201433 02 03 (070 078) siti nurbaya bakar membumikan pelayanan birokrasi

Page 1

70 33,GNo. 2, 2014 D I AVol. LO Prisma Prisma,

Siti Nurbaya Bakar

Membumikan Pelayanan Birokrasi Reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya mengubah elemen-elemen birokrasi yang mencakup aparatur, tata laksana dan kelembagaan agar dapat menjalankan peran dan fungsi secara efektif dan efisien dalam melayani masyarakat. Sejak Indonesia merdeka, upaya pembenahan birokrasi sudah berjalan dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya. Sudah sekian banyak kebijakan dan payung hukum yang mendasarinya. Namun, perihal reformasi birokrasi tidak akan mungkin berjalan bila hanya berpatokan pada aturanaturan hukum. Penyalahgunaan jabatan/korupsi dan lemahnya pelayanan lembaga-lembaga pemerintah dalam menjawab kebutuhan publik menjadi sorotan banyak kalangan. Kritik terhadap pengawasan dan rekrutmen aparat negara pun tak ketinggalan menantang berjalannya agenda reformasi birokrasi. Dalam kaitan itu, Agus Sudibyo, Samuel Nitisaputra, dan Agung Anom Astika dari Prisma mewawancarai Siti Nurbaya Bakar, salah seorang yang mengetahui dengan baik bagaimana pelaksanaan reformasi birokrasi di lapangan. Berikut petikannya:

Prisma (P): Reformasi birokrasi di Indonesia berjalan sejak 1998. Apa saja masalah yang muncul terkait reformasi birokrasi? Siti Nurbaya (SN): Pemerintah sudah mencoba melakukan pelbagai upaya reformasi birokrasi mulai dari penataan kelembagaan, ketatalaksanaan, hingga peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan dan pelatihan. Namun, masyarakat masih merasakan banyak persoalan di tubuh birokasi. Soal paling menonjol adalah organisasi birokrasi pemerintahan yang “gemuk” dan besar, tetapi lamban dalam melayani dan tidak cepat mengambil keputusan. Artinya, ada masalah dalam sistem ketatalaksanaan birokrasi. Masalah berikutnya adalah rekrutmen SDM. Tempo hari masih banyak merekrut lulusan SMA, tetapi 5 sampai 10 tahun bela-

kangan mulai banyak merekrut sarjana. Memang sudah lebih baik dalam hal rekrutmen “bahan dasar” birokrasi. Namun, dalam proses rekrutmen itu, kerap terdengar soal “bayarmembayar”, indikasi korupsi, tidak transparan, dan lain-lain. Dalam kaitan itu juga muncul masalah kompetensi; penempatan SDM tidak sesuai dengan kompetensinya. Jumlah pegawai administratif jauh lebih banyak dibanding pegawai yang kompeten di bidang pelayanan tertentu. Pertanyaannya, apakah pegawai yang dinilai tidak kompeten itu harus dipensiunkan dini atau golden hand-shake atau bagaimana? Masalah lain yang cukup menonjol adalah netralitas pegawai negeri sipil (PNS) dalam pemilihan umum. PNS seharusnya netral. Hal itu sudah dicoba pada Pemilu 1999 dan 2004. Netralitas PNS kembali diuji saat pemilihan kepala D I A L O G


Siti Nurbaya Bakar, Membumikan Pelayanan Birokrasi

daerah. Sebagian pejabat dan PNS di daerah masuk dalam gerbong tim sukses (calon) kepala daerah karena tidak ada ketegasan bahwa ini atau itu tidak boleh. Padahal, undang-undang jelas menyebutkan bahwa PNS, termasuk kepala dinas, tidak boleh terlibat dalam tim sukses (calon) kepala daerah. Ketika terjadi peralihan kekuasaan di daerah, para pejabat yang tergabung dalam tim sukses itu akan duduk menggantikan gerbong pejabat-pejabat lama. Padahal, ujung tombak pelayanan justru berada di daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Sampai dengan bulan Juli 2013, Indonesia memiliki 539 Daerah Otonom terdiri atas 34 provinsi, 412 kabupaten, dan 93 kota. Hampir sepanjang tahun sibuk menyelenggarakan pilkada. Kapan rakyat dilayani? Saya setuju dengan Revolusi Mental yang diletakkan dalam konteks reformasi birokrasi. Presiden Joko Widodo sendiri sejak awal menegaskan bahwa “target saya adalah menghadirkan negara untuk melayani rakyat.” P: Dalam konteks reformasi birokrasi, apakah korupsi masih terlihat menonjol ataukah sudah bisa dieliminasi? Jangan-jangan muncul korupsi model baru. SN: Ada sejumlah konsep korupsi dalam birokrasi. Korupsi di birokrasi berarti kegagalan dalam menjalankan tugas. Bila seorang birokrat murni terjerat korupsi berarti dia telah gagal menjalankan tugas. Seharusnya tidak terjadi seperti itu. Jika dia disiplin administrasi dan disiplin anggaran, dia tentu tidak akan gagal dalam menjalankan tugas. Korupsi di birokrasi adalah bila dia mendapatkan private gain. Birokrasi itu cirinya selflessness. Dia tidak boleh meminta apa pun untuk dirinya, ada rantai komando di lingkungan birokrasi, dan berlakunya merit system. Ada tiga jenis penyelenggara negara, yakni mereka yang dipilih untuk menduduki suatu posisi tertentu (elected offices), yang berdasarkan pengangkatan (political appointee), dan yang berdasarkan karier (career based). Korupsi seorang birokrat karier biasanya paling D I A L O G

71

rendah— sekadar memakai telepon atau mobil kantor untuk urusan non-kedinasan. Sebenanya, peluang atau ruang melakukan korupsi tidak ada. Hal itu paralel dengan apa yang terjadi belakangan ini. Ketika kasus-kasus dibuka, masalah korupsi sebenarnya bukan di tingkat pegawai “rendahan”, tetapi di tingkat pimpinan—DPRD dan kepala daerah. Karena apa? Mereka yang menduduki elected offices menempatkan diri sebagai orang yang “melakukan apa saja yang dia mau karena dia dipilih.” Bila kita memilah seperti itu, kita akan tahu bagaimana terapi dan cara mengobatinya. Misalnya, kenapa kepala dinas sering terseret dalam tindak korupsi seorang kepala daerah atau anggota parlemen? Karena dia telah menjadi bagian dari sistem! Tidak mungkin DPR atau DPRD bisa mengatur dana-dana APBN atau APBD tanpa unit-unit kerja. Kita harus mencermati dan mengurai “gejala” itu secara menyeluruh. Karena itu, akuntabilitas dan transparansi menjadi langkah paling tepat untuk mengatasi korupsi. Bila para pejabat seperti kepala dinas atau direktur atau direktur jenderal mengambil dan memutuskan kebijakan secara transparan dengan akuntabilitas yang jelas, itu sudah dapat membantu mengurangi ruang untuk melakukan korupsi. Jadi, paket untuk mengatasi korupsi yang bisa dijalankan serempak adalah transparansi, akuntabilitas, dan anti-korupsi. P: Sejauh ini sudah banyak peraturan, undang-undang, lembaga-lembaga baru dalam konteks clean government and good governance. Namun, kenapa masih muncul korupsi dalam berbagai bentuk selama lima tahun terakhir. Bagaimana meninjau hal tersebut dalam konteks reformasi birokrasi? SN: Yang paling penting adalah aspek moral dan penegakan hukum. Pertama, kepada para PNS atau birokrat perlu diinternalisasikan bahwa ada visi presiden, sebagai pengemban amanat rakyat sekaligus operator negara, yang harus dicapai melalui tangannya. Keberhasilan seorang presiden kan bila kebijakannya didukung parlemen dan dilaksanakan oleh para biro-


72

Prisma, Vol. 33, No. 2, 2014

Siti Nurbaya Bakar lahir di Jakarta, 28 Agustus 1956. Menyelesaikan S1 (1979) di Institut Pertanian Bogor (IPB). Gelar Master diperolehnya dari International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (1988), Enschede, Negeri Belanda, dan menyelesaikan S-3 (1998) di IPB yang berkolaborasi dengan Siegen University, Jerman. Sejak 1979 menjadi Penata Muda Departemen Pertanian di Lampung, kemudian Wakil Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Lampung (19961998), dan pada 8 Mei 1998 dilantik menjadi Kepala Biro Perencanaan Departemen Dalam Negeri. Pada 2001, diangkat menjadi Sekretaris Jenderal Depdagri yang diembannya sampai tahun 2005. Pada 2006, dia direkrut menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia. Pada 2013, Siti mengambil keputusan berhenti sebagai PNS dan beralih menjadi politikus. Hingga kini, selain aktif sebagai dosen Program Pascasarjana di IPB dan pembina beberapa lembaga swadaya masyarakat, dia menjabat Ketua Bidang Otonomi Daerah DPP Partai NasDem. Pada 2014, perempuan yang pernah menjadi PNS Teladan Nasional (2004) dan dinobatkan sebagai 99 Most Powerful Women di Indonesia versi Majalah Globe Asia (2007), didaulat sebagai Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup dalam Kabinet Kerja Joko Widodo-M Jusuf Kalla. Beberapa tanda jasa yang diterima adalah Satya Lencana Karya Satya XX tahun (2001), Satya Lencana Wirakarya (2004), Satya Lencana Karya Satya XXX tahun (2010), dan Bintang Jasa Utama (2011).

krat. Ada value system dan public life principle yang harus dipahami dan dipegang dengan baik oleh para birokrat; dia harus punya integritas dan objektif integritas. Bekerja atau mengambil keputusan bukan karena sesuatu. Itu harus melekat dalam dirinya. Kedua, dia melakukan internalisasi dalam dirinya bahwa kerja melayani itu untuk mencapai kesejahteraan dan untuk tujuan negara. Persoalannya, apakah pegawai negeri kita diresapi dengan pikiran seperti itu? Saya yakin jawabannya belum. Apakah ketika mendaftar menjadi pegawai itu sekadar mendapatkan— katakanlah—income atau cita-cita meniti jenjang karier untuk memperoleh pensiun? Saya tidak tahu apakah pola rekrutmen dulu itu pakai interview yang “membuatnya” menjadi negarawan. Misalnya, “mengapa Anda ingin menjadi pegawai negeri?” “Saya mau mendapatkan penghasilan.” Jawabannya hanya itu. Berarti, dia tidak berpikir ingin mengabdi pada negara. Begitu pula sebaliknya. “Mengapa kamu mau jadi pegawai negeri?”,”Saya mau mengabdi pada negara.” “Kamu bohong. Masa sih mengabdi pada negara tidak ingin mendapat apa-apa?” Keseimbangan itu harus diperhatikan sejak awal. Bekerja untuk mengabdi, seharusnya tertanam sejak dini dalam dirinya. Artinya, dia harus mengembangkan sikap dan mengerjakan gugus-tugas dengan baik yang perlahan-lahan berkembang sebagai kompetensi. Sekali lagi, itu harus dimulai dari awal. Saya setuju revolusi mental yang didorong Pak Jokowi, tetapi dalam konteks birokrasi dengan “menggedor” pemimpinnya yang kemudian turun ke seluruh lapisan. Kita harus segera melakukan reformasi di tubuh birokrasi. Jangan menunggu, apalagi menunda. P: Selama sepuluh tahun terakhir ditempuh berbagai upaya untuk melakukan reformasi birokrasi. Di bidang apa saja keberhasilan dan kegagalannya? SN: Saya mengikuti proses reformasi birokrasi sejak 1998 hingga kini. Reformasi birokrasi di bidang penganggaran dan sistem admiD I A L O G


Siti Nurbaya Bakar, Membumikan Pelayanan Birokrasi

nistrasi keuangan tampak kian membaik. Secara keseluruhan sistem perencanaan kegiatan, anggaran yang dibutuhkan, dan pelaporan keuangan sudah tertata lebih baik. Sejak 2007, reformasi anggaran sudah diterapkan Kementerian Keuangan ke seluruh daerah. Sayangnya, hal tersebut tidak diiringi dengan sistem perencanaan program pembangunan yang mengakomodasi partisipasi masyarakat. Bukan sistem perencanaan program yang buruk atau jelek, tetapi bagaimana cara mengakomodasi partisipasi masyarakat. Itu yang masih belum jelas. Bappenas telah berusaha menyesuaikannya lewat forum musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang), tetapi polanya belum sepenuhnya dapat mengakomodasi masyarakat. Koherensi dan sinergi tampak masih lemah, tetapi belakangan ini mulai membaik. Hal lain yang juga semakin baik adalah sistem penataan aset. Pemerintah berani menjual surat obligasi, utang negara, dan lain-lain, itu karena penataan aset kita semakin membaik. Kantor-kantor kementerian dan pemerintah daerah setiap bulan bekerja setengah mati menyusun laporan dan melaporkan aset masing-masing. Hasilnya pun membaik. Hal lain yang juga sudah dintroduksi adalah bekerja secara profesional. Anda bekerja berdasarkan rencana yang telah dibuat dan hasilnya pun terukur. Aturan seperti itu sudah dimulai sejak 2013, meski hasilnya belum terlalu kelihatan. Kita memang perlu merapikan dan menerapkannya agar lebih membumi. Artinya, bagaimana pejabat negara atau lembaga pemerintah bekerja dan hasilnya itu sudah ada berikut laporannya. Namun, apa artinya itu di mata rakyat? Apakah rakyat merasa telah dilayani? Itu yang belum menyambung. Kita bisa membangun kantor-kantor serta semua sarananya, namun apakah seluruh masyarakat sudah merasakan manfaatnya? Ini yang harus “disambung.� Konsep blusukan-nya Pak Jokowi mungkin bisa berfungsi menjadi jembatan: bila di kantor seperti ini, lantas di lapangan seperti apa. Misalnya, laporan serta sistem perdagangan dengan adanya inkubasi bisnis atau UKM diD I A L O G

73

nyatakan baik dan bagus. Bagaimana kenyataan sesungguhnya di lapangan? Kata Pak Jokowi, “setelah aku blusukan ternyata ada pasar tradisional yang tidak terurus. Oke, kita bikin pasar tradisional langsung berapa unit.� Blusukan itu menjadi penyambung. Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana membumikan dalam arti menyambung aturan dengan kenyataan di lapangan. Hal itu mungkin bisa menjawab apa yang dimaksud dengan melayani dan hadir di tengah rakyat serta berpihak kepada rakyat. P: Apakah ada kelebihan lain reformasi birokrasi yang telah berjalan selama ini? SN: Aspek pengawasan sudah semakin baik. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah memakai dan menerapkan ukuran tertentu. Itu beberapa hasil reformasi birokrasi yang paling menonjol saat ini. Namun, masih ada kelemahan di sana-sini. Misalnya, politisasi PNS menjelang dan selama pilkada, mutasi atau penempatan pada jabatan tertentu, tumpangtindih urusan dan kewenangan satu instansi dengan instansi lain, dan rente perizinan. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpaksa turun menyelidiki dan menyidik soal perizinan tambang, kehutanan, pertanahan, dan lain-lain, yang mengindikasikan masih adanya praktik rent seeking. Kelemahan atau kekurangan lainnya adaah soal transparansi. Beberapa daerah tidak senang dengan dana yang dialirkan dari pusat ke daerah. Menurut saya, sebagian besar soal itu hanya karena transparansi cara penghitungan dana yang diperoleh daerah dari pusat. P: Terkait birokrasi perizinan usaha, apakah sudah ada kemajuan dan kemudahan dalam mendapatkan izin? SN: Beberapa daerah harus membenahi dan memperbaiki diri. Kita melihat ada beberapa provinsi yang sudah punya sistem manajemen satu atap. Namun, secara keseluruhan indeks daya saing dan indeks kinerja bisnis masih lemah dan relatif rendah, meski sudah mulai tertata dengan baik. Untuk hal itu,


74

Prisma, Vol. 33, No. 2, 2014

posisi Indonesia jauh di bawah Malaysia, apalagi dibanding Hongkong dan Singapura. Kita berada di tingkat menengah dan masih di atas Kamboja dan Myanmar. Kita akan coba mendorong mekanisme perizinan proaktif secara online yang tentu saja akan memudahkan pihak swasta. Bila tetap mengalami kesulitan, pemerintah akan siap membantu menyelesaikannya. Proses layanan perizinan online pun seharusnya tidak dibatasi waktu, misalnya, dari pukul 7 pagi hingga pukul 5 sore. Kita akan sampai ke sana, layanan perizinan online selama 24 jam. Pendek kata, yang namanya reformasi birokrasi adalah membuat pelayanan pemerintah seperti pelayanan swasta; nyaman, jelas, tepat seperti yang dijanjikan, serta syarat, biaya, dan waktunya juga jelas. Itu yang sebetulnya harus dicapai oleh unit-unit pelayanan pemerintah. Mereka harus melayani seperti swasta. Di sisi lain, salah satu penanda keberhasilan reformasi birokrasi adalah bila swasta merasa tidak ada masalah dalam pelayanan perizinan. P: Sebagaimana telah disinggung di bagian awal, kira-kira apa yang bisa dijanjikan dan direalisasikan pemerintah terkait reformasi birokrasi? SN: Sekarang sudah ada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang disahkan pada 15 Januari 2014. Undang-undang tersebut mengatur dan memperjelas semua hal berkaitan dengan pengaturan dan penataan desa, kedudukan dan jenis desa, kewenangan desa, penyelenggaraan pemerintahan desa, hak dan kewajiban masyarakat desa, peraturan desa, keuangan dan aset desa, pembangunan desa dan kawasan perdesaan, badan usaha milik desa, kerja sama desa, lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga adat desa, serta pembinaan dan pengawasan. Dengan kata lain, UU Desa mempertegas posisi pemerintahan desa, apa yang bisa dan harus dilayani pemerintah desa dan apa yang menjadi tugas pelayanan pemerintahan di atas desa—pemerintah kecamatan atau kabupaten. UU tersebut juga memperjelas dana-dana yang sudah harus

disatukan menjadi anggaran belanja dan pembangunan desa. Kalau “pabrik” layanan publik adalah pemerintah pusat, maka “warung” layanan publik ada di mana? Bila tidak di desa, “warung” tersebut tentu berada di unit lain; bisa di tingkat kecamatan atau kabupaten tergantung urusan yang dimaksud. Karena itu, dengan adanya UU Desa, UU Aparatur Sipil Negara, dan aturan perundangan tentang administrasi pemerintahan, maka semua bisa menjadi lebih konkret. Selain memformulasikan sumber keuangan atau anggaran desa sesuai dengan undang-undang, selesaikan juga rancangan pelaksanaannya di tingkat desa. Undang-undang tentang pemerintahan daerah secara tegas mengatur apa saja yang harus diatur bersama, misalnya, layanan kesehatan, dan jenis persoalan apa saja yang harus dikerjakan sendiri atau bersama pemerintah kabupaten, provinsi, atau nasional. Bila sudah ada di dalam undang-undang, sekarang tinggal bagaimana cara mengaturnya, alokasi dananya, serta siapa yang harus mengerjakan di lapangan. P: Undang-Undang Aparatur Sipil Negara menegaskan orientasi pada human capital, bukan sekadar masalah administratif. Sementara pada 2013 banyak pegawai honorer di beberapa daerah protes agar segera diangkat menjadi pegawai tetap. Persoalan tersebut kerap muncul dan tampaknya sulit diatasi dalam waktu singkat… SN: UU Aparatur Sipil Negara sebenarnya hendak mempertegas bahwa penyelenggara atau katakanlah pegawai negeri atau orang yang bekerja untuk negara bukan sekadar administrasi saja, tetapi justru orang atau pelayanan yang dibutuhkan oleh rakyat. Seluruh isi dan bobot UU ASN adalah di segi kompetensi. Penghargaannya dengan merit system. Undangundang tersebut tidak hanya membuka ruang bagi pejabat senior eksekutif naik pangkat atau golongan. Itu namanya administratif. Namun, undang-undang tersebut juga memasukkan dan mengatur pegawai dengan sistem kontrak. Misalnya, jabatan kepala dinas bisa saja diisi D I A L O G


Siti Nurbaya Bakar, Membumikan Pelayanan Birokrasi

oleh kalangan perguruan tinggi atau swasta yang melamar dan berkompetisi dengan pegawai lain di dinas tersebut berdasarkan sistem rekrutmen yang berlaku di direktorat jenderal bersangkutan. Komisi Aparatur Sipil Negara kemudian akan menilai dan mengevaluasi sistem rekrutmen tersebut. Sistem itu masih baru dan aturan mainnya harus disusun dalam 1-2 tahun ini. Tenaga honorer di daerah memang harus dilihat dan didalami. Soal tenaga honorer sebenarnya bukan hanya di daerah saja, tetapi juga terjadi di beberapa kementerian tingkat pusat. Ada tenaga honorer yang sudah bekerja selama delapan tahun. Tanpa disadari usianya sudah menginjak 36 tahun. Padahal, usia maksimal seorang sarjana untuk menjadi pegawai negeri sipil umum adalah 35 tahun. Lantas bagaimana “nasib” seorang pegawai honorer yang sudah bekerja selama belasan bahkan puluhan tahun? Sangatlah manusiawi jika dia menjadi gelisah. Setiap kali ada rekrutmen, dia tak pernah kebagian. Pemerintah sendiri membolehkan tenaga honorer mengikuti setiap proses rekrutmen umum pegawai negeri. Namun, kompetisinya sangat berat. Misalnya, tenaga honorer di satu instansi berjumlah 30 orang dan semua ikut kompetisi, yang diterima sebagai pegawai tetap hanya 5 orang. Sisanya tetap bekerja sebagai tenaga honorer di instansi tersebut, dan tidak bisa diangkat menjadi pegawai tetap karena umurnya telah melebihi batas usia untuk menjadi PNS. Hal ini harus dicarikan jalan keluar. Pada masa lalu, karena ada kebijakan bagi tenaga pendidik, ada semacam dispensasi. Tenaga pendidik honorer yang direkrut pada 2005, yang sudah bekerja sekian tahun, dapat menjadi pegawai tetap. Memang harus dicari dan disusun kebijakan berlaku satu kali seperti itu. Kalau kita mau mencari kebijakan baru begini, kita mesti dalami betul karena setiap celah undang-undangnya harus kita lihat. Kalau ada celahnya nanti kita bisa lihat apakah kita bisa buat kontrak, tetapi pada aras rendah, misalnya. Kita harus lihat dulu dasar hukumnya atau kita lihat kemungkinan tradisinya apakah D I A L O G

75

tidak melanggar hukum. Kita juga akan melihat secara teoretis apakah tidak melanggar hukum. Kita harus mencari jalan keluar. Sampai sekarang hal tersebut memang masih menjadi persoalan. Banyak pemerintah daerah juga kerap bertanya, kami bagaimana? Lebih parah lagi kalau usia tenaga honorer itu sudah di atas 35 tahun. Karena itu, kita perlu mencari kebijakan tertentu yang dapat mengatur hal tersebut. Bayangkan saja, dia sudah beusia 35 tahun, namun kita mendorong dia untuk mengikuti tes kompetensi dan lain-lain. Dia belum tentu menang, apalagi secara administratif usianya sudah melebihi “batas.” P: Dari pengalaman ibu sebagai Sekjen Depdagri, succes story sebuah daerah yang bagus dalam arti birokrasi itu seperti apa? SN: Kantor yang baik tentu memiliki pemimpin yang juga baik. Ada semacam “tatanan perkantoran.” Kantor swasta pada dasarnya sama dengan kantor pemerintah. Misalnya, lay out masuk-keluar surat atau tamu sebuah kantor. Kita tidak mungkin menaruh bagian humas, misalnya, di lantai IV. Humas itu letaknya di lantai dasar. Sementara seorang pemimpin birokrasi punya rambu-rambu. Dia harus mengenal “dua ke bawah dan satu ke atas”, one step up, two steps down. Sebagaimana diketahui, konsep birokrasi Indonesia adalah konsep pembinaan membangun bangsa, tidak seratus persen kompetensi. Birokrasi kita adalah sisa-sisa birokrasi Belanda yang diadopsi dan dicampur dengan yang baru terus dipakai untuk membina persatuan dan kesatuan seluruh bangsa Indonesia. PNS kita pun memakai konsep “pembinaan”, one step up, two steps down. Misalnya, saya seorang direktur. Saya harus paham dan mengenal baik dua level di bawah saya. Siapa istrinya, berapa anaknya, kehidupannya seperti apa, dan lain-lain. Hari ini dia kesal, apakah karena anak atau istrinya sakit. Saya juga harus mengenal dengan baik staf saya yang gemar menggambar, analisis, tabulasi, dan lain-lain. Sebaliknya, one step up atau satu layer ke atas. Saya harus tahu siapa atasan saya, istrinya, rumahnya,


76

Prisma, Vol. 33, No. 2, 2014

kehidupannya, dan lain-lain. Mengapa tidak dua layer ke atas? Kalau dua ke atas berarti saya melompati pejabat yang persis berada di atas kita. Hal itu menjadi tidak baik bagi values kita. Dalam manajemen pemerintahan, kita mengenal adanya care, share, dan fair. Memang, dalam birokrasi pemerintahan, kita harus care satu sama lain. Saya termasuk yang mempraktikkan hal itu. Misalnya, hari ini kepala biro saya tidak masuk kantor. Saya harus cari kenapa dia tidak masuk. Selain saling menjaga, kita juga harus saling memberi; share pengetahuan, pengalaman, atau apa saja yang masing-masing kita miiki. Kita juga harus fair, adil. Itu dari segi nilai yang akan berjalan dengan baik bila kita memberi equal pay for equal work. Itu sudah saya praktikkan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Misalnya, “oke, setiap langkah kerja kalian saya nilai uangnya, tetapi awas kalau terjadi perjalanan dinas fiktif. Tidak ada ampun!” Itu semua sudah terpenuhi dan hasilnya cukup lumayan. Kita menghitung “kamu kerjanya oke. Kamu sering melakukan perjalanan dinas, menghubungi untuk persidangan dan lain-lain, biaya pulsa berapa, dan lain-lain.” Itu semua dihitung. Jadi, equal pay for equal work. Sebelum melepas jabatan Sekjen DPD, kami membuat kode etik. Setelah ada kode etik, semua lebih terukur. Misalnya, ketika terjadi pelanggaran, “Kamu tahu?, kenapa saya marah. Pasalnya ini ayatnya ini.” Saya terpaksa menerbitkan kode etik, yang belum terbiasa di kalangan PNS. karena kita waktu itu kerap berurusan dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dulu staf saya selalu dicari dan “disalahkan” anggota DPR. Saya sendiri bingung siapa yang salah. Anggota dewan mengeluh ke saya, “Ibu Siti Nurbaya, itu kepala bagiannya begini dan begitu.” Saya kemudian menyusun dan membuat kode etik, sehingga kami punya rambu-rambu. Bila anggota dewan protes, saya akan melihat lebih dahulu apakah staf kami melanggar rambu-rambu kode etik atau tidak? Bila melanggar, dia kena. Namun, bila tidak melanggar rambu kode etik, saya akan lawan anggota dewan. Saya

kemudian membuat kode etik hubungan antara staf dengan anggota dewan. Misalnya, harus menghormati, boleh dekat tapi tidak boleh intim, cara duduk di pesawat, hubungan staf dengan negara, hubungan staf dengan atasan, hubungan di antara staf, memasang bendera merah putih setiap hari besar, hubungan staf dengan masyarakat, dan lain-lain. Pokoknya kode etik yang disusun dengan sangat rinci. Bila ada “keributan”, saya segera diberi tahu oleh tim Komisi Etik. Saya hanya minta, “tolong periksa dan panggil dia. Dimasukkan dalam berita acara.” Hal itu memang belum lazim di kalangan birokrasi. Saya sendiri bikin kode etik itu, karena ada semacam “tekanan” dari hubungan dengan anggota dewan. P: Birokrasi di Indonesia kerap dianggap inefisien. Apakah ini berkaitan dengan sistem anggaran yang selalu distimulasi bahwa “anggaran harus habis”? Bila tidak dihabiskan, maka anggaran tahun depan akan dikurangi. SN: Sekarang sudah tidak seperti itu. Kini, mereka justru didorong untuk mencatat berapa penghematan yang berhasil dilakukan. Namun, sebelum bicara penghematan, dihitung dulu berapa persen kinerja yang telah tercapai. Hampir tidak ada yang 100 persen, tetapi banyak di atas 90 persen. Pertanyaan berikutnya adalah berapa yang bisa dihemat? Saya sendiri bisa menghemat puluhan miliar, karena ada pekerjaan tertentu yang bisa dihemat ketika “diadu” secara politik. Itu dianggap penghematan. Apa yang kemudian terjadi? Menteri keuangan memberi kita reward. Karena kinerja saya di atas 90 persen dan bisa menghemat sekian puluh miliar, maka untuk tahun depan saya diberi “hadiah” empat miliar rupiah, misalnya. Dengan kata lain, efisiensinya di-endorse atau “dipaksa” dengan penghematan. Sekarang, sistem bahwa anggaran harus dihabiskan itu sudah tidak dipakai lagi, dibuang. P: Sejak kapan? SN: Kalau tidak salah sejak 2010. Pada tahun itu mulai diberlakukan reward, dan saya D I A L O G


Siti Nurbaya Bakar, Membumikan Pelayanan Birokrasi

memperoleh 2,8 miliar. Saya sendiri mengeluarkan anggaran setelah beberapa program diparipurnakan lebih dahulu. Kemudian dilihat, bila “tidak kena” secara politik, saya tidak akan mengeluarkan dana. P: Apakah dengan cara itu akan memacu efisiensi kerja? SN: Iya. Karena akhirnya orang akan menyelaraskan antara uang keluar dengan sasaran kinerjanya. Lebih baik dengan cara itu. Berhemat, tapi berhasil mencapai sasaran. P: Presiden Joko Widodo mengatakan visi dan misi dengan sistem inovasi nasional. Bagaimana kaitannya dengan pengembangan kompetensi dalam birokrasi? Sejauh mana inovasi yang bisa dikerjakan birokrasi dan sistem apa yang bisa membuat mereka inovatif? SN: Pemerintahan Presiden Jokowi saat ini berada dalam rangkaian rencana pembangunan jangka panjang nasional; periode lima tahun untuk mempertajam daya saing nasional. Setidaknya, ada tiga hal yang terkandung dalam konsep daya saing nasional. Pertama, kita punya resources, entah sumber daya alam (SDA) atau sumber daya manusia (SDM). Kedua, kita mampu mengelola negara, pelayanan, dan lainlain, secara efisien. Ketiga, kita punya inovasi untuk mengembangkan berbagai hal. Bila ketiganya tidak ada, berarti daya saing kita lemah. Pada 2015, kita sudah harus menghadapi AFTA, bahkan CAFTA—di situ ada Tiongkok. Hal ini juga koheren dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU itu ada satu bab tentang inovasi daerah. Daerah diberi ruang untuk melakukan pelbagai inovasi, misalnya, menyiapkan klaster, menggunakan teknologi, termasuk intelectual property rights, seperti apa, dan lain-lain. Selama ini orang takut berinovasi. Kalau dia berinovasi kemudian gagal, atau tidak ada hasilnya, akan muncul pelbagai tudingan negatif. Misalnya, dana yang telah dikucurkan dipakai untuk apa? Uangnya ke mana? Daerah cenderung takut berinovasi, D I A L O G

77

karena tidak dilindungi. Sekarang, mereka dilindungi oleh UU No. 23/2014. Semua itu seperti piece meal, tetapi sebenarnya bisa menuju ke satu arah…. P: Bukankah itu ada hubungannya dengan kompetensi PNS. Misalnya, kajian atau perencanaan suatu daerah menyimpulkan bahwa ini merupakan klaster industri atau klaster agroindustri, maka birokrasi juga harus mendukung hal itu. Apakah mungkin kita bisa memindahkan PNS di klaster industri ke klaster lain yang sama sekali berbeda. Apakah perlu rekrutmen baru? SN: Ruang yang ada sekarang memungkinkan pertukaran semacam itu. Tidak ada masalah. Sebenarnya banyak PNS yang risau, kenapa hanya boleh “besar” di satu kabupaten saja. Mereka juga ingin besar di seluruh Indonesia. Saya sendiri datang dari Lampung, masuk ke Jakarta, diangkat menjadi Sekretaris Jenderal Depdagri, dan seterusnya. P: Tadi dikatakan bahwa basisnya adalah kinerja yang berhasil dicapai sekian persen. Apakah juga dilihat, misalnya, pencapaian target harus di bulan November atau Desember. Bila sampai bulan Oktober baru 40 persen, harus “dikebut” hingga mencapai 80 persen pada bulan November-Desember. Apakah “kebiasaan” seperti itu juga dilihat? SN: Sampai sekarang masih seperti itu, tetapi hal ini harus dilihat secara keseluruhan. Itu terjadi karena dana dicairkan belakangan. Selama saya menjadi birokrat di Senayan, dana yang dikeluarkan rata-rata seperti itu. Kementerian Keuangan tidak berani mengucurkan uang sebelum mendapatkan persetujuan Senayan. Kalau Senayan minta, duitnya pasti keluar. Tidak mungkin dewan tidak beroperasi pada masa sidang di bulan Januari-Maret. Namun, kalau Menteri UKM, misalnya, minta belum tentu disetujui. “Duitnya tidak ada. Nanti saja bulan Mei.” Namun, apakah berani menolak bila Senayan yang meminta? Tidak akan berani! Dalam kaitan dengan konstruksi, memang ada


78

Prisma, Vol. 33, No. 2, 2014

penegasan dan konfirmasi apakah konstruksinya sudah siap untuk dilaksanakan. Itu yang kemudian disetujui dengan tanda tangan Menteri PU, Menteri Keuangan, Menteri PAN, BPKP dan Bappenas. Kesiapan pembangunan sebuah kantor harus disetujui oleh mereka. Anggaran sudah ada tapi baru cair di bulan JuliAgustus, karena terkadang harus disiapkan persetujuannya. P: Cukup banyak lembaga yang selama ini mengatur dan mengelola PNS, seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi, Lembaga Adiministrasi Negara, komisi independen, dan sebagainya. Bagaimana koordinasi di antara mereka? SN: Khusus untuk mengurus PNS, dalam arti penentuan formasi, relatif berjalan baik. Misalnya, Kementerian PAN RB minta kepada seluruh kementerian dan pemerintah daerah apa saja yang dibutuhkan. Itu tidak terlalu bermasalah. Dari hari ke hari semakin baik dalam arti mengembangkan transparansi dan mengurangi kecurangan. Saya mendengar dari beberapa kawan, rekrutmen CPNS itu sekarang melalui tes langsung di komputer. Nilainya juga bisa langsung dilihat. Sekarang yang justru menguat adalah empire building beberapa kepala daerah, semacam dinasti politik. Mereka membangun kekuasaan dengan membina barisan keberpihakan. Kepala-kepala dinas masuk dalam tim sukses calon kepala daerah. Empire building di daerah-daerah sekarang ini jauh lebih mengganggu. Itu yang agak mengkhawatirkan karena empire building akhirnya mengganggu netralitas PNS P: Tadi sempat disinggung soal equal pay for equal work. Dalam praktik, apakah gaji PNS perlu dinaikkan? SN: Sekarang ini sudah ada tunjangan kinerja.

P: Begitu pula dengan gaji pokok PNS? SN: Kalau itu sudah menjadi program nasional. Hampir setiap tahun PNS naik gaji. Selain gaji, ada tunjangan kinerja yang jumlahnya memang tidak terlalu besar. Bagaimanapun juga, hal itu sudah jauh lebih baik ketimbang mencuri. P: Dengan kata lain, salah satu upaya untuk menata soal inefisiensi, korupsi, dan sebagainya itu adalah dengan menaikkan gaji PNS? SN: Iya, dengan cara mengatur tunjangan kinerja mereka. Saya pernah menjadi pegawai yang bekerja di daerah dan menjadi “penerima tamu” orang pusat. Saya kerap diperintah gubernur untuk mengurus pejabat dari pusat. Saya bolak-balik mengontak mereka dengan menggunakan telepon rumah. Tagihan telepon pun melonjak menjadi 6 juta rupiah sebulan. Saya yang ketika itu masih pegawai biasa eselon III tidak bisa membayar tagihan sebesar itu. Suatu hari telepon di rumah saya mati. Gubernur tanya kenapa teleponnya tidak berfungsi? Saya jawab, “Saya tidak bisa bayar tagihan telepon sebesar 6 juta rupiah.” P: Seorang konsultan pernah mengatakan bahwa ada inefisiensi dengan alasan berbasis kinerja. Misalnya, seorang Dirjen bisa duduk dalam kepanitiaan puluhan acara dalam satu tahun. Honornya… SN: Itu sudah tidak boleh. Karena sudah ada tunjangan kinerja. Masuk dalam tim-tim kepanitiaan pun sudah tidak diperbolehkan. Penerapan tunjangan kinerja secara bertahap diberlakukan di semua kementerian. Belum semua kementerian menerapkan tunjangan kinerja. DPD belum menerapkan tunjangan kinerja, sedangkan DPR baru mulai pada 2014. Kepolisian dan TNI tampaknya baru memulainya tahun lalu. Belum banyak yang mulai kecuali Kementerian Keuangan dan Lemhannas•

D I A L O G


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.