Prisma
BUKU
Keadaban dan Bahaya Pluralisme Judul: Uncivil Society: The Perils of Pluralism and the Making of Modern Liberalism Penulis: Richard Boyd Penerbit: Lexington Books, Maryland, AS, Januari 2004 Tebal: 351 halamanISBN 0-7391-0908-1 ISBN 0-7391-0909-X
B
uku ini merekam pergulatan sejumlah pemikir liberal dan membahas pandangan mereka dalam menghadapi perilaku kelompok, asosiasi atau organisasi — sering diberi label sebagai masyarakat sipil (civil society) atau pluralisme— yang bersifat memecah-belah dan merusak, termasuk melalui jalan kekerasan. Tradisi liberal yang tidak pernah bisa dikatakan tunggal umumnya menerima pengertian bahwa munculnya kelompok, group, asosiasi atau organisasi dalam sebuah negara atau masyarakat bersifat tak terhindarkan, dan terwujud dalam beragam bentuk. Namun, terdapat perbedaan cara pandang cukup kontras antara pemikir liberal klasik—Thomas Hobbes, John Locke, David Hume, Adam Smith, James Madison, dan sebagainya—serta ahli teori yang lebih kontemporer—Fergusen, Burke, John Stuart Mill, dan Alexis de Tocqueville—berkenaan dengan hakikat pluralisme atau masyarakat sipil itu. Perbedaannya adalah jika para pemikir liberal klasik melihat fenomena kelompok atau groups, perkumpulan atau organisasi dengan sudut pandang “negatif”—yakni, fenomena yang membahayakan atau ancaman yang memecahbelah tatanan sosial (“the perils of pluralism”), pemikir liberal kontemporer justru melihatnya
secara lebih “positif”—yakni, sebagai harapan penyembuh atau sebagai obat mujarab untuk memperbaiki kelemahan institusi-institusi demokrasi liberal. Gagasan dasar penulis buku ini adalah ajakan untuk mempertimbangkan kembali sikap para pemikir liberal klasik, yang hidup pada abad ke-17 dan abad ke-18, dalam berhadapan dengan asosiasi atau kelompok sipil, karena hanya dengan cara ini kita dapat menyelami wawasan yang lebih kaya akan hakikat kelompok atau organisasi. Sumbangan para pemikir liberal klasik itu memang penting, misalnya, dalam menunjukkan apa yang berharga dari
Agus Wahyudi, Keadaban dan Bahaya Pluralisme
kelompok, perkumpulan, atau organisasi. Ada sejumlah pertanyaan penting di sini, apakah civil society menyumbang bentuk dan memperkuat standar moral keadaban (the virtue of civility). Bagaimana standar moral itu dapat diwujudkan? Bagaimana civil society bisa dibedakan dengan lawan moral mereka, seperti geng kejahatan, sektarianisme, faksi serta berbagai bentuk gairah dan nafsu yang berada di luar tapal batas. Karena itu, seperti yang akan coba kita diskusikan, sidang pembaca mungkin dapat menemukan relevansi buku ini dengan kondisi seharihari yang terjadi di Indonesia. Pertama, seperti halnya semangat kebebasan sipil dan politik yang telah lama berkembang di banyak negeri Barat, Indonesia juga tengah menyaksikan pertumbuhan asosiasi dan organisasi masyarakat sipil yang marak, terutama setelah era reformasi yang ditandai oleh runtuhnya rezim otoritarian Orde Baru Soeharto, Mei 1998. Kedua, seperti halnya kekhawatiran kaum liberal klasik yang melihat organisasi, asosiasi atau kelompok (group) sebagai hal yang dapat memecah-belah, merusak dan melakukan kekerasan, kita di Indonesia juga memiliki kekhawatiran serupa dengan munculnya sejumlah kelompok, asosiasi atau organisasi “masyarakat sipil” yang tidak sipil (uncivil-society).
Bahaya Pluralisme Menarik untuk disimak bagaimana para pemikir liberal klasik menangani bahaya atau risiko pluralisme—yang didefinisikan sebagai “the disruptive and violent behaviors of individuals in groups” (hal. 7), dalam konteks diskusi ini, perilaku kekerasan dan mengganggu yang dilakukan oleh kelompok dalam sebuah negara atau masyarakat. Thomas Hobbes adalah tokoh yang meletakkan konteks diskusi tentang bahaya pluralisme, dan mengembangkan pencarian tentang keadaban (civility). Seperti terlihat dalam dua buah karyanya, Leviathan dan Behemoth, Hobbes mencoba mengatasi masalah sektarianisme agama yang menghasilkan fanatisme, kekerasan, dan kekejaman.
119
Tidak seperti analisis Alexis de Tocqueville dan Robert Putnam yang melihat kelompok atau groups sebagai sesuatu yang bersahabat, hangat, dan tidak membahayakan, Hobbes menggambarkan groups dengan metafora organik, yaitu sebagai “lesser commonwealths or troublesome entozoa, like worms within the entrayles of the natural man” (hal. 12). Dengan metafora ini, groups atau kelompok digambarkan cenderung memecah-belah dan menciptakan persaingan dalam kaitan dengan tubuh sosial tempat kelompok atau group itu berada. Kelompok atau groups dipandang sebagai faksi atau sekte yang tidak mudah mengalami perubahan, dan tak bisa diharapkan lain kecuali membangkitkan kegairahan kolektif dan kekejaman tertinggi. Pandangan singkat ini menggambarkan satu dari sekian banyak aspek ketakutan Hobbes terhadap kelompok atau groups. Dari sudut teori liberal kontemporer, pandangan Hobbes itu problematik, dan menciptakan paradoks. Karena Hobbes meyakini penyebab utama groups menjadi sangat membahayakan terkait dengan sifat groups yang cenderung keras kepala dan “sadar diri,” maka kerelaan (voluntarism) dan tekat kuat kelompok (groups) itulah yang menjelaskan energi yang merusak, intensitas emosi, dan kekerasan. Dengan keyakinan itu, Hobbes mengajukan pandangan yang berlawanan dengan kepercayaan umum liberal bahwa penentu utama kebebasan berkumpul atau berorganisasi adalah pada “pilihan” (choice) untuk berkelompok. Masalahnya, meski kebebasan berserikat atau berkumpul sebagaimana banyak hak yang lain, perlu dibatasi jika itu mengancam dan membahayakan orang lain. Prinsip liberal tetap membiarkan dan membolehkan organisasi atau kelompok yang menjijikkan atau sangat buruk tetap hidup. Tanggapan kaum liberal klasik seperti Locke, Hume, Smith and Burke, adalah bahwa watak sipil dan toleran dari asosiasi atau groups (standar keadaban groups), tak banyak berhubungan dengan apakah para anggotanya dilahirkan dalam groups itu; atau apakah mereka itu bebas keluar masuk dalam keanggotaan. Untuk
120
Prisma Vol. 32, No. 4, 2013
mengatasi bahaya pluralisme keagamaan, kaum liberal klasik menyarankan pemisahan gereja dari negara, menempatkan masalah keagamaan pada wilayah privat, dan mempersempit tugas publik pada tujuan moral yang netral, dan terbatas menengahi aturan hak milik dan transfer. Akan tetapi, ini hanya langkah pertama. Langkah lain yang lebih penting dan sering dilupakan adalah mereka juga menstransformasi energi fanatik yang didesakkan oleh perbedaan yang dipahami sebagai bagian tertib moral menjadi perbedaan sipil, yang sesungguhnya merupakan soal kesalingtidakpedulian dalam kehidupan sehari-hari. Proyek modern awal dengan demikian mencakup bukan hanya usaha konstitusional dalam memastikan kebebasan politik dan keagamaan para individu melalui sarana legal yang lebih sempit, tetapi juga menempa semangat “keadaban” (spirit of civility) dalam agama dan politik yang membuat orang mungkin bisa tak sepakat dengan orang lain tanpa pertumpahan darah.
Keadaban sebagai Jalan Keluar? Standar moral keadaban (civility) mendapatkan penekanan dan pembelaan menarik dalam buku ini. Di satu sisi, penulis buku ini mengakui bahwa keadaban bisa mengandung konotasi “negatif” dan kontroversial, karena sering dikaitkan dengan gagasan politik konservatif yang pengertiannya disamakan dengan sopan-santun atau tata-krama. Di sisi lain, pemikir radikal seperti John Keane, Nobert Elias, James Schmidt, dan Mary Wollstonecraft juga berseru lantang menyangkut penggunaan pengertian keadaban oleh orang atau sekelompok orang untuk menyembunyikan kedok hierarki dan mengeksklusi yang lain. Namun, berbeda dengan kritik “konservatif” yang menggunakan keadaban sebagai kedok untuk mempertahankan nilai tradisional dan juga kritik “radikal” yang menganggap keadaban sebagai nilai yang mengeksklusi dan penuh relasi kuasa, penulis buku ini berpendapat bahwa kritik-kritik itu mengabaikan potensi demokratik
yang sangat fundamental dari konsep keadaban, dan hal ini terutama terbukti dalam gagasan para pemikir liberal klasik. Pertanyaannya, apa keadaban itu? Apa yang membuat organisasi atau kelompok—dan sebenarnya juga para individu—menjadi “tidak sipil” (uncivil)? Dalam buku ini, pengertian “keadaban” dipahami dalam kaitannya dengan pengertian “persamaan moral” (moral equality), yaitu setiap orang berhak menuntut untuk orang lain diperlakukan sama sebagai subjek moral. Keadaban adalah akibat dari ketergantungan manusia terhadap manusia lain. Pengertian keadaban seharusnya tidak dikacaukan dengan kebajikan (virtues) yang diterima bersama, atau nilai-nilai yang dianggap harus diterima oleh masyarakat secara bersama-sama. Dalam masyarakat yang sangat majemuk—dan kita bisa beragumen Indonesia adalah salah satunya— kemungkinan kita semua menyetujui sebuah nilai yang tegas dan pasti—ingat, misalnya, butirbutir “penghayatan” dan “pengamalan” Pancasila pada zaman Orde Baru—akan cenderung sangat naif dan menekan. Mengutip pendapat Edward Shills, “politik sipil membutuhkan pemahaman atas kompleksitas kebajikan (virtues). Tidak ada kebajikan yang berdiri sendiri dan bahwa setiap tindakan bajik (virtuous acts) mengorbankan jenis tindakan bajik yang lain, dan bahwa tindakan bajik berkait erat dengan kejahatan, dan bahwa tidak ada sistem teoretis tentang hierarki kebajikan yang pernah terwujud dalam praktik” (hal. 28). Kenyataannya, banyak masyarakat atau negara berfungsi baik dan berjalan tanpa adanya rumusan tentang “tujuan bersama” (shared purpose), yang menurut penulis buku ini, “after all, one could lack virtue and still be decent” (hal. 28). Dengan demikian, kebajikan dan keadaban dibedakan sebagai dua pengertian dengan makna khusus. Keadaban bisa membentuk atau merupakan bagian dari konsep kebajikan, karena kebajikan bisa mencakup pengertian kebajikan keadaban (the virtues of civility), tetapi keadaban juga mengandung makna khusus yang tidak mencakup semua himpunan atau kelompok dari B U K U
Agus Wahyudi, Keadaban dan Bahaya Pluralisme
atau tentang tindakan bajik (virtuous acts). Keadaban, mengutip Michael Oakeshott, memiliki ciri-ciri khusus yang dapat dinyatakan dalam pengertian “saling menghormati (mutual respect) pihak lain sebagai mahluk yang setara secara moral, dan yang dikomunikasikan atau dijalankan kembali dengan komitmen bersama atas sarana tertentu yang dipergunakan dalam memperlakukan orang lain…” (hal. 24). Pancasila di Indonesia mungkin bisa menjadi ilustrasi yang menarik untuk membantu memahami pengertian keadaban dan perbedaannya dengan kebajikan (virtues). Misalnya, pemahaman Pancasila secara sederhana sebagai “lima sila” (five principles) atau sebagai butir-butir P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Dalam sejumlah tulisan di Pusat Studi Pancasila (PSP), Universitas Gadjah Mada, ada pertanyaan menarik, misalnya, apa yang sangat istimewa dari pidato Soekarno 1 Juni 1945 tentang Pancasila, sehingga konsep Pancasila itu mendapatkan tepuk-tangan meriah dan diterima bulat oleh para anggota sidang BPUPKI? Jawabannya terletak pada praktik “keadaban” dalam bentuk penggunaan nalar publik (public reason) oleh Soekarno. Itu semacam kemampuan mengajukan pandangan sendiri sesuai dengan nalar pihak lain (the reason of others) dengan menunjukkan pandangan bersama (common point of view) berupa prinsipprinsip yang dapat disepakati mengatur kehidupan bersama. Intinya, nalar publik berkaitan dengan kebutuhan menjawab pertanyaan politik fundamental. Mereka sadar tidak mungkin mencapai kesepakatan akibat perbedaan yang tak dapat didamaikan. Karena itu, mereka harus mempertimbangkan cara bernalar yang dapat diberikan satu sama lain. Pidato Soekarno 1 Juni 1945 menandai peristiwa penting ketika nalar publik menghasilkan bentuk yang memuaskan semua pihak, dan kelak diterima sebagai dasar negara. Momen pencapaian konsensus melalui nalar publik itu setidaknya mempertegas dua pengertian. Pertama, doktrin-doktrin komprehensif, baik seB U K U
121
kuler maupun nonsekuler (keagamaan), telah digantikan oleh gagasan politik yang bisa diterima sebagai referensi hidup bersama dalam sebuah negara oleh para warga negara. Kedua, nalar publik itu tidak mengkritik atau menyerang doktrin komprehensif apa pun, baik agama maupun non-agama, kecuali ketika ia tidak cocok dengan esensi nalar publik serta esensi masyarakat plural dan demokratik. Kita tentu bisa bertanya mengapa begitu banyak contoh perilaku sejumlah organisasi, asosiasi, atau kelompok masyarakat sipil (civil society) di Indonesia dewasa ini tampak bertentangan dengan praktik keadaban yang dicontohkan dalam semangat dasar Pancasila? Apa yang dapat dilakukan? Perlu pula ditambahkan bahwa keadaban minimal akan mensyaratkan kepatuhan pada hukum, ketertiban dan perdamaian, dan menjadi civil (beradab) berarti menghindarkan diri dari perilaku seenaknya yang kemungkinan besar menganggu masyarakat. Akan tetapi, secara positif keadaban juga berarti membutuhkan kehati-hatian (prudence), kewajaran atau kemasukakalan (reasonableness), dan pengakuan dasar atas persamaan moral orang lain. Penulis buku ini juga memberi sebuah pernyataan menarik dan mungkin perlu didalami lebih jauh bahwa krisis masyarakat modern adalah krisis keadaban, dan bukan krisis kebajikan (virtues). Pada akhirnya, buku ini menyajikan diskusi yang sangat mendalam dan kritis menyangkut banyak segi atau aspek dari problem pluralisme masyarakat modern. Dengan membaca buku ini pembaca akan tercerahkan jika peduli dengan sebuah pertanyaan krusial: apakah gagasan liberal relevan atau tidak dalam memberikan alternatif bagi sebuah masyarakat majemuk. Pemikiran liberal klasik, seperti diargumentasikan penulis buku ini, memberi banyak kontribusi dalam membantu menerangi salah satu persoalan sosial-politik yang sedang kita hadapi dewasa ini: kenyataan bahwa banyak masyarakat sipil kita tidak berperilaku sipil• Agus Wahyudi