20143301 07 (126 134) = wildan sena utama resensi buku oligarki

Page 1

126 Prisma Prisma Vol. 33, No. 1, 2014 BUKU

The Middle Indonesia dalam Formasi Negara-Bangsa Judul: The Making of Middle Indonesia: Middle Classes in Kupang Town, 1930s-1980s Penulis: Gerry van Klinken Penerbit: Brill, Leiden, Negeri Belanda, 2014 Tebal: xviii + 300 halaman ISBN-10: 900-4265-082; ISBN-13: 978-9004-265-080

W

hat holds Indonesia together? Inilah pertanyaan penting yang melandasi terbitnya The Making of Middle Indonesia: Middle Classes in Kupang Town, 1930s-1980s. Pertanyaan itu tampak relevan saat kekuasaan sentral di Indonesia tengah dihantam krisis dan badai politik tahun 1998. Bukan hanya karena kekusutan politik yang terjadi di Jakarta, konflik dan kekerasan yang merebak di sejumlah daerah pun membuat masa depan negeri ini kian tak menentu. Gagasan tentang disintegrasi muncul kembali mirip seperti ketika Indonesia

memasuki masa-masa awal republik tahun 1950an. Aceh, Papua, dan Timor Timur ingin melepaskan diri dari Indonesia. Pada saat bersamaan, kekerasan antar-agama dan etnis meletup di Maluku, Sulawesi Tengah dan beberapa daerah di Kalimantan. Banyak kalangan berpendapat bahwa Indonesia akan mengalami “balkanisasi”, bahkan jatuh ke pelukan fundamentalisme religius atau kekacauan ekonomi (hal. 1), karena tidak memiliki strong leader dalam tubuh pemerintahan. Situasi demikian mirip pemerintahan Soekarno yang runtuh pada pertengahan tahun 1960-an dengan menyisakan krisis yang, menurut prediksi beberapa sarjana asing, akan menjadikan Indonesia sebagai negara gagal. Namun, hal tersebut tidak terbukti. Banyak sejarawan, ilmuwan politik, serta pakar ekonomi menganalisis bahwa situasi “dramatis” tersebut bisa berubah menjadi “keajaiban”1 adalah ber1

“Drama dan “”keajaiban” adalah istilah yang dipakai Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam buku Ekonomi Indonesia 1800-2010: Antara Drama dan Keajaiban (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2012). B U K U


Wildan Sena Utama, The Middle Indonesia

kat pertumbuhan ekonomi hasil “tangan dingin” sebagian besar teknokrat yang menopang pemerintahan Soeharto. Namun demikian, Gerry van Klinken tidak melihat persoalan sesederhana seperti itu. Indonesia tetap berdiri kukuh setelah peristiwa kekerasan pasca-1965, bahkan pada era Reformasi, bukan karena pengaruh strong leader seperti analisis yang biasa dikemukakan para ilmuwan sosial. Dengan perspektif tidak melulu “dari atas” tetapi juga “dari dalam” jaringan yang menghubungkan antara “dua Indonesia” (hal. 2), penulis buku ini menelisik lebih jauh apa yang sebenarnya membuat Indonesia tetap bisa bertahan pada era pasca-Reformasi. Pendekatan yang mengeksplorasi relasi kekuasaan dari puncak menuju tengah ini memang tidak seperti pendekatan “pusat-pinggiran.” Pertama-tama pendekatan tersebut dipakai untuk menggali lebih dalam dinamika yang terjadi di beberapa “kota menengah” atau kota yang dijadikan ibu kota provinsi. Di sinilah “Middle Indonesia” menjadi penting dibahas untuk melihat apa yang sebenarnya membuat Indonesia (tetap) bertahan. Terminologi itu “ditemukan” oleh para peneliti yang tergabung dalam proyek “In Search of Middle Indonesia”.2 Middle Indonesia yang merujuk pada peran mediational kelas menengah di beberapa kota provinsi bukan sebuah terminologi yang sempit. Dalam cara pandang multidimensi, terminologi tersebut mengacu pada the geographical space, the social space, dan cultural meeting (hal. xi). Sebagai ruang geografis, ia adalah spasial di antara desa dan kota metropolitan. Sebagai ruang sosial, ia adalah ruang di antara kelas menengah-atas dan kaum miskin perkotaan, sebuah twillight zone ekonomi dan politik di antara institusi formal dan pasar. Sebagai ruang pertemuan kultural, ia adalah tempat bertemunya mode global dan praktik lokalitas. 2

Lihat, Gerry van Klinken dan Ward Berenschot (eds.), In Search of Middle Indonesia: Middle Class in Provincial Towns (Leiden: Brill, 2014).

B U K U

127

Penelitian Gerry van Klinken sedikit banyak dipengaruhi Clifford Geertz, bahwa dinamisme perubahan sosial di “tengah” pelbagai ekstrem adalah sebuah lokus yang sangat menarik untuk ditelaah. Sementara WF Wertheim, sosiolog pertama yang banyak mengkaji kota-kota provinsi, melihat bahwa kota “merupakan elemen paling dinamis dengan dampak sosial-politik cukup besar bagi masyarakat di seluruh Nusantara”.3 Indonesia sendiri memiliki sekitar 200 kota ukuran menengah dengan jumlah penduduk masing-masing berkisar 50.0001.000.000 orang. Kota-kota tersebut menghubungkan kota metropolis seperti Jakarta dengan 70.000 desa. Dalam dinamika pertumbuhannya, sebagian besar kota tersebut dihuni oleh penduduk kelas menengah dengan jumlah yang terus meningkat. Namun, belum banyak peneliti yang mengkaji bagaimana relasi pusat-daerah dengan menelaah lebih dahulu situasi di daerah, terutama secara historis. Sebagian besar di antara mereka masih memusatkan fokus penelitian pada dinamika pertumbuhan kelas menengah di beberapa kota besar di Indonesia. Padahal, bila diperhatikan lebih dekat, terutama sejak roda reformasi bergulir di negeri ini, peran kelas menengah di wilayah atau kota-kota di luar kota besar itu sungguh sangat besar. Dengan kacamata antropologi dan sejarah, penulis buku ini mengupas lebih dalam sejarah ekonomi-politik kelas menengah di Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Sebuah Medan Dalam historiografi Indonesia selama ini, Kupang diposisikan sebagai sebuah wilayah atau daerah yang kurang mendapat perhatian. Selain langkanya kajian sejarah yang membedah kondisi sosial-ekonomi kota di Pulau 3

Klinken membahas secara kritis beberapa karya WF Wertheim, seperti Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change (The Hague: Van Hoeve, 1959) dan “Colonial and PostColonial Cities as Arenas of Conflict”, BKI 143, 4, (1987), hal. 539-544.


128

Prisma Vol. 33, No. 1, 2014

Timor itu, roda pembangunan yang digerakkan pemerintah kolonial di kota itu tidak sebesar kota-kota besar di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Misalnya, perbandingan jumlah penduduk. Pada 1930, total penduduk Kupang sekitar 7.000 orang jauh di bawah Batavia yang berpenduduk 533.000 jiwa, Makasar (85.000 jiwa), dan Ambon (17.000 jiwa). Walaupun merupakan salah satu daerah terluar dalam jaringan pelayaran dan perniagaan di masa kolonial, Kupang memiliki karakteristik cukup unik. Menurut Klinken, meminjam terminologi Clifford Geertz ketika meneliti Pare, Kupang menampilkan karakteristik “in-between”, baik dalam hal ukuran maupun fungsinya. Dengan kata lain, meski tidak sebesar kota-kota lain di Nusantara, Kupang di Pulau Timor merupakan sebuah metropole pada masa kolonial. Negara kolonial memberi “kebebasan” kepada para raja di pulau itu untuk memperluas pengaruh ke wilayah pedalaman. Namun, raja tidak memonopoli kekuasaan. Di samping mereka ada beberapa tokoh berpengaruh, seperti fetor, kepala prajurit dan tetua yang menopang kekuasaan raja. Sementara itu, terutama sejak 1910, berlangsung mobilisasi kelas menengah baru di Pulau Jawa. Pertumbuhan kelas menengah baru hasil dari sekolah-sekolah “modern” yang didirikan pemerintah kolonial itu secara tidak langsung memengaruhi lanskap sosial-politik di beberapa wilayah di Nusantara, termasuk Kupang. Mengapa demikian? Pemerintah kolonial jelas sangat membutuhkan para administrator yang cakap mengoperasikan mesin birokrasi di Hindia-Belanda. Para raja dan bangsawan di daerah pun mulai mengirim anak-anak mereka untuk mengenyam pendidikan di Makassar, Yogyakarta, Surabaya, dan Batavia. Selain itu, pemerintah juga memberikan beasiswa bagi anak-anak petani yang bersekolah di Jawa. Pertumbuhan kelas menengah baru terdidik sejak awal tahun 1900-an itu menjadi sangat penting pada masa transisi kekuasaan tahun 1945. Di Kupang, misalnya, sebagian besar broker, atau orang yang berperan sebagai “perantara”, dan birokrat pemerintah daerah

adalah anak-cucu para petani yang pernah mengenyam pendidikan sebagai guru dan pegawai negeri di Jawa sebelum Perang Pasifik. Para broker berperan penting dalam lanskap sosial-politik Kota Kupang. Mereka memperantarai kepentingan elite birokrat lokal yang tak punya kuasa dalam proses penyusunan kebijakan di tingkat pusat dengan mayoritas penduduk miskin di kampung-kampung. Namun, peran mereka sebagai “penengah” itu kerap dimanfaatkan pemerintah pusat yang mengeksploitasi sumber daya lokal dengan mengartikulasi keinginan masyarakat “awam” dan meneruskannya ke elite lokal serta pemerintah pusat (hal.124). Sebagai imbalan atas “model” kerja sama itu, para broker memperoleh “komisi.” Hal demikian terlihat terang-benderang pada masa Orde Baru. Rezim ini melestarikan praktik brokerage dengan memanfaatkan para birokrat berpengaruh untuk memperkuat posisi politik Soeharto. Di samping itu, pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia yang relatif pesat pada masa itu secara tidak langsung meningkatkan permintaan pemerintah dan kelas menengah akan kehadiran para broker yang dianggap bisa memudahkan urusan mereka. Di sinilah kita melihat bahwa kekuasaan tidak bisa berpindah dengan mudah dari satu tempat ke tempat lain; karena itu, untuk membangun basis yang kuat, kekuasaan harus memahami lebih dahulu bagaimana strategi kekuasaan lokal yang berlaku, siapa aktornya, dan “permainan” apa yang terjadi di daerah. Pembangunan ekonomi yang digencarkan pemerintah Indonesia di Kupang sejak tahun 1950-an dapat dikatakan menghasilkan perubahan sosial cukup signifikan. Pemerintah daerah mulai membangun pelbagai infrastruktur di kota itu, seperti jalan, gedung perkantoran, lapangan olahraga, dan rumah ibadah. Pembangunan dalam rangka membangun Indonesia yang lebih modern memang penting, namun di tingkat lokal hal tersebut memunculkan Kupang sebagai arena baru (kota) tempat pertarungan kekuasaan. Secara keseluruhan, dua hal cukup menarik untuk diperiksa lebih lanjut dalam arus B U K U


Wildan Sena Utama, The Middle Indonesia

perubahan di Kupang adalah institusi militer dan gereja. Keduanya memiliki beberapa kesamaan, baik teknik menjangkau massa dan ide baru tentang corporeal dan social order maupun ketaatan pada otoritas lebih tinggi. Namun, dalam kehidupan sosial di Kupang, institusi gereja memiliki kuasa jauh lebih besar ketimbang militer. Gereja mengungguli militer di bidang sumber daya paling mendasar, yaitu “geografi.” Gereja pun mampu menautkan jejaring kota-perdesaan menjadi lebih terbuka dan tidak eksklusif seperti sebelumnya. Di sinilah letak sumbangan buku ini yang berhasil memotret dan mengupas satu demi satu elemen pembentuk kelas menengah berikut karakteristiknya yang menjadi penopang kehidupan politik lokal. Dengan demikian, beberapa hal penting yang perlu diperhatikan adalah bukan pada hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah, tetapi bagaimana jalannya formasi pembangunan di Indonesia, siapa aktor utama yang “bermain” dalam politik daerah, bagaimana proses pembentukan dan cara kerja mereka, serta bagaimana tindak-tanduk mereka di tengah masyarakat lokal. Relasi kekuasaan antara pusat dan daerah adalah urusan berikutnya. Tidak semua kota di Indonesia menempuh jalur perjalanan sejarah dan antropologi politik yang sama dan inilah yang membuat pola relasi antara pemerintah pusat dan kota-kota berjauhan tidak seperti “pusat” yang dapat dengan mudah mengatur dan mengomando setiap “daerah.” Secara sosial dan geografis kekuasaan pusat harus tertanam dalam Middle Indonesia; kekuasaan di tingkat pusat pertama-tama harus memahami bagaimana struktur dan relasi politik yang terbangun di tingkat lokal.

Kelas Menengah Indonesia Tahun 1950-an dan 1960-an Gerry van Klinken membedah lebih dalam elemen penting yang dipersoalkan buku ini, yaitu kelas menengah. Pembentukan kelas menengah di Indonesia tidak dapat dilepaskan B U K U

129

dari membaiknya kinerja perekonomian negeri ini setelah melalui fase revolusi 1945. Pada tahun 1950-an, misalnya, para birokrat tampil sebagai “wakil” kelas menengah yang terbesar. Mereka memiliki kuasa bukan hanya dalam bentuk materi (uang), tetapi juga kemampuan dalam mengontrol aliran materi itu melintasi ruang. Posisi sebagai “agen perantara” membuat mereka memiliki akses luar biasa besar pada institusi pemerintahan dan pasar. Mengutip Aage Sørensen dalam “Toward a Sounder Basis for Class Analysis”, Gerry van Klinken menegaskan bahwa eksploitasi dapat juga dijelaskan dengan menelisik siapa yang sesungguhnya mengontrol aset materi serta akses pada kebijakan (hal. 183). Penggelontoran dana subsidi dan ikut terlibat dalam penyusunan regulasi merupakan aset yang bisa dimanfaatkan oleh para birokrat. Sumber daya utama para birokrat memang bukan pada akses material melainkan bagaimana mengintervensi otoritas publik. Setelah kekuasaan beralih sepenuhnya dari Belanda ke Indonesia pada awal tahun 1950, negara berusaha keras mewujudkan cita-cita menyejahterakan rakyat. Optimisme politik mulai membuncah di berbagai daerah di Jawa. Namun, pemerintah tampak mengalami kesulitan dalam menancapkan dan memperkuat kekuasaan di daerah luar Jawa. Beralihnya kekuasaan politik usai Konferensi Meja Bundar tahun 1949 tidak serta-merta membuat seluruh wilayah yang “dikembalikan” ke Indonesia memiliki semangat yang sama dalam mendukung keberadaan negara baru ini. Perlu pula dipahami bahwa keadaan politik di Indonesia awal tahun 1950-an penuh dengan pertaruhan. Gejolak politik menjadi ancaman utama. Banyak elite politik di daerah luar Jawa mendesak pemerintah (pusat) agar mengucurkan dana yang memadai untuk membangun daerah masingmasing. Namun, negara tidak memiliki dana cukup besar untuk disalurkan ke kota-kota “terpencil,” seperti Kupang. Di sinilah kelas menengah mulai tampil memainkan peran. Secara ekonomi dan sosial ada beberapa faktor yang bisa membantu menjelaskan feno-


130

Prisma Vol. 33, No. 1, 2014

mena munculnya kelas menengah di Kupang (hal. 184). Pertama, proses indonesianisasi yang mendorong terbentuknya kelas menengah di tingkat lokal. Kedua, kelas menengah mendesak pemerintah (pusat) melakukan aksi politik untuk meningkatkan pengaruh mereka dalam hal pendanaan. Pemerintah pusat diminta membuka administrasi baru dan meningkatkan otoritas kelas menengah di daerah, jika tidak dipenuhi mereka akan “mengganggu” programprogram pemerintah pusat. Ketiga, kelas menengah berhasil menemukan celah yang bisa dimanfaatkan dalam proses “pembangunan negara” di daerah. Keempat, praktik-praktik yang cenderung mementingkan kelompok sendiri sering kali mendorong terjadinya konflik sosial dengan kelompok lain yang kurang diuntungkan. Sejak tahun 1950-an hingga awal 1960-an bibit-bibit, meminjam istilah Richard Robison, “kapitalis birokrat” mulai terbentuk di dalam institusi negara. Kapitalis birokrat mengambil keuntungan dengan memanfaatkan wewenang atas sumber daya yang dimiliki negara. Mereka memanfaatkan dana negara yang digelontorkan untuk pembangunan, merekayasa kontrak pembangunan serta menarik komisi dari setiap proyek yang bisa dimanfaatkan. Munculnya para kapitalis birokrat tersebut merupakan hasil dari proses perluasan administratif yang dilakukan negara untuk memperluas jejaring secara institusional di daerah. Pada kenyataannya, kita sering menemukan bahwa perluasan jejaring birokrasi tersebut tidak berdasarkan pada fungsi dan relevansi. Selain itu, terbentuknya kapitalis birokrat dibantu oleh proses patrimonialisme yang telah mengakar kuat di Indonesia. Sistem birokrasi berdasarkan prestasi atau meritokrasi masa itu sulit ditemukan di daerah-daerah terpencil di Indonesia. Kontrol (pemerintah) pusat yang tidak begitu ketat membuat kekuasaan para kapitalis birokrat di tingkat lokal semakin sulit diawasi. Kuasa elite lokal mampu mencengkeram bidang-bidang ekonomi-politik strategis di pelbagai daerah di Indonesia. Negara terlihat kuat

bukan karena institusi-institusi negara bisa mengambil peran sebagaimana mestinya, tetapi justru karena modal sosial yang dimiliki dan mampu “dimainkan” oleh elite penguasa lokal. Negara bisa menjangkau seluruh masyarakat, misalnya, di Kupang melalui otoritas personal dan pada saat yang sama terhubung dengan pasar (program Ali-Baba). Di sisi lain, sebagai kekuatan sosial-politik sangat penting masa itu, institusi militer juga berkontribusi dan memiliki akses pada pasar; mereka menuai untung besar dari usaha bisnis asing dan modal Tionghoa. Para birokrat di tingkat lokal pun harus menjalin dan menjaga relasi dengan militer untuk dapat menikmati kue dari networking yang dibangun pihak militer. Dari kompleksitas jaringan yang terbentuk di Kupang inilah sesungguhnya kita bisa menilai bahwa—tidak seperti pemberitaan banyak media massa setelah era Reformasi— otonomi elite lokal sudah menancap begitu kuat sejak tahun 1950-an. Pembangunan di Indonesia pada awal tahun 1950-an menghasilkan para elite birokrat, kaum pengusaha, dan kelompok milter, yang cukup berpengaruh. Relasi yang terbentuk di antara mereka sebenarnya akan kukuh jika Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak muncul sebagai salah satu pemeran utama dalam politik Indonesia pertengahan tahun 1950-an. Memasuki tahun 1960, ekspresi politik elemen kiri yang tidak tertampung dalam patronase lokal berusaha mencari saluran lain. Sementara itu, dalam konteks politik nasional, slogan-slogan politik kerakyatan kian membahana setelah Presiden Soekarno mencanangkan Indonesia mesti kembali pada “rel revolusi.” Pidato Soekarno pada 1956 itu mengecam konflik yang sering terjadi di kalangan partai politik, karena sudah terbawa jauh dalam konsep demokrasi liberal yang menyebabkan pemerintah tidak kuat. Selain itu, menurut Soekarno, Indonesia tidak menjalankan revolusi kerakyatan dengan “benar.” PKI seolah-olah mendapatkan angin segar karena situasi politik seperti berbalik berpihak kepada mereka. Slogan revolusioner yang tiada henti dikumandangkan Soekarno membawa efek B U K U


Wildan Sena Utama, The Middle Indonesia

psikologis begitu kuat hingga ke daerah luar Jawa. Gagasan politik populis-revolusioner juga memiliki pendukung cukup fanatik di sebagian kelas menengah di Kupang. Mereka ini menyalurkan ekspresi politik pada satu-satunya partai politik yang dianggap merepresentasikan rakyat, yaitu PKI. Sementara kelas menengah lainnya yang lebih “konservatif” berusaha menjalin hubungan dengan militer dan gereja. Walaupun pemikiran politik di antara PKI dan kelompok konservatif serta militer dan religius konservatif bertolak belakang, jaringan kekuasaan mereka memiliki beberapa kesamaan. Masing-masing elemen memiliki hubungan cukup kuat dengan pusat. Walaupun pusat kerap menyusun dan mengambil keputusan, tetapi segala risiko dan dampak keputusan itu, misalnya, dalam memobilisasi elite lokal tetap dipikul oleh masing-masing kelompok di daerah bila muncul “masalah.” Pengaruh PKI di kalangan konservatif sangat terbatas, namun mobilisasi partai ini di Kota Kupang sungguh luar biasa. Beberapa simpatisan “gerakan merah” seperti guru, rohaniawan level rendah, dan para pemimpin serikat buruh bahu-membahu menyebarkan pengaruh ke masyarakat urban dan pedalaman Kupang. Beberapa program PKI, seperti anti-feodalisme, kebebasan berserikat, tanah untuk petani, keadilan untuk kaum buruh dan kemerdekaan berpendapat serta berkesenian, membuat partai ini memperoleh massa cukup besar di Kota Kupang, terutama di kalangan yang skeptis terhadap elite lokal, dan luar kota yang kebanyakan tidak melek-politik. Bahasa politik yang digunakan PKI memang meresahkan para birokrat (elite) lokal dan otoritas gereja. Sementara mereka yang berada di luar “pengaruh” PKI tampaknya tidak mempunyai keinginan kuat atau berusaha mencari massa seperti yang dilakukan partai komunis itu. Di sisi lain, institusi gereja terbelah dua menjadi faksi “konservatif” kaum tua yang berada di puncak otoritas gereja dengan faksi “progresif” kaum muda yang lebih mengakar di akar-rumput. Sementara itu, militer kian eksB U K U

131

pansif dalam penguasaan teritorial, terutama setelah tahun 1960-an, dan mulai mencari serta menjalin kontak dengan beberapa organisasi atau partai politik yang dianggap cakap menggalang massa untuk menandingi PKI. Pada akhirnya, kelompok-kelompok kelas menengah tersebut saling menghantam pada pertengahan tahun 1960-an dan meninggalkan pengalaman kelam tak terlupakan dalam perjalanan sejarah Kota Kupang. Peristiwa tragis yang meletus di Jawa pada akhir 1965 dan kemudian merebak ke seluruh penjuru Indonesia, memperlihatkan bahwa masyarakat di Nusa Tenggara Timur, khususnya Kupang, terbelah dalam beberapa kelas sosial. Menjelang peristiwa 1965, beberapa kota di Indonesia, khususnya Kupang, menjadi medan politik yang membelah kelas-kelas sosial itu menjadi dua kutub ekstrem, yaitu kelompok kanan, militer, birokrat, religius konservatif serta kelompok kiri, intelektual, guru, buruh, dan rohaniawan progresif (hal. 254). Setelah pembantaian secara sistematis sejak akhir 1965 hingga awal 1966, “wajah Indonesia” berubah total. Keadaan dan kehidupan kota-kota di Indonesia pun berganti rupa, karena komunisme sebagai kekuatan tandingan kelompok kanan telah “disapu.” Dengan kata lain, peristiwa 1965 merupakan salah satu tonggak penting konsolidasi kelas menengah Indonesia yang menjadi ciri khas Negara Orde Baru.

Konsolidasi Kelas Menengah? Pemerintah berusaha melenyapkan seluruh elemen kiri di berbagai kota di Indonesia setelah Orde Baru terbentuk pada 1966. Sekali lagi, bagaimana terwujudnya formasi kelas menengah tersebut tidak bisa dilepaskan dari operasi pembantaian sistematis 1965. Pendek kata, pembentukan kelas menengah pada awal Orde Baru tidak lain merupakan hasil dari operasi penumpasan elemen-elemen kiri. Setelah tahun 1965, kelas menengah yang terbentuk merepresentasikan watak sebagian besar birokrat dan pegawai negeri. Mereka


132

Prisma Vol. 33, No. 1, 2014

adalah loyalis Orde Baru—tidak “kiri” dan kurang kritis. Menurut Gerry van Klinken, konsolidasi “middle Indonesia” sebenarnya adalah sebuah proyek politik bagi warga kota yang tidak terlalu kaya dan tidak memiliki kuasa di tingkat nasional, namun penting sebagai perantara kepentingan pemerintah pusat di tingkat provinsi. Dengan meminjam konsep associational power Hannah Arrendt, Gerry van Klinken menerangkan bagaimana social networks terjalin di antara kelas menengah sebelum tahun 1965, baik pada aras lokal maupun hubungannya dengan pusat. Untuk menjelaskan konsep tersebut, penulis buku ini meminjam gagasan geografer John Allen dalam Lost Geographies of Power tentang pentingnya konteks geografis dalam ruang kekuasaan (hal. 11). Menurut Gerry van Klinken, pemikiran John Allen membantu menyebarkan gagasan kekuasaan dengan memperhitungkan masalah “transmisi melintasi ruang” dan kedekatan manusia berupa face to face contact merupakan elemen yang esensial. Pada dasarnya, sebagaimana dikatakan Robert Dahl, kekuasaan adalah kemampuan untuk memengaruhi orang atau pihak lain. Hubungan kedekatan membawa pada gagasan tentang kekuasaan “dari bawah ke atas”, kekuasaan untuk menyelesaikan segala sesuatu secara bersama. Inilah ide tentang associational power. Sementara itu, Arendt meyakini bahwa yang riil hanya kekuasaan yang terlegitimasi. Power adalah soal pemberdayaan; modal sosial yang tumbuh melalui kolaborasi. Gerry memberikan contoh revolusi Indonesia yang mengasosiakan sebuah gerakan solidaritas bersama; dalam hal itu Indonesia berhasil menghimpun kekuatan yang cukup untuk mengalahkan lawan yang memiliki persenjataan lebih baik. Dengan kata lain, konsep associational power membantu kita melihat bagaimana beragam kelompok bisa mengasosiasikan bersama sebuah tujuan tertentu. Sebagai tambahan, bagian lain tidak kalah penting dari associational power adalah posisi seorang perantara sebagai elemen kunci yang membantu menghubungkan berbagai kelom-

pok dalam sebuah proyeksi nasional secara umum, meski pada saat yang sama pengalaman sejarah mereka hanya sedikit memiliki kesamaan. Pada tahun 1950-an hingga awal tahun 1960-an di Indonesia, misalnya, partai politik progresif seperti PKI banyak membantu menjembatani perbedaan serta kesenjangan di antara kota dan desa, kaya dan miskin, kelas menengah dan kelas bawah (baca: kaum tani). Mereka mengangkat agenda emansipatoris dengan mendesak para elite yang berkuasa agar memberi perhatian lebih pada pelbagai masalah terkait kesejahteraan rakyat. Hal demikian berbenturan dengan kepentingan kelompok-kelompok yang bercokol dalam kekuasaan. Agenda kelompok progresif tersebut kemudian menginspirasi sebagian besar penduduk di kota untuk bersama-sama mengembalikan peran kota sebagaimana mestinya. Mereka dapat juga didorong oleh sugesti bahwa pertumbuhan kota itu berbanding lurus dengan tumbuhnya kedewasaan pada masyarakat sipil. Mungkin kekejaman dan kekerasan yang menyertai konflik di Kupang dalam peristiwa 1965 sebagian tercermin dari ledakan destruktif yang secara tipikal terjadi pada masyarakat dengan struktur sosial agak tertutup (hal. 280). Salah satu cara ampuh untuk melucuti pengaruh elemen kiri dalam proses konsolidasi kelas menengah di Kupang adalah dengan “menyapu” seluruh basis massa mereka, yaitu masyarakat miskin kota dan simpatisan di perdesaan. Selain menggunakan aparatur teror, negara juga melakukan proses sterilisasi dengan memantau pergerakan dan merancang rekayasa sosial yang menyudutkan mereka dalam lanskap sosial-politik di Kupang. Setelah elemen kelas menengah progresif disingkirkan, satusatunya ancaman yang “dibiarkan” tersisa adalah kekuatan ekonomi para pengusaha Tionghoa. Selain itu, hal lain yang dianggap penting oleh kelas menengah di NTT adalah bagaimana menjalin kembali jejaring kerja sama dengan pemerintah pusat. Loyalitas menjadi kata kunci dalam membangun jaringan tersebut. SebaB U K U


Wildan Sena Utama, The Middle Indonesia

gaimana diketahui, negeri ini memperoleh pendapatan sangat besar dari oil boom 1973. Dana berlimpah tersebut digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan, namun sebagian besar dana dari pusat tidak mengalir ke wilayah termiskin di timur Indonesia, melainkan ke daerah-daerah cukup makmur yang didominasi kelas menengah urban (baca: pegawai negeri)—loyalitas terhadap Soeharto sebagai patron menjadi pertimbangan utama pemerintah pusat dalam menggelontorkan dana ke daerah. Misalnya, anggaran pembangunan Provinsi Nusa Tenggara Timur pada 1979 sebesar Rp 29 miliar, namun 89 persen merupakan dana yang ditransfer dari Jakarta. Pada masa Orde Baru, model kekuasaan yang dibangun oleh elite politik di Jakarta bersifat instrumental; mereka memperoleh kuasa dan dukungan masyarakat karena telah berjanji akan memberi jaminan material. Karena itu, tidak jarang hal tersebut melahirkan konflik dan mereduksi modal sosial di masyarakat. Model kebijakan kolonial seperti betting on the strong berulang kembali, namun kali ini lebih terfokus pada kelas menengah (kaum birokrat) perkotaan daripada kekuasaan feodal di ranah perdesaan (hal. 280). Model seperti itu mendorong munculnya kekuasaan konstitutif yang kurang integratif, karena penajaman sosial di tingkat lokal disebabkan oleh faksionalisasi politik di Jakarta. Selain itu, percepatan roda pembangunan yang diperkenalkan institusi negara justru mengarah pada feudal rurality. Pada aras lokal di Kupang, hal paling nyata yang memecah-belah masyarakat adalah eksploitasi kelas. Pembelahan paling mencolok terjadi di antara kelompok urban indigenous bureaucratic middle class dan kelompokkelompok di luar mereka. Menurut Gerry van Klinken, pembelahan sosial berdasarkan kelas itu tampak menonjol di Kupang dibanding kotakota menengah lain yang lebih didasarkan pada pembagian etnis atau agama. Di puncak kelompok itu bertengger segelintir kelas politik yang mendefinisikan agenda aksi. Mereka adaB U K U

133

lah para elite yang menduduki posisi strategis dalam institusi lokal yang memperoleh penghasilan dari berbagai “hasil sampingan.” Mereka juga mempunyai banyak konstituen para pegawai negeri yang tersebar luas di berbagai bidang. Walaupun para elite lokal itu kerap dipandang bukan sebagai “orang utama” yang berperan penting dalam lingkup politik nasional, mereka justru memiliki akses cukup luas terhadap sumber daya negara. Mereka adalah held Indonesia together dalam terminologi mereka sendiri. Demokrasi patronase yang merupakan karakter dari politik provinsial adalah temuan mereka. Patronase terlihat seperti melunakkan ketidaksetaraan, tetapi sebenarnya ia tidak memberdayakan. Di satu sisi, keberadaan para elite oligarkis yang menguasai sumber-sumber daya strategis negara bagaikan teror bagi kaum miskin, namun di sisi lain praktik klientelisme elite politik dan pengusaha di Jakarta justru saling memperkuat dan menguntungkan kedua belah pihak. James Scott dalam analisisnya tentang patron-client mengatakan bahwa “the patron-client relationship may be defined as special case of dyadic ties involving a largerly instrumental friendship in which an individual of higher socioeconomic status (patron) uses his own influence and resources to provide protections or benefits, or both, for a person of lower status (client) who, for his part reciprocates by offering general support and assistance, including personal 4 service to the patron”. Keberadaan para elite “perampok negara” di dalam institusi negara di tingkat lokal masa Orde Baru itulah yang mendukung terciptanya mata rantai oligarkis yang mencirikan rezim pembangunan Orde Baru. Begitu pula Richard Robison dalam artikel berjudul “Indonesia: Crisis, Oligarchy and Reform” menegaskan bahwa kapitalisme negara yang dibangun oleh aliansi oligarkis kaum 4

James C. Scott, “Patron Client Politics and Political Change in Southeast Asia”, dalam The American Political Science Review 66, (1972), hal. 91-113.


134

Prisma Vol. 33, No. 1, 2014

konglomerat, keluarga bisnis-politik dan birokrat-politik sesungguhnya bertumpu pada favo5 ritisme dan patronase negara. Buku ini membantu kita melihat bagaimana terbentuknya jaringan di antara kekuatan oligarkis di pusat dan kekuatan oligarkis di daerah. Sebelumnya, dalam Indonesia: The Rise of Capital yang ditulis Richard Robison dan diterbitkan pada 1986, kita memperoleh penjelasan komprehensif mengenai struktur kapitalisme negara Orde Baru. Sedangkan Gerry van Klinken dalam buku ini memberi sumbangan cukup signifikan dengan menggambarkan kom5

Richard Robison, “Indonesia: Crisis, Oligarchy and Reform�, dalam Garry Rodan, Kevin Hewison dan Richard Robison (eds.), The Political Economy of Southeast Asia: Conflict, Crises and Change (Melbourne: Oxford University Press, 2001), hal. 104-137.

pleksitas jaringan yang terbentuk antara pusat dan daerah yang disebut Middle Indonesia. Namun demikian, kita harus terlebih dahulu berusaha mengeksplorasi atau menggali lebih dalam bagaimana dinamika yang sesungguhnya terjadi di dalam Middle Indonesia: terbentuknya jaringan kelas menengah dan bagaimana proses kemunculan kekuatan oligarkis di wilayah tersebut, faktor apa saja yang membuat mereka bisa terkonsolidasi, bagaimana mereka mengekspresikan identitas diri dan bagaimana kita merefleksikan dinamika ini dalam hubungannya dengan sejarah Indonesia pasca-Reformasi. Ditinjau dari ilmu sejarah, pendekatan dan cara pandang sebagaimana dikemukakan penulis buku ini boleh dikatakan merupakan sesuatu yang baru dalam historiografi Indonesia.

Wildan Sena Utama

B U K U


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.