Bececakop

Page 1


Bececakop

Oleh : Rini Febriani Hauri dan Wenny Ira Reverawatiyang


Kata Pengantar Ada beberapa kawan bertanya pada saya, sekitar tahun 2012 disaat kami (SSS Pundi Sumatera) mulai mengimplementasikan program “Strategi Mendukung Kehidupan dan Sumber Daya Alam SAD di Sepanjang Lintas Tengah Sumatera”, yang didukung oleh PNPM Peduli (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat)…. Diantara pertanyaan mereka yang masih cukup saya ingat adalah…. “Jadi, kalian akan merubah pola hidup SAD..??” “Kalian akan membuat mereka (SAD) meninggalkan tradisi nenek moyangnya…?”, Betul kalian mau melaksanakan program ini…? Itu berarti kalian akan menghilangkan identitas komunitas SAD dan itu hampir sama dengan genosida…” Pertanyaan terakhir benar-benar mengagetkan saya karena sungguh bukan itu tujuan langsung maupun tidak langsung dari program ini. SSS Pundi Sumatera melalui program ini hanya ingin memastikan bahwa komunitas SAD yang berada di sepanjang lintas tengah Sumatera yang secara nyata ruang hidupnya bukan lagi hutan, mendapatkan hak-hak dasar seperti hak atas sumber penghidupan yang layak, ha katas pendidikan

i


dan kesehatan, tanpa menghilangkan identitasnya sebagai komunitas. Lalu pertanyaan kemudian adalah apa identitas sosial komunitas SAD…? Apakah hidup miskin, hanya bisa berburu tanpa mengenal kegiatan budidaya, tidak berpendidikan formal dan tidak terdaftar sebagai warga negara, bercawat dan tidak berpakaian, jorok dan tak peduli kesehatan itukah identitas mereka…?? SSS Pundi Sumatera yakin bukan itu identitas mereka, sehingga SSS Pundi Sumatera tanpa ragu mengubah Stigma negative itu. Buku ini lahir dari sebuah kajian sederhana, hasil ngobrol hati ke hati dengan beberapa perwakilan dari komunitas SAD, tapi paling tidak… buku ini memberi sedikit petunjuk tentang apa saja yang menjadi ciri khas budaya mereka, yang akan dipertahankan sebagai Identitas Suku Anak Dalam. Terima kasih kepada Rini Febriani Hauri dan Wenny Ira Reverawatiyang telah berkenan untuk mendokumentasikan sebagian kecil dari budaya kehidupan komunitas ini. Semoga buku ini bermanfaat untuk kita semua… Salam M. Sutono

ii


Daftar Isi Kata Pengantar

i

Daftar Isi

iii

Senandung Anak Dalam di Tari Bedeti Ngakob Ikan Hukum Adat yang Berlaku Bayar Bangun Talak Rotan Sebalik Sumpah Bingguk Berinduk Semang Melangun dan Mekhatop Migrasi dari Kesakitan Mengulik Sedikit Bahasa Rimba Akar Tepur Malam Ngigau Besale Suara-Suara dari dalam Rimba iii


Sentubung di Bawah Sudung Pasoron yang Hilang dan Ditinggalkan Harimau di Tahun Tujuh Puluh Sekapur Sirih Sugi Nenek Timpo Sudung Besak dan Sudung Kecik Rusa Keramat Berbagi Hewan Buruan Penanda Waktu Suku Anak Dalam Ambung, Ruang yang Meraung di Punggung` Biodata Penulis Cerita Dari SAD Bermain Bersama Perempuan SAD Perjuangan Asmara Lelaki SAD Dongeng Kura-Kura dan Beruk Tradisi Joget dan Mencukur Anak SAD Tradisi Nyurung Belanjo dan Pernikahan Pada SAD di Rombong Tumenggung Nilo Riwayat Bertanam Padi dan Tanaman Obat-Obatan SAD Biodata Penulis

iv


Senandung Anak Dalam di Tari Bedeti Tari Bedeti merupakan seni pertunjukan Suku Anak Dalam Kecamatan Pelepat yang nyaris punah ditelan zaman. Dahulunya, ritual tarian ini difungsikan untuk turun mandi ke sungai atau perayaan satu bulan kelahiran anak bayi. Tarian ini juga berfungsi sebagai doa keselamatan penjaga komunitas adat terpencil Suku Anak Dalam dan sebagai nasihat dalam perkawinan. 1


Seiring terusirnya komunitas adat terpencil ini dari hutan hingga menetap di permukiman pemerintah, tarian ini tak lagi digunakan sebagaimana fungsinya. Bergantinya kepercayaan Suku Anak Dalam dari animisme menjadi Islam (rombong Tumenggung Hari) membuat komunitas ini melakukan pernikahan dan akikah secara Islam. Mak Nur, perempuan tua sekaligus dukun beranak atau bidan adalah salah satu tetua yang paling menguasai tari bedeti. Mak Nur sendiri sudah pernah mementaskan tarin ini mulai dari Provinsi Jambi hingga tingkat nasional di ibu kota beberapa tahun silam. Ketakutan Mak Nur akan hilangnya seni tari ini membuatnya memutar kepala. Kini, tari bedeti berganti menjadi tari persembahan atau penyambutan para tamu yang datang ke permukiman mereka. Dipercaya, tarian ini sekaligus doa yang mampu memberikan keselamatan bagi anggota komunitas Suku Anak Dalam. Meski dari fungsi sudah berubah, secara esensi dan tata caranya masih sama. Tarian ini bisa dilakukan bertiga, berempat, atau berenam sesuai ketersediaan penari. Semua penarinya wajib perempuan Suku Anak Dalam, yang dari segi usia tidak dibatasi. Perlengkapan yang digunakan dalam menari hanya kain panjang dan selendang saja. Jika dulu, kain panjang digunakan sebagai kemben karena tidak memakai pakaian lagi, kini kain panjang dililitkan ke pinggang sebagaimana memakai rok. Pakaian yang dipakai pun bebas, namun tetap menggunakan selendang sebagai atribut dalam 2


pertunjukan. Gerakan tari bedeti sangat tenang, namun tetap memiliki pesan yang kuat. Saat penari meliukkan jemari dan tubuhnya, seorang dukun sakti atau orang yang dituakan melafalkan mantra yang dinyanyikan. Senandung ini dinyanyikan tanpa iringan musik. Gerakan tarian akan berhenti bilamana yang disenandungkan oleh seorang dukun telah usai. Namun sayang, di masa kini tak ada satu pun yang hafal senandung tari bedeti, kecuali Mak Nur. Para generasi muda mengatakan bahwa mantra tersebut sangat sulit dihafal sehingga hal ini merupakan kendala bagi Mak Nur dalam meregenerasikan seni tradisi tari bedeti. Mak Nur berharap akan ada generasi yang peduli terhadap kesenian ini sebab kesenian pencak silat sudah hilang seiring meninggalnya sang empu sebelum sempat diwariskan ke anak cucu.

3


4


Turun Mandi

Tradisi turun mandi ke sungai yang dilakukan kepada bayi berusia satu bulan merupakan tradisi lama tatkala rimba masih menjadi rumah tempat berteduh sekaligus berlindung dari segala rasa lapar. Tradisi ini bermaksud meminta keselamatan dari para dewa agar diberi umur yang panjang, dijauhkan dari segala penyakit, dimurahkan rezekinya, menjadi anak yang 5


berbakti kepada orang tua, serta menjauhkan anak dari hal-hal gaib yang hendak mengganggunya. Pertama-tama yang perlu disipkan adalah tujuh bilah parang. Tujuh bila parang ini akan dipasang di tengah-tengah sungai dengan menancapkan parang ke dasar sungai, yakni empat bilah parang ditancapkan dengan kemiringan sekitar tujuh puluh derajat menghadap ke arah timur dan tiga bilah parang ditancapkan dengan kemiringan yang sama ke arah barat. Cara penancapan parang dilakukan satu per satu, yakni area ketajaman parang disesuaikan ke arah yang telah ditentukan, sebab bagian tumpul inilah yang nantinya akan diinjak oleh sang bayi. Usai menancapkan sisi timur lalu sebilah parang ditancapkan juga dari sisi barat sehingga membentuk segitiga sama kaki. Begitu seterusnya hingga tujuh bilah ditancapkan. Kedua orang tua bayi lalu turun ke dalam sungai. Seorang dukun menggendong sang bayi dengan diiringi para penari yang berdiri di bibir sungai. Berapa pun jumlah penari, posisi dukun atau orang tua berada di depan tepat di tengah-tengah penari. Saat mantra disenandungkan oleh dukun, penari mulai menggerakkan bagian tubuhnya. Sang dukun lalu turun ke sungai dan memberikan bayi tersebut kepada ibunya. Lalu sang ibu wajib menurunkan anaknya ke sela-sela parang yang telah ditancapkan hingga jari kaki sang anak menyentuh parang. Tujuh bilah parang yang ditancapkan merupakan simbol benda yang kuat. 6


Filosofi dari parang ini, diharapkan bayi tumbuh menjadi pribadi yang kuat, tegas, dan memiliki semangat yang keras sebagaimana material benda ini. Selama pertunjukan berlangsung, para anggota komunitas yang sedang menonton diwajibkan khidmat dan tidak diperbolehkan mengeluarkan suara apa pun. Setelah acara selesai, kemudian makan bersama di depan sungai. Makanan yang telah disediakan antara lain, buah-buahan (jika sedang musim buah), gadung, banar, dan sagu yang telah direbus. Ada juga daging hewan hasil buruan, seperti babi, rusa, ular, dan lain-lain. Terkadang, ada juga pihak keluarga yang tidak menyediakan makanan. Suku Anak Dalam tidak mengharuskan adanya makanan dalam melaksanakan ritus. Tergantung dari perekonomian suatu keluarga.

7


8


Nasihat Perkawinan Sebelum bujang dan gadis resmi menikah, pihak laki-laki membuatkan sudung di dekat sudung orang tua si perempuan atau matrilokal. Sudung adalah tempat tinggal Suku Anak Dalam semacam gubuk yang tidak memiliki dinding. Kayu-kayu yang digunakan untuk membuat sudung tidak memiliki ciri khas khusus, yang penting kayu tersebut kuat menopang atap.

9


Namun ada dua kayu larangan yang tidak boleh digunakan mendirikan sudung. Pertama, bila menggunakan kayu kamran diyakini akan menghambat rezeki. Kedua, kayu salului, selain mampu menghambat rezeki, para penghuninya akan dibenci para dewa. Sementara atap yang digunakan ada yang terbuat dari daun rumbai, daun lipas, atau juga terpal. Sudung juga punya nama lain, yakni kemalomon. Karena garis keturunan Suku Anak Dalam berdasarkan dari pihak ibu atau matrilineal, setiap anak bujang yang menikahi anak gadis wajib mengikuti keluarga pihak perempuan ke mana pun mereka pindah. Hal ini disebut dengan bersemendo. Lelaki yang telah menjadi suami harus bisa diandalkan saat keluarga istri membutuhkan perannya. Alasan lainnya, yakni ketika menantu sedang berburu ke hutan berhari-hari, sang ibu bisa menjadi pengingat anak perempuannya agar tetap menjalankan perannya sebagai istri. Pada hari pernikahan, calon pengantin laki-laki beserta keluarga mengantarkan lima puluh lembar kain ke pihak keluarga perempuan. Kain yang diberikan pihak laki-laki adalah mahar pernikahan. Setelah kain diterima dan pihak laki-laki pulang, maka keluarga pihak perempuan menuju sudung calon pengantin dan memasang puluhan kain dari segala sisi sebagai dinding. Pada lantai sudung diberi tikar rumbai yang telah dibuat sendiri dan pada bagian langit-langit dibiarkan saja tanpa diberi penutup kain.

10


Pihak perempuan pun kembali ke rumah. Bujang dan gadis telah duduk berhadapan di dalam sudung, tepat di tengah-tengah seorang dukun. Ketika dukun membaca mantra, dukun memegang kepala calon pengantin. Tangan kanan di kepala laki-laki dan tangan kiri di kepala perempuan. Saat kedua tangan dukun bertemu, maka beradulah kening kedua mempelai. Beradunya kening kedua mempelai adalah bentuk sah atau resminya sebuah pernikahan Suku Anak Dalam secara adat. Bila sedang ada makanan, para keluarga dipersilakan menikmati santapan setelah acara. Namun bila tidak ada makanan, juga tidak apa-apa sebab pernikahan bagi Suku Anak Dalam bukanlah hal yang kaku. Setelah resmi menjadi suami istri, kedua pihak orang tua mengantarkan pengantin ke sudung baru yang telah dihiasi dengan kain. Saat dua sejoli hendak naik ke atas sudung, di sinilah tari bedeti dimulai. Ketika kain yang difungsikan sebagai pintu dibuka, maka duduklah pengantin ini. Seorang dukun yang telah berada di hadapan pengantin telah diikuti beberapa penari di belakangnya. Ketika mantra disenandungkan, para penari menggerakkan badannya dengan lemah gemulai. Sementara pihak keluarga yang berada di belakang penari menyaksikan acara dengan gembira. Berhentinya nyanyian dari lidah sang dukun menandakan usainya prosesi tari bedeti. Tarian yang 11


disuguhkan kepada kedua mempelai ini merupakan ritual dalam kepercayaan animisme di masa lalu. Tarian yang sakral ini hanya dipercaya mampu menjadi doa agar pengantin hidup rukun seumur hidup, panjang umur, sehat dan dijauhkan dari segala macam penyakit, juga sebagai pengingat bahwa kedua pengantin harus bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri. Tari bedeti memang hanya dilakukan dalam acara-acara tertentu saja sehingga sampai sekarang sakralitasnya masih dijaga. Ketika tarian usai, para penari, dukun, dan pihak pengantin pulang ke sudung masing-masing. Kain ditutup dan pengantin tidur di atas tikar selama sehari. Bila prosesi dilakukan sejak pagi, pengantin baru diperbolehkan keluar sudung pada sore hari. Begitupun sebaliknya, Bila prosesi dilakukan sejak sore, pengantin baru diperbolehkan keluar sudung pada pagi hari. Dua waktu inilah yang biasa sering digunakan Suku Anak Dalam untuk melakukan ritual. Pernikahan bagi Suku Anak Dalam adalah hal yang sakral sehingga tidak memperbolehkan orang luar rimba atau orang asing menyaksikan ritual. Sebab para dewa bisa marah, bila dewa marah, ia akan memberikan kutukan. Bila Suku Anak Dalam sering main ke kota dan sudah rajin mandi menyerupai orang kota atau orang dusun tiba-tiba kembali ke rimba saat acara pernikahan, ia tetap tidak diperbolehkan mengikuti ritual, kecuali ia telah berada selama tiga hari hingga satu minggu lamanya di rimba. Untuk mengikuti ritual, ia juga tidak 12


diperbolehkan mandi agar baunya sama seperti Suku Anak Dalam lainnya. Sebab para dewa membenci aroma sabun dan sampo orang-orang modern. Mereka yang rajin memakai sabun dan sampo dipercaya akan jauh dari para dewa.

13


14


Ngakob Ikan Bila musim kemarau tiba, komunitas adat Suku Anak Dalam di permukiman Desa Dwikarya Bhakti, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Muaro Bungo, Provinsi Jambi berbondong-bondong ngakob ikan di sungai. Dalam bahasa Rimba, ngakob ikan adalah tradisi menangkap ikan di sungai menggunakan dua telapak tangan, tepatnya pada musim kemarau tiba. Di musim ini, air sungai akan surut dan ikan-ikan akan 15


mengumpul di suatu tempat sehingga lebih mudah ditangkap dibanding musim hujan. Tradisi ini dikhususkan untuk perempuan Suku Anak Dalam yang sudah memiliki anak atau yang biasa dipanggil induk. Namun, anak-anak dan para remaja baik laki-laki maupun perempuan pun boleh juga ikut serta meramaikannya. Tradisi ngakob ikan ini dilakukan setiap hari selama bulan Kemarau dengan tujuan sungai yang berbeda. Sebelum berangkat ngakob, biasanya para induk beserta anak-anak mengadakan kesepakatan untuk memilih sungai yang akan dituju. Tujuan sungai pun dipilih yang letaknya dekat dengan permukiman. Setelah mencapai kesepakatan, mereka akan pergi secara beramai-ramai sebab kebersamaan adalah tradisi yang telah ada sejak zaman nenek moyang. Ngakob ikan ini acapkali dilakukan dari siang hingga sore hari. Meski teriknya matahari membakar kulit mereka, hal tersebut tak menyurutkan niat rombongan Suku Anak Dalam untuk berburu ikan. Tentu saja, selain bisa makan enak, ngakob ikan bisa membantu perekonomian rumah tangga. Saat berangkat menuju lokasi ngakob ikan, mereka tidak membawa bekal atau peralatan khusus, hanya bermodal keyakinan saja. Bila yang hendak pergi adalah seluruh induk Suku Anak Dalam, perjalanan akan ditempuh menggunakan sepeda motor. Para perempuan Suku Anak Dalam khusus daerah ini memang sudah

16


mahir mengendarai bermotor sebab tak sedikit dari mereka yang tidak memiliki motor. Bila ternyata yang hendak ikut ngakob ikan sangat ramai, yakni anak-anak dan para remaja ikut serta, biasanya mereka akan naik mobil L-300 milik Tumenggung Hari. Mobil ini akan dikendarai langsung oleh Tumenggung Hari untuk mengantarkan Suku Anak Dalam menuju lokasi. Setibanya di lokasi, mereka akan berbarengan terjun ke sungai untuk menangkap ikan dengan dua tangan. Siska, remaja tanggung berusia dua belas tahun, mengatakan bahwa menangkap ikan baginya bukanlah hal yang sulit. Meski beberapa kali ikan yang hendak ditangkap lepas, namun lebih banyak juga ikan yang berhasil ia tangkap. Kata Siska lagi, beberapa warga dusun sering ikut menangkap ikan mengikuti tradisi Suku Anak Dalam. Mereka pun tidak melarang warga dusun sebab dalam kepercayaan Suku Anak Dalam apa yang ada di alam adalah milik bersama. Tak ada mantra atau ritual khusus yang dibacakan sebelum atau sesudah ngakob ikan. Semua yang telah berada di dalam sungai boleh menangkap ikan sesukanya. Setelah ikan-ikan hasil ngakob sudah didapatkan, Suku Anak Dalam akan mengambil akar pohon atau ilalang yang ada di sekitar sungai untuk mengikat ikan hasil buruan. Hasil yang didapatkan pun tidak sedikit. Setiap induk biasanya mendapat kurang lebih 1 kg berbagai macam ikan sungai. Ada juga yang pernah mendapat ikan hingga 3 kg lebih. 17


Setelah kembali ke permukiman, ikan-ikan hasil buruan akan dibagikan kepada para induk yang tidak bisa ikut ngakob ikan. Alasan tidak mengikuti tradisi ngakob ikan pun beragam, ada yang faktor usia, menjaga anak, atau merawat anak/keluarga yang tengah sakit. Biasanya, ikan akan dimasak dengan cara digoreng atau direbus. Dari kedua cara ini, biasanya Suku Anak Dalam rombong Tumenggung Hari lebih suka dengan cara kedua, yakni direbus. Hasil ikan buruan yang direbus terasa lebih empuk saat digigit. Hal ini tentu saja memudahkan mereka saat menelan makanan, sebab tidak sedikit masyarakat Suku Anak Dalam yang giginya telah rusak. Bumbu yang digunakan untuk memasak ikan sederhana saja, hanya garam dan penyedap rasa. Semenjak tinggal di permukiman dan meninggalkan hutan, Suku Anak Dalam Kecamatan Pelepat mulai mengenal penyedap rasa dari masyarakat dusun. Lauk ikan yang telah dimasak disajikan bersama nasi putih. Hasil buruan dari ngakob ini, ternyata bukan hanya ikan saja. Terkadang mereka juga mendapatkan udang, belut, bahkan kepiting. Jika mendapatkan udang secara tidak sengaja, terkadang mereka akan mengembalikan udang tersebut ke dalam air atau sengaja mengumpulkan udang di suatu tempat untuk sengaja dibawa pulang atau diberikan ke masyarakat desa sebab memakan udang termasuk salah satu pantangan bagi laki-laki.

18


Hukum Adat yang Berlaku Adat-istiadat bagi Suku Anak Dalam sangat penting untuk diyakini dan ditaati sebagai bagian dari identitas. Adat yang berlaku di permukiman saat ini telah digunakan sejak Suku Anak Dalam menetap di dalam rimba. Adat diturunkan dari alam dan para dewa melalui nenek moyang. Kemudian nenek moyang memberlakukan adat-istiadat ke generasi penerus hingga masa kini.

19


Selayaknya negara yang memiliki hukum, di dalam rimba pun memiliki hukum adat yang harus dipatuhi baik bagi Suku Anak Dalam maupun orang luar yang berkunjung ke dalam hutan. Adat-istiadat yang menjadi pranata sosial bagi Suku Anak Dalam ini berkaitan dengan hukum resmi di dalam rimba. Hingga mereka bermigrasi ke permukiman pemerintah, hukum adat pun masih digunakan. Selain menjadi pedoman, hukum adat merupakan alat untuk menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi atau menjadi penentu bagi laku hidup yang hendak dikerjakan oleh Suku Anak Dalam. Bagi siapa saja yang melanggar adat, akan dikenakan sanksi. Perwujudan pelanggaran adat tecermin dalam seloko adat: di bawah idak berakar, di atai idak bepucuk, kalu ke tengah ditebuk kumbang, kalu ke darat diterkam rimau, ke ayik ditangkap buayo. Secara garis besar makna seloko adat ini, yakni siapa saja yang melanggar adat akan mengalami kesengsaraan seumur hidupnya. Sanksi bisa berwujud moral dan material. Untuk sanksi material, Suku Anak Dalam biasa menyebutnya dengan istilah “denda adat”. Denda adat yang harus dibayarkan pun beragam, mulai dari kain, parang, uang, binatang, atau benda-benda yang telah disepakati. Dalam kasus-kasus tertentu, adat telah mengatur jumlah yang harus dibayar oleh pelanggar, tetapi aturan ini bersifat fleksibel bagi mereka yang kurang mampu. Misalnya, bagi bujang yang hendak melamar seorang gadis telah ditetapkan di dalam adat harus 20


memberikan lima puluh lembar kain kepada pihak perempuan. Namun bila si bujang berasal dari keluarga yang kurang mampu, jumlah kain yang telah diatur di dalam adat bisa dikurangi sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Intinya, hukum adat yang berlaku berprinsip kekeluargaan. Bahwa semua bisa dinegosiasi dan dimusyawarahkan dengan berbagai pertimbangan. Inilah keunikan kearifan lokal komunitas adat Suku Anak Dalam. Dalam sistemnya yang paling sederhana, Suku Anak Dalam telah mengatur hal-hal yang sangat detail. Misalnya dilarangnya pergaulan antara mudamudi yang belum menikah, membonceng atau menyentuh istri orang, mencuri, membawa lari istri orang, bernyanyi di hadapan bujang dan gadis, menuja orang, kasus perselingkuhan, hingga pembunuhan. Selain denda adat, ada juga sanksi moral, yakni hukum bunuh dan hukum nyawa dibayar nyawa. Sanksi ini juga bisa dinegosiasikan disesuaikan dengan kondisi pelaku, yakni bisa diganti dengan benda-benda yang bernilai sepadan dengan kesalahan yang dilakukan.

21


22


Hukum Bunuh Meski garis keturunan berdasarkan matrilineal, hukum adat khususnya hukum bunuh sangat tidak menguntungkan perempuan-perempuan Suku Anak Dalam. Hukum bunuh termasuk kategori hukum berat sehingga sangat jarang ditemukan pelanggarnya. Hukum bunuh hanya berlaku bagi seorang istri yang ketahuan melakukan perselingkuhan. Bila suami mengetahui perselingkuhan yang dilakukan sang istri, suami tersebut berhak melakukan 23


hukum bunuh kepada sang istri. Pihak suami bisa membunuh istri dengan cara yang mereka inginkan dengan ketetapan segala harta yang dicari bersama dan hak asuh anak jatuh ke tangan suami. Akan tetapi, kategori hukuman berat ini bisa dinegosiasi. Pihak keluarga perempuan yang tidak ingin melihat saudaranya dibunuh bisa menyelamatkannya dengan cara menebusnya dengan denda adat yang sepadan dengan kesalahan, yakni lima ratus lembar kain atau uang senilai satu ekor kerbau. Bila pihak keluarga perempuan tidak mampu membayar denda adat, mau tidak mau dan rela tidak rela, pihak perempuan harus mengikhlaskan nyawa saudaranya itu. Pihak perempuan juga tidak diperbolehkan menyimpan dendam sebab telah menjadi ketentuan adat bahwa pihak pembuat kesalahan berada pada saudara mereka sendiri. Uniknya, hukum bunuh tidak berlaku bagi suami yang melakukan perselingkuhan. Jika seorang suami ketahuan melakukan perselingkuhan dengan seorang gadis, lelaki tersebut wajib menikahi gadis tersebut. Jadi, sang istri harus menerima keadaan dengan ikhlas. Pada adat Suku Anak Dalam, laki-laki boleh menikah lebih dari satu kali, paling banyak hanya diperbolehkan memiliki dua istri saja yang masih hidup (yang telah meninggal tidak dihitung). Sistem pembagian uang biasanya diserahkan kepada istri tua, lalu istri tua akan membagi lagi uang tersebut kepada istri muda. Nyawa Dibayar Nyawa 24


Hukum nyawa dibayar nyawa hanya berlaku bagi pembunuhan yang dilakukan secara disengaja. Misalnya, ketahuan bahwa si A membunuh si B dengan sengaja, maka si A wajib membayar nyawa kepada keluarga si B. Membayar nyawa di sini bukan dalam artian si A akan dibunuh oleh keluarga si B, melainkan untuk menghapus kesedihan keluarga yang telah kehilangan si B, pihak si A wajib mengganti dengan manusia yang seumuran dengan si B untuk kemudian diangkat menjadi anak untuk keluarga si B. Biasanya, orang yang akan digantikan sebagai pembayaran nyawa adalah keluarga kandung si pelaku pembunuhan. Bila saudara kandung si A telah diserahkan kepada keluarga si B, mulai detik itu juga saudara kandung si A sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh keluarga si B. Saudara kandung si A yang dijadikan pengganti ini tidak akan disia-siakan oleh keluarga si B sebab mereka akan menyayangi saudara kandung si A sebagaimana keluarga sendiri. Hukum adat ini termasuk kategori berat sehingga jarang sekali kasus semacam ini ditemukan. Namun bila pembunuhan dilakukan secara tidak sengaja, biasanya tumenggung dan kepala adat mangku tenganai akan memberikan beberapa pilihan denda adat yang harus dibayar, yakni lima ratus lembar kain, kebun, atau pohon kedundung yang berisi sarang madu.

25


26


Bayar Bangun Semasa hidup di rimba, Suku Anak Dalam Desa Dwikarya Bakti memiliki cara alami untuk mengatur jarak kelahiran sang buah hati. Ketika seorang induk baru saja melahirkan dan usia sang anak masih dalam hitungan bulan, adat tidak memperbolehkan sepasang suami istri melakukan hubungan intim. Alasan adat melarang tentu tidak sembarangan, yakni timbulnya rasa kasihan terhadap bayi bila si induk hamil lagi. Itu berarti, si bayi akan memiliki seorang 27


adik, padahal kasih sayang yang ia peroleh dari si induk belumlah sempurna. Dalam arti lain, adat tidak menginginkan si bayi menajdi anak telantar atau tidak terurus. Setelah kaki si bayi telah kokoh untuk melangkah dan berjalan, sepasang suami istri diperbolehkan untuk tidur bersama kembali. Pada masa di dalam rimba, biasanya suami istri boleh bergaul setelah anak berusia empat tahun. Sebab di usia itu, seorang anak telah mendapat kasih sayang yang penuh dari kedua orang tua. Kenyataannya, tidak sedikit pula yang melanggar. Bila pelanggaran dimulai dari pihak si induk atau si bepak, maka salah satu pihak berhak menolaknya. Penolakan salah satu pihak ini diperbolehkan secara adat. Akan tetapi, bila keduanya melanggar melakukan hubungan intim saat bayi masih berusia hitungan bulan atau satu tahun, dan si induk tiba-tiba hamil lagi, tidak ada denda adat secara khusus yang diberlakukan. Hanya saja mereka akan menerima sanksi sosial berupa rasa malu terhadap sesama Suku Anak Dalam. Apabila kehamilan si induk mengakibatkan bayinya meninggal dunia, berlakulah hukum adat yang bernama bayar bangun. Bila yang meninggal adalah bayi perempuan, denda yang harus dibayarkan adalah 250 kain. Sementara, bila yang meninggal adalah bayi lakilaki, denda yang harus dibayarkan adalah 150 kain. Denda bayi perempuan memang lebih tinggi daripada

28


bayi laki-laki sebab alur keturunan Suku Anak Dalam berdasarkan pihak ibu (perempuan) atau matrilineal. Yang membayar denda adalah pihak awal penyebab terjadinya kehamilan. Bila suami yang lebih awal mengajak istri melakukan hubungan intim, ia wajib membayar denda adat. Kain yang didendakan tadi akan dibagi-bagikan ke pihak keluarga istri. Bila istri yang melanggar, semuanya pun berkebalikan: istri wajib membayar denda adat dan kain yang didendakan akan dibagi-bagikan kepada pihak keluarga suami. Bagaimana bila keduanya melakukan pelanggaran? Suami istri wajib membayar denda adat untuk kemudian dibagi-bagikan kepada sanak saudara mereka, baik keluarga dari pihak suami maupun pihak keluarga dari istri. Setelah rimba semakin berkurang akibat ilegal loging, mau tidak mau Suku Anak Dalam harus migrasi dari tanah nenek moyangnya. Semenjak pemerintah memberikan hak pakai permukiman khusus Suku Anak Dalam, kini mereka telah hidup menetap dan bergaul dengan masyarakat desa. Secara perlahan, adat pun perlahan ditinggalkan meski tidak sepenuhnya hilang. Kini, setelah zaman berubah, suami istri Suku Anak Dalam memang masih membatasi keinginan berhubungan intim, namun tidak seperti dahulu yang lamanya bertahun-tahun. Semenjak Suku Anak Dalam mulai mengenal program KB (Keluarga Berencana) secara medis dengan mengonsumsi pil KB atau KB

29


suntik di puskesmas, mereka hanya membatasi pisah ranjang hingga bayi berusia lima bulan saja. Kebanyakan para perempuan Suku Anak Dalam memiliki banyak anak, mulai dari empat hingga puluhan. Kepercayaan dahulu yang mereka anut mengajarkan bahwa banyak anak banyak rezeki. Lagipula selama di rimba, anak-anak tidak mungkin kelaparan karena hasil hutan yang berlimpah adalah sumber hidup bagi mereka. Dari makanan ringan hingga makanan berat, semuanya tersedia di hutan tanpa harus membayar. Suku Anak Dalam yang tinggal di rimba tidak perlu memikirkan mencari pekerjaan yang menghasikan uang untuk membeli bahan makanan bagi keluarga, seperti masyarakat desa/kota. Persoalan kepemilikan banyak anak bagi masyarakat desa hingga kota, tergantung dari perekonomian sebuah keluarga. Untuk menghidupi banyak anak, mereka tentu harus giat bekerja. Kini ketika Suku Anak Dalam menghuni permukiman dan meninggalkan rimba, pola pikir mereka pun sedikit bergesar. Ketika persoalan baru yang mereka hadapi adalah masalah ekonomi, mereka pun berpikir panjang untuk memiliki anak banyak seperti nasihat nenek moyang.

30


Talak Rotan Beberapa tahun belakangan, Suku Anak Dalam Kecamatan Pelepat khususnya rombong Tumenggung Hari sudah melakukan prosesi pernikahan secara Islam, yakni di KUA (Kantor Urusan Agama). Akan tetapi, proses talak atau perceraiannya masih menggunakan adat. Yang membedakan talak masyarakat desa/kota yang memeluk Islam dengan komunitas adat Suku Anak Dalam yang menggunakan hukum adat terletak pada pihak yang menjatuhkan talak. Dalam Islam, talak jatuh 31


pada pihak laki-laki atau suami, tetapi dalam adat Suku Anak Dalam, talak jatuh di pihak perempuan atau istri. Meski telah tercatat di hukum adat, lagi-lagi ini bukanlah hal yang kaku sebab prinsip dasar dari adat adalah kekeluargaan. Talak juga bisa dijatuhkan dari pihak laki-laki jika kesalahan terletak pada pihak perempuan atau istri. Sebelum melakukan ritual talak rotan, biasanya sepasang suami istri akan beradu mulut atau becekak terlebih dahulu. Dalam kehidupan Suku Anak Dalam permukiman, bila ada satu keluarga yang sedang ada permasalahan biasanya akan becekak di luar rumah hingga terdengar oleh anggota satu kompleks lainnya. Setelah keinginan yang kuat untuk bercerai telah ditetapkan dalam hati, terlebih dahulu akan diadakan mediasi yang dipimpin oleh para ninik mamak dan tua tengganai dari kedua pihak keluarga, tumenggung, hingga kepala adat. Proses mediasi ini diadakan untuk melakukan perundingan, yang bertujuan agar kedua belah pihak memikirkan kembali atas keputusan yang akan diambil. Bila mediasi berhasil, berarti tidak akan dilakukan talak rotan. Namun, bila salah satu pihak bersikukuh meminta cerai, prosesi ritual talak rotan tentu akan dilakukan di sebuah tempat yang telah disepakati. Khusus ritual ini, semua orang boleh menyaksikan termasuk yang bukan dari golongan Suku Anak Dalam. Sebelum ritual dilaksanakan, pihak yang menginginkan

32


perceraian terlebih dahulu diwajibkan mencari rotan di rimba sepanjang kurang lebih satu meter. Setelah rotan didapatkan, berkumpullah para ninik mamak keluarga dari kedua belah pihak, tumenggung, dan kepala adat untuk menyaksikan ritual potong rotan. Sang suami dan istri duduk berhadapan sambil memegang ujung rotan, namun di tengahtengahnya ada ketua adat yang akan mengesahkan perceraian. Setelah membaca jampi-jampi, salah satu keluarga dari pihak laki-laki yang telah menyiapkan sebilah parang dan duduk berhadapan dengan ketua adat dan berada di antara suami dan istri. Ketika rotan dipotong oleh perwakilan dari pihak laki-laki, maka perceraian tersebut dinyatakan sah oleh ketua adat. Dalam kepercayaan Suku Anak Dalam, rotan dipercaya sebagai bahan yang paling kuat untuk mengikat sesuatu. Filosofi inilah yang menjadi dasar bahwa rotan dianalogikan sebagai ikatan suci pernikahan. Ketika ikatan yang kuat telah terpotong, berakhirlah hubungan antara suami dan istri tersebut. Sebuah bukti bahwa perceraian bukanlah hal yang diinginkan terjadi pada siapa pun ditandai dengan adanya denda adat yang harus dibayar pada proses perceraian. Denda adat ini wajib dibayar oleh pihak yang menginginkan terjadinya perceraian. Bila perceraian terjadi akibat kesalahan laki-laki, sang suami wajib menyerahkan segala harta benda yang dikumpulkan selama hidup bersama, termasuk hak asuh anak kepada istri. Denda adat juga bisa bertambah sesuai 33


keinginan pihak perempuan, misalnya pihak perempuan meminta tambahan uang, hewan ternak, hingga kendaraan berupa sepeda motor. Sebaliknya, bila perceraian diakibatkan oleh kesalahan perempuan, sang istri wajib menyerahkan segala harta benda yang dikumpulkan selama hidup bersama, termasuk hak asuh anak kepada pihak suami. Namun bila kemudian hari, pihak suami atau pihak istri berniat rujuk kembali, salah satu pihak yang mengajak bisa membayar denda adat berupa kain, hewan ternak, kebun, atau kendaraan tergantung permintan dan kesepakatan. Denda adat akan diberikan kepada keluarga pihak yang diajak rujuk.

34


Sebalik Sumpah Sebalik Sumpah adalah nama sebuah pohon yang hanya tumbuh di hutan kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Provinsi Jambi. Pohon ini memiliki buah berwarna hijau, ukuran dan bentuknya sangat mirip apel hijau dengan ukuran terkecil. Di dalam buah sebalik sumpah terdapat biji-bijian berwarna cokelat muda. Biji sebalik sumpah inilah yang dijadikan bahan dasar kerajinan tangan Suku Anak Dalam. 35


Pada masa lalu, kerajinan tangan yang dibuat Suku Anak Dalam hanya berupa gelang dan kalung saja. Sekarang, sudah ada dalam variasi lain, yakni gantungan kunci. Suku Anak Dalam meyakini kerajinan sebalik sumpah memiliki kekuatan magis meski tanpa diberi mantra sekalipun. Suku Anak Dalam percaya bahwa orang yang memakai kalung dan gelang sebalik sumpah akan terbebas dari sumpah serapah orang-orang yang bermaksud jahat. Malah, sumpah serapah itu dipercaya akan berbalik, seperti senjata makan tuan. Sebalik sumpah juga diyakini mampu menjadi penolak bala bagi bahaya yang siap menerjang. Dahulunya, kalung dan gelang sebalik sumpah hanya dipakai oleh anak-anak dan para perempuan saja sebab para dewa akan menjaga setiap pemakai sebalik sumpah. Kini, para lelaki Suku Anak Dalam pun juga memakainya sebagai identitas. Bagi Suku Anak Dalam permukiman Desa Dwikarya Bhakti, memakai kerajinan sebalik sumpah bukanlah sesuatu yang wajib. Busu, perempuan rimba, misalnya, ia mengenakan perpaduan kalung perak dengan leontin terdiri dari dua biji sebalik sumpah. Menurutnya, leontin dua biji sebalik sumpah mengingatkannya akan rimba yang pernah membesarkannya, sementara kalung perak adalah bentuk dari modernitas yang kini tengah ia hadapi. Perpaduan modernitas dan kerimbaan merupakan perlambangan bahwa Suku Anak Dalam permukiman

36


Desa Dwikarya Bhakti memang tengah berada di antara ambang tersebut. Mak Isah, perempuan sembilan puluh tahun, mengatakan bahwa biasanya bila main ke rimba dan melihat pohon sebalik sumpah berbuah, maka ia akan mengambilnya dan membawa pulang. Kepergiannya ke rimba memang acapkali tak diniatkan untuk mengambil buah sebalik sumpah sebab bila sudah diniatkan dari rumah, biasanya kita akan sulit menemukannya. Pohon sebalik sumpah hanya akan berbuah satu kali setahun dan Mak Isah tidak bisa memprediksi karena pohon itu memiliki kekuatan magis. Setiba di rumah, buah berwarna hijau yang Mak Isah dapatkan dipecah dengan kayu dengan cara dipukul, kemudian biji-biji yang ada di dalamnya pun diambil dan dipisahkan ke suatu tempat. Mak Isah lalu memotong ujung atas dan ujung bawah tiap biji dengan menggunakan pisau/parang. Setelah itu, Mak Isah akan mencari lidi untuk dimasukkan melalui ujung atas sampai tembus ke ujung bawah. Hal ini perlu dilakukan untuk membuang kapas di dalam biji sehingga biji sebalik sumpah siap dirangkai menjadi gelang, kalung, leontin, hingga gantungan kunci. Biasanya Mak Isah merangkainya dengan benang atau senar apa saja yang bisa didapatkan di pasar. Setelah jadi, kalung dan gelang siap dipakai. Mak Isah akan menyimpan beberapa biji yang tersisa untuk kemudian ia rangkai lagi menjadi gelang atau kalung bila yang ia pakai telah rusak. Untuk kreasi, terkadang Mak 37


Isah mengombinasikan manik-manik dengan biji sebalik sumpah. Namun, ada juga yang membuatnya murni biji sebalik sumpah saja. Mak Isah tidak menjual kerajinan tangan yang dibilang langka ini, ia hanya membuatnya untuk dipakai sendiri untuk anak dan cucunya. Mak Isah menceritakan bahwa pohon sebalik sumpah merupakan jenis pohon yang keras. Pohon ini dikeramatkan karena memiliki kekuatan gaib. Pada zaman dahulu, para nenek moyang Suku Anak Dalam acapkali melakukan ritual sembari menyanyikan rayuan puitis sebagai penanda izin untuk memanjat dan mengambil buahnya. Bila buah sebalik sumpah jatuh, artinya Suku Anak Dalam telah diizinkan untuk memetik buahnya. Sayang, Mak Isah tidak menghafal nyanyian dalam ritual itu.

38


Bingguk Dalam bahasa rimba, bingguk berarti buang air besar. Meski telah dibuatkan WC dan kamar mandi di permukiman, sebagian Suku Anak Dalam tetap memilih tradisi bingguk di sungai yang letaknya tak jauh dari permukiman. Menurut Halimah, lebih nyaman bingguk di sungai karena lebih terasa menyatu dengan alam. Kalau bingguk di WC ada aroma khasnya yang tidak bisa hilang. Meski demikian, tetap ada sebagian Suku

39


Anak Dalam yang sudah nyaman melakukan bingguk di WC. Ketika masih berumah di rimba, cara Suku Anak Dalam bingguk adalah dengan menggali tanah di bawah pepohonan. Tanah digali agak dalam dengan parang. Bila selesai bingguk, tanah galian tadi digunakan untuk mengubur lubang yang telah terisi. Setelah itu, Suku Anak Dalam akan membersihkan dubur dengan air. Dahulu sebelum adanya ember, Suku Anak Dalam membuat ember tradisional dari batang bambu yang besarnya sama dengan pohon kelapa. Setelah sulit mencari batang bambu, Suku Anak Dalam sering berjalan ke pasar mencari kaleng cat bekas untuk dijadikan ember. Bila sedang dalam perjalanan jauh dan terasa ingin bingguk namun tak membawa parang, Suku Anak Dalam menggali tanah dengan kayu dan membersihkan dubur dengan dedaunan. Ketika melanjutkan perjalanan dan bertemu sungai, di sana mereka akan membasuh dan membersihkan dubur dengan air. Menurut kepercayaan Suku Anak Dalam, bingguk di rimba dapat menjadi pupuk alami bagi pohon-pohon agar tumbuh subur. Sebab dahulu mereka sepenuhnya menggantungkan hidup dari hasil hutan, maka salah satu cara berbakti menjaga alam adalah memberinya pupuk. Bagi Suku Anak Dalam, rimba adalah rumah dan pohon-pohon adalah saudara kandung. Maka dari itu, ketika ada perusahaan ilegal dan perambah pohon liar, 40


mereka seringkali merenung dan bertanya-tanya: mengapa orang-orang kota yang katanya lama mengenyam bangku sekolah malah tega merusak hutan tempat tinggal Suku Anak Dalam? Semasa di rimba, Suku Anak Dalam juga dilarang bingguk di sungai. Sungai bagi mereka adalah sesuatu yang dikeramatkan sebab di dalamnya ada dewa air sebagai penjaga. Mereka wajib menjaga kebersihan sungai dengan tidak membuang sampah di sungai. Untuk kebutuhan minum pun, Suku Anak Dalam langsung meminum air sungai di rimba tanpa dimasak. Air sungai di rimba yang diminum langsung dijamin kebersihannya karena para nenek moyang terlebih dahulu telah menyusuri ujung dan pangkal sungai tersebut. Bila air sungai itu berasal dari perbukitan, dipastikan air sungai itu bersih. Bila musim kemarau dan air sungai kering, biasanya mereka akan mencari sumber mata air pada akar-akar pohon besar. Suku Anak Dalam tidak meminum semua air sungai. Ada beberapa sungai yang mereka tandai bahwa airnya tidak bersih. Hal tersebut bisa dilihat dari seberapa sering sungai tersebut dilalui oleh orang luar. Kebanyakan orang luar yang singgah ke hutan akan buang air besar di sungai sehingga air sungai itu tidak bisa diminum langsung. Meskipun air sugai yang sering dilalui orang luar ini sama jernihnya dengan air sungai yang turun dari perbukitan dan pegunungan, Suku Anak Dalam tetap bisa membedakannya. Kini ketika Suku Anak Dalam 41


menetap di permukiman, mereka sering melihat masyarakat dusun yang melakukan bingguk di sungai sehingga mereka pun melakukannya.

42


Berinduk Semang Berinduk semang merupakan proses pendekatan yang wajib dilakukan seorang lelaki terhadap keluarga perempuan yang hendak dipersunting. Dalam artian, si bujang harus berbakti dan ikut bekerja untuk menghidupi keluarga pihak calon istri. Dari semasa tinggal di rimba hingga migrasi ke permukiman, tradisi berinduk semang masih digunakan oleh Suku Anak Dalam.

43


Sebelum prosesi berinduk semang dimulai, terlebih dahulu si bujang ngantar belanjo atau mengantarkan belanjaan berupa sembako kepada pihak keluarga calon istri. Hal tersebut dimaksudkan agar keluarga perempuan tahu bahwa lakunya tersebut sebagai tanda si bujang hendak melamar salah satu anak gadisnya. Setelah pihak keluarga perempuan memahami maksud si bujang, dimulailah prosesi berinduk semang. Pada masa lalu, berinduk semang ini bisa terjadi selama bertahun-tahun (bisa 2 – 3 tahun). Kini, paling lama berinduk semang hanya dalam hitungan bulan (paling lama 8 bulan). Meski terbilang lumayan lama, prosesi berinduk semang ini bukanlah jaminan bahwa si bujang pasti akan direstui keluarga pihak si gadis menjadi menantunya. Memang, berinduk semang merupakan salah satu ujian yang harus dilalui setiap lelaki bujangan demi mendapatkan sang pujaan hati. Setiap hari, Bujang harus membantu calon mertuanya pergi berburu mencari hewan liar dan hasil hutan ataupun berladang. Semua hasil buruannya diserahkan kepada keluarga pihak si gadis. Si Bujang juga harus menuruti segala kemauan calon mertua. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sikap ketulusan, kejujuran, tanggung jawab, kecintaan terhadap keluarga, rajin atau pemalas, dan layak atau tidaknya dijadikan sebagai menantu. Bila si Bujang tak mampu memenuhi segala kebutuhan keluarga pihak si gadis, maka ia tidak lolos 44


ujian menjadi menantu. Sebab Bujang dianggap belum pantas mendampingi anak gadisnya sebagaimana seloko adat berbunyi “Si bujang harus bisa menjemput yang jeuh, memikul yang rintang, mendukung yang berat.” Artinya seorang lelaki harus mampu memenuhi segala kebutuhan keluarga dan bertanggung jawab atas segala permasalahan. Dari prosesi berinduk semang, juga akan diketahui seberapa peduli sikap calon menantunya, sebagaimana seloko adat yang berbunyi “Sakit poneng, bulu lapor, gabat pingkoh, buruk beik”. Artinya seorang lelaki harus peduli apabila ada pihak keluarga gadis yang sakit atau tidak, lapar atau tidak, membantu dalam proses melahirkan saudaranya, menentukan sikap baik atau buruknya. Bila si Bujang mampu melewati ujian dari calon mertua, mereka akan melakukan perundingan untuk menetapkan hari pernikahan dan menyiapkan segala kebutuhannya. Namun jika keluarga perempuan kurang merasa cocok, hal ini tetap akan dirundingkan secara kekeluargaan agar di kemudian hari tidak ada pihak yang merasa tersinggung atau tersakiti.

45


46


Melangun dan Mekhatop Melangun merupakan tradisi Suku Anak Dalam yang terjadi ketika satu tubo atau rombong mengalami musibah kematian. Melangun berarti mengembara berjalan kaki sejauh mungkin ke hutan lain guna melepas kesedihan karena telah ditinggalkan oleh anggota keluarga yang dicintai. Pada masa lalu, melangun 47


dilakukan oleh satu tubo Suku Anak Dalam yang terdiri atas beberapa keluarga. Meskipun hanya tetangga dekat namun bila berada dalam rombong yang sama, biasanya sang tetangga akan ikut melangun. Tradisi melangun dahulunya dilakukan selama bertahun-tahun, yakni bisa sampai 2 – 3 tahun tergantung dari hilangnya kesedihan. Setelah rasa sedih hilang maka proses melangun pun selesai dan tubo ini akan kembali lagi ke pemukiman ia sebelumnya. Sekarang, melangun tak lagi dilakukan bertahun-tahun, tak juga dilakukan di dalam hutan. Selain itu, melangun masa kini kebanyakan hanya dilakukan oleh keluarga satu bubung „rumah‟ atau keluarga inti saja. Melangun tetap bisa dilakukan oleh satu rombong, tetapi biasanya hanya beberapa keluarga beda bubung yang memiliki hubungan pertalian darah saja yang hendak turut serta. Setelah jenazah diletakkan di sebuah pondok yang jauh dari permukiman, semua keluarga dalam satu tubo harus pergi meninggalkan permukiman dengan membawa segala perlengkapan yang dibutuhkan. Lokasi pengembaraan tidak menetap. Bila Suku Anak Dalam telah menemukan sebuah tempat yang ia rasa nyaman untuk ditempati, mereka mendirikan sudung sementara. Setelah merasa tidak betah, biasanya mereka akan berpindah tempat lagi ke lokasi yang mereka sukai. Pemilihan lokasi melangun biasanya tergantung pada hasil hutan dan hasil buruan yang mampu menghidupi mereka.

48


Suku Anak Dalam meyakini bahwa permukiman asal tempat meninggalnya salah satu anggota keluarga merupakan tempat yang sial dan sedang banyak dihuni setan dan roh jahat. Para setan dan roh jahat itulah yang menyebabkan musibah kematian. Roh jahat dan setansetan perlu dijauhi karena dapat mengganggu keselamatan Suku Anak Dalam yang masih hidup. Walaupun permukiman di hutan yang mereka tempati sedang musim buah-buahan dan umbi-umbian, mereka tetap harus meninggalkan lokasi itu untuk melakukan tradisi peninggalan leluhur. Pada saat melakukan perjalanan yang jauh, Suku Anak Dalam akan melampiaskan perasaan sedih mereka dengan menangis hingga meraung-raung dengan suara yang sangat keras. Kondisi seperti ini disebut mekhatop. Terkadang, para anggota keluarga Suku Anak Dalam sangat larut dalam kesedihan sehingga melupakan kondisi tubuhnya. Saking sedihnya, mereka acapkali lupa makan sampai sakit sebab nafsu makan memang hilang. Tak jarang, mata mereka pun membengkak dan air mata bercucuran membasahi daun-daun yang gugur. Bahkan terkadang, air mata mereka telah mengering sehingga yang mereka inginkan hanyalah menyusul saudara yang telah meninggal dunia. Saat tangis mulai mereda, berarti kesedihan mereka semakin berkurang. Saat itu pulalah, mereka sudah bisa saling bercengkrama dan saling mengingatkan untuk mengisi perut.

49


Rombong Tumenggung Hari mengaku masih melakukan tradisi melangun, tetapi tidak lama, yakni dalam hitungan bulan. Jarak melangun pun hanya dalam radius puluhan kilometer saja, tidak sampai ratusan kilometer seperti masa lalu. Mereka memang lebih memilih lokasi mengembara yang letaknya tidak jauh dari bubung yang biasa mereka tempati. Sementara rombong Tumenggung Ganta di Sialang biasanya melakukan tradisi melangun sekitar 2 – 3 bulan saja. Tujuan melangun pun bukan mutlak ke hutan seperti masa lalu sebab hutan semakin berkurang dan menjelma rumah-rumah hingga perkebunan. Lokasi melangun yang biasanya dijadikan tujuan oleh mereka, yakni di area perkebunan sawit, perkebunan karet warga desa, area Pasar Trans, hingga Jalan Lintas Sumatra.

50


Migrasi dari Kesakitan Suku Anak Dalam rombong Tumenggung Hari di Desa Dwikarya Bakti kerap menjalankan tradisi meninggalkan permukiman tatkala ada anggota keluarga yang terserang penyakit. Tradisi ini tidak memiliki nama khusus dan agak mirip dengan melangun. Bila melangun adalah mengembara jauh meninggalkan kesedihan karena ada anggota keluarga yang meninggal, tradisi ini tergolong kategori mengembara juga, tetapi mengembara 51


mencari pengobatan agar mengalami sakit lekas pulih.

anggota

keluarga

yang

Ketika itu, anak bungsu si Tuti yang berusia tiga tahun mengalami muntaber. Penyakit muntaber disebut Suku Anak Dalam sebagai penyakit bocor. Kemudian Tuti beserta suami pergi jauh meninggalkan permukiman. Mereka berobat ke dukun kampung yang letaknya lumayan jauh dari permukiman. Karena tidak mempan dengan obat dukun, mereka pun membawa si bungsu ke rumah sakit, namun tidak rawat inap. Dalam kondisi tersebut, Suku Anak Dalam akan membangun sudung di perkebunan karet atau sawit yang letaknya lumayan dekat dengan rumah dukun atau rumah sakit. Di sudung itulah mereka akan menginap sampai si bungsu sembuh. Pihak yang sakit tidak diperbolehkan pulang ke permukiman hingga sembuh karena mereka meyakini bahwa penyakit yang sedang diderita bisa menular ke anak-anak yang lain. Tiap satu rombong, kebanyakan masih ada pertalian darah sehingga penyakit yang dialami seseorang bisa dengan mudah menular ke siapa saja. Kepercayaan ini bukan hanya berlaku bila yang sakit anak kecil saja, tetapi untuk segala usia. Tradisi migrasi seperti ini sudah berlangsung sejak Suku Anak Dalam masih bermukim di rimba. Biasanya, pihak keluarga yang ikut migrasi diperbolehkan kembali ke permukiman bila ingin mengambil barang yang tertinggal di rumah. pihak tetangga dan keluarga dekat lainnya biasanya akan 52


mengunjungi yang sakit dan turut serta menunggui di sana sampai beberapa hari. Tentu, para keluarga tidak pergi berburu ke hutan karena sedang ada saudara yang tertimpa musibah. Sebenarnya, di rombong Tumenggung Hari memang memiliki seorang dukun sakti yang juga berperan sebagai dukun beranak saat Suku Anak Dalam ada yang melahirkan, yakni Mak Nur. Namun, kesaktian yang dimiliki Mak Nur tidak mempan bila mengobati keluarga sedarah. Nenek moyang sudah berpesan bahwa kesaktian yang dimiliki seorang dukun hanya bisa mengobati orang lain, yang tidak memiliki pertalian darah. Untuk itulah, ketika ada keluarga yang sakit, Mak Nur akan turut serta mengantarkan berobat ke rumah dukun. Hal yang dilakukan ketika pertama kali ada anggota keluarga yang sakit adalah berobat ke dukun. Bila penyakit sembuh, tidak perlu berobat secara medis. Namun bila tidak sembuh juga, berobat secara medis merupakan alternatif yang perlu dijalankan. Meski pihak yang sakit telah melakukan migrasi hingga si anak sembuh, sebagian anggota keluarga yang takut anaknya tertular penyakit juga akan pergi meninggalkan permukiman dalam kurun waktu tertentu. Hal tersebut dilakukan karena perasaan trauma di masa lalu. Sebab dalam kelompok Suku Anak Dalam, kebanyakan yang rawan meninggal saat sakit adalah anak-anak. Ketika beberapa keluarga yang memiliki anak kecil mengungsi ke suatu tempat untuk menghindarkan 53


sang anak tertular dari penyakit, kelurga pihak si sakit tidak sedikit pun merasa tersinggung. Setelah penulis melakukan investigasi, ternyata hampir setiap kepala keluarga pernah kehilangan nyawa buah hatinya saat berusia anak-anak sebab mereka tidak mengenal imunisasi. Mereka hanya semata mengandalkan daya tahan tubuh si anak terhadap alam. Bila daya tahan anak bagus, ia akan mampu tumbuh dan berkembang hingga dewasa. Namun jika kondisinya lemah atau kebetulan terkena virus, ia akan rentan terserang penyakit. Bahkan, yang paling buruk adalah mengalami kematian. Ini menunjukkan bahwa pola hidup Suku Anak Dalam masih menggunakan adalah pola alam yang masih tradisional dan bersifat turun-temurun. Hal ini sangat berbeda dengan masyarakat modern yang telah memiliki pengetahuan tentang merawat dan membangun kekebalan anak. Kekebalan tubuh atau imun pada anak-anak Suku Anak Dalam hanya mengandalkan kondisi yang sifatnya almiah atau natural. Hal ini mengakibatkan pengetahuan yang dibumbui mitos akan bermunculan, yakni ada setan dan roh jahat yang mengganggu si anak hingga sakit dan meninggal dunia. Akan tetapi, migrasi dari kesakitan yang dilakukan anggota rombong Tumenggung Hari sangatlah bertolak belakang dengan anggota rombong Tumenggung Badai yang lebih sering menetap di hutan. Bila mereka menderita sakit, mereka akan memilih 54


kembali ke bubung di permukiman Desa Dwikarya Bakti. Tumenggung Badai memang sudah tergolong tua dan sakit-sakitan. Ketika Tumenggung Badai sakit, anakanaknya yang telah dewasa menolak untuk memberikan pertolongan, bahkan sempat mengusir ayahnya sendiri. Sebab dalam kepercayaan rombong Tumenggung Badai, hanya yang kuat sajalah yang boleh bergabung dan diterima dalam kelompok. Namun bila sudah tua dan sakit-sakitan, mereka lebih baik pergi menjauh dan merasakan sakitnya sendiri tanpa harus merepotkan orang lain. Istri Tumenggung Badai memang sudah tiada. Saat ia mengalami sakit, hanya dua anaknya yang masih berusia sekitar 9 dan 13 tahunlah yang merawatnya. Kepercayaan tentang perihal kesakitan antara rombong Tumenggung Hari dan Tumenggung Badai memang bertolak belakang. Perbedaan inilah yang membuat mereka saling menghormati dan menghargai. Meski anaknya yang dewasa dan anggota rombongnya tidak ada yang mau menolong, biasanya pihak dari Tumenggung Harilah yang akan menolong Tumenggung Badai hingga ia sehat seperti sedia kala. Komunitas adat terpencil Suku Anak Dalam memang cenderung tidak melakukan resistensi atau penanganan terhadap gejala-gejala penyakit. Yang mereka lakukan bila ada anggota keluarga yang sakit adalah menghindar atau memilih pergi. Ini menunjukkan bahwa penyakit bagi Suku Anak Dalam merupakan malapetaka yang berkaitan erat dengan kehidupan dan kematian. 55


56


Mengulik Sedikit Bahasa Rimba Bahasa yang digunakan tiap rombong Suku Anak Dalam tidak semuanya sama. Rombong Tumenggung Hari dan Tumenggung Badai misalnya, mereka menyebut aku dengan kata awakdan biko untuk sebutan kamu (jamak). Jika ditilik dari yang lain, semisal menyebutkan di sini dengan kata di siko. Memanggil anak lelaki yang belum menikah dengan sebutan Kolub dan perempuan yang masih gadis dengan sebutan Supek. Dalam bahasa Rimba yang mereka gunakan, terdapat beberapa tingkatan bahasa, yakni halus dan kasar. Panggilan kasar suami terhadap istri ataupun sebaliknya adalah Bebet. Sementara panggilan halus 57


suami ke istri adalah Puan dan panggilan halus istri kepada suami adalah Tuan. Sebutan untuk ibu mertua yang paling sopannya adalah Ohang Tuha dan untuk mertua laki-laki disebut Ohang Hubanon. Untuk bibi disebut ibung dan untuk paman disebut Mamok. Bila memanggil saudara tua perempuan dari ibu ataupun dari ayah adalah Ibung Tuha atau Mamok Tuha. Namun, panggilan dari bibi dan paman kepada keponakan biasanya menggunakan kata Nakan. Khusus untuk perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak, ia akan dipanggil sesuai dengan nama anak pertamanya. Misalnya, Baya memiliki anak pertama bernama Fauzan, maka panggilannya sekarang adalah Induk Baya. Bagi yang telah menikah dan belum memiliki anak, dipanggil Induk Belum. Sementara sebutan untuk lelaki yang sudah menikah dan memiliki anak juga dipanggil nama anak pertama dengan tambahan kata bepak. Jadi, suami Baya dipanggil dengan sebutan BepakFauzan. Namun, bagi laki-laki yang telah menikah dan belum memiliki anak dipanggil Bepak Belum. Panggilan untuk keluarga kandung pun juga ada. Khusus yang berusia lebih tua, bisa memanggil adiknya dengan sebutan Adik Busu untuk adik bungsu dan Adik Ditangah untuk adik yang tengah-tengah. Jika adik-adik ingin memanggil kakaknya, mereka bisa menyebut Kakak Tuha untuk kakak tertua atau kakak sulung dan Kakak Ditangah untuk panggilan kakak tengah-tengah.

58


Bila cucu hendak memanggil kakek neneknya, sebutannya sama yaitu nenek. Panggilan nenek kepada cucu pun teteap cucu. Khusus untuk cicit disebut Piyut. Piyut bisa memanggil nenek dari ibunya dengan sebutan Puyang. Sangat jarang dalam keseharian mereka memanggil nama rimba, kalaupun ada, pastilah yang disebut adalah nama dusun. Sebab dalam bahasa Rimba, tidak diperbolehkan memanggil nama rimba karena selain dianggap tidak sopan, nama rimba merupakan hal yang sakral. Hal ini sangat berbeda dengan Suku Anak Dalam Desa Sialang. Untuk menyebut aku, mereka menggunakan kata akeh, sedangkan kamu adalah mikay. Panggilan terhadap sesama perempuan adalah Mbet, sedangkan sesama lelaki adalah Guding. Sementara panggilan teman perempuan ke laki-laki atau sebaliknya, tetaplah Guding. Beberapa kosakata bahasa Rimba yang sama di Desa Sialang dan Desa Dwikarya bakti, yakni panggilan istri ke suami atau sebaliknya, yakni Bebet. Iya diucapkan auu, tidak diucapkan hopi, maudilafalkan sebagai ndok, dan tidak mau dilafalkan sebagai pindok. Semasa rombong Tumenggung Ganta bermukim di rimba dan masih menganut animisme, mereka sering mengucapkan beberapa umpatan dalam bahasa Rimba. Namun semenjak menganut Kristen, umpatan-umpatan itu hampir tak pernah diucapkan lagi. Umpatan yang tergolong saru adalah kolulu yang berarti penis. Semua perempuan baik yang masih gadis 59


maupun yang berstatus sebagai istri tidak boleh menyebutkan kata tersebut secara terang-terangan di tempat ramai. Bila ia melakukannya, ia akan dikenai denda adat. Perempuan gadis juga dilarang mengucapkan kata olen yang berarti enak meski “enak” yang dimaksud adalah perihal makanan. Kata ini tidak boleh diucapkan oleh perempuan yang belum menikah, namun boleh diucapkan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah menikah. Sebab kata olen memiliki konotasi yang lebih intim antara suami istri. Umpatan lain yang tergolong kasar terjadi ketika Suku Anak Dalam sangat kesal dengan sesamanya, yakni behelo anjing/ behelo makan anjing. Behelo dalam bahasa Rimba berarti dewa yang biasa disembah. Salah satu bukti bahwa penyakit merupakan sumber malapetaka bagi Suku Anak Dalam, beberapa nama penyakit diucapkan sebagai umpatan, seperti betuk, domom, yang berarti sakit batuk dan demam. Bila diamati secara saksama, ada beberapa perbedaan dan persamaan pada beberapa kosakata bahasa Rimba dua desa ini, yakni bahasa Rimba Desa Dwikarya Bakti lebih dekat dengan bahasa masyarakat dusun yang terpengaruh bahasa Minangkabau, sementara bahasa Rimba Desa Sialang lebih dekat dengan bahasa Rimba Suku Anak Dalam yang masih bermukim di kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas.

60


Akar Kepur Akar Kepur merupakan salah satu tanaman berkhasiat yang sangat akrab dengan keseharian Suku Anak Dalam Desa Dwikarya Bhakti semasa di rimba. Tanaman akar kepur yang banyak tumbuh liar di rimba memiliki ciri khas berdaun halus seperti daun petai, berbau harum, batangnya yang tidak terlalu besar biasanya berdiri dan merambat menyerupai akar. Batang inilah yang kemudian akan dimanfaatkan Suku Anak Dalam untuk berbagai keperluan. 61


Khasiat tanaman akar kepur, antara lain sebagai penghilang racun di gadung, sebagai sampo untuk menghitamkan rambut, sebagai sabun untuk membersihkan badan, dan bisa digunakan sebagai sabun pencuci pakaian. Selain itu, akar kepur juga bisa digunakan sebagai obat sesak napas atau melegakan paru-paru.

62


Penghilang Racun Gadung Gadung atau yang memiliki nama latin Dioscoria Hipida merupakan tanaman jenis umbi-umbian yang sering dikonsumsi oleh Suku Anak Dalam. Gadung memang merupakan salah satu makanan favorit, tetapi bila tidak berhati-hati dalam mengolahnya, seseorang yang mengonsumsinya bisa keracunan, seperti pusing, sakit perut, dan muntah-muntah. Untuk membuang racun di dalam gadung, Suku Anak Dalam biasanya menggunakan akar kepur. Proses 63


permbuangan racun gadung pun bisa dibilang tidak terlalu sulit. Pertama, potong batang akar kepur secukupnya, lalu kupas batangnya! Setelah dikupas, ambil isinya yang berwarna putih, remas-remas hingga keluar saripatinya! Masukkan saripati akar kepur ke dalam ember yang teah berisi air! Lalu gadung yang telah dikupas kulitnya dimasukkan ke ember dan biarkan selama tiga hari tiga malam. Setelah direndam tiga hari, angkat gadung dan cuci bersih gadung di sungai! Setelah dicuci bersih, rendamlah gadung di dalam sungai seharian. Setelah direndam di sungai dan racunnya hilang, gadung bisa dimasak sesuai selera. Biasanya, Suku Anak Dalam lebih suka merebus gadung dan memfungsikannya sebagai nasi, yakni gadung rebus dimakan bersama lauk hewan buruan.

64


Sampo dan Sabun Mandi Sebelum ditemukannya akar kepur, Suku Anak Dalam di rimba hanya mandi seadanya. Mereka lebih senang mandi di dalam sungai karena tidak perlu repot memakai gayung. Bila ingin menggunakan gayung untuk mandi, Suku Anak Dalam akan menggunakan bambu yang besar untuk kemudian difungsikan sebagai gayung. Mereka juga tidak gosok gigi dan menggunakan sampo untuk rambutnya, hanya kumur-kumur saja dan

65


membasahi seluruh tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki. Seiring ditemukannya akar kepur, Suku Anak Dalam memnafaatkan akar kepur sebagai sabun mandi dan sampo. Aroma akar kepur yang wangi ternyata memberikan banyak manfaat untuk kulit dan rambut. Selain mampu menghaluskan kulit, akar kepur memliki khasiat menyuburkan rambut, menjaga kesehatan rambut, dan menghitamkan rambut. Cara menggunakannya pun sederhana saja. Potong batang akar kepur, lalu kupas batangnya! Setelah dikupas, ambil isinya yang berwarna putih, remas-remas dan gosokkan ke rambut secara merata jika ingin menjadikannya sampo. Bila ingin dijadikan sabun mandi, remasan akar kepur tersebut digosok secara merata ke seluruh permukaan tubuh! Mak Isah, perempuan sembilan puluh tahun yang seluruh rambutnya masih hitam ini, mengaku sangat senang menggunakan akar kepur saat mandi. Namun sayang, pascapindah ke permukiman, ia tak lagi pernah menggunakan akar kepur. Mak Isah memang telah mengikuti cara masyarakat dusun, yakni membersihkan badan dengan sabun mandi, tetapi Mak Isah tetap tidak mau memakai sampo yang dijual di warung-warung. Mak Isah diam-diam mengamati anak, cucu, dan cicitnya yang kerap menggunakan sampo saat mandi. Kebanyakan rambut mereka cepat memerah dan beruban karena terkena bahan kimia yang terkandung di dalam sampo. Sebagai contoh si Didi, cucu perempuan yang 66


kira-kira berusia 35 tahun, rambutnya memang terlihat hitam kemerah-merahan. Pak Syamsu, menantunya, sebagian rambutnya juga telah beruban karena menggunakan sampo warung. Meski banyak sampo bermerek yang menjanjikan kesehatan rambut, Mak Isah tetap tidak tergoda dengan kemajuan zaman. Setelah memakai sabun, Mak Isah biasanya akan membasahi rambut sampai basah merata tanpa diberi apa pun. Mak Isah pernah mengajak anak cucunya untuk pergi ke rimba mencari akar kepur untuk dimanfaatkan sebagai sampo, tetapi anak cucu menolak dengan alasan memakai sampo lebih praktis dan mudah didapatkan di warung dibanding akar kepur. “Nenek-nenek Suku Anak Dalam yang rambutnya belum memutih dan masih hitam, dahulunya pasti sering menggunakan akar kepur. Sampo warung bisa membuat rambut merah dan beruban sehingga dapat merusak rambut,” tambahnya. Mak Isah memang lebih percaya khasiat akar kepur dibanding sampo yang diyakini masyarakat desa dan kota mampu merawat rambut dengan baik. Inilah keunikan Suku Anak Dalam. Tradisi yang diwariskan secara kuat turun-temurun masih menjadi pegangan bahwa tidak semua kemajuan zaman mampu memengaruhi pola pikir dan gaya hidup mereka.

67


68


Nyasa Koen Dalam bahasa Rimba, nyasa koen berarti mencuci pakaian. Sebelum nenek moyang Suku Anak Dalam menemukan akar kepur sebagai pencuci pakaian, mereka masih menggunakan cara tradisional. Terlebih dahulu pakaian dicelupkan ke dalam sungai. Setelah basah semua, pakaian diangkat dan dipukul-pukul dengan kayu bulat agar bau keringatnya hilang. Bila tidak ada kayu, pakaian hanya dipukul-pukul ke papan saja.

69


Setelah dipukul-pukul, pakaian dicelupkan lagi ke dalam air, diperas, dan dijemur sampai kering. Suku Anak Dalam kemudian mencuci pakaian menggunakan akar kepur. Cara penggunaanya mirip seperi deterjen. Potong batang akar kepur, lalu kupas batangnya! Setelah dikupas, ambil isinya yang berwarna putih, remas-remas dan masukkan ke dalam ember yang telah diberi air! Masukkan baju ke dalam ember! Biarkan selama lima belas menit! Kucek pakaian dan bilas sampai bersih! Kelebihan menggunakan akar kepur sebagai pencuci pakaian, yakni membuat pakaian menjadi lebih harum. Kini setelah mengenal sabun cuci dan deterjen, Suku Anak Dalam tidak lagi menggunakan akar kepur. Penyebabnya karena akar kepur hanya berada di rimba sehingga perlu waktu yang lumayan lama untuk mencarinya, sedangkan deterjen atau sabun cuci bisa mudah didapatkan di warung yang letaknya tidak jauh dari permukiman.

70


Malam Ngigau Besale Suku Anak Dalam di Desa Dwikarya Bakti telah hidup membaur dengan masyarakat dusun. Bila masyarakat dusun mengadakan pesta pernikahan, sunatan, ataupu akikah, mereka kerap mengundang Suku Anak Dalam. Begitu pun sebaliknya, ketika Suku Anak Dalam mengadakan pesta di permukiman, orang dusun berbondong-bondong datang bersilaturahmi. Selain menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat dusun sebelah, Suku Anak Dalam 71


permukiman ini juga sangat akrab dengan Pujiono, lelaki paruh baya asal Jawa Tengah yang dipercaya Departemen Agama sebagai imam dan guru mengaji di permukiman Suku Anak Dalam. Suatu hari Pujiono atau akrab disapa Pakde diajak Suku Anak Dalam bemalam di rimbo „bermalam di hutan‟. Tentu tak lain tak bukan untuk mencari hasil hutan, yang kelak bisa ditukar dengan uang. Pergilah empat orang termasuk Pakde menggunakan motor menuju hutan. Di sana mereka mendirikan sebuah sudung untuk beristirahat ketika malam tiba. Setelah seharian lelah mencari jernang, matahari pun tenggelam berganti bintang-bintang dan sinar rembulan yang indah. Empat orang yang kelalahan itu akhirnya terlelap setelah usai menyantap makanan yang mereka masak di dekat sudung. Ketika tengah malam tiba, Pakde terbangun karena salah satu Suku Anak Dalam mengigau berkepanjangan tanpa henti hingga satu jam lebih. Igauan itu berupa nyanyian dalam bahasa melayu. Pakde dan dua Suku Anak Dalam pun terbangun dan duduk. Pakde lalu mengamati temannya itu dengan saksama. Matanya masih terpejam, tetapi ia bisa bernyanyi dengan sangat baik. Setelah igauan panjang itu berhenti, Pakde Pujiono beserta dua Suku Anak Dalam berbaring kembali sebab besok mereka harus mencari jernang. Keesokan harinya setelah usai mencari hasil hutan, mereka pun kembali ke permukiman tanpa

72


sempat Pakde menanyakan maksud igauan panjang itu. Jernang pun dijual dan hasilnya dibagi rata. Saat Pakde menceritakan pengalamannya kepada penulis, lalu Pakde yang hingga saat itu masih penasaran mengajak penulis bertamu ke rumah Pak Syamsu. Pak Syamsu menjelaskan bahwa peristiwa yang terjadi tersebut adalah malam ngigau. Malam ngigau bukanlah kegiatan yang direncanakan sebelum tidur, melainkan datang dengan sendirinya. Ketika tubuh terlelap, roh terbangun dan melakukan besale. Besale sendiri merupakan ritual upacara permohohonan kepada dewa agar para anggota rombong Suku Anak Dalam diberi keselamatan dan disembuhkan dari berbagai penyakit. Besale dahulunya dipimpin oleh tumenggung dan seorang dukun. Tugas dukun adalah melagukan mantra di hadapan sesajian kemenyan dan hewan buruan. Upacara besale dahulunya diadakan tepat dini hari saat bulan pernama. Upacara ini hanya boleh dihadiri oleh Suku Anak Dalam saja. Sebab bila ada orang luar mengikuti upacara, dewa bisa marah, dukun akan pingsan tiba-tiba, dan malapetaka yang lebih besar lagi akan datang. Upacara besale sendiri sudah tidak lagi dijalankan semenjak Suku Anak Dalam menganut agama Islam. Meski demikian, ternyata laku masa lalu terkadang datang menghampiri Suku Anak Dalam di malam ngigau. Nyanyian panjang yang ditembangkan secara tidak sadar saat malam ngigau sama dengan mantra yang dilagukan oleh para dukun pada upacara besale di masa 73


lalu. Orang yang melakukan malam ngigau akan bermimpi melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki di jalan setapak sebuah desa yang indah dan bersih. Muara dari perjalanan ini adalah dua simpang bercabang. Di sinilah, kita akan menentukan tujuan. Simpang pertama merupakan kebun buah yang terdapat banyak pohon dan belukar. Simpang kedua merupakan Jalan Pelancung, yakni berisi tambang emas. Di dalam mimpi yang dialami, seseorang tidak bisa memilih dengan sadar. Pemilihan tujuan simpang didasarkan dengan kondisi jiwa. Jika ia seorang yang baik dan taat, ia akan memilih simpang pertama karena memiliki makna yang baik, yakni diberikan rezeki dalam banyak hal. Sebaliknya, bila seseorang itu memiliki sifat jahat, ia akan memilih simpang kedua, yang berisi tambang emas. Simpang ini tergolong kategori yang kurang baik dan di kehidupan nyata akan mengalami kesialan. Pak Saymsu menjelaskan bahwa orang yang mengalami malam ngigau bisa pingsan sewaktu-waktu jika mendengar lolongan anjing. Namun kini, semenjak Suku Anak Dalam taat beribadah secara Islam, sudah hampir tak lagi ditemukan orang-orang tua yang mengalami malam ngigau. Jika diamati dari makna mimpi dalam malam igau, seseorang yang sedang berjalan di desa tampaknya tersesat dan barangkali sedang mencari jalan pulang. Simpang pertama disimbolkan dengan kebun buah dan pepohonan. Banyaknya pepohonan dan semak belukar 74


menunjukkan rimba yang diyakini Suku Anak Dalam sebagai kampung halaman. Sementara kebun buah menunjukkan bahwa Suku Anak Dalam menggantungkan hidupnya dari alam. Ia makan apa saja, termasuk buah-buahan yang ada di alam. Kondisi mimpi ini dikategorikan baik karena Suku Anak Dalam mampu memahami pola kehidupannya sebagai akar tradisi lokal dan identitas. Sementara tambang emas di simpang kedua dikatakan memberikan makna yang tidak baik terhadap kehidupan. Emas merupakan simbol kekayaan sekaligus keserakahan. Oleh sebab itu, yang memilih berjalan ke simpang kedua akan mendapat sial sebab emas dianggap sebagai godaan dunia untuk meninggalkan rimba.

75


76


Suara-Suara dari dalam Rimba Ada beberapa suara fauna yang menurut kepercayaan Suku Anak Dalam bisa menjadi pengabar atas musibah hingga kematian. Suara-suara ini masih dipercaya hingga saat ini. Misalnya suara ungko, monyet berbokong merah. Ungko atau hylobates agilis sering berbunyi pada pagi hari. Bila ungko berbunyi pada 77


rentang waktu saat senja mulai tenggelam hingga dini hari, diyakini akan terjadi musibah atau kematian. Saat suara ungko berbunyi pada malam hari, dukun rombong akan mengingatkan Suku Anak Dalam agar berhati-hati bila hendak bepergian. Selain itu, para anggota keluarga diwajibkan menghubungi saudaranya yang sedang bepergian jauh. Karena sebagian Suku Anak Dalam telah memiliki telepon genggam, mereka biasanya dapat menghubungi melalui telepon. Bila yang dihubungi sedang berada di hutan dan tidak ada signal, keluarga di bubung akan berdoa untuk keselamatan saudaranya. Dulu, dalam tempo beberapa hari saja dari suara ungko, memang benar terdapat keluarga yang kena musibah atau meninggal dunia. Yang terkena musibah bisa saja orang dekat atau orang jauh. Beberapa tahun silam misalnya, suara ungko menjadi tanda akan musibah yang terjadi di rombong Tumenggung Badai. Ada satu anak dalam yang diserang beruang api saat berburu babi. Bagian kiri kanan pahanya robek sangat dalam dengan cakar beruang api yang terkenal ganas. Selain itu, pernah juga anggota rombong Tumenggung Hari yang mengalami musibah kecelakaan motor saat hendak berburu di Sungai Manau, tetapi tidak sampai meninggal dunia. Dalam kisah yang lain, suara ungko menjadi kabar tentang kematian anak kecil berusia tujuh tahun yang mengalami epilepsi. Anak tersebut merupakan rombong dari Tumenggung Badai. Saat sedang musim durian, 78


rombong Tumenggung Badai membuat sudung di rimba yang letaknya tidak jauh dari bubung. Di sana terdapat banyak pohon durian sehingga para perempuan Suku Anak Dalam berinisiatif membuat lempok durian (semacam dodol) untuk bisa dinikmati dalam waktu lama. Perapian pun telah dibuat tepat di bawah pohon durian. Beberapa perempuan tampak mengaduk lempok di dalam wajan yang cukup besar. Ada satu anak kecil pengidap epilepsi yang bermain di dekat tungku, sementara anak-anak lainnya sedang mencari air ke sumber mata air. Tiba-tiba ada durian jatuh ke dalam wajan sehingga wajan tersebut tumpah mengenai anak kecil tadi. Rombong Tumenggung Badai yang masih menganut animisme percaya bahwa dewa sedang marah dan mengirimkan roh jahat untuk menghukum mereka. Anak itu dibiarkan beberapa minggu tanpa dibawa ke puskesmas atau rumah sakit. Seorang dokter dusun yang mendengar kabar tersebut kemudian datang mengunjunginya dan beberapa kali memberikan pengobatan secara cuma-cuma. Namun sayang, tuhan berkata lain. Kematian tampaknya adalah jalan terbaik bagi mereka. Selain suara ungko, ada juga suara beberapa burung, antara lain burung gedeng, burung but-but, burung pungguk, burung cecoy, dan burung ceceap tabuh. Jika burung gedeng berbunyi berkali-kali di dalam rimba, ini menandakan akan terjadi bahaya dan 79


harus berhati-hati. Burung yang seluruh bulunya berwarna putih ini ukurannya lebih besar daripada burung elang. Suku Anak Dalam yang masih menganut animisme memercayai bahwa burung ini merupakan jelmaan dari dewa sehingga tidak boleh dibunuh dan dimakan. Mereka menyebutnya dewa burung gedeng. Bunyinya cekuk...cekuk...kakakak... Bila mendengar suara burung but-but dari pagi hingga sore hari, artinya juga akan mendapat kabar tentang kematian. Burung yang berwarna cokelat ini juga tidak boleh dimakan dan dibunuh. Selanjutnya bunyi burung pungguk di tengah hari juga menandakan kematian. Bila bunyinya berasal dari hulu, yang meninggal adalah seorang janda. Sebaliknya, bila bunyinya berasal dari hilir, yang meninggal adalah seorang duda. Bunyinya tuhuk..tuhuk..tuhuk.. Jika Suku Anak Dalam sedang berburu ke hutan dan mendengar suara burung cecoy dan burung cecap tabuh, ini menandakan bahwa Suku Anak Dalam akan sulit mendapatkan rezeki di kawasan rimba tersebut. Artinya, ia harus berpindah mencari peruntungan ke rimba yang lain. Selain suara-suara fauna, Suku Anak Dalam juga memanfaatkan bunyi bila tersesat di dalam rimba. Hal yang perlu dilakukan hanya memotong kayu bulat sebesar lengan dan memukul-mukulkan kayu bulat tersebut dengan keras ke pohon yang besar berkali-kali. Bila suara pukulan itu didengar oleh Suku Anak Dalam yang lain, mereka akan berjalan menuju sumber suara 80


sambil memukul pohon besar juga sehingga pukulan pun terdengar bersahut-sahutan. Suku Anak Dalam yang bermaksud menyelamatkan temannya akan terus berjalan dan memukul pohon besar yang berbeda-beda sampai Suku Anak Dalam yang tersesat ditemukan.

81


82


Sentubung di Samping Sudung Rombong Tumenggung Badai mengatakan bahwa mereka lebih memilih melahirkan di rimba meski telah memiliki rumah laiknya masyarakat dusun. Namun terkadang, memilih melahirkan di rumah bila cuaca sedang buruk. Pada saat kandungan perempuan Suku Anak Dalam berusia sembilan bulan, calon ayah 83


membuatkan dua sudung khusus. Pemilihan lokasi sudung biasanya ditentukan oleh dukun untuk menghindarkan gangguan dari roh jahat. Sudung khusus untuk melahirkan dibuat dua tingkat. Tingkat atas nantinya akan digunakan untuk sang ayah dan tingkat bawah digunakan oleh sang ibu dan bayi kelak. Posisi sang ayah sengaja di atas agar tidak terkena air kencing sang bayi. Namun sebelum bayi lahir, tingkat atas digunakan untuk tidur para dukun. Sementara satu sudung lagi dibuat seperti sudung biasa, yakni satu lantai saja. Sudung ini nantinya untuk ditiduri keluarga dari pihak sang istri dan suami. Jika usia bayi telah menginjak satu bulan, sudung khusus melahirkan tidak boleh digunakan lagi dan harus dibongkar. Mereka pun akan pulang ke sudung asal untuk merayakan usia bayi. Dahulu, acara tersebut diiringi tari-tarian dan alat musik mirip dengan seruling, tetapi bunyinya sangat mirip dengan gitar. Alat musik tersebut bernama dinggung, terbuat dari batang pohon enau. Sayang, si empunya sudah meninggal sebelum sempat diwariskan ke anak cucu. Saat hari melahirkan tiba, ada dua orang dukun yang akan membantu persalinan, yakni seorang dukun yang nantinya akan membantu bedeker membaca mantra dan dukun beranak atau biasa disebut bidan untuk mendorong bagian perut serta menyambut bayi yang akan lahir. Posisi dukun di dekat kepala istri dan posisi bidan di dekat pinggang istri. Prosesi bedeker dipercaya

84


mampu mengusir para setan, mempermudah persalinan, dan sang ibu diberi keselamatan. Sebelum dukun bedeker, biasanya dukun memasukkan akar batang selusuh ke dalam air yang berisi gelas. Air tersebut lalu dibacakan mantra dan diminumkan ke perempuan yang hendak melahirkan. Saat bayi keluar dari vagina, bidan akan memotong ariari bayi dengan menggunakan parang tumpul yang dilasi dengan papan. Suku Anak Dalam menyebut ari-ari dengan sebutan kakak. Ari-ari tersebut kemudian akan ditanam di bawah sudung dan dipagari dengan potongan dahan pohon sentubung. Menurut kepercayaan Suku Anak Dalam, sentubung adalah perwakilan nyawa mereka. Barang siapa kakak-nya dipagari sentubung, sentubung yang tumbuh tersebut akan menjadi miliknya. Potongan dahan sentubung kelak akan tumbuh menjadi tunas dan menjadi pohon yang besar. Pohon ini tidak boleh ditebang sebab dipercaya mampu membuat pemiliknya terkena musibah dan mengalami kematian. Setiap kelahiran, wajib menanam pohon sentubung. Artinya, semakin banyak kelahiran semakin banyak pula pohon sentubung yang tumbuh. Pohon ini pun dilindungi karena merupakan lambang dari nyawa seseorang. Selain itu, pohon ini pun digunakan setiap kali ada kelahiran. Untuk mengambil dahan sentubung pun tidak sembarangan. Suku Anak Dalam akan mencari pohon sentubung yang tumbuh liar. Akan keliahatn pohon sentubung yang dijaga dan yang dibiarkan saja. 85


Juga bisa dilihat bahwa pohon sentubung tertentu sudah dimiliki seseorang atau belum. Kelak, ketika bayi tumbuh menjadi anak-anak, orang tua akan memberi tahu lokasi kakak „ari-ari‟ yang letaknya di antara pohon sentubung. Pemilik sentubung perlu menjaga dan merawat pohon tersebut. Meski pemilik pohon sentubung sudah meninggal dunia, pohon sentubung harus tetap dilindungi oleh semua Suku Anak Dalam

86


Serba-Serbi Mulut Sebelum mengenal uang, Suku Anak Dalam masih menggunakan sistem barter. Misalnya Suku Anak Dalam ingin menukar jernangnya dengan kuali, biasanya waktu yang digunakan relatif lama. Menurut penuturan Mak Halimah, perempuan sembilan puluh tahunan ini, lebih mudah menggunakan uang sebab tidak perlu menunggu lama seperti dulu. Bila kuali didapatkan dari masyarakat dusun, mereka akan memasak dengan menggunakan kayu 87


bakar. Bila ingin membuat goreng-gorengan, sebelum mengenal adanya minyak goreng, Suku Anak Dalam menggunakan lemak babi dan lemak ular untuk menggoreng. Bila tidak memiliki lemak babi atau lemak ular, cara memasak makanan pun sudah pasti hanya direbus atau dipanggang. Makanan favorit yang masih ingat lekat dalam ingatan Perencam adalah yang berjenis umbi-umbian, seperti gadung, sagu, dan banar. Banar sendiri lebih mirip dengan ubi kayu, tetapi buahnya lebih besar dan rasanya manis. Sementara jenis sayur-sayuran yang dimasak juga beragam, ada daun singkong, nangka muda, jantung pisang, pakis, umbut baye, taruk sepelapo, dan lain-lain. Taruk sepelapo bentuknya mirip dengan pakis, tetapi tidak dijual di pasaran dan hanya ada di rimba. Jika masih muda berwarna merah dan batangnya lembut, kalau lumayan tua berwarna kuning dan batangnya keras, tetapi jika sudah tua warnanya hijau dan batangnya keras. Ketika sayur ini dimasak sesuai usia, kuah sayurnya akan berwarna merah, kuning, dan hijau. Dari ketiga usia ini yang paling enak adalah yang muda, sebab yang lumayan tua dan tua terkadang rasanya bisa kecut kalau kelamaan tidak dimasak. Jika Suku Anak Dalam ingin makan bubur, Perencam akan pergi ke hutan mencari pohon sagu. Sagu yang akan dimasak ini berbeda dengan sagu-sagu yang ada di pasaran. Setelah pohon ditebang, kemudian dibelah dan diambil isinya yang berwarna putih. Lalu 88


diserut tipis-tipis menggunakan parang, diremas-remas bersama air, dan diendapkan saripatinya selama satu hari. Endapan saripati itulah yang akan dimasak ke dalam periuk bersama air. Tidak perlu ditambah gula sebab sagu sudah memiliki rasa manis alami. Bila telah matang, warnanya bukan lagi putih, melainkan berubah menjadi merah jambu. Untuk menikmatinya, Perencam menggunakan piring tradisional, yakni dari daun pisang, daun lipas, atau daun sengkubung. Sendoknya pun bisa dibuat dari tiga daun ini. Bila ingin mengonsumsi makanan tanpa sendok, biasanya harus menunggu bubur sagu atau makanan lain dingin terlebih dahulu. Piring dan sendok daun ini hanya digunakan sekali pakai. Setelah selesai, daun akan dibuang. Kalau ingin makan lagi, biasanya mengambil daun yang baru. Untuk minumannya, Suku Anak Dalam sering mengonsumsi madu yang dicampur dengan air hangat. Air hangat dituang ke dalam gelas yang terbuat dari bambu. Lalu madu secukupnya dimasukkan ke dalam gelas dan diaduk. Untuk membuat minuman manis, selain menggunakan madu, Suku Anak Dalam memproduksi gula sendiri, yakni gula merah dengan bahan dasar tanaman tebu. Tanaman tebu biasanya sengaja ditanam oleh mereka. Setelah dikupas kulitnya, ruas tebu dibuang dan dimasukkan ke alar penggilingan tradisional yang terbuat dari kayu. Alat penggilingan untuk mengambil saripati tebu ini sangat mirip dengan alat penggiling 89


daging manual, yakni menggunakan pengengkol yang akan diputar sehingga keluarlah saripati tebu. Saripati tersebut dimasak seharian sampai kental dan dimasukkan ke dalam bambu atau botol akua. Setelah dingin, gula tebu tersebut akan beku, rasanya sama dengan gula merah yang dijual di pasaran. Selain untuk minum dan campuran makanan, anak-anak senang mengonsumsi gula tebu ini mentah-mentah sebagai permen. Selain umbi-umbian dan sayur-sayuran, Suku Anak Dalam mengenal pantangan makanan. Pantangan makanan ini masih dipercayai hingga kini. Untuk perempuan yang belum menikah, dilarang memakan semua jenis buah yang terasa asam, seperti jeruk, belimbing, nanas, rambe, ranggung, ridon, siabuk, khakhompaho, kuduk kuya, dan segala jenis rambutan hutan yang asam. Bila memakan buah asam, ditakutkan darah akan menjadi asam sebab Suku Anak Dalam percaya bahwa para gadis memiliki darah yang manis. Selain itu, mengonsumsi buah-buahan yang asam dipercaya bisa membuat badan mengecil dan merusak perut. Ternyata larangan ini juga berlaku bagi perempuan yang sedang menyusui, namun tidak berlaku bagi perempuan yang telah menikah, yang tidak dalam kondisi menyusui. Pantangan lainnya, yakni mengonsumsi udang. Udang boleh dimakan oleh perempuan Suku Anak Dalam yang telah menikah, namun tidak diperbolehkan bagi perempuan yang belum menikah dan perempuan 90


yang sedang menyusui bayi laki-laki. Dipercaya, testis anak laki-laki yang disusui bisa mengalami kelainan, yakni membesar dan memerah laiknya udang. Bahasa Rimbanya adalah tumbung. Begitu pun untuk semua lakilaki Suku Anak Dalam, mereka sangat pantang makan udang karena dipercaya akan berdampak negatif bagi kesehatan alat kelamin. Tentu, yang paling ditakutkan adalah mengalami tumbung. Meski secara medis hal tersebut tidak dapat dibuktikan, komunitas adat terpencil Suku Anak Dalam Kecamatan Pelepat sangat memercayainya. Ada juga pantangan yang berasal dari sungai, yakni ikan rajo. Ikan ini berwarna putih dan kepalanya agak besar. Ikan rajo tidak boleh dikonsumsi oleh para gadis, perempuan hamil, dan perempuan menyusui. Suku Anak Dalam percaya mengonsumsi ikan rajo akan mendatangkan malapetaka, terutama merusak kesehatan. Selain makanan dan minuman, nenek moyang Suku Anak Dalam telah merokok sejak lama. Tradisi merokok bisa dijumpai mayoritas pada lelaki di rombong Tumenggung Badai, Tumenggung Hari, maupun Tumenggung Ganta. Ketika mereka masih bermukim di rimba, nenek moyang mereka masih merokok menggunakan daun. Untuk tembakaunya, terkadang ditanam sendiri, namun kebanyakan tetap membeli di pasaran. Cara pemakaiannya sebagian besar sama, yakni tembakau diletakkan di atas daun, kemudian digulung dan siap dirokok.

91


Riwayat daun rokok yang digunakan dari ketiga rombong Suku Anak Dalam ini ternyata berbeda-beda. Nenek moyang rombong Tumenggung Hari kerap menggunakan daun celatuk sebagai pembungkus tembakau. Warna daun ini sangat mirip dengan batang enau. Rombong Tumenggung Badai menggunakan daun dedehup. Daun ini perlu dipanggang dulu agar agak layu, setelah itu baru bisa digulung bersama tembakau. Berbeda lagi dengan rombong Tumenggung Ganta, daun yang digunakan untuk membungkus tembakau bernama daun daup. Permukaan daun ini berwarna hijau, namun bawahnya berwarna merah. Jika digulung bersama tembakau, rokok terlihat berwarna hijau sebab daun merahnya berada di dalam. Kini, Suku Anak Dalam tak lagi merokok dengan daun, mereka lebih senang mengonsumsi rokok-rokok warung sebab rasanya lebih enak.

92


Pasoron yang Hilang dan Ditinggalkan Ketika masih bermukim di rimba dan menganut animisme, rombong Tumenggung Ganta masih membuatkan pasaron untuk anggota rombong Suku Anak Dalam yang meninggal dunia. Namun, tradisi ini sudah lama ditinggalkan sejak rombong Tumenggung Ganta di Desa Sialang memeluk agama Kristen. 93


“Sekarang bila ada anggota keluarga yang meninggal akan dikebumikan secara Kristen, tidak lagi membuat pasoron,” ucap Tumenggung Ganta dengan tersenyum. Pasoron adalah sebuah pondok yang dibuat khusus mayat Suku Anak Dalam. Lokasi pasoron harus jauh dari sudung, yakni di tengah hutan yang jarang dilewati banyak orang. Kayu yang digunakan untuk membuat pasoron pun bisa segala jenis kayu dengan tinggi sekitar dua meter. Pertama-tama, empat pondasi sebagai tiang setinggi dua meter ditancapkan ke dalam tanah. Pada jarak 1 m, diletakkan dua kayu yang melintang horizontal di tiap-tiap tiang. Pada jarak kurang lebih 1,5 m, dibuatkan lantai dari papan. Lantai inilah yang kelak digunakan sebagai tempat mayat bersemayam. Lalu di ketinggian 2 m dibuatkan atap, yang di dalamnya diberikan lampu atau penerangan. Biasanya, pasoron dibuat oleh 5 – 6 Suku Anak Dalam. Perbedaan yang mencolok untuk mayat cenayang dan mayat orang biasa terletak pada atap pondok. Mayat seorang cenayang atau dukun pondoknya beratap rumbai, sedangkan mayat orang biasa beratap plastik. Meski mencari daun rumbai tidak terlalu mudah seperti zaman nenek moyang dahulu, syarat ini tetap harus dipenuhi sebagai penghormatan terakhir kepada 94


cenayang. Sebab semasa hidup, cenayang merupakan salah satu orang yang memberikan banyak jasa kepada Suku Anak Dalam. Beberapa tugas cenayang semasa hidup, seperti menjadi pemimpin saat bedeker atau membaca mantra dan melakukan pemujaan terhadap dewa, mengobati orang sakit, sebagai penyampai kabar gembira dan kabar buruk dari para dewa, dan mampu bertemu atau merayu setan agar tidak mengganggu kehidupan Suku Anak Dalam. Saat dinyatakan meninggal dunia, mayat kemudian dimandikan oleh perwakilan anggota keluarga atau ninik mamak tua tengganai yang mewakili. Setelah itu, mayat cenayang dipakaikan baju kesayangan cenayang semasa hidupnya. Baju ini biasanya disimpan dan hanya dipakai pada waktuwaktu penting saja, seperti bedeker dan mengobati orang sakit. Baju kesayangan dapat berupa kaos atau kemeja. Sementara orang biasa dipakaikan pakaian biasa. Mayat lalu dibawa menuju pasoron. Pada lantai papan pasoron telah dipasang tujuh lapis tikar rumbai yang dibuat sendiri, di sana juga telah tersedia bantal, tuju lapis selimut, dan kelambu. Kepala mayat dletakkan di atas bantal, dari mata kaki hingga leher ditutup oleh tujuh lapis selimut, dan ditutup kelambu. Bagian wajah dan telapak kaki sengaja tidak diselimuti, hal ini 95


dipercaya agar mayat bisa berjalan menuju kehidupan baru dan bisa melihat dunia baru dengan sukacita. Lampu atau penerangan yang telah menempel di pucuk atap, tepatnya di atas kelambu, dihidupkan agar mampu menerangi mayat menuju dunia yang lain. Sementara di bawah pasoron, dihidupkan api unggun dipercaya selain mampu memberi penerangan, juga memberikan kehangatan kepada mayat. Setelah semuanya selesai, biasanya anggota keluarga akan kembali ke sudung untuk berkemas melakukan melangun. Tumenggung Ganta mengatakan bahwa pasoron ini tidak boleh lagi dikunjungi Suku Anak Dalam. Pasoron dan mayat pun akan rusak dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Tak jarang, mayat dalam pasoron menjadi santapan binatang buas di hutan. Tumenggung Ganta menambahkan bahwa hal yang paling dilarang adalah menyebutkan nama orang yang telah meninggal dunia. Memang tidak ada denda adat jika dilanggar, tetapi sebagian besar Suku Anak Dalam memahami bahwa menyebut nama orang yang telah meninggal hanya akan memunculkan ingatan dan kesakitan ditinggalkan.

96


Harimau di Tahun Tujuh Puluh Bagi Suku Anak Dalam, harimau adalah dewa. Namun tidak semua harimau mutlak seorang dewa. Ada yang murni harimau, dan ada juga dewa harimau. Yang bisa mengetahui seekor harimau adalah dewa atau bukan hanyalah cenayang karena tidak dapat dilihat 97


secara kasatmata oleh Suku Anak Dalam biasa. Menurut cerita nenek moyang, Dewa Harimau tinggal di darat, ia bisa menjadi jahat dan bisa menjadi baik, yakni menjaga Suku Anak Dalam. Suku Anak Dalam yang berburu hewan buruan dan hasil hutan tidak akan dibunuh harimau sebab di tahun tujuh puluh harimau telah melakukan perjanjian dengan ninik mamak Suku Anak Dalam. Tahun tujuh puluh yang digambarkan Suku Anak Dalam bukanlah hitungan tahun masehi 1970, melainkan tahun di mana masa lalu harimau menelan sekitar tujuh puluh orang Suku Anak Dalam. Memang, Suku Anak Dalam terutama yang sudah berusia tua, tidak banyak yang bisa baca tulis sehingga mereka tidak mengenal penanggalan masehi. Mereka tidak banyak yang hafal tentang nama-nama hari, mereka tidak mencatat tanggal kelahiran dan kematian, mereka tidak mengingat umur, apalagi merayakan ulang tahun dan merayakan anniversary sebagaimana yang orang-orang modern lakukan. Yang menjadi penanda bagi mereka adalah musim-musim tertentu, seperti musim buah, musim kemarau, musim hujan, dll. Alkisah di masa lalu, harimau yang tinggal di rimba acapkali memakan daging manusia Suku Anak Dalam. Bukan hanya satu dua Suku Anak Dalam saja, melainkan hingga mencapai tujuh puluh. Kondisi ini 98


membuat takut dan mencekam sehingga Suku Anak Dalam hanya keluar sudung di wkatu-waktu tertentu. Hampir tiap malam, suara auman harimau membuat bulu kuduk Suku Anak Dalam berdiri hingga merinding. Selain ketakutan, mereka juga bersedih karena kehilangan sanak saudaranya. Harimau yang terkenal buas di masa lalu tidak hanya menelan mentah-mentah Suku Anak Dalam yang keluar sudung saja. Terkadang bila harimau-harimau sedang kelaparan, rombongan harimau ini mendatangi sudung-sudung Suku Anak Dalam dan menelan semua anggota keluarga hingga rombongan harimau merasa kenyang. Karena merasa tidak aman, tumenggung dan para mangku di rimba pun mengadakan perundingan untuk mencari solusi. Diputuskan bahwa Suku Anak Dalam besok akan bergotong royong membuat pagar yang mengelilingi permukiman rombong mereka. Pagar tinggi yang dibuat dari kayu dan kawat yang telah dibacakan mantra dari cenayang. Harapannya, keluarga harimau tidak lagi dapat menyerang Suku Anak Dalam. Sebulan pun berlalu, tidak ada lagi harimau yang memangsa Suku Anak Dalam. Namun seminggu terakhir, hampir semua rombong Suku Anak Dalam mendengar suara harimau siang malam tanpa henti. Kondisi ini tentu saja membuat Suku Anak Dalam 99


ketakutan. Tak ada satu pun yang berani mencari arah suara itu. Para cenayang menemui tumenggung dan para mangku untuk mencari sumber suara harimau. Dengan memberanikan diri, mereka pun menemukan sumber suara itu. tak disangka ada harimau raksasa yang kakinya terjepit di antara kayu dan kawat pagar. Harimau itu mengaum sejadi-jadinya sambil berusaha melepaskan diri. Berkali-kali telah dicobanya, tetapi gagal. Dari kejauhan, tumenggung dan tiga orang mangku tampak fokus memperhatikan cenayang. Cenayang mengatakan kepada mereka bahwa harimau itu terjerat mantra yang telah dibacanya sehingga ia tidak bisa lepas. Harimau yang terperangkap ini pun bukan harimau sembarangan, ia adalah dewa harimau, raja dari segala harimau yang ada di rimba. Mereka lalu menuju harimau itu. Cenayang kemudian berkomunikasi dengan dewa harimau. Tumenggung dan tiga orang mangku yang tadinya tidak mengerti bahasa harimau lalu dijampijampi cenayang hingga akhirnya paham perbincangan mereka. Dewa harimau meminta tolong agar kakinya yang terjepit dibantu Suku Anak Dalam. Mereka pun mengadakan perjanjian. Cenayang mau melepaskan kaki

100


dewa harimau asalkan seluruh keluarga harimau tidak memangsa Suku Anak Dalam lagi. Setelah dewa harimau menyanggupi perjanjian tersebut, mulut cenayang komat-kamit membaca mantra hingga terlepaslah kaki harimau yang terjepit itu. dewa harimau itu kemudian mengucapkan terima kasih sambil menundukkan kepalanya ke hadapan lima orang Suku Anak Dalam. Persahabatan pun terjalin di antara meski perjanjian harus tetap dijalankan. Dewa harimau mengatakan bahwa setelah kepulangannya ini, ia akan menemui anak cucunya untuk menyampaikan agar mereka tidak lagi memangsa Suku Anak Dalam. Sebab Suku Anak Dalamlah yang telah menyelamatkan nyawanya. Semenjak saat itu, Suku Anak Dalam tidak lagi pernah dimangsa harimau. Bila ada Suku Anak Dalam sedang berburu di rimba dan bertemu harimau, harimau tersebut akan pergi menjauh karena tidak mau keturunannya celaka dan hidup sial.

101


102


Sekapur Sirih Sugi Nenek Timpo Perempuan Suku Anak Dalam di permukiman Desa Sialang ada enam orang yang mengonsumsi sekapur sirih sugi. Salah satunya nenek Timpo – mertua Tumenggung Ganta yang kurang lebih berusia sembilan puluh tahun. Nenek Timpo mengatakan dirinya telah 103


makan sirih sejak usia remaja dan kebiasaan makan sirih ini merupakan keturunan dari keluarganya. Ketika Nenek Timpo telah memiliki anak, kelima anaknya mengikuti jejaknya memakan sirih tanpa paksaan sedikit pun. Selama tinggal di rimba, Suku Anak Dalam tidak mengenal sikat gigi sehingga tidak sedikit gigi Suku Anak Dalam berlubang dan rusak dengan sendirinya. Salah satu alasan Nenek Timpo makan sirih pinang adalah untuk menghindarkan diri dari sakit gigi. Dirinya pun mengaku meski giginya sudah tidak utuh lagi, sudah lama ia tidak lagi pernah merasakan sakit gigi. Bahan-bahan yang digunakan untuk mengonsumsi sirih pinang ini, antara lain daun sirih, kapur dan pinang muda. Cara meramunya sederhana. Ambil selembar daun sirih! Kupas pinang muda dan ambil isinya! Letakkan isi pinang muda dan kapur secukupnya ke atas daun sirih! Lipatlah daun sirih hingga isi pinang muda dan kapurnya tertutup rapat! Masukkan ke dalam alat yang menyerupai besi panjang berongga! Tumbuklah dengan penumbuk yang berbentuk menyerupai pahat hingga halus! Sekapur sirih pinang siap dinikmati. Biasanya, Nenek Timpo akan mengunyah sirih pinang sebanyak dua kali perharinya, yakni pagi/ siang dan sore hari. Saat sirih pinang lebur di dalam mulut, ia 104


akan berwarna merah dan akan dikeluarkan melalui mulut bercampur air liur. Ternyata tak habis di situ saja, setelah makan sirih pinang, Nenek Timpo akan mengisap tembakau/sugi. Kegiatan mengisap tembakau ini disebut dengan menyugi. Semasa tinggal di rimba, Nenek Timpo mengambil daun sirih dan pinang di rimba. Semenjak ia pindah ke perumahan milik pemerintah, daun sirih dan pinang muda ia dapatkan secara cuma-cuma dari daerah Tran atau transmigrasi yang sebagian besar penghuninya adalah orang Jawa. Nenek Timpo sangat bersyukur bahwa orang-orang Jawa di daerah Tran sangat baik kepada Suku Anak Dalam. Sementara tembakau dan kapurnya, ia beli di Pasar Tran. Selain membeli kapur, terkadang Nenek Timpo membuatnya sendiri. Bahan baku yang digunakan adalah kulit kerang. Kulit kerang biasanya diperoleh hasil memulung di tong-tong sampah daerah Tran. Cara membuat kapur untuk sirih pinang, yakni 1) Letakkan banyak batang bambu dan berilah jarak diantaranya, 2) Letakkan kulit kerang yang telah dibungkus plastik putih ke atas susunan batang bambu, 3) letakkan batang bambu ke atas kulit kerang secara berlawanan (Jika di bawah horizontal, maka yang di atas vertikal) sampai menutupi kulit kerang tadi! 4) Lalu bakar selama dua jam sampai bambu menjadi abu semuanya! 5) setelah itu, 105


matikan api dan pindahkan kulit kerang yang telah lumer dan berwarna putih ke dalam wajan! 5) Tambahkan air bersih secukupnya dan masaklah di atas tungku selama tiga puluh menit sambil diaduk! 6) Kapur siap digunakan sebagai bahan baku makan sirih pinang. Nenek Timpo mengatakan kapur yang ia buat sendiri lebih awet dikonsumsi, bisa habis dalam hitungan tahun. Biasanya Nenek Timpo akan membuat kapur sendiri jika ia sedang tidak memiliki uang. “Memang, harga kapur sangat murah. Biasanya dengan Rp2.000,00 saja sudah dapat. Tebakau juga demikian, kadang beli Rp1.000,00 juga boleh. Namun kalua tak punya uang, lebih baik buat kapur sendiri dan tidak makan sugi,” ucap nenek yang telah memiliki 30-an cucu ini.

106


Sudung Besak dan Sudung Kecik Kata sudung dalam bahasa Rimba berarti rumah beratap daun rumbai/terpal yang tidak memiliki dinding. Semasa tinggal di rimba, sudung yang biasanya didirikan rombong Tumenggung Ganta beratapkan terpal sebab mencari atap daun rumbai sudah sangat sulit. Tiap keluarga akan membangun dua sudung, yakni 107


sudung besak dan sudung kecik. Suku Anak Dalam yang baru menikah biasanya akan tinggal di sebuah sudung yang letaknya dekat dengan sudung orang tua pihak perempuan atau matrilokal. Bila pasangan suami istri tersebut memiliki banyak anak yang sudah beranjak remaja, anak-anak tersebut harus tidur di sudung kecik. Sudung kecik biasanya dibuat dua, yakni khusus anak perempuan dan anak laki-laki. Bentuknya lebih kecil dari sudung besak atau sudung utama. Ketika anak-anak tersebut menginjak usia tujuh tahun, mereka diwajibkan tidur memisah di sudung kecik. Sementara orang tua bersama anak yang berusia di bawah tujuh tahun bermalam di sudung besak. Namun untuk aktivitas makan, anak-anak tetap datang ke sudung besak. Sudung kecik memang hanya dijadikan tempat bermalam khusus anak-anak saja. Hal ini dilakukan agar anak-anak Suku Anak Dalam hidup mandiri dan menjadi pribadi yang berani.

108


Betilek Betilek merupakan tradisi berburu pada Suku Anak Dalam. Hewan yang menjadi buruan utama adalah babi, namun tak menutup kemungkinan mereka juga akan mendapatkan trenggiling, moesa, beruang, landak, monyet, kalelawar, tapir, kijang, dan lain-lain. Lokasi tujuan berburu babi pun beragam. Terkadang di hutan 109


dekat permukiman, terkadang pula ke Kabupaten Tebo, Bungo, Sarolangun, hingga Kerinci. Sementara betilek yang paling jauh dilakukan sampai ke provinsi sebelah, yakni ke hutan di Riau. Suku Anak Dalam tidak memiliki perencanaan khusus untuk betilek. Semuanya tergantung pada insting. Jika insting sedang baik dan hendak betilek, maka para laki-laki Suku Anak Dalam akan pergi ke hutan. Sebaliknya, jika insting tidak baik, mereka tidak akan berangkat betilek ke hutan. Namun jika hujan turun pada malam hari, bisa dipastikan keesokan harinya Suku Anak Dalam akan pergi betilek sebab dipercaya mereka akan mudah mendapatkan trenggiling dan babi hutan. Sebelum berangkat betilek, biasanya Teket dan Bernai akan menyiapkan peralatan yang akan ia bawa, seperti periuk, kuali, beras. zzsxPeralatan tersebut mereka masukkan ke dalam karung putih untuk kemudian digantung di motor. Jika di rumah sedang tidak ada beras, mereka tidak akan membawa peralatan ini. Mereka akan menggangtungkan perutnya dnegan makanan di hutan, seperti buah-buahan. Suku Anak Dalam akan menginap di hutan beberapa hari, pernah juga dalam hitungan Minggu demi mencari hewan buruan. Sebelumnya, mereka akan meninggalkan motor di tepi hutan, lalu berjalan kaki masuk ke hutan. Motor tersebut dipastikan tidak akan 110


hilang karena warga setempat sudah tahu bila motor tersebut adalah milik Suku Anak Dalam. Kebanyakan masyarakat dusun memang tidak mau berurusan dengan Suku Anak Dalam. Meski mayoritas yang pergi betilek adalah kaum laki-laki, tak sedikit pula yang mengajak istrinya ke hutan. Setelah sampai di hutan, terlebih dahulu mereka akan membangun sudung untuk tempat bermalam, memasak, dan berlindung dari hujan. Setelah sudung jadi, mereka akan meninggalkan barang-barang di sudung dan memulai perburuan. Tentunya, Suku Anak Dalam terlebih dahulu akan menyiapkan kecepet – senjata rakitan Suku Anak Dalam – yang bentuknya mirip dengan senapan angin, namun lebih panjang. Tumenggung Ganta mengatakan bahwa pengetahuan merakit kecepet diajarkan oleh orang tua zaman dulu. Dalam versi lain, Teket dan Bernai, lelaki Suku Anak Dalam berusia sekitar 30-an tahun mengatakan bahwa dahulunya, nenek moyang mereka belajar membuat kecepet dari masyarakat dusun. Sebelum berburu dengan kecepet, dahulunya nenek moyang Suku Anak Dalam masih berburu menggunakan tombak yang bernama kojur (panjang dua depa) dengan ditemani seekor anjing. Peran anjing adalah memberi tahu jika ia mencium hewan buruan. Jika anjing menggonggong saat berburu, artinya hewan 111


buruan, seperti babi, rusa, moesa, trenggiling, landak, dan lain-lain berada sangat dekat dengan Suku Anak Dalam. Bila ada babi, anjing langsung mengejarnya karena keluarga anjing sejak dahulu memang berlawanan dengan babi. Saat anjing berkelahi dengan babi, saat itulah dimanfaatkan Suku Anak Dalam untuk menombak babi denga kojur, yang dahulunya dibuat sendiri oleh Suku Anak Dalam. Kojur dan anjing sudah lama tidak digunakan dalam berburu semenjak Suku Anak Dalam mengenal kecepet. Kendala berburu dengan memakai kojur, yakni harus menombak hewan buruan dalam jarak dekat dengan risiko diserang binatang buas, sedangkan menggunakan kecepet bisa menembak hewan buruan dalam jarak puluhan meter. “Jika babi hutan yang besar ditembak dengan kecepet, ia akan lekas mati. Kalau ditembak dengan senapan angin biasa, paling-paling babi tersebut merasa seperti digigit semut,” ucap Teket sambil tertawa. Laki-laki Suku Anak Dalam yang pergi betilek paling muda berusia sekitar tujuh belas tahun. Bila lakilaki Suku Anak Dalam yang belum menikah sudah berani pergi berburu, ini pertanda bahwa ia sudah layak memiliki istri karena dianggap sudah bisa mencari uang. 112


Memang, satu-satunya pekerjaan laki-laki Suku Anak Dalam adalah berburu. “Sekarang babi makin sulit karena banyak hutan yang sudah menjelma ladang dan rumah-rumah. Setelah babi hutan habis, kami harus memutar otak mencari pekerjaan yang layak untuk menghidupi anak istri. Dulu sebulan bisa dapat 4 – 5 ekor babi, sekarang mencari 1 ekor dalam sebulan saja sulit,” ucap Tumenggung Ganta. Selain di hutan, buruan utama seperti babi banyak terdapat di kebun sawit. Para pemburu tidak sembarangan menarik pelatuk kecepetnya sebab terkadang ada manusia yang sedang mencari gerondolan „buah sawit yang jatuh‟ di kebun sawit. Begitu juga bila berada di kebun karet, jika pemburu melihat daun yang bergoyang-goyang, mereka tidak lantas menembakkan kecepetnya karena harus memastikan terlebih dahulu apakah benar itu babi buruan, atau jangan-jangan manusia yang sedang melakukan aktivitas di kebun. Sejauh ini, Bernai, Teket, dan Tumenggung Ganta tidak pernah salah sasaran dalam menembak hewan buruan dalam artian bermaksud menembak babi malah tertembak manusia. memakai kecepet memang dibutuhkan kejelian. Biasanya, laki-laki Suku Anak Dalam akan mengetahui seekor babi berada di dekatnya karena menguar bau lumpur tanah yang tajam.

113


Selain itu, terkadang mereka juga melihat jejak babi di tanah yang basah. Bila jejaknya besar, bisa dipastikan babinya bertubuh besar, yakni kisaran 70 – 100 kg. Bila jejaknya sedang, bisa jadi babinya berukuran sedang. Meski selama ini hanya mengira-ngira saja, saat ditimbang di pasar, perkiraan berat babi hanya meleset sekitar 1 – 5 kg saja. Selain dari jejak, Suku Anak Dalam bisa mengenali suara babi. Kaki abbi saat berjalan suaranya kecil dan tenang. Pernah, Teket memanjat pohon yang tingginya sekitar 5 m. Saat tangan kiri memegang pohon untuk menahan, tangan kanan ia gunakan untuk menarik pelatuk untuk menembak babi. Sekali tembak saja babi sudah tersungkur. Ia pun lekas turun dan menuju hewan buruan. Saat dipastikan babi telah mati, ia memotong kepala, kaki, dan memisahkan isi perut dan dagingnya. Isi perut dan kepala akan ia bawa pulang untuk dimasak. Kakinya dibuang dan dagingnya akan dijual ke pasar. Babi yang sering didapat saat berburu adalah babi hitam dan babi putih. Babi putih biasanya ada saat awal tahun atau sedang musim buah, sedangkan babi hitam selalu ada sepanjang tahun. Untuk berat babi buruan yang biasa didapatkan, pernah mencapai 100 kg. Harga babi hitam per kilogramnya paling mahal dibanderol dengan harga Rp6.000,00 saja. Bila harga getah karet jatuh, biasanya harga babi juga akan jatuh. Paling murah 114


harga babi, yakni Rp4.500,00 per kilogram. Hal ini disebabkan toke babi sekaligus merupakan toke getah. Sementara harga babi putih berada di bawah babi hitam, yakni hanya Rp.3.500,00 saja. sejak menjual daging babi di pasar, beberapa kali mereka ditipu oleh toke. Meski tidak bisa menghitung, kami bisa mengirangira dari hasil jual babi sebelumnya. Bila ditipu, Suku Anak Dalam lebih memilih diam, menerima, dan tidak meminta ke toke. “Untuk sebab itulah, anak-anak kecil perlu sekolah biar tidak ditipu saat menjual babi,” ucap Tumenggung Ganta. Bernai mengatakan waktu paling asyik untuk berburu adalah sore dan siang hari. Pengalaman terburuk saat pergi betilek, yakni di tengah jalan kehabisan bensin sementara dirinya tidak membawa uang sedikit pun karena tidak mendapatkan babi. Bila demikian, biasanya Teket akan berhenti di warung bahan bakar yang penjualnya orang Jawa. Dalam keyakinan Suku Anak Dalam, orang Jawa memiliki watak yang baik sehingga mau menolong Suku Anak Dalam yang sedang tertimpa musibah. “Terkadang utang bensin kepada mereka, terkadang saya diberikan bensin secara gratis. Mereka – orang Jawa – sudha pasti mau menolong Suku Anak 115


Dalam karena hubungan kami dengan mereka bisa dibilang baik. Pernah juga kehabisan bensin di tempat yang tidak ada penjual bensin, jadi motor terpaksa harus didorong,” ucap Teket.

116


Rusa Keramat Saat berburu babi di hutan, laki-laki Suku Anak Dalam pernah beberapa kali menyasar di hutan dan tidak bisa keluar. Ada dua alasan menyasar, 1) lupa patokan jalan pulang, 2) tertipu rusa keramat. Untuk alasan pertama supaya tidak lupa jalan pulang lagi, biasanya Suku Anak Dalam akan membuat tanda di 117


beberapa pohon besar dengan parangnya. Selain tanda pohon, ia juga harus mengingat arah mata angin pertama kali masuk. Rumus sederhana lain agar tidak tersesat pulang, yakni mencari jalan yang memiliki akar melingkar ke arah timur. “Dulu saat awal-awal belajar berburu, saya pernah seharian berputar-putar di dalam hutan karena lupa arah. Beberapa bulan lalu di tahun 2018 meski sudah tua, ternyata saya juga terkadang lupa dan menyasar hingga setengah hari. Bila menyasar di hutan, saya akan berdoa kepada Tuhan Yesus agar diberikan jalan yang benar. Patokan saya kalau berburu di daerah Bangko, saya akan memulai arah perjalanan di hutan dari hulu air bukan hilir air,” ungkap Tumenggung Ganta. Selain lupa arah jalan pulang, Tumenggung Ganta pernah juga beberapa kali tersesat gara-gara rusa keramat. Rusa keramat ini sudah ada sejak zaman nenek moyang Suku Anak Dalam. Ketika Tumenggung Ganta melihat babi dan siap menarik pelatuknya, tiba-tiba saja babi tersebut berubah menjadi seekor rusa yang tubuhnya lebih besar daripada babi. Dalam pikiran Tumenggung Ganta, daripada pulang dengan tangan kosong, ia pun memutuskan untuk mengejar rusa saja sebab daging rusa juga laku dijual. Beberapa kali menembak, rusa tersebut lari. Tibatiba dari arah yang lain bermunculan banyak rusa yang 118


menggiurkan bila didapatkan. Karena beberapa kali tembakannya meleset, ia pun berupaya untuk menembak rusa dalam jarak dekat dalam artian ia akan mengikuti rusa berlari sembari menggerakkan pelatuk ke arah rusa. Namun sayang, meski berkali-kali ia menembak, tembakan itu tak mengenai sasaran. Setelah berkelanan cukup jauh, Tumenggung Ganta yang kala itu berburu sendirian akhirnya sadar bahwa ia sedang tertipu rusa keramat. Alam bawah sadarnyalah yang telah emmbuatnya mau dengan sukarela mengikuti perjalanan rusa hingga ia lupa jalan pulang. Rusa-rusa tadi pun menghilang dan babi tidak didapatkan, yang muncul hanyalah ingatan dan pesan nenek moyang bahwa dirinya harus berhati-hati dengan rusa keramat yang senang mengerjai nya sadarhingga lupa jalan pulang. Sadar bahwa dirinya tertipu rusa keramat, Tumenggung Ganta pun mencoba mengingat-ingat arah jalan setapak menuju pulang. Ia pun mencoba menelusuri jalan setapak sembari berdoa di dalam hati. Setelah berjalan kaki mengikuti jalan setapak, tiba-tiba Tumenggung Ganta menyadari bahwa sejauh apa pun ia berjalan, ia hanya akan kembali ke jalan yang sama. Kondisi ini semakin membuatnya bingung sekaligus linglung.

119


Karena hampir seharian berjalan kaki dan hanya kembali ek ajlan yang sama, Tumenggung Ganta pun merasa lelah dan membuat sudung di tempat tersebut untuk bermalam. Keesokan harinya, ia akan mencari jalan pulang karena anak istri telah menunggu di rumah. yang ada dalam bayangan pikirannya hanya rumah. tidak apa tidak mendapat hasil buruan asalkan bisa pulang ke rumah dengan selamat. Ketika melihat sisi matahari agak condong di tengah-tengah langit dan itu menandakan pukul 12.00 WIB, Tumenggung Ganta akhirnya merasa bersyukur bisa keluar dari tipuan rusa keramat tersebut. Bukan hanya Tumenggung Ganta saja yang pernah mengalami tipuan rusa keramat ini, melainkan sebagian besar lakilaki Suku Anak Dalam. Selain rusa keramat, menurutnya ada banyak binatang buas yang akan ia jumpai di hutan, seperti beruang dan harimau. Tumenggung Ganta mengaku meski takut melihat harimau, ia lebih takut lagi bertemu beruang. Pasalnya, bila di hutan ada harimau yang bertemu Suku Anak Dalam, ia akan pergi menjauh dengan sendirinya. Hal ini tentu saja sesuai perjanjian nenek moyang Suku Anak Dalam dan dewa harimau pasca dilepaskannya kaki harimau yang terjepit oleh cenayang Suku Anak Dalam di masa lalu.

120


Hingga saat ini belum pernah ada ceritanya Suku Anak Dalam mati dimakan harimau saat berburu. Harimau tersebut akan lari tunggang langgang karena takut hidupnya sial dan celaka. Beruang lebih menakutkan karena terkenal agresif, tidak sedikit Suku Anak Dalam yang tubuhnya robek saat diterkam beruang. Dari sekian banyak kasus, ada juga yang sampai meninggal dunia karena diterkam beruang. Selain harimau, saat Suku Anak Dalam berburu babi di kebun sawit terkadang melihat buaya di rawarawa. Menurut Tumenggung Ganta buaya merupakan salah satu hewan yang sangat ia takuti. Nama lain buaya baginya adala harimau air. Tumenggung Ganta meyakini bahwa buaya dan harimau itu bersaudara. Bila buaya menetaskan telurnya di sungai/rawa, telur itu akan melahirkan buaya. Namun bila buaya menetaskan telurnya ke darat, telur-telur itu bisa saja berubah menjadi binatang buas lainnya, seperti harimau, beruang, dan gajah.

121


122


Berbagi Hewan Buruan Ketika matahari terasa hanya satu depa di atas kepala, seorang bidan desa singgah ke permukiman Suku Anak Dalam Desa Sialang. Semua anggota rombong Suku Anak Dalam dikumpulkan di sebuah rumah lalu diperiksa kesehatannya satu per satu. Usai diperiksa, hampir setiap rumah dipasang stiker tanda 123


bahwa yang bersangkutan telah diperiksa tim kesehatan. Rumah yang belum ditempel stiker atau penghuninya yang belum diperiksa bidan, dipersilakan untuk mengecek kesehatannya ke puskesmas terdekat. Tiba-tiba sebuah motor yang ditumpangi Bernai dan istrinya melintas dengan cepat. Tampak sang istri tengah membawa sesuatu di pangkuannya, yakni sesuatu yang dibungkus dengan karung berwarna putih. Seketika itu juga Suku Anak Dalam yang asyik mengerumuni ibu bidan bergegas mengunjungi rumah Bernai. Karena penasaran, penulis pun mengikuti rombongan Suku Anak Dalam ini.Rombong Suku Anak Dalam langsung memasuki rumah Bernai, sebagian lagi berada di luar karena ruangannya tidak terlalu lebar menampung banyak orang. Di ruang utama, tepatnya dekat pintu dapur, Bernai melepas bajunya dan wajahnya tampak kelelahan. Sang istri mengeluarkan jajanan dan anak-anak kecil langsung menyambarnya dengan cepat. Dalam obrolan mereka, Bernai mengatakan bahwa ia hanya mendapatkan satu babi. Dagingnya sudah dijual dan ia hanya membawa kepala dan isi perut untuk dibagi rata kepada semua anggota rombong Suku Anak Dalam Desa Sialang. Yang menjadi khas dari tradisi betilek Suku Anak Dalam adalah tradisi berbagi hasil buruan. Hal ini berlaku untuk hewan buruan yang besar 124


saja, seperti babi, rusa, moesa, beruang, cingkok, dan lain-lain. Namun tidak berlaku untuk hasil buruan yang terbilang kecil, seperti ikan, kalelawar, kura-kura, landak, burung, ikan, dan ayam hutan. Memang, uang hasil menjual daging babi buruan menjadi hak milik si pemburu, tetapi kepala dan isi perut babi sudah menjadi hak semua anggota rombong. Usai mengobrol sekaligus menyambut kepulangan Bernai dan istrinya, sang istri mengajak para perempuan berjalan ke arah dapur. Istri Bernai membuka karung putih yang berisi kepala dan isi perut babi. Para perempuan mengambil parang dan saling bekerja sama untuk memotong-motong kepala dan isi perut babi. Seorang perempuan tampak menyiapkan tiga belas plastik hitam, yang kesemuanya akan diisi hasil buruan ini. Memang untuk urusan bagi-membagi secara rata, para perempuanlah jagonya. Bila hasil buruan tidak dibagi secara merata, akan terjadi kecemburuan sosial. Biasanya setelah dibagi rata, Suku Anak Dalam dipersilakan untuk memilih plastik mana yang hendak ia bawa pulang. Bukan hanya hasil buruan saja, bila Suku Anak Dalam mendapat sumbangan beras atau sumbangan apa pun, para perempuan tetap memiliki andil untuk membagi rata sumbangan tersebut. Biasanya setelah mengambil hasil buruan, para

125


perempuan akan pulang untuk memasak daging babi tersebut.

126


Becetanungan Bila Suku Anak Dalam mendapat buruan yang lebih besar daripada babi, seperti rusa, beruang, dan moesa, biasanya Suku Anak Dalam akan membagibagikan daging buruan tersebut ke keluarga rombong Suku Anak Dalam yang lain, seperti yang bermukim di rombong SPA dan SPF. Selain bisa berbagi makan enak, 127


tradisi mengunjungi Suku Anak Dalam yang rumahnya agak jauh dari permukiman Desa Sialang dinamakan becetanungan. Layaknya bertamu, di sana para Suku Anak Dalam akan saling bertukar kabar tentang keluarga dan membicarakan hal-hal nostalgis yang sekiranya perlu untuk dibicarakan. Tidak ada waktu khusus untuk becetanungan, biasanya untuk mengantarkan hasil buruan ini lebih seringnya sore hari. Terkadang bila sedang malas bepergian, Bernai akan menelpon saudaranya yang tinggal di rombong lain untuk menjemput daging buruan. Meski bernai tidak bisa membaca tulis, ia telah mengenali angka-angka. Bernai tidak menyimpan kontak yang ditandai dengan nama laiknya pengguna HP yang bisa membaca. Ia hanya bermodal ingatan akan tiga nomor terakhir. “Dalam kesempatan yang lain, kami juga kerap dibagikan hasil buruan oleh rombong Suku Anak Dalam yang lain. Selain untuk menjaga silaturahmi, cara ini diyakini mempererat persaudaraan di antara Suku Anak Dalam,” ungkap Bernai.

128


Penanda Waktu Suku Anak Dalam Suku Anak Dalam Desa Sialang tidak mengenal hari dan penanggalan Masehi. Mereka juga tidak mengetahui waktu sebagaimana yang dipahami orangorang modern sehingga bila ada yang bertanya waktu, mereka tidak bisa menyebutkan secara detail pukul 129


berapa saat itu. Sejak tinggal di rimba hingga hijrah ke perumahan milik pemerintah, mereka tidak mengetahui petunjuk pemakaian jam tangan maupun jam dinding. Di rumah-rumah mereka pun belum ada satu pun yang memajang jam dinding. Suku Anak Dalam akan mengetahui waktu dari melihat kondisi langit. Sederhananya, bila matahari terbit berarti pagi telah datang, saat matahari tenggelam berganti bulan pertanda malam telah tiba. Selain waktuwaktu yang telah diketahui secara umum tersebut, Nenek Timpo bisa mengetahui waktu dari keberadaan matahari yang akan memengaruhi bayangan seseorang. Bila masih pagi hingga menjelang siang, bayangan seseorang berukuran lebih panjang dan lebih besar dari ukuran asli tubuh manusia. Bayangan ini biasanya berada di sebelah kiri. Pada siang hari, ukuran bayangan lebih pendek dari bayangan pagi karena menurut Nenek Timpo matahari tengah tepat berada di atas kepala kita. Sementara sore hari, bayangan manusia sama panjangnya dengan pagi, namun letaknya di sebelah kanan. Bila mulai gelap, pertanda menjelang malam. Namun bila mendung tiba, Nenek Timpo akan kesulitan memprediksi waktu. Bila diamati dengan saksama dari pengetahuan tradisional Nenek Timpo, dapatlah dikatakan bahwa Suku Anak Dalam menandai waktu melalui dua arah 130


mata angin saja, yakni dari barat dan timur. Saat matahari terbit dari timur, artinya hari dalam keadaan pagi. Sinar matahari dari arah timur yang mengenai tubuh akan mengakibatkan bayangan menghadap ke arah berlawanan, yakni barat, yang dalam bahasa Suku Anak Dalam bayangan berada di sebelah kiri. Sebaliknya, saat matahari mulai berjalan ke arah barat dan mengenai tubuh akan mengakibatkan bayangan menghadap ke arah yang berlawanan, yakni timur, yang dalam bahasa Suku Anak Dalam bayangan berada di sebelah kanan. Penanda waktu Suku Anak Dalam dari arah matahari ini bisa dikatakan bahwa Suku Anak Dalam mengabaikan dua arah mata angin lainnya, yakni utara dan selatan sebagai pembantu penentu waktu. Bila dikaitkan secara universal, pengetahuan tradisional Suku Anak Dalam ini tidak jauh berbeda dengan pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam yang pernah didapatkan di bangku sekolah. Pengetahuan tradisional Suku Anak Dalam tentunya merupakan kearifan lokal bahwa alam mampu menjelaskan waktu. Nenek Timpo menambahkan waktu yang tepat untuk mandi sore ke sungai adalah saat bayangan kita memanjang dan berada di sebelah kanan. Setiap rumah memang telah memiliki kamar mandi dan toilet, namun persediaan air setiap rumah masih bergantung pada bak 131


raksasa bersama sebab tiap rumah tidak memiliki sumur. Bila air dalam bak raksasa habis atau saat genset kehabisan bahan bakar sehingga pompa air tidak menyala dan air tidak mengalir ke rumah-rumah, Nenek Timpo dan para perempuan Suku Anak Dalam lebih senang mandi ke sungai, yang letaknya tidak jauh dari permukiman Desa Sialang. Bila hari Minggu tiba, semua warga Suku Anak Dalam akan pergi ke gereja beramai-ramai pada siang hari, yakni saat bayangan manusia lebih pendek dari bayangan pagi dan sore. Mereka akn pergi menggunakan motor. Setiap rumah memang telah memiliki kendaran bermotor. Namun bila dibandingkan dengan perekonomian Suku Anak Dalam Desa Dwikarya Bhakti yang sebagian besar telah memiliki kebun, perekonomian Suku Anak Dalam Desa Sialang masih berada di bawah Suku Anak Dalam Desa Dwikarya Bhakti karena laki-laki Suku Anak Dalam Desa Sialang sepenuhnya menggantungkan hidup dari hasil berburu di hutan dan tidak memiliki kebun karet, sawah, ataupun kebun sawit.

132


Ambung, Ruang yang Meraung di Pungggung Ambung bagi Suku Anak Dalam Desa Sialang pernah memiliki peran penting dalam kehidupan semasa di rimba, yakni sebagai tempat untuk membawa keperluan Suku Anak Dalam. Terutama saat Suku Anak Dalam melakukan melangun. Ambung yang bisa 133


digendong di punggung seringkali diisi segala perlengkapan, seperti kuali, wajan, beras, sayur-mayur, tikar, dan lain-lain. Ambung digunakan oleh perempuan maupun laki-laki Suku Anak Dalam. Mereka yang berburu ke rimba dahulunya pasti membawa ruang yang meraung di punggung. Hasil buruan, seperti ikan, babi, landak, buah-buahan akan dimasukkan ke dalam ambung. Suku Anak Dalam membuat ambung dari anyaman rotan. Keranjang yang berbentuk bulat panjang itu bagian tengahnya diberi tali untuk dikaitkan ke bahu dan bagian atasnya diberi tali untuk disangkutkan ke kepala. Tali yang dikaitkan ke bahu dan disangkutkan ke kepala berbeda-beda, ada yang menggunakan kain, rotan, dan kulit kayu. Kulit kayu yang dulu sering digunakan ada dua, yakni kulit kayu antui rimbo dan kulit kayu blengo. Bila ingin membuat tali dari rotan, terlebih dahulu cari rotan hutan yang lurus dan tidak bercabang, rotan lalu dibuang kulitnya sehingga tersisa isi rotan yang warnanya masih putih seperti nasi. Setelah itu, langsung bisa dikaitkan ke keranjangnya. Sementara Kulit kayu antui rimbo memiliki ciri berwarna hitam, bunganya berwarna putih dan sangat harum. Selain bunganya yang harum, kulit kayunya juga harum. lalu,

Selain untuk membawa barang-barang, pada masa Suku Anak Dalam Desa Sialang sering 134


menggendong anaknya di dalam ambung. Anyaman tradisional khas Suku Anak Dalam ini merupakan warisan budaya yang diturunkan oleh nenek moyang. Induk Nyarendak mengatakan bahwa semua anak perempuan di masa lalu harus belajar membuat ambung dan tikar sejak remaja karena ambung dan tikar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Suku Anak Dalam. Ambung ternyata juga sudah dikenal masyarakat dusun sebagai kerajinan khas Suku Anak Dalam. Masyarakat dusun pun tak sedikit yang memesan ambung kepada Suku Anak Dalam. “Awalnya kami membuat ambung untuk keperluan pribadi dan keluarga saja, tetapi karena ada masyarakat dusun yang memesan, kami pun membuatkan ambung sesuai pesanan. Bukan hanya ambung, biasanya masyarakat dusun juga memesan tikar daun rumbai buatan kami,” ucap Induk Nyarendak. Seiring berjalannya waktu dan langkanya rotan serta daun rumbai, posisi ambung yang biasa bertengger di punggung Suku Anak Dalam kini tak lagi seperti dulu. Suku Anak Dalam Desa Sialang mulai meninggalkan ambung dan menggantinya dengan kain atau karung.

135


“Kalau sekarang kami hendak pergi berburu, peralatan tak lagi kami letakkan ke dalam ambung, melainkan ke dalam karung atau kain. Selain mudah didapat, kain dan karung bentuknya elastis dan bisa dilipat, sedangkan ambung tidak bisa. Sebenarnya, kalau kami bisa menemukan banyak rotan dan daun rumbai, kami juga akan tetap membuat ambung dan tikar untuk keperluan pribadi,” ungkap Induk Nyarendak sambil tersenyum. Pindahnya Suku Anak Dalam dari rimba ke Desa Sialang membuat banyak hal baru yang perlu dihadapi Suku Anak Dalam, terutama masalah ekonomi. Semasa di rimba, semua makanan bisa didapatkan secara gratis. Kenyataan yang berbanding terbalik inilah yang membuat Suku Anak Dalam Desa Sialang harus memutar otak untuk tetap bertahan hidup. “Kami tidak menyesal pindah ke perumahan pemerintah ini, yang kami sesalkan kami tak lagi bisa mengajarkan anyaman ambung dan tikar kepada anak cucu. Tidak sedikit hal-hal yang perlahan hilang, kami hanya perlu mengumpulkan keberanian untuk menghadapi hidup,” kata Induk Nyarendak.

136


Biodata Penulis Rini Febriani Hauri, lahir di Jambi, 28 Juli. Buku kumpulan puisi tunggalnya berjudul Suatu Sore, Bersama Jassin (Bawah arus, 2016). Sementara buku cerita anak yang pernah ditulisnya, antara lain Lubuk Bumbun (Kantor Bahasa Provinsi Jambi, 2017), Hikayat Depati Parbo (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017), Kuliner Khas Jambi, Sedap Nian Oi (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018), dan Sultan Thaha Syaifuddin (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018).

137


138


Cerita dari SAD

139


140


Bermain Bersama Perempuan SAD Namaku Siti, aku terlahir sebagai perempuan Suku Anak Dalam (SAD) dari keluarga di rombong yang saat ini dipimpin oleh tumenggung Abbas. Sebagaimana perempuan SAD, adat telah membatasiku. Langkah kakiku

tidak

sebebas

perempuan 141

lain

di

luar


sukuku.Maka, aku hanya bisa bergerak di sekitar tempat tinggal rombongku dan hutan yang terdapat tak jauh darinya. Dahulu bahkan perempuan di sukuku tidak diperkenankan untuk menampakkan muka kepada orang asing. Begitu juga sebaliknya, orang asing di luar sukuku

tidak

diperkenankan

sembarangan

untuk

melihat perempuan di sukuku. Untuk mengambil gambar

perempuan

sukuku

pun

juga

tidak

diperkenankan. Adat suku melindungi perempuan begitu kuat dari pengaruh luar, sebab perempuan sangat berharga bagi nama baik keluarga juga suku. Adat juga mengatur bagaimana perempuan di sukuku bepergian, bermain, serta bertemu dengan lawan jenis. Meskipun saat ini perempuan di sukuku boleh dilihat dan terlihat oleh orang asing, tapi tetap tidak diperkenankan oleh adat untuk berjalan seorang diri kemanapun dan bertemu siapapun.Oleh karena itu, jika seorang perempuan di sukuku ingin berjalan keluar harus ada yang menemaninya.

142


Ketentuan adat menyebut bahwa perempuan di sukuku harus ditemani oleh keluarga atau kerabatnya jika hendak bepergian. Biasanya, aku ditemani oleh ayah, kakak laki-laki, adik laki-laki, keponakan laki-laki. Begitu pula satu atau beberapa laki-laki harus menemani beberapa perempuan yang bergerombol hendak pergi. Pokoknya, sendiri ataupun berkelompok, perempuan di sukuku tidak diperkenankan bepergian tanpa ditemani laki-laki dari keluarga atau kerabatnya. Apalagi jika ada seorang bujangan yang menyukai seorang gadis. Adat tidak memperkenankan keduanya bertemu sembarangan. Setelah melalui beberapa proses pertemuan dengan kedua orangtuanya, bujang dan gadis diperkenankan bertemu tetap dengan ditemani kakak, atau adik laki-lakinya dan bisa juga ditemani oleh pamannya. Pada kondisi seperti ini pun, keduanya tidak diperkenankan terlalu lama bertemu atau berbicara. Perempuan SAD sepertiku juga tak punya hak memilih pasangan hidupnya. Jika ada laki-laki yang menyukainya, kemudian laki-laki itu melakukan proses

143


pendekatan kepada orangtua perempuan, lalu kedua orangtua ternyata telah menyetujui laki-laki tersebut untuk menjadikannya sebagai seorang istri, aku tidak boleh menolaknya. Adat sukuku melarang perempuan SAD menolak lamaran. Jika berkeras menolak lamaran, maka aku dikenakan denda. Denda akibat menolak lamaran itu bisa berupa uang atau kain sebanyak tiga puluh gabung. Denda ini tentunya ditanggung oleh keluarga perempuan. Tapi yang lebih berat daripada denda adat ini, nantinya aku dan keluargaku akan terkena hukuman oleh anggota kelompok di rombongku. Mereka akan mengucilkanku, terutama dari keluarga laki-laki yang sakit hati aku tolak. Sangat tercela sekali seorang perempuan SAD jika membangkang terhadap pilihan orangtuanya. Hanya kedua orangtua perempuan SAD yang boleh memutuskan menerima atau menolak lamaran dari laki-laki. Seorang laki-laki yang melamar seorang gadis akan memberikan kepada kedua orangtua gadis yang disukainya berupa kebutuhan dapur seperti gula, beras,

144


minyak dan alat-alat dapur. Barang-barang ini akan diterima dengan senang hati oleh kedua orangtua gadis jika mereka menerima lamaran tersebut. Namun, barangbarang akan dikembalikan lagi kepada laki-laki jika kedua

orangtua

gadis

yang

disukainya

menolak

lamarannya. Ketatnya peraturan adat bagi perempuan di SAD ini, hampir pasti membuat perempuan SAD seperti aku tak

banyak

memiliki

pengalaman

bermain

dan

berhubungan dengan banyak orang, kecuali dengan sesama

perempuan

dan

sanak

saudara.

Sebagai

perempuan SAD, duniaku hanya mengurus pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, mengurus anak, mengurus sudung tempat tinggalku. Tapi,

setelah

sukuku

perlahan-lahan

mulai

terbuka dengan dunia luar, sesekali aku pergi ke pasar atau ke toko yang ada di desa untuk membeli bahan keperluan rumah tangga, atau barang-barang lainnya yang diperlukan. Tentunya aku tidak pergi sendiri, kesempatan pergi berbelanja ini dilakukan dengan pergi

145


secara

berombongan

dalam

satu

keluarga.

Mana

bolehlah aku pergi seorang diri, sebagaimana adat yang diperuntukkan bagi perempuan SAD. Jika kau tanya apa permainan perempuan SAD sepertiku ketika masih kanak-kanak dulu ? aku tak bisa banyak bercerita kepadamu.

Perempuan SAD yang

terbatas geraknya sejak dari anak-anak hingga dewasa seperti ku kini, hanya sedikit bermain. Kebanyakan anakanak

perempuan

hanya

bermain

dengan

hewan

peliharaan seperti kucing, anjing dan monyet. Hewanhewan berbulu itu mudah didapatkan dan anak-anak perempuan lebih suka bermain bersamanya. Tapi sewaktu-waktu, anak-anak perempuan SAD akan bermain ke dalam hutan secara berkelompok dengan tetap ditemani saudara laki-lakinya. Masuk ke dalam hutan, anak-anak perempuan

biasanya akan

mencari bana(dalam istilah di rombong Abbas), sejenis umbi berakartapi berduri. Bana ini di kalih (digali) dari dalam tanah di hutan. Hasil galian ini bisa dikumpulkan

146


untuk dibawa pulang atau diolah di tempat untuk dimakan. Ya, bana memang salah satu tumbuhan yang dapat dimakan umbinya setelah dipisahkan dari duri-durinya. Biasanya,

kami

menikmati

bana

dengan

cara

memanggangnya terlebih dahulu, atau bisa juga dengan cara direbus. Kedua cara mengolah bana tersebut dengan tanpa menambahkan bahan apapun. Bana yang telah diolah ini, bisa dimakan bersama-sama kawan di tempat kita bermain, atau dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarga. Selain bana, anak-anak perempuan SAD juga suka mencari jenis umbi-umbian lain di dalam hutan, contohnya seperti gadung. Gadung merupakan tanaman sejenis singkong yang lebih putih dan lembut. Jika gadung telah didapat, maka gadung akan di ricik (diiris) dan direndam sebentar dengan air ke dalam badah, sejenis wadah yang terbuat dari kulit kayu. Setelahnya, gadung dapat direbus bersama daging babi, atau daging biawak, maupun daging ular untuk dinikmati.

147


Jika anak-anak perempuan SAD bosan mencari umbi-umbian dan memasaknya, mereka kadang bermain dengan membuat rumah-rumahan kecil yang disusun dari batang kayu. Bentuk rumah-rumahan ini bebas, sesuai

dengan

selera

menyusunnya

seperti

apa.

Tambahan atapnya dapat diberi daun ilalang atau daundaun yang ada disekitarnya. Saudara laki-laki biasanya akan membantu membuatkan rumah-rumahan ini. Bermain rumah-rumahan ini, anak-anak perempuan SAD bisa menghabiskan waktu setengah hari bahkan seharian. Namun kini cerita tentang mencari bana dan gadung, maupun membuat rumah-rumahan hanya tinggal cerita. Anak-anak perempuan SAD kini lebih banyak

bermain

di

sekitar

sudung

saja

bersama

keluarganya. Mereka kini lebih suka bermain boneka plastik dan mainan plastik lainnya yang dibeli di pasar. Disamping itu, hutan tempat bermain dan rombongku tinggal memang telah menyempit karena pembukaan perkebunan kelapa sawit oleh orang-orang desa dan pemerintah. 148


Aku dan rombongku kini tinggal di tanah dan hutan yang masih tersisa dan berusaha untuk kami jaga sekuatnya. Meskipun sukuku lebih lama mendiami tanah dan hutan di desa Pelakar Jaya, namun kini yang lebih berkuasa

atasnya

adalah

orang-orang

desa

dan

pemerintah. Perlahan-lahan secara disengaja maupun tidak, tanah dan hutan warisan itu telah berpindah tangan ke orang-orang desa. Orang-orang desa itu membuka rumah, ladang maupun kebun di atas tanah dan hutan warisan nenek moyangku. Sukuku tidak memiliki kekuatan untuk membuktikan kepemilikan tanah dan hutan warisan itu, sebab orang-orang desa lebih memiliki bukti sah berupa selembar

kertas

yang

terdapat

nama

pemerintah

diatasnya. Sedangkan sukuku hanya memiliki cerita tentang tanah dan hutan warisan itu. Tapi, menyempitnya tanah dan hutan warisan nenek

moyangku

bukanlah

sepenuhnya

kesalahan

orang-orang desa. Ada kebiasaan di sukuku yang menyebabkan tanah dan hutan warisan itu akhirnya

149


dianggap

tak

bertuan.

Kebiasaan

melangun,

pergi

meninggalkan wilayah rombong untuk beberapa waktu yang

bisa

berbulan-bulan,

bahkan

bertahun-tahun

tergantung kepada kedekatan orang yang meninggal dengan keluarga, menjadi satu alasan. Pada saat kami melangun itu lah, tanah dan hutan yang tidak kami huni untuk sementara waktu, secara disengaja ataupun tidak, diambil alih haknya dari sukuku. Ketika akhirnya kami kembali, justru kami yang dianggap mengganggu keberadaan tanah dan hutan yang kini mereka kuasai itu. Tak jarang mereka kerap mengusir orang-orang sukuku yang tengah berjalan atau mencari buah di tanah dan hutan, bahkan kami saat ini harus meminta kepada mereka jika ingin mengambil hasil hutan maupun kebun agar tidak disebut pencuri. Aku sedih melihat hal itu, orang-orang di rombongku dan tumenggung juga. Tapi apalah daya, kini sukuku benar-benar terasing di tanah dan hutan yang dulu diwariskan oleh nenek moyang kami. Maka dari

itu,

tumenggung

kadang

150

berharap

kepada


pemerintah untuk bermurah hati

membagi kebun

kepada sukuku. Sebab hutan perlahan telah habis berganti dengan kebun kelapa sawit yang bukan milik sukuku. Saat

ini,

penghidupan

rombongku

hanya

mengandalkan dari berburu yang hasilnya tak seberapa. Berburu pun tak mudah lagi sejak hutan telah berganti kebun kelapa sawit, karena hewan buruan pun perlahan punah. Tak jarang ketika tumenggung dan para laki-laki di rombongku pergi berburu selama beberapa hari, mereka tak mendapatkan apa pun. Maka jika sudah begini, untuk makan kami mengandalkan petak-petak kecil sayur-mayur yang tak seberapa di dekat sudung. Sudung itu tempat tinggalku berupa tenda terbuka yang dipasang dengan beberapa tiang penyangga dari kayu. Atapnya dari terpal plastik yang juga ditambahi daun-daunan seperti ilalang atau rumbia. Isi sudungku hanya balai-balai untuk tidur, tikar, bantal, peralatan dapur dan peralatan rumah tangga lainnya, juga pakaian satu keluarga. Sementara ini aku dan rombongku tinggal

151


di

sudung

menjelang

bantuan

rumah

diberikan,

sebagaimana yang dijanjikan oleh pemerintah. Rombongku memang yang terlambat mendapat bantuan rumah dari pemerintah. Tapi di dekat sudung rombongku tinggal telah berdiri bangunan gereja semi permanen. Di belakang gereja itulah rumah tempat bapak pendeta Sani tinggal. Setiap hari minggu kini, aku dan orang-orang di rombongku beribadah ke gereja. Pendeta Sani tidak hanya membimbing aku dan rombong

untuk

beribadah,

tapi

dia

juga

yang

membimbing kami semua untuk mengenal hidup lebih bersih. Itu lah kisahku sebagai perempuan SAD yang dapat aku ceritakan kepadamu. Maaf aku tak bisa memberikan jawaban berapa umurku sekarang. Sebab, bagi orang SAD tidak memiliki pemahaman akan umur seseorang.

Kami

tumbuh

seiring

waktu,

perubahan yang menghimpit keberadaan sukuku.

152

seiring


Catatan : Ibung Siti tinggal di rombong yang dipimpin oleh tumenggung Abbas. Lokasi rombong di desa Pelakar Jaya,

kecamatan

Pamenang,

Provinsi Jambi.

153

kabupaten

Merangin,


154


Perjuangan Asmara LakiLaki Suku Anak Dalam (Cerita Cinta Tumenggung Yudi) Ketika

laki-laki

Suku

Anak

Dalam

(SAD)

yangbujang dianggap telah cukup umur untuk membina mahligai rumah tangga, kedua orangtuanya akan segera membicarakan tentang perjodohan dengannya. Begitu juga denganku kala itu. Kedua orangtuaku segera 155


memintaku untuk mendekati anak perempuan pamanku agar bisa aku sunting sebagai istriku. Tentu saja, aku harus mematuhi permintaan kedua orangtuaku ini sebagai tanda baktiku kepada mereka. Sebenarnya bisa saja aku menikah dengan orang luar. Tetapi, aku mengingat jasa-jasa kedua orangtuaku yang telah melahirkan dan membesarkanku dengan segala susah payah hingga aku bisa hidup di dunia ini. Maka, aku harus menunjukkan bakti berupa mematuhi perintah tentang perjodohanku dengan anak paman agar hati kedua orangtuaku senang dan bahagia. Disamping itu, memang telah menjadi aturan adat di sukuku untuk mencari pasangan hidup yang berasal dari kerabat dekat. Olehkarena itulah, baktiku kepada kedua orangtuaku dan juga kepatuhanku terhadap adat harus aku tunjukkan, sebagaimana aku terlahir menjadi laki-laki SAD yang harus menunjukkan tanggungjawab, kesungguhan hati serta kesejatian sebagai anggota suku yang baik. Berikut inilah perjuangan asmaraku yang akan kuceritakan padamu.

156


Setelah kedua orangtuaku meminta kepadaku untuk mendekati anak perempuan pamanku, aku segera mencari tahu waktu-waktu dimana anak perempuan pamanku itu keluar

dari

sudungnya. Ini sebagai

kesempatan bagiku untuk melihat seperti apa anak perempuan pamanku itu yang nantinya akan menjadi istriku. Kebetulan saat itu dia tengah bersama kawankawannya pergi mencari air ke sungai di dekat hutan. Aku cukup melihatnya dari jauh. Sebab ketentuan adat melarang laki-laki dan perempuan bebas bertemu tanpa ada keluarga atau sanak saudara yang menjadi perantara bersamanya. Apalagi bagi perempuan SAD, adat mengatur kehidupannya dengan cukup ketat untuk melindunginya dari pengaruh buruk yang diperkirakan dapat merusak nama baik dirinya maupun keluarganya. Pertama kali ini aku melihatnya dan dia begitu menawan hatiku. Ternyata aku jatuh cinta pada pandangan

pertama

kepadanya.

Perempuan

yang

dijodohkan kepadaku ini begitu ayu dan anggun. Tak banyak tawa dan kata yang keluar dari bibirnya, namun

157


ia cukup ceria bermain bersama kawan-kawannya sambil mengambil air di sungai. Tubuhnya yang langsing, rambutnya yang hitam dan panjang, kulitnya yang kecoklatan tengah disinari matahari, membuatku tak bisa melupakannya. Segera saja aku pulang dan mengabarkan kepada kedua orangtuaku bahwa inilah cinta sejatiku. Aku katakan kepada kedua orangtuaku, bahwa dengan senang hati aku akan melanjutkan ketentuan adat selanjutnya, untuk mendekati dan mengambil hati pamanku agar anak perempuannya direstui menjadi pasangan

hidupku.

Belahan

jiwaku

yang

akan

mendampingiku hingga akhir hayatku nantinya. Tentu itulah anganku, kehendak hatiku yang tinggi ketika tengah diselubungi asmara. Dihadapanku, ternyata jalan terjal dan berliku menantiku untuk berjuang atas nama cinta. Sebab, ternyata tak mudah mengambil

hati

pamanku

dan

istrinya

untuk

meyakinkan bahwa akulah laki-laki terbaik yang akan menjadi suami anak perempuannya. Butuh waktu

158


setahun dengan lima kali lebih kunjungan dan banyak pantun yang kulagukan untuk benar-benar meyakinkan mereka. Adat di sukuku mengatur bagaimana langkah laki-laki yang hendak menyampaikan maksud hatinya untuk mempersunting perempuan. Peraturannya, setelah laki-laki memantau perempuan yang akan dijadikannya istri, maka tahap selanjutnya adalah berbicara kepada kedua orangtua si perempuan atau kerabatnya, untuk memastikan bahwa anak gadis mereka belum diikat oleh perkawinan maupun pertunangan dengan laki-laki lain. Beruntungnya, pujaan hatiku ternyata belum bertunangan

dengan

laki-laki

lain.

Jadi,

inilah

kesempatan emasku dan takdirku yang harus aku perjuangkan dan aku jalani. Selanjutnya aku kerap bertandang ke sudungnya. Waktu sore hari adalah waktu yang baik untukbertandang. Karena pada waktu itu, kedua orangtua maupun keluarganya tengah berkumpul di sudung. Adat mengatur kunjungan pendekatan ini agar ada kedua orangtua maupun keluarga.

159


Terlarang

bagi

adat

di

sukuku

untuk

mengunjungi anak gadis orang, jika di sudungnya tidak terdapat kedua orangtuanya maupun sanak keluarganya yang lain. Tentunya, sebelum berkunjung, tak lupa aku membeli kopi dan gula juga camilan sebagai buah tangan,

yang

orangtuanya

nantinya serta

juga

agar

keluarganya

dapat

nikmati

kedua sambil

mendengarkan pantun-pantun yang kulagukan dan menggambarkan hasrat hatiku kepadanya. Namun, sebelum aku benar-benar dipersilahkan masuk ke sudung pujaan hatiku, aku harus mengeluarkan pantun. Pantun itu aku lagukan, kira-kira seperti ini bunyi pantunnya ; Nak kemano kau itik, dak tanggo berbilang kaki Nak kemano kau adek, dak tanggo bertandang kini. Maksud pantun ini adalah menyampaikan bahwa aku ingin berkunjung ke sudungnya dan harapannya agar pujaan hatiku juga ada menyambutku, yang dalam hal ini diwakili oleh kedua orangtuanya. Pantun ini kemudian akan dijawab dengan pantun lagi oleh 160


orangtuanyayang

menggambarkan

bahwa

akudipersilahkan masuk ke dalam sudung. Setelah

aku

berada

di

dalam

sudung

dan

menyerahkan buah tanganku, aku mengobrol basa-basi dengan

kedua orangtua pujaan

hatiku dan

juga

keluarganya yang lain. Tak lama aku mengobrol, maka aku harus mengutarakan maksud hati kedatanganku dengan pantun yang ku lagukan lagi. Bunyi pantunnya seperti ini ;

jati

Ado jatilah burenang, diburenang jatilah nan lah kayu Kenang dihati lah hati nan lah sampai mati Kendak lah di mato, lah buto nan lah sampai buto

Pergi ku talang lah mutek cabe, kanti ku talang jahe lah man ngambek jahe Kanti lah bertunang lah jadi nan lah sampai jadi Ngawaklah bertunang lah baek nan lah payah baek Makna dari pantun tersebut mengungkapkan isi hatiku yang terdalam, bahwa aku jatuh cinta kepadanya, dia harus tahu bahwa aku sangat mencintainya, dia

161


adalah cinta matiku, aku begitu dibutakan oleh cintaku kepadanya dan oleh karena itu aku ingin melamarnya menjadi istriku. Pantunku itu kemudian akan dijawab oleh pihak perempuan. Bunyi pantun dari pihak perempuan salah satunya seperti ini ; Alangkah tinggi nan lah pucuk pisang Tinggi jugo ubi nan lah pucuk ubi Alangkah tinggi yo bang oi, nan lah gunung lah malintang Tinggi lah nyo jugo lah hati malang ke sut hati Alangkah tinggi yo bang oi gunung lah malintang Tinggi lah nyo jugo lah hati malang ke sut hati

Makna dari pantun itu sebagai gambaran bahwa pihak perempuan juga memiliki keinginan kuat untuk bertunangan. Lebih dalam, makna dari kata Alangkah tinggi

yo

bang

oi

gunung

lah

malintang

selain

mengungkapkan keinginan yang begitu kuat, juga bermakna sebagai ungkapan kepasrahan terhadap takdir 162


yang belum dapat diketahui. Sebab, keinginan yang begitu tinggi tapi juga harus melihat pada kenyataan yang ada. Sebagaimana perumpamaan SAD mengatakan : “Seperti kayu rimba dan kayu sesap. Tentu keduanya ada perbedaannya. Kayu rimba tinggi, sedangkan kayu sesap rendah. Kemauan kita sangat tinggi, tapi karena belum tentu terjangkau, maka apa boleh buat, takdir kita hanya sampai sebatas ini” Itu artinya, maksud hatiku untuk melamar pujaan hatiku belum tentu dapat diterima dengan mudah begitu saja. Aku harus benar-benar menunjukkan tekad yang sungguh-sungguh untuk melamar pujaan hatiku kepada kedua orangtuanya. Tentu saja, seperti yang telah aku bilang kepadamu, kenekatanku yang dibutakan oleh cinta ini memakan waktu cukup panjang, yaitu setahun lamanya setelah lima kali lebih aku bertandang dan berbalas pantun. Kedua orangtuanya tidak ingin melihatku hanya mempermainkan

anak

gadisnya. 163

Maka,

proses


pendekatan ini begitu panjang dan cukup melelahkan. Disamping itu, kemampuan berbalas pantunku yang bagi adat sukuku merupakan suatu bentuk keahlian, ingin senantiasa diuji oleh kedua orangtua pujaan hatiku seiring dengan kebulatan tekadku yang sungguhsungguh. Bagi penafsiran orangtua anak gadis di sukuku, jika laki-laki hanya bertandang satu atau dua kali saja kemudian tidak bertandang lagi, maka dianggap hanya main-main dan tidak bersungguh-sungguh melamar anak gadis orang. Akan tetapi, lain halnya denganku yang telah lima kali lebih bertandang dan berbalas pantun tanpa kenal lelah, ini menunjukkan bahwa aku memang benar-benar berniat tulus dan bertekad bulat untuk melamar anak gadis orang. Terdorong karena alasan tersebut dan juga melihat perjuanganku, akhirnya kedua orangtua pujaan hatiku menerima maksud hatiku untuk melamar anak perempuan

yang

sangat

164

dicintainya.

Maka,


kedatanganku yang berikutnya akan diberi pantun oleh mereka yang berbunyi seperti ini ; Yo yos lah sela diambi Nan nentu ladang tanggo di lah pangkal tanggo Namun lahnyo ngiyo lah jadi abang lah nak jadi Kok minta lah sulendang lah baso nak lah tando baso Makna dari pantun tersebut mengungkapkan bahwa niatku untuk melamar pujaan hatiku diterima oleh kedua orangtuanya.

Untuk itu sebagai tanda

kesungguhanku melamarnya, aku harus memberikan pengikat berupa kain selendang kepadanya. Jaman dahulu memang begitu, tradisi di sukuku adalah memberikan kain selendang kepada anak gadis orang sebagai tanda jadi pengikat lamaran. Tapi saat ini, tradisi itu

telah

digantikan

dengan

memberikan

cincin

tunangan. Apalagi saat ini rata-rata di rombong yang ku pimpin telah memeluk agama Kristen Protestan. Maka,

165


tradisi menyematkan cincin sebagai tanda jadi melamar anak gadis orang yang kita sukai lebih utama daripada memberikan kain selendang. Kini berpantun juga mengalami perubahan. Para bujangan berpantun sambil memetik gitar untuk melagukan pantunnya. Tidak sepertiku dulu yang hanya mengandalkan suaraku. Aku sangat beruntung niatku melamar pujaan hatiku diterima dengan baik dan sungguh-sungguh juga. Beberapa laki-laki tak memiliki nasib sama sepertiku. Ada juga yang mengalami penolakan oleh kedua orangtua pujaan hati mereka. Penolakan ini juga ditandai dengan pantun yang dilagukan oleh orangtua maupun keluarga

pujaan

hati

mereka.

Bunyi

pantun

penolakannya seperti ini ; Nak kemano nian lah kau itik, Idak tanggo kaki ba lah gelang kaki Hendaklah kamano yo bang oi nian lah kau kini Idak yo lah nyo tanggo lah sini ba lah Tandang sini

166


Isi pantun tersebut cukup mengungkapkan bahwa pihak

laki-laki

tidak

lagi

diperkenankan

untuk

mengunjungi sudung perempuan yang menjadi pujaan hatinya. Intinya cukup terang bahwa kedua orangtua pujaan hatinya menolaknya dan tidak ingin anak gadisnya dilamar olehnya. Kabar bahagia penerimaan lamaranku oleh kedua orangtua pujaan hatiku, tentu saja segera aku beritakan kepada kedua orangtuaku. Selanjutnya, aku dan kedua orangtuaku akan berunding bersama kedua orangtua pujaan hatiku untuk menentukan tanggal baik kita berdua melaksanakan pernikahan. Aku pun telah boleh bertemu langsung dengan pujaan hatiku, tapi dengan tetap berpedoman kepada adat bahwa pertemuan kami harus ada orang ketiga, dalam hal ini minimal harus ada anak remaja tanggung yang berada diantara kita ketika kita berbicara berdua. Setelah itu, aku akan merantau beberapa waktu untuk mencari uang agar bisa membiayai pelaksanaan hari pernikahanku dengan pujaan hatiku. Setelah uang

167


dirasa cukup terkumpul sesuai dengan besaran biaya pernikahan, maka aku akan kembali ke rombongku dan mengatakan kepada kedua orangtuaku bahwa biaya pernikahan sudah aku siapkan. Kedua orangtuaku selanjutnya yang akan mengabarkan kepada kedua orangtua pujaan hatiku, bahwa biaya pernikahan telah siap dan agar segera melangsungkan hari baik. Begitulah perjuangan asmaraku sebagai laki-laki SAD yang hendak mempersunting pujaan hatinya. Cukup berliku dan melampaui proses yang panjang. Namun niat dan tekadku untuk berjuang atasnya dengan segenap jiwa raga, akhirnya mencapai takdirku untuk bersatu dengan pujaan hatiku. Kau bisa bayangkan jika aku tidak pernah berjuang atasnya. Hidupku akan merana dan sepi. Kini, aku telah hidup tenteram bersama pujaan hatiku yang telah sah menjadi istriku. Kami berdua telah dikaruniai tiga orang anak yang cantik dan tampan. Semuanya menjadi penghiburan bagi hidupku dan membuatnya lebih berarti daripada apapun. Di dalam

168


rumah tangga yang ku bina ini, aku bertugas mencari uang,

sementara

istriku

yang

mengelolanya

dan

mengurus rumah serta anak-anakku. Segala

keputusan

tentang

keuangan

untuk

keperluan rumah tangga, istrikulah yang menentukan. Jika aku ingin membeli sesuatu, maka aku akan berunding dengannya terlebih dahulu apakah uangnya cukup dan tidak mengganggu kebutuhannya serta kebutuhan rumah tangga. Jika cukup maka kita berdua akan membeli barang tersebut ke toko atau ke pasar. Namun,

jika

uang

dirasa

tidak

cukup

dengan

mendengarkan pertimbangan istriku, maka aku harus membatalkan keinginanku untuk membeli sesuatu, sebab aku tidak mau mengganggu kebutuhannya.

Keterangan : Tumenggung Yudi adalah pemimpin rombong SAD yang berlokasi di desa Pelakar Jaya, kecamatan Pamenang,

kabupaten

Merangin,

169

Provinsi

Jambi.


Tumenggung

Yudi

dan

keluarganya

telah

hidup

menetap. Mereka telah membangun rumah permanen sebagai tempat tinggal, juga telah mengenal teknologi smartphone, televisi dan lain-lain meskipun tumenggung Yudi tidak bisa menulis. Anak-anak

tumenggung

Yudi

juga

telah

mengenyam pendidikan Taman Kanak-Kanak maupun Sekolah Dasar. Begitu juga anak-anak di rombong yang dipimpinnya. Bulan April 2018, pemerintah melalui program TNI

Manunggal

Masuk

Desa,

membangunkan

perumahan semi permanen untuk anggota rombong tumenggung Yudi.

170


Dongeng Kura-Kura dan Beruk (Diceritakan Oleh Tumenggung Nilo) Dahulu kala, hiduplah kura-kura dan beruk (monyet). Pada suatu hari, mereka berdua berlomba untuk menanam pisang di kebun. Maka bertanam pisanglah mereka berdua di kebun masing-masing. Kura-kura dengan kesungguhan hatinya menanam 171


pisang dan merawat bibit pohon pisang hingga tumbuh besar dan berbuah. Sementara itu, si beruk tak pandai menanam dan merawat bibit pohon pisangnya. Baru dua minggu, ia telah merobek-robek bibit pohon pisangnya untuk dimakan umbinya. Maka, ketika si beruk

melihat tanaman pohon

pisang yang tumbuh subur dan telah berbuah di kebun si kura-kura, ia begitu iri hati dan tidak terima. Untuk itu, si beruk merencanakan tipu muslihatnya agar ia dapat menguasai buah pisang yang berasal dari kebun si kurakura. Apalagi dilihatnya kelemahan si kura-kura yang tidak bisa memanjat pohon pisang untuk memanen buahnya. Pada suatu kesempatan, berkunjunglah si beruk ke kebun si kura-kura. Tanpa ragu dan malu, si beruk mengutarakan keinginan yang berasal dari akal bulusnya kepada si kura-kura. “Hai kura, kau kan tidak bisa memanjat untuk memanen buah pisang di kebunmu ? bagaimana kalau aku membantumu memanennya. Aku

172


kan paling jago dalam urusan memanjat,” kata si beruk kepada si kura-kura. Si kura-kura mendengar bantuan yang ditawarkan olehsi beruk, tanpa curiga mengiyakannya dengan senang hati untuk membantunya memanen buah pisang. Apalah daya dia tidak bisa memanjat. Tidak ada salahnya jika dibantu oleh si beruk temannya. Maka memanjatlah si beruk ke pohon pisang milik si kura-kura. Sesampainya diatas pohon pisang, si beruk justru memakan buah pisang yang telah masak. Si kura-kura melihat ini pada awalnya hanya mengatakan, “Hai beruk jangan kau makan sendiri buah pisangnya.

Aku

minta

buah

pisangnya,

ini

kan

tanamanku.” Namun si beruk malah asik memakan buah pisang milik si kura-kura sambil bilang, “nantilah kurakura, pasti akan aku berikan padamu, aku hanya mencicipinya terlebih dahulu.” Begitulah, berkali-kali si kura-kura memintanya, si beruk justru menunda-nunda terus untuk memberikan buah pisang kepadanya.

173


Si beruk keasyikan memakan semua buah pisang diatas pohon. Melihat hal ini, si kura-kura sangat geram dan jengkel. Akhirnya si kura-kura tahu akal bulus si beruk yang licik tiada tara. Kelicikansi beruk itu sayangnya kini dipergunakan untuk menipunya guna menguasai buah pisang yang selama ini dengan susah payah ditanam dan dirawatnya. Maka dicarilah akal untuk membalas dendam perbuatan si beruk itu . Kebetulan si kura-kura melihat daun rawai, daun yang panjang dan berduri di hutan. Duri daun ini bisa mengait seperti peluru panah. Idenya muncul untuk mengerjai si beruk yang telah kenyang memakan buah pisang

tanamannya,

kekuatannya

sebagai

ketika kura-kura

dilihatnya adalah

bahwa memiliki

punggung yang lebih keras dan kuat daripada si beruk. Punggung kura-kura yang keras dan kuat itu tentunya tidak akan terluka jika terkena benda tajam seperti duri. Maka, dibuatlah oleh si kura-kura ayunan dari daun rawai itu. Setelahnya, si kura-kura berayun di daun rawai tak kalah asyiknya dari perbuatan si beruk yang

174


memakan buah pisang tanamannya. Saat asyik berayun itu, dipanggillah si beruk oleh si kura-kura “hai beruk lihat ini, asyik sekali lho main ayunan. Kemarilah kau beruk, mari bermain ayunan bersamaku.” Si beruk yang mendengar itu dan menyaksikan keasyikan si kura-kura berayun mengatakan, “ah iya apa kura-kura?.” “Iya beruk, asyik sekali. Kemarilah, ayo cepat bermain ayunan bersamaku,” seru si kura-kura lebih meyakinkan si beruk sambil menggoyang-goyangkan ayunan dari daun rawai. “Oh iya lah kalau begitu kura-kura. Aku gantian yang bermain ayunan, minggir kamu,” kata si beruk tanpa curiga. Si beruk pun menuju ayunan yang digunakan oleh si kura-kura bermain. Si kura-kura menyarankan kepada si beruk, agar lebih asyik bermain ayunannya, si beruk harus mengaitkan duri daun rawai ke lubang pantatnya. Si beruk pun menurutinya. Namun baru memulai bermain ayunan, duri daun rawai itu justru menarik

175


perutnya kuat-kuat sehingga menyebabkan semua buah pisang yang dimakannya keluar berjatuhan. Akhirnya si kura-kura pun dapat menikmati buah pisang yang ditanamnya dengan susah payah dari buah yang berjatuhan dan berasal dari dalam perut si beruk akibat tersangkut duri daun rawai.

Keterangan : Tumenggung

Nilo,

43

tahun

merupakan

pemimpin rombong SAD yang berlokasi di desa Pauh Menang, kecamatan Pamenang, kabupaten Merangin, provinsi

Jambi.

Dia

hanya

sempat

mengenyam

pendidikan hingga kelas dua Sekolah Dasar. Oleh karena itu, tumenggung Nilo dapat membaca dan menulis. Sementara dua orang anaknya, sepasang laki-laki dan perempuan kini justru didorong untuk terus bersekolah. Jeni anak laki-laki tumenggung Nilo kini telah mendaftar di Sekolah Menengah Kejuruan yang ada di Pamenang. Sedangkan Jana anak perempuannya kini 176


telah mendaftar di Sekolah Menengah Pertama yang ada di desa Pauh Menang. Tumenggung Nilo dan rombongnya tinggal di tengah perkebunan kelapa sawit dan karet yang berbatasan

antara

miliknya

dan

warga

desa.

Pekerjaannya sehari-hari adalah memotong parah dan kadang berburu. Tumenggung Nilo memimpin empat belas Kepala Keluarga di rombongnnya. Mereka semua telah tinggal di perumahan semi permanen. Komplek permukiman mereka telah maju dan bersih dan rata-rata mendorong anak-anaknya bersekolah. Di komplek pemukiman tumenggung Nilo telah terdapat taman baca dan kebun sayur. Taman baca mereka justru menjadi rujukan bagi warga desa lainnya yang ingin membaca. Rombong tumenggung Nilo yang paling maju diantara rombong lain yang ada di desa sekitarnya. Mereka setiap hari minggu aktif ke gereja.

177


178


Tradisi Joget dan Mencukur Anak SAD Apa yang kau bayangkan tentang kehidupan Suku

Anak

Dalam

(SAD)

?

kau

pasti

akan

membayangkan bahwa kami hidup di hutan belantara dan hanya mengenal kehidupan berburu serta mencari hasil hutan saja. Kau pasti tak percaya jika kami katakan,

179


bahwa kami juga mengenal seni tari serta musik dan tradisi lainnya, yang juga sering dilaksanakan oleh orang di luar suku kami. Meskipun dahulunya kami hidup di hutan belantara, kami juga memiliki seni dan budaya serta tradisi. Buktinya, di suku kami terdapat tarian yang kami sebut joget. Tarian ini biasa ditarikan ketika ada acara bebalai (pesta) menikah atau mencukur anak. Joget ditarikan oleh delapan hingga sepuluh orang yang terdiri dari laki-laki maupun perempuan. Namun, keduanya tak bercampur, melainkan dipisah. Adat SAD melarang perempuan dan laki-laki untuk saling berdekatan dan bercampur baur. Maka dalam joget, penari laki-laki dan perempuan dipisah meskipun satu panggung. Begitu pula penontonnya, tidak juga boleh bercampur baur antara laki-laki dan perempuan.Orangtua pun harus hadir ketika joget dipertunjukkan dalam acara bebalai. Sebab pada acara ini, juga menjadi ajang perkenalan antara bujang dan gadis yang nantinya saling berbalas pantun.

180


Penari

dalam

joget

juga

memakai

pakaian

tersendiri. Penari perempuan mengenakan apa yang kami sebut dengan kemban gantung, yaitu kain yang dipakai dengan diikatkan sampai ke dada. Selendang pun digunakan sebagai pelengkap. Sedangkan penari laki-laki menggunakan celana yang juga dilengkapi dengan kain yang diikatkan hingga sebatas pinggang. Joget diiringi dengan musik yang berasal dari alat musik dinggung enao dan klentang kayu. Dinggung Enao merupakan alat musik yang terbuat dari pelepah aren. Pelepah aren itu dibentuk agak lonjong dan ada tempat pegangan diujungnya, sementara diujung lainnya diberi lubang tempat menggantung alat untuk menarik tali senar. Ditengah pelepah aren yang telah dibentuk sedemikian rupa itu dilubangi. Melubanginya harus dengan pisau yang tajam dan tipis, serta orang yang memiliki ketajaman mata, agar tidak tambah rusak hasilnya. Sementara klentang kayu merupakan alat musik yang terbuat darisekubung (batang kayu kering yang

181


ringan). Bisa dari batang kayu kering pule, man dan lainnya asalkan ringan dan kering. Batang kayu kering tadi dijajar pada sepasang kaki pemain musik yang diluruskan ke depan. Sekitar enam hingga sembilan batang kayu kering dijajar dari ujug kaki hingga mencapai ke pangkal paha. Selendang yang diikatkan melingkar ke depan ujung

kaki

hingga

disimpulkan

ke

pinggang,

kegunaannya untuk menahan batang kayu agar tetap ditempatnya ketika memainkan klentang kayu. Sepasang kayu kering lainnya digunakan untuk memukul batang kayu yang berjajar tersebut. Orang-orang jaman dahulu biasa memainkan alat musik ini jika kesepian di dalam hutan. Dengan kedua alat musik diataslah joget diiringi, tanpa nyanyian. Namun seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa joget merupakan sarana perkenalan bujang dan gadis untuk berbalas pantun. Ada satu pantun yang dilagukan laki-laki untuk ditujukan kepada perempuan. Salah satu contoh pantunnya seperti ini ;

182


Masang jerat di tanjung bugis Kkeno anak burung lelayang Kareno menyurat mato menangis Memikir nasib badan malang Selanjutnya para penari laki-laki dan perempuan akan saling berbalas pantun. Pantun yang diucapkan harus tepat ketika saling berbalas-balasan, apalagi jika itu ditujukan kepada orang yang disukai. Menarikan joget bisa memakan waktu sehari semalam. Sebab keasyikan berbalas pantun kadang membuat lupa waktu. Secara bergantian bujang dan gadis yang ada akan menarikan joget. Gerakan joget sederhana saja. Dengan gerakan kekiri dan kekanan merentangkan tangan serta memainkan selendang bagi penari perempuan, joget ditarikan. Tradisi Mencukur Anak Ketika anak yang terlahir di rombong SAD telah bisa duduk sendiri, kami juga mengenal yang namanya tradisi mencukur. Pada tradisi ini disiapkan tikar pandan

183


untuk anak yang akan dicukur duduk diatasnya. Ketika rambut

anak

tersebut

akan

dipotong,

yang

memotongnya bukan sembarang orang. Orang tertentu dalam hal ini juga termasuk dukun SAD yang akan melakukan pemotongan pertama pada rambut si anak. Setelah itu, rambut si anak boleh dilanjutkan untuk dipotong oleh siapapun terutama bapaknya, ibunya, neneknya, kakeknya, paman dan orang lain yang hadir pada acara mencukur. Pemotongan rambut ini hanya sebagai syarat saja, sebelum benar-benar dicukur habis rambut si anak. Acara selanjutnya setelah pemotongan rambut, maka dilakukan sesangi atau sesajen berupa kumpulkumpul

bersama

untuk

makan

besar.

Acara

ini

dilakukan diatas balai yang terbuat dari kayu dengan lebar

antara

tujuh

hingga

empat

meter

persegi,

tergantung pada keinginan yang punya hajat dan juga perkiraan akan mengundang berapa banyak orang pada acaranya. Balai ini berupa panggung sederhana untuk menampung orang-orang yang berkumpul pada acara.

184


Di tengah balai ini terdapat cerubung balai, yaitu kayu yang dilukis dan diberi anting-anting. Bentuk cerubung balai berupa kayu yang dibentuk lonjong dan disusun memanjang berurutan dari atas ke bawah. Bagian atas adalah kayu dengan lonjong paling besar, bagian tengah kayu lonjong yang sedang dan bagian bawah kayu lonjong yang kecil. Cerubung balai ini digunakan untuk memanggil roh nenek moyang pada acara sesangi. Didekat cerubung balai disediakan persembahan berupa menyan dan beras kunyit. Beras kunyit ini harus ditaburkan kepada semua orang yang datang pada saat itu. Setelah acara persembahan ini, dapat diisi dengan makan bersama dan joget. Namun ketika SAD telah berpindah keyakinan memeluk agama Kristen seperti yang terjadi pada rombong tumenggung Nilo, tradisi joget serta acara mencukur ini tidak lagi dilakukan. Sepenuhnya mereka telah mengikuti ajaran Kristen yang menganjurkan pada mereka

untuk

hidup

rasional

185

dan

meninggalkan


keyakinan animisme. Akan tetapi, beberapa SAD yang masih hidup di hutan dan belum berpindah keyakinan tetap mempertahankan tradisi ini.

186


Tradisi Nyurung Belanjo dan Pernikahan Pada SAD di Rombong Tumenggung Nilo Nyurung Belanjo sebutan kami untuk melamar pada tradisi Suku Anak Dalam (SAD) yang masih kami ingat pernah dilakukan di rombong kami,merupakan sebuah

tradisi

yang

dilakukan

187

sebelum

upacara


pernikahan dilaksanakan. Pada tradisi ini pihak laki-laki akan mencari sirih dan pinang untuk diberikan kepada pihak perempuan. Ini dilakukan untuk bertetabuh budi, yaitu sirih dan pinang diberikan sedikit demi sedikit kepada pihak perempuan. Jika

sudah

sangat

mengena

di

hatipihak

perempuan dengan adanya pemberian sirih dan pinang ini, maka akan dilakukan pelamaran resmi untuk melaksanakan pernikahan. Pada acara melamar secara resmi ini, ninik mamak dan tuo tengganai berkumpul untuk mendiskusikan maksud melamar dari pihak lakilaki dan penerimaannya dari pihak perempuan. Langkah selanjutnya

dilakukan

sidang

oleh

mereka

untuk

mengesahkan lamaran. Berikutnya baru ke jenjang bertunangan

dan

disahkan

secara

adat

dalam

pernikahan. Yang menarik dalam acara pengesahan ini yaitu disediakannya kujur (tombak) dan parang sebagai bahan pelengkap seserahan lamaran. Kujur dinamai dengan tungkon tua, sedangkan parang dinamai dengan lantai kedudukan. Selain itu juga dilengkapi dengan kain pesalin 188


dan ditambahi sesuai dengan permintaan perempuan yang bisa saja berupa emas dengan berat bekisar antara setengah mayam, atau setengah gram. Pada acara pernikahan resmi, pengantin laki-laki dan perempuan dihadapkan dan disatukan keningnya. Seorang hakim pada acara ini akan memberi doa kepada mereka berdua. Doanya jika antara lain bermakna : Dia punya anak semoga selalu sehat Dia punya anak semoga selalu baik Dan semoga ketika dia melahirkan lancar tidak ada halangan. Demikianlah, maka ketika doa selesai dipanjatkan bagi kedua pasangan pengantin SAD secara resmi mereka telah menjadi sepasang suami istri dan dapat melanjutkan kehidupan berumah tangga, memelihara keturunan untuk kelangsungan rombong mereka.

189


190


Riwayat Bertanam Padi dan Tanaman Obat-Obatan SAD Aku Sikap, umurku kurang lebih delapan puluh tahun.

Saat

ini

aku

menjadi

tumenggung

yang

memimpin rombongku. Ada empat kepala keluarga dalam rombongku. Kami semua hidup di tengah hutan yang telah lama diwariskan oleh nenek moyang. Wilayah hutan tempat tinggal kami di desa Pematang Kancil. Dulu hutan dan tanah warisan kami membentang dari sungai Kejomat hingga Pelakar Jaya. 191


Namun kini, tanah dan hutan warisan nenek moyang

kami

tidak

seluas

itu

lagi,

tidak

lagi

membentang dari ujung desa hingga ke ujung desa tetangga. Tanah dan hutan yang tersisa dan masih kami jaga

tak

seberapa

lagi.

Melainkan

telah

banyak

berkurang sejak orang-orang desa masuk melalui program transmigasi dan kemudian membuka kebun, apakah kebun karet maupun kelapa sawit. Tanah dan hutan tempat kami tinggal yang masih tersisa jelas tidak bisa diganggu gugat, sebagaimana tanah dan hutan lainnya yang telah mereka rebut dari kami. Sebab ada penanda dari leluhur yang kami jadikan pedoman, sebagai bukti bahwa tanah dan hutan itu milik kami. Hal ini diceritakan secara turun temurun kepada kami, bahwa leluhur kami menanam pohon durian sebagai penada wilayah di rombong kami. Pohon durian warisan yang menjadi penanda wilayah itu masih berdiri tegak hingga kini. Setiap musim durian berbuah masih memberikan buahnya kepada kami semua. Di sekeliling pohon durian penanda

192


ini telah meluas tanaman pohon karet dan kelapa sawit sebagai sumber penghasilan kami disamping dari kerja berburu.

Secara

bergantian,

kami

akan

memanfaatkannya untuk menafkahi keluarga masingmasing. Berkebun kelapa sawit dan karet menjadi pilihan kami untuk mencari sumber penghasilan, karena kami lihat orang-orang desa memiliki penghasilan yang cukup dari memanfaatkan tanaman tersebut. Sebelumnya, kami bertani dengan menanam padi di ladang. Dari hasil panen padi itu, kami mencukupi kebutuhan pangan di rombong, jadi padi tidak untuk kami jual. Maka dahulu itu, jika kebutuhan pangan dicukupi dari hasil bertanam padi, kebutuhan lainnya kami cukupi degan bergantung pada apa yang dihasilkan hutan dan juga berburu. Sekarang bertanam padi telah benar-benar kami tinggalkan sejak berkebun karet dan kelapa

sawit.

Meskipun

demikian,

mengingat bagaimana cara bertanam padi.

193

kami

masih


Biasanya untuk memulai bertanam padi, kami membuka ladang dengan cara membakar area yang akan kami tanami atau dengan cara menebas gulma maupun pohon. Setelah area ini kami anggap cukup bersih dan siap

untuk

ditanami

padi,

barulah

kami

mulai

menanaminya. Akan tetapi, bibit padi yang akan ditanam di ladang itu tidak langsung begitu saja ditanam. Padi maupun bibit padi yang kami simpan di belubo (rumah untuk padi yang berfungsi layaknya lumbung), sebelum ditanam di ladang harus diberi ramuan terlebih dahulu.

Ramuan ini yang nantinya

disiramkan ke bibit padi tersebut. Tidak semua bibit yang disiram ramuan, namun beberapa bibit sekitar segenggaman tangan sebagai syarat saja yang akan diberi ramuan. Ramuan untuk menyiram bibit padi ini terbuat dari daun maupun akar tanaman tebu pungguk yang dicampur dengan daun sedingindan juga senupak. Setelah semuanya tercampur, baru disiramkan pada bibit padi

194


yang sebanyak genggaman tangan. Ini hanya sebagai syarat pertama untuk menanam. Bibit padi yang telah disiram ini kemudian dimasukkan ke dalam lubang hasil menugal. Kami memang menyemai bibit padi dengan cara menugal. Ketika bibit padi telah masak dan siap dipanen, juga dilakukan hal

serupa pada batang padi yang

berasal dari bibit pertama itu.

Kami menyebutnya

sebagai batang pertama yang ditanam. Batang pertama ini juga disiram dengan ramuan yang sama sebagai syarat simbol panen perdana. Setelah disiram, barulah batang padi diambil dengan cara dipotong. Padi yang telah dipotong ini dan berjumlah kirakira segenggam, akan kami bawa ke belubo dan kami gantung di atas bagian dalamnya. Demikianlah cara kami menanam dan memanen padi. Biasanya, sebelum menanam padi ataupun ketika panen padi, kami mengadakan acara makan bersama yang diiringi dengan permintaan doa-doa agar padi tumbuh dengan baik, serta sebagai bentuk rasa syukur ketika panen berhasil.

195


Sewaktu menanam padi, hambatan dan gangguan pasti ada. Sepanjang waktu menunggu hingga masa padi siap panen, dapat pula kami temui padi yang bertumbuh kurang bagus. Untuk mengatasi hal ini kami memiliki caranya, yaitu dengan membakar daun pinang dan batang sebaloi di tengah-tengah ladang. Asap hasil pembakaran keduanya kami biarkan menyebar ke seluruh ladang yang ditanami padi. Kadang kami juga menemukan hama yang mengganggu tanaman padi. Kebanyakan hama tersebut berupa mencit atau tikus. Untuk mengatasi hama ini kami juga punya cara tersendiri lagi.

Cara pertama dapat

dengan menggunakan kura-kura. Kura-kura disuruk (dimasukkan ke bawah) di bawah batang. Kemudian kura-kura ini kami langkahi berulang-ulang. Cara lainnya untuk mengusir hama yang berupa burung pemakan padi, biasanya burung pipit yang melakukan ini, yaitu dengan melemparkan abu ke tengah-tengah ladang atau ke beberapa penjuru ladang yang ditanami padi. Hama lainnya selain burung pipit

196


yaitu berupa pianggang (berbentuk belalang) yang memakan isi padi. Mengusir pianggang kami lakukan dengan cara membakar daun ngulang-ngulang agar asapnya mengenai padi dan membuat pianggang lari.

Obat-obatan Suku Anak Dalam (SAD) oleh karena tinggal di dalam hutan, kami sering terkena beberapa penyakit. Dahulu sebelum kami mengenal bidan desa atau mantri yang dapat mengobati dengan suntik, obat pil, maupun obat sirup, kami mengandalkan dukun dan tanaman yang ada di hutan untuk mengobati berbagai macam penyakit. Dukun kami perlukan karena kami yakini jampi-jampinyayang diberikan kepada ramuan obatdapat cepat menyembuhkan, dibanding jika kami membuat ramuan dan menggunakannya sendiri. Hutan

kami

sebelum

berubah

menjadi

perkebunan kelapa sawit dan mendesak pemukiman kami yang terletak di belakang pabrik sawmill ini,

197


memang menyediakan banyak tanaman obat yang bermanfaat. Sekarang pun masih demikian pada hutan yang tersisa, namun hanya tinggal beberapa tanaman obat saja dan itu pun agak susah ditemukan. Tidak semudah dahulu untuk menemukan tanaman obat berkhasiat. Beberapa tanaman obat saat ini baru bisa ditemukan jika kita jauh masuk ke dalam hutan. Oleh sebab itu, saat ini di sekitar pemukiman kami yang telah berbentuk rumah semi permanen, kami sediakan lahan selain untuk menanam sayur mayur, juga untuk menanam tanaman obat agar kami tak susah lagi mencari jika memerlukannya. Berikut ini adalah beberapa penyakit dan cara mengatasinya dengan ramuan yang berasal dari tanaman di sekitar hutan ; Bisul Jika

SAD

terkena

penyakit

bisul,

cara

mengatasinya dengan memanfaatkan kapur sirih atau yang kami sebut dengan kapur tengkuyung. Kapur ini 198


kami bakar, kemudian kami beri air supaya lembut. Setelah itu kapur kami oleskan ke badan yang terkena bisul. Mengoleskannya sambil dengan cara dikusuk (dipijat).

Kegunaan Selusuh Batang dan daun Selusuh Di dalam hutan kami tumbuh tanaman obat yang kami sebut dengan selusuh. Manfaat selusuh yaitu antara lain untuk membantu perempuan yang akan melahirkan biar lancar. Caranya dengan mengambil akar selusuh, kemudian mengikisnya dan diberi tambahan minyak. Ramuan ini kemudian diurut ke perut perempuan tersebut. Senggugut Kami mengenal tanaman yang kami sebut dengan senggugut. Kegunaan dari tanaman ini adalah sebagai ramuan untuk mengobati perempuan yang sedang datang bulan dan mengalami sakit perut karenanya,

199


kami

menyebutnya

dengan

sakit

senggugut.

Cara

mengobati senggugut dengan memakan isi daunnya ketika datang sakit perut. Mengupayakan Agar Dapat Memiliki Keturunan Bagi

laki-laki

SAD

yang

susah

memiliki

keturunan, kami memiliki obatnya. Caranya dengan menggunakan tanaman yang kami sebut dengan siga jantan. Tanaman ini kami ambil daunnya kemudian dicampurkan ketika makan sirih. Laki-laki yang berniat ingin memiliki keturunan harus memakan ramuan ini selama tiga hari. Singkat Napas Jika kami mengalami penyakit singkat napas atau sesak nafas, cara kami mengobatinya yaitu dengan memakan hati burung pelatuk. Hati burung ini bisa dimakan

mentah

begitu

saja,

bisa

juga

dengan

memasaknya terlebih dahulu. Ramuan lain untuk mengobati singkat nafas bisa juga menggunakan

ngulang-ngulang ngulang-ngulang 200


yang tumbuh di pohon durian. Ngulang-ngulang ini diasah pada batu kemudian di kusuk atau dipijit ke dada sampai tujuh kali. Demam dan Batuk Demam dan batuk penyakit yang sering datang dan pergi kepada kami. Jika sudah datang penyakit ini, cara mengobatinya dengan membuat ramuan dari daun jelay yang digiling dan dicampur dengan air kemudian diminum beberapa kali sampai sembuh. Demam Biasa Jika hanya demam biasa yang diderita oleh orang SAD, ramuannya berupa daun jelay yang dicampur dengan langkuah agak besar. Keduanya kemudian ditumbuk dan dicampurkan ke air. Hasil ramuan ini setelahnya dimandikan sekali sehari kepada yang menderita sakit.

201


Gatal-gatal sering menghinggapi orang SAD. Bila terkena gatal-gatal ramuan yang kami buat untuk mengobatinya yaitu tinan kunyit dan langkuah pandan. Tinan kunyit diambil batangnya yang besar kemudian digiling bersama langkuah pandan dan dioleskan ke badan yang gatal. Ramuan ini bisa langsung dioleskan tanpa menggunakan jampi-jampi dari dukun. Cara

lain

mengobati

gatal-gatal

dengan

menggunakan ramuan dari tanaman yang disebut dengan paku gajah atau kuman gajah. Tanaman ini ditumbuk hingga halus pada bagian akarnya kemudian dioleskan ke bagian yang gatal-gatal. Luka Bakar Menderita luka bakar bisa saja terjadi pada kami orang SAD dewasa maupun anak-anak yang tak waspada ketika membuat api. Untuk mengobati luka bakar ramuannya terdiri dari kapur bauluh yang kering digilingdan diberi air sedikit kemudian ditambahkan sedikit minyak biawak. Hasil ramuan ini di kusuk atau dipijat pelan-pelan ke luka bakar. 202


Luka dan Tidak Bisa Berjalan Sewaktu-waktu orang SAD bisa saja menderita luka yang menyebabkan dia tidak bisa berjalan. Biasanya tidak bisa berjalan karena ada salah satu urat dikakinya yang mengalami gangguan apakah karena jatuh dan lain sebagainya. Untuk mengatasi penyakit seperti ini ramuan yang digunakan yaitu tanaman pengeno urat dikikis dan diberi sedikit air, kemudian di kusuk atau dipijat pelan-pelan ke bagian urat yang menyebabkan tidak bisa berjalan. Sakit Gigi Bila orang SAD menderita sakit

gigi cara

mengatasinya yaitu dengan menggunakan kayu bedara putih yang diletakkan di lubang gigi. Jika yang sakit gusinya, cukup kayu ini yang ditempelkan ke gusi.

203


Mencegah Gangguan Makhluk Halus Elay Orang SAD hidup di hutan, gangguan makhluk halus yang tak kasat mata bisa saja terjadi apakah kepada anak-anak

atau

kepada

orang

dewasa.

Untuk

mengantisipasi ini kepercayaan orang SAD yaitu dengan menggunakan tanaman jerangau atau elay yang bijinya diambil dan kemudian dirangkai dengan benang untuk dijadikan sebagai kalung. Sakit Mata Akar Timah Untuk

mengobati

sakit

mata

orang

SAD

menggunakan dua cara pengobatan. Yang pertama dengan menggunakan tanaman yang disebut dengan akar dedaum. Tanaman ini di layung (dipanggang diatas api) kemudian ditempelkan ke mata yang sakit. Cara yang kedua dengan menggunakan tanaman yang disebut akar timah. Tanaman akar timah dipotong kemudian air

204


yang keluar dari batangnya diteteskan ke mata yang sakit.

Panas Dalam Bawang hutan Sakit panas dalam bagi orang SAD dapat diobati dengan menggunakan tanaman yang berupa bawang hutan. Bawang ini diambil umbinya dan direndam ke dalam air kemudian diminumkan ke penderita panas dalam. Tetapi manfaat bawang hutan ini tidak hanya untuk mengobati panas dalam saja, beberapa penyakit dalam dapat diobati menggunakan tanaman ini. Keterangan : Tumenggung Sikap dan rombongnya tinggal di dalam hutan yang berlokasi di desa Pematang Kancil, kecamatan Pamenang, kabupaten Merangin, provinsi Jambi. Rombong ini tidak lagi tinggal di dalam sudung, mereka

termasuk

rombong

205

yang

mandiri

dalam


mengatur komunitasnya. Rumah yang kini mereka tempati dibangun sendiri tanpa bantuan pemerintah, begitu juga dengan sumur dan sarana Mandi Cuci Kakus (MCK). Pemukiman

mereka

dikelilingi

kebun

karet

mereka sendiri dan juga kebun karet warga desa. Mereka juga bertanam kelapa Sawit di dalam kebun. Petak-petak sayur

dan

petak

obat-obatan

pemukiman mereka.

206

melengkapi

sarana


Biodata Penulis Wenny Ira Reverawati, lahir di Pematang Kancil 08 Mei 1983. Bekerja sebagai peneliti di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Nurdin Hamzah Jambi. Aktif menulis di majalah online Puan.co. Karyanya yang berupa tulisan pada kurun waktu 2009 hingga 2014 kerap dipublikasikan di koran lokal Jambi berupa opini tentang gender dan politik, maupun pendidikan dan satu tulisan berjudul Orang Trans dan Orang Rimba pada tahun 2013. Sebagian tulisan opini tersebut dapat dilihat di blog www.homosocialpoliticus.blogspot.com dan bisa disearching di google menggunakan nama lenggkapnya atau nama Wenny Ira R. Beberapa tulisan opininya sempat dibukukan bersama penulis lain pada tahun 2012 di buku yang berjudul Dinamika Politik Indonesia yang diterbitkan secara indie. Sebagian lagi tulisan opininya juga sempat diterbitkan bersama dengan penulis opini Jambi pada buku yang berjudul Tinta Emas Penulis Jambi di tahun 2014, yang juga diterbitkan secara indie. Tulisannya yang berupa publikasi laporan penelitian antara lain ; Hak Asasi Perempuan Sebagai 207


Bagian Dari Hak Asasi Manusia (2013) di jurnal Akademika STISIP Nurdin Hamzah, Prinsip Keadilan Gender dalam UU Desa Terhadap Perempuan Pedesaan (2016) di proseeding Seminar Nasional II FISIP Unand, The environmental Sustainability Aspect in Local Regulation of Marga Serampas (2016) di Proseeding Konferensi Internasional Green Development Internastional Confrence Universitas Jambi, Local Wisdom of Seloko Adat Jambi In The Leadership Of Rural Governance Conduct (2016) di Proseeding konferensi Internasional HIPIIS Palembang, Pengorganisasian Partisipasi Perempuan Pedesaan Dalam Pembangunan Desa (Studi Pada Sekolah Bank Sampah Perempuan Penyengat Olak) (2017) di jurnal online Khazanah Intelektual Balitbangda Provinsi Jambi. Aktif melakukan pendampingan pada Sekolah Bank Sampah Perempuan Penyengat Olak, Jaluko, Muaro Jambi sejak 2016 hingga sekarang dan pendampingan pada Fungsi kelembagaan adat desa dan kepala desa dalam pelestarian, pemberdayaan adatistiadat, tradisi serta budaya yang menghasilkan event Festival Kampung Penyengat Olak (2016) serta Festival Kampung Senaung (2017).

208



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.