga.3

Moh. Syafari Firdaus et all, Keadilan Restoratif – Saatnya Menerapkan Keadilan yang Memulihkan Bagi Anak, LAHA, 2015, hlm.15 3 Ibid. 2

Kajian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak: Beberapa Kemajuan Penting dan Amanat yang belum Tertunaikan

5


Tidak saja bagi korban dan pelaku, pendekatan keadilan restoratif juga memberikan manfaat bagi masyarakat. D Pertama, masyarakat dapat turut serta memutuskan penyelesaian masalah terbaik, baik dari sisi pertanggung-jawaban pelaku maupun upaya pemulihan korban. D Kedua, masyarakat dapat membina anak dan mengantisipasi kenakalan anak sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat. D Ketiga, menghindarkan konflik yang mungkin berkepanjangan antarkeluarga korban dan keluarga pelaku yang bisa saja melibatkan anggota masyarakat lainnya. D Keempat, keterlibatan masyarakat dalam resolusi konflik dapat menjadi peluang untuk menguatkan kepedulian sesama warga4.

Ruang Lingkup Anak yang Berhadapan dengan Hukum Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang hanya mengatur tentang tata cara penanganan anak yang berkonflik dengan hukum5, ruang lingkup Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 meliputi 3 hal, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban, dan anak yang menjadi saksi.6 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 menyebut anak yang berkonflik dengan Hukum dengan sebutan “Anak” (menggunakan huruf A besar). Pasal 1 angka3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan: “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi Ibid. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menggunakan istilah “Anak nakal” untuk menyebut anak yang berkonflik dengan hukum 6 Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 4 5

6

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”. Berdasarkan konstruksi Pasal 1 butir3 di atas, usia minimal pertanggung-jawaban pidana seorang anak adalah 12 (dua belas) tahun. Hal ini merupakan kemajuan dalam perkembangan upaya perlindungan anak dibandingkan pengaturan dalam undang-undang sebelumnya. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, anak yang berusia 8 (delapan) tahun dapat diproses hukum dan menjalani persidangan. Batasan usia pertanggungjawaban pidana anak ini kemudian dianulir oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.1/ PUU-VIII/2010 tertanggal 24 Februari 2011.7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yangmengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana8. Sementara anak yang menjadi saksi tindak pidana disebut dengan Anak Saksi, yaituanak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/ atau dialaminya sendiri.9 Jika ditelaah lebih lanjut dalam berbagai pengertian yang tertuang dalam Bab I Ketentuan Umum, tercermin bahwa hampir semua perangkat dan asas diperuntukkan hanya bagi penanganan anak yang berkonflik dengan hukum, tidak untuk anak sebagai korban maupun anak sebagai saksi. Hal ini dapat dibuktikan dari berbagai pengertian yang tertuang dalam Pasal 1 angka 1 sampai dengan 23 Dalam putusan ini Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa batas usia anak yang dapat dimintai pertanggung-jawaban pidana adalah 12 (dua belas) tahun. 8 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 9 Pasal 1 angka 5 7

Kajian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak: Beberapa Kemajuan Penting dan Amanat yang belum Tertunaikan

7


yang seluruh rumusannya menyebutkan istilah Anak dengan huruf “A besar” (Anak). Konstruksi ini berpotensi memunculkan kerancuan, misalnya terkait penanganan perkara dimana anak menjadi korban maupun saksi. Apakah penanganan anak korban atau anak saksi juga ditangani oleh penyidik, penuntut umum dan hakim? Pertanyaan ini muncul karena undang-undang menyebutkan bahwa penyidik, penuntut umum dan hakim merupakan penyidik Anak, penuntut umum Anak dan hakim Anak.10 Persoalan pengaturan lainnya dapat ditemukan dalam peruntukkan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). Pasal 1 angka 22 menyebutkan bahwa LPKS adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi Anak (Anak dengan huruf A besar). Kembali akan timbul pertanyaan, apakah memang pembuat undang-undang memaksudkan penyelenggaraan LPKS hanya untuk anak pelaku dan tidak untuk anak yang menjadi korban maupun saksi? Pengaturan spesifik mengenai Anak Korban dan Anak Saksi dapat ditemukan pada Pasal 89 – Pasal 91Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Pada dasarnya disebutkan bahwa Anak Korban dan/ atau Anak Saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.11 Selanjutnya diatur bahwa Anak Korban dan Anak Saksi berhak atas upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial; dan kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.12 Teknis pelaksanaan pengaturan tersebut diamanatkan untuk

Pasal 1 angka 8 sampai dengan angka 10 Pasal 89 12 Pasal 90 ayat (2) 10 11

8

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


diatur dalam Peraturan Presiden.13 Menurut penulis, jika undangundang ini memang dimaksudkan sebagai hukum acara tidak saja dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum namun juga untuk menangani anak sebagai korban dan anak sebagai saksi dalam peradilan pidana, selayaknya perangkat hukum acara bagi anak sebagai korban dan anak sebagai saksi diatur lengkap.

Kewajiban Mengupayakan Diversi Implementasi pendekatan keadilan restoratif dalam setiap tahapan peradilan mewujud dalam mekanisme yang disebut sebagai “diversi”. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, khususnya sistem peradilan pidana anak, penghentian proses peradilan melalui proses diversi sebelumnya tidak dikenal. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang sebelumnya berlaku dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan ruang untuk penghentian perkara anak bagi tindak pidana yang dikategorikan sebagai delik biasa. Polisi sebagai penyidik hanya memiliki kewenangan untuk melakukan penghentian perkara melalui penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk tiga situasi, yaitu tidak diperolehnya bukti yang cukup, peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana, dan penyidikan dihentikan demi hukum.14 Alasan demi hukum ini biasanya merujuk pada hal-hal yang tertuang dalam KUHP, misalnya nebis in idem, artinya orang tidak dapat dituntut lagi atas perbuatannya 13 14

Pasal 90 ayat (3) Lihat Pasal 109 ayat (2) KUHAP Kajian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak: Beberapa Kemajuan Penting dan Amanat yang belum Tertunaikan

9


yang telah diadili15, terdakwa meninggal dunia16, atau perkaranya telah kadaluwarsa.17 Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 inilah proses diversi dengan pendekatan keadilan restoratif menjadi dasar untuk dikeluarkannya penghentian penyidikan atau penuntutan.18 Ketentuan ini merupakan salah satu terobosan penting dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Diversi dimaksudkan untuk menghindarkan dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Dalam berbagai kajian banyak dikemukakan bahwa sistem peradilan pidana kerap kali memunculkan persoalan baru bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Penolakan dari masyarakat dan komunitas asal sering dialami anak karena persoalan stigma buruk yang melekat pada anak yang bersentuhan dengan sistem peradilan pidana. Karena itu, ketentuan diversi dalam undang-undang ini layak diapresiasi. Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012, diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan Anak; menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung-jawab kepada Anak. Mengacu pada Pasal 2 yang mengatur mengenai asas sistem peradilan pidana anak, keseluruhan proses diversi harus dilandaskan pada asas kepentingan terbaik bagi anak. Pengaturan mengenai diversi dimuat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. 17 18 15 16

10

Pasal 76 KUHP Pasal 77 Pasal 78 Pasal 12 ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi. 2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: a. diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Ketentuan Pasal 7 tersebut dalam pelaksanaannya memunculkan dua tafsir. Tafsir pertama menyebutkan bahwa hanya tindak pidana yang benar-benar memenuhi kriteria Pasal 7 yang dapat diupayakan diversi, sedangkan tindak pidana di luar kedua kriteria tersebut terlarang untuk didiversikan. Tafsir kedua menyebutkan bahwa aparat penegak hukum mulai dari tingkat penyidikan hingga pemeriksaan pengadilan wajib mengupayakan diversi sesuai kedua kriteria tetapi juga tidak terlarang untuk melakukan diversi apabila menghadapi kasus-kasus anak di luar kedua kriteria. Menurut penulis, jika tafsir pertama yang digunakan, maka akan tertutup sama sekali peluang anak-anak yang terlibat dalam tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana penjara di atas 7 (tujuh) tahun untuk didiversikan. Penulis menilai setiap perkara anak harus dipandang dan dinilai secara spesifik, tidak bisa dipukul rata dengan ketentuan yang bersifat generalis. Kita perlu segar berfikir bahwa latar belakang suatu tindak pidana sangat beragam dengan tingkat “kerusakan” yang beragam pula. Men-generalisasi seluruh perkara anak hanya dengan melihat ancaman pidana dari kualifikasi tindak pidana yang dilakukan seolah mengesampingkan asas kepentingan terbaik bagi anak yang menjadi ruh dari undang-undang ini. Sebagai contoh, terhadap anak yang melakukan perkelahian secara bersama-sama (tawuran) dikenakan Pasal 170 ayat (2) KUHP Kajian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak: Beberapa Kemajuan Penting dan Amanat yang belum Tertunaikan

11


dengan ancaman pidana selama-lamanya 7 (tujuh) tahun. Apabila tafsir pertama yang digunakan, terhadap anak ini tertutup peluang untuk didiversikan tanpa melihat bagaimana kejadiannya, latar belakangnya serta tingkat kerusakan yang ditimbulkan. Dengan penafsiran ini pula, pemaafan dari pihak korban serta kesediaan anak untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya tidak menjadi pertimbangan bahwa proses diversi layak untuk diupayakan. Semua semata-mata hanya mengacu pada berapa ancaman pidananya. Hal serupa juga dapat terjadi pada anak-anak yang didakwa dalam tindak pidana kesusilaan (Pasal 81 dan Pasal 82 UndangUndang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 22 tahun 2003)19 serta anak-anak yang terlibat dalam kasus narkotika (Pasal 111 dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika)20 Semua pasal tersebut dikenai Perkara tindak pidana kesusilaan menjadi salah satu perkara yang paling banyak membawa anak berkonflik dengan hukum sampai ke tahap pidana penjara. Kasusnya tidak saja berkaitan dengan pemerkosaan atau hubungan seksual dengan kekerasan, namun banyak terjadi kasus hubungan seksual dalam relasi pacaran yang berujung membawa anak laki-laki berkonflik dengan hukum. Tidak dapat dipungkiri, konstruksi hukum dan sosial yang berkembang saat ini masih kerap mengidentifikasi anak lakilaki lah yang menjadi pelaku dalam kasus semacam ini. Padahal dalam perspektif perlindungan anak selayaknya baik anak laki-laki maupun anak perempuan ditempatkan sebagai korban. Perkembangan sosial dan media informasi kerap menyumbang perilaku seksual anak sehingga mereka berhadapan dengan hukum. Untuk kasus seperti ini biasanya pasal yang digunakan adalah Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah dirubah melalui UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ketentuan Pasal 81 dan Pasal 82 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 memberikan sanksi pidana penjara untuk pelanggaran pasal ini selama paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 20 Perkara penyalahgunaan narkotika juga menjadi salah satu perkara yang banyak melibatkan anak berkonflik dengan hukum. Pasal pidana yang dikenakan umumnya pelanggaran atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Masih ‘beruntung’ bagi anak yang dikenai Pasal 127, karena pasal itu menempatkan anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika danhanya akan membawa anak untuk menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Tetapi banyak anak dikenakan Pasal 111 ayat (1) dan Pasal 112 ayat (1) dengan ancaman pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun. 19

12

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


ancaman pidana penjara di atas 7 (tujuh) tahun. Apabila tafsir pertama yang digunakan, maka tertutuplah kesempatan anak tersebut untuk memperoleh penanganan diversi, dengan hanya melihat pasal yang dikenakannya, tanpa melihat latar belakang keseluruhan kasus yang terjadi. Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas untuk diterapkannya diversi. Selain itu diuraikan juga bahwa diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme yang semuanya diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun. Faktanya, banyak tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana di atas 7 (tujuh) tahun. Karena itu, selayaknya pertimbangan suatu perkara sahih untuk didiversikan tidaklah semata dilihat dari ancaman pidana yang dilekatkan pada pasal yang dikenakannya, namun prinsip kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Ketentuan terkait keadilan restoratif dan diversi merupakan capaian penting dalam gerakan advokasi perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia. Sistem hukum berlapis diterapkan sebagai upaya lebih mengedepankan penerapan diversi dengan pendekatan keadilan restoratif dibanding proses peradilan pidana umum. Jika diversi gagal dilaksanakan dalam tahap penyidikan, diversi masih bisa dilaksanakan dalam tahap penuntutan. Jika dalam tahap penuntutan tidak berhasil, maka diversi tetap dapat dilakukan dalam tahap pengadilan. Undang-undang bahkan mengatur sanksi bagi aparat yang mengabaikan kewajiban mengupayakan diversi yaitu berupa sanksi administratif dan ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus Kajian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak: Beberapa Kemajuan Penting dan Amanat yang belum Tertunaikan

13


juta rupiah)21. Namun kini ancaman pidana tersebut telah dicabut melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 tertanggal 28 Maret 2013.22

Pembatasan Penahanan dan Pemidanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menekankan bahwa pada dasarnya anak tidak dapat dirampas kemerdekaannya. Perampasan kemerdekaan hanya dapat dilakukan semata-mata jika penyelesaian perkara memang sungguh-sungguh membutuhkan. Prinsip perampasan kemerdekaan menjadi alternatif terakhir telah menjadi prinsip yang dianut oleh Indonesia dan segenap bangsa-bangsa di dunia dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum. Pembatasan perampasan kemerdekaan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 salah satunya tergambar dalam masa penahanan bagi anak yang lebih singkat dibanding sistem hukum sebelumnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 hingga Pasal 38 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Tahap

Masa Penahanan(paling lama) Normal

Perpanjangan

Penyidikan

7 hari

8 hari

Penuntutan

5 hari

5 hari

Sidang Pengadilan

10 hari

15 hari

Banding

10 hari

15 hari

Kasasi

15 hari

20 hari

Lihat Pasal 95 dan 96 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 22 Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 tertanggal 28 Maret 2013 mencabut ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 21

14

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan selama 7 (tujuh) hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum selama 8 (delapan) hari. Selama tahap penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan selama 5 (lima) hari dan dapat diperpanjang oleh hakim pengadilan negeri selama 5 (lima) hari. Selama tahap sidang pengadilan, hakim berwenang melakukan penahanan selama 10 (sepuluh) hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri selama 15 (lima belas) hari. Selama tahap banding, hakim banding berwenang menahan selama 10 (sepuluh) hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi selama 15 (lima belas) hari. Terakhir, selama pemeriksaan kasasi, hakim kasasi berwenang menahan selama 15 (lima belas) hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung selama 20 (dua puluh) hari. Pasal 39 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012menyebutkan jika batas waktu penahanan di masing-masing tahap telah berakhir, petugas dimana anak ditahan harus segera mengeluarkan anak demi hukum. Tidak semua anak yang berkonflik dengan hukum dapat dikenai penahanan. Penahanan hanya dapat dilakukan jika memenuhi persyaratan: a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan b. Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.23 Aparat penegak hukum mulai dari tahap penyidikan hingga kasasi tidak dapat melakukan penahanan jika Anak memperoleh jaminan dari orang tua/wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan

23

Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Kajian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak: Beberapa Kemajuan Penting dan Amanat yang belum Tertunaikan

15


melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.24 Pengaturan ini berbeda dengan sistem hukum sebelumnya yang mensyaratkan persetujuan dari aparat penegak hukum.

Proses Peradilan Pidana Pasal 13 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menjelaskan bahwa proses peradilan pidana dilanjutkan dalam hal proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan, atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan.25 Jika salah satu dari dua situasi tersebut terjadi, maka proses peradilan pidana tetap berlanjut. Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tidak mengesampingkan Hukum Acara Pidana yang berlaku. Hukum Acara Pidana sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) masih tetap berlaku dalam acara peradilan pidana anak, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.26 Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kemajuan penting lainnya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 adalah dengan disertakannya berbagai bidang pekerjaan sosial sebagai salah satu pilar dalam sistem peradilan pidana anak. Pekerjaan sosial dalam kerangka ini dimaknai sebagai aktivitas profesional yang bertujuan untuk menolong individu, kelompok, dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan menciptakan kondisi-kondisi masyarakat Pasal 32 ayat (1) Pasal 13 26 Pasal 16 27 Edi Suharto, Pekerja Sosial dan Peradilan Anak, http://www.republika.co.id/berita/ koran/teraju/14/09/19/nc4tw821-pekerja-sosial-dan-peradilan-anak (diakses tanggal 10 Februari 2016) 24 25

16

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


yang kondusif untuk mencapai tujuan tersebut.27 Terkait hal ini, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 mengatur peran Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Anak dalam kerangka peradilan pidana anak. Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial Anak.28 Tenaga Kesejahteraan Sosial dirumuskan sebagai seseorang yang dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial dan/ atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial Anak.29 Tugas Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial diatur dalam Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial bertugas: a. membimbing, membantu, melindungi, dan mendampingi Anak dengan melakukan konsultasi sosial dan mengembalikan kepercayaan diri Anak; b. memberikan pendampingan dan advokasi sosial; c. menjadi sahabat Anak dengan mendengarkan pendapat Anak dan menciptakan suasana kondusif;

Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 29 Pasal 1 angka 15 28

Kajian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak: Beberapa Kemajuan Penting dan Amanat yang belum Tertunaikan

17


d. membantu proses pemulihan dan perubahan perilaku Anak; e. membuat dan menyampaikan laporan kepada Pembimbing Kemasyarakatan mengenai hasil bimbingan, bantuan, dan pembinaan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau tindakan; f. memberikan pertimbangan kepada aparat penegak hukum untuk penanganan rehabilitasi sosial Anak; g. mendampingi penyerahan Anak kepada orang tua, lembaga pemerintah, atau lembaga masyarakat; dan h. melakukan pendekatan kepada masyarakat agar bersedia menerima kembali Anak di lingkungan sosialnya.30 Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial memiliki peran penting dalam proses diversi, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012. Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. Mengacu pada Pasal 8 tersebut di atas, muncul pertanyaan: “Apakah jika suatu musyawarah dalam proses diversi tidak melibatkan salah satu pihak, misalnya Pekerja Sosial Profesional, proses diversi tersebut sah secara hukum?”Persoalan akan muncul tatkala kita melihat fakta bahwa pada tahun 2015 di Indonesia hanya tersedia 15.522 pekerja sosial, atau hanya 10% dari total kebutuhan Pekerja Sosial sebesar 155.ooo orang.31 Jumlah tersebut akan jauh

30 31

Pasal 68 ayat (1) http://www.rmol.co/read/2015/09/23/218292/Kebutuhan-pada-Pekerja-SosialProfesional-Tak-Bisa-Ditunda-Lagi-. Diakses tanggal 10 Februari 2016

18

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


berkurang apabila menggunakan kualifikasi Pekerja Sosial Profesional sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Syarat untuk dapat diangkap sebagai Pekerja Sosial Profesional adalah: a. berijazah paling rendah strata satu (S-1) atau diploma empat (D-4) di bidang pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial; b. berpengalaman kerja paling singkat 2 (dua) tahun di bidang praktik pekerjaan sosial dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial; c. mempunyai keahlian atau keterampilan khusus dalam bidang pekerjaan sosial dan minat untuk membina, membimbing, dan membantu Anak demi kelangsungan hidup, perkembangan fisik, mental, sosial, dan perlindungan terhadap Anak; dan d. lulus uji kompetensi sertifikasi Pekerja Sosial Profesional oleh organisasi profesi di bidang kesejahteraan sosial.

Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 mengamanatkan pembentukan lembaga atau tempat pelayanan sosial yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial bagi anak yang disebut sebagai Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).32 LPKS dinyatakan diperuntukkan: a. Sebagai tempat pendidikan dan pelatihan bagi anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan hasil kesepakatan diversi33 Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 33 Pasal 11 32

19


b.

Sebagai tempat untuk mengikutsertakan anak yang berkonflik dengan hukum yang belum berusia 12 (dua belas) tahun dalam program pendidikan, pembinaan dan pembimbingan.34 c. Sebagai tempat bagi anak yang ditangkap jika di wilayah yang bersangkutan tidak terdapat ruang pelayanan khusus anak.35 d. Sebagai tempat bagi anak dalam menjalani penahanan dalam rangka melindungi keamanan anak36 atau jika di wilayah setempat tidak tersedia Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS).37 e. Tempat perawatan bagi anak yang dikenai putusan tindakan.38 Kementerian Sosial Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 tahun 2014 tentang tentang Standar Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum. Dalam Permensos ini standar LPKS meliputi tujuh aspek, yaitu (a) status lembaga; (b) visi dan misi lembaga; (c) struktur organisasi; (d) sumber daya manusia; (e) sarana dan prasarana; (f) ketersediaan dana, manajemen pengelolaan, pertanggungjawaban; dan (g) program layanan.39 Sumber daya manusia yang dimaksud dalam ketentuan tersebut di atas meliputi tenaga bidang administrasi, teknik rehabilitasi sosial, dan penunjang.40 Terkait tenaga bidang rehabilitasi sosial, jenis yang harus tersedia meliputi: a. Pekerja Sosial Profesional; 36 37 38 39

Pasal 21 ayat (1) Pasal 30 ayat (3) Pasal 32 ayat (5) Pasal 33 ayat (5) Pasal 82 ayat (1) Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2014 tentang Standar Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum. 40 Pasal 10 34 35

20

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


b. Tenaga Kesejahteraan Sosial; c. dokter; d. psikiater; e. psikolog; f. instruktur keterampilan; dan g. pembimbing rohani. Jika tenaga tersebut tidak tersedia, maka LPKS dapat bekerja sama dengan lembaga atau instansi lain.41 Selanjutnya disebutkan bahwa progam layanan yang diselenggarakan oleh LPKS dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan pekerjaan sosial. Pendekatan pekerjaan sosial tersebut dilakukan dengan tahapan meliputi: a. pendekatan awal; b. pengungkapan dan pemahaman masalah; c. penyusunan rencana pemecahan masalah; d. pemecahan masalah; e. resosialisasi/reintegrasi f. terminasi; dan g. bimbingan lanjut.42 Dalam peraturan ini juga disebutkan bahwa selain program pelayanan yang telah disebutkan dimuka, LPKS juga melaksanakan program dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar berupa43: a. penyediaan tepat tinggal/asrama; b. penyediaan sandang; c. penyediaan pangan; d. pelayanan kesehatan; Pasal 12 ayat (1) dan (2) Pasal 20 ayat (2) 43 Pasal 21 41 42

Kajian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak: Beberapa Kemajuan Penting dan Amanat yang belum Tertunaikan

21


e. f. g. h. i.

bimbingan fisik mental spritual bimbingan sosial; akses pendidikan; rekreasional; dan keterampilan hidup serta vokasional

Menelaah ketentuan dalam peraturan ini, selayaknya keberadaan LPKS cukup mumpuni dalam melakukan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum dengan pendekatan pekerjaan sosial. Tantangannya adalah bagaimana memastikan ketersediaan LPKS yang memiliki aksesibilitas bagi semua anak yang membutuhkan serta memenuhi standar sebagaimana yang diatur dalam peraturan tersebut. Jika semua ini terpenuhi, hal ini merupakan babak baru yang konstruktif dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, khususnya anak yang berkonflik dengan hukum yang sebelumnya lebih banyak menggunakan pendekatan hukum.

Pembatasan Pemberitaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 mengatur perlindungan anak dari dampak buruk pemberitaan, baik media cetak maupun elektronik. Identitas anak, baik anak yang berkonflik dengan hukum (Anak), anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) maupun anak yang menjadi saksi dari suatu tindak pidana (Anak Saksi) wajib dirahasiakan dalam pemberitaan. Identitas ini meliputi nama anak, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkap jati diri anak.44

44

Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

22

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Undang-undang bahkan memberikan ancaman pidana bagi setiap orang yang melakukan pelanggaran dalam pemberitaan terkait identitas anak. Pasal 97 menyebutkan bahwa setiap orang yang melanggar kewajiban merahasiakan identitas anak sebagaimana tersebut di atas diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah). Sayangnya, undang-undang tidak mengatur sanksi bagi korporasi media yang melakukan pelanggaran kerahasiaan identitas anak. Menurut penulis ini penting agar korporasi media turut bertanggungjawab terhadap setiap pelanggaran pemberitaan, sekaligus untuk mendorong agar korporasi melakukan penguatan kapasitas dan pengawasan pewartanya supaya memiliki perspektif perlindungan anak.

Peran Serta Masyarakat Untuk pertama kalinya, peran serta masyarakat dalam penanganan kasus anak secara eksplisit diakomodasi dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.Hal ini diatur dalam Pasal 93 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012. Masyarakat dapat berperan serta dalam perlindungan Anak mulai dari pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial Anak dengan cara: a. menyampaikan laporan terjadinya pelanggaran hak Anak kepada pihak yang berwenang; b. mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan Anak; c. melakukan penelitian dan pendidikan mengenai Anak; d. berpartisipasi dalam penyelesaian perkara Anak melalui Diversi dan pendekatan Keadilan Restoratif; Kajian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak: Beberapa Kemajuan Penting dan Amanat yang belum Tertunaikan

23


e. berkontribusi dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial Anak, Anak Korban dan/atau Anak Saksi melalui organisasi kemasyarakatan; f. melakukan pemantauan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam penanganan perkara Anak; ataucom g. melakukan sosialisasi mengenai hak Anak serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Anak. Keterlibatan masyarakat sangatlah penting dalam penanganan kasus anak dengan pendekatan keadilan restoratif. Melalui pendekatan keadilan restoratif, penyelesaian suatu perkara tidak berakhir pada dikeluarkannya Surat Penetapan Penghentian Penyidikan atau Penuntutan, atau telah terjalaninya putusan pengadilan. Penyelesaian kasus anak dengan pendekatan keadilan restoratif harus terus berlanjut hingga tercapainya pemulihan anak, baik sebagai pelaku maupun korban. Pemulihan ini mutlak membutuhkan peran serta komunitas setempat karena disanalah anak-anak berada. Pemulihan berbasis komunitas menjadi hal penting untuk diketengahkan dalam pendekatan keadilan restoratif. Sayangnya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tidak cukup rinci mengatur bagaimana partisipasi masyarakat ini diimplementasikan. Selain itu, ketentuan Pasal 8 ayat (2) yang berbunyi “Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat” berpotensi mengurangi peluang partisipasi masyarakat karena bersifat optional (dalam hal diperlukan).

24

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Ragam Putusan Pengadilan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa bagi anak yang berkonflik dengan hukum yang dinyatakan dan diputus bersalah dalam sidang pengadilan dapat dikenai pidana atau tindakan. Jika anak tersebut berusia kurang dari 14 (empat belas) tahun, apapun tindak pidananya dan berapapun ancaman pindananya, maka terhadapnya hanya dapat dikenai tindakan.45 Seperti halnya Pasal 10 KUHP, pidana yang dapat dikenakan terhadap Anak juga terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Ketentuan mengenai pidana bagi Anak diatur dalam Pasal 71 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. (1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas: a. pidana peringatan; b. pidana dengan syarat: 1) pembinaan di luar lembaga; 2) pelayanan masyarakat; atau 3) pengawasan c. pelatihan kerja; d. pembinaan dalam lembaga; e. penjara. (2) Pidana tambahan terdiri atas: a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. pemenuhan kewajiban adat.46

45 46

Pasal 16 ayat (1) dan (2) Kewajiban adat dalam hal ini dapat berupa denda atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma adat setempat yang tetap menghormati harkat dan martabat anak serta tidak membahayakan kesehatan fisik dan mental anak Kajian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak: Beberapa Kemajuan Penting dan Amanat yang belum Tertunaikan

25


Pidana peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan anak. Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh hakim dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun. Ada tiga jenis pidana dengan syarat yaitu: D pertama, pembinaan di luar lembaga. Pembinaan ini dapat berupa mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina; mengikuti terapi di rumah sakit jiwa; atau mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya. D Kedua, pelayanan masyarakat. Jenis pidana ini dimaksudkan untuk mendidik anak dengan meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan kemasyarakatan yang positif. Jika Anak tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban dalam menjalankan pidana pelayanan masyarakat tanpa alasan yang sah, pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memerintahkan Anak tersebut mengulangi seluruh atau sebagian pidana pelayanan masyarakat yang dikenakan terhadapnya. Pidana pelayanan masyarakat untuk Anak dijatuhkan paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus dua puluh) jam. D Ketiga, pengawasan. Pidana ini berupa pengawasan yang dilakukan oleh Penuntut Umum terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumahnya dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada anak untuk waktu paling singkat 3(tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.

26

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Pidana pelatihan kerja dilaksanakan di lembaga pelatihan kerja yang sesuai dengan usia anak. Lembaga ini dapat berupa, antara lain, balai latihan kerja, lembaga pendidikan vokasi, yang dilaksanakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, pendidikan, atau sosial. Pidana ini dikenakan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun. Pidana pembinaan dalam lembaga dilakukan di tempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan yang diselengarakan oleh pemerintah atau swasta. Jenis pidana ini dijatuhkan apabila keadaaan dan perbuatan anak tidak membahayakan masyarakat. Pembinaan dalam lembaga dilaksanakan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Jika anak telah menjalani ½ (satu perdua) dari lamanya pembinaan di dalam lembaga, dengan masa pembinaan tidak kurang dari 3 (tiga) bulan, serta berkelakuan baik, maka anak berhak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Sebagai suatu prinsip umum, pidana penjara hanya akan dikenakan bagi anak sebagai upaya terakhir. Pidana penjara diberlakukan dalam hal anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai kekerasan. Pidana penjara yang dijatuhkan terhadap anak paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau undang-undang lainnya. Jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Bagi anak yang telah menjalani ½ (satu perdua) dari lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Kajian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak: Beberapa Kemajuan Penting dan Amanat yang belum Tertunaikan

27


Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 mengatur jenis-jenis tindakan yang dapat dikenakan kepada anak, yaitu: a. pengembalian kepada orang tua/Wali; b. penyerahan kepada seseorang; c. perawatan di rumah sakit jiwa; d. perawatan di LPKS; e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah ataubadan swasta; f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau g. perbaikan akibat tindak pidana. Undang-Undang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut terkait ketentuan mengenai jenis tindakan tersebut di atas.47 Diaturnya berbagai jenis putusan saat hakim harus memutus anak bersalah menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 mengandung semangat menjauhkan anak dari penjara. Hakim diberi ruang untuk memberikan sanksi yang terbaik bagi perkembangan anak. Jika seorang anak diputus dengan pidana penjara maka harus dimaknai bahwa hakim telah mempertimbangkan berbagai jenis tindakan atau pidana lainnya, sebelum pada akhirnya dengan terpaksa memutus pidana penjara.

Amanat yang Belum Tertunaikan Perjalanan implementasi secara utuh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 masih panjang. Terdapat delapan peraturan pelaksanaan yang diamanatkan untuk diterbitkan agar Sistem Peradilan Pidana 47

Pasal 82 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

28

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Anak lebih ajeg berjalan. Enam substansi diatur dalam Peraturan Pemerintah dan dua substansi diatur dalam Peraturan Presiden. No Pasal

Bentuk Peraturan Substansi Pelaksana

1 Pasal 15 Peraturan Pemerintah

Pedoman pelaksanaan proses Diversi, tata cara, dan koordinasi pelaksanaan Diversi

2 Pasal 21 ayat (6) Peraturan Pemerintah

Syarat dan tata cara pengambilan keputusan serta program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana

3 Pasal 25 ayat (2) Peraturan Pemerintah

Pedoman register perkara Anak dan Anak korban

4 Pasal 71 ayat (5) Peraturan Pemerintah

Bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana.

5 Pasal 82 ayat (4) Peraturan Pemerintah

Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak

6 Pasal 94 ayat (4) Peraturan Pemerintah

Tata cara pelaksanaan koordinasi, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan

7 Pasal 90 ayat (2) Peraturan Presiden

pelaksanaan hak Anak Korban dan Anak Saksi

8 Pasal 92 ayat (4) Peraturan Presiden

penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi penegak hukum dan pihak terkait secara terpadu

Pasal 107 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa peraturan pelaksanaan undang-undang ini harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diberlakukan. Kajian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak: Beberapa Kemajuan Penting dan Amanat yang belum Tertunaikan

29


Hampir dua tahun undang-undang ini berlaku, Pemerintah Republik Indonesia baru menunaikan 3 kewajiban dan berhutang 5 kewajiban. Hingga Desember 2015, Pemerintah Republik Indonesia baru mengeluarkan: (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 175 Tahun 2014 tentang Pendidikan dan Pelatihan Terpadu Bagi Penegak Hukum dan Pihak Terkait mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak; dan (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun. Peraturan Pemerintah ini mengatur dua substasi sekaligus yang diamanatkan untuk dibuat peraturan pelaksananya yaitu Pasal 15 dan Pasal 21 ayat (6). Sambil menunggu keluarnya lima peraturan pelaksana, publik layak berharap agar implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 benar-benar mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Prinsip tersebut dapat ditegakkan melalui: D pertama, mengupayakan diversi; D kedua, jika diversi tidak dapat dilakukan maka proses peradilan anak hendaknya dipercepat dan penahanan selama proses hendaknya dihindari; dan D ketiga, hindari Anak dari sanksi pidana penjara bagi Anak yang di muka sidangterbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. DDD

30

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


2

Kajian Standar Internasional Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum

P

engakuan bahwa anak bisa dan harus mempunyai hak, relatif baru. Sebelumnya hak anak selalu dilekatkan dengan hak yang yang dimiliki orang tuanya, terutama ayah.48 Meskipun begitu, anak sebagai subjek hukum telah menjadi bagian penting dalam perkembangan hukum di dunia. Sejarah Bangsa Yahudi, Yunani, dan Romawi menunjukkan fakta bahwa anak seringkali diperlakukan sebagai objek ketimbang sebagai subjek hukum. Banyak orang tua yang memandang anaknya sebagai ‘masalah kependudukan’. Banyak juga orang tua yang memandang mereka tidak lebih sebagai ‘properti’ dan memperlakukan mereka bukan sebagai manusia yang memiliki hak. Bangsa Yunani kuno membuang anak-anak perempuan dan anak-anak yang terlahir cacat di hutan dimana terdapat banyak binatang yang bisa membunuh mereka. Pembunuhan terhadap anak-anak yang tidak diinginkan mulai berkurang berabad-abad kemudian, namun praktek ini tidak pernah benar-benar hilang. Sejarawan Perancis Philippe Ariès (1926) 48

http://family.jrank.org/pages/247/Children’s-Rights-Historical-Roots-Children-s-RightsMovement.html. Diakses tanggal 16 Februari 2016 Kajian Standar Internasional Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum

31


mengemukakan dalam bukunya Centuries of Childhood, keberadaan anak tidak pernah dianggap ada sama sekali pada masa-masa yang lalu, karena ketika anak beranjak dari ketergantungan biologi pada masa kanak-kanak, ia menjadi milik masyarakat dewasa.49 Era pencerahan membawa perubahan terhadap pandangan tentang anak. Tradisi lama mulai ditentang dan nilai otonomi individual serta hak-hak alamiah mulai diakui. John Locke (16321704) mengemukakan tentang sifat kontraktual dari sebuah perkawinan dan menulis tentang nilai self-determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri. Pada masa pencerahan, penekanan terhadap kebebasan individu dan hak-hak seseorang menjadi kuat. Selama Revolusi Amerika sentimen yang mendukung abolisi berbagai jenis tirani, termasuk tirani orang tua terhadap anak meningkat. Hal ini memunculkan perkembangan baru pemikiran mengenai kehidupan anak dan hak-hak anak.50 Hukum hak anak didefinisikan sebagai pertemuan antara hukum dan kehidupan anak. Hukum hak anak meliputi aturan anak yang berkonflik dengan hukum, proses peradilan bagi anak yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana, perwakilan yang tepat, layanan rehabilitasi yang efektif, perlindungan bagi anak yang diserahkan pada negara, memastikan pendidikan bagi semua anak tanpa memandang asal ras, gender, kondisi kecacatan fisik atau kemampuan dan layanan kesehatan serta advokasi.51 Masyarakat hukum internasional telah banyak menyepakati instrumen-instrumen hukum internasional yang memberikan standar perlindungan anak serta penanganan anak yang berkonflik dengan Rai Rama Kant, School Management Committee Manual 2011, National Coalition for Education, New Delhi. 2011, hlm.1 50 http://family.jrank.org/pages/247/Children’s-Rights-Historical-Roots-Children-s-RightsMovement.html. Diakses tanggal 16 Februari 2016 51 Rai Rama Kant, Loc.cit 49

32

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


hukum, yaitu: 1. Convention on the Rights of the Child 2. Standard Minimum Rules for the Treatment of Offenders 3. Declaration on Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power 4. The Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Forms of Detention of Imprisonment 5. The Basic Principles for the Treatment of Prisoners 6. The Tokyo Rules 7. The Basic Principles of the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters 8. The Bangkok Rules 9. Declaration on the Protection of Women and Children in Emergency and Armed Conflicts 10. The Beijing Rules 11. Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (The Riyadh Guidelines) 12. Rules for the Protection of Juvenile Deprived of their Liberty (JDL Rules/Havana Rules) 13. The Vienna Guidelines 14. The Guidelines on Justice in Matters Involving Child Victims and Witnesses of Crime Secara khusus, tulisan berikut ini akan menjelaskan mengenai Convention on the Rights of the Child atau Konvensi Hak-hak Anak (KHA) sebagai instrumen internasional yang paling banyak diterima bagi perlindungan hak-hak anak di seluruh dunia. KHA merupakan instrumen payung bagi ketiga instrumen hukum internasional yang mengatur tentang peradilan pidana anak, yaitu UN Guidelines for the Protection of Juvenile Delinquency (The Riyadh Guidelines, diadopsi Kajian Standar Internasional Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum

33


tahun 1990), UN Standard Minimum Rules for the Administration of Justice (The Beijing Rules, diadopsi tahun 1985) dan UN Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty (the JDL atau Havana Rules, diadopsi tahun 1990). Ketiga instrumen di atas bersifat tidak mengikat tetapi sebagian besar prinsip-prinsipnya terintegrasi dalam Konvensi Hak Anak.

1. Convention on The Rights of The Child (Konvensi Hak-hak Anak atau KHA) Konvensi Hak Anak mendefinisikan anak sebagai: “Every human being below the age of eighteen years, unless under the law applicable to the child, majority is attained earlier”.52 Melalui pasal ini negara-negara diperkenankan memberikan batasan pengertian anak, yang berimplikasi pada usia dimana anak dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum. KHA sangat mendorong asas kepentingan terbaik bagi anak dalam setiap tindakan yang diambil terhadap anak,53 terutama dalam pelaksanaan peradilan pidana anak.54 Asas ini penting karena anak mempunyai kebutuhan fisik, psikologis, emosi dan pendidikan yang berbeda dari orang dewasa. Menurut Komite Hak Anak, anak harus diperlakukan berbeda dalam sistem peradilan pidana dan harus mengacu pada reintegrasi sosial serta penerapan prinsip-prinsip Restorative Justice. Pasal 9 KHA menyatakan bahwa anak tidak boleh dipisahkan dari orang tuanya secara paksa kecuali atas dasar putusan pengadilan yang menganggap perlu pemisahan untuk kepentingan terbaik bagi Pasal 1 KHA Pasal 3 KHA 54 Committee on the Rights of the Child in its General Comment 10 (2007) 52 53

34

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


anak. Keputusan untuk memisahkan anak dari orang tuanya dapat dilakukan dengan pertimbangan anak ditelantarkan, anak mengalami kekerasan dari orang tuanya, atau orang tuanya tinggal terpisah dan keputusan harus dibuat untuk menentukan tempat tinggal sang anak.55 KHA menjamin pengakuan kebebasan berekspresi, yang mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan meneruskan informasi dan ide-ide tanpa batas, baik secara lisan maupun tulisan, dalam bentuk cetakan atau seni melalui media yang dipilih si anak.56 Pasal 14 KHA juga menjamin penghargaan pada anak terkait kebebasan berpikir, nurani dan agama. Terkait anak konflik hukum, KHA memberikan jaminan bahwa anak tidak boleh mendapatkan penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Anak juga tidak boleh mendapatkan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup tanpa adanya kemungkinan dibebaskan. 57 Selain itu anak juga tidak boleh dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum. Penangkapan, penangkapan, atau pemenjaraan anak harus sesuai dengan hukum yang berlaku dan harus digunakan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang paling singkat.58 Pasal 40 KHA menegaskan bahwa usia anak harus menjadi pertimbangan dan setiap rencana atas tindakan apa yang akan dikenakan terhadap anak harus mendorong mereka untuk dapat berintegrasi ke dalam masyarakat. Pencegahan tindak pidana yang dilakukan oleh anak merupakan bagian yang esensial dari pencegahan kejahatan di masyarakat.

Pasal 9 KHA Pasal 13 KHA Pasal 37 (a) KHA 58 Pasal 37 (b) KHA 55 56 57

Kajian Standar Internasional Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum

35


2. Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (Riyadh Guidelines) Riyadh Guidelines yang diadopsi melalui Resolusi Majelis Umum PBB pada 14 Desember 1990, memuat tentang rencana pencegahan yang komprehensif yang harus dilakukan di setiap jenjang pemerintahan termasuk keterlibatan masyarakat dan pemuda. Riyadh Guidelines menekankan pentingnya proses sosialisasi yang melibatkan keluarga, pendidikan masyarakat, dan media massa. Menurut Riyadh Guidelines, tindakan pencegahan ditujukan pada penerapan prinsip-prinsip hak asasi manusia secara umum dan khususnya hak-hak anak. Guidelines ini menekankan pentingnya keberhasilan sosialisasi dan integrasi anak melalui keluarga, sekolah, pelatihan kejuruan, kelompok sebaya dan organisasi berbasis masyarakat.59 Guidelines ini juga mendorong badan-badan pemerintah untuk memberikan prioritas yang tinggi bagi perencanaan program-program bagi anak muda dan harus menyediakan dana yang cukup dan sumber daya yang efektif lainnya untuk melaksanakan pelayanan, fasilitas, dan staf untuk pelayanan medis dan layanan kesehatan jiwa yang cukup, nutrisi, tempat tinggal dan layanan lainnya yang relevan termasuk penanganan dan pencegahan penyalah-gunaan alkohol dan obat-obatan berbahaya dan narkotika. Guidelines ini juga membahas tentang penempatan anak di institusi tertentu haruslah menjadi tindakan atau upaya terakhir dan harus dalam jangka waktu yang paling pendek dan tetap mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Intervensi yang formal hanya bisa diambil jika:

59

Bagian IV Riyadh Guidelines

36

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


a. b. c. d.

Anak mengalami tindak kekerasan seksual, fisik, atau emosional oleh orang tua atau walinya. Anak ditelantarkan, diabaikan atau dieksploitasi oleh orang tua atau walinya. Anak diancam secara fisik atau moral karena perilaku orang tua atau walinya. Anak mempunyai perilaku yang membahayakan dirinya sendiri baik secara fisik maupun psikologis dan jika baik orang tua, wali, ataupun si anak itu sendiri atau layanan masyarakat yang non-residensial tidak bisa meredam bahaya itu selain menempatkannya pada sebuah institusi.

Pemerintah juga harus memberikan kesempatan bagi anak untuk mendapatkan pendidikan secara penuh dan harus menyediakan biaya pendidikan tersebut jika orang tua dan walinya tidak mampu. Program pencegahan juga harus direncanakan dan dikembangkan berdasarkan penelitian yang ilmiah dan teruji, diawasi, dievaluasi dan disempurnakan secara berkala.

3. Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) The Beijing Rules ditetapkan melalui Resolusi PBB No. 40/33 tanggal 29 November 1985 tentang UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice. Instrumen ini tidak hanya concern mengenai AKH tetapi juga anak secara umum. The Beijing Rules menetapkan aturan standar minimum yang secara khusus diformulasikan untuk dapat diterapkan dalam berbagai sistem hukum dan pada saat yang bersamaan menentukan standar-standar minimum untuk menangani AKH. Kajian Standar Internasional Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum

37


The Beijing Rules60 mendorong negara-negara untuk dapat menetapkan usia pertanggung jawaban pidana anak, dengan mempertimbangkan kematangan emosi, mental dan intelektual anak61. Sebagian besar negara menetapkan usia 12 tahun sebagai batas usia anak untuk dapat dimintakan pertanggung-jawaban pidana. Meskipun begitu, beberapa negara menetapkan batasan usia anak yang bervariasi. Inggris menetapkan batas usia anak adalah 10 tahun, sementara Denmark menetapkan di usia 15 tahun. Indonesia sebelum pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 memberlakukan usia pertanggung jawaban pidana anak pada usia 8 tahun. Namun setelah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak berlaku, usia pertanggung jawaban pidana anak menjadi 12 tahun. Tujuan utama The Beijing Rules adalah proporsionalitas dan memajukan keberadaan anak. Proporsionalitas tidak hanya mengenai sifat tindak pidana yang dilakukan tetapi juga situasi anak. The Beijing Rules juga mengatur bahwa jika anak terlanjur melakukan suatu tindak pidana, anak harus mendapatkan perlindungan, perlakuan yang adil dan hak-haknya62, seperti jaminan atas pendampingan oleh pengacara, orang tua dan wali, penggunaan seminimal mungkin institusionalisasi, menghindari penundaan yang tidak perlu dan kebutuhan profesionalisme dan pelatihan63. Jika orang tua atau wali tidak bisa dihubungi harus ada pihak dari masyarakat yang mendampingi anak di pengadilan. Di Indonesia, Bapas diamanatkan untuk hadir mendampingi anak di pengadilan. The Beijing Rules diadopsi oleh PBB pada tahun 1985 di Beijing Cina, berisikan standar pelaksanaan peradilan pidana anak secara komprehensif. Rules ini tidaklah mengikat secara hukum namun prinsip-prinsipnya terintegrasi dalam Konvensi Hak Anak. 61 Rule 4 The Beijing Rules 62 Bagian II The Beijing Rules 63 Bagian III The Beiijing Rules 60

38

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Diversi juga didorong kuat dalam instrumen ini untuk menghindari dampak negatif dari proses acara peradilan pidana anak seperti stigma dan hukuman. Polisi, penuntut umum atau badan lainnya yang menangani kasus-kasus anak harus mempunyai wewenang diskresi, agar kasus tersebut diselesaikan tanpa melalui persidangan formal sesuai dengan sistem hukum yang berlaku. Diversi mencakup rujukan pada komunitas yang tepat atau layanan lainnya harus didasarkan pada persetujuan anak atau orang tua atau walinya. Program-program komunitas juga harus disediakan dengan pengawasan dan bimbingan, restitusi serta kompensasi terhadap korban.64 Non intervensi dianggap merupakan respon yang paling tepat terutama untuk kasus-kasus dimana tindak pidana yang dilakukan adalah tindak pidana ringan dan dimana keluarga, sekolah, atau lembaga kontrol sosial yang bersifat informal sudah melakukan upaya-upaya yang tepat dan konstruktif. Penelitian, perencanaan, formulasi kebijakan dan evaluasi untuk memperbaiki sistem peradilan pidana anak serta penetapan intervensi-intervensi yang memadai dan efektif juga ditekankan dalam The Beijing Rules.65 The Beijing Rules juga memperhatikan anak-anak yang berada dalam tahanan dan sedang menunggu proses peradilan dengan mempertimbangkan hak-haknya dengan mengacu pada pasal-pasal dalam Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners dan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik terutama Pasal 9 dan 10 ayat 2 (b) dan 3. Isu pemenjaraan pun tidak luput dari perhatian instrumen ini dengan menekankan bahwa pemenjaraan harus digunakan seminim mungkin dengan tanpa adanya penundaan. Begitu juga dengan harus dirahasiakannya catatan mengenai tindak 64 65

Rules 11 The Beijing Rules Bagian V The Beijing Rules Kajian Standar Internasional Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum

39


pidana yang dilakukan terhadap pihak ketiga dan catatan tersebut tidak bisa digunakan dalam kasus tindak pidana lain yang mungkin dilakukan oleh AKH yang sama ketika dewasa. The Beijing Rules sangat mendorong tindakan-tindakan non-pemenjaraan dengan mengambil tindakan alternatif di luar pemenjaraan dan tindakan restorative justice, yang juga dibahas dalam The Tokyo Rules (UN Standard Minimum Rules for Non-Custodial Measures). The Tokyo Rules dimaksudkan untuk mendorong keterlibatan masyarakat dalam sistem peradilan pidana. Tindakantindakan non-pemenjaraan ini harus menjadi bagian dari gerakan depenalisasi dan dekriminalisasi juga upaya-upaya reintegrasi dalam masyarakat. The Tokyo Rules juga mendorong partisipasi publik untuk mencegah berulangnya tindak pidana.

4. Rules for the Protection of Juvenile Deprived of their Liberty (JDL Rules/Havana Rules) Perlindungan terhadap anak, terutama AKH, menjadi poin penting terutama ketika mereka harus menjalani masa pidana di penjara. Instrumen hukum internasional yang secara khusus membahas tentang ini adalah UN Standard for the Protection of Juvenile Deprived of their Liberty yang banyak dikenal dengan JDL atau Havana Rules. Perampasan kemerdekaan (Deprivation of liberty) diartikan sebagai setiap bentuk penahanan, pemenjaraan atau penempatan seseorang dalam situasi penahanan dimana orang tersebut tidak bisa keluar atau pergi semaunya. The Havana Rules dimaksudkan untuk menyikapi dampak detrimental dari perampasan kemerdekaan tadi dan menjamin penghargaan terhadap hak-hak tahanan atau narapidana. 40

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


The Havana Rules merekomendasikan anak, jika harus ditahan, ditempatkan dalam fasilitas penahanan skala kecil yang terintegrasi ke dalam lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Fasilitas juga harus terdesentralisasi untuk memfasilitasi akses dan kontak antara anak dan keluarganya. JDL juga mengatur bahwa harus ada sejumlah personil yang layak dan sejumlah tenaga-tenaga ahli untuk ditempatkan dalam penjara anak seperti psikolog atau psikiater, pekerja sosial, pengacara, pelatih kejuruan dan guru-guru.66 The Havana Rules mengatur standar minimum yang harus ada ketika anak dirampas kemerdekaannya. Mulai dari tempat ia ditahan pada proses penyidikan, petugas yang terlatih menangani masalah anak, pendaftaran, pemindahan, dan penempatan anak di penjara.67 The Havana Rules juga mengatur mengenai klasifikasi dan penempatan, dimana anak setelah diperiksa kondisi psikologi dan kesehatannya ditempatkan di tempat yang dianggap paling tepat baginya dengan mendasarkan pada usia, jenis kelamin, kepribadian, jenis tindak pidana, kesehatan fisik dan mental, juga jaminan perlindungan bagi anak dari pengaruh buruk dan situasi yang beresiko.68 Tindakan-tindakan disipliner harus dilaksanakan dengan menggunakan sistem imbalan dan keistimewaan. Tindakantindakan yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan harga diri dilarang dilakukan, termasuk hukuman badan, penempatan di ruang sel yang gelap, sel hukuman yang tertutup dan mengucilkan yang dapat merusak kesehatan fisik dan mental anak juga dilarang.69 Memperkerjakan anak sebagai sanksi disipliner juga dilarang dalam instrumen ini.Bekerja harus dipandang sebagai alat edukasi dan 68 69 66 67

Rule 81 The Havana Rules Rule 21, 23 The Havana Rules Rule 27 The Havana Rules Rule 67 The Havana Rulesdan Pasal 37 KHA Kajian Standar Internasional Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum

41


sebagai alat untuk menggalakkan penghargaan terhadap diri sendiri dalam mempersiapkan dirinya untuk kembali ke masyarakat.70 Tindakan-tindakan penegakan disiplin harus bertujuan rehabilitatif dan menjunjung harga diri anak. Setiap anak harus tidur di tempat tidur individual yang selalu dijaga kebersihannya. Selain itu, instalasi sanitasi juga harus memenuhi standar yang memadai dan memungkinkan terjaminnya privasi anak.71 Pakaian pribadi haruslah diperbolehkan untuk dipakai72 dan makanan harus selalu diperhatikan dengan kualitas serta jumlahnya harus memenuhi standar nutrisi, higienis, dan kesehatan serta, jika memungkinkan, memenuhi standar dan syarat agama serta budaya.73 The Havana Rules juga mengatur mengenai reintegrasi sosial anak dimana anak usia sekolah berhak mendapatkan pendidikan sesuai kebutuhan dan kemampuannya. Pendidikan bertujuan untuk mempersiapkan anak kembali ke masyarakat.74 Jika memungkinkan pendidikan tersebut harus dilaksanakan di sekolah di luar penjara. Ijazah yang nantinya didapat tidak boleh menyatakan bahwa anak tersebut merupakan anak yang menjalani hukuman penjara.75 Anak yang dirampas kemerdekaannya berhak untuk menerima pelatihan kejuruan untuk dapat digunakan bekerja, dan oleh karenanya ia diperbolehkan untuk bekerja di dalam masyarakat dan menerima upah.76 Rules 46 dari The HavanaRules menyatakan bahwa pendapatan anak tidak boleh digunakan untuk keuntungan penjara atau pihak ketiga. Tujuan utama dari bekerja bagi anak adalah belajar atau meningkatkan keahlian tertentu. Selain itu sebagian dari pendapatan 72 73 74 75 76 70 71

42

Rule 67 The Havana Rules Rule 34 The Havana Rules Rule 36 The Havana Rules Rule 37 The Havana Rules Rule 38 The Havana Rules Rule 40 The Havana Rules Rule 39 dan 42 The Havana Rules Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


harus disisihkan sebagai tabungan yang akan diberikan kembali kepada anak ketika ia dibebaskan. Anak dapat juga menggunakan pendapatannya itu untuk membeli barang-barang yang ia butuhkan, mengirimkannya kepada keluarganya di luar penjara atau memberikan ganti rugi kepada korban dari tindak pidana yang dulu ia lakukan. Layanan kesehatan harus diberikan selama anak berada dalam penjara. Anak harus diberikan layanan kesehatan yang memadai baik berupa pencegahan atau penyembuhan termasuk layanan kesehatan gigi, mata dan kesehatan mental dan obatan-obatan.77 Anak juga harus diperiksa kesehatannya ketika pendaftaran dan harus tetap mendapatkan perawatan jika terdeteksi penyakit kejiwaan, penyakit fisik, atau penyalah gunaan zat-zat narkotika dan harus dipastikan bahwa layanan kesehatan terus diberikan setelah ia keluar dari penjara.78 Anak juga berhak mendapatkan fasilitas, waktu berolah raga dan melakukan kegiatan-kegiatan waktu senggang seperti seni dan kerajinan, dan harus dapat berpartisipasi dalam program latihan fisik.79 Kebebasan untuk menjalankan ritual keagamaan juga dijamin dalam instrumen ini. Anak harus diperbolehkan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya, menghadiri peribadatan sesuai agamanya, dan diperbolehkan untuk memiliki buku-buku tentang agamanya. Anak juga berhak untuk mendapatkan kunjungan dari petugas spiritual. Anak berhak untuk menolak indoktrinasi, konseling dan pendidikan agama juga mengikuti peribadatan.80 Setiap anak berhak untuk tetap berhubungan dengan keluarganya melalui korespondensi dan kunjungan keluarga. Hal ini dikarenakan 79 80 77 78

Rule 49 The Havana Rules Rule 50 The Havana Rules Rule 47 The Havana Rules Rule 48 The Havana Rules Kajian Standar Internasional Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum

43


hubungan dengan keluarga merupakan aspek yang sangat pentik dari reintegrasi sosial.81 Penjara dilarang untuk membatasi bahkan menolak kontak anak dengan keluarganya.82 Secara komprehensif The Havana Rules membahas penanganan AKH yang dirampas kemerdekaannya dengan menekankan keterlibatan masyarakat dengan pertimbangan bahwa anak-anak dalam penjara dan rumah tahanan memerlukan manfaat dari programprogram pembinaan yang dapat membantu mereka berintegrasi ke dalam masyarakat, dan meningkatkan kesempatan mereka untuk mendapatkan pekerjaan setelah bebas nantinya. Masyarakat sipil dapat memainkan peran penting dengan bekerja bersama anak ketika mereka di dalam penjara sehingga mereka bisa menjaga hubungan dengan masyarakat ketika dibebaskan. Kontak ini menjadi berguna untuk mengurangi kemungkinan anak melakukan kembali tindak pidana.83 Program-program pra pembebasan juga didorong oleh instrumen ini.Penjara harus memastikan sejauh mungkin bahwa anak disediakan tempat tinggal, pekerjaan, pakaian, dan alat-alat yang cukup untuk menjaga dirinya sendiri setelah dibebaskan dalam rangka untuk memfasilitasi keberhasilan reintegrasi.84 Sedangkan pasca pembebasan, setiap anak harus mendapatkan manfaat dari pengaturan yang ditujukan untuk membantu anak kembali ke masyarkat, kehidupan keluarga, pendidikan atau pekerjaannya setelah pembebasan.85 Terakhir, setelah bebas dari masa hukuman di penjara, catatan kriminal anak harus secara otomatis dihapuskan.86 DDD 83 84 85 86 81 82

44

Pasal 37 KHA Rules 67 The Havana Rules Rule 79 The Havana Rules Rule 80 The Havana Rules Rule 79 The Havana Rules KomiteHak-hakAnak, KomentarUmum No. 10. Lihat juga Rules 19 dari The Beijing Rules Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


3

Kajian Konsep Pemasyarakatan bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

P

erampasan kemerdekaan bagi orang-orang yang melakukan tindak pidana dalam suatu konsep pemenjaraan sudah diberlakukan sejak milenia ketiga sebelum Masehi ketika lahirnya peradaban modern. Selama era Middle Kingdom di Mesir sekitar tahun 2000 SM, firaun memenjarakan penjahat-penjahat yang bukan berasal dari Mesir untuk bekerja di lumbung-lumbung padi dan daerah-daerah lainnya. Sejak 3000 SM hingga 400 SM, Kekaisaran Babilonia membuat penjara-penjara bagi para penjahat kecil dan orang-orang yang berhutang dan untuk orang-orang yang bukan warga Babilonia yang melanggar hukum. Warga Babilonia sendiri yang melakukan kejahatan lebih sering mendapatkan hukuman dibuang, mutilasi, atau eksekusi mati. Sementara, setidaknya pada abad ke-5 SM di Yunani Kuno telah ada penjara. Athena tetap mempertahankan sistem penjara walaupun hanya sedikit para penjahat yang dipenjara. Para pelaku kriminal lebih sering mendapatkan hukuman denda, diasingkan, dilempar batu, disalib atau dilemparkan ke jurang dari tebing yang tinggi.

Kajian Konsep Pemasyarakatan bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

45


Berdasarkan sejarah perkembangan pidana yang dikenakan pada badan orang, dapat disimpulkan bahwa pada permulaan abad ke-18 pidana penjara mulai tumbuh sebagai pidana baru. Pidana penjara tersebut bersifat membatasi kebebasan bergerak dan merampas kemerdekaan. Perampasan kemerdekaan harus dirasakan sebagai derita selama menjalani pidana penjara. Pada Era Pencerahan, orangorang yang melakukan kejahatan dipenjarakan dalam kondisi yang manusiawi. Masa ini juga merefleksikan rasa muak terhadap bentuk pemidanaan yang bersifat menderakan seperti memotong bibir, daun telinga dan anggota badan lainnya, hukuman gantung dan pancung, dan penodaan mayat yang sebelumnya menjadi bentuk pemidanaan yang lazim pada masa itu. Namun, pada akhir abad ke-19 terdapat pengakuan bahwa orang-orang muda atau anak-anak yang melanggar hukum harus ditempatkan secara terpisah dari orang dewasa.87 Sebenarnya, Plato sudah mengemukakan idenya mengenai sistem pemenjaraan yang menurutnya ideal. Ide ini dikemukakannya setelah ia menyaksikan mentornya, Socrates, meminum racun untuk memenuhi hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya karena mengajarkan filsafat yang membuat murid-muridnya beralih dari menyembah dewa-dewa Athenian. Plato (427-347 SM) menggambarkan, dalam tulisannya Laws, bahwa anak yang melanggar hukum akan menjalani hukuman yang singkat di dalam sebuah gedung milik publik di dekat pasar; sedangkan pelaku kejahatan yang serius tetapi masih bisa ditebus akan menjalani hukuman yang lebih lama dan dikirim ke pusat perbaikan diri terdekat; sedangkan mereka yang tidak bisa diperbaiki lagi pribadinya akan dikurung dalam sebuah penjara yang dijaga ketat yang jauh dari kota. Cetak biru dari ide Plato 87

Gale Thomas Kurian, World Encyclopedia of Police Forces and Correctional Systems, 2nd ed, Thomson Gale, 2006, Detroit, hlm. 76.

46

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


ini tidak pernah diadopsi oleh orang-orang Yunani Kuno, tetapi ia menggambarkan sebuah akurasi yang luar biasa dari sebuah sistem penjara yang berorientasi pemasyarakatan berabad-abad sesudahnya dengan tingkat keamanan yang berbeda-beda.88 Di Indonesia sendiri, perkembangan sistem pemenjaraan menempuh jalan yang cukup panjang, mengingat sejarah penjajahan Belanda dan Jepang mempengaruhi sistem peradilan pidana sekaligus sistem pemasyarakatan di Indonesia. Perkembangan sistem pemasyarakatan di Indonesia terbagi menjadi 2 kurun waktu dimana masing-masing diwarnai oleh beberapa aspek seperti aspek sosiokultural, politis dan ekonomi, yaitu:89 1. Kurun waktu penjajahan Belanda hingga sebelum proklamasi kemerdekaan RI (1872 – 1945). Kurun waktu ini terbagi menjadi 3 periode: a. Periode kerja paksa di Indonesia (1872-1905). Dalam periode ini terdapat 2 jenis hukum pidana khusus untuk orang Indonesia dan Eropa. Hukum pidana bagi orang Indonesia berupa pidana kerja, pidana denda dan pidana mati. Pada periode ini pidana kerja merupakan bentuk pemidanaan yang seringkali dijatuhkan pada “inlanders”, sebutan bagi orang Indonesia pada saat itu. Lama pidana kerja sangat bervariasi bisa seumur hidup sampai paling sedikit satu hari. Pidana kerja terbagi menjadi kerja paksa (dwang arbeid) dan dipekerjakan (ter arbeid stellen). Kerja paksa yang lamanya lebih dari lima tahun dilakukan 88 89

Ibid., hlm.74-75 www.ditjenpas.go.id. Seperti dikutip Hesti Septianita, Hak Narapidana Wanita Untuk Mengasuh Anak Sebagai Pemenuhan Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women Berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Thesis, Universitas Padjadjaran, 2015, Bandung, hlm. 121125. Kajian Konsep Pemasyarakatan bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

47


dengan dirantai (dwang arbeid aan de ketting), di bawah lima tahun tanpa dirantai (dwang erbeid buiten de ketting). Sedangkan pidana kurang dari satu tahun disebut dengan istilah “dipekerjakan” (ter arbeid stellen), dan yang di bawah tiga bulan disebut “krakal”.

48

Pidana kerja paksa baik dengan rantai maupun tidak, dilaksanakan diluar daerah tempat diputuskannya perkara, juga di luar daerah asal terpidana. Hukuman yang juga disebut dengan “pembuangan” (verbanning), dimaksudkan untuk memberatkan terpidana, dijauhkan dari sanak saudara serta kampung halaman.Bagi orang Indonesia yang cenderung memiliki sifat kekerabatan dan persaudaraan, tentu saja hal ini dirasa sangat memberatkan. Terpidana menjalani kerja paksa diluar daerah, dengan bekerja pada proyek-proyek besar, seperti; tambang batu bara di Sawah Lunto (Umbilin), proyek pembuatan jalan di Sumatera Tengah, Tapanuli, Aceh, Sulawesi, Bali/Kintamani, Ambon, Timor, dan lain-lain. Selain itu para terpidana juga bekerja sebagai pemikul perbekalan dan peluru saat Perang Aceh dan di tempat-tempat lain di luar Jawa. Tujuan utama dari hukuman pada periode tahun 1872-1905 ini adalah menciptakan rasa takut (afschrikking) dan mengasingkan terpidana dari masyarakat. Meskipun pada waktu itu berlaku “Reglement op de Orde en Tucht” (Staatsblad 1871 no. 78) yang berisi tata tertib terpidana, namun semuanya praktis tidak dijalankan.Para narapidana tidak mendapatkan perlakuan yang layak sebagaimana mestinya.Akibatnya, kondisi kesehatan para terpidana sangat menyedihkan bahkan hampir setiap hari terjadi usaha pelarian.

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


b. Periode menjelang berlakunya Wetboek van Strafrecht voor Nederland Indie (1918) dan periode penjara sentral wilayah (1905-1921). Periode ini ditandai dengan adanya usaha-usaha untuk memusatkan penempatan para terpidana kerja paksa di dalam pusat-pusat penampungan wilayah. Sejak tahun 1905 mulai dibuat penjara sentral wilayah (gewestelijke centralen) bagi terpidana kerja paksa. Tercatat sebagai Kepala Urusan Kepenjaraan yang pertama adalah Gebels seorang sarjana hukum yang berjasa dalam membuat gebrakan-gebrakan baru dalam hal kepenjaraan. Pada masa ini sudah mulai diberlakukan sistem kamar bersama. Menurut para ahli hukum penalogi, sistem ini punya andil dalam menyuburkan terjadinya penularan kejahatan sehingga muncul istilah “school of crime” (sekolah kejahatan). Akibat lain adalah munculnya hukum rimba, siapa yang paling kuat, dia yang berkuasa. Sepanjang hari, di dalam tembok setinggi empat setengah meter, para terpidana melakukan kerja paksa yang dikoordinasi layaknya seorang pekerja dalam sebuah perusahaan. Pekerjaan dilengkapi dengan seperangkat mesin, yang dikenal dengan istilah “perusahaan besar” (groote bedrijven/groot ambachtswerk). Periode ini ditandai dengan lahirnya cikal bakal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yakni dengan dikeluarkannya “Wetboek van strafrecht voor Nederlansch Indie” (Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk HindiaBelanda). Ketentuan ini ditetapkan dengan Koninklijk Besluit pada tanggal 15 Oktober 1915 no. 33, dan mulai Kajian Konsep Pemasyarakatan bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

49


berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918.Salah satu isi dari perundang-undangan ini adalah dihapuskannya istilah “pidana kerja” menjadi “pidana hilang kemerdekaan”. Dengan adanya “Wetboek van strafrecht voor NederlanschIndie” ini maka tiada lagi perbedaan perlakuan antara orang Indonesia dan Timur Asing. Selang tiga tahun sesudah 1 Januari 1918, terjadi perubahan-perubahan mencolok dalam sistem kepenjaraan. Salah satunya adalah dihapuskannya sistem “Gewestelijke centralen”, dan diganti dengan sistem “Strafgevangenissen” (penjara sebagai sarana pelaksanaan pidana). Perubahan ini terjadi di bawah pimpinan Kepala Urusan Kepenjaraan HindiaBelanda, Hijmans yang tercatat sebagai pembawa angin segar dalam sejarah perkembangan urusan kepenjaraan Hindia-Belanda.

50

Salah satu gebrakan yang dilakukan oleh Hijmans adalah catatannya yang panjang lebar tentang perbaikan urusan kepenjaraan tertanggal 10 September 1921 kepada Direktur Justisi. Pria enerjik ini mengutarakan pandangannya di bidang kepenjaraan, yang pada pokoknya berupaya untuk melakukan reformasi bagi terpidana. Perhatian terutama ditujukan kepada anak-anak terpidana dan klasifikasi terpidana dewasa. Menurutnya, sedikit kesempatan bagi terpidana untuk memperbaiki moral di dalam lingkungan pusat penampungan wilayah, sebaliknya “school of crime” akan memunculkan penjahat-panjahat baru, yang justru kian menjerumuskan terpidana menuju jurang kehancuran.

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


c. Periode setelah berlakunya Wetboek van Strafrecht voor Nederland Indie (1918), periode kepenjaraan Hindia Belanda (1921-1942).

Di bawah kepemimpinan Hijmans, Kepenjaraan HindiaBelanda untuk pertama kali mengirimkan wakilnya ke Kongres Internasional Penitentier ke-9 di London, pada Agustus 1925. Suasana penajara sontak berubah manakala terjadi pemberontakan besar-besaran Bangsa Indonesia terhadap pemerintah penjajahan Belanda pada bulan November 1926. Belanda menyebutnya sebagai “pemberontakan komunis”. Banyak putra Indonesia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara, sehingga urusan kepenjaraan dihadapkan pada kondisi “overcrowding” (kepenuhan penjara). Hal ini menjadi sandungan bagi Hijmans yang tengah mencoba mengembangkan mutu kepenjaraan. Suasana penjara menjadi tidak kondusif, sering terjadi huru-hara. Salah satunya di penjara Cipinang pada bulan Juli 1926, di mana para tahanan politik menyanyikan lagu kepahlawanan diikuti gerakan mogok makan. Beberapa penjara pun berubah fungsi menjadi tempat penampungan tahanan politik, misalnya penjara Pamekasan dan Ambarawa yang semula diperuntukkan bagi anak-anak, berubah fungsi untuk menampung tahanan politik. Demikian pula penjara Cipinang, Glodok, Boyolali, Solo, serta penjara kecil seperti di Banten, Madiun, dan lain-lain.Bahkan, khusus bagi tahanan politik didirikan penjara besi di Nusakambangan. Satu catatan lagi, satu hal yang sering terjadi adalah penyerangan terhadap pegawaipegawai penjara. Kajian Konsep Pemasyarakatan bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

51


52

Kejadian lain yang mewarnai sejarah kepenjaraan di tanah air adalah penyerbuan terhadap rumah penjara Glodok pada 12 November 1926, sehingga mendorong didirikannya menara penjagaan untuk mengantisipasi terjadinya penyerangan. Inilah sejarah didirikannya menara penjagaan.

Rentetan kejadian ini menjadi kendala besar bagi sistem kepenjaraan yang sesungguhnya tengah dirintis. Benang merah dari segala kejadian ini adalah menyiratkan betapa sulitnya posisi atau peran urusan kepenjaraan. Penjara dihadapkan pada dua kepentingan yang sifatnya antagonis antara harus berperikemanusiaan atau sebaliknya. Tentang kondisi ini, John Conrad seorang ahli penalogi akhir abad ke-20 menyebutnya sebagai “irrational equilibrium”, suatu kondisi yang “uneasy comprise”.

Menjelang masuknya pendudukan Jepang ke Indonesia, penjagaan di penjara-penjara, yang semula dipegang oleh militer diganti oleh tenaga pegawai kepenjaraan sipil. Pada periode ini tercatat beberapa peristiwa penting, antara lain: 1. Tahun 1921, penjara Madiun menyediakan tempat untuk anak-anak di bawah usia 19 tahun 2. Tahun 1925, didirikan penjara untuk anak-anak di bawah umur 20 tahun di Tanah Tinggi, dekat Tangerang. Selain itu didirikan penjara untuk terpidana seumur hidup di Muntok dan Sragen. 3. Tahun 1927, di Pamekasan dan Ambarawa didirikan penjara anak- anak.

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Pada masa ini penjara-penjara memiliki kedudukan khusus: D Penjara Sukamiskin untuk orang Eropa dan kalangan intelektual D Penjara Cipinang untuk terpidana kelas Satu D Penjara Glodok untuk pidana psychopalen D Penjara Sragen untuk pidana kelas satu (pidana seumur hidup) D Penjara anak-anak di Tangerang D Penjara anak-anak di Banyu Biru dan Ambarawa D Penjara khas wanita di Bulu Tangerang Penjara Bantjeuj menjadi saksi salah satu sejarah besar. Penjara yang terletak di tengah kota Bandung ini pada akhir tahun 1929 pernah dihuni oleh Presiden Pertama RI, Soekarno. 2

Kurun waktu perjuangan kemerdekaan dan karakteristik kepenjaraan nasional (1945-1963) terbagi dalam 3 periode yaitu: a. Periode kepenjaraan RI ke I (1945-1950). Meliputi 2 tahap yaitu tahap perebutan kekuasaan dari tangan tentara Jepang, perlawanan terhadap usaha penguasaan kembali oleh Belanda dan tahap mempertahankan eksistensi RI. b. Periode kepenjaraan RI ke II (1950-1960). Periode ini ditandai dengan adanya langkah-langkah untuk merencanakan Reglement Penjara yang baru sejak terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. c. Periode kepenjaraan RI ke III (1960-1963). Periode ini merupakan periode pengantar dari periode pemasyarakatan berikutnya. Kajian Konsep Pemasyarakatan bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

53


Sistem pemasyarakatan yang menjadi dasar pengoperasian lembaga pemasyarakatan di Indonesia digagas oleh Sahardjo. Dalam pidato penerimaan gelar honoris causa dalam ilmu hukum dari Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963, ia berpendapat bahwa lembaga pemasyarakatan bukan tempat yang semata-mata menghukum dan menderitakan orang, tetapi suatu tempat membina atau mendidik orang-orang yang telah berkelakuan menyimpang, dalam hal ini narapidana, agar setelah menjalani pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan dapat menjadi orang-orang yang baik dan menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat. Sistem pemasyarakatan mulai diberlakukan sebagai pelaksanaan pidana penjara pada tanggal 27 April 1964 sebagai arah tujuan dan cara untuk membimbing dan membina. Sahardjo mengemukakan:90 1) Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia; 2) Tiap orang adalah mahluk kemasyarakatan, tidak ada orang yang hidup di luar masyarakat; 3) Narapidana hanya dijatuhi kehilangan kemerdekaan bergerak, jadi diusahakan supaya mempunyai mata pencaharian. Tujuan pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana harus memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban.91 Pelaksanaan pidana penjara dilakukan dalam Sahardjo, terpetik dalam Petrus Irwan Panjaitan dan Pandopotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm.63. 91 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang, UNDIP, hlm.5. 90

54

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


sebuah sistem yang disebut dengan Sistem Pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibin,a dan masyarakat, untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.92

Kerangka Hukum Sistem Pemasyarakatan Anak Di Indonesia Masalah penanganan anak yang berkonflik dengan hukum sudah muncul sejak lama dalam perangkat hukum internasional. Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948, Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik telah membahas mengenai hak-hak dan keberadaan serta keselamatan individu-individu muda. Resolusi PBB No. 34/180, 18 Desember 1979, tentang Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang berlaku tahun 1981 telah membahas hak-hak anak perempuan jauh sebelum Konvensi Hak-hak Anak dan beberapa instrumen hukum internasional lainnya diberlakukan. Perlindungan ini juga tidak terbatas pada anak-anak yang berkonflik dengan hukum tetapi juga bagi mereka yang ditelantarkan, mengalami tindak kekerasan, korban penyalah 92

Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Kajian Konsep Pemasyarakatan bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

55


gunaaan narkotika, dan yang berada dalam situasi marjinal dan beresiko sosial (Riyadh Guidelines). Kerangka hukum perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia dan perlakuan terhadap mereka ketika berada dalam penjara mengacu pada beberapa peraturan nasional mulai dari konstitusi negara, undang-undang hingga peraturan pemerintah dan peraturan menteri hingga beberapa instrumen hukum internasional. Beberapa instrumen hukum nasional terkait dengan Anak yang berkonflik dengan hukum dan dirampas kemerdekaannya adalah: D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 D Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia D Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak D Keppres Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Convention on the Rights of the Child D Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan D Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak D Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi terhadap Convention on the Eliminination of All Forms of Discrimination Against Women D Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi terhadap Convention against Torture, Inhuman, and Degrading Treatment or Punishment D Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi terhadap Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights. D Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Covenant on Civil and Political Rights 56

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Sebelum tahun 2014, penanganan Anak yang berkonflik dengan hukum yang dirampas kemerdekaannya merujuk pada UndangUndang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Namun sejak Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak berlaku, keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berkonflik dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana diatur oleh peraturan perundang-undangan ini. Tetapi pemerintah hingga saat ini masih belum menerbitkan beberapa peraturan pelaksana yang diamanatkan oleh undang-undang ini. Salah satu hutang pemerintah yang belum ditunaikan adalah mengenai tata cara pelaksanaan pidana. Padahal undang-undang mengamanatkan bahwa peraturan pelaksana undang-undang ini harus sudah ditetapkan paling lambat 1 tahun sejak undang-undang diberlakukan.93 Konsekuensi dari belum ditetapkannya peraturan pelaksana yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan pidana ini adalah bahwa tata cara pelaksanaan pembinaan anak yang menjalani masa pidana di LPKA dan perlakuannya masih mengacu pada peraturan pelaksana yang lama yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan; Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan; Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan; Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi; Peraturan Menteri Hukum dan 93

Pasal 107 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Kajian Konsep Pemasyarakatan bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

57


Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-01.PK.02.02 tahun 2010 tentang Remisi Susulan, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01.PK.04.10 tahun 2007 tentang Wali Pemasyarakatan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 mengatur tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, yang dimaksud dengan Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketaqwaan terhadap Tuhan YME, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.94 Sedangkan Pembimbingan didefinisikan sebagai pemberian tuntutan untuk meningkatkan kualitas, ketaqwaan terhadap Tuhan YME, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani Klien Pemasyarakatan.95 Program pembinaan diperuntukkan bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan, sedangkan program pembimbingan diperuntukkan bagi klien pemasyarakatan (Pasal 2 (3)). Pembinaan dan pembimbingan yang dimaksud oleh PP tersebut

Pasal 1 ayat (1). Istilah Anak Didik Pemasyarakatan dalam Peratuan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyrakatan mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang mendefinisikannya dengan: l Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 tahun. l Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 tahun. l Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai umur 18 tahun. Dengan berlakunya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak istilah Anak Didik Pemasyarakatan tidak digunakan lagi dan diganti dengan istilah Anak yang Berkonflik dengan Hukum atau Anak (Pasal 1 (3)) 95 Pasal 1 ayat (2). Istilah Klien Pemasyarakatan dalam PP No. 31/1999 ini juga mengacu pada istilah yang digunakan dalam UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Istilah ini kemudian diubah dengan berlakunya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan istilah Klien Anak. 94

58

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


meliputi hal-hal yang berkaitan dengan:96 a. ketaqwaan kepada Tuhan YME; b. kesadaran berbangsa dan bernegara; c. intelektual; d. sikap dan perilaku; e. kesehatan jasmani dan rohani; f. kesadaran hukum; g. reintegrasi sehat dengan masyarakat; h. keterampilan kerja; dan i. latihan kerja dan produksi Pembinaan bagi Anak Didik Pemasyarakatan diatur khusus dalam Bab I bagian Kedua dari Peraturan ini. Kegiatan pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan, khusus untuk Anak Pidana dilaksanakan melalui 3 tahap pembinaan yaitu: 1. Tahap awal yang terdiri dari: a. masa pengamatan, pengenalan, dan penelitian lingkungan paling lama 1 tahun. b. perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; c. pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; d. penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal. 2. Tahap lanjutan yang meliputi: a. perencanaan program pembinaan lanjutan; b. pelaksanaan program pembinaan lanjutan; c. penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan; dan d. perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi 96

Pasal 3 Kajian Konsep Pemasyarakatan bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

59


3.

Tahap akhir yang meliputi: a. perencanaan program integrasi; b. pelaksanaan program integrasi; dan c. pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir.

Pembinaan tahap awal dan tahap lanjutan dilaksanakan di Lapas Anak,97 sedangkan pembinaan tahap akhir dilaksanakan di luar Lapas Anak oleh Bapas. Tetapi jika anak tidak memenuhi syaratsyarat tertentu pembinaan tahap akhir tetap dilaksanakan di Lapas Anak.98 Terhadap anak tersebut diberikan pembinaan khusus. Pembimbingan kepada Klien Pemasyarakatan diatur dalam Bab III PP Nomor 31 Tahun 1999. Klien Pemasyarakatan menurut Pasal 35 terdiri dari: a. Terpidana Bersyarat; b. Narapidana, Anak Pidana dan Anak Negara yang mendapat pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas; c. Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan pembinaannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial; d. Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial; e. Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya; f. Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana pengawasan; dan Istilah Lapas Anak, dengan diberlakukannya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak kemudian diganti dengan istilah Lembaga Pembinaan Khusus Anak (Pasal 1 angka 20) 98 Pasal 20 ayat (1), (2), (3) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyrakatan 97

60

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


g. Anak yang berdasarkan putusan pengadilan, wajib menjalani latihan kerja sebagai pengganti pidana denda. Pasal 37 PP ini mengatur dalam hal putusan hakim menjatuhkan pidana bersyarat, wajib latihan kerja sebagai pengganti pidana denda, atau pengembalian anak kepada orang tua atau wali, maka jaksa wajib menyerahkan terpidana atau anak yang bersangkutan kepada Bapas dimana penyerahan itu dilakukan dengan pembuatan berita acara yang tembusannya disampaikan kepada Hakim pengawas dan pengamat setempat. Terpidana bersyarat wajib mengikuti secara tertib progam bimbingan yang dilaksanakan oleh Bapas. Pembimbingan yang diatur dalam PP ini terbagi menjadi tiga tahapan yang meliputi:99 1. Pembimbingan tahap awal, yaitu: a. penerimaan dan pendaftaran klien; b. pembuatan penelitian kemasyarakatan untuk bahan pembimbingan; c. penyusunan program pembimbingan; d. pelaksanaan program pembimbingan; dan e. pengendalian pelaksanaan program pembimbingan tahap awal. 2. Pembimbingan tahap lanjutan, meliputi: a. penyusunan program pembimbingan tahap lanjutan; b. pelaksanaan program pembimbingan; dan c. pengendalian pelaksanaan program pembinaan tahap lanjutan.

99

Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyrakatan Kajian Konsep Pemasyarakatan bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

61


3.

Pembimbingan tahap akhir meliputi: a. penyusunan program pembimbingan tahap akhir; b. pelaksanaan program pembimbingan tahap akhir; c. pengendalian pelaksanaan program pembimbingan tahap akhir d. penyiapan klien untuk menghadapi tahap akhir pembimbingan dengan mempertimbangkan pemberian pelayanan bimbingan tambahan; dan e. pengakhiran tahap pembimbingan Klien dengan memberikan surat keterangan akhir pembimbingan oleh Kepala Bapas.

Klien terpidana bersyarat, pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas yang dicabut statusnya sebagai Klien wajib menjalani pidana yang ditangguhkan dan atau sisa pidana, apabila:100 a. mengulangi melakukan tindak pidana b. menimbulkan keresahan dalam masyarakat c. tidak menaati ketentuan perjanjian atau syarat-syarat, baik syarat khusus maupun syarat umum; bagi terpidana bersyarat; d. tidak mengikuti atau mematuhi pembimbingan yang ditetapkan oleh Bapas; atau e. pindah alamat atau tempat tinggal tanpa melapor kepada Bapas yang membimbing. Masalah pemindahan narapidana dan anak didik pemasyarakatan juga diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dimana narapidana dan anak didik pemasyarakatan dapat dipindahkan dari satu lapas ke lapas lain oleh kepala Lapas apabilah telah memenuhi syarat-syarat pemindahan. Jika narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan 100

62

Pasal 41 Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


harus dipindahkan ke lapas lain untuk kepentingan proses peradilan, kepala Lapas wajib memperoleh izin dair pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas perkara yang bersangkutan.101 Dan jika pemindahan itu untuk kepentingan perawatan kesehatannya, diperlukan surat rujukan dari dokter Lapas dan atau kepada rumah sakit umum setempat.102 Pemindahan karena alasan keamanan dan ketertiban harus dilengkapi dengan berita acara pemeriksaan.103 Menurut Pasal 55 PP No. 31/1999 ini, pembinaan anak didik pemasyarakatan berakhir apabila: a. masa pidananya telah habis; b. memperoleh pembebasan bersyarat; c. memperoleh cuti menjelang bebas; atau meninggal dunia. Setelah berakhir masa pembinaan, anak didik pemasyarakatan diberika surat pembebasan dan jika pembinaan berakhir karena memperoleh cuti menjelang bebas, maka surat pembebasan diberikan setelah yang bersangkutan selesai menjalani cuti.104 Anak didik pemasyarakatan yang telah selesai menjalani masa pidananya diberi biaya pemulangan ke tempat asalnya.105 Jika ia memperoleh pembebasan bersyarat, kepala Lapas menyerahkan pembimbingannya kepada Bapas dan pengawasannya kepada kejaksaan setempat, sedangkan yang memperoleh cuti menjelas bebas, pembimbingan dan pengawasannya dilakukan oleh Bapas.106 Selain Peraturan Pemerintah No. 31/1999, terdapat Peraturan Pemerintah No. 32/1999 yang mengatur tentang Syarat dan Tata Cara 103 104 105 106 101 102

Pasal 48 Pasal 49 Pasal 50 Pasal 55 Pasal 56 Pasal 57 Kajian Konsep Pemasyarakatan bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

63


Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang kemudian beberapa ketentuan dalam Bab II Bagian Kesembilan mengenai Remisi, Bagian Kesepuluh mengenai Pembebasan Bersyarat dan Bagian Kedua Belas mengenai Pembebasan bersyarat dirubah oleh Peraturan Pemerintah No. 28/2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Hak-hak tersebut adalah sebagai berikut: a. Setiap narapidana berhak untuk melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya; b. Setiap narapidana wajib mengikuti program pendidikan dan bimbingan agama sesuai dengan agama dan kepercayaannya; c. Setiap narapidana berhak mendapat perawatan rohani berupa bimbingan rohani dan pendidikan budi pekerti; d. Setiap narapidana berhak mendapat perawatan jasmani, pemberian kesempatan melakukan olah raga dan rekreasi, pemberian perlengkapan pakaian, dan pemberian perlengkapan tidur dan mandi; e. Setiap narapidana berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. f. Setiap narapidana berhak mendapatkan makanan dan minuman sesuai dengan jumlah kalori yang memenuhi syarat kesehatan. Narapidana yang sakit berhak untuk mendapatkan makanan tambahan sesuai dengan petunjuk dokter. Makanan tambahan juga diberikan kepada narapidana yang melakukan pekerjaan tertentu, antara lain bekerja di bengkel kerja, pertanian, perikanan, dapur, peternakan, perkebunan; g. Setiap narapidana yang berpuasa diberikan makanan tambahan; 64

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


h. Setiap narapidana berhak menyampaikan keluhan kepada Kalapas atas perlakuan petugas atau sesama narapidana terhadap dirinya bila perlakuan tersebut benar-benar dirasakan dapat mengganggu hak asasi atau hak-hak narapidana yang bersangkutan atau orang lain; i. Setiap narapidana yang bekerja berhak mendapatkan upah atau premi; j. Setiap narapidana berhak menerima kunjungan dari keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; k. Setiap narapidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik berhak mendapatkan remisi; l. Setiap narapidana dapat diberikan Cuti Mengunjungi Keluarga dan Cuti Menjelang Bebas; m. Setiap narapidana berhak mendapatkan pembebasan bersyarat; n. Setiap narapidana juga mempunyai hak-hak lainnya seperti hak politik, hak memilih, dan hak keperdataan lainnya; o. Hak keperdataan lainnya yang dimiliki oleh narapidana adalah melakukan surat-menyurat dengan keluarga dan sahabatsahabatnya juga hak untuk mendapatkan izin keluar dari Lapas dalam hal-hal luar biasa. Terkait dengan pemenuhan hak-hak di atas, pihak lapas berkewajiban: a. menyediakan petugas untuk memberikan pendidikan dan bimbingan keagamaan; b. melaksanakan kegiatan pendidikan dan pengajaran bagi narapidana; c. menyediakan poliklinik beserta fasilitasnya dan disediakan sekurang-kurangnya seorang dokter dan seorang tenaga kesehatan lainnya. Pemeriksaan kesehatan dilakukan paling sedikit 1 kali dalam sebulan dan dicatat dalam kartu kesehatan. Kajian Konsep Pemasyarakatan bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

65


Bila ada keluhan dari penghuni, maka dokter atau tenaga medis wajib melakukan pemeriksaan; d. Menjamin mutu dan jumlah bahan makanan untuk kebutuhan narapidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; e. Menyediakan bahan bacaan, media massa yang berupa media ceak dan media elektronik. f. Menyediakan sekurang-kurangnya 1 (satu) buah pesawat televisi, 1 (satu) buah radio penerima, dan media elektronik lain; Dalam kerangka hukum dan kebijakan nasional mengenai perlakuan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dan sedang menjalani masa pidana tetap menggunakan prinsip perlindungan hukum terhadap Anak sesuai dengan Konvensi Hak Anak. Pertimbangannya adalah bahwa anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Anak memiliki peran strategis dimana negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Kepentingan terbaik bagi anak, oleh karenanya, harus dianggap sebagai kepentingan terbagi bagi kelangsungan hidup umat manusia. Beberapa hal yang diatur terkait perlakuan terhadap anak yang menjalani masa pidananya adalah bahwa anak harus ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) yang menggantikan istilah lembaga pemasyarakatan (Lapas) anak. Ini dilakukan dengan pertimbangan apabila keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masyarakat. Pidana penjara yang dijatuhkan kepada anak paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai anak berumur 18 tahun. Jika anak telah menjalani ½ dari lamanya 66

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik anak berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Undang-undang mengamanatkan bahwa penegak hukum, dalam hal ini penuntut umum dan hakim harus selalu memegang prinsip bahwa pidana penjara terhadap anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir. Anak tidak bisa dikenakan hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup. Jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 tahun. Substansi lain yang diatur dalam undang-undang ini adalah pelayanan, perawatan, pendidikan, pembinaan dan pembimbingan. Anak yang ditahan ditempatkan di LPAS Lembaga Penempatan Anak Sementara), ketika sedang berada ditahanan menunggu proses persidangan, anak berhak memperoleh pelayanan, perawatan, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan dan pendampingan, serta beberapa hak lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan lainnya. Konsekuensi dari hak ini adalah bahwa LPAS wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Sedangkan anak yang dijatuhi pidana penjara harus ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan berhak mendapatkan pembinaan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan, serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya, LPKA wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, pembinaan, dan pemenuhan hak lainnya.

Kajian Konsep Pemasyarakatan bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

67


Pembinaan yang dimaksudkan dalam undang-undang ini adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional serta kesehatan jasmani dan rohani anak baik di dalam maupun di luar proses peradilan pidana. Program pembinaan dan pendidikan baik di LPAS maupun di LPKA ditentukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan dan diselenggarakan oleh LPKA dan LPAS. Sedangkan fungsi pengawasan wajib dilakukan oleh Bapas terhadap pelaksanaan program tersebut. Jika anak mencapai usia 18 tahun dan masih menjalani masa pidananya di LPKA, anak harus dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Sedangkan jika anak telah mencapai usia 21 tahun dan belum selesai menjalani pidananya, anak harus dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan dewasa. Dalam hal ini Lembaga Pemasyarakatan harus menyediakan blok tertentu bagi mereka. Pemindahan ke lembaga pemasyarakatan pemuda dan dewasa harus tetap memperhatikan kesinambungan pembinaan anak. Jika lembaga pemasyarakatan pemuda tidak ada, maka Kepala LPKA dapat memindahkan anak ke lembaga pemasyarakatan dewasa berdasarkan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan melalui penelitian. Peran serta masyarakat juga menjadi hal yang diperbincangkan dalam undang-undang ini , dimana masyarakat dapat berperan serta dalam perlindungan anak mulai dari pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial anak. Peran serta masyarakat itu dapat dilakukan dengan cara menyampaikan laporan terjadinya pelanggaran hak anak kepada pihak yang berwenang; mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan anak; melakukan penelitian dan pendidikan mengenai anak; berpartisipasi dalam penyelesaian perkara anak melalui diversi dan pendekatan keadilan 68

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


restoratif; juga berkontribusi dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial anak, tidak saja anak yang berkonflik dengan hukum, tetapi juga anak korban dan/atau anak saksi melalui organisasi kemasyarakatan. Selain itu masyarakat dapat melakukan pemantauan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam penangananan perkara anak atau melakukan sosialisasi mengenai hak anak serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak. Selama menjalani proses peradilan, anak berhak menikmati kehidupan pribadi, antara lain anak diperbolehkan membawa barang atau perlengkapan pribadinya, seperti mainan, dan jika anak ditahan atau ditempatkan di LPKA, anak berhak memiliki atau membawa selimut atau bantal, pakaian sendiri dan diberikan tempat tidur yang terpisah. Selama berada dalam proses peradilan pidana, anak berhak D Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya seperti D Dipisahkan dari orang dewasa D Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif D Melakukan kegiatan rekreasional seperti D Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya D Tidak dijatuhi pidana mati atau pidan seumur hidup D Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecual sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat D Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum Kajian Konsep Pemasyarakatan bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

69


D D

D D D D D D

Tidak dipublikasikan identitasnya Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak Memperoleh advokasi sosial Memperoleh kehidupan pribadi Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat Memperoleh pendidikan Memperoleh pelayanan kesehatan; dan Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak : D Mendapat pengurangan masa pidana D Memperoleh asimilasi D Memperoleh cuti mengunjungi keluarga D Memperoleh pembebasan bersyarat D Memperoleh cuti menjelang bebas D Memperoleh cuti bersyarat, dan D Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Keadilan Restoratif Di Penjara Pemenjaraan, menurut Wamsley (2009), adalah metode yang popular dalam penegakan hukum dan karenanya semakin banyak orang yang dikirim ke penjara dari pada sebelumnya. Namun, Dhami, Ayton, dan Loewenstein (2007) berpendapat bahwa pengalaman yang didapat dari pemenjaraan itu dikarakteristikan dengan ‘rasa sakit’ dan ‘pencabutan kemerdekaan’. Lebih lagi 70

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


menurut Gendreau, Goggin dan Cullen (1999) hanya sedikit bukti yang menunjukkan penurunan langsung jumlah kejahatan dengan digunakannya metode pemenjaraan yang kemudian menggaris bawahi efek jera yang terbatas. Bahkan Losel (1995) memperkuat pernyataan di atas dengan menunjukkan bahwa hanya sedikit program yang berdampak positif bagi pelaku, dengan demikian membatasi dampak rehabilitatif dari pemenjaraan.107 Restorative Justice atau Keadilan Restoratif atau Keadilan Pemulihan merupakan pendekatan terhadap peradilan pidana yang menekankan pemulihan korban dan komunitas ketimbang menghukum pelaku tindak pidana. The Restorative Justice Consortium108 memberikan definisi keadilan restoratif sebagai:109 “Restorative justice works to resolve conflict and repair harm. It encourages those who have caused harm to acknowledge the impact of what they have done and gives them an opportunity to make reparation. It offers those who have suffered harm the opportunity to have their harm or loss acknowledged and amends made.” Menurut Zehr (1995), sistem peradilan pidana anak dipandang naik turun antara model keadilan dan kesejahteraan, antara retribusi dan rehabilitasi.110 Untuk sebagian mereka yang liberal, restorative justice mempunyai daya tarik karena menawarkan konsep sistem peradilan yang tidak selalu menghukum. Sedangkan bagi orang Dhami, Mandeep K., Mantle, Greg and Fox, Darrell, Restorative justice in prisons, Contemporary Justice Review, 2009, 12: 4, hlm. 433 — 448. 108 The Restorative Justice Consortium merupakan konsorsium yang terdiri dari organisasi nasional dan individu-individu yang memperhatikan dan mendorong keadilan restorative di Inggris 109 Marian Liebmann, Restorative Justice: How It Works, Athenaeum Press, Philadelphia, 2007, hlm. 25. 110 John Braithwaite, Restorative Justice and Responsive Regulation, Oxford University Press, New York, 2002, hlm. 10. 107

Kajian Konsep Pemasyarakatan bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

71


orang konservatif, restorative justice dianggap memberikan tekanan kuat terhadap pemberdayaan korban, keluarga, tanggung jawab keluarga dan penghematan biaya.111 Walaupun konsep Restorative Justice seringkali diajukan sebagai sebuah alternatif bagi sistem peradilan pidana tradisional tetapi semakin dipandang ampuh. Dalam penelitiannya, Immarigeon (1994), Lee (1996), Robert dan Hough (2005) mengemukakan bahwa program Restorative Justice ada di beberapa tahap berbeda dalam proses peradilan pidana seperti pra-penyidikan, pasca penyidikan dan pra-penuntutan, pasca penuntutan dan pra-putusan atau pasca putusan, dll.112 Prinsip-prinsip yang dianut dalam pendekatan keadilan restorative adalah:113 1. Memprioritaskan dukungan dan pemulihan korban. Walaupun dukungan dan pemulihan tampaknya jelas menjadi tujuan sistem peradilan pidana, namun dengan menjadikannya prioritas akan membuat sistem menjadi lebih kuat. Hal ini dikarenakan bahwa hampir kebanyakan dari sistem peradilan pidana berfokus pada pelaku—mengidentifikasi, menangkap, memproses secara pidana, mengadili, menghukum dan memenjarakan mereka.Semua penegak hukum keberadaannya hanya untuk pelaku.Walaupun kebutuhan korban sudah mulai diakui, tetapi masih sangat tidak seimbang dengan sumber daya yang dialokasikan. 2. Pelaku bertanggung jawab atas apa yang telah mereka lakukan. Pelaku biasanya ‘menerima hukuman’ tetapi maknanya berbeda dengan ‘bertanggung jawab’ terhadap apa yang telah mereka Ibid. Dhami, Mandeep K., Mantle, Greg and Fox, Darrell, Loc.cit. 113 Marian Liebmann, Op.cit, hlm. 28 111 112

72

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


lakukan. Menyadari bahwa pelaku bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan merupakan titik awal dari keadilan restoratif. 3. Dialog untuk mencapai pemahaman. Dialog antara pelaku dan korban menjadi penting karena merupakan salah satu proses utama dalam keadilan restoratif. Dialog ini tidak mungkin dilakukan dalam proses formal di pengadilan. 4. Adanya upaya untuk memperbaiki kerugian yang terjadi. Bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan adalah mencoba memperbaiki sebisa mungkin. Terkadang permintaan maaf sudahlah cukup, tetapi seringkali memerlukan sesuatu lebih. 5. Pelaku berusaha menghindari melakukan tindakan pidana lagi di kemudian hari. Ketika pelaku telah menyadari kesalahan yang telah ia lakukan, mereka biasanya tidak ingin mengulang perilaku mereka. Terkadang ini cukup untuk menghentikan mereka melakukan tindak pidana. Poin penting dari pendekatan restoratif adalah mempertemukan korban dan pelaku untuk memberikan motivasi untuk tidak mengulang melakukan tindak pidana. 6. Masyarakat membantu proses reintegrasi korban dan pelaku Seringkali sangat jelas bahwa pelaku perlu bereintegrasi ke dalam masyarakat, utamanya setelah menjalani pidana penjara—mereka memerlukan akomodasi, pekerjaan, dan hubungan untuk menjadi anggota positive masyarakat.Tetapi korban juga perlu bereintegrasi ke dalam masyarakat karena mereka seringkali merasa terkucilkan dan terasing akibat kejahatan yang dialaminya. Kajian Konsep Pemasyarakatan bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

73


Beberapa proses keadilan restoratif adalah:114 1. Mediasi yaitu sebuah proses dimana pihak ketiga yang tidak berpihak membantu para pihak yang bersengketa/berseteru untuk mencapai kesepakatan. Para pihaklah yang menentukan hal-hal yang akan dituangkan dalam perjanjian, bukan mediator. 2. Mediasi Pelaku-Korban Proses yang melibatkan pihak ketiga yang netral untuk membantu korban dan pelaku berkomunikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Proses mediasi ini bisa memunculkan pemahaman dan pengertian bagi kedua belah pihak dan terkadang memunculkan ganti rugi yang nyata. 3. Ganti kerugian Merupakan tindakan yang diambil oleh pelaku untuk memperbaiki kerugian yang telah dilakukan, baik secara langsung kepada korban ataupun secara tidak langsung kepada masyarakat. 4. Pertemuan korban-pelaku Proses ini mirip dengan proses mediasi antara pelaku dan korban tetapi disini keluarga korban dan pelaku dilibatkan dalam proses, serta beberapa anggota masyarakat yang terkait. 5. Pertemuan Kelompok Keluarga Prosesnya hampir sama dengan proses pertemuan korban-pelaku tetapi keluarga pelaku diberikan waktu untuk memikirkan rencana yang wajar mengenai penggantian kerugian. 6. Kelompok korban-pelaku Merupakan kelompok dimana korban kejahatan dan pelakunya bertemu, biasanya untuk beberapa kali pertemuan dimana korban mengalami kejahatan yang sama. 114

74

Ibid. hlm. 29-30 Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


7.

Program kesadaraan akan korban Kerja ini dilakukan bersama-sama dengan pelaku untuk membantu mereka menjadi lebih menyadari dan memahami dampak dari kejahatan yang telah dilakukan bagi korban. Ini dapat dilakukan secara tersendiri atau sebagai bagian dari persiapan bertemu dengan korban.

Walaupun orang mungkin berpikir bahwa etos penjara sangat tidak sesuai dengan pemikiran-pemikiran yang dianut oleh keadilan restoratif, tetapi konsep ini dapat diterapkan pada konsep pemasyarakatan. Namun, tentu saja, hal ini tidak bisa dijadikan pemikiran bahwa agar seseorang dapat mengakses kerja-kerja restoratif, ia harus dipenjara terlebih dahulu.115 Banyak pemerintahan di berbagai belahan dunia yang mengintegrasikan konsep Restorative Justice ke dalam sistem peradilan pidana mereka.116 Namun, Restorative Justice belum mempunyai dampak yang berskala luas pada kebijakan dan praktek pemasyarakatan, bahkan konsep ini kurang dikembangkan dan kurang digunakan dalam konteks pemasyarakatan.Padahal narapidana di penjara yang meningkatkan manfaat penjara dalam hal upaya mengurangi kejahatan melalui strategi alternatif ini.117 Baik Restorative Justice maupun sistem pemasyarakatan bertujuan untuk memerangi perilaku kriminal pelaku dan mengurangi berulangnya tindak pidana dengan mengatasi akar penyebab perilaku tersebut.Reintegrasi sosial dapat berhasil setelah masa pidana selesai dan Restorative Justice memungkinkan rekonsiliasi hubungan yang

Ibid. hlm. 201 Dhami, Loc.cit. 117 Ibid. 115 116

Kajian Konsep Pemasyarakatan bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

75


rusak. Konsep pemasyarakatan dan restorative justice berpijak pada dasar yang sama yaitu hak-hak pelaku dan korban.118 Konsep restorative justice mempunyai manfaat yang potensial bagi narapidana, korban, masyarakat, dan penjara maupun petugas pemasyarakatan.119 Misalnya, restorative justice memungkinkan pelaku memahami dampak dari kejahatan mereka. 120 Karena melalui program ini, kesempatan untuk melakukan perubahan baik melalui ganti kerugian yang bersifat simbolik kepada korban seperti permintaan maaf.121 Beberapa konsep restoratif yang digunakan di penjara adalah program kesadaran akan korban dimana pelaku diberikan pemahaman untuk menimbulkan empati tentang dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana yang dilakukannya terhadap korban. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dapat berupa menonton video, bermain peran sebagai korban, membuat tulisan tentang tindak pidana yang dilakukan dari perspektif korban, hingga menulis surat kepada korban (yang tentu saja tidak dikirimkan). Dikarenakan banyak pelaku tindak pidana juga merupakan korban dari suatu tindak pidana lain, program ini bisa menjadi refleksi atas pengalaman mereka sebagai korban sehingga dapat menimbulkan kesadaran dan empati yang lebih terhadap korban sekaligus membantu mereka mengatasi trauma dari pengalaman mereka sebelumnya.122 Di Indonesia sendiri metode yang dipergunakan dalam proses pemasyarakatan telah mengadopsi beberapa pendekatan restoratif dimana dalam proses yang digunakan meliputi empat tahap, yang merupakan suatu kesatuan yang terpadu, namun sayangnya Ibid. Ibid. 120 Ibid. 121 Ibid. 122 Marian Liebmann, Op.cit, hlm. 206 118 119

76

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


program-program yang menekankan proses restoratif, reintegrasi dan rehabilitasi pelaku yang melibatkan korban dan masyarakat belum menjadi fokus utama dalam pembinaan Anak yang berkonflik dengan hukum. Empat tahap proses pemasyarakatan yang berlaku adalah: 1. Tahap Orientasi/Pengenalan Setiap narapidana yang masuk di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk segala perihal dirinya, termasuk sebab-sebab ia melakukan kejahatan, dimana ia tinggal, bagaimana keadaan ekonominya, latar belakang pendidikan dan sebagainya. 2. Tahap Asimilasi dalam Arti Sempit Jika pembinaan diri narapidana dan antara hubungannya dengan masyarakat telah berjalan kurang dari 1/3 dari masa pidana sebenarnya dan menurut Dewan Pembinaan Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan dalam proses lain antara lain : bahwa narapidana telah cukup menunjukan perbaikan-perbaikan dalam tingkah laku, kecapakan, dan lain-lain. Maka tempat atau wadah utama dari proses pembinaannya ialah gedung lembaga pemasyarakatan terbuka dengan maksud memberikan kebebasan bergerak lebih banyak lagi atau para narapidana yang sudah pada tahap ini dapat dipindahkan dari lembaga pemasyarakatan terbuka. Pada tahap ini program keamanannya adalah medium. Di tempat baru ini narapidana diberi tanggung jawab terhadap masyarakat. Bersamaan dengan ini pula dipupuk rasa harga diri, tata krama, sehingga dalam masyarakat luas timbul kepercayaannya dan berubah sikapnya terhadap narapidana. Kontak dengan unsur-unsur masyarakat frekuensinya lebih diperbanyak lagi misalnya kerja bakti dengan masyarakat luas. Kajian Konsep Pemasyarakatan bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

77


3.

4.

78

Pada saat ini dilakukan kegiatan bersama-sama dengan unsur masyarakat. Masa tahanan yang harus dijalani pada tahap ini adalah sampai berkisar ½ dari masa pidana yang sebenarnya. Tahap Asimilasi Dalam Arti Luas Jika narapidana sudah menjalani kurang dari ½ masa pidana yang sebenarnya menurut Dewan Pembinaan Pemasyarakatan dan dinyatakan bahwa proses pembinaannya telah mencapai kemajuan yang lebih baik, mengenai diri narapidana maupun unsur-unsur masyarakat, maka wadah proses pembinaan diperluas, dimulai dengan usaha asimilasi para narapidana dengan kehidupan masyarakat luar yaitu seperti kegiatan mengikut sertakan pada sekolah umum, bekerja pada badan swasta/instansi, cuti pulang beribadah dan berolah raga dengan masyarakat dan kegiatan-kegiatan lainnya. Saat berlangsungnya kegiatan, segala sesuatu masih dalam pengawasan dan bimbingan petugas lembaga pemasyarakatan. Pada tingkat asimilasi ini tingkat keamanannya sudah minimum sedangkan masa tahanan yang harus dijalani adalah sampai 2/3-nya. Tahap Integrasi dengan Lingkungan Masyarakat Tahap ini adalah tahap terakhir pada proses pembinaan dikenal dengan istilah integrasi. Bila proses pembinaan dari tahap Observasi, Asimilasi Dalam Arti Sempit, Asimilasi Dalam Arti Luas dan Integrasi dapat berjalan dengan lancar dan baik serta masa pidana yang sebenarnya telah dijalankan 2/3-nya atau sedikitnya 9 bulan, maka kepada narapidana dapat diberikan pelepasan bersyarat atau cuti bersyarat. Dalam tahap ini proses pembinaannya adalah berupa masyarakat luas sedangkan pengawasannya semakin berkurang sehingga narapidana akhirnya dapat hidup dengan masyarakat. Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Pada dasarnya empat tahap proses pemasyarakatan di atas memuat semangat restorative justice, namun program pembinaan yang mengimplementasikan nilai-nilai yang restoratif belum banyak dikembangkan. Padahal menurut Fasey et. al (2005) restorative justice memungkinkan narapidana untuk mengidentifikasi penyebab mereka melakukan tindak pidana. Juga meningkatkan kepercayaan diri dan keterampilan pro-sosial narapidana yang penting untuk berinteraksi dengan narapidana lain di penjara dan untuk membangun hubungan yang sehat ketika dibebaskan. Restorative justice juga memperbaiki hubungan antara narapidana dan keluarganya dan pada akhirnya memperbaiki sikap narapidana dan partisipasi di masyarakat.123 Restorative justice juga, mengutip Coyle (2002), membantu penjara untuk mengembangkan hubungan dengan masyarakat luar. Melalui restorative justice, masyarakat bisa menjadi sadar dan kritis mengenai kerja di penjara. Masyarakat dapat mengambil manfaat dengan adanya hubungan yang lebih bermakna dengan penjara setempat. Keterlibatan masyarakat dengan narapidana bisa menjadi bagian dari rejim dan perlakukan terhadap narapidana. Mendorong nilai-nilai pro-sosial dan meningkatkan peluang keberhasilan ditempatkannya kembali narapidana bisa menjadi keuntungan sosial bagi masyarakat. Masyarakat bisa mendapatkan manfaat dari kerja pengabdian masyarakat. Keterlibatan masyarakat di penjara dapat mengarah pada perubahan persepsi terhadap pelaku, mengurangi ketakutan akan kejahatan dan mempersiapkan masyarakat untuk reintegrasi mantan pelaku tindak pidana.124

123

Ibid.

124

Ibid. Kajian Konsep Pemasyarakatan bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

79


Melalui dampak restorative justice pada rencana pemidanaan, penjara dapat membuat narapidana memanfaatkan waktunya secara positif dan efisien. Restorative Justice dapat menjadi penjara lebih manusiawi dan adil, juga tidak terlalu keras. Selain itu, dapat membuat penjara lebih demokratis dengan memberdayakan narapidana untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar atas pengalaman mereka di penjara. Restorative justice juga bisa berguna untuk mengatasi insiden-insiden di penjara seperti bullying dan viktimisasi narapidana, begitu pula perselisihan di antara petugas. Restorative justice digunakan untuk menangani keluhan terhadap petugas dan penghakiman narapidana dengan cara terbuka, inklusif, adil, memuaskan dan cepat dan juga membangun kepercayaan dan kepercayaan diri antara para pihak.125 Berikut adalah prinsip-prinsip yang membandingkan fokus perhatian pada sistem peradilan pidana yang sekarang berlaku dengan sistem restoratif.126 Paradigma Lama: Retributif

Paradigma Baru: Restoratif

Fokus pada kesalahan dan rasa bersalah

Fokus pada pemecahan masalah, tanggung jawab dan kewajiban, fokus pada masa depan

Stigma kejahatan bersifat permanen

Stigma kejahatan bisa dihilangkan

Tidak ada dorongan untuk menyesal Memungkinkan adanya penyesalan dan memaafkan dan memaafkan Ketergantungan pada orang-orang profesional yang mewakili

125 126

Keterlibatan langsung para pihak

Ibid. The Canadian Resource Centre for Victims of Crime, Restorative Justice in Canada: what victims should know, 2011

80

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Paradigma Lama: Retributif

Paradigma Baru: Restoratif

Tindakan diarahkan oleh negara kepada pelaku: Korban terabaikan - Pelaku pasif.

Peran korban dan pelaku diakui baik dalam permasalahan dan solusi: hak/kebutuhan korban diakui; pelaku didorong untuk bertanggung jawab

Akuntabilitas pelaku didefinisikan dengan menerima hukuman

Akuntabilitas pelaku diartikan dengan memahami dampak dari tindakan yang dilakukan dan membantu menentukan bagaimana memperbaikinya

Tindak pidana didefinisikan murni sebagai istilah hukum – kurangnya dimensi moral, sosial, ekonomi, politik

Tindak pidana dipahami dalam konteks yang utuh – moral, sosial, ekonomi, politik

“Hutang” yang harus dibayarkan kepada negara dan masyarakat Respon difokuskan pada perilaku masa lalu pelaku

Hutang/tanggung jawab terhadap korban diakui Respon difokuskan pada konsekuensi yang merugikan dari perilaku pelaku

Membebankan untuk menghukum dan menjerakan/mencegah Masyarakat diwakili secara abstrak oleh negara

Kejahatan dilihat sebagai konflik interpersonal Masyarakat sebagai fasilitator

DDD

Kajian Konsep Pemasyarakatan bagi Anak Berkonflik dengan Hukum

81


82

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


4

Kajian Praktik-Praktik Terbaik Sistem Pemasyarakatan di Beberapa Negara

P

emenjaraan dipandang sebagai suatu kebijakan atau reaksi terhadap pelaku kejahatan yang diharapkan dapat memunculkan pengaruh deterrence (efek jera) dan special deterrence (mengurangi potensi melakukan tindak pidana (potential offenders)). Dalam rangka menciptakan penjara yang mampu meminimalkan kerugian bagi penghuninya, Michael Tonry (2004) mengatakan bahwa pengelolaan penjara merupakan tanggung jawab lembaga koreksi yang dilakukan secara terpadu. Sistem koreksi harus mampu mengembangkan kapasitas program yang berkelanjutan dengan pengawasan yang terpadu. Supervisi dan dukungan yang terus-menerus sangat diperlukan. Penjara harus menjadi tempat yang aman untuk narapidana, staf, dan pengunjung. Narapidana harus mendapatkan hak-haknya seperti layaknya warga negara lain, kecuali kebebasan mereka yang dibatasi oleh dinding penjara. Perbedaannya adalah mereka tetap tinggal di satu tempat tertentu dan tidak boleh melakukan kegiatan yang mengancam keamanan dan keselamatan orang lain. Idealnya, kehidupan di dalam penjara harus mirip dengan kehidupan di Kajian Praktik-Praktik Terbaik Sistem Pemasyarakatan di Beberapa Negara

83


luar penjara pada umumnya. Penjara harus menolong narapidana untuk belajar bersikap di masyarakat. Penjara harus memberikan kesempatan perubahan diri konstruktif untuk narapidana yang menginginkannya. Progam pemulihan, keterampilan, dan pendidikan terbukti mampu menurunkan angka pelanggaran atau kejahatan yang berulang. Dinding penjara harus ditembus.127 Davit (2014) berpendapat bahwa penjara hanya tepat untuk orang dewasa yang melakukan kejahatan. Anak tidak tepat masuk penjara karena akan mematikan harapan masa depannya. Ia adalah pribadi otonom yang sedang tumbuh, yang membutuhkan bantuan dan bimbingan. Peradilan yang tepat untuk pelaku delinkuensi (kenakalan) anak adalah model keadilan restoratif yang bersifat memperbaiki dan memulihkan hubungan pelaku dan korban sehingga harmoni kehidupan tetap terjaga. Hukuman maksimal yang boleh mereka terima adalah pendidikan paksa.128 Konsep keadilan restoratif menurut banyak kalangan harus dapat juga diterapkan dalam konsep pemasyarakatan. Di Indonesia sendiri, konsep ini diterapkan pada tahap pra-pemidanaan. Walaupun konsep ini secara umum diterapkan pada tahap pra-penuntutan atau pascapenuntutan dan pra-pemidanaan, beberapa tahun terakhir penerapan konsep keadilan restoratif meningkat pada proses pemasyarakatan dan pada berbagai tahapan pelaksanaan hukuman.129

Mamik Sri Supadmi, et al., Kajian Kebutuhan Perempuan Dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia. Sebuah Inisiatif untuk Reformasi Model Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial yang Berpihak Pada Perempuan, Pusat Kajian Perlindungan Anak dan Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, hlm 87-88. 128 Davit Setyawan, Menuju Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Anak,www.kpai. go.id., 16/02/2016, 12:06. 129 United Nation Office on Drugs and Crime, Handbook on Restorative Justice Programmes, Handbook on Criminal Justice Series, United Nations Publication, New York, 2006, hlm. 64-65. 127

84

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Proses keadilan yang memulihkan (keadilan restoratif) bisa digunakan di lembaga pemasyarakatan sebagai mitigasi terhadap perilaku-perilaku negatif di dalam lembaga pemasyarakatan, misalnya menyediakan forum bagi narapidana untuk menyelesaikan perbedaan secara damai dan untuk menciptakan alternatif alat resolusi konflik.130 Penerapan program-program intervensi yang bersifat restoratif dalam program pembinaan pemasyarakatan sebenarnya sudah dilakukan oleh berbagai instansi pemasyarakatan di beberapa Negara. Kesemua program pada dasarnya bertujuan untuk merehabilitasi perilaku narapidana dan mempersiapkannya untuk kembali ke dan diterima di masyarakat. Tulisan ini memuat beberapa intervensi yang bersifat restoratif, rehabilitatif, dan reintegratif yang dilakukan di lembaga-lembaga pemasyarakatan di berbagai negara.

Redemption Through Reading di Brazil131 Sekitar 4 penjara federal di Brazil yang menjadi rumah bagi pelakupelaku tindak pidana yang kejam menjalankan program yang dikenal sebagai Redemption Through Reading ini. Narapidana ‘dipaksa’ untuk membaca hingga 12 karya sastra, filsafat, sains, atau sastra klasik untuk mendapatkan pengurangan selama 48 hari dari setiap tahun masa hukumannya. Program ini mulai diimplementasikan pada bulan Juni 2012 dengan tujuan untuk meningkatkan angka literasi narapidana dimana sekitar 70% dari populasi penjara di Brazil tidak mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan dasar dan sekitar 10,5% diklasifikasikan tuna aksara (Silva, 2009). 130 131

Ibid. Anne Lee, Redemption Through Reading, www.uprooting criminology.org. 16/02/2016, 11:35 Kajian Praktik-Praktik Terbaik Sistem Pemasyarakatan di Beberapa Negara

85


Melalui program ini narapidana diberi keleluasaan untuk memilih sebuah buku dari sekian buku yang ada dalam daftar buku yang diperbolehkan untuk dibaca. Setelah memilih, mereka kemudian diberi waktu hingga 4 minggu untuk membaca setiap buku dan harus menuliskan sebuai esai. Tulisan ini harus menunjukkan bahwa narapidana tidak saja benar telah membaca buku tersebut tetapi juga menuliskannya dengan menggunakan parafrase yang tepat, tidak ada kesalahan penulisan, dengan margin yang tepat dan harus dapat terbaca. Esai tersebut kemudian diserahkan kepada sebuah panel khusus yang akanmemutuskan narapidana mana yang berhak untuk berpartisipasi dalam program tersebut. Narapidana bisa mendapatkan pengurangan selama 4 hari untuk setiap buku yang dibaca dan esai yang memuaskan, tetapi tidak lebih dari 48 hari setiap tahunnya. Program ini bertujuan agar ketika narapidana keluar dari penjara, mereka memiliki visi yang lebih luas terhadap dunia dan menjadi pribadi yang lebih baik. Penerapan program ini sangat bermanfaat tidak hanya mengurangi angka iliterasi tetapi juga membuka peluang kerja yang legal bagi narapidana setelah mereka dibebaskan. Lebih jauh dari itu, program tersebut diharapkan mengurangi berulangnya tindak pidana. Kritik terhadap program ini dilayangkan oleh Insight Crime132 dan The Christian Science Monitor. 133 Kritik pada dasarnya mempertanyakan apa manfaat nyata program terhadap rehabilitasi narapidana dikaitkan dengan kepastian bahwa mereka tidak akan mengulang kembali tindak pidana. Selain itu, karena sebagian besar narapidana tidak memiliki latar belakang pendidikan yang cukup sebelumnya, maka bisa diperkirakan bahwa standar penilaian laporan/ Sebuah yayasan yang bergerak dalam penelitian mengenai kejahatan terorganisasi di Amerika Latin dan Karibia. 133 Sebuah organisasi pers international yang independen. 132

86

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


esai tersebut menjadi rendah. Sehingga sulit dipastikan apakah narapidana itu benar-benar membaca buku. Selain itu, program ini dapat memicu terciptanya ‘pasar gelap’ dimana narapidana yang satu menuliskan laporan/esai bagi narapidana yang lain agar dapat lulus penilaian panel. Narapidana yang belum terpilih bisa saja menuliskan laporan untuk mereka yang terpilih. Ini berarti bisa saja narapidana mendapatkan pengurangan hukuman secara signifikan tanpa benarbenar berpartisipasi. Oleh karena itu perlu dilakukan pengawasan yang ketat untuk memastikan tercapainya hasil yang diinginkan. Kritik lainnya, program ini dinilai sangat cepat diterima karena Brazil menampung sekitar 445.705 narapidana di penjara-penjaranya sementara kapasitas daya tampung penjara hanya sekitar 281.520 orang (data National Penintentiary Department (DEPEN), 2010). Program ini dinilai sebagai ‘solusi’ mengurangi jumlah narapidana yang berada dalam penjara. Sebelumnya Brazil juga membuat program Educating for Freedom bagi narapidana-narapidananya yang diselenggarakan sejak 2004 hingga 2006. Program ini bertujuan untuk memberikan akses pendidikan kepada narapidana.

Inside Out Trust di Inggris134 Program yang mulai dikembangkan pada tahun 1993 di Inggris ini bertujuan memberikan keterampilan bagi narapidana melalui kerjakerja membuat barang dan jasa yang dapat dibeli oleh masyarakat yang membutuhkannya di seluruh dunia. Program ini diharapkan dapat berkontribusi dalam proses reintegrasi narapidana ke dalam masyarakat dan dunia kerja. 134

Marian Liebmann, Restorative Justice, How It Works, Jessica Kingsley Publisher, London, 2007, hlm. 201-202. Kajian Praktik-Praktik Terbaik Sistem Pemasyarakatan di Beberapa Negara

87


Pada tahun 2005 Inside Out Trust mempunyai 142 proyek dan bekerja dengan lebih dari 5000 narapidana di 70 penjara di Inggris (termasuk penjara bagi laki-laki dan perempuan, seluruh jenis penjara dewasa, lembaga pemasyarakatan khusus anak). Beberapa projek yang dikerjakan termasuk: D Memperbaiki dan merakit kembali komputer di Afrika. D Merenovasi sepeda dan trailer di Rumania. D Merenovasi kursi roda bagi Palang Merah. D Mural bagi sekolah. D Sepeda bagi anak yatim di Afrika. D Merestorasi taman-taman kota. D Memproduksi cetakan Braille, Moon dan tulisan huruf besar untuk orang-orang yang mempunyai kesulitan melihat. Selama setahun, para narapidana ini merenovasi 10.000 sepeda dan 5.000 kursi roda bagi masyarakat yang tidak mampu. Narapidana yang mengikuti program ini diharapkan berkembang penghargaan dirinya, berkembang nilai menolong orang lain, belajar keterampilan baru, belajar bekerja bagi orang lain, berkembang kemampuan berkonsentrasi, dan berkembang pemikiran bagaimana orang lain hidup dan apa yang mereka perlukan untuk bertahan hidup. Program ini juga membantu narapidana untuk mendapatkan pekerjaan setelah keluar dari penjara dengan kualifikasi kerja yang telah mereka dapatkan. Secara keseluruhan program Inside Out Trust memberikan manfaat: D Bermanfaat bagi orang yang membutuhkan barang/jasa yang dihasilkan D Memenuhi kebutuhan konkrit masyarakat setempat D Berdampak rehabilitatif bagi narapidana 88

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Meningkatkan hubungan baik antara narapidana dan petugas penjara D Atmosfir yang lebih baik di dalam penjara D Hubungan yang lebih baik antara penjara dengan masyarakat D Merubah cara pandang terhadap narapidana baik di masyarakat maupun narapidana itu sendiri. D

Inside Out Trust juga terlibat dalam beberapa skema besar regenerasi taman kota. The Albert Park Project di Middlesbrough (2000-2004) merupakan kerjasama yang melibatkan 5 penjara, pihak berwenang setempat, Probation Community Service Unit, 7 sekolah dasar, dan banyak orang serta organisasi lainnya. Albert Park merupakan tamanumum yang dibangun pada zaman Victoria sekitar tahun 1868 yang terletak di tengah populasi yang padat dan daerah miskin di Middlesbrough. Selama bertahun-tahun taman ini mengalami kerusakan dan memerlukan biaya restorasi sebesar 4,5 juta Poundsterling untuk menyelamatkannya. Para narapidana berperan dengan berbagai cara, antara lain: D Narapidana anak dari Her Majesty Young Offender Institution Deerbolt (penjara Deerbolt) yang menambung 486 narapidana anak membantu merestorasi enam perahu dayung yang berumur 100 tahun dan teronggok di dalam air selama bertahun-tahun. Mereka juga membuat dekorasi dan bendera-bendera dengan warna yang cerah untuk acara peluncuran, menggunakan ide-ide dari siswa sekolah setempat. D Narapidana dewasa dari Her Majesty Prison Holme House (penjara setempat yang menampung 963 narapidana) membuat meja-meja dan kursi-kursi untuk rumah-rumah kopi dan ruang bersama. Kajian Praktik-Praktik Terbaik Sistem Pemasyarakatan di Beberapa Negara

89


Narapidana dari Her Majesty Prison Kirklevington Grange (sebuah penjara terbuka dimana sekitar 80 narapidana hampir menyelesaikan masa hukumannya) membantu membuat pameran seni untuk pusat pengunjung, yang bekerja sama dengan jagawana serta Friends of Albert Park. D Narapidana yang sedang dalam tahap pelayanan masyarakat (Community Service Order) membantu memperbaiki pagar besi di sekitar danau dan area bermain. D

Menurut Internasional Centre for Prison Studies (2004), keseluruhan proses ini membantu reintegrasi narapidana ke komunitas dan merubah persepsi masyarakat terhadap narapidana. Alber Park Projectkemudian menginspirasi dua proyek serupa yaitu Saltwell Park di Teesside dan Edenham Project di Reading yang juga melibatkan para narapidana, pelaku tindak pidana yang mengikuti program layanan masyarakat dan banyak organisasi lokal lainnya (Inside Out Trust 2004; Thames Valley Partnership 2004a, 2004b)

Releasing Circles di Canada135 Program “releasing-circle” pada dasarnya merupakan sidang pembebasan bersyarat. Hal menarik dalam releasing-circle ini adalah hadirnya seluruh pihak yang berkepentingan meliputi anggota dewan pembebasan bersyarat, pelaku tindak pidana, petugas pembebasan bersyarat, orang yang mensupport pelaku, tetua adat suku asli dari komunitas, dan asisten persidangan serta korban (jika

135

90

Gerry Johnstone, Daniel Van Ness, ed., Handbook of Restorative Justice, Routledge, New York, 2011, hlm. 316. Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


bersedia hadir). Semua pihak dalam satu lingkaran dengan tujuan untuk melakukan persidangan menentukan pembebasan bersyarat.136 Program releasing-circle dapat dianggap sebagai penyidikan untuk pembebasan bersyarat. Aktivitas yang dilakukan mencakup proses yang disebut sebagai elder-assisted hearing dan communityassisted hearing. Elder-assisted hearing merupakan mekanisme dimana tetua adat suku asli ikut serta dalam penilaian untuk pembebasan bersyarat dengan memberikan informasi kepada anggota dewan mengenai budaya, pengalaman dan tradisi suku asli dan relevansinya dengan keputusan yang harus diambil anggota dewan. Community-assisted hearing merupakan mekanisme dimana anggota masyarakat dan pihak korban turut serta dalam releasing-circle. Komunitas bisa jadi takut dan marah terhadap kemungkinan seorang narapidana dibebaskan dan kembali ke masyarakat. Sejak tahun 1996, prinsip-prinsip pemidanaan dalam Kitab Hukum Pidana Kanada dirubah untuk mendorong digunakannya pemidanaan berbasis komunitas dengan memfokuskan pada unsurunsur restoratif. Pendekatan seperti ini mendorong rasa tanggung jawab dalam diri pelaku, dengan mengakui (kesalahan) dan mengganti kerugian atas kerusakan yang mereka timbulkan pada korban dan komunitas. Kitab Hukum Pidana Kanada Pasal 718.2 (e) menyatakan bahwa “keseluruhan sanksi yang ada, selain dari hukuman penjara, yang sesuai dengan situasi yang ada harus dipertimbangkan bagi seluruh pelaku tindak pidana dengan perhatian khusus terhadap pelaku tindak pidana yang berasal dari suku asli.”137

The Canadian Resource Centre for Victims of Crime, Restorative Justice in Canada: what victims should know, 2011. 137 Ibid. 136

Kajian Praktik-Praktik Terbaik Sistem Pemasyarakatan di Beberapa Negara

91


Insight Prison Project di Amerika Serikat138 Program ini dimulai tahun 1997 di Penjara San Quentin, Amerika Serikat, yang terkenal dengan nama Victim Offender Education Group. Program yang bertujuan membantu narapidana belajar keterampilan emosional baru dan memperbaiki masalah perilaku agar bisa sukses di dalam dan di luar penjara. Program ini menawarkan pendekatan transformasi personal termasuk kelas-kelas pencegahan kejahatan, yoga dan meditasi. Program ini mengikut sertakan korban dan penyintas bersama-sama sehingga narapidana akan merasakan dampak terhadap korban kejahatan yang mereka lakukan. Proses ini biasanya akan diikuti sekitar dua belas narapidana yang duduk dalam sebuah lingkaran. Seorang fasilitator akan mempersilahkan setiap orang untuk berbagi pengalaman mereka secara emosional, fisikal, dan spiritual. Terkadang ada yang menitikkan air mata dengan emosional ketika berbicara, sedangkan yang lainnya mendengarkan, mengangguk sebagai tanda dukungan atau menanyakan sesuatu yang dimaksudkan untuk mengklarifikasi. Proses ini tidak saja membantu narapidana tumbuh, tetapi juga membantu para penyintas. “Ketika kau duduk berhadapan dengan orang yang menarik pelatuk dan mengakhiri hidup orang lain, dan kau memberi tahu mereka tentang anakmu yang menghadiri pemakaman ayahnya, kau akan melihat dampaknya pada orang tersebut. Dan itu menyembuhkanku.” (Dione Wilson yang suaminya seorang petugas polisi terbunuh dalam tugas).139 138 139

www.Insightprisonproject.org . Diakses tanggal 16 Februari 2016 Dione Wilson adalah istri dari San Leandro, seorang perwira polisi yang terbunuh saat menjalankan tugas. Dione Wilson mengikuti Program Victim-Offender Dialogue yang difasilitasi oleh Insight Prison Project tahun 2013. Sekarang Wilson merupakan anggota Insight Prison Project dan juga bekerja sebagai Survivor Outreach Coordinator pada Californians for Safety and Justice yaitu sebuah organisasi nirlaba yang melakukan bekerja bersama masyarakat dan para penyintas yang ingin menyelesaikan akar penyebab dari tindak pidana yang dialami.

92

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Insight Prison Project ini telah dilaksanakan di 12 negara bagian di Amerika Serikat, satu penjara federal, tiga penjara wilayah, beberapa fasilitas re-entry, dan satu lembaga pemasyarakatan anak. Seiring waktu, permintaan pelaksanaan program ini di berbagai penjaran semakin meningkat.

Program Dana Ganti Rugi di Penjara Belgia140 Program ini dikembangkan oleh penasihat-penasihat keadilan restoratif Belgia sejak 4 Oktober 2000. Melalui program ini, narapidana diperbolehkan untuk melakukan kerja-kerja bagi organisasi-organisasi amal. Uang yang mereka dapatkan langsung disalurkan kepada korban untuk pembayaran ganti rugi. Sebelumnya, narapidana mengikuti sesi yang menginformasikan mengenai kondisi pihak korban dan akibat kejahatan bagi korban. Hanya setengah dari kerugian korban yang dapat dibayarkan menggunakan skema program ini karena sebagian lagi harus dibayarkan oleh narapidana secara langsung. Program ini adalah contoh baik bagaimana ketiga pihak yang terlibat yaitu korban, pelaku, dan masyarakat dapat bekerja sama dalam satu projek yang sama. Program ini dianggap berhasil bagi ketiga pihak. Pelaku menjadi bertanggung jawab dan membayar melalui program ini, dan korban mendapatkan uang untuk membayai sebagian kerugian mereka dan juga bisa melihat bahwa pelaku bersedia untuk bertanggung jawab. Organisasi-organisasi amal tidak saja mendapatkan orang yang mau bekerja pada mereka, tetap juga seringkali disadari bahwa narapidana tidak berbeda dari orang kebanyakan, bahwa mereka juga “manusia”. 140

European Best Practices of Restorative Justice Conference Publication, 2010, hlm. 227. Kajian Praktik-Praktik Terbaik Sistem Pemasyarakatan di Beberapa Negara

93


Active Citizenship Together for Swale di Inggris141 Active Citizenship Together for Swale (ACT Swale) merupakan proyek kemitraan di bawah payung Swale Community Safety Partnership yang dibentuk pada bulan Maret 2007. Mitra kunci dari program ini termasuk Amicus Horizon, sebuah organisasi lokal yang menyediakan penampungan bagi orang-orang tua dan kaum marjinal, serta Dewan Kota Swale. Proyek ini secara bersama-sama didanai oleh 2 organisasi tersebut dan dikelola oleh petugas dari Penjara Stanford Hill. ACT Swalebiasanya melibatkan 5 orang napi yang telah berada dalam tahap bebas sementara, petugas pengawas penjara, dan departemen pendukung di dalam penjara (Working Out Scheme, Gardens Department, Offender Management Unit). Working Out Scheme bertugas memilih kandidat yang dianggap cocok untuk program. Setelah terpilih, narapidana akan menanda tangani perjanjian kerja dan terikat oleh aturan tertentu. Mereka kemudian mendapatkan pelatihan bagaimana menggunakan alat-alat berkebun, standar kesehatan, dan keselamatan umum sebelum memulai proyek. Kemudian Amicus Horizon dan Dewan Kota berkoordinasi untuk menilai resiko kerja, sementara petugas pengawas dari penjara menilai keamanan lokasi kerja. Hasil kerja narapidana dinilai oleh Amicus berdasarkan kepuasan pelanggan. Dewan Kota akan menilai apakah target pekerjaan menjadi lebih bersih dan lebih hijau, serta berkurangnya rasa takut akan kejahatan. Sementara penjara akan menilai perubahan perilaku narapidana. Selain itu, hasil proyek ini akan diukur secara ekonomis untuk menilai apakah lebih efektif menggunakan tim ACT 141

Ibid.,hlm. 239-240.

94

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Swale daripada menggunakan kontraktor untuk membersihkan dan merapikan kota. Pada tahun pertama pilot project ini diikuti oleh 23 narapidana. Sembilan belas narapidana (83%) menunjukkan penurunan kecenderungan melakukan tindak pidana berulang. 199 pekerjaan diselesaikan dan 130 ton sampah dibersihkan dari kota. Tingkat kepuasan pelanggan Amicus meningkat 12% dan ukuran nilai uang menunjukkan projek ini bernilai 2 kali daripada biaya aktualnya. Pada tahun kedua, tim berkebun kedua dibentuk untuk proyek selama 4 bulan, dari bulan Desember 2008 hingga April 2009, dengan 300 lebih pekerjaan yang diselesaikan oleh tim pertama dan beberapa pekerjaan besar yang diselesaikan oleh tim kedua, serta lebih dari 160 ton sampah terkumpul. Empat puluh orang narapidana telah bekerja dalam proyek ini dan 32 narapidana (80%) menunjukkan peningkatan keterampilan yang berkelanjutan dan berkurangnya resiko kejahatan berulang.

Praktik Restoratif untuk Reintegrasi Sosial Pelaku Tindak Pidana di Inggris142 Youth Justice Board yang dibentuk berdasarkan The Crime and Disorder Act tahun 1998 bertugas mengawasi program kerja bagi anak konflik hukum dengan memperkenalkan Youth Offending Team (YOT). Beberapa target ditetapkan untuk memastikan korban berpartisipasi dalam proses restoratif di 25% kasus-kasus yang relevan dan 85% korban yang harus dipulihkan. Youth Justice and Criminal Evidence Act tahun 1999 memperkenalkan sistem pemidanaan yang baru yaitu Referral Order, 142

Ibid.,hlm. 254-256. Kajian Praktik-Praktik Terbaik Sistem Pemasyarakatan di Beberapa Negara

95


yang diberlakukan untuk anak yang berusia 10 hingga 17 tahun yang mengaku bersalah melakukan tindak pidana dan dipidana untuk pertama kalinya oleh pengadilan. Youth Offender Panel dibentuk dan bekerja berdasarkan prinsip-prinsip “konsep dasar Restorative Justice” yaitu pemulihan, reintegrasi, dan tanggung jawab. Persidangan Youth Offender Panel bisa memutuskan dikenakannya Referral Order untuk jangka waktu paling sedikit 3 bulan hingga maksimum 12 bulan bergantung pada seberapa serius kejahatan yang dilakukan. Youth Offender Panel terdiri dari satu anggota Youth Offending Team dan paling tidak 2 anggota panel dari unsur masyarakat. Pihakpihak lain yang dapat menghadiri rapat panel antara lainkorban, kerabat korban, kerabat pelaku, perwakilan masyarakat, contract drafter, penterjemah (jika diperlukan), dan pihak-pihak lain yang dianggap oleh panel mampu memberikan ‘pengaruh baik’ kepada anak konflik hukum. Persidangan Youth Offender Panel bertujuan menyepakati “kontrak” yang memuat bentuk-bentuk pertanggung-jawaban pelaku dalam memperbaiki kerusakan/kerugian yang diakibatkan perbuatannya. Jika tidak terjadi kesepakatan atau jika pelaku menolak menanda tangani kontrak, maka pelaku akan dikembalikan ke pengadilan untuk dipidana ulang. Youth Offender Panel bertanggung jawab untuk memonitor pelaksanaan “kontrak” dan merekam catatan kepatuhan pelaku terhadap” kontrak”. Panel akan mengadakan paling tidak satu kali rapat interim dengan pelaku untuk membahas kemajuan. Rapat panel tambahan akan digelar jika pelaku berkeinginan untuk merubah syaratsyarat kontrak atau berusaha mencabut surat perintah pengadilan atau jika Youth Offending Team menganggap bahwa pelaku melanggar syarat-syarat kontrak. Jika masa Referral Order berhasil diselesaikan, 96

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


masa hukuman akan dianggap ‘tuntas’ sesuai tujuan Rehabilitation of Offenders Act 1974. Tuntas disini berarti pelaku tidak lagi mempunyai catatan kriminal. Contoh kasus dari program ini adalah ketika seorang remaja pria masuk secara paksa ke dalam klub pemuda setempat dan menimbulkan banyak kerusakan termasuk menghancurkan televisi. Remaja tersebut dikenai tuduhan “Perusakan Barang Milik Orang Lain” dan dipidana selama 6 bulan masa Referral Order. Asesmen dilakukan terhadap remaja tersebut dan ternyata ia sebelumnya menerima berita buruk tentang anggota keluarganya. Ia kemudian pergi mabuk-mabukan dengan teman-temannya. Karena rasa bosan dan frustasi, ia menerobos masuk ke dalam klub pemuda dan menyebabkan kerusakan. Dari wawancara terungkap bahwa ia merasa sangat menyesal dengan perilakunya dan merasa malu karena telah merusak klub pemuda kotanya. Ia menyatakan mengenal baik pekerja disana dan mereka selalu baik padanya. Ia ingin diberikan kesempatan untuk bertemu langsung dengan para korban sehingga ia bisa menjelaskan dan meminta maaf dan juga menawarkan untuk memperbaiki keadaan. Pekerja di klub pemuda sangat ingin terlibat dalam proses dan menghadiri Youth Offenders Panel. Remaja itu akhirnya dapat menjelaskan dan mendengarkan dampak kejahatan yang dilakukannya bagi remaja anggota klub dari pekerja tersebut. Sebuah perjanjian dibuat dimana remaja tersebut akan bekerja bersama anggota klub pemuda lainnya dalam sebuah projek penggalangan dana untuk mendapatkan TV baru. Baik remaja tersebut dan klub pemuda merasa senang dengan hasilnya dan remaja itu bisa memperbaiki kerusakan yang disebabkan olehnya.

Kajian Praktik-Praktik Terbaik Sistem Pemasyarakatan di Beberapa Negara

97


Peacemaking Encounter di Filipina143 Program restoratif yang diselenggarakan oleh Parole and Probation Administration (PPA) Filipina merupakan implementasi diadopsinya The Basic Principles on The Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters oleh Filipina. Berdasarkan prinsip-prinsip dasar ini, PPA diberi kewenangan untuk menciptakan program, kebijakan, dan kegiatan untuk memfasilitasi reintegrasi pelaku tindak pidana ke masyarakat umum dan oleh karenanya mencegah dilakukannya tindak pidana. Hal-hal yang ingin dicapai melalui program rehabilitasi PPA adalah: 1. Reintegrasi pelaku ke arus utama sosial dan mendorong mereka untuk bertanggung jawab secara aktif atas kerugian yang ditimbulkan kepada korban. 2. Ketertiban yang proaktif dari masyarakat untuk mendukung dan membantu proses rehabilitasi korban dan pelaku. 3. Memperhatikan kebutuhan korban, penyintas dan mereka yang terdampak oleh kejahatan sebagai stakeholders yang berperan dalam sistem peradilan pidana. Alih-alih hanya sebagai objek atau penerima yang pasif dari intervensi yang mungkin tidak diinginkan, tidak tepat atau tidak efektif. 4. Menyembuhkan dampak tindak pidana atau kejahatan yang diderita oleh stakeholder di atas. 5. Mencegah dilakukannya tindak kejahatan atau tindak kenakalan di masa depan.

143

Parole and Probation Administration, Restorative Justice, Department of Justice Republic of Philippines, 21 September 2014, www.probation.gov.ph., Diakses tanggal 22

Februari 2016 98

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


PPA membagi 2 tahap implementasi keadilan restoratif: 1. Tahap investigasi Dalam tahap ini, informasi seperti kronologi tindak pidana versi korban, dampak kejahatan terhadap kehidupan, keluarga, rencana-rencana masa depan, dan penilaian korban tentang tingkat kerusakan/kerugian yang diakibatkan oleh kejahatan, dikumpulkan sebagai input laporan penyidikan pasca pemidanaan atau penyidikan pra-pembebasan bersyarat (grasi pemerintah) yang disusun oleh penyidik untuk kemudian diserahkan kepada Pengadilan dan Dewan Grasi dan Dewan Pembebasan Bersyarat (Board of Pardons and Parole). Data ini sangat penting sebagai dasar dilakukannya proses keadilan restoratif selama tahap pengawasan. 2. Tahap pengawasan Program Restorative Justice (RJ) ini merupakan bagian dari proses rehabilitasi pelaku yang tergabung dalam “Rencana Pengawasan”. Ketika menerapkan proses RJ untuk merehabilitasi pelaku tindak pidana, petugas pengawas mengamati: D Para pihak mengikuti program ini secara sukarela. Para pihak berhak didampingi penasihat hukum sebelum dan sesudah proses RJ. D Sebelum sepakat untuk ikut serta dalam proses RJ, para pihak diinformasikan mengenai hak-hak mereka, prosesnya dan kemungkinan akibat dari keputusan mereka. D Baik korban maupun pelaku tidak ada yang dibujuk dengan cara-cara yang tidak adil untuk ikut serta dalam proses atau hasil RJ. D Diskusi dalam proses RJ harus dirahasiakan dan oleh karenanya tidak boleh diungkapkan kecuali atas persetujuan Kajian Praktik-Praktik Terbaik Sistem Pemasyarakatan di Beberapa Negara

99


D

para pihak dan tidak boleh digunakan untuk melawan para pihak yang terlibat. Jika tidak tercapai kesepakatan di antara para pihak, substansi/inti kesepakatan dituangkan secara tertulis. Jika ketentuan dalam kesepakatan gagal dilaksanakan menuju proses RJ, maka ia akan menjadi dasar pencabutan kasus dari program ini.

Model yang diterapkan disebut sebagai Peacemaking Encounter. Model ini merupakan pertemuan berbasis komunitas dimana korban, komunitas yang menjadi korban dan pelaku bertemu. Program ini membantu proses penyembuhan korban dengan menyediakan situasi yang aman dan terkendali bagi korban untuk bertemu dan berbicara dengan pelaku secara rahasia dan atas keinginan sendiri. Program ini juga memungkinkan pelaku mengetahui dampak kejahatan terhadap korban dan keluarganya, dan untuk bertanggung jawab langsung atas perilakunya. Program ini juga memberikan kesempatan kepada korban dan pelaku untuk membuat kesepakatan bersama mengenai ganti kerugian yang disebabkan oleh kejahatan itu. Proses yang dilaksanakan dalam program ini meliputi: 1. Mediasi korban/pelaku Proses yang memberikan kesempatan bagi korban yang bersedia untuk bertemu empat mata dengan pelaku tindak pidana dalam situasi yang nyaman dengan dibantu oleh mediator terlatih. Korban diberikan kesempatan untuk berbicara mengenai kejahatan yang terjadi dan dampaknya terhadap kehidupannya. Tujuannya adalah untuk membantu proses penyembuhan korban dan memungkinkan pelaku mengetahui dampak kejahatan yang ia lakukan terhadap fisik, emosi dan ekonomi korban. Pelaku 100

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


didorong untuk bertanggung jawab terhadap perilakunya dengan cara mengembangkan rencana restorative justice secara bersama-sama. 2. Musyawarah Proses yang melibatkan sekelompok orang yang paling terdampak oleh kejahatan yaitu korban dan pelaku dan keluarganya, anggota masyarakat yang terdampak dan fasilitator terlatih serta aset komunitas—dalam musyawarah yang membahas tentang isu dan masalah restoratif yang timbul dari kejahatan atau peristiwa yang berdampak pada hubungan komunitas dan perdamaian. Difasilitasi oleh fasilitator yang terlatih, para pihak berkumpul secara sukarela untuk membahas mengenai bagaimana mereka dirugikan oleh kejahatan atau konflik tersebut dan bagaimana kerugian itu bisa diperbaiki dan bagaimana hubungan yang rusak bisa dipulihkan. 3. Circle of Support Merupakan proses yang diarahkan secara langsung oleh komunitas yang diorganisir oleh petugas lapangan dan diikuti oleh para pihak, Volunteer Probation Aides, dan anggota terpilih dari masyarakat dalam sebuah pembicaraan mengenai kejahatan dan dampaknya. Dalam lingkaran tersebut, setiap orang bebas berbicara dari hati mereka dalam upaya mencapai pemahaman bersama mengenai insiden yang terjadi, dan secara bersamasama mengidentifikasi langkah-langkah yang diperlukan untuk membantu dalam proses rekonsiliasi dan penyembuhan seluruh pihak yang terkena dampak dan mencegah terjadinya kejahatan atau konflik di masa depan. DDD

Kajian Praktik-Praktik Terbaik Sistem Pemasyarakatan di Beberapa Negara

101


102

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


5

Ke Arah Perubahan Perilaku Anak: Catatan Atas Pengalaman Pendampingan Anak di LPKA yang Dikembangkan oleh Lembaga Advokasi Hak Anak

Konteks Lokasi dan Situasi Pendampingan

M

engawali langkah mengembangkan program pendampingan di penjara anak bukanlah sesuatu yang mudah. Gambaran kita tentang penjara sudah terlanjur ‘menyeramkan’: kehilangan kebebasan, terkungkung tembok tinggi berkawat duri, kamar tahanan yang dingin, gelap, kotor dan bau, penghuni berwajah dingin cenderung sadis, penjaga yang ‘rajin’ memukul, dan sebagainya. Karena itu semua orang, sebisa mungkin menghindari berada di penjara. Menghindari perbuatan yang bisa memaksa kita masuk penjara dan (mungkin juga) menghindari melamar pekerjaan sebagai petugas penjara. Beberapa langkah berada di dalam LPKA Klas 2 Bandung membuyarkan seluruh potret menyeramkan tentang tempat bernama penjara. Sekarang di papan namanya tertulis Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), tidak lagi tertulis “penjara”. Masih dikelilingi tembok-tembok tinggi, tetapi kondisi di dalamnya jauh dari kesan menyeramkan. Petugas yang rata-rata berusia muda dan ramah, Ke Arah Perubahan Perilaku Anak: Catatan Atas Pengalaman Pendampingan Anak di LPKA yang Dikembangkan oleh Lembaga Advokasi Hak Anak

103


lingkungan yang asri, bersih dan rapi, dan anak-anak penghuni dengan tampang yang jauh dari kesan kriminal. Penjara anak telah berubah.Perubahan ini terjadi seiring dengan telah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.Melalui pendekatan keadilan yang memulihkan (keadilan restoratif), penjara saat ini telah menjadi tempat untuk memulihkan perilaku anak ke arah yang lebih baik.Menjadikan penjara sebagai tempat pembalasan atas perilaku kriminal anak-anak telah ditinggalkan. Dalam konteks baru inilah program pendampingan anak-anak di LPKA Klas 2 Bandung digagas oleh LAHA. Belajar dari interaksi awal dengan situasi di LPKA Klas 2 Bandung, program pendampingan anak di LPKA dirancang dengan mempertimbangkan karakteristik-karakteristik sebagai berikut: D LPKA Klas 2 Bandung satu-satunya tempat pembinaan anak di Provinsi Jawa Barat. Karena itu anak-anak binaan berasal dari hampir seluruh daerah di Jawa Barat. Penempatan anak binaan yang terpusat ini memunculkan persoalan sulitnya menjaga hubungan orang tua dan anak. Persoalan jarak dan biaya menjadi hambatan pelibatan orang tua dalam pemulihan perilaku anak. D Rancangan intervensi harus mampu menyesuaikan dengan dinamika berapa lama anak akan berada di LPKA. Proses intervensi juga bisa menjadi sangat personal mengingat setiap saat ada anak baru yang masuk LPKA. D Tingkat pendidikan anak binaan LPKA sangat beragam, mulai dari yang drop out SD sampai yang mampu lulus SMA. Karena itu kemampuan belajar anak-anak menjadi beragam. D Wilayah gerak anak binaan terbatas pada blok dan kamar. Anak harus meminta izin bila akan beraktivitas menggunakan ruang atau fasilitas lain yang tersedia di LPKA. 104

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


D

Metode, alat dan bahan pembelajaran yang digunakan harus menyesuaikan dengan pembatasan benda-benda yang boleh dibawa masuk ke LPKA.

Konsep Pendampingan Pendampingan yang dilakukan oleh program ditempatkan dalam konteks pendidikan. Dengan menempatkan pada konteks pendidikan, maka tujuan pendampingan sejatinya selaras dengan semangat pendidikan yang didorong sedemikian rupa agar memiliki kaitan dan menyumbang terhadap kemampuan anak untuk membangun relasi-relasi sosial. Pernyataan ini relevan empat pilar pendidikan universal seperti yang ditetapkan oleh UNESCO144, yaitu: D Learning to know (pembelajaran untuk tahu) D Learning to do (pembelajaran untuk berbuat) D Learning to be (pembelajaran untuk membangun jatidiri) D Learning to live together (pembelajaran untuk hidup bersama secara harmonis) Learning to live together sejatinya menjadi core pendampingan yang akan dikembangkan. Ini bermakna bahwa pembelajaran untuk tahu, berbuat dan membangun jati diri sebesar-besarnya didorong untuk membangun kecakapan anak dalam berperan dan mengembangkan hubungan dengan sesama. Core ini menjadi tantangan yang membutuhkan penerjemahanpenerjemahan langkah metodologis yang sistematis, sensitif terhadap dinamika dan tentu saja mengandung nilai-nilai pembelajaran. Karena itu, setelah tujuan pendampingan ditetapkan, energi lebih besar 144

http://candrajunie.blogspot.co.id/2012/08/empat-pilar-pembelajaran-unesco.html. Diakses tanggal 5 Februari 2016 Ke Arah Perubahan Perilaku Anak: Catatan Atas Pengalaman Pendampingan Anak di LPKA yang Dikembangkan oleh Lembaga Advokasi Hak Anak

105


dikeluarkan untuk merancang langkah, mengidentifikasi sarana serta membuat media yang mampu membawa kepada tujuan. Salah satu problem yang ditemui pada anak-anak dampingan adalah lemahnya kemampuan anak dalam menghadapi masalah. Ketidakmampuan anak menghadapi masalah secara baik menyebabkan anak terjerumus dalam cara-cara penyelesaian masalah yang melanggar norma sosial dan hukum. Berangkat dari pemahaman tersebut, dalam jangka pendek, pendampingan dirancang untuk meningkatkan kemampuan anak dalam menyelesaikan masalah. Pilihan strategi pendampingan tersebut didukung oleh konsepsikonsepsi sebagai berikut: 1. Manusia dihadirkan dengan tugas utama menyelesaikan masalah. Kualitas kemanusiaan seseorang diukur oleh tingkat keterlibatannya dalam proses penyelesaian masalah. 2. Setiap pribadi memiliki kompetensi bawaan, tetapi masalah yang dihadapi senantiasa lebih luas dari kapasitas yang dimiliki. 3. Seseorang dituntut memiliki tingkat penyelesaian masalah yang beragam diselaraskan dengan jenis masalah yang dihadapi antara lain: Masalah yang dapat diselesaikan dengan kemampuan sendiri dan dengan metode sendiri, untuk ini dibutuhkan kapasitas pribadi yang berprestasi

Masalah yang dapat diselesaikan dengan kemampuan kelompok dan dengan metode sendiri, untuk ini dibutuhkan kapasitas fasilitasi situasional

Masalah yang dapat diselesaikan dengan kemampuan sendiri dan dengan metode yang telah disepakati kelompok, untuk ini dibutuhkan kapasitas manajerialship

Masalah yang dapat diselesaikan dengan kemampuan kelompok dan dengan metode yabng disepakati kelompok, untuk ini dibutuhkan kapasitas memanajemeni konflik

4.

Tidak ada seorangpun yang mengetahui segala-galanya dan tidak ada seorangpun yang tidak mengetahui segala-galanya.

106

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Karakter Materi Pendampingan Pendampingan yang dilakukan oleh program diarahkan untuk memberikan penguatan perilaku kepada anak-anak. Karena itu, dengan tidak mengabaikan pentingnya penetapan materi dan pemilihan metode, proses pembelajaran yang didorong dalam pendampingan ini menempati fungsi strategis. Proses belajar diawali dengan memperkenalkanmateri sebagai isu atau topik yang akan dibahas dan dipahami secara bersamasama oleh anak-anak. Dengan demikian, sifat dari materi adalah menjadi topik bersama (learning to know). Selanjutnya, bagaimana suatu isu atau topik diproses atau disajikan merupakan ciri utama dari pendampingan yang dilakukan oleh progam. Ini bermakna bahwa metode yang digunakan sejauh mungkin didorong untuk menumbuhkan sikap dan kemampuan untuk hidup bersama secara harmonis dengan orang lain. Poin ini yang menjadi poin kedua dan utama sekaligus menjadi ciri utama pendampingan yang dilakukan oleh program. Kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain dapat dicirikan setidaknya oleh: D Kemauan yang kuat untuk mendengar D Kesediaan untuk menghargai orang lain D Ketekunan untuk berproses D Kemampuan berbagi peran D Kesadaran untuk bekerja sama Menumbuhkan kemampuan-kemampuan tersebut menjadi tantangan tidak saja bersifat metodologis, namun lebih jauh dari itu bersifat ideologis. Penentuan kemampuan-kemampuan ini tentunya lebih banyak menggunakan perspektif penyelenggara program Ke Arah Perubahan Perilaku Anak: Catatan Atas Pengalaman Pendampingan Anak di LPKA yang Dikembangkan oleh Lembaga Advokasi Hak Anak

107


yang notabene orang dewasa. Perspektif ini harus diimbangi oleh kepentingan anak didik pemasyarakatan. Pendampingan menganggap dalam diri anak menempel dua identitas: sebagai anak dan sebagai anak didik pemasyarakatan. Ini berarti bahwa model pendampingan yang dikembangkan mengakomodasi dua kepentingan, yaitu kepentingan penyelenggara program (termasuk pendamping di dalamnya) dan kepentingan anak (sebagai anak dan anak sebagai anak didik pemasyarakatan). Hubungan antara ketiganya dapat digambarkan sebagai berikut:

Penyelenggara Program

Anak Didik Pemasyarakatan

Anak

Tentu saja disadari bahwa hubungan ini tidak langsung jadi, melainkan ditemukan melalui sebuah proses yang dinamis. Karena itu menjadi penting untuk menjaga dan meningkatkan tingkat keterlibatan anak dalam desain, tujuan dan tata cara pendampingan.

Kerangka Materi Pendampingan Materi pendampingan yang dikembangkan oleh program pada dasarnya ingin merespon penyebab utama anak berada di penjara, yakni problem perilaku. Agar upaya penguatan perilaku anak berjalan efektif dan sesuai dengan konteksnya, maka proses pendampingan memerlukan pengetahuan yang cukup tentang situasi 108

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


dan kondisi dimana anak berada dan persepsi anak terhadap diri dan lingkungannya. Dua hal ini menjadi prasyarat penting sebagai daya dukung dalam proses penguatan perilaku anak. Hal lain yang juga penting, meski dalam kadar yang berbeda, adalah penguatan kapasitas anak. Makna kapasitas dalam konteks ini adalah pengembangan dan peningkatan keterampilan yang dapat digunakan oleh anak dalam bersikap dan/atau memiliki nilai ekonomis. Namun demikian, penguatan kapasitas ini dalam praktek dan metodenya tetap mengacu kepada upaya penguatan perilaku. Hubungan antara penguatan perilaku dengan dua prasyarat dan penguatan kapasitas dapat digambarkan sebagai berikut:

Ke Arah Perubahan Perilaku Anak: Catatan Atas Pengalaman Pendampingan Anak di LPKA yang Dikembangkan oleh Lembaga Advokasi Hak Anak

109


Secara garis besar, materi-materi pendampingan yang dikembangkan oleh program menyasar kepada empat isu tersebut di atas, yaitu: Isu

Tujuan

Analisis Situasi/ Kebutuhan D D

Mengetahui situasi lingkungan dan layanan yang tersedia di LPKA Mengetahui kebutuhan anak terhadap layanan dan perlakuan

Persepsi diri D Mengetahui gambaran diri anak mengenai: l Dirinya sendiri Keluarga l Orang terdekat Masa lalu l Masa depan Penguatan Perilaku

Mendorong dan meningkatkan anak untuk memiliki kemampuan hidup bersama orang lain

Penguatan Kapasitas

Mengembangkan dan meningkatkan keterampilan yang dapat digunakan oleh anak dalam bersikap dan/atau memiliki nilai ekonomis

Dengan menggunakan empat isu tersebut sebagai kerangka pendampingan, maka materi-materi yang disusun sejauh mungkin merupakan turunan dan menyumbang kepada pencapaian empat isu tersebut.

110

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Materi-materi yang disusun selama proses pendampingan adalah sebagai berikut: Analisis Situasi/ Persepsi diri Kebutuhan

Penguatan Perilaku

Penguatan Kapasitas

D Membuat surat D Tes proyeksi D Mencari pacar D Fotografi untuk Jokowi D Asesmen D Aku dan D Membuat D Hari-hari di kubus sekelilingku kartu ucapan Lapas D Asesmen D Membuat bergambar D Proses dan cara agresi prioritas D Membuat anak ber- D Asesmen D Pertemanan karya dari kelompok kecakapan D Berjiwa koran bekas D Bermain layang- sosial pemimpin D Merancang layang D Asesmen D Kerjasama sebuah tulisan D Mind mapping pengetahuan, D Keterbukaan D Membuat D Menggali minat, sikap, dan D Kehidupanku kertas daur bakat, dan perilaku D Kalender masa ulang keahlian seksual depan anak D Membuat D Social life D Potret diri D Menyimak aktif kartu ucapan D Apa yang bisa D Anak yang D Membuat road map dan tidak berkonflik poster bisa saya ubah dengan hukum D Membuat D Jam kehidupan D Prinsip-prinsip gelang tangan D Sungai hak anak dan gambar D Keinginan vs gantungan kehidupan kebutuhan kunci D Bahaya alkohol, D Membuat narkoba dan bahan pidato rokok D Membuat D Catatan harian stiker D Pribadi kreatif tematik D Komunikasi D Membuat kue D Hipnoterapi bola-bola D Kepahlawanan D Membuat rujak D Inisiatif D Perkusi dan D Surat buat Ibu dance D Pergaulan D Membuat D Jalan menuju pigura sukses

Ke Arah Perubahan Perilaku Anak: Catatan Atas Pengalaman Pendampingan Anak di LPKA yang Dikembangkan oleh Lembaga Advokasi Hak Anak

111


Abstraksi Materi Pendampingan Analisis Situasi/Kebutuhan No Materi

Tujuan

Abstraksi

1 Membuat Surat untuk Jokowi

D Mengetahui

2 Hari-hari di Lapas

D Mengetahui

Materi ini ingin menggali layanan-layanan yang dibutuhkan oleh anak selama menjalani hukuman di LPKA Situasi penjara yang memungkinkan tidak leluasanya anak mengeluarkan pendapat dan mengekspresikan perasaannya di satu sisi serta dengan menggunakan pendekatan partisipatif di sisi yang lain, maka upaya untuk mengetahui situasi di LPKA menggunakan berbagai metode.

3 Memetakan minat anak

persepsi anak tentang kondisi layanan yang mereka terima di lapas. D Mengetahui harapan, kebutuhan, keinginan anak tentang layanan yang mereka terima di lapas. kegiatan sehari-hari anak-anak di lapas D M e n g i d e n t i f i k a s i kebutuhan-kebutuhan anak di lapas D M e n g i d e n t i f i k a s i harapan anak ketika berada di lapas D Mengetahui

minat (kegiatan) yang diinginkan anak D Mengetahui bakat yang ada pada anak D Mengetahui keahlian yang dimiliki anak

Metode yang pertama digunakan menggunakan menggambar untuk mengetahui keadaan dan hari-hari di penjara. Untuk menambah pemahaman akan pengetahuan kebutuhan situasi dan kebutuhan anak, metode menulis surat dilakukan. Dalam metode ini, kedekatan secara memori dipilih tentang sosok yang dituju dalam surat. Konteks saat itu Jokowi sebagai presiden dipilih. Pertama, sosok Jokowi itu sendiri yang sedang populer. Dan kedua, Jokowi sebagai presiden yang dibayangkan memiliki kekuasaan untuk mengeluarkan kebijakan. Selain tentang setting lokasi dan dan harapan anak, pembacaanpun dilakukan terhadap minat anak. pembacaan dilakukan untuk mengetahui kegiatan-kegiatan yang ibutuhkan oleh anak untuk

112

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


No Materi

Tujuan

Abstraksi menunjang kepada minat dan bakat anak.

4

Proses dan Cara Anak Berkelompok

5 Bermain layang layang

D

M e n g e t a h u i kecenderungan anak di lapas memilih kelompoknya dan mengobservasi proses pemilihan kelompok D Melihat cara anak berinteraksi dalam kelompok dan melihat pola interaksi di dalam kelompok D M e n g o b s e r v a s i kecenderungan anak dalam mentaati aturan

Materi ini merupakan asesmen yang dilakukan oleh program untuk melihat kelompok anak yang sudah terbentuk di LPKA atau masih cair serta mengetahui dasar atau nilai-nilai yang membentuk pengelompokkan anak tersebut. Jika di dalam LPKA sudah terjadi pengelompokkan anak, keras atau tidaknya pengelompokkan tersebut ingin juga diketahui oleh program.

D A n a k - a n a k

Materi ini ingin mengetahui orang terdekat anak, perasaan anak selama di LPKA, dan menghubungkan perasaan anak dengan orang terdekat dengan anak tersebut. Untuk itu, materi ini menggunakan layanglayang sebagai medianya dan memerlukan dua kali pertemuan untuk memprosesnya.

dapat merumuskan perasaan atau keinginan yang perlu disampaikan

D A n a k - a n a k

dapat menggambarkan perasaan atau keinginannya

Kedua, program juga ingin melihat interaksi yang terjadi di dalam dan antar kelompok anak. Dan terakhir yang ingin dilihat juga adalah kecenderungan anak-anak menaati aturan dan kebiasaan di dalam kelompok maupun di LPKA.

Pertemuan pertama lebih diarahkan kepada anak-anak merumuskan dan membuat gambar atau pesan yang mewakili

Ke Arah Perubahan Perilaku Anak: Catatan Atas Pengalaman Pendampingan Anak di LPKA yang Dikembangkan oleh Lembaga Advokasi Hak Anak

113


No Materi

Tujuan

perasaan anak di LPKA. Perasaan tersebut harus digambar atau ditulis di layang-layang dan akan disampaikan kepada orang yang dianggap dekat oleh anak.

6 Mind Mapping

7 Social Life Road Map

114

Abstraksi

Pada pertemuan kedua, diisi dengan menerbangkan layanglayang yang sudah digambar dan ditulisi pesan. D M e n g a j a k

anak untuk memetakan harapan di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, agama, dan romantisme D M e n g e t a h u i p e t a harapan anak di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, agama, dan romantisme D Mengetahui

momenmomen bahagia dan sedih yang pernah dilewati oleh anak

Dua materi ini disampaikan oleh Forum Mahasiswa Peduli Anak (FOMPA) STKS. Bagi program keterlibatan lembaga lain ini memiliki arti yang positif. FOMPA STKS lebih banyak mendesain kegiatan sebagai bentuk asesmen. Ada dua asesmen yang dilakukan oleh STKS, yaitu momen bahagia dan sedih yang pernah dialami anak. Untuk asesmen ini, FOMPA STKS menggunakan metoda Mind Mapping. Asesmen lainnya adalah terkait harapan-harapan anak. FOMPA STKS memandu anak-anak dalam merumuskan harapannya ke dalam lima bidang, yaitu (1) Pendidikan; (2) Sosial; (3) Ekonomi (4) Agama; dan (5) Romantisme.

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Persepsi Diri No Materi

Tujuan

Abstraksi

1 Tes Proyeksi

Mengetahui proyeksi sikap anak terhadap keluarga, seks, hubungan interpersonal, dan konsep diri

2 Asesmen Kubus

D

Untuk mencapai tujuan materi, ada dua alat yang digunakan, yaitu Sack Sentence Completion Test (SSCT) dan asesmen kubus. Dengan menggunakan dua alat ini, setidaknya program memiliki gambaran awal mengenai sikap anak terhadap keluarga, seks, hubungan interpersonal, dan konsep diri.

3 Asesmen Agresi

M e n g e t a h u i kecenderungan anak melihat dirinya D M e n g e t a h u i c a r a pandang anak serta relasinya terhadap orang-orang dan halhal yang dekat/penting baginya D Pembanding kualitatif terhadap asesmen lain yang sifatnya lebih kuantitatif D M e l i h a t kecenderungan agresi anak di lapas D Melihat faktor agresi apa yang dominan pada setiap anak dan kecenderungan seluruh populasi anakdi lapas D Asesmen awal untuk merancang jenis intervensi yang tepat sesuai dengan kecenderungan agresi anak

S ela njutnya , a s e s me n la in dilakukan yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan keberadaan anak di LPKA, yaitu: D Asesmen Agresi D Asesmen Kecakapan Sosial D Asesmen KAP Seksual Anak Ketiga instrumen asesmen ini diharapkan dapat dijadikan tahapan dalam penerimaan anak dan menjadi dasar bagi LPKA mengembangkan intervensi atau layanan.

Ke Arah Perubahan Perilaku Anak: Catatan Atas Pengalaman Pendampingan Anak di LPKA yang Dikembangkan oleh Lembaga Advokasi Hak Anak

115


No Materi

Tujuan

4 Asesmen Kecakapan Sosial

D M e l i h a t

Abstraksi

tingkat kecakapan sosial anak di lapas D Melihat kecakapan sosial apa yang dominan (kuat) dan yang lemah untuk setiap anak di Lapas D Asesmen awal untuk merancang jenis intervensi yang tepat sesuai dengan tingkat kecakapan sosial anak secara umum D Asesmen akhir untuk melihat dampak dari intervensi yang diberikan, terhadap kecakapan sosial anak D Mengukur tingkat pengetahuan tentang seks, sikap terhadap seks bebas, serta perilaku seksual anak-anak di LPKA Sukamiskin D Mendeteksi sikapdan perilaku ‘permisif’ terhadap seks bebas di kalangan anak-anak LPKA Sukamiskin dan merencanakan cara penanganannya D H a s i l p e n g u k u r a n akan menjadi acuan untuk menentukan aspek-aspek yang perlu diperbaiki/ ditingkatkan, baik melalui pelatihan,

5

Asesmen Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Seksual

116

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


No Materi

Tujuan

Abstraksi

bimbingan, dan konseling. 6

7

Potret Diri

Apa yang Bisa dan Tidak Bisa Saya Ubah

8 Jam kehidupan 9 Sungai Kehidupan

D A n a k - a n a k

dapat menyebutkan kelebihan dan kekurangan diri sendiri D A n a k - a n a k d a p a t menyebutkan kelebihan orang lain D A n a k - a n a k d a p a t menjelaskan hambatan dalam melihat kelebihan orang lain D Mempelajari

aspek apa saja dari diri seseorang yang dapat diubah dan yang perlu diterima D Belajar menerima dan menghargai identitas diri sendiri Mengetahui perjalanan hidup anak D Mengetahui fase-fase penting perjalanan hidup anak D M e n g e t a h u i hambatan-hambatan dan hal yang menggembirakan dalam hidup anak

Dua materi ini ingin mengajak anak-anak untuk melihat ke dalam diri sendiri sebagai landasan melihat dan berelasi dengan orang lain. Kedua, pengenalan terhadap diri menjadi landasan juga untuk bergerak berubah ke arah yang lebih. Oleh karena itu, anak-anak diajak untuk memahami apa yang bisa dan tidak bisa diubah dalam hidup serta alasan-alasan yang menyebabkan sesuatu tersebut bisa atau tidak bisa diubah.

Kelompok materi ini mendorong anak-anak untuk mengingat dan mereflesikan perjalanan hidup dan fase-fase penting dalam hidup anak: hambatan dan hal yang menggembirakan. Karena bersifat pribadi, maka proses fasilitasi dilakukan secara personal.

Ke Arah Perubahan Perilaku Anak: Catatan Atas Pengalaman Pendampingan Anak di LPKA yang Dikembangkan oleh Lembaga Advokasi Hak Anak

117


Penguatan Perilaku No Materi

Tujuan

Abstraksi

1 Mencari Pacar

D

2

D Anak-anak

Pada materi ini, yang ingin dikuatkan adalah: D Kemampuan merumuskan pesan D Membiasakan menggunakan pertimbangan dalam mengambil keputusan D Kemampuan untuk menyadari akan batas D Kemampuan untuk membuat skala prioritas D K e m a m p u a n untuk menyampaikan pesan

Keinginan vs Kebutuhan

3 Membuat Prioritas

4 Surat Buat Ibu

118

M e m b a n g u n kemampuan anak dalam mengambil keputusan D M e m b a n g u n kemampuan anak untuk menghadapi kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan mampu membedakan antara keinginan dan kebutuhan D A n a k - a n a k d a p a t menggali kebutuhan dan hasrat pribadi yang mendasar di dalam kehidupan D A n a k - a n a k d a p a t mempelajari membuat prioritas tentang apa yang penting dalam kehidupan D Menggali

kebutuhan dan hasrat pribadi yang mendasar D Mempelajari membuat prioritas tentang apa yang penting dalam kehidupan D

Meningkatkan kemampuan anak menyampaikan gagasan D M e m b a n g u n kemampuan anak membuat prioritas

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


No Materi

Tujuan

Abstraksi

5 Aku dan Sekelilingku

D A n a k - a n a k

mau bekerjasama merangkai lagu D Anak bisa mencipta lagu berdasarkan tema yang dipilih D A n a k b i s a menyanyikan hasil ciptaan lagu D Anak bisa menciptakan nada/musik tanpa ada alat

30 april

6 Berjiwa Pemimpin

D

Nama materi dalam kelompok ini bersifat topik bersama. Topiknya bisa berbeda-beda, tapi prosesnya sama. Kelompok materi ini ingin mendorong anak-anak memiliki kemampuan untuk merumuskan dan mengidentifikasi.

7 Pertemanan

A n a k - a n a k mengetahui ciri-ciri pemimpin yang baik D A n a k - a n a k d a p a t menyebutkan syaratkerjasama yang baik D A n a k - a n a k b i s a menyebutkan atau mendefinisikan arti dari kata teman D A n a k - a n a k b i s a membedakan antara ciri teman dan bukan teman

8 Pergaulan

Anak-anak memahami bentuk-bentuk perilaku yang positif dan negatif dalam pergaulan

9 Ke pahlawanan

D Mengajak

anak-anak untuk memahami arti kepahlawanan D Mengajak anak-anak untuk menentukan perilaku-perilaku kepahlawanan

Ke Arah Perubahan Perilaku Anak: Catatan Atas Pengalaman Pendampingan Anak di LPKA yang Dikembangkan oleh Lembaga Advokasi Hak Anak

119


No Materi

Tujuan

10

D Memahami

Anak yang Berkonflik dengan Hukum

pengertian anak yang berkonflik dengan hukum D Membedakan jenis pelanggaran berat dan ringan D Memahami dampak pemenjaraan bagi anak dan keluarga

11 Prinsip prinsip hak anak

D M e m p e r k e n a l k a n

12

D Mengetahui

Bahaya Alkohol, Narkoba dan Rokok

13 Pribadi Kreatif

120

Abstraksi

prinsip-prinsip hak anak D Mendorong anak-anak untuk menemukan dan mengenali keadaan prinsip hak anak baik di lingkungan asal maupun di dalam LPKA akibat p e n g g u n a a n alkohol, narkoba dan rokok terhadap kemampuan orang dalam menjalankan fungsinya D Memperoleh informasi akurat tentang penggunaan alkohol, narkoba dan rokok D

M e n d o r o n g anak-anak untuk mengembangkan dan mengasah kreativitas D A n a k - a n a k d a p a t mengenali hambatanhambatan dalam kreatifitas

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


No Materi

Tujuan

Abstraksi

D A n a k - a n a k

dapat mengenali sikap positif untuk kreatif

14 Komunikasi

D

A n a k - a n a k mengetahui tata cara melakukan komunikasi dengan baik, tepat, dan sopan D A n a k - a n a k d a p a t mengetahui unsurunsur komunikasi yang baik dan sopan D Anak-anak dapat dapat mempraktekkan komunikasi yang baik, tepat, dan sopan

15 Menyimak aktif

Belajar dan melatih konsentrasi peserta lewat menyimak aktif

16 Kerjasama

Meningkatkan kemampuan anakanak dalam melakukan kerjasama dalam kelompok

17 Inisiatif

Memahami perilaku kunci yang menjadi penanda inisiatif

18 Keterbukaan

D Membantu

seseorang untuk sadar bagaimana perilaku seseorang memperngaruhi orang lain D Mengubah perilaku seseorang sehingga menjadi lebih produktif

Ke Arah Perubahan Perilaku Anak: Catatan Atas Pengalaman Pendampingan Anak di LPKA yang Dikembangkan oleh Lembaga Advokasi Hak Anak

121


No Materi

Tujuan

19 Jalan Menuju Sukses

D

20 Kehidupanku

D Anak

21 Kalender Masa Depan Anak

D M e n d o r o n g

22 Catatan Harian

D

Abstraksi

Mempelajari bagaimana mengenali dan menetapkan tujuan hidup D Mempraktikkan cara menggambar peta jalan ke arah tujuan yang diinginkan mampu berbagi tempat yang sama untuk maksud berbeda D M e n d o r o n g a n a k untuk memilih moment penting dalam hidupnya anak memiliki jadwal harian dan bulanan dalam setahun

M e m b a n g u n k e m a m p u a n kerjasama anak dalam kelompok D Menggali hasil tulisan anak D Mengetahui hambatan atau kesulitan ketika membuat tulisan

Kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain mensyarakatkan adanya kesediaan untuk berbagi tempat dan kesempatan yang sama. Untuk kepentingan terpenuhinya syarat tersebut, dua materi ini dalam prosesnya mendorong anak untuk menumbuhkan kesediaan berbagi dengan anggota kelompok Ide dasar memfasilitasi catatan harian kepada anak yaitu: D Mengelola perasaan D Membiasakan mendokumen tasikan peristiwa D Mengetahui situasi yang dihadapi dan dirasakan anak selama di LPKA

122

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


No Materi

Tujuan

Abstraksi

23 Hipnoterapi

D Menyegarkan

Hal yang disupport oleh program dalam materi ini adalah penyediaan alat untuk menulis dan asistensi penulisan

pikiran anak D Memberi semangat baru

Materi ini merupakan sessi yang diberikan oleh FOMPA STKS Penguatan Kapasitas

Penguatan Kapasitas No Materi

Tujuan

Abstraksi

1

Mengetahui objek-objek yang disukai oleh anakanak di sekitar lapas

Materi-materi ini dapat dikelompokkan oleh adanya kesamaan dalam prosesnya, yakni: D Penetapan tujuan bersama D Pesan atau gagasan yang ingin disampaikan D Mensyaratkan kerjasama D Mendorong pembagian peran D Komunikasi antaranggota

Fotografi

2 Membuat kartu ucapan bergambar

D

M e m b a n g u n kebiasaan anak untuk bekerja sama D Melatih percaya diri dan kreativitas anak

3 Membuat Poster

D

4 Membuat Kertas Daur Ulang

D A n a k - a n a k

Anak-anak dapat membayangkan dan membuat pesan kepada kelompok anak rentan yang lain D A n a k - a n a k d a p a t bekerjasama menuangkan pesan kepada kelompok anak yang lain dapat memiliki keterampilan mendaur ulang kertas D A n a k - a n a k d a p a t bekerja sama dalam kelompok

Dengan demikian, dalam kelompok materi ini, meski materinya lebih ke arah keahlian, namun materi diperlakukan sebagai topik bersama. Sementara prosesnya diarahkan kepada upaya penguatan perilaku, yakni kemampuan untuk hidup bersama orang lain. Soal makanan merupakan isu yang krusial dan mencerminkan banyak hal sehingga anak-anak membuat istilah khusus untuk soal makanan. Di anak-anak ada istilah “banding” untuk menyebut makanan yang datang dari luar.

Ke Arah Perubahan Perilaku Anak: Catatan Atas Pengalaman Pendampingan Anak di LPKA yang Dikembangkan oleh Lembaga Advokasi Hak Anak

123


No Materi

Tujuan

Abstraksi

5 Membuat stiker tematik

D A n a k - a n a k

Adanya konsumsi pada setiap pertemuan menjadi motivasi anak untuk terlibat dalam kegiatan. “Karena ada konsumsi”, memang sering terucap dari mulut anakanak.

dapat m e n j a d i k a n lingkungan sekitar sebagai bahan untuk membuat pesan D Anak-anak memiliki k e m a m p u a n mengemas pesan

6 Membuat pigura

D A n a k - a n a k

7 Perkusi dan Dance

D A n a k - a n a k

8 Membuat rujak

D A n a k - a n a k

9 Membuat kue bola-bola

D A n a k - a n a k

124

dapat memiliki keterampilan membuat pigura D A n a k dapat bekerjasama dalam kelompok dapat bekerja sama menciptakan irama dan gerakan D A n a k - a n a k d a p a t memanfaatkan barang bekas untuk berlatih kerjasama dan hiburan dapat melatih ketelitian D A n a k - a n a k d a p a t bekerja sama dalam kelompok dapat mengetahui cara membuat kue bolabola D A n a k - a n a k d a p a t memanfaatkan alat dan bahan yang tersedia

Memang ungkapan tersebut tidak salah dan bukan merupakan suatu masalah sebab kondisi di dalam penjara yang membuat akses anak-anak terhadap makanan menjadi krusial. Bahkan ungkapan ini mencerminkan banyak hal tidak hanya sekedar persoalan makanan. Oleh karena itu, program memandang perlu konsumsi ini juga menjadi alat pembelajaran atau pendampingan. Agar konsumsi bisa menjadi alat pendampingan, maka program mengemas konsumsi tersebut dibuat atau diolah oleh anak-anak secara berkelompok. Karenanya, yang tadinya konsumsi disajikan siap santap, diubah menjadi bahan yang harus diolah secara bersamasama agar bisa disantap secara bersama-sama pula. Ada dua hal yang ingin dicapai dari kegiatan ini, yaitu mendorong anak menjadi fasilitator bagi teman-teman lainnya. Kedua, penjara dalam satu titik sering dipahami sebagai universitas kriminal. Di dalam penjara saling tukar informasi tentang tindakan kriminal terjadi. Jenis

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


No Materi

Tujuan

Abstraksi

D A n a k - a n a k

tindakan kriminal yang dilakukan seringkali menjadi salah satu alat penentu posisi seseorang di dalam penjara. Melalui kegiatan ini anak-anak didorong untuk mentransfer pengetahuan yang positif. Setidaknya transfer pengetahuan dapat didorong dalam waktu-waktu formal seperti pertemuan pendampingan ini. Meskipun waktu-waktu informal memiliki pengaruh yang sangat kuat dibanding waktu formal anak.

dapat melakukan pembagian peran dan bekerjasama membuat kue bolabola

10 Membuat Karya dari Koran Bekas

11 Membuat Kartu Ucapan

D Merubah

kebiasaan interaksi antar dalam hal transfer pengetahuan D M e n i n g k a t k a n keterampilan anak dengan memanfaatkan bahan mudah dan murah

D

Anak dapat mengetahui dan mempraktekkan cara membuat kartu ucapan hari raya

Proses yang dilakukan adalah membuat list kemampuan anak membuat karya. Kemudian menawarkan kepada anak-anak untuk bersedia memfasilitasi teman-temannya agar memiliki kemampuan yang sama. Karena proses transfer pengetahuan dilakukan di waktu formal, maka pertemuan didesain sebatas fasilitasi teknis membuat karya. Proses karyanya sendiri dilakukan secara berkelompok per kamar di kamarnya masing-masing pasca pertemuan fasilitasi. Anak yang menjadi fasilitator berposisi sebagai konsultan proses bagi kelompok Materi keahlian ini diproses oleh anak-anak secara personal. Namun, point dari materi ini, kecuali materi Membuat Gelang Tangan dan Gambar Gantungan Kunci, lebih diarahkan kepada mendorong

Ke Arah Perubahan Perilaku Anak: Catatan Atas Pengalaman Pendampingan Anak di LPKA yang Dikembangkan oleh Lembaga Advokasi Hak Anak

125


No Materi

Tujuan

Abstraksi

D Anak bisa menuangkan

anak untuk meningkatkan kemampuan mengemas dan mengkomunikasikan pesan atau gagasan secara lebih baik..

ide dan gagasannya ke dalam kartu ucapan hari raya

12 Membuat Bahan Pidato

Melatih anak-anak untuk menyusun dan membuat pesan

13 Merancang sebuah tulisan

Mengetahui identitas, keluarga, dan cerita anak lewat sebuah tulisan

14

D Mengasah

Membuat Gelang Tangan dan Gambar Gantungan Kunci

kreativitas anak D Menyalurkan perasaan

DDD

126

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


6

Model Pendampingan Pemulihan Anak yang Tengah Menjalani Pidana Penjara: Catatan Sebuah Tawaran Konsep Tumbuh

A. Anak yang Berkonflik dengan Hukum dalam Kerangka Program Peduli

P

rogram Peduli tahap II, berjalan sejak tahun 2014, diselenggarakan di bawah pengelolaan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia dan The Asia Foundation. Ada 6 kelompok yang diidentifikasi sebagai kelompok tereksklusi yang menjadi sasaran dalam kerangka program, yaitu: (1) anak dan remaja rentan; (2) suku minoritas dan terisolasi; (3) korban diskriminasi; (4) korban pelanggaran HAM berat; (5) kaum difabel; dan (6) kaum waria. Program Peduli diimplementasikan dengan menggunakan pendekatan inklusi sosial. Melalui inklusi sosial, Program Peduli mendorong agar seluruh elemen masyarakat mendapat perlakuan yang setara dan memperoleh kesempatan yang sama sebagai warga negara, terlepas dari perbedaan apapun.145

145

http://programpeduli.org/inklusi-sosial/. Diakses tanggal 20 Januari 2016 Model Pendampingan Pemulihan Anak yang Tengah Menjalani Pidana Penjara: Catatan Sebuah Tawaran Konsep Tumbuh

127


Melalui pendekatan inklusi sosial, intervensi tidak hanya ditujukan pada kelompok yang mengalami eksklusi, namun juga relasi sosial antara kelompok dengan komunitas. Melalui proses ini diharapkan kelompok yang tereksklusi dapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan, kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya, serta memiliki akses dan kontrol yang sama atas sumber daya (untuk memenuhi kebutuhan dasar) dalam rangka menikmati standar kesejahteraan yang dianggap layak di dalam kelompok masyarakat yang bersangkutan. Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah salah satu bagian kelompok anak dan remaja rentan yang menjadi sasaran dalam Program Peduli tahap II. Atas dasar faktor eksklusi yang kerap melekat pada mereka, kelompok ini disepakati untuk menjadi sasaran program. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), anak yang menjalani pidana penjara harus di tempatkan di Lapas khusus anak. Keterbatasan jumlah Lapas Anak menjadikan banyak anak yang menjalani pidana penjara masih ditempatkan di Lapas umum. Karena itu dalam program ini, pendampingan tidak saja dilakukan bagi anak-anak yang ditempatkan di Lapas Anak, namun juga bagi anak yang ditempatkan di Lapas dewasa. Sebagai upaya pemerintah dalam memenuhi amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, pada tanggal 5 Agustus 2015, serentak diresmikan 33 Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) di seluruh Indonesia. Peresmian secara simbolik dilaksanakan di Lapas Anak Bandung. Dari 33 LPKA yang diresmikan, 18 diantaranya merupakan perubahan nomenklatur dari Lapas Anak yang telah ada, sedangkan 15 LPKA lainnya masih 128

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


ditempatkan di Lapas/rutan dewasa menunggu pembangunan LPKA secara bertahap.146 Program Peduli untuk klaster anak yang berkonflik dengan hukum menitikberatkan pada pengembangan model rehabilitasi dan reintegrasi bagi anak-anak yang tengah menjalani pidana penjara. Meskipun undang-undang menekankan bahwa perampasan kemerdekaan, baik dalam bentuk penahanan maupun penjatuhan pidana penjara, harus ditempatkan sebagai upaya terakhir, faktanya masih banyak anak-anak yang dikenai pidana penjara. Data pada Januari 2016, jumlah anak yang tengah menjalani pidana penjara di LPKA maupun Lapas sebanyak 2.217 anak, terdiri dari 2.179 anak laki-laki dan 38 anak perempuan.147 Dalam konteks peradilan pidana, perampasan kemerdekaan baik dalam bentuk penahanan maupun pemenjaraan yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang sah dilakukan.Aparat penegak hukum, baik dalam tahapan penyidikan, penuntutan, pengadilan hingga penjatuhan hukuman diberi otoritas untuk melakukan penahanan dan menjatuhkan pidana penjara. Meskipun begitu, segenap instrumen hukum internasional maupun nasional menyatakan bahwa perampasan kemerdekaan terhadap anak merupakan upaya terakhir yang sejauh mungkin harus dihindarkan penggunaannya. Konvensi Hak-hak Anak menyatakan bahwa bagi setiap anak terdapat 5 kelompok hak yang melekat, yaitu: 1. Hak sipil dan kebebasan. Hak ini meliputi hal-hal terkait pencatatan kelahiran, perlindungan atas identitas diri, kebebasan berekspresi, kebebasan berpikir, berhati nurani dan http://www.balebandung.com/2015-08-05/lpka-lpas-bandung-jadi-pilot-project. Diakses tanggal 5 Februari 2016 http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly/year/2016/month/1. Diakses tanggal 5 Februari 2016 146

147

Model Pendampingan Pemulihan Anak yang Tengah Menjalani Pidana Penjara: Catatan Sebuah Tawaran Konsep Tumbuh

129


berkeyakinan, kebebasan berkumpul secara damai, hak atas privasi, hak untuk mengakses informasi yang bermanfaat, serta perlindungan dari kekerasan, penyiksaan, penurunan martabat serta perlakuaan hukum yang tidak manusiawi. 2. Hak atas pengasuhan keluarga dan pengasuhan alternatif. Hak ini meliputi hal-hal terkait hak atas bimbingan orang tua, hak untuk tidak dipisahkan dengan orang tua, reunifikasi keluarga bagi anak yang terpisah antarnegara, serta hak atas pemulihan fisik, psikologis dan re-integrasi sosial bagi anak-anak korban kekerasan, eksploitasi, penyiksaan, hukuman yang kejam. 3. Hak atas kesehatan dan kesejahteraan dasar. Hak ini meliputi halhal terkait hak hidup dan kelangsungan hidup, hak atas pelayanan dan perawatan kesejahteraan dasar, hak atas kesehatan, hak atas jaminan sosial, serta hak atas standar kehidupan yang layak. 4. Hak atas pendidikan, waktu luang, rekreasi dan kegiatan budaya. 5. Hak atas perlindungan khusus. Hak ini diperuntukkan bagi anakanak yang berada dalam situasi darurat, anak yang berkonflik dengan hukum, anak korban kekerasan dan eksploitasi, serta anak dari suku minoritas, penduduk asli dan terasing. Dalam perspektif hak anak, seorang anak yang dirampas kemerdekaannya berdasarkan sistem peradilan pidana, harus dipahami bahwa yang dicabut hanyalah hak atas kemerdekaan. Sementara hak lain yang melekat pada anak, sebagaimana yang tertuang dalam Konvensi Hak Anak, tidak boleh turut tercerabut. Tidak ada satu situasi pun yang dapat mencabut hak anak atas aspekaspek tersebut. Dalam konteks ini, negara yang direpresentasikan oleh aparat penegak hukum memiliki kewenangan untuk melakukan perampasan kemerdekaan anak yang berkonflik dengan hukum, tetapi kewenanganan tersebut otomatis diiringi dengan tanggung130

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


jawab untuk memastikan bahwa hak-hak dasar anak tetap akan terpenuhi. Selain masalah pemenuhan hak, penerimaan sosial juga menjadi menjadi faktor eksklusi lainnya yang kerap dialami anak yang berkonflik dengan hukum. Masalah penerimaan sosial tidak saja karena stigma yang melekat pada anak,yang sering kali membuat anak tertolak saat kembali ke komunitasnya, namun juga masalah kemampuan dan kepercayaan diri anak untuk bisa kembali berinteraksi dan berintegrasi dengan berbagai aktivitas di komunitasnya. Dengan demikian, terkait penerimaan sosial pasca anak menjalani proses peradilan, intervensi di arahkan pada dua hal: pertama, bagaimana memberikan penguatan pada anak sehingga anak memiliki perilaku dan kecakapan sosial sehingga dapat meningkatkan aksesibilitas anak pada komunitasnya; dan kedua, bagaimana mengintervensi keluarga dan komunitas sehingga mereka dapat menerima dan memberikan dukungan sosial yang memadai sehingga anak dapat kembali ke komunitasnya secara konstruktif. Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, Program Peduli untuk klaster anak yang berkonflik dengan hukum ditekankan pada dua ranah, yaitu: pertama, bagaimana anak-anak yang tengah menjalani pidana penjara tetap dapat terpenuhi hak-hak dasarnya; dan kedua, bagaimana anak dapat diterima kembali oleh masyarakatnya selepas menjalani pidana penjara. Program Peduli klaster Anak yang berkonflik dengan hukum, dengan intervensi khusus pada anak yang tengah menjalani pidana penjara, diselenggarakan oleh 5 LSM di 8 Lapas/LPKA di bawah 2 lembaga payung, yaitu Yayasan Samin dan PKBI. Wilayah penyelenggaraan Program Peduli untuk klaster Anak Lapas tersebut adalah: Model Pendampingan Pemulihan Anak yang Tengah Menjalani Pidana Penjara: Catatan Sebuah Tawaran Konsep Tumbuh

131


No Lapas/LPKA Kota/Kab Provinsi

Organisasi Pengelola

1 Lapas Klas II

Jakarta Pusat Salemba

DKI Jakarta

PKBI Jakarta

2 LPKA Palembang

Kota Palembang

Sumatera Selatan

PKBI Sumsel

3

PKBI Bengkulu

Lapas Klas IIA Bengkulu

Kota Bengkulu

Bengkulu

4 Lapas Klas IIA

Kabupaten Curup

Bengkulu PKBI Bengkulu Rejanglebong

5

Kabupaten Bengkulu Bengkulu Utara

Lapas Klas IIB Argamakmur

PKBI Bengkulu

6 Lapas Klas IIA

Kota Palangakaraya

Kalimantan PKBI Kalteng Palangkaraya Tengah

7 Lapas Klas IIB

Kabupaten Sampit

Kalimantan Sampit

PKBI Sampit Tengah

8 LPKA Klas II

Kota Bandung Bandung

Jawa Barat

LAHA

Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) dalam kerangka Program Peduli mengembangkan model pendampingan bagi anak yang tengah menjalani pidana penjara.Pengembangan model ini dimaksudkan sebagai kontribusi LAHA dalam upaya perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum.

B. Sejarah Pengembangan Model Sejak tahun 2002, Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) mengembangkan program pendampingan bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Pendampingan yang dilakukan meliputi layanan bantuan hukum dalam proses peradilan pidana dan pendampingan sosial bagi anak-anak yang tengah menjalani pidana penjara di wilayah Bandung Raya. 132

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Pendampingan terhadap anak-anak yang tengah menjalani penjara pada awalnya dilakukan di Rutan Kebonwaru Bandung. Tahun 2010, LAHA juga mendampingi anak-anak di Lapas Narkotika Jelekong.Selanjutnya seiring berdirinya Lapas Anak Klas III Bandung pada tahun 2013, pendampingan LAHA terhadap anak-anak yang tengah menjalani penjara difokuskan di lapas tersebut.Tanggal 5 Agustus 2015, Lapas Anak Klas III Bandung berubah strukturnya menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Klas II Bandung. Sebagai satu-satunya LPKA di Jawa Barat, LPKA Klas II Bandung saat ini dihuni oleh anak-anak binaan yang berasal dari berbagai kabupaten/kota di Jawa Barat. Berbagai aktivitas pendampingan yang dilakukan oleh LAHA sejak tahun 2002 pada dasarnya didorong oleh perkembangan kesadaran dan pemahaman sebagai berikut:

Tahap

Situasi

Kesadaran pentingnya layanan bantuan hukum bagi anak

D Semua

LSM anak fokus kepada anak jalanan. D Anak-anak jalanan yang tertangkap polisi dan masuk proses hukum tidak ada yang menangani

Tahun 2002

Model Pendampingan Pemulihan Anak yang Tengah Menjalani Pidana Penjara: Catatan Sebuah Tawaran Konsep Tumbuh

133


Tahap

Situasi

Tahun

D Tidak

ada LSM anak yang bergerak di pendampingan proses hukum (hanya mengandalkan LBH)

Kesadaran perlunya kegiatan edukatif bagi anak selama di penjara

D Tidak

Kesadaran pentingnya dukungan orangtua dan komunitas

D Hubungan

Kesadaran dukungan perilaku

pentingnya penguatan

Kesadaran kerja berbasis kolaborasi

134

ada kegiatan bagi anak selama menjalani pidana penjara di rutan D Anak-anak yang masuk penjara menjadi terputus akses terhadap pendidikannya antara anak dengan orangtua menjadi renggang bahkan terjadi konflik D Kunjungan orangtua rendah D Komunitas tidak terlibat dalam penanganan AKH D Penolakan dari orangtua dan komunitas pada saat bebas D Kesulitan melanjutkan pendidikan ada upaya recovery bagi anak selama menjalani proses hukum D Tidak ada upaya peningkatan kapasitas anak D Tidak

D Kebutuhan

dan keadaan anak bervariasi D Anak-anak berasal dari berbagai daerah D Mulai banyak lembaga penyedia layanan masuk ke penjara dengan berbagai tujuan D Tidak ada koordinasi antar penyedia layanan

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak

2003 - 2005

2005 - 2006

2008 - 2015

2015


C. Konstruksi Model Pendampingan Pemulihan Anak Mengacu pada proses pengembangan model, LAHA sepenuhnya menempatkan model yang dikembangkan ini sebagai ‘model tumbuh’ yang bersifat hipotetik. Berbagai uji coba yang dikembangkan akan menjadi masukan pengembangan dan perbaikan model. Model alternatif ini selayaknya dipandang sebagai bagian dari upaya memenuhi berbagai kebutuhan layanan yang sepatutnya dapat diakses oleh anak yang tengah menjalani pidana penjara. Model ini disusun berdasarkan pengalaman pendampingan yang dikembangkan oleh LAHA bersama mitra kerja (stakeholder). Berdasarkan pengalaman tersebut, diyakini bahwa proses rehabilitasi dan reintegrasi anak yang menjalani pidana penjara mensyaratkan adanya intervensi yang menyeluruh. Intervensi ini tidak saja ditujukan kepada anak, tetapi juga terhadap orangtua, keluarga, tetangga atau komunitas di mana anak berasal. Dukungan stakeholder dapat dibaca sebagai: pertama, bentuk perhatian dan penerimaan stakeholder terhadap anak yang menjalani pidana penjara; dan kedua, peran dan aksi yang dilakukan bagi upaya rehabilitasi dan reintegrasi anak yang menjalani pidana penjara. Pengalaman menunjukkan, model rehabilitasi dan reintegrasi anak yang tengah menjalani pidana penjara setidaknya mencakup aspek-aspek yang bisa dipisahkan tetapi saling terkait, yaitu: a. Penguatan perilaku anak b. Penguatan kapasitas anak c. Penguatan kesadaran hukum anak d. Penguatan relasi dengan keluarga e. Penguatan dukungan komunitas f. Rekreasi dan pemanfaatan waktu luang g. Penggalangan dukungan lembaga penyedia layanan Model Pendampingan Pemulihan Anak yang Tengah Menjalani Pidana Penjara: Catatan Sebuah Tawaran Konsep Tumbuh

135


Secara skematis, kaitan antar aspek dapat digambarkan seperti terlihat pada skema dihalaman berikut Dalam model rehabilitasi dan reintegrasi ini, fokus perhatian ditujukan kepada dua hal, yakni sub model dan intervensi. Sub model merupakan sasaran dan intervensi merupakan kegiatan-kegiatan untuk mencapainya. Dengan demikian, kegiatan lebih bersifat kontekstual dan bisa berganti-ganti sesuai dengan situasi dan kondisi. Untuk mengetahui dan menentukan kontekstualitas sebuah alat diketahui dari proses asesmen terhadap anak, petugas, kelembagaan LPKA serta kondisi penyedia layanan. Baik sub model maupun intervensi pada dasarnya dirumuskan dan dikembangkan untuk menjawab dua pertanyaan kunci, yakni: (1) bagaimana hak anak terpenuhi di penjara; dan (2) dukungandukunganyang dibutuhkan dari keluarga dan komunitas. Pengembangan sub model membutuhkan alasan dan landasan baik secara yuridis (kebijakan) maupun teoritis. Dalam konteks itulah maka kajian diarahkan untuk mengetahui standar pelayanan yang ada serta praktek-praktek baik yang pernah dilakukan oleh berbagai pihak dalam pemenuhan hak anak, dukungan keluarga dan komunitas.

Kajian Standar Pelayanan Objek kajian ini adalah kebijakan-kebijakan berupa undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, standar operasional prosedur maupun standar pelayanan minimal. Proses pengkajian tidak hanya dilakukan dari atas ke bawah untuk melihat konsistensi, tetapi juga dilakukan ke samping untuk melihat harmonisasi antara satu kebijakan dengan kebijakan yang lainnya.

136

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Model Pendampingan Pemulihan Anak yang Tengah Menjalani Pidana Penjara: Catatan Sebuah Tawaran Konsep Tumbuh

137


Kajian Teoritik dan Model Rehabilitasi dan Reintegrasi Kajian dilakukan untuk mencari dan mengetahui basis teoritis kerangka konseptual intervensi. Selain itu, kajian diarahkan untuk mengetahui praktek-praktek yang dilakukan di berbagai negara sebagai bahan inspirasi maupun pembanding. Program khusus Redemption through Reading dikembangkan oleh Pemerintah Brazil. Melalui program ini, setiap narapidana memiliki kesempatan untuk mengurangi masa penjaranya dari setiap buku yang dia baca.Buku yang tersedia meliputi buku sastra, filsafat, ilmu pengetahuan dan buku klasik. Setiap narapidana diberi kesempatan membaca hingga 4 minggu lamanya lalu diminta untuk membuat essay terkait buku yang dibaca. Sebuah panel khusus dibentuk untuk menilai dan menentukan apakah essay yang dibuat memenuhi syarat sehingga narapidana yang bersangkutan memperoleh pengurangan masa penjara selama 4 hari. Melalui program ini, narapidana bisa memperoleh pengurangan masa hukuman hingga 48 hari per tahun. Di Hongkong, terdapat kebijakan Halfway House untuk program reintegrasi bagi mantan narapidana. Dalam program ini negara memfasilitasi rumah singgah dan berbagai program untuk proses transisi secara bertahap bagi mantan narapidana dari penjara ke kehidupan masyarakat. Program ini merupakan perpanjangan dari upaya rehabilitasi yang dilakukan di penjara. Supervisi akan tetap dilakukan khususnya untuk orang-orang yang memiliki kesulitan akomodasi atau ketergantungan obat-obatan. Pada masa transisi ini mereka dapat keluar di pagi hari untuk sekolah atau bekerja dan kembali di sore atau malam hari ke rumah. Program ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa disiplin dan perilaku positif dalam lingkungan yang terstruktur. Keluarga dan teman-teman didorong 138

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


untuk mengunjungi mereka sehingga memperkuat proses rehabilitasi dan reintegrasi mereka.

Asesmen Kegiatan asesmen didorong untuk dijadikan prosedur penerimaan anak di LPKA.Asesmen dilakukan untuk mendapatkan profil anak yang meliputi keadaan keluarga, kebutuhan, masalah serta kemampuan yang dimilikinya. Hasil asesmen akan menjadi landasan bagi pengembangan intervensi kepada anak baik secara personal maupun kelompok. Asesmen dilakukan ketika pertama kali seorang anak masuk ke LPKA dan akan diulang pada waktu yang telah ditentukan untuk melihat tingkat kemajuan anak. Ada tiga hal yang direkomendasikan untuk digali dan diketahui dari anak ketika datang ke LPKA, yaitu: D Kemampuan anak menghadapi atau berada pada situasi sulit secara emosional seperti marah, tertekan dan lain sebagainya. Untuk mengetahui profil kemampuan ini direkomendasikan untuk melakukan asesmen tingkat agresi anak. D Kemampuan anak untuk hidup bersama dan berinteraksi dengan orang lain. Untuk mengetahui kemampuan ini direkomendasikan melakukan asesmen kecakapan sosial anak. D Pengetahuan, sikap dan perilaku seksual anak. Aspek ini sangat kontekstual mengingat kasus seksual merupakan kasus yang paling banyak dilakukan oleh anak.

Penguatan Perilaku Anak Pola-pola perilaku dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan penguatan dengan mengkondisikan lingkungan dimana anak berada. Dengan begitu, variabel penguatan perilakutidak hanya ditujukan Model Pendampingan Pemulihan Anak yang Tengah Menjalani Pidana Penjara: Catatan Sebuah Tawaran Konsep Tumbuh

139


kepada anak semata tetapi lebih jauh dari itu mengkondisikan lingkungan seperti petugas, peraturan, interaksi dan lain sebagainya. Penguatan perilaku ini menjadi penting salah satunya adalah karena keberadaan anak di LPKA disebabkan oleh persoalan perilaku yang bertentangan dengan norma hukum maupun norma yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian, tujuan penguatan perilaku ini adalah terbangunnya kemampuan adaptasi anak terhadap norma-norma. Proses penguatan perilaku ini setidaknya mensyaratkan tiga hal, yaitu: D Adanya layanan untuk penguatan perilaku anak. LPKA perlu melakukan rekrutmen staf untuk menjadi psikolog di LPKA atau mengembangkan MoU dengan lembaga penyedia layanan psikologi baik dari LSM maupun fakultas psikologi. D Adanya instrumen asesmen untuk mengetahui dan memetakan kondisi perilaku anak. Asesmen ini menjadi basis bagi pengembangan intervensi penguatan perilaku. D Adanya keterlibatan petugas untuk mengamati dan mengukur setiap tahap perubahan sebagai indikator dari berhasil atau tidaknya intervensi yang diberikan Secara teknis, upaya penguatan perilaku ini dilakukan dengan mengembangkan kegiatan-kegiatan tertentu, baik yang sifatnya personal maupun kelompok. Kegiatan yang dilakukan meliputi: D Pendampingan : Pendampingan dilakukan secara personal atau kelompok. Kegiatan pendampingan secara personal dilakukan oleh seorang wali atau asisten wali anak yang telah dibekali kemampuan berhubungan dan berinteraksi dengan anak. Pendampingan secara kelompok 140

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


D

Konseling

D

Bimbingan

dapat dilakukan melalui pertemuanpertemuan yang diarahkan untuk membangun kemampuan anak untuk bekerjasama, mengambil keputusan, mengambil resiko atau kemampuan-kemampuan lain yang memupuk anak mengembangkan perilaku untuk siap hidup bersama orang lain. Untuk kegiatan pendampingan kelompok dapat melibatkan lembaga lain yang memiliki perhatian pada anak atau isu penguatan perilaku. : Kegiatan konseling dapat dilakukan dengan menyediakan tenaga psikolog atau konselor di LPKA. Penyediaan ini dapat ditempuh baik melalui rekrutmen staf maupun mengembangkan kerjasama dengan lembaga layanan lain atau fakultas psikologi. Tidak berbeda dengan kegiatan pendampingan, konseling ini pun dapat dilakukan baik secara personal maupun kelompok. Tema-tema konseling dapat merujuk pada hasil asesmen yang dilakukan sebelumnya. : Kegiatan ini merupakan upaya untuk menumbuhkan kesiapan anak dalam mengembangkan sikap dan rencana ke depan. Proses bimbingan disesuaikan dengan kondisi anak, baik dari sisi waktu maupun intensitas. Anak yang beberapa waktu ke depan akan bebas mendapat porsi bimbingan yang lebih banyak dan ditempatkan secara terpisah.

Model Pendampingan Pemulihan Anak yang Tengah Menjalani Pidana Penjara: Catatan Sebuah Tawaran Konsep Tumbuh

141


D

Pos layanan

: Kegiatan ini adalah cara lain untuk penguatan perilaku anak. LPKA dapat mengalokasikan tempat bagi lembaga lain untuk mengembangkan layanan harian di LPKA.

Penguatan Kapasitas Anak Layanan penguatan kapasitas anak diarahkan kepada dua hal, yakni: prakarsa pada pengembangan kapasitas yang sudah ada atau merujuk pada proses kreatif membangun kapasitas yang belum nampak pada diri anak. Keduanya mensyaratkan adanya pengetahuan awal tentang kapasitas yang dimiliki anak. Upaya penguatan kapasitas anak yang dilakuan di LPKA bermakna dua hal: 1. Penguatan kapasitas anak untuk mengakses pengetahuan dan keterampilan yang dapat digunakan oleh anak untuk: a) melaksanakan fungsi-fungsi essensial; b) memecahkan masalah; c) menetapkan dan mencapai tujuan; dan d) memahami kebutuhan pengembangan diri mereka dalam suatu lingkungan yang lebih luas secara berkelanjutan. 2. Layanan penguatan kapasitas anak menjadi bagian dari terapi perilaku anak. Dalam tataran praktek, proses pembelajaran atau pelatihan didesain untuk menguatkan kemampuan anak untuk: a) memiliki kemauan untuk melakukan; b) tekun dan sabar dalam proses; c) bekerja sama; dan d) hidup bersama dengan orang lain.

142

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Penguatan Kesadaran Hukum Anak Berkaitan dengan upaya penguatan kesadaran hukum anak, persoalan tidak semata bagaimana anak memiliki pengetahuan soal substansi hukum,tetapi juga bagaimana mereka mengenali tindakan-tindakan apa yang berpotensi atau memiliki resiko sehingga mereka dapat terlibat dalam masalah hukum. Materi hukum yang disampaikan kepada anak-anak di LPKA tentu membutuhkan penterjemahan baik secara metodologi maupun pesan yang disampaikan.Keberadaan anak-anak di LPKA merupakan wujud nyata dari adanya problem kesadaran dan ketaatan hukum. Problem ini bisa jadi dapat berupa perilaku dan pergaulan anak yang memiliki resiko melanggar hukum.Bagi anak-anak dari kelompok ini menyajikan isu kesadaran hukum memang memerlukan metodemetode tertentu. Bagi anak-anak dalam kelompok ini model penyajian dengan cara penyuluhan atau yang bersifat informatif mungkin tidak akan relevan. Selain itu, diperlukan adanya pembedaan antara keberadaan anak di LPKA yang disebabkan oleh perilaku kriminal dengan perilaku, yang dalam kategori psikologi disebut, kenakalan. Dalam hukum memang tidak mengenal pembedaan ini.Namun secara sosio-psikologis, pembedaan tersebut penting untuk dilakukan sebagai landasan desain layanan penguatan kesadaran hukum. Oleh karena itu, penentuan jenis dan bentuk layanan penguatan kesadaran hukum mesti dibarengi dengan pengetahuan yang kuat mengenai kondisi objektif anak-anak di LPKA serta pentahapan dan indikator pencapaian kesadaran hukum. Namun sebagai standar layanan dalam penguatan kesadaran hukum setidaknya LPKA dapat menyediakan: 1. Buku pegangan tentang kesadaran hukum. Buku ini berisikan materi hak-hak anak, perlindungan anak, sistem peradilan pidana Model Pendampingan Pemulihan Anak yang Tengah Menjalani Pidana Penjara: Catatan Sebuah Tawaran Konsep Tumbuh

143


serta pengenalan perilaku-perilaku yang beresiko anak terlibat dalam konflik hukum 2. Konsultasi hukum. Anak diberikan ruang untuk mengkonsultasikan setiap persoalan hukum yang dialaminya secara individual. Proses ini diharapkan memberikan penguatan kepada anak dalam menjalani proses peradilan. Kerap kali ketidakpercayaan diri anak terjadi karena anak tidak memahami proses yang dijalaninya. 3. Jadwal yang teratur untuk diskusi hukum. Diskusi tematik dilakukan secara teratur bagi anak. Tema-tema yang relevan diketengahkan, misalnya proses peradilan, penahanan, bagaimana mengajukan pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan hal-hal yang relevan. Tema-tema diskusi juga dapat bersumber dari usulan anak 4. Radio Land. Ini merupakan radio komunitas antara anak dan petugas. Jaringan radio komunitas dikembangkan sebagai media membangun komunikasi, keceriaan, dan kesempatan berekspresi anak. Materi yang disampaikan melalui radio ini dapat didengarkan oleh seluruh anak dan petugas yang berada di LPKA. Cara ini lebih efisien dan atraktif dibanding model kegiatan penyuluhan yang konvensional. Materi yang disampaikan tidak hanya persoalan hukum, tapi juga materi lain yang relevan misalnya kesehatan reproduksi, penguatan spiritual, pengumuman-pengumuman penting dari petugas atau memperdengarkan lagu-lagu hiburan pilihan anak-anak. 5. Kontes perilaku sadar hukum (baik berupa tulisan maupun pengamatan petugas). Anak perlu dimotivasi untuk berperilaku baik. Memberikan penghargaan saat anak berperilaku baik

144

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


sama pentingnya dengan mengenalkan anak pada hukuman saat berperilaku tidak baik. Penilaian dapat dilakukan antar anak dan petugas.

Penguatan Relasi dengan Keluarga Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengamanatkan pembentukan LPKA dan LPAS di tingkat provinsi.Penempatan LPKA di ibukota provinsi berkonsekuensi semakin menjauhkan anak dari orang tuanya. Anak-anak yang berasal dari daerah yang jauh dari ibukota provinsi berpotensi jarang dikunjungi oleh orang tuanya. Oleh karena itu, penguatan relasi dengan keluarga memiliki tantangan baik secara metodologis maupun ekonomis. Sebagai langkah awal, diperlukan adanya pemetaan relasi antara anak dengan keluarga.Secara umum terdapat dua kelompok anak, yakni anak yang tidak memiliki problem dengan keluarga dan anak yang memiliki problem dengan keluarga.Membangun komunikasi anak-keluarga antara kelompok anak yang pertama tentu berbeda dengan kelompok anak yang kedua. Pada kelompok anak yang pertama problem utamanya adalah jarak dan biaya komunikasi.Namun pada kelompok anak yang kedua, problem utamanya tidak saja pada soal jarak dan biaya, namun lebih jauh dari itu adalah persoalan buruknya relasi antara anak dengan keluarga.Maka selain mengatasi soal jarak dan biaya, pada kelompok anak kedua dibutuhkan dukungan untuk memperbaiki relasi. Terhadap anak kelompok kedua ini, intervensi yang dilakukan tidak saja kepada anak semata, namun juga terhadap orangtua atau keluarga. LPKA sebagai institusi yang berfungsi untuk rehabilitasi dapat secara pro aktif mengembangkan layanan penguatan relasi dengan Model Pendampingan Pemulihan Anak yang Tengah Menjalani Pidana Penjara: Catatan Sebuah Tawaran Konsep Tumbuh

145


keluarga. Beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh LPKA dalam penguatan relasi dengan keluarga ini diantaranya adalah: Hari Telepon Keluarga : Menetapkan satu atau dua hari dalam seminggu sebagai hari menelepon keluarga. Untuk efektifitas komunikasi, dapat diatur pembagian jadwal hari menelepon keluarga secara bergiliran. Hari menelepon keluarga ini diprioritaskan kepada anak-anak yang tidak pernah dikunjungi karena alasan biaya transportasi. Bagi anak yang tidak pernah dikunjungi karena persoalan relasi dengan keluarga yang buruk, hari menelepon keluarga ini dapat digunakan untuk memulai upaya pemulihan relasi. Dengan demikian, sebaiknya didampingi dan dimediasi oleh petugas secara bertahap. Untuk memastikan bahwa yang ditelepon adalah keluarga, data profil keluarga yang digali pada saat asesmen dapat dijadikan rujukan. Hari Kumpul Keluarga : Menetapkan setidaknya satu hari dalam setahun sebagai hari berkumpul dengan keluarga. LPKA dapat memfasilitasi kehadiran orangtua untuk bertemu secara fisik dengan anaknya di LPKA. Meski pada prinsipnya layanan ini bagi semua anak, namun dorongan untuk hadir diprioritaskan kepada orangtua yang tidak 146

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


pernah berkunjung karena alasan relasi yang buruk atau memiliki problem biaya transportasi. Pada momen hari berkumpul dengan keluarga ini dapat didesain agenda perencanaan dukungan orangtua baik selama anak di LPKA maupun setelah bebas. Korespondensi dengan Orangtua : Memfasilitasi anak-anak untuk melakukan korespondensi dengan orangtua tidak hanya terkait pengiriman suratnya, namun juga asistensi dalam membuat surat. Asistensi ini dimaksudkan untuk kepentingan dua hal:pertama, membantu anak-anak mengartikulasikan gagasan, pesan, dan harapan anak terhadap orangtua secara lebih baik; dan kedua, merekatkan hubungan antara anak dengan petugas. Selain berisi pesan dan harapan yang bersifat personal, secara tematik dapat pula didesain tema bersama. Buku Penghubung : Buku penghubung ini berisi catatan perkembangan, layanan yang diikuti anak serta aktifitas anak selama di LPKA. Melalui buku penghubung ini diharapkan orangtua dapat merespon dengan mempersiapkan dukungan yang dapat dilakukan buat anak. Buku penghubung ini dapat pula dijadikan bahan informasi bagi pengembangan portofolio yang Model Pendampingan Pemulihan Anak yang Tengah Menjalani Pidana Penjara: Catatan Sebuah Tawaran Konsep Tumbuh

147


membantu anak menjelaskan keterampilan yang dimiliki dan perubahan dirinya kepada masyarakat maupun perusahaan atau tempat kerja lainnya.

Penguatan Dukungan Komunitas Pengamatan terhadap anak yang bebas dari penjara menunjukkan ada dua pola, yaitu anak yang pulang ke rumah orangtua dan anak yang dititipkan di tempat lain seperti rumah nenek, saudara atau lembaga pendidikan di luar kampung halaman. Bagi anak yang pulang ke rumah orang tua tidak berarti telah diterima dengan baik oleh keluarga maupun masyarakat. Tak jarang stigma sebagai anak yang pernah di penjara harus diterima oleh anak. Konsep komunitas yang dikembangkan LAHA dimaksudkan untuk menemukan ikatan sosial anak dalam tiga ruang: 1. Ikatan sosial yang berlandaskan teritorial seperti tetangga, tokoh masyarakat dan agama dan lain sebagainya. 2. Ikatan sosial yang berlandaskan kegiatan rutin seperti teman sekolah, teman bekerja, klub, dan lain sebagainya 3. Ikatan sosial yang dibangun berdasarkan jaringan sosial seperti organisasi, kelompok hobby, dan lain sebagainya. Pengenalan atas ikatan sosial anak terhadap tiga ruang pada dasarnya untuk memetakan pihak-pihak yang dapat dilibatkan dalam mendukung proses penerimaan anak pasca menjalani hukuman. Selain pihak keluarga, pihak-pihak yang memiliki ikatan dengan anak dapat didorong untuk terlibat dalam mendukung penerimaan anak oleh masyarakat secara lebih luas. Dengan cara yang demikian, proses yang akan dilalui menjadi lebih kongkrit dibanding dengan 148

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


hanya menyebut masyarakat yang impersonal, heterogen dan cenderung abstrak. Dalam konteks ini, intervensi dilakukan melalui dua kegiatan yaitu kunjungan tetangga dan kunjungan kawan sebaya.

Rekreasi dan Pemanfaatan Waktu Luang Rekreasi merupakan salah satu hak dasar anak148 Aktivitas ini penting untuk mengotimalkan tumbuh kembang anak.Penyediaan ruang dan media sehingga anak dapat mengakses kegiatan rekreatif menjadi hal penting dalam penanganan anak yang tengah menjalani pidana penjara.Kegiatannya yang dilakukan meliputi aktivitas olahraga, penyediaan buku-buku bacaan (perpustakaan), dan kegiatan bermusik.

Penggalangan Dukungan Lembaga Penyedia Layanan Penggalangan dukungan dari pemangku kepentingan untuk mengembangkan layanan bagi anak di LPKA dapat ditinjau dari dua hal, yaitu tingkat relevansinya dengan kebutuhan proses rehabilitasi dan reintegrasi anak, serta pengorganisasian dukungan sehingga terjadi sinergis . LAHA mengembangkan bentuk kelembagaan kerjasama melalui kelompok kerja (pokja). Semua rencana intervensi direncanakan dan diimplementasikan melalui pokja. Area kerja pokja terbagi dua, yaitu: D Area kerja manajemen, monitoring, dan evaluasi layanan. Area ini dapat dilakukan oleh sebuah badan yang disebut sebagai Kelompok Pengarah. Anggota Pengarah ini terdiri dari LPKA, SKPD, LSM, perguruan tinggi, asosiasi profesi, dunia usaha serta pihak lain yang relevan. 148

Pasal 31 KHA Model Pendampingan Pemulihan Anak yang Tengah Menjalani Pidana Penjara: Catatan Sebuah Tawaran Konsep Tumbuh

149


D

Area kerja implementasi layanan penguatan. Area ini diisi dan dilakukan oleh sebuah badan yang disebut sebagai Gugus Tugas. Jumlah Gugus Tugas tergantung lingkup pekerjaan rehabilitasi dan reintegrasi anak.

Mengingat ada 5 aspek penguatan yang dikembangkan, maka ada 5 gugus tugas yang dibuat dalam Kelompok Kerja ini. 1. Gugus Tugas I untuk penguatan perilaku anak 2. Gugus Tugas II untuk penguatan kapasitas anak 3. Gugus Tugas III untuk penguatan kesadaran hukum anak 4. Gugus Tugas IV untuk penguatan relasi anak dengan keluarga 5. Gugus Tugas V untuk penguatan dukungan komunitas Dengan mengambil bentuk Kelompok Kerja, maka setidaknya ada tiga fungsi yang menjadi tanggung jawab kelompok kerja. Ketiga fungsi tersebut adalah: D Rancanganlayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak D Koordinasi kegiatan D Penggalangan dukungan untuk pemenuhan kebutuhan anak Secara diagram, Kelompok Kerja ini dapat digambarkan sebagai berikut:

150

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Untuk mendukung kelancaran, maka ada empat hal yang dapat disusun agar kerjasama bisa berjalan secara efektif dan terkoordinasi dengan baik. Keempat hal tersebut adalah: D Peran dan fungsi masing-masing lembaga penyedia layanan yang terlibat dalam penanganan anak di LPKA D Mekanisme kerja D Komitmen sumberdaya, kapasitas, dan waktu yang tertuang dalam MoU D Struktur dan aturan main Secara skematis, alur dan mekanisme kelompok kerja dapat digambarkan sebagai berikut:

Model Pendampingan Pemulihan Anak yang Tengah Menjalani Pidana Penjara: Catatan Sebuah Tawaran Konsep Tumbuh

151


Penutup Model yang ditawarkan tentu saja tidak seperti sebuah bujursangkar: begitu beres, selesai dan tertutup dengan semua sisi yang sama. Sangat dimungkinkan diperlukan perubahan dan adaptasi untuk penyempurnaan model yang lebih baik.Dengan begitu, model yang ditawarkan lebih tepat ditempatkan dan diperlakukan sebagai model tumbuh.Perubahan dan adaptasi ini mungkin terjadi mengingat model ini mengandaikan dan mengandalkan adanya kolaborasi yang padu antara LPKA dengan stakeholder dan kemampuan LPKA mengelola stakeholder. Salah satu hal yang sudah dapat diprediksi adalah sifat keterlibatan stakeholder yang cenderung berdasarkan dan terbatas pada program yang dikembangkan pada waktu-waktu tertentu.Namun hal ini dapat diantisipasi dengan merumuskan MoU antara LPKA dengan stakeholder.Dalam MoU dapat dilihat jenis dan jangka waktu kerjasama yang dibangun oleh stakeholder dengan LPKA.Dengan MoU inilah LPKA dapat memilah dan memetakan jenis perlakuan dan harapan atas layanan yang dikembangkan oleh stakeholder. Alasan lain yang menempatkan model ini sebagai model tumbuh adalah bahwa intervensi merupakan alat untuk mencapai sasaran (sub model). Intervensi dapat berganti-ganti sesuai dengan situasi, kemampuan, konteks lokasi yang berbeda-beda namun disatukan oleh standar layanan yang sama yang harus ada atau dikembangkan oleh LPKA, yakni sub model. Dengan adanya kekhasan situasi, kemampuan, dan konteks lokasi yang berbeda-beda inilah yang justru akan mengoreksi, menambah atau memperkuat model ini. Kita perlu menetapkan langkah dan ukuran yang realistis yang dapat kita capai dalam mengimplementasikan dan mengujicobakan model alternatif ini.Kita tidak perlu terlampau ambisius untuk 152

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


mengimplementasikan semua bagian dari model intervensi dari semua sub model yang ditawarkan. Memilih satu atau dua model intervensi dengan perancanaan yang baik dan terstruktur, mengujicobakannya, melakukan pencatatan, monitoring dan evaluasi akan cukup memberikan konstribusi bagi upaya pengembangan model alternatif ini. Tujuan akhirnya tentu berharap bisa menjadi sumbangan bagi upaya perlindungan anak, khususnya anak yang berhadapan dengan hukum. Masing-masing LSM yang menjadi mitra Program Peduli bersama dengan pihak LPKA/Lapas dimana program dikembangkan akan merumuskan dan menentukan bagian mana yang akan dipilih untuk diujicobakan. Variasi dalam pelaksanaan intervensi sangat dimungkinkan. Faktor yang perlu menjadi pertimbangan antara lain ketersediaan dan kapasitas sumber daya manusia, fasilitas yang telah dan perlu dimiliki, lokalitas, dan pembiayaan. Proses pendampingan yang dilakukan selain menjadi bagian layanan yang dikembangkan oleh LSM juga menjadi alat mengujicobakan model yang dikembangkan. Pencatatan terhadap setiap proses dan pemaknaan dari berbagai temuan akan menjadi bahan berarti bagi pengembangan model lebih lanjut. DDD

Model Pendampingan Pemulihan Anak yang Tengah Menjalani Pidana Penjara: Catatan Sebuah Tawaran Konsep Tumbuh

153


154

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Daftar Pustaka

Andi Akbar, et all.,Membongkar Ingatan Berbagi Pengalaman – Kumpulan Catatan Pengalaman, Pustaka LAHA, 2008 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, Jakarta, 2011 Dhami, Mandeep K., Mantle, Greg and Fox, Darrell, Restorative justice in prisons, Contemporary Justice Review, 2009 European Best Practices of Restorative Justice Conference Publication, 2010 Gale Thomas Kurian, World Encyclopedia of Police Forces and Correctional Systems, 2nd ed, Thomson Gale, Detroit, 2006, Gerry Johnstone, Daniel Van Ness, ed., Handbook of Restorative Justice, Routledge, New York, 2011 John Braithwaite, Restorative Justice and Responsive Regulation, Oxford University Press, New York, 2002 Mamik Sri Supadmi, et al., Kajian Kebutuhan Perempuan Dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia. Sebuah Inisiatif untuk Reformasi Model Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial yang Berpihak Pada Perempuan, Pusat Kajian Perlindungan Anak dan Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, Jakarta, 2012 Moh. Syafari Firdaus et all, Keadilan Restoratif – Saatnya Menerapkan Keadilan yang Memulihkan Bagi Anak, Pustaka LAHA, 2015 Marian Liebmann, Restorative Justice, How It Works, Jessica Kingsley Publisher, London, 2007 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UNDIP, Semarang, 1995 Daftar Pustaka

155


P.A.F. Lamintang, Hukum Penintensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010 Petrus Irwan Panjaitan dan Pandopotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995. Santi Kusumaningrum, et all., Mekanisme Pembinaan, Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial bagi Anak di Indonesia. Studi Terbatas terhadap Anak dalam Sistem Pemasyarakatan, Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia-The Asia Foundation, 2011 Rai Rama Kant, School Management Committee Manual 2011, National Coalition for Education, New Delhi. 2011 Soetodjo, Wagiati, 2006. Hukum Pidana Anak. Bandung: PT. Refika Aditama The Canadian Resource Centre for Victims of Crime, Restorative Justice in Canada: what victims should know, 2011 United Nation Office on Drugs and Crime, Handbook on Restorative Justice Programmes, Handbook on Criminal Justice Series, United Nations Publication, New York, 2006 United Nations Rules for the Protection of Juvenile Deprived of their Liberty United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency United Nations Convention on The Rights of Child General Comment No. 10, United Nations Committee on The Rights of Child Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 156

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


Undang-undang N0mor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Peraturan Pemerintah Nomo5 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan Peraturan Presiden Nomor 175 tahun 2014 tentang Pendidikan dan Pelatihan Terpadu Bagi Penegak Hukum dan Pihak Terkait Mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2014 tentang Standar Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH01.PK.02.02 Tahun 2010 tentang Remisi Susulan, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01.

157


PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01. PK.04.10 Tahun 2007 tentang Wali Pemasyarakatan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 tertanggal 28 Maret 2013 Anne Lee, Redemption Through Reading, www.uprooting criminology.org. Diakses tanggal 16 Februari 2016 Davit Setyawan, Menuju Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Anak,www.kpai.go.id. Diakses tanggal 16 Februari 2016 Parole and Probation Administration, Restorative Justice, Department of Justice Republic of Philippines, 21 September 2014, www. probation.gov.ph., 22 Februari 2016, 14:21. www.ditjenpas.go.id. Diakses tanggal 20 Februari 2016 http://family.jrank.org/pages/247/Children’s-Rights-HistoricalRoots-Children-s-Rights-Movement.html. Diakses tanggal 20 Februari 2016 www.Insightprisonproject.org. Diakses tanggal 16 Februari 2016 Edi Suharto, Pekerja Sosial dan Peradilan Anak, http://www. republika.co.id/berita/koran/teraju/14/09/19/nc4tw821-pekerjasosial-dan-peradilan-anak . Diakses tanggal 10 Februari 2016 http://www.rmol.co/read/2015/09/23/218292/Kebutuhan-padaPekerja-Sosial-Profesional-Tak-Bisa-Ditunda-Lagi- . Diakses tanggal 10 Februari 2016 http://candrajunie.blogspot.co.id/2012/08/empat-pilar-pembelajaranunesco.html. Diakses tanggal 5 Februari 2016 http://programpeduli.org/inklusi-sosial/ . Diakses tanggal 27 Februari 2016

158

Mengembangkan Model Pendampingan Berlandaskan keadilan Restoratif di Lembaga Pembinaan Khusus Anak


http://www.balebandung.com/2015-08-05/lpka-lpas-bandung-jadipilot-project. Diakses tanggal 5 Februari 2016 http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly/year/2016/ month/1. Diakses tanggal 25 5 Februari 2016 Atalim, S. 2013. Keadilan Restoratif sebagai Kritik Inheren terhadap Pengadilan Legal-Konvensional.Jurnal Recht Vinding, Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013 http://rechtsvinding.bphn.go.id/ view/?id=104&isi=artikel. Diakses tanggal 27 Februari 2016 Yunus, Yutirsa. 2013. Analisis Konsep Restoratif Justice melalui Sistem Diversi dalam Sistem Peradilan Anak di Indonesia. Jurnal Recht Vinding, Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013 http:// rechtsvinding.bphn.go.id/artikel/ARTIKEL%206%20Vol%20 2%20No%202.pdf. Diakses tanggal 27 Februari 2016

DDD

159


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.