CALL FOR PAPERS
Publication Period
April, August, and December 2023
The Journal of Indonesia Sustainable Development Planning (JISDeP) is a journal published by Centre for Planners' Development, Education, and Training (Pusbindiklatren), Ministry of National Development Planning/National Development Planning Agency Republic of Indonesia (Bappenas) and supported by Indonesian Development Planners Association (PPPI).
This journal aimed at studying the issues of sustainable development from around the world to later be used as policy material in sustainable development planning in Indonesia, developing countries, and the world in general. This journal absorbs theoretical scientific studies as well as empirical experiences from researchers around the world, primarily from researchers who specialize in developing countries, to then publish them all widely to international forums as an applicable and innovative knowledge.
This journal gives important weight to the issue of sustainable development planning with regard to the mental and spiritual development of the people of Indonesia and the people of the world in terms of politics, economics, social, culture, environment, peace and justice, energy, and other strategic issues about sustainable development planning.
Peer Review Process
JISDeP is an open access journal. All of the research article submitted in this journal will be provided in online version and can be free full downloaded. JISDeP also uses peer-review process by blind reviewer. The decision of accepted or not the article is determined by the agreement of both of editor’s board and the reviewer.
Publication Frequency
JISDeP are published three times a year which are in April, August, and December of respective year.
Open Access Policy
This journal provides immediate open access to its content on the principle that making research freely available to the public supports a greater global exchange of knowledge. All articles published will be immediately and permanently free for everyone to read and download.
Register and Login as Author to: journal.pusbindiklatren.bappenas.go.id
Guidance for Submission
1 The submission has not been previously published, nor is it before another journal for consideration (or an explanation has been provided in "Comments to the Editor").
2 The submission file is in OpenOffice, Microsoft Word, or RTF document file format.
3 Where available, URLs for the references have been provided.
4 The text is single-spaced; uses a 10-point Calibri font; employs italics, rather than underlining (except with URL addresses); and all illustrations, figures, and tables are placed within the text at the appropriate points, rather than at the end.
5 The text adheres to the stylistic and bibliographic requirements outlined in the Author Guidelines.
6 If submitting to a peer-reviewed section of the journal, the instructions in "Ensuring a Blind Review" have been followed.
SIMPUL PERENCANA (SIMPUL)
Diterbitkan oleh Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Kementerian PPN/ Bappenas
PELINDUNG
Menteri PPN/Kepala Bappenas
PENANGGUNG JAWAB
Sekretaris Kementerian PPN/Sekretaris
Utama Bappenas
PEMIMPIN UMUM
Kepala Pusbindiklatren Kementerian PPN/ Bappenas
DEWAN REDAKSI
Wiky Witarni, Dwi Harini Septaning Tyas, Pandu Pradhana, Rita Miranda, Wahyu
Pribadi, Teresna Murti, Maslakah Murni, Feita Puspita Murti, Mohamad Iksan Maolana
PEMIMPIN REDAKSI
Jelita Sari Wiedoko
REDAKTUR PELAKSANA
Diana Ayu Ahira, Naila Sukma Aisya, M. Bilhajhusni Widyo Pramana, Luqman
Hakim Antris Saputro, Bernadette Christi Paramitha Santosa
EDITOR
Hafidh Aditama
DESAIN SAMPUL & TATA LETAK ISI
Hafidh Aditama, Dian Reza Febriani, Agung Prasetyo
SEKRETARIAT
Agustin Setyaningsih, Hendra Solihin, Asih Nur Andari, Akhmad Faturokhman
ALAMAT REDAKSI
Pusbindiklatren Kementerian PPN/ Bappenas Jalan Proklamasi
No. 70, Jakarta 10320
Telepon (021) 319 28280, 319 28285
Pos-el: simpul@bappenas.go.id
Unduh majalah versi PDF di: bit.ly/baca-simpul bit.ly/issuu-pusbindiklatren
Dari Kami
Salam perencana!
Tahun 2023 menjadi momen perubahan penilaian kinerja bagi pejabat fungsional dengan terbitnya PermenPANRB Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional. Semangat penyederhanaan menjadi inti dalam proses penilaian kinerja. Harapannya, para pejabat fungsional tak lagi disibukkan dengan butirbutir kegiatan untuk klaim angka kredit, melainkan capaian kinerja organisasi.
Dikeluarkannya aturan ini menandakan bahwa Daftar Usul Penetapan Angka Kredit (DUPAK) dan tim penilai tidak lagi diperlukan. Kini konversi penilaian angka kredit didasarkan pada predikat kinerja yang dilakukan oleh atasan langsung.
Berkaitan dengan perkembangan tersebut, pada Majalah Simpul Perencana Volume 45 ini, kami mengangkat tema “Dinamika Penilaian Kinerja Perencana”. Melalui rubrik Cakrawala, SIMPUL akan mengulas bagaimana respons pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait dengan kesiapan dalam menghadapi perubahan ini. Kami menghadirkan Plt. Kepala BKN, Kepala BKD Provinsi Kalimantan Barat, Kepala BKPSDM Kota Cirebon, dan Perencana Ahli Pertama dari Bappeda Tulungagung selaku narasumber. Selain itu, kami juga mewawancarai pejabat fungsional perencana terdampak atas kebijakan perubahan penilaian kinerja ini.
Di rubrik Opini, kami menampilkan gagasan pemikiran serta ide solusi dari para perencana dan pejabat fungsional lainnya terkait dengan penilai kinerja. Beberapa penulis mengkritisi perubahan penilaian kinerja fungsional dengan tenggat waktu yang singkat sehingga menimbulkan pertanyaan tentang hakikat pengukuran kinerja fungsional, terutama perencana. Ada pula penulis yang melihat penilaian dari sisi objektivitas, standar penilaian, konflik kepentingan, dan minimnya pelatihan bagi penilai. Di sisi lain, beberapa penulis menyambut baik dengan simplifikasi yang diberikan aturan baru.
Selain kedua rubrik tersebut, rubrik reguler berupa Liputan, Sosok Alumni, Sosok Pejabat Fungsional Perencana, dan Profil Mitra dihadirkan untuk menambah insight bagi para perencana. Di rubrik Selingan, diulas mengenai bagaimana tips belajar etos kerja dari drama Korea. Mulai Volume 45, SIMPUL menghadirkan rubrik baru, yaitu Ulasan Program, yang akan mengulas program-program Pusbindiklatren Kementerian PPN/Bappenas secara lebih dalam.
Pada penerbitan tahun ke-20 ini, SIMPUL menghadirkan logo baru yang akan membawa semangat lebih besar bagi perencana. Logo ini diharapkan dapat merepresentasikan nilai-nilai, visi, misi, dan tujuan dari Pusbindiklatren yang terus berupaya menjadi instansi pembina bagi seluruh perencana di Indonesia yang selalu bertumbuh, kredibel, dan berkualitas.
Selamat membaca,
Jelita Wiedoko
Pemimpin Redaksi
Redaksi menerima tulisan yang berhubungan dengan perencanaan sesuai tema yang telah ditentukan. Tema setiap edisi akan dipublikasikan melalui situs web pusbindiklatren. bappenas.go.id dan media sosial Pusbindiklatren Kementerian PPN/Bappenas.
CAKRAWALA
Bima Haria Wibisana (Plt. Kepala BKN): Transformasi Penilaian Kinerja dan Kenaikan Pangkat Pejabat Fungsional
Ani Sofian (Kepala BKD Prov. Kalbar): Adaptasi dengan
Perubahan Regulasi
Sri Lakhsmi Stanyawati (Kepala
BKPSDM Kota Cirebon): Perlunya Dukungan untuk
LIPUTAN
Penandatanganan Nota Kesepakatan dan Rencana Kerja Kementerian PPN/ Bappenas dengan Pemerintah Kota Palembang, Sumatera Selatan
Pelatihan Mandiri Perencanaan dan Penganggaran Angkatan 1 di Kementerian ESDM
Verifikasi Berkas Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Perencana
FGD Revisi Peraturan Direktur Jendral Perbendaharaan No. Per-23/PB/2014
SOSOK
56
VOL. 45
AKADEMIKA
Tesis Pilihan: Relasi Kuasa dan Akses Masyarakat Desa Hutan dalam Implementasi Kebijakan
Perhutanan Sosial di Kabupaten Ngawi
66
ULASAN PROGRAM
Gagasan Program Prioritas
Pusbindiklatren Menyongsong RPJPN 2025—2045
72 OPINI
INFO JFP
Tanya-Jawab Jabatan
Fungsional Perencana
Dharendra Wardhana:
Absurditas Penilaian Kinerja
Perencana
Indra Jaya: Meningkatkan
Objektivitas Penilaian Kinerja
Perencana
Dewy Sarihastuti: Dinamika
Penilaian Kinerja Perencana: Past, Present, and Soon
Rine Simamora: Dinamika
Perubahan Penilaian Kinerja
Jabatan Fungsional Perencana
Pasca-PermenPANRB No. 1
Tahun 2023
Henry Yulia Ginanjar: Dinamika
Penilaian Kinerja Perencana
Alfian Rosiadi (Perencana
Ahli Pertama Bappeda
Tulungagung): Dampak dan Tantangan Penilaian Kinerja
Yeni Sasarari: Program Piloting Magang: Transfer Ilmu untuk ASN Provinsi Papua
(ASN): Kebijakan Pemerintah, Tanggapan, dan Dampak
terhadap Karier
Pius Mithe: JFP Hasil
Penyetaraan adalah JFP Kelas
Dua
Basdiati, dkk.: Meningkatkan
DAN LAGI, KEBIJAKAN BERUBAH LAGI...
Tsunami kebijakan, jika tidak dapat disebut badai kebijakan, terus mengguncang Aparatur Sipil Negara (ASN). Menghadapi situasi ini, para ASN tidak boleh hanya diam.
Menilik beberapa tahun belakangan, peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan ASN terus berdatangan. Pihak yang bertanggung jawab terus melakukan penyesuaian. ASN pun terus beradaptasi.
Pada 2019, Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PermenPANRB)
Nomor 13 Tahun 2019 tentang Pengusulan, Penetapan, dan Pembinaan Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil diterbitkan. Peraturan ini menjadi pedoman umum dalam pembinaan jabatan fungsional. Dengan PermenPANRB ini, batasan minimal dan maksimal untuk angka kredit jabatan fungsional mulai diberlakukan.
Pada 2021, PermenPANRB No.
8 Tahun 2021 tentang Sistem Manajemen Kinerja Pegawai Negeri Sipil dikeluarkan. Peraturan ini mengubah sistem manajemen kinerja, perencanaan kinerja, penyusunan Sasaran Kerja Pegawai (SKP), hingga penilaian SKP. Namun, belum genap setahun, peraturan tersebut dicabut dan digantikan PermenPANRB No.
6 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Kinerja ASN.
Peraturan ini kembali mengubah sistem manajemen kinerja, perencanaan kinerja, penyusunan SKP, hingga penilaian SKP yang sekarang dibagi menjadi beberapa kategori predikat kinerja. Hal lain yang diubah adalah mengenai perilaku kinerja pegawai yang sudah
disesuaikan dengan core values ASN BerAKHLAK (Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif). Selain itu, PermenPANRB No. 6 Tahun 2022 juga memasukkan regulasi baru tentang kurva distribusi predikat kinerja pegawai.
Sejalan dengan peraturan terbaru tentang kinerja ASN, baru-baru ini PermenPANRB No. 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional diterbitkan, yang mencabut Permen PANRB No. 1 Tahun 2019. Dengan pencabutan ini, PermenPANRB No. 4 Tahun 2020 tentang Jabatan Fungsional juga dianggap tidak berlaku lagi. Namun, ketentuanketentuan yang tidak bertentangan dengan PermenPANRB No. 1 Tahun 2023 masih bisa digunakan dalam pembinaan jabatan fungsional.
PermenPANRB No. 1 Tahun 2023 mengubah beberapa kebijakan pembinaan jabatan fungsional, seperti mekanisme perpindahan jabatan, mekanisme promosi jabatan, dan penilaian kinerja. Ketentuan mengenai unsur dan sub unsur kegiatan, butir kegiatan, dan angka kreditnya, hasil kerja, penilai
kinerja, penilaian angka kredit, pejabat pengusul angka kredit, pejabat penetap angka kredit, tim penilai angka kredit, angka kredit pemeliharaan, unsur penunjang, unsur pengembangan profesi, pengangkatan dalam jabatan fungsional, kenaikan pangkat, dan kenaikan jenjang jabatan fungsional, semuanya dinyatakan tidak berlaku lagi.
Penilaian Kinerja JFP yang sebelumnya mengacu pada PermenPANRB No. 4 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas harus disesuaikan. Penilaian kinerja, khususnya terkait perolehan angka kredit dengan DUPAK (Daftar Usul Penetapan Angka Kredit), otomatis tidak berlaku lagi. Sebelumnya, angka kredit diperoleh dengan mengumpulkan DUPAK dan tidak terkait dengan SKP. Dengan PermenPANRB No. 1 Tahun 2023, perolehan angka kredit didasarkan pada hasil konversi predikat kinerja. Hal ini mungkin dilakukan agar para pejabat fungsional tidak hanya fokus pada pemenuhan angka kredit, tetapi juga fokus pada pemenuhan ekspektasi kinerja yang diberikan oleh atasan.
Penilaian kinerja pegawai, termasuk perencana, dapat digunakan
sebagai dasar untuk memberikan penghargaan, promosi, mutasi, atau sanksi kepada pegawai sesuai dengan hasil kinerjanya. Selain itu, penilaian kinerja dapat membantu organisasi mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan pegawai, serta menetapkan rencana karier yang sesuai dengan potensi dan minat pegawai. Oleh karena itu, penilaian kinerja perlu dilakukan secara rutin, objektif, dan transparan agar dapat memberikan manfaat bagi organisasi dan pegawai itu sendiri.
Perubahan regulasi yang cepat dan dinamis ini mendapat tanggapan positif dan negatif dari berbagai pihak dan tingkatan. Tidak jarang pegawai mengapresiasi semangat perubahan dan penyederhanaan, dengan tidak ada lagi dokumen DUPAK yang perlu dikumpulkan dari berbagai kegiatan yang sering kali dianggap memiliki nilai yang kurang signifikan.
Penilaian kinerja sekarang didasarkan pada penilaian yang diberikan oleh atasan langsung berdasarkan pemenuhan ekspektasi pimpinan. Kritik juga dilontarkan terkait subjektivitas yang mungkin muncul. Oleh karena itu, perlu upaya-upaya perbaikan dan reformasi dalam sistem penilaian kinerja ASN di Indonesia. Perubahan aturan penilaian kinerja diharapkan dapat mendorong PNS untuk lebih profesional, produktif, dan berorientasi pada hasil.
Mungkin ada pro dan kontra terhadap peraturan dan kebijakan yang terus berubah-ubah. Namun, sebagai ASN yang diarahkan untuk memiliki nilai adaptif, para ASN diharapkan dapat dengan cepat beradaptasi menghadapi perubahan, khususnya di tengah gelombang perubahan kebijakan yang terus berlanjut.
Apabila membahas penilaian kinerja, tentunya kita ke landasan paling atas terlebih dahulu, yaitu UndangUndang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Salah satu nilai dasar ASN adalah mengutamakan pencapaian hasil dan mendorong kinerja pegawai.
Berdasarkan landasan di atas, pencapaian hasil dan kinerja ASN berkaitan erat dengan penilaian kinerja. Penilaian dilakukan berdasarkan perencanaan kinerja pada tingkat individu dan tingkat unit atau organisasi, dengan memperhatikan target, capaian, hasil dan manfaat yang dicapai, serta perilaku ASN tersebut.
Dalam hal kinerja untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka diwajibkan setiap tahun untuk menyusun Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) sebagai salah satu bentuk penilaian kinerja masingmasing PNS. Dua tahun yang lalu, khususnya pada 2021, penyusunan SKP sedikit berbeda dengan sebelumnya. Ini dikarenakan tahun tersebut merupakan tahun transisi perubahan pola penilaian kinerja.
Penilaian kinerja PNS telah mengalami berbagai perubahan. Sebelum SKP, penilaian pelaksanaan pekerjaan menggunakan Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil (DP3). Daftar tersebut disusun berdasarkan amanat dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil. Daftar itu memuat hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan seorang PNS dalam waktu satu tahun.
Kemudian DP3 tidak digunakan lagi dan digantikan Sasaran Kerja Pegawai (SKP). SKP berarti target yang akan dicapai oleh seorang PNS. Pada saat itu, disusun berdasarkan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2021 tentang Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil yang berlaku mulai 1 Januari 2014.
Selanjutnya seiring perkembangan, kepanjangan SKP yang semula
Sasaran Kerja Pegawai berubah
menjadi Sasaran Kinerja Pegawai
berdasarkan PP No. 30 Tahun 2019
tentang Penilaian Kinerja Pegawai
Negeri Sipil. SKP berdasarkan aturan terbaru berisi tentang rencana kinerja dan target yang akan dicapai oleh
seorang PNS setiap tahun. Keluarnya PP No. 30 Tahun 2019 mengacu pada
PermenPANRB No. 8 Tahun 2021
tentang Sistem Manajemen Kinerja Pegawai Negeri Sipil.
Dalam penerapannya, banyak yang belum dipahami oleh ASN
karena adanya perubahan mindset
PermenPANRB No. 8 Tahun 2021 hanya berlaku enam bulan tanpa evaluasi, karena tepat Februari 2022 keluarlah PermenPANRB No. 6 tahun 2022.
PermenPANRB No. 6 Tahun 2022
menyatakan penetapan dan ekspektasi dalam perencanaan kinerja adalah dialog kinerja untuk menetapkan dan mengklarifikasi ekspektasi pimpinan terhadap peran pegawai dalam mendukung pencapaian kinerja organisasi. Pengembangan kinerja pegawai dilakukan melalui umpan balik berkala (ongoing feedback).
PADA DASARNYA
PENILAIAN PEGAWAI
DILAKUKAN
AGAR PEGAWAI
MENDAPATKAN
MOTIVASI SEBAGAI
PENDORONG
DALAM
MELAKSANAKAN
PEKERJAANNYA
DENGAN SEMPURNA.”
Seiring berjalannya PermenPANRB No. 6 Tahun 2022, para pegawai tentunya menantikan adanya pemberian penghargaan berdasarkan kinerja pegawai dalam tindak lanjut penilaian kinerja. Ini berarti memberikan pengakuan atau penghargaan atas keberhasilan kinerja pegawai tersebut. Pada dasarnya penilaian pegawai dilakukan agar pegawai mendapatkan motivasi sebagai pendorong dalam melaksanakan pekerjaannya dengan sempurna, serta untuk mendapat apresiasi apabila melakukan pekerjaan dengan baik.
Semoga bagaimanapun bentuk penilaian, harapannya tetap profesional dan objektif.
#BacaSimpul
Majalah Simpul Perencana versi digital dapat dibaca dan diunduh melalui situs web
Pusbindiklatren Kementerian PPN/Bappenas atau melalui platform Issuu:
bit.ly/baca-simpul
bit.ly/issuu-pusbindiklatren
TRANSFORMASI PENILAIAN KINERJA
DAN KENAIKAN PANGKAT PEJABAT FUNGSIONAL
BIMA HARIA WIBISANA PLT. KEPALA BKNSejak disahkan Peraturan Menteri PANRB Nomor 1 Tahun 2023, ada beberapa perubahan penilaian kinerja dan kenaikan pangkat pejabat fungsional. Apa saja perubahannya? Sejauh mana hal ini berdampak untuk para pejabat fungsional? Untuk mengurai kesalahpahaman yang mungkin muncul, simak wawancara Simpul bersama Plt. Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Ir. Bima Haria Wibisana, M.S.I.S., Ph.D.
SIMPUL (S): Apakah perubahan dari jabatan administratif ke jabatan fungsional berdampak pada pengelolaan kenaikan pangkat dan golongan, terutama di BKN?
Bima Haria Wibisana (B): Penilaian kinerja, yang merupakan hasil dari evaluasi langsung oleh atasan, telah menjadi faktor penting dalam pengelolaan kenaikan pangkat sebelum Peraturan Menteri PANRB
Nomor 1 Tahun 2023 dikeluarkan. Namun, sebelum regulasi ini diterbitkan, penilaian kinerja sering kali menjadi hambatan dalam proses kenaikan pangkat.
Dengan diterapkannya regulasi ini, proses kenaikan pangkat dan golongan menjadi lebih cepat dan sederhana. Poin kredit dari konversi
penilaian kinerja diperoleh melalui atasan langsung, sehingga tidak perlu menunggu hasil tim penilai angka kredit.
Jika instansi pemerintah menggunakan aplikasi e-Kinerja BKN, maka penilaian kinerja ASN, termasuk
SEBELUM REGULASI
pejabat fungsional, terintegrasi langsung dengan aplikasi kenaikan pangkat dalam portal SIASN. Oleh karena itu, kami mendorong instansi pemerintah untuk memanfaatkan aplikasi e-Kinerja BKN.
S: Bagaimana dampak dinamika perubahan mekanisme jabatan fungsional terhadap kecepatan kenaikan jabatan?
B: Percepatan proses kenaikan pangkat dan jabatan berpotensi menyebabkan penumpukan jabatan pada tingkat tertentu. Tanpa batasan formasi yang ketat, hal ini bisa menghasilkan jumlah pejabat fungsional yang berlebihan di tingkat tertentu dibandingkan tingkat lain. Hal itu mengakibatkan adanya piramida terbalik pada jenjang fungsional yang lebih tinggi.
S: Bagaimana tanggapan Bapak atas organisasi yang mengalami penumpukan perencana jenjang ahli muda? Lalu bagaimana pula
tanggapan Bapak setelah
dikeluarkannya Perarturan Menteri
PANRB Nomor 1 Tahun 2023?
B: Penentuan kebutuhan jabatan dimulai dengan analisis peran dan beban kerja. Terjadi penumpukan artinya pekerjaan dari jabatan tersebut terlalu sedikit dibanding dengan pemangku jabatannya. Untuk mengatasinya, pegawai perencana ahli muda yang menumpuk di satu unit, bisa didistribusikan ke unit lain yang kekurangan pegawai dengan jabatan tersebut. Sejak diberlakukannya Peraturan Menteri
PANRB Nomor 1 Tahun 2023, penilaian angka kredit tidak lagi bergantung pada aktivitas, tetapi menggunakan konversi nilai kinerja (SKP).
Hal ini memungkinkan perencana ahli muda untuk fokus pada tugas lain yang mendukung kinerja organisasi, sambil tetap menjaga keselarasan dan relevansi dengan jabatan mereka.
S: Siapa saja stakeholder utama yang terlibat dalam penerapan Peraturan Menteri PANRB Nomor 1 Tahun 2023? Bagaimana pula dinamika koordinasi antar-stakeholder tersebut?
B: Stakeholder utama yang terlibat dalam penerapan Peraturan Menteri
PANRB Nomor 1 Tahun 2023 adalah
Kementerian PANRB, BKN, semua instansi pembina jabatan fungsional, seluruh pemangku jabatan fungsional, dan seluruh pejabat penilai kinerja.
Koordinasi antar stakeholder utama ini telah terjalin. Kementerian PANRB merumuskan kebijakan seperti Peraturan Menteri PANRB Nomor 1 Tahun 2023, BKN membantu merumuskan pedoman implementasi dan memberikan panduan saat penerapan. Institusi pembina memastikan implementasi regulasi tersebut. Pejabat penilai kinerja melakukan penilaian kinerja yang dikonversi dalam angka kredit.
S: Bagaimana kemajuan pedoman implementasi yang dikembangkan oleh BKN terkait Peraturan Menteri PANRB Nomor 1 Tahun 2023?
B: Kemajuan pedoman implementasi yang dikembangkan oleh BKN terkait aspek teknis dari penerapan Peraturan Menteri PANRB tersebut masih dalam tahap pembahasan harmonisasi internal di Direktorat Peraturan Perundang-Undangan.
PENILAIAN KINERJA JABATAN FUNGSIONAL SEKARANG BERGANTUNG PADA PENILAIAN HASIL KERJA DAN PERILAKU OLEH ATASAN YANG LEBIH MEMAHAMI KINERJA PEJABAT FUNGSIONAL.”
S: Bagaimana perubahan mekanisme penilaian kinerja memengaruhi karier individu pejabat fungsional?
B: Mekanisme penilaian kinerja pejabat fungsional untuk mendapatkan poin kredit menjadi lebih cepat. Ini dikarenakan penilaian dilakukan oleh atasan langsung sebagai pejabat penilai kinerja, bukan oleh instansi pembina yang memperpanjang rantai birokrasi.
Penilaian kinerja pejabat fungsional oleh atasan menjadi penentu kenaikan pangkat dan jabatan, tanpa tergantung pada tim penilai kredit. Akibatnya, pengajuan poin kredit
menggunakan sistem DUPAK sebelumnya, mulai dari Januari 2023, tidak lagi diperlukan.
Penilaian kinerja jabatan fungsional sekarang bergantung pada penilaian hasil kerja dan perilaku oleh atasan yang lebih memahami kinerja pejabat fungsional, dibandingkan dengan tim penilai angka kredit di instansi pembina pejabat fungsional.
S: Apa rekomendasi Bapak bagi pejabat fungsional untuk melakukan penilaian kinerja sesuai Peraturan Menteri PANRB Nomor 1 Tahun 2023?
Tahun 2023 tidak lagi menggunakan butir aktivitas dalam pembuatan SKP. Penyusunan SKP didasarkan pada harapan pimpinan. Oleh karena itu, penilaian kinerja pejabat fungsional sangat bergantung pada penilaian dari pimpinan terkait pencapaian target kinerja dan pemenuhan harapan pimpinan.
Berdasarkan hal ini, rekomendasi yang dapat disampaikan yaitu pimpinan harus menjaga objektivitas dalam menilai kinerja dengan mempertimbangkan tingkat pencapaian target dan umpan balik dari atasan. Penilaian ini dapat
PEJABAT FUNGSIONAL
JUGA HARUS
MEMPRIORITASKAN
PEMENUHAN
HARAPAN PIMPINAN DARIPADA
FOKUS PADA
BUTIR AKTIVITAS SPESIFIK.”
dilakukan oleh rekan sejawat, bawahan, atau pihak lain yang terkait dengan kinerja pegawai.
Pejabat fungsional juga harus memprioritaskan pemenuhan harapan pimpinan daripada fokus pada butir aktivitas spesifik. Harapan pimpinan harus selaras dengan perencanaan strategis, perjanjian kinerja, rencana kerja tahunan, program prioritas nasional/institusional, dan kompetensi pejabat fungsional.
Terakhir, pimpinan harus memberikan umpan balik terhadap hasil kerja dan perilaku pejabat fungsional sebagai masukan atau saran perbaikan.
REGULASI
Drs. Ani Sofian, M.M., Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Kalimantan Barat, menekankan bahwa tak ada yang berubah pada kinerja para pegawai fungsional di wilayahnya. Padahal pasca-penyetaraan jabatan, banyak regulasi yang berubah, termasuk perubahan regulasi penilaian kinerja. Apa rahasianya? Berikut wawancara lengkapnya.
SIMPUL (SP): Bagaimana perbedaan kinerja para pegawai ketika memangku jabatan struktural, kemudian disetarakan menjadi jabatan fungsional?
Ani Sofian (AS): Kebijakan penyetaraan jabatan administratif menjadi jabatan fungsional telah diterapkan oleh Pemerintah
Provinsi Kalimantan Barat sejak 31 Desember 2021. Hingga saat ini, kami melihat kinerja pejabat fungsional hasil penyetaraan tersebut tidak mengalami penurunan. Ini terlihat dari pencapaian kinerja perangkat daerah di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat yang sesuai, bahkan melebihi target yang ditetapkan.
SP: Sebagai pimpinan, apakah ada perubahan dalam memberikan
disposisi atau arahan kepada bawahan dengan sistem fungsional saat ini?
AS: Dalam pendistribusian pekerjaan di BKD Provinsi Kalimantan Barat,
HINGGA SAAT INI, KAMI MELIHAT KINERJA PEJABAT FUNGSIONAL HASIL PENYETARAAN TERSEBUT TIDAK MENGALAMI PENURUNAN.”
kami masih menggunakan pola kerja yang sama seperti sebelum dilakukan penyetaraan. Disposisi dari Kepala Bidang masih disampaikan kepada sub-koordinator atau pejabat fungsional yang setara. Selanjutnya, sub-koordinator tetap dapat memberikan disposisi pekerjaan kepada staf di bawahnya.
SP: Apakah Anda pernah menerima masukan dari staf hasil penyetaraan terkait beban tugas sebagai koordinator dan pejabat fungsional? Bagaimana tindakan yang Anda ambil ketika terjadi tumpang tindih pekerjaan di jajaran bawahan?
AS: Ketika sebuah bidang merasa beban kerja semakin bertambah, saya akan menginstruksikan bidang tersebut untuk menambah staf/
pelaksana dengan merekrut ASN yang pindah dari dinas atau daerah lain ke Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.
SP: Dalam pengelolaan pegawai fungsional selama ini, apa kendala yang dihadapi oleh BKD?
AS: Tentu saja ada beberapa kendala yang dihadapi. Pertama, kebijakan pembinaan jabatan fungsional yang terus berubah, sehingga menyebabkan pemahaman para pejabat fungsional terhadap aturan baru menjadi beragam.
Instansi yang membina jabatan fungsional juga kurang membuka ruang diskusi/konsultasi bagi instansi pengguna jabatan fungsional. Ini
menyulitkan instansi pengguna dalam mencari informasi terkait pengelolaan jabatan fungsional.
Lalu, proses bisnis dari usulan hingga penetapan formasi jabatan fungsional yang panjang dan rumit. Beberapa instansi pembina jabatan fungsional juga kurang kooperatif dalam memberikan rekomendasi formasi.
Terakhir, adanya inkonsistensi antara Kementerian PANRB dan BKN dalam penerapan syarat uji kompetensi untuk kenaikan jabatan fungsional bagi guru dan pengawas sekolah.
SP: Bagaimana tanggapan Anda terhadap Peraturan Menteri PANRB No. 1 Tahun 2023 sebagai revisi dari
Peraturan Menteri PANRB No. 13 Tahun 2019?
AS: Secara umum, pengelolaan jabatan fungsional masih mengikuti arahan yang sama dengan
PermenPANRB No. 13 Tahun 2019, tetapi ada beberapa kemudahan. Misalnya, pejabat fungsional tidak perlu lagi menyusun DUPAK (Daftar Usul Penetapan Angka Kredit-red).
Penilaian angka kredit tidak lagi berdasarkan butir kegiatan, melainkan hasil kerja dalam SKP (Sasaran Kinerja Pegawai-red) yang akan diubah menjadi angka kredit. Penilaian angka kredit juga tidak lagi dilakukan oleh Tim Penilai Angka Kredit, tetapi oleh atasan langsung.
KAMI SECARA RUTIN MEMBERIKAN BIMBINGAN
TUGAS DAN FUNGSI JABATAN MEREKA.”
SP: Apa langkah pembinaan yang Anda lakukan agar pegawai fungsional dapat memenuhi ekspektasi pimpinan dan para pimpinan dapat memberikan penilaian yang akurat?
AS: Kami secara rutin memberikan bimbingan dan arahan kepada pejabat fungsional terkait tugas dan fungsi jabatan mereka. Kami menjelaskan bahwa pejabat fungsional sebagai ASN harus memberikan kontribusi terhadap kinerja organisasi, tidak hanya fokus pada pencapaian target kinerja individu.
SP: Berapa jumlah perencana di Provinsi Kalimantan Barat? Bagaimana dinamika yang dihadapi dalam melaksanakan fungsi pengelolaan kepegawaian, terutama perencana?
AS: Saat ini terdapat 39 pejabat fungsional perencana di Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Kami tidak mengalami kendala berarti dalam pengelolaan jabatan fungsional perencana, karena Bappenas sebagai instansi pembina secara rutin memberikan bimbingan dan sosialisasi terkait aturan baru dalam pengelolaan jabatan fungsional perencana.
PERLUNYA DUKUNGAN
UNTUK MENINGKATKAN
KINERJA PEGAWAI FUNGSIONAL
Dinamika penyetaraan jabatan fungsional setelah keluarnya PermenPANRB No. 1 Tahun 2023 juga dialami Pemerintah Kota Cirebon. Bagaimana pelaksanaan, tantangan, dan strateginya? Berikut petikan wawancara
SIMPUL dengan Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPKSDM) Kota Cirebon, Sri Lakhsmi Stanyawati.
SIMPUL (SP): Bagaimana proses implementasi penyetaraan jabatan fungsional di Pemerintah Kota Cirebon setelah keluarnya
PermenPANRB No. 1 Tahun 2023?
Apakah ada perbedaan kinerja antara pegawai yang tadinya struktural dan kemudian menjadi fungsional?
Sri Lakhsmi Stanyawati (SL): Di Pemerintah Kota Cirebon, proses penyetaraan jabatan fungsional dimulai setelah dikeluarkannya
PermenPANRB No. 1 Tahun 2023. Proses ini berjalan secara bertahap, mengubah jabatan struktural menjadi fungsional. Tentu, terdapat beberapa perbedaan dalam kinerja pegawai setelah penyetaraan. Secara umum, pegawai yang menjadi fungsional lebih aktif dan terlibat dalam tugas-
tugas yang berkaitan dengan perencanaan. Namun, masih terdapat beberapa pegawai yang memiliki minat untuk tetap berada dalam jabatan struktural.
SP: Bagaimana interaksi dan dinamika antara pegawai yang sebelumnya struktural dan sekarang menjadi fungsional? Apakah kinerja mereka mengalami peningkatan?
SL: Interaksi antara pegawai yang tadinya struktural dan kini menjadi fungsional berlangsung dengan dinamika yang beragam. Ada beberapa pegawai yang semakin aktif dan terlibat dalam tugastugas perencanaan setelah menjadi fungsional. Namun, ada juga yang masih memiliki minat untuk tetap berada dalam jabatan struktural.
Secara umum, kinerja pegawai yang menjadi fungsional mengalami peningkatan, terutama dalam hal berkontribusi pada perencanaan dan pengembangan.
SP: Bagaimana Pemerintah Kota Cirebon menyikapi dampak perubahan ini terhadap kinerja pegawai?
SL: Pemerintah Kota Cirebon telah melakukan langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja pegawai fungsional. Salah satunya adalah melalui pembinaan yang difasilitasi oleh instansi pembina jabatan fungsional. Selain itu, kami juga melakukan pengembangan kompetensi pegawai fungsional melalui program pelatihan dan nonpelatihan.
SRI LAKHSMI STANYAWATI KEPALA BKPSDM KOTA CIREBONSP: Apa kendala-kendala yang dihadapi oleh pegawai dalam memahami tata cara baru setelah penyetaraan jabatan fungsional?
SL: Beberapa kendala yang dihadapi pegawai antara lain, perubahan dalam sistem kerja yang harus diikuti oleh penyetaraan jabatan. Misalnya, disposisi pekerjaan yang sebelumnya dari pejabat administrasi ke sub-koordinator, sekarang harus diadaptasi ke dalam sistem kerja fungsional. Selain itu, ada juga kendala dalam memahami mekanisme penilaian angka kredit yang berbeda dari sistem sebelumnya.
SP: Bagaimana strategi BKPSDM Kota Cirebon dalam membina pegawai fungsional dan menyosialisasikan perubahan ini?
SL: Strategi BKPSDM Kota Cirebon dalam membina pegawai fungsional, antara lain melalui pembinaan bersama instansi pembina jabatan
fungsional. Kami menyelenggarakan program pelatihan dan nonpelatihan untuk pengembangan kompetensi pegawai. Selain itu, kami juga melakukan sosialisasi secara berkelanjutan kepada pegawai mengenai perubahan jabatan fungsional dan dampaknya terhadap kinerja.
SP: Bagaimana tanggapan Ibu terhadap PermenPANRB No. 1 Tahun 2023 yang membawa perubahan signifikan dalam tata cara penilaian angka kredit dan tunjangan?
SL: Secara umum, PermenPANRB No. 1 Tahun 2023 membawa perubahan positif terutama dalam upaya
KAMI JUGA MELAKUKAN SOSIALISASI SECARA BERKELANJUTAN KEPADA PEGAWAI MENGENAI PERUBAHAN JABATAN
FUNGSIONAL DAN DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA.”
PENGEMBANGAN PROGRAM
PELATIHAN DAN DUKUNGAN
DALAM PROSES
PENILAIAN ANGKA
KREDIT MENJADI
PENTING UNTUK MENDUKUNG
KINERJA PEGAWAI FUNGSIONAL.”
menyederhanakan proses penilaian angka kredit dan mengatur ulang tunjangan. Namun, masih diperlukan sosialisasi yang lebih intensif terkait perubahan ini kepada pegawai.
SP: Apa keluhan atau harapan Ibu terkait dukungan atau peran instansi pusat dalam implementasi dan pembinaan pegawai fungsional?
SL: Saya berharap instansi pusat, terutama yang menjadi pembinanya, lebih proaktif dalam memberikan dukungan dan sosialisasi terkait penyetaraan jabatan fungsional. Dalam hal ini, pengembangan program pelatihan dan dukungan dalam proses penilaian angka kredit menjadi penting untuk mendukung kinerja pegawai fungsional.
SP: Apakah terdapat kendala atau hambatan yang perlu diatasi dalam implementasi penyetaraan jabatan fungsional di Kota Cirebon?
SL: Salah satu kendala adalah adaptasi pegawai terhadap perubahan sistem kerja dan penilaian angka kredit yang berbeda. Selain itu, masih diperlukan pemahaman yang lebih baik mengenai peran dan kontribusi jabatan fungsional dalam struktur organisasi.
SP: Apa langkah-langkah yang direncanakan oleh BKPSDM Kota Cirebon untuk terus meningkatkan kinerja pegawai fungsional?
SL: Kami akan terus melakukan pembinaan dan pengembangan kompetensi pegawai fungsional melalui program pelatihan dan nonpelatihan. Selain itu, sosialisasi dan pendampingan terkait penilaian angka kredit, serta perubahan dalam
MASIH DIPERLUKAN PEMAHAMAN YANG LEBIH BAIK MENGENAI PERAN DAN KONTRIBUSI JABATAN FUNGSIONAL DALAM STRUKTUR ORGANISASI.”
sistem kerja akan terus dilakukan untuk memastikan kinerja pegawai fungsional semakin baik.
SP: Apa pesan atau saran Ibu untuk instansi pemerintah lain yang juga sedang mengalami proses penyetaraan jabatan fungsional?
SL: Saya menyarankan agar instansi pemerintah lain yang sedang
mengalami proses penyetaraan jabatan fungsional tetap fokus pada pembinaan dan pengembangan pegawai fungsional. Sosialisasi yang baik dan dukungan dari instansi pembina sangat penting untuk mengatasi perubahan-perubahan dan kendala yang mungkin muncul dalam implementasi penyetaraan.
DAMPAK DAN TANTANGAN
PENILAIAN KINERJA BARU TERHADAP
KARIER PERENCANA
Karier fungsional perencana sepertinya sangat terdampak dengan
PermenPANRB No.1 Tahun 2023 ini. Bagaimana seorang Perencana
Ahli Pertama memandang hal ini? Apa saja dampak dan tantangannya? Berikut wawancara lengkap SIMPUL dengan Alfian Rosiadi, Perencana Ahli Pertama Bappeda Kabupaten Tulungagung.
SIMPUL (S): Bagaimana tanggapan
Anda mengenai dikeluarkannya
PermenPANRB No.1 Tahun 2023?
Alfian Rosiadi (A): PermenPANRB ini memang cukup revolusioner, karena mencabut 293 PermenPANRB tentang jabatan fungsional. Dengan kata lain, peraturan ini memberikan sebuah ekosistem baru bagi jabatan dan pejabat fungsional yang ada di Indonesia. Dalam konteks perencana, ini menjadi sebuah tantangan tersendiri. Ini dikarenakan Jabatan
Fungsional Perencanai baru saja
menerapkan peraturan baru melalui
PermenPANRB No. 4 Tahun 2020 yang menggantikan KepmenPAN No. 16 tahun 2001. Bahkan petunjuk teknisnya pun baru turun di tahun
lalu melalui PermenPPN No. 1 Tahun 2022. Dengan munculnya aturan ini,
para perencana, termasuk saya, harus kembali belajar dan menyesuaikan diri dengan aturan yang ada.
S: Apa dampak perubahan mekanisme penilaian kinerja terhadap karier fungsional perencana?
A: Selama 21 tahun, kinerja perencana diukur melalui pelaksanaan butirbutir kegiatan yang kemudian hasilnya diperoleh dalam bentuk capaian angka kredit. Berubahnya mekanisme penilaian kinerja, bisa saja menimbulkan kebingungan. Tidak hanya bagi perencana, tetapi juga bagi atasan langsung selaku pejabat penilai. Penggunaan butir kegiatan, walaupun mungkin kurang efisien dan kurang fleksibel, memberikan sebuah standar pengukuran yang cenderung
lebih objektif dan terstandarisasi. Hal ini sekarang tidak ada lagi.
Sebelumnya capaian kerja seorang perencana diukur dengan skala numerik, 0―50 untuk perencana ahli pertama, 0―100 untuk ahli muda, dan seterusnya. Dengan model baru, di mana capaian angka kredit akan diperoleh melalui konversi dari predikat kinerja SKP, dapat menyebabkan tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara capaian
angka kredit perencana satu dengan yang lainnya.
Lalu masih belum jelas apresiasi yang didapat antara perencana yang memiliki beban dan target kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lebih rendah. Hal itu dapat menimbulkan konflik di internal organisasi. Di sisi lain, mekanisme baru ini membuat proses penilaian angka kredit dapat dilakukan lebih cepat
karena didapat dari konversi predikat
kinerja SKP yang dinilai oleh atasan
langsung, bukan oleh tim penilai yang terkadang berasal dari instansi lain
sehingga memakan waktu yang lama.
Semoga pada masa depan tidak ada
MASIH BELUM JELAS
APRESIASI YANG DIDAPAT
ANTARA PERENCANA YANG
MEMILIKI BEBAN DAN TARGET
KERJA YANG LEBIH TINGGI
DIBANDINGKAN DENGAN YANG
LEBIH RENDAH.”
lagi perencana yang mengalami keterlambatan kenaikan pangkat dan jabatan dengan mekanisme baru ini.
S: Bagaimana lingkungan kerja merespons perubahan ini?
A: Sebagaimana sebuah kebijakan baru, selalu ada pro-kontra. Sebagian yang setuju dengan PermenPANRB No. 1 tahun 2023, beranggapan sistem penilaian menggunakan butir kegiatan yang dinilai oleh tim penilai memakan waktu dan tenaga yang besar, sehingga perlu efisiensi. Sementara sebagian yang tidak setuju, beranggapan bahwa sistem butir kegiatan memberikan gambaran yang lebih objektif terhadap kinerja perencana.
PENILAIAN
KINERJA JABATAN
FUNGSIONAL SEKARANG
BERGANTUNG
PADA PENILAIAN
HASIL KERJA DAN
PERILAKU OLEH
ATASAN YANG
LEBIH MEMAHAMI
KINERJA PEJABAT
FUNGSIONAL.”
S: Apa strategi Anda sebagai perencana dalam menghadapi perubahan penilaian kinerja?
A: Saya tidak memiliki strategi khusus. Saya meyakini bahwa apapun sistem penilaian kinerja yang digunakan, seorang perencana harus mampu bekerja secara profesional. Sehingga dinilai dari sudut pandang apapun, dan dengan mekanisme apapun, akan tetap menjadi perencana yang profesional. Namun, saya memberi target untuk diri saya sendiri. Saya akan tetap menyediakan porsi untuk melaksanakan kegiatan pengembangan profesi, meskipun kegiatan tersebut tidak lagi diberikan reward angka kredit. Mengapa? Karena saya yakin aktivitas
pengembangan profesi dapat membantu seorang perencana untuk menjadi perencana yang profesional.
S: Apa tantangan yang mungkin dihadapi dalam penilaian kinerja sebagai perencana?
A: Kita sepakat bahwa perencana adalah PNS yang memiliki keahlian dalam kegiatan perencanaan pembangunan, tetapi bagaimana mengukurnya? Apakah ekspektasi pimpinan sudah mencerminkan tugas jabatan yang sesuai dengan keahlian sebagai perencana? Bagaimana mengetahui sesuai atau tidaknya?
Bagaimana jika kemudian seorang perencana diberikan tugas di luar bidang keahliannya dan hal tersebut
SOLUSINYA, PERENCANA
PERLU MELAKUKAN DIALOG
KINERJA ATAU KOMUNIKASI
YANG INTENS DAN EFEKTIF
DENGAN PIMPINAN UNIT KERJA
ATAU ATASAN LANGSUNG
PERENCANA.”
mendominasi waktu kerja efektif perencana yang bersangkutan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah tantangan bagi saya maupun perencana yang lain. Hilangnya butir kegiatan, memang memberikan fleksibilitas. Namun, di lain sisi, mengaburkan definisi keahlian seorang pejabat fungsional perencana. Solusinya, perencana perlu melakukan dialog kinerja atau komunikasi yang intens dan efektif dengan pimpinan unit kerja atau atasan langsung perencana. Sehingga perencana dan atasan langsung dapat memiliki pemahaman yang sama terhadap peran perencana dalam mencapai tujuan organisasi.
S: Bagaimana harapan Anda terhadap mekanisme penilaian kinerja perencana pada masa depan?
A: Saya sebelumnya berharap ada penyederhanaan butir kegiatan. Di mana butir kegiatan langsung menunjuk pada output-output pekerjaan tanpa perlu ditulis ulang atau disajikan dalam bentuk
yang berbeda. Kemudian adanya fleksibilitas kegiatan, di mana setiap butir kegiatan dapat dilaksanakan oleh perencana pada semua jenjang. Saya melihat model ini ada pada jabatan fungsional analis kebijakan dan dosen. Mungkin juga ada di jabatan fungsional lain, tetapi belum saya temukan. PermenPANRB No. 1 Tahun 2023 memang berbeda dari harapan saya. Meskipun demikian, PermenPANRB ini harus tetap dilaksanakan tanpa kecuali.
Tanpa bermaksud meragukan hasil penilaian melalui konversi predikat kinerja SKP, saya berharap kinerja seorang perencana tetap dapat diawasi, dievaluasi dan dikendalikan oleh Pusbindiklatren selaku instansi pembina agar kualitas perencana dapat terjaga. Mekanismenya dapat dilakukan melalui persyaratan uji kompetensi, di mana terdapat syaratsyarat output-based, seperti hasil kerja, hasil pengembangan profesi, dan tentunya publikasi policy paper yang sebelumnya menjadi syarat yang harus dipenuhi sebelum seorang perencana dapat mengikuti uji kompetensi.
PUSBINDIKLATREN
KEMENTERIAN PPN/BAPPENAS
PUSAT PEMBINAAN, PENDIDIKAN, DAN PELATIHAN PERENCANA
KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
PROGRAM BEASISWA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PERENCANAAN
• PENDIDIKAN S-2 (DALAM NEGERI, LINKAGE, DAN LUAR NEGERI)
• PENDIDIKAN S-3 (DALAM NEGERI)
• PENDIDIKAN S-2 TEMATIK DAN S-2 AFIRMASI (DALAM NEGERI)
• PELATIHAN TEKNIS PERENCANAAN
• PELATIHAN SPESIFIK
• PELATIHAN FUNGSIONAL PERENCANA
• PELATIHAN LUAR NEGERI
• PELATIHAN PENINGKATAN KEMAMPUAN BAHASA
• PELATIHAN KHUSUS
• ON THE JOB TRAINING (OJT)
PROGRAM PEMBINAAN JABATAN FUNGSIONAL PERENCANA
WORKSHOP PENILAIAN ANGKA KREDIT (PAK) •
WORKSHOP ADMINISTRASI PENILAIAN • ANGKA KREDIT (APAK)
WORKSHOP TIM PENILAI ANGKA KREDIT (TPAK) •
UJI KOMPETENSI JABATAN FUNGSIONAL PERENCANA •
SEMINAR REGIONAL JABATAN FUNGSIONAL PERENCANA •
BIMBINGAN TEKNIS, FASILITASI, KONSULTASI, • DAN SOSIALISASI JABATAN FUNGSIONAL PERENCANA
KLINIK ASN PERENCANA •
Info Pelayanan & Pengaduan: taplink.cc/pelayananpusbin
pusbindiklatren.bappenas.go.id
PENANDATANGANAN NOTA KESEPAKATAN DAN RENCANA KERJA ANTARA KEMENTERIAN PPN/BAPPENAS DAN
Kementerian PPN/ Bappenas memiliki peran strategis sebagai lembaga yang melaksanakan perencanaan dan alokasi, pengendalian, dan pemantauan pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan salah satunya ditentukan oleh kapasitas institusi perencana dan kualitas SDM perencana di tingkat pusat dan daerah.
Selaras dengan peran Kementerian PPN/Bappenas dalam menyusun perencanaan pembangunan, Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren), memiliki tugas melaksanakan fasilitasi dan pembinaan Jabatan Fungsional Perencana serta penyelenggara program pendidikan dan pelatihan (Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 3 Tahun 2022). Hal itu, untuk meningkatkan kapasitas institusi perencanaan dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) perencana di seluruh Indonesia, serta sebagai pemampu (enabler) dalam perencanaan pembangunan.
Sejalan dengan kebijakan pengurangan pinjaman luar negeri, pembiayaan pinjaman untuk program pendidikan dan pelatihan (diklat) mulai dikurangi, bahkan untuk program pendidikan tidak diizinkan menggunakan pinjaman luar negeri oleh Kementerian Keuangan. Namun, seiring dengan kebutuhan SDM Perencana dan kebijakan nasional tentang penyetaraan jabatan struktural ke jabatan fungsional, maka terdapat kebutuhan program pengembangan SDM perencana seperti pendidikan, pelatihan, fasilitasi, dan bimbingan teknis perencanaan yang cukup besar.
Mengingat terbatasnya pendanaan, Pusbindiklatren menginisiasi kerja sama cost sharing pada program pendidikan dan pelatihan serta program On the Job Training/Magang agar peningkatan kapasitas SDM
instansinya dapat dilakukan dan mendapatkan perhatian khusus.
Sejak tahun 2022, Pusbindiklatren telah melakukan penjajakan
kerja sama pembiayaan dengan berbagai kementerian/lembaga/ pemerintah daerah (K/L/D) dan lembaga lainnya. Bappenas telah
melakukan penandatanganan Nota
Kesepahaman (NK) dengan beberapa pemerintah kota, salah satunya dengan Pemerintah Kota Palembang.
Kegiatan Penandatanganan Nota
Kesepakatan (NK) dan Rencana
Kerja (RK) antara Kementerian PPN/ Bappenas dan Pemerintah Kota
Palembang dilaksanakan bersamaan dengan Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang) Rencana
Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tingkat Kota Palembang di ballroom Hotel Aryaduta Palembang pada Senin 20 Maret 2023. Acara tersebut secara resmi dibuka oleh Wakil Wali Kota Palembang, Fitrianti Agustinda.
Dalam arahannya, Wakil Wali Kota Palembang, Fitrianti, mengimbau organisasi perangkat daerah untuk lebih optimal dalam melaksanakan tugas masing-masing. “Marilah kita bekerja bersama-sama untuk mencapai optimalisasi, sehingga pembangunan ini benar-benar dirasakan di pelosok dan juga percepatan pembangunan,” tambahnya. Dalam pembukaan hadir pula Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Penelitian dan
Pengembangan (Bappeda-Litbang)
Kota Palembang, Harrey Hadi. “Lima program prioritas pembangunan Kota
Palembang, tentunya memerlukan sinergi baik dengan pemprov maupun pusat mulai dari tahap perencanaan hingga pelaksanaannya,” tutur Harrey dalam sambutannya.
MARILAH KITA BEKERJA BERSAMA-SAMA UNTUK MENCAPAI OPTIMALISASI.”
Agenda penandatanganan NK
oleh Sekretaris Kementerian PPN/ Sekretaris Utama Bappenas, Taufik
Hanafi, dan penandatanganan
RK oleh Kepala Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana, Wignyo Adiyoso, diawali sambutan
oleh Sekretaris Kementerian PPN/ Sekretaris Utama Bappenas.
“Kementerian PPN/Bappenas akan terus mendorong inisiatif kerja sama dari berbagai instansi K/L/D
dengan berbagai macam program dan kegiatan yang disepakati. Kami menyambut baik dan mengapresiasi upaya pemerintah Kota Palembang yang telah mengajukan kerja sama
dengan Kementerian PPN/Bappenas dalam rangka pengembangan kapasitas SDM di Pemerintah Kota
Palembang,” ujar Taufik Hanafi dalam sambutannya.
Kerja sama antara Kementerian PPN/ Bappenas dan Pemerintah Kota
Palembang berlangsung selama lima tahun (2023–2027), meliputi pelatihan teknis dan spesifik perencanaan, sosialisasi program dan kegiatan
KERJA SAMA ANTARA
KEMENTERIAN
PPN/BAPPENAS
DAN PEMERINTAH
KOTA PALEMBANG
BERLANGSUNG
SELAMA LIMA TAHUN (2023–2027).”
Pusbindiklatren, sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan JFP, serta bimbingan teknis. Dengan kerja sama ini, diharapkan akan mengoptimalkan peningkatan kompetensi dari SDM khususnya Perencana di lingkungan
Pemerintah Kota Palembang. Di sisi lain, penandatanganan NK ini akan membuka peluang kerja sama untuk program/kegiatan lain pada masa mendatang.
[Penulis: Annisa Rosmanasari/Staf Pokja Renbang Pusbindiklatren]
PELATIHAN MANDIRI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
ANGKATAN 1 - KEMENTERIAN ESDM
Untuk meningkatkan pemahaman tentang sistem perencanaan pembangunan dan penganggaran nasional dan daerah, Pusbindiklantren Kementerian PPN/ Bappenas bekerja sama dengan Kementerian ESDM mengadakan pelatihan mandiri. Seperti apa pelatihannya?
Pada 20―24 Februari 2023, Pusbindiklatren Kementerian PPN/ Bappenas bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyelenggarakan Pelatihan Mandiri Perencanaan dan Penganggaran Angkatan I. Pelatihan ini diadakan secara tatap muka di Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur, Jln. Cisitu Lama No. 37, Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat. Kegiatan ini diikuti oleh 21 peserta dari berbagai unit kerja di Kementerian ESDM.
MATERI PELATIHAN
Materi yang disampaikan dalam pelatihan ini disajikan oleh narasumber dari Pusbindiklatren Kementerian PPN/Bappenas yang memiliki kompetensi di bidangnya.
Berikut ini adalah nama-nama narasumber beserta materi yang disampaikan.
PESERTA PELATIHAN DIWAJIBKAN
MENGISI KUESIONER
PELATIHAN MELALUI APLIKASI SIPENA (SISTEM INFORMASI DAN PEMBELAJARAN
ELEKTRONIK PERENCANA).”
Narasumber telah menyampaikan materi pelatihan perencanaan dan penganggaran yang sudah mencakup materi pokok sebagai berikut: teori dan konsep perencanaan dan pembangunan.
penerapan konsep dan regulasi perencanaan dan penganggaran;
pendekatan penyusunan perencanaan dan penganggaran;
praktik penyusunan perencanaan dan penganggaran; serta
kajian praktik penyusunan perencanaan dan penganggaran.
Salah satu narasumber, Setia Budi dari Pusbindiklatren Kementerian
PPN/Bappenas, membahas Rencana Strategis (Renstra) pada Kementerian
ESDM 2020—2024, meliputi visi, misi, tujuan, dan sasaran.
Peserta pelatihan diwajibkan mengisi kuesioner pelatihan melalui aplikasi Sipena (Sistem Informasi dan Pembelajaran Elektronik Perencana). Sebagai aplikasi learning management system (LMS), Sipena (Sistem Informasi dan Pembelajaran Elektronik Perencana). Sebagai aplikasi learning management system (LMS), Sipena juga menyediakan bahan ajar dari setiap narasumber.
Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman peserta tentang sistem perencanaan pembangunan dan penganggaran nasional dan daerah, proses penyusunan perencanaan dan penganggaran. Di samping itu, pelatihan ini juga bertujuan untuk meningkatkan kemampuan peserta dalam menyusun dan evaluasi dokumen perencanaan penganggaran, serta kemampuan untuk mengintegrasikan perencanaan pusat dan daerah.
[Penulis: Zunarko/Pokja Diklat Pusbindiklatren]
PELATIHAN INI BERTUJUAN UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN PESERTA
TENTANG SISTEM PERENCANAAN
PEMBANGUNAN DAN PENGANGGARAN
NASIONAL DAN DAERAH, PROSES
PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN
PENGANGGARAN.”
VERIFIKASI BERKAS
PENILAIAN ANGKA KREDIT JABATAN FUNGSIONAL PERENCANA
Pusbindiklatren
Kementerian
PPN/Bappenas
melaksanakan verifikasi
berkas penilaian angka kredit bagi para Perencana Ahli Utama di seluruh instansi pemerintah pusat dan daerah, serta Perencana
Ahli Pertama, Ahli Muda, dan
Ahli Madya bagi yang belum
memiliki Tim Penilai Angka Kredit.
Verifikasi berkas penilaian angka kredit Jabatan Fungsional Perencana merupakan salah satu tugas instansi pembina Jabatan Fungsional Perencana sebelum diteruskan
kepada Tim Penilai Angka Kredit. Instansi pembina Jabatan Fungsional Perencana adalah Kementerian
PPN/Bappenas sesuai dengan
Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Nomor 4 Tahun 2020.
Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren)
adalah unit kerja di Kementarian PPN/ Bappenas yang menjalankan peran sebagai instansi pembina sesuai
dengan Peraturan Menteri PPN/ Kepala Bappenas Nomor 3 Tahun 2022.
Pusbindiklatren Kementerian PPN/ Bappenas bertindak sebagai
Sekretariat Tim Penilai Pusat yang
memeliki beberapa fungsi berikut: mengadministrasikan setiap usulan penilaian angka kredit (AK) perencana;
meneliti kelengkapan dan kebenaran berkas yang diperlukan dari setiap usulan. penilaian ak perencana;
membuat jadwal rapat tim penilai;
menyelenggarakan rapat tim penilai;
menyiapkan konsep berita acara hasil penilaian tim penilai;
1. 3. 2. 4.membuat konsep surat keputusan penetapan angka kredit (PAK);
melaksanakan penatausahaan dan pengolahan data perencana;
menyusun laporan semester mengenai pelaksanaan tugas tim penilai dan setelah ditandatangani oleh ketua tim penilai;
memantau perolehan angka kredit perencana selama periode tertentu untuk menentukan apakah seorang perencana telah memenuhi persyaratan angka kredit kumulatif untuk kenaikan pangkat/jabatan;
memberikan laporan kepada tim penilai mengenai:
perencana yang tidak memenuhi angka kredit kumulatif minimal yang
b.
dibutuhkan untuk kenaikan pangkat atau angka kredit kumulatif minimal yang ditetapkan;
kemungkinan pengangkatan kembali seorang perencana yang sebelumnya diberhentikan dari jabatannya karena berbagai alasan, seperti diberhentikan sementara sebagai PNS, cuti di luar tanggungan negara, tugas belajar lebih dari enam bulan, atau penugasan pada jabatan pimpinan tinggi, administrator, pengawas, dan pelaksana.
Proses verifikasi penilaian Angka Kredit yang dilakukan oleh Sekretariat Tim Penilai Pusat, mencakup kelengkapan dokumen pendukung, seperti Sasaran Kerja Pegawai (SKP), Lampiran SKP, uraian butir kegiatan yang dicatat dalam laporan-
laporan yang diajukan pada unsur perencanaan, serta bukti fisik yang terkait dengan unsur pengembangan profesi dan penunjang yang ada di Surat Pernyataan Melaksanakan Kegiatan (SPMK) Pengembangan profesi maupun penunjang. Setelah selesai diverifikasi, berkas penilaian dapat dikirimkan kepada tim penilai untuk dinilai, atau dikembalikan ke pengusul untuk perbaikan atau dilengkapi sesuai dengan catatan hasil verifikasi berkas dari Sekretariat Tim Penilai Angka Kredit Jabatan Fungsional Perencana.
Awalnya, pengumpulan penilaian Angka Kredit diberikan batas waktu hingga 10 Januari 2023. Namun, batas waktu ini diperpanjang hingga 10 April 2023, sebagai respons terhadap terbitnya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2023.
MULAI JULI 2023, PENILAIAN AK MENGGUNAKAN KONVERSI
PREDIKAT KINERJA BERDASARKAN
SASARAN KINERJA PEGAWAI (SKP).”
Penilaian Angka Kredit tidak lagi
menggunakan Daftar Usulan Penilaian Kinerja (DUPAK). Periode Penilaian
DUPAK dari Januari 2022 hingga
Desember 2022 untuk proses
penilaian angka kredit (AK) dengan DUPAK akan berlangsung hingga
Juni 2023. Setelah itu, mulai Juli 2023, penilaian AK menggunakan konversi predikat kinerja berdasarkan
Sasaran Kinerja Pegawai (SKP), sesuai dengan berlakunya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2023.
[Penulis: Solihin/Staf Pokja PP-JFP Pusbindiklatren]
FGD REVISI PERATURAN DIREKTUR
JENDERAL PERBENDAHARAAN NOMOR PER-23/PB/2014
TENTANG PELAKSANAAN PENCAIRAN DANA PINJAMAN
JICA IP-568 DAN PENJELASAN IMPLEMENTASI
PENERAPAN STANDAR BIAYA MASUKAN LAINNYA
Ada beberapa revisi peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan Nomor
Per-23/PB/2014 tentang pelaksanaan pencairan dana pinjaman JICA IP-568 dan penerapan standar biaya masukan lainnya. Apa saja revisinya?
Kementerian PPN/Bappenas memainkan peran strategis dalam melaksanakan perencanaan, alokasi, pengendalian, dan pemantauan pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan bergantung pada kapasitas institusi perencana dan kualitas sumber daya manusia (SDM) perencana di tingkat pusat dan daerah.
Sejalan dengan peran tersebut, Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Kementerian PPN/Bappenas bertanggung jawab atas fasilitasi
dan pembinaan Jabatan Fungsional Perencana serta penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan (Permen PPN/Kepala Bappenas No. 3 Tahun 2022) guna meningkatkan kapasitas institusi perencanaan dan kualitas SDM perencana di seluruh Indonesia dan sebagai pendukung perencanaan pembangunan.
Meskipun kebijakan pengurangan pinjaman luar negeri telah diterapkan, kebutuhan akan SDM perencana tetap tinggi. Kendati pembiayaan pinjaman untuk program diklat telah berkurang bahkan untuk program pendidikan,
tetapi kebutuhan pengembangan SDM perencana seperti pendidikan, pelatihan, fasilitasi, dan bimbingan teknis tetap signifikan. Oleh karena itu, Pusbindiklatren mendorong kerja sama cost sharing pada program pendidikan, pelatihan, serta program
On the Job Training/Magang untuk meningkatkan kapasitas SDM instansi dan memastikan perhatian yang optimal.
Dalam konteks ini, Pusbindiklatren berencana memperpanjang pelaksanaan program Professional
Human Resource Development (PHRD) IV yang akan berakhir pada 26 Juni 2026. Perpanjangan ini sesuai dengan Amendment of Loan Agreement yang sudah
ditandatangani oleh Japan
International Cooperation Agency (JICA) dan Kementerian Keuangan yang diwakili oleh Direktorat Pengelolaan Kas Negara.
Dana yang tersedia dalam Daftar
Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2023 adalah Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) untuk mendukung kegiatan Pusbindiklatren senilai Rp33.645.444.000,00 (tiga puluh tiga miliar enam ratus empat puluh lima juta empat ratus empat puluh empat ribu rupiah). Konfirmasi penggunaan DANA IP568 Tahun Anggaran 2022 senilai Rp8.654.981.098,00 (delapan miliar enam ratus lima puluh empat juta sembilan ratus delapan puluh satu ribu sembilan puluh delapan rupiah) akan mendukung pencairan dana pinjaman JICA IP 568 PHRD IV melalui DIPA pada tahun 2023.
Kementerian Keuangan telah
menetapkan Standar Biaya Masukan
(SBM) sebagai acuan dalam
pengelolaan honorarium, tunjangan, dan lainnya. SBM berfungsi sebagai batasan tertinggi dalam estimasi pembiayaan.
SBM terdiri dari Lampiran I sebagai
batasan tertinggi yang tidak boleh
dilampaui dan Lampiran II sebagai
batasan estimasi. Lampiran tersebut
diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 71/PMK.02/2013
mengenai Pedoman Standar Biaya, Standar Struktur Biaya, dan Indeksasi
dalam Penyusunan Rencana Kerja
dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga. Estimasi dalam SBM adalah
perkiraan yang bisa melebihi batas, asalkan mempertimbangkan harga pasar, proses pengadaan sesuai peraturan, alokasi anggaran, dan prinsip ekonomis. SBM mencakup
KEMENTERIAN
item satuan biaya seperti honorarium pengajar/narasumber dan lainnya.
Satuan Biaya Masukan Lainnya (SBML) memiliki karakteristik berbeda. SBML merujuk pada satuan biaya yang belum diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan atau belum mendapat persetujuan Menteri Keuangan. Di dalam SBML, Menteri/Pimpinan Lembaga biasanya menetapkan
satuan biaya selain honorarium karena honorarium bertambah pada penghasilan pejabat negara, pegawai negeri, dan non-pegawai negeri yang melaksanakan tugas rutin. Usulan SBML perlu persetujuan Kementerian Keuangan.
[Penulis: Daniel Poernomo/Staf Pokja OTAK Pusbindiklatren]
KEUANGAN TELAH MENETAPKAN STANDAR BIAYA MASUKAN (SBM) SEBAGAI ACUAN DALAM PENGELOLAAN HONORARIUM, TUNJANGAN, DAN LAINNYA.”
“
Awalnya saya merasa minder dan merasa tidak siap untuk berkompetisi memperebutkan beasiswa favorit di Pusbindiklatren. Namun, karena semangat pantang menyerah, saya pun mengecap manisnya berkuliah di negeri Belanda dengan beasiswa.”
Saya, Siti Maftukhah, atau lebih akrab disapa Tukah, merupakan salah satu alumni beasiswa S-2 Linkage (double degree) Pusbindiklatren Kementerian PPN/Bappenas tahun 2020. Saat itu, saya menempuh pendidikan di dua kampus sekaligus, yaitu Universitas Gadjah Mada/UGM (Magister Perencanaan Wilayah dan Kota/MPWK) di Indonesia dan Erasmus University (Master of Urban Management Development, dengan konsentrasi Urban Economic Development) di Belanda.
Saat mendaftar beasiswa untuk
melanjutkan kuliah S-2, sebetulnya saya merasa belum siap. Ini dikarenakan banyaknya persyaratan dan dokumen yang diurus jika ingin melanjutkan pendidikan ke luar negeri melalui beasiswa. Apalagi usia anak saya saat itu masih di bawah dua tahun.
Untungnya, Beasiswa Pusbindiklatren merupakan salah satu beasiswa yang tidak banyak meminta persyaratan khusus seperti beasiswa pada umumnya. Contohnya seperti tes kompetensi bahasa (Inggris). Padahal biasanya program beasiswa lain akan meminta hasil tes kemampuan bahasa Inggris dalam persyaratan pendaftaran. Namun, di beasiswa ini tidak diperlukan. Nilai bahasa diperoleh melalui tes serentak yang dilaksanakan secara langsung oleh panitia. Hal itu sangat membantu calon mahasiswa dari segi biaya.
Di sisi lain, pilihan jurusan yang ditawarkan juga sesuai dengan kebutuhan. Saya ingin mengambil program yang berhubungan dengan Urban Planning, Economy, dan Urban Development karena ilmu yang saya butuhkan ada di area tersebut. Dengan belajar di
program tersebut, saya berharap dapat membantu menyelesaikan tugas-tugas dari instansi saya (Kementerian PPN/Bappenas) yang sangat banyak berurusan dengan perencanaan anggaran, kebijakan, dan pembangunan dari segala aspek, baik dari sisi ruang, sosial, maupun ekonomi.
Pertimbangan lain, saya selalu ingin kembali ke Yogyakarta. Saya kuliah S-1 di UGM. Yogyakarta membuat saya berkembang secara positif. Tidak hanya dalam bentuk ilmu, tetapi juga sisi sosial. Namun, saya juga butuh paparan ilmu baru dan lingkungan baru untuk melatih kepekaan akan fenomena sosial dengan melihat dari sudut pandang dari negara lain. Oleh karena itu, program double degree UGM-Erasmus University yang saya ambil ini sangat sesuai dengan kebutuhan saya.
SELEKSI BEASISWA
Ada tiga tahap proses seleksi beasiswa Pusbindiklatren yang harus dilalui, yaitu (1) administrasi; (2) Tes Potensi Akademik (TPA); dan (3) Test of English for Foreign Language (TOEFL). Pada seleksi administrasi, para pendaftar diminta untuk mengisi formulir yang telah disediakan. Kami juga harus melampirkan data pendukung, seperti surat rekomendasi dari kantor tempat bekerja, salinan ijazah dan transkrip nilai, serta salinan SK kepangkatan.
Di formulir pendaftaran, peserta diminta untuk menguraikan lingkup tugas dan pekerjaan yang saat ini diampu. Pendaftar juga diminta untuk menjelaskan rencana studi yang ingin ditempuh dan relevansinya dengan pekerjaan sekarang.
Jika lolos seleksi administrasi, peserta akan melanjutkan ke proses berikutnya, yaitu seleksi TPA dan TOEFL yang akan diselenggarakan oleh panitia.
Prosesnya cukup singkat dan tidak berbelit-belit, sehingga memudahkan para ASN yang mendaftarkan diri. Karena status ASN yang sedang
bekerja, tentu akan merepotkan jika persyaratan beasiswa cukup banyak. Apalagi target awardee dari program beasiswa ini adalah seluruh ASN perencana di seluruh wilayah Indonesia.
Bisa dibayangkan jika ASN bertugas di daerah remote, maka harus bersusah payah ke kota besar untuk melakukan tes bahasa Inggris di awal pendaftaran sebagai syarat administrasi. Itu pasti sangat
merepotkan. Kami merasa sangat beruntung karena terbantu banyak dalam proses seleksinya.
Meskipun demikian, kami juga mengalami kesulitan selama proses seleksi. Karena beasiswa ini begitu diminati, saingan saya tentunya cukup banyak. Untuk itu, saya melakukan persiapan intensif sebelum hari tes tiba. Akhirnya saya lulus tes dan mulai berkuliah. Pada awal tahun pertama kuliah di UGM, saya pun
bisa mengatakan, “Yogyakarta saya kembali.”
HOMESICK
Tahun kedua menjadi masa yang paling berkesan, karena saya kuliah perdana di Belanda, tepatnya di Erasmus University, Rotterdam. Merantau ke negeri asing untuk menimba ilmu, tentu ada tantangan tersendiri.
Banyak hal membuat saya “homesick” dan minder. Banyak hal yang menjadikan perasaan tersebut muncul, seperti jauh dari keluarga, perbedaan makanan dan budaya, serta metode belajar yang jauh berbeda dengan di Indonesia.
Di satu sisi, saya beruntung karena tinggal di salah satu apartemen yang dijadikan sebagai pusat berkumpulnya umat muslim Indonesia yang menetap di Rotterdam. Setiap akhir pekan, selalu ada kegiatan keagamaan rutin yang diadakan oleh orang-orang Indonesia, tentunya dengan hidangan khas Indonesia. Hal ini membantu mengobati rasa rindu saya akan kampung halaman dan masakan Indonesia.
MANDIRI BELAJAR
Kehidupan mahasiswa saya di Belanda membentuk sikap mandiri dalam belajar. Pola pengajaran di Belanda dan Indonesia berbeda. Selain semua mata kuliah disampaikan dalam bahasa Inggris, metodenya juga berbeda.
Mahasiswa diajarkan untuk proaktif. Saat di kelas, mahasiswa belajar dalam kelompok, yang anggotanya diubah secara acak setiap sesinya. Pada sesi kelompok, ada sesi membahas kertas kerja yang menuntut mahasiswa untuk dapat menjelaskan isi dan pembelajaran apa yang dapat diambil dari kertas kerja yang dibaca.
Cara tersebut berlangsung terus menerus, sehingga membuat mahasiswa semakin terampil dalam memahami makna bahan bacaan. Oleh karena itu, kami harus membaca banyak literatur sebelum masuk kelas.
Semua kegiatan fokus kepada mahasiswa dan dilakukan oleh mahasiswa itu sendiri. Dosen hanya memberikan sedikit tanggapan yang
dibutuhkan, yang nantinya menuntun pada kesimpulan di akhir presentasi.
Tantangan awalnya adalah berani mengungkapkan pendapat. Saya butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan model pembelajaran seperti ini. Namun, setelah beberapa waktu, saya mulai terbiasa dengan metode belajar yang diterapkan.
DOSEN EGALITER
Senangnya, dosen-dosen sangat responsif terhadap kebutuhan mahasiswa. Jika membutuhkan konsultasi terkait materi yang kurang dipahami, mahasiswa dapat menghubungi dosen kapan saja.
Dosen juga bersikap kasual dan egaliter terhadap mahasiswa. Tidak ada batasan senior-junior, sehingga membuat diskusi menjadi terbuka dan produktif. Ruang diskusi menjadi tempat bertukar pikiran antara yang berpengalaman (dosen) dengan yang sedang belajar dan mengeksplorasi (mahasiswa). Akhirnya menghasilkan ide-ide baru dan unik yang sering kali dituangkan dalam bentuk tulisan.
Tantangan terbesar adalah mendapatkan nilai sesuai ekspektasi yang ditetapkan. Dosen tidak ragu memberikan penilaian kritis atau
bahkan tidak lulus kepada mahasiswa jika diperlukan. Meskipun demikian, ada sisi positif lain dari ujian mata
kuliah yang sebagian besar berbentuk tulisan. Dosen selalu memberikan umpan balik yang spesifik kepada setiap individu. Saya selalu menunggu umpan balik ini. Umpan balik dari dosen sangat membantu mengevaluasi hasil pekerjaan saya, sejauh mana pemahaman saya terhadap materi dan kekurangannya, dan hal apalagi yang perlu diperdalam sehingga meningkatkan kemampuan saya sebagai mahasiswa.
KELILING EROPA?
Saya tak menampik, godaan kuliah di Belanda adalah kesempatan untuk keliling Eropa dengan murah dan mudah. Namun, saya selalu mengingat tujuan saya ke Belanda. Saya perlu memprioritaskan pendidikan terlebih dahulu sebelum berlibur.
Saya merasa tidak punya waktu untuk berlibur di akhir pekan, misalnya melakukan perjalanan singkat ke negara yang dekat, seperti Belgia atau Prancis. Saya selalu menghabiskan akhir pekan untuk belajar. Karena setelah Minggu, Senin akan segera datang. Saat itulah, saya harus kembali fokus pada kegiatan perkuliahan yang padat. Begitu banyaknya literatur yang harus saya baca sehingga saya merasa tidak punya waktu lain selain membaca.
WISUDA DUA KALI
Karena program yang saya ambil adalah double degree, saya harus menyelesaikan program akademik sesuai dengan aturan di kedua kampus. Di kampus Belanda dan di Indonesia, saya harus membuat tesis. Jadi saya membuat dua tesis yang berbeda, tetapi dalam bidang yang hampir sama.
Saat mengerjakan tesis di Belanda, saya menghadapi kendala terbatasnya waktu konsultasi langsung dengan pembimbing. Saya hanya bisa berkonsultasi individu sebanyak dua kali. Sementara konsultasi lainnya dilakukan secara berkelompok, sebanyak empat orang. Pembimbing mengharapkan saya mencari sendiri metode yang digunakan untuk menyelesaikan topik tesis saya. Beberapa kali saya merasa bingung karena merasa terjebak.
Selain itu, kendala lainnya adalah keterbatasan waktu. Saya harus membatasi lingkup penelitian. Sebenarnya saya ingin melakukan lebih banyak. Namun, harus dibatasi cakupan penelitiannya karena waktu studi saya juga terbatas.
Setelah melewati berbagai tantangan, pada akhirnya saya mampu menyelesaikan studi tepat waktu. Saya mengikuti proses wisuda di Indonesia dan Belanda. Proses kelulusan di Belanda ternyata berbeda dengan di Indonesia. Upacara wisuda di kampus Belanda cenderung sederhana dan santai.
Saya tidak mempersiapkan pakaian khusus seperti yang umumnya dilakukan oleh wisudawan di kampus Indonesia. Saya hanya menyiapkan baju batik untuk acara wisuda. Meskipun demikian, prosesi tersebut tetap berkesan karena saya ditemani suami dan anak.
Ini adalah periode pembelajaran yang sangat berarti. Saya berlatar belakang S-1 Teknik Fisika, tetapi bekerja dalam bidang perencanaan. Tentu familiar dengan perbedaan konteks antara dunia kerja dan kuliah.
Dengan menempuh pendidikan S-2, dan didukung oleh pengalaman kerja, saya merasa semakin percaya diri dalam menggunakan ilmu yang saya miliki untuk menjalankan tugas-tugas di Kementerian PPN/ Bappenas. Saya sangat berterima kasih kepada Pusbindiklatren atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menempuh studi ini. Ilmu dan pengalaman yang saya peroleh akan saya manfaatkan sebaik-baiknya untuk kemajuan bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan memiliki visi besar, yaitu Visi Indonesia Emas 2045, yang bertujuan mewujudkan bangsa yang berdaulat, maju, adil, dan makmur dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Indonesia Maju didirikan di atas empat pilar, yaitu pembangunan manusia, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan ekonomi berkelanjutan, pemerataan pembangunan, serta pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintah.
Program Piloting Magang bagi ASN Provinsi Papua ini bertujuan untuk menciptakan ASN kelas dunia. Karena itu, beberapa lembaga pemerintahan bekerja sama dengan Provinsi Papua untuk mewujudkan pemerataan kemampuan ASN di tingkat nasional.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah Provinsi Papua bersamasama telah merumuskan langkah untuk masa depan Papua selama dua puluh tahun ke depan, yang tertuang dalam Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua Tahun 2022—2041 dan rencana aksi lima tahunan, yang merupakan mandat dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Dalam rangka percepatan pembangunan kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat diperlukan langkahlangkah terobosan, terpadu, tepat, fokus, dan sinergi antar kementerian/ lembaga dan pemerintah daerah untuk mewujudkan masyarakat Provinsi Papua dan Papua Barat yang maju, sejahtera, damai, dan bermartabat di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Strategi-strategi yang diambil meliputi (1) pendekatan tata kelola pemerintahan yang baik, terbuka, dan partisipatif dengan dukungan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) serta kebijakan berbasis data dan informasi; (2) pendampingan dan peningkatan terhadap aparatur pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat; (3) percepatan reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik dalam konteks penguatan otonomi khusus, pelayanan publik, demokrasi lokal yang inklusif, harmoni sosial, dan keamanan daerah yang stabil, serta penghormatan dan perlindungan nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia.
Presiden Republik Indonesia, Jokowi Widodo, menekankan perlunya semangat baru, paradigma baru, cara kerja baru, dan desain baru untuk
mencapai kemajuan kesejahteraan bagi rakyat Papua dan Papua Barat. Dalam konteks ini, program magang
bagi ASN Papua menjadi salah satu jalur pengembangan kompetensi yang mendapat perhatian dari
Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah Provinsi Papua, sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan
Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Selain itu, program ini juga diatur
dalam Surat Edaran Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2022 tentang Peran serta Instansi
Pemerintah dalam Pengembangan
Kompetensi bagi Pegawai Aparatur
Negara di Lingkungan Instansi Daerah
Papua melalui program magang.
Program Piloting Magang bagi
Aparatur Sipil Negara (ASN) Provinsi
Papua merupakan salah satu program
prioritas dalam upaya mewujudkan
ASN yang berkelas dunia serta
diharapkan dapat mewujudkan
pemerataan kemampuan Aparatur
Sipil Negara (ASN) di tingkat Nasional.
Melalui penyelenggaraan Piloting Magang bagi ASN Papua, diharapkan dapat terbentuk pemahaman, pengetahuan, dan pengalaman kerja peserta magang terkait bidang (1)
perencanaan pembangunan daerah; (2) pengelolaan keuangan daerah; (3) pengadaan barang dan jasa pemerintah; dan (4) akuntabilitas dan sistem pengendalian intern pemerintah (SPIP).
Manfaat dari pelaksanaan magang ini bagi setiap peserta adalah peningkatan pemahaman, pengetahuan, pengalaman kerja, serta penguasaan ide-ide baru dalam tata kelola pemerintahan terkait keempat bidang tersebut di atas. Sebanyak 41 peserta Piloting Magang bagi ASN Provinsi Papua berasal dari berbagai SKPD yang ada di Provinsi Papua yang mengikuti program ini.
Pelaksanaan Piloting Magang bagi ASN Provinsi Papua terjadi berkat kerja sama antara Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Pemerintah Provinsi Papua. Seluruh peserta magang dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan 4 substansi yang disebutkan. Piloting magang diselenggarakan selama enam minggu, dimulai dari 7 November hingga 20 Desember 2022.
Metode pembelajaran yang digunakan adalah kombinasi antara pembelajaran klasikal dan nonklasikal. Pembelajaran dimulai dengan tahapan persiapan magang di LAN dan dilanjutkan dengan praktik langsung di beberapa instansi mitra. Instansi mitra yang terlibat dalam kolaborasi dan suksesnya program magang ini meliputi Kementerian
PPN/Bappenas, Kementerian
Keuangan, Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang dan Jasa (LKPP), dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Beberapa pemerintah daerah juga terlibat dalam program ini, seperti Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur, Pemerintah Kota Tangerang, Kota Surabaya, Kota Malang, dan
Kabupaten Banyuwangi. Kementerian
PPN/Bappenas merupakan salah satu mitra magang LAN yang memberikan pembekalan kepada 11 peserta magang ASN Provinsi Papua terkait substansi Perencanaan Pembangunan Daerah. Melalui Pusbindiklatren, Kementerian PPN/ Bappenas menjadi tempat untuk mendapatkan materi yang dalam, orientasi tugas, dan pembimbingan terkait dengan bidang ini.
Saya termasuk salah satu dari 11 peserta yang berkesempatan mempelajari substansi perencanaan pembangunan daerah di Pusbindiklatren selama kurang lebih 4 hari, mulai dari 14 hingga 18 November 2022. Metode pembelajaran yang
PELAKSANAAN
PILOTING MAGANG
BAGI ASN
PROVINSI PAPUA
TERJADI BERKAT
KERJA SAMA
ANTARA LEMBAGA
ADMINISTRASI
NEGARA (LAN)
DAN PEMERINTAH
PROVINSI PAPUA.”
digunakan beragam, meliputi tatap muka (kelas), pembelajaran daring, kunjungan lapangan (visitasi), dan kuis-kuis menarik yang berfungsi sebagai review materi pembelajaran pada hari tersebut.
Materi yang kami pelajari mencakup
beberapa hal, antara lain (1) prioritas pembangunan nasional dan isu-isu dalam perencanaan pembangunan daerah; (2) urgensi kerangka
ekonomi makro; dan (3) soft skill
“Critical Thinking”. Selain itu, kami juga melakukan visitasi ke kantor
Kementerian PPN/Bappenas, dan kami dibimbing dalam menulis laporan magang dan rencana aksi yang merupakan hasil akhir dari magang ini.
Hari pertama di Pusbindiklatren, kami disambut oleh Ketua Pokja Diklat
Pusbindiklatren dan beberapa staf yang bertindak sebagai fasilitator selama empat hari. Pada hari yang sama, kami mengikuti dua sesi pembelajaran mengenai prioritas pembangunan nasional dan isu-isu dalam perencanaan pembangunan daerah.
Pembelajaran ini dilaksanakan secara daring dengan menghadirkan pengajar yang kompeten dalam bidangnya, seperti Direktur
Perencanaan Pembangunan Proyek
Infrastruktur Prioritas Nasional (P3IPN)
Kementerian PPN/Bappenas, Sumedi Andono Mulyo, yang memberikan materi Prioritas Pembangunan Nasional. Materi yang menarik
mencakup Visi Indonesia 2045, konsep Indonesia yang berdaulat, maju, adil, dan makmur; aspekaspek perencanaan pembangunan seperti manajemen Informasi, skenario, strategi, dan investasi; serta pembangunan ekonomi sirkular yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi tinggi tanpa mengorbankan lingkungan.
Pada hari pertama juga kami mendapatkan pembelajaran mengenai isu-isu perencanaan pembangunan daerah, dipandu oleh pengajar dari Direktorat Regional III Kementerian PPN/Bappenas, Daryll Ichwan Akmal. Materi meliputi kebijakan pembangunan wilayah, isu strategis pembangunan papua, kebijakan afirmasi papua, dan strategi pembangunan wilayah yang mempertimbangkan tujuh wilayah adat di Papua. Materi ini menggarisbawahi pentingnya strategi yang sesuai dengan karakteristik dan potensi wilayah adat dalam mewujudkan Papua yang sejahtera, cerdas, dan produktif.
Pada hari kedua, kami mempelajari Urgensi Kerangka Ekonomi Makro, meliputi tantangan perekonomian global, perkembangan ekonomi terkini, sasaran 2023 di Provinsi Papua, serta isu-isu strategis di Provinsi kami. Selain itu, kami juga melaksanakan observasi/sit in di unit kerja dengan mengunjungi Kantor Kementerian PPN/Bappenas. Kunjungan ini dipimpin oleh Staf Khusus Menteri PPN/Bappenas, Kemal Taruc, yang memberikan penjelasan tentang GELAM (Gallery, Library, Archive, Museum) di Kantor Kementerian PPN/Bappenas. Kesempatan ini memungkinkan kami untuk berinteraksi dengan berbagai sumber informasi, baik fisik maupun digital, yang ada di perpustakaan.
Hari ketiga kami mendapatkan materi tentang soft skill “Critical Thinking”. Kami memahami bahwa kemampuan berpikir kritis menjadi salah satu dari 10 keterampilan esensial yang diperlukan pada masa depan. Materi ini menyoroti kemampuan memilah informasi yang relevan pada era informasi yang cepat dan pentingnya kemampuan merancang, mengevaluasi, dan merespons situasi yang berubah dengan cepat.
Pada hari keempat, kami menerima panduan dan pembimbingan dari coach terkait penulisan laporan magang dan rencana aksi kami. Program ini ditutup dengan acara yang dipimpin oleh Kepala Pusbindiklatren. Meskipun durasi pembelajaran hanya empat hari, kami berhasil mendapatkan banyak pemahaman dan pengetahuan baru sebagai ASN, terutama dalam hal perencanaan pembangunan nasional dan daerah serta ekonomi makro. Kami juga dibekali dengan pemahaman tentang soft skill
“Critical Thinking” yang sangat relevan dalam pekerjaan kami sebagai ASN, terutama dalam menyaring informasi dari beragam sumber yang ada.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Pusbindiklatren atas lingkungan belajar yang nyaman, serta kepada para pengajar dan fasilitator yang kompeten dan mendukung proses belajar kami. Sebagaimana pesan Wakil Presiden RI dalam Presidential Lecture untuk peserta piloting magang ASN Provinsi Papua:
“Be a Local Champion, Ko bisa... Ko mampu”. Saya berharap ilmu yang diperoleh di Pusbindiklatren akan membantu saya menjadi Local Champion sebagai ASN di Provinsi Papua, karena saya bisa, saya mampu, dan saya memiliki kompetensi yang diperlukan.
Tak semua mulus dalam perjalanan karier sebagai Perencana. Ada banyak tantangan, hambatan, atau kendala yang dihadapi. Namun, dengan semangat dan kerja keras, kita akan menemukan solusi terbaik untuk menghadapinya.
Lahir sebagai anak sulung dari tiga bersaudara dari pasangan H. Rudjito, S.H. dan Dra. Ratna Tri Astuti di Salatiga pada 6 April 1970, saya merasa beruntung dapat merasakan suka duka menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ayah saya merupakan seorang PNS dengan tugas yang berpindah dari satu kabupaten/kota ke kabupaten/kota lainnya untuk mengejar karier, sebelum akhirnya mencapai puncak kariernya di tingkat Provinsi Jawa Tengah. Beliau sangat menginspirasi saya dalam memilih karier sebagai PNS.
Setelah menyelesaikan pendidikan
S-1 di Fakultas Pertanian Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto pada 1994, saya beberapa waktu terlibat dalam dunia Lembaga Swadaya
Masyarakat, khususnya dalam
perlindungan konsumen maupun
perlindungan dan pengarusutamaan
hak-hak pekerja anak di Jawa
Tengah. Meskipun demikian, karena latar belakang keluarga saya yang
berasal dari lingkungan PNS, saya akhirnya mengambil keputusan untuk
bergabung menjadi PNS pada Maret 1997 setelah melewati serangkaian seleksi.
Seiring berjalannya waktu, terutama pada awal tahun 2000-an, sistem pemerintahan yang semula bersifat sentralistik mulai berubah menjadi terdesentralisasi. Perubahan ini berdampak pada karier PNS, di mana peluang untuk mutasi antardaerah (kabupaten/kota), meskipun dalam wilayah Provinsi, menjadi lebih terbatas.
Sebagai seorang PNS yang bertugas di institusi pembangunan desa (bangdes) dengan fokus pada pemberdayaan masyarakat, awalnya saya merasa bahwa institusi ini merupakan tempat terbaik. Ini dikarenakan tanggung jawabnya melibatkan pemberdayaan ibu hamil dan bayi dalam kandungan hingga mereka menjadi anggota masyarakat dan bahkan setelah meninggal.
Pada 1998, saya menjadi ayah dengan lahirnya seorang anak lelaki, diikuti
kelahiran anak perempuan kami beberapa tahun kemudian. Perubahan ini secara bertahap mengubah pandangan saya sebagai seorang PNS. Saya mulai menyadari bahwa “perencanaan” adalah kunci dalam pelaksanaan tugas seorang PNS. Oleh karena itu, setelah berdiskusi dengan rekan sejawat, senior, dan pimpinan, saya memutuskan untuk beralih ke institusi perencanaan, yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Tengah (Jateng).
Pada Agustus 2007, setelah melalui proses panjang, saya akhirnya diangkat sebagai pegawai di Bappeda Provinsi Jateng. Dari sinilah dimulai perjalanan karier saya di dunia perencanaan.
Saat itu, saya beruntung karena pimpinan di Bappeda sangat mendukung pengembangan sumber daya manusia (SDM) perencana melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) yang dibiayai dari APBD Provinsi. Saya mengikuti Pelatihan
Perencanaan Pembangunan Daerah (PPD) yang diselenggarakan oleh
Program Studi Magister Administrasi Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Tengah (Jateng).
Pada Agustus 2007, setelah melalui proses panjang, saya akhirnya diangkat sebagai pegawai di Bappeda Provinsi Jateng. Dari sinilah dimulai perjalanan karier saya di dunia perencanaan.
Saat itu, saya beruntung karena pimpinan di Bappeda sangat mendukung pengembangan sumber daya manusia (SDM) perencana melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) yang dibiayai dari APBD
Provinsi. Saya mengikuti Pelatihan
MELALUI PELATIHAN INI, WAWASAN SAYA
SEMAKIN TERBUKA
BAHWA KEBERHASILAN
PROGRAM DAN
KEGIATAN SANGAT
BERGANTUNG PADA
PERENCANAAN YANG MATANG.”
Perencanaan Pembangunan Daerah (PPD) yang diselenggarakan oleh Program Studi Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada (MAP UGM) bekerja sama dengan
Pusbindiklatren Kementerian PPN/ Bappenas pada tahun 2008. Melalui pelatihan ini, wawasan saya semakin terbuka bahwa keberhasilan program dan kegiatan sangat bergantung pada perencanaan yang matang. Pelatihan tersebut memantapkan pilihan saya untuk berkarier sebagai perencana.
Setelah kembali dari Pelatihan PPD, saya berusaha menerapkan konsep perencanaan pembangunan dalam tugas-tugas sehari-hari di Bappeda Provinsi Jateng. Namun, implementasi ini tidaklah mudah karena terkadang menghadapi resistensi dari mereka yang terbiasa dengan cara kerja lama, terutama karena saya masih dianggap “junior” di institusi tersebut. Meskipun begitu, saya tetap bersemangat
untuk memberikan yang terbaik dan belajar dari pengalaman. Saya memanfaatkan filosofi Jawa ngeli ning ojog keli (mengikuti arus, tetapi jangan sampai terbawa arus), dan menjaga komunikasi yang baik dengan rekan kerja serta pimpinan untuk memperbaiki proses perencanaan.
Rasa ingin tahu saya tentang perencanaan masih ada. Oleh karena itu, ketika diminta untuk mengikuti Pelatihan Perencana Muda di 2009, saya dengan senang hati menerima tantangan tersebut. Bersama lima rekan sejawat, saya mengikuti diklat ini selama lima
minggu. Dalam pelatihan ini, saya mendalami lebih lanjut tentang proses perencanaan pembangunan. Saya juga berkesempatan untuk praktik lapangan yang memperluas wawasan saya tentang implementasi perencanaan pembangunan yang baik.
Kembali dari pelatihan, saya berharap dapat menerapkan pengetahuan yang saya peroleh. Namun, seperti biasa, tidak semua berjalan mulus. Saya harus beradaptasi dengan “sistem” yang ada dan secara bertahap melakukan perubahan untuk lebih baik. Pengangkatan pertama saya sebagai Perencana Ahli Muda
juga tidak langsung terjadi setelah menyelesaikan pelatihan.
Beruntungnya, saya mendapat dukungan dari senior dan pimpinan untuk mendapatkan jabatan tersebut. Pada September 2011, saya diangkat sebagai Perencana Ahli Muda. Pilihan ini mungkin dianggap aneh oleh beberapa orang karena pejabat fungsional dianggap sebagai jabatan “kelas dua”. Bagi saya, ini adalah tantangan untuk membuktikan bahwa jabatan ini penting dan memberi kontribusi positif.
Posisi baru ini juga menuntut saya untuk lebih proaktif dalam
menciptakan pekerjaan dan menjaga komunikasi yang baik dengan berbagai pihak. Saya harus mampu mandiri dalam mengelola tugastugas yang diberikan, terlepas dari status saya sebagai seorang fungsional perencana. Saya merasa perlu berkreasi dan berkontribusi meski berada di lingkungan yang berbeda.
Pandemi Covid-19 yang melanda beberapa waktu lalu berdampak pada sistem kerja. Saya terlibat dalam
Tim Penilai Angka Kredit (TPAK) untuk membantu para pejabat fungsional perencana mengatasi perubahan metode penilaian melalui Daftar Usul
TETAP BERPEGANG
PADA PRINSIP-PRINSIP PERENCANAAN DAN MENJALIN
KOMUNIKASI YANG BAIK
DENGAN BERBAGAI PIHAK
ADALAH KUNCI KESUKSESAN.”
Penetapan Angka Kredit (DUPAK). Pada 2022, perubahan ini juga disertai dengan perubahan dalam jabatan fungsional secara massal. Saya merasakan bahwa kondisi ini adalah ujian besar. Pada tahun yang sama, perubahan dalam penilaian usulan DUPAK yang mengikuti PermenPPN
Nomor 1 Tahun 2022 membuat saya belajar kembali tentang penyusunan dokumen DUPAK. Meskipun sulit, saya menyimpulkan bahwa kita tidak perlu takut. Dengan memahami peraturan dan bekerja keras, kita akan menemukan solusi terbaik.
Tetap berpegang pada prinsip-prinsip perencanaan dan menjalin komunikasi
yang baik dengan berbagai pihak adalah kunci kesuksesan. Meskipun jabatan fungsional perencana dianggap “kelas dua”, saya telah membuktikan bahwa peran ini sangat penting dan dapat memberikan kontribusi positif. Saya terus berusaha mengembangkan diri dan memenuhi tuntutan kenaikan pangkat. Meskipun tantangan terus datang, saya percaya bahwa dengan semangat dan kerja keras, kita bisa menghadapinya.
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SRIWIJAYA:
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA TERDIDIK MELALUI PROGRAM MULTIDISIPLIN
Negara maju ditandai dengan banyaknya inovasi dalam bidang penelitian. Untuk mendukung hal itu, pengembangan sumber daya manusia terdidik profesional diperlukan. Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya (Unsri) dengan multidisiplin ilmu merupakan salah satu program penting dalam menghasilkan sumber daya tersebut.
LATAR BELAKANG
Salah satu upaya meningkatkan kualitas sumber daya terdidik profesional untuk menghasilkan inovasi bagi kepentingan daya saing bangsa Indonesia adalah pendidikan multidisiplin, transdisiplin, dan interdisiplin. Hal itu dapat dicapai melalui Program Pascasarjana Unsri.
Program yang didirikan pada 1994 ini, berharap menjadi salah satu
The Center of Multidisciplinary, Transdisciplinary dan Interdisciplinary di Indonesia dalam menghasilkan sumber daya terdidik yang profesional. Program Pascasarjana Unsri secara kontinu memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses pendidikan dan penelitian dalam rangka persaingan di tingkat global.
Hal itu untuk menghasilkan sumber daya manusia terdidik profesional
yang memiliki inovasi di
bidang yang ditekuni.
Harapan ini ingin diwujudkan agar nanti Program Pascasarjana Unsri dapat menjadi salah satu
universitas terkemuka yang sejajar dengan universitas top dunia. Hal itu juga sesuai dengan visi Program
Pascasarjana Unsri, yaitu “Menjadi Pusat Pendidikan Pascasarjana Multidisiplin Berdaya Saing Multiglobal”.
Hingga kini, Pascasarjana Unsri telah memiliki dua puluh sembilan Program Studi Magister dan sepuluh Program Studi Doktor, seperti ditampilkan pada Tabel 1.
Persaingan global dalam iklim keterbukaan pasar tentu akan berdampak bagi pengembangan Program Pascasarjana Unsri. Berbagai upaya kerja sama dengan berbagai pihak dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti (1) kerja sama bidang pendidikan melalui pelaksanaan double master degree dengan negara lain; (2) kerja sama penelitian melalui program matching fund, maupun berbagi penggunaan peralatan penelitian antarinstitusi; (3) kerja sama pengabdian pada masyarakat melalui program Kedaireka, yang menggandeng berbagai industri untuk menghasilkan inovasi langsung bagi industri maupun masyarakat; serta 4) kerja sama multidisiplin melalui program pemerintah-industridunia usaha-masyarakat.
Hasil dari kerja sama tersebut diukur melalui survei tingkat kepuasan konsumen pada 2019―2020. Hasilnya, lebih dari 60% mitra kerja Unsri merasa sangat puas. Hingga 2023, kerja sama terus dikembangkan. Begitu juga dengan pembukaan program studi baru yang telah dilakukan.
PROGRAM KERJA SAMA
Program Pascasarjana Unsri telah menjalin kerja sama dengan berbagai stakeholder di level nasional maupun internasional, guna meningkatkan kualitas manusia terdidik profesional multidisiplin.
Kerja sama level nasional yang telah terjalin hingga kini antara lain, dengan Kementerian PPN/
Bappenas, Depdiknas (Inspektorat
Jenderal) melalui program Star-
SDP, program beasiswa Depdiknas
melalui biro perencanaan, serta
kerja sama dengan Kementerian
Agama dalam pemberian beasiswa
untuk melanjutkan studi di Program
Pascasarjana Unsri.
Pada 2006, Program Pascasarjana
Unsri juga menjalin kerja
sama internasional melalui
penyelenggaraan program double master degree antara Unsri dan
Unesco-IHE Delft, Belanda. Program
Pascasarjana Unsri juga menjalin
kerja sama dengan Utrecht University
Belanda dengan dukungan beasiswa
dari Direktorat Jenderal Perguruan
Tinggi (Dirjen Dikti). Selain itu, terdapat
kerja sama akademik dengan Mie
University, Jepang, melalui program
yang sama yakni dalam bidang
Integrated Food Production and Management Planning
Sementara dengan Thailand, Program
Pascasarjana Unsri menjalin kerja
sama dengan Asian Institute of Technology (AIT) dan King Mongkuts
University of Technology Thonbury (KMUTT). Program ini merupakan program beasiswa unggulan bagi mahasiswa Unsri.
Berbagai kerja sama yang telah dan terus dilakukan ini menunjukkan komitmen Program Pascasarjana
Unsri untuk terus melakukan
peningkatan kualitas layanan pendidikan multidisiplin dalam mencetak sumber daya manusia terdidik profesional. Hal itu juga menunjukkan pengakuan terhadap Program Pascasarjana Unsri yang memiliki kualitas akademik yang baik.
Unsri juga memiliki program unggulan penelitian dalam bidang energi, pangan, dan lingkungan/biodiversitas yang didukung oleh berbagai kerja sama dengan pihak terkait. Di bidang
energi, kerja sama dilakukan dengan pemerintah daerah serta Kementerian Riset dan Teknologi yang mendukung riset energi batubara dan bioetanol generasi kedua. Sebagai tindak lanjutnya maka dikembangkan program double master degree pada tahun 2009 kerja sama Unsri dengan Asean Institute of Technology, Thailand yang dilanjutkan dengan The Join Graduate School of Energy and Environment King Mongkut’s University of Technology Thonbury (JGSEE/KMUTT).
Kerja sama bidang pangan dilakukan dengan Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan SubOptimal (PUR-PLSO) pada 2011 dengan beberapa institusi seperti Balitbangnovda Sumatera Selatan, BPTP Punti Kayu, BRPPU Mariana, dan pemerintah daerah guna mendukung riset pangan yang berkelanjutan.
Sementara di bidang lingkungan, kerja sama dilakukan dengan program Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (Ristoja) dari Kementerian Kesehatan. Program Pascasarjana Unsri juga menjadi motor penggerak penelitian penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang bekerja sama dengan Badan Restorasi Gambut (BRG) sejak 2016.
Pada 2015—2018 Unsri bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Negeri seperti Institut Pertanian Bogor, Universitas Hasanuddin, Universitas Mataram, Universitas Jambi, Universitas Udayana, dan Universitas Nusa Cendana membentuk konsorsium Perguruan Tinggi Untuk Indonesia Hijau (PETUAH) dan mendapatkan dana hibah dari USA, MCAI (Millenium Challenge Account Indonesia) USAID untuk mengembangkan “Green Knowledge with Basis of Local Needs and Wisdom to Support Sustainable Development”. Pada program
tersebut Unsri mengembangkan konservasi lahan gambut dengan membentuk “Peatland Conservation and Productivity Improvement (PLACE)”.
Selain itu, sejak 2015 hingga kini, Program Pascasarjana Unsri menyelenggarakan pendidikan untuk Program Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Ristek, dan Teknologi. Program ini merupakan beasiswa bagi sarjana unggul yang mengikuti pendidikan dari magister menuju doktor dimana mahasiswa tersebut langsung dapat meraih gelar doktor dengan masa studi maksimal empat tahun.
GAMBARAN UMUM KERJA SAMA
DENGAN PUSBINDIKLATREN Kerja sama dengan Pusbindiklatren Kementerian PPN/Bappenas telah terjalin sejak 2002. Kerja sama ini melibatkan pelatihan dan pemberian beasiswa bagi mahasiswa, baik gelar (pendidikan) maupun non-gelar (pelatihan) di Program Pascasarjana Unsri.
Program pendidikan telah diselenggarakan sejak 2005 di Program Studi Magister Administrasi Publik Unsri, dengan masa studi tiga belas bulan yang kemudian menjadi delapan belas bulan. Kerja sama tersebut sesuai dengan Keputusan
Rektor Unsri No.1407/PT11.1.1/
C.6.f/2005 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan Program Studi Magister
Administrasi Publik (MAP), kerja sama
Pusbindiklatren Bappenas RI dengan
Program Pascasarjana Unsri Tahun
Ajaran 2005/2006, khusus untuk
tenaga perencana utusan pemerintah
daerah dari seluruh Indonesia dengan skema biaya penuh (format cost sharing tipe I) dari Kementerian PPN/ Bappenas.
Pengembangan kerja sama
selanjutnya dilakukan pada 2006
dengan program beasiswa skema biaya cost sharing tipe IV untuk
Program Studi Ilmu Ekonomi (Bidang Kajian Utama Perencanaan SDM).
Program pelatihan telah dilaksanakan sejak 2002 hingga sekarang. Beberapa tema pelatihan yang telah dilaksanakan, yaitu
Local Economic Resources
Development (LERD);
Perencanaan Pembangunan
Daerah Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (PPD RPJMD);
Monitoring dan Evaluasi; Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja;
Perencanaan Investasi Daerah; Perencanaan Kelautan dan Wilayah Pesisir; Perencanaan Tata Ruang; Perencanaan Transportasi; Pro-Poor Planning and Budgeting;
Perencanaan Lingkungan dalam Pembangunan
Jabatan Fungsional Perencana
(JFP) Ahli Pertama
Perkembangan jumlah peserta
pelatihan dalam kegiatan kerja
sama pendidikan dan pelatihan Program Pascasarjana Unsri dengan
Pusbindiklatren Kementerian PPN/ Bappenas sejak tahun 2015 hingga 2022 tersaji pada Tabel 2.
Pandemi COVID-19 secara tidak langsung memberikan pengaruh terhadap kerja sama pelatihan yang terjalin. Oleh karena itu, guna memperlancar proses pelatihan yang dilakukan secara daring, maka dikembangkan aplikasi Sipena.
Aplikasi ini digunakan oleh peserta selama pelatihan yang berisi materi pembelajaran, tugas kelompok, tugas mandiri, pre-test, dan posttest. Aplikasi ini memberikan banyak kemudahan bagi peserta pelatihan,
baik yang dilakukan secara luring maupun daring (sinkronus dan asinkronus).
Hal itu dibuktikan dengan survei yang dilakukan oleh Program Pascasarjana Unsri terhadap penggunaan aplikasi Sipena. Survei ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas layanan kerja sama yang diberikan. Hasilnya, lebih dari 51% peserta pelatihan menyatakan puas terhadap aplikasi Sipena seperti tersaji pada Tabel 3.
Tabel 4 berikut menganalisis kinerja struktur, metode pelatihan, dan kurikulum materi pelatihan kerja sama Pusbindiklatren Kementerian PPN/Bappenas dengan Unsri.
Secara umum, terlihat bahwa terjadi penurunan terhadap kinerja instruktur, metode pelatihan, dan kurikulum/ materi selama pandemi Covid-19.
Pada masa endemik yang dimulai pada 2023 ini diharapkan kembali terjadi peningkatan kualitas layanan, baik materi, metode pelatihan, dan kinerja instruktur dalam pelatihan yang dilaksanakan atas kerja sama antara Pusbindiklatren Kementerian PPN/ Bappenas dan Unsri.
Selain itu, mulai 2023 terdapat penambahan program studi magister baru, yakni Magister Ilmu Material Diharapkan program tersebut akan
mendukung perkembangan bidang penelitian energi, pangan, dan lingkungan yang menjadi unggulan penelitian Unsri. Kerja sama dengan Pusbindiklatren Kementerian PPN/ Bappenas dan dengan lembaga/ institusi lain juga terus diharapkan meningkat sejak masa endemik tahun ini.
Kerja sama yang dilakukan oleh Program Pascasarjana Unsri dengan berbagai instansi/lembaga di dalam
dan luar negeri ini sangat dibutuhkan. Hal itu untuk menghasilkan sumber daya manusia terdidik profesional yang akan memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan Negara Indonesia pada umumnya.
[Penulis : Aldes Lesbani, Nova Wirdalya/Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya]
RELASI KUASA DAN AKSES MASYARAKAT DESA TERHADAP HUTAN DALAM IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL DI KABUPATEN NGAWI
ABSTRAK
Kebijakan Perhutanan Sosial merupakan inovasi kebijakan pengelolaan hutan yang dirancang untuk memberikan devolusi pengelolaan sumber daya hutan kepada masyarakat desa di sekitar hutan. Kebijakan ini diharapkan dapat mengatasi masalah seperti kemiskinan, konflik sosial, dan kerusakan ekologi hutan. Tersedianya berbagai skema dalam Perhutanan Sosial dengan tingkat hak dan akses yang bervariasi memengaruhi implementasi kebijakan di lapangan, yang juga dipengaruhi oleh relasi kuasa antar aktor yang terlibat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pilihan skema Perhutanan Sosial oleh masyarakat, relasi kuasa yang berkembang dari waktu ke waktu, dan kondisi akses masyarakat setelah memperoleh legalitas dalam pengelolaan hutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pilihan skema Perhutanan Sosial oleh masyarakat yang memiliki tingkat hak dan akses lebih rendah dibandingkan dengan skema lainnya dipengaruhi oleh relasi kuasa antar aktor yang terlibat. Proses relasi kuasa yang tidak seimbang masih terjadi di lokasi penelitian. Aktor yang memiliki kekuasaan, seperti Perhutani, berhasil mempertahankan pengaruhnya melalui dinamika politik, kebijakan, dan struktur pemerintahan dengan menggunakan elemen power dominan pada setiap tahapan Sequential Power Analysis (SPA) yang dianalisis. Meskipun masyarakat mendapatkan legalitas melalui Surat
Keputusan Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (SK Kulin KK), akses mereka tidak mengalami peningkatan yang signifikan karena masih terjadi proses eksklusi dan pemberian hak secara parsial.
LATAR BELAKANG
Implementasi praktik pembangunan kehutanan selama beberapa dekade masih jauh dari kondisi ideal yang diharapkan. Paradigma pengelolaan hutan masih berorientasi pada pemanfaatan kayu (timber-based) serta pengelolaan hutan oleh negara (state forest management). Paradigma lama tersebut berkontribusi pada tingginya tingkat kemiskinan masyarakat di sekitar hutan, konflik sosial yang meluas, dan kerusakan ekosistem hutan (Agrawal, 2001; Peluso, 1992; Wrangham, 2010).
Untuk mengatasi masalah ini, muncul konsep Community Forestry atau Social Forestry sebagai inovasi kebijakan yang menggeser tanggung jawab pengelolaan sumber daya hutan dari pusat negara ke masyarakat lokal dan komunitas (Keller et al., 2000; FAO, 1978; McCarthy, 2005). Paradigma baru ini memberikan solusi saling
menguntungkan dengan mengakui hak komunal, meningkatkan sumber penghidupan masyarakat lokal, serta mendukung konservasi hutan dan penyelesaian konflik lahan (Charnley & Poe, 2007; Maryudi et al., 2012).
Dalam implementasi Community Forestry atau Social Forestry, masyarakat lokal diharapkan mendapatkan kontrol dan manfaat yang lebih besar (Krogman & Beckley, 2002). Kontrol dan akses yang lebih besar ini memberikan peluang bagi masyarakat desa hutan untuk mengatasi kemiskinan. Namun, pemberian akses terbatas dapat memperburuk kemiskinan masyarakat lokal (Maryudi & Krott, 2012:47).
Diharapkan kebijakan Perhutanan
Sosial yang diinisiasi oleh Presiden
Joko Widodo selama periode pertamanya (2014―2019) dapat mengatasi dual problematika, yaitu kemiskinan masyarakat sekitar
hutan dan deforestasi. Kebijakan ini mengalokasikan sekitar 10% dari total luas hutan negara, atau sekitar 12,7 juta hektare, untuk dikelola oleh masyarakat lokal dan adat dengan berbagai skema (Maryudi, 2017; Fisher et al., 2018). Skema-skema ini diatur dalam Peraturan Menteri LHK No. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan
Sosial dan Peraturan Menteri LHK No. 39 Tahun 2017 yang mengatur Perhutanan Sosial di wilayah kerja Perum Perhutani.
Perubahan kebijakan pengelolaan hutan melalui Perhutanan Sosial membawa harapan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan sekaligus menjaga kelestarian hutan. Dalam kebijakan ini, masyarakat diberikan hak yang lebih besar dan yakin dalam pengelolaan hutan, terutama melalui skema IPHPS. Namun, dalam implementasi kebijakan Perhutanan Sosial di Ngawi, semua LMDH di
Kabupaten Ngawi sepakat memilih skema Kulin KK daripada skema Izin
Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) untuk mendapatkan kontrol yang lebih besar. Oleh karena itu, relasi kuasa dalam penentuan tata kelola hutan dan akses masyarakat perlu diteliti lebih lanjut dalam implementasi Perhutanan Sosial.
TINJAUAN TEORETIS
Pemahaman terhadap semua aktor atau pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses kebijakan sangat penting untuk mengukur sejauh mana efektivitas kebijakan tersebut dalam mengatasi masalah publik.
Dalam konteks kebijakan kehutanan, Ellefson (1992) menekankan bahwa pemerintah bukanlah satu-satunya aktor yang terlibat. Terdapat aktor lain di luar pemerintah, seperti kelompok kepentingan, partai politik, media massa, individu warga negara, dan sektor swasta (perusahaan atau usaha terkait). Motivasi atau kepentingan dari aktor-aktor ini sering kali tidak ditampilkan secara transparan dan sering disembunyikan. Observasi langsung di lapangan dapat memverifikasi hal ini. Hubungan sosial antara aktor-aktor ini mencerminkan penggunaan kekuasaan masingmasing aktor, yang pada akhirnya mencerminkan kepentingan nyata dari masing-masing aktor tersebut (Krott et al., 2014).
Kekuasaan (power) yang dimiliki oleh aktor-aktor yang dominan sering kali disalahgunakan untuk mencapai tujuan pribadi, yang berdampak pada hasil yang distorsi dari kebijakan hutan kemasyarakatan (Krott et al., 2014). Penyalahgunaan kekuasaan dalam pendekatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dianggap sebagai hambatan utama dalam mencapai keberhasilan program tersebut (Krott et al., 2014).
Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi siapa yang memiliki, menggunakan, dan mempertahankan kekuasaan dalam formulasi dan implementasi kebijakan pengelolaan sumber daya hutan. Konsep ActorCentered Power (ACP) berfokus pada bagaimana aktor A dapat mengubah perilaku aktor B tanpa memperhatikan kehendak dari aktor B (Krott et al., 2014).
Dalam kerangka ini, tiga sumber kekuasaan diidentifikasi, yaitu (1) kekuatan fisik atau paksaan; (2) insentif dan disinsentif; dan (3) dominasi informasi. Sumber-sumber kekuasaan ini dapat digunakan untuk mengamati dan menganalisis perilaku para aktor dalam interaksi sosial sehari-hari.
Pendekatan ACP sering digunakan untuk menganalisis hubungan sosial dalam kebijakan pengelolaan hutan dalam periode waktu tertentu (Muhammed & Innoue, 2014; Islam et al., 2015). Prabowo (2016) menekankan bahwa perubahan
PRABOWO (2016)
MENEKANKAN
BAHWA PERUBAHAN
STRUKTUR
KEKUASAAN DAN
KEBIJAKAN JUGA
MEMENGARUHI
HUBUNGAN
INTERAKSI POLITIK DI ANTARA PARA AKTOR.”
struktur kekuasaan dan kebijakan juga memengaruhi hubungan interaksi politik di antara para aktor.
Perubahan dalam kebijakan atau perilaku satu aktor dapat memengaruhi tanggapan yang diberikan oleh aktor lain, menghasilkan hubungan sosial yang dinamis. Dari konsep ini, Sahide et al. (2020) mengembangkan pendekatan Sequential Power Analysis (SPA) yang memeriksa dinamika kekuasaan dalam tiga tahap: Power Background, Power Delivery, dan Power Adjustment
Terkait dengan akses, Ribot & Peluso (2003) menganggap akses sebagai kumpulan kekuatan yang terdiri dari mekanisme akses yang membentuk kemampuan individu atau komunitas untuk mendapatkan, mengendalikan, atau membagi sumber daya.
Mekanisme akses melibatkan proses dan hubungan antara aktor sosial dalam mendapatkan, mengontrol, dan mempertahankan akses terhadap sumber daya. Mekanisme akses dibagi menjadi dua jenis: (1) mekanisme berbasis hak dan ilegal serta (2) mekanisme struktural dan relasional.
METODE DAN LOKASI PENELITIAN
Penelitian tentang Relasi Kuasa dan Akses Masyarakat Desa dalam Kebijakan Perhutanan Sosial menggunakan pendekatan metode campuran (mixed method). Desain penelitian ini adalah explanatory sequential mixed method, yang melibatkan pengumpulan data kuantitatif diikuti oleh pengumpulan data kualitatif untuk menjelaskan hasil data kuantitatif awal.
Pendekatan ini diklaim dapat menghemat sumber daya (waktu, tenaga, biaya) tanpa mengorbankan kualitas, validitas, dan reliabilitas hasil
penelitian (Schusser et al., 2012).
Lokasi penelitian ini adalah wilayah
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)
Ngawi, termasuk dalam segitiga emas
kawasan hutan jati (Blora-NgawiMadiun) dengan sejarah panjang
dalam pengelolaan hutan di Pulau
Jawa. Lokasi ini juga menjadi objek
penelitian penting dalam fenomena
“Rich Forest Poor People” oleh Nancy Peluso (1992).
Dalam mengembangkan konsep
ACP dan SPA untuk menjawab tujuan
penelitian, peneliti mengadopsi
desain tahap yang diusulkan oleh
Schusser et al. (2012), yaitu (1) survei
awal kuantitatif melalui perhitungan
tingkat dominasi; (2) survei
kualitatif untuk mendapatkan bukti
empiris dari hasil kuantitatif dalam
konteks lapangan; dan (3) analisis
perbandingan antara data kuantitatif
dan kualitatif, yang melibatkan
triangulasi hasil awal kuantitatif
dengan temuan kualitatif.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Faktor Penentu Pilihan
Masyarakat dalam Skema
Perhutanan Sosial
Kebijakan Perhutanan Sosial baru secara nyata dapat dilihat sebagai kemauan politik yang
kuat dari pemerintah bagi percepatan pembangunan masyarakat desa sekitar hutan (Rahayu et al., 2020). Skema
IPHPS memiliki beberapa
keunggulan yang menjanjikan kontrol dan benefit yang
lebih luas bagi masyarakat desa hutan dalam mengelola sumberdaya hutan (Ota, 2019). Namun, kehadiran skema tersebut ternyata mendapatkan hambatan-hambatan yang
memengaruhi perwujudan skema tersebut di lapangan.
Faktor kontestasi power di antara aktor yang terlibat
dalam formulasi kebijakan memberikan pengaruh kepada perilaku aktor di tingkat tapak. Perhutani sebagai pihak yang berpotensi mengalami penurunan kontrol dan wewenang dalam pengelolaan hutan Jawa, menggunakan beberapa strategi untuk memengaruhi pilihan masyarakat.
Kondisi masyarakat yang dianggap masih belum mampu mengelola hutan dibenturkan dengan isu kelestarian hutan yang terancam, jika masyarakat mendapatkan kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan hutan Jawa. Kepentingan formal yang selalu digaungkan digunakan sebagai strategi untuk mencapai kepentingan informal Perhutani. Kepentingan itu adalah mempertahankan kontrol dan wewenang atas hutan Jawa yang akan berimplikasi pada
kondisi keuangan perusahaan, serta terjaminnya kesejahteraan pekerja dan pensiunan Perhutani.
Skema IPHPS lebih lanjut menimbulkan kekhawatiran tentang dampak potensial dari penerapan mekanisme “responsibilization” yang semakin meningkat pada masyarakat visà-vis lembaga penyelenggara kehutanan (Erbaugh, 2019).
Skema tersebut dipersepsikan lebih membebani masyarakat lokal tanpa memberikan manfaat kompensasi yang memadai (Cronkleton et al., 2012). Hal ini secara nyata dimanfaatkan oleh Perhutani untuk mengambil hati masyarakat dalam menentukan pilihan skema.
Strategi pemberian insentif
melalui janji pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), soft
coercion melalui mekanisme pemberlakuan peraturan dan informasi dominan melalui penghambatan akses terhadap beberapa dokumen yang dipersiapkan oleh masyarakat telah menjadi kunci keberhasilan Perhutani untuk memunculkan “kekompakan” masyarakat desa hutan untuk memilih skema Kulin KK yang secara nyata lebih memberikan manfaat yang lebih besar bagi pihak Perhutani dalam mempertahankan kontrol dan wewenang yang telah berjalan selama beberapa dekade.
Relasi Kuasa Dalam Tiga Tahapan
Sequential Power Analysis (SPA) Perhutanan Sosial menjanjikan peningkatan devolusi kekuasaan kepada masyarakat sekitar hutan, dengan memberikan pengakuan secara formal dalam bentuk akses kelola berupa izin dan surat keputusan.
Pemberian devolusi tersebut tidak serta merta mengubah pertarungan kepentingan dari para aktor yang terlibat dalam pengelolaan hutan. Sebaliknya, hal ini menjadi konstelasi yang menarik untuk dilihat bagaimana aktivitas aktor yang terlibat dalam menegosiasikan dan mempertahankan kepentingankepentingan mereka (Schusser et al., 2015).
Penelitian terkait implementasi Community Forestry di berbagai belahan dunia oleh beberapa peneliti seperti Maryudi (2011) di Indonesia, Devkota (2010) di Nepal, Movuh & Schusser (2012) di Kamerun, Islam et al. (2015) di Bangladesh memberikan kesimpulan bahwa peran dari aktor yang memiliki kekuasaan sangat menentukan proses tata kelola dan hasil yang dicapai oleh kebijakan Community Forestry tersebut.
Proses penguasaan dilakukan oleh aktor yang memiliki kekuasaan secara ketat mengontrol pemberdayaan dan akses yang dimiliki oleh masyarakat lokal (Islam et al., 2015). Meskipun telah terjadi pendistribusian kekuasaan kepada masyarakat lokal, hal ini belum mampu memberikan kesempatan bagi masyarakat lokal untuk membuat keputusan mereka sendiri (Devkota, 2010).
Sejalan dengan hasil beberapa
penelitian sebelumnya, penelitian ini juga mendapatkan hasil yang serupa. Perubahan
kebijakan yang terjadi dengan diperkenalkannya kebijakan
Perhutanan Sosial, dalam proses implementasinya, ternyata juga masih dipengaruhi oleh proses penguasaan yang dilakukan oleh para aktor yang terlibat.
Lebih lanjut, penelitian ini mengungkapkan bahwa
proses penguasaan tidak
hanya menentukan hasil dari
sebuah kebijakan saja. Namun, dengan adanya peraturan yang
memberikan pilihan kepada
masyarakat lokal dalam skema
Perhutanan Sosial, lebih jauh
proses penguasaan juga
menentukan proses pengambilan
keputusan terkait skema
yang dipilih oleh masyarakat.
Pemilihan skema secara langsung
dipengaruhi oleh proses
penguasaan yang dilakukan oleh
Perhutani dengan menggunakan
elemen penguasaan yang
dominan berupa insentif untuk
menentukan pilihan masyarakat.
Pengamatan terhadap perubahan
kebijakan, situasi politik, dan struktur pemerintahan yang
dilakukan dalam jangka waktu
yang lebih luas secara teoretis
dapat digunakan untuk melihat
perubahan penguasaan yang
dimiliki oleh para aktor dan memperkaya pengaplikasian dari teori ACP (Prabowo et al., 2015).
Penelitian Rahman et al. (2018)
mengungkapkan bahwa
perubahan kebijakan menjadi
sebuah variabel independen yang membawa perubahan
penguasaan yang dimiliki oleh para aktor kunci dalam sebuah kebijakan. Perubahan kebijakan
sendiri dapat dibedakan
menjadi perubahan secara
substansial maupun hanya dipandang sebagai sebuah
perubahan kebijakan simbolik
dengan prekonsepsi untuk
mengakomodasi ide-ide baru atau menyusun sebuah tujuan baru, tetapi tanpa dukungan sarana yang memadai dalam implementasi kebijakannya (Sadath & Krott, 2012).
PERUBAHAN
PEMERINTAHAN YANG TERJADI
DALAM KEBIJAKAN PENGELOLAAN
HUTAN TERNYATA TIDAK MENGUBAH
KONSTELASI AKTOR YANG MEMILIKI
KEKUASAAN DI LOKASI PENELITIAN.”
Secara empiris, berdasarkan temuan fenomena dan fakta implementasi di lapangan, kebijakan Perhutanan Sosial ini dapat dikategorikan sebagai perubahan kebijakan yang simbolik. Kebijakan Perhutanan Sosial tersebut telah membawa ide, tujuan-tujuan baru, dan perubahan dalam pengelolaan hutan. Namun dalam implementasinya ternyata masih terdapat banyak celah dan menimbulkan interpretasi yang berbeda dari para aktor yang terlibat. Dalam konteks implementasi paling dasar di tingkat lapangan, hal ini dapat dilihat sebagai kondisi yang sengaja dirancang untuk mempertahankan status quo yang lebih condong kepada upaya pelanggengan kepentingan dari aktor yang berkuasa atau hanya untuk sekadar kepentingan sesaat guna menarik simpati masyarakat dalam kontestasi politik.
Penelitian ini dengan menggunakan kerangka waktu yang lebih luas berdasarkan kerangka Sequential Power Analysis (SPA) mampu
menghasilkan temuan empiris baru. Perubahan kebijakan, situasi politik, dan struktur pemerintahan yang terjadi dalam kebijakan pengelolaan hutan ternyata tidak mengubah konstelasi aktor yang memiliki kekuasaan di lokasi penelitian.
Meskipun di tingkat nasional Perhutani mungkin tidak menjadi aktor yang memiliki kekuasaan, di tingkat lapangan, Perhutani tetap menjadi aktor yang dominan dalam tiga tahapan SPA yang dianalisis. Hal ini tidak lepas dari strategi yang digunakan oleh Perhutani dalam menggunakan elemen penguasaan yang dominan berbeda dalam setiap tahapan SPA. Adaptasi penggunaan elemen penguasaan dominan inilah yang membuat Perhutani tetap mampu mempertahankan kepentingankepentingan mereka dari tekanan aktor lain yang ingin mengurangi dominasi Perhutani dalam pengelolaan hutan di Pulau Jawa.
Upaya mempertahankan dominasi yang oleh Perhutani tidak lepas dari dukungan salah satu aktor yang memiliki
KEBIJAKAN, SITUASI POLITIK, DAN STRUKTUR
peran inti dalam implementasi
Perhutanan Sosial, yaitu LSM
Pendamping. Kehadiran
pendamping non-pemerintah
dalam implementasi Perhutanan
Sosial ini diharapkan mampu
mengisi celah belum optimalnya
kegiatan pendampingan dan penyuluhan dari agen pemerintah yang masih menjadi hambatan besar (Galudra, 2019; Rahayu et al., 2020).
Salah satu aktor non-pemerintah yang diharapkan terlibat
adalah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM). LSM sering kali
didefinisikan sebagai aktor yang baik, independen, dan non-profit (Gupta & Koontz, 2019; Laraswati et al., 2020). Peran dan pengaruh
LSM dapat dilihat sebagai
agen pembangunan dalam aktivitasnya memicu aksi kolektif di masyarakat (Barnes & van Laerhoven, 2014), membentuk modal sosial dan jaringan (Mondal, 2001), serta sebagai inovator dan early adopter dalam ilmu dan praktik pemberdayaan masyarakat (McKinnon et al., 2015).
Fakta empiris di lokasi penelitian menangkap fenomena
bahwa kehadiran LSM dalam
implementasi kebijakan
Perhutanan Sosial di Kabupaten
Ngawi ternyata tidak sesuai
dengan definisi klasik-normatif
yang disampaikan oleh para
ahli di atas. Peran dan pengaruh
LSM lebih dimaknai sebagai
perpanjangan tangan dari aktor yang memiliki kekuasaan. Sikap
oportunis LSM ini tidak terlepas
dari pengaruh kepentingan
pihak yang mendanainya. Hal ini mendukung temuan Laraswati et al. (2022, 2020) & Rahayu et al. (2022) yang menyebutkan bahwa
LSM sebagai aktor politik secara
potensial memiliki kepentingan
sendiri yang tidak selalu sama
dan sejalan dengan kepentingan masyarakat.
Akses Masyarakat PascaMendapatkan Legalitas
Pemberian hak hukum kepada masyarakat melalui penerbitan
SK Kulin KK telah menjadi satu bentuk nyata praktik devolusi dalam implementasi kebijakan Perhutanan Sosial ini. Meskipun demikian, berbagai contoh kasus devolusi yang telah diberikan tetap mempertahankan hubungan interaktif antara negara dan kelompok pengguna (masyarakat lokal). Tren yang terjadi mengungkapkan bahwa persoalan jangkauan kontrol aktual atas sumber daya tetap menjadi objek yang diperebutkan daripada suatu hak yang dipersepsikan sudah pasti (welldefined legal rights) (Adiwibowo et al., 2013).
Persoalan kontestasi ini juga masih terlihat dalam fenomena empiris lapangan. Observasi di lapangan mengungkapkan bahwa dalam proses penyusunan NKK, Rencana Kerja Kelompok, dan syarat administratif lainnya belum mencerminkan proses deliberasi dan partisipasi yang murni dari masyarakat lokal. Penyusunan berbagai dokumen tersebut secara dominan masih menjadi ranah pihak Perhutani. Tidak dapat diabaikan bahwa keberadaan dokumendokumen ini dianggap sebagai “formalitas di atas kertas” yang hanya memenuhi persyaratan administratif semata.
Faktor modal masih menjadi kendala berat bagi sebagian besar pesanggem (petani penggarap lahan hutan) dalam menjalankan aktivitas mereka. Pesanggem umumnya belum mampu mengakses bantuan modal yang disediakan oleh
pemerintah. Selain kurangnya informasi dan sosialisasi mengenai permodalan yang diterima oleh pesanggem, permasalahan rumitnya persyaratan dan juga jaminan sering menjadi pertimbangan yang membebani.
Pesanggem dalam mengelola lahannya cenderung bergantung pada pinjaman modal awal dari para pemodal/tengkulak. Praktik ini dianggap lebih praktis dan mudah dilakukan karena tidak memerlukan persiapan dokumen khusus dan hanya berdasarkan kepercayaan saja. Bantuan yang diberikan oleh para pemodal/ tengkulak bisa berupa tunai maupun barang seperti bibit, pupuk, dan sarana perawatan tanaman lainnya. Meskipun terlihat memudahkan masyarakat, praktik “ngijo” semacam ini pada akhirnya dapat merugikan masyarakat karena secara tidak langsung menghalangi akses masyarakat ke pasar.
Akses ke pasar secara otomatis dikuasai oleh tengkulak. Akibatnya, hasil panen yang dijual oleh pesanggem tidak dihargai sesuai dengan harga pasar dan cenderung selalu di bawah harga pasar. Belum terbukanya akses ke pasar selain dipengaruhi oleh dikuasainya manajemen rantai pasokan oleh tengkulak, juga dipengaruhi oleh minimnya akses masyarakat terhadap teknologi. Bahkan teknologi yang sederhana pun, seperti proses pengeringan jagung basah menjadi jagung kering, jarang dapat dilakukan. Hal ini disebabkan oleh posisi tawar yang lemah dari pesanggem terhadap tengkulak, sambil dihadapkan pada tekanan kebutuhan sehari-hari; rata-rata pesanggem enggan melakukan proses penambahan nilai bagi hasil panen mereka.
Kekhawatiran lain yang muncul setelah diterbitkannya SK Kulin
KK untuk 37 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di Kabupaten Ngawi adalah bagaimana kelanjutan pengelolaan lahan yang belum pasti. Kepastian hak milik adalah hal penting (Robinson et al., 2014) yang diyakini dapat meningkatkan produktivitas agroforestri dan pendapatan masyarakat (Lawry et al., 2017).
Observasi di lapangan menunjukkan bahwa kepastian hak milik yang diharapkan belum sepenuhnya diperoleh oleh masyarakat desa hutan. Melalui mekanisme penyusunan perencanaan yang terkesan birokratis seperti yang telah disebutkan di atas, formal handover melalui SK Kulin KK yang dikeluarkan oleh KLHK hanya memberikan kepastian hak milik secara parsial kepada masyarakat.
KESIMPULAN
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
Pemilihan skema Kulin KK yang memiliki derajat kontrol dan akses yang lebih rendah dipengaruhi
oleh tiga faktor utama, yaitu (a) dinamika kekuasaan di tingkat nasional yang memengaruhi
perilaku aktor yang berkuasa di tingkat lokal; (b) kewajiban dalam
skema IPHPS yang dianggap memberatkan masyarakat lokal; dan (c) kerumitan persyaratan dan dokumen pelengkap yang diperlukan.
Pemilihan skema yang diimplementasikan dalam pengelolaan sumber daya hutan di lokasi penelitian secara nyata masih ditentukan oleh
kontestasi kekuasaan yang terjadi antara aktor yang terlibat. Aktor yang memiliki kekuasaan, yaitu Perhutani, tetap berupaya mempertahankan kepentingan mereka terhadap pengelolaan sumber daya hutan.
Kondisi ketidakseimbangan kekuasaan dalam relasi kekuasaan antar aktor dalam implementasi kebijakan Perhutanan Sosial dari waktu ke waktu masih terjadi. Dalam tiga tahapan SPA yang telah diuraikan, masyarakat desa hutan tetap menjadi subordinat. Sementara, Perhutani tetap menjadi aktor yang memiliki kekuasaan. Perhutani berhasil beradaptasi dengan dinamika kondisi politik, kebijakan, dan tata kelola dengan menggunakan elemen kekuasaan yang berbeda dalam setiap tahapan, sehingga Perhutani dapat mempertahankan kekuasaan mereka dalam setiap tahapan.
Kondisi akses masyarakat desa hutan sebagai hasil dari tahapan penyesuaian kekuasaan juga masih ditentukan oleh hasil negosiasi dan kontestasi kekuasaan yang terjadi dalam tahapan-tahapan sebelumnya. Akses masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan berpotensi tidak mengalami peningkatan, dikarenakan adanya proses eksklusi dan pemberian hak yang bersifat parsial. Strategi peningkatan akses masyarakat desa hutan yang dapat dilakukan antara lain adalah (a) pengakuan dan penguatan terhadap kelembagaan masyarakat lokal yang telah terbentuk saat ini; (b) peningkatan aksi kolektif melalui peningkatan kapasitas dan modal sosial masyarakat desa hutan; dan (c) pemantauan, evaluasi,
dan penegakan peraturan yang adil terhadap semua aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan Perhutanan Sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwibowo, S., Shohibuddin, M., & Kartodiharjo, H. (2013). Kontestasi Devolusi : Ekologi Politik
Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat. In H. Kartodiharjo (Ed.), Kembali ke Jalan Lurus: Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia (pp. 255–307).
Agrawal, A. (2001). State Formation in Community Spaces? Decentralization of Control over Forests in the Kumaon Himalaya, India. The Journal of Asian Studies, 60(1), 9–40. https://doi. org/10.2307/2659503
Barnes, C., & van Laerhoven, F. (2014). Making it last? Analysing the role of NGO interventions in the development of institutions for durable collective action in Indian community forestry. Environmental Science & Policy, 53, 192–205. https://doi. org/10.1016/j.envsci.2014.06.008
Charnley, S., & Poe, M. R. (2007). Community Forestry in Theory and Practice: Where Are We Now? Annual Review of Anthropology, 36(1), 301–336. https://doi.org/10.1146/annurev. anthro.35.081705.123143
Cronkleton, P., Saigal, S., & Pulhin, J. (2012). Co-management in community forestry: How the partial devolution of management rights creates challenges for forest communities. Conservation and Society, 10(2), 91. https://doi. org/10.4103/0972-4923.97481
Devkota, R. R. (2010). Interests and power as drivers of community forestry. https://doi. org/10.17875/gup2010-281
Ellefson, P. V. (1992). Forest Resources Policy : Process, Participants, Programs. USA: McGraw - Hill.
Erbaugh, J. T. (2019). Responsibilization and social forestry in Indonesia. Forest Policy and Economics, 109(August), 102019. https://doi.org/10.1016/j. forpol.2019.102019
FAO. (1978). Forestry for Local Community Development. In Forestry Paper (Vol. 7). Rome: Food and Agriculture Organization of United Nation.
Fisher, M. R., Moeliono, M., Mulyana, A., Yuliani, E. L., Kamaluddin, Adriadi, A., … Sahide, M. A. . (2018). Assessing the New Social Forestry Project in Indonesia : Recognition. Livelihood and Conservation? Assessing the new social forestry project in Indonesia : recognition. livelihood and conservation ? International Forestry Review, 20(3), 346–361.
Galudra, G. (2019). Focusing on facilitation: Issues and challenges of capacity development in Indonesia’S social forestry reforms. Forest and Society, 3(1), 133–136. https://doi. org/10.24259/fs.v3i1.5995
Gupta, D., & Koontz, T. M. (2019). Working together? Synergies in government and NGO roles for community forestry in the Indian Himalayas. World Development, 114, 326–340. https://doi.org/10.1016/j. worlddev.2018.09.016
Islam, K. K., Jose, S., Tani, M., Hyakumura, K., Krott, M., & Sato, N. (2015). Does actor power
impede outcomes in participatory agroforestry approach? Evidence from Sal forests area, Bangladesh. Agroforestry Systems, 89(5), 885–899. https://doi.org/10.1007/ s10457-015-9822-x
Kellert, S. R., Mehta, J. N., Ebbin, S. A., & Lichtenfeld, L. L. (2000). Community natural resource management: Promise, rhetoric, and reality. Society and Natural Resources, 13(8), 705–715. https://doi.org/10.1080/ 089419200750035575
Krogman, N., & Beckley, T. (2002. Corporate “bail-outs” and local “buyouts”: Pathways to community forestry? Society and Natural Resources, 15(2), 109–127. https://doi.org/10.1080/ 089419202753403300
Krott, M., Bader, A., Schusser, C., Devkota, R., Maryudi, A., Giessen, L., & Aurenhammer, H. (2014). Actor-centred power: The driving force in decentralised community based forest governance. Forest Policy and Economics, 49, 34–42. https://doi.org/10.1016/j. forpol.2013.04.012
Laraswati, D., Krott, M., Soraya, E., Rahayu, S., Fisher, M. R., Giessen, L., & Maryudi, A. (2022). Nongovernmental organizations as interest groups and their roles in policy processes: Insights from Indonesian forest and environmental governance. Forest and Society, 6(2), 570–589. https://doi.org/10.24259/ fs.v6i2.19125
Laraswati, D., Rahayu, S., Sahide, M. A. K., Soraya, E., Pratama, A. A., Fisher, M., & Maryudi, A. (2020). The anachronistic category of non-government organisations: Moving from normative to empirical-based definitions for identifying organized interest
groups in forest policymaking. Forest Policy and Economics, 112 (January), 102106. https://doi. org/10.1016/j.forpol.2020.102106
Lawry, S., Samii, C., Hall, R., Leopold, A., Hornby, D., & Mtero, F. (2017). The impact of land property rights interventions on investment and agricultural productivity in developing countries: a systematic review. Journal of Development Effectiveness, 9(1), 61–81. https://doi.org/10.1080/19 439342.2016.1160947
Maryudi, A. (2011). The contesting aspirations in the forests: Actors, Interests, and Power in Community Forestry in Java, Indonesia. Retrieved from http:// univerlag.uni-goettingen.de
Maryudi, A. (2017). Creating New Forest Governance Structure for the 12,7 Million- Promise. Jurnal Ilmu Kehutanan, 11(1), 1–3.
Maryudi, A., Devkota, R. R., Schusser, C., Yufanyi, C., Salla, M., Aurenhammer, H., … Krott, M. (2012). Back to basics: Considerations in evaluating the outcomes of community forestry. Forest Policy and Economics, 14(1), 1–5. https://doi. org/10.1016/j.forpol.2011.07.017
Maryudi, A., & Krott, M. (2012). Poverty Alleviation Efforts through a Community Forestry Program in Java, Indonesia. Journal of Sustainable Development, 5(2), 43–53. https://doi.org/10.5539/ jsd.v5n2p43
McCarthy, J. (2005). Devolution in the woods: Community forestry as hybrid neoliberalism. Environment and Planning A, 37(6), 995–1014. https://doi.org/10.1068/a36266
McKinnon, M. C., Mascia, M. B., Yang, W., Turner, W. R., & Bonham,
C. (2015). Impact evaluation to communicate and improve conservation non-governmental organization performance: the case of conservation international. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 370(1681). https://doi.org/10.1098/ rstb.2014.0282
Mondal, A. H. (2001). Social Capital Formation : The Role of NGO Rural Development Programs in Bangladesh. Policy Sciences, 33(3/4), 459–475.
Movuh, M. C. Y., & Schusser, C. (2012). Power, the Hidden Factor in Development Cooperation. An Example of Community Forestry in Cameroon. Open Journal of Forestry, 02(04), 240–251. https://doi.org/10.4236/ ojf.2012.24030
Ota, M. (2019). From joint forest management to more smallholder-based community forestry: prospects and challenges in Java, Indonesia. Journal of Forest Research, 24(6), 371–375. https://doi.org/10.1080 /13416979.2019.1685063
Peluso, N. L. (1992). Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java. California: Universitas of California Press.
Prabowo, D., Maryudi, A., Imron, M. A., & Senawi. (2015). Enhancing the application of Krott et al.’s (2014) Actor-Centred Power (ACP): The importance of understanding the effect of changes in polity for the measurement of power dynamics over time. Forest Policy and Economics, 62, 184–186. https://doi.org/10.1016/j. forpol.2015.10.006
Rahayu, S., Laraswati, D., Permadi, D. B., Sahide, M. A. K., & Maryudi, A. (2022). Only a Noise? The Role of Non-governmental Organizations in the Policy Processes of a New Social Forestry Model in Indonesia. Small-Scale Forestry, (0123456789). https://doi. org/10.1007/s11842-02209525-9
Rahayu, S., Laraswati, D., Pratama, A. A., Sahide, M. A. K., Permadi, D. B., Wibowo, W., … Maryudi, A. (2020). Bureaucratizing nongovernment organizations as governmental forest extension services in social forestry policy in Indonesia. Forests Trees and Livelihoods, 29(2), 119–129. https://doi.org/10.1080/1472802 8.2020.1753585
Rahman, M. S., Sarker, P. K., Sadath, M. N., & Giessen, L. (2018). Policy changes resulting in power changes? Quantitative evidence from 25 years of forest policy development in Bangladesh. Land Use Policy, 70(November 2017), 419–431. https://doi.org/10.1016/j. landusepol.2017.11.029
Ribot, J. C., & Peluso, N. L. (2003). A Theory of Access*. Rural Sociology, 68(2), 153–181. https:// doi.org/10.1111/j.1549-0831.2003. tb00133.x
Robinson, B. E., Holland, M. B., & Naughton-Treves, L. (2014). Does secure land tenure save forests? A meta-analysis of the relationship between land tenure and tropical deforestation. Global Environmental Change, 29, 281–293. https://doi.org/10.1016/J. GLOENVCHA.2013.05.012
Sadath, M. N., & Krott, M. (2012). Identifying policy changeAnalytical program analysis:
An example of two decades of forest policy in Bangladesh. Forest Policy and Economics, 25, 93–99. https://doi.org/10.1016/j. forpol.2012.07.013
Sahide, M. A. K., Fisher, M. R., Verheijen, B., Maryudi, A., Kim, Y.-S., & Wong, G. Y. (2020). Sequential power analysis framework in assessing social forestry outcomes. MethodsX, 7, 100917. https://doi.org/10.1016/j. mex.2020.100917
Schusser, C., Krott, M., Devkota, R., Maryudi, A., Salla, M., & Movuh, M. C. Y. (2012). Sequence design of quantitative and qualitative surveys for increasing efficiency in forest policy researc. Allgemeine Forst- Und Jagdzeitung, 183 (3–4), 75–83.
Schusser, C., Krott, M., Yufanyi Movuh, M. C., Logmani, J., Devkota, R. R., Maryudi, A., … Bach, N. D. (2015). Powerful stakeholders as drivers of community forestryResults of an international study. Forest Policy and Economics, 58 (November), 92–101. https://doi. org/10.1016/j.forpol.2015.05.011
Wrangham, R. (2002). Changing policy discourses and traditional communities, 1960-1999. In Which Way Forward: People, Forests, and Policymaking in Indonesia (pp. 20–35).
PROFIL PENULIS
Arshad Ragandi merupakan penerima beasiswa S-3 Dalam Negeri Pusbindiklatren Kementerian PPN/ Bappenas di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Saat ini penulis bekerja sebagai PNS di Sekretariat Daerah Kabupaten Ngawi.
GAGASAN PROGRAM PRIORITAS
PUSBINDIKLATREN MENYONGSONG RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA PANJANG NASIONAL (RPJPN) 2025—20451
Meledaknya jumlah JFP (Jabatan Fungsional Perencana) akibat penyetaraan, mau tidak mau membuat Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Kementerian PPN/Bappenas, sebagai pembina JFP sekaligus fasilitator pendidikan pelatihan perencana harus punya strategi jitu. Pusbindiklatren harus punya program prioritas yang mampu mewadahi kebutuhan pengembangan para perencana.
PENDAHULUAN
Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2019— 2024 menjadi penutup dari RPJPN
2005—2024. Rencana Strategis
Kementerian PPN/Bappenas 2019—
2024, yang merupakan agenda kerja
kementerian dalam mewujudkan agenda RPJMN, mengamanatkan Pusbindiklatren sebagai enabler percepatan pembangunan nasional melalui pelaksanaan tugas-fungsi dan perannya sebagai pembina jabatan
fungsional perencana sekaligus fasilitator pendidikan-pelatihan sumber daya manusia di bidang perencanaan pembangunan.
RPJMN ke-4 dalam periode RPJPN 2005—2025 ditandai dengan berbagai dinamika pembangunan akibat disrupsi pada berbagai aspek kehidupan seiring munculnya pandemi Covid-19. Pada periode ini, Pusbindiklatren dipaksa untuk terus beradaptasi dan berevolusi
menghadapi perubahan. Program dan kegiatan Pusbindiklatren yang telah rutin dilaksanakan dengan pola tertentu dipaksa berubah untuk dapat mengarungi gelombang perubahan akibat pandemi.
Pandemi telah usai. Namun, tantangan pembangunan nasional tetap semakin kompleks. Pada pidato awal pelantikan jabatan Presiden yang kedua pada Oktober 2019, Presiden Joko Widodo telah menyampaikan
mandat peningkatan kualitas dan kecepatan layanan publik melalui penyederhanaan birokrasi dan pengembangan jabatan fungsional2
Birokrasi diharapkan semakin lincah dalam merespons kebutuhan publik pada berbagai aspek kehidupan.
Pembangunan harus dapat dirasakan manfaatnya secara nyata oleh masyarakat banyak. Kementerian dan lembaga di pusat dan daerah perlu bekerja keras dan cerdas untuk mengimplementasikan hal tersebut.
PERMASALAHAN
Salah satu implikasi dari arahan
Presiden tentang penyederhanaan birokrasi adalah meningkatnya jumlah
Jabatan Fungsional Perencana (JFP) dalam waktu singkat. Jika pada 2020, JFP hanya berjumlah 1.030 orang, maka kebijakan Presiden secara tidak langsung telah mendorong jumlah JFP pascapenyetaraan pada
tahun 2022 menjadi 6.931 orang3.
Penambahan jumlah JFP yang cukup
signifikan dengan kualitas yang cukup beragam menjadi tantangan yang harus dihadapi Pusbindiklatren dalam menyiapkan program dan kegiatan prioritas.
Program dan kegiatan prioritas yang dilaksanakan Pusbindiklatren idealnya menjadi sarana mewujudkan standar kompetensi jabatan yang telah ditetapkan. Program yang digarap perlu memastikan tata kelola JFP dan pengembangan kompetensi yang sesuai kebutuhan para JFP, juga membawa manfaat berkelanjutan bagi peningkatan
kualitas perencanaan pembangunan nasional.
Sampai dengan 2023, Pusbindiklatren memiliki beberapa program dan kegiatan utama dalam menjalankan mandatnya sesuai PermenPPN/ Kepala Bappenas No. 14 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian PPN/Bappenas4 Gambar berikut mengilustrasikan program yang dikelola oleh Pusbindiklatren selama periode RPJMN 2020—2024, mulai dari program yang bersifat internal hingga yang bersifat eksternal.
Sehubungan dengan adanya
penambahan jumlah JFP yang
cukup signifikan dan kebutuhan pengembangan kompetensi SDM
Perencana menyongsong RPJPN II (2025—2045), program dan kegiatan prioritas apa yang dapat diinisiasi Pusbindiklatren untuk mewujudkan mandat menjadi enabler perencanaan pembangunan nasional?
LEADERSHIP, ENABLING
ENVIRONMENT, DAN KOMITMEN JFP
Pertambahan jumlah JFP sebagai dampak penyetaraan diharapkan dapat meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan nasional. Namun, agar para JFP dapat berkinerja optimal, dibutuhkan beberapa prasyarat. Pengalaman menjadi JFP sejak tahun 2006 mengindikasikan tiga faktor kunci dalam optimalisasi kinerja JFP yang saling berkaitan erat, yaitu leadership, enabling environment, dan komitmen JFP (Gambar 2).5
Leadership mengacu pada kepemimpinan dari atasan langsung JFP. Pemimpin yang dibutuhkan seorang JFP adalah pemimpin yang mengayomi (nurturing leadership), yang memiliki pemahaman utuh akan tugas jabatan dan peran fungsional perencana yang berkedudukan di unit kerjanya. Tugas jabatan seorang JFP adalah menyiapkan, mengkaji, merumuskan kebijakan, dan menyusun rencana pembangunan pada instansi pemerintah secara teratur dan sistematis, termasuk mengendalikan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan rencana pembangunan6.
Pada beberapa situasi, para JFP dan pimpinan memiliki pemahaman
bahwa rencana pembangunan hanya terfokus pada dokumen rencana pembangunan yang dikenal sebagai RPJP, RPJM, RKP, dan Renstra. Seolah jika unit kerjanya tidak mengerjakan dokumen perencanaan seperti diatas, maka unit tersebut tidak dibutuhkan adanya JFP7.
Sesuai dengan tugas jabatannya, banyak hal bisa dilakukan perencana sesuai dengan jenjangnya. Lampiran dalam PermenPANRB No. 4 Tahun 2020 menyebutkan butir kegiatan yang dapat dilakukan seorang perencana dari pertama hingga utama, dari kegiatan yang bersifat operasional, taktikal, hingga direktif.
Pemahaman pimpinan tentang tugas jabatan dan butir kegiatan yang bisa dieksplorasi seorang perencana akan memberikan ruang penugasan yang dapat memberikan manfaat bagi unit kerja.
Pemahaman pimpinan yang tercermin dalam leadership pimpinan mengelola dan membina JFP adalah satu dari prasyarat JFP berkinerja optimal. Enabling environment yang dimulai dari adanya leadership pimpinan akan tercermin dari tata kelola JFP yang transparan dan akuntabel, yang memberikan kepastian dan kemudahan dalam berkinerja sebagai JFP.
Dukungan tata kelola ini tidak saja berasal dari Pusbindiklatren
sebagai pembina jabatan teknis fungsional perencana, tetapi juga dari pembina administrasi kepegawaian di internal kementerian/lembaga dan pimpinan unit kerja, sebagai user dari JFP. Koherensi kebijakan dari kementerian/lembaga yang mengampu kebijakan SDM di birokrasi, pembina kepegawaian, dan pembina teknis jabatan fungsional perlu diselaraskan agar tata kelola JFP di tingkat unit kerja/pada level praktis tidak menimbulkan kebingungan antar pemangku kepentingan8.
Komitmen JFP menjadi faktor penentu yang tidak bisa diabaikan. Tanpa komitmen nyata dari para JFP, maka komitmen pimpinan unit kerja dan enabling environment yang dipersiapkan oleh para pengampu kebijakan bagi pemangku
kepentingan tidak akan bermakna dalam optimalisasi kinerja JFP bagi perencanaan pembangunan nasional. Komitmen JFP tercermin dalam profesionalisme JFP melaksanakan tugas jabatan sesuai dengan jenjang jabatannya.
PROGRAM PRIORITAS
PUSBINDIKLATREN: PROPOSAL
Tanpa menyebut secara spesifik nama program dan kegiatan yang ada di Gambar 1, usulan program dan kegiatan prioritas Pusbindiklatren diharapkan mengerucut dan fokus pada perubahan perilaku pengampu kebijakan dan pemangku kepentingan, pembangunan sarana dan prasarana/enabling environment, dan pemberdayaan JFP.
Jika program dan kegiatan
Pusbindiklatren pada Gambar 1
dikelompokkan pada tiga kategori di atas, maka sebagian besar ada pada kelompok pemberdayaan
JFP. Sementara jika mengacu pada
faktor kunci optimalisasi kinerja JFP, maka program yang mengarah pada leadership/kepemimpinan dari pimpinan unit kerja/kementerian/ lembaga dan enabling environment bagi para JFP tidak cukup tereksplorasi.
Dalam menyongsong RPJPN 2025— 2045, perlu dipersiapkan sumber daya manusia di bidang perencanaan, khususnya para JFP yang memiliki kompetensi handal untuk mendorong terwujudnya implementasi agenda RPJPN. JFP dengan kompetensi handal dan berkinerja optimal hanya dapat dipersiapkan dengan adanya kepemimpinan yang mengayomi, enabling environment, dan pengembangan kompetensi yang terstruktur dengan baik.
Usulan program Pusbindiklatren ke depan diprioritaskan pada tiga hal berikut, yaitu (1) advokasi dan edukasi terkait JFP kepada pimpinan kementerian/lembaga di pusat dan daerah; (2) pemantauan dan evaluasi enabling environment bersama pengampu kebijakan dan pemangku kepentingan; dan (3) pengembangan kompetensi JFP secara lebih terstruktur sesuai dengan kebutuhan.
Advokasi dan edukasi kepada pimpinan institusi menjadi hal yang cukup penting di tengah masa transisi pengelolaan JFP. Implikasi arahan Presiden tentang penyederhanaan birokrasi saat ini ditindaklanjuti kementerian/lembaga pengampu kebijakan dengan terbitnya regulasiregulasi baru dalam tata kelola SDM di birokrasi, khususnya terkait jabatan fungsional.
Badai regulasi ini menimbulkan kebingungan bagi para JFP. Jika para pimpinan yang memiliki JFP di kementerian/lembaga/unit kerjanya tidak cukup memahami
perubahan lanskap makro dan mikro dari pengelolaan JFP, maka besar kemungkinan JFP yang ada di kementerian/lembaga/unit kerja tersebut tidak akan mendapatkan perhatian dan dukungan yang memadai di tengah perubahan.
Pusbindiklatren perlu melakukan pemantauan dan evaluasi enabling environment para JFP di pusat dan daerah bersama pengampu kebijakan dan pemangku kepentingan. Apakah aturan main dan tata kelola yang ada menjadikan para JFP lebih mampu berkontribusi dalam meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan nasional dan berinovasi menggagas percepatan pelaksanaan pembangunan nasional. Tanpa pemantauan dan evaluasi atas kondisi nyata yang ada di lapangan atau di ranah praktis, maka Pusbindiklatren tidak akan mengetahui persoalan nyata yang dihadapi JFP di lapangan dan kesulitan untuk menyiapkan desain program-kegiatan yang selaras dengan kebutuhan JFP yang bisa saja berbeda-beda di masingmasing lembaga.
Pemberdayaaan JFP melalui pengembangan kompetensi sudah menjadi kegiatan yang rutin dilakukan oleh Pusbindiklatren. Namun, untuk kepentingan mewujudkan RPJPN 2025—2045, maka ada baiknya Pusbindiklatren memprioritaskan pendampingan dan pelatihan kepada JFP di kementerian/lembaga di pusat dan daerah agar dapat mensinkronisasikan gagasangagasan besar dalam RPJPN ke ranah kebijakan strategis di kementerian/ lembaga.
Khusus kepada daerah, ada baiknya Pusbindiklatren fokus pada pelatihan/ pengembangan kompetensi yang mendorong daerah dapat mengarusutamakan RPJPN
ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah (RPJPD). Tidak saja di ranah sinkronisasi kebijakan program/kegiatan, tetapi juga hingga penyelarasan indikator program dan kegiatan yang dilaksanakan.
Program dan kegiatan yang selama ini dilaksanakan Pusbindiklatren dapat ditata ulang dengan mengarusutamakan tiga substansi prioritas pada program yang telah ada. Jika diperlukan, program dan kegiatan yang ada di-streamlining sesuai dengan substansi prioritas. Pusbindiklatren tidak perlu memiliki terlalu banyak program dan kegiatan, tetapi fokus pada prioritas yang dapat mendorong peningkatan kualitas perencanaan pembangunan nasional secara berkelanjutan.
Pemberdayaaan JFP melalui pengembangan kompetensi sudah menjadi kegiatan yang rutin dilakukan oleh Pusbindiklatren. Namun, untuk kepentingan mewujudkan RPJPN 2025—2045, maka ada baiknya Pusbindiklatren memprioritaskan pendampingan dan pelatihan kepada JFP di kementerian/lembaga di pusat dan daerah agar dapat mensinkronisasikan gagasangagasan besar dalam RPJPN ke ranah
kebijakan strategis di kementerian/ lembaga.
Khusus kepada daerah, ada baiknya Pusbindiklatren fokus pada pelatihan/pengembangan kompetensi yang mendorong daerah dapat mengarusutamakan RPJPN ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah (RPJPD). Tidak saja di ranah sinkronisasi kebijakan program/kegiatan, tetapi juga hingga penyelarasan indikator program dan kegiatan yang dilaksanakan.
Program dan kegiatan yang selama ini dilaksanakan Pusbindiklatren dapat ditata ulang dengan mengarusutamakan tiga substansi prioritas pada program yang telah ada. Jika diperlukan, program dan kegiatan yang ada di-streamlining sesuai dengan substansi prioritas. Pusbindiklatren tidak perlu memiliki terlalu banyak program dan kegiatan, tetapi fokus pada prioritas yang dapat mendorong peningkatan kualitas perencanaan pembangunan nasional secara berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Permen PPN/Kepala Bappenas No. 14 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian PPN/ Bappenas.
Permen PANRB No. 4 Tahun 2020 tentang Jabatan Fungsional Perencana.
Kapusbindiklatren, Paparan untuk Menteri PPN, Februari 2023.
Eko Wiji Purwanto, Kebijakan Pelatihan Jabatan Fungsional Perencana Pasca Penyetaraan Jabatan, Policy Brief, 2022.
------, Pengembangan Profesi Jabatan Fungsional Perencana, Paparan dalam Bimbingan Teknis BNN, Bogor, 15 Maret 2023.
PROFIL PENULIS
Eko Wiji Purwanto merupakan Perencana Ahli Utama Kementerian
PPN/Bappenas, anggota Kelompok Kerja Strategis Pusbindiklatren.
TANYA-JAWAB JABATAN FUNGSIONAL PERENCANA
TEMA: UJI KOMPETENSI JABATAN FUNGSIONAL PERENCANA (JFP)
PERTANYAAN 1:
Jika tidak lulus uji kompetensi gelombang 1, apakah kita bisa mengikuti uji kompetensi gelombang 2?
Jawaban: Sebelum uji kompetensi akan ada pembekalan, jika gagal di gelombang 1 akan dipanggil kembali di gelombang 2.
PERTANYAAN 2:
Ijazah S-1 saya adalah S.Pd.I., sudah pencantuman gelar pada bulan November 2022, pangkat penata
muda golongan III/a, TMT 1 April 2020. Apakah saya bisa mengikuti uji kompetensi?
Jawaban: Bisa, selama ijazah S-1 sudah disahkan oleh BKN.
PERTANYAAN 3:
Jika ASN saat ini berada pada posisi Pelaksana (pangkat penata tingkat I, golongan III/b), dan pada April 2023 ini akan naik menjadi pangkat penata, golongan III/c, apakah bisa mengikuti uji kompetensi fungsional perencana jenjang ahli muda atau hanya boleh di jenjang ahli pertama? Mengingat batas waktu pendaftaran uji kompetensi tahun ini hanya
sampai Maret, apakah dibolehkan menggunakan PERTEK sebagai pengganti persyaratan berupa SK?
Jawaban:
Berdasarkan Pasal 21 PermenPANRB No. 1 Tahun 2023, perpindahan antarjabatan, dari jabatan pelaksana ke jabatan fungsional, akan pindah ke jenjang ahli pertama.
PERTANYAAN 4:
Jika ASN (pangkat penata, golongan III/c, Fungsional Perencana Ahli Muda), berasal dari penyetaraan eselon IV, ingin mengikuti uji kompetensi, apakah masih perlu mengikuti Uji Kompetensi Perencana Ahli Muda atau bisa langsung mengikuti di jenjang ahli madya?
Jawaban:
Tidak perlu mengikuti Uji Kompetensi Perencana Ahli Muda. Anda dapat mengikuti jenjang ahli madya jika sudah memenuhi persyaratan yang ada, seperti angka kredit kumulatif, formasi jabatan, dan lainnya.
PERTANYAAN 5:
Apakah sertifikat lulus uji kompetensi menjadi syarat agar bisa memperoleh tunjangan perencana yang melekat di gaji? Mengingat sampai saat ini, di daerah kami untuk fungsional hasil penyetaraan belum memperoleh tunjangan fungsional sesuai Perpres No. 97 Tahun 2022.
Jawaban:
Silakan langsung menyesuaikan dengan Perpres No. 97 Tahun 2022.
Tidak perlu ada uji kompetensi maupun sertifikat dari kami.
Kami sudah diskusikan dengan Kemendagri, hasilnya Kemendagri tidak akan memberikan peraturan turunan.
PERTANYAAN 6: Saya tidak akan mungkin mendapatkan surat rekomendasi dari Pemda, tetapi saya sudah dijanjikan formasi dari K/L.
Jawaban: Surat rekomendasi memang dikeluarkan instansi di mana pegawai tersebut saat ini berada, dengan implikasi bahwa memang setelah lulus uji kompetensi, peserta tersebut akan diangkat. Saran kami, misalnya nanti pindah ke K/L, kami menyarankan Bapak mengikuti uji kompetensi setelah sudah di K/L.
PERTANYAAN 7: Pada salah satu persyaratan di formulir uji kompetensi, yaitu rekomendasi dari pimpinan, bahwa perencana akan diangkat paling lambat enam bulan setelah lulus uji kompetensi. Hal ini menjadi pertanyaan kepegawaian pusat, “Mengapa belum lulus uji kompetensi, tetapi sudah meminta surat rekomendasi?”
Jawaban:
Salah satu syaratnya adalah ketersediaan formasi yang berasal dari Anjab dan ABK. Dengan adanya surat rekomendasi tersebut, Pusbindiklatren menjadi yakin bahwa formasi yang ada memang khusus untuk yang bersangkutan. Ini dikarenakan dahulu cukup banyak yang tidak diangkat setelah lulus uji kompetensi dikarenakan tidak adanya surat rekomendasi.
PERTANYAAN 8:
Saya terlanjur mengisi formulir pendaftaran untuk Uji Kompetensi Perencana Ahli Muda. Sesuai arahan kepegawaian, saya ingin mengubah data menjadi Uji Kompetensi Perencana Ahli Pertama. Apakah saya bisa mengganti langsung di file pdf-nya? Atau harus ada pemberitahuan tertulis ke Pusbindiklatren? Jika iya, suratnya ditujukan kepada siapa? Jika penandatanganan surat tersebut oleh atasan langsung eselon III, apakah diperbolehkan?
Jawaban:
Harus ada surat pemberitahuan tertulis ke Pusbindiklatren mengenai perubahan datanya. Kami pernah memberi akses untuk mengedit data kembali secara mandiri, justru ada kesalahan pada formulirnya. Surat pemberitahuan terkait ditandatangani oleh eselon II kepegawaian.
TEMA: PENGANGKATAN DALAM JFP
PERTANYAAN 9:
Saya Perencana Ahli Muda per 1 Oktober 2015. Pada 27 Juni 2019, saya dilantik mutasi mendadak dari
Perencana Ahli Muda ke Kepala
Urusan Tata Usaha (eselon V), tanpa dibuatkan SK Pembebasan Sementara terlebih dahulu. Saat ini golongan sudah III/d. Apakah dengan Keputusan Menteri
PPN/Kepala Bappenas Nomor
KEP.234/M.PPN/04/2002 dapat dinyatakan cacat prosedur? Apa benar sampai saat ini saya tetap sebagai perencana?
Jawaban:
Idealnya, saat Bapak menjadi
Perencana Ahli Muda kemudian Bapak mendapatkan jabatan struktural, hal ini disebut berhenti sementara. Namun, berdasarkan PermenPANRB
No. 4 Tahun 2020 mengenai
pemberhentian sementara, tidak ada. Bapak dimungkinkan diangkat kembali menjadi Perencana Ahli
Muda selama formasi untuk JFP ahli muda ada di unit tersebut. Silakan berkoordinasi dengan organisasi mengenai formasi JFP Ahli Muda sedang tersedia atau tidak. Bapak masih menggunakan AK yang tertinggal waktu lalu. Misalnya saat diangkat menjadi struktural AK-nya 250, maka saat diangkat kembali AKnya juga 250.
PERTANYAAN 10:
Pada 31 Desember 2021 saya diangkat ke menjadi Perencana
Ahli Muda dengan pangkat penata
tingkat I, golongan III/d, hasil penyetaraan jabatan. Sewaktu eselon IV, saya di Bagian Evaluasi dan Perencanaan. Dengan beralihnya jabatan tersebut, pembuatan SKP tahun pertama masih bingung. Setelah saya berkoordinasi dengan BKD, mereka juga bingung untuk penetapan SKP dengan angka kredit (AK). Apalagi di daerah kami belum ada Tim Penilai Angka Kredit. Saya juga mencoba lewat aplikasi Sikeren tetapi tidak bisa login. Bagaimana permasalahan tersebut bisa diatasi? Poin-poin apa yang dicantumkan dalam SKP tahun pertama? Bagaimana pengusulan pangkat lebih tinggi, apa masih membutuhkan SK Awal Penyetaraan atau ada format baru tentang SK terbaru hasil penyetaraan? Karena SK awal hasil penyetaraan tidak mencantumkan AK.
Jawaban: Dapat dinilai di Tim Penilai Pusat. Seharusnya dari Januari 2022 sudah menyusun SKP. Pada tahun 2022 ada dua jenis SKP, yaitu berdasarkan PermenPANRB No. 8 Tahun 2021 dan PermenPANRB No. 6 Tahun 2022. Kalau baru menyusun SKP 2022 pada 2023, Bapak harus mengacu pada Perjanjian Kinerja (PK) pimpinan. Posisi Bapak Perencana Ahli Muda, sehingga menyusun laporan by process
vvBerdasarkan PermenPANRB Nomor
1 Tahun 2023, walaupun penilaian akhirnya sampai tanggal 30 Juni 2023, tetapi kebijakan Kapusbindiklatren maksimal adalah 30 Maret 2023 untuk pengumpulan dokumen keluaran kinerja. Untuk penggunaan Sikeren harus berkoordinasi dengan Bagian Kepegawaian, dari BKD diusulkan satu nama sebagai sekretariat Tim Penilai AK.
Bapak bisa kontak kami untuk mendapatkan contoh SKP yang menggunakan PermenPANRB No. 8
Tahun 2021 dan PermenPANRB No.
6 Tahun 2022, sehingga Bapak bisa langsung menyesuaikan. Namun, Bapak tidak dapat menyusun SKP tanpa mengetahui arahan dari pimpinan.
PERTANYAAN 11:
Saya CPNS pada 2005 dengan formasi teknisi pertanian. Pada 2013, saya menyelesaikan studi S-2 Perencana Ilmu Lingkungan yang dibiayai oleh Pusbindiklatren. Sejak 2017, saya ditempatkan sebagai staf penyusun program anggaran dan pelaporan Dinas Pertanian. Pada 2022, SK kenaikan pangkat pembina golongan IV/a saya dikeluarkan Gubernur. Apakah saya bisa diusulkan sebagai fungsional perencana? Jika iya, bagaimana mekanisme pengusulannya? Apa saja yang perlu saya lakukan jika usulan tersebut disetujui sehingga saya layak untuk menyandang jabatan fungsional perencana?
Jawaban:
Silakan mengikuti uji kompetensi perpindahan untuk jenjang ahli madya, karena Ibu sedang di pangkat pembina golongan IV/a. Ibu dapat mendaftarkan diri melalui pusbindiklatren.bappenas.go.id/ daftar. Syarat dapat dilihat pada surat penawaran Uji Kompetensi Tahun 2023 yang tercantum pada menu Informasi Publik di situs web Pusbindiklatren (pusbindiklaren. bappenas.go.id). Hal pertama yang harus dilakukan adalah melihat ketersediaan formasi.
PERTANYAAN 12: Saya bermaksud pindah tugas, yaitu ke kementerian/lembaga di Jakarta. Selama masih proses perpindahan ini, asumsikanlah saya dapat lulus sebagai fungsional perencana, di mana tadinya rekomendasi saya dari daerah. Pertanyaan saya, apakah sertifikat kelulusan saya sebagai
fungsional perencana tersebut dapat diakui oleh kementerian/ lembaga tempat saya bekerja nanti?
Jawaban:
Pada saat akan pindah, pastikan Bapak memang diangkat ke dalam JFP Ahli Madya, sehingga sertifikat kelulusan tersebut dapat digunakan. Bisa juga dengan Bapak masuk dahulu sesuai dengan jabatan pada saat direkrut, baru satu tahun kemudian dan apabila tersedia formasi, Bapak dapat diangkat ke dalam JFP Ahli Madya.
PERTANYAAN 13:
Bukti apa untuk menunjukan kita sebagai sub-koordinator? Karena pada Perjanjian Kinerja Tahun 2022, jabatan fungsional ditunjuk sebagai sub-koordinator, tetapi pada Perjanjian Kinerja Perubahan tidak ditunjuk sebagai sub-koordinator lagi karena status sub-koordinator sebagai jalan untuk mengajukan pangkat sebagai jabatan fungsional penyetaraan.
Jawaban:
Dalam ketentuan PermenPANRB No. 17 Tahun 2021, tepatnya Pasal 28 dijelaskan bagi struktural yang terkena dampak penyetaraan jabatan eselon III menjadi ahli madya, eselon IV menjadi ahli muda khusus daerah, eselon V menjadi ahli pertama. Ibu diamanatkan menjadi sub-koordinator di dalam ketentuan penyetaraan tersebut dan akan mendapatkan bonus setelah satu tahun menjalankan subkoordinatornya, ditunjukkan dengan SK Surat Penugasan dari instansi.
TEMA: FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PERENCANA
PERTANYAAN 14:
Mohon petunjuknya untuk cara membuat formasi kebutuhan JFP di perangkat daerah provinsi, sebab sampai sekarang tidak ada dokumen yang bisa dijadikan acuan kebutuhan
formasi JFP. Akibatnya, hingga kini di perangkat daerah tempat saya bekerja, belum ada PNS yang menduduki JFP.
Jawaban: Bagian kepegawaian dan bagian organisasi dan tata laksana yang akan menghitung kebutuhan formasi jabatan. Untuk model perhitungan silahkan bersurat ke Pusbindiklatren, selanjutnya kami akan validasi perhitungan tersebut.
Formasi jabatan tersebut harus disetujui di aplikasi e-Formasi Kementerian PANRB berdasarkan rekomendasi dari instansi pembina perencana (Pusbindiklatren).
PERTANYAAN 15: Di beberapa OPD kami di pemerintah kota (selain Bappeda), terdapat Jabatan Fungsional Perencana Ahli Muda. Apakah analisis kebutuhan jabatan Perencana Ahli Muda hanya diusulkan oleh masing-masing perangkat daerah ataukah secara keseluruhan oleh kepegawaian dan bagian organisasi?
Jawaban: Untuk pengusulan penambahan formasi JFP memang dilakukan oleh bagian organisasi dan kepegawaian. Namun, di dalamnya sudah melibatkan masing-masing penghitungan OPD. Jadi perhitungan formasi jabatan tidak bisa dari Bappeda, melainkan harus melibatkan seluruh OPD.
TEMA: KENAIKAN PANGKAT DAN JENJANG JFP
PERTANYAAN 16: Saya telah lulus Uji Kompetensi Perencana Ahli Pertama. Pada Penetapan Angka Kredit (PAK) poin V, tertera “Dapat dipertimbangkan untuk Pengangkatan ke dalam Jabatan Fungsional Ahli Muda”. Mohon petunjuk terkait hal ini. Apabila tersedia formasi kebutuhan
Fungsional Perencana Ahli Muda, apakah saya bisa diangkat sebagai Fungsional Perencana Ahli Muda? atau tetap pada Jabatan Fungsional Ahli Pertama?
Jawaban:
Memang benar informasi PAK dapat dipergunakan untuk pengangkatan ke Jabatan Fungsional Ahli Muda.
Jika belum memenuhi persyaratan AK, biasanya dari kepegawaian akan mencoret salah satu. Jika nantinya mengikuti uji kompetensi dan telah memenuhi persyaratan untuk naik jenjang ke ahli muda maka bisa dipertimbangkan. Jadi ini hanya format dalam tabel. Jika nanti sudah memenuhi persyaratan naik jenjang, baru bisa naik jenjang ke ahli muda.
TEMA: TUNJANGAN
PERTANYAAN 17:
Saya fungsional perencana hasil penyetaraan Desember 2021. Apakah harus ikut uji kompetensi terlebih dahulu, baru kami diakui sebagai fungsional penuh? Karena sampai hari ini tunjangan kami masih seperti tunjangan struktural (Rp540.000,00). Pada SK Bupati disebutkan kami sebagai subkoordinator, sehingga kami harus ikut uji kompetensi terlebih dahulu, baru bisa diakui sebagai fungsional perencana. Padahal dalam Perpres No. 50 Tahun 2022 pada Pasal 2 ayat 4 dan 5, jelas dan tidak membedakan penyetaraan pusat dan daerah. Pada Perpres No. 97 Tahun 2022 pada Pasal 4 huruf a dan huruf b jelas uraiannya. Begitu juga Pasal 5. Kapan tunjangan kami disesuaikan, sementara kami sudah diharuskan bekerja berdasarkan PermenPANRB No. 6 Tahun 2022?
Jawaban:
Pada PermenPANRB No. 28 Tahun 2019, untuk pejabat yang mengalami penyetaraan jabatan, tunjangan bagi fungsional perencana hasil penyetaraan sama dengan saat
menjadi struktural. Nanti pada saat instansi Ibu sudah menggunakan
PermenPANRB No. 6 Tahun 2022 secara keseluruhan, maka sudah tidak ada lagi koordinator dan subkoordinator, serta ada penyesuaian dengan Perpres No. 97 Tahun 2022.
PERTANYAAN 18:
Saya sudah pernah menerima
tunjangan sesuai Perpres No. 97
Tahun 2022 sebagai JFP Ahli Muda sebesar Rp1.100.000,00 per bulan pada November dan Desember 2022. Namun, pada Januari 2023 langsung dikembalikan pada
tunjangan struktural sebesar Rp540.000,00. Saat konsultasi Bappeda kami dengan Bappenas, didapatkan hasil bahwa harus menunggu Permendagri sebagai turunan dari Perpres No. 50 Tahun 2022 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Penyetaraan. Karena kami yang disetarakan ini diangkat berdasarkan persetujuan Mendagri. Kapan kira-kira Permendagri dimaksud akan dikeluarkan?
Jawaban:
Tidak perlu menunggu Permendagri, nanti BKD berkoordinasi dengan Kemendagri, yakni Bapak Riki, untuk meyakinkan bagi BKD bahwa Perpres No. 97 Tahun 2022 sudah bisa dilaksanakan.
TEMA: PENYUSUNAN SKP
PERTANYAAN 19:
Saya baru dilantik menjadi JFP Ahli
Muda. Apakah untuk target SKP
tahun 2023 ini harus berpedoman pada butir-butir uraian pekerjaan perencana sebagaimana
PermenPANRB No. 4 Tahun 2020?
Jika misalnya terdapat pekerjaan yang berbeda dengan butir-butir uraian pekerjaan perencana, apakah bisa mendapatkan kredit poin?
Jawaban:
Mulai 2023 butir-butir AK tidak ada
lagi sehingga penilaian AK terakhir dilaksanakan untuk penilaian kinerja tahun 2022.
Dalam PermenPANRB No. 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional, perolehan AK tahunan berdasarkan konversi predikat kinerja hasil penilaian SKP oleh atasan langsung. Untuk laporannya tidak lagi ke tim penilai, tetapi akan dinilai oleh atasan langsung untuk kinerja tahun 2023.
Untuk penyusunan SKP, diperbolehkan apabila ada pekerjaan yang sekiranya dalam penamaan mirip dengan butir-butir PermenPANRB No. 4 Tahun 2020. Untuk penuangan bahasa kinerja, silakan berdiskusi dengan atasan langsung, apakah cukup menyesuaikan dengan butirbutir kegiatan unsur perencanaan yang ada di PermenPANRB No. 4 Tahun 2020 atau harus dibuat lebih spesifik lagi.
PERTANYAAN 20: Misalnya di dalam SKP kita terdapat uraian tugas di luar aspek perencanaan, apakah itu masih diakomodasi atau tidak?
Jawaban: Sesuai penugasan atasan langsung. Tugas utama tetap di perencanaan. Jangan sampai nanti tugas-tugas di luar perencanaan pembangunan lebih banyak dibanding tugas-tugas di bidang perencanaan pembangunan. Apabila lebih banyak tugas di luar bidang perencanaan pembangunan, bisa berdiskusi lagi dengan atasan langsung.
TEMA: PEROLEHAN ANGKA KREDIT
PERTANYAAN 21:
Bagaimana penilaian angka kredit periode tahun 2022 terkait PermenPANRB No. 1 Tahun 2023?
Ini mengingat penetapan PAK sebelumnya mengacu pada PerkaBKN No. 11 Tahun 2022.
Jawaban: Untuk periode tahun 2022, masih menggunakan angka kredit. Sementara untuk periode 2023, mengacu pada PermenPANRB Nomor 1 Tahun 2023, yaitu konversi predikat kinerja ke dalam angka kredit.
PERTANYAAN 22:
Saya JFP Ahli Muda hasil penyetaraan, dengan angka kredit 0, TMT 1 Oktober 2022. Bagaimana cara mendapatkan angka kredit untuk naik pangkat berikutnya?
Jawaban: Untuk tahun 2023, perolehan angka kredit berdasarkan konversi predikat kinerja ke dalam angka kredit, di mana hasil penilaian kinerja dilakukan oleh atasan langsung sebagai Pejabat Penilai Kinerja.
Pejabat Penilai Kinerja menilai kinerja yang terdiri dari sasaran kinerja pegawai dan perilaku kerja Pejabat Fungsional melalui evaluasi periodik dan tahunan, sehingga mendapatkan Predikat Kinerja. Predikat Kinerja tersebut dikonversikan dalam bentuk angka kredit, kemudian dituangkan dalam Penetapan Angka Kredit dan ditetapkan oleh Pejabat Penilai Kinerja.
Untuk kenaikan pangkat, harus memenuhi kebutuhan angka kredit kumulatif kenaikan pangkat.
Anda memiliki
masalah/pertanyaan
seputar Jabatan
Fungsional Perencana
atau Program Diklat
Pusbindiklatren
Kementerian PPN/
Bappenas?
Konsultasikan secara daring dengan
Tim Pusbindiklatren Kementerian PPN/Bappenas melalui
bit.ly/klinik-asn-perencana
MENGUPAS KOMPLEKSITAS PENILAIAN KINERJA PERENCANA
Perubahan penilaian kinerja perencana menimbulkan implikasi yang kompleks. Meski bertujuan baik untuk penyederhanaan, nyatanya ada beberapa pegawai menjadi turun pangkat. Di sisi lain menimbulkan tambahan pekerjaan yang dirasa memberatkan. Tentu saja kebijakan baru perlu waktu untuk diolah dan dicerna.
LATAR BELAKANG
Kementerian PPN/Bappenas
termasuk instansi yang paling awal dalam menindaklanjuti arahan Presiden tersebut. Upacara pelantikan dan pengambilan sumpah/ janji jabatan diadakan pada 23 Desember 2020. Sebanyak 133 pegawai dialihkan jabatannya menjadi pejabat fungsional perencana. Sebagian belum pernah menduduki jabatan fungsional sebelumnya.
Kecemasan mereka masih belum seberapa dibandingkan nasib sepuluh pegawai Kementerian PPN/Bappenas yang sebelumnya menjabat sebagai pelaksana tugas (Plt) dalam jabatan administrator (eselon III), tetapi tidak dapat dialihkan ke posisi jabatan
fungsional perencana madya. Kesepuluh orang ini mengalami penurunan job grade yang berarti turunnya penghasilan secara signifikan. Kejadian ini lalu direspons dengan pengunduran diri sebagian pegawai terdampak.
Di sisi lain, muncul pekerjaan tambahan bagi pegawai fungsional baru tersebut. Jika sebelumnya hanya berfokus pada pekerjaan yang melekat pada jabatan struktural, kali ini mereka dibebani dokumentasi administratif sebagai Pejabat Fungsional Perencana. Kebingungan mereka semakin bertambah setelah muncul beleid baru tentang penilaian kinerja para perencana.
Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (PermenPANRB) Nomor
4 Tahun 2020 tentang Jabatan
Fungsional Perencana memuat
banyak perubahan besar dari aturan
sebelumnya yang disusun pada tahun 2001. Terdapat sekurangnya dua perubahan yang sangat signifikan.
Pertama, proses penilaian kinerja diukur mengacu pada Sasaran
Kinerja Pegawai (SKP) tahunan (sebagaimana amanat PP Nomor 30 Tahun 2019) yang memuat angka kredit (AK) disertai bukti pendukung.
Kedua, terdapat pengaturan baru untuk batas minimal dan maksimal untuk AK per tahun disertai dengan
perubahan formula syarat kenaikan pangkat dan jenjang jabatan yang kali ini tidak memungkinkan kenaikan pangkat lebih cepat dari tiga tahun (dibandingkan pengaturan sebelumnya yang membuka kemungkinan kenaikan tiap dua tahun).
Belum tuntas para pegawai memahami perubahan di jabatan baru, beberapa aturan teknis
menyusul diterbitkan dan memerlukan waktu untuk dicerna. PermenPANRB
Nomor 6 Tahun 2022 tentang
Pengelolaan Kinerja Pegawai Aparatur
Sipil Negara sepanjang 240 halaman dan PermenPANRB Nomor 8 Tahun
2022 tentang Sistem Manajemen
Kinerja Pegawai Negeri Sipil (294 halaman).
Dan akhirnya, hari ini kita mendapati
PermenPANRB Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional yang mengubah aturan penilaian kinerja sebelumnya, yang belum genap berusia setahun. Dengan kemunculan beruntun peraturan tersebut, wajar apabila baru segelintir pegawai yang memahami bentuk baru pengukuran kinerja dan mungkin mempertanyakan kembali hakikat pengukuran kinerja perencana.
Singkatnya, terjadi dinamika perubahan pola kerja bagi para pejabat fungsional madya hasil penyetaraan—yang diberikan status sebagai “koordinator” untuk menjustifikasi job grade satu strip lebih tinggi dibanding perencana ahli madya reguler—dalam hal pencatatan kinerja. Selain mengerjakan penugasan sehari-hari layaknya di jabatan struktural, beban mereka bertambah karena harus memenuhi kewajiban pengumpulan dan penghitungan AK sebagai bagian integral dari SKP untuk mengikuti tata aturan kenaikan pangkat.
PERMASALAHAN DAN TUJUAN
Guna mengurai permasalahan pengukuran kinerja, kita perlu memahami latar belakang atau motivasi dari orientasi pengukuran kinerja tersebut. Perubahan pengukuran kinerja tidak lepas dari diskursus reformasi birokrasi sejak dua dekade lalu yang menekankan pada peningkatan kinerja individu pegawai maupun kelembagaan. Dengan haluan seperti itu, menjadi keniscayaan untuk menyusun instrumen pengukuran yang cenderung berbasis kuantitatif dan serba tercatat.
Seluruh dokumentasi hasil pencatatan kinerja beserta penilaiannya selanjutnya menjadi dasar untuk menunjukkan kinerja institusi. Hasil pencatatan kinerja ini terutama digunakan dalam rangka untuk memperjuangkan kenaikan remunerasi (tunjangan kinerja) yang sepertinya terlihat mengarah pada peran dan beban kerja lembaga. Kelengkapan administratif menjadi fokus dari orientasi kebijakan.
Dampaknya langsung terasa pada peningkatan beban administratif dan munculnya aktivitas baru (tambahan), yaitu mengerjakan ulang penugasan yang secara substansi telah selesai ditunaikan.
Unjuk kerja atas peran penting (meaningfulness) instansi dan/atau individu inilah yang selanjutnya juga menjadi dasar penentuan tingkat remunerasi yang diwujudkan dalam bentuk pemberian tunjangan kinerja. Dengan kebijakan seperti ini, kementerian/lembaga (K/L) yang kurang mampu menyampaikan unjuk kerja yang berbobot (meaningful) dan terukur sempurna melalui penurunan (cascading) terhadap indikator kinerja utama atau indikator pembangunan, maka K/L tersebut dianggap tidak layak mendapatkan tunjangan kinerja pada level tinggi (acapkali diistilahkan di percakapan media sosial dengan “tukin sultan”).
Di satu sisi, orientasi pengukuran kinerja menuju paradigma kuantitatif membawa manfaat dalam hal kemudahan penilaian dan kerapian administrasi. Namun, di sisi lain ternyata menimbulkan kesulitan, khususnya di unit kerja dengan tugas dan fungsi yang bersifat abstrak. Bentuk kerja pengetahuan (knowledge work) dari hasil pemikiran strategis akan sulit dikonversi dalam bentuk kuantitatif.
dan dampak-tak-termaksud (unintended consequences). Mengambil contoh di dunia akademik, sampai hari ini kita masih menyaksikan kontroversi seputar kebijakan sitasi dan indeksasi karya tulis ilmiah yang dipersyaratkan dalam pengurusan jenjang karier dosen. Alih-alih meningkatkan kualitas hasil kerja, justru menimbulkan masalah baru (moral hazard) dan penyimpangan yang populer dengan istilah efek kobra1
Ditambah lagi, pola kerja perencana saat ini didominasi oleh tugas-tugas yang bersifat spontan (tidak terjadwal apalagi terencana) dan harus diberikan tanggapan dalam waktu singkat. Peningkatan kecanggihan teknologi turut berkontribusi pada masifnya lalu-lintas aliran disposisi dan penugasan.
Semenjak pola kerja baru dikenalkan terutama di masa pandemi Covid-19, kita semakin terbiasa menghadiri banyak kegiatan secara simultan. Pertemuan daring virtual menjadi ternormalisasi dan melintasi batas waktu dan ruang kerja. Ketika pandemi usai, beban kerja terasa semakin meningkat karena ternyata pola kerja lama (pertemuan dan mobilitas fisik) kembali rutin dilaksanakan.
Tuntutan pekerjaan saat ini dibandingkan 5―10 tahun lalu sungguh semakin terlihat meningkat.
Banyak harapan pimpinan supaya para staf melengkapi kemampuannya untuk bekerja lintas unit kerja (sering dibungkus dalam jargon “tidak silo-silo”), bekerja dengan penuh inovasi (out of the box atau not business as usual) dan yang terkini adalah istilah agile (terjemahan dari kombinasi antara responsif dan lincah). Pola seperti ini berpeluang pada pengayaan pengetahuan dan pengalaman bagi staf. Namun, pola seperti ini juga memiliki risiko mengakibatkan pola kerja berlebih, eksploitatif, dan menyelisihi keseimbangan kerja (work-life balance).
Bentuk baru pola kerja para perencana saat ini semakin mengarah pada hal yang bersifat mikro dan estetik. Jika dulu banyak melandaskan pada desk study dan studi literatur dengan mengandalkan data sekunder, saat ini para staf dituntut mengetahui dan memiliki solusi atas persoalan teknis di lapangan.
Dalam hal estetika, bisa kita bandingkan betapa indahnya tampilan bahan paparan dan infografik yang disusun pada lima tahun terakhir dibandingkan dokumen presentasi dan berkas kerja 10—20 tahun lalu. Tuntutan pekerjaan substansi yang meningkat ini sayangnya tidak diiringi dengan pola kerja yang membebaskan dari kewajiban pencatatan administratif. Kenyataannya, selain pekerjaan
substansi yang kian menuntut (demanding) dan mendesak (pressing), kewajiban pemenuhan beban administratif justru kian rumit, mendetail, dan mengambil waktu lebih banyak.
PEMBAHASAN
Setelah kita pahami latar belakang, yang sejatinya mulia, dari reformasi birokrasi beserta identifikasi persoalan yang melingkupinya, tentunya kita dapat memikirkan solusi atas persoalan tersebut. Tulisan sederhana ini akan menggunakan analogi dalam khasanah ilmu ekonomi. Dalam perspektif ekonomi, pisau analisis yang lazim digunakan adalah analisis optimasi [1] yang bertujuan mencari solusi terbaik dan masuk akal atas keterbatasan sumber daya (resources).
Pada konteks penilaian kinerja, sumber daya yang dimaksud meliputi tenaga, pikiran, dan waktu (meskipun tentunya analisis biaya-manfaat juga dapat digunakan).
Jargon teknis dalam ilmu ekonomi yang paling tepat dalam menggambarkan pilihan dan konsekuensi adalah ”trade off”, artinya satu penentuan pilihan akan berimbas pada pengorbanan pilihan lain [2]. Dalam konteks penilaian kinerja tentunya kita akan dihadapkan pada pilihan menggunakan waktu dan sumber daya terbatas untuk (1) mengerjakan pekerjaan administrasi pencatatan kinerja atau (2) menyelesaikan pekerjaan substansi.
Absurd adalah istilah yang tepat untuk pandangan yang mendasarkan pada asumsi ketiadaan trade-off Terlihat kurang masuk akal saat para perencana yang tengah dituntut menguasai metode baru seperti pendekatan foresight atau scenario planning untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) tetiba dihadapkan tenggat administratif pelaporan Daftar Usulan
Penetapan Angka Kredit (DUPAK), pengumpulan dokumen SKP, dan berbagai berkas administratif lainnya.
Dalam literatur ilmu ekonomi kita juga mengenal teori sinyal (signaling theory) [3] yang dikembangkan oleh Michael Spence (peraih Nobel Ekonomi tahun 2001). Teori sinyal diajukan Spence dalam konteks pasar tenaga kerja dengan informasi asimetrik.
Dalam model tersebut, pencari kerja menggunakan capaian akademik bidang tertentu (ijazah atau sertifikat) sebagai “sinyal” ke pemberi kerja bahwa dia layak diberi bayaran/ fasilitas yang baik. Meminjam analogi teori sinyal Spence tersebut, maka terdapat peluang bagi para perencana untuk “mengirim sinyal” kepada penyusun kebijakan.
Salah satu sinyal penting yang
dapat disampaikan adalah: bahwa kita menghadapi “trade off” dan kewalahan dalam mengerjakan pekerjaan substansi dan pekerjaan administrasi. Apabila “sinyal” yang kita kirim adalah kita mampu mengerjakan kedua jenis pekerjaan tersebut dengan baik, maka respons dari pemberi kebijakan tentunya tidak melihat adanya permasalahan.
Perspektif signaling theory dalam konteks penilaian kinerja dapat diilustrasikan dengan Gambar 1. Sumbu horizontal (y) menggambarkan kualitas kerja perencana, sedangkan koordinat absis (x) merefleksikan biaya dan manfaat. Semakin besar angka di sumbu y (arah ke kanan) menggambarkan semakin tingginya kualitas kerja perencana. Sedangkan semakin tinggi angka di sumbu x, maka semakin besar value for money dari seorang perencana yang dipekerjakan.
Garis diagonal berwarna biru menunjukkan beban kerja sebelum penerapan aturan baru penilaian kinerja. Sementara garis merah mewakili lintasan (trajectory) setelah penerapan aturan baru yang menimbulkan beban tambahan atas penilaian kinerja. Garis pendek berwarna hijau tua berperan sebagai penanda tingkat remunerasi yang diterima perencana. Garis hijau tua berperan penting dalam meletakkan keseimbangan antara biaya-manfaat dengan kualitas kerja yang dihasilkan oleh perencana.
Tingkat kepuasan pekerja dengan beban penilaian kinerja aturan baru diukur dengan melihat jarak antara garis warna hijau tua yang berpotongan dengan garis diagonal merah. Adapun tingkat kepuasan pekerja tanpa aturan baru penilaian kinerja diukur dengan melihat jarak antara garis hijau tua dengan lintasan diagonal warna biru.
Terlihat jelas kepuasan pekerja berada di posisi lebih tinggi untuk kondisi tipe II (ketika beban kerja tidak sebesar tipe I). Bagian kiri grafik menunjukkan selisih kualitas kerja perencana dengan dan tanpa beban tambahan
penilaian kinerja. Dalam istilah teknis ekonomi, kualitas kinerja perencana yang turun atau berkurang ini mungkin ekuivalen dengan jargon “dead weight loss” yang mengindikasikan berkurangnya/hilangnya efisiensi ekonomi dan menjadi pertanda fenomena kegagalan pasar (market failure) [4].
Salah satu kisah populer dalam sejarah pemikiran ekonomi adalah peristiwa Great Depression pada akhir dekade 1930-an [5], diceritakan ulang oleh John Maynard Keynes (begawan ekonom global abad ke20). Suatu ketika ia mengunjungi restoran favoritnya yang makin sepi karena situasi resesi ekonomi parah sehingga menurunkan daya beli para pelanggannya. Keynes terkejut sewaktu mendapati manajer restoran dengan sengaja menaruh sendok dan garpu ke lantai. Penasaran dengan kejadian tersebut, Keynes bertanya langsung dan mendapati jawaban, “Supaya pegawai restoran terlihat sibuk bekerja dan memberikan tanda kepada khalayak bahwa restoran masih nampak ramai.”
Apabila Keynes masih hidup hari ini dan menyaksikan dinamika perubahan
penilaian kinerja perencana di Indonesia, mungkin ia akan menganalogikan seorang manajer restoran yang tidak hanya meletakkan perkakas di lantai, tetapi juga membuang makanan yang terhidang supaya dibersihkan oleh pegawainya. Suatu kemubaziran yang seharusnya bisa dihindari.
SARAN DAN REKOMENDASI
Penting kiranya bagi kita untuk menerka apa yang ada di benak penyusun kebijakan penilaian kinerja yang cenderung merepotkan tersebut. Sangat mungkin seluruh perbaikan tersebut disusun atas dasar kondisi sekarang dan masa lampau yang belum mencerminkan proses kerja perencana secara ideal. Namun, tentunya tidak bijak jika
lompatan kebijakan lahir tanpa dasar evidence dan konteks yang tepat. Di sisi sebaliknya, penting bagi penyusun kebijakan untuk mendapatkan respons balik atas pelaksanaan aturan yang telah disusun sebelumnya.
Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, kita mengenal prinsip “partisipasi bermakna”. Sebagai ilustrasi, dalam konteks penyusunan kebijakan seputar teknologi finansial (fintech), Bank Indonesia bersama Otoritas Jasa Keuangan mengimplementasikan konsep regulatory sandbox sebagai wahana pengujian implementasi regulasi untuk mencari formula yang tepat dan disepakati dalam ekosistem jasa keuangan.
Tak ada salahnya mempelajari contoh di atas dalam penyusunan aturan terkait penilaian kinerja individu pegawai maupun institusi. Apalagi saat ini banyak usulan terobosan kebijakan yang muncul dan cenderung langsung dilaksanakan tanpa uji coba. Usulan inovatif yang berasal dari “proyek perubahan” bagian dari tugas dalam program diklat kepemimpinan perlu terlebih dahulu diuji secara penerimaan publik (acceptance) dan kelayakan (feasibility).
Memang tidak semua kebijakan dapat disusun secara demokratis penuh dan menganut asas bottom up. Namun, semakin banyak kebijakan yang kurang melibatkan banyak pihak,
maka akan semakin besar resistansi dan ekses yang akan muncul di kemudian hari.
Analisis sederhana dengan meminjam konsep teori sinyal menunjukkan betapa besar inefisiensi yang timbul dengan beban tambahan akibat penerapan aturan penilaian kinerja yang baru. Selain dengan memberikan sinyal, para perencana juga seharusnya dapat menyampaikan langsung aspirasi dan keluhan atas beban yang timbul dalam penerapan aturan baru penilaian kinerja. Keberadaan serikat pekerja (atau organisasi yang mirip, seperti KORPRI dan asosiasi perencana) diperlukan untuk menyalurkan pesan penting yang lebih tegas dan jelas (dibandingkan pemberian sinyal yang mungkin terdistorsi).
Penting juga untuk mencari referensi dan praktik, baik penilaian kinerja yang dilakukan di lembaga pada sektor yang ekuivalen dengan lembaga perencanaan seperti Bank Dunia, Prospera, Bank Indonesia Institute, atau lembaga pengelola/pemanfaat ilmu pengetahuan untuk kebijakan. Patut diduga, aspek kepercayaan
(trust) sangat dominan dalam aturan penilaian kinerja di lembaga tersebut sehingga tidak perlu merepotkan stafnya untuk melakukan “unjuk kerja” yang berisiko mengurangi kualitas pekerjaan substansi pegawainya.
Bukan tidak mungkin kita menjumpai alternatif pengukuran kinerja yang lebih kredibel dan tidak menyusahkan. Sebagai contoh, hampir setiap unit kerja di Kementerian PPN/Bappenas memiliki kegiatan yang menghasilkan dokumen serupa kajian/studi/riset. Namun, hampir seluruhnya tidak pernah diuji/dinilai layaknya produk akademik melainkan hanya disertai pertanggungjawaban penyelesaian kegiatan dengan administrasi keuangan yang rapi. Dengan demikian, terdapat peluang besar bagi para perencana untuk melakukan “unjuk kerja” yang lebih substantif dengan mengirimkan tulisan hasil kerjanya ke jurnal atau media.
Naskah hasil kerja yang berkualitas tentunya akan berhasil menembus proses peer review dan mendapat tempat. Perlu diketahui bahwa di Kementerian PPN/Bappenas saat ini mengasuh setidaknya empat wadah
pemuatan artikel: Jurnal Perencanaan
Pembangunan, Bappenas Working Papers, Journal of Indonesia
Sustainable Development Planning (JISDEP) dan media yang anda baca saat ini: Simpul Perencana
Profesi perencana, meskipun menghasilkan dokumen teknokratik yang terkesan serius, tetapi pada prosesnya melibatkan kerja-kerja kreatif yang memerlukan situasi dan kondisi yang layak. Untuk mendapatkan hasil yang baik, kerja kreatif hendaknya terbebas dari beban kerja administratif dan birokratis yang berlebih. Apabila bentuk penilaian kinerja diteruskan dengan ketat seperti saat ini, ke depan kita hanya akan menghasilkan perencana teknokrat yang kurang kreatif dan sulit menghasilkan terobosan baru guna mencapai visi Indonesia Emas 2045.
Akhirnya, semoga badai kebijakan penilaian kinerja ini segera berlalu dan kita dapat kembali mengerjakan halhal yang lebih penting dan bermanfaat bagi bangsa ini.
REFERENSI
Luptacik, M. (2010). Mathematical Optimization and Economic Analysis (p. 307).
New York: Springer.
Campbell, D. E., & Kelly, J. S. (1994). Trade-off Theory. The American Economic
Review, 84(2), 422–426.
Spence, M. (1978). Job Market Signaling. In P. Diamond & M. Rothschild (Eds.),
Uncertainty in Economics: Readings and Exercises (pp. 281–306). Academic Press. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-214850-7.50025-5
Mankiw, N. G. (2016). Principles of Microeconomics (8th ed.). Cengage Learnin
Custom Publishing.
Skidelsky, Robert. (1983). John Maynard Keynes: a Biography. London:
Macmillan.
PROFIL PENULIS
Dharendra Wardhana merupakan Perencana Ahli Madya di Direktorat Ketenagakerjaan (Kementerian PPN/Bappenas). Tulisan merupakan pendapat dan tanggung jawab pribadi.
Kumpulan artikel lain dari penulis dapat diakses di https://sites.google. com/site/dharendrawardhana1/
MENGUPAS KOMPLEKSITAS PENILAIAN KINERJA PERENCANA
Penilaian kinerja
perencana merupakan hal yang signifikan karena menyangkut promosi, peningkatan jabatan, bahkan sanksi. Oleh karena itu, perlu dipastikan bahwa tim penilai melakukan penilaian kinerja yang objektif. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan objektivitas penilaian kinerja perencana.
PENDAHULUAN
Setiap instansi yang melakukan aktivitas pekerjaan memiliki pegawai yang bertugas untuk mencapai target kinerja. Pegawai dituntut untuk dapat menerjemahkan tujuan atau program yang diemban oleh instansi yang bersangkutan. Bukan hanya itu, pegawai juga harus mampu membuat kegiatan yang dapat digunakan untuk pijakan dalam mencapai tujuan atau program yang telah ditentukan.
Keluaran atau output yang dihasilkan harus jelas dalam menunjang ketercapaian tujuan atau program yang dimaksud. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Nomor 4 Tahun 2020 tentang Jabatan Fungsional Perencana. Perencana mempunyai ruang lingkup tugas, tanggung jawab, dan wewenang, untuk melaksanakan kegiatan perencanaan pembangunan di instansi pusat dan instansi daerah yang dalam periode tertentu dilakukan penilaian kinerja.
Tujuan Penilaian Kinerja Perencana yaitu untuk menjamin objektivitas pembinaan perencana yang didasarkan pada sistem prestasi dan sistem karier (PermenPPN/Kepala Bappenas No. 1 Tahun 2022). Oleh karena itu, upaya untuk melakukan analisis terhadap penilaian kinerja pegawai dari berbagai sisi jabatan
perencana merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.
Makalah ini mencoba mengkaji objektivitas penilaian kinerja oleh tim penilai Jabatan Fungsional Perencana (JFP) dengan melakukan identifikasi permasalahan dan pembahasan, serta memberikan saran.
PERMASALAHAN
Pasal 21 PermenPPN/Kepala
Bappenas No. 1 Tahun 2022 tentang
Petunjuk Teknis Penilaian JFP
menyebutkan bahwa Penilaian Angka
Kredit Perencana dilakukan dengan menilai hasil kerja/keluaran yang
tercantum dalam Lampiran SKP (Pasal 25).
Penilaian dilakukan oleh tim penilai
Angka Kredit (Pasal 27) dengan tugas
seperti tercantum dalam Pasal 66, yaitu (a) mengevaluasi keselarasan hasil penilaian yang dilakukan oleh
Pejabat Penilai; (b) memberikan
penilaian Angka Kredit berdasarkan nilai capaian tugas jabatan; (c) memberikan rekomendasi kenaikan pangkat dan/atau jenjang jabatan; (d)
memberikan rekomendasi mengikuti uji kompetensi; (e) melakukan pemantauan terhadap hasil penilaian capaian tugas jabatan; (f) memberikan pertimbangan penilaian SKP; dan (g) memberikan bahan pertimbangan kepada Pejabat yang Berwenang dalam pengembangan PNS, pengangkatan dalam jabatan, pemberian tunjangan dan sanksi, mutasi, serta keikutsertaan perencana dalam pendidikan dan pelatihan. Tim penilai melakukan verifikasi kesesuaian rencana kinerja dengan uraian kegiatan/tugas jabatan perencanaan pembangunan dalam Lampiran SKP.
Tim penilai JFP Unit Kerja di Instansi Pusat dibentuk oleh Pejabat Pembina Kepegawaian Instansi Pusat (pasal 70, PermenPPN/Kepala Bappenas No. 1 Tahun 2022) yang berasal dari instansi atau di luar instansi. Saat ini, tim penilai JFP berasal dari instansi yang sama, terlibat pekerjaan/ tugas yang sama dan memiliki hubungan yang dekat pegawai yang dinilai. Hal ini dapat memengaruhi objektivitas ketika dilakukan penilaian kinerja.
Isu objektivitas dalam penilaian kinerja adalah hal yang sering muncul dan perlu diatasi agar proses penilaian kinerja dapat dilakukan secara adil dan akurat. Menurut Sani dan Mansyuri (2010) dan Mangkuprawira (2022) dalam Novia, dkk. (2021), terdapat beberapa permasalahan dalam proses penilaian kinerja sehingga penilaian dianggap kurang objektif.
Menurut Hasibuan (2005) dalam Januari (2015), penetapan penilai sangat erat hubungannya dengan persoalan apakah hasil penilaian objektif atau tidak. Dari 7 tugas penilai JFP, terdapat 4 tugas yang berpotensi dipengaruhi oleh objektivitas tim penilai.
Tugas yang dimaksud yaitu, (1) mengevaluasi keselarasan hasil penilaian yang dilakukan oleh Pejabat Penilai; (2) melakukan pemantauan terhadap hasil penilaian capaian tugas jabatan; (3) memberikan pertimbangan penilaian SKP; dan (4) memberikan bahan pertimbangan kepada Pejabat yang Berwenang dalam pengembangan PNS, pengangkatan dalam jabatan, pemberian tunjangan dan sanksi, mutasi, serta keikutsertaan Perencana dalam pendidikan dan pelatihan.
Beberapa hal yang dapat memengaruhi objektivitas tim penilai, yaitu bias subjektif, standar penilaian yang tidak jelas, konflik kepentingan, dan kurangnya pelatihan penilai.
Bias subjektif
Penilai cenderung memberikan penilaian yang lebih tinggi
kepada pegawai yang dianggap disukai atau memiliki hubungan yang baik, atau pegawai yang
memiliki karakteristik yang serupa dengan penilai. Penilai juga dapat terpengaruh oleh kejadian atau peristiwa terakhir yang terjadi sebelum penilaian.
Penelusuran yang dilakukan
Giebe dan Gurtler (2012) dalam
Handojono (2014) menemukan
bahwa terjadi perbedaan yang
sistematis dalam penilaian kinerja, ketika seorang karyawan dievaluasi oleh supervisor yang berbeda. Beberapa supervisor cenderung memberikan penilaian lebih tinggi dibanding supervisor lain. Terutama pada supervisor yang memiliki hubungan dekat dengan yang dinilai.
Menurut Faturochman (2002), penilaian individu terhadap keadilan tidak lepas dari proses psikologi yang banyak dipengaruhi oleh faktorfaktor subjektif yang dapat menimbulkan bias. Menurut Sutrisno (2016), dalam praktiknya, penilaian kinerja memiliki banyak kelemahan, salah satunya adalah bias.
Standar penilaian yang tidak
jelas
Penilaian kinerja yang jelas dan terukur akan memberikan panduan yang jelas bagi penilai dalam mengevaluasi kinerja pegawai. Jika standarnya tidak jelas, penilai mungkin memiliki interpretasi yang berbedabeda dalam menilai kinerja pegawai. Hal ini tentu mengurangi objektivitas penilaian. Arisandy (2017) menyebutkan pengukuran dan penilaian prestasi kerja, tidak didasarkan pada target goal (kinerja standar/harapan), sehingga proses penilaian cenderung terjadi bias dan bersifat subjektif.
Konflik kepentingan
Penilai yang memiliki konflik kepentingan dapat memengaruhi penilaian kinerja pegawai dengan memberikan penilaian yang tidak objektif dan tidak adil. Hal ini mungkin terjadi, ketika penilai memiliki kepentingan pribadi dalam hasil penilaian kinerja.
Kurangnya pelatihan penilai Pelatihan yang kurang atau tidak memadai, membuat penilai tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk melakukan penilaian kinerja yang objektif dan akurat. Seorang penilai yang kurang terlatih mungkin tidak memahami pentingnya penggunaan standar penilaian yang jelas, sehingga mereka dapat memberikan penilaian yang tidak konsisten dan tidak adil.
PEMBAHASAN
Hasil penilaian kinerja dapat memengaruhi keputusan terkait penghargaan, promosi, dan pemecatan. Jika penilaian kinerja didasarkan pada faktor subjektif atau tidak dapat diandalkan, maka dapat merugikan pegawai dan organisasi. Oleh karena itu, tim Penilaian Kinerja JFP di kementerian/lembaga harus memastikan bahwa penilaian dilakukan secara objektif.
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan, menyimpulkan beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan objektivitas penilaian kinerja sesuai dengan empat faktor yang memengarungi objektivitas tim penilai.
Bias subjektif
Penelitian yang dilakukan oleh
Wherry dan Bartlett (1982) dalam Handojono (2014), menyimpulkan bahwa untuk mengurangi bias
dalam penilaian kinerja, yakni dengan menggunakan skala yang lebih jelas atau tidak ambigu, serta menggunakan lebih dari satu penilai. Penilaian grup dapat mengurangi bias
dalam penilaian kinerja. Karena penggunaan beberapa penilai akan mengurangi informasi yang
berlebihan ketika digunakan
sebagai dasar penilaian, sehingga memperbaiki bias
Dari teori di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan kriteria penilaian yang jelas dan objektif, serta penilaian tim merupakan langkah untuk menghilangkan bias. Hal lain yang dapat dilakukan antara lain mempertimbangkan perspektif beragam, memberikan pelatihan pada penilai, menghindari penilaian terhadap individu yang berbeda secara langsung, evaluasi berkelanjutan, serta meninjau ulang apakah kriteria yang digunakan masih relevan.
Standar penilaian yang tidak jelas Hasil penelitian Evita (2017) menemukan bahwa penilaian kinerja karyawan yang efektif harus bersifat objektif, memiliki standar yang jelas dan terukur, serta diakhiri dengan pemberian feedback atas capaian kinerja kerja karyawan.
Penggunaan metode kombinasi penilaian kinerja dengan menggunakan Key Performance Indicator (KPI) pada aspek hasil atau prestasi kerja pegawai, serta 360 degree feedback pada aspek kompetensi atau perilaku kerja, akan menghasilkan penilaian kerja pegawai secara menyeluruh dan terukur (Arisandy, 2017).
Dari penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa kriteria penilaian yang objektif dapat menghindari penilaian yang tidak standar. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain (a) identifikasi kriteria penilaian yang relevan; (b) menghindari penilaian berdasarkan penampilan fisik; (c) menggunakan kriteria
2. (Martell dan Leavitt, 2002) dalam Handojono (2014). 3. 4. 1.penilaian yang sama untuk semua karyawan; (d) memberikan pelatihan pada penilai; dan (e) evaluasi ulang standar penilaian.
Konflik kepentingan
Tidak banyak penelitian yang mengulas tentang cara mengatasi konflik kepentingan dalam penilaian kinerja. Namun, beberapa hal bisa dilakukan dalam mengatasinya, yaitu (a) menerapkan kebijakan etika dan kode etik yang jelas dan terperinci; (b) memastikan bahwa penilai kinerja memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk menilai kinerja secara objektif dan akurat; (c) menghindari situasi dimana penilai kinerja memiliki kepentingan yang terkait dengan hasil evaluasi; (d) melakukan penilaian dengan cara sistematis dan terstruktur, dengan menggunakan kriteria dan metode yang jelas serta diakui secara umum; (e) menerapkan prinsip transparansi dan keterbukaan dalam proses penilaian kinerja, dengan memberikan umpan balik dan penjelasan yang jelas kepada pegawai tentang kriteria dan metode penilaian yang digunakan.
Kurangnya pelatihan penilai
Menurut Mangkuprawira
(2011) dalam Nurhalim (2021), pelatihan adalah vital bagi perusahaan. Pelatihan merupakan sebuah proses mengajarkan pengetahuan dan keahlian tertentu, serta sikap agar karyawan semakin terampil dan mampu melaksanakan tanggung jawabnya semakin baik sesuai standar.
Sedangkan menurut Rivai (2015) dalam Nurhalim (2021), pelatihan merupakan bagian pendidikan yang menyangkut proses
belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat dengan metode yang lebih mengutamakan praktik daripada teori. Berdasarkan teori dan hasil penelitian, maka perlu dilakukan pelatihan untuk tim penilai dengan (a) menyediakan pelatihan yang memadai bagi tim penilai kinerja; (b) melibatkan ahli atau konsultan dalam proses penilaian kinerja untuk meningkatkan kualitas evaluasi kinerja; (c) menerapkan proses penilaian kinerja yang sistematis dan terstruktur; serta (d) memberikan umpan balik dan dukungan yang memadai.
KESIMPULAN
Penilaian kinerja perencana memiliki peran strategis dalam suatu organisasi. Hal ini terkait dengan pemberian penghargaan, promosi, bahkan sanksi, sehingga peran penilai kinerja menjadi sangat penting. Tantangan utama bagi penilai adalah objektivitas dalam penilaian kinerja. Bias subjektif, standar penilaian yang tidak jelas, konflik kepentingan, dan kurangnya pelatihan penilai menjadi faktor yang memengaruhi objektivitas penilai.
REKOMENDASI
Penilaian kinerja yang objektif merupakan elemen kunci dalam mengelola kinerja pegawai dan memotivasi mereka untuk meningkatkan kinerja. Namun, sering kali tim penilai kinerja dalam penilaiannya dipengaruhi banyak faktor yang dapat mengurangi objektivitas.
Telah banyak penelitian yang merekomendasikan hal-hal yang harus dilakukan untuk meningkatkan objektivitas. Hal lain yang dibutuhkan untuk implementasi penilaian kinerja yang objektif adalah kebijakan. Berikut beberapa rekomendasi kebijakan yang ditujukan pada kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang memiliki tim penilai kinerja JFP.
Memperjelas Kriteria Penilaian Penting untuk memastikan bahwa kriteria penilaian telah ditentukan dengan jelas dan dipahami oleh semua anggota tim penilai.
Kriteria penilaian harus berbasis fakta dan bukti yang terukur.
Menyediakan Program
Pelatihan bagi Tim Penilai
Berikan pelatihan pada anggota tim penilai agar mereka memahami kriteria penilaian yang
3. 4. 1. 2.obyektif dan dapat menghindari bias yang tidak relevan. Pelatihan juga dapat membantu tim penilai mengembangkan keterampilan dalam memberikan umpan balik yang konstruktif.
Menetapkan Prosedur
Penilaian yang Jelas Hal ini dapat membantu memastikan bahwa semua anggota tim penilai bekerja dengan cara yang sama dan konsisten. Prosedur penilaian harus mencakup langkah-langkah
DAFTAR PUSTAKA
Arisandy, Y. (2017). Penilaian Kinerja (Performance Appraisal)
Pegawai Negeri Sipil dengan
Menggunakan Kombinasi Metode Key Performance Indicator dan 360 Degree Feedback. Jurnal Baabu Al-Ilmi. Vol. 2 No. 1. Hal. 112―128.
Anwaruddin, Awang. (2006). Pengembangan Model Penilaian Kinerja Pegawai. Jurnal Ilmu Administrasi. Vol. 3 No. 4. Hal. 268―279.
Januari, C.I dkk. (2015). Pengaruh
Penilaian Kinerja Terhadap
Kepuasan Kerja dan Prestasi
Kerja (Studi pada Karyawan PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk Wilayah Malang). Administrasi Bisnis (JAB), 24(2), 1–8 retrieved from https://www.neliti.com/id/ publications/86096/pengaruhpenilaian-kinerja-terhadapkepuasan-kerja-dan-prestasikerja-studi-pada
Chusminah S.M. & R. Ati Haryati. (2019). Analisis Penilaian
Kinerja Pegawai pada Bagian
Kepegawaian dan Umum
Direktorat Jenderal P2P
Kementerian Kesehatan. Jurnal
Widya Cipta. Vol. 3 No. 1. Hal. 62―70.
yang jelas dan metode penilaian yang objektif.
Evaluasi Kinerja Penilai Secara Berkala
Melakukan evaluasi kinerja anggota tim penilai secara teratur dapat membantu memastikan bahwa mereka melakukan pekerjaan mereka dengan objektif dan mengikuti standar yang telah ditetapkan. Evaluasi kinerja juga dapat memberikan umpan balik yang berguna untuk membantu tim penilai
Evita S.N. dkk (2017). Penilaian Kinerja
Karyawan dengan Menggunakan Metode Behaviorally Anchor Rating Scale dan Management by Objectives (Studi Kasus pada PT Qwords Company International). https://www. neliti.com/publications/164390/ penilaian-kinerja-karyawandengan-menggunakan-metodebehaviorally-anchor-rating
Faturochman. (2002). Keadilan: Perspektif Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Handojono, M. 2014. Bagaimana Mengurangi Bias Kemurahan Hati Dalam Penilaian Kinerja Subjektif? Sebuah Pendekatan Eksperimen. retrieved from https://www. neliti.com/publications/75176/ bagaimana-mengurangibias-kemurahan-hati-dalampenilaian-kinerja-subjektif-sebua
Novia R.S., dkk. (2021). Kinerja Karyawan, Bandung: Widina Bhakti Persada.
Nurhalim A.D. (2021). Pentingnya Analisis Kebutuhan Pelatihan untuk Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Organisasi https://www.neliti.com/ publications/425321/pentingnya-
mengembangkan keterampilan mereka.
Mengembangkan Teknologi/Sistem Informasi
Menggunakan teknologi, seperti perangkat lunak manajemen kinerja dapat membantu meningkatkan objektivitas tim penilai. Perangkat lunak dapat membantu memastikan bahwa kriteria penilaian yang relevan digunakan dan bahwa data yang dihasilkan berasal dari sumber yang objektif dan terukur.
analisis-kebutuhan-pelatihanuntuk-pengembangan-sumberdaya-manusia-d
Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Nomor 4 Tahun 2020 tentang Jabatan Fungsional Perencana.
Peraturan Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Kinerja Jabatan Fungsional Perencana.
Sutrisno, Edy. (2016). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Kencana.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
PROFIL PENULIS
Indra Jaya merupakan Perencana Ahli Muda di Sekretariat Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
3. 4.DINAMIKA PENILAIAN KINERJA PERENCANA: PAST, PRESENT, AND SOON
Aturan penilaian kinerja Jabatan
Fungsional Perencana (JFP) telah mengalami beberapa kali perubahan. Dinamika perubahan aturan dari waktu ke waktu ini menunjukkan Kementerian PPN/Bappenas sebagai instansi pembina JFP, terus melakukan penyempurnaan.
Beberapa kelemahan di aturan sebelumnya telah disempurnakan pada aturan yang terbaru.
LATAR BELAKANG
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun
2017 tentang Manajemen Pegawai
Negeri Sipil (PNS) membagi PNS dalam tiga jabatan, yaitu Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT), Jabatan Administrasi (JA), dan Jabatan Fungsional (JF). Perbedaan antara JA dan JF, yaitu pada posisi di dalam struktur organisasi. Posisi JA tercantum pada struktur organisasi. Sementara itu, JF tidak secara tegas tercantum dalam struktur organisasi birokrasi pemerintah. Namun, keberadaan JF tidak dapat dilepaskan dari organisasi karena berkaitan erat dengan perannya sebagai pelaksana teknis fungsional perencanaan di lingkungan instansi pemerintah.
Berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun
Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, Jabatan Fungsional terdiri atas 25 rumpun yang mencakup 243 jenis Jabatan Fungsional. Jabatan Fungsional Perencana (JFP) merupakan JF yang termasuk dalam rumpun ke-17, yaitu rumpun manajemen. JFP memiliki peran yang sangat strategis dalam organisasi, yaitu sebagai kolaborator, analis, pembimbing, dan penasehat dalam hal kebijakan publik dan perencanaan pembangunan.
Berdasarkan data Badan
Kepegawaian Negara (BKN) per
31 Desember 2022, total Aparatur Sipil Negara (ASN) sebanyak 4.254.513 orang yang terdiri dari PNS sebanyak 3.890.579 orang (91,45%) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sebanyak 363.934 orang (8,55%).
Apabila dilihat dari jabatan PNS, terdapat 334.935 orang struktural (8,61%) yang terdiri dari JPT sebanyak 21.437 orang, JA sebanyak 95.487 orang, Pengawas sebanyak 209.127 orang, dan Eselon V sebanyak 8.884 orang. PNS yang menduduki Jabatan Fungsional sebanyak 2.103.661 orang (54,07%), sedangkan 1.451.983 orang sebagai Pelaksana (37,32%).
Periode kedua Pemerintahan Presiden Jokowi (2019—2024), ditetapkan Lima Prioritas Kerja, yaitu pembangunan sumber daya manusia (SDM), pembangunan infrastruktur, simplifikasi regulasi, penyederhanaan birokrasi, serta transformasi ekonomi. Penyederhanaan birokrasi dilaksanakan dengan menjadikan dua level eselon dan peralihan Jabatan Struktural menjadi Jabatan Fungsional.
Penyederhanaan birokrasi yang dilakukan melalui pemangkasan jabatan fungsional dilakukan agar proses bisnis birokrasi menjadi
lebih agile dan efisien. Perampingan postur birokrasi bertujuan untuk mempercepat pengambilan keputusan dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam rangka mendukung Prioritas Kerja Presiden dan sesuai dengan PermenPANRB No. 28 Tahun 2019 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke dalam Jabatan Fungsional, maka Badan Pusat Statistik pada tanggal 22 Desember 2020 lalu, telah melakukan pelantikan Jabatan Administrasi (Eselon III dan IV) kedalam Jabatan Fungsional Madya dan Muda. Kegiatan ini dilakukan secara daring dan luring.
Seiring dengan penyetaraan struktural ke fungsional, terdapat harapan bahwa tahapan ini akan dilaksanakan secara berkualitas dalam proses maupun outcome, serta mampu menangkap kebutuhan para pemangku kepentingan.
Seiring dengan penyetaraan struktural ke fungsional, terdapat harapan bahwa tahapan ini akan dilaksanakan secara berkualitas dalam proses maupun outcome, serta mampu menangkap kebutuhan para pemangku kepentingan.
Gambar 2. menunjukkan timeline dinamika peraturan tentang jabatan fungsional perencana (JFP) sejak 2001 sampai 2023. Aturan fungsional perencana yang dinamis dari waktu ke waktu, menunjukkan Kementerian PPN/Bappenas sebagai instansi pembina JFP, terus melakukan penyempurnaan.
Perubahan dilakukan pada sisi penyederhanaan aturan melalui semakin “ringkasnya” klasifikasi jumlah butir kegiatan fungsional perencana, pengaturan mengenai pengangkatan dalam JFP (pengangkatan pertama, pengangkatan melalui perpindahan
dari jabatan lain, dan promosi jabatan), unsur kegiatan perencana (target angka kredit ditetapkan minimal dan maksimal), penilaian kinerja dalam JFP, serta mekanisme penilai angka kredit.
Secara garis besar, perbedaan dapat dilihat pada pengintegrasian antara penilaian angka kredit dengan penilaian kinerja, ada/ tidaknya punishment terhadap fungsional perencana yang tidak mampu mengumpulkan angka kredit pada jangka waktu tertentu, penggunaan media penilaian angka kredit fungsional perencana, yaitu Sikeren (Sistem Informasi Penilaian Kinerja Perencana), yang merupakan otomatisasi yang adaptif terhadap
penggunaan teknologi, dan yang terakhir adalah sistem penilaian angka kredit berdasarkan konversi.
PERMASALAHAN
Malfunction pada penentuan jenis jabatan peralihan dirasakan para fungsional “baru” yang menimbulkan kesulitan pada saat menentukan
butir-butir kegiatan yang sesuai dengan alokasi tugas yang dikerjakan. Begitu cepatnya perubahan atas aturan penilaian angka kredit dan “klaim” untuk penilaian angka kredit memiliki template yang berbeda dengan penilaian kinerja dalam Sasarn Kinerja Pegawai (SKP), sehingga seolah para fungsional harus “mengerjakan dua kali” semua output dari kinerja yang telah dicapai. Pengusulan dalam Daftar Usul
Penetapan Angka Kredit (DUPAK), yang merupakan hal baru ini, juga dibatasi oleh waktu pengumpulan yang relatif singkat, yaitu paling lambat setiap tanggal 10 Januari pada tahun berikutnya.
Adanya double job antara tugas sebagai fungsional perencana dan penugasan sebagai koordinator/ subkoordinator, lalu banyaknya JFP baru baik melalui jalur inpassing maupun penyetaraan menyebabkan perlunya waktu untuk memahami regulasi dan pembagian tugas sesuai dengan JF-nya. Belum lagi pengajuan DUPAK Tahun 2021 dan 2022 yang
menggunakan e-DUPAK dan aplikasi Sikeren. Isu yang muncul adalah
lamanya waktu penyelesaian penilaian usulan angka kredit melalui aplikasi ini. Hingga saat ini, fungsional perencana hasil penyetaraan di Badan Pusat
Statistik (BPS) belum memperoleh
Penetapan Angka Kredit (PAK) Tahun 2021 dan 2022.
TUJUAN
Tujuan penulisan ini adalah
memberikan gambaran tentang kebijakan pemerintah terkait dengan perubahan mekanisme penilaian kinerja perencana;
memberikan gambaran tentang kebijakan pemerintah terkait perubahan tata cara perolehan angka kredit;
tanggapan mengenai mekanisme penilaian kinerja; dan
memberikan gambaran tentang dampak perubahan penilaian kinerja terhadap karier perencana.
1. 2. 3. 4.Bagi Para Pemangku JFP
Sebelum tahun 2020 atau
dikenal dengan masa
konvensional, mekanisme
penilaian kinerja fungsional
mengacu pada (1) Keputusan
Menteri Negara PPN/Kepala
Bappenas Nomor 234 Tahun
2002, tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Pengangkatan, Kenaikan Pangkat/Jabatan, Pembebasan Sementara, Pengangkatan Kembali dan
Pemberhentian Dalam dan dari Jabatan Fungsional
Perencana dan (2) Keputusan
Menteri Negara PPN/Kepala
Bappenas Nomor 235 Tahun
2002 tentang Petunjuk
Teknis Penilaian Angka Kredit
Perencana. Pada masa
konvensional, nilai angka
kredit JF diperoleh dari
capaian butir-butir kegiatan yang telah dikerjakan dan dilaporkan melalui DUPAK.
Unsur yang dinilai dalam DUPAK, yaitu
Unsur Utama (kegiatan perencanaan dan pengembangan profesi), sekurang-kurangnya penilaian angka kredit (AK) 80% dari unsur utama;
Unsur Penunjang (kegiatan pendukung pelaksanaan tugas perencanaan), sebanyak-banyaknya 20% AK dari unsur penunjang.
JFP yang memiliki angka kredit melebihi AK minimal untuk kenaikan pangkat/jabatan, dapat diperhitungkan untuk kenaikan pangkat/jabatan berikutnya.
Penilaian terhadap prestasi dan penetapan angka kredit JFP dilakukan oleh Tim Penilai.
Terdapat aturan pembebasan sementara bagi JFP yang dalam jangka kurun waktu 5 tahun sejak diangkat dalam pangkat terakhir tidak dapat mengumpulkan angka kredit untuk kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi. Dijatuhi hukuman disiplin sedang atau tingkat berat, diberhentikan sementara sebagai PNS, penugasan penuh di luar fungsional perencana, cuti di luar tanggungan negara, serta tugas belajar lebih dari enam tahun.
Untuk kepentingan dinas, menambah pengetahuan, pengalaman, dan pengembangan karier, JFP dapat dipindahkan ke jabatan struktural atau fungsional lain.
Kelemahan
Kelemahan pada masa berlakunya Keputusan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas No. 234 Tahun 2002 dan Keputusan Menteri Negara PPN/ Kepala Bappenas No. 235 Tahun 2002 sebagai berikut.
Seorang PNS disyaratkan harus lulus pendidikan dan pelatihan perencana sebelum dapat menduduki Jabatan Fungsional Perencana.
Penilaian angka kredit dilakukan oleh Tim Penilai. Jadi antara penilai dengan fungsional yang dinilai tidak saling mengenal atau memiliki hubungan pekerjaan secara langsung, sehingga penilaian angka kredit menjadi tidak maksimal dan berpeluang menimbulkan bias atas hasil penilaian.
Penilai tidak mengetahui dengan pasti apakah output kinerja yang dinilai dari
seorang fungsional adalah benar merupakan output kinerja dari fungsional tersebut, karena penilai bukan merupakan atasan langsung yang memberikan penugasan. Hal ini membuka peluang adanya “free rider” yang melakukan klaim angka kredit atas pekerjaan yang tidak dilakukannya.
Kelebihan
Kelebihan pada masa berlakunya
Keputusan Menteri Negara PPN/ Kepala Bappenas No. 234 Tahun 2002 dan Keputusan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas No. 235 Tahun 2002 sebagai berikut.
Penilaian angka kredit yang dilaksanakan oleh Tim Penilai diadakan paling sedikit dua kali dalam setahun mengikuti periode kenaikan pangkat, yaitu pada April dan Oktober, sehingga memungkinkan kenaikan pangkat/jabatan bagi fungsional perencana yang lebih cepat dan tepat waktu. Hal ini didukung pula dengan tidak adanya aturan mengenai pembatasan angka kredit maksimal, sehingga kenaikan pangkat/jabatan seorang fungsional perencana dapat dicapai hanya dalam kurun waktu dua tahun. Aturan ini merupakan privilege bagi seorang fungsional perencana pada masa konvensional.
Adanya punishment berupa pembebasan sementara membuat para fungsional perencana menjadi “lebih semangat” dan mempunyai perencanaan target capaian angka kredit yang harus diperoleh dan tidak menempatkan diri seolah berada pada “zona aman”.
PRESENT B.
1.
Kebijakan
Saat ini, mekanisme penilaian kinerja fungsional masih
mengacu pada Peraturan
Menteri PANRB Nomor 4
Tahun 2020 tentang Jabatan Fungsional Perencana.
Sesuai dengan Surat Kepala Pusbindiklatren Kementerian
PPN/Bappenas Nomor
B-190/P.01/DL.02/02/2023
tanggal 1 Februari 2023, terdapat beberapa kebijakan berikut.
Jadwal penyerahan
penilaian angka kredit
keluaran kinerja JFP
periode 1 Januari―31
Desember 2022 paling
lama sudah diterima oleh
Sekretariat Tim Penilai
Pusat pada tanggal 10 April 2023. Batas akhir penilaian pada 30 Juni 2023.
Penilaian kinerja JFP periode 1 Januari―31
Desember 2023 sudah
menggunakan ketentuan
dalam Peraturan Menteri
PANRB Nomor 1 Tahun
2023 tentang Jabatan Fungsional.
Kelemahan
Kelemahan pada masa berlakunya PermenPANRB No. 4
Tahun 2020 sebagai berikut.
Penilaian kinerja pada masa integrasi sama seperti pada masa konvensional, yaitu masih dilakukan oleh
Tim Penilai yang bukan
merupakan atasan langsung dari fungsional yang dinilai.
Apalagi untuk instansi yang
belum memiliki Tim Penilai
sendiri, maka penilaian kinerja
dapat dilakukan oleh Tim
Penilai Pusat, yang usulannya
dilengkapi bukti dukung paper base maupun upload soft file
melalui aplikasi Sikeren. Penilai membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan penilaian DUPAK karena overload limpahan usulan penilaian angka kredit dari instansi yang belum memiliki Tim Penilai.
Adanya pembatasan perolehan angka kredit maksimal per tahun yang menyebabkan secara perhitungan angka kredit yang diperoleh seorang fungsional perencana tidak memungkinkan untuk mencapai kenaikan pangkat/ jabatan dalam waktu dua tahun.
Format penilaian angka kredit memiliki template yang berbeda dengan penilaian kinerja dalam SKP, sehingga semua output dari kinerja yang telah dicapai harus dikerjakan dalam dua format berbeda, yaitu output kinerja unit kerja (berupa dokumen kegiatan, laporan, atau publikasi) dan format usulan PAK sesuai Juknis pada PermenPANRB No. 4 Tahun 2020. Kegiatan ini membutuhkan waktu yang lama sehingga terjadi
fenomena ASN mengajukan cuti khusus dalam rangka penyusunan DUPAK.
Batas waktu Pengusulan DUPAK yang sangat singkat, yaitu paling lambat setiap tanggal 10 Januari pada tahun berikutnya dan penilaian hanya dilakukan satu kali dalam satu tahun, sehingga kualitas laporan yang diusulkan sebagai dokumen pendukung pengajuan angka kredit kadang masih dirasa kurang maksimal, serta kenaikan pangkat/jabatan dapat tertunda setidaknya satu tahun (saat ini DUPAK Tahun 2021 dan 2022 belum selesai penilaiannya).
Dihilangkannya aturan punishment berupa pembebasan sementara dari JFP, apabila tidak mengajukan angka kredit pada masa integrasi membuat fungsional yang tidak melakukan pengajuan DUPAK hanya secara otomatis memerlukan waktu yang lebih lama untuk naik pangkat/jabatannya sampai AK sebagai syarat kenaikan pangkat terpenuhi tanpa ada batasan waktu.
a. b. TABEL 1. Aturan Kenaikan Pangkat dan Jenjang Fungsional Perencana 1) 2) 2. a. b. c. d.Kondisi ini “mengamankan”
fungsional perencana
yang tidak memiliki target
pencapaian angka kredit dari
predikat ‘tidak perform’ dan
merasa nyaman karena berada
pada zona aman.
Sistem angka kredit hanya akan terakumulasi dalam
satu jenjang jabatan saja.
Dampaknya, pada saat
pejabat fungsional naik
jenjang jabatan, maka
angka kredit kumulatif yang
dimilikinya menjadi nol. Hal ini
mengakibatkan sisa angka
kredit yang sebelumnya
diperoleh pada jenjang
jabatan yang lebih rendah
tidak dapat dipergunakan
untuk penghitungan angka
kredit pada periode kenaikan
pangkat/jabatan berikutnya.
Kondisi ini menggambarkan
seolah-olah fungsional
perencana yang sudah
berhasil melampaui kinerja
maksimal yang ditetapkan
dalam satu tahun malah
tidak memperoleh reward
Perubahan aturan ini
dapat melemahkan kinerja
fungsional perencana yang
dapat membatasi kinerjanya
hanya berdasar target tahunan yang telah ditetapkan.
Kelebihan
Kelemahan pada masa
berlakunya PermenPANRB No. 4
Tahun 2020 sebagai berikut.
Penyempurnaan aturan pada masa integrasi sehingga
seluruh butir kegiatan sudah
dapat mengakomodasi hampir semua pekerjaan perencana.
Untuk kepentingan organisasi dan pengembangan karier, perencana dapat dipindahkan ke dalam jabatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dengan persetujuan Pejabat Pembina Kepegawaian.
SOON C. Kebijakan 1.
Terbitnya Peraturan Menteri
PANRB Nomor 1 Tahun Tahun
2023 tentang Jabatan
Fungsional mencabut 294
Peraturan Menteri PANRB
sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 72 ayat (2), Pasal 73 ayat (3), Pasal 86 ayat (2), Pasal 97, Pasal 99 ayat (7), dan Pasal 101 ayat (7) Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun
2017 tentang Manajemen PNS
sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 2020 tentang
Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun
2017 tentang Manajemen PNS.
c.
2)
Kumulatif berdasarkan
Peraturan Menteri ini, paling lambat 31 Desember 2023;
Pasal 58 ayat 1: Pada saat
Peraturan Menteri ini mulai berlaku, hasil kerja
Pejabat Fungsional yang
dilaksanakan sampai dengan 31 Desember 2022, tetap dinilai Angka Kreditnya berdasarkan
Peraturan Menteri yang mengatur mengenai JF masing-masing;
b.
Pada PermenPANRB No. 1 Tahun 2023, Bab XIIIKetentuan Peralihan:
1)
Pasal 57 ayat 1: Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Angka Kredit Kumulatif yang telah diperoleh berdasarkan ketentuan JF masingmasing, disesuaikan ke dalam Angka Kredit
3)
Pasal 58 ayat 2: Proses penilaian Angka Kredit terhadap hasil kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lambat 30 Juni 2023.
Dengan diberlakukannya
PermenPANRB No. 1 Tahun 2023 paling lambat tanggal 31 Desember 2023, maka yang akan segera dihadapi oleh JFP dalam pencapaian angka kredit melalui target AK yang diperoleh dari hasil konversi predikat kinerja tahunan menjadi angka kredit tahunan, mengacu pada ketentuan pada Tabel 2 dan Tabel 3 berikut.
f. 3. a. b. a.Pada PermenPANRB No. 1
Tahun 2023, pengangkatan JF melalui perpindahan dari jabatan lain sebagaimana dilaksanakan untuk pengembangan karier dan kapasitas pejabat fungsional yang disusun sesuai dengan kebutuhan unit organisasi, perpindahan yang dimaksud adalah perpindahan horizontal dalam JF, yang dapat ditempuh melalui perpindahan antar kelompok JF dan perpindahan antarjabatan.
Dengan segera berlakunya PermenPANRB No. 1
Tahun 2023, maka JF tidak memerlukan waktu tambahan untuk menyusun DUPAK yang menjadi syarat penilaian kinerja.
Kelemahan
Kelemahan pada masa
berlakunya PermenPANRB No.
1 Tahun 2023 adalah fungsional perencana tidak dapat naik
pangkat/jabatan dalam waktu
2 tahun karena tetap ada
pembatasan nilai maksimal hasil konversi dari penilaian kinerja.
Bahkan dengan hasil penilaian kinerja yang sangat baik (150%), ditambah dengan waktu yang dibutuhkan untuk proses administrasi kenaikan pangkat/
jabatan, seorang fungsional baru dapat naik pangkat dalam waktu paling cepat 3 tahun.
Kelemahan
Kelemahan pada masa berlakunya PermenPANRB No. 1 Tahun 2023 sebagai berikut.
Dihapuskannya kewajiban dalam penyusunan DUPAK membuat para fungsional dapat lebih fokus melakukan pencapaian output dalam mendukung IKU atasan dan capaian kinerja organisasi.
Penilaian kinerja dilakukan oleh atasan langsung sehingga nilai yang dihasilkan dapat lebih diketahui capaiannya berdasar “kacamata” atasan langsung. Penilaian kinerja pada masa konversi ini diharapkan menjadi lebih objektif karena penilaian yang dilakukan didahului proses pemantauan oleh atasan langsung yang juga membuka peluang adanya dialog kinerja. Atasan langsung juga dapat meminta bukti fisik sebagai dokumen pendukung penilaian output kinerja dalam proses penilaian, sehingga tidak terjadi lagi free rider
Target capaian kinerja angka kredit yang menganut sistem
konversi dari predikat kinerja tahunan membuat para fungsional perencana tidak perlu membuat detail capaian kinerja per butir kegiatan dari tiap outputnya. Hal ini mempermudah pelaporan kinerja yang dilakukan
berdasar SKP yang penetapan kinerjanya dikonversikan menjadi angka kredit, sehingga seharusnya tidak ada lagi keberatan pegawai dalam mengerjakan pekerjaan yang tidak dicakup dalam butir kegiatan fungsional perencana. Oleh karena itu, proses bisnis birokrasi menjadi lebih agile dan efisien dapat tercapai. Kondisi ini memperbaiki aturan sebelumnya (PermenPANRB No. 4 Tahun 2020) di mana banyak aksi strategis yang seharusnya dilakukan akhirnya tidak dapat atau terlambat dilaksanakan dengan baik karena terbelenggu oleh butir-butir kegiatan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang ada dalam peraturanperaturan fungsional perencana. Penilaian kinerja yang lebih sederhana tidak memerlukan punishment berupa pemberhentian sementara karena diharapkan para perencana tidak kesulitan lagi dalam melakukan usulan penilaian kinerja.
SARAN DAN REKOMENDASI
Beberapa saran dan rekomendasi yang dapat diberikan dalam tulisan ini sebagai berikut.
Adanya dialog kinerja, kejelasan penetapan sasaran kinerja, cascading indikator kinerja, serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaan penilaian kinerja agar penilaian kinerja menjadi lebih objektif.
TABEL 3.Aturan Konversi Predikat Kinerja Tahunan Menjadi Angka Kredit Tahunan d. e. 2. 3. a. b. c.Penetapan target selain dituangkan dalam sebuah matriks peran hasil yang
menjabarkan Rencana Kerja (RK)
2. Hal ini sebaiknya dilakukan untuk memastikan meratanya beban kerja dan pencapaian target kinerja organisasi dapat lebih optimal.
JPT, IKU JPT, RK dan IKI Ketua
Tim, RK dan IKI Anggota Tim, juga perlu dibuat rekapitulasi matriks beban kerja per orang yang memperhitungkan tiap orang tergabung dalam berapa
Tim Kerja dengan bobotnya
adalah jumlah output yang dihasilkan pada tiap project dari
masing-masing Tim Kerja, serta memperhitungkan lama waktu penyelesaian output per project.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.
Keputusan Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan
Nasional Nomor 234 Tahun
2002 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Pengangkatan, Kenaikan Pangkat/Jabatan, Pembebasan Sementara, Pengangkatan Kembali dan Pemberhentian Dalam dan dari Jabatan Fungsional Perencana.
Keputusan Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan
Nasional Nomor 235 Tahun 2002
tentang Petunjuk Teknis Penilaian Angka Kredit Perencana.
Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 2020 tentang
Jabatan Fungsional Perencana.
Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Nomor 17 Tahun 2021
tentang Penyetaraan Jabatan
3.
Sistem penilaian kinerja yang akan segera diberlakukan (berdasar PermenPANRB No. 1 Tahun 2023) akan lebih mengedepankan aspek kualitatif dibandingkan dengan penilaian sebelumnya. Untuk itu perlu dibangun komunikasi yang baik antara JPT serta para team leader yang dilakukan secara rutin untuk
Administrasi Ke Dalam Jabatan Fungsional.
Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional.
Badan Kepegawaian Negara. 2022. Buku Statistik Pegawai Negeri Sipil Desember 2022
Jakarta: Deputi Bidang Sistem Informasi Kepegawaian Badan Kepegawaian Negara.
Ihsanuddin. 2019. Jokowi Akan Pangkas Tingkatan Eselon Jadi Hanya 2 Level. https:// nasional.kompas.com/ read/2019/10/20/16492931/ jokowiakan-pangkas-tingkataneselon-jadihanya-2-level, diakses 7 Maret 2023
Ridlowi. 2020. Pengaturan Jabatan Fungsional: Konvensional Versus Konversi. https://yogyakarta. bkn.go.id/artikel/0/2020/06/ pengaturan-jabatan-fungsionalkonvensional-versus-konversi, diakses 7 Maret 2023
Willy Dinata. 2022. Berhadapan dengan Free Rider
memastikan target kinerja tercapai dan mendiskusikan alternatif penyelesaian apabila ditemukan kendala.
Pengimplementasian sistem penilaian fungsional perencana dengan mengedepankan objektivitas.
Pengimplementasian sistem penjenjangan karier yang jelas serta evaluasi terhadap formasi JFP.
dalam Kelompok, Harus Bagaimana?. https://www. goodnewsfromindonesia. id/2022/02/27/berhadapandengan-free-rider-dalamkelompok-harus-bagaimana, diakses 7 Maret 2023
Fitria Chusna Farisa. 2023. PermenPANRB Nomor 1 Tahun 2023 Terbit, Ini Aturan tentang Jabatan Fungsional ASN https://nasional.kompas.com/ read/2023/01/27/18103191/ permenpan-rb-nomor-1-tahun2023-terbit-ini-aturan-tentangjabatan-fungsional, diakses 7 Maret 2023
Humas MenPanRB. 2023.Transformasi SDM Aparatur, Menteri PANRB: Jabatan Fungsional Tak Lagi Sibuk Urus Angka Kredit. https:// www.menpan.go.id/site/ berita-terkini/transformasi-sdmaparatur-menteri-panrb-jabatanfungsional-tak-lagi-sibuk-urusangka-kredit, diakses 7 Maret 2023
PROFIL PENULIS
Dewy Sarihastuti merupakan Fungsional Perencana Ahli Muda pada Badan Pusat Statistik.
DINAMIKA PERUBAHAN PENILAIAN KINERJA PERENCANA
PASCA-PERMENPANRB NO. 1 TAHUN 2023
Melalui penerapan
Peraturan Menteri
PANRB Nomor 1
Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional, terjadi perubahan fundamental dalam pendekatan penilaian kinerja dan karier Jabatan Fungsional Perencana (JFP). Perubahan aturan ini memberikan ruang ekspresi kinerja yang lebih menarik kepada para perencana pada masa mendatang.
PENDAHULUAN
Jabatan Fungsional Perencana, selanjutnya disingkat JFP, merupakan pengampu jabatan pada instansi pemerintah dengan tugas pelaksanaan terstruktur dan sistematis yang meliputi menyiapkan, mengkaji, merumuskan kebijakan, dan menyusun rencana, termasuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan rencana pembangunan (Sumber: Kementerian PPN/ Bappenas Republik Indonesia, 2022).
Uraian tugas tersebut menjadi tanggung jawab individu yang dilaksanakan sebagai kinerja individu dalam melaksanakan tugas atasan langsung dan mendukung kinerja organisasi/unit kerja. Pada Peraturan
Menteri PPN/Kepala Bappenas No.1 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Kinerja Jabatan Fungsional Perencana, diuraikan bahwa atasan langsung selaku pimpinan organisasi/ unit kerja memberi tugas kepada perencana berdasarkan sasaran kegiatan, sasaran strategis, indikator utama, dan target yang dicapai oleh organisasi/unit kerja pada tahun berjalan.
Uraian di atas sejalan dengan kinerja organisasi yang ditetapkan dalam Perjanjian Kinerja (PK) yang disepakati dengan pegawai organisasi/unit kerja dalam matriks peran-hasil sebagai hasil forum dialog kinerja.
Pelaksanaan dan penyelesaian tugas atasan langsung atau peran individu
perencana yang sesuai dengan jabatan di atas merupakan kinerja utama. Adapun yang tidak sesuai dengan tugas jabatan merupakan kinerja tambahan.
Setiap kinerja, baik utama maupun tambahan, menghasilkan hasil kerja berupa keluaran (output) kinerja. Pada peraturan tersebut, karier perencana difokuskan pada pencapaian kinerja utama tahunan dan dimungkinkan mendapatkan angka kredit atas kegiatan penunjang dan pengembangan profesi.
Laju karier perencana dicapai melalui pengukuran atas unjuk kinerja berupa bukti hasil luaran (output) setiap butir kinerja, dengan menggunakan pendekatan penilaian berupa Standar Kualitas Hasil Kerja (SKHK) meliputi standar kelengkapan dan standar kualitas. Standar Kualitas Hasil Kerja (SKHK) atas kelengkapan digunakan untuk menilai Perencana Ahli Pertama dan Perencana Ahli Muda. Sementara itu, SKHK atas kualitas digunakan untuk Perencana Ahli Madya dan Perencana Ahli Utama.
Kedua pendekatan di atas digunakan
oleh Pejabat Penilai Kinerja JFP sebagai bentuk tata kelola organisasi pemerintahan yang menganut prinsip akuntabilitas, transparansi, independen, adil, dan bertanggung jawab. Desain penilaian dikemas dalam jenjang penilaian dengan indikator-indikator tertentu untuk memberikan pemahaman kepada penilai dan yang dinilai dalam pencapaian kinerja.
Pada 2023, sebagai kelanjutan
Reformasi Birokrasi, diterbitkan
Peraturan Menteri PANRB No. 1 Tahun
2023 yang secara khusus mengatur
perubahan manajemen Aparatur
Sipil Negara pada kelompok tugas
pelayanan fungsional berdasarkan keahlian dan keterampilan tertentu. Peraturan ini secara dramatis
mengubah lanskap jabatan fungsional pada organisasi pemerintah, dengan penyederhanaan dari 3.114 kelompok jabatan menjadi hanya 3 kelompok, meliputi bidang keahlian, keterampilan, dan teknisi. Perubahan ini juga melibatkan pendekatan penilaian kinerja yang berdampak pada karier JFP pada masa mendatang.
PERMASALAHAN DAN TUJUAN
Perubahan merupakan suatu keniscayaan yang terjadi di setiap aspek organisasi, termasuk organisasi Pemerintah Republik Indonesia.
STANDAR KUALITAS HASIL KERJA
Sebagaimana dijelaskan dalam Theory Ability-MotivationOpportunity (Appelbaum et al., 2000), Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memiliki kemampuan akan terus termotivasi untuk berkinerja dengan baik selama terdapat peluang yang luas untuk mengembangkan dirinya. Salah satu peluang tersebut adalah kejelasan atas batasan-batasan kinerja yang diharapkan dari diri mereka.
Tulisan ini disusun untuk memberikan deskripsi dan pemahaman awal mengenai perbedaan penilaian kinerja JFP sebelum dan setelah penetapan Peraturan Menteri PANRB No. 1 Tahun 2023. Kajian dilakukan secara deduktif dengan mengulas peraturan terkait penilaian kinerja JFP, dihubungkan dengan teori-teori pendukung yang bersinggungan, disertai pencermatan lingkungan untuk digunakan sebagai asumsi atas gejala yang akan muncul pada masa mendatang.
UNTUK MENILAI PERENCANA AHLI PERTAMA DAN PERENCANA AHLI MUDA.”
Berlakunya Peraturan Menteri PANRB
No. 1 Tahun 2023 menghasilkan diskursus baru mengenai arah pengembangan JFP pada instansi/ unit kerja pemerintah. Salah satu perhatian utama yang penting untuk dibahas adalah teknis penilaian kinerja JFP yang mengalami perubahan mendasar pasca-peraturan baru tersebut. Dengan semangat untuk mencapai karier dan kinerja terbaik, setiap individu JFP berupaya memahami peraturan baru tersebut sebagai peluang dan tantangan untuk menapaki karier yang telah mereka bangun.
PEMBAHASAN
JFP telah menjadi bagian penting dalam organisasi pemerintah modern, mewakili kepentingan atas terlaksananya pembangunan yang terencana, terstruktur, dan dapat diukur. Jabatan ini dianggap sebagai think-tank instansi/unit kerja pemerintah, dengan target kinerja utama memberikan dukungan kajian, rumusan, pertimbangan, dan evaluasi atas suatu program kepada pejabat yang berkepentingan.
Memperhatikan lingkup tugasnya tersebut, perencana dinilai dari aspek ketercapaian kinerja utama dan tambahan (selain tugas utama) sebagaimana diatur pada Peraturan Menteri yang berwenang atas pengelolaan jabatan fungsional ini. Pemerintah Republik Indonesia menyadari bahwa perkembangan tata kelola pemerintahan dituntut untuk semakin lincah, sederhana, dan
(SKHK) ATAS KELENGKAPAN DIGUNAKAN
modern dengan tetap menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance dalam menghadapi dinamika lingkungan internal dan eksternal organisasi pemerintah (Filatotchev et al., 2007).
Penilaian kinerja JFP sebelum
Peraturan Menteri PANRB No. 1 Tahun 2023 dilaksanakan dengan pendekatan penilaian butir-butir pencapaian tugas yang dibebankan kepada Pejabat Fungsional, disertai bukti luarannya. Hal ini umum terjadi pada jenis jabatan fungsional lainnya. Pemenuhan tugas tersebut bermuara pada penilaian angka kredit yang digunakan sebagai syarat kenaikan pangkat dan penilaian prestasi kerja.
Saat itu, penilaian kinerja lebih banyak fokus pada proses administratif yang tidak sederhana. Pemangku JFP perlu terus menilaikan hasil kerjanya secara parsial untuk diakui sebagai angka kredit tertentu. Saat pelaksanaan, terasa kurang efektif karena bisa mengganggu tugas utama lain yang perlu terus dilakukan saat mengurus proses administrasi tersebut.
Demikian pula dengan pengakuan atas proses pengembangan diri, pada aspek pendidikan formal.
Pertambahan ijazah yang dimiliki pemangku JFP tidak memiliki hubungan langsung dengan peluang pengembangan pada jalur karier untuk menjadi pemimpin pada lingkup jabatan fungsionalnya.
Pengembangan peluang untuk memimpin pada umumnya dilakukan dengan melakukan pindah jabatan ke struktural, atau mengisi jalur karier lain yang memiliki rentang pangkat/ golongan yang lebih tinggi. Selain itu, ada pula motif lain perpindahan ASN ke jabatan fungsional, seperti memperpanjang masa kerja atau menjadi wahana ekspresi bagi para mantan pejabat struktural untuk menyalurkan kompetensinya.
Di sisi lain, penilaian predikat kinerja tidak berhubungan secara langsung terhadap perkembangan karier JFP. Hal ini dikarenakan belum adanya pengakuan dan peluang konversi predikat kinerja menjadi angka kredit yang menjadi syarat kenaikan pangkat dan golongan seorang pemangku JFP.
Pada akhirnya, pemangku JFP dengan predikat kerja “Sangat Baik” akan memiliki peluang yang sama untuk menikmati kenaikan pangkat/ golongan dengan pemangku JFP
lain yang berpredikat kerja “Baik”. Dampaknya, akselerasi kinerja organisasi yang berhubungan langsung dengan motivasi kerja tidak terjadi.
Para pemangku JFP memiliki pola pikir untuk berada pada zona nyaman dengan asumsi bahwa kenaikan pangkat/golongan akan tetap dapat dinikmati pada saat umur pangkat minimal empat tahun. Kondisi ini dipandang oleh pemerintah sebagai sebuah kenyataan empiris yang menyisakan peluang perbaikan dalam manajemen ASN modern.
Pada lingkup yang lebih luas, dorongan kebutuhan masyarakat telah menuntut perubahan dalam pelayanan aparatur pemerintah yang semakin cepat, sederhana, dan berorientasi dampak. Perkembangan teknologi informasi yang pesat di seluruh aspek kehidupan masyarakat telah menggerakkan ekonomi dan kondisi sosial yang belum pernah ada sebelumnya.
Perubahan ini perlu diimbangi dengan fleksibilitas organisasi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai inti dari organisasi pemerintah, pelayanan publik memerlukan lebih banyak tenaga fungsional daripada tenaga administratif yang saat ini semakin banyak digantikan oleh teknologi.
Automasi pekerjaan administratif telah menjadi umum dalam organisasi pemerintah di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Proses-proses manual yang dulunya dilakukan secara manual, kini banyak digantikan oleh sistem verifikasi komputer, dan dalam waktu dekat diharapkan akan semakin banyak dijalankan oleh kecerdasan buatan/artificial intelligence (AI). Adapun pelayanan yang lebih banyak dibutuhkan oleh masyarakat adalah yang terkait dengan keterampilan dan keahlian.
Lahirnya Peraturan Menteri PANRB No. 1 Tahun 2023 didasari oleh pertimbangan atas lingkungan tersebut. Oleh karena itu, saat ini Jabatan Fungsional (JF) dikelompokkan menjadi kelompok JF keahlian dan JF keterampilan. Pengelompokan ini berdasar pada karakteristik jenis pekerjaan dengan unsur mayoritas yang digunakan dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut.
JF keahlian merupakan kelompok jabatan dengan pelaksanaan tugas yang lebih banyak menggunakan aspek kognitif dan perilaku yang sesuai dengan jenjang pendidikan. Sementara itu, JF keterampilan merupakan kelompok jabatan yang melaksanakan pekerjaan dengan lebih banyak aspek psikomotor dalam penyelesaian tugasnya. JFP dalam hal ini dikategorikan pada JF keahlian.
Transformasi JFP sebagaimana diatur dalam PermenPANRB No. 1 Tahun 2023 secara fundamental mengalami perubahan dalam aspek pendekatan penilaian kinerja dan jalur karier. Berdasarkan ketentuan tersebut, JFP tidak lagi dinilai atas pemenuhan butir-butir tugas utama dan tambahan yang bersifat statis (ditentukan sama dan kaku). Melainkan menuju sistem penilaian kinerja atas tugas-tugas yang bersifat dinamis.
Tugas utama JFP berdasarkan ketentuan tersebut akan mengikuti penugasan yang diberikan oleh atasan JFP, yang berhubungan langsung dengan penugasan atas organisasi/unit kerja dari instansi/ fungsi induknya. Hal ini memberikan gambaran bahwa pada kelompok jabatan yang sama, dapat terjadi pola penugasan yang berbeda antar-JFP.
Dampak pemberlakuan ketentuan ini setidaknya dapat diidentifikasi sebagai berikut.
1. belakang pendidikan yang sesuai atau rekam jejak penugasan sebelumnya yang tidak linear. Ini dapat menciptakan tantangan dalam mencapai tujuan tugas yang dibebankan oleh atasan. Dampak lain adalah ketidakseimbangan dalam beban tugas antar-JFP di suatu organisasi/unit kerja pemerintah.
Penyesuaian Orientasi Kerja
Pergeseran dari tugas statis ke dinamis memerlukan bimbingan dan pendampingan vertikal dan horizontal. Pemberlakuan ketentuan baru perlu ditindaklanjuti dengan proses penyamaan persepsi, pembimbingan, dan pendampingan yang menyentuh langsung aspek teknis penyelesaian tugas. Hal ini untuk memastikan bahwa seluruh perencana memahami lingkup perubahan dan dapat cepat menyesuaikan diri dengan orientasi baru. Komunitas jabatan fungsional dapat membentuk peer tutor untuk membantu unsur pimpinan dalam mengartikulasikan arahan dan penugasan.
Penguatan Organisasi
Pemberlakuan ketentuan baru dapat memperkuat agilitas
JFP. Kinerja yang ditetapkan
sebagai tugas utama adalah jenis pekerjaan yang berhubungan langsung dengan kebutuhan nyata organisasi pemerintah. Pada saat ini, tugas perencana bukan lagi dianggap sebagai tugas rutin yang sama setiap tahun, seperti yang terjadi sebelumnya. Substansi penugasan tidak lagi mengikuti template tahunan, melainkan mengikuti pola dan dinamika kerja organisasi pada tahun berjalan. Keandalan dan fleksibilitas perencana akan semakin diuji dengan penerapan ketentuan ini.
Objektivitas Penugasan
Penting untuk menjaga
objektivitas dalam penugasan
JFP. Penugasan harus secara konsisten mempertimbangkan aspek kompetensi perencana. Terkadang, tugas diampu oleh
ASN yang tidak memiliki latar
Dinamika Hubungan Penilaian
Penilaian yang sangat bergantung pada atasan atas hubungan kausalitas beban tugas dan target kinerja dapat menghasilkan dinamika hubungan antara penilai dan yang dinilai. Peluang konversi predikat kinerja menjadi angka kredit di pihak JFP dapat meningkatkan motivasi untuk bekerja lebih giat dan melampaui target kinerja. Ini perlu dihadapi oleh penilai secara objektif untuk menjaga ritme kerja organisasi tetap harmonis. Pengakuan atas pencapaian kinerja yang luar biasa harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan bertanggung jawab, sehingga kontribusi predikat kinerja “Sangat Baik” terhadap pencapaian kinerja unit kerja yang lebih besar dapat diakui.
Peluang Pengembangan Karir
Peraturan baru ini membuka peluang yang lebih luas bagi JFP, terutama peluang untuk menjadi pemimpin, yang sebelumnya tidak mungkin. Ketentuan JF baru mengimplikasikan bahwa pada kelompok jabatan fungsional, terdapat pemimpin yang bertugas mengawasi, mengendalikan, dan mengalokasikan sumber daya sesuai dengan ketentuan unit kerja. Pada masa sebelumnya, pejabat fungsional tidak memiliki peluang untuk mengembangkan karier sebagai pemimpin,
2. 3. 4.kecuali dengan beralih ke kelompok jabatan struktural dan meninggalkan portofolio kompetensi yang telah dibangun. Pada saat ini, JFP memiliki peluang untuk berpindah secara vertikal tanpa harus mengubah kelompok jabatannya, selama ada formasi yang mengatur mengenai hal tersebut dalam unit kerjanya.
SARAN
DAN REKOMENDASI
Perubahan pada manajemen ASN
dalam sistem pemerintahan Republik
Indonesia akan terus terjadi sebagai respons atas kebutuhan kehidupan bernegara. Sebagai sebuah sistem, perubahan pengelolaan ASN akan berdampak pada upaya perbaikan pencapaian tujuan bernegara, terutama pada aspek pelayanan publik.
Diberlakukannya Peraturan Menteri
PANRB No. 1 Tahun 2023 tentang
Jabatan Fungsional telah memberikan peluang dan tantangan bagi JFP untuk terus mengembangkan diri dan organisasi. Perubahan sistem penilaian kinerja bagi perencana disadari merupakan perbaikan strategis untuk memberikan ruang ekspresi kinerja yang lebih menarik pada masa mendatang. Perencana akan semakin terpacu untuk terus mengembangkan diri demi menuntaskan tugas yang sangat dinamis dan tidak lagi terjebak dengan rutinitas tugas sebagaimana pada masa sebelumnya.
Melalui sistem tersebut, prestasi kerja akan diakui secara objektif sehingga memberikan dampak langsung terhadap diri ASN dan organisasinya. Hal ini perlu ditindaklanjuti dengan penguatan objektivitas penugasan dan penilaian yang dilakukan atasan perencana agar tujuan pemberlakukan ketentuan baru ini dapat tercapai sesuai tujuannya.
Berikut beberapa saran yang dapat ditawarkan kepada para pemangku JFP dan atasan JFP.
Bagi Para Pemangku JFP 1. Membangun pemahaman bersama tentang perubahan dalam komunitas JFP melalui diskusi, sosialisasi, dan pertemuan rutin mengenai cakupan PermenPANRB No. 1 Tahun 2023.
a.
b.
Mengembangkan komunitas pengembangan karier yang mandiri dan informal sebagai tempat untuk berbagi pengetahuan, tutorial antarrekan, dan dukungan kolektif untuk menyelesaikan tugas bersama.
dan mengadaptasi perubahan tersebut, melalui pemahaman yang baik, komunikasi yang efektif, dan kerja sama dalam komunitas JFP. Dengan pengelolaan yang bijak, perubahan ini dapat menjadi momentum untuk mengembangkan JFP menjadi kekuatan yang mampu melayani masyarakat dengan lebih baik dalam era yang semakin kompleks dan dinamis.
DAFTAR PUSTAKA
Appelbaum, E., Bailey, T., Berg, P., & Kalleberg, A. L. (2000).
Manufacturing Advantage: Why High-Performance Work Systems Pay Off. Cornell University Press.
a.
Bagi Atasan JFP 2. Mengembangkan komunikasi yang efektif antara penilai dan yang dinilai dalam kelompok JFP, dengan memastikan bahwa proses tersebut dilakukan secara terbuka, adil, objektif, dan bertanggung jawab untuk memahami peran serta kontribusi masingmasing JFP dalam mencapai kinerja bersama.
b.
Mengembangkan sistem pengawasan penilaian kinerja yang sesuai dengan prinsipprinsip good corporate governance dengan fokus pada objektivitas dan integritas, untuk menciptakan lingkungan kerja yang positif, harmonis, dan termotivasi.
Melalui penerapan Peraturan Menteri PANRB No. 1 Tahun 2023 tentang
Jabatan Fungsional, terjadi perubahan fundamental dalam pendekatan penilaian kinerja dan karier JFP. Perubahan ini membutuhkan upaya bersama untuk menginternalisasikan
Filatotchev, I., Jackson, G., Gospel, H., & Allcock, D. (2007). Key Drivers of ’Good’ Corporate Governance and the Appropriateness of UK Policy Responses. eprints.hud.ac.uk. http://eprints.hud.ac.uk/473
Kementerian PPN/Bappenas Republik Indonesia. (2022). Pedoman Pelaksanaan Petunjuk Teknik Penilaian Kinerja Jabatan Fungsional Perencana (pp. 1–392). Pusbindiklatren.
Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 1 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknik Penilaian Kinerja Jabatan Fungsional Perencana, (2022).
Peraturan Menteri PANRB No. 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional, (2023).
PROFIL PENULIS
Rine Simamora merupakan Perencana Ahli Madya pada Biro Perencanaan dan Keuangan Badan Riset dan Inovasi Nasional.
DINAMIKA PENILAIAN KINERJA PERENCANA: KEBIJAKAN
PEMERINTAH, TANGGAPAN,
DAN DAMPAK TERHADAP KARIER
Perubahan mekanisme
penilaian kinerja perencana dan tata cara perolehan angka kredit masih menimbulkan berbagai permasalahan dan dampak bagi karier perencana. Beberapa penyesuaian perlu dilakukan pemerintah maupun para perencana agar peraturan ini dapat berjalan dengan baik dan efektif.
LATAR BELAKANG
Penilaian kinerja merupakan salah satu aspek penting dalam pengelolaan sumber daya manusia, termasuk di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN). Transformasi pengelolaan kinerja ASN, sampai pada penilaian kinerja tahun 2022 yang dilakukan pada awal tahun 2023, masih menggunakan Peraturan Menteri
PANRB Nomor 6 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Kinerja Pegawai ASN, yang menggantikan Peraturan Menteri
PANRB Nomor 8 Tahun 2021 tentang Sistem Manajemen ASN.
Terdapat beberapa perubahan dalam pengelolaan kinerja ASN. Peraturan
Menteri PANRB Nomor 8 Tahun
2021 hanya mengatur pengelolaan kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sementara Peraturan Menteri PANRB Nomor 6 Tahun 2022, selain mengatur kinerja PNS, juga mengatur kebijakan pengelolaan kinerja Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Prinsipnya, pengelolaan kinerja pegawai antara PNS dan PPPK sama.
ASN yang memiliki tugas sebagai perencana harus mendapatkan penilaian kinerja yang memadai dan adil agar dapat memberikan pelayanan publik yang berkualitas dan meningkatkan kinerja organisasi. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya untuk melakukan perbaikan
dalam mekanisme penilaian kinerja perencana.
PERMASALAHAN DAN TUJUAN
Kebijakan pemerintah terkait
perencanaan dan evaluasi kinerja di lingkungan ASN terus mengalami
perubahan seiring dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Hal ini terlihat dari beberapa perubahan
yang dilakukan oleh pemerintah
terkait mekanisme penilaian kinerja
perencana dan tata cara perolehan
angka kredit. Namun, perubahan tersebut masih menimbulkan
berbagai permasalahan dan dampak bagi karier perencana.
Oleh karena itu, tujuan dari kajian ini adalah untuk membahas kebijakan pemerintah terkait perubahan mekanisme penilaian kinerja
perencana, tata cara perolehan angka kredit, serta tanggapan dari perencana mengenai mekanisme
penilaian kinerja tersebut dan dampaknya terhadap karier perencana.
PEMBAHASAN/ANALISIS
Kebijakan pemerintah terkait perubahan mekanisme penilaian kinerja perencana
Pemerintah melakukan beberapa perubahan dalam mekanisme penilaian kinerja perencana, antara lain
peningkatan bobot penilaian kinerja dari 40% menjadi 50% dari nilai akhir penilaian kinerja dan prestasi kerja;
penggunaan sistem penilaian yang lebih objektif dan transparan, seperti penerapan kinerja SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, and Time-bound) dalam penetapan target kinerja dan evaluasi;
pengembangan Sistem
Informasi Manajemen Kinerja Pegawai (SIMPKP) untuk
mempermudah proses pengisian dan penilaian laporan kinerja.
Kebijakan pemerintah terkait perubahan tata cara perolehan angka kredit Angka kredit merupakan salah satu faktor penting dalam penilaian kinerja perencana. Pemerintah melakukan perubahan dalam tata cara perolehan angka kredit dengan tujuan memperbaiki kualitas penilaian kinerja perencana, antara lain dengan
a.
2. menetapkan lebih banyak kegiatan yang dapat menghasilkan angka kredit, termasuk pelatihan, sertifikasi, dan publikasi karya ilmiah; serta
PERUBAHAN TERSEBUT MASIH MENIMBULKAN BERBAGAI PERMASALAHAN
perencana, baik secara positif maupun negatif.
Beberapa dampak positif meliputi
b. meningkatnya kualitas penilaian kinerja dan prestasi kerja perencana;
memperkuat sistem pengelolaan dan pengawasan angka kredit untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dan manipulasi.
Tanggapan mengenai mekanisme penilaian kinerja Perencana memberikan tanggapan yang beragam mengenai mekanisme penilaian kinerja yang dilakukan oleh pemerintah. Beberapa perencana menyambut baik perubahan tersebut karena dianggap dapat meningkatkan kualitas penilaian kinerja. Sementara itu, beberapa perencana lainnya masih merasa tidak puas dan mengkritik aspekaspek tertentu dalam mekanisme penilaian kinerja yang dianggap tidak adil atau tidak memadai.
Dampak perubahan penilaian kinerja terhadap karir perencana Perubahan dalam mekanisme penilaian kinerja perencana dan tata cara perolehan angka kredit berdampak pada karier
b.
meningkatnya motivasi dan semangat kerja perencana untuk meningkatkan kinerja; serta
c.
meningkatnya kesempatan untuk mengikuti pelatihan dan sertifikasi yang dapat meningkatkan kualitas kerja perencana.
Terdapat juga beberapa dampak negatif di antaranya:
adanya ketidakpastian dan kekhawatiran di kalangan perencana terkait hasil penilaian kinerja yang mungkin tidak adil atau tidak memadai;;
b.
terjadinya persaingan yang lebih ketat di antara perencana untuk mendapatkan angka kredit yang cukup untuk meningkatkan karier; dan
1. a. b. c. a. a. 3.terbatasnya kesempatan promosi karier bagi perencana yang tidak berhasil memenuhi standar penilaian kinerja dan perolehan angka kredit yang ditetapkan.
SARAN DAN REKOMENDASI
Berbagai perubahan yang dilakukan
oleh pemerintah terkait mekanisme
penilaian kinerja perencana dan tata cara perolehan angka kredit masih
menimbulkan berbagai permasalahan dan dampak bagi karier perencana. Oleh karena itu, beberapa saran dan rekomendasi yang dapat diberikan adalah sebagai berikut.
Pemerintah perlu memperbaiki aspek-aspek yang dianggap tidak adil atau tidak memadai dalam mekanisme penilaian kinerja dan tata cara perolehan angka kredit.
Perlu upaya lebih lanjut untuk meningkatkan transparansi dan objektivitas dalam proses penilaian kinerja dan perolehan angka kredit.
Perlu meningkatkan pengawasan dan pengendalian terhadap manipulasi dan penyalahgunaan angka kredit dalam proses penilaian kinerja.
Perlu dilakukan pendekatan komprehensif dalam menilai kinerja perencana, termasuk penilaian kinerja berbasis kompetensi dan pencapaian tujuan kerja.
Perlu adanya program pengembangan karier yang terstruktur dan jelas bagi perencana yang ingin meningkatkan kualitas kerja dan promosi karier.
Perlu memberikan kesempatan yang adil bagi perencana untuk mengikuti pelatihan dan sertifikasi yang dapat
meningkatkan kualitas kerja dan perolehan angka kredit.
Kesimpulannya, mekanisme penilaian kinerja perencana merupakan hal yang sangat penting dalam pengelolaan sumber daya manusia di sektor publik, termasuk dalam meningkatkan kualitas kinerja dan karier perencana. Perubahan dalam mekanisme penilaian kinerja perencana dan tata cara perolehan angka kredit yang dilakukan oleh pemerintah dapat membawa dampak positif maupun negatif bagi karier perencana.
Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk memperbaiki aspekaspek yang dianggap tidak adil atau tidak memadai dalam mekanisme penilaian kinerja, meningkatkan transparansi dan objektivitas dalam proses penilaian, serta memberikan kesempatan yang adil bagi perencana untuk mengikuti pelatihan dan sertifikasi yang dapat meningkatkan kualitas kerja dan perolehan angka kredit.
Perencana juga perlu melakukan tanggapan yang konstruktif terhadap perubahan dalam mekanisme penilaian kinerja dan tata cara perolehan angka kredit dengan cara
meningkatkan kualitas kerja dan prestasi, serta berpartisipasi aktif dalam pengembangan karier yang terstruktur dan jelas. Dengan begitu, diharapkan mekanisme penilaian kinerja dapat berjalan dengan lebih baik dan efektif dalam meningkatkan kualitas kinerja dan karier perencana pada masa depan.
PERLU DILAKUKAN
UPAYA UNTUK
MEMPERBAIKI
ASPEK-ASPEK
YANG DIANGGAP
TIDAK ADIL ATAU
TIDAK MEMADAI
DALAM MEKANISME
PENILAIAN KINERJA.”
PROFIL PENULIS
Henry Yulia Ginanjar merupakan
Pranata Komputer di Sekretariat
Daerah Pemerintah Kabupaten Grobogan.
JABATAN FUNGSIONAL PERENCANA HASIL PENYETARAAN ADALAH
“JABATAN FUNGSIONAL PERENCANA KELAS DUA”?
Penyetaraan jabatan fungsional perencana perlu dilakukan untuk penyederhanaan birokrasi. Namun, terdapat ketidaksetaraan tunjangan antara pejabat fungsional perencana hasil penyetaraan jabatan dengan pejabat fungsional perencana yang diangkat sebelumnya oleh pemerintah daerah. Ketidaksetaraan tersebut “seolah-olah” menimbulkan perbedaan kelas jabatan fungsional perencana.
LATAR BELAKANG
Dalam rangka memangkas rentang kendali birokrasi, pemerintah mengeluarkan Kebijakan penyederhanaan birokrasi. Penghapusan jabatan sebagai bagian dari penyederhanaan birokrasi merupakan salah satu prioritas kerja lima tahun ke depan Presiden dan Wakil Presiden RI yang ditetapkan
melalui Peraturan Presiden Nomor
18 Tahun 2020 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020―2024.
Penyederhanaan birokrasi mencakup dua hal, yaitu penyederhanaan birokrasi menjadi dua level eselon dan penyetaraan jabatan struktural menjadi jabatan fungsional. Wacana penghapusan jabatan eselon III dan IV sudah dibahas sejak 2020
oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB).
Kebijakan ini kemudian diwujudkan dalam Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PermenPANRB)
Nomor 28 Tahun 2019 dan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke dalam
Jabatan Fungsional. Pelantikan dalam rangka penyetaraan jabatan struktural ke fungsional pun berlangsung
serentak pada semua pemerintah daerah, kementerian, dan lembaga pada akhir 2021 dan awal 2022.
Setelah dua tahun berjalan, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan PermenPANRB No. 1 Tahun 2023 tentang Jabatan
Fungsional dalam rangka merespons keluhan, saran, dan kritik tentang proses penyetaraan jabatan yang sebelumnya terkesan “tergesa-gesa”. Namun, apakah semua kebijakan ini cukup efektif bagi kesejahteraan Pejabat Fungsional Perencana, khususnya yang terdampak penyetaraan jabatan di pemerintah daerah?
PERMASALAHAN DAN TUJUAN
Sebelum ada penyetaraan jabatan, sudah ada Pejabat Fungsional Perencana yang diangkat sesuai kebutuhan instansi pemerintah dan diberi tunjangan fungsional perencana. Setelah dilakukan penyetaraan jabatan pada akhir 2021 dan awal 2022, maka jumlah Pejabat Fungsional Perencana bertambah.
Ketika pejabat fungsional hasil penyetaraan masih dibebani tugas dan tanggung jawab layaknya pejabat struktural dan mendapat tunjangan layaknya tunjangan struktural, pejabat fungsional yang bukan hasil penyetaraan justru mendapat tunjangan fungsional yang besar. Tunjangan ini jomplang dengan tunjangan para pejabat fungsional perencana hasil penyetaraan jabatan yang kecil.
Oleh karena itu, pada tulisan ini penulis hanya fokus pada dilema perbedaan tunjangan jabatan bagi Pejabat Fungsional Perencana. Tujuan artikel ini adalah untuk menganalisis berbagai kendala dan permasalahan yang terjadi dalam proses penyetaraan jabatan khususnya mengenai tunjangan jabatan bagi Pejabat Fungsional Perencana.
PEMBAHASAN
Presiden Joko Widodo pada periode ke-2 kepemimpinannya, menjadikan reformasi birokrasi sebagai salah satu program prioritas. Melalui reformasi birokrasi, setidaknya terjadi percepatan pelayanan dan perizinan; penghapusan pola pikir
linier, monoton, dan terjebak pada zona nyaman; serta terciptanya iklim birokrasi yang adaptif, produktif, inovatif, dan kompetitif.
Salah satu turunan dari program prioritas tersebut adalah penyetaraan jabatan administrasi menjadi jabatan fungsional. Penyetaraan ini dimaksudkan untuk memangkas alur birokrasi yang semula terdiri dari empat bahkan lima jenjang jabatan (mulai dari pejabat eselon I sampai pejabat eselon V), menjadi hanya dua jenjang jabatan, yaitu jabatan pimpinan tinggi pratama (eselon I dan II). Menjawab hal tersebut, pada akhir 2021 dan awal 2022, pemerintah daerah dan instansi kementerian/ lembaga melakukan restrukturisasi besar-besaran dengan melantik ribuan pejabat fungsional.
Jabatan Fungsional Perencana yang selanjutnya diemban oleh Pejabat Fungsional Perencana atau perencana sesuai PermenPANRB No. 4 Tahun 2020 tentang Jabatan Fungsional Perencana, adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan tugas teknis perencanaan pembangunan di instansi pusat dan instansi daerah.
Setelah kurang lebih dua tahun penyetaraan jabatan, para pejabat hasil penyetaraan khususnya di pemerintah daerah masih kesulitan beradaptasi dengan tugas dan fungsi barunya sebagai pejabat fungsional perencana. Iklim kerja yang dibangun masih kental dengan nuansa struktural. Pimpinan organisasi cenderung menggunakan pendekatan hierarkis dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya yang dibungkus dalam balutan istilah koordinator dan subkoordinator.
Sebagai contoh di pemerintah daerah, pada salah satu jabatan yang terdampak penyetaraan jabatan, yakni para Kepala Subbagian Program dari unit eselon II dan Kepala Subbidang dari Bappeda/ Bappelitbangda provinsi dan kabupaten. Para pejabat tersebut adalah tulang punggung perencanaan daerah yang memfasilitasi dokumen perencanaan daerah mulai dari RPJPD, RPJMD, RENSTRA, RENJA, RKA dan bahkan sampai ke dokumen pelaporan lainnya seperti LKPJ, LPPD, PK dan RKT.
Sebelum ada penyetaraan jabatan, mereka bahu membahu bersama pejabat Fungsional Perencana yang
telah ada untuk menyelesaikan dokumen di atas. Namun, ketika “tsunami penyetaraan jabatan” datang, mereka terpaksa disetarakan dan mendapat penghasilan yang timpang jika dibandingkan dengan
Pejabat Fungsional Perencana yang telah ada, misalnya untuk Pejabat Fungsional Perencana setingkat ahli muda. Sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 97 Tahun 2022 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Perencana, Pejabat Fungsional Perencana yang telah ada mendapatkan tunjangan sebesar Rp1.100.000,00. Sementara Pejabat
Fungsional Perencana Ahli Muda yang disetarakan hanya mendapatkan tunjangan sebesar Rp540.000,00.
Secercah harapan kemudian muncul dengan hadirnya PermenPANRB
No. 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional yang mengakomodasi
banyak perubahan dalam regulasi jabatan fungsional. Namun, hal yang ditunggu-tunggu ternyata tidak muncul. Tidak satupun butir
dalam regulasi tersebut yang menegaskan tentang tunjangan jabatan fungsional, khususnya yang terdampak penyetaraan jabatan. Untuk diketahui bahwasanya sebelum penyetaraan jabatan sudah ada fungsional perencana yang diangkat oleh pemerintah daerah sesuai kebutuhannya masing-masing.
Jabatan Fungsional Perencana sendiri telah diatur dalam Perpres No. 97 Tahun 2022 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Perencana dan dikuatkan dengan Surat Edaran Sekretaris Kementerian PPN/ Bappenas tanggal 3 Agustus 2022 yang menegaskan pembayaran tunjangan tersebut berlaku untuk fungsional perencana yang ada di daerah.
Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah tunjangan tersebut berlaku bagi fungsional perencana hasil penyetaraan jabatan? Jawabannya ternyata tidak. Surat Menteri PANRB No. 653 Tahun 2021 menyebutkan
bahwa penghasilan jabatan fungsional hasil penyetaraan masih sama dengan penghasilan ketika menjabat sebagai jabatan administrasi, sampai yang bersangkutan naik jenjang atau pindah jabatan. Apakah mudah naik jenjang atau pindah jabatan? Ternyata tidak segampang itu. Pejabat Fungsional Perencana hasil penyetaraan juga harus mengumpulkan angka kredit melalui proses panjang. Kalaupun ingin naik jenjang harus lolos uji kompetensi, serta harus ada formasi.
Sering kali pertanyaan muncul, “Mengapa Pejabat Fungsional hasil penyetaraan harus dinilai kinerjanya selayaknya fungsional perencana yang sesungguhnya dengan sistem penilaian kinerja yang ribet, sedangkan apresiasinya hanya diberi tunjangan selayaknya tunjangan struktural yang jauh sekali bedanya?” Jabatan fungsional hasil penyetaraan seperti diperlakukan seperti “jabatan fungsional kelas dua”. Padahal jika dilihat beban kerjanya sama bahkan
lebih berat dibanding dengan pejabat fungsional yang diangkat sebelumnya oleh pemerintah. Hal ini cukup menyedihkan mengingat Pejabat Fungsional hasil penyetaraan khususnya di pemerintah daerah merupakan motor penggerak perencanaan di daerah.
Dengan bertambahnya ”skuat” fungsional perencana hasil penyetaraan jabatan, tentunya menimbulkan polemik baru terutama di ranah kesejahteraan. Hal ini dipicu oleh beban dan sistem penilaian kinerja yang menjadi sama setelah beralih menjadi pejabat fungsional. Sama-sama menduduki jabatan fungsional perencana, tapi penghasilannya berbeda.
Ini berpotensi menjadi lahan konflik ke depannya di antara sesama Pejabat Fungsional Perencana. Hal
tersebut diperparah pula dengan kasus kelas Jabatan Fungsional Perencana Penyetaraan (Ahli Muda) di daerah yang hanya menduduki kelas jabatan 9. Sementara edaran dari Kementerian PPN/Bappenas mengharuskan agar kelas Jabatan Fungsional Perencana adalah kelas jabatan 10. Perbedaan dalam kelas jabatan mengakibatkan perbedaan dalam perhitungan pendapatan tambahan penghasilan Aparatur Sipil Negara jika dibandingkan dengan jabatan fungsional lainnya.
SARAN DAN REKOMENDASI
Kementerian PPN/Bappenas
sebaiknya mengkaji kembali kebijakan tunjangan perencana agar tidak terjadi gap antara para fungsional perencana yang ada di daerah, baik yang berasal dari penyetaraan jabatan atau bukan.
Kementerian PPN/Bappenas
hendaknya bekerja sama dengan stakeholder, termasuk instansi
tempat Pejabat Fungsional Perencana tersebut bertugas. Kerja sama meliputi beberapa hal di antaranya (1) pendataan Jabatan Fungsional Perencana yang mencakup
jumlah, sebaran per instansi, dan data lain yang dibutuhkan; dan (2) penghitungan kembali kebutuhan Jabatan Fungsional Perencana nasional dan per instansi agar tidak terjadi kasus tidak adanya formasi setelah uji kompetensi yang menghambat karier Pejabat Fungsional Perencana.
PROFIL PENULIS
Pius Mithe merupakan Fungsional
Perencana Ahli Muda di Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Ende.
MENINGKATKAN DAYA SAING INDUSTRI MIKRO DAN KECIL
MELALUI PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGALENGAN
PRODUK KULINER TRADISIONAL
Industri kuliner, termasuk kuliner tradisional Indonesia, tergolong ke dalam usaha yang paling banyak dijalankan oleh Industri Mikro dan Kecil (IMK) dan mengalami pertumbuhan positif di pasar lokal hingga global. Indonesia memiliki produk kuliner tradisional yang bervariasi dari 34 provinsi. Salah satu strategi untuk meningkatkan nilai tambah produk kuliner tradisional adalah melalui pemanfaatan teknologi pengalengan yang dapat meningkatkan daya simpan produk. Dengan adanya pemanfaatan teknologi, diharapkan dapat berkontribusi dalam meningkatkan daya saing IMK Indonesia.
LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman kuliner tradisional di 34 provinsi. Industri kuliner termasuk dalam 15 subsektor ekonomi kreatif yang menjadi fokus
pengembangan pemerintah hingga 2025 (Barekraf, 2019).
Industri kuliner termasuk dalam usaha yang paling banyak dijalankan oleh Industri Mikro dan Kecil (IMK), yaitu mencapai 36,23% atau 1.587.019
usaha per tahun 2019 (BPS, 2019). Produksi tahunan pada 2019 mengalami pertumbuhan positif sebesar 52,77% untuk industri makanan dan dapat menyerap 3.257.963 orang tenaga kerja (BPS, 2019).
Produk kuliner tradisional memiliki beberapa potensi strategis diantaranya, sebagai trend makanan sehat, gastrodiplomasi (Pujayanti, 2017), gastronomy tourisme, pemberdayaan ekonomi rakyat, penyerapan tenaga kerja, pemanfaatan sumber daya alam, pelestarian budaya, serta ciri khas dari suatu daerah tertentu. Dengan potensi strategis tersebut, industri di bidang kuliner tradisional dapat menjadi andalan dalam meningkatkan taraf hidup para petani sebagai penyuplai bahan baku maupun sektor pendukung lainnya (Alteza, 2014).
Sementara dari sisi produk, keunggulan makanan tradisional di antaranya diolah dari bahan segar dan alami, kandungan lemak relatif rendah, tidak menggunakan zat aditif (pewarna dan pengawet), relatif aman bagi kesehatan, sesuai dengan selera dan kebiasaan, biaya relatif murah, mudah didapat, dan bervariasi (Komariyah: 2010).
PERMASALAHAN DAN TUJUAN
Beberapa kendala yang dihadapi
IMK, yaitu pemasaran sebanyak 21,11% (BPS, 2018) dan pada produk makanan tradisional, yaitu daya simpan produk yang tidak tahan lama (Nurhikmat et. al, 2020). Dalam upaya mengatasi kendala tersebut, salah satu strateginya adalah melalui pengemasan, ‘packaging sells what it protect’ (Sucipta et. al, 2017, 35). Pemanfaatan teknologi pengemasan makanan di antaranya adalah pengalengan telah dilakukan sejak abad ke-19 (Hariyadi, 2006).
Dalam implementasi inovasi teknologi, IMK, sebagai pengguna, mengalami hambatan dalam mengakses teknologi. Marin et. al (2015) menguraikan terdapat enam hambatan yang dihadapi oleh small medium enterprise (SME) dalam mengakses eco-innovation di Uni Eropa, yaitu revealed atau deterring barriers, cost deterred firms, market deterred firms, non-eco innovators, dan green champions
Berdasarkan fenomena tersebut, diperlukan adanya kajian dalam upaya perumusan strategi pemanfaatan
teknologi pengalengan produk kuliner tradisional dalam upaya meningkatkan daya saing IMK di Indonesia.
PEMBAHASAN
Teknologi Pengalengan
Produk Kuliner Tradisional Teknologi pengalengan produk kuliner tradisional untuk skala
IMK dikembangkan oleh Balai
Penelitian Teknologi Bahan Alam, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (BPTBA LIPI) yang
sejak 2021 menjadi Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (PR TPP BRIN) di Kabupaten
Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Pengalengan makanan
merupakan cara pengawetan bahan pangan dengan proses thermal (sterilisasi) untuk
membunuh bakteri pembusuk, sehingga meningkatkan daya simpan produk makanan
hingga satu tahun tanpa bahan pengawet (Nurhikmat et.al, 2016).
1.Adopsi Teknologi oleh Industri Mikro dan Kecil
BPTBA LIPI atau PRTPP BRIN mengembangkan metode dan sistem pengawetan olahan makanan tradisional dengan cara pengalengan sejak tahun 2005 dan telah dimanfaatkan oleh IMK binaan. Hingga 2021, terdapat 23 IMK binaan di industri kuliner tradisional dari berbagai provinsi di Indonesia. Potensi adopsi teknologi pengalengan produk kuliner tradisional di Indonesia diuraikan pada Gambar 3.
Dalam rangka merumuskan strategi adopsi teknologi oleh IMK dengan studi pada teknologi pengalengan kuliner tradisional, dilakukan survei terhadap IMK binaan yang dilaksanakan pada tanggal 7 April sampai dengan 25 Mei 2021.
Responden terdiri dari IKM binaan yang telah melakukan produksi dan menjual produk makanan yang telah dikalengkan. IMK tersebut telah menjadi binaan dan memanfaatkan teknologi pengalengan dalam kurun waktu 1 hingga 3 tahun.
Hasil kuesioner menunjukkan bahwa IMK yang menjadi
responden, 100% bergerak di industri makanan tradisional, produknya yaitu rendang, gudeg, ayam bumbu, bacem, dan sebagainya.
Selain itu, 100% responden pemilik bisnis adalah perempuan. Ini menunjukkan bahwa perempuan berkontribusi aktif di sektor ekonomi sebagai pelaku usaha, menjaga tradisi kuliner tradisional, dan berupaya memanfaatkan teknologi untuk dapat meningkatkan nilai tambah pada produk makanan tradisional yang dikelolanya. Responden sebagian besar berasal dari daerah sekitar BPTBA LIPI, yaitu 88,9% berada di Provinsi DIY dan 11,11% dari Jawa Barat.
Pemanfaatan teknologi pengalengan dapat meningkatkan nilai tambah produk melalui bertambahnya umur masa simpan produk, sehingga berdampak terhadap tingkat penjualan, variasi saluran pemasaran, dan jangkauan penjualan, bahkan hingga ekspor ke luar negeri. Peningkatan penjualan yang mencapai 10% per bulan sebanyak 55,56%, peningkatan 10% s.d. 20% per bulan sebanyak 22,22%, dan peningkatan penjualan hingga lebih dari 30% per bulan terjadi pada 11,11% responden (Ga mbar 4).
2.Variasi saluran pemasaran
menjadi lebih beragam, yaitu
penjualan melalui toko/gerai
sebanyak 33,35%, toko online
sebanyak 27,80%, dan agen/ distributor/reseller sebanyak
22,20%. Dari sisi jangkauan
penjualan, sebanyak 16,65% responden telah melakukan
ekspor, sehingga makanan
tradisional Indonesia ini juga
dapat dinikmati oleh konsumen di luar negeri (Gambar 5).
Faktor Pendukung dan Kendala
Faktor-faktor pendukung
pemanfaatan inovasi teknologi
pengalengan oleh IMK, yaitu
tingkat kemudahan alih teknologi (55,60%), waktu produksi
lebih cepat (66,70%), dapat
mempertahankan rasa yang enak (66,70%), kemudahan dalam pengurusan izin edar (44,40%), serta kemasan yang ramah lingkungan (33,30%).
Kendala yang dihadapi terdiri dari dua bagian, yaitu pada tahap produksi dan penjualan. Pada tahap produksi kendala yang dihadapi adalah lokasi dan peralatan atau mesin pengalengan yang hanya berada di BPTBA LIPI Gunung
Kidul, Yogyakarta, serta biaya pengalengan yang sebesar Rp3.000,00 per kaleng (33,33%), kendala bahan baku dan tenaga kerja sebanyak 11,11%. Sementara pada tahap
penjualan, yang menjadi kendala di antaranya adalah akses pemasaran atau penjualan (55,56%) serta kendala dalam membuat promosi (11,11%).
REKOMENDASI
Rekomendasi dalam perumusan strategi untuk meningkatkan daya saing IMK melalui pemanfaatan teknologi pengalengan produk kuliner tradisional sebagai berikut.
Sinergi dan kolaborasi antar sektor penta helix (Pemerintah Pusat dan Daerah, akademisi, Badan/Pelaku Usaha, masyarakat/komunitas, dan media) melalui
1. pengembangan model bisnis;
insentif untuk pelaku usaha, yaitu kemudahan akses perizinan, akses permodalan,
akses pasar, dan insentif pajak;
c. Penguatan aspek produksi, yaitu 2.
a.
insentif untuk inovator berupa royalti atas paten, Hak Kekayaan Intelektual (HKI), serta keberlangsungan program riset dan inovasi.
penyediaan infrastruktur, baik untuk proses penelitian dan pengembangan berupa
3. a. b.b.
laboratorium maupun infrastruktur untuk proses produksi yang lebih dekat dengan lokasi IMK;
membangun kemitraan dengan industri, yaitu menggunakan konsep toll manufacturing (maklon) untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas produksi;
REFERENSI
Nurhikmat, Asep. 2016. Pengaruh Suhu dan Waktu Sterilisasi terhadap Nilai F dan Kondisi Fisik Kaleng Kemasan pada Pengalengan Gudeg, Jurnal Agritech.
Badan Pusat Statistik. 2021. Statistik Indonesia 2021. Jakarta: https://www.bps.go.id/ publication/2021/02/26/ /938316574c78772f27e9b477/ statistik-indonesia-2021. html#:~:text=Statistik%20
Indonesia% 202021%20 merupakan%20publikasi, demografi%20dan%20 perekonomian%20di%20 Indonesia.
Badan Pusat Statistik. 2019. Profil Industri Mikro dan Kecil 2018. Jakarta. https://www.bps. go.id/publication /2019/11/14/ 355910d12477675c587b918b/ profil-industri-mikro-dankecil-2018.html
Komariyah, Lilis. 2010. Modul 2 Makanan Tradisional Jurusan Pendidikan Olah Raga. http://file. upi.edu.pdf.
Penguatan aspek promosi, yaitu 3.
a.
instansi pemerintah sebagai captive market, seperti untuk bantuan sosial, bencana, konsumsi jemaah haji, dan lain sebagainya.
b.
produk dapat menjadi ikon atau suvenir atau gastronomy tourism
Marin, Giovanni, Alberto Marzucchi, Roberto Zoboli. 2015. SMEs and barriers to Eco-innovation in the EU: Exploring Different Firm Profiles. Journal Evolutionary Economics (2015) 25: 671-705. DOI: 10.1007/s00191-015-04077.
Muniya Alteza. 2014, Pengembangan Bisnis Produk Makanan Tradisional, Makalah, Disampaikan pada pelatihan pengembangan UKM makanan tradisional di Kecamatan Imogiri, Bantul pada tanggal 13 September 2014.
Pujayanti, Adirini. 2017. Gastrodiplomasi - Upaya Memperkuat Diplomasi Indonesia. Politica. Vo. 8 No. 1, Mei 2017.
Sucipta, I Nyoman, Ketut Suriasih, Kencana Pande KD. 2017. Pengemasan Pangan: Kajian Pengemasan yang Aman, Nyaman, Efektif, dan Efisien. Denpasar: Udayana University Press.
Trihartono, Agus. 2019. Gastrodiplomasi: Pilar Baru Softpower Indonesia. Orasi Ilmiah. Universitas Jember.
MENGGUNAKAN KONSEP TOLL MANUFACTURING (MAKLON) UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS PRODUKSI.”
PROFIL PENULIS
Basdiati, Asep Nurhikmat, dan Taufik Hidayat merupakan ASN Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN);
Ani Susanti merupakan ASN Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM);
Ridwan Yudhaprayoga merupakan ASN Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Pos-el: basdi.ati01@gmail.com atau basd001@brin.go.id
1. 2.BELAJAR 10 ETOS KERJA
DARI DRAMA KOREA
Drama Korea atau yang biasa disebut “drakor” merupakan suatu drama televisi dari Korea Selatan yang berupa miniseri. Biasanya memiliki episode yang tidak terlalu banyak, tidak seperti sinetron Indonesia. Selain dapat menikmati seni peran para pemainnya yang berwajah bening, cantik, dan tampan, jalan ceritanya yang beragam pun menjadikan drakor sebagai suatu hiburan yang cukup diminati orang banyak.
Selain itu, dari drakor kita dapat belajar etos kerja yang ditampilkan secara apik di dalamnya. Bersumber dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etos kerja adalah ciri atau karakter semangat kerja dari seseorang yang bertujuan untuk mengembangkan suatu kelompok
Kerja keras
Kerja keras yang muncul di drakor biasanya dimulai sedari dini. Jika ada adegan tentang anak sekolah, dipastikan anak sekolah di Korea mulai belajar dari pagi hingga malam hari. Karena sepulang sekolah, tanpa ada waktu untuk pulang ke rumah untuk berganti baju, mereka akan langsung menuju tempat les untuk pelajaran tambahan. Ketika pulang sudah larut malam.
Dari sini kita belajar bahwa untuk mengejar cita-cita dibutuhkan kerja keras dan ini dimulai sedari duduk di bangku sekolah. Tidak ada waktu untuk bermain-main
Siapa bilang nonton drakor perbuatan yang
sia-sia? Tak cuma
mengagumi wajah para pemainnya, ternyata
kita bisa banyak belajar darinya. Salah satunya
adalah mempelajari etos kerja yang sering
dimunculkan dengan apik. Ini 10 etos kerja yang bisa kita pelajari dari drakor!
dan bermalas-malasan di hari sekolah. Karena setiap anak memiliki target melaju ke jenjang berikutnya dengan nilai maksimal.
Disiplin
Hampir sebelas dua belas dengan Jepang, masyarakat Korea pun memiliki disiplin yang tinggi dalam bekerja. Ini dapat dilihat dalam adegan di mana setiap pekerja akan datang tepat waktu dan bekerja dengan baik. Jika beban pekerjaan masih banyak, mereka akan berinisiatif lembur hingga larut malam demi mengejar deadline. Bahkan dalam hal ini, Pemerintah Korea Selatan sampai harus memangkas jam kerja para karyawan untuk mengurangi tekanan atau stres akibat kelelahan dalam bekerja.
Foto: freepik.comMandiri
Di drakor pun banyak kita lihat, jika seorang anak sudah lulus sekolah, biasanya mereka akan keluar dari rumah dan tinggal sendiri. Hal ini untuk melatih kemandirian dan tidak bergantung lagi kepada keluarga.
Jujur
Jujur juga merupakan etos kerja yang dapat disaksikan dalam drakor, karena mereka akan merasa malu jika telah berbuat kecurangan. Meskipun tidak seekstrem orang Jepang yang memiliki kebiasaan harakiri jika melakukan kecurangan atau kesalahan, tetapi kejujuran merupakan hal yang dijunjung tinggi di Korea.
Profesional
Orang Korea pun dalam bekerja sangat profesional. Bukan dilihat dari apa pekerjaannya, tetapi pekerjaan apa pun mereka lakukan dengan sepenuh hati dan juga profesional. Oleh karena itu, hasilnya pun memuaskan karena dilakukan dengan sungguhsungguh.
Sikap profesional ini juga dapat disaksikan, jika dalam satu tim terlibat percintaan. Mereka akan tetap bekerja secara profesional dan tidak mencampuradukkan urusan pekerjaan dengan urusan pribadi.
Siap untuk belajar hal baru Para pekerja di Korea pun siap untuk belajar hal-hal baru. Hal itu membuat mereka tidak hanya terkungkung pada rutinitas pekerjaannya, tetapi selalu berusaha untuk mempelajari hal baru lainnya, sehingga akan meningkatkan nilai diri mereka.
Gigih
Bisa kita saksikan kegigihan orang-orang Korea dalam
mengejar mimpi dan cita-citanya. Mereka akan bekerja keras dan pantang menyerah untuk meraih apa yang mereka inginkan.
Mereka juga tidak akan berhenti sampai mereka meraihnya. Kegigihan ini dapat kita saksikan dalam banyak judul drakor.
Mau berbagi ilmu
Orang Korea pun terkenal tidak pelit akan ilmu. Biasanya para senior akan mengajari juniornya mengenai apapun yang mereka ketahui, sehingga juniornya dapat berkembang. Mereka akan melakukan coaching dan mentoring sampai junior ini menguasai seluruh ilmu yang mereka ajarkan.
Mau dikritik
Salah satu etos kerja yang cukup unik, yaitu orang Korea mau dikritik. Tentunya kritik ini sifatnya membangun dan untuk perbaikan kinerja selanjutnya. Mereka bersikap terbuka terhadap masukan dari mana pun untuk kemajuan dirinya. Tidak ada istilah baper jika diberikan masukan atau kritikan. Sebaliknya, mereka
akan segera memperbaiki diri dan berbenah agar selanjutnya tidak melakukan kesalahan yang sama.
Mau bekerja sama
Etos kerja terakhir yang dapat kita pelajari dari drakor adalah mau bekerja sama. Orang Korea mampu bekerja sama dalam satu tim. Mereka akan saling melengkapi satu sama lain dan bahu-membahu dalam tim supaya dapat mencapai hasil maksimal dalam suatu pekerjaan.
Itulah 10 etos kerja yang dapat kita petik jika kita menonton drakor. Siapa bilang menonton drakor adalah perbuatan yang sia-sia? Karena selain hiburan, banyak sekali pelajaran dan etos kerja yang dapat kita tiru dan adaptasi dari drakor. Jadi, selamat menikmati drakor dan belajar etos kerja dengan menontonnya.
[Penulis: Nita Agustin/Arsiparis Mahir Pusbindiklatren]
TAMPILAN MAJALAH SIMPUL PERENCANA
1. Tampilan cover Majalah Simpul Perencana Volume 45 Tahun
2023:
a. menarik
b. kurang menarik
2. Tampilan cover Majalah Simpul Perencana Volume 45 Tahun 2023 sudah mencerminkan tema:
a. sudah
b. belum
3. Susunan warna dan tata letak foto-foto ilustrasi dalam isi
Majalah Simpul Perencana
Volume 45 Tahun 2023:
a. menarik
b. kurang menarik
SUBSTANSI/ISI MAJALAH SIMPUL PERENCANA
1. Tema yang diangkat dalam
Majalah Simpul Perencana
Volume 45 Tahun 2023:
a. menarik
b. kurang menarik
2. Tema yang diangkat dalam
Majalah Simpul Perencana
Volume 45 Tahun 2023 sudah
sesuai dengan isu terkini:
a. sudah
b. belum
KUESIONER
3. Susunan atau struktur konten dalam Majalah Simpul Perencana Volume 45 Tahun 2023 sudah baik:
a. sudah
b. belum
4. Bahasa dan ilustrasi (gambar, grafik, dan tabel) dalam Majalah Simpul PerencanaVolume 45 Tahun 2023 mudah dipahami:
a. iya
b. tidak
5. Majalah Simpul Perencana Volume 45 Tahun 2023 memberikan informasi terkini dan menjadi referensi dalam pengambilan keputusan:
a. iya
b. tidak
PENYEBARLUASAN MAJALAH SIMPUL PERENCANA
1. Majalah Simpul Perencana Volume 45 Tahun 2023 yang dikirimkan oleh Pusbindiklatren Bappenas dapat diterima dengan baik:
a. iya
b. tidak
2. Apakah Majalah Simpul Perencana yang telah Saudara terima juga diinformasikan kepada staf Saudara?
a. iya
b. tidak
3. Selain Pusbindiklatren
mengirimkan Majalah Simpul
Perencana Volume 45 Tahun 2023 kepada instansi Saudara, kami juga telah memuat dalam situs web Pusbindiklatren
Bappenas (karena keterbatasan cetak), apakah saudara menginformasikan/disposisikan kepada staf atau kolega untuk mengakses Majalah Simpul
Perencana Volume 45 Tahun
2023 di situs web Pusbindiklatren Bappenas?
a. iya
b. tidak KETENTUAN:
• Lingkari jawaban pada huruf a atau b sesuai pilihan Anda.
• Kuesioner yang telah selesai dijawab selanjutnya dipotret dengan kamera. Usahakan hasil foto tidak kabur (blur) sehingga tulisan dan jawaban dapat terbaca dengan jelas.
• Hasil foto selanjutnya dikirim melalui pos-el (e-mail) ke: simpul@bappenas.go.id
• Pengisian kuesioner evaluasi juga dapat dilakukan secara daring melalui tautan: bit.ly/evaluasi-msp
MAJALAH SIMPUL PERENCANA VOLUME 45 TAHUN 2023HINDARI NARKOBA6Langkah
.02
Kenali temanmu. Pilihlah teman yang selalu mengajak kepada kebaikan.
.03
Hindari kelompok/ teman nongkrong yang tidak sehat. Sapa lalu pergi, lakukan dalam tiga detik.
.04
.05
Isi waktu luang dengan kegiatan positif seperti olahraga, bermain musik, belajar, dan lainnya.
.06
PUSBINDIKLATREN KEMENTERIAN PPN/BAPPENAS SEBAGAI ZONA INTEGRITAS
Dalam rangka pembangunan Zona Integritas, pimpinan dan staf Pusbindiklatren Kementerian PPN/ Bappenas berkomitmen untuk selalu memberikan pelayanan secara benar, akurat, profesional, dan berkualitas. Pusbindiklatren menjamin pelaksanaan tugas internal dan pelayanan publik bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme, dan gratifikasi serta bebas dari benturan kepentingan.
Pada tahun 2020, Pusbindiklatren meraih predikat WILAYAH BEBAS DARI KORUPSI (WBK) dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB). Saat ini, Pusbindiklatren terus mengupayakan pelayanan terbaik menuju WILAYAH BIROKRASI BERSIH DAN MELAYANI (WBBM).