40
Prisma
Prisma, Vol. 33, No. 2, 2014
ESAI
Citra Manusia dalam Birokrasi dan Korporasi Daniel Dhakidae
Dua Raksasa, Dua Pandangan
Hampir tidak mungkin membicarakan birokrasi tanpa menyebut dua nama raksasa Jerman, Karl Marx dan Max Weber. Marx bukan hanya mengumbar sinisme intelektual, melainkan juga melampiaskan “amarah” ketika menyebut atau menyinggung birokrasi sebagai suatu badan resmi kenegaraan yang menjadi salah satu alat utama pengisapan terhadap kaum proletar. Dengan nada keras dikatakannya bahwa negara dengan birokrasi hanya menjadi panitia bagi akumulasi modal dan pemerasan buruh. Marx tidak menyebutnya birokrasi, tetapi aparat negara, state apparatus. Max Weber sebaliknya membuka secara perlahan-lahan bagian demi bagian dari apa yang membentuk birokrasi. Salah satu dasar paling kuat yang membentuk birokrasi adalah dokumen, dan yang disebut dokumen harus tertulis, bersifat rahasia, dan disimpan di dalam bureau, yang lebih berarti meja tempat orang menulis, serta menyimpannya di dalam ruang yang disebut kantor. Dari hal sangat sederhana itu—dokumen, meja, kantor—berasal tumpuk demi tumpuk analisis tentang birokrasi sebagai suatu entitas. Salah satu cara Weber mengupas apa yang disebut birokrasi adalah membelahnya menjadi berpasang-pasang binarium, seperti biro yang dibedakan dari tempat tinggal seorang pejabat, kegiatan resmi yang dibedakan dari kegiatan swasta/privat, uang publik yang dipisahkan dari uang pribadi. Dalam hubungan itu ada pemi-
sahan antara kantor dan rumah pribadi. Dengan demikian, bisa dilihat bahwa yang berhubungan dengan birokrasi hampir sepenuhnya terpisah dari yang pribadi. Betapa pun diametral perbedaan di antara keduanya, Marx dan Weber melihat birokrasi bukan sebagai suatu badan terpisah dari sesuatu yang lain. Yang disebut sebagai “sesuatu yang lain” itu adalah kapital dan negara. Kapital, misalnya, tidak berakumulasi bila tidak ada negara yang menjaga keamanan dan ketertiban, sehingga modal itu selamat. Kapital tidak akan langgeng bila tidak ada negara yang menjamin adanya hak milik. Hanya dengan pengakuan atas hak milik, akumulasi modal itu bisa diatasnamakan oleh seseorang atau sekelompok orang. Karena itu, birokrasi sulit dipahami bila tidak ditempatkan pada apa yang terjadi di bidang modal, yaitu korporasi. Dengan demikian, ketika seorang berbicara tentang birokrasi, maka yang berada di sampingnya adalah negara; ketika seorang berbicara tentang kapital, maka yang berada di sampingnya adalah korporasi. Bisa dikatakan ada dua pasang institusi, yaitu negara dan birokrasi berhadapan dengan kapital dan korporasi. Bila birokrasi adalah kekuasaan yang membadan, maka korporasi adalah modal yang membadan. Keduanya melayani keperluan yang sama; ketika birokrasi menjamin kelangsungan negara, atau sebaliknya, maka korporasi menjamin kelangsungan kapital, atau sebaliknya, ketika kapital menjamin kelangsungan korporasi.
Esai
Sejarah manusia modern boleh dikatakan ditentukan oleh ulah kedua pasang lembaga raksasa di muka bumi ini. Keduanya menentukan perang dan damai, menentukan kemakmuran dan kebinasaan, menentukan maju atau mundur suatu masyarakat, dan yang terakhir kedua pasang itu akan abadi, tidak akan hilang, tidak akan binasa selama manusia masih hidup dan hidup artinya memiliki kemampuan untuk mengolah modal dan kekuasaan. Kedua pasang lembaga tersebut menjadi malaikat dan sekaligus setan di dalam tubuhnya.
Wajah Manusia dalam Birokrasi
Birokrasi dan korporasi tentu saja terdiri dari orang; manusia yang membentuk semua dalam hubungannya satu sama lain. Dalam perkembangan kemudian, dua lembaga raksasa itu membentuk dan mengubah wajah manusia, yaitu manusia dalam organisasi birokrasi kenegaraan dan manusia dalam organisasi korporatis permodalan. Birokrasi/korporasi memang membentuk manusia seperti yang dilukiskan secara fenomenologis oleh Peter Berger dengan sangat dramatis dan tepat. Ketika berhubungan dengan organisasi yang sifatnya birokratik, seseorang mendapat suatu pengalaman yang disebut Berger sebagai the experience of being processed, sebuah pengalaman digojlog dalam suatu proses. Sebelum masuk suatu birokrasi seseorang harus mengajukan lamaran. Lamaran harus dikirim lengkap dengan kartu identitas yang disahkan, lamaran dikumpulkan, lantas seseorang mendapat panggilan, dites kemampuannya dengan menjawab seribu satu macam pertanyaan; dites lagi dalam acara yang disebut psikotes, diperiksa hasil ujiannya, dia harus menunggu berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bisa berbulan-bulan untuk akhirnya mendapat jawaban dan, katakanlah, dia lulus. Setelah lulus dia harus mengisi formulir untuk menjadi pegawai suatu birokrasi. Demikianlah sebuah pengalaman panjang sekadar untuk mengayunkan langkah pertama masuk menjadi anggota organisasi besar itu; dengan suatu istilah yang sangat tepat disebut penga-
41
laman diproses dan terlebih lagi pengalaman untuk diperlakukan sebagai nomor.
Dengan pengalaman ini sebenarnya secara samar-samar sudah terbayang manusia jenis apa yang mendapat perlakuan semacam itu. Perkembangan ekonomi dan teknologi yang mendukungnya menyebabkan organisasi mendapatkan warna lain dan baru yang memaksanya untuk memperlakukan orang sebagaimana dilukiskan di atas: teknologi yang mencatat siapa masuk jam berapa dan keluar jam berapa, serta diberlakukan untuk semua meningkatkan the sense of being processed orang yang bersangkutan, karena umur atau pilihan, meninggalkan tempat itu. Dengan kata lain, manusia mengalami semacam “transformasi� dari saat sebelum memasuki organisasi dan sesudah masuk ke dalam suatu organisasi. Kalau di atas telah kita katakan adanya suatu pengalaman diproses, maka rentetan pengalaman diproses tersebut belum atau tidak akan berhenti. Bahkan, seseorang akan mendapatkan pengalaman yang menjadi inti dasar dari seluruh pengalamannya yang lain, yaitu mengalami apa yang disebut compliance (Etzioni). Maknanya adalah bertindak mematuhi keinginan, permintaan, komando, tuntutan, dan syarat/persyaratan; artinya seseorang atau sekelompok orang harus bertingkah laku atau mengatur tingkah lakunya menurut kehendak orang lain, menurut kondisi serta persyaratan yang sudah ditentukan orang lain yang memiliki kuasa lebih besar darinya.
Pegawai dan Pengetahuan
Dalam keadaan demikian, seseorang bukan saja bertingkah laku menurut kehendak orang lain, tetapi menurut garis petunjuk, directives, dan itu pun bukan sekadar garis petunjuk biasa, tetapi garis petunjuk yang didukung oleh kekuasaan yang dimiliki aktor lain di atasnya. Bukan sebuah kebetulan bahasa birokrasi Indonesia mengarah ke sana. Sudah menjadi mode masa sekarang setiap pegawai negeri—tinggi atau rendah—yang berbicara di depan umum
42
Prisma, Vol. 33, No. 2, 2014
selalu mengawalinya dengan “mohon izin”, yang sering disembunyikan dalam akronim “mojin.” Sejalan dengan “mohon izin” berlangsung pula “mohon petunjuk” yang lebih menunjukkan bahwa pegawai tidak dan malah jangan berpikir, karena berpikir dikerjakan atasannya. Dalam hubungan ini, tidak ada orang yang secara tajam melukiskan suasana itu daripada Marx yang berkata sebagai berikut: ”Birokrasi adalah lingkaran dari mana tidak ada yang bisa melepaskan/menyelamatkan diri; hierarkinya adalah hierarki pengetahuan. Yang di atas mempercayakan pemahaman tentang detail kepada bawahannya, sedangkan yang di tingkat bawah mempercayai atasannya sebagai orang yang memahami yang umum/besar/abstrak, dan dalam situasi demikian keduanya saling membohongi satu sama lain, atau lebih tepat diterjemahkan sebagai keduanya saling tertipu, mutually deceived” (Pritam Chatterjee). Yang di atas menipu dirinya dan menipu bawahannya dengan menganggap diri memahami tujuan dan cita-cita secara utuh; yang di bawah menipu dirinya dan atasannya sekaligus dengan menganggap mereka menguasai perincian pekerjaannya. Dengan kata lain, semakin ke bawah semakin pengetahuan itu dianggap “dikikis”, dan sebaliknya semakin di atas pengetahuan itu dianggap semakin “dipupuk” subur tiada taranya. Ketika seorang pegawai meminta izin untuk bicara, semuanya berlangsung atas asumsi bahwa pada dasarya dia tidak berwenang untuk bicara, karena otoritas itu berada pada atasannya. Ketika seorang pegawai meminta petunjuk, semuanya berdiri di atas asumsi ketiadaan pengetahuan yang dikuasainya. Dengan diberikan izin serta-merta wewenang diberikan dan bersama wewenang datang juga pengetahuan. Maka tiba-tiba sang pegawai lancar berbicara karena kuasa sudah diberikan dan pengetahuan sudah ditumpahkan baginya. Dengan dukungan kekuasaan, mereka memanipulasi peralatan yang berada di bawah penguasaannya sedemikian rupa, sehingga aktor-aktor lain yang mengikuti garis petunjuknya akan mendapatkan pahala dan yang tidak
mengikuti garis petunjuknya tidak akan mendapatkannya. Kata pahala sering dipergunakan dalam arti religius, akan tetapi dalam konteks ini arti religius tersebut hampir-hampir tidak ada salahnya dipergunakan dalam membahas masalah kita di atas.
Manusia Operasional
Ada dua hal yang menjadi dasar pembentukan seorang pegawai—subordinasi dan orientasi. Dengan subordinasi, seseorang menempatkan diri di bawah. Dengan orientasi dapat dikatakan diperoleh suatu kerangka di mana seseorang mencari motivasi, rasionalisasi bagi perilakunya sendiri, mendapat dan mempertahankan alasan mengapa dia menyesuaikan diri dengan kemauan, mematuhi kehendak dan perintah orang lain. Bila penyesuaiannya bersifat positif, maka kita namakan orientasi, seseorang mengikatkan diri pada sesuatu, commitment. Bila orientasi itu bersifat negatif, misalnya, karena takut dan sebagainya, disebut sebagai alienasi, tersingkir dari pergaulan birokratik. Kesediaan seseorang untuk diproses dan kesediaan untuk mematuhi jalur perintah orang lain, compliance, sebenarnya menunjukkan dua hal. Pertama, bayangan orang tentang dirinya sendiri dan tentang birokrasi. Kedua, bayangan birokrasi tentang dirinya sendiri dan tentang manusia yang berada di dalam batas-batas kekuasaannya. Dengan demikian, terjadi semacam dialektika antara kedua gambaran di atas yang akhirnya menghasilkan semacam citra manusia dalam organisasi, operational man, manusia operasional. Tugasnya adalah melaksanakan, dan hanya itu, tidak perlu membuat rencana karena rencana sudah dibuat orang lain baginya; tidak perlu berpikir karena ada orang yang berpikir untuknya. Itu berarti bahwa manusia sebagai operational man diukur menurut keluaran yang bisa dihasilkannya. Bermutu atau tidak bermutu seorang manusia sebagai sumber daya diukur menurut berapa meter, berapa lembar, berapa unit yang bisa dihasilkannya. Dari sana diperhitungkan rasio antara keluaran yang dihasilkan
Esai
dibandingkan dengan ongkos yang diberikan kepada setiap orang yang dipekerjakan dalam bentuk gaji, tunjangan, dan kemudahan lainnya. Dalam birokrasi Indonesia, keberhasilan sering diukur oleh berapa lama seorang berdiam di kantor, bukan berapa tumpuk pekerjaan diselesaikannya. Karena itu, tumbuh subur adagium, “Kalau sesuatu bisa diperlambat mengapa harus dipercepat? Kalau sesuatu bisa dipersulit mengapa harus dipermudah?” Karena, “menjual waktu berkantor” lebih penting dari berapa gugus kerja bisa diselesaikan. Waktu bukan uang, akan tetapi waktu adalah “investasi” demi karier. Konsep manusia operasional, terutama dalam korporasi, tidak hanya dikenakan kepada para pekerja, tetapi juga kepada manajer di tingkat rendah, tengah, tinggi, dan para manajer puncak yang lain. Semua diukur dalam bentuk berapa keluaran yang dihasilkan, dan itu tidak hanya dalam ukuran kabur, akan tetapi ukuran yang dibuat semakin jelas, semakin tidak diragukan tingkat ketepatannya. Dalam analisis lebih lanjut, citra manusia semacam itu hanya mungkin dalam sistem otoriter di mana para pekerja dianggap sebagai makhluk pasif yang harus diprogram oleh para ahli, pakar, agar bisa berfungsi menurut garis petunjuk yang telah ditetapkan di dalam organisasi. Semua berlangsung sedemikian rupa, sehingga membicarakan demokrasi di dalam birokrasi sama seperti mencari telur seekor kucing.
Manusia Operasional dan Negara
Orde Baru dengan tangan besi menempa citra manusia operasional itu dalam semua proses industrialisasinya sedemikian rupa, sehingga proses penyeragaman manusia Indonesia hampir-hampir menjadi kenyataan. Pegawai harus seragam dalam berpakaian, bertindak, dan berpikir. Dalam keseragaman, kontrol dipermudah karena yang disebut kontrol adalah menemukan keganjilan—apa pun di luar keseragaman. Penyeragaman ideologis dikerjakan dalam pendidikan Pancasila, penyeragaman fisik dikerjakan dalam pakaian seragam yang menjadi obsesinya secara keseluruhan. Bila semua
43
sudah seragam, maka pakaian safari di tingkat atas pada dasarnya menyeragamkan kepongahan bersanding dengan anggota Korpri yang biasa berseragam batik, yang sering menjadi pakaian terbaik sepanjang hidup mereka. Usaha Orde Baru adalah memberikan orientasi yang “benar” kepada para pegawai. Orde Baru membuatnya dengan mengganti nama yang berlaku hingga hari ini; bukan pegawai tetapi karyawan, bukan pekerja tetapi karyawan, bukan buruh tetapi karyawan. Di sana ingin diciptakan ilusi bahwa semua berpijak pada pelataran yang sama tinggi sama rendah, yaitu menjadi karyawan, dan berkumpul dalam organisasi sama yang disebut “golongan karya.” Dengan demikian, peningkatan hasil kerja demi kepentingan “kita” bersama harus dikerjakan. Peran penyuluhan dalam arti seluas-luasnya sangat penting. Namun, harus diberi catatan bahwa sebenarnya itu bukan suatu garis perubahan yang paradigmatik dalam pandangan tentang manusia, tetapi suatu usaha yang lebih bersifat filantropis. Tujuannya bukanlah untuk mengangkat harkat manusiawi para pekerja/ pegawai, tetapi untuk tetap memperkuat dan meningkatkan subordinasi; sedangkan manusia operasional tetap yang sama jua. Perubahan hanya mungkin bila pegawai, buruh, pekerja, karyawan, menjadi consociates di dalam suatu birokrasi/korporasi/organisasi (Alfred Schütz). Consociates hanya boleh dipahami sebagai saudara atau tepatnya mitra, dalam makna asli Jawa Kuno/Kawi sebagai sahabat, teman. Ini berarti bahwa semua yang menjadi anggota di dalam birokrasi/organisasi/ korporasi perlu memiliki pengalaman langsung dan bukan semata-mata rasa diproses, baik pada awal penerimaan, di tengah, maupun pada akhir masa kerjanya. Dalam situasi seperti itu, aku dalam pengalaman langsung berhubungan dengan kau dan mereka dalam suatu interaksi. Setiap orang bisa disapa dengan “kau”, “engkau” atau “dia”, dan bukan “beliau” yang berasal dari bahasa kerajaan yang seharusnya dibuang atau dibuat hilang terbang tak tentu rimba•